Euthanasia Kelompok.docx

  • Uploaded by: Rima Isnaimun Wiryadireja
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Euthanasia Kelompok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,488
  • Pages: 37
Makalah

ANALISA KASUS EUTHANASIA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Asuhan Keperawatan Spiritual Muslim

Disusun Oleh : Kelompok 6

1. Ernawati Nurparida 2. Neng Rika Sopiyanti 3. Rima Isnaimun Sitompul 4. Susiana 5. Tofan Mutaqin

312018048 312018049 312018057

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) ‘AISYIYAH BANDUNG Jl. K. H. Ahmad Dahlan No. 6 Bandung

1

KATA PENGANTAR

‫ِب ۡس ِم ه‬ ‫ٱلر ِح ِيم‬ ‫ٱلر ۡح َٰم ِن ه‬ ‫ٱَّللِ ه‬ Assalammuallaikum wr.wb Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah melimpahkan rahmatnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah menegenai analisa kasus “Euthanasia” ini dengan lancar dan tanpa hambatan sedikitpun. Allah Maha Besar. Namun, kami menyadari kalau kami adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari kekurangan demikianpun apa yang kami buat ini. Kami banyak berharap kritik dan saran dari pembaca sehingga kami dapat menyempurnakan laporan-laporan yang akan kami buat kedepannya. Kiranya dapat berguna bagi pendidikan kesehatan khususnya bagi perawat dan pembaca. Adapun tujuan kami membuat analisa kasus ini yaitu untuk menyelesaikan tugas kuliah Asuhan Keperawatan Spiritual Muslim. Terimakasih kepada dosen-dosen yang mengajar kami sebagai pembimbing kami dalam kuliah keperawatan jiwa, semua teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam pembuatakan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Kami tidak bisa membalas semua itu dan semoga semua itu akan di balas oleh Allah SWT. Amien

Bandung, 19 Maret 2019

Kelompok 6

i

DAFTAR ISI

Halaman Kata Pengantar ......................................................................................................... i DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................... 1 B. Tujuan Penulisan............................................................................................ 2 C. Manfaat Penulisan.......................................................................................... 3 BAB II TINJAUAN TEORI ..................................................................................... 4 A. Pengertian ..................................................................................................... 4 B. Jeni-Jenis Euthanasia .................................................................................... 4 C. Dilema Etik Euthanasia Di Beberapa Negara ............................................... 6 D. Beberapa Aspek Yang Mengtur Euthanasia di Indonesia .............................. 8 E. Sudut Pandang Islam Terhadap Euthanasia .................................................. 11 F. Pro dan Kontra Kasus Euthanasia ................................................................. 16 G. Solusi Pengambilan Keputusan Kasus Dilema Etik ..................................... 18 H. Prinsip-prinsip Moral Keperawatan .............................................................. 22 BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 23 A. Kasus ............................................................................................................. 23 B. Pembahasan .................................................................................................. 23 BAB III PENUTUP .................................................................................................. 26 A. Kesimpulan ................................................................................................... 31 B. Saran .............................................................................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... iii

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Tetapi bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia. Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik. Untuk itulah masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk dibahas. Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-prinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all, 1982).

1

Profesi keperawatan mempunyai kontrak sosial dengan masyarakat, yang berarti masyarakat memberi kepercayaan kepada profesi keperawatan untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Konsekuensi dari hal tersebut tentunya setiap keputusan dari tindakan keperawatan harus mampu dipertanggung jawabkan dan dipertanggung gugatkan dan setiap penganbilan keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata tetapi juga dengan mempertimbangkan etika. Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang

dilakukan

seseorang

dan

merupakan

suatu

kewajiban

dan

tanggungjawanb moral. (Nila Ismani, 2001) Sehingga dalam bekerja, perawat harus mengetahui tentang prinsip-prinsip etika keperawatan, ethical issue dalam praktik keperawatan, dan prinsipprinsip legal dalam praktik keperawatan. B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengetahui masalah etik keperawatan mengenai kasus Euthanasia dan menganalisa kasus tersebut. 2. Tujuan Khusus a. Menegetahui pengertian dari Euthanasia b. Mengetahui jenis-jenis Euthanasia. c. Mengetahui Dilema Etik yang terjadi pada kasus Euthanasia di beberapa Negara d. Mengetahui Aspek-aspek penting yang mengatur dilema etik Euthanasia di Indonesia e. Mengetahui sudut pandang syari’ah islam mengenai kasus dilema Etik Euthanasia f. Mengetahui pro kontra yang terjadi mengenai kasus dilema Etik Euthanasia

2

g. Mengetahui peran perawat dalam menciptakan soulusi pada kasus dilemma etik Euthanasia C. Manfaat Penulisan 1. Membantu mahasiswa dalam proses belajar mengajar dalam memberikan Asuhan Keperawatan Spiritual Muslim pada pasien Terminal 2. Membantu mahasiswa dalam mempelajari masalah dilema etik yang terjadi di proses keperawatan khususnya kasus “Euthanasia” 3. Membantu

mahasiswa

mengembangkan

pemahaman

pengambilan keputusan terhadap masalah etik “Euthanasia”

3

mengenai

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Euthanasia Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata

lain

yang

misalnya: Euthanatio:

berdasar aku

pada

gabungan

menjalani

dua

kematian

kata

tersebut

yang

layak,

atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”. (K. Bertens, 2001) Euthanasia dalam Kamus Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama pada kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Sedangkan dalam Kamus Kedokteran Dorland euthanasi mengandung dua pengertian, yaitu: 1. Suatu kematian yang mudah dan tanpa rasa sakit. 2. Pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita dan tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan, secara hati-hati dan disengaja. B. Jenis-Jenis Euthanasia Menurut Ilmu Kedokteran Secara garis besar, euthanasia dikelompokkan kedalam dua kelompok, yaitu Euthanasia aktif dan euthanasia pasif.

4

Pandangan yang mengelompokkan euthanasia sebagai aktif dan pasif mendasarkannya pada cara euthanasia itu dilakukan. 1. Euthanasia aktif itu merupakan suatu tindakanmempercepat proses dari kematian, baik itu denganmemberikan suntikan ataupun melepaskan alatalatpembantu medika, seperti saluran asam, melepaspemacu jantung atau sebagainya. Yang termasuk tindakan untuk mempercepat proses kematian disini adalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis itu masih menunjukkan adanya harapan hidup. Dengan kata lain yaitu tanda-tandak ehidupan masih terdapat pada penderita, ketika tindakan itu dilakukan. 2. Euthanasia pasif, baik atas permintaan atau pun tidak atas permintaan pasein. Yaitu ketika dokter atau tenaga kesehatanlain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang mana dapat memperpanjang hidup kepada pasien (dengan catatan bahwa perawatan rutin yang optimal untuk mendampingi atau membantu pasiendalam fase terakhirnya tetap diberikan) (KartonoMuhammad, 1992:31) Ditinjau dari permintaan atau pemberian izin, euthanasia dibedakan atas, 1. Voluntary euthanasia. Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang. Permintaan pasien ini dilakukan dengan sadar atau dengan kata lain permintaa pasien secara sadar dn berulang-ulang, tanpa tekanan dari siapapun juga.Euthanasia

dilakukan oleh tenaga medis atas

permintaan pasien itu sendiri. 2. Involuntary euthanasia. Euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan oleh keluarga pasien.Ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental, kekurangan biaya, kasihan kepada penderitaan pasien, dan lain sebagainya. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma). Euthanasia ini

5

seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya hanya seorang wali dari pasien dan mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi pasien tersebut. 3. Assisted suicide. Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri. 4. Tindakan langsung menginduksi kematian. Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu yang bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar belas kasihan. (Billy, 2008) C. Dilema Etik Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan seanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional (Thomson & Thomson, 1985; CNA, 2002). Disini Euthanasia tampil sebagai sebuah kasus yang menarik sekaligus dilematis. Disatu sisi Euthanasia dipandang sebagai suatu jalan keluar, namun disisi lain Euthanasia dipandang sebagai pencabutan atas hak hidup seseorang. Di beberapa Negara Euthanasia di uraikan dalam penjelasan berikut : 1.

Belanda Pada tanggal 10 April 2001, Belanda menerbitkan undang-undang yang

mengizinkan euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami

6

sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Sebuah karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. 2. Negara bagian Australia Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang

baru

ini

beberapa

kali

dipraktikkan,

tetapi

bulan

Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. 3. Republik Ceko Di Republik

Ceko euthanasia

dinyatakan

sebagai

suatu

tindakan

pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan

dari

rancangan Kitab

Undang-undang

Hukum

Pidana.

Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan euthanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut. 4. Euthanasia di Negara Indonesia

7

Indonesia sendiri belum terdapat payung hukum yang mengatur secara khusus perihal euthanasia. Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan kode etik kedokteran tidak mengatur perihal euthanasia. Sebagaimana sedikit diulas diatas, kajian normatif euthanasia akan kembali seputar sejauh mana keterlibatan dokter dalam rumusan tindak pidana terutama pasal 344 KUHP. Bahkan apabila dokter melakukan Euthanasia tanpa berhati-hati, maka dapat dihubungkan pula secara tidak langsung dengan pasal 338, 340, 345 maupun 359 KUHP dan melanggar pasal pasal 7 huruf a, c, dan d Kode etik kedokteran. D. Beberapa Aspek Yang Mengatur Euthanasia Di Indonesia 1. Aspek Hukum Undang-undang Hukum pidana mengatur seseorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelanggaran yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif di Indonesia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa perintah, beberapa pasal yang berhubungan dengan euthanasia adalah :  Pasal 338 KUHP : “ Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena maker mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun”.  Pasal 340 KUHP : “Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.  Pasal 359 KUHP : “Barang siapa kerena salah menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selamalamanya satu tahun.

8

Selanjutnya dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia :  Pasal 345 KUHP : ”Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selamalamanya empat tahun.  Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2).  Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.  Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” .  Dasar atas tindakan boleh tidaknya dilakukan euthanasia yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia. Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan mengijinkan.  Para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan

segala

kepandaiannya

dan

kemampuannya

untuk

meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya. 2. Aspek Hak Azazi Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari

9

aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359. 3. Aspek Ilmu Pengetahuan Iptekdok dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara iptekdok hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam habisnya keuangan. 4. Aspek Agama Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan. Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan

10

Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya. Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005). E. Euthanasia dalam Pandangan Syariah Islam Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran ataupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4;29), yang makna langsungnya adalah “Janganlah kamu saling

11

berbunuhan”. Dengan demikian seorang Muslim (Dokter) yang membunuuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran Islam dsebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam apapun juga. Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. 1. Euthanasia Aktif Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS AlAn’aam : 151) “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92) “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29). Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori

12

pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : “Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178) Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai

dua

pilihan

lagi,

meminta

diyat

(tebusan),

atau

memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178) Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah

kepada-Nya,

yaitu

pengampunan

dosa.

Rasulullah

SAW

bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang

13

menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim). 2. Euthanasia Pasif Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,

seperti

kalangan

ulama

Syafiiyah

dan

Hanabilah,

seperti

dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180). Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA) Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul, Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab : “Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)

14

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap

auratku

[saat

kambuh].

Berdoalah

kepada

Allah

untuk

kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari). Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69). Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.

15

Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien – setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523). F. Pro dan Kontra Terkait Euthanasia Secara manusiawi kematian adalah sesuatu yang sangat pribadi dan personal. Peristiwa ini sudah sangat sensitif tanpa harus ditayangkan secara luas di televisi. Permohonan euthanasia atau suntik mati atas pasien pernah menjadi trendi di Indonesia yaitu dengan mencuatnya permohonan tersebut di media cetak maupun elektronik. Dan sempat menjadi bahan pembahasan dan pembicaraan yang ramai. Apalagi sebagian masyarakat telah menghubunghubungkannya dengan istilah hak asasi manusia. Jika euthanasia atau suntik mati dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, memang akan berbeda pendapat dalam menjawabnya antara pro dan kontra terhadap pelaksanaan euthanasia atau suntik mati tersebut. Hak asasi manusia bisa dikatakan sebagai momok yang seakan sangat menakutkan bagi setiap orang, karena segala sesuatu selalu akan dihubungkan dengan otonomi kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya sulit menentukan apa sebenarnya makna yang dikehendaki oleh hak asasi manusia. Jika melihat kasus di negara Inggris yang telah melegalkan euthanasia atau suntik mati pada prinsipnya bukan

16

merupakan kesepakatan bulat dikalangan pemerintahannya, karena disatu sisi masih ada yang menolaknya dengan alasan terkait dengan hak asasi manusia. Dilihat dari sudut pandang caring terkait empat prinsip etik – otonomi, non maleficence ( tidak merugikan orang lain), beneficence (memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian) dan justice (keadilan) menjadi topik bahan diskusi. Ada yang mendukung, akan tetapi ada juga yang menolak tindakan eutanasia ini (Toon Quaghebeur, et.al, 2009). Untuk yang menolak tindakan eutanasia ini menyatakan dengan tindakan eutanasia akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap profesi. Dengan tindakan eutanasia seperti menciptakan pandangan yang merubah peran perawat untuk merawat dan advokasi (Zimbelman, 1994;

Simpson &

Kowalski, 1993; Mc Cabe, 2007). Fokus perawat dalam melakukan asuhan keperawatan adalah mengobati pasien (merawat pasien) dan tidak termasuk eutanasia. Eutanasia merupakan tindakan antietik untuk aktifitas keperawatan dan

bukan

merupakan

bagian

dari

pandangan

pengobat/healing (McCabe, 2007). Low dan Pang

perawat

sebagai

(1999) juga menolak

tindakan eutanasia. Mereka berpandangan eutanasia merupakan hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip dasar pengobatan dan keperawatan secara umum, termasuk perawatan paliatif. Prinsip perawatan paliatif adalah ”melakukan hal yang baik” dan ”tidak melukai”. Dengan eutanasia akan mengakhiri

pertumbuhan

kemanusiaan

seseorang.

Goodman

(1996)

berpendapat perawatan alternatif akan lebih baik dari eutanasia seperti memberi perhatian lebih, mendukung pasien, dan menggunakan teknik yang lebih baik dalam mengontrol nyeri. Volkenandt (1998)

juga menyatakan

perawatan pendukung dan eutanasia bukanlah dilema etik karena eutanasia bukan pandangan yang baik dalam keperawatan. Sedangkan yang mendukung tindakan eutanasia berpandangan eutanasia merupakan bagian dari perawatan terminal, dan tidak bertentangan dalam perawatan yang komprehensif (Begley, 1998). Karena eutanasia merupakan salah satu tugas dalam memberikan perawatan. Dibutuhkan ketrampilan dan kesabaran untuk menemani seseorang yang akan meninggal dan memberikan

17

perawatan yang maksimal, termasuk didalamnya adalah eutanasia (Oduncu, 2003). Farsides (1996) menekankan eutanasia bukanlah tanda dari kegagalan perawatan, karena eutanasia merupakan bagian dari moral, walau alternatif pengobatan yang lain ada. Dan Kuhse (1997) berpendapat eutanasia merupakan bentuk perawatan yang spesialis. G. Solusi yang Diajukan Untuk Menjawab Masalah yang Ditemukan Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut : (1) Mengembangkan data dasar, (2) Mengidentifikasi konflik, (3) Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut. (4) Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat, (5) Mendefinisikan kewajiban perawat, (6) Membuat keputusan. Sedangkan menurut Park (2012) terdapat enam langkah efektif

yang

membantu didalam penyelesaian dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan etik yaitu : (1) Identifikasi masalah etik, (2) Mengumpulkan informasi untuk

identifikasi

masalah

untuk

pengembangan

penyelesaian,

(3)

Mengembangkan analisa alternatif dan membandingkan, (4) Memilih alternatif yang terbaik (5) Melaksanakan keputusan, (6) Evaluasi efek dan pengembangan strategi untuk mencegah terjadinya kejadian berulang. 1. Identifikasi Masalah Etik Sebelum seorang perawat dapat mengidentifikasi masalah etik, seorang perawat harus menyadari adanya masalah etik. Menyadari masalah etik ini terbentuk dari adanya hubungan yang dekat antara pasien dengan perawat (Slettebo & Bunch, 2004). Masalah etik yang terjadi di perawat karena tidak mampunya memenuhi kebutuhan pasien dan tujuan yang diharapkan (Ahern & MCDonald, 2002; Liaschenko, 1993; Wolf, 1989). Begitu juga yang terjadi di dalam kasus , tentunya perawat yang merawatnya merasakan konflik tersebut. Perawat akan memperhatikan keinginan pasien dan selalu bersama pasien (Nordvedt, 1998). Perawat selalu kontak dengan pasien sehingga memberi pengetahuan akan keinginan dan tujuan dari pasien (Liaschenko, 1993; Wolf, 1989). Dan perawat menemukan masalah etik pada pasien terkait

18

dengan euthanasia. Dan euthanasia ini termasuk kedalam masalah etik (Enes & de Vries, 2004; Georges & Grypdonck, 2002; Hutchinson, 1990; Lorensen, Davis, Konishi & Bunch, 2003). Perawatan pada pasien terminal berhubungan dengan pendekatan dan masalah pencapaian tujuan (Krishnasanamy, 1999). Pengakhiran kehidupan membuat perawat berada pada situasi etik yang tidak menentu, membuat perawat berada di ujung tanduk antara menghormati pasien akan otonominya, memberitahukan diagnose penyakitnya, dan memberikan banyak informasi yang tidak sesuai dengan keinginan pasien (Lorensen et.al., 2003). Disini perawat mengalami situasi yang sama ketika merawat pasien terminal dengan kondisi tidak stabil (Enes & de Vries, 2004), atau seperti ketika perawat memberikan perawatan yang tdak adekuat (Sorlie et. Al., 2005). 2. Mengumpulkan informasi dalam Pengembangan Penyelesaian Perawat mengumpulkan data melalui banyak cara, dapat melalui pasien, keluarga, atau tenaga kesehatan. Dan dalam mengidentifikasi masalah etik dapat terkaji melalui teknik perawatan pada pasien, situasi , usia , tingkat perkembangan, tingkat kemampuan dan perhatian terhadap kesehatan. Dan masalah etik akan berbeda tergantung dari area klinik yang ada (Redman & Fry, 2000). Kasus pasien mengalami kanker stadium lanjut yang telah menjalar keseluruh tubuh dan tidak ada kemungkinan untuk sembuh. Sehingga perlu perhatian lebih berkaitan dengan pengobatan, pendekatan pada pasien, dan kompetensi tenaga kesehatan yang terlibat didalamnya (Ceci, 2004; Schroeter, 1999). 3. Mengembangkan analisa alternative dan membandingkan Didalam mengembangkan alternative untuk menyelesaikan masalah etik harus diperhatikan hasil yang diterima oleh pasien dan dampak terhadap perawat itu sendiri. Alternatif yang dipilih berdasarkan tidak ada resiko terhadap perawat, tidak menimbulkan reaksi yang negative dari pihak lain (termasuk didalamnya tenaga medis dan administrasi rumah sakit). Alternatif yang dapat diberikan pada pasien disini oleh seorang perawat dengan memberikan informasi akan euthanasia (Hutchinson, 1990), atau 19

melalui komunikasi antara pasien, keluarga, tim medis dan lainnya. Dan perawat disini memberikan informasi berkaitan dengan hal tersebut (Redman & Fry, 2000). Alternatif yang lain dengan mendiskusikan terapi yang diberikan pada pasien dengan dokter yang menangani sehingga didapatkan informasi yang lengkap dan jelas sebelum pasien memutuskan euthanasia (Wurzbach, 1999). Tentunya didalam teknik perawatan juga harus diperhatikan seperti perhatian, sentuhan, pemberian informasi merupakan hal yang penting didalam perawatan paliatif dapat

mempengaruhi

pengambilan

terhadap pasien. Yang nantinya

keptusan

yang

dibuat.

Didalam

memikirkan alternative penyelesaian masalah etik perawat memperhatikan tiga faktor yaitu : (a) fokus akan kebutuhan pasien, (b) Meyakini perawat mempunyai kewajiban terhadap pasiennya, (c) Mempunyai perasaan untuk menyelesaikan masalah etik pasiennya (Sleutel, 2000; Wurzbach, 1999). Terkadang perawat berperilaku fokus hanya pada dirinya (Sleutel, 2000), tidak mempunyai kekuatan dan pasif (Ahern & McDonald, 2002) sehingga tidak mau terlibat dengan masalah etik yang terjadi pada pasiennya. Termasuk disini masalah euthanasia, terlihat seperti lampu kecil yang tidak ada alternative untuk menyelesaikannya (Lutzan & Schreiber, 1998). Perawat dapat berperan disini untuk mengkompromikan tindakan yang dilakukan, mengkritis hal-hal yang tidak masuk akal, atau mencari penyelesaian yang baik (Woods, 1999). Dan hal ini dilakukan dengan pendekatan interpersonal dan organisasional (Ceci, 2004). Termasuk kedalamnya perawatan pasien terminal sebelum keputusan euthanasia dibuat. 4. Memilih alternative Diperoleh melalui diskusi dengan teman kerja, atasan, hal ini akan membantu

didalam

sensitivitas

akan

masalah

etik

yang

ada

dan

penyelesaiannya (Fry et al., 2002; Hart, Yate, Clinton & Windsor, 1998). Penelitian menunjukkan permasalahan etik yang sebelumnya membantu didalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah tersebut (Lorensen et al., 2003). Akan tetapi perlu diperhatikan didalam pengambilan keputusan ada batasan –batasannya seperti struktur organisasi didalam peran, kekuatan hubungan dan hal ini berdampak terhadap keputusan perawat 20

didalam penyelesaian masalah etik (Falk Rafael, 1996). Dan yang paling berperan didalam penyelesaian masalah etik adalah adanya hubungan interpersonal yang baik antara pasien dan perawat dan juga dengan tenaga kesehatan lainnya(Bergum, 2004). Hal ini akan membuat penyelesaian masalah etik menjadi efektif termasuk kedalamnya kasus euthanasia. 5.

Melaksanakan keputusan Ketika sudah direncanakan alternative-alternatif yang ada dibuatlah

keputusan untuk menyelesaikan masalah etik. Terkait dengan kasus setelah alternative diberikan dan pasien yang tetap dengan pendirian dilakukan tindakan euthanasia, maka perawat harus siap dengan keputusan tersebut. Perawat tetap melaksanakan perawatan terminal pada pasien sehingga pada tahap kematian. Konflik perasaan yang terjadi di dalam diri perawat harus diatasi. Perasaan bersalah, takut, menyesal disingkirkan setelah keputusan tersebut dibuat. 6.

Mengevaluasi Dalam tahap evaluasi perlu dilihat kembali apakah hasil yang didapatkan

sesuai dengan keinginan pasien, adanya konflik baru diantara perawat atau tenaga kesehatan lain. Dalam kenyataan ketika memenuhi kewajiban untuk merawat pasien dalam menyelesaikan masalah etik sering menyebabkan menurunnya kualitas kerja yang efektif antara perawat itu sendiri dan juga berdampak terhadap struktur organisasi. Perlu dievaluasi juga alasan moral yang terbentuk didalam mengambil keputusan dan cara kerja perawat dalam mengatasi masalah etik. Sehingga didapatkan kualitas personal, pendidikan, pengalaman dan lingkungan kerja yang berkualitas. Dalam kasus euthanasia ini tentunya perawat mendapat pengalaman untuk melakukan perawatan pada pasien yang memutuskan tindakan euthanasia. Tindakan ini tidak hanya melibatkan diri perorangan perawat tetapi juga struktur organisasi di rumah sakit tersebut. Sehingga dari pengalaman ini didapatkan evaluasi yang obyektif didalam menilai pelayanan yang diberikan selama ini sehingga didapatkan kualitas pelayanan pada masa berikutnya. 21

H. Prinsip-Prinsip Moral/Etik Dalam Praktek Keperawatan Prinsip moral/etik merupakan masalah umum dalam melakukan sesuatu sehingga membentuk suatu sistem etik. Prinsip moral berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu. (John Stone, 1989) prinsip-prinsip etik dalam keperawatan adalah sebagai berikut : 1. Autonomi Autonomi berarti mengatur dirinya sendiri, prinsip moral ini sebagai dasar perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan cara menghargai pasien, bahwa pasien adalah seorang yang mampu menentukan sesuatu bagi dirinya. Perawat harus melibatkan pasien dalam membuat keputusan tentang asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien. Aplikasi prinsip moral otonomi dalam asuhan keperawatan ini contohnya adalah seorang perawat apabila akan menyuntik harus memberitahu untuk apa obat tersebut, prinsip otonomi ini dilanggar ketika seorang perawat tidak menjelaskan suatu tindakan keperawatan yang akan dilakukannya, tidak menawarkan pilihan misalnya memungkinkan suntikan atau injeksi bisa dilakukan di pantat kanan atau kiri dan sebagainya. Perawat dalam hal ini telah bertindak sewenangwenang pada orang yang lemah. Hukum islam mengajarkan bahwa kita tidak boleh sewenang-wenang pada kaum yang lemah, Allah ta’ala berfirman dalam Adh Dhuha 9-10, “ Adapun terhadap anak yatim,maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang dan terhadap

peminta-minta,

maka

janganlah

kamu

menghardiknya.

(Nawawi,1999). 2. Benefecience Prinsip beneficience ini oleh Chiun dan Jacobs (1997) dedefinisikan dengan kata lain doing good yaitu melakukan yang terbaik . Beneficience adalah melakukan yang terbaik dan tidak merugikan orang lain , tidak membahayakan pasien . Apabila membahayakan, tetapi menurut pasien hal itu yang terbaik maka perawat harus menghargai keputusan pasien tersebut,

22

sehingga keputusan yang diambil perawat pun yang terbaik bagi pasien dan keluarga. Beberapa contoh prinsip tersebut dalam aplikasi praktik keperawatan adalah, seorang pasien mengalami perdarahan setelah melahirkan, menurut program terapi pasien tersebut harus diberikan tranfusi darah, tetapi pasien mempunyai kepercayaan bahwa pemberian tranfusi bertentangan dengan keyakinanya, dengan demikian perawat mengambil tindakan yang terbaik dalam rangka penerapan prinsip moral ini yaitu tidak memberikan tranfusi setelah pasien memberikan pernyataan tertulis tentang penolakanya. Perawat tidak memberikan tranfusi, padahal hal tersebut membahayakan pasien, dalam hal ini perawat berusaha berbuat yang terbaik dan menghargai pasien. Ada kaidah syariat yang dibangun atas prinsip memudahkan dan menghindari kesulitan dengan catatan, dalam keadaan terpaksa (Qardhawi, 2000). Adapun dalam kondisi darurat Allah swt. Berfirman, “ Maka barang siapa yang terpaksa sedang ia tidak menginginkanya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-An’am : 145) . Begitulah perawat tidak menyelamatkan jiwa pasien tersebut dalam keadaan terpaksa yaitu tidak memberikan tranfusi yang sebenarnya bisa menyelamatkan jiwa pasien. 3. Justice Setiap individu harus mendapatkan tindakan yang sama, merupakan prinsip dari justice (Perry and Potter, 1998 ; 326). Justice adalah keadilan, prinsip justice ini adalah dasar dari tindakan keperawatan bagi seorang perawat untuk berlaku adil pada setiap pasien, artinya setiap pasien berhak mendapatkan tindakan yang sama. Tindakan yang sama tidak selalu identik, maksudnya setiap pasien diberikan konstribusi yang relatif sama untuk kebaikan kehidupannya. Prinsip Justice dilihat dari alokasi sumber-sumber yang tersedia, tidak berarti harus sama dalam jumlah dan jenis, tetapi dapat diartikan bahwa setiap individu mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkannya sesuai dengan kebutuhan pasien. (Sitorus, 2000).

23

Sebagai contoh dari penerapan tindakan justice ini adalah dalam keperawatan di ruang penyakit bedah, sebelum operasi pasien harus mendapatkan penjelasan tentang persiapan pembedahan baik pasien di ruang VIP maupun kelas III, apabila perawat hanya memberikan kesempatan salah satunya maka melanggar prinsip justice ini. Hukum islam juga mengatur bahwa manusia itu hendaknya berbuat adil pada sesama. Firman Allah swt : “Sesungguhnya Allah memerintahkan adil dan berbuat baik” (An-Nahl 90) 4. Veracity Veracity menurut Chiun dan Jacobs (1997) sama dengan truth telling yaitu berkata benar atau mengatakan yang sebenarnya. Veracity merupakan suatu kuajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi orang lain atau pasien (Sitorus, 2000). Perawat dalam bekerja selalu berkomunikasi dengan pasien, kadang pasien menanyakan berbagai hal tentang

penyakitnya,

tentang

hasil

pemeriksaan

laboratorium,

hasil

pemeriksaan fisik seperti, “berapa tekanan darah saya suster?”, bagaimana hasil laboratorium saya suster?’ dan sebagainya. Hal-hal seperti itu harusnya dijawab perawat dengan benar sebab berkata benar atau jujur adalah pangkal tolak dari terbinanya hubungan saling percaya antar individu dimanapun berada. Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an (Al Hajj : 30), “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. (Nawawi,1999 : 447) Namun demikian untuk menjawab pertanyaan secara jujur diatas perlu juga dipikirkan apakah jawaban perawat membahayakan pasien atau tidak, apabila memungkinkan maka harus dijawab dengan jawaban yang jelas dan benar, misalnya pasien menanyakan hasil pemeriksaan tekanan darah maka harus dijawab misalnya, 120/80 mmHg, hasil laboratorium Hb 13 Mg% dan sebagainya. Prinsip ini dilanggar ketika kondisi pasien memungkinkan untuk menerima jawaban yang sebenarnya tetapi perawat menjawab tidak benar misalnya dengan jawaban ; hasil ukur tekanan darahnya baik, laboratoriumnya baik, kondisi bapak atau ibu baik-baik saja, padahal nilai hasil ukur tersebut baik buruknya relatif bagi pasien.

24

Seorang perawat yang professional dan islami akan berperilaku secara profesional dan islami juga. Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata “Saya menghafal beberapa kalimat dari Rasullullah saw, yaitu : “Tinggalkanlah apa yang kamu ragukan dan kerjakanlah apa yang tidak kamu ragukan, sesungguhnya jujur itu menimbulkan ketenangan dan dusta itu menimbulkan kebimbangan. (HR. Tirmidzi). Tentang berkata jujur dalam agama islam juga diwajibkan yaitu Allah Ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar” (Al-Ahzab : 70) 5. Avoiding Killing Prinsip avoiding killing menekankan perawat

untuk menghargai

kehidupan manusia (pasien), tidak membunuh atau mengakhiri kehidupan. Thomhson ( 2000 : 113) menjelasakan tentang masalah avoiding killing dengan Euthanasia yang kata lainya tidak menentukan hidup atau mati yaitu istilah yang digunakan pada dua kondisi yaitu hidup dengan baik atau meninggal. Ketika menghadapi pasien dengan kondisi gawat maka seorang perawat harus mempertahankan kehidupan pasien dengan berbagai cara. Tetapi menurut Chiun dan Jacobs (1997 : 40) perawat harus menerapkan etika atau prinsip moral terhadap pasien pada kondisi tertentu misalnya pada pasien koma yang lama yaitu prinsip avoiding killing, pasien dan keluarga mempunyai hak-hak menentukan hidup atau mati. Sehingga perawat dalam mengambil keputusan masalah etik ini harus melihat prinsip moral yang lain yaitu beneficience, nonmaleficience dan otonomy yaitu melakukan yang terbaik, tidak membahayakan dan menghargai pilihan pasien serta keluarga untuk hidup atau mati. Mati disini bukan berarti membunuh pasien tetapi menghentikan perawatan dan pengobatan dengan melihat kondisi pasien dengan

pertimbangan

beberapa

prinsip

moral

diatas.

Mengenai hak hidup islam menjelaskan “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan suatu alasan yang benar”

25

6. Fedelity Sebuah profesi mempunyai sumpah dan janji, saat seorang menjadi perawat berarti siap memikul sumpah dan janji. Hudak dan Gallo (1997 : 108), menjelaskan bahwa membuat suatu janji atau sumpah merupakan prinsip dari fidelity atau kesetiaan. Dengan demikian fidelity bisa diartikan dengan setia pada sumpah dan janji. Chiun dan Jacobs (1997 : 40) menuliskan tentang fidelity sama dengan keeping promises, yaitu perawat selama bekerja mempunyai niat yang baik untuk memegang sumpah dan setia pada janji. Prinsip fidelity menjelaskan kewajiaban perawat untuk tetap setia pada komitmennya, yaitu kuajiaban memperatankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien yang meliputi menepati janji dan menyimpan rahasia serta caring (Sitorus, 2000 : 3). Prinsip fidelity ini dilanggar ketika seorang perawat tidak bisa menyimpan rahasia pasien kecuali dibutuhkan, misalnya sebagai bukti di pengadilan, dibutuhkan untuk menegakan kebenaran seperti penyidikan dansebagainya. Nabi saw bersabda, HR Thabrani,”Barang siapa membicarakan seorang dengan suatu yang tidak ada kenyataanya dengan maksud hendak mencelanya, Allah akan menahanya di neraka jahanam sehingga ia datang dengan melaksanakan apa yang ia bicarakan tentangnya” (Qardhawi, 2000 : 460) Penerapan prinsip fidelity dalam praktik keperawatan misalnya, seorang perawat tidak menceritakan penyakit pasien pada orang yang tidak berkepentingan, atau media lain baik diagnosa medisnya (Carsinoma, Diabetes Militus) maupun diagnosa keperawatanya (Gangguan pertukaran gas, Defisit nutrisi). Selain contoh tersebut yang merupakan rahasia pasien adalah pemeriksaan hasil laboratorium, kondisi ketika mau meninggal dan sebagainya. Sabda rosul, Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu abbas : “ Barang siapa menutupi aurot saudaranya sesama muslim, maka Allah akan menutupi auratnya pada hari kiamat nanti, dan barang siapa yang membukakan aurat

saudaranya sesama muslim,

membukakan pula auratnya bahkan seisi rumahnya”.

26

maka Allah akan

BAB III Kasus Dan Pembahasan

A. Kasus Seorang pasien bernama Ny.T datang ke IGD dengan keadaan tidak sadarkan diri, GCS E : 1 M : 3 V : 2, nampak nafas berat, suara nafas stridor, TTV TD : 80/50 HR : 116 SpO2 85% tanpa O2 saat pertama datang. Menurut keluarga os menderita Kanker Ovarium Meta Paru sudah di lakukan kemotherapi dan sinar. Setelah dilakukan pengkajian dan penanganan os di sarankan masuk ICU karena dengan penurunan kesadaran beresiko terjadi gagal nafas. Namun saat itu keluarga menolak dengan alasan kasian kepada pasien apabila harus di pasang alat bantu (ETT) dan kondisi di ruang ICU pasen tidak bisa di tunggu. Keluarga sudah diberikan penjelasan oleh pihak dokter dan perawat perihal kondisi pasien saat ini juga proses penatalaksanaan yang akan di lakukan serta segala resiko yang mungkin saja bisa terjadi, akan tetapi keluarga tetap menolak dan akhirnya keluarga melakukan pernyatanaan untuk do not resuscitation (DNR) dengan resiko henti nafas henti jantung bisa saja terjadi kapan saja dengan kondisi pasien seperti ini. B. Pembahasan dan Pemecahan Dilema Etik Pada kasus di atas muncul beberapa pertanyaan : 1. Apakah keputusan tersebut termasuk dalam kategori euthanasia pasif? 2. Bagaimana sikap seorang perawat menghadapi kasus dilemma etik pada seperti kasus di atas? Pembahasan 1. Pada kasus di atas bila di tinjau dari pengertian euthanasia pasif, dapat di kategorikan euthanasia pasif, namun masih perlu analisa mendalam terhadap kasus tersebut, factor-faktor apa saja yang menjadi penyebab keputusan tersebut di ambil? sudah sesuaikah peran atau tindakan yang

27

dilakukan oleh pihak medis dan keputusan yang akan di ambil keluarga dalam kasus ini? 2. Dalam kasus ini perawat megembangkan proses pengambilan keputusan seperti berikut : a. Identifikasi Masalah Etik Sebelum seorang perawat dapat mengidentifikasi masalah etik, seorang perawat harus menyadari adanya masalah etik. Menyadari masalah etik ini terbentuk dari adanya hubungan yang dekat antara pasien dengan perawat (Slettebo & Bunch, 2004). Masalah etik yang terjadi di perawat karena tidak mampunya memenuhi kebutuhan pasien dan tujuan yang diharapkan (Ahern & MCDonald, 2002; Liaschenko, 1993; Wolf, 1989). Begitu juga yang terjadi di dalam kasus, perawat harus mengidentifikasi terlebih dahulu apa keinginan pasien atau keluarga dan memprosesnya dengan identifikasi perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan terhadap masalah pasien? b. Mengumpulkan informasi dalam Pengembangan Penyelesaian Perawat mengumpulkan data melalui banyak cara, dapat melalui pasien, keluarga, atau tenaga kesehatan. Dan dalam mengidentifikasi masalah etik dapat terkaji melalui teknik perawatan pada pasien, situasi , usia , tingkat perkembangan, tingkat kemampuan dan perhatian terhadap kesehatan. Kasus pasien mengalami kanker stadium lanjut yang telah menjalar keseluruh tubuh dan tidak ada kemungkinan untuk sembuh. Sehingga perlu perhatian lebih berkaitan dengan pengobatan, pendekatan pada pasien, dan kompetensi tenaga kesehatan yang terlibat didalamnya (Ceci, 2004; Schroeter, 1999). Pada tahapan ini perawat harus mampu berkolaborasi dengan tim tenaga medis lain untuk menidentifikasi masalah etik yang ada, tidak hanya dengan dr. Jaga di IGD tetapi harus sampai pada dokter spesialis onkologi ataupun KIC. Perawat juga harus menumpulkan informasi apa factor penyebab adanya dilem etik tersebut. c. Mengembangkan analisa alternative dan membandingkan

28

Didalam mengembangkan alternative untuk menyelesaikan masalah etik harus diperhatikan hasil yang diterima oleh pasien dan dampak terhadap perawat itu sendiri. Alternatif yang dipilih berdasarkan tidak ada resiko terhadap perawat, tidak menimbulkan reaksi yang negative dari pihak lain (termasuk didalamnya tenaga medis dan administrasi rumah sakit). Alternatif yang dapat diberikan pada pasien disini oleh seorang perawat dengan memberikan informasi, atau melalui komunikasi antara pasien, keluarga, tim medis dan lainnya. Dan perawat disini memberikan informasi berkaitan dengan hal tersebut, Alternatif yang lain dengan mendiskusikan terapi yang diberikan pada pasien dengan dokter yang menangani sehingga didapatkan informasi yang lengkap dan jelas. Tentunya didalam teknik perawatan juga harus diperhatikan seperti perhatian, sentuhan, pemberian informasi merupakan hal yang penting didalam perawatan paliatif terhadap pasien. Yang nantinya dapat mempengaruhi pengambilan keptusan yang dibuat. Didalam memikirkan alternative penyelesaian masalah etik perawat memperhatikan tiga faktor yaitu : (a) fokus akan kebutuhan pasien, (b) Meyakini perawat mempunyai kewajiban terhadap pasiennya, (c) Mempunyai perasaan untuk menyelesaikan masalah etik pasiennya (Sleutel, 2000; Wurzbach, 1999). Perawat dapat berperan disini untuk mengkompromikan tindakan yang dilakukan, mengkritis hal-hal yang tidak masuk akal, atau mencari penyelesaian yang baik, dan hal ini dilakukan dengan pendekatan interpersonal dan organisasional (Ceci, 2004). Termasuk kedalamnya perawatan pasien terminal sebelum keputusan dibuat. d. Memilih alternative Diperoleh melalui diskusi dengan teman kerja, atasan, hal ini akan membantu

didalam

sensitivitas

akan

masalah

etik

yang

ada

dan

penyelesaianny. Akan tetapi perlu diperhatikan didalam pengambilan keputusan ada batasan –batasannya seperti struktur organisasi didalam peran, kekuatan hubungan dan hal ini berdampak terhadap keputusan perawat didalam penyelesaian masalah etik. Dan yang paling berperan didalam penyelesaian masalah etik adalah adanya hubungan interpersonal yang baik

29

antara pasien, keluarga dan perawat dan juga dengan tenaga kesehatan lainnya, sehingga hal ini akan membuat penyelesaian masalah etik menjadi efektif. e.

Melaksanakan keputusan Ketika sudah direncanakan alternative-alternatif yang ada dibuatlah

keputusan untuk menyelesaikan masalah etik. Terkait dengan kasus setelah alternative diberikan dan keluarga pasien yang tetap dengan pendirian untuk DNR, maka perawat harus siap dengan keputusan tersebut. Perawat tetap melaksanakan perawatan terminal pada pasien sehingga pada tahap kematian. Konflik perasaan yang terjadi di dalam diri perawat harus diatasi. Perasaan bersalah, takut, menyesal disingkirkan setelah keputusan tersebut dibuat. f.

Mengevaluasi Dalam tahap evaluasi perlu dilihat kembali apakah hasil yang didapatkan

sesuai dengan keinginan pasien, adanya konflik baru diantara perawat atau tenaga kesehatan lain. Dalam kenyataan ketika memenuhi kewajiban untuk merawat pasien dalam menyelesaikan masalah etik sering menyebabkan menurunnya kualitas kerja yang efektif antara perawat itu sendiri dan juga berdampak terhadap struktur organisasi. Perlu dievaluasi juga alasan moral yang terbentuk didalam mengambil keputusan dan cara kerja perawat dalam mengatasi masalah etik. Sehingga didapatkan kualitas personal, pendidikan, pengalaman dan lingkungan kerja yang berkualitas. Tindakan ini tidak hanya melibatkan diri perorangan perawat tetapi juga struktur organisasi di rumah sakit tersebut. Sehingga dari pengalaman ini didapatkan evaluasi yang obyektif didalam menilai pelayanan yang diberikan selama ini sehingga didapatkan kualitas pelayanan pada masa berikutnya.

30

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Tinjauan akan hukum Islam mengenai euthanasia, terutama yaitu euthanasia aktif adalah diharamkan. Karena euthanasia aktif ini dikategorikan sebagai perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam oleh Allah SWT dengan hukuman neraka selama-lamanya. Karena yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu orang yang mengakhiri hidupnya atau orang yang membantu mempercepat suatu kematian seseorang sama saja dengan menentang ketentuan agama. Perawat memiliki peran penting dalam pemecahan kasus dilema etik Euthanasia, ada beberapa aspek yang perlu di kaji mengapa muncul kasus dilema etik itu dapat terjadi. Ada beberapa teori yang dapat membantu perawat dalam mengambil keputusan apabila terjadi kasus dilema etik seperti yang sudah di bahas pada makalah ini. Hal terpenting yang ingin penulis sampaikan bahwa Euthanasia merupakan masalah etik dalam proses keperawatan yang harus diselesaikan perawat dengan mengedepankan kebutuhan dasar pasien, dengan melakukan asuhan keperawatan yang sesuai di harapkan perawat dapat membantu membuat keputusan yang etis yang tidak merugikan siapapun. Pada pasien terminal perawat harus mampu melakukan perannya sebagai pemberi asuhan keperawatan terhadap pasien terminal, salah satunya pendampingan spiritual yang harus perawat fasilitasi terhadap pasien, agar pasien dapat meninggal secara sukses sesuai aturan agama yang di anut pasien. Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa sebagai seorang perawat yang professional dalam bertugas dalam bidang pelayanan masyarakat harus memahami dan menerapkan etika keperawatan yang digunakan sebagai acuan bagi perlaku seseorang yang berkaitan dengan

31

tindakan yang baik dan buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb moral. Selain berpedoman pada etika keperawatan, dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, perawat juga harus mengetahui prinsip-prinsip etika keperawatan, ethical issue dalam praktik keperawatan dan prinsipprinsip legal dalam praktik keperawatan, sehingga nantinya dalam memberikan pelayanan kesehatan, seorang perawat dapat meberikan pelayanan terbaik kepada klien. B. Saran 1. Institusi Pendidikan Agar memberikan feedback positif terhadap makalah ini, agar bila terjadi kesalahan dalam penulisan ataupun kekeliruan dalam isi materi makalah ini dapat di perbaiki dan tidak menimbulkan salah tafsir datau pro kontra yang menyebabkan timbulnya masalah baru, sehingga di penulisan kedepan makalah ini dapat dikembangkan dengan lebih baik. 2. Mahasiswa Agar Mahasiswa lebih bisa mengembangkan pemahaman mengenai kasus penatalaksanaan masalah etik yang terjadi pada proses keperawatan khususnya masalah etik mengenai “Euthanasia”, mempelajari fenomena dan literature yang terbaru sehingga makalah ini dapat diperbaiki dan menghasilkan acuan literartur yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran keperawatan.

32

DAFTAR PUSTAKA

AL-Quran Al Karim Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds: Mansyurat Hizb Al-Tahrir. Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah. Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.Juz IX (Al Mustadrak). Damaskus : Darul Fikr. Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line. Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, AlIjhadh, Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa alMaut. Beirut :Darul Ummah.Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan OrganTubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah. Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung Arifin Rada. 2013. Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Perspektif Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei (diakase melalui http://www.jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/119 tanggal 19 Maret 2019 19.30)

33

Elmina, Marta A. 1997. Euthanasia Dalam Prespektif Hukum Islam. Jurnal Fakultas Hukum UI No 8 Vol 5 ( diakses melalui neliti.com https://www.neliti.com/id/publications/87125/euthanasia-dalamperspektif-hukum-islam tanggal 19 Maret 2019 19.30) Hayati, Nur. 2004. Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Kaitannya Dengan Hukum Pidana. Lex Jurnalica /Vol. 1 /No.2 /April 2004 (diakses

melalui

neliti.com/

Repositori

Ilmiah

Indonesia

https://www.neliti.com/id/publications/12562/euthanasia-dan-hak-asasimanusia tanggal 19 Maret 2019 19.35) Suwarto. 2009. Euthanasia dan Perkembangannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum pidana. Jurnal Hukum Pro Justitia Vo. 27 No 2 (diakses melalui neliti.com/

Repositori

Ilmiah

Indonesia

https://www.neliti.com/id/publications/13078/euthanasia-danperkembangannya-dalam-kitab-undang-undang-hukum-pidana tanggal 19 Maret 2019 19.35) Lisnawaty Badu. 2012. EUTHANASIA DAN HAK ASASI MANUSIA. Jurnal Legalitas VOL 05, NO 01, 2012 (diakses melalui neliti.com/ Repositori Ilmiah Indonesia https://www.neliti.com/id/publications/12562/euthanasiadan-hak-asasi-manusia tanggal 19 Maret 2019 19.35)

34

Related Documents

Euthanasia
April 2020 25
Euthanasia
November 2019 29
Euthanasia
June 2020 20
Euthanasia
June 2020 15
Euthanasia
May 2020 19
Euthanasia
May 2020 13

More Documents from ""