Dokumen.docx

  • Uploaded by: Asih Sugiarti
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dokumen.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,719
  • Pages: 15
01

“Kamu masih gemar memakannya?” Tanya perempuan bertubuh sumpit bambu yang sedang menyedot es tea jus seribuan.

“Tentu saja, sudah hampir dua tahun ini aku memakannya dengan cara unik,” Aulia menyeringai, gadis berambut Dora yang ada di hadapan Lisa, perempuan yang bertanya tadi.

“Memangnya kamu tidak takut jika ada efek samping gara-gara cara makanmu yang sangat aneh?” Tanya Harris, sang ketua organisasi cabang olahraga, dengan jari yang bergerak tiada henti di handphone-nya.

Aulia mengendikkan bahu “Aku hanya menikmatinya.”

Mereka bertiga sedang nongkrong di kantin sekolah selepas ketiganya latihan bulu tangkis. “Dasar bocah sableng,” cibir Lisa. “Ngomong-ngomong bagaimana dengan teman sebangkumu?” tanyanya lagi.

“Bagaimana apanya?” Aulia mengernyit.

“Itu lho, dia kan digosipin deket sama Ryan.”

Harris mendongkak menatap Aulia, handphone-nya ia masukkan ke saku celana.

Aulia mendengus pelan, “Ryan terlalu sempurna buatku, dia lebih cocok dengan Milla.”

“Tsk, jangan mulai deh. Stop merendah-rendahkan diri, Aulia,” Sewot Lisa.

“Tapi emang fakta kok, Ryan mana mau sama gadis sepertiku. Ketua Rohis cocoknya sama perempuan macam Milla,” Lia mengelak.

“Cih, dasar perempuan, gosip dimana-mana,” cibir Harris Lisa mendelik ke arah Harris dan memutar bola mata malas.

Sudah dia duga, Aulia itu keras kepala dengan merasa rendah diri dari teman sebangkunya. Lia terbiasa mundur dan mengalah jika menyangkut Ryan dan Milla, walaupun Lisa tahu, perempuan itu sering melamun jika sedang di rumah. Itu yang Lisa dengar dari bundanya.

Lisa melirik jam di pergelangan tangannya, “Yuk pulang,”ajaknya.

“Sebentar.” Lia mendongkak menghabiskan bubuk Luwak White Koffie nya.

Fyi. Kebiasaan aneh Lia memang seperti itu, memakan kopi tanpa diseduh. Biar awet, katanya.

“Yuk,” ajak Lia, setelah menghabiskan sisa-sisa bubuk kopi kotoran hewan itu.

“Tapi antar aku ke kelas, mau cek,” tambahnya.

“Gue duluan ya, cebol,” Kata Harris dengan tangan menarik kerah baju belakang Aulia, hingga gadis itu sedikit terjungkal ke belakang. “Awas lo ya,” teriak Aulia karena Harris sudah berlari agar tidak mendapat amukannya.

Mereka; Lia dan Lisa, berjalan menuju kelasnya, 11 IPS 2. Aulia berjalan ke tempat bangkunya, meraih tas dan menyampirkan ke bahunya. Matanya melongok ke kolong meja, dengan tangan meraba-raba sesuatu yang ada di sana.

“Masih saja?” tanya Lisa di ambang pintu kelas.

Aulia hanya mengangguk, mengambil benda itu lalu memasukkan ke dalam tas.

“Sudah hampir satu bulan loh, kamu tidak berniat mencari tahu siapa pelakunya?”

“Entahlah, aku malas meladeninya,” jawab Aulia acuh.

“Ya sudah, selama isinya tidak berbahaya.”

Aulia hanya berdeham. Mereka berjalan tenang melewati koridor yang mulai sepi. Sesekali Lisa mengeluarkan candaan recehnya yang dibalas senyum kecil Aulia.

Mahdah Aulia, gadis tujuh belas tahun yang menjabat sebagai wakil ketua organisasi bulu tangkis di sekolahnya. Aura dingin dan datar yang membuat jiwa kepemimpinannya memancar. Gadis Dora berpipi bulat dengan kebiasaan aneh, makan kopi tanpa air. --------------

08524xxxxxxx : Lia MdahAulia : ? 08524xxxxxxx : Save ya nomor WA saya. MdahAulia : Name? 08524xxxxxxx : SecretCoff Read

Aulia menegang, dia? Yang selama ini mengirim benda-benda itu di saat Lia latihan bulu tangkis, Hari Senin dan Kamis.

Jantung Aulia berdetak kencang, pasalnya 'orang itu' yang selama ini menjadi beban pikirannya. Juga yang membuatnya mundur dari Ryan.

Aulia beranjak dari tempat tidur menuju lemari, membukanya perlahan. Memperhatikan bendabenda yang tersusun rapi dan sama sekali belum dikenakannya, bahkan untuk sekadar mencobanya sebentar.

DiaDia kesal dengan sikap SecretCoff yang seenaknya membuang uang hanya untuk membelikannya barang-barang tidak berguna.

----------------

Suasana kelas sebelas IPS 2 tampak lenggang, sebagian penghuninya menonton pertandingan bola basket antar sekolah di SMA Bhakti Mulia, SMA yang diduduki Aulia sekarang.

Di kelas hanya ada beberapa siswa yang malas gerak hanya untuk sekadar menonton permainan sengit di lapangan.

Salah satunya gadis yang sedang tidur di bangku tengah paling depan, dengan earphone yang menyumpal telinganya, Aulia. Bukan bangku tempat duduk sendiri, sebenarnya.

Pasalnya bangku Aulia sekarang tengah diduduki oleh Ryan, bersama Milla sedang mendiskusikan sesuatu, Rohis mungkin. Membuat gerah, tapi Aulia lebih memilih tidur untuk menenangkan hatinya yang tidak baik-baik saja.

Tidak menutup kemungkinan, gadis secuek Aulia sebenarnya lemah dalam perihal asmara jika sudah disangkutpautkan dengan sepadan atau tidak sepadan, Aulia selalu minder jika gebetan dan saingannya berada dalam satu frekuensi yang sama, shalih shalihah.

Tempat yang diduduki Ryan dan Milla berada di pinggir dekat tembok baris ke tiga. Entah sengaja atau tidak sengaja, beberapa kali Ryan kepergok tengah memperhatikan Aulia.

Milla menyadari itu, tapi dia berpura-pura tidak tahu dan tetap melanjutkan diskusinya, walaupun dengan perasaan seperti diremas.

------------

“Lia, plis anter, ya, ya, ya,” rengek Harris seperti anak kecil.

“Aku lagi males gerak, Ris. Sama Lisa aja sana,” jawab Aulia masih menelungkupkan kepalanya di meja kelas.

“Tsk, kamu kan tahu Lisa kalau nganter nggak bisa diem, asik sendiri, dan ujung-ujungnya aku yang kelimpungan cari dia,” adu Harris semakin menjadi, anak itu sudah menusuk-nusuk pelan lengan Aulia menggunakan pulpen.

Aulia mendongkak, menatap sebal Harris yang menggangunya.

“Fine, tapi nggak gratis!” jawab Aulia akhirnya mengalah.

“Kamu mau beli apa sih, Ris?”

“Buku lah,” jawab Harris logis

Aulia memutar bola mata malas, mereka sekarang sedang berada di toko buku yang berada di depan sekolah.

“Heheh, udah kamu ikut aja, tugas kamu kan cuma menemani, jadi nggak usah komen, oke,” jelas Harris.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju rak buku berbagai eksperimen tumbuhan air; teratai, eceng gondok, ganggang, terumbu karang, dan sejenisnya.

Harris itu selain tengil, dia bisa serius juga. Entahlah apa yang akan dilakukannya, mungkin tugas dari guru biologi, makanya dia mendadak ke toko buku.

Biasanya selain gedung olahraga, hanya ruangan laboratorium di rumahnya yang jadi tempat favorit Harris.

Bingo. Harris kelas sebelas MIPA 1. Pemuda tujuh belas tahun itu sepertinya terlalu terobsesi dengan hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan tumbuhan, terutama tumbuh air. Orang tua nya yang bisa dibilang kalangan kelas menengah ke atas, dengan senang hati memberikan fasilitas laboratorium untuk anaknya, selama itu bermanfaat.

Aulia berjalan menyusuri rak yang berisi berbagai novel terjemahan, membaca sinopsis deretan novel karya Charles Dickens.

Harris yang menyadari Aulia tidak ada di sampingnya, beranjak menuju deretan rak buku yang berada di sudut ruangan, mengambil tiga buah buku dan berjalan menuju kasir. Setelah selesai membayar, dia berjalan keluar menuju parkiran sekolah. Memasukan buku-buku tadi ke jok motornya, lalu kembali ke toko buku tadi untuk mengajak pulang Aulia.

-----------

Milla berjalan tenang menuju masjid dengan mukena dan map hijau di tangannya. Ia akan melakukan shalat Dhuha dan rapat Rohis setelahnya.

“Milla,” panggil seseorang ketika Milla melewati kelas sebelas MIPA 1.

Gadis itu berhenti dan menoleh ke arah sumber suara.

“Mau ke masjid kan? Tungguin. Bareng ke sana-nya,” ujarnya lagi sembari membereskan alat tulis di mejanya.

“Nggak bareng Fatah, Yan?” tanya Milla

“Dia udah duluan, tadi aku disuruh Pak Hernoto selepas jam pelajarannya habis ke kantor,” jawab Ryan “Yuk,” ajaknya lagi.

Mereka berjalan menuju masjid yang berada di ujung koridor berbelok melewati ruangan Lab Komputer lantai bawah, berpapasan dengan Lisa, Lia, dan Harris yang berjalan berlawanan arah.

“Hai Milla, Ryan, ada skandal apa nih berdua aja?” tanya Harris dengan tanpa dosanya.

Lisa langsung menoyor kepala Harris dan memberikan senyum canggung kepada Ryan dan Milla, lalu menyeret kerah baju Harris.

Sedangkan Lia, dia terbengong berhenti di hadapan Milla dan Ryan, suasana lengang beberapa detik. Hingga akhirnya Lia langsung berjalan menyusul Lisa dan Harris tanpa mengucap sepatah katapun.

Milla menghela nafas berat

Mahdah Aulia memang seperti itu sejak pertama kali mereka duduk sebangku hingga sekarang. Sikap dingin dan tatapan datarnya membuat Milla terkadang canggung untuk memulai pembicaraan.

Jika teman-teman yang lain sangat akrab dengan teman sebangkunya, sebaliknya, Milla dan Lia tidak seakrab itu. Lia sangat tertutup dengan Milla, hanya terkadang jika sedang bekerja kelompok saja Lia peduli dan bekerja sama, di luar itu, Lia mengacuhkan teman sebangkunya.

“Dua hari lagi acara Pensi, dan saya selaku ketua Rohis diminta perwakilan untuk berpartisipasi menjadi panitia. Khususnya panitia perlombaan antar cabang olahraga. Berhubung dalam waktu dekat kompetisi MHQ dan MTQ digelar, saya tidak mempunyai banyak waktu luang untuk menjadi panitia Pensi, Pak Sidik meminta saya dan Milla untuk latihan bimbingan dengan beliau. Jadi, di sini ada yang bisa menggantikan saya untuk menjadi panitia?” jelas Ryan di tengah perbincangan diskusi.

“Rizal, Yan. Dia sepertinya bisa diandalkan untuk masalah keolahragaan,” usul Nita.

“Rizal bagaimana?” tanya Ryan memastikan.

Rizal menghela napas pelan “Baiklah, tapi tidak gratis,” ucapnya tersenyum miring.

Serentak menyoraki Rizal hingga suasana serius tadi akhirnya pecah juga.

“Baiklah, nanti Milla yang akan menlaktirmu,” jawab Ryan enteng.

“Lah kok aku?” tanya Milla bingung.

“Kita harus bekerja sama, Milla,” jawab Ryan dengan nada serius.

“Apa hubungannya?” Milla mengerutkan kening bingung.

“Aku bagian yang setelah lomba, kamu bagian yang Rizal,” jelas Ryan.

“Setelah lomba gimana maksudnya? Bukannya pulang kan?” tanya Milla lagi.

“Masa langsung pulang, udah nanti kamu ngikut aja, jangan bawel,” final Ryan

Mereka asik mengobrol berdua, tanpa disadari teman-temannya tersenyum penuh arti.

“Ekhem. Akang Ryan yang terhormat. Bisa dilanjutkan diskusinya?” tanya Nita melerai perdebatan alot Ryan dan Milla.

Ryan tersentak dan kembali bersikap tenang, sedangkan Milla terlihat sedikit canggung. Ia tahu apa yang ada di pikiran teman-temannya.

PasalnyaPasalnya Ryan dan Milla menjadi bulan-bulanan pasangan impian. Yang satu sholeh, berwibawa, dan tak lupa bonus tampannya. Yang satunya lagi anggun, lembut, kalem, keibuan, hingga jabatannya di Rohis sebagai wakil ketua yang biasa dipanggil 'ummi'.

02

Suasana SMA Bhakti Mulia masih sepi, hanya ada panitia yang berlalu lalang sibuk menyiapkan ini itu untuk Pensi jam 9 nanti setelah sebelumnya upacara pembukaan. SMA Bhakti Mulia memiliki empat lapangan, satu indoor, dua outdoor, dan satunya lagi untuk upacara. Indoor tentu saja lapangan bulu tangkis, sedangkan outdoor untuk basket dan futsal.

Penata panggung di lapangan upacara tengah mengecek sound sistem. Panggung kecil berbentuk persegi panjang itu untuk tempat para juri di perlombaan tari modern, tari tradisional, seni drama musikal, dan puisi.

Matahari mulai condong ke atas, para murid SMA Bhakti Mulia mulai berdatangan karena upacara pembukaan dimulai pukul setengah delapan.

Kebanyakan memakai baju olahraga, ada juga beberapa yang memakai seragam hari Rabu, rok lipit, kemeja putih dilengkapi jas merah marun, atau celana panjang, kemeja putih, dan jas merah marun bagi laki-laki.

Mereka yang mengenakan seragam hari Rabu adalah yang tidak mengikuti perlombaan Pensi, mereka biasanya hanya penonton pendukung kelasnya masing-masing, siswa yang mengurus

perlombaan olimpiade untuk meningkatkan spesifikasi nilai, atau kelas dua belas yang sibuk mempersiapkan ujian-ujian setelah acara Pensi selesai.

Upacara pembukaan Pensi selesai beberapa menit yang lalu, para murid berhamburan ke berbagai penjuru sekolah. Peserta lomba langsung menuju tempat perlombaannya masing-masing.

Lisa dan Lia berjalan menuju kelasnya untuk mengambil tas mereka. Sesampainya di kelas Lia langsung menuju ke meja nya.

Keningnya berkerut melihat sebuah paper bag berwarna pastel teronggok begitu saja di atas ranselnya.

Lia segera mengecek isinya, ia bergeming melihat celana olahraga panjang, handsock hitam, dan jilbab hitam instan terbungkus rapi. Ia mencari petunjuk siapa pengirimnya dengan mengeluarkan benda-benda tadi.

Good luck -SecretCoff

Lia meremas catatan singkat itu. Ia tahu maksud 'orang itu' dan rasanya terasa seperti ditimpuk ribuan beton. Sesak, nyeri, tapi tidak berdarah.

Perlombaan bulu tangkis hari ini. Lia dan Lisa menjadi partner peserta putri ganda perwakilan di kelasnya. Dan seperti biasa, mereka mengenakan kostum bulu tangkis, baju pendek, celana pendek, sepatu olahraga, rambut dikuncir kuda.

Ya. Intinya pakaian mereka sangat terbuka.

Dan SecretCoff ingin Lia memakai celana panjang, baju pendek yang ditutup dengan handsock, serta jilbab instan di perlombaan ini. Seakan menyindir dirinya selama ini, yang membuat Lia malas meladeni dan memakai barang-barang pemberiannya.

Bukannya kita harus jadi diri sendiri, kenapa 'orang itu' seakan ingin Lia menjadi orang lain? Seakan tidak menyukai apa yang ada di diri Lia. Lalu jika seandainya memang tidak menyukai apapun yang ada di Lia, kenapa dia repot-repot memberi barang tidak berguna itu?! Jika memang penggemar rahasia, harusnya menyukai Lia apa adanya, bukan bertindak seakan Lia harus ada apanya.

Lia memasukkan paper bag itu ke dalam ranselnya asal, tidak peduli dia tidak memakainya. Toh ini hidup Lia, wajar jika orang lain mengomentari, yang terpenting Lia tetap maju tanpa lirik kanan kiri memperdulikan penilaian itu.

“Lia ayo, sebentar lagi break.” Lisa berseru.

Lia segera beranjak, dan mereka berjalan tergesa menuju lapangan indoor.

“Lia, Lisa, kalian kemana saja? Panitia tadi mencari kalian,” Harris berseru galak saat Lisa dan Lia memasuki lapangan.

“Mana panitianya?” tanya Lia tanpa memperdulikan omelan Harris.

Harris mendengus. “Sudah aku wakilkan.”

Lia hanya mengangguk dan beranjak ke tempat menyimpan ranselnya, diikuti Lisa yang sedang berdebat dengan Harris mengenai telat datang.

Perlombaan berlangsung sengit. Atmosfer seakan penuh dengan sesak, tegang, dan sorakan penonton yang mendukung kelasnya masing-masing.

Sekarang giliran kelas sebelas IPS 2 melawan kelas sebelas IPA 2. Lia dan Lisa segera memasuki area lapangan dan bersiap memposisikan diri.

Pertandingan berlangsung membuat sekitar terlihat menegangkan. Pasalnya, Lia dan Lisa di senior bulu tangkis melawan teman satu organisasinya, yang bisanya menyemangati ketika sparing dengan sekolah lain, kini mereka harus menjadi lawan untuk mewakili kelasnya masing-masing.

Skor enam untuk kelas IPA 2 dan lima untuk kelas IPS 2. Keringat sudah membajiri baju mereka, sudah seperti mandi tanpa melepas baju, seperti itu kira-kira keringat mereka membasahi pakaian.

Lia mengambil ancang-ancang untuk menangkis serangan smash dari lawan, berputar ke belakang dan melompat untuk melakukan smash balik. Tim lawan meleset menahan serangan Lia. Skor enam enam untuk masing-masing tim.

Di ujung lapangan dekat kursi penonton, sepasang mata memperhatikan Lia, ia menghela napas berat. Usahanya tidak berhasil kali ini untuk menutup aurat Lia. Ia berdiri dan beranjak keluar lapangan.

Pertandingan berakhir dimenangkan oleh tim Lia dan Lisa dengan skor 21-18.

Lia dan Lisa berjalan lunglai setelah sebelumnya bersorak gembira karena kemenangannya lolos ke babak final besok. Mereka langsung meminum akua botol hingga tandas.

“Harris kemana?” tanya Lisa

Lia hanya mengendikkan bahu tak peduli “Paling nonton dance di depan.”

“Dasar anak itu.” Lisa mendengus.

---------------

“Ryan,” panggil seseorang dari belakang.

Ryan menoleh.

“Wah gimana ceritanya Abi terlihat keluar dari lapangan indoor?” tanya Fatah sambil menaik turunkan alis

“Tadi aku ada urusan dengan Rizal, Fatah. Dia kan yang menggantikanku jadi panitia,” jawab Ryan sedikit gugup.

“Oh iya lupa. Ya sudah sholat Dhuha ayok.” Fatah merangkul Ryan menuju masjid sekolah.

Kenapa gadis itu sangat keras kepala

Lia's POV

“Li, kantin yuk,” ajak Lisa setelah menyampirkan ranselnya.

“Yuk, aku juga sudah kelaparan dari tadi,”

Pertandingan bulu tangkis sudah selesai untuk hari ini beberapa menit yang lalu. Dilanjut besok. Aku dan Lisa sudah daritadi menunggu waktu ini, cacing-cacing di perutku sudah demo meminta makan.

Harris. Jangan tanya dia dimana sekarang.

Anak itu dari aku dan Lisa selesai tanding, sudah ngacir keluar untuk menonton perlombaan di lapangan upacara, dia mengirimi aku pesan tadi.

Suasana kantin begitu lengang. Aku segera mencari tempat duduk, sedangkan Lisa memesan makanan.

Aku mengecek handphoneku sambil menunggu Lisa.

S'Coff (Room Chat)

S’Coff : Lia, saya harap kamu mengerti dengan pemberianku kali ini

Read.

Aku mendengus tidak suka.

Ngapain sih dia sok buang-buang uang. Padahal barangnya juga tidak aku pakai.

BAAA

Bau keringat bercampur parfum aroma obat menguar di sekitarku. Aku refleks mendelik.

“Tuan putri lamunin Abang ya,” suara ngebas pemilik aroma itu terdengar.

“Iya,”jawabku singkat

“Aw aw Abang baper, Lia,” ucapnya heboh “Btw, bayangin apa hayoo,” lanjutnya

“Muhammad Harris Al Farisy, aku hanya bingung dengan jalan pikiranmu. Kamu membenci kuman, tapi kamu juga ikutan olahraga yang jelas mengeluarkan keringat,” sarkasku

Harris nyengir, menjentikkan jari tengahnya.

“Maka dari itu, setelah olahraga dan berkeringat, aku selalu memakai desinfektan,” jawabnya singkat.

Aku memutar bola mata malas. “Ya kamu bayangin aja, Ris. Aroma keringat sama obat bercampur gimana jadinya.”

Harris terkekeh pelan. “Mau gimana lagi, lagian kamu bukannya udah biasa. Ngapain bahas lagi.”

“Baumu menganggu,” jawabku sarkas.

Harris menghela nafas pelan.

Bodo amat dia tersinggung. Lagian kami bertiga memang mempunyai kebiasaan aneh. Dan berkata sarkasme sepertiku tadi sudah biasa, tidak akan diambil hati.

“Kamu udah pesan makanan?” tanya Harris

Aku hanya mengangguk sembari membaca salah satu novel di aplikasi dunia orange.

Lisa datang membawa nampan berisi dua mangkok mie ayam dan es teh tawar.

“Kamu nggak pesan makan, Ris?” tanya Lisa

Harris bergeming. “Aku liat tuan putri Lia makan juga udah kenyang kok.”

Aku mendongak menatap Harris di depanku, Harris tersenyum tidak seperti biasanya.

“Apaan si lo, beli makanan sana, jangan ambil punya kita,” omel Lisa.

“Makan di sini tidak sehat, Lisa. Kamu tidak lihat para pedagang zaman sekarang hanya mementingkan keuntungan, tanpa peduli kualitas makannya,” Harris berbisik pelan.

Lisa mendengus, “Bodo amat, Ris.”

“Aku bawa makanan dari rumah, ada di tas. Dan aku malas mengambilnya,” kata Harris lagi.

“Serah, gue mau makan. Awas ya kalau minta,” Lisa bersungut kesal.

Aku hanya tersenyum tipis melihat dua sahabatku.

Harris di pecinta kebersihan, dan Lisa yang mengklaim dirinya mirip salah satu anggota girlband Korea, BlackPink.

Ya. Hanya karena namanya sama-sama Lisa.

“Ngapain senyum-senyum sendiri?” suara Harris membuyarkanku.

Aku mengangkat alis

Dia daritadi memperhatikanku?

Aku hanya berdeham pelan dan lanjut makan tidak memperdulikan ucapan Harris

More Documents from "Asih Sugiarti"

Dokumen.docx
November 2019 13
Rpp Pksm.docx
July 2020 5
Daftar Pustaka.docx
July 2020 6