Elsa.docx

  • Uploaded by: Elsafani Faddiasya
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Elsa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,619
  • Pages: 6
Learning Issue 1. Global Development Delay et causa Sindroma Down a) Etiologi Sindrom Down biasanya disebabkan karena kegagalan dalam pembelahan sel atau disebut nondisjunction. Tidak diketahui mengapa hal ini dapat terjadi. Namun, diketahui bahwa kegagalan dalam pembelahan sel ini terjadi pada saat pembuahan dan tidak berkaitan dengan apa yang dilakukan ibu selama kehamilan. Pada sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada waktu pembentukan gamet, tetapi juga dapat terjadi saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Oosit primer yang perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I tidak berubah pada tahap tersebut sampai terjadi ovulasi. Diantara waktu tersebut, oosit mengalami nondisjunction. Pada sindrom Down, pada meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh spermatozoa normal, yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Nondisjunction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) Adanya virus/infeksi 2) Radiasi 3) Penuaan sel telur. Dimana peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami kesalahan dalam pembelahan. 4) Gangguan fungsi tiroid. Dibeberapa penelitian ditemukan adanya hipotiroid pada anak dengan sindrom Down termasuk hipotiroid primer dan transien, pituitary-hypothalamic hypothyroidism, defisiensi thyroxinbinding globulin (TBG) dan kronik limfositik tiroiditis. Selain itu, ditemukan pula adanya autoimun tiroid pada anak dengan usia lebih dari 8 tahun yang menderita sindrom Down. 5) Umur ibu. Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan sindrom Down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka kejadian sindrom Down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran. Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1 dalam 1000 kelahiran. Perubahan endokrin, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan hormon LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) yang secara tibatiba meningkat pada saat sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya nondisjunction.

Gambar 3. Nondisjunction. Pada gambar diatas, terlihat adanya kesalahan dalam pembelahan sel atau disebut nondisjunction yang terjadinya pada saat meiosis, sehingga terjadi kelebihan jumlah kromosom didalam tubuh manusia, yaitu menjadi 47 kromosom. Selain nondisjunction, penyebab lain dari sindrom Down adalah anaphase lag. Yaitu, kegagalan dari kromosom atau kromatid untuk bergabung ke salah satu nukleus anak yang terbentuk pada pembelahan sel, sebagai akibat dari terlambatnya perpindahan/pergerakan selama anafase. Kromosom yang tidak masuk ke nukleus sel anak akan menghilang. Ini dapat terjadi pada saat meiosis ataupun mitosis. b) Pathogenesis c) Patofisiologi Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan menyebabkan perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak – anak yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat. Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang tipikal seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit jantung kongenital. Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21 bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita sindrom Down. Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio

21q22.1-q22.2, adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental dan defek jantung (Mayo Clinic Internal Medicine Review, 2008). Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme thiroid dan malabsorpsi intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit Hashimoto. Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap proses fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal. Sebagai contoh, anak – anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat sensitif terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik menjadi faktor predisposisi terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down (Cincinnati Children's Hospital Medical Center, 2006). Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia, seperti Transient Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi hematopoietic transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak – anak dengan sindrom Down terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses perubahan genetik yang belum diketahui pasti (Lange BJ,1998). d) Manifestasi klinis Penderita sindrom Down akan mengalami beberapa masalah kesehatan. Masalah-masalah kesehatan yang dialami oleh penderita sindrom Down adalah sebagai berikut: 1) Kelainan otak Anak dengan sindrom Down akan mengalami retardasi mental ringan hingga sedang dengan rentang intelligence quotient (IQ) 50-90. Setelah umur 6 bulan, ukuran otak pada anak sindrom Down pada umumnya lebih kecil dari pada ukuran normal. Selain itu juga terdapat keterlambatan myelinisasi (25%), penyempitan girus temporosuperior (35%), penurunan korteks sel granul saraf (20-50%) dan penyusutan ukuran batang otak dan serebelum pada sebagian besar kasus. 2) Kelainan jantung Sekitar 40%-60% penderita sindrom Down akan mengalami penyakit jantung bawaan dengan bentuk tersering berupa atrioventricular septal defect (AVSD). Bentuk lain kelainan yang terjadi adalah atrial septal defect (ASD), ventricular septal defect (VSD), dan tetralogy of Fallot (ToF). Kelainan jantung cenderung semakin berkembang seiring berjalannya usia. Usia remaja atau dewasa muda merupakan saat kelainan katup jantung mulai terjadi.

3) Kelainan mata Pada 60-70% penderita sindrom Down akan mengalami kelainan refraksi, termasuk hipermetropia yang memerlukan koreksi untuk mencegah cacat sekunder. Kelainan mata lain juga dapat terjadi seperti katarak kongenital, strabismus, nistagmus, keratokonus, blefaritis, glaukoma, dan sumbatan duktus nasolakrimalis. 4) Kelainan ortopedi Penderita sindrom Down akan lebih rentan mengalami kelainan ortopedi berupa skoliosis, subluksasi/dislokasi panggul, pes planus, dan metatarsus varus. Selain itu ketidak seimbangan pada sendi juga dapat terjadi termasuk ketidak seimbangan patella dan craniovertebral. Hal ini dapat terjadi dikarenakan hipotonia, kelemahan ligamen, dan displasia skeletal. 5) Kelainan gastrointestinal Kelainan gastointestinal terjadi pada 10% penderita sindrom Down. Kelainan yang terjadi dapat berupa malformasi kongenital saluran pencernaan, termasuk atresia esofagus, duodenum, jejunum, dan anus, serta pankreas annular. Penyakit celiac dan Hirschprung juga umum terjadi pada penderita sindrom Down. 6) Kelainan imunologis Anak dengan sindrom Down akan mengalami kelainan fungsi imunologis sehingga lebih rentan mengalami infeksi virus dan bakteri terutama infeksi saluran pernapasan. 7) Kelainan hematologi Kelainan hematologi umum terjadi pada neonatus penderita sindrom Down. Walaupun kelainan darah yang banyak terjadi umumnya jinak, tetapi 1-2% kelainan tersebut dapat berkembang menjadi leukemia. Transient myeloperative disorder (TMD) terjadi pada sekitar 5% neonatus. Kelainan ini bersifat tidak simtomatis dan mengalami regresi spontan pada usia 3 bulan, tetapi risiko terjadinya leukemia akan meningkat. 8) Kelainan tiroid Kelainan tiroid berupa hipotiroidisme umum terjadi pada 15-30% penderita sindrom Down. Tanda dan gejala kelainan tiroid tidak terlihat dengan jelas karena tersamarkan dan menjadi bagian dari fenotipe sindrom Down. Hipertiroidisme walaupun lebih jarang terjadi dibandingkan dengan hipotiroid, tetapi frekuensi kejadiannya meningkat pada penderita sindrom Down dibandingkan populasi normal yaitu 0,121,6% atau 28 kali lebih besar dari populasi normal.7,10 9) Kelainan pendengaran Sebanyak 50-75% anak dengan sindrom Down akan mengalami gangguan pendengaran, baik tipe conductive hearing loss (CHL) maupun sensorineural hearing loss (SNHL). Kelainan pendengaran tipe CHL pada umumnya disebabkan oleh karena otitis media efusi (OME). Penelitian yang dilakukan Barr menunjukkan prevalensi OME pada tahun pertama adalah 93% sedangkan pada tahun kelima

sebesar 68% pada anak sindrom Down.25 Kelainan SNHL memiliki onset lebih lama, mengenai frekuensi tinggi, dan prevalensinya meningkat dengan usia. Beberapa individu memiliki sebagian besar gambaran klinis dibawah ini, sementara lainnya hanya menunjukkan beberapa gambaran klinis saja. Gambaran klinis penderita sindrom Down, yaitu mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds), mulut yang mengecil dengan lidah besar sehingga tampak menonjol keluar (macroglossia), bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang normal (microchephaly), rajah telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian crease), penurunan tonus otot (hypotonia), jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), bertubuh pendek, gangguan pendengaran, dagu yang lebih kecil (micrognatia), dan gigi lebih kecil dari normal (microdontia). Tabel . Prevalensi gangguan kesehatan pada anak dengan sindrom Down.

e) Pemeriksaan penunjang 2. Asuhan Nutrisi Pediatrik (ANP) Pelayanan ANP membutuhkan koordinasi dan kerjasama antar-departemen serta kelompok profesional dan berfungsi untuk mencegah serta mengatasi malnutrisi RS dengan mengenali pasien yang berisiko MRS. Tim ini melibatkan dokter spesialis anak, perawat, dietisien dan farmasi serta tenaga medis lain sesuai kebutuhan. Tim ANP dipimpin oleh dokter spesialis anak yang memiliki pengalaman atau telah mengikuti pelatihan ANP.

Langkah-langkah Asuhan Nutrisi Pediatrik 1. Assessment (penilaian) Penilaian meliputi penentuan status gizi, masalah yang berhubungan dengan proses pemberian makanan dan diagnosis klinis pasien. Anamnesis meliputi asupan makan, pola makan, toleransi makan, perkembangan oromotor, motorik halus dan motorik kasar, perubahan berat badan, faktor sosial, budaya dan agama serta kondisi klinis yang mempengaruhi asupan. Penimbangan berat badan dan pengukuran panjang/tinggi badan dilakukan dengan cara yang benar dan menggunakan timbangan yang telah ditera secara berkala. Pemeriksaan fisik terhadap keadaan umum dan tanda spesifik khususnya defisiensi mikronutrien harus dilakukan. Penentuan status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun. Grafik WHO 2006 digunakan untuk usia 0-5 tahun karena mempunyai keunggulan metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek penelitian pada WHO 2006 berasal dari 5 benua dan mempunyai lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan optimal. Untuk usia di atas 5 tahun hingga 18 tahun digunakan grafik CDC 2000 dengan pertimbangan grafik WHO 2007 tidak memiliki grafik BB/TB dan data dari WHO 2007 merupakan smoothing NCHS 1981. Tabel . Grafik penilaian gizi lebih berdasarkan kelompok usia.

Penentuan status gizi menggunakan cut off Z score WHO 2006 untuk usia 0-5 tahun dan persentase berat badan ideal sesuai kriteria Waterlow untuk anak di atas 5 tahun. Tabel . Penentuan status gizi menurut kriteria Waterlow, WHO 2006, dan CDC 2000

Status gizi lebih (

More Documents from "Elsafani Faddiasya"

Pediatri R.docx
December 2019 19
Pemeriksaan Neurologis.docx
December 2019 23
Dok.docx
December 2019 14
Elsa.docx
May 2020 8