File 55.docx

  • Uploaded by: Plaza Khalifa
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View File 55.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 18,163
  • Pages: 83
1

BAB I. PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Desentralisasi menjadi salah satu alternatif sistem pemerintahan di berbagai

dunia pada saat ini. Tujuan utama dari desentralisasi dan otonomi daerah adalah mendekatkan pemerintah kepada konstituen sehingga layanan pemerintah dapat disampaikan dengan lebih efektif dan efisien. Desentralisasi menurut Smith (1985) merupakan pengurangan pemusatan administrasi pada suatu pusat tertentu dan pemberian kekuasaan kepada pemda, termasuk di dalamnya pendelegasian kekuasaan kepada tingkatan yang lebih rendah dalam suatu hirarki teritorial. Dengan dilaksanakannya desentralisasi, daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih cepat dan bermuara pada peningkatan daya saing ekonomi dan kesejahteraan rakyat daerah otonom diikuti dengan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Undang–Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 1 yang berbunyi : “anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang - undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam pasal ini secara eksplisit disebutkan ada dua faktor penentu bagi tercapainya kemakmuran rakyat melalui pengelolaan keuangan yang baik, yaitu terbuka atau transparan dan bertanggung jawab atau akuntabel. Hal ini sesuai dengan visi BPK untuk menjadi lembaga pemeriksa keuangan negara yang kredibel dengan menjunjung tinggi nilainilai dasar untuk berperan aktif dalam mendorong terwujudnya tata kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan. Pemerintah

daerah

diharapkan

semakin

mandiri,

mengurangi

ketergantungan terhadap pemerintah pusat, dalam masalah pembiayaan untuk pembangunan. Pembiayaan pembangunan pemerintah daerah tidak lagi sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah pusat, melainkan pemerintah daerah itu sendiri yang membiayai pembangunan di daerahnya dengan memanfaatkan Pendapatan Asli

2

Daerah (PAD). Berdasarkan postur anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) pada tahun 2016 komposisi pendapatan daerah untuk provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia masih didominasi oleh dana perimbangan yaitu sebesar Rp. 776,3 triliun pada APBN-P 2016. Dengan jumlah tersebut , untuk pertama kalinya dalam sejarah jumlah alokasi transfer ke daerah lebih besar dibandingkan belanja kementrian/lembaga (http://keuda.kemendagri.go.id). Hal ini mengindikasi masih banyaknya daerah di Indonesia yang belum mampu menyelenggarakan desentralisasi secara optimal terutama dalam memanfaatkan potensi daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerahnya. Menurut Mahmudi (2010) PAD merupakan sumber keuangan asli daerah, sehingga penting bagi pemerintah daerah untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pengelolaan PAD yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Kinerja suatu pemerintah daerah tidak hanya dinilai dari pengelolaan PAD saja Heriningsih (2013), namun juga dapat dilihat dari Kualitas hasil pemeriksaan dan penilaian terhadap pengawasan yang telah dilakukan oleh aparat pemeriksa. Hasil pemeriksaan yang mempunyai kualitas baik diharapkan mampu memberikan jaminan terhadap tata kelola pemerintahan yang transparansi dan bertanggung jawab. Fenomena yang dapat diamati dalam perkembangan sektor publik dewasa ini adalah semakin menguatnya tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan akuntabilitas publik oleh organisasi sektor publik Mardiasmo (2009). Pengawasan merupakan salah satu unsur penting dalam rangka menjawab penilaian kinerja atas tuntutan pelaksanaan akuntabilitas organisasi sektor publik terhadap terwujudnya good governance Halim (2007). Pengawasan berfungsi membantu agar sasaran yang ditetapkan organisasi dapat tercapai, serta berperan dalam mendeteksi secara dini

terjadinya

penyimpangan

pelaksanaan,

penyalahgunaan

wewenang,

pemborosan dan kebocoran Sukriah (2009). Pemeriksaan laporan keuangan adalah pengawasan yang dilakukan oleh pemeriksa/auditor independen terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut Mulyadi (2002).

3

Badan Pengawas Keuangan “ BPK RI” bertugas mengawasi/memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan baik di pemerintah daerah maupun pemerintahan pusat, atau lembaga-lembaga Negara lainnya yang mengelola keuangan negara. Seluruh pemeriksaan BPK RI dilakukan dalam rangka mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Untuk mewujudkan akuntabilitas, tidak cukup dengan akuntabilitas keuangan saja, sementara akuntabilitas kinerja pemerintah ditinggalkan, atau sebaliknya. Kedua - duanya harus diwujudkan, dengan demikian dalam pengelolaan keuangan negara, bagi entitas tidak cukup jika sudah memperoleh opini WTP dalam laporan keuangannya, karena opini WTP bukanlah segala-galanya, artinya upaya memperoleh opini WTP hendaknya seiring dengan upaya mencapai kinerja yang baik dalam pengelolaan keuangan. Idealnya upaya untuk meraih opini WTP juga dibarengi dengan upaya untuk mencapai kinerja terbaik, tidak terjadi korupsi, dan rakyatnya makin sejahtera (Badan Pemeriksa Keuangan, 2015). Berdasarkan tren perkembangan opini antara pemerintah daerah yang memperoleh opini Non-WTP dan opini WTP menunjukkan adanya perbaikan terhadap 537 LKPD Tahun 2016 tersebut, BPK memberikan 375 opini WTP (70%), 139 opini WDP (26%), dan 23 opini TMP (4%), Berdasarkan tingkat pemerintahan, opini WTP dicapai oleh 31 dari 34 pemerintah provinsi (91%), 272 dari 415 pemerintah kabupaten (66%), dan 72 dari 93 pemerintah kota (77%). Secara lengkap perkembangan opini LKPD Pemerintah Kabupaten/Kota secara nasional untuk audit LKPD tahun 2015 sampai dengan 2016 disajikan dalam grafik sebagai berikut : Perbandingan Opini atas Lkpd tahun 2015 dan 2016 400

375 313

300

194

200

139

100

31

23

4

0

0 WTP

WDP

TMP 2015

2016

TW

4

Pencapaian opini tersebut telah melampaui target kinerja keuangan daerah bidang penguatan tata kelola pemerintah daerah/ program peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 masing-masing sebesar 85%, 60%, dan 65% di tahun 2019. Dengan adanya peningkatan tersebut dapat dikatakan bahwa semakin banyak pemerintahan daerah yang telah melakukan pengakuan, pengukuran, dan penyajian laporan keuangannya sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Kabupaten/kota yang mendapatkan opini WTP memang bertambah dari tahun ke tahun, tetapi hasil pemeriksaan BPK atas 537 LKPD mengungkapkan masih terdapat 6.053 kelemahan SPI yang terdiri atas 2.156 permasalahan kelemahan sistem pengendalian akuntansi dan pelaporan, 2.657 permasalahan kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja, dan 1.240 permasalahan kelemahan struktur pengendalian intern dan juga trennya tidak diikuti dengan pencapaian skor EKPPD yang masuk dalam kategori sangat tinggi. Menurut Suaedy (2011) pemberian opini WTP terhadap laporan keuangan adalah sebuah apresiasi dari BPK terhadap instansi pemerintah yang telah melakukan pengelolaan keuangan dengan baik. Namun demikian, tidak selamanya entitas pemerintah daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian dari BPK pada tahun anggaran tertentu juga memiliki kinerja keuangan yang baik dari entitas pemerintah daerah yang memperoleh opini non-WTP. Kinerja keuangan dapat menunjukkan bagaimana kondisi keuangan pemerintah serta kemampuan pemerintah dalam memperoleh dan menggunakan dana untuk pembangunan negara. Oleh karena itu, kinerja pemerintah perlu dilakukan untuk mengukur sejauh mana kemajuan dicapai oleh pemerintah dalam menjalankan tugasnya (progress report) Mardiasmo (2006). Pengukuran kinerja merupakan komponen yang penting karena akan memberikan umpan balik atas rencana

yang

telah

diimplementasikan

Chow

(1998).

Wood

(1998)

mengungkapkan bahwa fungsi dari pengukuran kinerja dapat menjelaskan mengenai (1) evaluasi bagaimana program tersebut berjalan; (2) sarana perbandingan atas pelayanan yang diberikan; (3) alat komunikasi dengan publik.

5

Pengukuran kinerja pemerintah daerah perlu dilakukan karena adanya fakta bahwa menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam kurun 2005 - 2017 sedikitnya terdapat enam kasus suap yang melibatkan 23 auditor/pejabat/Staff BPK. Kasus-kasus itu terdiri dari tiga kasus suap untuk mendapatkan opini WTP, satu kasus suap untuk mendapatkan opini WDP, satu kasus suap untuk mengubah hasil temuan BPK, dan satu kasus suap untuk "melancarkan" proses audit BPK (Kompas.com - 31/05/2017) oleh karena itu sudah saatnya dilakukan reformasi total terhadap proses pemberian opini laporan keuangan dan pengawas atau pembanding yang bisa menilai audit BPK. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja keuangan daerah adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan. Carmeli (2003) mengungkapkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi politik, sosial, dan ekonomi. Pernyataan selaras dengan Greiling (2005) yang menyatakan bahwa salah satu kunci sukses dari pembaharuan dalam sektor publik adalah dengan melakukan pengukuran kinerja. Yang dan Hsieh (2007) mengungkapkan bahwa pengukuran kinerja merupakan bagian penting dalam melakukan reformasi pemerintah di seluruh dunia. Penelitian mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah telah dilakukan oleh Bruijn (2002) dan Greiling (2005) pada pemerintah daerah di Jerman, serta Nolan (2004) dan Chan (2004) di Amerika dan Kanada. Di Indonesia, penelitian mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah telah dilakukan oleh Hamzah (2009) yang meneliti mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah di Jawa Timur. Perhatian yang besar terhadap pengukuran kinerja disebabkan oleh opini bahwa pengukuran kinerja dapat meningkatkan efisiensi, keefektifan, penghematan dan produktifitas pada organisasi sektor publik Halacmi (2005). Penelitian yang dilakukan Mandell (1997) mengungkapkan bahwa dengan melakukan pengukuran kinerja, pemerintah daerah memperoleh informasi yang dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan sehingga akan meningkatkan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.

6

Kinerja pemerintah didefenisikan sebagai hasil dari kegiatan dan program pemerintah yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur (PP Nomor 8 Tahun 2006). Menurut Nordiawan (2010) kinerja pemerintah tidak bisa dilihat hanya dari sisi input dan output tetapi juga dari sisi outcome, manfaat dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat. Untuk menilai kinerja Pemerintah Daerah dilakukan evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selanjutnya disebut EKPPD. EKPPD merupakan penilaian kinerja berdasarkan LPPD (laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah daerah), LAKIP (laporan kinerja instansi pemerintah), informasi keuangan daerah dan laporan-laporan lainnya yang dibuat oleh pemerintah sebagai pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan (Permendagri Nomor 73 Tahun 2009). Selain EKPPD, kinerja pemerintah juga dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia yang selanjutnya disebut IPM. IPM terdiri dari beberapa komponen penilaian yaitu income per capita, tingkat kesehatan, pendidikan dan tingkat pengangguran (Badan Pusat Statistik). Penilaian kinerja pemerintah menggunakan IPM sesuai dengan penelitian Afonso (2005) dan Meurs dan Kochut (2013). Kesejahteraan masyarakat

juga dapat diukur dengan menggunakan tingkat pendapatan nasional per kapita dari aspek ekonominya untuk melihat kinerja ekonomi dari pemerintahan di daerah tersebut. Dalam suatu wilayah regional atau daerah, maka kesejahteraan masyarakat diukur melalui Produk Domestik Regional bruto (PDRB) per kapita. Pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui PDRB tersebut ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: Tanah dan Kekayaan Alam Lainnya, Jumlah dan Kualitas Dari Penduduk dan Tenaga kerja, Kapital, Tingkat Teknologi, Sistem Sosial dan Sikap Masyarakat (Wiguna, 2013). Beberapa penelitian sebelumnya mengenai kaitan opini audit dengan kinerja pemerintah diantaranya Virgasari (2009) menemukan bahwa opini audit mempunyai hubungan dan pengaruh positif signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Konsisten dengan penelitian Budianto (2012) yang menemukan bahwa opini audit berpengaruh positif terhadap kinerja pemerintah daerah. Senada dengan itu, hasil penelitian Anifa Yasmin (2016) menunjukkan bahwa opini audit tahun lalu berpengaruh positif terhadap kinerja pemerintah daerah.

7

Berbeda dengan hasil penelitian Rifka (2012) yang menemukan bahwa opini audit tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pemerintah daerah karena dalam pemberian opini audit, BPK hanya mempertimbangkan kewajaran laporan keuangan, apakah sudah sesuai dengan standar, bukan jumlah atau nominal dari data keuangan tersebut. Hasil penelitian ini didukung oleh temuan penelitian Yuni (2016) bahwa hasil pemeriksaan BPK tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pemerintah daerah karena diduga masih lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas internal pemerintah. Lain halnya dengan Roeki (2017) yang menemukan bahwa opini audit berkorelasi negatif dengan kinerja keuangan karena audit BPK lebih ditekankan pada kewajaran dan kepatuhan terhadap sistem pengendalian internal bukan pada nilai nominal laporan keuangannya. Dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan tersebut, belum memberikan hasil yang konklusif, dimana peneliti-peneliti sebelumnya mengaitkan opini audit dengan kinerja pemerintah daerah pada tahun yang sama. Sedangkan penelitian ini akan melihat perbandingan mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP dan yang memperoleh opini Non-WTP dalam aspek kinerja penyelengaraan pemerintah daerah, indeks pembangunan manusia. Penelitian ini dilakukan pada pemerintahan daerah di Pulau Sumatera pada tahun 2015 – 2016 karena beberapa alasan, Pertama Struktur ekonomi Indonesia secara spasial pada triwulan II-2016 didominasi oleh kelompok provinsi di pulau Jawa dan pulau Sumatera. Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Data BPS untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester kedua 2016 sebesar 5,18 persen dimana 80 persen di Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto, yakni sebesar 58,81 persen, diikuti oleh pulau Sumatera sebesar 22,02 persen, dan pulau Kalimantan 7,61 persen. Bedasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai ANALISIS PERBEDAAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PERIODE OPINI NON WTP DAN PERIODE OPINI WTP (Studi Pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera Tahun 2015-2016).

8

B.

Rumusan Masalah Dari uraian yang telah dikemukakan diatas maka permasalahan dalam

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah periode opini non-WTP dan periode opini WTP? 2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada indeks pembangunan manusia periode opini non-WTP dan periode opini WTP ? 3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada produk domestik regional bruto periode opini non-WTP dan periode opini WTP ?

C.

Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan

penelitiaan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah periode opini non WTP dan periode opini WTP . 2. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada Indeks Pembangunan Manusia periode opini non WTP dan periode opini WTP. 3. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada Produk Domestik Regional Bruto periode opini non WTP dan periode opini WTP.

D.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta berguna bagi berbagai pihak, antara lain: 1.

Bagi penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi semua pihak yang berkepentingan terutama dalam bidang akuntansi sektor publik dan gambaran yang dapat dijadikan pembanding antara teori yang selama ini di

9

dapat dengan pelaksanaan yang sebenarnya di lapangan. Selain itu penelitian ini berguna sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister Ilmu Akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. 2.

Bagi pemerintah Dapat digunakan sebagai bahan koreksi untuk meningkatkan kinerja keuangan dan sebagai alat, masukan, evaluasi Pemerintah daerah kabupaten di Pulau Sumatera pada khususnya.

3.

Bagi masyarakat Dapat digunakan untuk mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensi kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten dan kota di Pulau Sumatera.

4.

Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi penelitian yang akan datang serta dapat memberikan perbedaan dalam mengadakan penelitian terkait dengan analisis perbandingan kinerja keuangan antara Periode non Wtp dan Opini Wtp.

E.

SISTEMATIKA PENULISAN Penelitian ini disusun secara terperinci dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I

Pendahuluan Bab pertama berisi latar belakang, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan penelitian.

Bab II

Tinjauan Literatur dan Pengembangan Hipotesis Bab kedua berisi tinjauan teori, rerangka berpikir yang menghubungkan antar variabel penelitian, dan pengembangan hipotesis.

Bab III

Metode Penelitian Bab ketiga menguraikan tentang sumber data, populasi dan sampel penelitian, ukuran variabel, serta metode analisis data.

10

Bab VI

Hasil dan Pembahasan Bab keempat berisi data dan informasi hasil penelitian, analisis data dan pembahasannya.

Bab V

Penutup Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian, keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya.

11

BAB II. LANDASAN TEORITIS

A.

Pengertian Otonomi Daerah Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1

ayat 6, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah memiliki makna sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan di dalam negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi, dikenal adanya struktur pemerintah pusat (central government) dan daerah-daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban, wewenang dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang juga disebut dengan otonomi. Kata otonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani, Autos yang berarti sendiri dan Nomos yang berarti aturan. 1.

Landasan Hukum Otonomi Daerah Otonomi daerah sebagai perwujudan sistem penyelenggaraan pemerintah

yang berdasarkan asas desentralisasi yang diwujudkan agar otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab dilaksanakan dalam NKRI yang telah diatur dalam kerangka landasannya di dalam UUD 1945 antara lain: (i) Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. (ii) Pasal 18 yang menyatakan: “Pemerintahan daerah dibentuk atas dasar pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dasar pemusyawaratan dalam sisitem pemerintah negara dan hak-hak, asal-usul dalm daerah yang bersifat istimewa.” (Bachrul Elmi, 2002:3). Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Berdasar pada UU No.23/2014, prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :

12

1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek

demokrasi,keadilan,

pemerataan,

serta

potensi

dan

keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945 3.

Pelaksanaan

Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara

sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. 4.

Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom.

5.

Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita,

Kawasan

Pelabuhan,

Kawasan

Pertambangan,

Kawasan

Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom secara khusus dan bagi kepentingan 6.

nasional.

Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

7.

Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.

8.

Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Dari sisi sejarah perkembangannya penyelenggaraan pemerintah di daerah, telah

dikeluarkan

berbagai

aturan

perundang-undangan

yang

mengatur

penyelenggaraan pemerintahan dan UU 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah

13

yang hanya mengatur pelaksanaan asas desentralisasi ini dibuat pertama kali tahun 1948. Sejalan perlunya dilakukan reformasi di sektor publik, saat ini telah dikeluarkan juga peraturan pemrintah untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi antara lain: 1. Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. 2. Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. 3. Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi Tugas Pembantuan. 4. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. 5.

Peraturan

Pemerintah

No.

108

Tahun

2000

tentang

Tata

Cara

Pertanggungjawaban Kepala Daerah. 6. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 7. Peraturan Pemerintah No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 8. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. 2.

Maksud dan Tujuan Otonomi Daerah Menurut UUD negara Republik Indonesia tahun 1945, pemerintah daerah

berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi yang berwujud desentralisasi dan tugas pembantuan. Asas desentralisasi pemberian otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatiakn prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serat potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI. Dalam hal untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah menurut UU No, 33 Tahun 2004 melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan,

14

perlu diatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah berupa sistem keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. Ada 2 alasan yang mendasari pemberian otonomi luas dan desentralisasi (Mardiasmo, 2002) yaitu: a. Intervensi pemerintah pusat pada masa lalu yang terlalu besar telah menimbulkan masalh rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. b. Tuntutan ekonomi muncul sebagai jawaban memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa mendatang.

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung 3 misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (Mardiasmo, 2002), yaitu: 1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2. Menciptakan efisiensi dan efiktivitas pengelolaan sumber daya daerah. 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat atu publik untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. 3.

Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahn daerah seperti yang dijelaskan

pada penjelasan UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah bahwa pembangunan daerah sebagi bagian integral

15

dari pembangunan nasional dilaksankan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai sub sistem pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatakan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip ketrbukaan, partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Hakekat suatu negara dalam menyelenggarakn pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan yaitu mengemban 3 fungsi, fungsi alokasi yang meliputi sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat, fungsi distribusi meliputi pendapatan dan kekayaan masyarakat, pemerataan

pembangunan

dan

fungsi

stabilisasi

yang

meliputi

pertahanankeamanan, akonomi dan moneter. Sesuai dengan ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 bahwa ada urusan pemerintahan yang menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, urusan tersebut meliputi politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter, yustisi dan agama, urusan tertentu pemerintah yang berskala nasional yang tidak diserahkan kepada daerah. Keserasian hubungan yang disebut juga pengelolaan bagian urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemrintah yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperlihatkan cakupan kemanfaatannya. Urusan yang menjadi kewenangan daerah ada 2 urusan yaitu : a) Urusan wajib adalah suatu urusan pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasrana lingkungan dasar, b) Urusan pilihan adalah urusan pemerintah daerah yang bersifat berkaitan dengan potensi daerah dan kekhasan daerah. Dalam pelaksanaannya tidak semua urusan

16

pemerintah dapat diserahkan kepada daerah. Pemerintah pusat berat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintah di daerah yang masih menjadi wewenang dan tanggung jawabnya itu atas dasar asas dekonsentrasi mengingat terbatasnya kemampuan aparatur pemerintah pusat. Maka dari itu urusan pemerintah daerah dapat dilakukan menurut asas tugas pembantuan yang pada dasrnya merupakn keikutsertaan daerah atas penugasan dari pemerintah pusat atau daerah dalam melaksanakan urusan pemerintah di bidang tertentu. Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dengan daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada yang diserahkan kepada provinsi, dan ada yang diserahkan kepada kabupaten kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten kota maka, disusunlah tiga kriteria dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan yang meliputi (Baban Sobandi et. Al, 2006:104-105): a. Kriteria Eksternalitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahn dengan

mempertimbangkan

dampak

akibat

yang

ditimbulkan

dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemrintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten kota. Apabila dampaknya regional, maka menjadi kewenangan provinsi dan apabila dampaknya nasional, maka menjadi kewenangan pemerintah. b. Kriteria Akuntabilitas ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani suatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung dekat dengan dampak akibat urusan

yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas

penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. c. Kriteria Efisiensi ialah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, daya, peralatan)

17

untuk mendapatakan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalm penyelenggaraan bagian urusan. Untuk itu pembagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahn tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakn oleh masyarakt dan besar kecilnya resiko yang dihadapi.

B.

Keuangan Daerah

1.

Pengertian Keuangan Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005,

tentang Pengelolaan keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Menurut Halim (2007) menyatakan bahwa “Keuangan Daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku”

C.

Pengelolaan Keuangan Daerah

1.

Pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah Abdul Halim (2012) mengemukakan bahwa, pengelolaan keuangan daerah

terdiri atas pengurusan umum dan pengurusan khusus. Pengurusan umum berkaitan dengan APBD, sedangkan pengurusan khusus berkaitan dengan barang inventaris daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah akan terlaksana secara optimal jika penyelenggaraan urusan pemerintah diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu pada undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menyatakan tentang

18

Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 39 Ayat 2 disebutkan bahwa penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 menyebutkan bahwa untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan efektifitas anggaran, maka dalam perencanaan anggaran perlu diperhatikan (1) penetapan secara jelas tujuan dan sasaran, hasil dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai; (2) penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional. 2.

Indikator Pengelolaan Keuangan Daerah Chabib Soleh dan Rohcmansjah Heru (2010:10), prinsip-prinsip pengelolaan

keuangan yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah meliputi: 1. Akuntabilitas Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai dengan mandat atau amanah yang diterimanya. Untuk itu, baik dalam proses perumusan kebijakan, cara untuk mencapai keberhasilan atas kebijakan yang telah dirumuskan berikut hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal kepada masyarakat. Kerugian Daerah Berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga dan barang,yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. 2. Value for Money Indikasi keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan serta adanya hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta

antar

daerah.

Keadilan tersebuthanya akan tercapai apabila penyelenggaraan pemerintahan daerah dikelola dengan memperhatikan konsep value for mencakup: a. Ketidakhematan

money,

yang

19

Temuan mengenai ketidakhematan mengungkap adanya penggunaan input dengan harga atau kuantitas/kualitas yang lebih tinggi dari standar, kuantitas/kualitas yang melebihi kebutuhan, dan harga yang lebih mahal dibandingkan denganpengadaan serupa pada waktu yang sama. b. Ketidakefektifan Temuan mengenai ketidakefektifan berorientasi pada pencapaian hasil (outcome) yaitu temuan yang mengungkapkan adanya kegiatan yang tidakmemberikan manfaat atau hasil yang direncanakan serta fungsi instansi yang tidak optimal sehingga tujuan organisasi tidak tercapai. 3. Kejujuran dalam Mengelola Keuangan Publik (Probity) Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan, yang mencakup Potensi kerugian daerah adalah suatu perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian di masa yang akan datang berupa

berkurangnya

uang,

surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya. 4. Transparansi Transparansi adalah keterbukaan pemerintah daerah dalam membuat kebijkankebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintah daerah yang bersih,efektif, efisien, akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat, yang mencakup temuan administrasi mengungkap adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan aset, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian daerah atau potensi kerugian daerah, tidak mengurangi hak daerah (kekurangan penerimaan). Tidak menghambat program entitas, dan tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana. 5. Pengendalian

20

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) harus sering dievaluasi yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap pendapatan dan belanja daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians untuk kemudian dilakukan tindakan antisipasi ke depan. 3.

Tujuan Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa tujuan pokok dari penyusunan keuangan daerah : a. Memberdayakan dan meningkatkan perekonomian daerah. b. Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggungjawab, dan pasti. c. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang mencerminkan pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mendukung otonomi daerah penyelenggaraan pemerintah daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggungjawaban dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung jawab otonominya, dan memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah yang bersangkutan. d.

Menciptakan acuan dalam alokasi penerimaan negara dari daerah.

e.

Menjadikan pedoman pokok tentang keuangan daerah. Abdul Halim (2004) mengemukakan bahwa tujuan dari pengelolaan keuangan daerah meliputi: 1. Tanggung jawab 2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan 3. Kejujuran 4. Hasil guna dan kegiatan bunga 5. Pengendalian

21

4.

Sumber-Sumber Keuangan Daerah Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU No.33 Tahun 2004 Pasal

157, meliputi: a. Pendapatan Asli Daerah 1. Hasil Pajak Daerah. 2. Hasil Retribusi Daerah. 3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan. 4. Lain-Lain PAD Yang Sah. b. Dana Perimbangan 1. Dana Bagi Hasil. 2. Dana Alokasi Umum. 3. Dana Alokasi Khusus. c. Pinjaman Daerah 1. Pemerintah. 2. Pemerintahan Daerah. 3. Lembaga Keuangan Bank. 4. Lembaga Bukan Keuangan Bank. 5. Masyarakat. d. Lain-Lain Penerimaan Daerah 1. Hibah 2. Dana Darurat Adapun teori yang menghubungkan dalam penelitian ini yaitu menurut Abdul Halim (2012) yang menyatakan bahwa, pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah merupakan sesuatu yang penting untuk mendapatkan kepastian mengenai keberhasilan atau ketepatan suatu kegiatan pengelolaan keuangan daerah dalam

mencapai

tujuan

dan

sasaran

yang

telah

ditetapkan.

Proses

pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah dapat dilakukan melalui pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh unit-unit pengawasan yang ada.

22

D.

Laporan Keuangan

1.

Definisi Laporan Keuangan Pengertian laporan keuangan menurut pernyataan Standar Akuntansi

Keuangan No.1 revisi 2009 adalah: “Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas yang bertujuan memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi.” Sedangkan, laporan keuangan menurut pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah No.1 tahun 2005 adalah: “Laporan keuangan merupakan laporan yang terstruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi – transaksi yang di lakukan suatu entitas pelaporan yang bertujuan untuk menyajikan informasi mengenai posisi keuangan, realisasi anggaran, arus kas, dan kinerja keuangan suatu entitas pelaporan yang bermanfaat bagi pengguna dalam membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya.” 2.

Tujuan Laporan Keuangan Mardiasmo (2002), tujuan umum laporan keuangan bagi organisasi

pemerintahan adalah: 1.

Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengeloloaan (stewarship).

2.

Untuk mernberikan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional. Secara spesifik, tujuan pelaporan keuangan pemerintah adalah untuk menyajikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan dan untuk menunjukkan akuntabilitas entitas pelaporan sumber daya yang dipercayakan kepadanya, dengan: 1. Menyediakan informasi mengenai posisi sumber daya ekonomi, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah. 2. Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi sumber daya ekonomi, kewajiban dan ekuitas dana pemerintah.

23

3. Menyediakan informasi mengenai sumber, alokasi, dan penggunaan sumber daya ekonomi. 4.

Menyediakan

informasi

mengenai

ketaatan

realisasi

terhadap

anggarannya. 5. Menyediakan informasi mengenai cara entitas pelaporan mendanai aktivitasnya dan memenuhi kebutuhan kasnya. 6. Menyediakan informasi mengenai potensi pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. 7. Menyediakan informasi yang berguna untuk mengevaluasi kemampuan entitas pelaporan dalam mendanai aktivitasnya. 3.

Komponen-Komponen Laporan Keuangan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi

Pemerintahan, komponen-komponen yang terdapat dalam suatu laporan keuangan pokok adalah : 1. Laporan Realisasi Anggaran mengungkapkan kegiatan keuangan pemerintah pusat/daerah yang menunjukkan ketaatan terhadap APBN/APBD. Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, aplikasi dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah dalam satu periode pelaporan. Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan unsur yang dicakup dalam Laporan Realisasi Anggaran terdiri dari : a.

Pendapatan adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak Pemda, dan tidak perlu dibayar kembali oleh Pemda.

b.

Belanja adalah semua pengeluaran kas daerah yang mengurangi ekuitas dana dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan, dan tidak akan diperoleh kembali pembayarannya oleh Pemda.

c.

Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya,

24

yang dalam penganggaran Pemda terutama dimaksudkan untuk menutupi defisit atau memanfaatkan surplus anggaran. 2.

Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut : a. Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemda sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh. b. Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemberdayaan daerah. c. Ekuitas dana adalah kekayaan bersih Pemda yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban Pemda.

3.

Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan atau daftar terinci atau analisis atau nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas. Catatan atas laporan keuangan juga mencakup informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan di dalam standar akuntansi pemerintahan serta ungkapanungkapan yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar. Catatan atas laporan keuangan disajikan secara sistematis. Setiap pos dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas harus memiliki referensi silang dengan informasi terkait dalam catatan atas laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan terdiri dari hal-hal sebagai berikut : a. Menyajikan informasi tentang ekonomi makro, kebijakan fiskal dan pencapaian target Perda APBD, serta kendala yang dihadapi dalam pencapaian target. b. Menyajikan ikhtisar pencapaian kinerja selama tahun pelaporan.

25

c. Menyajikan informasi tentang dasar penyusunan laporan keuangan dan kebijakan-kebijakan akuntansi yang dipilih untuk diterapkan atas transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian penting lainnya. d. Menyediakan informasi tambahan yang diperlukan untuk penyajian yang wajar, yang tidak disajikan dalam lembar muka laporan keuangan.

E.

Kinerja Keuangan Daerah

1.

Pengertian Kinerja John Witmore dalam Rusydi (2010) menyatakan bahwa kinerja adalah

pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Mahsun (2006) menyatakan bahwa kinerja adalah gambaran mengenai tingkat

pencapaian

pelaksanaan

suatu

kegiatan/program/kebijakan

dalam

mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. 2.

Pengukuran Kinerja Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam

mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Penggunaan analisis rasio pada sektor publik belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap laporan keuangan daerah perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam laporan keuangan daerah

26

3.

Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu system yang

bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. (Mardiasmo, 2005). Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terusmenerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang. (Dora Detisa:2008) 4.

Tolok Ukur Kinerja keuangan Rahardjo (2011), Tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan yang

dicapai pada setiap program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja digunakan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, terutama untuk menilai kewajaran anggaran biaya suatu program atau kegiatan. Tolok ukur kinerja mencakup dua hal yaitu unsur keberhasilan yang terukur dan tingkat pencapaian setiap unsur keberhasilan. Setiap program atau kegiatan minimal mempunyai satu unsur keberhasilan dan tingkat pencapaiannya (target kinerja) yang digunakan sebagai tolok ukur kinerja. Program atau kegiatan tertentu dapat diukur berdasarkan lebih dari satu unsur ukuran keberhasilan. Untuk menentukan apakah suatu perusahaan sehat atau tidak dari sisi keuangan dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu : 1.

Metode Lintas Waktu ( Time Series) Metode ini merupakan metode tolok ukur analisis laporan keuangan yang dilakukan dengan cara membandingkan suatu rasio keuangan perusahaan dari

2.

satu periode tertentu dengan periode sebelumnya.

Metode Lintas Seksi/Industri ( Cross Section) Metode ini merupakan metode tolok ukur yang digunakan menentukan sehat tidaknya posisi keuangan perusahaan yang dilakukan dengan cara membandingkan rasio keuangan suatu perusahaan pada periode tertentu dengan rasio keuangan rata-rata industrinya yang bersangkutan.

27

5.

Jenis Indikator Kinerja Pemerintah Daerah Mohamad Mahsun (2006:77), Indikator kinerja Pemerintah Daerah

terdapat beberapa jenis yaitu : 1.

Indikator masukan (Input), adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Misalnya: a. Jumlah dana yang dibutuhkan. b. Jumlah pegawai yang dibutuhkan. c. Jumlah infrastruktur yang ada. d. Jumlah waktu yang digunakan.

2.

Indikator proses (Process). Dalam indikator ini, organisasi/ instansi merumuskan ukuran kegiatan, baik dari segi kecepatan, ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan tersebut. Rambu yang paling dominan dalam proses adalah tingkat efisiensi dan ekonomis pelaksanaan kegiatan organisasi/ instansi. Misalnya : a. Ketaatan pada peraturan perundangan. b. Rata-rata yang diperlukan untuk memproduksi atau menghasilkan layanan jasa

3.

Indikator keluaran (Output), adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau non-fisik. Indikator ini digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari suatu kegiatan, Misalnya hasil dari studi survey.

4.

Indikator

hasil

(Outcomes),

segala

sesuatu

yang

mencerminkan

berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Outcome menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil lebih tinggi yang mungkin mencakup kepentingan banyak pihak. Dengan indikator ini, organisasi/ instansi akan dapat mengetahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentuk output memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan yang besar bagi masyarakat banyak. 5.

Indikator dampak (Impact), pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif. Misalnya:

28

a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Peningkatan pendapatan masyarakat.

a).

Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Evaluasi

Kinerja

Penyelenggaraan

Pemerintahan

Daerah

Sistem

pengukuran kinerja adalah sistem yang digunakan untuk mengukur, menilai dan membandingkan

secara

sistematis

dan

berkesinambungan

atas

kinerja

penyelenggaraan pemerintah daerah. Di dalam Pasal 5 Permendagri No.73/2009, Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah digunakan sebagai sumber informasi utama EKPPD yang difokuskan pada informasi capaian kinerja pada tataran pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan (Noviando, 2015). Menurut Mardiasmo (2002) pengukuran kinerja berfungsi untuk (1) memperbaiki kinerja pemerintah agar dapat berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas sektor publik dalam memberikan layanan kepada masyarakat; (2) ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuat keputusan; (3) untuk mewujudkan tanggung jawab publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Dengan adanya pengukuran, analisis dan evaluasi terhadap kinerja, pemerintah daerah dapat segera menentukan berbagai cara untuk mempertahankan atau meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan dan sekaligus memberikan informasi obyektif kepada publik mengenai pencapian atau hasil yang diperoleh. Jadi dapat dikatakan pengukuran kinerja penting untuk dilakukan karena berpengaruh terhadap publik. Kinerja tata kelola Pemda yang dituangkan dalam LPPD memerlukan adanya evaluasi yang disebut dengan Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD) yang teknisnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 73 Tahun 2009. Selain LPPD, informasi pelengkap untuk EKPPD ini antara lain laporan pertanggungjawaban APBN, informasi keuangan daerah dan laporan kinerja instansi pemerintah daerah. Hasil dari EKPPD tersebut berupa Laporan Hasil Evaluasi Pemeringkatan Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Sedyaningsih dan Zaky, 2015)

29

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa salah satu evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah berupa Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EKPPD). EKPPD adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Hasil EKPPD tahunan digunakan Pemerintah sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. EKPPD dilakukan untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah dalam rangka upaya perubahan kinerja berdasarkan prinsip tata kepemerintahan

yang

baik

(good

governance).

Dengan

ditingkatkanya

akuntabilitas oleh pemerintah daerah, maka informasi yang diterima oleh masyarakat menjadi lebih berimbang terhadap pemerintah daerah. Pengawasan dari semua pihak terhadap jalannya pemerintahan diharapkan akan meningkatkan kinerja dari pemerintah daerah. 1.

Maksud Dan Tujuan EKPPD 1. Untuk mengetahui keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam memanfaatkan hak yang diperoleh daerah dengan capaian keluaran dan hasil yang telah direncanakan. 2. Sebagai umpan balik dan rekomendasi bagi daerah untuk mendorong perubahan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. 3. Sebagai dasar pemerintah melakukan pembinaan dalam rangka perubahan kapasitas daerah, sebagaimana Perpres No. 59 Tahun 2012 Tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah.

b).

Indeks Pembangunan Daerah (IPM) Indikator pembangunan manusia merupakan salah satu alat ukur yang dapat

digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia, baik dari sisi dampaknya terhadap kondisi fisik manusia (kesehatan dan kesejahteraan) maupun 29 yang bersifat non-fisik (intelektualitas). Pembangunan yang berdampak pada kondisi fisik masyarakat tercermin dalam angka harapan hidup serta kemampuan daya beli,

30

sedangkan dampak non-fisik dilihat dari kualitas pendidikan masyarakat. Indeks pembangunan manusia merupakan indikator strategis yang banyak digunakan untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan secara menyeluruh di suatu wilayah. Stewart dalam teorinya Stewart’s Ladder of Accountability juga mengemukakan bahwa untuk menjadi akuntabel perlu melewati langkah-langkah dimana langkah yang pertama adalah probity dan legality. Probity diharapkan dapat dipenuhi dari audit laporan keuangan. IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak. Pada pelaksanaan perencanaan pembangunan, IPM juga berfungsi dalam memberikan tuntunan dalam menentukan prioritas perumusan kebijakan dan penentuan program pembangunan. Hal ini juga merupakan tuntunan dalam mengalokasikan anggaran yang sesuai dengan kebijakan umum yang telah ditentukan oleh pembuat kebijakan dan pengambil keputusan. Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (”a process of enlarging peoples’s choices”). Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus pembangunan 30 suatu negara adalah manusia sebagai aset negara yang sangat berharga. Definisi pembangunan manusia tersebut pada dasarnya mencakup dimensi pembangunan yang sangat luas. Definisi ini lebih luas dari definisi pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Dalam konsep pembangunan manusia, pembangunan seharusnya dianalisis serta dipahami dari sisi manusianya, bukan hanya dari sisi pertumbuhan ekonominya. Sebagaimana laporan UNDP (1995), dasar pemikiran konsep pembangunan manusia meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a. Pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian; b. Pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus berpusat pada penduduk secara komprehensif dan bukan hanya pada aspek ekonomi semata;

31

c. Pembangunan manusia memperhatikan bukan hanya pada upaya meningkatkan kemampuan/kapasitas manusia, tetapi juga pada upayaupaya memanfaatkan kemampuan/kapasitas manusia tersebut secara optimal; d. Pembangunan manusia didukung empat pilar pokok, yaitu: produktifitas, pemerataan, kesinambungan dan pemberdayaan; e. Pembangunan

manusia

menjadi

dasar

dalam

penentuan

tujuan

pembangunan dan dalam menganalisis pilihan-pilihan untuk mencapainya. Konsep pembangunan manusia yang diprakarsai dan ditunjang oleh UNDP ini mengembangkan suatu indikator yang dapat menggambarkan perkembangan pembangunan manusia secara terukur dan representatif, yang dinamakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) c).

Produk Domestik Regional Bruto PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh

berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam periode (Hadi Sasana, 2006). PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah mengelola sumber saya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi Daerah tersebut. Adanya keterbatasan dalam penyediaan faktorfaktor tersebut menyebabkan besaran PDRB bervariasi antar daerah. Di dalam perekonomian suatu negara, masing-masing sektor tergantung pada sektor yang lain, satu dengan yang lain saling memerlukan baik dalam tenaga, bahan mentah maupun hasil akhirnya. Sektor industri memerlukan bahan mentah dari sektor pertanian dan pertambangan, hasil sektor industri dibutuhkan oleh sektor pertanian dan jasa-jasa. Cara perhitungan PDRB dapat diperoleh melalui tiga pendekatan yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut : 1.

Menurut Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa

akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya dikelompokkan 27 menjadi 9 sektor atau lapangan usaha yaitu; Pertanian,

32

Pertambangan dan Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas dan Air Bersih, Bangunan, Perdagangan, Hotel dan Restoran, Pengangkutan dan Komunikasi, Jasa Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, Jasa-jasa. 2.

Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB adalah penjumlahan semua

komponen permintaan akhir yaitu: a) Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung. b) Konsumsi pemerintah. c) Pembentukan modal tetap domestik bruto. d) Perubahan stok. e) Ekspor netto. 3.

Menurut pendekatan pendapatan PDRB merupakan jumlah balas jasa yang

diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa rumah, bunga modal dan keuntungan. Semua hitungan tersebut sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak lainnya. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah, atau merupakan jumlah seluruh nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi di suatu wilayah. Menurut BPS Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku digunakan untuk menunjukkan besarnya struktur perekonomian dan peranan sektor ekonomi. Kuncoro (2001) menyatakan bahwa pendekatan pembangunan tradisional lebih dimaknai sebagai pembangunan yang lebih memfokuskan pada peningkatan PDRB suatu provinsi, Kabupaten, atau kota. Sedangkan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan angka PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Saat ini umumnya PDRB baru dihitung berdasarkan dua pendekatan, yaitu dari sisi sektoral / lapangan usaha dan dari sisi penggunaan. Selanjutnya PDRB juga dihitung berdasarkan harga berlaku dan harga konstan. Total PDRB menunjukkan jumlah seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh penduduk dalam periode tertentu.

33

F.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

1.

Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagaimanadijelaskan

dalam UU no.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dinyatakan dalam pasal 1 butir (17): “ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.”

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan dasar pengelolaaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini berarti bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dari semua itu, pemungutan semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi dasar bagi kegiatan

pengendalian,

pemeriksaan

dan

pengawasan

keuangan

daerah

(Bratakusumah dan Solihin, 2002:209). Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005, pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan satu kesatuan yang terdiri atas Pendapatan Daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan. Yang dimaksud dengan satu kesatuan dalam hal ini adalah bahwa dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber- sumber pembiayaannya (Bratakusumah dan Solihin, 2002:212).

34

a.

Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi PAD, Dana Perimbangan dan Lain Pendapatan yang sah. Jenis pendapatan meliputi Pajak Daerah, Retribusi, DAU dan DAK.

b.

Belanja Daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Yang dimaksud belanja menurut organisasi adalah suatu kesatuan pengguna anggaran serperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya pendidikan, kesehatan, dan fungsifungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan.

c.

Pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan Penerimaan Daerah antara lain seperti sisa lebih

perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi

serta

penerimaan dan penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber

pembiayaan

yang merupakan pengeluaran antara lain seperti pembayaran

huytang pokok. Dalam rangka mengelola keuangan, daerah dapat membentuk dana cadangan

yang bersumber dari pemerintah daerah guna

membiayai kebutuhan tertentu. Dana cadangan dapat disediakan dari sisa anggaran tahun lalu/sumber pendapatan daerah. Dana cadangan dibentuk

dan

diadministrasikan

secraterbukti

tidak

dirahasiakan,

disimpan dalam bentuk kas atau yang mudah diuangkan dan semua transaksi harus dicantumkan dalam APBD. Menurut PERMENDAGRI No. 13 Tahun 2006, APBD mempunyai 6 fungsi utama, yaitu: 1.

Fungsi Otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan bersangkutan.

pendapatan

dan

belanja

pada

tahun

yang

35

2.

Fungsi Perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.

3.

Fungsi Pengawasan, mengandung arti bahwa anggran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

4.

Fungsi Alokasi, mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk mengurangi penganggaran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efiktivitas perekonomian.

5.

Fungsi Distribusi, mengandung arti bahwa kebutuhan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.

6.

Fungsi Stabilisasi, menandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

2.

Analisis Rasio Keuangan Berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)

Abdul Halim (2012) Menyatakan bahwa salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis keuangan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang telah ditetapkan dan dilaksanakanya. a)

Derajat Desentralisasi Fiskal Menurut Ihyaul Ulum (2009), derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah

pusat dan daerah pada umumnya ditunjukkan oleh variabel-variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), Rasio Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak untuk daerah (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) dan Rasio Sumbangan Bantuan Daerah (SBD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). b)

Rasio Efektivitas PAD Menurut

Ihyaul

Ulum

(2009),

rasio

efektivitas

menggambarkan

kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan

36

dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah c)

Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio) Menurut Ihyaul Ulum (2009), rasio pertumbuhan (growth Ratio) mengukur

seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari satu periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya pertumbuhan untuk masing-masing komponen pendapatan dan pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu mendapatkan perhatian. Mengacu pada PP No. 71 Tahun 2010 dan PP No. 58 Tahun 2005 maka perhitungan rasio pertumbuhan dapat disesuaikan dengan mengganti belanja rutin dan belanja pembangunan menjadi belanja operasi dan belanja modal. d)

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio kemandirian keuangan daerah atau yang sering disebut sebagai

otonomi fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio ini juga menggambarkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio ini, maka tingkat ketergantungan daerah terhadap pihak eksternal semakin rendah, begitu pula sebaliknya (Soleh, 2010). e)

Rasio Aktivitas/Keserasian Menurut Abdul Halim (2012), Rasio Aktivitas/Keserasian terdiri dari Rasio

Belanja tidak Langsung terhadap APBD dan Rasio Belanja Langsung terhadap APBD.Rasio keserasian ini melihat Keserasian antara rasio belanja tidak langsung dan Rasio belanja Langsung. Rasio ini Menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja tidak langsung dan belanja langsung secara optimal. Semakin tinggi persentase dana yang dialokasikan untuk belanja tidak langsung berarti persentase belanja langsung yang digunakan untuk menyediakan sarana dan prasarana ekonomi masyarakat cendrung semakin kecil.

37

f)

Rasio Likuiditas Rasio lancar merupakan ukuran standar untuk menilai kesehatan keuangan

organisasi. Rasio lancar menggambarkan kemampuan pemerintah pusat untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya (Mahmudi, 2006). Nilai standar rasio lancar dianggap aman adalah 2:1 dan nilai minimalnya adalah 1:1. Mahmudi (2006) menyatakan bahwa “jika nilai rasio lancar kurang dari 1:1 maka keuangan organisasi tidak lancar “. g).

Rasio Solvabilitas Rasio solvabilitas merupakan perbandingan antara jumlah aset pemerintah

pusat terhadap total kewajiban yang dimiliki pemerintah pusat. Rasio solvabilitas meenggambarkan kemampuan pemerintah pusat untuk membayar seluruh kewajiban yang dimiliki pemerintah pusat, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Mahmudi (2006) menyatakan bahwa “nilai minimal rasio solvabilitas dianggap aman adalah 1:1”.

G.

Opini Audit Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, disebutkan bahwa terdapat empat (4) jenis opini audit yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah (LKP). Masing-masing opini tersebut sebagai berikut: a. Opini Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion) Opini wajar tanpa pengecualian (Unqualified Opinion) adalah opini yang menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Mahmudi (2006) menjelaskan bahwa “opini yang paling baik adalah wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)”. Opini wajar tanpa pengecualian diberikan karena auditor meyakini bahwa laporan keuangan telah bebas dari kesalahan-kesalahan atau kekeliruan yang material. Keyakinan auditor tersebut berdasarkan bukti-bukti audit yang dikumpulkan. b. Opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

38

Opini wajar dengan pengecualian menunjukan bahwa sebagian besar pos dalam laporan keuangan, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tersebut telah disajikan secara wajar terbebas dari salah saji mateerial dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan atau untuk pos-pos tertentu disajikan secara tidak wajar. c. Opini Tidak Wajar (Adverse Opinion) Opini tidak wajar adalah opini yang menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Keadaan seperti

H.

Penelitian Terdahulu Berdasarkan kajian teori sebelumnya, maka berikut akan dikemukakan

penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan penelitian ini : a.

Rifka Amalia Mirza (2012), dalam penelitiannya yang berjudul “analsis kinerja keuangan pemerintah pusat tahun 2005 sampai tahun 2010” menemukan bahwa Berdasarkan pengujian data dan analisis hasil penelitian, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa kinerja keuangan pemerintah pusat sebelum dan sesudah periode opini audit qualified tidak mengalami perbedaan (sama). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa opini audit yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tidak berhubungan dengan kinerja keuangan pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan negara.

b.

Rini, Adhariani Sarah (2014), dalam penelitiannya yang berjudul “ Opini audit

dan pengungkapan atas laporan keuangan pemerintah kabupaten serta kaitannya dengan korupsi diindonesia” Penelitian ini memeriksa keterkaitan antara kualitas pelaporan keuangan daerah yang diproksikan dengan opini audit dan pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) kabupaten, serta tingkat korupsi di Indonesia. Penelitian ini bersifat kualitatif

39

deskriptif dan menggunakan metode analisis isi (konten) untuk mengolah data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas pelaporan laporan keuangan semakin meningkat yang ditunjukkan dengan membaiknya opini audit atas LKPD Kabupaten di Indonesia. Temuan kedua menunjukkan tidak terdapat kaitan antara pengungkapan laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten dengan opini yang diberikan oleh BPK. Temuan ketiga memperlihatkan perkembangan kasus korupsi di Indonesia semakin bertambah. Temuan keempat, pengungkapan laporan keuangan daerah kabupaten dan opini audit memiliki keterkaitan dengan tingkat korupsi di Indonesia. c.

Rosmiaty, Tarmizi Khairudin, Ayu Jayadi (2014), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis kinerja keuangan pemerintah daerah kota bandar lampung sebelum dan setelah memperoleh opini wtp” Berdasarkan hasil analisis kinerja keuangan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung tahun anggaran 2008 - 2012, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung setelah Opini WTP berbeda dengan sebelum Opini WTP yang artinya Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung setelah Opini WTP lebih baik sebelum Opini WTP.

d.

Yuni Wulan Dary, M.Rizal Yahya (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “

Analisis perbedaan kinerja keuangan pendapatan asli daerah periode opini non WTP dan WTP” Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Secara keseluruhan dari indikator kinerja keuangan PAD, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja keuanganPAD periode opini non WTP tidak berbeda dengan kinerja keuangan PAD periode opini WTP pada kabupaten/kota di Provinsi Aceh. e.

Anifa Yasmin (2016), dalam penelitiannya yang berjudul “Perbandingan kinerja pemerintah kabupaten/kota yang memperoleh opini wtp dan non wtp “ menemukan bahwa adanya perbedaan kinerja pemerintah kabupaten/kota yang memperoleh opini WTP dan Non WTP. Implikasi penelitian yang dapat digunakan yaitu temuan ini dapat dijadikan pertimbangan bagi para

40

stakeholder untuk tidak mengabaikan hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, pertumbuhan produk domestik regional bruto yang merupakan salah satu komponen perhitungan produk domestik bruto nasional, dan opini audit dalam pengambilan keputusan, agar kabupaten/kota di Indonesia menjadi daerah yang benar-benar berkualitas, baik secara pengelolaan keuangannya, penyelenggaraan pemerintahannya, pertumbuhan ekonominya, maupun juga secara kehandalan informasi yang terkandung dalam suatu laporan keuangan. f.

Roeki Hakiki (2017), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis perbandingan kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota dengan opini wajar tanpa pengecualian (wtp) dan non Wtp berbasis value for money di provinsi Lampung tahun 2011-2015” menemukan bahwa penelitian menganalisis Kinerja keuangan pemerintah daerah diukur dengan basis value for money yaitu rasio ekonomi, rasio efisiensi dan rasio efektivitas penerimaan PAD yang diperbandingkan antara pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP dan non WTP yang diperoleh melalui Laporan keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang telah di audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan BPK. Pengujian hipotesis menggunakan uji beda independent t- test. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan kinerja keuangan kriteria ekonomis dan efisiensi antara pemerintah daerah kota/ kabupaten yang memperoleh opini WTP dan non WTP. Dan terdapat perbedaan kinerja keuangan kriteria efektivitas antara pemerintah daerah kota/ kabupaten yang memperoleh opini WTP dan non WTP.

I.

Kerangka Pemikiran Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan di atas, serta penelitian

terdahulu mengenai analisis perbandingan kinerja keuangan pada periode non wtp dan wtp, maka penulis mencoba mengembangkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini yang digambarkan dengan bagan sebagai berikut:

41

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Laporan Kinerja Pemerintah kabupaten dan Kota di Pulau Sumatera tahun 2015-2016 (sudah di publikasikan di BPS)

Analisis Kinerja laporan keuangan pemerintah daerah

evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah

Indeks Pembangunan Manusia

Produk domestik regional bruto

Nilai kinerja pemerintah daerah kabupaten dan kota propinsi di Pulau Sumatera tahun 2015-2016

Nilai Kinerja kabupaten/ kota dengan opini non WTP 1. evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah 2. Indeks Pembangunan Manusia 3. Produk domestik regional bruto

J.

Uji Beda

Nilai Kinerja kabupaten/ kota dengan opini WTP 1. evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah 2. Indeks Pembangunan Manusia 3. Produk domestik regional bruto

Hipotesis Penelitian Berdasarkan tujuan, landasan teori serta kerangka pemikiran penelitian

maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

42

1.

Terdapat perbedaan antara kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah periode opini non WTP dan periode opini WTP Bastian (2006) medefinisikan kinerja sebagai prestasi yang dicapai oleh

organisasi dalam periode tertentu. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, baik oleh pribadi maupun organisasi (Hamzah, 2008). Kinerja penyelenggaraan pemerintahan salah satunya dapat diukur dengan melihat skor EKPPD. Sedangkan kinerja pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangannya tercermin pada laporan keuangan daerah. Opini yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan merupakan cermin bagi kualitas akuntabilitas keuangan atas pelaksanaan APBD. Dengan didapatkannya opini wajar tanpa pengecualian terhadap suatu kabupaten/kota, diharapkan kinerja pemerintah daerah, dilihat dari pertumbuhan

pembangunan,

penyelenggaraan

pemerintahan,

pengelolaan

keuangan dan pelayanan dasar kepada masyarakat di kabupaten/kota tersebut juga telah lebih baik daripada kabupaten/kota yang belum menerima opini wajar tanpa pengecualian. Khairudin (2013) menemukan bahwa kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Indonesia yang beropini WTP lebih baik dan berbeda secara signifikan dibandingkan dengan kinerja keuangan Pemerintah Daerah yang beropini Non WTP. Budianto (2012) juga menjelaskan bahwa pada Pemerintah Daerah yang memiliki rata-rata opini audit yang rendah (TMP dan TW) kecendrungannya memiliki skor kinerja yang rendah dibandingkan dengan Pemerintah Daerah yang memiliki rata-rata opini audit yang tinggi (WTP dan WDP). EKPPD menunjukkan sebaik apa pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahannya sedangkan opini audit menunjukkan kepercayaan publik terhadap kredibilitas dan kehandalan pemerintah dalam mengelola keuangannya. Jika pengelolaan keuangan suatu daerah sudah baik, diharapkan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut juga baik, yang mengindikasikan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah tersebut. H1

: Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintah daerah periode opini non-WTP dan periode opini WTP dalam aspek evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah.

43

2.

Terdapat perbedaan antara kinerja Indeks Pembangunan Manusia Pemerintah Daerah periode opini non WTP dan periode opini WTP Masyarakat madani mencerminkan suatu masyarakat yang sejahtera dan

berkeadilan. Beberapa parameter masyarakat madani adalah tingkat pembangunan manusia, tingkat pengetahuan masyarakat, tingkat angka harapan hidup, dan tingkat kesejahteraan. Masyarakat madani memiliki perspektif yang lebih baik dalam melihat pemerintahannya sehingga dapat menciptakan fungsi pengawasan dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, baik perspektif dalam segi ekonomi, sosial maupun budaya (Despotis 2005). Tingkat pembangunan masyarakat menunjukkan tingkat kemajuan yang dicapai suatu masyarakat. Tingkat pembangunan masyarakat dapat diukur salah satunya melalui IPM. Tata kelola pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya keberadaan masyarakat yang tingkat pembangunannya baik pula (Ramachandran 2002). Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat akan meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga akan menghasilan akuntabilitas laporan keuangan yang lebih baik. H2

: Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintah daerah periode opini non-WTP dan periode opini WTP dalam aspek indeks pembangunan manusia.

3.

Terdapat perbedaan antara kinerja Produk Domestik Regional Bruto Pemerintah Daerah periode opini non WTP dan periode opini WTP Kinerja merupakan hasil yang didapat dari sebuah proses kegiatan yang

cukup panjang (Khairudin), Begitu juga dengan kinerja ekonomi pemerintah daerah yang tentunya lahir dari sebuah proses kegiatan yang cukup panjang pula yang biasa disebut dengan kegiatan pengelolaan dana APBD demi pembangunan daerah yang diawali dari perencanaan sumber daya sampai dengan pengendalian. Jika proses kegiatan pembangunan daerah berjalan dengan baik dan benar, maka dapat dipastikan bahwa kinerja ekonomi pemerintah daerah akan semakin baik juga. Karena semakin baik kinerja ekonomi suatu pemerintah daerah mengandung arti bahwa pengelolaan sumber daya daerah demi kesejahteraan masyarakatnya semakin baik dan demikian pula sebaliknya (Halim, 2002). Sedangkan opini audit

44

menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara merupakan pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada (1) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, (2) kecukupan pengungkapan, (3) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (4) efektivitas sistem pengendalian intern. Artinya baik atau buruknya opini atas laporan keuangan ditentukan oleh baik atau buruknya sistem administrasi yang ada, termasuk didalamnya apakah anggaran yang dimiliki telah tepat sasaran. Hasil penelitian Budiartha (2008) yang melakukan penelitian terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006 dan 2007 yang oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diberikan opini berupa disclaimer untuk tahun 2006 dan 2007 menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah pusat tahun 2007 lebih baik dibandingkan dengan tahun 2006, meskipun opini audit untuk tahun 2006 dan 2007 adalah disclaimer yakni opini yang paling buruk. H3

: Terdapat perbedaan antara kinerja Produk Domestik Regional Bruto Pemerintah Daerah periode opini non-WTP dan periode opini WTP

45

BAB III. METODE PENELITIAN

A.

Objek Penelitian dan Lokasi Penelitian Menurut Sugiyono (2010), objek penelitian (variabel penelitian) adalah

suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Objek dari penelitian ini adalah perbedaan kinerja keuangan periode opini non wtp dan opini wtp di Pulau sumatera tahun 2015-2016. Lokasi

penelitian merupakan tempat melakukan penelitian guna

memperoleh data yang berasal dari responden. Lokasi dari penelitian ini adalah Pemerintahan daerah kabupaten dan kota di Pulau Sumatera. B.

Jenis Penelitian Penelitian ini akan digunakan pendekatan kuantitatif dengan bentuk

perbandingan (komparatif). Metode kuantitatif adalah pendekatan ilmiah yang memandang suatu realitas itu dapat diklasifikasikan, konkrit, teramati dan terukur, hubungan variabelnya bersifat sebab akibat dimana data penelitiannya berupa angka-angka dan analisisnya menggunakan statistik (Sugiyono,

2010).

Penelitian

komparatif

adalah

penelitian

yang

membandingkan keberadaan satu variabel atau lebih pada dua atau sample yang berbeda, atau waktu yang berbeda (Sugiyono, 2012). Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan tingkat kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten kota di Pulau Sumatera yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan non WTP untuk periode 2015-2016.

C.

Jenis Data dan Sumber Data Jenis data adalah pengelompokkan data yang didasarkan pada sifat data

tersebut (Sugiyono, 2010). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan,

46

atau laporan historis yang telah disusun dalam arsip atau dokumenter yang telah dipublikasikan. Data sekunder pada penelitian ini adalah data yang diperoleh dari laporan keuangan kabupaten/kota di Pulau Sumatera yang telah diaudit oleh BPK RI tahun 2015- 2016 dan dokumen lain yang terkait dengan penelitian ini yaitu melalui website BPK, dan website masing-masing pemerintah daerah yang menjadi sampel.

D.

Tekhnik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan

untuk mengumpulkan data. Metode menunjuk suatu cara sehingga dapat diperlihat penggunaannya melalui angket, wawancara, pemangamatan, tes, dokumentasi dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi adalah pengambilan data melalui dokumen tertulis maupun elektronik dari lembaga / institusi, dengan cara mengumpulkan data sekunder dari laporan keuangan yang telah dipublikasikan di DJPK dan BPK RI. Selain itu Peneliti harus mengumpulkan, mencatat, mengkaji semua informasi yang dibutuhkan, dan menghitung rasio - rasio yang terdapat di dalam laporan keuangan pemerintah daerah periode 2015-2016 yang bersangkutan.

E.

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1.

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah kemampuan suatu daerah untuk

menggali dan mengelola sumber-sumber keuangan asli daerah dalam memenuhi kebutuhannya guna mendukung berjalannya sistem pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerahnya dengan tidak tergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat dan mempunyai keleluasaan di dalam menggunakan dana-dana untuk kepentingan masyarakat daerah dalam batas-batas yang ditentukan peraturan perundang-undangan (Susantih, 2009). Menurut Halim (2001) analisis kinerja keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut

berupa

rasio

keuangan

yang

terbentuk

dari

unsur

laporan

47

pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD (Azhar, 2008). Indikator yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah sebagai berikut : a.

Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah EKPPD adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara

sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja. Hasil EKPPD tahunan digunakan Pemerintah sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Data yang digunakan merupakan skor EKPPD Kabupaten/Kota secara nasional tahun 2015- 2016 yang diperoleh dari halaman situs Kementerian Dalam Negeri. Kriteria penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Penetapan Peringkat Dan Status Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Secara Nasional pada Tahun 2015-2016 . b.

Indeks Pembangunan Manusia IPM merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan

wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak. Pada pelaksanaan perencanaan pembangunan, IPM juga berfungsi dalam memberikan tuntunan dalam menentukan prioritas perumusan kebijakan dan penentuan program pembangunan. Rumus umum yang dipakai adalah sebagai berikut : IPM =

𝟑

√𝑰𝑲𝒆𝒔𝒆𝒉𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒙 𝑰. 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒙 𝑰. 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒆𝒍𝒖𝒂𝒓𝒂𝒏 x 100%

Di mana : X1 = Dimensi Kesehatan X2 = Dimensi Pendidikan X3 = Dimensi Pengeluaran

Pengelompokan IPM

48

Untuk melihat capaian IPM antar wilayah dapat dilihat melalui pengelompokkan IPM ke dalam beberapa kategori, yaitu:

Kategori IPM < 60 60 ≤ IPM < 70 70 ≤ IPM < 80 IPM ≥ 80 Sumber : bps.go.id

Capaian IPM IPM rendah IPM sedang IPM tinggi IPM sangat tinggi

c. Produk Domestik Regional Bruto PDRB adalah nilai bersih barang dan jasa-jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan ekonomi di suatu daerah dalam periode (Hadi Sasana, 2006). PDRB dapat menggambarkan kemampuan suatu daerah mengelola sumber saya alam yang dimilikinya. Oleh karena itu besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing daerah sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi Daerah tersebut. Besarnya PDRB per Kapita masing-masing daerah berbeda bahkan mempunyai selisih yang besar, sehingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrem. Untuk menghindari adanya data yang tidak normal tersebut maka data PDRB per Kapita perlu di-Lg10-kan. Variabel PDRB per Kapita diukur dengan logaritma natural PDRB per Kapita masing-masing daerah. Data dalam variabel ini diperoleh dari BPS tahun 2015 dan 2016

F.

Populasi dan Sampel Penelitian

1.

Populasi Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek

yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Pulau Sumatera yang terdiri dari 164 kabupaten/kota. 2.

Sampel Penelitian

49

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2010). Teknik penentuan sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Kriteria penentuan sampel yang diambil berdasarkan jurnal utama penelitian, yaitu kabupaten/kota yang mengalami peningkatan opini dari non WTP pada tahun 2015 menjadi WTP pada tahun 2016. Berdasarkan kriteria tersebut, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 33 kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Sampel yang termasuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 3.4 Daftar Sampel Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Nama Kabupaten/kota Kota Subulussalam Kab. Humbang . H Kab. Pakpak Bharat Kab. Toba Samosir Kota Binjai Kota Pematangsiantar Kota Tebing Tinggi Kab. Pasaman barat Kab. Sijunjung Kab. Solok Selatan Kota Padang Panjang Kota Solok Kab. Indragiri Hilir Kab. Indragiri Hulu Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kota Pekanbaru Kab. Merangin Kab. Muaro Jambi Kab. Sarolangun Kota Jambi Kab. Empat Lawang Kab. Musi Rawas Kab. Ogan Ilir Kab. Penukal Abab Kab. Kaur Kab. Lebong Kab. Lamsel Kab. Lamteng Kab. Pesawaran

Opini BPK 2015

Opini BPK 2016

WDP WDP WDP WDP WDP WDP TMP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP WDP

WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP WTP

50

31 32 33

G.

Kab. Bangka Kab. Bangka Barat Kab. Bangka Tengah

WDP WDP WDP

WTP WTP WTP

Tekhnik Analisis Data Analisis data yang dilakukan yaitu dengan menguji rasio keuangan periode

opini Non-WTP dan periode opini WTP 2015 - 2016, dari hasil pengujian ini diharapkan dapat mengetahui apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintah daerah. Tahap-tahap pengujian meliputi Analisis Rasio Keuangan setelah itu uji normalitas data dengan menggunakan pendekatan Kolmogorov – Smirnov dan dilanjutkan dengan pengujian hipotesis untuk masing-masing variabel penelitian dengan paired samples t test atau pun uji mann whitney test. Tingkat signifikansi atau nilai alfa (α) pada penelitian ini ditetapkan untuk seluruh pengujian adalah sebesar 0,05 atau (5%). Besarnya nilai alfa (α ) tergantung pada keberanian pembuat keputusan yang dalam hal ini berapa besar kesalahan (yang menyebabkan resiko) yang akan ditolerir (Hendraryadi, 2011). Penjelasan tahaptahap pengujian sebagai berikut: 1.

Analisis Rasio Keuangan Analisis rasio keuangan digunakan untuk menganalisis kinerja keuangan

pemerintah daerah. Rasio-rasio tersebut dibandingan dengan rasio keuangan pada periode opini non wtp dengan periode opini wtp. Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung masing-masing rasio keuangan pemerintah daerah yang sudah ditetapkan sebagai variabel penelitian. Hasil perhitungan rasio-rasio ini selanjutnya digunakan sebagai data dalam pengujian statistik. 2.

Statistik Deskriptif Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan dan mendeskripsikan

variabel-variabel dalam penelitian. Statistik deskriptif dalam penelitian pada dasarnya merupakan proses transformasi data penelitian dalam bentuk tabulasi sehingga mudah dipahami dan di interpretasikan. Tabulasi menyajikan ringkasan, pengaturan atau penyusunan data dalam bentuk tabel dan grafik. Statistik deskriptif umumnya digunakan oleh peneliti untuk memberikan informasi mengenai karakteristik variabel penelitian yang utama. Penelitian statistik deskriptif

51

memberikan gambaran atau deskriptif suatu data yang dapat dilihat dari nilai ratarata (mean), standar deviasi, varians, dan maksimum-minimum (Ghozali, 2011). Mean digunakan untuk memperkirakan besar rata-rata populasi yang diperkirakan dari sampel. Maksimum-minimum digunakan untuk melihat nilai minimum dan maksimum dari populasi. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat gambaran keseluruhan dari sampel yang brhasil dikumpulkan dan memenuhi syarat untuk dijadikan sampel penelitian. maksimum dari populasi. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat gambaran keseluruhan dari sampel yang berhasil dikumpulkan dan memenuhi syarat untuk dijadikan sampel penelitian.

3.

Uji Normalitas Data Pengujian normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data

berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas penting dilakukan karena untuk menentukan alat uji statistik apa yang sebaiknya digunakan pengujian hipotesis. Uji statistik Kolmogorov-Smirnov dipilih karena lebih peka untuk mendeteksi normalitas data dibandingkan pengujian dengan menggunakan grafik (Ghozali, 2011). Penentuan normal tidaknya data ditentukan dengan cara, apabila hasil signifikansinya lebih besar dari tingkat signifikansi yang sudah ditentukan (≥0,05) maka H0 diterima maka data tersebut terdistribusi normal. Sebaliknya apabila signifikansi uji lebih kecil dari nilai signifikansi (< 0,05) H0 ditolak maka data tersebut terdistribusi tidak normal.

H.

Pengujian Hipotesis Apabila data yang diuji berdistribusi normal, maka pengujian hipotesa

menggunakan alat uji statistik parametrik yaitu uji t berpasangan (paired sample ttest). Sedangkan apabila data berdistribusi tidak normal, maka pengujian hipotesa menggunakan alat uji statistik non parametrik yaitu uji peringkat bertanda Wilcoxon (wilcoxon signed ranks test). Apabila data tidak normal maka teknik statistik parametrik tidak dapat digunakan untuk alat analisis, Sugiono (2003) dalam Yudisianta (2007). 1.

Uji Independent T-Test

52

Uji independent t-test adalah metode yang digunakan untuk menguji kesamaan rata-rata dari dua populasi yang bersifat independen, dimana peneliti tidak memiliki informasi mengenai ragam populasi. Independen adalah bahwa populasi yang satu tidak dipengaruhi atau tidak berhubungan dengan populasi yang lain. Ataupun bisa dikatakan uji independent t -test yang dimaksud di sini adalah sampel yang tidak berpasangan, artinya sumber data berasal dari subjek yang berbeda. Sebelum melakukan uji ini, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Sampel berpasangan (Paired Sample) merupakan sampel dengan subjek yang sama namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda (Santoso, 2012). Data berasal dari dua pengukuran atau dua periode pengamatan yang berbeda yang diambil dari subjek yang sama, yaitu kinerja keuangan pemerintah kota/kabupaten periode opini non-WTP dan periode opini WTP. Dari hasil pengujian, apabila signifikansi > 0,05 maka data tidak berbeda, sedangkan apabila signifikansi < 0,05 maka data berbeda. 2.

Uji Mann Whitney Uji Mann Whitney merupakan salah satu uji statistik nonparametrik dalam

kasus sampel independen. Uji Mann Whitney digunakan untuk menguji apakah perbedaan dua sample yang tidak berhubungan atau berpasangan satu sama lainnya. Uji Mann Whitney digunakan ketika data tidak normal dalam uji independent t-test tidak terpenuhi, yaitu masing-masing kelompok sampel/data harus terdistribusi secara normal. jika data berdistribusi tidak normal maka digunakan uji non parametik yaitu uji Wilcoxon Sign Rank Test dengan taraf signifikansi 5%.

53

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Analisis Rasio Keuangan Hasil analisis kinerja keuangan kabupaten/kota periode opini non-WTP dan

periode opini WTP di Pulau Sumatera dapat dilihat pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 sebagai berikut :

Tabel 4.1 Kinerja Keuangan PAD Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera Periode Opini Non WTP Kabupaten/kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Kota Subulussalam Kab. Humbang . H Kab. Pakpak Bharat Kab. Toba Samosir Kota Binjai Kota Pematangsiantar Kota Tebing Tinggi kab. Pasaman barat Kab. Sijunjung Kab. Solok Selatan Kota Padang Panjang Kota Solok Kab. Indragiri Hilir Kab. Indragiri Hulu Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kota Pekanbaru Kab. Merangin Kab. Muaro Jambi Kab. Sarolangun Kota Jambi Kab. Empat Lawang Kab. Musi Rawas Kab. Ogan Ilir Kab. Penukal Abab Kab. Kaur Kab. Lebong Kab. Lamsel Kab. Lamteng Kab. Pesawaran Kab. Bangka

EKPPD 2,1046 2,968 2,9754 2,7168 2,7769 2,4258 2,8193 2,842 3,1016 3,0998 2,8465 2,8733 2,9497 2,7924 3,0175 3,9857 2,897 3,2295 2,6965 3,2162 2,8443 3,2888 3,1092 2,9143 30897 3,0008 3,0876 2,8666 2,8818 3,8976 3,1841

IPM 61.32 66.03 65.53 73.40 73.81 76.34 72.81 65.26 65.30 67.09 75.98 76.83 64.80 68 71.28 67.29 79.32 67.15 66.66 68.10 75.58 63.55 64.11 65.35 60.83 64.47 64.72 65.22 67.61 62.70 70.03

PDRB Harga Berlaku 1.287 4.413 826 5.622 8.382 10.566 4.288 11.714 7.110 10.153 2.533 2.964 51.797 34.583 66.285 27.160 83.662 10.589 17.049 11.176 21.353 3.816 14.101 8.168 5.095 2.457 2.331 31.413 48.878 11.717 11.022

PDRB Harga Konstan 1.141 3.407 677 4.552 6.571 7.992 3.235 9.357 5.537 3.268 2.066 2.307 37.920 25.791 46.314 20.801 57.615 7.993 13.238 8.987 15.921 2.964 11.050 6.118 3.736 1.856 1.746 24.655 38.774 9.369 8.513

54

32 33

Kab. Bangka Barat Kab. Bangka Tengah

3,0667 3,0069

67.23 68.66

11.473 7.056

8.749 5.272

Tabel 4.2 Kinerja Keuangan PAD Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera Periode Opini WTP Kabupaten/kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Kota Subulussalam Kab. Humbang . H Kab. Pakpak Bharat Kab. Toba Samosir Kota Binjai Kota Pematangsiantar Kota Tebing Tinggi kab. Pasaman barat Kab. Sijunjung Kab. Solok Selatan Kota Padang Panjang Kota Solok Kab. Indragiri Hilir Kab. Indragiri Hulu Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kota Pekanbaru Kab. Merangin Kab. Muaro Jambi Kab. Sarolangun Kota Jambi Kab. Empat Lawang Kab. Musi Rawas Kab. Ogan Ilir

EKPPD 2,5048 2,9558 3,0887 2,9071 2,8884 2,7931 3,0687 2,9002 3,0918 2,5555 2,9103 3,0734 2,7722 2,9958 2,9642 2,9097 3,0481 3,3383 2,5693 3,2787 3,0668 2,8922 3,1996 3,0434

IPM 62.18 66.56 65.81 73.61 74.11 76.90 73.58 66.03 66.01 67.47 76.50 77.07 65.35 68.67 71.39 67.86 79.69 67.86 67.55 68.73 76.14 64 64.75 65.45

PDRB Harga Berlaku 1.394 4.776 911 6.140 9.077 11.579 4.729 12.795 7.721 11.047 2.774 3.238 57.383 37.031 69.675 29.449 92.382 12.130 19.105 12.246 24.451 4.159 15.047 8.849

PDRB Harga Konstan 1.199 3.578 718 4.770 6.936 8.381 3.401 9.855 5.828 3.435 2.186 2.440 39.755 26.741 47.609 21.829 61.049 8.489 13.956 9.369 17.006 3.098 11.647 6.432

55

25 26 27 28 29 30 31 32 33

1.

Kab. Penukal Abab Kab. Kaur Kab. Lebong Kab. Lamsel Kab. Lamteng Kab. Pesawaran Kab. Bangka Kab. Bangka Barat Kab. Bangka Tengah

2,0587 3,1128 2,7536 3,0867 3,0755 2,9807 3,2976 3,1249 3,0755

61.66 64.95 65.58 66.19 68.33 63.47 70.43 67.60 68.76

5.472 2.715 2.594 34.904 55.173 12.861 11.791 12.260 7.470

3.931 1.955 1.836 25.943 40.951 9.843 8.907 9.153 5.428

Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah Hasil perhitungan Skor Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan

Daerah antara pemerintah daerah yang memperoleh Opini Non Wajar Tanpa Pengecualian dengan pemerintah daerah yang memperoleh Opini Wajar Dengan Pengecualian tahun anggaran 2015 – 2016. Berdasarkan tabel diatasdapat dilihat hasil perhitungan Skor Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah menunjukkan penurunan kemampuan peningkatkan Kinerja Penyelengaraan Kinerja, karena pemerintah subnasional/pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik. Berdasarkan tabel 4.1 secara keseluruhan besar pemerintah daerah yang memperoleh memperoleh Opini Non WTP memiliki Skor Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah yangtermasuk dalam klasifikasi baik, dilihat dari rata-rata skor Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang menunjukkan nilai yang berada dikisaran 2 dan 3. Sedangkan pada Tabel 4.2 sebagian besar pemerintah daerah yang memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian dilihat dari

56

rata-rata skor Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah juga menunjukkan nilai dibawah 4 yang masuk dalam klasifikasi cukup baik. 2.

Indeks Pembangunan Manusia Hasil perhitungan Indeks Pembangunan Manusia antara pemerintah daerah

yang memperoleh Opini Non Wajar Tanpa Pengecualian dengan pemerintah daerah yang memperoleh Opini Wajar Dengan Pengecualian tahun anggaran 2015 – 2016. Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat hasil perhitungan Indeks Pembangunan Manusia untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak. Analisis Indeks Pembangunan Manusia dikategorikan tinggi apabila rasio yang dicapai minimal sebesar 80. Semakin tinggi rasio Indeks Pembangunan Manusia, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik dalam pengelolaan keuangan daerah. Berdasarkan tabel 4.1 sebagian besar pemerintah daerah yang memperoleh Opini Non WTP telah memiliki rasio Indeks Pembangunan Manusia yang termasuk dalam klasifikasi sedang, dilihat dari rata-rata rasio Indeks Pembangunan Manusiayang menunjukkan nilai 60 sampai dengan 70. Namun, terdapat beberapa daerah yang memiliki rasio Indeks Pembangunan Manusia yang baik, dalam artian masih memiliki kinerja keuangan yang diklasifikasikan tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Pemerintah Kota Pekanbaru yang memiliki rasio IPM 79.32 dan Kota Pematangsiantar yang memiliki rasio IPM sebesar 76.34 yang termasuk klasifikasi tinggi.Sedangkan pada Tabel 4.2 sebagian besar pemerintah daerah yang memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian dilihat dari rata-rata rasio IPM yang menunjukkan nilai diatas 60, Namun terdapat beberapa daerah yang telah memiliki IPM yang baik yaitu Pemerintah Kota Solok yang memiliki persentase rasio IPM sebesar 77.07 yang termasuk klasifikasi tinggi. 3.

Pendapatan Domestik Regional Bruto Berdasarkan tingkat persentase rasio Pendapatan Regional Domestik Bruto

diatas diketahui bahwa kemampuan pemerintah daerah yang memperoleh Opini Non Wajar Tanpa Pengecualian dan Opini Wajar tanpa Pengecualian dalam

57

mengelola sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing daerah sangat bergantung kepada potensi sumber daya alam dan faktor produksi Daerah tersebut. Dimana rasio Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga berlaku dan Konstan antara pemerintah daerah yang memperoleh Opini Non WTP dengan yang memperoleh Opini WTP menunjukkan pola Instruktif. Artinya bahwa peranan pemerintah pusat dalam memberikan bantuan kepada pemerintah daerah masih dominan. Berdasarkan tabel 4.1 secara keseluruhan besar pemerintah daerah yang memperoleh memperoleh Opini Non WTP memiliki Pendapatan Regional Domestik Bruto dengan harga berlaku yang rendah sekali termasuk dalam klasifikasi Instruktif, dilihat dari rata-rata PDRB yang menunjukkan nilai yang berada dikisaran 0- 16.698 dan Pendapatan Regional Domestik Bruto dengan harga konstan juga menunjukkan klasifikasi sedang yaitu antara 0 - 12.348 . Sedangkan pada Tabel 4.2 sebagian besar pemerintah daerah yang memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian dilihat dari rata-rata Pendapatan Regional Domestik Bruto dengan harga berlaku yang menunjukkan nilai dibawah 18.283 yang masuk dalam klasifikasi instruktif dan Pendapatan Regional Domestik konstan dengan harga yang memiliki persentase PDRB sebesar 12.959 yang termasuk cukup baik. B.

Analisis Statistik Deskriptif Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk

memberikan informasi mengenai variabel-variabel penelitian seperti Evaaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah, Indeks Pembangunan Manusia, Pendapatan daerah Regional Bruto dengan harga berlaku dan Pendapatan daerah Regional Bruto dengan konstan. Statistik deskriptif untuk variabel-variabel penelitian tersebut dapat kita lihat sebagai berikut: Tabel 4.3

58

Descriptive Statistics Periode Opini Non WTP N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

EKPPD

33

2,245

3,9857

27,495.94

8,577.132

IPM

33

60.83

79.32

68.2533

4.78508

PDRB_Harga_Berlaku

33

1.29

826.00

41.7034

142.14529

PDRB_Harga_Konstan

33

1.14

677.00

32.8428

116.47980

Valid N (listwise)

33

Sumber : Data diolah dengan SPSS

Tabel 4.4 Descriptive Statistics Periode Opini WTP N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

EKPPD

33

2.0587

3.3383

2.950973

.2534613

IPM

33

61.66

79.69

68.7952

4.68804

PDRB_Harga_Berlaku

33

1.39

911.00

45.8611

156.77393

PDRB_Harga_Konstan

33

1.20

718.00

34.6950

123.53885

Valid N (listwise)

33

Sumber : Data diolah dengan SPSS

Tabel diatas menggambarkan deskripsi variabel-variabel secara statistic dalam penelitian ini. Mean (rata-rata) adalah hasil penjumlahan nilai seluruh data dibagi dengan banyaknya data, maksimum adalah nilai terbesar dari suatu rangkaian pengamatan, minimum adalah nilai terkecil dari suatu rangkaian pengamatan, sementara standar deviasi adalah akar dari jumlah kuadrat dari selisih nilai data dengan rata-rata dibagi dengan banyaknya data. Tabel 4.3 dan 4.4 menunjukkan Deskriptif Variabel penelitian dengan jumlah data setiap variabel yang valid sebanyak 33 adalah sebagai berikut : a. Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintahan Daerah mempunyai nilai mean sebesar 27,49, nilai minimum sebesar 2,245 terletak pada Kota Pematang siantar, berarti kab/kota tersebut memiliki skor Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerahterendah selama periode Opini Non WTP dan nilai maksimum sebesar 3,9857 terletak pada Kab. Rokan Hulu pada tahun 2015 yang berarti Kab/kota tersebut memiliki skor Evaluasi Kinerja Penyelenggara

59

Pemerintah Daerahtertinggi selama periode Non WTP dari 33 sampel yang diteliti. dan nilai standar deviasinya adalah 8,577.132. Sedangkan pada periode Opini WTP Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerahmempunyai nilai mean sebesar 2,950973, nilai minimum sebesar 2,0857terletak pada Kab. Penukal Abab Lematang Ilir, berarti kab/kota tersebut memiliki Skor Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah terendah selama periode Opini WTP dan nilai maksimum sebesar 3,3383 terletak pada Kab. Merangin pada tahun 2016 yang berarti Kab/kota tersebut memiliki Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah tertinggi selama periode Opini WTP dari 33 sampel yang diteliti. dan nilai standar deviasinya adalah 0.2534613. b. Indeks Pembangunan Manusia mempunyai nilai mean sebesar 68.2533, nilai minimum sebesar 60.83terletak pada Kab. Penukal Abab Lematang Ilir pada tahun 2015 yang berarti kab/kota tersebut memiliki Indeks Pembangunan Manusiaterendah selama periode pengamatan, dan nilai maksimum sebesar 79.32 yang terletak pada Kota Pekanbaru pada tahun 2015 yang berarti pemerintahan daerah tersebut memiliki Indeks Pembangunan Manusia tertinggi selama periode pengamatan dan nilai standar deviasinya adalah 4.78508. Sedangkan

pada

periode

Opini

WTP

Indeks

Pembangunan

Manusiamempunyai nilai mean sebesar 68.7952, nilai minimum sebesar 61.66 terletak pada Kab. Penukal Abab Lematang Ilir, berarti kab/kota tersebut memiliki Indeks Pembangunan Manusia terendah selama periode Non WTP dan nilai maksimum sebesar 79.69 terletak pada Kota Pekanbaru pada tahun 2016 yang berarti Kab/kota tersebut memiliki Indeks Pembangunan Manusia tertinggiselama periode Non WTP dari 33 sampel yang diteliti dan nilai standar deviasinya adalah 4.68804. c. Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Berlaku pada periode Opini Non WTP mempunyai nilai mean sebesar 41.7034, nilai minimum sebesar 1.29 terletak pada Kota Subulussalam pada tahun dan nilai maksimum sebesar 826 yang terletak pada Kab. Pakpak Bharat pada tahun 2015 yang berarti Pemerintahan daerah tersebut memiliki Pendapatan domestik Regional Bruto

60

dengan Harga Berlaku tertinggi selama periode pengamatan dengan nilai standar deviasinya adalah 142.145, dan Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Konstan mempunyai nilai mean sebesar 32.8428, nilai minimum sebesar 1.14terletak pada Kota Subulussalam pada tahun 2016 dan nilai maksimum sebesar 677 yang terletak pada Kab. Pakpak Bharat pada tahun 2016 yang berarti Pemerintahan daerah tersebut memiliki Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Konstan tertinggi selama periode pengamatan dengan nilai standar deviasinya adalah 116.47980. Sedangkan pada periode Opini WTP Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Berlakumempunyai nilai mean sebesar 45.8611, nilai minimum sebesar 1.39terletak pada Kota Subulussalamdan nilai maksimum sebesar 911 terletak pada Kab. Pakpak Bharat pada tahun 2016 yang berarti Kab/kota tersebut memiliki Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Berlakutertinggi selama periode Opini WTP dari 33 sampel yang diteliti dengan nilai standar deviasinya adalah 156.77393., dan Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Konstan mempunyai nilai mean sebesar 34.6950, nilai minimum sebesar 1.20 terletak pada Kota Subulussalam pada tahun 2016 dan nilai maksimum sebesar 718 yang terletak pada Kab. Pakpak Bharat pada tahun 2016 yang berarti Pemerintahan daerah tersebut memiliki Pendapatan domestik Regional Bruto dengan Harga Konstan tertinggi selama periode pengamatan dengan nilai standar deviasinya adalah 123.53885.

C.

Hasil Pengujian Normalitas Data Pengujian normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data

berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas penting dilakukan karena untuk menentukan alat uji statistik apa yang sebaiknya digunakan pengujian hipotesis. Uji statistik Kolmogorov-Smirnov dipilih karena lebih peka untuk mendeteksi normalitas data dibandingkan pengujian dengan menggunakan grafik (Ghozali, 2011).Hasil uji normalitas data Kolmogorov - Smirnov Test dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

61

Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas Data Periode Opini Non WTP One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test EKPPD N Normal Parametersa

Most Extreme Differences

PDRB_Harga_ PDRB_Harga_K Berlaku onstan

IPM 33

33

33

33

Mean

27,495.94

68.2533

41.7034

32.8428

Std. Deviation

8,577.132

4.78508

142.14529

116.47980

Absolute

.324

.179

.388

.393

Positive

.204

.179

.381

.393

Negative

-.324

-.089

-.388

-.393

1.860

1.031

2.229

2.260

.002

.238

.000

.000

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.

Tabel 4.6 Hasil Uji Normalitas Data Periode Opini WTP One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test EKPPD N Normal Parametersa

Most Extreme Differences

PDRB_Harga_ PDRB_Harga_K Berlaku onstan

IPM 33

33

33

33

Mean

2.950973

68.7952

45.8611

34.6950

Std. Deviation

.2534613

4.68804

156.77393

123.53885

Absolute

.190

.200

.388

.398

Positive

.125

.200

.380

.398

Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)

-.190

-.093

-.388

-.393

1.094

1.149

2.231

2.285

.183

.143

.000

.000

a. Test distribution is Normal.

Sumber : Data diolah dengan SPSS

Suatu data dikatakan berdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 (Ghozali, 2006). Uji dua sisi digunakan untuk menguji apakah kinerja keuangan daerah sama atau berbeda antara daerah pada periode opini Non Wtp dengan Periode Opini Wtp. Berdasarkan Tabel 4.5 hasil uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov Test pada periode Non WTP menunjukkan bahwa nilaiasymp sig > 0,05 yaitu rasio Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah sebesar 1.860, rasio Indeks Pembangunan Manusia sebesar1.031, rasio Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlakusebesar 2.229, dan

62

rasio Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga konstan sebesar 2.260, sehingga data tersebut berdistribusi normal. Berdasarkan Tabel 4.5 hasil uji normalitas data Kolmogorov-Smirnov Test pada periode Opini Wtp menunjukkan bahwa nilaiasymp sig > 0,05 yaitu rasio Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah sebesar 1.094, rasio Indeks Pembangunan Manusia sebesar 1.149, rasio Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlaku sebesar 2.231, dan rasio Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga konstan sebesar 2.285, sehingga data tersebut berdistribusi normal. Hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa data yang digunakan dalam perhitungan rasio Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah,Indeks Pembangunan Manusia,Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlaku

dan

Pendapaatan

Domestik

Regional

Bruto

dengan

harga

konstanberdistribusi secara normal. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai Asymptatic Significance (2-tailed) lebih besar dari 0,05 sehingga semua variabel lolos uji normalitas data.

D.

Hasil Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini untuk menguji perbedaan kinerja

Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah,Indeks Pembangunan Manusia,Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlaku dan Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga konstan pada periode Opini Non Wtp dan Periode Opini Wtp dengan menggunakan hasil uji regresi yang ditunjukkan dalam paired differences. Dalam uji hipotesis dengan alat uji t dua sampel berpasangan (t-paired), pada kolom Significant dibandingkan dengan tingkat kealphaan 0,05 (5%). Apabila tingkat signifikansi < 0,05, maka Ha diterima. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa angka rasio keuangan dan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data berdistribusi normal, sehingga alat statistik yang dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan kinerja keuangan pada Periode Opini Non Wtp dan Periode Opini Wtp adalah statistik parametrik dengan

63

alat uji t dua sampel berpasangan (t-paired).Dari pengujian statistik yang dilakukan oleh peneliti menggunakan software SPSS, hasil yang diperoleh sebagai berikut: 1.

Perbedaan Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah antara periode opini non WTP dan periode opini WTP

Pengujian ini bertujuan untuk melihat perbedaan Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah. Berdasarkan analisis data Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah periode opini non WTP dan periode opini WTP diperoleh hasil seperti pada tabel 4.7 Tabel 4.7 Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan tabel 4.7 pada tabel paired samples test terlihat bahwa nilai probabilitas (sig.) adalah 0,602. Untuk uji dua sisi, nilai probabilitas (sig.) adalah 0,001/2 = 0,0005 <0,025 maka Ha ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Mean Deviation Pair Opini_Non_WTP 1

- Opini_WTP

339.84 8

Std. Error

Sig. (2-

Mean

Lower

645.550

-975.094 1,654.791

3,708.402

Upper

t .526

df

tailed) 32

.602

Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerahperiode opini non WTP tidak

berbeda

dengan

Evaluasi

Kinerja

Penyelengaraan

Pemerintahan

Daerahperiode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Perbedaan tersebut bermakna bahwa Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah periode opini WTP lebih tinggi sebesar 339.848% dibandingkan Evaluasi Kinerja Penyelengaraan Pemerintahan Daerah periode opini non WTP. Adapun penyebab dari tidak adanya perbedaan yang signifikan tersebut adalah tingkat pencapaian kinerja keuangan periode Non WTP dibandingkan

64

dengan periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera belum memberikan kontribusi lebih besar daripada periode opini non WTP, Pemerintah daerah belum mampu untuk meningkatkan skor EKPPD secara signifikan dibandingkan pada tahun 2015 karena hampir seluruh pemerintah daerah di Sumatera masih berada di level 1 sampai dengan level 3. Capaian level per-elemen pada pemerintah daerah masih belum mencapai level tinggi yaitu level 4 atau level 5. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa level rendah yang dicapai pemerintah daerah tidak dapat memberikan pengaruh positif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah pada periode opini WTP. Pemerintah daerah harus tetap berusaha untuk meningkatkan kelengkapan informasi yang diungkapkan dalam LPPDnya agar sesuai dengan regulasi meskipun saat ini bobot penilaian untuk kelengkapan informasi dalam penilaian EKPPD masih sangat kecil. Pemda jangan hanya fokus pada masalah penyediaan informasi IKK dan mengabaikan informasi yang lain karena LPPD merupakan suatu bentuk laporan akuntabilitas dan pertanggungjawaban pemda secara menyeluruh atas penyelenggaraan tugas dan urusan pemerintahan daerah. Masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah juga disebabkan oleh tidak efektifnya penggunaan dana, terkait dengan kebutuhan dana yang tidak seimbang dengan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang relatif sama, ketersediaan tenaga pelayanan pada masyarakat karena perkembangan ekonomi dan fasilitas yang terbatas, dan masih terbatasnya pemanfaatan layanan publik yang diberikan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Budianto (2012) yang menjelaskan bahwa pada Pemerintah Daerah yang memiliki rata-rata opini audit yang rendah (TMP dan TW) kecendrungannya memiliki skor kinerja yang rendah dibandingkan dengan Pemerintah Daerah yang memiliki rata-rata opini audit yang tinggi (WTP dan WDP). 2.

Perbedaan Indeks Pembangunan Manusia periode opini non WTP dan periode opini WTP

Pengujian ini bertujuan untuk melihat perbedaan Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan analisis data kinerja keuangan

untuk variabel Indeks

65

Pembangunan Manusia periode opini non WTP dan periode opini WTP diperoleh hasil seperti pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Indeks Pembangunan Manusia Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Mean Deviation Pair Opini_Non_WTP 1

- Opini_WTP

.54182

.24324

Std. Error Mean .04234

Sig. (2Lower -.62807

Upper -.45557

t

df -

12.796

tailed) 32

.000

Berdasarkan tabel 4.8 pada tabel paired samples test terlihat bahwa nilai probabilitas (sig.) adalah 0,000. Untuk uji dua sisi, nilai probabilitas (sig.) adalah 0,001/2 = 0,0005 <0,025 maka Ha diterima. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Indeks Pembangunan Manusiaperiode opini non WTP berbeda dengan kinerja keuangan Indeks Pembangunan Manusia periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Perbedaan tersebut bermakna bahwa Rasio Indeks Pembangunan Manusia periode opini WTP lebih tinggi sebesar -.54182% dibandingkan Indeks Pembangunan Manusia periode opini non WTP. Bila ditinjau dari Indeks Pembangunan Manusia Pemerintah Kab/Kota di Pulau Sumatera diklasifikasikan sudah cukup tinggi dalam meningkatkan pembangunan manusia dari target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pemerintahan daerah pada saat ini level IPM masih tergolong sedang, namun jika sudah mecapai angka 70-80 dan sudah di atas itu, maka konsentrasinya sudah tinggi. Jadi, hasil penelitian ini menunjukkan masih tingginya akses hasil pembangunan pemerintah daerah dalam memperoleh pendapatan, kesehatan dan pendidikan dan perolehan lainnya. Adanya perbedaan Indeks Pembangunan Manusia antara periode opini non WTP dan periode opini WTP disebabkan oleh capaian kinerja keuangan disisi

66

APBD pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumatera secara umum sudah baik dan sesuai dengan yang direncanakan. Besarnya target yang direncanakan oleh pemerintah kabupaten/kota di Pulau Sumatera telah diimbangi dengan usaha yang maksimal dalam merealisasikan target kinerja keuangan dalam segi pembangunan manusia. Menurut Stewart dalam Kluver (1984) Akuntabilitas seperti layaknya ilmu ekonomi yang mengandung pertanyaan apa, bagaimana dan mengapa sumber daya di alokasikan untuk tujuan–tujuan tertentu. Akbar (2015) menyebutkan akuntabel dan transparan seperti layaknya pilar yang menopang tata kelola keuangan yang baik sehingga tercipta kemakmuran rakyat. Stewart dalam teorinya Stewart’s Ladder of Accountability juga mengemukakan bahwa untuk menjadi akuntabel perlu melewati langkah-langkah dimana langkah yang pertama adalah probity dan legality. Probity diharapkan dapat dipenuhi dari audit laporan keuangan, sedangkan legality merupakan kepatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan yang berlaku dalam mengelola keuangan. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat (1) yang berbunyi: “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Diperolehnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) adalah merupakan awal dari proses tercapainya akuntabilitas secara penuh. Dalam era otonomi daerah ini, pengelolaan keuangan daerah menjadi salah satu faktor yang krusial dalam pertanggungjawaban pejabat publik daerah kepada masyarakat.Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ramachandran (2002) yang menyatakan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik mensyaratkan adanya keberadaan masyarakat yang tingkat pembangunannya baik pula. Hal ini mungkin dikarenakan pada kenyataannya bahwa opini diberikan kepada pemerintah daerah perlu melihat apakah masyarakat di daerah tersebut memiliki tingkat pembangunan masyarakat yang tinggi atau rendah. Hal ini tidak sesuai dengan SPKN bahwa pemeriksaan atas LKPD merupakan jenis pemeriksaan

67

keuangan yang dilakukan oleh BPK hanya dengan tujuan memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam LKPD. 3.

Perbedaan Pendapatan Regional Daerah Bruto periode opini non WTP dan periode opini WTP Pengujian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kinerja keuangan dalam

aspek Pendapatan Regional Daerah Bruto. Berdasarkan analisis data kinerja keuangan untuk variabel Pendapatan Regional Daerah Bruto periode opini non WTP dan periode opini WTP diperoleh hasil seperti pada tabel 4.9 dan 4.10. Tabel 4.9 PDRB dengan harga Berlaku Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Mean Deviation Pair Opini_Non_WTP 1

- Opini_WTP

Std. Error

Sig. (2-

Mean

Lower

1.22974

-4.35706

Upper

t

df

tailed)

1.8521 5

7.06434

.65275 -1.506

32

.142

68

Tabel 4.10 PDRB dengan harga konstan Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Mean Deviation Pair Opini_Non_WTP 1

- Opini_WTP

Std. Error

Sig. (2-

Mean

Lower

Upper

t

2.54927

-9.35039

1.03500 -1.631

df

tailed)

4.1577 14.64444

32

.113

0

Berdasarkan tabel 4.9 pada tabel paired samples test terlihat bahwa nilai probabilitas (sig.) adalah 0,113. Untuk uji dua sisi, nilai probabilitas (sig.) adalah 0,001/2 = 0,0005 <0,025 maka Ha ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga berlaku periode opini non WTP tidak berbeda dengan kinerja keuangan periode opini Non WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Perbedaan tersebut bermakna bahwa Pendapatan Regional Daerah Bruto periode opini Non WTP lebih tinggi sebesar 4.15770% dibandingkan Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga berlaku periode opini non WTP. Sedangkan Berdasarkan tabel 4.10 pada tabel paired samples test terlihat bahwa nilai probabilitas (sig.) adalah 0,142. Untuk uji dua sisi, nilai probabilitas (sig.) adalah 0,001/2 = 0,0005 <0,025 maka Ha ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga konstan periode opini non WTP tidak berbeda dengan kinerja keuangan periode opini Non WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Perbedaan tersebut bermakna bahwa Pendapatan Regional Daerah Bruto periode opini Non WTP lebih tinggi sebesar 1.85215% dibandingkan Pendapatan Regional Daerah Bruto dengan harga berlaku periode opini non WTP. Tidak adanya perbedaan kinerja keuangan daerah induk disebabkan karena realisasi APBD daerah tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan dari

69

tahun ke tahun meskipun mendapatkan tingkatan opini menjadi Wtp pada tahun 2016. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Giroux dan McLelland (2003) membuktikan bahwa tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap kualitas audit dan tingkat pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Hal ini mungkin dikarenakan pada kenyataannya bahwa tingkat pendapatan yang menjadi ruang lingkup pemeriksaan hanya sebatas pada pendapatan yang disajikan pada LKPD dan tidak memperhitungkan tingkat pendapatan masyarakat apakah tinggi atau rendah. Sesuai dengan penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria. Rendahnya aktivitas perekonomian disebabkan oleh beberapa hal Di antaranya, pertama, pembagian sumber - sumber perekonomian antara daerah DOB dan induk tidak merata. Daerah induk biasanya mendominasi pembagian sumber daya ekonomi seperti kawasan industri maupun sumberdaya alam produktif. Kedua, investasi swasta di DOB juga relatif kecil sehingga selama lima tahun terakhir tidak banyak perubahan yang cukup signifikan untuk mendongkrak perekonomian daerah. Ketiga, perekonomian di DOB belum digerakkan secara optimal oleh pemerintah daerah, baik karena kurang efektifnya program-program yang dijalankan maupun karena alokasi anggaran pemerintah yang belum menunjukkan hasilnya.

70

BAB V. PENUTUP

A.

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan pada BAB IV, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam aspek Evaluasi Kinerja Penyelenggara Pemerintah Daerah, secara statistik kinerja Pemerintahan Daerah periode opini non-WTP tidak berbeda dengan periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera. 2. Dalam aspek Indeks Pembangunan Manusia, secara statistik kinerja Pemerintahan Daerah periode opini non WTP berbeda dengan periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera. 3. Dalam aspek Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlaku, secara statistik kinerja Pemerintahan Daerah periode opini non WTP tidak berbeda dengan periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera sedangkan Dalam Aspek Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga konstan, secara statistik kinerja Pemerintahan Daerah periode opini non WTP juga tidak berbeda dengan periode opini WTP pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera.

B.

Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang mungkin dapat

melemahkan hasil penelitian. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini hanya menguji perbedaan Aspek Evaluasi Kinerja Penyelenggara

Pemerintah

Daerah,Indeks

Pembangunan

Manusia,Pendapatan Domestik Regional Bruto dengan harga berlaku dan Pendapaatan Domestik Regional Bruto dengan harga konstan

71

2. Objek penelitian hanya pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera pada tahun 2015 – 2016. 3. Penelitian ini hanya dilakukan pada Pulau Sumatera sebagai populasi dalam pengambilan sampelnya, sehingga belum bisa melihat kecenderungan perbedaan rasio kinerja keuangan dalam ruang lingkup yang lebih luas. 4. Jumlah sampel yang digunakan relatif sedikit, yaitu 33 kabupaten/kota yang dijadikan sampel dalam penelitian, karena jumlah kabupaten/kota di Pulau Sumatera yang dijadikan sampel dalam penelitian ini tidak sebanyak di Pulau yang lainnya.

C.

Saran Penelitian mengenai perbedaan kinerja keuangan pada periode opini non

WTP dan periode opini WTPdimasa yang akan datang diharapkan mampu memberikan hasil penelitian yang lebih berkualitas dengan mempertimbangkan saran sebagai berikut: 1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas indikator pengukuran dengan menambahkan indikator pengukuran seperti Tingkat Pertumbuhan Ekonomi, Tingkat Kemiskinan, Tingkat Pengangguran, dan Rasio Gini. 2. Penelitian selanjutnya juga dapat memperpanjang tahun pengamatan sehingga dapat melihat terjadinya perbedaan kinerja keuangandalam jangka panjang karena periode yang lebih panjang diharapkan dapat lebih meminimalisasi kinerja keuangan. 3. Peneliti berikutnya juga dapat menggunakan pulau yang lain sebagai populasi dalam pengambilan sampelnya, sehingga dapat dilakukan perbandingan antar Pulau, misalnya Pulau Jawa, Kalimantan,sulawesi dan papua. 4. Bagi Pemerintah daerah kabupaten/ kota agar lebih baik dalam melakukan penganggaran untuk meningkatkan kinerja keuangan dan diharapkan tidak terlalu mengejar opini WTP, karena dari hasil penelitian ini opini WTP tidak selalu mencerminkan tingkat kinerja keuangan yang baik.

72

DAFTAR PUSTAKA

Azhar, M. (2008). Analisis kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota sebelum dan setelah otonomi daerah. (Tesis. Universitas Sumatera Utara). Anifa Yasmin, 2016. “Perbandingan kinerja pemerintah kabupaten/kota yang memperoleh opini wtp dan non wtp “. Skripsi. Universitas Lampung. http://opac.unila.ac.id/ucs/index.php?p=show_detail&id=14152

Adisasmita, Rahardjo, 2011. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah,Graha Ilmu, Yogyakarta.

Bruijn, Hans De. 2002. Performance Measurement in The Public Sector: Strategies to Cope With The Risk of Performance Measurement. Emerald Insight.

Baban Sobandi, et al. 2006. Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah. Bandung : Humaniora Anggota IKAPI Dora Detisa. (2008). “Hubungan pengelolaan Aset Daerah Dengan Kualitas Laporan Keuangan Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong”. Skripsi. Samarinda: Universitas Mulawarman.

Chan Yee Ching Lilian. 2004. Performance measurement and adoption of balanced scorecards. Emerald Insight, Vol: 17: 188-202.

Chow, C.W., Ganulin, D., Haddad, K. and Williamson, J. 1998. The balanced scorecard: a potent tool for energizing and focusing health-care organization management. Journal of Health-care Management.

Greiling, Dorothea. 2005. Performance measurement in the public sector: the German experience. Emerald Research, Vol. 54: 551-567.

73

Ghozali, I. (2011). Aplikasi analisis multivariat dengan program IBM SPSS 19. Cet, ke-lima. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Halachmi, Arie. 2005. Performance measurement is only one way of managing performance. International Journal of Productivity and Performance Management. Vol. 54: 502-516. Halim, Abdul. 2001. Definisi Keuangan Daerah : ”Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi 3”. Jakarta Salemba Empat.

Halim, Abdul, et.al. 2012. Teori, Konsep, dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik, Salemba Empat, Jakarta. Nolan, James F, Moore, Adrian, dan Segal, Geoffrey. 2003. Putting out the trash: measuring municipal service efficiency in U.S. cities. Working Paper Series. SSRN September Padovani.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Mardiyanto, Handono. 2008. Inti Sari Manajemen Keuangan. Jakarta: Grasindo.

Mahsun, M. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: BPFE-UGM.

Mahmudi. 2010. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit UII Press. Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah.

74

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Direktorat Jendral Otonomi Daerah.

Republik Indonesia. Undang-Undang No.33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Republik Indonesia. Undang-Undang No.33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia.

Rifka Amalia and ROHMAN, Abdul (2012) Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2005 Sampai Tahun 2010. Undergraduate thesis, Fakultas Ekonomika dan Bisnis.http://eprints.undip.ac.id/35545/ Rusdy, 2010. “Analisis Determinan Kinerja Keuangan Daerah Pemerintah Daerah dan Deteksi Ilusi Fiskal (Studi Kasus Provinsi di Indonesia Tahun 20052008)”. Skripsi, Fakultas Ekonomi Universitas Diponogoro, Semarang. Rosmiaty Tarmizi, Khairudin, Ayu Jayadi, 2014. “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung Sebelum Dan Setelah Memperoleh Opini WTP” Jurnal Akuntansi & KeuanganVol. 5, No. 2, September 2014 Halaman 71-90

75

Roeki Hakiki, 2017. “Analisis perbandingan kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota dengan opini wajar tanpa pengecualian (wtp) dan non Wtp berbasis value for money di provinsi Lampung tahun 2011-2015” Skripsi. Fakultas

Ekonomi

dan

Bisnis,

Universitas

Lampung.

http://digilib.unila.ac.id/28305/

Soleh Chabib dan Rohcmansjah Heru, 2010. Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Bandung: Fokusmedia.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Alfabeta. Jakarta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Alfabeta. Jakarta.

Wood, L. 1998. Local Government Dollars & Sense (Rancho Palos Verdes, CA.: Training Shoppe).

Yang, Kaifeng dan Hsieh, Jun Yi. 2007. Managerial Effectiveness of Government Performance Measurement: Testing a Middle-Range Model. Public Administration Review October 2007. Yuni Wulan Dary, M.Rizal Yahya, 2016. “Analisis Perbedaan Kinerja Keuangan Pendapatan Asli Daerah Periode Opini Non WTtp Dan Periode Opini Wtp” Jurnal Ilmiah Mahasiswa Ekonomi Akuntansi (JIMEKA) Vol. 1, No. 1, (2016) Halaman 60-73

76

LAMPIRAN 1

Tabel 4.1 Kinerja Keuangan PAD Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera Periode Opini Non WTP Kabupaten/kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Kota Subulussalam Kab. Humbang . H Kab. Pakpak Bharat Kab. Toba Samosir Kota Binjai Kota Pematangsiantar Kota Tebing Tinggi kab. Pasaman barat Kab. Sijunjung Kab. Solok Selatan Kota Padang Panjang Kota Solok Kab. Indragiri Hilir Kab. Indragiri Hulu Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kota Pekanbaru Kab. Merangin Kab. Muaro Jambi Kab. Sarolangun Kota Jambi Kab. Empat Lawang Kab. Musi Rawas Kab. Ogan Ilir Kab. Penukal Abab Kab. Kaur Kab. Lebong Kab. Lamsel Kab. Lamteng Kab. Pesawaran Kab. Bangka Kab. Bangka Barat Kab. Bangka Tengah

EKPPD 2,1046 2,968 2,9754 2,7168 2,7769 2,4258 2,8193 2,842 3,1016 3,0998 2,8465 2,8733 2,9497 2,7924 3,0175 3,9857 2,897 3,2295 2,6965 3,2162 2,8443 3,2888 3,1092 2,9143 30897 3,0008 3,0876 2,8666 2,8818 3,8976 3,1841 3,0667 3,0069

IPM 61.32 66.03 65.53 73.40 73.81 76.34 72.81 65.26 65.30 67.09 75.98 76.83 64.80 68 71.28 67.29 79.32 67.15 66.66 68.10 75.58 63.55 64.11 65.35 60.83 64.47 64.72 65.22 67.61 62.70 70.03 67.23 68.66

PDRB Harga Berlaku 1.287 4.413 826 5.622 8.382 10.566 4.288 11.714 7.110 10.153 2.533 2.964 51.797 34.583 66.285 27.160 83.662 10.589 17.049 11.176 21.353 3.816 14.101 8.168 5.095 2.457 2.331 31.413 48.878 11.717 11.022 11.473 7.056

PDRB Harga Konstan 1.141 3.407 677 4.552 6.571 7.992 3.235 9.357 5.537 3.268 2.066 2.307 37.920 25.791 46.314 20.801 57.615 7.993 13.238 8.987 15.921 2.964 11.050 6.118 3.736 1.856 1.746 24.655 38.774 9.369 8.513 8.749 5.272

77

Tabel 4.2 Kinerja Keuangan PAD Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera Periode Opini WTP Kabupaten/kota 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

Kota Subulussalam Kab. Humbang . H Kab. Pakpak Bharat Kab. Toba Samosir Kota Binjai Kota Pematangsiantar Kota Tebing Tinggi kab. Pasaman barat Kab. Sijunjung Kab. Solok Selatan Kota Padang Panjang Kota Solok Kab. Indragiri Hilir Kab. Indragiri Hulu Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kota Pekanbaru Kab. Merangin Kab. Muaro Jambi Kab. Sarolangun Kota Jambi Kab. Empat Lawang Kab. Musi Rawas Kab. Ogan Ilir Kab. Penukal Abab Kab. Kaur Kab. Lebong Kab. Lamsel Kab. Lamteng Kab. Pesawaran Kab. Bangka Kab. Bangka Barat Kab. Bangka Tengah

EKPPD 2,5048 2,9558 3,0887 2,9071 2,8884 2,7931 3,0687 2,9002 3,0918 2,5555 2,9103 3,0734 2,7722 2,9958 2,9642 2,9097 3,0481 3,3383 2,5693 3,2787 3,0668 2,8922 3,1996 3,0434 2,0587 3,1128 2,7536 3,0867 3,0755 2,9807 3,2976 3,1249 3,0755

IPM 62.18 66.56 65.81 73.61 74.11 76.90 73.58 66.03 66.01 67.47 76.50 77.07 65.35 68.67 71.39 67.86 79.69 67.86 67.55 68.73 76.14 64 64.75 65.45 61.66 64.95 65.58 66.19 68.33 63.47 70.43 67.60 68.76

PDRB Harga Berlaku 1.394 4.776 911 6.140 9.077 11.579 4.729 12.795 7.721 11.047 2.774 3.238 57.383 37.031 69.675 29.449 92.382 12.130 19.105 12.246 24.451 4.159 15.047 8.849 5.472 2.715 2.594 34.904 55.173 12.861 11.791 12.260 7.470

PDRB Harga Konstan 1.199 3.578 718 4.770 6.936 8.381 3.401 9.855 5.828 3.435 2.186 2.440 39.755 26.741 47.609 21.829 61.049 8.489 13.956 9.369 17.006 3.098 11.647 6.432 3.931 1.955 1.836 25.943 40.951 9.843 8.907 9.153 5.428

78

LAMPIRAN 2 Descriptive Statistics Periode Opini Non WTP N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

EKPPD

33

2,245

3,9857

27,495.94

8,577.132

IPM

33

60.83

79.32

68.2533

4.78508

PDRB_Harga_Berlaku

33

1.29

826.00

41.7034

142.14529

PDRB_Harga_Konstan

33

1.14

677.00

32.8428

116.47980

Valid N (listwise)

33

Descriptive Statistics Periode Opini WTP N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

EKPPD

33

2.0587

3.3383

2.950973

.2534613

IPM

33

61.66

79.69

68.7952

4.68804

PDRB_Harga_Berlaku

33

1.39

911.00

45.8611

156.77393

PDRB_Harga_Konstan

33

1.20

718.00

34.6950

123.53885

Valid N (listwise)

33

79

LAMPIRAN 3

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test EKPPD N Normal Parametersa

Most Extreme Differences

PDRB_Harga_ PDRB_Harga_K Berlaku onstan

IPM 33

33

33

33

Mean

27,495.94

68.2533

41.7034

32.8428

Std. Deviation

8,577.132

4.78508

142.14529

116.47980

Absolute

.324

.179

.388

.393

Positive

.204

.179

.381

.393

Negative

-.324

-.089

-.388

-.393

1.860

1.031

2.229

2.260

.002

.238

.000

.000

Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test EKPPD N Normal Parametersa

Most Extreme Differences

PDRB_Harga_ PDRB_Harga_K Berlaku onstan

IPM 33

33

33

33

Mean

2.950973

68.7952

45.8611

34.6950

Std. Deviation

.2534613

4.68804

156.77393

123.53885

Absolute

.190

.200

.388

.398

Positive

.125

.200

.380

.398

Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal.

-.190

-.093

-.388

-.393

1.094

1.149

2.231

2.285

.183

.143

.000

.000

80

LAMPIRAN 4

Tabel 4.7 Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std.

Std. Error

Mean Deviation Pair Opini_Non_WTP 1

- Opini_WTP

.54182

.24324

Mean

Sig. (2Lower

.04234

-.62807

Upper -.45557

t

df -

12.796

tailed) 32

.000

Tabel 4.8 Indeks Pembangunan Manusia

Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Mean Deviation Pair Opini_Non_WTP 1

- Opini_WTP

339.84 8

3,708.402

Std. Error

Sig. (2-

Mean

Lower

Upper

645.550

-975.094 1,654.791

t .526

df

tailed) 32

.602

81

Tabel 4.9 PDRB dengan harga Berlaku Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std.

Std. Error

Mean Deviation Pair Opini_Non_WTP 1

- Opini_WTP

Sig. (2-

Mean

Lower

1.22974

-4.35706

Upper

t

df

tailed)

1.8521

7.06434

.65275 -1.506

32

.142

5

Tabel 4.10 PDRB dengan harga konstan

Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Mean Deviation Pair Opini_Non_WTP 1

- Opini_WTP

Std. Error

Sig. (2-

Mean

Lower

Upper

t

2.54927

-9.35039

1.03500 -1.631

df

tailed)

4.1577 14.64444 0

32

.113

82

83

Related Documents

File
November 2019 29
File
April 2020 14
File
May 2020 13
File
November 2019 22
File
May 2020 10
File
May 2020 9

More Documents from ""