Dody Tosinda Dbb 114 009-terampasnya Rth Dan Ruang Interaksi Publik.docx

  • Uploaded by: dodytosinda
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dody Tosinda Dbb 114 009-terampasnya Rth Dan Ruang Interaksi Publik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,484
  • Pages: 6
*Ari Mochamad, anggota Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Mantan Sekretaris Pokja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Tulisan ini merupakan opini penulis. Kota Jakarta, sebagai ibukota dan pusat bisnis, terus membangun. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak gedung-gedung bertingkat dibangun. Proyek jalan dan flyover pun dilanjutkan. Akan tetapi, pembangunan itu, juga mengambil ruang terbuka hijau dan ruang sosial yang ada. Terampasnya ruang terbuka hijau dan ruang interaksi sosial publik serta tergusurnya kawasan pejalan kaki (trotoar) merupakan nilai eksternalitas yang hilang akibat perluasan dan pembangunan jalan baru. Ironisnya semua itu dilakukan untuk mengakomodasi pergerakan kendaraan bermotor yang didominasi oleh kendaraan bermotor pribadi. Nilai eksternalitas yang hilang tersebut merupakan nilai atau bagian dari daya dukung lingkungan yang seharusnya pula menjadi perhitungan dari kebijakan tata ruang wilayah dan kota serta kebijakan pengelolaan transportasi yang kemudian dirumuskan menjadi kebijakan pengelolaan kualitas udara di Perkotaan. Sebaliknya berkurangnya nilai eksternalitas tersebut menjadi beban masyarakat melalui berkurangnya kualitas hidup akibat rendahnya kualitas udara bersih, hilangnya daya perekat sosial antar masyarakat seiring hilangnya kawasan terbuka publik dan berkurangnya jumlah pepohonan dibanding yang ditanam. Efektifitas dan efesiensi ekonomi masyarakat pun dirugikan melalui hilangnya waktu produktif kerja karena kemacetan, pemborosan bahan bakar dan daya tahan dari kendaraan bermotor yang dipergunakan. Perencanaan tata ruang dan pengelolaan sistem transportasi yang tidak terkonsep dengan baik serta

pelanggaran terhadap kedua kebijakan yang telah ditetapkan memberikan sumbangan terhadap pencemaran udara perkotaan. Dalam sistem ekonomi saat ini, bahasa angka dan nilai merupakan bahasa yang paling mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan. Ketika dampak pencemaran terhadap sosial, ekonomi dan lingkungan ‘nampak’ lebih kecil dibanding keuntungan dari perubahan kawasan hijau dan publik menjadi kawasan/areal bisnis atau jauh lebih kecil dibanding membangun infrastruktur jalan di dalam kota yang tidak layak serta penjualan kendaraan bermotor yang meningkat dari tahun ke tahun. Maka kebijakan akan lebih mengakamodasi kepentingan penggusuran ruang terbuka hijau/publik bagi aktifitas bisnis dan pembangunan jalan-jalan guna memberi tempat pada kendaraan bermotor pribadi. Pembangunan tempat dan kawasan bisnis atau perubahan peruntukan menjadi tempat bisnis dan pembangunan serta pelebaran jalan yang diluar perencanaan tata kota, menjadi sumber dari meningkatnya titik-titik kemacetan yang disertai memburuknya kualitas udara. Dari aspek kehidupan sosial, dituding juga menjadi penyebab tumbuhnya kerawanan sosial. Tidaklah mengherankan apabila laporan yang disampaikan beragam lembaga seperti Bank Dunia, ADB, perguruan tinggi dan lembaga penelitian serta LSM bahkan oleh kementerian yang terkait dengan persoalan ini, bahwa publik dan pemerintah harus menanggung kerugian riil berupa pengobatan dan mengatasi dampak pencemaran karena lingkungan dan kesehatan akibat ketidakkonsistenan kebijakan tata ruang dan manajemen transportasi. Tidak kurang kampanye dilakukan berbagai pihak yang peduli dan memberikan perhatian, menyampaikan fakta terhadap dampak-dampak biaya sosial yang tinggi yang akan menjadi beban publik, dan berpotensi menurunkan kualitas hidup mereka.

Koalisi pejalan kaki melakukan aksi mempertanyakan trotoar jalan yang dihilangkan di salah satu ruas jalan di Tomang, Jakarta Barat. Pelebaran jalan yang menghilangkan trotoar tidak memperhatikan hak pejalan kaki. Foto : Alfred Sitorus / KPBB

Melirik kasus pembangunan enam ruas jalan tol di Jakarta yang meliputi ruas Kemayoran – Kampung Melayu, Rawa Buaya – Sunter, Kampung Melayu – Tanah abang – Pulo Duri, Sunter – Pulo Gebang, Pasar Minggu–Cassablanca, dan Ulujami–Tanah Abang, seharusnya menjadi pembelajaran bersama dari kegagalan jalan tol sebagai solusi kemacetan. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan pembangunan jalan tol. Masalahnya, apakah jalan tol tersebut memang dibutuhkan? Penilaian adanya kebutuhan harus didasarkan kepada beberapa pertimbangan. Misalnya, apakah ruas jalan tol tersebut merupakan bagian dari solusi dari sistem transportasi di Jakarta? Apakah ruas jalan tol tersebut sudah memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan lingkungan? Apakah ruas jalan tol tersebut sudah menjadi prioritas masyarakat dalam upaya memperbaiki pelayanan transportasi? Terdapat dua paham dalam pengambilan kebijakan transportasi yang memberikan gambaran tarik menarik antara kebutuhan untuk mengedepankan paradigma pembangunan yang mengakomodir kepentingan para pemilik kendaraan pribadi (highway advocates). Penganut paham ini setuju bahwa pajak bahan bakar dan pajak lainnya yang dibebankan kepada kendaraan bermotror harus didedikasikan pada perbaikan jalan raya. Di sisi lain, paham dengan paradigma yang mengedepankan kebijakan dan pembangunan prasarana dan sarana angkutan umum yang baik, kawasan pedestrian dan area untuk memberikan akses kepada pengguna angkutan tidak bermotor serta mendorong lahirnya kebijakan yang dapat menghambat pertumbuhan kendaraan pribadi (Transportation Demand Management/TDM advocates). Pembela TDM ini berpendapat bahwa pajak bahan bakar dan pajak kendaraan lainnya sepatutnya dialokasikan kepada penambahan dan perbaikan angkutan umum atau pembangunan sarana pedestrian dan angkutan non bermotor atau angkutan alternatif lainnya. Rencana pembangunan enam ruas jalan tol dengan alasan mengurangi kemacetan merupakan ciri berpikir konvensional yang telah lama ditinggalkan oleh para pemikir dan pengambil kebijakan dalam mengatasi kemacetan. Pengalaman di California menunjukkan bahwa setiap 1 persen peningkatan jalan dalam setiap mil akan menghasilkan peningkatan kendaraan yang lewat sebesar 0,9 persen dalam waktu lima tahun (Hanson, 1995). Dan kiranya sangat mudah kita temukan kondisi ril tersebut di jalan tol dalam kota Jakarta — waktu kemacetan semakin panjang. Kemacetan yang terjadi terdistribusikan pada persimpanganpersimpangan yang lokasinya dekat dengan pintu-pintu keluar jalan tol tersebut. Bukti lainnya adalah bahwa flyover dan underpasstidak menjawab masalah kemacetan. Sebaliknya malah menjadi tempat kemacetan baru. Dengan demikian, kebijakan ini tidak akan menjawab usaha penghematan energi dan mengefisiensikan waktu bepergian. Sebaliknya pembangunan infrastruktur transportasi kota yang bertumpu pada pembangunan jalan semakin mendorong hasrat kepemilikan kendaraan pribadi. Dengan kata lain, pembangunan jalan akan mendatangkan jumlah lalu lintas

tambahan dalam jangka pendek dan jangka panjang (A. Rahman, Paul Barter and Tamim Raad). Mahalnya ‘efesiensi dan efektifitas’ angkutan umum yang berbasis angkutan massal menjustifikaksi peningkatan jumlah kendaraan bermotor pribadi. Berdasarkan prediksi Polda Metro Jaya, pada tahun 2015 jumlah total kendaraan bermotor di Jabotabek akan mencapai 11,37 juta yang didominasi oleh kendaraan bermotor (59 persen) dan mobil pribadi (31 persen).

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar

Disisi lain, rencana pembangunan enam ruas jalan tol di dalam kota sepanjang 85 kilometer dan membutuhkan biaya sekitar Rp 23 triliun tersebut dikhawatirkan menambah persoalan pelanggaran tata guna tanah yang berakibat pada persoalan-persoalan perkotaan lainnya seperti hilang dan berubahnya ruang publik, kawasan ruang terbuka hijau, penggusuran dan perkembangan permukiman ke daerah pinggiran kota. Dari sisi lain, rencana pembangunan jalan tol tersebut merupakan kemunduran karena tidak sejalan dengan kebijakan transportasi DKI Jakarta yang saat ini dipetakan melalui Pola Transportasi Makro. Kebijakan ini bertujuan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan angkutan umum yang berbasis massal. Disamping itu, rencana pembangunan jalan tol ini — yang sebelumnya tidak terdapat dalam Pola Transportasi Makro Provinsi DKI Jakarta – akan menambah titik-titik pemberhentian yang berpotensi besar menjadi ruang baru kemacetan.

Pembangunan dan pelaksanaan 15 koridor busway yang telah berjalan perlu ditingkatkan dari sisi pelayanan dan ketersediaan bus serta feeder. Keberanian Gubernur saat itu, Joko Widodo untuk merealisasikan pembangunan MRT merupakan modal baik, disaat pembangunannya akan menjadi bahan kritikan karena menimbulkan kemacetan. Saat awal kehadiran transjakarta pun demikian, namun sejalan dengan waktu mendapat apresiasi masyarakat karena dianggap sebagai jawaban untuk mengurangi kemacetan dan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi. Pembenahan kebijakan transportasi harus diikuti dengan pembongkaran perilaku birokrasi yang menghambat terwujudnya pengelolaan transportasi yang berpihak kepada publik dan lingkungan.

Pola transportasi makro di Jakarta yang masih mementingkan kendaraan pribadi, membuat jumlah kendaraaan pribadi meningkat dan tidak seimbang dengan rasio panjang jalan di Jakarta. Akibatnya, trotoar pun seringkali digunakan pemotor dan membahayakan pejalan kaki. Foto : Alfred Sitorus / KPBB

Oleh sebab itu untuk memperbaiki daya dukung lingkungan, khususnya di kawasan perkotaan, dibutuhkan upaya cepat dan terpadu yang meliputi; – Kebijakan tata ruang yang dilandasi oleh daya dukung lingkungan, yang mencakup aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Upaya ini dapat disentuh melalui pendekatan ekonomi lingkungan.

– Kebijakan transportasi yang dilandasi oleh kapasitas ruang dan wilayah perkotaan. Artinya dengan kapasitas yang terbatas, sistem transportasi apa yang seharusnya dikembangkan untuk memfasilitasi kegiatan transportasi publik Jakarta. Berapa jumlah kendaraan bermotor yang layak beroperasi di sebuah wilayah perkotaan, mengingat kapasitas udara ambien akibat akumulasi emisi dari gas buang kendaraan bermotor. – Diintegrasikannya luas wilayah kawasan hijau dan ruang publik sebagai penilaian sebuah kota yang manusiawi. Misalnya yang paling nyata adalah bagaimana kriteria Adipura memasukan angka perubahan tata ruang, penurunan dan perusakan yang memberi kontribusi pada pencemaran perkotaan sebagai angka terbesar terburuk dalam penilaiannya. Sebaliknya bukan kepada jumlah anggaran pemeliharaan/perawatan dan operasionalisasi/program yang dikhawatirkan justru berasal dari sumber yang menyebabkan menipisnya kawasan hijau dan publik. – Membangun dan memperluas kawasan hijau dan ruang publik sebagai bagian dari pengelolaan kualitas udara yang memiliki fungsi sosial dan lingkungan, tidak semata-mata fungsi estetika saja. Khusus untuk isu ini, pemerintah sudah seharusnya mendorong peran dunia usaha/bisnis untuk mau membeli kawasankawasan yang menjadi sengketa (dan tidak mampu dibeli pemerintah), kawasankawasan lainnya sebagai tindak dan peran social responsibility-nya serta public image. Kawasan tersebut kemudian harus difungsikan sebagai kawasan hijau dan ruang publik. Biaya perawatannya dapat menjadi beban instansi terkait dan perusahaan tersebut. Terakhir, penulis mengkhawatirkan bahwa pada saat kita sudah tidak lagi memiliki ruang untuk menjalankan fungsi kemanusiaan kita, maka pada saat itu kita menjadi sekelompok masyarakat yang terasing bagi sesamanya. Semoga tidak terjadi. Daftar pustaka http://www.mongabay.co.id/2015/04/13/terampasnya-ruang-terbuka-hijau-danruang-interaksi-sosial-publik/

Related Documents


More Documents from ""