Dm Helen.docx

  • Uploaded by: Helena Nurhayati
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dm Helen.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,084
  • Pages: 49
BAB I IDENTITAS PASIEN A. IDENTITAS Nama Lengkap

: Tn. A R

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 2 april 1955 Usia

: 59 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Pekerjaan

: Pegawai Swasta

Alamat

: Jl. Bunga Rampai III/150

Masuk RS tanggal

: 10 Oktober 2014

Diagnosis saat masuk : Dispepsia, NIDDM, Stroke No.Rekam Medis

: 19.15.xx

B. ANAMNESIS

KELUHAN UTAMA Muntah-muntah sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi lebih dari 3 kali/hari.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien mengeluh muntah-muntah sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi lebih dari 3 kali/hari. Os juga emngeluh mual, nyeri ulu hati dan rasa tidak enak pada perut. Os sejak 10 tahun yang lalu, anggota gerak sebelah kiri (tangan dan kaki) terasa lemah. Keluhan lemah disertai rasa dingin pada sisi tubuh sebelah kiri. Keluhan ini tidak dirasakan pada anggota gerak sebelah kanan. Os merupakan penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol dan stroke sejak 14 tahun yang lalu. Riwayat dirawat di

rumah sakit karena diabetes mellitus. BAB dan BAK dalam batas normal. Demam, sakit kepala, batuk dna pilek disangkal. Nafsu makan pasien menurun.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU 

Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti saat ini



Riwayat diabetes mellitus sejak 14 tahun yang lalu



Riwayat stroke sejak 14 tahun yang lalu



Riwayat hipertensi disangkal



Riwayat penyakit jantung disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA 

Riwayat hipertensi disangkal



Riwayat diabetes mellitus diderita oleh ibu kandung pasien

RIWAYAT PSIKOSOSIAL 

Pasien merokok sejak umur 13 tahun dna berhenti pada usia 17 tahun.



Riwayat minum kopi, alcohol atau jamu-jamu disangkal

ANAMNESIS SISTEM 

Kulit

: kulit dan kuku normal



Kepala

: tidak ada keluhan



Mata

: tidak ada keluhan



Telinga

: tidak ada keluhan



Hidung

: tidak ada keluhan



Mulut

: tidak ada keluhan



Tenggorokan : tidak ada keluhan



Leher



Jantung/paru : tidak ada keluhan



Lambung/usus : muntsh, mual, nyeri ulu hati, rasa tidak enak di perut

: tidak ada keluhan

2



Alat kencing : tidak ada keluhan



Syaraf & otot : hemiplegi ekstremitas atas kiri dan bawah kiri (+)

C. PEMERIKSAAN FISIK

TANDA VITAL Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 100 kali / menit

Nafas

: 22 kali / menit

Suhu

: 37,7⁰ C

BB

: 75 kg

TB

: 160 cm

IMT

: 75/ (1.6)² = 29,3 (obesitas 2)

UMUM Keadaan umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: Compos mentis

KULIT

: Akral dingin (+), sianosis (-), ikterik (-), petekie (-)

KEPALA

: Normocephal, rambut lurus, hitam dan tidak rontok

MATA

: Sklera : ikterik -/-, konjungtiva : anemis -/-, reflex pupil +/+

TELINGA

: Sekret -/-, cerumen -/-, nyeri -/-

HIDUNG

: Sekret (-), deviasi septum (-)

MULUT

: Bibir : kering (-), sianosis (-), lidah : kotor (-), tremor (-), tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)

LEHER

: KGB : tidak teraba pembesaran KGB di leher Tiroid : tidak teraba pembesaran tiroid JVP : normal

3

DADA

: Datar, tidak ada jaringan parut, spider nevi (-), bekas bisul (+)

JANTUNG Inspeksi

: ictus cordis tidak nampak

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: batas jantung kanan atas linea parasternal dekstra ICS 2 batas jantung kanan bawah linea parasternal dextra ICS 4 batas jantung kiri atas linea parasternal sinistra ICS 2 batas jantung kiri bawah linea midclavicularis sinistra ICS 6 lebih ke arah lateral sinistra

PARU Inspeksi

: simetris, retraksi (-), spider nevi (-)

Palpasi

: nyerti tekan (-), krepitasi (-), fokal freemitus (+) normal

Perkusi

: sonor di seluruh lapangan paru

Auskultasi

: vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)

PERUT Inspeksi

: datar, scar (-), distensi (-), asites (-)

Palpasi

: nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (-), splenomegali (-), ballottement (-), nyeri ketok (-)

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising peristaltic usus normal

ANGGOTA GERAK Kekuatan motorik

: 5/2

Sensibilitas

: normal

Reflex fisiologis

: normal

Reflex patologis

: normal

4

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Tanggal 10 Oktober 2014 Hemoglobin

: 12,9 g/dl

Leukosit

: 12.200/mm3

Hematokrit

: 32%

Trombosit

: 289 ribu/mm3

Elektrolit Natrium

: 111 mEq

Kalium

: 3.6 mEv

Chloride

: 80 mEq

Ginjal Ureum

: 15 mg/dl

Creatinin

: 1,5 mg/dl

Asam urat

: 1,5 mg/dl

Hepar Albumin

: 4,2 mg/dl

Globulin

: 3,1 mg/dl

SGOT

: 15 U/L

SGPT

: 8 U/L

GDS

: 234 g/dl

GDS j/ 16.00 : 150 g/dl

FOLLOW UP GDS •

Tanggal 10/10/2010 – GD jam 16.00 159 g/dl



Tanggal 11/10/2010 – Leukosit

14.700

5



– GDS jam 06.00

118 g/dl

– GDS jam 11.00

169 g/dl

– GDS jam 16.00

182 g/dl

Tanggal 12/10/2010 – GDS jam 06.00

191 g/dl

– GDS jam 11.00

201 g/dl

– GDS jam 16.00

194 g/dl

E. RESUME Pasien laki-laki, 49 tahun MRS dengan keluhan muntah-muntah sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi lebih dari 3 kali/hari. Os juga mengeluh mual, nyeri ulu hati dan rasa tidak enak pada perut. Os sejak 10 tahun yang lalu, anggota gerak sebelah kiri (tangan dan kaki) terasa lemas. Keluhan lemas disertai dengan rasa dingin pada sisi tubuh sebelah kiri itu. Keluhan ini tidak dirasakan pada ekstremitas sebelah kanan. OS merupakan penderita diabetes mellitus yang tak terkontrol dan stroke sejak 10 tahun lalu. Riwayat dirawat di rumah sakit karena diabetes mellitus. Nafsu makan menurun. Demam tidak tinggi mendadak selama 3 hari. Pemeriksaan Fisik didapatkan, keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : compos mentis, obesitas 2, tekanan darah : 130 / 80, nadi : 100 x / menit, nafas : 22 x / menit, suhu : 37,7⁰ C, status generalis : akral dingin, plegi (+) sisi kanan, kekuatan motorik sisi tubuh kiri; lengan : 2 dan tungkai : 2. Pemeriksaan laboratorium ditemukan, hemoglobin : 12,33 g/dl, Leukosit : 12.200/mm3, hematokrit : 32%, trombosit 289 ribu/mm3, natrium 111 mEq, kalium 3.6 mEv, chloride 80 mEq, ureum 15 mg/dl, creatinin 0.5 mg/hari, asam urat 1.4 mg/dl, albumin 4.2 mg/dl, globulin 3.1 mg/dl, SGOT 15 U/L, SGPT 8 U/L, dan GDS 234 g/dl.

F. RUMUSAN MASALAH - Dyspepsia ec intake sulit - Hiperglikemia ec DM Tipe II - Hemiplegic ec stroke infark sistem karoti kanan faktor resiko diabetes mellitus - Febris ec bacterial infection

6

G. ASSESMENT - Dyspepsia Pada pemeriksaan anamnesis didapat pasien laki-laki, 49 tahun MRS dengan keluhan muntah-muntah sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi lebih dari 3 kali/hari. Os juga mengeluh mual, nyeri ulu hati dan rasa tidak enak pada perut. Pemeriksaan Fisik didapatkan, keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : compos mentis, tekanan darah : 130 / 80, nadi : 100 x / menit, nafas : 22 x / menit, suhu : 37,7⁰ C, status generalis : akral dingin, plegi (+) sisi kanan, kekuatan motorik sisi tubuh kiri; lengan : 2 dan tungkai : 2 Pemeriksaan laboratorium ditemukan, hemoglobin : 12,33 g/dl, Leukosit : 12.200/mm3, hematokrit : 32%, trombosit 289 ribu/mm3, natrium 111 mEq, kalium 3.6 mEv, chloride 80 mEq, ureum 15 mg/dl, creatinin 0.5 mg/hari, asam urat 1.4 mg/dl, albumin 4.2 mg/dl, globulin 3.1 mg/dl, SGOT 15 U/L, SGPT 8 U/L, dan GDS 234 g/dl. Assesment : dispepsia ec intake sulit

dd/ dispepsia ec gastritis

Penatalaksaan : ondansentron inj 4 mg 2x1 , ranitidin inj 30 mg 2x1 Planing : edukasi pola makan teratur pada pasien

- Hiperglikemia ec DM Tipe 2 Pada pemeriksaan anamnesis didapat pasien laki-laki, 49 tahun MRS dengan keluhan muntah-muntah sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi lebih dari 3 kali/hari. Os juga mengeluh mual, nyeri ulu hati dan rasa tidak enak pada perut. Riwayat DM 14 tahun lalu, riwayat dirawat di rumah sakit karena diabetes mellitus. Pemeriksaan Fisik didapatkan, keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : compos mentis, obesitas 2, tekanan darah : 130 / 100, nadi : 100 x / menit, nafas : 22 x / menit, suhu : 37,7⁰ C, status generalis : akral dingin, plegi (+) sisi kanan, kekuatan motorik sisi tubuh kiri; lengan : 2 dan tungkai : 2. Pemeriksaan laboratorium ditemukan, hemoglobin : 12,33 g/dl, Leukosit : 12.200/mm3, hematokrit : 32%, trombosit 289 ribu/mm3, natrium 111 mEq, kalium 3.6 mEv, chloride 80 mEq, ureum 15 mg/dl, creatinin 0.5 mg/hari,

7

asam urat 1.4 mg/dl, albumin 4.2 mg/dl, globulin 3.1 mg/dl, SGOT 15 U/L, SGPT 8 U/L, dan GDS 234 g/dl. Assesment : hiperglikemia ec DM tipe 2

dd/ hiperglikemia ec DM tipe 1

Penatalaksanaan : metformin 500mg 3x1 tab

Planing : – Monitoring : o Pemeriksaan tekanan darah berkala o Pemeriksaan GDS jam 06.00, 11.00, dan 18.00 o Pemeriksaan HbA1C o Pemeriksaan profil lipid o kreatinin serum o albuminuri o keton, sedimen dan protein dalam urin o eletrokardiogram o foto sinar-x dada – Edukasi tentang bahaya DM dan gaya hidup sehat (pola makan sehat, olah raga 3x seminggu selama 30 menit, komplikasi DM) – Screaning

DM

:

mencegah

penyulit,

baik

makroangiopati,

mikroangiopati maupun neuropati, kreatinin serum - Hemiplegic ac stroke infark system karotis kanan Pada anamnesis di dapat pasien laki-laki, 49 tahun MRS dengan keluhan muntah-muntah sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi lebih dari 3 kali/hari. Os juga mengeluh mual, nyeri ulu hati dan rasa tidak enak pada perut. Os sejak 10 tahun yang lalu, anggota gerak sebelah kiri (tangan dan kaki) terasa lemas. Keluhan lemas disertai dengan rasa dingin pada sisi tubuh sebelah kiri itu. Keluhan ini tidak dirasakan pada ekstremitas sebelah kanan. OS merupakan penderita diabetes mellitus yang tak terkontrol dan stroke sejak 10 tahun lalu. Riwayat dirawat di rumah sakit karena diabetes mellitus. Nafsu makan menurun.

8

Pemeriksaan Fisik didapatkan, keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : compos mentis, obesitas 2, tekanan darah : 130 / 80, nadi : 100 x / menit, nafas : 22 x / menit, suhu : 37,7⁰ C, status generalis : akral dingin, plegi (+) sisi kanan, kekuatan motorik sisi tubuh kiri; lengan : 2 dan tungkai : 2. Pemeriksaan laboratorium ditemukan, hemoglobin : 12,33 g/dl, Leukosit : 12.200/mm3, hematokrit : 32%, trombosit 289 ribu/mm3, natrium 111 mEq, kalium 3.6 mEv, chloride 80 mEq, ureum 15 mg/dl, creatinin 0.5 mg/hari, asam urat 1.4 mg/dl, albumin 4.2 mg/dl, globulin 3.1 mg/dl, SGOT 15 U/L, SGPT 8 U/L, dan GDS 234 g/dl. Assesment : hemiplegi ec stroke infark sistem karotis kanan Hemiplegi ec stroke hemoragic sistem karotis kanan Planing : – Terapi okupasi, fisioterapi – Edukasi : o Sering melakukan melakukan latihan menggerakkan anggota gerak yang lumpuh. o Pola hidup sehat dengan berolah raga 3x seminggu selama 30 menit dan menjaga pola makan o Monitoring kadar gula darah

Febris ec bacterial infection Pada anamnesis didapat pasien laki-laki, 49 tahun MRS dengan keluhan muntah-muntah sejak 1 hari SMRS dengan frekuensi lebih dari 3 kali/hari. Os juga mengeluh mual, nyeri ulu hati dan rasa tidak enak pada perut. Os sejak 10 tahun yang lalu, anggota gerak sebelah kiri (tangan dan kaki) terasa lemas. Keluhan lemas disertai dengan rasa dingin pada sisi tubuh sebelah kiri itu. Keluhan ini tidak dirasakan pada ekstremitas sebelah kanan. OS merupakan penderita diabetes mellitus yang tak terkontrol dan stroke sejak 10 tahun lalu. Riwayat dirawat di rumah sakit karena diabetes mellitus. Nafsu makan menurun. Demam tidak tinggi mendadak pada 3 hari lalu. Pemeriksaan Fisik didapatkan, keadaan umum : sakit sedang, kesadaran : compos mentis, obesitas 2, tekanan darah : 130 / 80, nadi : 100 x / menit, nafas

9

: 22 x / menit, suhu : 37,7⁰ C, status generalis : akral dingin, plegi (+) sisi kanan, kekuatan motorik sisi tubuh kiri; lengan : 2 dan tungkai : 2. Pemeriksaan laboratorium ditemukan, hemoglobin : 12,33 g/dl, Leukosit : 12.200/mm3, hematokrit : 32%, trombosit 289 ribu/mm3, natrium 111 mEq, kalium 3.6 mEv, chloride 80 mEq, ureum 15 mg/dl, creatinin 0.5 mg/hari, asam urat 1.4 mg/dl, albumin 4.2 mg/dl, globulin 3.1 mg/dl, SGOT 15 U/L, SGPT 8 U/L, dan GDS 234 g/dl. Assesment : febris ec bacterial infection

dd/ febris ec viral infection

Penatalaksanaan : ceftriaxone inj 3x 1 gr selama 5 hari Planing : cek HR ulang J. PROGNOSIS Qou ad fungtionam

: dubia et malam

Quo ad vitam

: dubia et malam

Quo ad sanactionam : dubia et malam

10

BAB II DAFTAR PUSTAKA DIABETES MELLITUS DEFINISI Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2010, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi Karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya EPIDEMIOLOGI Secara epidemiologik, diabetes sering tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologik diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktivitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan DM tipe 2. A. Klasifikasi Tabel klasifikasi etiologis DM Tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut: 

Autoimun



Idiopatik

11

Tipe 2

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain



Defek genetik fungsi sel beta



Defek genetik kerja insulin



Penyakit eksokrin pancreas



Endokrinopati



Karena obat atau zat kimia



Infeksi



Sebab imunologi yang jarang



Sindrom genetic lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes melitus gestasional

BAGAN PENGELOLAAN DM MANAJEMENT DM TIPE2

KENDALI GLKOSA:

KELAINAN KOMORBID:

-Diet /Gaya hidup sehat

-Dislipidemia

- Latihan Jasmani

-Hipertensi

-Obat/insulin

-Obesitas -Peny.Jantung Kororner

PENAPISAN ?PENGELOLAAN KOMPLIKASI: -Retinopati -Nefropati -Neuropati -Peny.Kardio-vaskular -Komplikasi lain ny.

12

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasaradanya glukosuria .Guna pemantauan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka criteria diagnotik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sebagai berikut: 

Usia > 45 tahun



Usia lebih muda, terutama dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >23 kg/m2,



Kebiasaan tidak aktif



Turunan pertama dari orang tua dengan DM



Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau riwayat DM gestasional



Hipertensi (> 140/90)



Kolesterol HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl



Menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin



Adanya riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya



Memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler

13

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu aau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 510 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berubah menjadi DM, 1/3 lainnya tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering bertkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Tabel. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl) Bukan DM

Belum

Pasti DM

DM Kadar Glukosa Plasma Darah

vena

Sewaktu

Darah

<100

100-199

> 200

<90

90-199

> 200

<100

100-199

> 126

<90

90-199

>100

kapiler Kadar Glukosa Plasma Darah Puasa

vena Darah kapiler

Diagnosis DM ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasama puasa >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien dan murah sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga, dengan TTGO. Meskipun TTGO engan beban glukosa 75 gram glukosa lebih

14

sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri, karena sulit untuk dilakukan berulangulang. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang diperoleh. 

TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeiksaan TTGO didapatkan glukosa plasma puasa 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl.



GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glikosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dl.

Kriteria Diagnosis DM: 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl atau 2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl atau 3. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa Diagnosis klinis DM akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikeluhkan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas ada, pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. hasil pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/dl juga dijadikan patokan untuk diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru sekali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dengan

15

mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa >126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan >200 mg/dl. Cara pelaksanaan TTGO (WHO,1994): 1. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti kebiasaan sehari-hari dengan karbohidrat yang cukup dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa 2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan 3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa 4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/KgBB (anak-anak) dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit 5. Berpuasa

kembali

sampai

pengambilan

sampel

darah

untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai 6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa 7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

16

B. Penatalaksanaan Tujuan : 1.

Jangka

pendek

:

menghilangkan

keluhan/gejala

DM

dan

mempertahankan rasa nyaman dan sehat. 2.

Jangka panjang

:

mencegah penyulit,

baik makroangiopati,

mikroangiopati maupun neuropati, Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Langkah-langkah penatalaksanaan peenyandang diabetes: 1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, meliputi: 

Riwayat penyakit a. Gejala yang timbul, hasil pemeriksaan laboratoris terdahulu termasuk A1c, hasil pemeriksaan khusus yang telah ada terkait DM b. Pola makan, status nutrisi, riwayat perubahan berat badan c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak atau dewasa muda d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap

17

e. Pengobatan yang sedang dijalani f. Riwayat komplikasi akut (KAD, hiperosmolar hiperglikemi, hipoglikemi) g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama riwata infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik i. Faktor resiko seperti merokok, hipertensi, PJK, obesitas dan riwayat penyakit keluarga 

Pemeriksaan fisik a. Pengukutan TB dan BB b. Pengukuran tekanan darah c. Pemeriksaan funduskopi d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid e. Pemeriksaan jantung f. Evaluasi nadi secara palpasi maupun stetoskop g. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah termasuk jari h. Pemeriksaan kulit dan pemeriksaan neurologis i. tanda-tanda penyakit lain yang apat menimbulkan DM tipe lain.



Evaluasi laboratoris/penunjang lain a. glukosa darah puasa 2 jam post prandial (GD2PP) b. HbA1c c. profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida) d. kreatinin serum e. albuminuri f. keton, sedimen dan protein dalam urin g. eletrokardiogram h. foto sinar-x dada



Tindakan rujukan a. ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut b. konsultasi keluarga berencana untuk wanita usia produktif

18

c. konsultasi terapi gizi medis sesuai indikasi d. konsultasi dengan edukator diabetes e. konsultasi dengan spesialis kaki, spesialis perilaku atau spesialis lain sesuai indikasi f. Evaluasi medis secara berkala 

Dilakukan peeriksaan kadar glukosa darah puasa an 2 jam sesudah makan sesuai dengan kebutuhan



Pemeriksaan HbA1C dilakukan setiap 3-6 bulan



Setiap satu tahun dilakukan pemeriksaan: a. jasmani lengkap b. mikroalbuminuri c. kreatinin d. albumin/globulin dan ALT e. kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida f. EKG g. foto sinar-x dada h. funduskopi

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu.

19

Edukasi Diabetes Tipe 2 biasa terjadi pada usia dewasa, suatu periode dimana telah terbentuk kokoh pola gaya hidup dan perilaku. Pengelolaan mandiri diabetes secara optimal membutuhkan partisipasi aktif pasien dalam merubah perilaku yang tidak sehat. Tim kesehatan harus mendampingi pasien dalam perubahan perilaku tersebut, yang berlangsung seumur hidup. Keberhasilan dalam mencapai perubahan perilaku, membutuhkan edukasi, pengembangan keterampilan (skill), dan motivasi yang berkenaan dengan: 

Makan makanan sehat



Kegiatan jasmani secara teratur



Menggunakan obat-obat diabetes secara aman, teatur dan pada waktuwaktu yang spesifik



Melakukan pemantauan glukosa darah mandiri dan memanfaatkan berbagai informasi yang ada



Melakukan perawatan kaki secara berkala



Mengelola diabetes dengan tepat



Dapat menggunakan fasilitas perawatan kesehatan Edukasi (penyuluhan) secara individual dan pendekatan berdasarkan

penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi dan memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi, dan evaluasi.

Perencanaan makan Diabetes tipe 2 merupakan suatu penyakit dengan penyebab heterogen, sehingga tidak ada satu cara makan khusus yang dapat mengatasi kelainan ini secara umum. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu. Pada saat ini yang dimaksud dengan karbohidrat adalah gula, tepung dan serat, sedang istilah gula sederhana/simpel, karbohidrat kompleks dan karbohidrat kerja cepat tidak digunakan lagi. Penelitian pada orang sehat maupun mereka dengan risiko diabetes mendukung akan perlunya dimasukannya makanan yang mengandung

20

karbohidrat terutama yang berasal dari padi-padian, buah-buahan, dan susu rendah lemak dalam menu makanan orang dengan diabetes. Banyak faktor yang berpengaruh pada respons glikemik makanan, termasuk didalamnya adalah macam gula: (glukosa, fruktosa, sukrosa, laktosa), bentuk tepung (amilose, amilopektin dan tepung resisten), cara memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makanan serta komponen makanan lainnya (lemak, protein). Pada diabetes tipe 1 dan tipe 2, pemberian makanan yang berasal dari berbagai bentuk tepung atau sukrosa, baik langsung maupun 6 minggu kemudian ternyata tidak mengalami perbedaan repons glikemik, bila jumlah karbohidratnya sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah total kalori dari makanan lebih penting daripada sumber atau macam makanannya. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut: a. Karbohidrat: 45-65% b. Protein: 10-20% c. Lemak: 20-25% d. Natrium 6-7 gram e. Serat ±25 gram/hari f. Pemanis alternative

KEBUTUHAN KALORI Ada beberapa cara untuk menentukan jmlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Diantaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa factor seperti: jenis kelamin, umur ,aktivitas ,beratbadan,dll. Untuk kepentingan klinik praktis, dan menghitung jumlah kalori, penentuan status gizi memanfaatkan rumus Broca, yaitu: Berat Badan Ideal = 90% x (TB dalam cm-100) x 1kg Bagi pria dengn tinggi bdan dibawah 160 cm dan wanita dibawah 150 cm,

21

rumus dimodifikasi menjadi : Berat Badan Idaman (BBI) = (TB-100) - 10% BB Normal

: BB ideal ±10%

Kurus

: < BBI -10%

Gemuk

: >BBI + 10%

Untuk penentuan status gizi, dipakai Body Mass Index (BMI) = Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT = BB(kg)/TB(m2) Klasifikasi IMT : a. BB kurang < 18,5 b. BB Normal 18,5-22,9 c. BB Lebih ≥23,0. d. Dengan risiko 23,0-24,9 e. Obes I 25,0-29,9 f. Obes II >30

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan idaman dikalikan kebutuhan kalori basal (30 kcal/kgBB untuk laki-laki; 25 kcal/kgBB untuk wanita).kemudia untuk pasien diatas 40 tahun dikerunagi 5&,40-59 tahun diikurangi 10%, 60-69 tahun dikurangi 20%. Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktivitas (10-30%); untuk atlet dan pekerja berat dapat lebih banyak lagi sesuai dengan kalori yang dikeluarkan dalam kegiatannya), koreksi status gizi (bila gemuk, dikurangi; bila kurus, ditambah) dan kalori yang dibutuhkan menghadapi stres akut (misalnya infeksi, dsb.) sesuai dengan kebutuhan. Untuk masa pertumbuhan (anak dan dewasa muda) serta ibu hamil diperlukan perhitungan tersendiri. Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%) dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Pembagian porsi tersebut sejauh mungkin disesuaikan dengan kebiasaan pasien untuk kepatuhan pengaturan makanan yang baik. Untuk pasien DM yang mengidap pula penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit

22

penyertanya. Perlu diingatkan bahwa pengaturan makan pasien DM tidak berbeda dengan orang normal, kecuali jumlah kalori dan waktu makan yang terjadwal. Untuk kelompok sosial ekonomi rendah, makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang baik.Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/hari. Diusahakan lemak dari sumber asam lemak tidak jenuh dan menghindari asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat + 25 g/hari. Diutamakan serat larut (soluble fibre). Pasien DM dengan tekanan darah yang normal masih diperbolehkan mengkonsumsi garam seperti orang sehat, kecuali bila mengalami hipertensi, harus mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Gula sebagai bumbu masakan tetap diizin-kan. Pada keadaan kadar glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kalori. Untuk mendapatkan kepatuhan ter- hadap pengaturan makan yang baik, adanya pengetahuan mengenai bahan penukar akan sangat membantu pasien.

Latihan jasmani

Latihan jasmani mempunyai peran yang sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa dan selain itu dapat pula menurunkan berat badan. Di samping kegiatan jasmani sehari-hari, dianjurkan juga melakukan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah jalan atau bersepeda santai, bermain golf atau berkebun. Bila hendak mencapai tingkat yang lebih baik dapat dilakukan kegiatan seperti, dansa, jogging, berenang, bersepeda menanjak atau mencangkul tanah di kebun, atau dengan cara melakukan kegiatan sebelumnya dengan waktu yang lebih panjang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur, kondisi sosial ekonomi, budaya dan status kesegaran jasmaninya.

23

Obat-obatan Jika pasien telah menerapkan pengaturan makan dan latihan jasmani yang

teratur

namun

sasaran

kadar

glukosa

darah

belum

tercapai

dipertimbangkan penggunaan obat-obat anti diabetes oral sesuai indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baikDM terkendali baik, apabila kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1c juga ,mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Untuk Pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL), dan sesudah makan 145-180 mg/dL. Demikian pula kadar lipid, tekanan darah , dan lain-lain.[1]

Kriteria Pengendalian DM Parameter

Risiko KV (-)

Risiko KV (+)

IMT (kg/m2)

18,5 - < 23

18,5 - <23

TD sistolik (mmHg)

<130

<130

TD

Diastolik <80

<80

(mmHg) GDP (mg/dL)

<100

<100

GD2PP (mmHg)

<140

<140

HbA1c (%)

<7

<7

Kolesterol LDL

<100

<70

Kolesterol HDL

Pria >40

Pria >40

Wanita >50

Wanita >50

<150

<150

Trigliserid (mg/dL)

Farmakoterapi Pada Pengendalian Glikemi DM Tipe 2 Kegagalan pengendalian glikemi pada DM setelah melakukan perubahan gaya hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya komplikasi diabetes atau paling sedikit menghambatnya.

24

Kasus DM yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang umumnya mempuyai latar belakang kelainan yang diawali dengan resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan kelainan DM secara

klinis.

Pada

saat

tersebut

sel

beta

pancreas

masih

dapat

mengkompensasi keadaan ini dan terjadi hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pancreas, baru akan terjadi DM secara klinis, ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria DM. Dengan dasar pengetahuan ini, dapat diperkirakan bahwa dalam mengelola DM tipe 2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung pada fase mana diagnosis DM ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan yang terjadi pada saat tersebut seperti: 

Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati



Kenaikan produksi glukosa oleh hati



Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas

Macam-macam obat anti hiperglikemik oral 1. Golongan insulin sensitizing (penghambat glukoneogenesis). Biguanid Yang banyak dipakai saat ini adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak dometabolisme, tapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut, maka metformin diberikan 2-3x/hari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal dapat menurunkan A1c 1-2%. Efek samping yang terjadi adalah asidosis laktat, dan sebaiknya tidak digunkaan apada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (creatinin >1,3 mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung, serta harus diberikan dengan hati-hati pada lansia. Mekanisme kerja. Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal

25

reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorbsi glukosa di usus seusai makan. Setelah diberikan peroral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh Metformin akan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak menyebabkan hipoglikemi, sehingga tidak dinyatakan sebagai obat hipoglikemik, tapi sebagai obat anti hiperglikemik. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemik bisa terjadi akibat pengaruh sulfonilurea. Pada keadaan tunggal metformin dapat menurunkan kadar glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada penggunaan sulfonilurea. Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis maksimal. Kombinasi insulin dengan metformin dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan kadar glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Peneliti lain ada yang mendapatkan kombinasi insulin dengan metformin lebih baik daripada hanya insulin saja. Efek samping gastrointestinal sering ditemukan pada pemakaian awal metformin dan bisa dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan diberikan bersamaan dengan makanan. Disamping berpengaruh pada glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi insulin yaitu lipid, tekanan darah dan plasminogen activator inhibitor (PAI-I). Penggunaan dalam klinik. Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alfa glikosidase dan glitazone. Efektivitas insulin menurunkan kadar glukosa pada orang gemuk sebanding dengan SU. Karena

26

kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid, maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan DM pada orang gemuk dengan dislipidemi dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila monoterapi tidak berhasil, dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain.

2. Glitazone (Peningkat sensitivitas terhadap insulin) Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga memiliki efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini dapat diberikan secara oral, kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1c 1,4-2,6% dibanding dengan plasebo. Mekanisme kerja. Glitazon merupakan

agonist

peroxisome

proliferator-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di dalam jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitivitas insulin dan memprebaiki glikemia (GLUT-1, GLUT-4, dll) selain itu dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin, seperti TNF alfa, leptin, dll. Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Penggunaan dalam klinik. Rosiglitazone dan pioglitazon dapat digunakan sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.

27

3. Golongan Sekretagok insulin Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemi dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid. Sulfonilurea Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan DM dimulai. Terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan sekresi insulin. Mekanisme kerja. Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor channel tersebut, maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan penyebabkan peningkatan Ca intrasel, ion Ca akan terikat pada Calmodulin dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin. Golongan ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersmpan. Karena itu hanay bermanfaat pada pasien yang masih dapat mengeluarkan insulin. Untuk mengurangi hipoglikemi terutama pada pasien tua, dipilih obat yang masa kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemi juga sering terjadi pada pasien gagal ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien dengan asupan makanan yang kurang dan jika digunakan bersama obat sulfa. Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar (36%) daripada glukosa setelah makan (21%). Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemi. Bila kadar glukosa darah sangat tinggi dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa

28

beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam satu minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa yang cukup bermakna. Dosis permulaan tergantung pada beratnya hiperglikemi. Bila konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dl sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan dititrasi bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai kadar GDP 90-130 mg/dl. Bila GDP >200 mg/dl bisa diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan ½ jam sebelum makan karena diserap dengan baik. Pada obat yang diberikan satu kali setiap hari sebaiknya diberikan saat makan pagi atau saat makan porsi besar. Kombinasi sulfonilurea dengan insulin lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah. Glinid Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonilurea. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea, memiliki kemiripan struktur dengan sulfonilurea namun berbeda efeknya. Repaglinid dan nateglinid keduanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati hingga diberikan 2-3 x/hari. Repaglinid bisa menurunkan kadar glukosa darah puasa mesk masa paruhnya singkat karena menempel pada reseptor sulfonilurea. Nateglinid mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan kadar glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Kekuatan untuk menurunkan kadar A1c tidak begitu kuat.

4. Penghambat alfa glukosida Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dapat meurunkan penyerapan glukosa dan menurukan hiperglikemi postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak berpengaruh pada kadar insulin Acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida

29

intraluminal, menghambat dan memperpajang peningkatan glukosa darah postprandial dan mempengaruhi respon insulin plasma. Ebagai monoterapi tidak dapat merangsang sekresi insuli dan tidak menyebabkan hipoglikemi. Efek samping pada GI tract seperti meteorismus, flatulence dan diare. Penggunaan dalam klinik bisa digunakan sebagai monoterapi atau kombinasidengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonilurea. Untuk efek maksimal, obat harus diberikan segera saat makan utama. Monoterapi dengan acarbose menurunkan rata-rata glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan GDP10-20 mg/dl, HbA1c sebesar 0,5-1%. Dengan terapi kombinasi dengan sulfonilurea, metformin atau insulin, acarbose bisa menurunkan lebih banyak A1c sebesar 0,3-0,5% dan rata-rata glukosa post prandial 2030 mg/dl dari keadaan sebelumnya.

5. DPP-IV inhibitor Glucagon –like-peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus.Peptide ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran cerna. GLP-1 merupakan perangsangan kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon.

C. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus Pengaruh fisiologis insulin dan indikasi penggunaannya a. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta dari pulau langerhans pankreas. Isulin dibentuk dari proinsulin yang kemudian distimulasi terutama oleh peningkatan kadar glukosa darah. b. Insulin memiliki beberapa pengaruh terhadap jaringan tubuh yaitu menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin juga menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel ntuk digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot dan hati.

30

c. Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas sedangkan insulin eksogen adalah insulin yang disuntikka dan merupakan suatu produk farmasi.

Indikasi diperlukan pada keadaan : 1. Penurunan Berat badan yang cepat 2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis 3. Ketoasidosis diabetik 4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik 5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat 6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal 7. Stres berat (infeksi sisitemik, operasi besar,IMA, stroke) 8. Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan 9. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat. 10. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO.

Tipe-tipe insulin 4 tipe insulin yang diproduksi dikategorikan berdasarkan awal kerja, puncak kerja dan lama kerjanya: Sediaan insulin

Awal kerja

Puncak

(jam)

kerja (jam)

Insulin glulisin (Apidra)

0,2-0,5

0,5-2

Insulin aspart (Novo rapid)

0,2-0,5

0,5-2

Insulin lispro (Humalog)

0,2-0,5

0,5-2

1,5-4

4-10

Insulin analog, kerja sangat cepat (ultra-rapid-acting)

Insulin kerja menengah (intermediate-acting) NPH Insulatard Humulin N

31

Lama kerja

Insulin kerja pendek (short-acting) Reguler (Human) Humulin

0,5-1

2-3

Insulin glargine (lantus)

1-3

Tanpa

Insulin detemir (levemir)

1-3

puncak

R/actrapid Insulin kerja panjang (long-acting)

Insulin campuran Kerja cepat dan menengah 70% NPH/30% reguler (Mixtard, 0,5-1

3-12

Humulin 70/30) 70% NPH/30% analog rapid

0,5-1

3-12

(Novomix)

Efek Samping terapi Insulin: 1. Efek samping utama terapi insulin aalah terjadinya hipoglikemia 2. Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Penyulit DM : Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun Penyulit akut: 1. Ketoasidosis diabetik 2. Hiperosmolar non ketotik 3. Hipoglikemia

Penyulit menahun: 1. Makroangiopati: pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner) pembuluh darah tepi pembuluh darah otak (stroke)

32

2. Mikroangiopati: retinopati diabetik nefropati diabetik Neuropati 3. Rentan infeksi, misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi saluran kemih 4. Kaki diabetik (gabungan sampai dengan 4) 5. Disfungsi Ereksi

PENCEGAHAN DM TIPE2 1. Pencegahan Primer Upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki factor risiko, yakni yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intolerani glukosa. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi : a. Ras dan etnik’ b. Riwayat keluarga dengan diabtes c. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL> 4000 gram, atau pernah menderita DM Gestasional d. Riwyat lahir dengan BBLR, kurang dari 2,5 kg. Faktor risiko yang bias dimodifikasi : a. BB lebih (IMT>23 kg/m2) b. Kurangnya aktivitas fisik c. Hipertensi (> 140 /90 mmHg) d. Dislipidemia (HDL <35 mg/dL dan atau TG >250 mg/dL) e. Diet tak sehat. Yaitu diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabets/ intoleransi glukosa dan DM tipe 2. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :

33

a. Penderita PCOS, keadaan klinis yang terkait dengan resistensi insulin b. Penderita Sindroma Metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau toleransi glukosa darah puasa terganggu(GDPT). 2. Pencegahan sekunder Adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyukut pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Pencegahan ni terutama ditujukan untuk pasien baru. 3. Pencegahan Tersier Ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Upaya rehabilitasi diupayakan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap. 

Kendali hiperglikemia (diabetes mellitus tipe 2) o Terapi Non Farmakologi 1) Diet Terapi gizi medis direkomendasikan untuk semua pasien diabetes mellitus. Penderita diabetes membutuhkan porsi makan dengan pembatasan karbohidrat, pembatasan lemak jenuh dan kolesterol. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 sering memerlukan pembatasan kalori untuk penurunan berat badan. 2) Aktivitas Prinsip latihan jasmani bagi diabetisi : -

Frakwensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan secara teratur yakni 3-5 kali per minggu

-

Intensitas : ringan dan sedang (60%-70% Maximum Heart Rate)

-

Durasi 30-60 menit

-

Jenis : latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda.

 Terapi Farmakologi Terapi farmakologi ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan terapi non farmakologi.

34

a.

Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan :

Tabel 3. Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral Cara kerja utama

Efek

samping Penurunan

utama Sulfonilurea

Meningkatkan sekresi insulin

A1C naik, 1,5 – 2 %

BB hipoglikemia

Glinid

Meningkatkan sekresi insulin

BB

naik, 2 %

hipoglikemia Metformin

Penghambat

Menekan produksi glukosa hati Diare,

dispepsia, 1,5 – 2 %

& menambah sensitivitas insulin

asidosis laktat

Menghambat absorpsi glukosa

Flatulensi,

glokosidase

tinja 0,5 – 1 %

lembek

alfa Tiazolidindion Menambah sensitivitas insulin Insulin

Edema

1,3 %

Menekan produksi glukosa hati, Hipoglikemia, BB Potensial stimulasi pemanfaatan glukosa

35

naik

sampai normal

b.

Terapi Insulin Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes mellitus tipe1. Pada diabetes mellitus tipe 1, sel-sel β langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita diabetes mellitus tipe 1 harus mendapatkan

36

insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe 2 tidak memerlukan insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan insulin disamping terapi hipoglikemik oral. Insulin diperlukan pada keadaan : 1.

Penurunan berat badan yang cepat

2.

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

3.

Ketoasidosis diabetic

4.

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

5.

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

6.

Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

7.

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, Stroke)

8.

Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan terapi gizi medis

9.

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

10. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO 

Terapi Kombinasi Pemberian Obat Hipoglikemik Oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi dengan Obat Hipoglikemik Oral kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat diberikan kombinasi tiga Obat Hipoglikemik Oral dari kelompok yang berbeda, atau kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan insulin.

37

Tabel 2. Klasifikasi IMT (Asia Pasific) Lingkar Perut Klasifikasi IMT (Asia Pasific)

<90cm (Pria) <80cm (Wanita)

>90cm (Pria) >80cm (Wanita)

Risk of co-morbidities BB Kurang <18,5 BB Normal 18,5-22,9 BB Lebih >23,0 : Dengan risiko : 23,024,9 Obes I : 25,029,9 Obes II : ≥ 30

Rendah Rata-rata

Rata-rata Meningkat

Meningkat Sedang Berat

Sedang Berat Sangat berat

38

39

DISPEPSIA Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan dyspepsia di masyarakat. Pengobatan dyspepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu: 1. Antasid 20-150 ml/hari Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2. 2. Antikolinergik Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif. 3.

Antagonis reseptor H2 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dyspepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.

4.

Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI) Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

5.

Sitoprotektif Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat

berfungsi

meningkatkan

sekresi

prostoglandin

endogen,

yang

selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site

40

protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA). 6.

Golongan prokinetik Obat

yang

termasuk

golongan

ini,

yaitu

sisaprid,

domperidon,

dan

metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dyspepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) (Mansjoer et al, 2007). Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti- depresi dan cemas) pada pasien dengan dyspepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.

STROKE NON HEMORHAGIC

Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena.

Klasifikasi stroke Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Stroke hemoragik Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yang disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol. 2. Stroke non hemoragik Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau bangun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.

41

Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu :  TIA’S (Trans Ischemic Attack) o Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.  Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict) o Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu.  Stroke in Volution o Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.  Stroke Komplit o Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.

Faktor Resiko Ada beberapa factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;  Hipertensi Dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.  Aneurisma pembuluh darah cerebral. Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.  Kelainan jantung / penyakit jantung Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.

42

 Diabetes mellitus (DM) Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.  Usia lanjut Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.  Policitemia Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun  Peningkatan kolesterol (lipid total) Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.  Obesitas Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh darah otak.  Perokok Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.  Kurang aktivitas fisik Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.

Etiologi 

Trombus; Oklusi vaskuler hampir selalu disebabkan oleh trombus, yang terdiri dari trombosit, fibrin, sel eritrosit dan lekosit. Trombus yang lepas dan menyangkut di pembuluh darah lebih distal disebut embolus.

43



Emboli; Emboli merupakan 5-15 % dari penyebab stroke. Dari penelitian epidemiologi didapatkan bahwa sekitar 50 % dari semua serangan iskemik otak, apakah yang permanen atau yang transien, diakibatkan oleh komplikasi trombotik atau embolik dari ateroma, yang merupakan kelainan dari arteri ukuran besar atau sedang, dan sekitar 25 % disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil di intyrakranial dan 20 % oleh emboli jantung. Emboli dapat terbentuk dari gumpalan darah, kolesterol, lemak, fibrin trombosit, udara ,tumor, metastase, bakteri, benda asing

Gejala Klinik Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokalisasinya. Gejala utama GPDO iskemik akibat trombosis serebri ialah timbulnya defisit neurologik secara mendadak/subakut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran biasanya tak menurun. Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pada pungsi lumbal, liquor serebrospinalis jernih, tekanan normal, dan eritrosit kurang dari 500. Pemeriksaan CT Scan dapat dilihat adanya daerah hipodens yang menunjukkan infark/iskmik dan edema. GPDO akibat emboli serebri didapatkan pada usia lebih muda, mendadak dan pada waktu aktif. Sumber emboli berasal dari berbagai tempat yakni kelainan jantung atau ateroma yang terlepas. Kesadaran dapat menurun bila embolus cukup besar. Likuor serebrospinalis adalah normal. Pendarahan otak dilayani oleh 2 sistem yaitu sistem karotis dan sistem vertebrobasilar. 

Gangguan pada sistem karotis menyebabkan : 1. Gangguan penglihatan 2. Gangguan bicara, disfasia atau afasia 3. Gangguan motorik, hemiplegi/hemiparese kontralateral 4. Gangguan sensorik

44

 Gangguan pada sistem vertebrobasilar menyebabkan : 1. Ganguan penglihatan, pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus oksipital 2. Gangguan nervi kranialis bila mengenai batang otak 3. Gangguan motorik 4. Ganggguan koordinasi 5. Drop attack 6. Gangguan sensorik 7. Gangguan kesadaran  Bila lesi di kortikal, akan terjadi gejala klinik seperti; afasia, gangguan sensorik kortikal, muka dan lengan lebih lumpuh atau tungkai lebih lumpuh., eye deviation, hemipareses yang disertai kejang.  Bila lesi di subkortikal, akan timbul tanda seperti; muka, lengan dan tungkai sama berat lumpuhnya, distonic posture, gangguan sensoris nyeri dan raba pada muka lengan dan tungkai (tampak pada lesi di talamus). Bila disertai hemiplegi, lesi pada kapsula interna.  Bila lesi di batang otak, gambaran klinis berupa: hemiplegi alternans, tanda-tanda serebelar, nistagmus, gangguan pendengaran, gangguan sensoris, disartri, gangguan menelan, deviasi lidah.  Bila topis di medulla spinalis, akan timbul gejala seperti; gangguan sensoris dan keringat sesuai tinggi lesi, gangguan miksi dan defekasi.

Diagnosis Ditetapkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis dimana didapatkan gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala serta tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pembuluh darah otak tertentu. Dimana menurut perjalanan penyakitnya terdiri dari :

Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat dilakukan adalah : 

Laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.

45



CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark.



MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak.



Angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu.

Penatalaksanaan Pengobatan Umum Untuk pengobatan umum ini dipakai patokan 5 B yaitu: 1. Breathing Harus dijaga agar jalan nafas bebas dan bahwa fungsi paru-paru cukup baik. Pengobatan dengan oksigen hanya perlu bila kadar oksigen darah berkurang. 2. Brain Udem otak dan kejang-kejang harus dicegah dan diatasi. Bila terjadi udem otak, dapat dilihat dari keadaan penderita yang mengantuk, adanya bradikardi atau dengan pemeriksaan funduskopi, dapat diberikan manitol. Untuk mengatasi kejang-kejang yang timbul dapat diberikan Diphenylhydantoin atau Carbamazepin. 3. Blood Tekanan Darah dijaga agar tetap cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke otak. Pengobatan hipertensi pada fase akut dapat mengurangi tekanan perfusi yang justru akan menambah iskemik lagi. Kadar Hb dan glukosa harus dijaga cukup baik untuk metabolisme otak. Pemberian infus glukosa harus dicegah karena akan menambah terjadinya asidosis di daerah infark yang ini akan mempermudah terjadinya udem. Keseimbangan elektrolit harus dijaga. 4. Bowel Defekasi dan nutrisi harus diperhatikan. Hindari terjadinya obstipasi karena akan membuat pasien gelisah. Nutrisi harus cukup. Bila pelu diberikan nasogastric tube.

46

5. Bladder Miksi dan balance cairan harus diperhatikan. Jangan sampai terjadi retentio urinae. Pemasangan kateter jika terjadi inkontinensia. Pengobatan khusus Pada fase akut pengobatan ditujukan untuk membatasi kerusakan otak semaksimal mungkin. Untuk daerah yang mengalami infark kita tidak bisa berbuat banyak. Yang penting adalah menyelamatkan daerah disekitar infark yang disebut daerah penumbra. Neuron-neuron di daerah penumbra ini sebenarnya masih hidup, akan tetapi tidak dapat berfungsi oleh karena aliran darahnya tidak adekuat. Daerah inilah yang harus diselamatkan agar dapat berfungsi kembali. Kriteria diagnosis yang ditentukan pada kasus ini adalah : Teori

Kasus

Gangguan pada sistem karotis; gangguan penglihatan, gangguan bicara, disfasia Hemiplegi atau afasia, gangguan motorik, hemiplegi/hemiparese kontralateral, gangguan sisi sensorik

tubuh

sebelah kiri

Gangguan pada sistem vertebrobasilar; gangguan penglihatan, pandangan kabur (-) atau buta bila gangguan pada lobus oksipital, gangguan nervi kranialis bila mengenai batang otak, gangguan motorik, ganggguan koordinasi, drop attack, gangguan sensorik, gangguan kesadaran Lesi di kortikal; afasia, gangguan sensorik kortikal, muka dan lengan lebih (-) lumpuh atau tungkai lebih lumpuh, eye deviation, hemiparese yang disertai kejang Lesi di subkortikal; muka, lengan dan tungkai sama berat lumpuhnya, distonic (-) posture, gangguan sensoris nyeri dan raba pada muka lengan dan tungkai. Bila disertai hemiplegi, lesi pada kapsula interna Lesi di batang otak; hemiplegi alternans, tanda-tanda serebelar, nistagmus, (-) gangguan pendengaran, gangguan sensoris, disartri, gangguan menelan, deviasi lidah Topis di medulla spinalis, akan timbul gejala seperti; gangguan sensoris dan (-) keringat sesuai tinggi lesi, gangguan miksi dan defekasi

47

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

A.

KESIMPULAN Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2010, diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik

hiperglikemik yang terjadi Karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Siapa pun dapat terkena diabetes mellitus apabila mempunyai faktor resiko terjadinya diabetes mellitus. Pencegahan untuk tidak terkenanya diabetes mellitus yaitu menghindari faktor resiko terjadinya diabetes mellitus. Dengan terkenanya diabetes mellitus maka aktivitas pun akan terganggu dengan adanya gejaa- gejala yang ditimbulkan akibat diabetes mellitus ini.

B.

SARAN Dari kasus diatas kita bisa menggambil pelajaran tentang diabetes mellitus tipe 2 ini. Mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini. Kritik dan saran anda sangat membantu dalam perbaikan penulisan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat berguna bagi mahasiswa kedokteran yang lain.

48

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jilid I. Jakarta: FKUI. 2006. hlm. 627 – 628. Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jilid III. Jakarta: FKUI. 2006. hlm. 1871 – 1873. Price & Wilson. Patofisiologi. Ed. VI. Volume 1. Jakarta: EGC. 2005. hlm. 1106 – 1130. Kaplan NK. Hypertensive Crises in: Kaplan’s Clinical Hypertension. 8th edition. Lipincott Williams & Wilkins. 2002. Vidt D. Hypertensive Crises: Emergencies and Urgencies. Clev Clinic Med. 2003. Roesma J. Krisis Hipertensi. Simposium Kedaruratan Klinik. 2002. Kahn R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. The Metabolic Syndrome: Time for A Critical Appraisal Joint Statement from the American Diabetes Association and The European Association for The Study of Diabetologia.2005. American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care. 2005

49

Related Documents

Dm
November 2019 48
Dm
October 2019 53
Dm
June 2020 31
Dm
July 2020 23
Dm
October 2019 55
Dm
June 2020 26

More Documents from ""