Lomba Karya Tulis Nasional (LKTN) "PERTAMBANGAN DAN RESIKO BENCANA" Tema utama II : Pertambangan dan peredaman risiko bencana serta keberlanjutan kehidupan Tema pilihan 3: Pengelolaan kekayaan tambang dan atau energi fosil dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menjaga kelestarian alam guna peredaman risiko bencana
KATEGORI UMUM
DEKORPORATOKRASI DAN SWAKELOLA SUMBER DAYA TAMBANG DEMI KEBERLANJUTAN HIDUP MANUSIA DAN EKOLOGI
Oleh: Yusuf Wibisono, S.TP. Alumnus Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian IPB, Staf Pengajar Universitas Brawijaya Alamat: Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang Jl. Veteran No. 1 Malang Telp/Faks 0341-571708 HP. 0813 1604 0251 Email:
[email protected] atau
[email protected]
JATAM – WALHI – DREAM – POKJA PA-PSDA JAKARTA
DEKORPORATOKRASI DAN SWAKELOLA SUMBER DAYA TAMBANG DEMI KEBERLANJUTAN HIDUP MANUSIA DAN EKOLOGI
Oleh: Yusuf Wibisono, S.TP. Alumnus Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian IPB, Staf Pengajar Universitas Brawijaya
Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri Thailand, didesak mundur dari kursi kekuasaannya oleh para demonstran—(hanya) gara-gara menjual perusahaan telekomunikasi (milik keluarga sendiri!) Shin Corporation kepada perusahaan asing Temasek Holdings, yang notabene adalah perusahaan dari tetangga seberang pintu, Singapura. Orang Thai marah dan tersinggung karena Shin Corp sudah dianggap sebagai aset nasional. Di republik kita nan gagah perkasa ini, banyak aset negara, milik swasta, maupun pribadi, yang dijual ke tangan asing (dengan harga murah!) dengan berbagai dalih yang patriotik “demi kepentingan rakyat dan negara”. Yang sekarang sedang hangat diperjualbelikan dan seperti dirayakan sebagai “kemenangan” adalah keunggulan bumi Indonesia dengan sebutan Blok Cepu dan perut bumi Papua yang dihamili oleh PT Freeport Indonesia, penguasaan (atau penjualan?) pulau-pulau dan hutan belantara, laut dan udara Nusantara yang dulu pada tahun 1945 telah berhasil dikuasai kembali oleh anak negeri: “Bumi, laut dan udara dengan segenap kandungan kekayaannya, dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Begitu kira-kira kredo semangat undang-undang aslinya. Dikuasai oleh negara untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Benarkah? Siapa jual, siapa untung, siapa rugi, siapa merampas, siapa kehilangan? (Kompas, 19/3/2006)
Sebutlah sebait solilokui alias senandika yang ditelorkan Suka Hardjana dalam rubrik Asal Usul Kompas Minggu, yang keluar dari tsunami tanda tanya tentang apa yang telah terjadi di negeri seribu pulau ini. Sebuah pangudarasa yang dikatakan Suka Hardjana menjustifikasi kebenaran pepatah lama – lain lubuk lain ikannya, lain ladang lain belalang. Kemudian diakhirinya dengan pertanyaan besar (atau pernyataan?). Apakah kredo para founding fathers republik ini tidak lagi diwarisi oleh para anak cucunya? Apakah kredo itu telah tergadai pula?
Indonesia: Negara atau Paguyuban? Itulah, pertanyaan yang lazim teracungkan atas berbagai kebijakan yang tidak bijak di republik ini. Ketika bangsa yang memiliki ikon guyub rukun, berubah menjadi pelakon dalam kebrutalan, pertikaian, perselisihan, bentrokan massal dan baku bunuh. Sebuah lakon dalam pagelaran yang dimainkan dengan wicara dan sabetan yang luar biasa lihai oleh Ki Dalang Penjajah Asing, dengan wayang-wayang yang terlihat telanjang. Ada kembul bojana Senapati Kuda Laut yang telah menyerahkan Kurusetra Cepu kepada Raja Raksasa Patra Exxon. Ada perang tanding antara para punggawa dan para kawula yang mengakibatkan tewasnya 5 punggawa, disaksikan oleh Buto Emas Freeport dengan terbahak-bahak. Sang Raja, Patih, Adipati seluruhnya telah menjadi wayang-wayang yang hanya bisa mobat-mabit kesanakemari dimainkan Sang Dalang. Sebuah lakon Goro-goro yang teramat layak meraih Academy Award. 1
Jadi, apakah Indonesia adalah sekedar pagelaran wayang? Kita harap tidak. Kalau begitu apakah Indonesia sebuah paguyuban? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, paguyuban adalah perkumpulan yang didirikan orang-orang yang sepaham untuk membina persatuan dan kerukunan diantara para anggotanya. Jika kita melihat adanya perangkat-perang perundang-undangan, struktur pemerintahan dan tata relasi kewarganegaraan, sepertinya Indonesia bukan sekedar paguyuban. Lantas, apakah Indonesia adalah sebuah negara? Entah, jawabannya bisa bukan negara atau negara yang bukan-bukan. Roger H. Soltau menyatakan bahwa negara adalah an agency or authority managing or controlling these common affairs on behalf of and in the name of the community—dengan mengatasnamakan masyarakat, negara menjadi alat dan wewenang dalam mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama. Kemudian menyangkut fungsi negara, Charles E. Merriam menyebutkan setidaknya lima fungsi, 1) keamanan ekstern, 2) ketertiban intern, 3) keadilan, 4) kesejahteraan umum, dan 5) kebebasan. Lebih khusus dalam bidang perekonomian, Irawan (Republika, 29/3/2006) menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga fungsi negara yang diketahui secara umum oleh para ekonom, yaitu fungsi alokatif, fungsi distributif, dan fungsi stabilitatif. Fungsi alokatif yaitu negara mengalokasikan anggarannya dengan tujuan menyediakan secara memadai barang-barang publik kepada masyarakat. Barangbarang publik ini diserahkan kepada negara penyediaannya karena sangat dibutuhkan publik. Fungsi distributif ditujukan untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat yang terpaksa terpinggirkan dan termajinalisasi dalam interaksi ekonomi melalui mekanisme pasar. Sedangkan melalui fungsi stabilitatif, negara mencoba melakukan tindakan-tindakan antisipasi terhadap instabilitas ekonomi. Maka, sebenarnya negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum). Jadi, sebuah negarakah Indonesia? Sepertinya..., ya! Tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 ialah: “Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Jadi, sebuah isyarat bonum publicum? Akan tetapi, semua orang juga tahu, kini Indonesia menjadi negara miskin. Pendapatan kotor nasional (GNP) perkapitanya hanya sedikit lebih besar dari Zimbabme, sebuah negara miskin di Afrika. Kekayaan Indonesia lebih banyak tergadai ke pihak asing, seperti minyak hampir 90% didominasi pihak asing. Emas di Freeport, Indosat, BCA, Danamon, sebagian Perkebunan, juga tergadai ke pihak asing. Utang negara luar biasa besar, lebih dari Rp 1.200-an triliun. Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang demikian besar itu ? Tidak lain, tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri. Hal ini tampak pada pos penerimaan dalam APBN dari sektor pajak yang mencapai sekitar 70 persen. Maka tampaknya, kebahagiaan itu masih sekedar isyarat. Survei Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 menunjukkan penduduk Indonesia dengan pendapatan 120 ribu/orang/bulan sebanyak 4,7 juta kepala keluarga/KK (16 juta jiwa), pendapatan 150 ribu/orang/bulan sebanyak 10 juta KK (40 juta jiwa) dan pendapatan 175 ribu/orang/bulan sebanyak 15,5 juta KK (62 juta jiwa). Sementara itu angka pengangguran pada Oktober 2005, masih menurut BPS sebanyak 11,6 juta jiwa.
2
Ironinya, pada bulan Oktober 2005 pula pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM rata-rata 108 persen. Masih untung TDL yang rencananya bakal naik 15 persen, batal dinaikkan tahun ini, entah tahun depan. Tentu, kenaikan-kenaikan itu tentu akan menambah angka-angka itu. BPS saja menyatakan, kenaikan BBM 35 persen, akan membuat angka kemiskinan baru sekitar 20 juta orang. Kondisi demikian, akhirnya memunculkan bola salju permasalahan. Hasil Susenas 2003 menyebutkan bahwa sekitar 27,3 persen balita Indonesia kekuragan gizi. Artinya, dari jumlah 18 juta balita pada tahun 2003, 4,9 juta mengalami masalah gizi buruk. Tahun 2005, sesuai proyeksi penduduk Indonesia oleh BPS, anak usia 1-4 tahun adalah sebanyak 20,87 juta. Jika angka 27,3 persen digunakan, maka diperkirakan 5,7 juta anak balita akan mengalami masalah gizi buruk. Kemudian, sebanyak 8 persen, atau 1,67 juta balita mengalami busung lapar atau kekurangan gizi yang amat parah. Sementara itu, perhatian pemerintah terhadap kebutuhan dasar (basic need) menyangkut masalah pendidikan dan kesehatan juga sangat rendah. Hal ini tercermin dari neraca APBN 2005, dimana hanya 5,82 persen anggaran dialokasikan untuk pendidikan dan 1,54 persen untuk bidang kesehatan. Sementara agenda privatisasi pendidikan mengemuka, kasus endemi penyakit-penyakit terus meluas. Jadi, bagaimana dengan bonum publicum? Jangan-jangan kedepan Indonesia masuk dalam kategori ketiga atau keempat dalam kategorisasi negara-bangsa (nationstate) menurut Stoddar, yaitu: 1) kuat (powerfulstate), 2) lemah (weakstate), 3) gagal (failedstate), dan 4) runtuh (collapsedstate).
“Menggali” Pertambangan Indonesia Salah satu sektor yang potensial mendatangkan pemasukan bagi negara adalah mengambil sumberdaya dari alam. Dan diantara sumberdaya alam (SDA) yang paling berpengaruh adalah sumberdaya mineral dan energi yang penyebarannya meluas dari Sabang sampai Merauke, baik yang terletak di darat maupun di daerah lepas pantai. Selain endapan batubara, minyak bumi dan gas alam, sumberdaya mineral tersebut merupakan bahan galian logam, bahan galian industri dan bahan bangunan. Sebagian dari bahan galian mineral logam seperti emas, perak, timah, nikel, tembaga dan sebagainya telah ditambang, tetapi masih banyak potensi yang belum dieksploitasi, bahkan belum diselidiki atau dieksplorasi. Subandoro (2001) menyebutkan, secara umum penyebaran bahan galian logam terdapat didaerah pegunungan karena berkaitan dengan kegiatan intrusi dan ekstrusi magma di daerah-daerah pegunungan yang terangkat karena gerakan tektonik akibat benturan antara Lempeng Benua. Misalnya, penyebaran mineral logam di sepanjang Pegunungan Bukit Barisan di Sumatra, Pegunungan Selatan Pulau JawaNusatenggara, Pegunungan Meratus di Kalimantan, Pegunungan yang memanjang dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah sampai Sulawesi Utara, Pegunungan di Kepulauan Maluku, dan Pegunungan di Irian Jaya. Deretan pegunungan-pegunungan tersebut terbentuk karena terjadinya benturan antara Lempeng Benua. Lempeng yang merupakan dasar Samudra Hindia bergerak kearah utara sehingga membentur Paparan Sunda yang stabil. Akibatnya, terjadilah pengangkatan daratan yang membentuk pegunungan di daerah Sumatra dan Jawa. Di wilayah Indonesia bagian timur terjadi benturan antara tiga lempeng benua, yaitu antara Lempeng Samudra Pasifik, Lempeng Benua Australia dan Paparan Sunda.
3
Potensi yang sedemikian besar ini digambarkan oleh Survei Industri Pertambangan Indonesia 2002 yang dipublikasikan pada November 2002 oleh PricewaterhouseCoopers, bahwa industri pertambangan Indonesia memainkan peranan yang penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan kinerja indutri pertambangan yang menyetorkan: a. Kontribusi total pada ekonomi Indonesia: 11.777,8 milyar rupiah (1999), 13.540,4 milyar rupiah (2000), 14.309,4 milyar rupiah (2001). b. Kontribusi industri tambang pada GDP: 31.208,5 milyar rupiah (1999), 34.031,6 milyar rupiah (2000), 45.558,1 milyar rupiah (2001). c. Pendapatan total pemerintah: 6.651,6 milyar rupiah (1999), 6.762,8 milyar rupiah (2000), 8.329,8 milyar rupiah (2001). d. Total pajak perusahaan (termasuk royalti dan pajak tidak langsung): 478,2 juta US$ (1999), 571,9 juta US$ (2000), 577,1 juta US$ (2001), pada 2001 melambangkan total kurs pajak 60.1%. e. Pembangunan masyarakat dan daerah: 211,0 milyar rupiah (1999), 269,7 milyar rupiah (2000), 279,1 milyar rupiah (2001). f. Jumlah tenaga kerja langsung Indonesia: lebih dari 36.887 (1999), 32.189 (2000) dan 32.909 (2001), mewakili 98% dari total angkatan kerja. g. Pelatihan tenaga kerja: 118,6 milyar rupiah (1999), 134,6 milyar rupiah (2000), 108,5 milyar rupiah (2001). Sungguh suatu kontribusi yang lumayan besar bagi pengelolaan negara. Namun harus disadari bahwa sumberdaya mineral dan energi merupakan sumber daya alam yang tak terbaharui atau non-renewable resource, artinya sekali bahan galian ini dikeruk, maka tidak akan dapat pulih atau kembali ke keadaan semula. Oleh karenanya, pemanfaatan sumberdaya mineral ini haruslah dilakukan secara bijaksana dan haruslah dipandang sebagai aset alam sehingga pengelolaannya pun harus juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang. Misalnya tambang di bumi Papua saja, adalah potensi SDA yang luar biasa besar. Jika saja SDA itu dikelola dan dimanfaatkan secara optimal oleh negeri ini, niscaya ia akan bisa menyelesaikan berbagai problem ekonomi yang tersebut diatas yang sedang melilit negeri ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Menteri BUMN, akibat pemblokiran Freeport oleh penduduk setempat beberapa saat lalu, Pemerintah Indonesia rugi 2,7 triliun setiap hari. Padahal kita tahu bahwa nilai tersebut baru dari 9% royalti dan sedikit pajak. Menurut Econit, royalti yang diberikan Freeport ke pemerintah tidak berubah, hanya 1-3,5 persen sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen FI hanya 479 juta dolar AS. Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh Freeport sekitar 1,5 miliar dolar AS (tahun 1996), yang dipotong 1 persen untuk dana pengembangan masyarakat Papua yang ketika itu sekitar 15 juta dolar AS (Gatra, 10/1998). Bagaimana jika kita tidak hanya mendapatkan royalti dan pajaknya saja, tetapi juga keuntungan/laba secara penuh. Jelas, Pemerintah Indonesia akan mendapatkan dana segar minimal Rp 73,71 trilun perbulannya atau setara dengan Rp 884,52 triliun pertahun. Sungguh, angka ini cukup untuk memberikan subsidi kepada rakyat sehingga BBM tidak perlu naik (Rp 10,5 triliun). Jika BBM tidak naik, maka TDL pun tidak akan pernah naik. Uang itu juga bisa digunakan untuk menutupi defisit APBN Rp 198 triliun), juga bisa digunakan untuk membayar utang (pokok dan bunganya sebesar Rp 159,7 triliun). Sisanya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan gratis, biaya kesehatan murah, dan perumahan bagi rakyat.
4
Lainnya, misalnya blok Cepu yang berdasarkan hasil survei dan kajian (technical evaluation study/TEA) Humpuss Patragas tahun 1992-1995, cadangan minyaknya mencapai 10,9 miliar barel dan sebanyak 2,6 miliar barel yang dapat dieksplorasi dalam bentuk minyak. Maka blok Cepu mengandung cadangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Cadangan minyak di Indonesia secara keseluruhan, selama ini diperkirakan hanya sekitar 9,7 miliar barel. Sungguh, tambang di bumi Papua, Cepu dan dibanyak tempat lainnya, adalah salah satu aset bangsa yang sangat strategis dan mampu dijadikan penopang bagi pelayanan masyarakat secara berkeadilan dan menyejahterakan. Namun, itu semua hanya menjadi fatamorgana jika dikelola oleh asing, bukan oleh bangsa sendiri, apalagi dilakukan secara eksploitatif dan dalam skala yang massif. Walhi (2004) mencatat, tidak kurang dari 30% wilayah daratan Indonesia sudah dialokasikan bagi operasi pertambangan, yang meliputi baik pertambangan mineral, batubara maupun pertambangan galian C. Tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tersebut tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat. Menurut Walhi, operasi pertambangan yang dilakukan di Indonesia seringkali menimbulkan berbagai dampak negatif, baik terhadap lingkungan hidup, kehidupan sosial, ekonomi, budaya masyarakat adat maupun budaya masyarakat lokal. Beberapa dampak negatif aktivitas pertambangan antara lain: a. Pertambangan Menciptakan Bencana Lingkungan Di seluruh Indonesia, operasi pertambangan menciptakan kehancuran dan pencemaran lingkungan. Ongkos produksi rendah yang dibangga-banggakan perusahaan dalam laporan tahunannya dicapai dengan mengorbankan lingkungan. Sebagian besar operasi pertambangan dilakukan secara terbuka (open pit) di mana ketika suatu wilayah sudah dibuka untuk pertambangan, maka kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage). Selain itu, hampir semua operasi pertambangan melakukan pembuangan limbah secara langsung ke sungai, lembah, dan laut. Hal ini mengakibatkan perusakan dan pencemaran sungai dan laut yang merupakan sumber kehidupan masyarakat setempat. b. Pertambangan Menghancurkan Sumber-Sumber Kehidupan Masyarakat Wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Tidak adanya pengakuan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat adat atas wilayah hidup mereka menyebabkan pemberian wilayah konsesi dengan semena-mena tanpa ada persetujuan dari masyarakat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas mapun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan. c. Pertambangan Memicu Kekerasan dan Ketidakadilan terhadap Perempuan Perempuan adalah kelompok yang paling rentan di dalam komunitas yang akan memikul dampak terbesar dari operasi pertambangan. Dalam banyak kasus, perempuan telah menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual dari personel perusahaan, maupun kekerasan oleh aparat keamanan dan personel perusahaan. Sebagian dari dampak terhadap perekonomian setempat adalah bahwa perempuan seringkali dijauhkan dari sumber penghidupannya semula. Hal ini dalam banyak kasus memaksa mereka untuk terlibat dalam prostitusi.
5
d. Pertambangan Meningkatkan Pelanggaran HAM dan Militerisme Di banyak operasi pertambangan di seluruh Indonesia, aparat keamanan dan militer seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan. Ketika perusahaan pertambangan pertama kali datang ke suatu lokasi, sering terjadi pengusiran-pengusiran dan kekerasan terhadap warga masyarakat setempat. Di dalam UU Pertambangan No. 11 tahun 1967, operasi pertambangan dikategorikan sebagai proyek vital dan strategis. Hal ini menjadi pembenaran bagi dilakukannya pengamanan, baik oleh tentara maupun aparat keamanan lainnya. Dalam banyak kasus, perusahaan-perusahaan pertambangan multinasional juga melakukan pembayaran terhadap aparat keamanan dengan tujuan untuk menjaga keamanan perusahaan. Detail tentang dampak-dampak negatif tersebut misalnya bisa dilihat dari kasus Freeport. Sejak bulan April tahun 1967 Freeport telah memulai kegiatan eksplorasinya di Papua—yang diperkirakan mengandung cadangan bijih emas terbesar di dunia—sebanyak 2,5 miliar ton melalui Kontrak Karya I yang penuh dengan intrik dan tipudaya. Kegiatan eksplorasinya pun tak tanggung-tanggung. Sepanjang tahun 1998, misalnya, PT Freeport Indonesia menghasilkan agregat penjualan 1,71 miliar pon tembaga dan 2,77 juta ons emas (Sabili, 16/02/2006). Menurut Catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Alam, pada tahun 1992 hingga 2002 Freeport memproduksi 5,5 juta ton tembaga, 828 ton perak dan 533 ton emas. Dengan penghasilan itu Freeport mengantongi keuntungan triliunan rupiah sepanjang tahun. Wajar jika hanya dalam kurun waktu dua tahun berproduksi (tahun 1973), Freeport yang dulunya perusahaan tambang kecil berhasil mengantongi perolehan bersih US$ 60 juta dari tembaga yang ditambangnya itu. Itu belum termasuk hasil tambang ikutannya seperti emas, perak, dan yang lainnya. Itu juga belum ditambah penemuan lokasi tambang baru (tahun 1988) di Pegunungan Grasberg yang mempunyai timbunan emas, perak, dan tembaga senilai US$ 60 juta miliar. Walhasil, sejak awal Freeport telah mengeruk dengan serakah kekayaan sumberdaya alam Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pada zaman reformasi nasib PT Freeport Indonesia semakin bersinar. Pada tahun 2001, laba bersih yang dibukukan perusahaan ini mencapai US$ 304,2 juta. Pada tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta. Tahun berikutnya, 2003 laba bersihnya melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan, dari laba bersih sebesar itu, sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya 15%-nya saja. Padahal Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham sebanyak 9,36%, sedangkan PT Freeport menguasai 90,64% (Kontan, 6/9/2004). Kemudian, masalah pencemaran lingkungan juga menjadi persoalan yang serius. Penambangan oleh Freeport telah menghasilkan galian berupa potential acid drainage (air asam tambang) dan limbah tailing (butiran pasir alami yang halus hasil pengolahan konsentrat). Sehari-hari Freeport memproduksi tidak kurang dari 250 ribu metrik ton bahan tambang. Material bahan yang diambil hanya 3%-nya. Inilah yang diolah menjadi konsentrat yang kemudian diangkut ke luar negeri melalui pipa yang dipasang ke kapal pengangkut di Laut Arafuru. Sisanya, sebanyak 97% berbentuk tailing. Akibatnya, sungai-sungai di sana tidak lagi disebut sungai karena berwarna coklat lumpur tempat pembuangan limbah tailing. Limbah Freeport juga telah menghancurkan vegetasi hutan daratan di wilayah Timika. Selain itu, Danau Wanagon pernah jebol dan menelan korban jiwa karena kelebihan kapasitas pembuangan dan terjadinya perubahan iklim mikro akibat penambangan terbuka.
6
Sebuah lembaga audit lingkungan independen Dames & Moore melaporkan pada tahun 1996—dan disetujui oleh pihak Freeport—bahwa ada sekitar 3,2 miliar ton limbah yang bakal dihasilkan tambang tersebut selama beroperasinya. Faktanya, telah terjadi pencemaran dan lingkungan baik hutan, danau dan sungai maupun kawasan tropis seluas 11 mil persegi. Dampak sosial dari keberadaan Freeport juga tidak bisa dipandang remeh. Berlimpahnya dana yang beredar di sana justru melahirkan bisnis prostitusi. Ironisnya, dari tahun ke tahun, bisnis esek-esek ini cenderung meningkat. Silitonga (2002) menyebutkan bahwa propinsi Papua menduduki peringkat teratas penderita HIV/AIDS di Indonesia, dan dalam interaksi kota-kota dengan penyebaran tertinggi seperti Merauke, Sorong dan Jayapura, menempatkan masyarakat Timika dalam daftar paling beresiko terkena HIV/AIDS. Silitonga merilis ulang data yang dipublikasikan oleh Subdin BPP dan PL Dinas Kesehatan Propinsi Papua bahwa pada akhir Desember 2001 dilaporkan sebayak 718 kasus HIV/AIDS di propinsi Papua, dan 164 kasus diantaranya ditemukan di Timika. Di Timika sendiri, tempat beroperasinya PT Freeport Indonesia yang mempekerjakan sekitar 12,000 pekerja laki-laki, diidentifikasikan dari 164 kasus HIV/AIDS tersebut, 73 persen penderitanya adalah penduduk Papua sendiri, dimana 60 persen dari jumlah itu adalah perempuan Papua. Jumlah ini cenderung semakin meningkat. Semua hal tersebut terjadi jelas karena pengelolaan pertambangan di Indonesia menggunakan paradigma dan cara-cara kapitalistik dan imperialistik, yang hanya mementingkan golongan kapitalis tertentu dan segelintir pejabat saja. Richardson misalnya dalam International Herald Tribune (3/4/2000) menyebutkan bahwa 81,28 persen saham Freeport dimiliki oleh Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. Pemerintah Indonesia hanya memiliki 9,36 persen saham, sebagaimana PT Indocopper Investama Corp. 49 saham Indocopper dimiliki oleh Freeport-McMoran dan 50,48 persen dimiliki oleh Nusamba Mineral Industries, perusahaan yang memiliki hubungan dengan Suharto sebagai penguasa Orde Baru. The New York Times (27/12/2005) memaparkan bahwa anggota TNI dan Polri secara resmi dibayar oleh Freeport. Sementara itu, Blok Cepu yang kini akhirnya jatuh kedalam pelukan Exxon Mobil, sebelumnya dikuasai oleh Humpuss Patragas yang merupakan bisnis keluarga Cendana. Dalam skala lebih kecil, belakangan muncul pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi seperti Arifin Panigoro dengan Medco-nya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim, dan Astra International (SWA, April-Mei 1996). Jadi, wajar jika kemudian Suka Hardjana bertanya, “Siapa jual, siapa untung, siapa rugi, siapa merampas, siapa kehilangan?” Dekorporatokrasi dan Swakelola Pertambangan Korporatokrasi atau kadang disebut korporokrasi adalah neologisme atau bentukan baru untuk menggambarkan sebuah pemerintah yang tunduk dibawah tekanan korporasi. Terkadang korporatokrasi dihubungkan dengan plutokrasi, pemerintahan oleh pemilik kekayaan (the have). Dalam korporatokrasi, ketika seseorang secara prinsip menjadi shareholder dalam sebuah korporasi, dalam kenyataannya hanya yang kuat yang dapat memberikan pengaruh pada pengambilan keputusan dan akhirnya pada seluruh aktivitas korporasi. Dalam kasus kenegaraan, korporatokrasi akan muncul ketika pemerintah ‘melegalkan’ politik uang yang terjadi diantara para politikus. Sehingga para politikus di eksekutif maupun di legislatif akan sangat corporate-friendly, dan sangat membantu korporasi memain-mainkan hukum sesuai keinginan dan kebutuhan
7
mereka. Hal ini kiranya yang terjadi pada kasus Freeport, dimana tampak jelas bahwa justru UU Pertambangan No. 11 tahun 1967 dibuat untuk ‘memanjakan’ Freeport yang beroperasi di Papua beberapa waktu sebelum UU tersebut dibuat dan disahkan oleh penguasa Orde Baru, Suharto. Lebih jauh, bahkan dalam kampanye untuk menjadi penguasa negara atau daerah, para politikus didukung oleh para pengusaha untuk biaya kampanyenya. Konsekuensinya, ketika si politikus berhasil suara rakyat, maka kepentingan korporasi akan mendominasi kebijakannya. Bahkan, dalam kasus yang lebih jahat, para politikus itu pulalah yang menjadi pengelola korporasi, dan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya akan mengikuti kaidah ekonomi kapitalis yang hanya menguntungkan korporasinya. John Perkins dalam bukunya yang terkenal Confessions of an Economic Hit Man (2004) mendeskripsikan korporatokrasi sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh “perusahaan besar, bank internasional dan pemerintah”. Perkins melihat korporatokrasi menjelma dalam siklus seperti berikut: Bank Dunia mengeluarkan bantuan untuk membangun bangsa-bangsa khususnya untuk membayar proyek-proyek pembangunan berskala besar; kontrak-kontrak kemudian disetujui dengan memakai perusahaan-perusahaan Amerika; dan hasilnya, negara-negara resipien tersebut menjadi terjerat dalam jaring bunga dan pokok utang yang tidak dapat mereka bayar. Korporasi-korporasi Amerika terus meningkatkan keuntungan korporasinya, dan pemerintah AS mendapatkan keuntungan terus dengan mengamankan operasi korporasi melalui kontrol dan kekuatan politik pada negara-negara berkembang dengan kepemilikan SDA yang besar. Dan akhirnya, Perkins menegaskan bahwa mayoritas penduduk di negara-negara berkembang ini tidak akan menikmati keuntungan yang ada, bahkan bagian terbesar dari anggaran negara lebih dialokasikan untuk mengatasi utang negara daripada untuk memberikan kesejahteraan pada rakyatnya. Indonesia adalah contoh yang tepat dalam pembuktian tesis Perkins ini. Kemudian, Perkins menggambarkan bagaimana harmoni antara korporasi besar, bank internasional dan pemerintah yang menurutnya sebagai ‘Tiga Pilar Korporatokrasi’, memberikan kemudahan bagi elite untuk bergerak pada sektor ini. Perkins mencontohkan sepak terjang Halliburton yang dikomandani oleh Wapres AS Dick Cheney. Begitu pula kepentingan keluarga Bush dan Condoleeza Rice dalam pengerukan SDA di Iraq dan Afghanistan. Bisnis minyak sangat mewarnai kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Penyerangan terhadap Afghanistan yang berdalih penyerbuan terhadap sarang teroris adalah karena minyak. Begitu juga invasi ke Irak, semata-mata karena Amerika ingin menguasai minyak di negara tersebut. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Putusan bahwa Exxon yang menjadi pengelola adalah putusan bisnis, tapi keputusan bisnis yang dilandasi kepentingan politis. Pemerintah Amerika sangat berperan dalam menentukan keputusan tersebut. Sebagai 'orang minyak', Bush tahu betul bahwa Exxon sangat berkepentingan mengelola Cepu. Lagi pula, ini balas budi Bush terhadap perusahaan itu. Maklum, Exxon yang berhasil memupuk keuntungan 36,2 miliar dolar AS pada 2005, sudah menyumbang 2,8 juta dolar AS kepada Bush dalam pemilu presiden 2004 silam. Belum terhitung sumbangan-sumbangan lain terhadap orang-orang di sekitar Bush. Ulasan Perkins ini cukup membuat gerah pemerintah Amerika. Melalui U.S. National Security Agency (NSA), pemerintah Amerika membantah tuduhan Perkins dengan argumen bahwa pemerintah AS baru-baru ini telah berinisiatif untuk menghapus utang banyak negara-negara miskin–heavily indebted poor countries (HIPC). Misalnya pada tahun 2004, Bush berkehendak untuk menghapus utang negara-negara termiskin di dunia. Setahun kemudian, pada konferensi para pemimpin
8
Kelompok Delapan (G8) di Gleneagles pada Juli 2005, menyepakati untuk menghapus 18 negara miskin, dan mengabaikan 17 juta dollar US utang Nigeria, sebagai penghapusan utang terbesar yang pernah terjadi. Pada September 2005, Timothy Adams, Sekretaris untuk Hubungan Internasional pada Departemen Keuangan AS menjelaskan, “Dibawah program ini, 18 negara termiskin dunia akan dihapuskan utang-utangnya, meliputi: Benin, Bolivia, Burkina Faso, Ethiopia, Ghana, Guyana, Honduras, Madagaskar, Mali, Mauritania, Mozambik, Nikaragua, Niger, Rwanda, Senegal, Tanzania, Uganda, dan Zambia. Total utang yang dihapus itu hingga mencapai 60 juta dollar AS ketika proses penghapusan itu selesai.” Walaupun ulasan Perkins ini dibantah dan bantahan itu terkesan elegan, namun jangan lupa bahwa penghapusan itu dilakukan setelah kurang lebih 60 tahun mereka memeras penduduk di negara-negara berkembang dan merampok kekayaan SDA-nya. Gambaran Freeport yang telah merubah gunung emas menjadi lembah adalah bukti kerakusan para negara kapitalis tersebut. Belum lagi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara-negara yang masuk dalam skema penghapusan utang itu. Dominasi politik dan ekonomi oleh AS dan para kompradornya akan terus menghantui negara-negara yang terperangkap dalam utang-utang internasional. Sebuah kajian industri ekstraktif— EIR (Extractive Industries Review), pada ulang tahun Bank Dunia ke-60, 22 Juli 2004, meminta Bank Dunia untuk mengakhiri pendanaan bagi proyek pertambangan minyak dan tambang. Jika Bank Dunia terus melanjutkan kebijakan ini, berarti Bank Dunia tetap meletakkan profit bagi korporasi di atas rakyat dan planet. Artinya ulang tahun ke-60 Bank Dunia ini, tidak hanya menandai 60 tahun kegagalan kebijakan, 60 tahun penyalahgunaan hutang, 60 tahun peningkatan hutang dan 60 tahun proyek-proyek pembangunan Bank Dunia yang meragukan dan mengorbankan lingkungan, perempuan, masyarakat adat dan kelompok marginal lain di seluruh dunia, tapi juga sebagai titik lanjut penghancuran dunia. EIR antara lain menuntut agar Bank Dunia: 1. Mendapatkan Prior Informed Consent (persetujuan tanpa paksa) dari masyarakat lokal dan masyarakat adat yang akan terkena dampak projek sebagai suatu syarat pendanaan; 2. Mengurangi secara bertahap hingga berhenti mendanai batubara (sekarang) dan minyak (pada tahun 2008); dan menggunakan sumberdayanya yang terbatas untuk meningkatkan pendanaannya untuk energi terbarukan 20% per tahun; 3. Menghormati hak masyarakat adat atas tanah adat sebagai prekondisi pendanaan; 4. Memastikan bahwa hasil dari proyek yang didanai oleh Bank Dunia juga bermanfaat untuk semua masyarakat lokal dimana proyek dilaksanan; 5. Menjamin hak-hak buruh sebagaimana telah dijamin oleh ILO; 6. Meminta Bank Dunia untuk tidak mendanai proyek yang menggunakan metode Submarine Tailing Disposal sampai dibuktikan tidak berbahaya; 7. Meningkatkan transparansi keuangan, dan transparansi proyek secara umum kepada publik; dan 8. Segera melakukan berbagai reformasi yang diperlukan dalam tubuh Bank Dunia untuk memungkinkan terlaksananya rekomendasi-rekomendasi yang lain, ini sangat penting mengingat hingga kini tekanan untuk 'segera memberi pinjaman' dialami oleh banyak staf Bank Dunia sehingga berakibat melemahnya kebijakan perlindungan sosial dan lingkungan dalam proyek-proyek Bank Dunia.
9
EIR menyimpulkan bahwa jika Bank Dunia ingin memenuhi mandatnya untuk mencapai pengentasan kemiskinan, maka seharusnya hanya mendukung industri ekstraktif jika sejumlah kondisi 'good governance' dan kondisi yang positif lainnya sudah ada. Lebih lanjut EIR menyatakan bahwa jika ingin menyumbang kepada pembangunan berkelanjutan secara lebih efektif, maka sebaiknya Bank Dunia menjadikan dirinya pendukung utama bagi energi terbarukan, daripada terus mendanai pertambangan batu bara dan minyak. Bank Dunia disarankan untuk merealokasikan dana-dananya dan secara agresif meningkatkan portfolio proyekproyek energi terbarukan sebesar 20% pertahun, hingga pada akhirnya di tahun 2008 nanti portfolio energi Bank Dunia didominasi oleh proyek-proyek energi terbarukan. Pertanyaannya kemudian, akankah Bank Dunia memenuhi rekomendasi itu, jika peranan dan dominasi negara-negara kapitalis masih sangat mengakar dalam tubuh Bank Dunia?? Tidak hanya Bank Dunia, permainan bola ekonomi dunia juga dimainkan oleh dua lembaga lain, IMF dan WTO. Dan lagi-lagi, keputusan-keputusan yang dihasilkan di kedua lembaga itu setali tiga uang dengan Bank Dunia. Sampai-sampai, Joseph E Stiglitz, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 mengatakan bahwa Barat bersikap hipokrit dalam permainan ekonomi dunia. Stiglitz, yang juga warga negara Amerika mengatakan pada pertemuan WTO di Hongkong Desember 2005, bahwa negara berkembang, sama sekali tidak bisa menandatangani perjanjian perdagangan. Hal ini sama tidak adilnya seperti perundingan perdagangan di masa lalu. Barat memperlakukan barang-barang yang diproduksi di dalam negeri secara berbeda dengan barang- barang yang diproduksi di luar AS. Barat memiliki sebuah standar ganda Tentang IMF, Stiglitz juga pernah mengucapkan kritikan pedas. Pada April 2001 ia mengatakan, "Ketika sebuah negara sedang terpuruk, IMF mengambil kesempatan dan memeras titik darah terakhirnya. IMF mengipasi api sehingga, akhirnya, seluruh kualinya meledak. Ia menyebabkan kematian banyak orang. Ia tak peduli orang hidup atau mati. Kebijakannya mengecilkan demokrasi... agak mirip dengan Zaman Pertengahan atau Perang Opium." Pada tahun 2002, Stiglitz menulis buku Globalization and Its Discontents, saat ia menegaskan bahwa IMF meletakkan kepentingan pemegang saham terbesar (Amerika Serikat) di atas kepentingan negara-negara miskin yang justru seharusnya ia bantu. Masih kata Stiglitz, dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen keuangan AS dan Bank Dunia, IMF sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington. Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya, (2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN. Di Indonesia, menyusul kemerosotan nilai rupiah tahun 1997, Pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana talangan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan Konsensus Washington melalui penanda-tanganan Letter Of Intent (LOI), yang salah satu butir kesepakatannya adalah penghapusan subsidi untuk bahan bakar minyak, yang sekaligus memberi peluang masuknya perusahaan multinasional seperti Shell. Begitu juga dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya Indosat, Telkom,
10
BNI, PT. Tambang Timah dan Aneka Tambang. Akhirnya hal ini menjadi momentum pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara lebih massif yang sebenarnya telah dimulai sejak pertengahan 1980-an. Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik. Paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit perilaku bisnis, dan hak-hak milik pribadi. Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas. Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politis multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan buruh seperti upah minimun, dan hak-hak daya tawar kolektif. Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah. Tapi privatisasi ini tidak terjadi pada negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara Amerika Latin dan negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi ini telah mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis kesejahteraan. Nasionalisasi yang menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan. Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik. Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakankebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi. Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. ini menjadi pondasi dasar neoliberalisme, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum. Tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditi barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor Sumber Daya Air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang
11
ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli. Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaan sumber air ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsorsium korporasi bisnis yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau perusahaan swasta atau bahkan perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional. Maka, melihat permainan ekonomi yang sedemikian rakus menempatkan negara-negara miskin dan berkembang sebagai mangsa negara-negara besar kapitalis, sudah selayaknya kita menakar ulang paradigma pembangunan ekonomi kita. Diakui atau tidak, penyelenggaraan pembangunan ekonomi Indonesia telah terjerat korporatokrasi seperti gambaran Perkins dan “terjajah” para lembaga pengusung ekonomi neoliberal seperti deskripsi Stiglitz. Setelah menghapuskan korporatokrasi, tidak ada jalan lain kecuali mengelola sendiri (swakelola) kekayaan SDA kita. Lebih khusus dalam sektor pertambangan, karena penguasaan pihak asing di sektor ini, telah terjadi korupsi berskala besar. Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing, menurut Tamagola (Kompas, 14/2/2005), telah terjadi pengaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintuni di Papua untuk British Petrolium, Kaltim untuk PT Kaltim Prima Coal, dsb. Pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi persekongkolan antara penguasa dan kekuatan modal asing. Amien Rais (Kompas, 5/1/2006) mengatakan, banyak proyek pertambangan yang perlu disoroti, antara lain yaitu PT Freeport Indonesia, tambang emas raksasa di Timika, Papua; Proyek Liquefied Natural Gas Tangguh yang dibangun di Teluk Bintuni, Kabupaten Manokwari, Papua; serta PT Newmont Minahasa Raya, pertambangan emas dan tembaga di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Informasi yang diperolehnya, kata Amien, areal yang sudah hancur ekologinya di daerah Freeport mencapai 200 kilometer persegi. Padahal, rakyat tak pernah tahu berapa puluh atau ratus ton emas dan perak yang sudah dibawa ke luar negeri. Tapi, anehnya, delapan tahun sebelum kontrak habis, kontrak karya sudah diperpanjang lagi. Terkait dengan proyek Tangguh, kata Amien, saat ini sudah dikontrakkan dengan RRC selama 30 tahun. Harga gas dipatok secara flat 2,6 dollar AS per mbtu. Padahal, berdasarkan informasi yang diperolehnya dari seorang ahli sudah mencapai 9 dollar AS. ”Jadi, berapa ratus triliun rupiah kerugian kita,” ujarnya. Amien juga menyebut sejumlah perusahaan pengelolaan semen yang mayoritas sahamnya sudah jatuh ke tangan pihak asing, seperti Semen Cibinong, Semen Tiga Roda, Semen Gresik, maupun Semen Padang. Belum lagi pihak asing yang juga akan menguasai SPBU-SPBU. Fakta ini harus diperhatikan oleh para pengambil kebijakan di republik ini. Suara vokal para tokoh masyarakat, janganlah dituding beraroma politis untuk mengguncang kekuasaan. Janganlah pemerintah suudzon (berburuk sangka) pada rakyatnya, karena semuanya demi keberlangsungan hidup dan kehidupan kita. Menarik untuk mencermati ‘jeritan rakyat yang terdengar’ dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada tanggal 22-23 Maret 2006 kemarin. Dalam publikasi hasil jajak pendapat itu (Kompas, 27/03/2006), dari sampel sebanyak
12
831 responden di 10 kota besar di Indonesia mulai Medan hingga Jayapura, terekam suara rakyat sebagai berikut: ☺ 71,5 persen responden menyatakan “tidak puas” dengan pemanfaatan hasil kekayaan tambang untuk kesejahteraan masyarakat. ☺ 72,2 persen responden menyatakan bahwa tindakan eksploitasi kekayaan alam Indonesia, khususnya sektor pertambangan oleh perusahaan-perusahaan asing merupakan “gejala yang berlebihan” dan “hanya menguntungkan asing”. ☺ 72,6 persen responden menyatakan bahwa “pemerintah terlalu lamban” dan “tidak tegas menindak” perusahaan-perusahaan asing yang melakukan pelanggaranpelanggaran dalam eksploitasi pertambangan. ☺ 54,5 persen responden menyatakan pemerintah cenderung “berpihak pada pemilik modal asing dibandingkan rakyatnya sendiri”, hal ini tercermin dalam kebijakankebijakan pemerintah yang dikeluarkan selama ini. ☺ 77,5 persen responden menyatakan “sangsi” bahwa keberadaan perusahaanperusahaan asing penguasa pertambangan yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia itu dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat sekitarnya. ☺ 78,5 persen responden menilai kehadiran perusahaan pertambangan asing “lebih banyak membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup” masyarakat sekitar area pertambangan. ☺ Tak pelak, sebanyak 89,9 persen responden SETUJU jika kontrak kerja yang mengatur bagi hasil antara perusahaan asing, pemerintah dan masyarakat lokal “ditinjau kembali”. Walaupun hasil jajak pendapat itu tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh rakyat di negeri ini, namun setidaknya bisa memberikan gambaran bahwa rakyat sudah cukup muak dengan kehadiran perusahaan-perusahaan asing pertambangan di Indonesia yang sangat merugikan rakyat Indonesia. Sudah seharusnya pemerintah mendengar jeritan ini dengan membuka telinga lebar-lebar dan mencernanya dengan pikiran yang jernih. Sungguh tidak ada motif dibalik seruan dan suara itu, kecuali “ini menyangkut keberlanjutan hidup dan kehidupan kita”. Masih dari hasil jajak pendapat itu, 69,3 persen responden menyatakan bahwa kita masih membutuhkan keterlibatan asing dalam pengelolaan pertambangan. Mereka menyatakan bahwa teknologi dan SDM kita masih belum mampu untuk mengelolanya. Keresahan awam ini dijawab oleh para pakar. Jika alasannya adalah teknis pengelolaan, Batubara mengatakan bahwa dalam hal kemampuan teknis, Pertamina sudah punya banyak pengalaman eksplorasi, seperti di Tuban (Sumur Sukowati); Bekasi (Tambun dan Pondok Tengah) Patrol, Jawa Barat; Prabumulih, Sumsel, dan lain-lain. Profil daerah-daerah itu hampir sama dengan Blok Cepu: eksplorasi on-shore, sumur dangkal, flow minyak bersifat natural, dan tak butuh teknologi tinggi. Belum lagi dari tingkat efisiensi, di mana biaya pengeboran dan operasional Pertamina jelas lebih murah. (Republika, 6/3/2006). Utomo bahkan menandaskan, sebetulnya, jika landasannya murni bisnis, Pertamina sanggup. Soal biaya, siapa lembaga keuangan yang tidak tergiur dengan keuntungan Cepu? Soal kemampuan, Pertamina punya pengalaman–kalaupun kurang, panggil saja ahli perminyakan yang bekerja di perusahaan asing. Begitu juga teknologi, ibaratnya kalau tidak punya, tinggal beli (Republika, 15/3/2006). Jadi sebenarnya kita mampu, tinggal mau apa tidak memulainya. Niat ini yang harus dimulai oleh pemerintah. Pemerintah harus segera beritikad untuk mengembalikan pengelolaan seluruh kekayaan alam kita, utamanya kekayaan tambang, kepada anak-anak bangsa. Sudah saatnya kita ‘mencangkul sawah kita 13
sendiri’. Jangan lagi pemerintah abai terhadap permasalahan ini, karena rakyat bukan sekumpulan manusia bodoh yang gampang dikibuli dengan janji-janji manis yang pepesan kosong semata. Karena, 61,7 persen responden dalam jajak pendapat Kompas tersebut menuding “pemerintah belum serius” mengembangkan teknologi pengelolaan hasil kekayaan alam kita sendiri. Kalau Sukarno pernah mengatakan tentang harus sangat selektifnya kita menerima penanaman modal asing (PMA) dalam pengelolaan SDA. Bahkan jika kita belum mampu mengelola, ''Kita simpan di bawah tanah sampai para insinyur kita mampu menggarapnya sendiri,'' katanya. Tapi Bung, kita sudah mampu sekarang. Jadi persoalannya bukan kemampuan, tapi kemauan. Kalo masih ada saja pihak yang enggan dengan swakelola SDA kita, ingatlah klimaks yang diperlihatkan dalam pidato founding fathers Indonesia yang lain, Bung Hatta. Dia menegaskan, “Camkanlah! Negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila pemerintah dan masyarakat belum sanggup menaati Undang-undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan pasal 27 ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34. Dan camkanlah pula, bahwa (nilai-nilai) Pancasila itu adalah kontrak Rakyat Indonesia untuk menjaga persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa. Angkatan muda sekarang tidak boleh melupakan ini dan mengabaikannya! Sekian.”
Paradigma Collective Property Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari pertentangan paham kepemilikan. Perspektif terhadap pertambangan, seperti halnya air, dapat mengadopsi tabulasi yang disusun Perdana (2003): Perspektif Politik Ekonomi
Negara State Based Capital Based (investasi/ privatisasi/utang)
Sosial
Rakyat sebagai Obyek (Uniformitas)
Budaya
Perilaku eksploitatif, ekspansif
Pemilik Modal Fasilitasi regulasi state Jaminan pembengkakan capital/investasi (industri tambang/ komoditas) Mementingkan diri sendiri (Filantropi sebagai hipokrisi) Monopoli, eksploitatif dan ekspansif
Ekologi
Eco-Developmentalism
Eco-Proseduralism
Rakyat Community based Jaminan sumberdaya dipergunakan untuk kesejahteraan Kebersamaan/ collectivity Etika lingkungan sebagai sistem lokal (lokal knowledge & wisdom) Eco-Populism
Dengan perbedaan perspektif yang demikian, yang terjadi adalah konflik yang berkelanjutan. Dalam perspektif kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti diatas, maka isu privatisasilah yang mendominasi. Privatisasi inilah yang menghadapkan sumberdaya yang menguasai hajat hidup manusia versus subyek kepemilikan untuk diperdagangkan. Ini sama halnya mempertentangkan komunitas publik versus sekelompok pemilik modal. Hasilnya, 5 jiwa melayang di Abepura pada bentrok antara (aparat) negara yang membela ‘hak-hak keamanan’ pemilik modal (baca: Freeport) dan masyarakat. Yang rugi bukan pemilik modal, tapi lagi-lagi masyarakat. ‘Keberhasilan’ konspirasi antara lembaga-lembaga keuangan internasional (Multilateral Development Bank’s/MDB’s), korporasi-korporasi transnasional (TNCs) milik negara maju, Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) untuk menggasak
14
rakyat miskin telah terjadi di mana-mana. Lebih dari 10 tahun lalu sebenarnya konspirasi tersebut dilakukan dengan membangun jalan memuluskan privatisasi sebagai kondisionalitas pemberian utang ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Plus, didorong dengan perjanjian perdagangan yang mendesak negara pengutang menderegulasi sektor air dan membukanya bagi investasi asing. Liberalisasi sektor publik merupakan konsekuensi logis setelah liberalisasi modal, barang dan jasa yang dilakukan secara bertahap mulai 1970-an. Perluasan pasar dan pangsa pasar merupakan cita-cita para kapitalis monopolistik agar bisa mempertahankan dominasinya. Ironinya, pemerintah lebih terkesan sebagai pelayan korporasi asing, bukan pelayan rakyat. Dilihat dari perspektif kepemilikan tanah, secara legal formal, Indonesia tidak lagi menganut asas domein verklaring. Domein verklaring dengan arti bahwa semua tanah-tanah tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara, hanya diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Indonesia. Kalo (2004) mengatakan bahwa dengan diberlakukannya asas domein verklaring oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa kebijakan itu didasari atas alasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia yang mempunyai kekuasaan hak domein atas tanah, maka dengan sendirinya hak domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegang kedaulatan di Indonesia. Padahal, anggapan pemerintah Belanda yang demikian itu, pada dasarnya adalah sangat keliru. Karena tidak semua raja-raja di Indonesia mempunyai hak domein atas tanah di wilayah kerajaannya. Bahkan di wilayah persekutuan hukum adat yang berada di bawah kekuasaan kesultanan, tanah adalah merupakan milik komunal (beschikkingsrecht). Oleh sebab itu asas domein verklaring ini tidak bisa dipakai alasan pemerintah untuk menjual area pertambangan yang menguasai hajat hidup orang banyak kepada segelintir pemilik modal. Negara dalam hal ini harus merujuk pada pasal 1 UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pertambangan yang menyebutkan “Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesiayang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Jelas dari pendekatan legal formal, sesuai dengan tujuan negara bonum publicum, negara bertanggung jawab untuk mengelola kepemilikan umum (collective property) untuk kepentingan rakyat banyak, memanfaatkan sumber-sumber pendapatan negara untuk rakyat, menciptakan situasi perekonomian yang kondusif seperti keluasan lapangan kerja dan kemampuan yang tinggi dari para pekerja (profesionalitas). Paradigma ini harus menjadi mindset dalam pengelolaan SDA kita, baik itu menjadi paradigma pemerintah, para pengusaha nasional ataupun masyarakat. Tidak ada lagi grey area dalam ranah hukum Indonesia tentang kedudukan bahan tambang, mineral, energi bahkan juga air sebagai milik umum. Negara hanya berhak untuk menjadi regulator dan dipergunakan sebesar-besar untuk kesejahteraan rakyat. Penyimpangan dari garis ini adalah pelanggaran hukum. Bahkan Agustianto mengatakan sebagai “keharaman”. Dalam hal ini dia menawarkan pendekatan lain, yaitu pendekatan sosio-religius, dimana pemerintah dan rakyat harus memahami “fikih sumber daya alam/SDA’, sesuai dengan aturan agama bahwa sumber daya alam yang termasuk milik umum seperti air, api, padang rumput, hutan dan barang tambang harus dikelola hanya oleh negara yang hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal, pangan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.
15
Pendekatan sosio-religius ini, mengedepankan konsep kepemilikan yang jelas, dimana tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus bersusah payah seperti garam, batubara, dan sebagainya ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh kecuali dengan usaha keras seperti tambang emas perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya baik berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak, termasuk milik umum. Barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Karena itu, siapa saja yang menemukan barang tambang atau minyak bumi pada tanah miliknya, dilarang baginya untuk memilikinya dan barang tambang tersebut harus diberikan kepada negara untuk dikelola. Pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam tersebut untuk kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat umum (Waspada, 16/12/2005). Menyangkut masalah contract of work (CoW) atau lebih populer disebut kontrak karya, menarik untuk mencermati usulan Fahmi Amhar, Peneliti Utama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Amhar (RRIOnline, 7/2/2006) meminta pemerintah untuk memanfaatkan sistem syariah dalam menandatangani kontrak karya pertambangan. Pengelolaan pertambangan dengan sistem syariah tersebut menandaskan bahwa hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara. Hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer seperti pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Pendekatan legal-formal lewat sistem syariah ini bisa dijadikan alternatif pemecahan. Apalagi UU kita telah banyak diwarnai oleh sistem syariah yang terbukti memiliki dampak yang lebih baik dibandingkan ‘sistem konvensional’. Siapa tahu, peninjauan ulang berbasis syariah terhadap UU Penanaman Modal Asing No. 1 tahun 1967 yang salah satu pasalnya memberikan jalan bagi masuknya investasi asing di bidang pertambangan (lihat pasal 8 UU No 11 tahun 1967) dan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan, yang semakin mengukuhkan jalan bagi investasi asing di bidang mineral, bisa mengembalikan hasil kekayaan tambang kita ini untuk kehidupan kita sendiri. Dalam UU baru ini nanti, pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara. Tentu dengan tetap berorientasi kepada kelestarian sumber daya alam tersebut, hasil pengelolaan tambang ini dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Negara sebagai Pelayan Publik Dengan paradigma bahwa negara dan pemerintahan adalah pelayan publik, maka derivat-derivat dari permasalahan pertambangan akibat pengelolaan yang kapitalistik akan tereduksi. Tentang permasalahan bencana misalnya, angka-angka bencana akan terpangkas dengan pengelolaan yang terencana, berbasis rakyat dan berorientasi kesejahteraan umum. Seperti yang dicatat Bakornas PB, sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, di mana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Persentase tersebut berarti bahwa bencana terbesar yang terjadi justru bencana yang bisa diatasi, diantisipasi kejadian dan resikonya. Bencana banjir dan tanah longsor adalah bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih banyak karena campur tangan manusia. Bencana banjir dan tanah longsor merupakan bencana yang “bisa direncanakan”.
16
Bencana Alam di Indonesia (1998-2003) Jenis Jumlah Kejadian Banjir 302 Longsor 245 Gempa bumi 38 Gunung berapi 16 Angin topan 46 Jumlah 647
Korban Jiwa 1066 645 306 2 3 2022
Kerugian (juta rupiah) 191.312 13.928 100.000 n.a 4.015
Sumber: Bakornas PB.
Seperti halnya catatan Walhi (2004), banjir dan longsor di Bukit Lawang, Bohorok 2003, banjir dan kekeringan di kawasan ekosistem Leuser, banjir bandang di Jawa Tengah dan Langkat 2003, longsor di Mandalawangi Garut 2003, banjir dan longsor di NTT 2003, kebakaran hutan di Palangkaraya, dan kekeringan di seluruh pulau Jawa, semuanya disebabkan karena mismanagement dan human error. Artinya, dengan paradigma pembangunan yang eksploitatif dan kapitalistik, keseimbangan ekosistem akan terganggu akibat penambangan massif, illegal logging, kongkalikong (oknum?) pemerintah dengan perusahaan eksplorasi swasta lokal ataupun asing. Walhi menyebut sebagai ‘sejuta bencana terencana di Indonesia’. Dengan paradigma pengelolaan SDA yang berbasis kesejahteraan umum, maka penyebab bencana akan tereduksi hingga pada tingkat penyebab yang diluar kuasa manusia, atau faktor natural menyangkut aspek hidrologi (air bawah tanah dll.), meteorologi (kecuacaan) dan geologi (pergeseran lempeng, tsunami dll.). Sementara itu penyebab yang lain menyangkut faktor legal-formal (agraria dll.), faktor teknokultural (tata-ruang, tata guna lahan, perencanaan kawasan dll.), hingga faktor sosiopolitik (korporatokrasi, kapitalisme, kelalaian penguasa dll.) akan dengan sendirinya tereduksi. Tidak hanya itu saja, bahkan untuk memperkecil pencetus terjadinya bencana akibat faktor natural, negara akan berusaha memperkecil (jika tidak bisa meniadakan) kerugian yang mungkin akan terjadi melalui manajemen bencana yang sistematis. Pengadaan peta-peta tematik kebencanaan hingga spot-spot yang detail, juga mitigasi baik secara struktural maupun non-struktural, akan dilakukan oleh negara yang ‘menyayangi’ rakyatnya. Dengan kesiapan pemerintah beserta seluruh aparatnya, dampak negatif bencana akan sangat terbatas mengemuka. Demikian pula dengan permasalahan ekologi. Tanpa perlu repot-repot mengadakan kampanye cinta lingkungan, atau memainkan spiritualitas baru yang menganggap lingkungan sebagai ‘tuhan’ yang menentukan hidup matinya komunitas manusia, dengan paradigma pembangunan yang berbasis kesejahteraan umum, maka keseimbangan lingkungan akan terjadi dan keberlangsungan ekologi akan tercapai. Secara otomatis, keberlanjutan kehidupan anak manusia juga akan terjamin. Kemudian menyangkut pelanggaran terhadap sumber-sumber kehidupan masyarakat, itupun tidak akan terjadi. Negara yang cinta rakyatnya akan menghormati hak-hak kepemilikan individu yang memang menjadi hak asasi alamiah manusia. Negara mengormati kepemilikan pribadi (individual property) yang didapatkan dengan cara-cara yang sah, legal dan halal. Bahkan negara akan menjamin keamaanan kepemilikan individu itu jika menghadapi ancaman atau gangguan dari individu, kelompok atau bahkan negara lain. Kehilangan jiwa seorang individu saja, bahkan harta kekayaan yang sah seorang individu yang diakibatkan oleh kelalaian atau kesengajaan pihak lain akan mengakibatkan negara membela dengan segera dan menyelesaikannya secara jantan. Maka dalam hal ini tidak akan terjadi perampasan tanah pribadi atas nama ‘kepentingan umum’ untuk kepentinngan korporat-korporat 17
pertambangan misalnya, atau tidak akan muncul konflik Buyat yang menempatkan rakyat Buyat seolah-olah sebagai anak tiri (atau anak yatim?) pemerintah. Kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan juga tidak akan terjadi. Wanita sebagai tiang negara akan menjadi asas negara yang mencintai rakyatnya. Kasus pemerkosaan, pembunuhan, penularan penyakit-penyakit berbahaya, pembayaran upah yang tertunda dan minimalis tidak akan terjadi. Negara yang cinta rakyatnya akan menempatkan perempuan sesuai dengan kedudukannya yang mulia. Kedudukan perempuan bukan sebagai the second level, karena perempuan memiliki peran yang luar biasa penting. Penyiapan generasi penerus yang kuat, cerdas dan berkualitas sangat tergantung dari peran para perempuan. Dimata hukum perempuan juga tidak dipandang sebelah mata, dia akan ditempatkan sesuai dengan kapasitasnya. Dalam ranah privat dan publik perempuan akan menjadi mitra yang harmonis bagi laki-laki. Semua itu terjadi jika pembangunan SDM dan SDA yang dilakukan negara berbasis kesejahteraan dan bukan berparadigma kapitalistik. Paradigma kapitalistik menyebabkan posisi perempuan sebagai obyek pemuas nafsu laki-laki, sebagai binatang pelengkap dan bahkan tidak dianggap apa-apa. Yang terakhir dari segi pemenuhan hak-hak kewarganegaraan. Paradigma pengelolaan SDA oleh negara yang cinta rakyatnya akan mengacu pada tujuan dibentuknya negara, yaitu kebahagiaan rakyat (bonum publicum). Perlu diingat pernyataan Dwitunggal Indonesia. Sukarno pernah mengatakan, “Jikalau kita betulbetul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolongmenolong, paham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.” Hatta meneruskan, “Walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan, namun jangan lupa beberapa hak dari warga negara, jangan sampai timbul negara kekuasaan (machtsstaat/negara penindas).” Semua hal itu akan terealisasi jika negara berparadigma kesejahteraan umum. Kepemilikan individu dihormati dan diamankan, kepemilikan umum akan dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan negara hanya memiliki asetaset yang tidak bisa menjadi hal milik individu namun juga tidak menjadi hajat hidup orang banyak seperti pantai, tanah gersang/mati dll. Negara yang demikian itu akan benar-benar menjadi negara yang mencintai rakyatnya dan negara yang dicintai rakyatnya. Bagaimana Indonesia masa depan?
Menuju Masa Depan Gemilang Dengan menempatkan aset-aset sesuai dengan konsep kepemilikan yang tepat, paradigma pembangunan yang bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama, maka pengelolaan pertambangan mineral dan energi akan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan bersama dan menjamin keberlanjutan keseimbangan ekologis dan kehidupan umat manusia. Paradigma kapitalistik, neoliberalistik dan korporatokrasi harus segera dibersihkan dari otak-otak penyelenggara pemerintahan dan juga rakyat. Kemandirian, kepercayaan diri dan keberanian untuk lepas dari pengaruh asing juga harus segera dibentuk pada jiwa-jiwa anak bangsa. Semuanya itu jika kita semua menginginkan Indonesia yang besar di masa mendatang. Indonesia yang bersatu, yang mandiri, dan yang benar-benar merdeka. Maka, teringatlah gelegar orasi Bung Karno, “Sungguh, kamu bukan bangsa cacing, kamu adalah bangsa berkepribadian banteng! Hayo, maju terus! Jebol terus! Tanam terus! Vivere Pericoloso! Ever onward, never retreat! Kita pasti menang.”***
18
DAFTAR ACUAN
Buku dan Makalah Budiardjo, M. 1999. Dasar-dasar Ilmu Politik. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kalo, S. 2004. Pencetus Timbulnya Sengketa Pertanahan antara Masyarakat Versus Perkebunan di Sumatera Timur, Dari Zaman Kolonial Sampai Reformasi. Program Studi Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara. Kampanye Walhi, 14 Mei 2004. Sejuta Bencana Terencana di Indonesia Rusaknya Lingkungan Sumber Bencana di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kampanye Walhi, 27 Mei 2004. Pertambangan di Indonesia: Eksploitatif dan Merusak Perdana, R.H. 2003. Air, Dari Soal Kucuran Utang hingga Arus Kapitalisme Global. Makalah untuk pengantar diskusi terbatas di Pusat Studi HAM Universitas Airlangga. Surabaya. Perkins, J. 2004. Confessions of an Economic Hit Man. Plume. USA. Rakhmat, J. 1996. Retorika Modern, Pendekatan Praktis. Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Siaran Pers Walhi, 21 Juli 2004. Bank Dunia Harus Keluar dari Bidang Minyak, Gas dan Pertambangan. Silitonga, N., A. Ruddick, Wignall FS. 2002. Mining, HIV/AIDS and women – Timika, Papua Province, Indonesia. Anthology of Tunnel Vision Women, Mining and Communities Oxfam Community Aid Abroad. Victoria, Australia. Subandoro. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Optimal. Makalah sebagai tanggapan terhadap TAP MPR No.IX dan No.X Tahun 2001 dan sebagai masukan untuk Rencana Perubahan Undang-Undang Pertambangan. Jakarta. Wahju, B.N. 2003. Current Status of The Indonesian Mining Industry. Makalah pada Seminar “The Future of Oil & Gas, Mining Industry Investment in Indonesia”. UNPAD. Bandung Media Massa: Gatra, 10/1998 International Herald Tribune, 3/4/2000 Kompas, 12/11/ 2005 Kompas, 5/1/2006 Kompas, 19/3/2006 Kompas, 27/03/2006 Kontan, 6/9/2004 Republika, 6/3/2006 Republika, 15/3/2006 Republika, 29/06/2006 RRI-Online, 7/2/2006 Sabili, 16/02/2006 SWA, April-Mei, 1996 The New York Times, 27/12/2005 Waspada, 16/12/2005
19
LAMPIRAN Kartu Tanda Identitas Diri
20