PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
ELEMEN – ELEMEN URBAN DESAIN 1.
Tata Guna Lahan (Landuse) Tata guna lahan merupakan rancangan dua dimensi berupa denah peruntukan lahan sebuah kota. Ruang – ruang tiga dimensi (bangunan) akan dibangun ditempat – tempat sesuai dengan fungsi bangunan tersebut. Sebagai contoh, di dalam sebuah kawasan industri akan terdapat berbagai macam bangunan industri atau di dalam kawasan perekonomian akan terdapat berbagai macam pertokoan atau pula di dalam kawasan pemerintahan akan memiliki bangunan perkantoran pemerintah. Kebijaksanaan tata guna lahan juga membentuk hubungan antara sirkulasi/pakir dan kepadatan aktivitas/penggunaan individual.
Tata Guna lahan Alun – Alun Kota Magelang
Terdapat perbedaan kapasitas (besaran) dan pengaturan dalam penataan ruang kota, termasuk di dalamnya adalah aspek pencapaian, parkir, sistem transportasi yang ada, dan kebtuhan untuk penggunaan lahan secara individual. Pada prinsipnya, pengertian land use (tata guna lahan) adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah – daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi. Pada prinsipnya land use adalah pengaturan penggunaan lahan untuk menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga secara umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah pada suatu kawasan tersebut seharusnya berfungsi. Land use bermanfaat untuk pengembangan sekaligus pengendalian investasi pembangunan. Pada skala makro, land use lebih bersifat multifungsi / mixed use. Beberapa keuntungan dan kelemahan dalam penataan land use menggunakan pendekatan fungsional adalah : a. Menjamin keamanan dan kenyamanan atas dampak negatif karena saling pengaruh antar zona. b. Pengelompokan kegiatan, fungsi dan karakter tertentu pada tiap zona yang terpisah mempermudah penataan dan perencanaan land use mikro (horizontal maupun vertikal). c. Memudahkan implementasi dan kontrol. d. Terpisahnya masing-masing zona menjadikan jarak antar berbagai kegiatan jauh, dibutuhkan sarana transportasi yang lebih memadai untuk mengantisipasi terjadinya kepadatan lalu - lintas yang tinggi pada jam-jam berangkat-pulang kerja. e. Terjadi kesenjangan keramahan kawasan, memunculkan perbedaan yang tinggi pada harga lahan. f. Kepadatan zona tidak seimbang, pemanfaatan lahan tidak optimal. 2.
Tata Bangunan (Building Form and Massing) Bentuk dan massa bangunan (building form and massing) membahas mengenai bagaimana bentuk dan massa-massa bangunan yang berada ada suatu kawasan dapat membentuk sebuah kota serta bagaimana hubungan antar-massa (banyak bangunan) yang terdapat dalam kawasan tersebut. Pada penataan suatu kota, SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
bentuk dan hubungan antar-massa seperti ketinggian bangunan, jarak antar-bangunan, bentuk bangunan, fasad bangunan, dan sebagainya harus diperhatikan sehingga ruang yang terbentuk menjadi teratur, mempunyai garis langit-horizon (skyline) yang dinamis serta menghindari adanya lost space (ruang tidak terpakai). Bentuk dan massa bangunan (building form and massing) dapat meliputi kualitas yang berkaitan dengan penampilan bangunan, yaitu : ▪ Ketinggian Bangunan Ketinggian bangunan berkaitan dengan jarak pandang manusia, baik yang berada dalam bangunan maupun yang berada pada jalur pejalan kaki (luar bangunan). Ketinggian bangunan pada suatu kawasan membentuk sebuah garis horizon (skyline). Skyline dalam skala kawasan mempunyai makna; sebagai simbol kawasan, sebagai indeks sosial, sebagai alat orientasi, sebagai perangkat estetis, sebagai perangkat ritual. Ketinggian bangunan di tiap fungsi ruang perkotaan akan berbeda, tergantung dari tata guna lahan. Sebagai contoh, bangunan di sekitar bandara akan memiliki ketinggian lebih rendah dibanding bangunan di kawasan perkantoran dan perekonomian. ▪ Kepejalan Bangunan Pengertian dari kepejalan adalah penampilan gedung dalam konteks kota. Kepejalan suatu gedung ditentukan oleh perbandingan tinggi-luas- lebar-panjang, olahan massa (desain bentuk), dan variasi penggunaan material. ▪ Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Koefisien lantai bangunan adalah angka prosentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dengan luas tanah (tapak) atau daerah perencanaan yang sesuai rencana tata ruang bangunan dan tata lingkungan. Dalam koefisien lantai bangunan, jika KLB=200%, maka di tapak seluas 100m2, dapat dibangun bangunan dengan luas lantai 200m2 - lantai banyak). Koefisien Lantai Bangunan dipengaruhi oleh daya dukung tanah, daya dukung lingkungan, nilai harga tanah, dan faktor- faktor khusus tertentu sesuai dengan peraturan atau kepercayaan daerah setempat. ▪ Koefisien Dasar Bangunan (Building Coverage) Koefisien dasar bangunan (building coverage) adalah prosentase antara jumlah luas seluruh lantai dasar bangunan gedung (luas tapak yang tertutup) dengan luas lahan/tanah perpetakan/daerah perencanaan yang akan dirancang, sesuai dengan rencana tata ruang bangunan dan lingkungan. Koefisien dasar bangunan dimaksudkan untuk menyediakan area terbuka yang cukup di kawasan perkotaan agar tidak keseluruhan tapak diisi dengan bangunan. Hal ini dimaksudkan agar daur lingkungan tidak terhambat, terutama penyerapan air ke dalam tanah. ▪ Garis Sempadan Bangunan (GSB) Garis Sempadan Bangunan merupakan jarak bangunan terhadap as jalan. Garis ini sangat penting dalam mengatur keteraturan bangunan di tepi jalan kota. Selain itu juga berfungsi sebagai jarak keselamatan pengguna jalan, terutama jika terjadi kecelakaan. ▪ Langgam Langgam atau gaya dapat diartikan sebagai suatu kumpulan karakteristik bangunan dimana struktur, kesatuan dan ekspresi digabungkan di dalam satu periode atau wilayah tertentu. Peran dari langgam ini dalam skala urban jika direncanakan dengan baik dapat menjadi guide line yang dapat menyatukan fragmenfragmen dan bentuk bangunan di kota. ▪ Skala Skala adalah proporsi tertentu yang digunakan untuk menetapkan pengukuran bangunan dan dimensi-dimensi dengan memandang besaran dari unsur bangunan atau ruang terhadap bentuk-bentuk lain. Rasa akan skala dan perubahan-perubahan dalam ketinggian ruang atau bangunan dapat memainkan peranan dalam menciptakan kontras visual yang dapat membangkitkan daya hidup dan kedinamisan. Skala terbagi menjadi dua bagian antara lain: Skala umum : merupakan unsur-unsur bangunan terhadap bentuk lain di dalam lingkupnya. Skala manusia : digunakan sebagai acuan atau pedoman dalam menyeimbangkan kawasan perancangan. SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
▪ Material Peran material berkenaan dengan komposisi visual dalam perancangan. Komposisi yang dimaksud diwujudkan oleh hubungan antar elemen visual. ▪ Warna Warna merupakan suatu fenomena yang diakibatkan dari pencahayaan dan persepsi visual yang berguna untuk menjelaskan persepsi individu dalam corak intesitas dan nada. Dengan adanya warna (kepadatan warna, kejernihan warna), dapat memperluas kemungkinan ragam komposisi yang dihasilkan. ▪ Tekstur Tekstur adalah kualitas yang dapat dilihat dan dirabah yang ada pada permukaan dalam ukuran, proporsi, bentuk pada bagian benda. Tekstur juga berfungsi untuk menentukkan sampai dimana permukaan melakukan pemantulan atau penyerapan cahaya yang datang. Dalam sebuah komposisi yang lebih besar (skala urban) sesuatu yang dilihat dari jarak tertentu maka elemen yang lebih besar dapat menimbulkan efek-efek tekstur. 3.
Sirkulasi dan Perparkiran (Circulation and Parking) Sirkulasi adalah elemen perancangan kota yang secara langsung dapat membentuk dan mengkontrol pola kegiatan kota, sebagaimana halnya dengan keberadaan sistem transportasi dari jalan publik, pedestrian ways dan tempat- tempat transit yang saling berhubungan akan membentuk pergerakan (suatu kegiatan). Sirkulasi di dalam kota merupakan salah satu alat yang paling kuat untuk menstrukturkan lingkungan perkotaan karena dapat membentuk, mengarahkan, dan mengendalikan pola aktivitas/kegiatan dalam suatu kota. Selain itu sirkulasi dapat membentuk karakter suatu daerah, tempat aktivitas/kegiatan dan lain sebagainya. Salah satu elemen perancangan kota yang paling berkaitan dengan elemen sirkulasi adalah elemen ruang/area parkir. Masalah sirkulasi kota merupakan persoalan yang membutuhkan pemikiran mendasar, antara prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas pelayanan umum dan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Diperlukan suatu manajemen transportasi yang menyeluruh terkait dengan aspek-aspek tersebut. Di sebagian besar negara maju sudah dicanangkan atau digencarkan penggunaan moda transportasi umum (mass transport) dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Selain penghematan BBM. Langkah ini akan membantu pengurangan pencemaran udara kota berupa partikel beracun (CO2 misalnya) maupun kebisingan dan bahaya lalu lintas lainnya. Kebijakan ini mengarah terciptanya suatu lingkungan kota menuju kondisi minimalis transportasi (zero transportation). Selain kebutuhan ruang untuk bergerak, moda transport juga membutuhkan tempat untuk berhenti (parkir).Kebutuhan parkir semakin meingkat terutama di pusat-pusat kegiatan kota (CBD). Sarana pergerakan, atau sirkulasi, merupakan media bagi manusia dalam melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karenanya, keberadaan sarana pergerakan pada suatu ruang kota-jalur jalan dan system pergerakan tidak terlepas dari tata bangunan dan ruang ruang terbuka, serta kondisi masyarakatnya. Elemen sirkulasi dalam urban design merupakan alat yang sangat menentukan struktur lingkungan urban, karena dapat membentuk, mengarahkan dan mengontrol pola aktivitas dalam kota. Teknik perancangannnya meliputi tiga prinsip utama: a. Jalan harus menjadi elemen ruang terbuka visual yang positif b. Jalan harus mampu memberikan orientasi kepada pengemudi dan membuat lingkungan tersebut terbaca secara informatif. c. Sektor publik dan privat harus membina hubungan untuk mencapai sasaran ini. Dalam proses perancangan sebuah pola sirkulasi perlu diperhatikan beberapa anggapan mengenai sirkulasi yaitu : a. Sirkulasi sebagai sebuah pergerakan Hal ini merupakan pandangan umum semua orang mengenai suatu sirkulasi yaitu sebuah pergerakan atau perpindahan dari suatu tempat ketempat yang lainnya. b. Sirkulasi sebagi sebuah penekanan material Pembuatan material yang senada ataupun sejenis dapat merupakan sebuah penanda atau sebuah penekanan dalam suatu pola sirkulasi. Jalur yang jelas akibat penekanan pada bahan material mempermudah sistem sirkulasi suatu kawasan SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
c. Sirkulasi sebagai pertimbangan desain Jika kita mengangap sirkulasi merupakan pertimbangan dalam desain maka kita harus mepertimbangkan masalah kegunaan bentuk, keamanan, dan skala dari suatu jalan atau jalur bagi pembentukan pola sirkulasi. d. Sirkulasi sebagai sebuah mata rantai dan sistem visual Suatu pola sirkulasi merupakan suatu pola yang berkelanjutan dan berkesinambungan sehingga membentuk suatu sistem yang tertata. Suatu sistem yang berpola dan tertata rapi menjadi satu kesatuan dengan hasil rancangan sehingga menimbulkan kesan desain yang menarik. e. Sirkulasi sebagai perbedaan keruangan Perbedaan antara kondisi disini dan disana yang dibedakan dengan suatu ruang yang berbeda menimbulkan suatu sistem sirkulasi tersendiri dengan pola keruangan sebaga pembentuknya. f. Sirkulasi sebagai perbedaan waktu Dalam suatu proses sirkulasi,terdapat perbedaan waktu dalam mencapai tempat yang merupakan tujuan akhir dari alur sirkulasi. Hal ini diakibatkan karena adanya proses pencapaian dalam sebuah kegiatan sirkulasi. Dalam suatu sirkulasi tentulah tidak terlepas dari perencanan sebuah jalan yang menghubungkan satu tempat dengan tempat yang lain, jenis-jenis jalan antara lain (George Nez,Time Saver for Urban Design. 1989). 1) Jalan Arteri Primer Kecepatan rencana minimal 60 km/jam, Lebar badan jalan minimal 8 meter, Kapasitas lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata, Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal, Jalan masuk dibatasi secara efisien, Jalan persimpangan dengan pengaturan tertentu tidak mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan, Tidak terputus walaupun melalui kota, Persyaratan teknik jalan masuk ditetapkan oleh Menteri. 2) Jalan Arteri Sekunder Kecepatan rencana minimal 20 km/jam, Lebar badan jalan minimal 8 meter, Kapasitas sama atau lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata, Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat, Persimpangan dengan pengaturan tertentu tidak mengurangi kecepatan rencana dan kapasitas jalan. 3) Jalan Kolektor Primer kecepatan rencana minimal 40 km/jam, Lebar jalan minimal 7 meter, Kapasitas sama dengan atau lebih besar dari pada volume lalu lintas rata-rata, Jalan masuk dibatasi, direncanakan sehingga kecepatan rencana dan kapasitas jalan, Tidak terputus walaupun melalui kota. 4) Jalan Kolektor sekunder Kecepatan rencana minimal 20 km/jam, Lebar badan jalan minimal 7 meter. 5) Jalan Lokal Primer Kecepatan rencana minimal 20 km/jam, Lebar badan jalan minimal 6 meter, Tidak terputus walaupun melalui desa. 6) Jalan Lokal Sekunder Kecepatan rencana minimal 10 km/jam, Lebar badan jalan minimal 5 meter, Persyaratan teknik diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih, Lebar badan jalan tidak diperuntukkan bagi kendaraan beroda tiga atau lebih, minimal 5 meter. A. Pola, Struktur dan Perlengkapan Jalan a. Secara garis besar pola jaringan jalan terdiri dari Pola Papan Catur, Radial, Lingkaran, dan Cul-desac. SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
b. Struktur jalan terdiri dari : Badan Jalan ( daerah sirkulasi kendaraan ) Bahu Jalan ( daerah sirkulasi pejalan kaki, tempat perlengkapan jalan, utilitas dan penghijauan ) c. Perlengkapan jalan terdiri dari : Penerangan jalan Rambu lalu lintas Halte Telepon Umum Bangku-bangku Tanaman Papan Reklame B. Aspek Lalu Lintas Kelancaran, keamanan dan kenyamanan suatu jalur jalan sangat ditentukan oleh kondisi lalu lintas yang menyangkut : a. Rambu rambu lain b. Arah lalu lintas c. Kecepatan lalu lintas d. Kepadatan lalu lintas e. Jenis moda angkutan f. Kondisi jalan g. Perparkiran C. Perparkiran Elemen ruang parkir mempunyai pengaruh langsung pada kualitas lingkungan yaitu sebagai elemen yang memperkuat kelangsungan kegiatan komersial dan elemen yang memberikan pengaruh visual pada bentuk fisik dan susunan kota. Penyediaan ruang parkir yang paling sedikit memberi efek visual yang merupakan suatu usaha yang sukses dalam perancangan kota. Perparkiran merupakan unsur pendukung system sirkulasi kota, yang menentukan hidup tidaknya suatu kawasan ( kawasan komersial, kawasan pusat kota, dll ). Perencanaan tempat parkir menurut Irvine ( Shirvani, 1981 ), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Keberadaan strukturnya tidak mengganggu aktifitas di sekitarnya, mendukung kegiatan street level dan menambah kualitas visual lingkungan b. Pendekataan program penggunaan berganda ( time sharing ) c. Pengadaan tempat parkir khusus bagi suatu perusahaan atau instansi yang sebagian besar karyawannya berkendaraan. d. Parkir progresif (semakin lama parkira, semakin mahal pula biaya parker) Lokasi kantong parkir seyoganya ditempatkan pada jarak jangkau yang layak bagi para pejalan kaki. Sistem perletakan parkir diharapkan dapat secara maksimal mempersingkat jarak jalan kaki menuju jalur pedestrian. Masalah perpakiran memiliki dua pengaruh langsung terhadap kualitas lingkungan yaitu: a. Kelangsungan hidup aktivitas komersial. b. Dampak visual terhadap bentuk fisik kota. Dua hal penting yang harus diperhatikan dalam setiap agenda urban design adalah akses terhadap daerah milik pribadi dan area parkir. Penyediaan area parkir yang memadai dengan dampak visual terkecil sangat penting dalam keberhasilan urban design. Beberapa cara mengatasinya adalah: a) Penyediaan lokasi parkir disuatu area yang secara struktur tidak didesain untuk penyediaan area parkir. Dalam hal ini perlu adanya regulasi yang menetapkan keharusan untuk merencanakan area parkir dalam bagian dari perencanaan struktur yang baru. b) Multiple use program, yaitu memaksimalkan penggunaan parkir yang telah ada dengan cara membuat program yang memungkinkan berbagai penggunaan dan menarik orang-orang berbeda pada saat yang berlainan. c) Packege plan parking yaitu sebuah bisnis besar atau beberapa bisnis dapat bergabung untuk membentuk districts perparkiran atau menyediakan beberapa blok terpisah untuk area parkir sepanjang hari. d) Urban edge parking yaitu area parkir yang dibuat di tepi suatu wilayah kota. SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
Prinsip utama dalam mendesain jaringan transportasi (jalan raya) sebagai bagian urban space adalah adalah bahwa jalan seharusnya didesain menjadi ruang terbuka yang memiliki pemandangan yang lebih baik antara lain : Bersih dan elemen lansekap yang menarik. Persyaratan ketinggian dan garis sempadan bangunan yang berdekatan dengan jalan. Pengaturan parkir dipinggir jalan dan tanaman yang berfungsi sebagai penyekat jalan. Meningkatkan lingkungan alami yang terlihat dari jalan.
4. A.
Ruang Terbuka (Open Space) Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut: ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat; apabila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya. Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal sebagaimana ditunjukkan pada lampiran A. B. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No
Unit
Tipe RTH
Lingkungan 1 250 jiwa lingkungan RT 2 2500 jiwa RW 3
30.000
jiwa pusat kelurahan Taman 4 jiwa Pemakaman
unit (m2) Taman RT
250
Luas minimal/ kapita (m2) 1,0
Taman RW
1.250
0,5
Taman
9.000
0,3
Kelurahan 24.000 120.000 disesuaikan
Luas minimal/
Lokasi
di pusat kegiatan
di tengah
dikelompok an dengan sekolah/
0,2 kecamatan pusat kecamatan 1,2
dikelompokan dengan sekolah/ Tersebar
Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku. C. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu. RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air. 1) Arahan Penyediaan RTH A. Pada Bangunan/Perumahan a. RTH Pekarangan Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar bangunan (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing-masing kota. Untuk memudahkan di dalam pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan sebagai: Pekarangan Rumah Besar SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai berikut: 1) kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500 m2; 2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat; 3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput. Pekarangan Rumah Sedang Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai berikut: 1) kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200 m2 sampai dengan 500 m2; 2) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m 2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat; 3) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput. Pekarangan Rumah Kecil 1) Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai berikut: 2) kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah 200 3) ruang terbuka hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat; 4) jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput. 5) Keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, tidak menutup kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya. b. RTH Halaman Perkantoran, Pertokoan, dan Tempat Usaha RTH halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha umumnya berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka. Penyediaan RTH pada kawasan ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk dengan tingkat KDB 70%-90% perlu menambahkan tanaman dalam pot; 2) Perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB diatas 70%, memiliki minimal 2 (dua) pohon kecil atau sedang yang ditanam pada lahan atau pada pot berdiameter diatas 60 cm;
1) 2) 3) 4)
3) Persyaratan penanaman pohon pada perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB dibawah 70%, berlaku seperti persyaratan pada RTH pekarangan rumah, dan ditanam pada area diluar KDB yang telah ditentukan. c. RTH dalam Bentuk Taman Atap Bangunan (Roof Garden) Pada kondisi luas lahan terbuka terbatas, maka untuk RTH dapat memanfaatkan ruang terbuka non hijau, seperti atap gedung, teras rumah, teras-teras bangunan bertingkat dan disamping bangunan, dan lain-lain dengan memakai media tambahan, seperti pot dengan berbagai ukuran sesuai lahan yang tersedia. Lahan dengan KDB diatas 90% seperti pada kawasan pertokoan di pusat kota, atau pada kawasan-kawasan dengan kepadatan tinggi dengan lahanyang sangat terbatas, RTH dapat disediakan pada atap bangunan. Untuk itu bangunan harus memiliki struktur atap yang secara teknis memungkinkan. Aspek yang harus diperhatikan dalam pembuatan taman atap bangunan adalah: struktur bangunan; lapisan kedap air (waterproofing ); sistem utilitas bangunan; media tanam;
SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
5) pemilihan material; 6) aspek keselamatan dan keamanan; 7) aspek pemeliharaan ƒ peralatan ƒ tanaman
Contoh Struktur Lapisan pada Roof Garden Tanaman untuk RTH dalam bentuk taman atap bangunan adalah tanaman yang tidak terlalu besar, dengan perakaran yang mampu tumbuh dengan baik pada media tanam yang terbatas, tahan terhadap hembusan angin serta relatif tidak memerlukan banyak air. 2) Pada Lingkungan/Permukiman a. RTH Taman Rukun Tetangga Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani kegiatan sosial di lingkungan RT tersebut. Luas taman ini adalah minimal 1 m2 per penduduk RT, dengan luas minimal 250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 300 m dari rumah-rumah penduduk yang dilayani. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman juga terdapat minimal 3 (tiga) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang. b. RTH Taman Rukun Warga RTH Taman Rukun Warga (RW) dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu RW, khususnya kegiatan remaja, kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan RW tersebut. Luas taman ini minimal 0,5 m2 per penduduk RW, dengan luas minimal 1.250 m2. Lokasi taman berada pada radius kurang dari 1000 m dari rumah-rumah penduduk yang dilayaninya. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang. c. RTH Kelurahan RTH kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m2 per penduduk kelurahan, dengan luas minimal taman 9.000 m2. Lokasi taman berada pada wilayah kelurahan yang bersangkutan. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 25 (duapuluhlima) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman aktif dan minimal 50 (limapuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif. d. RTH Kecamatan SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
RTH kecamatan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m2 per penduduk kecamatan, dengan luas taman minimal 24.000 m2. Lokasi taman berada pada wilayah kecamatan yang bersangkutan. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (limapuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif. 3) Kota/Perkotaan a. RTH Taman Kota RTH Taman kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani minimal 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3 m2 per penduduk kota, dengan luas taman minimal 144.000 m2. Taman ini dapat berbentuk sebagai RTH (lapangan hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks olah raga dengan minimal RTH 80% - 90%. Semua fasilitas
tersebut terbuka untuk umum. Jenis vegetasi yang dipilih berupa pohon tahunan, perdu, dan semak ditanam secara berkelompok atau menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta iklim mikro atau sebagai pembatas antar kegiatan. b. Hutan Kota Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah sebagai peyangga lingkungan kota yang berfungsi untuk: a. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; b. Meresapkan air; c. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan d. Mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia. a. Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan; b. Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan luas minimal 2500 m. Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombolgerombol kecil; c. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90% - 100% dari luas hutan kota; d. Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya. Lebar minimal hutan kota berbentuk jalur adalah 30 m. Struktur hutan kota dapat terdiri dari: a. Hutan kota berstrata dua, yaitu hanya memiliki komunitas tumbuh-tumbuhan pepohonan dan rumput; b. Hutan kota berstrata banyak, yaitu memiliki komunitas tumbuh-tumbuhan selain terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak dan penutup tanah dengan jarak tanam tidak beraturan. Pola Tanam Hutan Kota Strata 2 SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
Pola Tanam Hutan Kota Strata Banyak Luas ruang hijau yang diisi dengan berbagai jenis vegetasi tahunan minimal seluas 90% dari luas total hutan kota. Dalam kaitan kebutuhan air penduduk kota maka luas hutan kota sebagai produsen air dapat dihitung dengan rumus:
La =
P 0 . K ( 1 + R – C ) t – PAM - Pa z
dengan: La adalah luas hutan kota yang harus dibangun P0 adalah jumlah penduduk K adalah konsumsi air/kapita (lt/hari) R adalah laju peningkatan pemakaian air Cadalah faktor pengendali PAM adalah kapasitas suplai air perusahaan tadalah tahun Pa adalah potensi air tanah z adalah kemampuan hutan kota dalam menyimpan air Hutan kota dalam kaitan sebagai produsen oksigen dapat dihitung dengan metode Gerakis (1974), yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988), sebagai berikut: Pt + Kt + Tt Lt = (54 )(0,9375 )(2)
m2
dengan: Lt adalah luas Hutan Kota pada tahun ke t (m2) Pt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke t Kt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada tahun ke Tt adalah jumlah kebutuhan oksigen bagi ternak pada tahun ke t 54 adalah tetapan yang menunjukan bahwa 1 m2 luas lahan menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari. 0,9375 adalah tetapan yang menunjukan bahwa 1 gram berat kering tanaman adalah setara dengan produksi oksigen 0,9375 gram
SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
5.
Jalur Pejalan Kaki (Pedestrian Ways) Jaringan Pejalan Kaki adalah ruas pejalan kaki, baik yang terintegrasi maupun terpisah dengan jalan, yang diperuntukkan untuk prasarana dan sarana pejalan kaki serta menghubungkan pusat-pusat kegiatan dan/atau fasilitas pergantian moda. Kebutuhan ruang jalur pejalan kaki untuk berdiri dan berjalan dihitung berdasarkan dimensi tubuh manusia. Dimensi tubuh yang lengkap berpakaian adalah 45 cm untuk tebal tubuh sebagai sisi pendeknya dan 60 cm untuk lebar bahu sebagai sisi panjangnya. Berdasarkan perhitungan dimensi tubuh manusia, kebutuhan ruang minimum pejalan kaki: 1. Tanpa membawa barang dan keadaan diam yaitu 0,27 m2 2. Tanpa membawa barang dan keadaan bergerak yaitu 1,08 m2 3. Membawa barang dan keadaan bergerak yaitu antara 1,35 m2 -1,62 m2.
A. Penyediaan Sarana Jaringan Pejalan Kaki Kriteria penyediaan sarana pejalan kaki, selain merujuk pada kriteria penyediaan prasarana jaringan pejalan kaki memperhatikan kriteria ketersediaan (lebar) ruas pada jaringan pejalan kaki serta tidak mengganggu fungsi utama jaringan pejalan kaki sebagai tempat pergerakan untuk pejalan kaki. Sarana jaringan pejalan kaki terdiri atas jalur hijau, lampu penerangan, tempat duduk, pagar pengaman, tempat sampah, marka, perambuan, papan informasi, halte/shelter bus dan lapak tunggu, dan telepon umum. B. Jalur Hijau Terdapat bagian khusus untuk menempatkan berbagai elemen ruang seperti hidran air, telepon umum, dan perlengkapan/perabot jalan (bangku, lampu, tempat sampah, dan lainlain) serta jalur hijau. Ruang pejalan kaki dibangun dengan mempertimbangkan nilai ekologis ruang terbuka hijau (RTH).
SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
C. Lampu Penerangan Lampu penerangan terletak di luar ruang bebas jalur pejalan kaki dengan jarak antarlampu penerangan yaitu 10 meter. Lampu penerangan dibuat dengan tinggi. Kementerian Pekerjaan Umum 38 maksimal 4 meter serta menggunakan material yang memiliki durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.
D. Tempat Duduk Tempat duduk terletak di luar ruang bebas jalur pejalan kaki dengan jarak antartempat duduk yaitu 10 meter. Tempat duduk dibuat dengan dimensi lebar 0,4-0,5 meter dan panjang 1,5 meter, serta menggunakan material yang memiliki durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak
E. Pagar Pengaman Pagar pengaman terletak di luar ruang bebas jalur pejalan kaki pada titik tertentu yang memerlukan perlindungan. Pagar pengaman dibuat dengan tinggi 0,9 meter, serta menggunakan material yang tahan terhadap cuaca dan kerusakan, seperti metal dan beton.
SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
F. Tempat Sampah Tempat sampah terletak di luar ruang bebas jalur pejalan kaki dengan jarak antartempat sampah yaitu 20 meter. Tempat sampah dibuat dengan dimensi sesuai kebutuhan, serta menggunakan material yang memiliki durabilitas tinggi seperti metal dan beton cetak.
G. Marka, Perambuan, dan Papan Informasi (Signage) Marka, perambuan, dan papan informasi terletak di luar ruang bebas jalur pejalan kaki, pada titik interaksi sosial, dan pada jalur pejalan kaki dengan arus padat. Marka, perambuan, dan papan informasi disediakan sesuai dengan kebutuhan, serta menggunakan material yang memiliki durabilitas tinggi dan tidak menimbulkan efek silau.
H. Halte/Shelter Bus dan Lapak Tunggu Halte/shelter bus dan lapak tunggu terletak di luar ruang bebas jalur pejalan kaki dengan jarak antarhalte/shelter bus dan lapak tunggu pada radius 300 meter dan pada titik potensial kawasan. Halte/shelter bus dan lapak tunggu dibuat dengan dimensi sesuai kebutuhan, serta menggunakan material yang memiliki durabilitas tinggi seperti metal.
I. Telepon Umum
SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
Telepon umum terletak di luar ruang bebas jalur pejalan kaki dengan jarak antartelepon umum pada radius 300 meter dan pada titik potensial kawasan. Telepon umum dibuat dengan dimensi sesuai kebutuhan, serta menggunakan material yang memiliki durabilitas tinggi seperti metal.
6.
Aktivitas Pendukung (Activity Support)
7.
Rambu, Papan Reklame, dll (Signage) Penandaan (signage) adalah segala sesuatu yang secara fisik dapat menginformasikan sesuatu pesan tertentu kepada masyarakat kota. Bentuk dari penandaan (signage) secara fisik merupakan sesuatu yang mudah untuk dibaca (legibility). Penandaan yang dimaksud adalah petunjuk arah jalan, rambu lalu lintas, media iklan, dan berbagai bentuk penandaan lain. Keberadaan penandaan akan sangat mempengaruhi visualisasi kota, baik secara makro maupun mikro, jika jumlahnya cukup banyak dan memiliki karakter yang berbeda. Sebagai contoh, jika banyak terdapat penandaan dan tidak diatur perletakannya, maka akan dapat menutupi fasad bangunan di belakangnya. Dengan begitu, visual bangunan tersebut akan terganggu. Namun, jika dilakukan penataan dengan baik, ada kemungkinan penandaan tersebut dapat menambah keindahan visual bangunan di belakangnya. Dalam perancangan penandaan (signage) yang perlu diatur adalah ukuran dan kualitas desain. Selain itu penandaan (signage) juga dapat dijadikan sebagai landmark yang berfungsi sebagai orientasi di dalam sebuah kawasan. Pemasangan penandaan haruslah dapat menjaga keindahan visual bangunan pada area/kawasan. Dalam pemasangan penandaan (signage) harus memperhatikan pedoman teknis sebagai berikut: Penggunaannya harus dapat mencerminkan/merefleksikan karakter dari suatu area/kawasan.
Penggunaan dan keberadaannya harus harmonis dengan bangunan arsitektur di sekitar lokasi.
Pembatasan besar ukuran penandaan agar tidak mendominasi pemandangan yang ada si sebuah area/kawasan.
Ruang (jarak dan ukuran) yang memadai dan diatur sedemikian rupa, untuk menjamin jarak penglihatan dan menghindari ketidakteraturan dengan elemen atau signage yang lain.
Tidak mencolok atau menyilaukan, pembatasan penggunaan lampu hias kecuali penggunaan khusus untuk empat hiburan, theatre, tempat pertunjukkan dan sebagainya (tingkat terangnya harus diatur agar tidak mengganggu).
Penandaan mempunyai pengaruh penting pada desain tata kota sehingga pengaturan bentuk dan perletakan papan-papan petunjuk sebaiknya tidak menimbulkan pengaruh visual negatif dan tidak mengganggu ramburambu lalu lintas. Ciri lain sebagai penanda citra kota adalah keberadaan Landmark (tetenger / penanda kawasan). Kota merupakan pusat kegiatan dan tempat interaksi manusia dengan sesamanya, oleh sebab itu dibutuhkan jenis informasi secara umum berupa penanda suatu kawasan dan lebih khusus berupa tanda-tanda (signage) tertentu yang berfungsi sebagai petunjuk kepada warga serta memudahkan warga kota. Landmark merupakan ciri yang menonjol dari sebuah kota dan selalu diasosiasikan dengan kawasan tersebut. Misal : bangunan tengaran, tandatanda, gunung, dll Lebih jauh lagi tanda ( sign ) juga dapat dijadikan landmark yang juga dapat berfungsi sebagai orientasi. Dari jenisnya, tanda-tanda dibedakan menjadi : SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
a. Identitas : Tanda ini digunakan untuk pengenalan kegiatan pada lingkungan / lokasi tertentu Tanda-tanda yang mepunyai bentuk khusus dan skala yang besar dapat dijadikan landmark. b. Nama Bangunan : Dipakai sebagai nama bangunan yang biasanya dilengkapi dengan petunjuk jenis kegiatan yang ada di dalamnya c. Petunjuk sirkulasi Biasanya disebut sebagai rambu-rambu lalu lintas yang berfungsi untuk mengatur dan mengarahkan pengendara atau pejalan kaki dalam sirkulasi d. Komersial Tanda jenis ini adalah iklan dan reklame e. Petunjuk ke lokasi dan fasilitas lain Tanda jenis ini merupakan petunjuk arah, lokasi kegiatan tertentu yang mempunyai keterangan jarak f. Informasi Berfungsi untuk menginfomasikan kegiatan di suatu lokasi Komponen Perancangan : a. Visibilitas (keterlihatan) papan/tanda b.
Legibilitas informasi (keterbacaan, kejelasan)
c. Tidak mencolok baik dari segi kualitas gambar maupun warna d. Keharmonisan papa nama/reklame dengan arsitektur bangunan e. Pengendalian pemakaian lampu kedip untuk reklame (kecuali untuk tanda keselamatan lalu lintas/tanda “hati-hati”, atau untuk bioskop dan sebagainya) f. Skalasa dan proporsi bentuk
8.
Preservasi dan Konservasi (Preservation) Konservasi suatu individual bangunan harus selalu dikaitkan dengan keseluruhan kota. Konsep tentang konservasi kota memperhatikan aspek : bangunan-bangunan tunggal, struktur dan gaya arsitektur, hal yang berkaitan dengan kegunaan, umur bangunan atau kelayakan bangunan. Adapun Beberapa kategori konservasi : Preservasi ( Preservation ) – Pelestarian : Menjaga dan melestarikan bangunan kuno dari kerusakan, pembongkaran dan perubahan apapun. Dalam preservasi tidak boleh mengganti elemen aslinya dengan lainnya.
Konservasi ( Concervation ) : Suatu strategi atau kegiatan menangani secara preventif terhadap kehancuran bangunan kuno. Memperbaikinya agar dapat bertahan lebih lama dengan mengganti beberapa elemen yang sudah rusak dengan elemen baru seperti aslinya.
Rehabilitasi ( Rehabilitation ) : Mengembalikan bangunan-bangunan kuno yang tidak berfungsi menjadi lebih berfungsi dengan merestorasi utilitas yang diperlukan dan meningkatkan esensi kegunaanya.
Revitalisasi ( Revitalitation ) : Merupakan bagian konservasi melalui pengembangan fungsi. Secara fisik bangunan di konservasi tetapi fungsi yang dikembangkan biasanya berbeda dengan fungsi aslinya.
Peningkatan ( Improvement ) : Kegiatan yang dapat meningkatkan nilai, penampilan, tingkat kenyamanan, utilitas yang memenuhi standar teknis, dan tingkat efisiensi baik secara fisik, sosial budaya, nilai ekonomi bangunan maupun kawasan kota.
Komponen Perancangan : a. Preservasi bangunan dan kawasan perlu mampu mendorong peningkatan perekonomian daerah b. Pada masa kini, preservasi bergeser dari “pelanggaran” menjadi “perlindungan” c.
Peraturan tentang preservasi berbeda dari satu kota ke kota lainnya. Meskipun demikian, terdapat unsur – unsur yang sama yaitu
d. Standart penetapan obyek preservasi e. Pengkajian oleh tim atau dewan kajian arsitektur atau komisi preservasi f. Standart untuk preservasi, domolisi (penghancuran) dan alterasi (pengubahan) g. Perlindungan SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL MALANG 2019
SALSHA FIRSTY AGUSTINA (1624080)
PERENCANAAN URBAN DESAIN