KOTA DAN KERJA oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ Rangkaian Studium Generale
KOTA DAN KERJA
Oleh: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ
Kerjasama Goethe-Institut Jakarta dan STF Driyarkara Jakarta, 16 April 2009
Pengantar Apakah orang datang ke Jakarta untuk bekerja, atau untuk berfoya-foya, atau karena taruhan bahwa akan ada kesempatan? Barangkali semua jawaban itu benar sekaligus. Jakarta itu sebuah maknit yang secara magis menarik orang-orang untuk datang – betapa pun Pemerintah DKI mencoba untuk mencegah mereka. Seperti laron tertarik ke cahaya lampu, begitu orang-orang tertarik untuk mengadu nasib di Jakarta. Dan ada yang seperti laron lalu terbakar sayapnya dan menjadi lemas. Tetapi ada juga yang berhasil. Katanya, orang yang ulet di Jakarta selalu akan berhasil, sekurangkurangnya ia akan bisa hidup, barangkali hidup lebih baik daripada di desanya. Tetapi bekerja? Jelaslah, orang Jakarta rata-rata termasuk pekerja yang keras. Apakah ia kantoran di Jl. Sudirman atau jualan sayuran dengan keretanya: Mereka semua bekerja dan, itulah yang menarik, mereka juga berhasil. Mari kita lihat orang Jakarta bekerja dan lalu berpikir apakah itulah yang diharapkan dari suatu kehidupan yang manusiawi. Ada segala macam pekekerjaan yang dilakukan orang di Jakarta. Pembedaan yang paling tajam, yang dalam pandangan hampir semua orang membedakan mereka yang beruntung dari mereka yang 'biasa" atau tidak beruntung adalah perbedaan antara pekerja krag putih dan krag biru (istilah orang Amerika). Krag biru adalah mereka yang bekerja dalam arti bisa menjadi kotor karena pekerjaannya, jadi mereka yang harus memegang tanah, logam, tetumbuhan, yang secara fisik bekerja berat (tentu dokter yang termasuk krag putih secara fisik juga bisa bekerja berat, tetapi beratnya tidak terletak dalam kegiatan langsung [memeriksa pasien, memotong kulit perut dsb.] melainkan dalam ketegangan, ketelitian yang dituntut, dan tak jarang dalam waktu panjang ia bekerja). Para pekerja krag putih bekerja dengan
2
abstrak, dengan komputer, dengan menulis, dengan omong, termasuk guru, dosen, penyiar, wartwaran, CEO dan menejer, rohaniwan dst. Perbedaan lain yang amat relevan adalah antara mereka yang bekerja di sektor formal dan yang bekerja di sektor informal. Yang bekerja di sektor formal mempunyai aturan, pendapatan yang dipastikan , masuk statistik, di mana apa yang mereka kerjakan tergantung dari seorang atasan dan/atau sebuah sistem (di mana ia bekerja, pada hari dan jam berapa, apa yang dilakukannya), sedangkan di sektor informal ada lebih banyak kebebasan. Di sektor informal yang paling penting - dan menciptakan nilai ekonomis yang tak pernah masuk statistik - adalah mereka yang menjalankan rumah tangga, jagi hampir 100 persen ibu-ibu. Mereka bekerja dari pagi sampai malam, tujuh hari per minggu dan tidak dibayar kecuali apa yang diberikan suami yang mempunyai pekerjaan yang biasanya dianggap sungguhsungguh - dalam arti; terpisah dari rumah tangga. Banyak dari ibu rumah tangga masih mempunyai pekerjaan sampingan, misalnya membuat dan menjual kue-kuean atau melakukan perdagangan kecil-kecilan - kadangkadang juga gede - macam-macam. Majikan ada yang putih dan ada yang hitam, artinya usahawan yang biasa dan preman (yang misalnya menguasai siapa yang bisa menjadi tukang parkir atau barangkali menentukan di mana seseorang masih bebas mengemis - artinya mereka harus mendapat potongan). Mereka yang sudah dewasa dan tidak lagi dalam salah satu tahap pendidikan bekerja semua. Hanya segelintir orang dari keluarga sangat kaya yang bisa hidup sebatgai playboy yang dapat duitnya dari orang lain (dari orangtua, atau sebagai rentenir), lalu mengisi waktu malam hari dengan pelbagai kemungkinan yang dapat dibaca dalam dua jilid Jakarta under cover di mana kebanyakan orang yang hidup dalam pekerjaan-pekerjaan malam ini memang juga bekerja keras. Mari kita berikan sedikit definisi tentang pekerjaan, mengikuti yang diberikan Gert Haeffner (Haeffner, G dll. 1999, Arbeit im Umbruch, Stuttgart: Kohlhammer, h. 5) (di mana lantas "pekerjaan" dalam arti "punya kerja", jadi mempersiapkan dan menjalankan pesta atau "pekerjaan" yang dilakukan oleh sebuah mesin dikesampingkan): Pekerjaan adalah "kegiatan manusiawi yang secara teratur dilakukan dalam bentuk yang sangat mirip, yang sering berat, yang menghabiskan sebagian cukup besar waktu kehidupan yang bisa dipakai untuk bergiat dan yang pertama-tama dilakukan demi tujuan luarnya."
3
Tidak hanya ada pekerjaan rfisik, melainkan juga pekerjaan non-fisik. Seorang ilmuwan, wartawan atau doktor pun bekerja, tetapi tidak dengan mengubah materi. Nah, sebelum berefleksi tentang bagaimana orang bekerja di Jakarta dan apakah ada maknanya, mari kita cek sebentar apa yang dikatakan filsafat tentang pekerjaan. 1. Filsafat tentang Pekerjaan Filsafat Yunani Baru di zaman modern pekerjaan mendapat perhatian dalam filsafat. Dalam filsafat Yunani - 2400 tahun lalu - pekerjaan dianggap rendah. Dalam masyarakat kota (polis) hanya mereka yang tidak perlu bekerja keras dianggap warga negara dalam arti yang sebenarnya. Jadi mereka yang mempunyai waktu luang. Aristoteles membedakan dengan tajam antara kegiatan yang mengembangkan manusia dan pekerjaan. Yang pertama adalah kegiatan ilmiah (theoria) dan kegiatan sosial-politis (praxis). Kegiatan itu menurut Aristoteles membawa maksud dan nilainya dalam dirinya sendiri dan mengembangkan manusia dan karena itu merupakan bagian penting kehidupan yang bahagia. Sedangkan pekerjaan (poesis) dilakukan untuk membuat sesuatu, misalnya membuat rumah atau busur. Kegiatan pembuatan itu sendiri tidak mempunyai nilai apa-apa. Maka pekerjaan sebenarnya tidak pantas untuk manusia dan manusia baru betul-betul manusiaapabila ia tidak perlu bekerja lagi. Maka sedapat-dapatnya pekerjaan dalam arti pekerjaan fisik diserahkan kepada para budak saja. . Modernitas Pandangan tentang pekerjaan berubah dengan fajar modernitas. Filosof Inggris John Locke (1632-1702) untuk pertama kali menyadari bahwa nilai ekonomis diciptakan oleh pekerjaan. Dengan demikian pekerjaan mulai dihargai - meskipun hanya dalam teori. Pekerjaan dianggap sebagai sumber hak milik pribadi. Pandangan ini kemudian diambil alih oleh Adam Smith (1723-1790) dan ahli ekonom David Ricardo (1772-1823). Kalau para filosof Inggris terutama memperhatikan nilai ekonomis yang diciptakan oleh pekerjaan, maka filsafat Jerman menemujkan bahwa pekerjaan membentuk kepribadian manusia dan sifat historisnya. Hegel (1770-1831) melihat bahwa melalui pekerjaan "manusia menciptakan diri" (Marx). Melalui pekerjaan manusia di satu pihak mengembangkan kemampuannya, ia belajar menguasai alam dan dengan demikian membuat 4
nyata potensi-potensinya. Di lain pihak pekerjaan membuat alam alami menjadi alam manusiawi karena alam semakin mencerminkan kemampuan manusia. Pikiran ini menjadi inti filsafat Karl Marx (1818-1883). Bagi Marx pekerjaan adalah (satu-satunya) sarana manusia menciptakan diri, baik secara individual, maupun secara sosial dan sebagai makhluk historis. Secara individual karena ia membuat nyata kemampuan-kemampuannya. Secara sosial karena pekerjaan selalu mengandaikan orang lain: Orang daripadanya ia mendapat alat kerja, orang baginya ia bekerja dan daripadanya ia mendapat pengakuannya, dan melalui pembagian kerja orang dari pekerjaannya ia sendiri mendapat yang diperlukan. Tetapi sekaligus manusia melalui pekerjaan membangun diri sebagai makhluk bersejarah. Satu generasi "berdiri di pundak generasi sebelumnya" (Marx) karena kita selalu bekerja dengan alat-alat kerja dan pengetahuan teknologis yang kita terima dari pekerjaan generasi-generasi sebelumnya. Dan sebaliknya pekerjaan kita mewujudkan alam serta alat-alat kerja yang akan menjadi lingkungan di mana generasi mendatang bekerja. Yang kritis terhadap pengertian pekerjaan seperti "pemanusiaan alam dan pengalaman manusia" itu adalah Martin Heidegger (1889-1976). Bagi Heidegger alam tidak mungkin kita kuasai betul, alam itu selalu "yang lain" dan dalam pekerjaan kita bertabrakan dengan realitas yang tidak dapat total kita taklukkan. Batas-batas alam selalu menjadi batas-batas kita juga.
sebagian besar diatur melalui pekerjaan yang dibayar“ (Haeffner, dlm Haeffner dll., h. 18). Kalau kita turun dari abstraksi tinggi para filosof maka kita dapat membedakan tiga fungsi antropologis pekerjaan (Zinn, dlm Haeffner dll., h. 66): (1) reproduksi material, (2) integrasi sosial, (3) dan pengembangan diri. Yang pertama itu jelas: manusia bekerja karena hanya dengan bekerja ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan material agar ia tidak mati kelaparan, kehausan, kedinginan dsb. Pekerjaan yang lamakelamaan membangun kebudayaan manusia seperti diuraikan Marx. Sekaligus pekerjaan memberikan tempat kepada seseorang dalam masyarakat serta menjamin bahwa ia menjadi anggota masyarakat. Melalui pekerjaan seseorang memperoleh hak untuk dapat mempergunakan hasil pekerjaan orang lain dan ia diakui sebagai anggota masyarakat yang bermanfaat. Dan melalui pekerjaan manusia memenuhi kebutuhan untuk melakukan sesuatu, untuk bergiat, untuk menciptakan, untuk kreatif, dan dalam itu mengembangkan diri.
Makna Pekerjaan Sesudah kita melihat sedikit apa yang dalam filsafat dikatakan tentang pekerjaan, apakah kita dapat menarik sebuah kesimpulan? Yang jelas: pekerjaan itu amat penting. Dengan kekecualian beberapa orang yang teramat kaya - yang dalam masyarakat modern dianggap benalu - semua orang harus bekerja keras untuk bisa hidup. Itu tidak selalu demikian. Dalam masyarakat feodal orang kelas atas, para bangsawan dan priai, dianggap tidak bekerja dan jangan bekerja. Di Jerman saja saya mengalami bangsawan yang meskipun bekerja keras - misalnya dalam mengurus tanahtanah pertanian dan perhutanan milik mereka yang luas, secara ekonomis namun masih mau memberi kesan seakan-akan mereka tidak bekerja. Tetapi itu tempo dulu, juga di Indonesia. Dalam masyarakat modern pekerjaan yang menentukan segala-galanya. Dalam bahasa Jerman masyarakat modern disebut „Arbeitsgesellschaft“ (working society). Maksudnya: „pembagian nilai-nilai sosial, kesempatan-kesempatan kehidupan, wibawa sosial serta perasaan harga diri individual untuk
Dilema Pekerjaan Pada Zaman Globalisasi Dari pertimbangan di atas sudah menjadi jelas bahwa makna pekerjaan bagi setiap orang dalam umur yang sesuai adalah luar biasa. Bukan hanya pekerjaan merupakan cara ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, melainkan juga kedudukan dalam masyarakat dan penghargaan yang diterimanya, dan karena itu harga dirinya, ditentukan dari pekerjaannya. Keindahan pekerjaan itu terancam, selalu sudah, dan sekarang apalagi. Dia terancam kalau ia harus melakukan pekerjaan yang dianggap hina: Hina karena di bawah standartnya (insinyur diminta menyapu jalan), karena pekerjaan teramat berat dan imbalannya kurang, atau karena dalam kenyataan merupakan pekerjaan budak. Kalau kita membaca Jakarta Under Cover yang mencolok betapa gampang para "tamu" bergaul segala macam dengan perempuan-perempuan penghibur yang, sekurangkurangnya di buku itu, muncul sebagai friendly, halus, mengenakkan, tetapi banyak dari mereka tak kurang dari budak yang bukan hanya sebagian besar dari yang dibayar langganan masuk kantong "mami" atau germonya, tetapi uang yang dia dapat sendiri pun ditahan sehingga ia tidak bebas pergi. Yang tidak kalah buruknya adalah kalau orang tidak menemukan pekerjaan. Itu betul-betul bisa menghancurkan harga diri. Menulis ratusan surat lamaran - tanpa hasil, kalau di Eropa puluhan kali ke kantor tenaga
5
6
kerja - dan tidak dapat pekerjaan, amat memberi perasaan rendah diri. Mereka merasa seperti orang yang hakekatnya adalah mengemis, memohonkan belaskasihan, merendahkan diri terus menerus. Orang yang tidak mempunyai pekerjaan, langsung merasa kurang berharga karena dalam masyarakat modern orang memang dinilai dari pekerjaannya. Kalau pun tak ada orang yang menyindir dan teman-teman serta anggota keluarga lain tetap ramah dan akrab dengannya, ia tahu bahwa ia adalah orang luar, orang yang hidup atas dasar pekerjaan orang lain, orang yang merasa tidak menyumbangkan sesuatu apa pun terhadap sesama. Ia tahu bahwa kalau ia mendadak mati, hanya dua tiga orang yang akan merasa sedih, yang lainlain merasa "good riddance", karena ia sebagai tuna kerja hanya membebani komunitas! Orang merasa tidak diakui, dihina, tidak lagi berakar dalam masyarakat (menjadi tamu dan outsider) dan merasa minder. Lebih gawat lagi kalau itu terjadi dengan orang muda, misalnya sudah lulus SMA atau bahkan perguruan tinggi, lalu tak pernah ada pekerjaan. Jangan heran kalau mereka itu lalu atau menjadi preman, artinya, menawarkan diri kepada seorang bos-bos preman menjadi anak buahnya, atau menjadi laskar gerakan ideologis (dulu: komunis) maupun religius. Yang terakhir malah lebih berbahaya karena dalam ideologi atau agama itu mereka untuk pertama kali menemukan arti bagi hidupnya yang di luar tidak diberikan kepadanya. Mengapa dilema? Karena kemajuan teknologi membuat pekerjaan kurang dibutuhkan. Itu jelas berlaku bagi segala macam industri, tetapi, berbeda dengan perkiraan beberapa puluh tahun lalu, juga bagi services, jadi pekerjaan dalam bidang pelayanan (misalnya dengan online booking travel agencies mengalami pengurangan bisnis). Untuk negara-negara dengan tingkat perupahan tinggi negara-negara dengan perupahan rendah Cina, Bangladesh, Indonesia - menjadi saingan (untuk Indonesia saja Cina dan Vietnam sudah menjadi saingan karena tingkat perupahan di sana lebih rendah). Bagi negara-negara industri maju Zinn (Haeffner dll., h. 65s) menggariskan tiga senario.atau opsi. Opsi pertama: Agar industri dapat bersaing, berdasarkan ideologi neo-liberalisme - negara sejahtera (yang pernah lazim di Eropa) terus dibongkar. Akibatnya adalah de-solidarisasi masyarakat. Pekerja/karyawan yang tidak dibutuhkan diberhentikan, pelayanan-pelayanan sosial dipotong. Akibatnya adalah jumlah orang tanpa pekerjaan bertambah, kemiskinan bertambah dan suasana dalam masyarakat semakin ditentukan oleh kekerasan dan ketak-pedulian sosial.
Opsi kedua sebaliknya menghidupkan kembali cita-cita negara sejahtera. Negara harus intervensi dalam pasar keuangan, ekonomi dan pekerjaan, penjaminan pekerjaan bagi semua menjadi tujuan perpolitikan, jaminan-jaminan sosial dipertahankan. Waktu kerja diperpendek supaya lebih banyak orang bisa bekerja, dalam lalulintas internasional kepentingan nasional diperhatikan dengan proteksi seperlunya. Opsi ketiga oleh Zinn disebut senario malapetaka. Massa orang tanpa pekerjaan, kemiskinan sosial, hilangnya moralitas sebagai acuan kehidupan bersama menciptakan situasi eksplosip yang membuka jalan bagi pihakpihak ekstremistik. Jelas sekali bahwa situasi abad ke-21 ini menghadapkan negara-negara dan masyarakat-masyarakat pada tantangan-tantangan yang berat, yang tidak akan bisa dipecahkan dengan cara-cara lama. Barangkali krisis perekonomian global yang pecah dari situasi di ngera induk kapitalisme, Amerika Serikat, malah akan mempermudah penyusunan kembali perekonomian. Sudah jelas bahwa motivasi untung pribadi - yang dari perhatian wajar pimpinan perusahaan terhadap kemajuan perusahaan itu berkembang menjadi kerakusan pribadi [ingat akan bonus-bonus sebesar puluhan juta yang dibayarkan kepada pimpinan bank atau perusahaan, pada saat perusahaan mereka sudah minta bantuan negara]. Tantangan itu lebih besar bagi Indonesia.
7
8
Di Indonesia, di Jakarta Untung budaya Ada keuntungan: Masyarakat Indonesia belum sebuah Arbeitsgesellschaft di mana nilai seseorang hampir 100 % ditentukan oleh pekerjaannya. Pengaruh tradisional - termasuk unsur feodal - masih sedemikian kuat sehingga orang lebih dihormati sesuai dengan kedudukan sosial (secara tradisional priai, kiai, ulama, guru, orang kaya setempat, sekarang: kekayaan, dosen, intelektual, tak perlu kerja manual, kedudukan dalam masyarakat setempat, tokoh keagamaan, dan seterusnya). Orang yang duduk-duduk dan tidak bekerja tidak langsung dianggap hina. Meskipun situasi ini pun ada masalahnya, akan tetapi perlu dipertahankan bahwa nilai manusia tidak identik dengan pekerjaannya. "Pekerjaan bukan segala-galanya". Jadi betapa pun benar pemikiran Marx tentang pekerjaan, akan tetapi manusia bukan hanya hasil pekerjaannya sendiri.
Beberapa kesimpulan Kita dapat menarik beberapa kesimpulan dari pertimbanganpertimbangan di atas.
Penciptaan tempat kerja dan kondisi-kondisi yang mendukung pembentukan tempat kerja baru harus diberi prioritas. Karena di Jakarta pun orang hanya bisa hidup kalau ia bekerja. Dan orang akan damai dan baikbaik apabila ia mempunyai pekerjaan daripadanya ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang - pada orang kecil - sama sekali tidak berlebihan. Maka proyek-proyek yang dilaksanakan harus sedapat-dapatnya labour intensive. Itu berlaku bagi semua proyek di mana tidak ada persaingan dari luar negeri.Sebuah pabrik tekstil memang harus memperhatikan situasi di pasar kerja di Vietnam, Bangladesh dan Kenia. Tetapi pekerjaan infrastruktur misalnya harus meresapkan sebanyak mungkin pekerjaan, dan mekanisasi bukan tujuan primer. Pekerjaan yang mutu hanya dapat diharapkan apabila pekerja dalam pekerjaannya merasa terdukung dalam harga dirinya. Maka upah/gaji harus mencerminkan penghargaan terhadap pekerjaan itu. Barangkali upah tidak bisa sangat tinggi, tetapi tidak boleh dibiarkan jatuh di bawah suatu minimum. Membangun industri atas dasar upah yang tak mencukupi tidak akan berhasil. Angkatan kerja mutu tidak murah, tetapi akhirnya produksi, karena mutu para pekerja, menjadi lebih murah juga. Yang paling penting: Perlu perubahan pandangan terhadap sektor informal. Bukan hanya sektor itu meresapkan dan menghidupkan jutaan manusia di Jakarta - kalau sektor itu dihapus, apa negara mau memberi makan kepada mereka? - melainkan sektor itu juga menciptakan nilai ekonomis milyardan per hari dan mampu meresapkan mereka yang di-PHKkan secara menakjubkan. Sektor informal berkembang menjadi bidang pekerjaan terpenting di Indonesia. Meskipun di jangka panjang diharapkan sektor ini dikurangi demi sektor formal, akan tetapi peralihan itu harus dijalankan dengan pelan-pelan, sesuai kondisi di lapangan. Di tingkat atas korupsi, di tingkat bawah premanisme harus diberantas. Karena perusahaan-perusahaan harus membayar begitu banyak "uang siluman" mereka tidak dapt membayar upah/gaji yang wajar. Korupsi itu sama dengan pelestarian pembayaran tenaga manusia yang tidak manusiawi. De-premanisasi itu perlu sehingga orang kecil bisa bekerja tanpa ahrus membayarkan sebagian pendapatannya kepada seorang boss. Negara harus secara besar-besaran mendukung asuransi-asuransi sosial: Asuransi kesehatan bagi semua, asuransi hari tua, asuransi tuna kerja, asuransi kecelakaan, serta harus memberi "asuransi" bahwa anak
9
10
Kita juga melihat sesuatu: Orang Indonesia suka bekerja secara rilek. Banyak tertawa. Buruh Indonesia dan orang kecil pada umumnya amat mudah puas. Ia tidak menuntut banyak. Asal ia bisa menghidupkan keluarganya, membiayai pendidikan anak-anaknya ia bersedia hidup dalam gubug. Orang Indonesia tidak mengiri, jadi bahwa ada orang yang kaya, bahkan superkaya, diterima - asal saja ia sendiri dengan kebutuhankebutuhan yang jauh lebih rendah dihormati. Yang menjadi masalah serius adalah apabila orang kecil yang bersedia hidup amat sederhana, tanpa banyak fasilitas enak, lalu bahkan digusur dari gubuknya atau dari tanah garapannya atau tempat kerjanya (di kaki lima) dirusak begitu saja. Itu yang melanggar perasaan keadilannya: Kalian yang kami izinkan hidup secara mewah dan berfoya-foya malah tidak menghormati "milik" kami yang hanya sedikit , yang kami butuhkan untuk bisa hidup. Kekerasan di Kota Jakarta Jakarta kota keras. Persaingan menguasai semua dimensi, dari mereka yang mencari tempat kerja dalam perusahaan-perusahaan dengan kantorkantor mentereng - para krag putih, - dan mereka yang mencari pekerjaan apa pun. Selalu orang harus bayar. Tidak berhati-hati bisa kena, bisa kehilangan tempat kerja. Aturan-aturan yang berlaku di pasar-pasar, di terminal-terminal, di tempat-tempat parkir dst. adalah keras. Tetapi keras atau tidak keras, biasanya orang di Jakarta bisa survive. Kalau mau, umumnya ia akan menemukan pekerjaan. Dan akan menemukan tempat tinggal dan kelompok orang dengannya ia dapat membangun hubungan. Dan tentu hubungan dengan mereka yang masih di daerah asal berjalan terus. Karena itu Jakarta juga kota harapan. Orang punya harapan. Dan karena orang di Jakarta punya harapan, mereka itu pada umumnya tidak rusuh, tidak keras - meskipun kalau ditawarkan kesempatan mereka akan ikut dengan gembira dan kadang-kadang dengan bringas. Kedamaian sosial di Jakarta relatif luar biasa baik, tentu hanya karena orang merasa masih bisa hidup di Jakarta, masih punya masa depan di Jakarta. Kalau harapan itu mati, kita akan mengalami kekerasan dalam tingkat yang jauh akan melampaui apa yang sudah kita alami.
orang berpendapatan kecil pun akan memperoleh pendidikan dasar serta pelayanan medis dasar.
Kata terakhir Sebagai rangkuman: Perlakukan buruh dan karyawan sebagai manusia, dengan pembayaran yang memungkinkan dia hidup sebagai manusia, maka Anda akan mendapat tenaga kerja yang mutu.
11
12