Faktor Risiko Penularan Hiv Kmb.docx

  • Uploaded by: Dewi Gymnastiar
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Faktor Risiko Penularan Hiv Kmb.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,317
  • Pages: 4
faktor risiko penularan HIV/AIDS. Faktor-faktor risiko yang diteliti terdiri dari: a. Faktor risiko perilaku, yaitu perilaku seksual yang berisiko terhadap penularan HIV/AIDS, yang meliputi partner hubungan seks lebih dari 1, seks anal, pemakaian kondom. b. Faktor risiko parenteral, yaitu faktor risiko penularan HIV/AIDS yang berkaitan dengan pemberian cairan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah vena. Faktor ini meliputi riwayat transfusi darah, pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) secara suntik (injecting drug users). c. Faktor risiko infeksi menular seksual (IMS), yaitu riwayat penyakit infeksi bakteri atau virus yang ditularkan melalui hubungan seksual yang pernah diderita responden, seperti sifilis, condiloma acuminata, dan gonorrhoea. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan format campuran, sebagian berupa pertanyaan terbuka, sebagian tertutup. Pengambilan data faktorfaktor risiko penularan HIV/AIDS maupun orientasi seks dilakukan dengan cara meminta responden mengisi kuesioner yang telah dipersiapkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 107 responden, hanya 6 orang (5,6%) yang menyatakan pernah menderita infeksi menular seksual (IMS). Secara kuantitatif, jumlah responden yang pernah menderita penyakit IMS pada kedua kelompok sama, yaitu 3 orang. Secara proporsi, 6% pada kelompok laki-laki homoseksual dan 5,3% pada kelompok heteroseksual pernah menderita IMS. Secara statistik Laki-laki homoseksual ternyata memiliki faktor risiko perilaku seksual lebih tinggi daripada laki-laki heteroseksual. Hal ini tampak dari kecenderungannya untuk memiliki lebih banyak partner seks dan melakukan seks anal. Perilaku pemakaian kondom, terutama pada saat melakukan hubungan seksual berisiko, pada kedua kelompok tidak berbeda, meskipun secara persentase lebih tinggi pada laki-laki heteroseksual. Secara umum, laki-laki homoseksual lebih berisiko tertular HIV/AIDS melalui berganti-ganti pasanagn (memiliki partner seks lebih dari satu), sedangkan laki-laki heteroseksual cenderung memiliki risiko penularan HIV/AIDS lebih tinggi melalui hubungan seks berisiko tanpa memakai kondom. Tingginya faktor-faktor risiko perilaku seksual pada laki-laki homoseksual, secara teoritis semestinya berbanding lurus dengan banyaknya kasus HIV/AIDS pada kelompok ini. Seks anal merupakan faktor perilaku seksual yang juga berhubungan erat dengan penularan HIV/AIDS. Penelitian yang dilakukan oleh Hounton et al. (2005) dan Nwokoji and Ajuwon (2004) menunjukkan bahwa partner seks yang banyak dan tidak memakai kondom dalam melakukan aktivitas seksual yang berisiko merupakan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS. Data kasus HIV/IDS di Indonesia maupun di Purwokerto menunjukkan bahwa kasus-kasus HIV/AIDS lebih banyak pada laki-laki heteroseksual, meskipun risikonya lebih tinggi pada laki-laki

homoseksual. Hasil ini tampaknya sesuai dengan hasil penelitian. Lebih banyaknya kasus HIV/AIDS pada kelompok heteroseksual disebabkan karena keterbatasan data tentang HIV/AIDS pada kelompok homoseksual. Keterbatasan ini dipengaruhi antara lain oleh stigma buruk masyarakat terhadap kelompok homoseksual, sehingga faktor-faktor risiko penularan HIV/AIDS pada kelompok homoseksual tetap tersembunyi. Hal ini terjadi juga pada laki-laki homoseksual. Kelompok ini lebih cenderung menutup diri dari masyarakat, karena pada umumnya masyarakat Purwokerto masih memberikan cap atau stigma buruk kepada kelompok homoseksual. Akibatnya, faktor risiko penularan HIV/AIDS pada kelompok ini tetap belum teridentifikasi dan penemuan kasus HIV/AIDS pada laki-laki homoseksual menjadi terhambat. Dari sisi kesehatan, khususnya dalam pencegahan dan penemuan kasus HIV/AIDS, stigma yang buruk ini sangat merugikan. Lebih tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok heteroseksual di Purwokerto, dapat pula dipengaruhi oleh kebiasaan tidak memakai kondom pada saat melakukan aktivitas seksual berisiko. Dibandingkan dengan laki-laki homoseksual, laki-laki heteroseksual lebih banyak yang melakukan hubungan seks dengan PSK, dan pada saat berhubungan seks dengan PSK tidak menggunakan kondom. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa kontak seksual yang tidak aman merupakan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS. Ketidak mauan pemakaian kondom pada saat melakukan aktivitas seks berisiko merupakan faktor perilaku seks yang paling banyak dijumpai. Perilaku seks berisiko merupakan faktor risiko utama penularan HIV/AIDS. Berdasarkan hasil penelitian ini, tampaknya dari beberapa faktor risiko perilaku seksual, meskipun hanya salah satu yang ditemukan, tetap menempatkan seseorang pada risiko yang tinggi untuk tertular HIV/AIDS. Kesimpulan ini berdasarkan data yang ada, bahwa secara statistik laki-laki heteroseksual hanya memiliki satu faktor risiko perilaku seks, sedangkan laki-laki homoseksual memiliki dua faktor risiko perilaku, tetapi kasus HIV/AIDS lebih banyak ditemukan pada laki-laki heteroseksual. Meskipun demikian, mengingat besarnya faktor risiko perilaku seks pada kelompok homoseksual, tetapi penemuan kasusnya masih sangat sedikit, maka penemuan kasus pada kelompok ini perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Untuk faktor risiko penularan HIV/AIDS melalui transfusi darah, tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok laki-laki homoseksual dengan laki-laki heteroseksual. Ini berarti kedua kelompok memiliki risiko yang sama untuk tertular HIV/AIDS melalui transfusi darah. Mengingat jumlah yang pernah mendapatkan transfusi darah hanya sedikit, maka risiko kedua kelompok untuk tertular HIV/AIDS melalui transfusi darah juga kecil. Meskipun demikian, laki-laki homoseksual maupun heteroseksual yang berperilaku seks berisiko yang pernah melakukan

donor darah cukup banyak, lebih dari seperempat dari total responden. Hal ini meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS pada penerima transfusi darah. Penularan HIV/AIDS melalui transfusi darah sering diabaikan di negara berkembang. Oleh karena itu, penularan HIV/AIDS melalui transfusi darah belum bisa dieliminasi, terutama apabila prevalensi HIV/AIDS melalui transfusi darah tinggi dan screening rutin darah belum dilakukan secara rutin. Mengingat hal ini, maka screening darah yang akan digunakan untuk transfusi merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Apalagi, sebagian dari responden yang berisiko tinggi melakukan donor darah secara rutin. Kurangnya kesinambungan pemeriksaan untuk screening HIV/AIDS pada semua darah yang akan digunakan untuk transfusi, dapat meningkatkan risiko penularan HIV/AIDS kepada para penerima donor darah. Sampai saat ini, masih belum ada data yang pasti mengenai berapa orang yang tertular HIV/AIDS melalui transfusi darah. Faktor risiko penularan HIV/AIDS pada laki-laki homoseksual maupun pada laki-laki heteroseksual tidak berbeda bermakna. Hanya sekitar 3% dari responden yang pernah menderita IMS. Dari data tersbut, terlihat bahwa risiko penularan HIV/AIDS melalui IMS sangat kecil. IMS merupakan faktor lain yang penting dalam penularan HIV/AIDS. Peradangan dan ulkus pada penderita IMS meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV, karena rusaknya barier mukosal memudahkan masuknya virus HIV ke dalam pembuluh darah. Selain itu IMS memfasilitasi virus HIV untuk hidup di dalam saluran genital dan merekrut sel peradangan virus HIV ke dalam saluran genital. Faktor risiko penularan HIV/AIDS melalui pemakaian narkoba melalui jarum suntik tidak ditemukan pada satupun responden. Hasil ini menandakan bahwa tidak ada risiko penularan HIV/AIDS pada kedua kelompok. Meskipun demikian, faktor risiko ini tetap perlu diwaspadai di masa mendatang, mengingat pemakaian narkoba suntik merupakan salah satu faktor risiko utama penularan HIV/AIDS pada penderita HIV/AIDS di Indonesia.

KESIMPULAN Laki-laki homoseksual memiliki risiko tertular HIV/AIDS lebih besar daripada lakilaki heteroseksual, khususnya melalui perilaku seksual berisiko, yaitu hubungan seks dengan lebih dari satu partner dan seks anal. Mengingat faktor risiko yang lebih besar pada kelompok homoseksual, sedangkan penemuan kasus pada kelompok ini masih rendah, perlu dilakukan upayaupaya pencegahan kasus HIV/AIDS pada kelompok ini secara intensif melalui kelompokkelompok gay yang ada.

DAFTAR PUSTAKA 1. Gayle, H.D. and G.L. Hill. Global impact of human immunodeficiency virus and AIDS. Clinical Epidemiology Reviews. 2001. 14 (2): 327-335. 2. Mesquita, F., I. Winarso, I.I.Atmosukarto, B. Eka, L. Nevendorff, A. Rahmah, P. Handoyo, P. Anastasia and R. Angela. Public health the leading force of the Indonesian response to the HIV/AIDS crisis among people who inject drugs. Harm Reduction Journal. 2007. 4 (1): 8-13. 3. Mathers, C.D. and D. Loncar. Projections of global mortality and burden of disease from 2002 to 2030. Plos Medicine. 2006. 3 (11): 2011-2030. 4. Yang, H., X. Li, B. Stanton, H.J. Liu, H. Liu, N. Wang, X. Fang, D. Lin and X. Chen. Heterosexual transmission of HIV in China: a systematic review of behavioural studies in the past two decades. Sex Transm Dis. 2005. 32 (5): 270-280. 5. Schmidt, M. and E.D. Mokotoff. HIV/AIDS surveillance and prevention: improving the characterization of HIV transmission. Public Health Reports. 2003.18: 197-204. 6. Lee, L.M., M.T. McKenna and R.S. Janssen. Classification of transmission risk in the national HIV/AIDS surveillance system. Public Health Reports. 2003.18: 400-407. 7. Gutierrez, J., S.M. Bertozzi, C.J. CondeGlez and M. Sanchez-Aleman. Risk behaviours of 15-21 years olds in Mexico lead to a high prevalence of sexually transmitted infections: results of a survey in disadvantaged urban areas. BMC Public Health. 2006. 6: 49- 59. 8. Hounton, S.H., H. Carabin and N.J. Henderson. Towards an understanding of barriers to condom use in rural Benin using the health belief model: a cross sectional survey. BMC Public Health. 2005. 5: 8-15.

Related Documents


More Documents from ""