BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Dunia kini tengah mengalami guncangan besar, fenomena ini terbentuk sebagai akumulasi perubahan teknologi dramatis dan meningkatnya persaingan global yang salah satu faktor penyebabnya diakselerasi oleh konvergensi teknologi informasi (TIK). Dalam dunia pendidikan disruption juga harus dihadapi. Disruption akan menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologl digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. Kesenjangan kondisi inilah yang menjadikan reformulasi manajemen strategik pada berbagai organisasi Fenomena lain, di dunia usaha sekarang ini tidak mempersyaratkan ijasah ketika menerima (rekrutmen) pegawainya. Perusahaan tersebut hanya membutuhkan kompetensi sehingga uji kompetensi merupakan tahapan penting. Dampaknya, banyak perguruan tinggi dan sekolah yang dikenal prestesius (ternama) di dunia saat ini mulai goyang dan tidak sedikit tutup, dikutip dari Kavin Carey (2015) dalam bukunya “The End of College”. Yang berkembang pesat saat ini justru lembaga-lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga kursus yang secara nyata memberikan kompetensi kepada peserta didiknya. Neil Postman (2005) dalam bukunya “The End of Education” telah lama mengingatkan bahwa matinya pendidikan karena pengelolaan pendidikan kehilangan arah, yang terlihat hanya orang sibuk mengurus pendidikan yang tidak terarah itu. Belakang ini tersiar khabar, banyak siswa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau pendidikan vokasi menganggur di negeri ini padahal lapangan pekerjaan telah disiapkan untuk mereka karena tidak memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan. Guru harus memiliki pengetahuan tentang teknologi. Seperti membuat kelompok belajar yang terhimpun dalam “grup-grup” Whatsapp, sehingga Guru dengan mudah menyampaikan materi melalui media tersebut. Bisa juga dengan kelas online melalui teleconference. Jarak bukan menjadi masalah. Materi dengan mudahnya disampaikan ke siswa. Siswa (mahasiswa juga) dapat mencari melalui google. Tidak ada siswa yang tidak bawa HP dan tidak tau cara mengoperasikannya. Baik siswa di perkotaan maupun dipedesaan Mereka pasti bisa. Untuk mampu bertahan hidup di era disruptif ini, setiap orang dan institusi harus merubah paradigma berpikir dan cara berkehidupan penentu keberhasilan (critical success factor). B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Disruption menurut para ahli ? 1
2. Apa penyebab munculnya Disruption 3. Bagaimana solusi kepemimpinan pendidikan di era disruptif ?
C. Tujuan 1. Mengetahui apa pengertian dari para ahli tentang Disruption 2. Mengetahui penyebab dari munculnya Disruption 3. Mengetahui cara untuk menghadapi Era Disruption
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Disruption menurut para ahli Menurut Clayton Christensen yakni Disruption menggantikan pasar lama industri, dan menghasilkan suatu kebaruan yang bersifat efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative. Teori Disruptive Innovation menjelaskan fenomena dimana sebuah inovasi mengubah pasar atau sektor yang ada dengan memperkenalkan kesederhanaan, kenyamanan, aksesibilitas, dan keterjangkauan ( simplicity, convenience, accessibility, and affordability ) di mana komplikasi ( keruwetan ) dan biaya tinggi di posisi status quo. Awalnya, inovasi yang mengganggu terbentuk di ( niche market ) pasar terbatas yang tampak tidak menarik atau tidak penting ( inconsequential ) bagi industri yg sudah eksis ( industry incumbents ) , namun akhirnya produk atau ide baru sepenuhnya me redifinisi industri. Menurut Mark Zuckerberg adalah sukses tergantung pada kemampuan menyelaraskan ketiganya: literation, innovation, dan disruption. Jika anda tidak mendisrupsi diri sendiri, anda akan mendapatkannya dalam bentuk hadiah dari orang lain maksud dari Disruption sendiri yakni empowering innovation : membuat banyak hal baru sehingga yg lama jadi ketinggalan jaman/kuno/tak terpakai Menurut Schumpeter, Creative destruction menggambarkan “proses mutasi industri yang terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, terus-menerus menghancurkan yang lama, terus-menerus menciptakan yang baru. Berdasarkan teori para ahli maka bisa disimpulkan arti dari Disruption adalah sebuah inovasi yang mengganti sistem lama menjadi sistem yang baru dengan begitu mengubah pasar atau sektor. Tetapi, dengan munculnya suatu inovasi yang mengubah sektor akan mengancam incubent. Untuk lebih jelasnya baca dan cermati contoh dibawah: Personal computer. Sebelum diperkenalkan, mainframe dan minicomputer adalah produk yang umum di industri mesin hitung ( personal computing ) . Minimal, harganya sekitar $ 200.000 dan membutuhkan pengalaman teknik untuk beroperasi. Apple, salah satu perintis dalam personal computing , mulai menjual komputer awalnya pada akhir 1970-an dan awal 1980-an – tapi sebagai mainan untuk anak-anak. Pada saat itu, produk itu tidak cukup baik untuk bersaing dengan minicomputer, namun pelanggan Apple tidak peduli karena mereka tidak mampu atau menggunakan minicomputer yg harganya mahal. Komputer inferior jauh lebih baik daripada alternatif yg tersedia. Sedikit demi sedikit, inovasi meningkat. Dalam beberapa tahun, personal computer yang lebih kecil dan terjangkau menjadi cukup baik sehingga bisa melakukan pekerjaan yang sebelumnya dibutuhkan minicomputer. Ini menciptakan pasar baru 3
yang sangat besar dan akhirnya menyingkirkan industri yang ada. Kurang lebihnya seperti itu artian Disruption.
B. Munculnya Disruption Munculnya internet telah membuat biaya – biaya tertentu menjadi turun, menimbulkan dampak kolaboratif yang amat besar, dan mengurangi biaya – biaya tetap. Usaha baru yang efisien, bahkan tak memerlukan tempat, gudang, ongkos produksi, sangat dimungkinkan dengan melakukan sharing resource. Karena era saat ini telah beralih kepada menjadi pelanggan yang mobile dan dikunjungi secara online. Mengapa para incumbent bisnis ini bisa gulung tikar dengan para startup yang baru saja berdiri dan umurnya pun masih seumur jagung: 1.
Kita bisa belajar dari kodak dan fujifilm yang mereka masih mempertahankan bisnis model mereka yang jadul, dan mereka masih merasa bahwa bisnis model mereka masih sesuai dengan perkembangan jaman, namun kita lihat betapa fujifilm berani untuk mengkanibal business model mereka dan menyesuaikan business model mereka dengan perubahan jaman sehingga perusahaan merekapun banyak sekali ide mengenai inovasi, riset, dan pengembangan produk, dan mereka masih bertahan pada model bisnis mereka yang jadul mampu untuk menyesuaikan bisnis model mereka dengan tuntutan jaman.
2.
Pengambilan keputusan yang sangat lambat Proses pengambilan keputusan terlalu berbeli – belit, diambil oleh mereka yang takut menghadapi resiko, terlalu hati – hati, dan selalu terlambat. Padahal pada kenyataannya, teknologi bergerak begitu cepat, sedangkan pendekatan yang dilakukan oleh para incumbent rata – rata masih kuno.
3.
Sudah nyaman dengan model bisnis yang ada Banyak rata – rata bisnis incumbent adalah rasa puas. Mereka sudah nyaman dengan model bisnis yang telah lama mereka tekuni tetapi tidak menyadari bahwa merupakan perangkap. Management Inertia yakni : ketika suatu organisasi gagal merasakan adanya kebutuhan untuk berubah.
4.
Margin yang lebih rendah saat transisi Perpindahan bisnis dari yang sebelumnya tradisional menjadi berbasis digital memang berisiko, apalagi jika sebelumnya perusahaan sudah mendapatkan keuntungan besar dari bisnis lawas. Mencoba masuk ke ranah digital menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan, Ini adalah persoalan values, mindset, atau cara menetapkan kriteria.
5. Sumber daya yang dialokasikan tidak selaras dengan kesempatan masih banyak organisasi yang mengikat ”manusianya berdasarkan divisi, produk, ataupun unit bisnis. Organisasi tersebut tidak melihat bahwa dengan pesatnya digital disruptions, terjadi perubahan – perubahan dalam penempatan tenaga manusia.
4
C. Solusi Kepemimpinan Pendidikan Revolusi industri 4.0 dengan disruptive innovation-nya menempatkan pendidikan di persimpangan jalan. Persimpangan tersebut membawa implikasi masing-masing. Pendidikan bebas memilih. Jika ia memilih persimpangan satu yakni bertahan dengan pola dan sistem lama, maka ia harus rela dan legowo bila semakin tertinggal. Sebaliknya jika ia membuka diri, mau menerima era disrupsi dengan segala konsekuensinya, maka ia akan mampu turut bersaing dengan yang lain. Merujuk hasil penelitian dari McKinsey pada 2016 bahwa dampak dari digital tecnology menuju revolusi industri 4.0 dalam lima (5) tahun kedepan akan ada 52,6 juta jenis pekerjaan akan mengalami pergeseran atau hilang dari muka bumi. Hasil penelitian ini memberikan pesan bahwa setiap diri yang masih ingin mempunyai eksistensi diri dalam kompetisi global harus mempersiapkan mental dan skill yang mempunyai keunggulan persaingan (competitive advantage) dari lainnya. Jalan utama mempersiapkan skill yang paling mudah ditempuh adalah mempunyai perilaku yang baik (behavioral attitude), menaikan kompetensi diri dan memiliki semangat literasi. Bekal persiapan diri tersebut dapat dilalui dengan jalur pendidikan (long life education) dan konsep diri melalui pengalaman bekerjasama lintas generasi/lintas disiplin ilmu (experience is the best teacher).1 Berdasarkan kenyataan tersebut, maka perlu adanya perombakan atau reformasi di dalam tubuh lembaga pendidikan . Pendidikan di era 4.0 perlu untuk turut mendisrupsi diri jika ingin memperkuat eksistensinya. Mendisrupsi diri berarti menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat serta berorientasi pada masa depan. Muhadjir Efendy dalam pidatonya mengatakan bahwa perlu ada reformasi sekolah, peningkatan kapasitas, dan profesionalisme guru, kurikulum yang dinamis, sarana dan prasarana yang andal, serta teknologi pembelajaran yang muktakhir agar dunia pendidikan nasional dapat menyesuaikan diri dengan dinamika zaman. Ketertinggalan lembaga pendidikan selama ini, di samping disebabkan oleh problematika sebagaimana diuraikan sebelumnya, juga disebabkan oleh permasalahan laten yang tak kunjung menemui muara penyelesaian. Dalam pendidikan Islam misalnya, Rosidin2
mengungkapkan, ada empat faktor menyebabkan pendidikan Islam kerap
mendapatkan kritik tajam. Pertama, cultural lag atau gap budaya. Hal ini disebabkan terjadinya ketimpangan antara kecepatan perkembangan IPTEK dengan kecepatan perkembangan pendidikan. Laju akselerasi perkembangan IPTEK tersebut tidak diiringi dengan upaya pendidikan Islam untuk turut berakselerasi. Akibatnya, pendidikan Islam 1
Hendra Suwardana, Revolusi Industri 4. 0 Berbasis Revolusi Mental, JATI UNIK, Vol.1, No.2, (2017), hlm. 102-110 2 Rosidin, Problematika Pendidikan Islam Perspektif Maqasid Shari’ah, Maraji’: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 3, No. 1, (September, 2016), hlm. 186.
5
kurang responsif terhadap dinamika perubahan sosial masyarakat. Sehingga menjadi keniscayaan bila proses pendidikan di dalamnya menjadi kurang kontekstual. Kedua, stigma kelas dua. Faktor kedua ini dapat dikatakan sebagai akibat secara tidak langsung dari faktor pertama. Kelambatan pendidikan Islam dalam merespon dinamika perkembangan IPTEK dan realitas sosial menyebabkan stigma second class nyaman tersemat padanya. Ketiga, dikotomisasi ilmu. Sampai dengan saat ini dikotomi antara ilmu Islam (PAI) dengan ilmu umum (IPA, IPS, Bahasa-Humaniora) masih menjadi pekerjaan rumah pendidikan Islam. Meski telah banyak dilakukan upaya integrasi antara keduanya, namun belum menunjukkan hasil yang signifikan. Keempat, dualisme politik. Tarik ulur kepentingan antara dua lembaga pemangku kebijakan pendidikan di negeri ini kerap menimbulkan polemik di kalangan grass root. Meskipun banyak protes dan keluhan dilayangkan, namun belum ada solusi pakem atas permasalahan ini. Perbedaan kebijakan antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) kerap menjadi pemicu polemik. Permasalahan menyangkut gaji, sertifikasi, insentif pendidik dan sebagainya merupakan contoh dari faktor ini. Demi menyongsong Pendidikan 4.0, maka mau tidak mau semua permasalahan laten di atas harus mampu dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, maka akan sulit−jika enggan berkata mustahil−mewujudkan pendidikan yang kontekstual terhadap zaman. Oleh sebab itu, sebagaimana diutarakan di atas, perlu adanya reformasi dan pembaruan terhadap segenap aspek dalam pendidikan . Meminjam istilah Rhenald Kasali, ada tiga langkah yang harus dilakukan pendidikan di era 4.0 ini, yaitu disruptive mindset, self-driving, dan reshape or create. Disruptive mindset. Mindset adalah bagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak.3 Pendidikan hari ini tengah berada di zaman digital yang serba cepat, mobilitas tinggi , akses informasi menjadi kebutuhan primer setiap orang. Selain itu, masyarakat hari ini menuntut kesegeraan dan real-time. Segala sesuatu yang dibutuhkan harus dengan segera tersedia. Bila akses terhadap kebutuhan itu memakan waktu terlalu lama, maka masyarakat akan meninggalkannya dan beralih ke pelayanan yang lain. Intinya, tuntutan di era disrupsi ini adalah respons. Kecepatan respons akan sangat berpengaruh terhadap user. Inilah yang dinamakan Rhenald Kasali sebagai corporate mindset (mindset korporat). Mindset ini perlu dibangun oleh para pelaku pendidikan . Sehingga pelayanan yang diberikan kepada user
3
Rhenald Kasali, Disruption, hlm. 305
6
tidak lagi birokratis. Lebih lanjut Rhenald mengatakan, ciri-ciri orang yang ber-mindset korporat adalah; pertama, tidak terikat waktu dan tempat. Ia bekerja tidak terbatas pada jam dan ruang kerja. Orang seperti ini telah menyadari bahwa waktu dan tempat tidak lagi menjadi penghalang dalam bekerja. Teknologi telah mematikannya. Manusia hari ini bisa terhubung 24 jam sehari, 7 hari seminggu, tanpa terikat waktu dan tempat. Jika mindset tersebut diterapkan dalam manajemen lembaga pendidikan Islam, maka akan terbentuk sistem manajerial yang efektif dan efisien. Selanjutnya, apabila ditarik dalam konteks pembelajaran, guru akan lebih leluasa dan fleksibel dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kedua, memberikan pelayanan yang proaktif. Kegiatan pembelajaran yang masih terkonsentrasi pada transfer pengetahuan dari guru dan terkurung di dalam kelas, akan sulit menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi. Paradigma pendidikan telah berubah, bukan lagi teacher centered, tapi student centered. Guru dituntut untuk lebih proaktif memberikan fasilitas, bimbingan, dan dampingan kepada peserta didik. Ketiga, tidak terpaku pada anggaran biaya. Berbeda dengan mental birokrat yang serba terikat dengan biaya (tidak kerja jika tidak ada anggaran). Orang yang ber-mindset korporat tidak berhenti berinovasi karena kendala uang. Keempat, memaksimalkan fungsi media sosial. Pengelola pendidikan Islam hari ini harus mampu memanfaatkan kemajuan media komunikasi yang tersedia. Media sosial bukan lagi hiburan semata. Ia telah menjelma menjadi alat komunikasi yang efektif, alat bantu kerja, dan inspirasi dalam berinovasi. Peluang ini harus mampu dimanfaatkan dengan baik.
7
Kelima, berpikir solutif jika dihadapkan pada masalah. Bukan sibuk memikirkan alasan untuk menyelematkan diri. Keenam, tidak alergi terhadap perubahan. Justru di era sekarang, perubahan telah menjadi kebutuhan. Suatu lembaga jika tetap bertahan/statis dalam pengelolaannya, akan kalah dengan lembaga yang pengelolaannya lebih dinamis. Dan ketujuh, berpikir dan bertindak strategik. Langkah dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam harus memiliki roadmap yang jelas. Sasaran yang dicanangkan harus realistis. Oleh karena itu, reorientasi kurikulum dan visi pendidikan Islam urgent untuk dilakukan. Kurikulum, visi, program tahunan, program semester harus jelas, fleksibel, kontekstual, dan futuristik. Self-Driving. Organisasi yang tangkas dan dinamis dalam berdaptasi mengarungi samudra disruption adalah organisasi yang memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) bermental pengemudi yang baik (good drivers) bukan penumpang (passanger).4 SDM yang bermental good driver akan mau membuka diri, cepat dan tepat membaca situasi, berintegritas, tangkas dalam bertindak, waspada terhadap segala kemungkinan buruk, dan mampu bekerja efektif, inovatif, dan efisien. Kemampuan-kemampuan tersebut terutama dibutuhkan oleh para pemimpin dan pengelola lembaga pendidikan . Mereka dituntut untuk dapat menjadi pengemudi yang handal bagi lembaganya. Oleh karenanya, kompetensi manajerial saja tidaklah cukup. Melainkan harus pula diringi dengan kemampuan memimpin. Sementara SDM yang bermental penumpang akan cenderung birokratis, kaku, lambat, dan kurang disiplin. Reshape or Create. Ada genealogi pemikiran yang populer di kalangan umat Islam yang sampai saat ini masih dipegang teguh. Genealogi tersebut adalah “mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Sebagaimana banyak disinggung di atas, bahwa era 4.0 merupakan era dimana kecepatan dan kemudahan menjadi tuntutan manusia. Hal ini tentu memerlukan penyesuaian masif. Maka ada dua pilihan logis bagi pendidikan Islam untuk menghadapi era ini, yaitu reshape atau create. Reshape dalam genealogi di atas berarti mempertahankan yang lama yang baik. Akan tetapi, di era 4.0 mempertahankan saja tidak cukup, harus dipertajam. Cara-cara dan sistem lama yang masih baik dan relevan perlu untuk dimodifikasi sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Misalnya pada tataran manajemen dan profesionalitas SDM, maka perlu diperkuat dan ditingkatkan kompetensi dan kapasitasnya. Bisa melalu diklat pelatihan, seminar, loka karya, beasiswa studi, dan sebagainya. Alternatif lainnya adalah create, menciptakan sesuatu yang sama sekali baru atau dalam genealogi di atas “mengambil yang baru yang lebih baik”. Hal ini berarti, cara dan sistem yang lama telah usang (obsolet). Sehingga tidak mungkin dipakai lagi. Jalan keluar satu-satunya adalah membuat cara dan sistem yang sama sekali baru. Misalnya 4
Rhenald Kasali, Disruption, hlm. 16
8
mengembangkan sistem pelayanan baru berbasis digital. Sehingga warga lembaga pendidikan Islam dapat dengan leluasa mengakses segala keperluan terkait pendidikan dan layanan administrasi. Contoh lainnya, mengembangkan model pembelajaran kekinian dengan sepenuhnya memanfaatkan teknologi digital, seperti E-learning, Blended Learning, dan sebagainya.
9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Memasuki era disrupsi ini, pendidikan dituntut untuk lebih peka terhadap gejala-gejala perubahan sosial masyarakat. Pendidikan harus mau mendisrupsi diri jika ingin memperkuat eksistensinya. Bersikukuh dengan cara dan sistem lama dan menutup diri dari perkembangan dunia, akan semakin membuat pendidikan kian terpuruk dan usang (obsolet). Maka dari itu, terdapat tiga hal yang harus diupayakan oleh lembaga pendidikan , yaitu mengubah mindset lama yang terkungkung aturan birokratis, menjadi mindset disruptif (disruptive mindset) yang mengedepankan cara-cara yang korporatif. Pendidikan juga harus melakukan self-driving agar mampu melakukan inovasi-inovasi sesuai dengan tuntutan era 4.0. Selain itu, pendidikan juga harus melakukan reshape or create terhadap segenap aspek di dalamnya agar selalu kontekstual terhadap tuntutan dan perubahan.
DAFTAR PUSTAKA Arief. 2009. Peranan Teknologi Informasi Dalam Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah. ISSN : 1907-5022. Bandung Hanantijo, Djoko. Strategi Dalam Menghadapi Persaingan Global. Surakarta Kasali, Renald. 2017, Disruption. Rosidin. 2016. Problematika Pendidikan Islam Perspektif Maqasid Shari’ah, Maraji’: Jurnal Studi Keislaman, Vol. 3, No. 1
10
11
12
13
14
15
16