Etika Dan Hakikat Pendidikan Yang Berkualitas

  • Uploaded by: Rasyid Ridha
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Etika Dan Hakikat Pendidikan Yang Berkualitas as PDF for free.

More details

  • Words: 1,581
  • Pages: 6
ETIKA DAN HAKIKAT PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS

Nama anggota : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Rasyid Ridha Berkatnu Indrawan Janguk Evilia Yulidya Lynneta Cicillia Saconk Maria Rawisari Putri Hamriyani Damanik Salfianita Hartianhu

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 2 PALANGKARAYA DINAS PENDIDIDIKAN DAN PEMUDA OLAHRAGA KOTA PALANGKARAYA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

ETIKA DAN HAKIKAT PENDIDIKAN BERKUALITAS Pentingnya pendidikan sebagai kegiatan yang menentukan kualitas hidup seseorang atau bangsa sudah menjadi kebutuhan mutlak. Karena itu pendidikan harus dilakukan secara sadar melalui sebuah kesengajaan yang terencana dan terorganisir dengan baik. Semua demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Begitu juga dengan sasaran lain meliputi obyek peserta, sarana dan prasarana penunjang pendidikan yang lain.

Tujuan Pendidikan Konferensi Internasional I tentang pendidikan merumuskan tujuan pendidikan, antara lain sebagai berikut: “Education should aim at the balanced growth of the total personality of man, through the training of man’s spirit, intellect the rational itself , feelings and bodily senses — both individually and collectively and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection — these at complete submission to God on the level of the individual, community at large —,’ menumbuhkan kepribadian manusia secara totalitas mencakup seperti semangat, kecerdasan, perasaan dan sebagainya, baik dalam kehidupan pribadi dan, masyarakatnya untuk melakukan kebaikan dan kesempurnaan, serta dalam rangka pengabdian kepada Tuhan, melalui tindakan pribadi, masyarakat maupun kemanusiaan secara luas’. Secara umum tujuan pendidikan harus melahirkan orang-orang yang memiliki kecerdasan (dalam pengertian luas) sehingga menumbuhkan dan menciptakan manusia-manusia yang memiliki kepribadian secara utuh, akhlak dan intelektual. Kecerdasan ini meliputi intelektualitas sebagai manusia. Cerdas emosional dan spiritual. Kepribadiannya menjadi agen-agen sosial yang siap berubah dan mampu mengubah sekitar lingkungannya. Kecerdasan ini ditandai dengan beberapa indikasi antara lain: Kecerdasan intelektual meliputi: 1.

2. 3. 4. 5. 6.

Mampu berfikir secara sistematis. Dahulu ketika masih duduk di bangku SMP atau SMU, guru di sekolah mengajarkan dengan metode ilmiyah. Itulah sesungguhnya fungsi itu, melatih dan membiasakan otak untuk berpikir step by step. Dalam menanggapi satu masalah. Mampu memahami dan menganalisa serta mencarikan jalan keluar terhadap suatu permasalahan Memiliki kekuatan berfikir untuk selalu berpihak pada yang baik dan benar Pikirannya selalu terbuka untuk menerima berbagai macam informasi Selalu siap belajar kepada setiap orang Dan lain-lain Kecerdasan intelektual tak akan berarti, tanpa adanya kecerdasan emosional yang dimiliki oleh seseorang. Kecerdasan emosional atau lazim disebut EQ, diantaranya, Memiliki kemampuan mengendalikan diri, sabar, ulet, tabah dan tahan uji dalam

menghadapi berbagai tantangan, toleransi dalam menghadapi berbagai perbedaan dan konsisten dalam kebaikan. Pendidikan yang berhasil membuat pribadi yang utuh, bukan hanya mengutamakan kecerdasan intelektual dan emosional saja, fondasi spiritual juga faktor kunci untuk keberhasilan. Kecerdasan spiritual, antara lain, hatinya selalu terkait dengan Yang Maha Pencipta. Hati dan pikirannya selalu merasa dekat dan merasa diawasi oleh Tuahn. Memiliki kesadaran akan adanya akhir kehidupan dan kembali kepada-Nya. Ada perasaan gundah dan gelisah ketika melakukan satu maksiat dan secepatnya bertaubat kepada Tuhan. Keutuhan pendidikan juga terlihat dari kecerdasan sosial yang dimiliki seseorang. Kecerdasan ini menunjukkan pada kita seberapa besar, nilai-nilai sosial diajarkan dalam sebuah pendidikan. Dan bagaimana prakteknya di lapangan saat seseorang terjun langsung dalam masyarakat. Untuk melihat kecerdasan ini dimiliki seseorang biasanya ditandai dengan keikhlasannya untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi kepentingan masyarakat. Mampu berempati pada kesulitan orang lain. Rela berkorban untuk kepentingan bersama, tidak mementingkan golongan, tapi kepentingan bersama yang lebih besar. Jika orang itu menjadi leader atau pemimpin, maka karyawan yang dipimpinnya merasa terayomi dan nyaman. Pendidikan di Indonesia Di Indonesia, pendidikan diarahkan untuk melahirkan manusia-manusia yang cerdas, bertanggung jawab, bermoral, berkepribadian luhur, bertaqwa, dan memiliki keterampilan. Dengan anggaran 20 % dari APBN. Maka tujuan ini bukanlah hal yang mustahil. Sudah banyak bukti yang mendukung adanya peningkatan pendidikan ini. Prestasi anak-anak bangsa juga banyak mengharumkan bangsa di berbagai kancah internasional. Namun kita tidak boleh lengah, masih banyak pendidikan yang belum mencapai tujuannya. Ini diindikasikan dengan banyaknya kerusakan moral di kalangan pelajar, seperti beredarnya video-video porno yang bisa diakses melalui ponsel. Ini akibat dari bebasnya pengawasan dan akses informasi yang masuk kepada masyarakat, tanpa ada kontrol dari pihak yang terkait. Korupsi dan kolusi serta nepotisme masih banyak kita temui dalam birokrasi pendidikan, sehingga menimbulkan konflik dikalangan internal dan berpotensi untuk menimbulkan konflik perpecahan. Pendidikan juga masih banyak yang kita lihat belum berpihak pada rakyat umum. Di kalangan masyarakat mahalnya pendidikan membuat mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makan, sandang dan papan. Belum tercapainya tujuan pendidikan diakibatkan oleh: a. Belum terintegrasinya pendidikan moral (agama) dengan pendidikan lainnya. Ada sebagian anggapan bahwa pendidikan agama hanya dilakukan di pesantren, padahal di sekolah umum pendidikan agama juga diajarkan hanya saja porsinya masih sedikit, sehingga belum maksimal. b. Pendidikan etika hanya terbatas pada pengetahuan c. Minimnya keteladanan d. Sikap hidup yang semakin materialis dan hedonis

Untuk meminimalisasi hal ini, maka ada upaya yang bisa dilakukan, antara lain, perbaikan kurikulum pendidikan secara menyeluruh, misalnya dengan melakukan pendidikan alternatif tambahan diluar kurikulum. Perbaikan sistem pengajaran dan pendidikan, penguatan keteladanan, penguatan nilai agama dalam kehidupan. Beranjak dari berbagai pemahaman mengenai paradigma pengajaran, hingga saat ini belum berani mengatakan pengajaran itu sebagai pendidikan, Indonesia saat ini dalam kaitannya dengan proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan, perlu kiranya kita menengok ke dalam diri kita, mengingat kembali pengalaman-pengalaman saat kita diajar. Sejauh ini, pola pengajaran pada lembaga-lembaga pengajaran di Indonesia cenderung mengarahkan peserta ajar untuk sekadar tahu dan hapal mengenai hal-hal yang berkenaan dengan lingkungan agar hasil ujiannya baik. Hal tersebut diperparah dengan diterapkannya sistem pemeringkatan nilai peserta ajar di akhir semester. “Kamu ranking berapa? Aku rangking satu dong.” Sebuah kalimat yang biasa kita dengar ketika pembagian rapor dilakukan. Ditambah lagi dengan ungkapan, “Anak ibu rangking berapa?” atau “Kamu tuh gimana sih, masa teman kamu bisa rangking 1 kamu gak bisa?”. Hal ini menggambarkan kepada bahwa justru pola pengajaran Indonesia saat ini lebih mengajarkan peserta ajarnya untuk berkompetisi yang pada akhirnya menimbulkan perilakuperilaku buruk seperti mencontek, bekerja sama ketika ujian, dan perilaku lain yang pada intinya mengarah pada penghalalan segala cara agar memperoleh nilai yang baik, agar tidak dimarahi orang tua, dan agar diperhatikan pengajar yang pada akhirnya mereduksi proses transformasi nilai-nilai etika lingkungan. Pada sebuah diskusi mengenai adaptasi perubahan iklim melalui sektor pendidikan beberapa waktu yang lalu, seorang peserta diskusi memaparkan pengalamannya belajar di sebuah institusi perguruan tinggi yang banyak mengajarkan tentang aspek-aspek lingkungan, namun dia merasa sistem pengajaran yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut belum, bila tidak ingin dikatakan tidak, mampu menumbuhkan dan mengembangkan kepekaan dan kesadaran peserta ajar pada lingkungan walaupun ilmu-ilmu yang diajarkan adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan lingkungan. Lalu apa dan atau siapa yang salah? Objektifikasi peserta ajar, ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasi nilai-nilai etika lingkungan, sistem pengajaran, atau kurikulumnya yang salah? Objektifikasi peserta ajar. Hal ini dimengerti bahwa selama ini, peserta ajar adalah objek atas transfer ilmu dari subjek yang bernama pengajar. Peserta ajar ,saat ini, jarang sekali dilibatkan dalam diskusi-diskusi atau diajak berdiskusi mengenai hal-hal yang mengarah pada pengembangan kreatifitas, kekritisan, dan kesadaran peserta ajar atas contoh- contoh kasus yang, harapannya, disampaikan oleh pengajar. Pengajar seperti melakukan teater monolog di mana peserta ajar duduk termangu menonton pengajarnya bermonolog.

Ketidakmampuan pengajar dalam mentransformasikan nilai-nilai etika lingkungan. Tingkat kepakaran pengajar pada suatu bidang kadang kala membuat sang pengajar enggan untuk mentransformasikan hal-hal di luar bidang yang dikuasainya, terlebih lagi hal itu dianggap bertentangan dengan bidang yang digelutinya selama ini. Selain itu, hal tersebut pun terjadi karena sang pengajar pun belum memperoleh pengetahuan, atau belum mengaktualisasikan, nilai-nilai etika lingkungan, sehingga tentunya ia tidak mampu untuk mentransformasikan nilainilai etika lingkungan kepada peserta ajar. Sistem pengajaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada pengantar tulisan ini, sistem pengajaran di Indonesia saat ini hanya mampu membentuk peserta ajar menjadi robot-robot di mana orangtua sebagai pengendalinya dan pengajar sebagai benda yang memancarkan gelombang (kurikulum) untuk akhirnya ditangkap oleh sensor yang ada di otak peserta ajar. Akan baik kiranya bila orang tua mengarahkan anaknya untuk mengembangkan, kepekaan, kesadaran, wawasan dan kreatifitas anaknya terhadap nilai-nilai lingkungan dan didorong pula oleh pengajar dengan memberikan materi yang merangsang peserta ajarnya untuk kritis dan kreatif. Namun pada kenyataannya, saat ini hal itu masih sangatlah jarang ditemui, apalagi bila kita melihat di sekolah-sekolah maupun perguruan-perguruan tinggi negeri. Kurikulumnya yang salah? Lancang memang bila saya memasuki wilayah yang notabene dikuasai oleh pemerintah dan lebih lancang lagi sepertinya bila saya menganggap kesalahan kurikulum ini adalah kesalahan pemerintah. Penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Lingkungan Hidup dengan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Lingkungan Hidup pada tanggal 3 Juni 2005 merupakan langkah awal yang baik dilakukan oleh pemerintah sebagai langkah awal terintegrasinya nilai-nilai etika lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun perlu kita ingat bahwa apapun kebijakan pemerintah yang dibuat, bila tidak diselaraskan dengan pencerabutan keadaan struktural sistem pendidikan Indonesia yang telah begitu mengakar dan sulit diubah, tidak akan mampu mengubah paradigma pendidikan Indonesia yang masih hanya mengedepankan transfer pengetahuan hingga saat ini. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Tentunya hal tersebut berpijak pada siapa kita. Bagian dari birokrasikah? Bagian dari akademisikah? Bagian dari orang tuakah? Bagian dari peserta ajarkah? Bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatankah? Atau kita hanya menganggap sebagai seorang individu tanpa label? Apapun kita, lakukanlah langkah dan gerakan yang terbaik sesuai dengan label masing-masing agar nilai-nilai etika lingkungan dapat tertransformasi dengan baik sehingga bangsa Indonesia dan bangsa Bumi, serta makhluk hidup lainnya dapat melestarikan peradabannya. Semoga kita mampu menjadi bangsa yang terdidik dan mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak – cucu kita.

“Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952)

Related Documents


More Documents from "Rere Susanti"