Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah menyelenggarakan perencanaan strategis advokasi REDD+ dan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) yang saat ini sedang di revisi. Tak hanya di Kalteng saja, revisi RTRWP juga dilakukan disemua provinsi di Indonesia. Dan RTRWP yang baru akan berlaku hingga 20 tahun mendatang. Dua alasan utama mengapa masyarakat adat di Kalimantan Tengah membuat pernyataan sikap ini dikarenakan, pertama, berbagai Inisiatif REDD+ dan pembuatan RTRWP di Kalimantan Tengah, tidak dilaksanakan secara transparan dan mengabaikan situasi-situasi yang berkembang di Komunitas-Komunitas Masyarakat Adat. Ketidakjelasan informasi dan tidak transparannya berbagai project REDD+ ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan di komunitaskomunitas Masyarakat Adat. Kedua, komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah belum memahami REDD+ dan berbagai inisiatif yang muncul dari upaya ini. Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai prinsip dan Hak Masyarakat Adat, tidak dijalankan dalam berbagai proses REDD+ dan pembuatan RTRWP. Hal ini menyebabkan Masyarakat Adat hanya menjadi object dari inisiatif-inisiatif ini, tanpa dapat terlibat sebagai pengambil keputusan atas berbagai inisiatif yang akan berdampak terhadap wilayah, hutan dan kehidupan Masyarakat Adat. PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) – KALIMANTAN TENGAH MENGENAI REDD+ DAN RTRWP DI KALIMANTAN TENGAH Kami, Masyarakat Adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, pada tanggal 16-17 Juni 2011, mengadakan suatu Lokakarya Perencanaan Strategis untuk menyikapi berbagai issue terkait dengan REDD+ dan RTRWP di Kalimantan Tengah. Pertemuan ini dihadiri oleh Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Daerah (PD) AMAN Kalteng, serta utusan-utusan Masyarakat Adat dari 11 Kabupaten di Kalimantan Tengah. Kami, Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, menegaskan, bahwa Masyarakat Adat merupakan pemegang hak atas wilayah dan hutan adat. Masyarakat adat memiliki berbagai kearifan lokal yang selama ratusan telah terbukti berhasil menjaga, mengelola dan mempertahankan hutan secara arif dan lestari. Proyekproyek pembangunan melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit, tambang, HTI dan pengembangan Lahan Gambut (PLG), merupakan penyebab utama kerusakan dan hilangnya hutan di Kalimantan Tengah. Sebagai Pilot Project REDD+, Propinsi Kalimantan Tengah menjadi sorotan dunia dan menjadi tujuan investasi REDD+. Berbagai inisiatif mulai dikembangkan, antara lain melalui: kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Australia yang dikenal sebagai project Kalimantan Forest Carbon Partnership (KFCP) dan kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norway yang tertuang dalam LoI, yang menjadi project dengan dana terbesar terkait REDD+. Selain itu, terdapat banyak inisiatif-inisiatif lainnya yang melibatkan lembaga-lembaga internasional seperti The Clinton Foundation, WWF, FFI, BOS, CARE Internasional, Wetland dll. Sementara itu, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kalimantan Tengah yang seharusnya menjadi acuan dalam pengelolaan ruang di Kalimantan Tengah, belum tuntas di diskusikan. Proses-proses pembuatan RTRWP juga tidak melibatkan Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil. Hal ini menambah kerumitan persoalan di Kalimantan Tengah, yang akan berdampak pada implementasi REDD+. Menyikapi berbagai perkembangan di Kalimantan Tengah terkait REDD+ dan lain-lain, dengan ini, kami menyatakan, bahwa : 1. Berbagai Inisiatif REDD+ dan pembuatan RTRWP di Kalimantan Tengah, tidak dilaksanakan secara transparan dan mengabaikan situasi-situasi yang berkembang di Komunitas-Komunitas Masyarakat Adat. Ketidakjelasan informasi dan tidak transparannya berbagai project REDD+ ini menyebabkan kebingungan dan kekacauan di komunitas-komunitas Masyarakat Adat. 2. Komunitas-komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah belum memahami REDD+ dan berbagai inisiatif yang muncul dari upaya ini. Free, Prior and Informed Consent (FPIC) sebagai prinsip dan Hak Masyarakat Adat, tidak dijalankan dalam berbagai proses REDD+ dan pembuatan RTRWP. Hal ini menyebabkan Masyarakat Adat hanya menjadi object dari inisiatif-inisiatif ini, tanpa dapat terlibat sebagai pengambil keputusan atas berbagai inisiatif yang akan berdampak terhadap wilayah, hutan dan kehidupan Masyarakat Adat. 3. Belum tersedianya Strategi Daerah (Strada) REDD+ sebagai dampak dari belum ditetapkannya Strategi Nasional (Stranas) REDD+, menyebabkan ketidakjelasan acuan pelaksanaan REDD+ di Propinsi Kalimantan Tengah. 4. Kelembagaan REDD+ yang dirancang di Kalimantan Tengah, tidak dibentuk dengan melibatkan Masyarakat Adat, sehingga tidak mengakomodir kepentingan Masyarakat Adat. Selain itu, Kelembagaan yang ada saat ini belum mampu mengkoordinir dan mengatur semua inisiatif-inisiatif REDD+ di Kalimantan Tengah, sehingga terjadi pembiaran atas berbagai ketidakjelasan koordinasi dan informasi terkait inisiatif-inisiatif REDD+ ini. 5. Peraturan Daerah No. 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah mengandung ketidakjelasan wewenang dan fungsi antara Damang sebagai Kepala Adat dari Kelembagaan Adat Komunitas, dengan pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan adanya tumpang tindih otoritas di komunitas. Selain itu, tidak terdapat aturan tentang peningkatan kapasitas
Damang dan Lembaga adat, untuk mampu mengelola Kelembagaan Adat untuk berhadapan dengan berbagai intervensi dari luar. 6. Sementara itu, Peraturan Gubernur No. 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Propinsi Kalimantan Tengah tidak menjamin HakHak Kolektif Masyarakat Adat atas ruang dan wilayah, karena hanya bertumpu pada hak atas tanah secara individual. Lebih jauh lagi, PerGub ini tidak disertai dengan petunjuk pelaksanaan dan pendanaan untuk implementasi di lapangan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dan memperhatikan situasi di komunitaskomunitas Masyarakat Adat, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, menyerukan : PENGHENTIAN SEMENTARA semua proses-proses pendanaan REDD+ di Kalimantan Tengah, sampai hal-hal mendasar yang menjadi syarat utama dipenuhi. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut : 1. Adanya kepastian Hak-Hak Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah, termasuk hak-hak kolektif atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, sesuai dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat. 2. Pelibatan penuh dan efektif Masyarakat Adat dalam seluruh proses perencanaan, implementasi dan monitoring terhadap pembangunan di Kalimantan Tengah yang akan berdampak pada kehidupan mereka, termasuk dalam hal ini REDD+ dan RTRWP, harus dipastikan, sesuai dengan prinsipprinsip dan hak Masyarakat Adat yang tertuang dalam FPIC (Free, Prior and Informed Consent). 3. Sosialisasi, penyebaran dan penyampaian informasi kepada komunitaskomunitas Masyarakat Adat mengenai setiap project REDD+ yang akan dilakukan di Kalimantan Tengah, harus dilakukan secara massive dan merata. Hal ini untuk menjamin keterlibatan penuh dan hak untuk mengambil keputusan di tingkat komunitas. 4. Pemerintah harus melakukan identifikasi dan inventarisasi pengetahuanpengetahuan tradisional Masyarakat Adat dalam pengelolaan hutan, sebagai modal dasar pengelolaan hutan di Kalimantan Tengah. Hal ini sesuai dengan mandate yang ditetapkan dalam kebijakan United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) 5. Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk mendukung upaya-upaya identifikasi dan inventarisasi wilayah adat, yang dilakukan oleh komunitaskomunitas Masyarakat Adat melalui pemetaan-pemetaan partisipatif. 6. Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah untuk segera melakukan sosialisasi dan konsultasi publik, yang melibatkan Masyarakat Adat dan masyarakat sipil di Kalteng, mengenai RTRWP Kalteng.
7. Perda No. 16/2008, harus menjamin hak-hak kolektif Masyarakat Adat atas Kelembagaan Adat yang memiliki kedaulatan untuk mengatur wilayah adat dan komunitas adatnya sesuai dengan aturan adat yang berlaku di wilayah masingmasing. Pergub No. 13/2009 harus menjamin hak kolektif Masyarakat Adat atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam. Selain hal-hal tersebut, menyikapi keluarnya Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Ijin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut, kami menyatakan sebagai berikut : 1. Mendukung upaya pemerintah untuk melakukan penundaan pemberian ijin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan primer dan lahan gambut. NAMUN, upaya ini tidak akan dapat berjalan efektif melalui Instruksi Presiden. Pemerintah Indonesia seharusnya melakukan kaji ulang terhadap semua kebijakan yang terkait dengan pengelolaan hutan dan ijin-ijin yang telah dikeluarkan selama ini. UU No. 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan yang menjadi pangkal persoalan kehutanan di Indonesia harus segera direvisi. 2. Inpres No. 10 tahun 2011 harus diganti ke dalam bentuk kebijakan lain yang berdimensi publik, karena hal-hal yang diatur di dalam kebijakan ini berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Kebijakan ini juga harus menetapkan kriteria dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai sukses dan gagalnya implementasi kebijakan ini di lapangan. 3. Kebijakan mengenai kehutanan harus memperjelas tata kelola hutan di Indonesia, termasuk di dalamnya menjamin adanya kepastian hukum atas hak Masyarakat Adat atas sumberdaya hutan, baik yang ada di kawasan hutan maupun yang ada di luar kawasan hutan. 4. Secara khusus, kami menuntut Pelaksanaan Inpres No. 2 tahun 2007 tentang Rehabilitasi dan Revitalisasi Kawasan Eks PLG 1 Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Secara substansi, Inpres ini hanya membolehkan 10 ribu hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Dalam kenyataannya, terdapat 360 ribu hektar ijin untuk perkebunan kelapa sawit di kawasan Eks PLG. Pelanggaran-pelanggaran ini harus ditindak secara hukum yang berlaku, termasuk dugaan terjadinya KKN dalam investasi-investasi ini.
Demikian pernyataan ini kami buat bersama-sama. Wisma Soverdi, Palangkaraya, 17 Juni 2011