Disorientasi Manajemen Defisit BPJS Di tahun 2018 ini sedang terjadi kehebohan dimana BPJS mengalami defisit sebesar 10,98 triliun. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? menurut kami BPJS terjadi karena pengelolaan system yang bermasalah. Di dalam system BPJS terdapat manfaat BPJS. Berdasarkan laman depkes.go.id manfaat BPJS yang diterima dalam program JKN ini berupa pelayanan kesehatan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif. Sayangnya dana yang dikucurkan untuk pelayanan preventif dan promotif lebih sedikit dibandingkan kuratif dan rehabilitative. Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch Timboel Siregar mengatakan bila membaca alokasi anggaran dan realisasinya, terlihat program promotif dan preventif ini belum maksimal dilaksanakan. Alokasi anggaran program promotif dan preventif oleh BPJS Kesehatan pada 2017 hanya sebesar Rp417,96 miliar atau sekitar 0,47% dari anggaran biaya manfaat pelayanan kesehatan pada 2017, yang sebesar Rp87,22 triliun. Demikian juga pada 2018, alokasi anggaran program ini hanya sebesar Rp475,64 miliar atau sekitar 0,54% dari anggaran biaya manfaat pelayanan kesehatan pada tahun ini, yang mencapai Rp87,8 triliun. “Dari sisi penggunaan anggaran program ini, BPJS Kesehatan juga kurang maksimal menggunakan dananya. Sampai akhir November 2017, BPJS Kesehatan hanya mampu menggunakan dana program promotif dan preventif sebesar Rp163,99 miliar atau sekitar 39,23%,” sebutnya dalam keterangan resmi, Jumat (12/10/2018) Sementara itu, per Mei 2018, BPJS Kesehatan hanya mampu menggunakan dana program promotif dan preventif sebesar Rp72,91 miliar atau sekitar 15,33%. Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa banyaknya peserta BPJS. Berdasarkan data tersebut, dapat kami simpulkan bahwa pengelola masih berparadigma sakit yang artinya pengelola system BPJS lebih condong ke arah rehabilitative dan kuratif. Hal tersebut juga menjadi pendukung meningkatnya angka sakit Indonesia, sehingga biaya yang harus dikeluarkan juga semakin besar dan semakin besarnya biaya yang dikeluarkan mengakibatkan BPJS semakin deficit. Selain penyebab tadi, terjadi juga ketidaksesuaian antara premi yang dibebankan dengan aktuaria BPJS. Dikutip dari portal berita katadata.co.id (2018/09/17 )Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, defisit itu terjadi lantaran rendahnya iuran dari peserta BPJS. Dalam perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN), premi penerima bantuan iuran seharusnya mencapai Rp 36 ribu per bulan.Sementara, aturan pemerintah menetapkan premi PBI hanya sebesar Rp 23 ribu per bulan. Dengan demikian, terdapat selisih sebesar Rp 13 ribu dari jenis premi PBI. Dari perhitungan aktuaria DJSN, premi peserta bukan penerima upah (PBPU) untuk kelas I sebesar Rp 80 ribu per bulan, PBPU kelas II sebesar 63 ribu per bulan, dan PBPU kelas III sebesar Rp 53 ribu per bulan. Sementara dalam aturan pemerintah, PBPU kelas I sebesar Rp 80 ribu per bulan, PBPU kelas II sebesar 51 ribu per bulan, dan PBPU kelas III sebesar Rp 25,5 ribu per bulan. Dengan adanya kesenjangan tersebutlah dana BPJS sangat rendah sedangkan berdasarkan Permenkes No. 5 tahun 2014 terdapat 155 penyakit yang ditangani oleh BPJS termasuk penyakit katastropik dimana dikutip dari portal depkes.go.id penyakit tersebut memakan biaya Rp. 8,7 T pada tahun 2014; Rp. 13,43 T pada tahun 2015; Rp. 14,69 T pada tahun 2016 dan sampai dengan September 2017 membutuhkan biaya Rp. 12,29 T. Hal tersebutlah yang semakin memperparah kondisi keuangan BPJS.
Solusi yang dapat kami tawarkan ialah, 1. Pelayanan promotif dan preventif seyogyanya lebih diperhatikan, dimana dana untuk pelayanan tersebut harus digunakan dengan efisien dan efektif. Mengapa? Sebab dampak yang didapat dengan pelayanan ini dapat mengurangi angka sakit di Indonesia. 2. Dengan melakukan pengevaluasian secara berkala terhadap pengelola system BPJS agar tidak terjadi penyimpangan dalam sistemnya dan tetap berjalan dengan lancar. 3. Dengan dilakukannya transparansi terhadap premi yang harusnya dibayarkan.