Disertasi Muh Tang Abdullah.pdf

  • Uploaded by: NugrahaSwadharma
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Disertasi Muh Tang Abdullah.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 101,689
  • Pages: 446
INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH

(Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan Di Kabupaten Gowa)

DISERTASI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor

Oleh:

MUH. TANG ABDULLAH 107030101111008 PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI MINAT ILMU ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016

IDENTITAS TIM PENGUJI

JUDUL DISERTASI:

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH: (Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa)

Nama Mahasiswa

: Muh. Tang Abdullah

NIM

: 107030101111008

Program

: Doktor Ilmu Administrasi

Minat

: Administrasi Publik

KOMISI PROMOTOR:

Promotor

: Prof.Dr. Bambang Supriyono, M.S.

Ko-Promotor 1

: Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si.

Ko-Promotor 2

: Dr. Tjahjanulin, M.S.

TIM DOSEN PENGUJI:

Dosen Penguji 1

: Prof. Dr. Sumartono, M.S.

Dosen Penguji 2

: Prof. Dr. Soesilo Zauhar, M.S.

Dosen Penguji 3

: Dr. Bambang Santoso Haryono, M.S.

Dosen Penguji 4

: Dr. Chairul Saleh, M.S.

Dosen Penguji 5

: Prof. Dr. Sangkala, M.A.

Dosen Penguji 6

: Dr. Falih Soeaidy, M.Si.

iii

KUPERSEMBAHKAN UNTUK:

Almamaterku Universitas Hasanuddin tempat mengabdiku & Universitas Brawijaya tempatku menuntut Ilmu Ayahanda Abdullah & Ibunda Hj. St. Rugayah & Keluarga Besar Mertuaku Isteri Tercinta Hj. Agusnawati & Ketiga Anandaku Nurul Indhira Dewanty, Abdul Hanief Arrizaly & Abdul Manaf Abdiwanua “Sungguh yang Lebih Utama dari Karya ini adalah Mempertanggungjawabkannya, tidak hanya di Dunia Akademisi tetapi kepada Sang Khalik, Maha Berilmu, Allah SWT”

iv

RIWAYAT HIDUP

Muh. Tang Abdullah. Lahir di Elle-Bone 7 Mei 1972, anak dari ayah Abdullah dan ibu Hj. St. Rugayah. Menikah dengan Hj. Agusnawati dan dikaruniai tiga anak (Nurul Indhira Dewanty, Abdul Hanief Arrizaly, Abdul Manaf Abdiwanua). Menempuh dan menyelesaikan pendidikan SD sampai dengan SMA di Kota Makassar. Meraih Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos.) pada Jurusan Ilmu Administrasi Fisipol Universitas Hasanuddin. Memperoleh gelar Magister Administrasi Publik (M.AP) pada Program Magister Ilmu Administrasi Publik FIA Universitas Brawijaya. Sejak 2010 menempuh Program Doktor (S3) Ilmu Administrasi (Publik) FIA Universitas Brawijaya. Mulai 2004 menjadi dosen tetap pada Jurusan Ilmu Administrasi Fisipol Universitas Hasanuddin. Artikel penulis pernah diterbitkan oleh jurnal: Bisnis & Birokrasi-UI (2014), Masyarakat Kebudayaan & Politik-UNAIR (2013), Spirit Publik-UNS (2011), dan Administrasi Publik-LAN Makassar (2010).

Malang, Mahasiswa,

Muh. Tang Abdullah NIM. 107030101111008

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah. Ungkapan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT karena hanya dengan kehendak dan rahmat ilmu-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini. Kesadaran diri penulis yang penuh kekurangan dan keterbatasan mendorong untuk menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak yang telah memberikan berbagai bantuan baik materi maupun nonmateri, masukan, kritikan, inspirasi, spirit dan motivasi untuk menyelesaikan Disertasi ini. Oleh karena itu, ucapan terima kasih yang tak terhingga sepatutnya penulis alamatkan kepada: Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, M.S. sebagai Rektor Universitas Brawijaya melalui kebijakannya telah menerima penulis sebagai mahasiswa Tugas Belajar dan menyediakan fasilitas pendidikan yang lengkap dan suasana kampus yang kondunsif untuk proses pembelajaran di kampus Universitas Brawijaya ini. Prof. Dr. Abdul Hakim, M.Si. sebagai Direktur Pascasarjana Universitas Brawijaya yang menyediakan pelayanan administratif, termasuk menyediakan fasilitas biaya pendidikan berupa beasiswa (BPPS) untuk mendukung proses pendidikan pada Program Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Prof. Dr. Bambang Supriyono, M.S. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, atas segala kebijakan dan fasilitas belajar, baik yang bersifat administratif maupun akademik, selama penulis menempuh Tugas Belajar sebagai mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Prof. Dr. Sumartono, M.S. sebagai Ketua Program Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, atas segala kebijakan dan pelayanan serta akses informasi dalam proses belajar mengajar selama mengikuti Tugas Belajar pada Program Doktor Ilmu Administrasi (Publik). Tim Promotor yang terdiri dari: Prof.Dr. Bambang Supriyono, M.S. sebagai Promotor, dan Dr. M.R. Khairul Muluk, M.Si. sebagai Ko-Promotor 1, serta Dr. Tjahjanulin Domai, M.S. sebagai Ko-Promotor 2, yang banyak memberikan kontribusi yang luar biasa berupa konsultasi dan bimbingan, masukan ide, kritik dan saran, inspirasi dan spirit akademik, serta penuh simpatik dan keramahan selama proses pembimbingan. Tim dosen penguji disertasi, antara lain: Prof. Dr. Sumartono, M.S., Prof. Dr. Soesilo Zauhar, M.S., Dr. Bambang Santoso Haryono, M.S., Dr. Chairul Saleh, M.S. Prof. Dr. Sangkala, M.A. dan Dr. Falih Soeaidy, M.Si., terima kasih atas segala kritik, pendapat dan saran-sarannya yang sangat konstruktif dalam menyempurnakan disertasi ini. Seluruh Dosen Pengajar Program Doktor Ilmu Administrasi (Publik) Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya yang telah bersedia membagi ilmu dan wawasan akademiknya serta seluruh staf administrasi yang ramah dan tekun dalam memberikan pelayanan administrasi kepada penulis. vii

Dr. Ichsan Yasin Limpo, SH., MH. selaku Bupati Gowa dan Pimpinan DPRD Kabupaten Gowa, terkhusus untuk Dinas Pendidikan, UPTD Pendidikan, Sekolah dan guru-guru serta aparatur lain yang telah memberikan bantuan dan akses masuk ke lokasi dan situs penelitian untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam Disertasi ini. Seluruh informan penelitian, baik dari unsur pemerintahan daerah maupun dari luar pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, serta berbagai pihak yang telah memiliki kontribusi secara langsung dan tidak langsung memberi akses terhadap data dan informasi yang relevan dengan fokus penelitian disertasi ini. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT segalanya kita berharap, semoga kontribusi dan sumbangsih dari berbagai pihak mendapat balasan yang setimpal dari-Nya. Amin.

Malang, Mahasiswa,

Muh. Tang Abdullah NIM. 107030101111008

viii

RINGKASAN

Muh. Tang Abdullah. Program Doktor Ilmu Administrasi (Publik) Universitas Brawijaya. 2016. Inovasi Pemerintahan Daerah: Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa. Promotor: Bambang Supriyono, KoPromotor 1: M.R. Khairul Muluk, Ko-Promotor 2: Tjahjanulin. Desentralisasi memberi ruang gerak yang luas kepada daerah untuk berkreasi dan berinovasi baik secara politik maupun administrasi. Peluang ini dimanfaatkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa untuk menjawab kebutuhan dasar warganya yakni peningkatan akses dan kualitas pelayanan publik dalam urusan pendidikan. Pemerintah daerah merespon tuntutan tersebut melalui berbagai kebijakan dan program inovasi dalam urusan pendidikan. Penggunaan konsep inovasi dalam pemerintahan daerah ini tentu relevan dengan perkembangan mutakhir teori administrasi publik yang menempatkan inovasi sebagai instrumen dan solusi efektif dalam mengatasi problem masyarakat yang semakin konpleks. Secara empirikal dunia pendidikan terdapat fenomena meliputi aksesibilitas masih rendah, biaya mahal, dan kualitas pembelajaran juga rendah yang menyebabkan indeks pendidikan dan IPM Gowa masih rendah pula. Fenomena tersebut menjadi alasan utama betapa pentingnya inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan. Berdasarkan pemikiran inilah maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab empat rumusan masalah dan menjelaskan fokus penelitian yakni: (1) proses pengembangan program inovasi; (2) tipologi program inovasi yang dikembangkan; (3) kapasitas inovasi pemerintahan daerah; dan (4) membangun model inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, data diperoleh melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi dengan analisis data model spiral. Penelitian ini menghasilkan (1) proses pengembangan program inovasi urusan pendidikan melalui proses politik (fungsi pengaturan) dan proses pengurusan (proses manajerial) yang sudah berlangsung inovatif; (2) tipologi program inovasi meliputi Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education (PDEP) dan Satgas Pendidikan. Keempat program inovasi ini adalah jenis inovasi proses pelayanan (services process innovation), bersifat inkremental dan top down, diadopsi melalui replikasi sebagai hasil studi banding; (3) terdapat empat unsur kapasistas inovasi yang dikaji yakni kepemimpinan inovatif Bupati, aparatur pelaksana, anggaran, jaringan pemerintahan, dan regulasi program. Faktanya, kapasitas inovasi sangat didominasi oleh inisiatif kepemimpinan Bupati dan inovasi sangat tergantung pada anggaran (APBD/APBN), sedangkan unsur kapasitas lainnya masih sangat lemah; dan (4) berdasarkan hasil penyajian empirik ketiga fokus tersebut, disusunlah existing model untuk memudahkan memahami fakta inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan. ix

Pembahasan hasil penelitian menggunakan teori dan konsep yang relevan dengan pengembangan inovasi disektor publik khususnya inovasi pemerintahan sebagai alat analisis hasil penelitian. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan beberapa hal, yakni pertama, proses pengembangan program inovasi urusan pendidikan dilakukan melalui proses politik yakni perumusan kebijakan (pengaturan) dan proses manajerial/administrasi yakni implementasi kebijakan (pengurusan). Secara teoritis, proses perumusan dan implementasi kebijakan program inovasi harus pula dilakukan secara inovatif. Proses perumusan kebijakan oleh Pemda dan DPRD dalam pengembangan inovasi harus dilakukan secara demokratis, partisipatif dan responsif dan proses manajerial /administrasi oleh birokrasi lokal dan unit sekolah harus pula berlangsung secara efektif, efisien dan ekonomis. Kedua, tipologi program inovasi pemerintahan baik bersumber dari mitra internal maupun mitra eksternal pemerintahan daerah yang diadopsi melalui strategi replikasi inovasi, sehingga jenis program inovasi dalam pemerintahan daerah tidak selamanya mengandung nilai temuan baru (novelty) tetapi program inovasi pemerintahan daerah harus memiliki nilai perbaikan (improvement) terhadap pelayanan publik. Ketiga, Program inovasi urusan pendidikan yang ditentukan oleh dominasi kapasitas kepemimpinan Bupati dan ketersediaan anggaran (APBD/APBN) bisa berlangsung efektif untuk jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh tersedianya kapasitas pemerintahan daerah secara komprehensif yang meliputi kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan jaringan). Pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang efektif pada tingkat kabupaten (mikro) harus didukung kebijakan dan program dalam urusan pendidikan pada tingkat provinsi (meso) dan pemerintah pusat (makro). Akhirnya, berdasarkan ketiga hasil kesimpulan analisis di atas, dirumuskan sebuah rekomendasi penelitian yaitu pengembangan program inovasi urusan pendidikan harus didukung oleh proses politik dan proses manajerial/administrasi inovatif pula, program inovasi bisa bersumber dari mitra internal dan eksternal pemerintahan melalui proses adopsi dengan strategi replikasi, pengembangan kebijakan dan program inovasi pemerintahan daerah dapat berlangsung efektif jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh kapasitas inovasi yang meliputi kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan jaringan) serta terbingkai dalam desain kebijakan dan program inovasi secara nasional. Kata kunci: inovasi pemerintahan daerah, tipologi inovasi, kapasitas inovasi, urusan pendidikan

x

SUMMARY Muh. Tang Abdullah. Doctoral Program of Public Administration, University of Brawijaya. 2016. Local Government Innovation: Study of Educational Affairs Innovation in the Gowa Regency. Promotor: Bambang Supriyono, Co-Promotor 1: M.R. Khairul Muluk, Co-Promotor 2: Tjahjanulin. Decentralization gives wide latitude to the regions to create and innovate both political and administrative. This opportunity is exploited by the local government of Gowa to provide the basic needs of its citizen’s namely increasing access and quality of public services in matters of education. Local governments respond to these demands through various policies and programs of innovation in educational affairs. The use of the concept of innovation in local governance is certainly relevant to the development of cutting-edge theory of public administration as an instrument that puts innovation and effective solution to overcome the problem of an increasingly complex society. Empirically there is the phenomenon of education includes the accessibility is low, the cost is expensive, and the quality of learning is also low which resulted in the index of education and Human Development Index of Gowa too low anyway. The phenomenon is a major reason the importance of innovation in the educational affairs of local government. Based on this thought, this study was conducted to answer four formulation of the problem and explain the focus of the research are: (1) the process of developing innovation programs; (2) the types of innovations developed programs; (3) the capacity of local government innovation; and (4) developing innovative models of local government in matters of education. This study applied a qualitative approach, the data obtained through interviews, observation, and documentation with data analysis spiral model. This research resulted in (1) the development of innovative educational affairs programs through the political process (function setting) and the maintenance process (managerial processes) which has not lasted innovative; (2) the types of innovation programs include Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis, Punggawa D'Emba Education Program (PDEP) and Satgas Pendidikan. The fourth programs of this innovation is the kind of innovation the service process, incremental and top down, was adopted by replication as a result of a comparative study; (3) there are four elements that assessed the innovation capacity of the innovative leadership of the local government, teamwork officers, budget for innovation, networking government, and regulatory programs. In fact, innovation capacity is dominated by the Head of Regency and innovation leadership initiative is highly dependent on the budget (APBD/APBN), while other elements of capacity is still very weak; and (4) based on the presentation of the third empirically that focus, composed of existing models to make it easier to understand the facts of local government innovation in educational affairs. Discussion of the results of research using theories and concepts relevant to the development of public sector innovation, especially innovation governance as a tool of analysis of research results. Based on the analysis, we can conclude several things, namely the firstly, the process of developing educational affairs program innovations made through the political process of policy formulation and the managerial / administrative is policy implementation. Theoretically, the xi

process of policy formulation and implementation of innovation programs should also be done in an innovative way. The process of formulation of policies by the Government and the Parliament in the development of innovation should be done in a democratic, participatory and responsive and the managerial / administrative performed by local bureaucracy and operational tennis are at school should also take place effectively, efficiently and economically. Second, type innovation program governance both sourced from partners both internal and external partners of local government are adopted through a replication strategy of innovation, so that the kind of program innovation in local governance do not always contain the value of new findings (novelty) but the innovation programs of local government must have a value improvement to the public service. Third, the innovative program of education affairs determined by the dominance of the leadership capacity of Head of Regency and the availability of budget (APBD / APBN) can be effective for short-term and long-term if supported by the local government capacity in a comprehensive manner that includes a innovative leadership, quality of workforce, systems/structure, and managing external influences. Program development of effective innovation educational affairs at the district level (micro) must be supported policies and programs in educational affairs at the provincial level (meso) and the central government (macro). Finally, based on the three results conclusions above analysis, formulated a recommendation of research is the development of innovation programs educational affairs should be supported by the political process and the process of managerial / administrative innovative Similarly, program innovation can be sourced from internal and external partners governance through the adoption process with a replication strategy, policy development and innovation program of local government can take effective short-term and long-term if it is supported by the capacity of innovation that includes a innovative leadership, quality of workforce, systems/structure, and managing external influences, as well as framed in the design of policies and programs of national innovation. Keywords :

local government innovation, typology of innovation, capacity of innovation, educational affairs

xii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, tiada kata yang paling layak selain mengucap rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah Disertasi ini yang berjudul: Inovasi Pemerintahan Daerah: Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa. Indonesia telah memilih model desentralisasi dalam sistem pemerintahan daerah. Model desentralisasi ini dipertegas oleh lahirnya undang-undang yang mengatur manajemen pemerintahan daerah yaitu UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Model desentralisasi ini melahirkan kebijakan otonomi daerah yang seluas-luasnya kepada daerah otonom untuk menyelenggarakan fungsi dan tugasnya, baik dalam public service maupun public goods delivery. Kebijakan otonomi daerah ini sesungguhnya memberi ruang yang lebar bagi daerah otonom untuk kreatif dan inovatif baik pada aspek administrasi maupun aspek politik. Aparatur dan pejabat daerah tak perlu lagi khawatir dalam melakukan inovasi kebijakan dan pelayanan pada masyarakat. Oleh karena, saat ini pengembangan inovasi daerah telah diatur dalam Bab XXI Pasal 386-390 UU No. 23 Tahun 2014 tersebut. Sesungguhnya secara teoritik, konsep inovasi dalam konteks administrasi publik menjadi isu utama ketika paradigma new public management (NPM) berkembang pesat. Di mana salah satu prinsip paradigma NPM adalah persaingan (competitiveness). Organisasi publik hanya bisa bertahan dan unggul di era persaingan ini ketika mampu menghadirkan cara kreatif dan lebih efektif dalam mengatasi masalah publik yang makin kompleks melalui inovasi. Sebagaimana diketahui bahwa inovasi seharusnya menjadi inti dari seluruh aktivitas di sektor publik. Inovasi dapat membantu meningkatkan kinerja pelayanan dan nilai-nilai publik. Inovasi berarti meningkatkan daya tanggap terhadap harapan warga dan kebutuhan para pengguna layanan. Juga inovasi dapat menumbuhkan efisiensi dan mengurangi biaya. Secara empirik sejak kebijakan otonomi daerah diterapkan, telah banyak daerah otonom yang sukses dan berhasil dalam melakukan inovasi dalam lingkup tugas dan kewenangan mengatur dan mengurus berbagai urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat ke daerah. Misalnya dalam penyelenggaraan urusan pendidikan, salah satu daerah kabupaten yang mengembangkan program-program inovasi dalam urusan pendidikan selama ini adalah pemerintah Kabupaten Gowa. Oleh sebab itulah, daerah ini dijadikan lokus dari penelitian disertasi ini. Dasar utama pemerintah Kabupaten Gowa mengembangkan kebijakan dan program inovasi dalam urusan pendidikan adalah adanya fakta di mana aksesibilitas masyarakat masih rendah, biaya pendidikan mahal, dan kualitas pembelajaran juga rendah yang menyebabkan indeks pendidikan dan IPM Gowa masih rendah pula. Kenyataan ini tentu menjadi menarik bagi penulis untuk xiii

melakukan penelitian kualitatif dan mengembangkan kajian inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan ke dalam beberapa fokus penelitian antara lain: (a) proses pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang meliputi proses politik dan manajerial, (b) tipologi program inovasi urusan pendidikan yang meliputi SPAS, Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education, dan Satgas Pendidikan, dan (c) juga menyajikan kapasitas inovasi pemerintah daerah dalam urusan pendidikan. Pada akhirnya penelitian ini akan melahirkan model existing dan model rekomendasi yang diarahkan pada pengembangan program inovasi yang efektif, efisien, dan profesional. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah Disertasi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Disertasi ini sungguh masih memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai karya ilmiah yang memiliki kebenaran relatif, sangat terbuka untuk diperdebatkan dan menerima kritikan serta masukan demi perbaikan dan penyempurnaan, baik secara substansi maupun metode penelitian dan teknis penulisannya. Namun dibalik itu semua tetap ada secuil harapan dari penulis, semoga Disertasi ini dapat memberi informasi baru bagi para pembaca. Minimal pembaca mengetahui bahwa pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dengan segala kapasitasnya, telah berupaya mengembangkan program inovasi dalam urusan pendidikan. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT segalanya kita berharap. Semoga apa yang telah diikhtiarkan penulis menjadi bernilai amal ibadah di sisiNya. Aamiin.

Malang, Mahasiswa,

Muh. Tang Abdullah NIM. 107030101111008

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................... ii IDENTITAS TIM PENGUJI.................................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN.................................................................................iv PERNYATAAN ORISINALITAS............................................................................. v RIWAYAT HIDUP.................................................................................................. vi UCAPAN TERIMA KASIH.....................................................................................vii RINGKASAN..........................................................................................................ix SUMMARY............................................................................................................ xi KATA PENGANTAR............................................................................................ xiii DAFTAR ISI..........................................................................................................xv DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xix DAFTAR SINGKATAN..........................................................................................xx DAFTAR ISTILAH.............................................................................................. ..xxi BAB I.

PENDAHULUAN ........................................................................... .......1 1.1. Latar Belakang Masalah ………………………………...................1 1.2. Ruang Lingkup Penelitian...........................................................21 1.3. Rumusan Masalah Penelitian ……………………………...... ......24 1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... ..24 1.5. Signifikansi dan Manfaat Penelitian............................................25

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................28 2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu ................................................... 28 2.2. Teori dan Perkembangan Administrasi Publik............................38 2.3. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah....................... ...........57 2.4. Manajemen Pemerintahan Daerah ............................................76 2.5. Birokrasi Pemerintahan Daerah..................................................85 2.6. Kajian Inovasi Pemerintahan Daerah ................................... ...101 2.6.1. Konsep Inovasi Dalam Administrasi Publik...................107 2.6.2. Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah......................112 2.6.3. Tipologi dan Karakteristik Inovasi................................. 121 2.6.4. Strategi dan Faktor Berpengaruh Terhadap Inovasi... ..131 2.7. Model Konseptual Penelitian.................................................... 136

BAB III. ANALISIS SOCIAL SETTING PENELITIAN ....................................141 3.1. Analisis Latar Sosial Masyarakat Kabupaten Gowa................. 141 3.2. Deskripsi Latar Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa.........144 3.3. Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah ............................172 3.4. Sumber Daya Anggaran Pemerintah Daerah ............. .............175 xv

BAB IV. METODE PENELITIAN ......................................................... ...........178 4.1. Pendekatan Penelitian .............................................................178 4.2. Fokus Penelitian...................................................... .................179 4.3. Lokasi dan Situs Penelitian.......................................................181 4.4. Jenis Data Penelitian............................................................... .182 4.5. Sumber Data Penelitian ...........................................................182 4.6. Metode Pengumpulan Data .....................................................185 4.7. Instrumen Penelitian ............................................. ...................187 4.8. Teknis Analisis Data ..................................... ...........................188 4.9. Uji Keabsahan Data .................................................................190 BAB V.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………… …………..195 5.1. Penyajian Hasil Penelitian……………………………………….. 195 5.1.1. Proses Pengembangan Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan….................................. …..195 5.1.2. Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan………………………………………..230 5.1.3. Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan……………………………..…………273 5.1.4. Model Empirik (Existing Model) Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan……………………...309 5.2. Pembahasan Hasil Penelitian…………………………………… 319 5.2.1. Proses Pengembangan Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan……………………………. ...319 5.2.2. Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan…………………………………... …..342 5.2.3. Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan……………………………………... ..365 5.2.4. Perbandingan Hasil Kajian Disertasi ini dengan Penelitian Terdahulu……………………………………...382 5.2.5. Model Rekomendasi (Recommended Model) Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan…… .387

BAB VI. PENUTUP………………………………………………………………....399 6.1. Kesimpulan.............................................................................. .399 6.2. Saran........................................................................................ 403 6.3. Implikasi Teoritis dan Praktis.................................................... 405 6.3.1. Implikasi Teoritis........................................................... 405 6.3.2. Implikasi Praktis............................................................ 409 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 412

xvi

DAFTAR TABEL

No.

Judul Tabel

1.

Matriks Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dan Hasil Kajian Disertasi ini.........................................................................34 Category of the Definition of Public Administration................................ 39 Perspective on Public Administration................................................ .....40 Lima Model Administrasi Negara Baru...................................................41 Perbandingan Paradigma Bureaucratic & Post-Bureaucratic..........…...45 Matriks Paradigma Administrasi Publik............................................. .....48 Bentuk-Bentuk Desentralisasi versi Turner dan Hulme..........................65 An Evolutionary Analysis of Innovation in Public Administration..... ...110 Innovation dan Improvement in Different Conceptions of Governance and Public Managemet.................................................... 111 Dimensions and Focus of Capacity-Building Initiatives........................113 Mintzberg's Structural Archetypes and Their Innovative Potentials..............................................................................................118 The Main Feature of the Three Perspectives of Innovation................. 119 Karakteristik Inovasi Sektor Bisnis dan Sektor Publik........................ ..124 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Gowa Tahun 2006-2013.................................................. ..143 Kondisi Wilayah Kecamatan dan Jumlah Penduduk Kab. Gowa Tahun 2012......................................................................................... .147 Struktur Ekonomi Kabupaten Gowa Tahun 2009-2011........................149 Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa.................................159 Keadaan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Periode 2009/2014 & 2014/2019 menurut Partai Politik ...................................163 Keadaan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Periode 2009-2014 menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin............... .164 Pejabat Kepala Daerah Kabupaten Gowa Sejak Tahun 1957 Sekarang......................................................................................... .....165 Unit Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Gowa..........................167 Keadaan Aparatur Daerah (PNS) Kabupaten Gowa Menurut Unit Kerja dan Golongan pada Tahun 2011.........................................173 Keadaan Aparatur Daerah Kabupaten Gowa Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin pada Tahun 2011.................. 174 Rincian Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2011 dan 2012.......................................................................... 176 Perkembangan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2006 s/d 2012................................................................. 177 Deskripsi Fokus Penelitian................................................................... 180 Jumlah dan Unsur Informan Penelitian................................................ 183

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.

Halaman

xvii

28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.

Program, Kegiatan dan Alokasi Anggaran Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa Tahun 2013 ......................................... ...................209 Indikator Capaian Penyelenggaraan Urusan Pendidikan Menurut Tingkatan Pendidikan Kab. Gowa Tahun 2010-2011............ 215 Indikator Capaian Pelayanan Urusan Pendidikan Menurut Tingkat Sekolah Kabupaten Gowa Tahun 2010-2011......................... 219 Deskripsi Satuan Pendidikan Sekolah Kabupaten Gowa Tahun 2010 dan 2011..................................................................................... 224 Kebutuhan Biaya Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Gowa Tahun 2011.......................................................................................... 226 Alokasi Anggaran Pelaksanaan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) Kabupaten Gowa Tahun 2009-2012........................ 259 Rencana Strategi Pembangunan Daerah dan Program Inovasi Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa.................................................. 330 Matriks Proses Pengembangan Program Inovasi Urusan Pendidikan…………………………………………………………………..341 Matriks Jenis Program Inovasi Urusan Pendidikan…….……...……….364 Matriks Hasil Kajian Penelitian Terdahulu dan Kontribusi Hasil Kajian Disertasi Ini …………………………………………………. 383 Matriks Perbandingan Praktek Inovasi Pemerintahan Daerah............ 393 Matriks Mengenai Fokus, Hasil, Proposisi Penelitian dan Implikasi Teoritis..................................................................................................395

xviii

DAFTAR GAMBAR

No.

Judul Gambar

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Jalur Penyerahan Urusan Pemerintahan .............................................. 71 Bagan Pembagian Urusan-Urusan Pemerintahan................................. 76 Anatomi Unsur-Unsur Pokok Birokrasi...................................................96 Struktur Perangkat Daerah Kabupaten............................................. .....99 Transformation of Policy During Implementation…………............……104 Model of Management Capacity and Government Innovation.......... ...116 Wilayah Inovasi Birokrasi Pemerintah..................................................120 Tipologi Inovasi Sektor Publik ......................................................... ...130 Faktor-faktor Penghambat Inovasi................................................... ...134 Model Konseptual (Conceptual Model) Penelitian............................ ...140 Peta Wilayah Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa................... ...148 Pendapatan Perkapita Kabupaten Gowa Tahun 2005-2011........... ...150 Struktur Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa........................... ...161 Teknik Analisis Data Model Spiral.................................................... ...189 Kerangka Umum Alur Fikir Penelitian.................................................. 194 Struktur Penyelenggara Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa....... ...202 Kerangkan Proses Pengembangan Inovasi Urusan Pendidikan..........228 Salah Satu Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) Kelurahan Bontonompo Sungguminasa Kabupaten Gowa............. ...235 Kelas Multimedia Dilengkapi Dengan Teknologi Memadai di SMP Negeri 4 Sungguminasa, Kabupaten Gowa......................... ...265 Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo dan Tim Ahli Program Punggawa D’Emba Education (PDEP)............................................ ...280 Instruktur dan Peserta Pelatihan Program Punggawa D’Emba Education (PDEP).................................................................. 287 Model Empirik (Existing Model) Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan........................................................................... ...318 Pohon Analisis Proses Pengembangan Program Inovasi Urusan Pendidikan.............................................................................. .340 Pohon Analisis Jenis-jenis Program Inovasi Urusan Pendidikan....... ..363 Pohon Analisis Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan............................................................................. ..380 Keterkaitan antara Leadership Support dan Institutional Capacity untuk Pengembangan Inovasi.............................................................. 381 Model Rekomendasi (Recomennded Model) Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan.............................................. ...392

19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.

Halaman

xix

DAFTAR SINGKATAN

ABA AL APBD APBN AMH APK APM APS BOS BOSDA BPS DAK DAU Dispora DO DPR DPRD FIPO HDI ICT IPM IYL LAKIP LGSP LSM LTD PAD PAUD PDEP PDRB Perbup Perda PP RKPD RPJMD RPJPD Satgas Satpol PP SKPD SPAS UNHAS UNM UPTD UU

: Angka Buta Aksara : Angka Lulus : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara : Angka Melek Huruf : Angka Partisipasi Kasar : Angka Partisipasi Murni : Angka Partisipasi Sekolah : Biaya Operasional Sekolah : Biaya Operasional Sekolah Daerah : Badan Pusat Statistik : Dana Alokasi Khusus : Dana Alokasi Umum : Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga : Drop Out : Dewan Perwakilan Rakyat : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah : Fajar Institute Pro Otonomi : Human Development Index : Information Communication and Technology : Indeks Pembangunan Manusia : Ichsan Yasin Limpo : Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah : Local Government Support Program : Lembaga Swadaya Masyarakat : Lembaga Teknis Daerah : Pendapatan Asli Daerah : Pendidikan Anak Usia Dini : Punggawa D’Emba Education Program : Produk Domestik Regional Bruto : Peraturan Bupati : Peraturan Daerah : Peraturan Pemerintah : Rencana Kerja Pemerintah Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah : Satuan Tugas : Satuan Polisi Pamong Praja : Satuan Kerja Pemerintah Daerah : Sanggar Pendidikan Anak Saleh : Universitas Hasanuddin : Universitas Negeri Makassar : Unit Pelaksana Teknis Dinas : Undang-Undang

xx

DAFTAR ISTILAH

Daerah Otonom

:

Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

D’Emba

:

Singkatan dari Daeng Ngemba yakni nama lokal Gowa atau gelar kehormatan diberikan pada tokoh pemimpin lokal yang peduli pada kemajuan daerahnya.

Desentralisasi

:

Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan.

Inovasi

:

Proses kreatif penciptaan pengetahuan dalam melaksanakan penemuan baru yang berbeda dan/atau modifikasi dari yang sudah ada berupa hasil dari perluasan ataupun peningkatan kualitas inovasi yang sudah ada.

Inovasi Pemerintahan Daerah

:

Terobosan baru jenis program/pelayanan oleh pemerintahan daerah baik merupakan gagasan/ide kreatif orisinal dan/atau adaptasi/modifikasi yang memberikan manfaat bagi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pemerintah Daerah

:

Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Pemerintahan Daerah

:

Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya.

Pendidikan Gratis

:

Program pembebasan segala biaya penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik/orang tua peserta didik yang berkaitan dengan proses belajar mengajar dan kegiatan pembangunan sekolah.

Perangkat Daerah

:

Unsur pembantu Kepala Daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

Punggawa

:

Bahasa Makassar yang berarti Pemimpin.

Punggawa D’Emba

:

Program inovasi pembelajaran revolusioner dengan tujuan utama peningkatan kualitas guru dan

xxi

mempercepat peserta didik dalam memahami materi pelajaran, memiliki life skill, positive mindset, dan jiwa nasionalisme, serta nilai budaya lokal Makassar. Sanggar Pendidikan Anak Saleh

:

Program pendidikan luar sekolah (PLS) yang menyediakan sarana pendidikan untuk anak-anak putus sekolah, atau bagi mereka yang tidak berhasil melanjutkan sekolah karena kekurangan biaya

Satgas Pendidikan

:

Program kerja sama antar Dispora dan Satpol Pamong Praja berbentuk gugus kerja yang bertujuan untuk memastikan kehadiran siswa/murid dan tenaga kependidikan serta menekan angka bolos sekolah.

Urusan Pemerintahan

:

Kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

Urusan Pendidikan

:

Salah satu dari urusan pemerintahan wajib, pelaksanaannya dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan daerah, terkait dengan pelayanan dasar yakni pelayanan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara.

xxii

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Reformasi pemerintahan daerah dengan memilih model desentralisasi

dalam sistem pemerintahan daerah dipertegas dengan terbitnya tiga UU pemerintahan daerah dalam rentang waktu 15 tahun belakang ini. Ketiga UU tentang pemerintahan daerah tersebut yakni UU No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan yang terbaru adalah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal tersebut sekaligus menandakan sistem pemerintahan daerah di Indonesia memasuki babak baru, yakni pergeseran dari corak penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sentralistik mengarah ke sistem pemerintahan daerah yang desentralistik. Secara konseptual pilihan terhadap paradigma desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia bukanlah sekedar mengikuti kecenderungan sebagian besar pemerintahan di dunia yang telah melakukan perubahan paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Juga bukan karena asumsi, desentralisasi adalah lawan sentralisasi sehingga desentralisasi adalah obat mujarab untuk mengobati akibat buruk sentralisasi (Solihin, 2010:3). Namun disadari bahwa desentralisasi secara konseptual memiliki banyak sisi positif, seperti Smith (1985:18) meyakini desentralisasi dapat membawa manfaat antara lain: (1) secara ekonomis dianggap mampu meningkatkan efisiensi, karena desentralisasi dapat mengurangi biaya, meningkatkan output, dan human resources

dapat

dimanfaatkan secara lebih efektif;

(2)

secara politis,

desentralisasi dapat memperkuat demokrasi dan akuntabilitas, meningkatkan kecakapan warga dalam berpolitik, dan memperkuat integrasi nasional.

1

2

Sementara itu terdapat dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi, yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Menurut Suwandi (2007:5), tujuan politik memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat ditingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif akan memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis (3Es). Memenuhi kedua tujuan tersebut adalah keharusan bagi pemerintah daerah dalam rangka menjaga akuntabilitas atas legitimasi yang diberikan warga kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Di era otonomi daerah, menurut Abdul Wahab (2002:43) daerah otonom (provinsi, kabupaten/kota) memiliki kewenangan yang semakin luas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Suatu daerah otonom harus berani dan berkemampuan untuk tampil beda (the capacity to create difference) dengan daerah lain. Otonomi daerah menyediakan ruang ”manuver politik” bagi daerah dalam mengekspresikan kebijakan otonominya. Dalam prespektif administrasi publik, ruang yang sangat luas untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola pemerintahan daerah disebut diskresi (discretion). Kondisi ideal dari sistem pemerintahan daerah Indonesia, baik yang telah ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun penjelaskan ideal secara teori dan konseptual tentang kebijakan desentralisasi, muaranya tentu saja adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada tingkat lokal. Namun demikian setelah lebih satu dekade otonomi daerah rupanya secara empirikal masih bertolak belakang dengan tujuan utamanya. Hal ini disimpulkan oleh koran Kompas (28/4/2008) memberikan fakta secara nasional bahwa capaian yang

3

diperoleh dalam meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal selama hampir satu dekade desentralisasi dan otonomi daerah tidaklah begitu menggembirakan. Dalam rilis koran Kompas tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya kualitas pelayanan dasar tidak kunjung membaik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, meskipun dana APBD meningkat secara tajam dibanding semasa Orde Baru. Jastifikasi atas hal tersebut, bisa dilihat pada hasil evaluasi yang dilangsir oleh Bagian Penelitian dan Pengembangan Kompas, yang dilakukan dengan melibatkan 1130 orang responden di 33 ibukota provinsi se Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa (1) masih ada 52% responden

menyatakan

otonomi

daerah

belum

mampu

memperbaiki

kesejahteraan masyarakt; (2) sebanyak 60% responden mengatakan bahwa keamanan di era otonomi daerah menjadi lebih baik; (3) masalah kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah paling mendesak untuk diatasi pemerintah daerah; dan (4) sebanyak 73% responden menyatakan janji-janji kepala daerah ketika kampanye pilkada tidak dapat dipenuhi. Kenyataan yang diuraikan di atas tidaklah sederhana, karena rupanya tidak hanya menyangkut sumber daya manusia atau aparaturnya, tetapi juga menyangkut dimensi struktur (structure) bahkan terkait pula dengan dimensi budaya (culture) birokrasi pemerintahan. Kompleksitas persoalan yang dihadapi administrasi publik tersebut, dan beragam dimensi yang dibutuhkan, serta multilevel governance menyebabkan dituntutnya cara-cara baru penyelesaian masalah publik yang berbeda antar tempat dan waktu. Cara baru tersebut diyakini hanya dapat dicapai dengan adanya inovasi dalam administrasi publik (Muluk, 2010:41). Hal demikian menunjukkan inovasi sangat dibutuhkan untuk membangun kepemerintahan yang kokoh.

4

Secara khusus, penelitian-penelitian yang berhubungan dengan inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan, terutama yang dilakukan pada tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia, tampaknya masih jarang dilakukan. Jika pun ada penelitian tentang inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan, seringkali disandingkan dengan inovasi urusan pemerintahan lainnya. Oleh karena itu, permasalahan yang ditemukan dalam inovasi urusan pendidikan bisa jadi serupa dengan permasalahan dalam penyelenggaraan inovasi pemerintahan daerah pada umumnya. Misalnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Prasojo (2006) di Jembrana, dimana penelitian tentang inovasi di sektor pendidikan dan kesehatan

disandingkan,

sehingga

ditemukan

kendala

dan

hambatan

pengembangan inovasi yang sama pula. Meskipun demikian, pada tingkatan negara terdapat beberapa peneliti di negara lain yang pernah melakukan kajian tentang inovasi kebijakan di bidang pendidikan. Penelitian-penelitian tersebut lebih berkaitan dengan manajemen, proses pembelajaran, dan kurikulum pendidikan di tingkat sekolah. Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh Ajibola (2008) di Nigeria yang fokus pada inovasi kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan dasar. Permasalahan yang ditemukan dari penelitian ini adalah kapasitas kurikulum tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sebagai akibat perubahan lingkungan yang dinamis. Selain penelitian ini, terdapat pula penelitian yang fokus pada manajemen inovasi dalam sistem pendidikan di Nigeria. Penelitian yang dilakukan oleh Akomolafe (2011) ini mengungkap bahwa permasalahan yang banyak dihadapi sekolah-sekolah di Nigeria saat ini adalah masalah rendahnya budaya kreatif murid sekolah sebagai akibat dari manajemen sekolah, kepemimpinan, dan lingkungan sekolah yang tidak mendukung. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi kebijakan secara langsung dari pemerintah setempat.

5

Secara empirikal, pelembagaan inovasi pemerintahan daerah saat ini dapat ditemukan dalam beberapa literatur. Pada tahun 2009, USAID melaporkan adanya beberapa program inovasi manajemen pelayanan publik dilakukan oleh beberapa pemerintahan di tingkat lokal. Program inovasi tersebut merupakan program-program yang diasistensi oleh Local Government Support Program (LGSP), meliputi: (1) One-stop-Service di Kabupaten Pinrang (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Tebingtinggi (Sumatera Utara); (2) Citizen Charter di Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara) dan Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah); (3) Electronic Citizen Information Service di Kabupaten Aceh Barat (Aceh); (4) Customer Information Management System di Kota Madiun (Jawa Barat); dan (5) Electronic Government Procurement di Provinsi Jawa Barat. Kelima jenis program inovasi yang diasistensi oleh USAID (2009) tersebut dinilai sukses dan berpredikat good practices, karena memenuhi beberapa hal antara lain: (1) bentuk program sudah sukses dilakukan di negara lain (having been previously applied in other countries); dan diadaptasi secara meluas pada pemerintahan lokal di Indonesia (been adapted to the circumstances of local governance in Indonesia); (2) program tersebut sudah melibatkan multistakeholder, pro-customer and pro-poor orientation; (3) inovasi focus on low cost management solutions to overcome service bottlenecks, and (4) mitra konsultasi dengan client local government agencies. Demikian halnya dalam INDOPOV (2006), dirilis bahwa World Bank juga melakukan penelitian terhadap Inovasi Pelayanan Pro-Miskin: Sembilan Studi Kasus di Indonesia. Kesembilan kasus tersebut meliputi: (1) Pembatasan Jumlah Siswa Perkelas dan Penguatan Insentif bagi Praktisi Pendidikan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat; (2) Kupon Pelayanan Bidan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah; (3) Pembangunan Komunitas Belajar bagi Anak di

6

Kabupaten Polman, Sulawesi Barat; (4) Meningkatkan Transparansi Anggaran di Kota Bandung, Jawa Barat; (5) Program Air Bersih dan Kesehatan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; (6) Reformasi Jaminan Kesehatan di Kabupaten Jembrana, Bali; (7) Program Community Block Grant di Kota Blitar, Jawa Timur; (8) Proses Perencanaan Partisipatif di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan; (9) Reformasi Pegawai Negeri di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2006) melalui INDOPOV, dilakukan pada sembilan kasus tersebut di atas bertujuan mengkaji inovasi di bidang

penyediaan

pelayanan

publik

tingkat

kabupaten/kota

menyusul

diterapkannya kebijakan desentralisasi. Meskipun separuh dari kasus-kasus tersebut digagas oleh pihak luar yakni World Bank dan separuhnya lagi digagas oleh pihak lokal (local stakeholders), namun dampaknya terbukti positif terutama bagi kelompok warga yang menjadi sasaran. Temuan penting dari penelitian World Bank (2006) ini adalah bahwa inovasi di era penerapan desentralisasi menunjukkan bahwa desentralisasi dan kepemimpinan lokal merupakan faktor kunci dalam penyediaan pelayanan publik yang inovatif. Sebagian besar dari inovasi yang dipelajari pada studi kasus tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan perundangan nasional dan kebijakan yang mengalihkan kewenangan ke tingkat daerah. Beralihnya kewenangan

terutama

di

bidang

keuangan

dan

administrasi,

telah

memungkinkan pemimpin daerah untuk mendanai reformasi internal tanpa bantuan donor. Kewenangan kabupaten yang lebih besar juga kemudian mendorong para politisi di tingkat daerah, masyarakat umum, dan lembaga donor, untuk menjadi lebih tertarik kepada isu good governance. Namun, ternyata dampak positif inovasi-inovasi tersebut terancam ketika hukum dan

7

peraturan daerah yang menyokong inovasi tersebut masih terindikasi lemah atau kurang menunjang. Di beberapa daerah otonom lain pun, praktek inovasi penyelenggaraan birokrasi pemerintahan banyak dikembangkan. Daerah otonom yang sukses seringkali menjadi rujukan bagi beberapa daerah otonom lainnya, sebagai best practices

penerapan

inovasi

pemerintahan

seperti

Provinsi

Gorontalo

(Muhammad, 2007), Kabupaten Sragen (Majalah e-Indonesia, 2007) dan Kabupaten Jembrana (Prasojo, dkk, 2004). Bagi pemerintah daerah pada umumnya, fenomena Provinsi Gorontalo, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Jembrana adalah pelajaran yang sangat bernilai, karena pada daerah-daerah tersebut, kapasitas pemerintah daerah dalam melakukan inovasi di daerahnya tampak berkorelasi positif dengan dukungan masyarakat terhadap pemerintah daerah masing-masing. Adapun bentuk dukungan masyarakat yang paling nyata adalah terpilihnya kembali pemangku jabatan Gubernur, Bupati atau Walikota untuk periode kedua dalam kepemimpinannya, dan hal ini merupakan refleksi dari kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dalam rubrik Kompasiana, tanggal 12 Juni 2011, juga dipublikasikan kisah sukses sejumlah Kepala Daerah dalam menahkodai penyelenggaran pemerintahan di daerahnya masing-masing. Hal ini menarik, karena eksistensi kepemimpinan daerah tidak melulu soal besarnya dukungan politik dan legitimasi semata. Lebih dari itu, beberapa daerah di tanah air sukses menapaki otonomi daerah, karena memiliki Kepala Daerah yang visioner. Ini menunjukkan bahwa kreativitas dan daya inovasi para pemimpin daerah sangat menentukan. Sehingga daya kreasi dan inovasi didukung kemampuan mengelola segenap

8

potensi daerah secara optimal menjadi indikator kemajuan daerah dalam menggapai sukses meraih kesejahteraan rakyat. Merujuk pada beberapa fakta empirik yang dilansir di atas, tampak bahwa pengembangan inovasi pemerintahan daerah di banyak tempat sudah menunjukkan bukti keberhasilan yang secara umum berdampak terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Meskipun demikian pengembangan inovasi pemerintahan

daerah,

tetap

memiliki

beberapa

permasalahan

dalam

pengembangannya. Beberapa permasalahan tersebut terangkum dari berbagai pandangan pakar dan peneliti terdahulu yang diuraikan pada bagian berikut. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan inovasi pemerintahan daerah, antara lain disampaikan oleh Muhammad (2007) dalam buku yang berjudul: Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah. Menurut Muhammad (2007:396) bahwa permasalahan pengembangan inovasi pemerintahan

daerah

dapat

dilihat

dalam

perspektif

reinventing

local

government. Dalam perspektif tersebut, permasalahan pengembangan inovasi pemerintahan daerah terajut dalam delapan agenda yang perlu mendapat perhatian serius yang meliputi: pertama, persoalan leadership. Kepemimpinan harus menjadi pendorong perubahan. Pemimpin yang memiliki visi jelas akan mendorong pengikutnya untuk mewujudkan visi tersebut melalui daya kreatif dan daya inovasi yang dimilikinya. Pemimpin yang punya visi tentu tidaklah cukup tetapi dibutuhkan pula kemauan politik, karena kepemimpinan disektor publik bernuansa politik. Tampa kemauan politik yang kuat dari pimpinan pemerintahan daerah hampir mustahil suatu inovasi akan berhasil. Masalah krusial tentang kepemimpinan dalam pengembangan inovasi ini juga diungkap oleh ahli dan peneliti lain, seperti Prasojo (2006), Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010), Capuno (2010), dan Akomolafe (2011).

9

Kedua, berkaitan dengan budaya organisasi. Sebagian besar organisasi publik saat ini masih berorientasi pada budaya kelompok dan budaya hierarki, orienntasi budaya ini cenderung menghambat inovasi. Persoalan krusial tentang budaya inovasi pemerintahan daerah ini juga disampaikan oleh pakar dan peneliti seperti Mulgan dan Albury (2003), Prasojo (2006), Ajibola (2008), Said (2009), Kim (2009), Evans (2010), dan Capuno (2010). Ketiga, berkaitan dengan persoalan insentif dan reward. Para pegawai harus diberikan ruang untuk melakukan eksperimen dan mencari solusi baru untuk memenuhi tuntutan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Eksperimen yang berhasil harus diberi insentif dan reward sehingga mereka termotivasi untuk terus melakukan inovasi.. Keempat, permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas inovasi, baik kapasitas individu maupun kapasitas sistem. Kapasitas pada tingkatan individual dan organisasional adalah penting dan menjadi kunci bagaimana organisasi dan orang di dalamnya itu mengelola input kreatif dalam proses inovasi. Selain Muhammad (2007), beberapa pakar dan peneliti lain seperti Farazmand (2004), Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010), Capuno (2010), dan Supriyono (2011) juga menyatakan bahwa kapasitas inovasi menjadi problem yang serius dalam pengembangan inovasi. Kelima, persoalan inovasi yang berkaitan dengan perspektif konsumen atau orang yang dilayani. Masalah yang sering muncul pada aspek ini adalah tidak adanya informasi yang lengkap tentang apa kebutuhan users yang dipunyai oleh providers sehingga sulit untuk mendorong inovasi pelayanan publik. Keenam, permasalahan yang terkait dengan kolaborasi yang masih terbatas di sektor publik. Padahal kolaborasi dapat menjadi pendorong inovasi seperti halnya di sektor swasta yang sudah biasa melakukannya. Problem kolaborasi dalam mendukung inovasi juga dianggap krusial oleh Farazmand

10

(2004), Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010), dan Hennala (2011). Ketujuh, persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah berikutnya berhubungan dengan kurang keberanian untuk bereksperimen. Padahal ruang bereksperimen suatu ide atau kebijakan dapat memberikan petunjuk bahwa hasilnya akan baik atau buruk. Kedelapan, persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang terakhir adalah belum disadari akan pentingnya investasi inovasi. Padahal investasi inovasi ini dilakukan untuk mencari terobosan-terobosan bagaimana mengidentifikasi

masalah,

melihat

wawasan

pelanggan,

pengembangan

kapasitas, dan eksperimentasi lokal. Sementara itu, secara praktikal beberapa persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam pandangan Said (2009:7) meliputi: pertama, permasalahan utama pengembangan inovasi

pemerintah daerah dalam

prakteknya seringkali sulit memulai dari mana, oleh siapa, dan kapan inovasi dikembangkan. Inovasi birokrasi biasanya sulit dilakukan kalau tidak ada pemimpin yang progresif, berjiwa pengabdian dalam pemerintahan dan bermental inovatif. Oleh sebab itu begitu pimpinan tingkatan atas suatu birokrasi tidak memiliki jiwa inovatif, maka suatu inovasi sulit terwujud. Pimpinan tingkatan menengah tidak jarang memang memiliki inisiatif tetapi sering juga kalah dengan resistensi pimpinan yang lebih tinggi. Kedua, permasalahan yang terkait dengan rendahnya dukungan politik, dana, dan teknis. Sebagaimana banyak kritik yang datang dari masyarakat kepada birokrasi, apabila pihak eksekutif telah proaktif menjalankan perubahan dan inovasi birokrasi, tak jarang inovasi itu mandeg karena lemahnya dukungan politik dari fraksi-fraksi di DPRD. Institusi DPRD seringkali hanya mau segala sesuatunya berhasil, namun tak jarang bahwa keberhasilan itu perlu dukungan politik misalnya perlunya pengaturan dalam bentuk peraturan daerah tentang

11

program

inovasi

pada

unit-unit

tertentu,

yang

juga

didukung

dengan

penganggaran, yang disetuji oleh DPRD. Ketiga, permasalahan yang berhubungan dengan kurangnya kerjasama di antara satu pimpinan dengan pimpinan lainnya, pimpinan dengan mayarakat (stakeholders) dan warga lainnya. Seringkali karena conflict of interest, sehingga rendahnya daya serap terhadap perkembangan mutakhir dan kebutuhan masyarakat, menjadikan pimpinan di berbagai tingkatan pemerintahan hanya bersikap menjalankan sesuatu seperti biasanya dan apa adanya. Antar kompartemen dalam birokrasi sendiri terjadi saling salip, saling silap, saling saing yang kadang tidak sehat dan menjadikan organisasi birokrasi sulit untuk berinovasi secara efektif. Keempat, permasalahan inovasi pemerintahan daerah lainnya yakni kurangnya orientasi kepada keutamaan pelayanan prima. Padahal sudah banyak negara dan pemerintahan mengubah orientasi sistem pelayanan, arah komunikasi dan best practices dalam pelayanan publik. Kalau kita mengamati dengan seksama dan mengikuti gerak langkah dan apalagi kalau mau menjadi bagian dari birokrasi yang birokratis, maka seumpama kita ini manajer perusahaan multi nasional atau organisasi manajemen perbankan yang berpengalaman, kalau kita diminta jadi camat atau lurah setahun saja maka profesionalitas yang kita miliki boleh jadi menjadi birokratisme. Begitupula sebaliknya seorang birokrat jika saja diminta magang di perusahaan yang sehat, maka jiwa entreprenuer dan jiwa inovasi pasti akan tumbuh dan berkembang. Kelima, permasalahan kondisi sistem administrasi dan kepegawaian yang masih dilanda kejumudan berat yang tidak mendukung inovasi. Perlu reorintasi dengan cara antara lain merekrut pegawai-pegawai muda yang memiliki kemampuan teknis dan di rekrut secara adil yang disertai dengan usaha-usaha

12

pembentukan karakter inovatif, karena sesungguhnya ketika tugas-tugas melayani masyarakat bisa accomplished dipenuhi dengan baik, maka pada saat yang sama martabat sebagai birokrat akan meningkat pula. Pengembangan inovasi pemerintahan daerah berhadapan pula dengan persoalan legalitas yang masih berlangsung saat ini. Persoalan legalitas yang dimaksud adalah persoalan perlindungan hukum terhadap inovasi yang dilakukan oleh aparatur daerah. Secara nasional, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan pejabat publik mengambil diskresi dalam pengembangan kebijakan dan program inovatif. Ruang yang tersedia untuk mengambil diskresi bagi aparatur daerah belum diatur dengan jelas sementara tuntutan dan tekanan untuk mengambil tindakan dalam menyelesaikan masalah publik di daerah menuntut aparatur daerah untuk segera bertindak agar masalah dapat diselesaikan dengan baik. Kondisi seperti ini tentu membuat aparatur di daerah mengalami kesulitan untuk menanggapi dinamika politik dan ekonomi yang sangat tinggi sekarang ini. Mereka sering mengalami kegalauan ketika dihadapkan pada tekanan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk merespon kebutuhan publik, namun pada sisi lain mereka sadar bahwa perlindungan hukum bagi inovasi di Indonesia belum diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Di banyak negara yang memiliki sistim administrasi publik yang maju, ada banyak peraturan perundang-undangan yang memberi ruang yang memadai bagi aparatur negara termasuk yang di daerah untuk mengembangkan inovasi. Misalnya kebijakan sunset rules, rule waive, dan reinvention laboratory dibuat untuk memberi ruang bagi aparatur pemerintah untuk mengambil diskresi dalam rangka melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan

13

publik.

Seorang

aparatur

negara

yang

melakukan

inovasi

dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik akan memperoleh perlindungan hukum tertentu, sejauh tindakannya dilakukan untuk memenuhi kepentingan publik, tidak didasarkan pada kepentingan sendiri, keluarga, dan kelompok. Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering membuat para penyelenggara pemerintahan di daerah mengalami keresahan dan ketakutan untuk mengambil inisiatif dan diskresi dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Banyak penyelenggara pemerintahan yang mengambil ”sikap pasif” dan kurang ”responsif” terhadap pemenuhan kepentingan publik yang berkaitan dengan jabatannya. Mereka seringkali menjadi takut dan ragu dalam mengambil terobosan tertentu. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan kreativitas, semangat inovasi (spirit of innovation) dan keberanian mengambil terobosan-terobosan demi kepentingan publik. Keterpaduan pengembangan inovasi daerah secara nasional juga masih menjadi masalah tersendiri. Seperti disinyalir oleh Taufik (2007:9) yang berpendapat bahwa persoalan kebijakan pengembangan inovasi (policy innovation) yang dihadapi secara nasional adalah berkaitan dengan terbatasnya pemahaman pembuatan kebijakan (policy making) dari para pemangku kepentingan tentang sistem inovasi. Belum ada keterpaduan pengembangan sistem inovasi dalam pembangunan. Kebijakan inovasi yang esensinya membutuhkan koherensi kebijakan sektoral, kebijakan nasional-daerah, dan governance sistem inovasi tidak akan dapat efektif jika kebijakan berbagai sektor pembangunan dan pelayanan masih bersifat parsial, terfragmentasi, tidak konsisten dan bahkan bertentangan satu sama lainnya.

14

Persoalan lain yang ditemukan oleh peneliti terdahulu, antara lain dari Orange, et al (2007) yang mensinyalir bahwa inovasi pemerintahan daerah seringkali melupakan adanya faktor nilai-nilai sosial (social values) yang perlu diperhatikan. Nilai-nilai sosial dimaksud meliputi dimensi orang, dimensi proses, dan dimensi teknologi dalam pengembangan inovasi. Ketiga nilai sosial tersebut haruslah menjadi koheren, sebab jika tidak demikian, inovasi akan menemui hambatan dalam pengembangannya. Persoalan nilai dalam pengembangan inovasi dikemukakan pula oleh Pekkarinen, et al (2011), yang menyatakan bahwa pengembangan inovasi di organisasi sektor publik akan berhadapan dengan terjadinya benturan antara nilai lama dan nilai baru. Benturan nilai ini tentu saja akan menimbulkan konflik bagi masing-masing penganutnya. Memperhatikan berbagai persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang meliputi banyak dimensi, tampak bahwa pengembangan inovasi pemerintahan

daerah

masih

dilanda

persoalan

yang

cukup

kompleks.

Kompleksitas persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang bersumber dari beberapa pandangan di atas, dapat diklasifikasi dalam beberapa aspek yakni: (1) lemahnya political will dan komitmen kepemimpinan yang mendorong tumbuhnya inovasi termasuk ketergantungan yang terlalu tinggi terhadap figur pemimpin tertentu; (2) budaya yang resisten terhadap inovasi (cultur of innovation) yang tercipta dalam setiap organisasi publik; (3) proses inovasi yang tidak berjalan efektif, termasuk strategi pelibatan stakeholders lain yang belum terlaksana dan benturan nilai-nilai dalam pengembangan inovasi; (4) lemahnya kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan untuk berinovasi; (5) belum adanya legalitas yang menjadi payung hukum terhadap praktek inovasi; dan (6) masalah keberlanjutan program inovasi seringkali tidak terjadi; serta (7)

15

belum terpadunya kebijakan pengembangan inovasi pemerintahan daerah dan nasional. Dalam

konteks

penelitian

ini,

memahami

arti

penting

inovasi

pemerintahan daerah dapat dilihat dari beberapa perspektif, yakni perspektif teoritik, normatik, dan empirik. Dalam perspektif teoritik atau konseptual, lebih awal ditegaskan bahwa penggunaan istilah inovasi (innovation) berbeda dengan istilah reformasi (reform). Meskipun secara maknawi istilah inovasi dan reformasi mengandung arti yang sama yakni perubahan menuju ke arah yang lebih baik, dan Caiden (1991:155) menyatakan bahwa ”reform is an innovation”, reformasi adalah suatu inovasi. Namun, dalam perkembangannya inovasi memiliki makna yang berbeda dengan reformasi. Inovasi selalu memiliki makna kebaruan (novelty). Sifat kebaruan ini mengandung dua aspek yaitu terciptanya nilai (value) yang baru dan kedua terdapat pengetahuan (knowledge) yang baru. Suatu produk, proses, atau metode organisasi dikatakan inovatif bila menimbulkan nilai yang baru. Kehadiran produk, proses atau metode tersebut memunculkan sesuatu yang lebih berharga, atau lebih valuable bagi pihak-pihak lain. Sering kali nilai itu adalah bersifat ekonomik, seperti dalam kasus inovasi di organisasi bisnis. Tetapi dalam kasus inovasi pemerintahan daerah, menurut Orange, et al., (2007) nilai sosial harus menjadi pusat perhatian penting. Arti penting pengembangan inovasi bagi organisasi sektor publik, seperti inovasi pemerintahan daerah dalam kajian ini menjadi perhatian serius dari Mulgan dan Albury (2003:2). Hal tersebut dapat disimak dalam pernyataannya seperti berikut: “Innovation should be a core activity of the public sector: it helps public services to improve performance and increase public value; respond to the

16

expectations of citizens and adapt to the needs of users; increase service efficiency and minimise costs.” Makna dari apa yang dinyatakan oleh Mulgan dan Albury di atas, bahwa inovasi seharusnya menjadi inti dari seluruh aktivitas di sektor publik. Inovasi dapat membantu meningkatkan kinerja pelayanan dan nilai-nilai publik. Inovasi berarti meningkatkan daya tanggap terhadap harapan warga dan kebutuhan para pengguna layanan. Juga inovasi dapat menumbuhkan efisiensi dan mengurangi biaya. Mulgan dan Albury (2003) juga menyebutkan beberapa alasan mengapa sektor publik harus melakukan inovasi. Beberapa alasan tersebut meliputi: (1) inovasi dilakukan untuk merespon secara lebih efektif perubahan dalam kebutuhan dan ekspektasi publik yang terus meningkat; (2) untuk memasukkan unsur biaya dan untuk meningkatkan efisiensi; (3) untuk memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk dibagian-bagian di masa lalu hanya mengalami sedikit kemajuan; (4) untuk mengkapitalisasikan penggunaan ICT secara penuh, karena hal ini telah terbukti meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan. Farazmand (2004:20) pun mengakui pentingnya inovasi sektor publik dan diungkap dalam salah satu bukunya berjudul: Sound Governance: Policy and Administrative Innovations, tentang arti penting suatu inovasi sebagai berikut: “Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as well. Without innovations, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and become a target of critism and failure. Sound governance demands continuous innovations in policy and governance processes, structures and values system. Policy innovations in governance are essential to the adaptation and adjustment to the rapidly changing environment of the world under globalization.” Berdasarkan pandangan Farazmand, dapat dipahami bahwa inovasi merupakan faktor kunci untuk sound governance. Faktor inovasi, baik inovasi

17

aspek kebijakan maupun inovasi aspek administrasi adalah pusat dari sound governance. Tanpa inovasi, pemerintahan akan terjebak dalam kerusakan dan ketidakefektifan, pemerintah akan kehilangan kemampuan untuk memerintah dan selalu menjadi sasaran dari krisis dan kegagalan. Oleh karena itu, sound governance membutuhkan inovasi yang berlangsung secara terus menerus dalam kebijakan dan proses, struktur dan sistem nilai pemerintahan. Inovasi kebijakan (policy innovations) adalah dasar beradaptasi dan menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang cepat akibat globalisasi. Menelusuri literatur kajian inovasi dalam perkembangan pemikiran administrasi publik, tampaknya konsep inovasi sudah mulai dikenal sebelum era berkembangnya paradigma new public managament. Menurut Vigoda-Gadot, et al (2005) bahwa pada dasarnya konsep inovasi sudah ada di era pemikiran classic public administration. Walaupun pemahaman inovasi di era pemikiran administrasi klasik tersebut, inovasi masih dipahami dalam pengertian yang terbatas. Inovasi hanya dimaknai sebatas mekanisme internal organisasi. Inovasi sangat didominasi oleh top menajer sehingga inovasi lebih bersifat top down dan hanya bertujuan mempertahankan kekuasaan. Selanjutnya Borins (2001b:14) mengemukakan bahwa perkembangan inovasi disektor organisasi dan manajemen publik secara global didorong oleh beberapa kondisi. Beberapa kondisi global yang dimaksud terangkum dalam lima kelompok antara lain; (1) tuntutan political system meliputi hak melalui amanat pemilihan (election), legislasi, dan tekanan dari para politisi; (2) munculnya new leadership yakni pemimpin yang membawa ide-ide dan konsep-konep baru, bisa berasal dari eksternal atau internal organisasi tersebut; (3) adanya crisis yang didefinisikan sebagai kegagalan mengantisipasi masalah publik yang terjadi saat ini dan yang mungkin terjadi di masa yang datang; (4) internal problems yakni

18

kegagalan merespon perubahan lingkungan, ketidakmampuan menuangkan permintaan publik kedalam suatu program, kendala sumberdaya, dan kegagalan dalam mengkoordinasi berbagai kebijakan; dan (5) munculnya new opportunities, seperti terciptanya berbagai jenis teknologi baru yang mempengaruhi pola hidup masyarakat. Dalam konteks ini, inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjadi obyek penelitian adalah terbatas pada inovasi yang berhubungan dengan urusan pendidikan. Jadi penelitian ini tidak akan meneliti seluruh urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom, tetapi hanya menyangkut kewenangan mengatur dan mengurus urusan pendidikan pada daerah otonom kabupaten. Di mana kewenangan tersebut di atur pada pasal 14 ayat (1) point (f), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 7 ayat (2) point (a), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara

Pemerintah,

Pemerintahan

Daerah

Provinsi,

dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah, karena pelayanan pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat dan menjadi variabel utama dalam mengukur Human Development Index (HDI) suatu negara atau daerah (Suwandi, 2010:55). Sehingga keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola urusan pendidikan juga menjadi variabel penting untuk mewujudkan hakekat dari kebijakan desentralisasi yaitu kesejahteraan rakyat di daerah. Fenomena dunia pendidikan Kabupaten Gowa yang menjadi masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah sehingga menjadi penting untuk melakukan program-program yang inovatif meliputi 3 masalah utama yakni (1) masih lemahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan pendidikan; (2)

19

masih tingginya biaya sekolah yang dirasakan oleh masyarakat; dan (3) masih rendahnya kualitas pendidikan terutama yang berhubungan dengan kualitas proses pembelajaran di sekolah-sekolah. Ketiga masalah utama di atas yakni aksesibiitas lemah, biaya pendidikan tinggi, dan kualitas pembelajaran masih rendah pada akhirnya berdampak terhadap terhadap beberapa hal yaitu pertama, tingginya angka buta aksara (ABA) Kabupaten Gowa, yakni ABA pada tahun 2005 terdapat 22%, tahun 2010 terdapat 18,09%, dan tahun 2013 terdapat 16,39%. Sejak tahun 2005 sampai 2013 ABA Kabupaten Gowa memang menunjukkan angka yang cenderung menurun tetapi daerah ini tetap selalu menjadi penyumbang terhadap tingginya ABA di Sulawesi Selatan. Kedua, indeks pendidikan dan indeks pembangunan manusis (IPM) yang masih rendah meskipun sudah ada kecenderugan peningkatan. Indeks pendidikan Kabupaten Gowa tahun 2010 hanya 69,79 dan tahun 2013 menjadi 71,78, sementara indeks pembangunan manusia (IPM) pada tahun 2005 yakni 67,42 peringkat 16. Pada tahun 2010 meningkat menjadi 70,67 peringkat 15 dan tahun 2013 yakni 72,12 peringkat 15 dari 24 kabupaten/kota di Sulsel. Dalam konteks penelitian yang telah dilakukan, perlu diterangkan bahwa Kabupaten Gowa adalah salah satu daerah otonom yang telah melakukan berbagai kebijakan dan program inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Kini di Kabupaten Gowa telah terdapat beberapa terobosan dalam bidang pendidikan yang dilakukan sepanjang lima tahun terakhir. Beberapa kebijakan dan program yang bersifat inovasi dalam pelayanan bidang pendidikan tersebut meliputi: (a) mengembangkan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) menjadi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); (b) mengembangkan kebijakan pembebasan biaya sekolah yang dikemas dalam bentuk program pendidikan

20

gratis dan wajib belajar; (c) mengembangkan program Punggawa D’Emba Education Program (PDEB); dan (d) membentuk Satuan Polisi (Satgas) Pendidikan di semua jenjang pendidikan (SD, SMP dan SMA). Kebijakan dan program inovasi di bidang pendidikan yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Gowa, sebenarnya mulai dirintis sejak tahun 2006. Oleh karena dinilai berhasil dalam membangunan dan memberikan pelayanan pendidikan melalui kebijakan dan program inovasi tersebut, maka beberapa tahun berikutnya Kabupaten Gowa mendapat beberapa penghargaan dari pemerintah. Penghargaan tersebut antara lain: (1) Satya Lencana Pendidikan Tahun 2007; (2) Aksara Anugrah Pratama Tahun 2005; (3) Aksara Anugrah Madya Tahun 2006; dan (4) Aksara Anugrah Utama Tahun 2007. Selain beberapa penghargaan tersebut, pada tahun 2010 Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO) Sulsel memberi Otonomi Award kepada pemerintah Kabupaten Gowa karena dinilai sukses dalam program inovasi di bidang pendidikan. Memperhatikan kenyataan mengenai kebijakan dan inovasi program yang telah dijalankan di Kabupaten Gowa tersebut di atas, menunjukkan bahwa daerah ini telah menjalankan kewenangannya dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa dibalik keberhasilan dan berbagai penghargaan yang diterimanya, persoalan pelayanan pendidikan sudah tidak ada lagi. Fakta menunjukkan hal yang kontradiksi, yaitu bahwa ternyata tingkat buta aksara di Sulawesi Selatan ternyata masih cukup tinggi (Fajar, 10/9/2011). Dari data yang dirilis Kemendiknas pada tanggal 9 September 2011, tercatat total angka buta aksara di daerah Sulawesi Selatan mencapai 520.247 orang. Peringkat tertinggi angka buta aksara di luar pulau Jawa. Salah satu daerah menyumbang angka buta aksara terbesar adalah Kabupaten Gowa, yakni

21

sebesar 36.196 orang, selain daerah lainnya seperti Kabupaten Bone (74.841), Jeneponto (41.591) dan Bulukumba (38.355). Berdasarkan atas berbagai pandangan para ahli yang menegaskan arti penting inovasi pemerintahan daerah, hasil penelitian para peneliti terdahulu yang menunjukkan beragam permasalahan dalam praktek pengembangan inovasi pemerintahan daerah, dan adanya fakta inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa menjadi daya tarik bagi penulis untuk melakukan kajian mendalam dengan topik: Inovasi Pemerintahan Daerah (Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa).

1.2

Ruang Lingkup Penelitian Desentralisasi pada hakekatnya mengandung dua elemen pokok yang

bertalian, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang (urusan) tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum. Kedua elemen pokok desentralisasi tersebut kemudian melahirkan local government. Dalam konteks ini, local government dapat dimaknai dalam pengertian organ, fungsi dan daerah otonom. Dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah, yakni DPRD (council) dan kepala daerah (mayor), di mana rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan (elected officials). Dalam pengertian fungsi, local govenment

bermakna pemerintahan daerah yang

diselenggarakan oleh

pemerintah daerah. Sedangkan makna dalam pengertian daerah otonom yakni bahwa pembentukan daerah otonom yang secara simultan merupakan kelahiran status otonomi berdasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif masyarakat yang berada dalam wilayah tertentu (Hoessein, 2000:10 & Muluk, 2007:9).

22

Oleh karena itu, konteks penelitian inovasi pemerintahan daerah ini akan dipusatkan pada penyelenggaraan kewenangan mengatur (policy formulation function) dan mengurus (policy implementation function) urusan pendidikan yang telah dilimpahkan kepada daerah otonom. Kewenangan tersebut di atur pada pasal 14 ayat (1) point (f), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 7 ayat (2) point (a), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara

Pemerintah,

Pemerintahan

Daerah

Provinsi,

dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Lokus penelitian tentang inovasi pemerintahan daerah ini ditentukan pada daerah

otonom

Kabupaten

Gowa.

Obyek

penelitian

berada

pada

penyelenggaran kewenangan fungsi mengatur (policy formulation function) oleh DPRD dan Kepala Daerah dan kewenangan fungsi mengurus (policy implementation function) dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan Perangkat Daerah (birokrasi daerah otonom). Dalam pelaksanan fungsi mengurus mengenai urusan pendidikan ini, perangkat daerah yang terkait adalah Dinas Pendidikan dan UPT penyelenggara

urusan pendidikan

dalam

lingkup

pemerintahan Kabupaten Gowa. Penelitian ini merupakan ranah studi inovasi dalam organisasi. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana kajian inovasi dalam organisasi pemerintahan daerah akan mengacu pada pandangan Wilson (1989) tentang birokrasi

pemerintahan.

Menurut

Wilson

(1989:27-27)

bahwa

birokrasi

pemerintahan dalam perspektif organisasi dapat dianalisis dalam tiga tingkatan yaitu: (1) tingkatan operasional (operators level); (2) tingkatan manajerial (managers level); dan (3) tingkatan eksekutif (executives level). Untuk mendukung perspektif birokrasi pemerintahan menurut Wilson dalam studi inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan di Kabupaten

23

Gowa, digunakan pula pendekatan institutional arrangements dari Bromley (1989:32) yang juga membagi tiga tingkatan dalam proses kebijakan yaitu policy level, organizational level, maupun terutama pada operational level dengan pattern of interactions-nya. Pada teori Bromley tersebut, dijelaskan bahwa pada tingkat kebijakan, pernyataan-pernyataan umum tentang wujud nyata dari harapkan diformulasikan. Pada tingkat organisasional, implementasi dari harapan tersebut dicapai dengan pembentukan organisasi-organisasi dan aturan-aturan dan undang-undang yang menentukan bagaimana organisasi-organisasi tersebut bekerja, serta apa yang akan dilakukan organisasi-organisasi tersebut dalam bentuk program. Aturanaturan dan undang-undang yang menghubungkan tingkat kebijakan dan tingkat organisasional ini disebut pengaturan institusional (institutional arrangements). Selanjutnya pada tingkat operasional, unit-unit bekerja terkait langsung dengan masyarakat. Pilihan-pilihan yang ada di tingkat operasional ini ditentukan oleh pengaturan institusional di tingkat kebijakan dan di tingkat organisasional. Perilaku-perilaku di tingkat operasional (pola-pola interaksi) memberi hasil (outcome) yang akan dinilai oleh masyarakat sebagai hal yang baik atau sebaliknya (assessment). Apa yang dirasakan dan dinilai baik atau buruk oleh masyarakat akan memberikan respon melalui jalur politik dan berusaha mempengaruhi kebijakan dengan input-input dari mereka. Berdasarkan pada perspektif birokrasi pemerintahan yang dikembangkan oleh Wilson dan perspektif tingkatan proses kebijakan oleh Bromley tersebut, maka inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan baik pada tingkatan kebijakan, tingkatan manajerial, maupun inovasi pada tingkatan operasional semuanya berada dalam ruang lingkup pelaksanaan kewenangan mengatur (policy formulation) dan mengurus (policy implementation) urusan pendidikan di

24

Kabupaten Gowa. Di samping studi inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan ini dilihat dari perspektif birokrasi pemerintahan, juga akan didalami dari perspektif tipologi-tipologi dan derajat inovasi yang sedang dikembangkan. Termasuk juga sejauhmana kapasitas inovasi (innovation capacity) yang dimiliki oleh pemerintahan Kabupaten Gowa dalam mendorong terwujudnya inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan yang efektif.

1.3

Rumusan Masalah Penelitian Mengacu pada alur pemikiran latar belakang dan ruang lingkup penelitian

yang diuraikan, maka dirumuskan beberapa masalah penelitian yang bertujuan untuk mempertajam kajian dalam penelitian ini. Beberapa rumusan masalah penelitian tersebut meliputi: (1) Bagaimanakah proses pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan? (2) Bagaimanakah tipologi program inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan? (3) Bagaimanakah

kapasitas

inovasi

pemerintahan

daerah

dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan? (4) Bagaimanakah model empirik (existing model) dan model rekomendasi (recommended model) inovasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam penyelenggaraan urusan pendidikan?

1.4

Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah penelitian, maka kajian pada penelitian

ini diarahkan untuk menjawab tiga tujuan penelitian yaitu:

25

(1) Mendeskripsikan

dan

menganalisis

proses

pengembangan

inovasi

pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. (2) Mendeskripsikan dan menganalisis tipologi program inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. (3) Mendeskripsikan dan menganalisis kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. (4) Membangun model empirik (existing model) dan model rekomendasi (recommended model) inovasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam penyelenggaraan urusan pendidikan.

1.5

Signifikansi dan Manfaat Penelitian Pada awalnya kajian inovasi hanya populer di kalangan organisasi sektor

bisnis. Namun seiring merebaknya paradigma new public management yang banyak mengadopsi nilai-nilai sektor bisnis, maka konsep inovasi ini pun menjadi salah satu alternatif (new solutions) dan strategi baru dalam menghadapi kompleksitas persoalan masyarakat. Kehadiran inovasi dalam organisasi sektor publik dianggap mampu mengatasi segala keterbatasan yang terdapat pada organisasi sektor publik terkait dengan tugas dan fungsinya dalam penyediaan public services dan public goods bagi masyarakat, baik pada level nasional maupun level lokal. Kajian tentang inovasi pada penelitian ini tentu saja memilik beberapa perbedaan dengan kajian-kajian inovasi yang sudah dilakukan oleh pihak lain. Beberapa perbedaan tersebut, antara lain: pertama, kajian inovasi pada penelitian ini dilakukan pada organisasi sektor publik, berbeda dengan kajian inovasi lainnya yang kebanyakan dilakukan pada organisasi sektor bisnis. Kedua, lokus kajian inovasi ini berada pada daerah otonom kabupaten yang

26

memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan pendidikan. Sehingga dengan demikian obyek kajian ini adalah inovasi dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Ketiga, kajian ini berusaha untuk melihat inovasi dalam birokrasi pemerintahan daerah secara terintegrasi mulai dari inovasi pada tingkatan kebijakan (eksekutif), tingkatan manajerial (organisasional), dan inovasi pada tingkatan operasional. Berbeda dengan kajian yang sudah dilaksanakan oleh pihak lain, umumnya masih bersifat parsial berkenaan dengan aspek tertentu saja. Misalnya kajian mengenai kepemimpinan yang inovatif, inovasi pada aspek pelayanan, budaya inovasi, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara akademik maupun secara pragmatis. Secara akademik, kajian ini dimaksudkan untuk meninjau penerapan konsep inovasi pada organisasi sektor publik, khususnya inovasi pada daerah otonom kabupaten dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat. Untuk itu, kajian dimaksudkan untuk mengelaborasi penerapan konsep inovasi ke dalam birokrasi pemerintahan. Di mana birokrasi pemerintahan menurut James Q. Wilson (1989) meliputi tingkatan eksekutif, tingkatan manajer, dan tingkatan operasional. Selain itu, kajian inovasi ini juga diarahkan untuk menggali jenis-jenis inovasi yang dikembangkan dan kecenderungan derajat inovasi yang sudah berlangsung, serta mengkaji kemampuan inovasi (capacity innovation) yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Melalui penggunaan metode analisis kualitatif, harapan utama dari hasil kajian ini adalah memberi pengayaan dalam pengembangan kajian ilmu administrasi publik, khususnya menyangkut isu-isu mutakhir mengenai inovasi pemerintahan daerah.

27

Manfaat pragmatis, secara umum hasil-hasil kajian ini dapat memberi kontribusi pemikiran dan bahan pertimbangan bagi daerah otonom Kabupaten Gowa dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan yang menjadi wewenangnya. Secara khusus, hasil-hasil kajian ini menjadi masukan bagi DPRD, pemerintah daerah, dan stakeholders yang terkait dalam pengembangan inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan, baik pada tingkatan kebijakan, tingkatan manajerial (organisasi), maupun pada tingkatan operasional birokrasi pemerintahan Kabupaten Gowa. Manfaat lain dari hasil penelitian ini adalah dapat menjadi referensi tambahan atau rujukan bagi peneliti-peneliti lain, terutama bagi peneliti yang berminat meneliti topik tentang inovasi pada sektor publik terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bagian pertama tinjauan pustaka ini adalah perspektif empirikal dengan menampilkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu baik yang dilakukan oleh peneliti dalam negeri maupun dilakukan peneliti dibeberapa negara lain. Kemudian bagian kedua yakni perspektif teorikal dengan menguraikan sejumlah teori dan konsep dalam kajian ilmu administrasi publik menurut berbagai perspektif, model, dan paradigma. Selanjutnya meninjau beragam pandangan mengenai teori desentralisasi, local government, birokrasi, dan teori inovasi pemerintahan daerah dalam berbagai perspektif.

2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang ditampilkan pada bagian ini bertujuan untuk membandingkan penelitian yang akan dilakukan dengan sejumlah penelitian pernah dilaksanakan oleh orang atau pihak lain. Hal-hal yang ditekankan pada penelitian terdahulu, meliputi: konsep yang digunakan; pendekatan dan metode penelitian; hasil penelitian dan relevansinya dengan penelitian yang akan dilakukan. (1)

Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan (2006), melakukan kajian inovasi pro masyarakat miskin melalui program bebas iuran sekolah sebagai bentuk inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Jembrana. Penelitiannya berjudul: Bebas Iuran Sekolah dan Jaminan Kesehatan Jembrana: Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan strategi wawancara mendalam, FGD dan kajian dokumentasi. Konsep yang digunakan meliputi inovasi program, best

29

practices, kepemimpinan, keberlanjutan, dan kesetaraan gender. Hasil kajian ini menunjukkan adanya dominasi peran bupati dalam program inovasi, karena memiliki politicall will dan commitment yang tinggi. Melibatkan organisasi lokal, program efisiensi dan efektivitas di semua sektor dan memunculkan perubahan budaya birokrasi. (2)

Fadel Muhammad (2007), meneliti disertasi tentang Signifikansi Peran Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Gorontalo, kemudian dikembangkan menjadi sebuah buku berjudul “Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah”. Fokus penelitian adalah pentingnya penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah dan pemanfaatan faktor endowment daerah. Melalui metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, penerapan konsep New Public Mamanagent, Reinventing Government, dan Entrepreneurship Government mengungkap bahwa inovasi pemerintah daerah harus berbasis penguatan kapasitas

manajemen

pemerintah

daerah.

Penguatan

kapasitas

manajemen melalui reformasi tata kelola keuangan, pengembangan organisasi matriks, penerapan mobile government, kebijakan tunjangan kinerja daerah, dan penilaian kinerja individu. Inovasi yang berkaitan dengan pemanfaatan faktor endowment daerah dan dengan lingkungan makro didorong memalui kebijakan yang memudahkan investasi. (3)

Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, dan Rana Tassabehji (2007) melakukan

studi

inovasi

pemerintahan

daerah

dalam

kaitan

pengembangan public values. Penelitian ini dituangkan dalam artikel Local Government and Social or Innovation Values. Metode penelitian ini merupakan penelitian pustaka dan dokumentasi, penelitian ini juga mengembangkan model nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar

30

tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension. Sehingga dalam mengukur nilai publik suatu inovasi pemerintahan daerah harus didasarkan pada ketiga dimensi secara terintegrasi dan holistik. (4)

M.A. Ajibola (2008), melakukan penelitian mengenai inovasi kebijakan sistem pendidikan di Nigeria. Inovasi kebijakan sistem pendidikan ini fokus pada kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan tingkat dasar. Rangkuman penelitian telah dituangkan dalam artikel berjudul: Innovation and Curriculum Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges of Practice and Implementation. Kajian penelitian mengungkap pentingnya renovasi kurikulum yang realistik dan berpusat pada anak (child-centered). Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip quality dan relevance. Prinsip quality berkaitan dengan kapasitas kurikulum dalam mendorong munculnya kepercayaan diri dan kemampuan anak didik dalam menyelesaikan masalah. Prinsip relevance berkaitan dengan model sistem kurikulum sekolah yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan global. Merekomendasikan agar pemerintah Nigeria mengembangkan kebijakan pendidikan berparadigma inter-disciplinary courses, openended systems, inter-generational and inter-professional relationships, multiculturalism and sustainability pada semua tingkatan dan satuan pendidikan.

(5)

Pan Suk Kim (2009) berjudul: Quality as a Reflection of Innovation? Quality Management in the Korean Government. Menggunakan konsep inovasi, Quality Management, Reform, dan Total Quality Management serta metode penelitian pendekatan studi pustaka. Hasil penelitian yaitu bahwa kualitas manajerial menjadi unsur utama dari inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi

31

oleh praktek di Jepang dan Amerika dan pengaruh manajemen Eropa tidak begitu nampak dalam praktek. (6)

Mark

Evans

(2010),

melakukan

kajian

tentang

kapasitas

inovasi

pemerintahan daerah terhadap delapan studi kasus yang berbeda. Hasil kajian Evans kemudian dirangkum dalam tulisan “Building the Capacity for Local Government Innovationm: Case studies from the Australian, New Zaeland, and British contexts”. Kedelapan kasus tersebut menerapkan tipologi inovasi meliputi strategic innovation, product innovation, service innovation, dan governance innovation dan derajat inovasi yang dibedakan berdasarkan tujuh perspektif yaitu place, novelty, significance, utility, effectiveness, longevity, dan transferability. Melalui metode FGD dengan manajer senior pemerintah daerah terungkap beberapa pelajaran penting bagi pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) kapasitas mengetahui adanya kesenjangan metode dan pemberian pelayanan; (b) kapasitas membangun kemitraan dengan stakeholders yang memiliki sumberdaya; (c) kapasitas bertindak dalam kerangka kebijakan legislatif dan memanfaatkan situasi politik secara tepat; (d) munculnya pemimpin yang memiliki agenda reformasi untuk inovasi; (e) dukungan dari pemimpin politik dan menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen dan unit pelayanan melalui komunikasi yang efektif; (g) keterlibatan warga lokal; dan (h) tersedianya teknologi baru yang mendukung pelaksanaan program inovasi. (7)

Joseph J. Capuno (2010), mengkaji pentingnya posisi para pemimpin daerah sebagai penggerak utama inovasi pemerintahan di daerahnya masing-masing. Hasil kajiannya dimuat dalam artikel berjudul: Leadership and Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local

32

Governments in the Philippines. Melalui metode observasi dan survei terhadap 209 program inovatif

serta FGD terhadap 48 manajer

pemerintahan daerah di Filipina dirumuskan beberapa kesimpulan, antara lain: (a) di era

desentralisasi yang sudah berlangsung 20 tahun,

pemerintah daerah berhasil melakukan inovasi dalam berbagai sektor; (b) pemimpin daerah yang masih berkuasa (incumbent mayors) menjadi pendorong utama lahirnya ide dan suksesnya pelaksanaan program inovasi di daerahnya; (c) pemimpin yang berhasil mengembangkan inovasi sangat

tergantung

pada

situasi

lingkungan

(sumber

daya

alam),

pengetahuan, pengalaman, dan insentif yang diterima; (d) jangkauan inovasi daerah yang luas dan bervariasi bermanfaat langsung pada konstituen; (e) faktor kritis lain selain faktor kepemimpinan adalah faktor kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah, aparatur yang profesional, dan pelibatan sektor swasta. (8)

Comfort Olufunke Akomolafe (2011), topik penelitian tentang manajemen inovasi dalam sistem pendidikan di Nigeria yang dituangkan dalam artikel berjudul: Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on Creating and Sustenance of Culture in Innovation. Oleh karena terdapat kebutuhan sistem pendidikan sekolah yang harus memiliki budaya dinamis dan berorientasi kedepan, maka fokus kajian pada proses penciptaan dan pengembangan budaya inovasi sekolah. Melalui metode studi literatur dan observasi langsung, Akomolafe menyimpulkan bahwa (a) pengembangan budaya inovasi sekolah adalah upaya meningkatkan kualitas sekolah dan mempertahankan produktivitas dan efisiensi yang sudah dicapai; (b) inovasi membutuhkan pembangunan tidak hanya untuk membentuk individu yang kreatif saja tetapi juga menciptakan lingkungan inovatif yang

33

berkelanjutan; (c) pemimpin di sekolah harus menciptakan budaya inovasi; dan (d) budaya inovasi di sekolah wujud sistem pendidikan yang transformatif. (9)

Lea Hennala, Satu Parjanen dan Tuomo Uotila (2011), meneliti tentang proses inovasi pelayanan publik yang melibatkan multi-aktor. Penelitiannya berjudul: Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector FrontEnd Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for Developing Well-Being Services. Menggunakan konsep inovasi, organisasi sektor publik dan stakeholders dengan constructive research approach dan kombinasi analisis kuantitatif dan kualitatif menghasilkan suatu model inovasi terbuka (the open innovation model). Model inovasi terbuka ini mengakui terutama masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari pengguna layanan yang berpotensi menghasilkan wawasan baru dan bernilai tambah terhadap proses pengembangan inovasi.

(10) Satu Pekkarinen, Tomi Tura., Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi. 2011. Berjudul: Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform. Menggunakan konsep inovasi dan reformasi sektor publik dengan metode penelitian kualitatif (studi kasus dan konten analisis). Hasil penelitiannya adalah mengungkap beragam tekanan yang mempengaruhi tingkatan inovasi dan diwujudkan sebagai benturan (clashes) dan menjadi saling bertolak belakang (controversies) antara cara berfikir yang lama dan cara yang baru. Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat (platform) bagi inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka. (11) Daniel Adetoritse Tonwe (2011), melakukan kajian terhadap institusi pemerintahan daerah. Hasil kajian ini kemudian dituangkan dalam tulisan berjudul: Conceptualizing Local Government from a Multi-Dimensional

34

Perspective. Melalui studi pustaka, dalam kajian tersebut menjelaskan bahwa pemahaman yang mendalam terhadap local government sebagai institusi harus dimaknai dari multi-dimensional perspective. Makna multidimensional perspective dari institusi local government meliputi social dimension, economic dimension, geographic dimension, legal dimension, dan administrative dimension. Berikut ini disajikan matriks ringkasan dari kajian terhadap beberap penelitian terdahulu. Pada Tabel 1 berikut ini berisi sumber penelitian, hasil penelitian, metode dan konsep yang digunakan pada setiap kajian. Pada tabel berikut ini pula dikemukakan bagaimana peta pebedaan dan persamaan dari masing-masing penelitian terdahulu jika disandingkan dengan hasil kajian yang dilakukan dalam disertasi ini. Berdasarkan hasil pemetaan tedapat beberapa persamaan yang menonjol antara lain tentang kapasitas kepemimpinan kepala daerah (bupati) yang sangat berperan penting dalam mendorong pengembangan inovasi. Selain itu, kapasitas individual aparatur juga menjadi faktor penting dalam kesuksesan pelaksanaan program-program inovasi di bidang pendidikan.

Tabel 1:

No. 1.

Matriks Persamaan dan Perbedaan Penelitian Terdahulu dan Hasil Kajian Disertasi ini

Penulis, Tahun & Judul Eko Prasojo & Teguh Kurniawan (2006), Bebas Iuran Sekolah dan JKJ: Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana.

Hasil Kajian Terdahulu

Disertasi Ini

Dominasi peran Bupati dalam program inovasi, krn memiliki political will dan commitment yang tinggi. Pelaksanaan program inovatif melibatkan organisasi lokal, program efisiensi & efektivitas di semua sektor & memunculkan perubahan budaya birokrasi. Program inovatif yang berkelanjutan.

Peran Bupati sebagai kepala pemerintahan daerah sangat dominan karena memiliki political will & komitmen tinggi, pelibatan organisasi lokal dan program inovatif yang berkelanjutan. Besarnya anggaran (APBD/APBN) yg tersedia sangat mendukung program inovasi

Persamaan

Perbedaan

Mengungkap bagaimana peran kepemimpinan (Bupati) yg memiliki polical will & komitmen tinggi dominan & strategis dlm pengembangan program inovasi.

Berbeda karena hasil penelitian ini tidak mengkaji halhal yg terkait program efisiensi, efektivitas di semua sektor. Anggaran besar (APBD/APBN) untuk program inovasi sangat berpengaruh

35

No. 2.

Penulis, Tahun & Judul Fadel Muhammad (2007) Signifikansi Peran Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemda: Studi Kasus Gorontalo

3.

Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, & Rana Tassabehji (2007) Local Government and Social or Innovation Values

4.

M.A. Ajibola (2008) Innovation and Curriculum Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges of Practice and Implementation

5.

Pan Suk Kim (2009) Quality as a Reflection of Innovation? Quality of Management in the Korean Government.

Terdahulu

Hasil Kajian Disertasi Ini

Persamaan

Perbedaan

Inovasi penguatan kapasitas manajemen pemerintahan yakni reformasi tatakelola keuangan, organisasi matriks, mobile government, TKD, penilaian kinerja individu.Inovasi relasi faktor endowment daerah dengan lingkungan makro melalui kebijakan kemudahan investasi

Upaya peningkatan kapasitas inovasi di mana tersedia kepemimpinan inovatif, kualitas timkerja (aparatur), anggaran, regulasi dan membangun relasi atau networking secara ekternal yang mendukung program inovasi dalam urusan pendidikan

Peningkatan kapasitas inovasi pemerintahan daerah baik individu/ aparatur maupun organisasi & kelembagaan (regulasi & system) dalam mendorong program inovasi

Berbeda karena hasil penelitian ini tidak mengkaji reformasi tatakelola keuang-an, penliaian kinerja individu, TKD, & program yang berkaitan investasi. Metode kuantitatif tidak dilakukan

Pengembangkan model nilai-nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension. Ketiga dimensi judi ukuran nilai publik (social values) inovasi.

Pengembangan program inovasi melalui proses politik (mengatur) & proses manajerial (mengurus). Tipologi program inovasi Punggawa D’Emba Education yg berbasis teknologi informasi (audio visual). Replikasi program inovasi tetap melihat kebutuhan nilai-nilai masyarakat lokal (local social values)

Model nilai inovasi yang didasarkan pada tiga dimensi yakni dimensi people, process & technology jadi fokus perhatian yg sama dalam mengembangkan program inovasi urusan pendidikan

Berbeda pada fokus penelitian tentang kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam pengembangan program inovasi .

Renovasi kurikulum realistik & berpusat childcentered. Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip quality (mendorong kepercayaan diri & kemampuan anak didik menyelesaikan masalah dan prinsip relevance (model sistem kurikulum sekolah fleksibel & adaptif. Paradigma interdisciplinary, openended, inter-generational and inter-professional, multiculturalism&sustainability

Tipologi program inovasi SPAS, Punggawa D’Emba Education, Pendidikan Gratis & Satgas Pendi-dikan dikembangkan utk mengurangi lemahnya aksesibilitas masyarakat, mengangkat kualitas pembelajaran yg berbasis pada anak & guru dgn metode audio visual. Porgram inovasi ini replikasi & incremental, serta adanya partisipasi masyarakat lokal (desa)

Memiliki hasil kajian yg sama fokus pada kurikulum yg berpusat pada anak, kebijakan yang menganut prinsip kualitas, model kurikulum fleksibel & adaftif, salah satunya melalui program inovasi Punggawa D’Emba Education

Berbeda pada obyek kajian di mana disertasi ini tidak hanya fokus pada level pendidikan dasar tapi juga pendidikan menengah

Kualitas manajemen sebagai refleksi dari inovasi. Kualitas manajerial adalah unsur utama inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi oleh praktek manajemen di Jepang dan Amerika.

Pengembangan program inovasi melalui proses politik (mengatur) perumusan Perda oleh KDH & DPRD dan proses manajerial (mengurus) yakni impelementasi Perda) dilaksanakan KDH & birokrasi (perangkat daerah). Proses manajrial inilah harus berkualitas dlm mengembngkn program inovasi

Pada dasarnya memiliki kesamaan hasil kajian terutama bahwa inovasi / kualitas manajerial sangat terkait dgn proses manjerial dalam implementasi kebijkan pengembangan program inovasi

Tidak hanya fokus pada proses manajerial yg berkualitas tetapi juga fokus pada kapasitas inovasi pemda. Penelitian ini kualitatif dgn studi lapangan, berbeda dgn studi pustaka yg menggunakan teknik komparasi

36

No.

Penulis, Tahun & Judul

6.

Mark Evans (2010) Building the Capacity for Local Government Innovation: Case Studies from the Australian, New Zaeland, and British Context.

7.

Joseph J. Capuno (2010) Leadership and Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local Governments in the Philippines

8.

Comfort Olufunke Akomolafe (2011) Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on Creating and Sustainance of Culture in Innovation

Hasil Kajian

Persamaan

Perbedaan

Pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dalam berinovasi melalui tersedianya: (a) kepemimpinan Bupati inovatif; (b) tim kerja (aparatur) yang berkualitas; (c) anggaran yg tersedia; (d) struktur & system yg mendukung inovasi; (e) kemampuan mengelola pengaruh eksternal (jaringan internal/eksternal) pemerintahan

Mendukung upaya pengembangan kapasitas inovasi pemda terutama berkaitan kepemimpinan inovatif, bertindak dalam kerangka legislatif & situasi politik yg tepat, dukungan dari pemimpin politik, kolaborasi lintas departemen, pelibatan warga loka & tersedianya teknologi baru

Perbedaannya terutama pada tersedianya anggaran yg besar utk program inovas; pelibatan pihak stakeholder belum maksimal. Metode yang digunakan dlm penelitian ini bukan studi pustaka tetapi studi lapangan

Hasil kajian yaitu: (a) di era desentralisasi, pemerintah daerah berhasil berinovasi; (b) pemimpin (incumbent mayors) pendorong utama ide dan sukses program inovasi; (c) pemimpin berhasil tergantung lingkungan, pengetahuan, pengalaman & insentif; (d) jangkauan inovasi luas & bermanfaat langsung konstituen; (e) faktor kritis lain, adalah kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah, aparatur profesional, & stakeholers.

Pengembangan inovasi pemerintahan daerah dlm urusan pendidikan dikaji dalam konteks kebijakan desentralisasi. Proses pengembangan program inovasi melalui proses politik (mengatur) oleh KDH & DPRD dan proses manajerial oleh KDH & perangkatnya. Tipologi inovasi direplikasi & incremental, dan bermanfaat nyata untuk jangka panjang. Kapasitas kepemimpinan & anggaran sangat dominan dlm suksesnya program inovasi

Mendukung & relevan penelitian ini, yg dilakukan kajian dlm konteks desentralisasi, pemimpin incumbent pendorong utama ide & sukses program inovasi, termasuk faktor kritis ttg kapasitas fiscal daerah, aparat birokrasi & stakeholders

Berbeda pada metode di mana penelitian ini tidak menggunakan regresi (statsitik) hanya data kualitatif yg diperoleh dari wawancara, observasi & dokumentasi

Pendidikan sekolah harus berbudaya dinamis & berorientasi kedepan, maka perlu proses: (a) upaya meningkatkan kualitas, produktivitas efisiensi; (b) butuh pembang-unan tidak hanya individu kreatif tetapi juga inovasi berkelanjutan; (c) pemimpin sekolah adalah pencipta budaya inovasi; dan (d) budaya inovasi disekolah wujud sistem pendidikan transformatif.

Pengembangan program inovasi Punggawa D’Emba Education berbasi teknologi informasi (audio visual) yang berorientasi pada penciptaan kualitas proses pembelajaran, membentuk individu/murid yang kreatif, pemimpin /guru disekolah berinovasi terkait dgn metode bekajar mengajar

Pengembangan program inovasi dalam konteks pembelajaran di sekolah-sekolah yg bertujuan meningkatkan kualitas & produktivitas, membangun inovidu / murid & guru yg kreatif dlm proses belajar mengajar.

Berbeda di mana kajian ini tidak mengkaji peran pemimpin sekolah dan pembentukan budaya inovasi di sekolah. Metode penelitian ini bukan survey tetapi studi lapangan melalui wawancara, observasi & dokumentasi

Terdahulu

Disertasi Ini

Membangun kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) tahap mengetahui kesenjangan pelayanan; (b) kemitraan stakeholders pemilik sumberdaya; (c) bertindak dalam kerangka legislatif & situasi politik yg tepat; (d) pemimpin dgm agenda reformasi utk inovasi; (e) dukungan pemimpin politik & manajemen senior; (f) melakukan kolaborasi lintas-departemen & unitunit pelayanan; (g) keterlibatan warga lokal; & (h) tersedianya teknologi yang baru.

37

No. 9.

Penulis, Tahun & Judul Lea Hennala, Satu Parjanen & Tuomo Uotila (2011) Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector Front-End Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for Developing WellBeing Services

10.

Tomi Tura, Satu Pekkarinen, Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi (2011) Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform

11.

Daniel Adetoritse Tonwe (2011) Conceptualizing Local Government from a MultiDimensional Perspective

Hasil Kajian

Persamaan

Perbedaan

Pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan didasarkan pada studi banding di daerah/Negara yg sudah sukses berinovasi. Program inovasi adalah replikasi & incremental dgn bermitra dgn pihak ketiga (mitra ahli) yang memiliki pengetahuan & skill terutama pada program Punggawa D’Emba Education.

Model pengembangan program inovasi terbuka, terutama hasil penelitian ini yg berkait dgn jaringan eksternal, pelibatan pihak ketiga (ahli) dalam pengem-bangan program inovasi Punggawa D’Emba Education

Multi-aktor pada kajian ini disebut jaringan internal & eksternal pemerintahan. Tidak menggunakan kombinasi kualitatif/kuantitatif, penelitian hanya memakai pendekatan kualitatif

Potensi konflik dalam inovasi pelayanan publik. Mengungkap beragam tekanan yg memengaruhi derajat inovasi & diwujudkan sebagai benturan (clashes) & menjadi saling bertolak belakang antara berfikir cara lama & cara baru. Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat bagi inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka.

Pengembangan inovasi pemerintahan daerah dlm urusan pendidikan lebih pada inovasi pelayanan publik berkaitan dengan pelayanan dasar. Pengembangan program inovasi urusan pendidikan tidak mengalami benturan baik konsep maupun teknis operasinya karena didasarkan pd masalah dan kebutuhan dasar masyarakat.

Mendukung konsep inovasi pelayanan publik tapi tidak fokus pada potensi konflik di mana di dalamnya, juga mendukung bagaimana beralih dari cara lama ke cara baru yg difasilitasi secara terbuka

Benturan antara nilai-nilai lama & cara berfikir lama dengan nilai baru & metode baru ditemukan. Metode penelitian ini kualitatif tetapi tidak menerapkan konten analisis.

Pemahaman local government sebagai institusi harus dimaknai dari multidimensional perspective. Makna multi-dimensional perspective dari institusi local government meliputi lima dimensi: social, economic, geographic, legal, dan administrative

Pengembangan inovasi pemerintahan daerah urusan pendidikan dilakukan melalui proses politik (mengatur) & proses manajerial / administrasi. Tipologi inovasi yakni SPAS, Punggawa D’Emba Education, Pendidikan Gratis, & Satgas Pendidikan. Kapasitas pemerintahan daerah dlm berinovasi (kepemimpinan inovatif & anggaran besar) utk program inovasi.

Melihat hasil kajian ini dapat dipahami bahwa konteks pengembangan inovasi pemerintahan daerah masih dlm kerangka local government yg dipahami dalam perspektif yang multi dimensional (social, legal & administrative)

Berbeda pada dimensi economic & geographic yang tidak dijadikan dasar analisis fokus pada penelitian ini.

Terdahulu

Disertasi Ini

Keterlibatan multi-aktor dalam proses inovasi sektor publik. Hasil kajian melahirkan model inovasi yg disebut Model Inovasi Terbuka (the open innovation model). Masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari pengguna layanan berpotensi menghasilkan wawasan baru dan bernilai tambah dalam proses pengembangan inovasi.

Sumber: Diolah dari hasil kajian penelitian terdahulu dan hasil kajian disertasi ini (2015)

38

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu sebagaimana yang ditampilkan, maka diperoleh beberapa kesimpulan penting yang dianggap relevan dengan kajian yang akan dilakukan. Beberapa kesimpulan penting dari kajian terdahulu meliputi: pertama, bahwa kajian inovasi pemerintahan daerah pada umumnya bisa dikaji dari beragam perspektif. Beragam perspektif dimaksud yang terdapat pada penelitian terdahulu yaitu (a) tipologi dan derajat inovasi; (b) nilai dan budaya inovasi; (c) kapasitas inovasi; (d) kelembagaan; (e) kepemimpinan dan dukungan politik; dan (f) pelibatan aktor selain pemerintah (swasta dan masyarakat) dalam pengembangan inovasi. Kedua, kajian inovasi penyelenggaran pemerintahan yang berkaitan dengan bidang pendidikan masih lebih ditekankan pada inovasi manajemen sekolah, inovasi proses pembelajaran, dan inovasi kurikulum. Ketiga, kajian terdahulu juga menunjukkan bahwa penelitian inovasi di sektor publik pada umumnya tidak hanya dilakukan dengan menggunakan metode analisis kuantitatif tetapi juga dapat menggunakan metode analisis kualitatif.

2.2. Teori dan Perkembangan Administrasi Publik Salah satu asumsi dasar dalam mengkaji administrasi publik adalah ”administration is a unitary process that can be studied uniformly, at the municipal administration, state administration, and federal administration”. Asumsi dasar ini ditulis oleh White (1926) dalam artikelnya yang berjudul ”Introduction to the Study of Public Administration” sebagaimana disunting oleh Shafritz, et al (2004:56). Makna yang terkandung dalam asumsi dasar tersebut adalah bahwa mempelajari disiplin ilmu administrasi publik berarti mengkaji administrasi publik sebagai satu kesatuan proses, tidak hanya pada tingkatan

39

federal dan tingkatan negara tetapi juga menyangkut administrasi pada tingkatan lokal (misalnya municipal). Dalam pandangan Shafritz & Russel (1999) dalam bukunya ”Introducing Public

Administration”

bahwa

memahami

administrasi

publik

(public

administration) tidak bisa hanya melalui satu definisi saja, karena masing-masing peminat administrasi publik memiliki perspektif yang berbeda sehingga menyimpulkan definisi yang berbeda pula. Oleh karena itu, Shafritz & Russel (1999:5-28) mengembangkan pemahaman terhadap administrasi publik dalam empat kategorisasi atau perspektif yang meliputi: (1) political perspective, (2) legal perspective, (3) managerial perspective, dan (4) occupational perspective. Keempat kategorisasi atau perspektif dari administrasi publik tersebut terurai yang dapata dipahami seperti pada tabel bagian berikut ini.

Tabel 2. Category of the definition of public administration No.

Category/Perspective

Definitions of Public Administration

1.

Political

As what government does?; Both direct and indirect; A phase in the public policy; Implementing the public interest; and Doing collectively that which cannot be so well done.

2.

Legal

As law in action; Regulation; The King’s largesse; and Theft.

3.

Managerial

As the executive function in government; Management specialty; Mickey mouse; Art, not science-or-Vice versa.

4.

Occupational

As an occupational category; An essay contest; Idealism in action; An academic field; and a profession.

Sumber: Shafritz & Russel (1999:5-30) Pada Tabel 2 diperlihatkan kategorisasi definisi administrasi publik yang dapat dipahami dalam empat perspektif yakni: pertama, dari perspektif politik melihat administrasi publik sebagai ”what government does” baik langsung maupun tidak langsung, suatu tahapan siklus pembuatan kebijakan publik,

40

implementasi kepentingan publik, dan sebagai kegiatan yang dilakukan secara kolektif karena tidak dapat dikerjakan secara individual. Kedua, perspektif legal (hukum), administrasi publik dipandang sebagai penerapan hukum (law in action), regulasi, kegiatan pemberian sesuatu dari penguasa atau ”raja” kepada rakyatnya (King’s Largesse), dan sebagai bentuk ”theft” yakni tindakan mengambil sebagian harta orang kaya untuk dibagikan ke yang miskin secara legal dalam bentuk UU perpajakan (tax regulation), dimana pihak-pihak yang dirugikan harus tunduk dan mentaatinya.

Tabel 3. Perspective on Public Administration

Characteristic Values

Perspective Traditional Management Economy, efficiency, effectiveness

NPM

Politics

Law

Cost-effectiveness, responsiveness to cutomers

Representation, responsiveness, accountability

Constitutional integrity, procedural due process, robust substantive rights, equel protection, equity Adjudicatory (adversary) Individual and/or member of class, reasonable person Inductive case analysis, deductive legal analysis, normative reasoning, adversary process Rights funding

Organizational structure View of individual

Ideal-typical bureaucracy Impersonal case, rational actor

Competitive, firmlike Customer

Organizational pluralism Member of group

Cognitive approach

Rational-scientific

Theory, observation, measurement, experimentation

Agreement and public opinion, debate

Budgeting

Rational (costbenefit)

Performancebased marketdriven

Decision making

Rationalcomprehensive Executin

Decentralized, cost-minimizing Executin

Incremental (distribution of benefit and burdens Incremental mudding trough Legislation

Govermental function characterized by

Sumber: Rosembloom & Kravchuk (2005:37)

Precedential incrementalism Adjudication

41

Ketiga, perspektif manajerial, administrasi publik adalah fungsi eksekutif dalam pemerintahan, sebagai bentuk spesialisasi dalam manajemen (bagaimana mencapai hasil melalui orang lain), sebagai ”mikey mouse” simbol dari maladministrative seperti perilaku red tape, inefficiency, korupsi, kolusi, dll, sebagai seni misalnya judgement dan common sense seorang administrator kadang lebih menentukan dibanding ilmu yang dimilikinya. Keempat, perspektif okupasi atau jabatan, bahwa administrasi publik dapat dipahami sebagai bentuk profesi tertentu, gambaran tentang program atau proyek tertentu yang dibiayai dan dilaksanakan pemerintah, sebagai penerapan idealisme dimana orang-orang ingin mewujudkan impiannya, dan sebagai bidang akademik yang akan terus mempelajari seni dan ilmu manajemen untuk diterapkan di sektor publik. Kajian dan pemahaman terhadap administrasi publik dapat pula dilihat dari eksistensi model yang dikembangkan oleh para ahli administrasi publik. Dalam konteks perkembangan administrasi publik, terdapat model ”administrasi negara baru” atau ”new public administration” yang dikembangkan oleh Frederickson (1988:28) meliputi: (1) bureaucracy (classic), (2) neo-bureaucracy, (3) institution, (4) human relation, dan (5) public choice model, yang dapat disimak pada tabel berikut ini. Tabel 4. Lima Model Administrasi Negara Baru Teori & Teoritisi

Fokus Empiris (Unit Analisis)

Model Birokrasi Klasik Taylor Wilson Weber Gulick, Urwick

Organisasi Kelompok Produksi Instansi Pemerintah Biro (bureau) Kelompok Kerja

Ciri-Ciri Struktur, hirarki, pengendalian, otoritas, dikotomi, kebijakanadministrasi, rantai perintah, kesatuan perintah, rentangan pengendalian, pengangkatan atas kemampuan, sentralisasi

Nilai Yang Dimaksimumkan Efisiensi Ekonomi Efektivitas

42

Teori & Teoritisi

Fokus Empiris (Unit Analisis)

Model Neobirokrasi Simon, Cyert March, Gore

Keputusan

Positivis-logis, penelitian operasi, analisa sistem, sibernetika, ilmu manajemen, produktivitas

Rasionalitas Efisiensi Ekonomi

Model Institusi Limbloom J. Tompson

Keputusan (rasional) Keputusan (tambahan) Perilaku organisasi (sistem terbuka) Perilaku organisasi Perilaku individu dan organisasi Biro dan profesi Perbandingan perilaku organisasi (kekuasaan) Perilaku organisasi (pertukaran) Organisasi dan kebudayaan Perilaku organisasi Perilaku organisasi (organismis)

Empiris, positivis, birokrasi adalah cerminan kebudayaan, pola-pola perilaku birokrasi yang memusatkan perhatian pada kelangsungan, kompetisi, teknologi, rasionalitas, inkrementalisme, kekuasaan

Ilmu “Analisa yang netral tentang perilaku organisasi” Inkrementalisme Pluralisme Kritik

Individu dan kelompok kerja

Hubungan antar pribadi dan antar kelompok, komunikasi, sanksi, motivasi, perubahan, latihan, pembagian otoritas, kebenaran prosedur, konsensus

Kepuasan pekerja

Antibirokrasi, penerapan logika ekonomi pada masalahmasalah distribusi pelayanan publik, amat analisis, pengibaratan pasar, kontrakkontrak, kekecilan, desentralisasi, tawar-menawar

Pilihan atau kehendak warga negara Kesempatan mempergunakan pelayanan yang sama persaingan

Crozier Downs Mosher Etzioni Blau Riggs V. Thompson Selznick Model Hubungan Kemanusiaan McGregor Likert Bennis Argyris Model Pilihan Publik Ostrom Buchanan, Tullock Olson

Mitchell Froclich, Oppenheimer, Young Niskanan

Hubungan pengawas/pekerja Daya guna pengawas/pekerja Perubahan perilaku Perubahan perilaku Hubungan organisasi/klien dan distribusi barang-barang masyarakat umum Desentralisasi struktur yang tumpang tindih Sektor publik sebagai pasar Besarnya kelompok klien dan distribusi pelayanan publik Distribusi Kepemimpinan dan distribusi barang Perjanjian pelaksanaan

Sumber: Frederickson (1988:28)

Ciri-Ciri

Nilai Yang Akan Dimaksimumkan

Perkembangan pribadi Harga diri individu

43

Sementara itu Frederickson & Smith (2003) dalam bukunya yang berjudul: The Public Administration Theory Primer memperkenalkan paradigma terkait dengan teori politik birokrasi dalam kajian administrasi publik, yaitu Allison’s Paradigm of Bureaucraticy Politics. Paradigma Allison ini berangkat dari pemikiran bahwa teori politik birokrasi berusaha menjelaskan peranan dari administrasi dan birokrasi dalam pembuatan kebijakan. Kerangka ini secara khusus menolak adanya dikotomi politik-administrasi yang mendasari lahirnya teori kontrol birokrasi. Beragam studi telah menegaskan bahwa birokrasi dan para birokrat secara rutin mengalokasikan nilai-nilai dan memutuskan siapa memperoleh apa, bahwa birokrasi secara logis melakukan apa yang disebut Meier (1993) sebagai “politics of the first order”. Dengan demikian teori politik birokrasi jika diamati secara empiris (praktek) sebagaimana telah lama dikatakan oleh Waldo (1948) dalam karyanya “The Administrative State”, administrasi bukanlah aktivitas teknis semata dan netral nilai dimana dapat dipisahkan dari politik, namun administrasi adalah politik sebagaimana dikutip oleh Frederickson & Smith (2003:43). Paradigma politik birokrasi dituangkan oleh Allison (1971) dalam karyanya “Essence of Decision”, yang direvisi bersama Morton Halperin satu tahun berikutnya. Fokus dari tulisan essence of decision adalah yang menjadi usaha pertama secara serius dan komprehensif yakni membangun kerangka kerja tawar-menawar

dan

negosiasi

dalam

pengambilan

keputusan.

Melalui

pertanyaan besar tentang pemicu utama dari kebijakan demokratis yakni why do governments do what they do? In other words, how is policy made, and who determines or influence it? Allison (1971) memberikan jawaban melalui tiga model teoritisasi sebagaimana dikutip oleh Frederickson dan Smith (2003:49). Ketiga model teoritisasi Allison meliputi: pertama, model the actor rational (model

44

aktor rasional) atau Model I (the classical model). Model I ini menjelaskan bahwa keputusan pemerintah dipahami sebagai hasil dari single actor dalam membuat keputusan untuk kepentingan strategis mereka sendiri. Kedua, model yang didasari oleh paradigma proses organisasional (the organizational process paradigm) atau Model II. Model II ini mengakui bahwa terdapat berbagai aktor yang harus terlibat dalam pengambilan keputusan, dan proses pengambilan keputusan sangat terstruktur melalui standart operational procedural (SOP) yang disepakati. Ketiga, model politik birokrasi (the bureaucratic politics paradigm) atau Model III. Model politik birokrasi atau paradigma politik birokrasi Allison ini didasari oleh beberapa asumsi, antara lain: (1) Cabang eksekutif terbentuk dari bermacam-macam organisasi dan individu, yang masing-masing memiliki sasaran dan agenda yang berbeda-beda, serta aktor-aktor tersebut membawa isu-isu tertentu yang menarik perhatian dengan motivasi dan kepentingan masing-masing; (2) Tidak ada aktor dalam cabang eksekutif tersebut yang mampu bertindak sendiri-sendiri atau sepihak; (3) Keputusan akhir adalah akibat dari politik (political resultant) dengan kata lain apa yang diputuskan pemerintah adalah hasil dari proses tawar-menawar atau kompromi dari proses politik; (4) Terdapat perbedaan antara policy-making dengan pelaksanaannya. Perkembangan pemikiran administrasi publik dapat juga dipahami melalui berbagai paradigma yang dipelopori oleh para ahli administrasi publik. Misalnya Barzelay & Armajani (1992:533) mengungkapkan mengenai paradigma postbureaucratic sebagai antitesa dari paradigma bureaucratic. Pada paradigma birokrasi menekankan kepentingan publik, efisiensi, administrasi, dan kontrol, sementara paradigma post-birokratik menekankan hasil yang berguna pada masyarakat, kualitas dan nilai, produk, keterikatan terhadap norma. Jika

45

paradigma birokratik mengutamakan fungsi, otoritas dan struktur, maka paradigma post-birokratik menekankan pada misi, pelayanan dan hasil akhir (outcome). Bila paradigma birokratik menilai biaya, menekankan tanggungjawab (reponsibility), maka paradigma post-birokratik menekankan pemberian nilai (bagi masyarakat), membangun akutabilitas dan memperkuat hubungan kerja.

Tabel 5. Perbandingan Paradigma Bureaucratic dan Post-Bureaucratic Bureaucratic Paradigm

Post-Bureaucratic Paradigm

Public interest

Results citizens value

Efficiency

Quality and value

Administration

Product

Control

Winning adherence to norms

Specify functions, authority, and structure

Identify mission, services, customers, and outcomes

Justify costs

Deliver value

Enforce responsibility

Building accountability Strengthen working relationship

Follow rules and procedures

Understand and apply norms Identify and solve problems Continuously improve processes

Operate administrative systems

Separate service from control Built support for norms Expand customers choice Encourage collective action Provide incentives Measure and analysis results Enrich feedback

Sumber: Barzelay & Armajani (1992:538)

Jika paradigma birokratik mengutamakan ketaatan pada aturan dan prosedur, maka paradigma post-birokratik menekankan pemahaman dan penerapan norma-norma, identifikasi dan pemecahan masalah, serta proses perbaikan yang berkesinambungan. Terakhir, apabila paradigma birokratik mengutamakan beroperasinya sistem-sistem administrasi, maka paradigma postbirokratik

menekankan

pemisahan

antara

pelayanan

dengan

kontrol,

46

membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis hasil, dan memperkaya umpan balik. Pandangan Denhardt dan Denhardt (2003) dalam bukunya ”The New Public Services: Serving Not Steering” mengungkapkan bahwa terdapat tiga paradigma atau

perspektif dalam memahami pemikiran administrasi publik.

Ketiga perspektif yang dimaksud yakni old public administration, new public management, dan new public services. Demikian halnya Bovaird dan Loffler (2003), juga mengemukakan pandangan yang mirip dengan padangan Denhardt dan Denhardt tersebut. Oleh Bovaird dan Loffler (2003) menyimpulkan bahwa public administration, public management, dan public governance adalah tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian-kajian administrasi publik. Menurut Denhard dan Denhard (2003) bahwa perspektif awal adalah old public administration merupakan perspektif klasik yang berkembang sejak munculnya tulisan Wilson (1887) yang berjudul “the study of administration”. Perspektif klasik atau tradisional tersebut bisa dilihat dalam Saleh & Muluk (2006:231), yang mengemukakan adanya beberapa pakar yang termasuk proponen pandangan dalam tradisional ini. Di mana pada prinsipnya terdapat dua gagasan utama perspektif ini, yakni (1) menyangkut pemisahan politik dan administrasi, dan (2) administrasi publik seharusnya berusaha sekeras mungkin untuk mencapai efisiensi dalam pelaksanaan tugasnya. Efisiensi ini dapat dicapai melalui struktur organisasi yang terpadu dan bersifat hierarkis. Gagasan ini terus berkembang melalui para pakar seperti (Taylor, 1923) dengan “scientific management”, White (1926) dan (Willoughby,1927) yang mengembangkan struktur organisasi yang sangat efisien, dan terakhir adalah pandangan (Gullick & Urwick, 1937) yang sangat terkenal dengan akronimnya POSDCORB

47

Dengan mengacu pada dua gagasan utama tersebut, perspektif ini menaruh perhatian pada fokus pemerintahan pada penyediaan layanan secara langsung kepada masyarakat melalui badan-badan publik. Perspektif ini berpandangan bahwa organisasi publik beroperasi paling efisien sebagai suatu sistem tertutup sehingga keterlibatan warga negara dalam pemerintahan dibatasi. Perspektif ini berpandangan pula bahwa peran utama administrator publik dibatasi dengan tegas dalam bidang perencanaan, pengorganisasian, pengelolaan

pegawai,

pengarahan,

pengkoordinasian,

pelaporan,

dan

penganggaran. Perspektif administrasi publik kedua adalah new public management, yang pada dasarnya berusaha menggunakan pendekatan sektor swasta dan bisnis ke dalam sektor publik. Perspektif new public management sering disingkat dengan NPM ini, berbasis pada teori pilihan publik (public choice theory), dukungan intelektual bagi perspektif ini berasal dari aliran kebijakan publik (public policy schools) dan gerakan manajerialis (managerialism movement). Aliran kebijakan publik dalam beberapa dekade memiliki akar yang cukup kuat dalam ilmu ekonomi, sehingga analisis kebijakan dan para ahli yang menggeluti evaluasi kebijakan terlatih dengan konsep market economics, costs and benefit, dan rational models of choice. Selanjutnya aliran ini mulai mengalihkan perhatiannya pada implementasi kebijakan, yang selanjutnya mereka sebut public management, yang sebenarnya sinonim dengan public administration (Denhardt & Denhardt 2003:12). Dukungan intelektual dari managerialism movement berakar dari pandangan bahwa keberhasilan sektor bisnis dan publik bergantung pada kualitas dan profesionalisme para manajernya. Kemudian dapat dicapai melalui produktivitas yang lebih besar, dan produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui

48

disiplin yan ditegakkan oleh para manajer yang berorientasi efisiensi dan produktivitas. Untuk memainkan peran penting ini, manajer harus diberi ”the freedom to manage” dan bahkan ”the right to manage” (Denhardt & Denhardt, 2003).

Tabel 6. Matriks Paradigma Administrasi Publik Old Public Administration

New Public Management

New Public Service

Dasar teoritis & fondasi epistimologi Rasionalitas & model perilaku manusia

Teori politik

Teori ekonomi

Teori demokrasi

Rasionalitas synoptic (administrative man)

Teknis & rasionalitas ekonomi (economic man)

Rasionalitas strategis atau rasional formal (politik, ekonomi, & organisasi)

Konsep kepentingan publik

Kepentingan publik secara politis dijelaskan & diekspresikan dalam aturan hukum Clients & constituents

Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu

Kepentingan publik adalah hasil dialog berbagai nilai

Customer

Citizen’s

Peran pemerintah Pencapaian tujuan

Rowing Badan pemerintah

Akuntabilitas

Hierarki administratif dengan jenjang yang tegas

Steering Organisasi privat & nonprofit Bekerja sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan)

Serving Koalisi antarorganisasi publik, nonprofit & privat Multiaspek akuntabilitas hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional

Diskresi

Diskresi terbatas

Diskresi diberikan secara luas

Struktur organisasi

Birokratik yang ditandai dengan otoritas top-down

Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen

Diskresi dibutuhkan tapi dibatasi & bertanggungjawab Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal & eksternal

Asumsi terhadap motivasi pegawai & administrator

Gaji & keuntungan, proteksi

Semangat entrepreneur

Aspek

Responsivitas birokrasi publik

Pelayanan publik dengan keinginan melayani masyarakat

Sumber: Denhardt dan Denhardt (2003:28)

Menurut Sumartono (2007:10), perspektif NPM dalam prakteknya, sebagai gerakan manajerialis mempunyai pengaruh besar dalam reformasi

49

administrasi publik di berbagai negara maju, seperti Selandia Baru, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Di Inggris, reformasi administrasi publik dijalankan sejak masa PM Margaret Thatcher. Di Amerika Serikat, gerakan ini mendapat dukungan dan komitmen dari Al Gore, wakil presiden Amerika Serikat pada tahun 1993, dengan konsepnya “work better and cost less” (Al Gore, 1993:22). Kemudian dipopulerkan oleh Osborne dan Gaebler (1992) melalui karyanya ”reinventing government”. Gerakan ini menyebar keseluruh dunia sehingga menjadi inspirasi utama di banyak negara dalam mereformasi administrasi publik baik

dengan

melakukan

privatisasi

gaya

Inggris

ataupun

gerakan

mewirausahakan birokrasi gaya Amerika Serikat. Perspektif NPM ini menekankan pada penggunaan mekanisme dan terminologi pasar (market based) yang memandang hubungan antara badanbadan publik (pusat dan daerah) dengan pelanggannya (masyarakat) sebagai layaknya transaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli. Warga masyarakata sebagai penerima manfaat ditempatkan sebagai costumer atau consumen. Peran manajer publik berubah karena ditantang untuk selalu menemukan caracara baru dan inovatif dalam mencapai tujuan atau menswastakan berbagai fungsi yang semula dijalankan oleh pemerintah termasuk penyediaan barang publik (public goods) dan pelayanan publik (public services). Fungsi manajer publik untuk mengarahkan bukannya mengayuh (steering not rowing), yang bermakna bahwa beban pelayanan publik tidak dijalankan sendiri tetapi sebisa mungkin didorong untuk dijalankan oleh pihak lain melalui mekanisme pasar. Dengan demikian manajer publik memusatkan perhatian pada akuntabilitas pada pelanggan dan kinerja tinggi, restrukturisasi badan-badan publik, mendefinisi ulang misi organisasi, menyederhanakan proses administrasi, dan mendesentralisasi pembuatan keputusan.

50

Pemahaman yang lebih utuh tentang perspektif NPM ini dapat dilihat dari pengalaman Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam sepuluh prinsip reinventing government, karya Osborne dan Gaebler (1992). Inti dari prinsipprinsip tersebut sebagai berikut: (1)

Catalystic government: steering rather than rowing.

Pemerintahan

entrepreneur berfungsi memisahkan pembuatan/penetapan keputusan (steering) dengan peran pemberian pelayanan (rowing). Tugas-tugas operasional harus dilakukan oleh staf pelaksana yang diberi kewenangan untuk itu dan para pimpinan yang tidak dibebani tugas-tugas operasional agar mereka dapat menjalankan tugas utamanya membuat keptusan. (2)

Community-owned

government:

empowering

rather

than

serving.

Pemeritahan entrepreneur harus bekerjasama dengan atau melalu masyarakat

yaitu

dengan

memberdayakan

masyarakat

untuk

mengendalikan lingkungan dan kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri dantidak lagi menggantungkan pemberian pelayanan kepada birokrat atau petugas profesional. (3)

Competitive government: injecting competition into service delivery. Pemerintahan

entrepreneur

di

dalam

berperan

sebagai

penyedia

pelayanan harus dilakukan secara konpetitif misalnya harus lebih murah dan lebih cepat agar pelanggan merasa puas. Monopoli pemerintah tidak lagi tepat dan hanya dengan pemberian pelayanan yang kompetitif maka pemerintahan akan lebih efisien, mendorong inovasi (innovation) dan merevitalisasi lembaga-lembaga publik. (4)

Mission-driven

government:

transforming

rule-driven

organizatitions.

Pemerintah lebih mengutamakan perwujudan misi atau tujuan daripada peran pengaturan, yang memiliki beberapa keunggulan yaitu lebih efisien,

51

lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel dan lebih bersemangat tinggi untuk mewujudkan misi dan tujuannya. (5)

Result oriented government: funding outcome, not inputs. Pemerintahan lebih berorientasi pada hasil. Semua peningkatan dan penambahan sumber-sumber harus diperhitungkan lebih matang agar hasil benar-benar dapat dicapai, tidak sekedar memboroskan sumber-sumber secara membabi buta.

(6)

Customer-driven: meeting the needs of customer, not the bureaucracy. Pemerintahan menciptakan sistem pelayanan yang ”ramah pelanggan” dan sesuai dengan sebesar mungkin keinginan pelanggan secara holistik. Sehingga pemerintah sebagai pemberi pelayanan selalu peka terhadap kebutuhan dan keinginan pengguna pelayanan.

(7)

Enterprising government: earning rather than spending. Pemerintahan didorong untuk menggunakan prinsip-prinsip kewirausahawan yang condong berusaha meningkatkan terus pendapatan yang kemudian bisa ditabung untuk menambah investasi dengan cara lebih berorintasi pada keuntungan melalui penggunaan teknik-teknik manajemen yang lebih rasional.

(8)

Anticipatory government: prevention rather than cure. Pemerintahan diharuskan lebih preventif daripada kuratif antisipatif dan proaktif daripada reaktif, berpandangan kedepan dalam proses pembuatan keptusan, mengembangkan arah dan tujuan yang lebih strategis dan dinilai sangat urgen.

(9)

Decentralized government: from hierarchy to participation and team work. Pemerintahan

lebih

mengedepankan

desentralisasi

karena

lebih

memberikan kesempatan atau pemberdayaan yang dibawah untuk

52

mengembangkan kemampuannya, meningkatkan semangat kerja, lebih mempunyai komitmen yang tinggi terhadap tugas dan organisasinya daripada pemerintahan yang sentralistik. (10) Market oriented government: leveraging change through the market. Pemerintahan entrepreneur lebih berorientasi pada pasar daripada strategi birokrasi yang bergaya komando. Sasarannya adalah menyusun dan menstruktur pasar sedemikian rupa dengan mendesain ulang peraturanperaturan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan publik. Walaupun kesepuluh prinsip pemerintahan entrepreneur tersebut telah diterapkan secara luas diberbagai negara, tetapi pandangan Islamy (2003:53) menganggap konsep tersebut mempunyai dua kelemahan besar, yaitu (1) hubungan transaksional antara penyedia pelayanan dan pengguna pelayanan di organisasi publik cenderung lebih kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi oleh pelanggan di pasar biasa atau normal; dan (2) para pelanggan di organisasi publik tidak hanya sebagai ”konsumen” tetapi mereka juga adalah warga negara yang tentu saja memiliki implikasi yang unik dalam proses transaksi tersebut. Mengacu pada sepuluh prinsip tersebut, dimana diantaranya adalah bahwa dalam perspektif new public management dianjurkan agar mengadopsi nilai kompetisi dari sektor bisnis ke dalam manajemen sektor publik. Salah satu konsep yang berbasis keunggulan berkompetisi adalah konsep inovasi, di mana konsep ini lebih akrab dibahas dan dikembangkan di sektor bisnis. Perspektif NPM, seperti halnya perspektif old public administration, tidak hanya membawa teknik administrasi baru namun juga seperangkat nilai tertentu. Masalahnya terletak pada nilai-nilai yang dikedepankan tersebut seperti efisiensi, rasionalitas, produktivitas dan bisnis karena dapat bertentangan dengan nilainilai kepentingan publik dan demokrasi. Jika pemerintahan dijalankan seperti

53

halnya bisnis dan pemerintah berperan mengarahkan tujuan pelayanan publik maka pertanyaannya adalah siapakah sebenarnya pemilik dari kepentingan publik dan pelayanan publik? Atas dasar pemikiran tersebut Denhardt dan Denhardt memberikan kritik terhadap perspektif new public management sebagaimana yang tertuang dalam kalimat “in our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the boat.” (Denhardt dan Denhardt, 2003:23). Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat maka para administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik.

Perubahan

orientasi

tentang

posisi

warga

negara,

nilai

yang

dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service. Warga negara seharusnya

ditempatkan

di

depan,

dan

penekanan

tidak

seharusnya

membedakan antara mengarahkan dan mengayuh tetapi lebih pada bagaiamana membangun institusi publik yang didasarkan pada integritas dan responsivitas. Pada intinya, perspektif baru ini merupakan “a set of idea about the role of public administration in the governance system that place public service, democratic governance, and civic engagement at the center.” (Denhardt dan denhardt, 2003:24). Pemahaman lebih jauh mengenai perspektif new public service ini dapat disimak dari tujuh dasar pengembangan pelayanan publik (Denhardt dan Denhardt, 2003:42-43), yakni: (1) Serve rather than steer. Meningkatnya peran birokrat yang dapat membantu dan mengarahkan masyarakat untuk mengartikulasikan dan saling membagi nilai daripada melakukan kontrol terhadap masyarakat.

54

Peran pemerintah bukan hanya sekedar membuat ketentuan dan kebijakan, lebih dari itu bertindak dan melakukan negosiasi, fasilitasi dan menjadi jembatan dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat (jika perlu bahkan melalui kerjasama antara sektor privat, masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat). (2)

Kepentingan publik adalah tujuan, bukan hanya sekedar produk. Administrator

publik

harus

dapat

membangun

kepentingan

publik.

Tujuannya bukan untuk menemukan solusi yang cepat melalui pilihan dan preferensi individu, tetapi lebih dari itu harus menghasilkan shared interest dan shared responsibility dalam masyarakat. (3)

Berfikir strategik dan bertindak demokratik. Kebijakan dan program akan mencapai hasil yang efektif dan bertanggung jawab apabila dilakukan melalui

usaha-usaha

kolektif

dan

proses yang

kolaboratif

antara

pemerintah dan masyarakat. (4)

Melayani masyarakat bukan pelanggan. Kepentingan publik merupakan hasil dialog tentang shared values, bukan hanya merupakan agregasi kepentingan individu. Karena itu, administrator publik bukan hanya bekerja dalam rangka memberikan pelayanan kepada pelanggan, tetapi lebih banyak berfokus pada upaya untuk membangun kepercayaan dan relasi yang kolaboratif dengan dan diantara masyarakat.

(5)

Akuntabilitas

tidaklah

sederhana.

Administrator

publik

haruslah

memberikan perhatian lebih kepada masyarakat bukan hanya sebagai pelanggan dalam sebuah pasar. Administrator publik harus berorientasi pada hukum dan konstitusi, nilai-nilai komunitas, norma-norma politik, standar profesional dan kepentingan masyarakat.

55

(6)

Menghargai masyarakat dan bukan hanya produktivitas. Organisasi publik dan jaringannya akan bekerja dalam jangka waktu yang panjang, jika ada penghargaan yang tinggi terhadap proses yang kolaboratif dan nilai kepemimpinan bersama yang didasarkan pada penghargaan kepada semua orang.

(7)

Menghargai masyarakat dan pelayanan publik yang lebih tinggi daripada kewirausahaan. Kepentingan publik dapat dikembangkan secara lebih baik oleh administrator publik dan masyarakat daripada dilakukan oleh seorang wirausaha. Karena sesungguhnya uang publik yang digunakan untuk melayani masyarakat berasal dari uang yang dipungut dari masyarakat. Pergeseran paradigma administrasi publik sebagaimana dipahami yakni

old public administration, new public management, dan new public service yang dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2003), dapat juga dipahami melalui pendapat Benington dan Hartley (2001) seperti dikutip Meehan (2003:6), bahwa pemikiran administrasi publik telah bergeser dari traditional public administration dan new public management ke model citizen-centered governance. Dimana model citizen-centered governance oleh Denhardt dan Denhardt (2003) disamakan dengan perspektif new public service dan networked governance oleh Hartley (2005) serta post-managerial avenues oleh Vigoda-Gadot (2005). Baik perspektif

citizen-centered

governance,

new

public

service,

networked

governance maupun perspektif post-managerial avenues pada prinsipnya menempatkan masyarakat sipil (citizens) sebagai penentu strategi dari kebijakan publik, serta penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan dengan mengoptimalkan jejaring (network) dan kemitraan (partnership) dengan pihak di luar pemerintah.

56

Pemahaman administrasi publik melalui citizen-centered model lebih khusus dapat dipahami melalui kajian teori governance. Menurut Stoker (1998) pemikir administrasi publik, dalam salah satu papernya yang dipublikasi oleh UNESCO berjudul ”Governance as Theory: Five Propositions” menguraikan lima proposisi dari governance sebagai sebuah teori yaitu: (1) Governance refers to a set of institutions and actors that are drawn from but also beyond governance; (2) Governance identifies the blurring of boundaries and responsibilities for tackling social and economic issues; (3) Governance identifies the power dependence involved in the relationships between institutions involved in collective action; (4) Governance is about autonomus self-governing networks of actors; (5) Governance recognizes the capacity to get things done which does not rest on the power of government to command or use its authority. It sees government as able to use new tools and techniques to steer and guide. Melalui proposisi tersebut dapat dipahami bahwa makna governance itu merujuk pada institusi dan aktor yang tidak hanya pemerintah, kaburnya batas-batas dan tanggung jawab dalam mengatasi isu sosial dan ekonomi, dan adanya ketergantungan dalam hubungan antara institusi yang terlibat dalam aksi kolektif. Governance juga berkaitan dengan self-governing yang otonom dari aktor-aktor lainnya dan memperbaiki sesuatu tidak perlu tergantung kekuasaan pemerintah melalui perintah dan kewenangannya (Stoker, 1998:18). Pandangan governance dari Stoker memiliki substansi yang relatif sama dengan pendapat Rhodes (2007:3), bahwa ciri dari governance adalah organisasi networks yang mana di dalamnya ada tuntutan pasar untuk saling

57

bertukar sumber daya sebagaimana akan dijelaskan berikut ini. Lebih lanjut diuraikan karakteristik organisasi networks dalam teori governance, antara lain: (1) Interdependensi antara organisasi. Konsep governance mencakup lingkup yang lebih luas daripada konsep government, yang meliputi aktor-aktor selain pemerintah seperti sektor swasta (private sector) dan masyarakat madani (civil society); (2) Interaksi terus-menerus antar organisasi yang terlibat dalam networks dalam rangka pertukaran sumber daya dan negosiasi dalam berbagi sumber daya; (3) Interaksi seperti halnya permainan yang diikat dalam kepercayaan dan negosiasi yang ditetapkan dan disetujui oleh masing-masing organisasi; (4) Tidak ada kewenangan yang mutlak, networks mempunyai derajat yang signifikan dengan otonomi setiap organisasi. Networks tidak bertanggung jawab langsung (accountable) kepada pemerintah (negara) mereka mengatur dirinya sendiri tetapi negara dapat mengaturnya secara tidak langsung dan tidak sepenuhnya.

2.3. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah Menurut Bank Dunia seperti yang dikutip oleh Wasistiono (2010:32) bahwa dari dua puluh negara yang menjadi mitrakerja dalam desentralisasi, Indonesia termasuk negara yang melaksanakan ”dentuman besar desentralisasi” atau ”big bang decentralization”. Dikatakan melaksanakan dentuman besar atau bahkan revolusi desentralisasi, karena melakukan transfer kewenangan dan tanggung jawab publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dengan dimensi yang sangat luas. Ini tampak dari luasnya urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh daerah otonom sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun

58

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti melalui PP No. 38 Tahun 2007

tentang

Pembagian

Urusan

Pemerintahan

antara

Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Secara teoritis dan empiris, setiap organisasi termasuk negara, selalu menganut asas sentralisasi sejak kelahirannya sampai akhir hayatnya. Namun, organisasi yang besar dan sangat rumit tidak mungkin hanya diselenggarakan dengan asas sentralisasi. Sekiranya hanya dianut asas tersebut, niscaya penyelenggaraan berbagai fungsi yang dimiliki oleh organisasi tersebut tidak sepenuhnya efektif. Oleh karena itu, diperlukan juga asas desentralisasi. Menurut Hoessein (2009: 102) kedua asas tersebut (sentralisasi dan desentralisasi) tidak dikotomis, tetapi berupa kontinuum. Organisasi yang besar dapat memilih salah satu diantara dua alternatif tersebut. Tetapi organisasi negara yang besar harus memilih alternatif yang ketiga: sentralisasi dan desentralisasi bagi organisasi negara. Sentralisasi berperan untuk menciptakan keseragaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi organisasi, sedangkan desentralisasi berperan menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan berbagai fungsi sesuai dengan keberagaman kondisi masyarakat. Selanjutnya Hoessein (2009) juga menyatakan bahwa penyelenggaraan asas desentralisasi selalu oleh asas sentralisasi. Dalam tataran organisasi negara dibedakan penyelenggara desentralisasi dalam negara kesatuan dan negara federal. Dalam negara kesatuan, desentralisasi diselenggarakan oleh pemerintah

(pusat),

sedangkan

dalam

negara

federal,

desentralisasi

diselenggarakan oleh (pemerintah) negara bagian. Mengkaji desentralisasi pada dasarnya harus dipahami bahwa tidak ada teori tunggal tentang desentralisasi. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Smith (1985:18) yang menggunakan istilah decentralization in theory dan bukan theory

59

of decentralization yang menjadi judul bab dua dalam salah satu bukunya. Bab ini lebih pada penafsiran teori-teori sosial terhadap desentralisasi, bukan membahas secara khusus mengenai teori desentralisasi. Perspektif teori-teori sosial yang dibahas oleh Smith meliputi liberal democracy theory, public choice theory (economic interpretation), dan Marxist theory. Teori demokrasi liberal (liberal democracy theory) memberikan dukungan bagi desentralisasi karena mampu mendukung demokrasi pada dua tingkatan. Pertama, memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional karena local government itu mampu menjadi sarana pendidikan politik rakyat dan memberikan pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Lebih jelasnya pendapat Hoessein yang dikutip oleh Muluk (2007:2), mengungkapkan bahwa dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangatlah erat. Kedua, konsep local government mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat (locality). Penjelasan Hoessein seperti yang dikutip oleh Muluk (2007:2), mengingatkan bahwa local government dan local autonomy tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah setempat tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis politiknya adalah lokalitas bukan bangsa. Penafsiran

teori

pilihan

publik

(public

choice

theory)

tentang

desentralisasi menunjukkan adanya dukungan ahli ekonomi. Dalam teori ini, para ahli menganggap bahwa desentralisasi merupakan media yang penting guna meningkatkan kesejahteraan pribadi. Dalam economic interpretation mengenai

60

teori pilihan publik, desentralisasi dimaknai secara instrumental atau medium penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan publik. Menurut perspektif ini, manfaat yang dapat dipetik dari local government, yaitu pertama, adanya daya tanggap publik (pemerintah daerah) terhadap preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Kedua, local government memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (demand for public goods). Desentralisasi meningkatkan unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan publik. Hal ini untuk mengatasi kesulitan dalam mengetahui preferensi masyarakat, karena adanya relasi yang rumit antara barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan kepemimpinan. Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (supply of public goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang publik diselenggarakan secara tersentralisasi. Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungan untuk memberi pelayanan. Semakin monopolistis suatu pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasarkan teori, yurisdiksi yang terfragmentasi akan memberikan kepuasan kepada konsumen daripada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi akan memberikan peluang antaryurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan kepada publik atas penyediaan barang dan layanan. Desentralisasi dalam perspektif Marxist, ditafsirkan bahwa desentralisasi mengakibatkan adanya negara pada tingkat lokal. Para pendukung perspektif ini, menempatkan desentralisasi sebagai objek dialektika hubungan antarsusunan pemerintahan dan menuduh bahwa desentralisasi tidak mampu menciptakan

61

kondisi demokratis di tingkat lokal karena terhambat oleh faktor ekonomi, politik, dan ekologi. Pandangan Marxist tampaknya masih cenderung melihat negara sebagai satu kesatuan dan tidak perlu dipisah-pisah antarwilayah geografisnya. Adapun alasan-alasan ketidakpercayaan kelompak Marxist terhadap desentralisasi, antara lain karena (1) desentralisasi akan melahirkan akumulasi modal pada tingkat lokal; (2) desentralisasi akan memengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi; (3) lembaga perwakilan dalam demokrasi lokal tetap dikuasai oleh kaum kapitalis; (4) pemerintah lokal hanya menjadi perpenjangan tangan pemerintah pusat dalam menjaga kepentingan monopoly capital; (5) adanya rintangan politik, ekonomi, dan ekologis yang menyebabkan kegagalan demokrasi lokal. Untuk itu kelima rintangan atau kelemahan desentralisasi ini, hanya dapat diatasi oleh sentralisasi yang bertujuan untuk redistribusi dan keadilan. Desentralisasi dalam konteks penataan organisasi perangkat daerah, tampaknya harus dimaknai dalam perspektif liberal democracy dan economic interpretation. Di mana dalam menata organisasi perangkat daerah harus berbasis locality. Menurut perspektif demokrasi liberal, upaya-upaya dalam mengatur kelembagaan pemerintah daerah harus didasari oleh prakarsa atas aspirasi masyarakat lokal (local choice dan local voice). Sehingga pengaturan terhadap kelembagaan pemerintah daerah tetap dalam kerangka membangun local democracy. Kemudian dalam perspektif economic interpretation, individu senantiasa berusaha meningkatkan kesejahteraan pribadinya melalui pilihan yang rasional. Olehnya itu, penataan organisasi perangkat daerah harus diarahkan dalam rangka menciptakan local government yang memiliki daya tanggap terhadap preferensi individu, memiliki kemampuan dalam memenuhi permintaan akan

62

barang dan pelayanan, dan juga diarahkan pada penciptaan local government yang mampu memberikan kepuasan yang lebih dalam menyediakan penawaran barang-barang publik dan pelayanan. Secara konseptual, desentralisasi dipandang oleh pakar administrasi publik sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Menurut Fesler dan Leemans seperti dikutip dalam Hoessein (2000:12), memaparkan bahwa tujuan-tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi merupakan nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa (national unity), pemerintahan

demokrasi

(democratic

government),

kemandirian

sebagai

penjelmaan dari otonomi, efisiensi administrasi, dan pembangunan sosial ekonomi. Tujuan tersebut biasanya tercantum dalam kebijakan nasional, peraturan perundang-undangan dan/atau pernyataan politik para elit nasional mengenai desentralisasi dan otonomi daerah. Mengingat beragamnya tujuan yang akan dicapai melalui desentralisasi, maka tiap negara kerapkali membuat skala prioritas tujuan desentralisasi. Oleh karena itu, terdapat variasi mengenai skala prioritas antarnegara dan bahkan antar kurun waktu dalam suatu negara sebagai hasil kekuatan-kekuatan yang berpengaruh. Hasil kajian lintas negara oleh Hoessein (2000:14) dijelaskan bahwa pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi di berbagai negara acapkali berpasangan dengan kesatuan bangsa, sedangkan pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada demokrasi berpasangan dengan kemandirian. Demikian hanya, Halligan dan Aulich seperti dikutip Hoessein (2000:12) mengajukan dua model pemerintahan daerah, yakni: (1) model local democracy yang menekankan pada nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai lokal (democratic and locallity values); (2) model efisiensi struktural (structural efficiency) yang

63

menekankan

pentingnya

pemberian

pelayanan

secara

efisien

kepada

masyarakat lokal (efficient distribution of services to local communities). Kedua model pemerintahan tersebut, dijelaskan oleh Hoessein (2000:13) model demokrasi yang menurutnya mempunyai sejumlah nilai, yakni: (1) Pemerintahan daerah didasarkan atas kepercayaan adanya nilai dalam penyebaran kekuasaan dan keterlibatan berbagai pengambil keputusan didaerah; (2) Pandangan mengenai kekuatan dalam keanekaragaman sebagai tanggap terhadap kemajemukan tuntutan; (3) Pemerintahan daerah bersifat lokal yang dapat memfasilitasi akses dan tanggap masyarakat setempat, karena pemerintahan tersebut dekat dengan masyarakat; (4) Penyebaran

kekuasaan

merupakan

nilai

yang

fundamental

dan

pemerintahan daerah yang terdiri atas lembaga-lembaga yang didasarkan atas pemilihan dapat mewakili penyebaran kekuasaan politik yang absah dalam masyarakat. Demikian

halnya

model

efisiensi

struktural,

Hoessein

(2000:14)

mengungkap analisisnya terhadap konsekuensi yang lebih rinci dari pemilihan skala prioritas tujuan desentralisasi pada efisiensi terhadap struktur dan proses pemerintahan daerah, yakni: (1) Terjadi kecenderungan untuk memangkas susunan daerah otonom; (2) Terjadi kecenderungan mengorbankan demokrasi dengan cara membatasi peran dan partisipasi lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai lembaga pembuat kebijakan dan lembaga kontrol; (3) Kecenderungan keengganan pusat untuk menyerahkan wewenang dan diskresi yang lebih besar kepada daerah otonom;

64

(4) Kecenderungan mengutamakan dekonsentrasi daripada desentralisasi; (5) Terjadi semacam paradoks, di satu sisi efisiensi memerlukan wilayah dari daerah otonom yang luas untuk memungkinkan tersedianya sumber daya yang lebih mendukung bagi roda pemerintahan daerah, namun pada sisi lain daerah otonom yang berwilayah luas dikhawatirkan berpotensi menjadi gerakan separatisme. Pendapat yang sejalan dengan dua model pemerintahan daerah di atas, dikemukakan oleh James Manor seperti dikutip oleh Ratnawati (2003:79). James Manor berpendapat bahwa ada dua perbedaan besar cara pandang terhadap desentralisasi,

yakni:

Pertama

cara

pandang

administratif

yang

lebih

mengedepankan persepsi ”pusat” memiliki asumsi antara lain: (1) kemajemukan ditingkat lokal menuntut pendekatan yang fleksibel terhadap wilayah yang berbeda dan desentralisasi yang demokratik dapat menfasilitasi perencanaan yang efektif dan sekaligus implementasinya ditingkat lokal; (2) desentralisasi yang demokratik merupakan saluran patronase untuk mendapatkan dukungan politik kepada rejim yang berkuasa di tingkat pusat maupun lokal; (3) untuk mencegah ketidakpuasan regional dan gerakan separatis, pemberian otonomi perlu dilakukan; (4) tanggung jawab pemberian pelayanan (sumber-sumber pendapatan) dapat dialihkan ke bawah melalui desentralisasi untuk meringankan beban pemerintah pusat. Kedua, cara pandang demokratik yang melihat kekuatan lokal sebagai positive resources untuk pencapaian tujuan bersama. Rincian cara pandang kedua ini, antara lain: (1) masyarakat grass roots yang memahami kekhususan daerahnya seharusnya memiliki kontrol nyata atas bagaimana kebijakan negara diformulasikan dan dilaksanakan; (2) dukungan kepada rejim dari grass roots paling baik digerakkan melalui mekanisme pertanggungjawaban dan pemerintah

65

seharusnya bertanggung jawab atau dekat pada masyarakat lokal; (3) kemajemukan geografis budaya dapat diakomodasi melalui desentralisasi demokratik; (4) jasa pelayanan yang dibiayai lokal lebih efektif disediakan ketika masyarakat lokal dapat mempengaruhi proses. Adapun bentuk-bentuk desentralisasi menurut Turner dan Hulme (1997:153), dapat dibedakan atas dasar pelimpahan (basis of delegation) dan sifat pelimpahan (nature of delegation) suatu kewenangan. Secara lengkap, bentuk desentralisasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7 bagian berikut ini. Tabel 7. Bentuk-Bentuk Desentralisasi versi Turner dan Hulme

Nature of Delegation

Basis for Delegation Territorial

Functional

Within formal political structures

Devolution (political decentralization, Interest group local government, democratic decentralization) Representation

Within public administrative or parastatal structures

Deconcentration (administrative Establishment of decentralization, field administration) parastatals and guangos

From state sector to private sector

Privatization of devolved functions (deregulation, contracting out, voucher schemes)

Privatization of national functions (divestiture, deregulation, economic liberalization)

Sumber: Turner & Hulme (1997:153)

Dalam perspektif Rondinelli dan Cheema (1983:13-16) menguraikan dasar pemikiran (rationale) atau alasan-alasan rasional lahirnya pilihan atas kebijakan desentralisasi, antara lain: (1)

Desentralisasi dapat mengatasi keterbatasan pemerintah pusat dalam hal menyusun dan menyesuaikan rencana serta program pembangunan

66

dengan

kebutuhan-kebutuhan

wilayah

lokal

dan

kelompok

yang

heterogen. (2)

Mampu memotong sejumlah besar red tape dan prosedur yang rumit sebagai karakteristik perencanaan dan manajemen yang terpusat dan adanya over concentration kekuasaan serta sumber-sumber di pusat.

(3)

Hubungan yang lebih dekat antara pejabat pemerintahan lokal dan masyarakat setempat, memungkinkan keduanya untuk mendapatkan informasi yang lebih baik guna memformulasi perencanaan atau program yang lebih realistik dan efektif.

(4)

Desentralisasi menjadi penetrasi politik

dan administrasi, karena

dukungan elit lokal dan masyarakat seringkali lemah terhadap rencana pembangunan nasional. (5)

Dalam pembuatan keputusan dan alokasi sumber-sumber, desentralisasi memungkinkan keterwakilan yang lebih besar dari bermacam-macam kelompok politik, agama, etnis, dan suku.

(6)

Desentralisasi

memberikan

kesempatan

kepada

pejabat-pejabat

setempat untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan manajerial dan teknis. Dengan desentralisasi juga dapat meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat tersebut untuk menangani urusan-urusan yang biasanya tidak ditangani secara baik oleh departemen pusat, seperti pemeliharaan jalan dan infrastruktur yang jauh dari ibukota negara. (7)

Efisiensi dari pemerintah pusat meningkat karena membebaskan pejabatpejabat pusat dari tugas-tugas rutin, di mana tugas-tugas tersebut bisa dilaksanakan secara lebih efektif oleh petugas lapangan atau pejabatpejabat lokal.

67

(8)

Desentralisasi memungkinkan koordinasi yang lebih efektif antara pemerintah pusat, pemerintah lokal, dan organisasi nonpemerintah (NGO) untuk lebih fleksibel, inovatif dan kreatif dalam membuat kebijakan-kebijakan dan program-program baru dengan melokalisir pada tempat-tempat tertentu.

(9)

Desentralisasi dapat melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan manajemen pembangunan secara umum, serta struktur pemerintahan yang terdesentralisasi memfasilitasi pertukaran informasi tentang kebutuhan-kebutuhan lokal.

(10) Menjadi alternatif pembuatan keputusan, karena pemerintah pusat seringkali tidak sensitif terhadap kebutuhan kelompok masyarakat miskin. (11) Menghasilkan fleksibel, inovatif dan kreatif dalam pemerintahan. Unit-unit pemerintahan

dapat

secara

leluasa

melakukan

inovasi

dan

bereksperimen dalam berbagai kebijakan dan program. (12) Desentralisasi

memungkinkan

fungsi-fungsi

manajemen

dan

perencanaan pembangunan dapat lebih efektif dilakukan oleh masyarakat lokal sendiri. (13) Desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik, karena kelompokkelompok masyarakat (stakeholders) yang berbeda-beda dapat terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan. (14) Desentralisasi dapat meningkatkan sejumlah efisiensi dalam penyediaan pelayanan dan barang publik (public goods and services). Kemudian Rondinelli dan Cheema (1983:18-25) juga mengidentifikasi adanya empat jenis desentralisasi sebagai berikut:

68

(1) Dekonsentrasi (deconsentration), yaitu penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementerian atau badan pemerintah; (2) Delegasi (delegation to semi-autonomous or parastatal organizations), yaitu transfer tanggung jawab untuk fungsi-fungsi secara rinci yang digambarkan pada organisasi-organisasi di luar struktur birokratis yang reguler dan hanya secara tidak langsung dikendalikan oleh pemerintah pusat; (3) Devolusi (devolution), yaitu pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan sub-nasional dengan aktivitas yang secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat; dan (4) Privatisasi (transfer of functions from government to non-government institutions), yaitu memberikan semua tanggung jawab atas fungsi-fungsi kepada organisasi non pemerintah (NGO) atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah. Pandangan lainnya menurut Rondinelli dan Cheema (1983:22), bahwa desentralisasi dalam bentuk yang murni (devolution) mempunyai karakteristik mendasar, sebagai berikut: (1) Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat melakukan sedikit atau tanpa kontrol langsung oleh pusat terhadap unit-unit tersebut; (2) Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui secara hukum di mana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan fungsi-fungsi publik;

69

(3) Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan sumber-sumber untuk menjalankan fungsi-fungsinya; (4) Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang memberikan pelayanan dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai pengaruh; (5) Dengan

desetralisasi

berarti

ada

hubungan

timbal

balik,

saling

menguntungkan dan hubungan yang terkoordinasikan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah (local government) menurut United Nations yang dikutip oleh Meenakshisundaram dalam Jha dan Mathur (1999:58) adalah suatu sub-devisi politik pada suatu bangsa (dalam suatu negara federal di AS), yang dibentuk atas hukum dan memiliki kewenangan penuh atas urusan lokal termasuk dalam menarik pajak dan penggunaan tenaga kerja lokal untuk tujuan tertentu dan pejabat pemerintahan ditentukan melalui pemilihan. Muthalib dan Khan (1982:2-18), menjelaskan secara komprehensif pemahaman tentang arti dari konsep local government. Dinyatakan bahwa secara konseptual local government harus dimaknai secara multi-dimensional. Makna multi-dimensional tersebut meliputi: (1) dimensi sosial (social dimension); (2) dimensi ekonomi (economic dimension); (3) dimensi geografis (geografic dimension); (4) dimensi hukum (legal dimension); (5) dimensi politik (political dimension); dan (6) dimensi administasi (administrative dimension). Terkait dengan hal tersebut, Muthalib dan Khan (1982:29-51) juga mengemukakan kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi (need for decentralised development). Kebutuhan terhadap pembangunan desentralisasi bersinggunngan dengan adanya empat fungsi yang dimilikinya, yakni (1)

70

pembangunan desentralisasi akan meningkatkan partisipasi warga lokal; (2) mempercepat pembangunan ekonomi lokal; (3) terjadinya transformasi sosial di tingkat lokal; dan (4) pembangunan desentralisasi menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Selanjutnya, menurut Meenakshisundaram seperti dikutip oleh Jha dan Mathur (1999:60) menguraikan beberapa peran pemerintahan daerah (the role of local government) yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Peran pemerintahan daerah yang dimaksud, sebagai berikut: (1) Menjadi senjata

efektif

dalam

menghadapi tekanan lokal dengan

menampung dan mengartikulasikan kepentingan lokal, menjadi media pendidikan politik bagi masyarakat yang merasakan langsung pelaksanaan fungsi pemerintahan; (2) Karena kedekatannya secara lokasi, dalam hal penyediaan pelayanan jasa dapat berlangsung lebih efisien; (3) Perencanaan dapat lebih baik karena lebih mengetahui kondisi lokalnya, dengan penggunaan tenaga lokal yang lebih efisien pula; (4) Pejabat pemerintah bertanggung jawab lebih baik karena hubungan dengan publik lebih dekat; (5) Pemerintah daerah dapat menjadi medium komunikasi efektif antara pusat dengan masyarakat lokal terkait dengan program pemerintah pusat di daerah. Pada

hakekatnya

desentralisasi

adalah

mengotonomikan

suatu

masyarakat yang berada dalam teritorial tertentu. Sesuai dengan arahan konstitusi pengotonomian tersebut dilakukan dengan menjadikan masyarakat tersebut sebagai provinsi, kabupaten dan kota. Di samping itu desentralisasi juga merupakan penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan bagi provinsi,

71

kebupaten

dan

kota.

Dalam

kerangka

hukum

selama

ini

pengertian

desentralisasi hanya menonjolkan aspek penyerahan urusan pemerintahan saja (Hoessein, 2005:66). Pada Gambar 1 diperlihatkan bahwa desentralisasi yang terjadi hanya berupa penyerahan wewenang yang menjadi kompetensi pemerintah (presiden dan para menteri). Jadi pada dasarnya desentralisasi hanya bersumber dari presiden dan para menteri. Tidak ada penyerahan wewenang dari lembagalembaga tinggi negara lain. Tidak ada yang bersumber dari institusi MA, kecuali untuk kasus provinsi Nangruh Aceh Darussalam, tidak ada penyerahan wewenang dari DPR apalagi MPR.

MPR

BPK

MK

DPR

MA

P PEMERINTAH

MENTERI

DESENTRALISASI DPRD

POLICY MAKER

ELECTED OFFICIALS

PENGATURAN

DAERAH OTONOM

KDH APPOINTED OFFICIALS

PENGAWASAN

POLICY PENGURUSAN

EXECUTIVE

Gambar 1. Jalur Penyerahan Urusan Pemerintahan Sumber: Hoessein, et al. (2005:66)

BIROKRASI DAERAH (PERANGKAT DAERAH)

72

Bahwasanya selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi. Pembagian urusan pemerintahan, berangkat dari sebuah diktum tidak mungkin urusan diselenggarakan secara 100% sentralisasi atau 100% desentralisasi dalam satu negara bangsa. Terdapat urusan pemerintahan yang sudah merupakan keniscayaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah yakni: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama. Di luar urusan-urusan pemerintahan tersebut, pada prinsipnya urusan pemerintahan terpola menjadi dua bagian yakni: (1) urusan yang dapat didesentralisasikan; dan (2) urusan pemerintahan yang tidak dapat diselenggarakan secara terdesentralisasi. Urusan pemerintahan yang dapat didesentralisasikan terbagi atas: (1) urusan yang 100% memungkinkan didesentralisasikan yang terbagi atas: (a) menurut prakarsa sendiri; dan (b) yang diwajibkan oleh peraturan perundangundangan. Keduanya atas dasar local needs; (2) urusan yang dapat didesentralisasikan masih terdapat kemungkinan dilakukan oleh pemerintah karena berbagai hal tidak memungkinkan 100 persen didesentralisasikan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan sentralisasi pada urusan seperti ini sehingga dapat dilakukan melalui (a) medebewind (tugas pembantuan); (b) sentralisasi

73

murni; dan (c) dekonsentrasi tergantung pada skala ekonomi (efisiensi), eksternalitas, lokalitas, dan catchment area. Penjelasan terhadap kriteria-kriteria dalam distribusi urusan pemerintahan yang disebutkan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, ekternalitas (spillover) yaitu siapa kena dampak, mereka yang berwenang mengurus. Pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota. Bila dampaknya bersifat regional menjadi kewenangan provinsi dan bila bersifat nasional menjadi kewenangan pusat. Kedua, akuntabilitas yaitu pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan

dengan

pertimbangan

bahwa

tingkat

pemerintahan

yang

menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung atau dekat dengan dampak atau akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin. Ketiga, efisiensi yakni otonomi daerah harus mampu menciptakan pelayanan publik yang efisien dan mencegah high cost economy. Efisiensi dicapai melalui skala ekonomis (economic of scale) pelayanan publik. Skala ekonomis dapat dicapai melalui cakupan pelayanan yang optimal. Pendekatan ini dengan pertimbangan bahwa apabila suatu urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan oleh suatu strata pemerintahan, maka strata pemerintahan itulah yang lebih tepat untuk menangani urusan pemerintahan dimaksud. Daya guna dan hasil guna dapat diukur dari proses yang lebih cepat, tepat, dan murah, serta hasil dan manfaatnya lebih besar, luas, dan banyak dengan resiko yang minimal.

74

Berkaitan dengan sistematika distribusi fungsi atau wewenang dalam rangka desentralisasi dapat dilacak dalam tulisan Conyers (1986:88-100) yang berjudul Decentralization and Development: a Framework for Analysis. dalam tulisan tersebut Conyers mengungkap beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam distribusi fungsi atau kewenangan. Pertimbangan-pertimbangan dalam distribusi fungsi atau kewenangan menurut Conyers tersebut, meliputi: (1) The functional activities over which authority is transferred; (2) The type of authority or powers which are transferred with respect of each functional activity; (3) The levels or areas to which such authority is transferred; (4) The individual, organisation or agency to which authority is transferred at each level; dan (5) The legal or administrative means by which authority is transferred. Pemahaman lebih lengkap tentang distribusi fungsi atau wewenang dapat dilihat penjelasan Muluk (2007:19) sebagaimana diuraikan berikut ini. Pertama, menyangkut aktivitas fungsional apa yang perlu di desentralisasi. Komponen ini meliputi keseluruhan fungsi, kecuali fungsi yang penting bagi kesatuan nasional, beberapa kategori fungsi, atau fungsi tunggal saja. Dalam hal ini, tampaknya distribusi fungsi yang terjadi di Indonesia menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah mengikuti cara yang pertama, yakni menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali aktivitas yang penting bagi kesatuan nasional. Fungsi atau wewenang yang dikecualikan tersebut seperti yang tertera dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 10 ayat 3, yaitu: (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisia; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama.

75

Kedua, tentang kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas atau fungsi yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori kekuasan yakni: (1) kekuasaan dalam pembuatan kebijakan yang dibagi lagi dalam kekuasaan mengatur (policy making) dan mengurus (policy executing); (2) kekuasaan keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran; dan (3) kekuasaan dalam bidang kepegawaian yang berhubungan dengan kekuasaan menentukan prasyarat, penetapan, penunjukan, pemindahan, pengawasan dan penegakan disiplin. Ketiga, menyangkut desentralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu yang mencakup tiga tingkatan, yakni: (1) pada tingkatan wilayah (regions), provinsi atau negara bagian; (2) tingkatan distrik atau kabupaten dan kota; (3) tingkatan desa atau masyarakat. Kebijakan desentraliisasi di Indonesia yang mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004, kelihatannya tidak lagi merujuk pada istilah tingkatan karena hubungan antara provinsi dan daerah lainnya kini bersifat coordinate dan independent. Keempat, terkait dengan kepada siapa distribusi fungsi diberikan, ada dua pilihan mendistribusikan kekuasaan, yakni: (1) kepada badan fungsional khusus yang biasanya menjalankan fungsi tertentu saja (specialized functional agency); dan (2) kepada badan berbasis wilayah yang menjalankan beragam fungsi (multi-purpose territorially agency). Di Indonesia kebijakan desentralisasi yang dianut mengacu pada distribusi fungsi jenis yang kedua, yaitu multi-purpose territorially agency ketika daerah menjalankan banyak fungsi dan berupa badan yang berbasis teritorial. Kelima, menyangkut cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan. Dalam hal bagaimana cara fungsi atau wewenang di desentralisasikan, terdapat dua cara yakni: (1) legislasi; dan (2) delegasi administrasi. Cara pertama yaitu

76

legislasi dibagi menjadi constitutional legislation berlaku di negara federal seperti Amerika Serikat dan ordinary legislation berlaku di negara kesatuan seperti Indonesia. Ilustrasi alur pembagian dan distribusi urusan-urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 38 Tahun 2007 dapat disimak pada Gambar 2 di bagian berikut ini.

Gambar 2. Bagan Pembagian Urusan-urusan Pemerintahan Sumber: Hoessein, et al (2005:71)

2.4. Manajemen Pemerintahan Daerah Memahami berbagai isu dalam menajemen pemerintahan daerah menjadi sangat penting dalam mengkaji lebih dalam tentang inovasi yang dipraktekkan oleh suatu pemerintahan daerah. Watson dan Hasset (2003) menyunting sebuah

77

buku berjudul Local Government Management: Current Issues and Best Practices. Dalam buku ini, Watson dan Hasset menampilkan beragam tulisan dari banyak ahli administrasi publik. Beragam tulisan tersebut diklasifikasi dalam beberapa bagian yang merupakan aspek penting yang harus dipahami dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berbagai aspek yang dimaksud meliputi: (1) hubungan antara pejabat yang dipilih (elected officials) dan pegawai profesional (professional staff); (2) manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management); (3) manajemen aparatur publik (public personnel management); (4) pemerintahan daerah yang lebih produktif dan responsif (local government more productive and responsive); dan (5) partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen involvement for participation). Bagian pertama berkaitan dengan aspek hubungan pejabat yang dipilih (elected

officials)

dan

pegawai

profesional

(proffesional

staff)

dalam

pemerintahan daerah, pada dasarnya masih kental dengan pemikiran dikotomi antara politik-administrasi (policy-administration dichotomy) lihat Watson dan Hassett (2003:1-3). Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, yang disebut sebagai elected officials adalah anggota DPRD dan Kepala Daerah dan professional staff adalah para pegawai yang diseleksi (selected staff) yang mengisi organisasi perangkat daerah (local bureaucracy). Pada bagian pertama ini terdapat beragam pandangan terhadap relasi pejabat yang dipilih dan pegawai profesional dalam pemerintahan daerah. dengan tegas menyatakan bahwa ”the manager is a politician”, karena peran utama yang dimainkannya sebagai pemimpin politik dan pemimpin masyarakat. Juga memiliki pengaruh kuat dalam masalah-masalah anggaran, keputusankeputusan aparatur, dan kemampuan menasehati badan perwakilan kota (city councils). Pandangan lain, bahwa managers tidak dapat secara total berperan

78

sebagai politician atau professional, karena mereka harus hati-hati dan secara terus menerus berada diantara dua kutub (poles of politics and expertise). Wikstrom (1979) dalam Watson dan Hassett (2003 menganggap councilmanager mayors hanya sebagai gelar-jabatan saja, perannya masih terbatasi dan seringkali hanya simbol seremonial sebagai representasi pemerintahan daerah. Untuk itu peran mayors sebagai policy leadership and direction, juga memiliki rasa tanggung jawab politik yang kuat dalam mengatasi masalahmasalah sosial dan isu-isu kontroversial yang dihadapi masyarakat. Sementara itu, Svara (1985) dalam Watson dan Hassett (2003 menyatakan bahwa konsep tradisional mengenai dikotomi politik-administrasi tidak cukup untuk menjelaskan adanya hubungan kompleks antara elected officials dan city-managers. Sehingga peran yang dimainkan oleh keduanya harus digambarkan dalam empat dimensi proses pemerintahan yakni mission, policy, administration, dan management. Meramalkan bahwa city managers kembali memiliki peran manajerial lebih kuat dan mengurangi peran kebijakan yang didasarkan pada perubahan kenyataan politik. Watson dan Hassett (2003) setelah mereviu beberapa tulisan yang terbaru menyimpulkan adanya dua dikotomi yaitu the policy-administration dichotomy dan the politics-administation dichotomy. Dalam literatur banyak dicatat peran city-managers dalam pembuatan kebijakan. Padahal peran yang sama pentingnya bagi city-managers adalah membatasi merasuknya politik tertentu dalam keputusan-keputusan manajemen pemerintahan daerah. Pelayanan city-managers sebagai gatekeeper terhadap kepala-kepala departemen/dinas yang melakukan pekerjaan atas dasar praktek profesionalisme yang baik dan tidak merespon permintaan politik dari elected officials. Terakhir dari Svara (1999) dalam Watson dan Hassett (2003) menyimpulkan bahwa city-managers harus memiliki peran sebagai penggagas

79

sekaligus pelaksananya (activist-inisiator), sementara itu elected officials lebih berperan sebagai ombudsmen, current problem solvers, dan overseers of the manager’s work. Bagian penting kedua dalam manajemen pemerintahan daerah adalah manajemen keuangan dan anggaran (budgeting and financial management). Dalam Watson dan Hassett (2003:87-89) menyatakan bahwa jika managers pemerintahan daerah tidak sukses menggunakan dan mengendalikan sumbersumber keuangan yang mereka miliki akan mengalami kegagalan. Kegagalan ini kemudian berakibat terhadap berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan berdampak negatif pada elected official terhadap siapa mereka bekerja. Untuk itulah, menjadi alasan mendasar betapa manajemen keuangan menjadi penting bagi managers pemerintahan daerah. Dinyatakan pula bahwa kemampuan pemerintahan daerah menyelesaikan misinya adalah cerminan dari kualitas manajemen anggaran dan praktek manajemen keuangan lainnya. Hal ini telah banyak diamati oleh para ahli bahwa anggaran mencerminkan nilai-nilai dan pilihan kebijakan dari publik (policy choices of the public), para politisi, dan administrator publik profesional. Bagian penting ketiga dari manajemen pemerintahan daerah menurut Watson dan Hassett (2003:185-187) adalah perubahan dalam manajemen aparatur

publik

(public

personnel

management).

Diasumsikan

bahwa

pemerintahan pada semua tingkatan mengalami perubahan besar yang dipengaruhi oleh kekuatan luar yang berlangsung secara terus menerus. Misalnya, gerakan politik anti pemerintahan yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade menimbulkan tekanan terhadap pemerintahan untuk menjadi lebih kecil dan efisien. Kemajuan teknologi telah menciptakan banyak jenis pekerjaan di sektor publik menjadi usang dan dibutuhkan sejumlah hal baru. Gerakan

80

privatisasi menyebakan beberapa fungsi di sektor publik dialihkan ke sektor swasta. Isu-isu hukum dan konstitusi merubah manajemen aparatur publik secara drastis sepanjang lebih dari tiga dekade. Berbagai pengaruh dalam manajemen aparatur publik menciptakan banyak tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintahan daerah, misalnya peluang yang sama bagi semua klas warga masyarakat dalam dunia kerja, perlindungan kecelakaan ditempat kerja, pengaruh minuman dan obat terlarang, pelecehan seksual, dan sebagainya. Menjadikan pemerintahan daerah lebih produktif dan responsif (making local government more productive and responsive) merupakan bagian penting selanjutnya dalam manajemen pemerintahan daerah. Menurut Watson dan Hassett (2003:279-281) tuntutan agar pemerintahan daerah lebih produktif dan responsif telah berlangsung lama. Warga masyarakat menolak meningkatkan pembayaran pajaknya jika secara terus menerus permintaan pelayanan yang lebih baik tidak diwujudkan oleh pemerintahan daerah. Sementara itu, pemerintah daerah menghadapi keterbatasan fiskal yang disebabkan oleh inflasi yang sangat tinggi, berkurangnya bantuan federal, dan krisis ekonomi nasional. Sehingga para pejabat lokal harus mencari pendekatan baru (new approachs) untuk meningkatkan penyediaan pelayanan, mengurangi biaya, dan persiapan dimasa yang datang. Beberapa pendekatan baru sebagai instrumen meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah di antaranya menurut White (1982) dalam artikel Watson dan Hassett (2003) adalah melalui pendekatan management by objectives. Melalui instrumen pendekatan management by objectives, White mengusulkan kepada councilors melakukan tiga hal, yakni to set long-term goals; to function effectively as group; dan to work more effectively with the administrative staff. Demikian halnya oleh Higgins (1984) menyarankan pemerintah menggunakan

81

pendekatan ”cutback management” atau ”doing more with less” melalui tiga hal yakni: mencari sumber penghasilan baru; meningkatkan produktivitas program dengan memaksimalkan sumberdaya yang tersedia (to maximize existing resources); dan secara selektif memangkas rantai layanan (across-the-board cut in services). Sementara itu, Streib (1992) memperkenalkan konsep perencanaan strategis sebagai cara efektif menghadapai lingkungan yang tidak stabil. Demikian juga fungsi-fungsi manajemen pemerintahan daerah yang meliputi leadership, human resources, management skills, dan external support mengalami disassociation sehingga seringkali berjalan tidak efektif dalam proses pembuatan keputusan. Pendekatan ”total quality management (TQM)” merupakan salah satu instrumen manajemen yang dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada konsumen dan konstituen. Setelah sukses diterapkan di organisasi sektor swasta, pendekatan TQM ini diperkenalkan pada organisasi pemerintahan di akhir tahun 1980an. Menurut West, at al (1993), seperti dikutip Watson dan Hassett (2003:280) bahwa satu di antara empat council-manager cities yang disurvei telah menerapkan teknik manajemen ini. Terdapat tiga tugas utama seorang pemimpin dalam penerapan TQM, antara lain: (1) transformational, yakni tugas pemimpin untuk ”formulating and communicating new, visionary goals” dan menanamkan dalam organisasi mengenai komitmen terhadap pelanggan atau konstituen; (2) transactional, yakni tugas pemimpin untuk membangun komitmen anggota terhadap program dan kebijakan baru, baik sukarela maupun paksaan; dan (3) representational, yakni berkaitan dengan proses mendapatkan dukungan dari stakeholders utama, misalnya anggota dari the city council dan tokoh-tokoh kunci dalam masyarakat.

82

Tawaran konsep berbeda ditemukan dalam tulisan Marlowe, at al (1994) sebagaimana dikutip oleh Watson dan Hasset (2003:281) menyatakan bahwa untuk merespon kekuatan-kekuatan perubahan dalam pemerintahan daerah dan masyarakat yang sudah bersifat nyata dan berjangka panjang, diperlukan tiga strategi yang disebut sebagai re-movement. Strategi re-movement yang dimaksud adalah gerakan reinvention, reengineering, dan restructuring. Ketiga strategi re-movement diyakini mampu mengatasi ketidaktepatan desain struktur organisasi pemerintahan daerah dalam mengatasi masalah krusial masyarakat. Pelibatan dan partisipasi warga dalam pemerintahan daerah (citizen involvement for participation). Dalam Watson dan Hassett (2003:353) disebutkan bahwa pentingnya pelibatan warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan daerah didasari oleh asumsi-asumsi paradigma democratic governance. Salah satu asumsi dasar dalam democratic governance menyatakan bahwa individuindividu yang dipilih oleh warga sebagai pejabat politik (political office), seharusnya merepresentasikan sejumlah masalah dan kepentingan dari diperintah. Mereka yang terpilih dianggap representasi karena mereka memiliki kedekatan baik secara fisik maupun emosional. Salah satu tulisan yang sangat menarik dan relevan dengan penelitian ini adalah artikel Teske dan Schneider (1994), berjudul The Bureaucratic Entrepreneur: The Case of City Managers. Dalam tulisan Teske dan Schneider (1994) seperti dikutip oleh Watson dan Hassett (2003) menyebutkan bahwa pendekatan entrepreneurial innovation dan creative leadership sering muncul sebagai tekanan dari warga municipalities untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Berkaitan dengan pendekatan entrepreneurial managers berhadapan dengan dua kondisi berbeda, yakni (1) kondisi internal (an internal world) yang terbatas pada kebutuhan manajemen local bureaucracy; dan

83

(2) kondisi eksternal (a complex external world) yang berhadapan dengan lingkungan politik, hukum, dan lingkungan ekonomi dimana suatu daerah berada. Isu-isu internal biasanya terkait dengan kemampuan managers memotivasi pegawai sektor publik untuk bekerja lebih efisien. Bagi entrepreneurial managers selalu mencari perubahan, sehingga membutuhkan pegawai yang mau mengatasi kelambanan (inertia) dan menjadi lebih produktif. Isu-isu eksternal berkaitan dengan kendala-kendala dan peluang-peluang ditengah perubahan lingkungan masyarakat. Juga terkait dengan kebutuhan managers berinteraksi dengan politisi lokal dan konstituen pendukung kebijakan yang baru. Hal menarik lainnya ditemukan dalam tulisan Berman (1997) berjudul Dealing with Cynical Citizens, yang menganjurkan agar memasukkan unsur sentimen

ketika

membahas

keterlibatan

dan

partisipasi

warga

dalam

pemerintahan daerah. Berman (1997) sebagaimana dikutip oleh Watson dan Hasset (2003:355) menyarankan supaya masalah sentimental warga juga menjadi perhatian dan diminati para akademisi dan praktisi administrasi publik, terutama dalam membentuk sikap publik. Konsep tentang sentimen warga ini dapat dipahami melalui teori yang disebut sebagai teori sinisisme (theory of cynicism). Konsep sinisisme sering ditemui dalam kajian-kajian tentang trust dan social capital. Manajemen pemerintahan daerah dapat pula dipahami dari pandangan Stewart (1995) dalam bukunya berjudul Understanding the Management of Local Government: Its Special Purposes, Conditions and Tasks. Menurut Stewart (1995) manajemen dalam pemerintahan daerah seharusnya dipahami berbeda dengan manajemen pada umumnya. Mengapa demikian, karena manajemen dalam pemerintahan daerah adalah bagian dari teori domain publik (public

84

domain theory) yang memiliki karakterisitik dari segi tujuan (purposes), kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) tertentu. Kemudian Stewart (1995) menjelaskan bahwa manajemen dalam teori domain publik ini akan menemui resiko-resiko, baik yang disadari atau tidak disadari, jika manajemen dalam domain publik menggunakan konsep-konsep yang ”tidak jelas” yang berasal dari luar teori domain publik tersebut. Namun tidak berarti bahwa manajemen dalam konteks ini tidak dapat belajar manajemen dari sektor swasta, ataupun sebaliknya. Apa yang tidak dapat dialihkan adalah model manajemen yang berkaitan dengan tujuan (purposes), kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) tertentu tersebut. Pemahaman terhadap karakteristik tertentu dari aspek tujuan (purposes), kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) dalam manajemen pemerintahan daerah tercerminkan oleh beberapa asumsi antara lain: (1) pemerintahan daerah sebagai institusi politik (political institution); (2) pemerintahan daerah selalu dilandasi oleh pilihan lokal (local choice); (3) organisasi pemerintahan daerah tidak bertujuan tunggal tapi multi-purposes, sehingga dalam inti manajemennya menganut multi-valued choice; (4) legitimasi otoritas lokal didapat melalui election, karena proses election merupakan metode rekrutmen dalam institusi kekuasaan dan proses politik yang diikuti oleh partai-partai politik. Stewart (1995) juga menjelaskan tentang adanya kondisi dan tugas-tugas tertentu yang harus dipahami dalam manajemen pemerintahan daerah. Karakteristik dari kondisi yang dimaksud bahwa pada dasarnya otoritas lokal memiliki area (wilayah), yang mana menunjukkan nama dan identitasnya, area tempat melaksanakan fungsi-fungsinya secara fokus, area memberi batasan agar tercapai efektivitas dan efisiensi. Otoritas lokal terkait dengan lingkungan eksternal, melaksanakan tugas dalam organisasi yang terbuka, sehingga

85

manajemen bersifat multi-kontak. Tugas pokok otoritas lokal adalah menjalankan kekuasaan pemerintahan publik, sehingga harus memiliki akuntabilitas, yang biasanya dinilai memalui prosedur tertentu yang disebut elections. Otoritas lokal diberi tugas dan kewajiban oleh undang-undang (statutory) dan kekuasaaan discretionary. Dalam fungsinya sebagai penyedia pelayanan publik, pemerintah daerah tidak hanya dituntut agar memenuhi prinsip ekonomis, efektif, dan efisien (3Es) tetapi prinsip equity dan equality harus pula diperhatikan.

2.5. Birokrasi Pemerintahan Daerah Memahami eksistensi birokrasi dalam pemerintahan daerah, dapat dilihat dari beragam perspektif dan pendekatan. Pemahaman terhadap eksistensi birokrasi pemerintahan daerah ini terasa penting, mengingat posisi dan peran birokrasi yang sangat vital dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Termasuk dalam mendorong penyelenggaraan pemerintahan daerah yang inovatif. Oleh karena itu, pada bagian ini disajikan beberapa pandangan dari para pemikir administrasi publik terkait dengan perspektif dan pendekatan dalam memahami birokrasi pemerintahan daerah tersebut. Selain itu, juga akan diungkapkan konsep birokrasi pemerintahan daerah yang lazim digunakan dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia yakni Perangkat Daerah. Dalam paradigma pemikiran tentang bagaimana birokrasi lahir, para ahli administrasi publik berpendapat bahwa pada umumnya terdapat dua mainstream pemikiran (Setiono, 2002:23). Kedua mainstream pemikiran tentang eksistensi birokrasi tersebut yakni pertama, birokrasi lahir sebagai alat kekuasaan. Mainstream pertama ini menyebutkan penguasa yang kuat harus dilayani oleh para pembantu (aparat) yang cerdas dan dapat dipercaya (loyal). Konsep pemikiran ini menyarankan bahwa apabila ingin kekuasaannya berjalan efektif,

86

maka harus memiliki organ aparatur yang solid, kuat, profesional, dan kokoh. Birokrasi dibentuk sebagai sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaan dan kepentingannya dalam mengatur masyarakat. Kedua, birokrasi lahir dan dibentuk karena kebutuhan masyarakat untuk dilayani. Mainstream kedua ini menyebutkan bahwa birokrasi itu ada karena memang rakyat menghendaki eksistensi mereka untuk membantu mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan bersama. Birokrasi lahir karena adanya kebutuhan lembaga (institutions) yang bertugas menyelenggarakan pelayanan publik (public services). Kebutuhan terhadap pelayanan publik yang dijalankan birokrasi, berjalan seiring dengan kebutuhan kolektif (collective needs) anggota masyarakat terhadap jenis pelayanan tertentu. Dengan demikian masyarakat perkotaan (urban society), kebutuhan kolektifnya berbeda dengan masyarakat pedesaan (rural society). Sehingga jenis-jenis organ birokrasi yang melayani masyarakat desa tentu saja berbeda dengan masyarakat perkotaan. Kedua mainstream tersebut dalam kenyataan tidaklah berjalan secara murni. Pada setiap negara pembentukan institusi-institusi birokrasi biasanya merupakan hasil perpaduan antara kebutuhan penguasa sekaligus kebutuhan masyarakat. Hanya sedikit institusi birokrasi lahir karena kebutuahn penguasa saja atau tuntutan masyarakat saja. Eksistensi birokrasi pemerintahan daerah sebagai obyek kajian, dapat pula dilihat dari perspektif teoritik mengenai birokrasi. Dalam perspektif teori birokrasi pada umumnya di awali dengan mereviu prinsip-prinsip birokrasi Max Weber (1922). Prinsip-prinsip birokrasi Weber yang identik dengan teori birokrasi klasik ini adalah salah satu teori utama yang berpengaruh terhadap semua organ birokrasi di hampir setiap negara saat ini. Gagasan-gagasan Weber mengenai

87

birokrasi rasional dianut oleh hampir sebagian besar pemerintahan, baik yang demokratis maupun otoriter. Birokrasi rasional adalah sebuah konsepsi birokrasi yang muncul atas dasar kaidah-kaidah otoritas hukum, bukan karena sebab lain, seperti otoritas tradisional ataupun otoritas kharismatik. Oleh karena itu, Weber menyusun lima kayakinan dasar agar tercipta otoritas hukum yang menjadi dasar adanya birokrasi rasional. Kelima keyakinan dasar otoritas hukum Weber seperti dikutip oleh Albrow (2004:42) adalah sebagai berikut: (1) Undang-undang (code) dapat diciptakan dan menuntut kepatuhan dari para anggota organisasi (2) Hukum adalah sistem aturan yang abstrak yang diterapkan pada kasus tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan organisasi yang ada dalam batas-batas hukum. (3) Orang yang menjalankan otoritas itu harus mentaati tatanan inpersonal (memisahkan kepentingan tugas dan pribadi). (4) Orang menaati hukum adalah karena mereka sebagai anggota organisasi bukan karena sebab lain. (5) Kepatuhan seharusnya tidak ditujukan pada individu yang memegang otoritas, tetapi kepada tatanan hukum impersonal yang telah memberikan wewenang kepada orang itu. Berdasarkan kelima konsepsi keabsahan birokrasi itu, selanjutnya Weber menyusun sebuah model birokrasi ideal yang berisi ciri-ciri khusus yaitu hirarki kewenangan yang jelas, pembagian kerja atas dasar spesialisasi fungsional, sistem pengaturan hak dan kewajiban pada pejabat, hubungan pribadi yang bersifat impersonal, dan seleksi pegawai atas dasar kompetensi teknis. Menurut Zauhar (2008), karakterisitik birokrasi legal rasional inilah yang dimaksudkan

88

untuk mencapai dan menerapkan nilai-nilai yang dianggap baik. Birokrasi yang mempunyai ciri-ciri di atas adalah birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi, karena itu dinamakan birorasionalitas dan biroefisiensi. Sedangkan yang lain, yang tidak dapat menimbulkan efisiensi alias pemborosan disebut sebagai biropatologi. Menurut Albrow (2004:59) dan Setiono (2002:46) walaupun teori birokrasi rasional Weber ini menjadi salah satu referensi utama teori birokrasi, namun beberapa bagian pemikiran tersebut mendapat kritikan yang cukup mendasar dari berbagai pihak. Terhadap berbagai kritikan atas kelemahan dalam konsep dan praktek birokrasi Weber tersebut, Zauhar (2008) mengusulkan pemikiran-pemikiran alternatif. Bahwa diperlukan organisasi di mana setiap orang bertanggung jawab atas keberhasilan keseluruhan (the whole). Untuk itu, pemisahan orang berdasar fungsi

secara apriori harus

dihapuskan.

Hubungan

antaranggota

lebih

didasarkan pada hakekat permasalahan ketimbang struktur organisasi, dan kerangka kerja lebih didasarkan pada kesepakatan terbuka ketimbang pada hirarki dan otoritas. Ini semua merupakan ciri dasar organisasi pasca-birokrasi yang memandang setiap anggota organisasi sebagai manusia yang utuh, dan karenanya dianggap lebih cocok bagi kebanyakan negara sedang berkembang. Birokrasi dapat juga dilihat dari perspektif peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan. Menurut Setiono (2002:59) bahwa peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan dapat dilihat dalam beberapa aspek, meliputi: petama, birokrasi berperan dalam proses input. Artinya birokrasi dapat berperan memberikan usulan dan pendapat (menyampaikan aspirasi) kepada lembaga legislatif (DPR dan DPRD) untuk diproses menjadi sebuah kebijakan (policy) atau peraturan (regulation). Dalam proses ini birokrasi berperan seperti interest group dan pressure group.

89

Kedua, birokrasi berperan dalam proses legislatif. Birokrasi memiliki berbagai aset informasi yang sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan pada lembaga legislatif, maka institusi birokrasi yang terkait dengan suatu rancangan keputusan biasanya dipanggil untuk memberikan pendapat sebelum kebijakan dan peraturan tersebut ditetapkan. Ketiga, birokrasi berperan sebagai interpreter (penerjemah) produk legislatif. Birokrasi melakukan penafsiran, penjabaran, dan penjelasan atas sebuah kebijakan dan peraturan yang telah ditetapkan. Peran ini sangat signifikan mempengaruhi implementasi kebijakan yang ditetapkan oleh insititusi legislatif. Birokrasi membuat tafsiran dan perincian kebijakan secara teknis, karena apa yang dihasilkan oleh institusi legislatif masih bersifat global. Keempat, peran spesifik terakhir birokrasi adalah birokrasi bertindak sebagai eksekutor dari sebuah keputusan politik. Agar keputusan politik yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif dapat berjalan efektif di tengah masyarakat, maka birokrasi bertugas mengimplementasikan keputusan-keputusan tersebut. Setelah memahami paradigma pemikiran mengenai mengapa birokrasi itu lahir, teori dan konsep awal birokrasi, peran dan fungsi spesifik birokrasi dalam sistem politik pemerintahan, maka selanjutnya disajikan teori dan konsep yang menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa birokrasi itu bekerja dalam sebuah sistem pemerintah daerah. Bagaimana peran dan fungsi birokrasi yang begitu strategis dijalankan dalam suatu sistem pemerintahan (daerah)? Jawaban atas pertanyaan ini, salah satunya dapat dimengerti dengan memahami birokrasi dari perspektif organisasi. Menurut Wilson (1989) dalam bukunya berjudul: Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It, bahwa melalui perspektif organisasi, maka birokrasi (bureaucracy) dapat dianalisis dalam tiga tingkatan. Ketiga tingkatan

90

dalam birokrasi pemerintahan tersebut, yaitu (1) tingkatan operasional (operators level); (2) tingkatan manajerial (managers level); dan (3) tingkatan eksekutif (executives level). Ketiga tingkatan birokrasi pemerintahan tersebut dijelaskan oleh Wilson (1989 :27) secara berurutan, bahwa menganalisis birokrasi pada tingkatan operasional (operators level or rank-and-file employees) adalah memahami budaya birokrasi dari sudut pandang apa tindakan dan mengapa tindakan tersebut dilakukan oleh para “operator” (street level bureaucracy). Dalam analisis ini disebutkan terdapat alasan-alasan yang melatari tindakan yang diambil oleh para pegawai pada tingkatan ini. Alasan-alasan yang melatari tindakan yang dimaksud meliputi terkait dengan tujuan formal organisasi, situasi yang dihadapi (masalah lingkungan), pengalaman yang pernah dilalui, kepercayaan individu yang dianut, harapan dari kolega, kepentingan dimana organisasi tersebut berada, dan alasan pendirian suatu organisasi. Kombinasi dari alasan (faktorfaktor) itulah yang membentuk budaya organisasi yang membedakan operator dalam melihat dan bereaksi terhadap dunia birokrasi. Budaya organisasi ini pula yang memberikan otoritas diskresi yang dimiliki oleh para operator. Analisis birokrasi pemerintahan pada tingkatan manajerial (managers level) berbeda dengan analisis pada tingkatan operasional. Pada tingkatan manajerial, para manajer bertugas untuk mengalokasikan seluruh sumber daya yang dimiliki organisasi, mengarahkan para pegawai, dan berusaha mencapai tujuan organisasi. Budaya manajerial terbentuk oleh sejauh mana mereka mengatasi

hambatan-hambatan

dalam

menjalankan

tugasnya.

Budaya

manajerial tidak dibentuk oleh keharusan dalam bertindak secara rutin sepanjang hari sebagaimana tindakan para operator. Lalu bagaimana cara para manajer mengatasi hambatan-hambatan dalam menjalankan tugasnya? Hal ini sangat

91

dipengaruhi tergantung pada jenis organisasi (production, procedural, craft, and coping organizations) di mana para manajer bekerja. Menurut Wilson (1989:28) analisis pada tingkatan eksekutif (executives level) birokrasi pemerintahan, para pejabat organisasi yang ada pada tingkatan eksekutif seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap organisasinya secara keseluruhan. Pejabat yang ada pada tingkatan eksekutif memiliki otonomi dan kewenangan untuk selalu memperhatikan jaminan terhadap posisi dan jabatan politik yang mereka miliki. Melakukan pengawasan terhadap wilayah kerjanya. Sehingga pejabat pada tingkatan eksekutif pada dasarnya memiliki tujuan ganda yakni menjaga organisasi agar tetap eksis dan selalu menjamin posisi dan jabatan yang dipegangnya. Untuk itu, pejabat eksekutif selalu mencoba dan melakukan berbagai strategi dan menganjurkan untuk melakukan inovasi. Hal menarik selain analisis birokrasi pemerintahan dalam tiga tingkatan sebagaimana diuraikan adalah adanya tipologi organisasi pemerintahan yang terbagi empat kelompok. Empat kelompok tipologi organisasi pemerintahan menurut Wilson (1989:158), yakni (1) production organizations; (2) procedural organizations; (3) craft organizations; dan (4) coping organizations. Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi pertama production organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri measurable processes and visible or understandable outputs. Di mana kinerja pada proses kerjanya jelas terukur dan memiliki kinerja hasil (output) yang jelas dan terukur pula. Contoh tipe organisasi ini adalah organisasi perbankan dan Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah. Organisasi pemerintahan yang tergolong kelompok tipologi kedua procedural organizations adalah organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri measurable processes but they have no visible or easily measurable outputs,

92

yakni organisasi di mana kinerja prosesnya dapat terukur tetapi kinerja outpunya tidak mudah diukur. Organisasi pemerintahan yang termasuk tipe ini antara lain adalah organisasi TNI dan Polri. Tipe organisasi pemerintahan yang ketiga adalah craft organization, yakni organisasi pemerintahan yang memiliki ciri-ciri kinerja prosesnya yang jelas dan terukur, tetapi outpunya tidak jelas dan juga tidak terukur. Contoh organisasi pemerintahan yang termasuk tipe organisasi ini adalah organisasi perguruan tinggi (universitas) dan organisasi sekolah. Tipologi organisasi pemerintahan yang terakhir adalah coping organizations, yakni tipe organisasi yang memiliki ciri-ciri kinerja prosesnya tidak jelas dan sulit untuk diukur tetapi hasil dan dampaknya jelas serta terukur. Organisasi yang termasuk dalam kelompok tipe organisasi ini adalah organisasi intelejen. Perspektif yang berbeda dalam memahami birokrasi pemerintahan daerah dikemukakan oleh Muttalib dan Khan (1982). Dalam bukunya berjudul: Theory of Local Government, kedua pakar ini mengemukakan pandangannya tentang birokrasi pemerintahan daerah dalam perspektif local bureaucracy. Menurut Muthalib dan Khan (1982:204) dikebanyakan negara, termasuk juga beberapa negara maju, beranggapan bahwa local bureaucracy tidak terlalu penting, bahkan cenderung diabaikan. Padahal peran local bureaucracy sangat strategis dalam pencapaian tujuan utama dari pemerintahan daerah, khususnya dalam memberikan pelayanan yang efektif dan efisien. Menurut Muthalib dan Khan (1982), isu-isu yang terkait dengan local bureaucracy

menjadi

faktor

krusial

dalam

upaya

perbaikan

performa

pemerintahan daerah. Oleh sebab itu tuntutan agenda reformasi local bureaucracy dalam pemerintahan daerah semakin meningkat. Tuntutan agenda reformasi local bureaucracy ini terutama isu-isu yang berhubungan dengan

93

pelayanan publik di tingkat lokal, yang disebut dengan local civil service. Hal ini yang menyebabkan posisi pegawai sipil lokal (local civil servants) menjadi sangat vital. Dengan kata lain local civil servants dapat diibaratkan sebagai spinal cord dari keseluruhan organisasi. Berkaitan dengan pemahaman local civil service tersebut, Muthalib dan Khan (1982) memandang bahwa terdapat beberapa isu krusial dalam perbaikan performa local bureaucracy. Namun demikian, dalam konteks penelitian ini hanya mengungkap isu-isu yang menyangkut: (1) status and image public; (2) pattern of local civil service; (3) elite of local bureaucracy; dan (4) bureaucracy and democracy. Isu tentang status and image public dari pelayanan sipil lokal menurut Muthalib dan Khan (1982:205) dapat dilihat dari tiga dimensi, yakni pertama, dimensi power yaitu masalah yang berhubungan dengan kurangnya kebebasan operasional dan terbatasnya kekuasan dalam pemberian pelayanan. Solusinya adalah menyamakan status pegawai tingkat lokal dan nasional, miningkatkan status hukum, serta memberi kebebasan seperti yang dilakukan di Perancis, Mesir dan India. Kedua, dimensi money yakni berhubungan dengan masalah ketidakcukupan anggaran (inadequated financial). Pendapatan pemerintah daerah tidak memadai dan anggaran perdepartemen rendah. Solusi yang ditawarkan adalah pemerintah pusat harus ikut terlibat seperti yang dialami di Perancis, India dan Mesir. Dimensi ketiga menyangkut service yaitu berhubungan dengan masalah terjadinya kompetisi antar sektor publik, semipublik, dan swasta. Daya tarik yang rendah, gaji pegawai yang kecil, dan jalur karir yang terbatas. Masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan standarisasi inter-local government, melakukan menyamaan eselonering, kegiatan pelatihan pegawai, penyediaan

94

tenaga teknis dan memperbanyak fasilitas pelatihan, serta memanfaatkan kemajuan teknologi Isu mengenai pola pelayanan sipil daerah (pattern of local civil service) menurut Muthalib dan Khan (1982:206) terbagi dua pendekatan yaitu pola pendekatan legalitas hukum dan pola pendekatan profesionalisme. Pola pendekatan legalitas hukum ini terdiri tiga jenis yaitu (1) berdasarkan UndangUndang Dasar seperti di Perancis, Jepang, Srilanka, dan Amerika Serikat; (2) berdasarkan hukum sekunder seperti di Inggris dan Amerika Serikat; dan (3) melakukan Joint Responsibility Regulation seperti di Mesir dan India. Sementara itu pola pendekatan profesionalisme meliputi tiga jenis pula yaitu (1) berdasarkan klasifikasi keahlian profesionalisme seperti Inggris; (2) melakukan standarisasi pelayanan, kompetensi dan esprit de corp; dan (3) pembentukan komite atau komisi kepegawaian seperti di Amerika Serikat. Isu berikutnya adalah isu elite of local bureaucracy dalam pelayanan sipil daerah. Menurut Muthalib dan Khan (1982:216), bahwa isu elite of local bureaucracy terdiri atas dua pola yang dianut. Pola pertama adalah pola eksekutif lokal yang independen dari pengaruh politik dimana elit birokrasi lokal diangkat dan dikontrol oleh pemerintah pusat. Contoh yang menerapkan pola pertama ini adalah di Perancis dan India dengan model Chief Executive Officer (CEO). Pola kedua adalah pola eksekutif lokal yang merupakan elit birokrasi yang dipilih oleh local council. Contoh penerapan pola kedua ini dapat dilihat di Amerika Serikat, Jerman, Inggris dengan City Manager dan Chief Executive. Hubungan antara bureaucracy dan democracy menjadi isu terakhir dalam perspektif local bureaucracy ini. Gagasan mengenai hubungan antara birokrasi dan demokrasi, menurut Muthalib dan Khan (1982:224) tiada lain adalah menyangkut hubungan antara pejabat yang dipilih (elected officials) dan pejabat

95

karir (permanent functionaries). Pola hubungan antara pejabat politik yang dipilih dengan pejabat karir profesional yang diseleksi saling terkait dengan tradisi demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Bagi negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang kuat atau memiliki legislatif lokal yang kuat (strong local council) dan menjadi dominan terhadap proses administrasi, maka akan memperlemah birokrasi lokal (weak local bureaucracy). Akibatnya kinerja birokrasi menjadi lambat. Untuk mengatasi agar terjadi keseimbangan antara birokrasi dan demokrasi pada pola ini, disarankan memperkuat kepemimpinan administrasi dan menyatukan pintu pertanggungjawaban eksekutif kepada dewan. Negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang kuat ini adalah Amerika Serikat, Swedia, dan Inggris. Pada negara-negara yang menganut tradisi demokrasi yang lemah (weak local council), biokrasi menjadi lebih dominan dan badan legislatif lemah sehingga mengakibatkan kompetisi menjadi tidak sehat dan merusak nilai-nilai demokrasi. Dampak positif pola tradisi demokrasi yang lemah ini karena menyebabkan kinerja birokrasi menjadi tinggi. Namun, sisi negatifnya karena ketergantungan pada pemerintah pusat sangat tinggi dan kuat dalam mengontrol birokrasi. India adalah salah satu negara penganut tradisi demokrasi yang lemah. Dalam perspektif anatomi organisasi menurut Said (2007:91), bahwa birokrasi pemerintahan daerah memiliki unsur-unsur pokok yang mana setiap unsur pokok tersebut memiliki fungsi yang khas. Pada Gambar 3 mencerminkan anatomi birokrasi yang menunjukkan bahwa pada organisasi perangkat daerah juga memiliki struktur organisasi yang berfungsi mengejawantahkan tujuan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah juga memiliki visi dan misi yang menjadi rangkaian tujuan yang lebih konkrit yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu. Personel atau pegawai yang mengisi ini disebut aparatur

96

organisasi. Mereka inilah yang memiliki peran vital dalam menentukan apakah visi dan misi organisasi bisa terwujud. Oleh karena itu aparatur yang mengisi bangunan organisasi itu harus melalui sebuah proses seleksi (selected). Pemilihan dan seleksi dilakukan untuk menjamin kualitas aparatur yang sesuai dengan kualifikasi-kualifikasi yang dibutuhkan dalam mewujudkan visi dan misi organisasi. Selanjutnya menyediakan fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh para aparatur agar membantu atau memudahkan mereka dalam menjalankan tugas kerjanya secara ril. Fasilitas pendukung yang dimaksud di antaranya adalah anggaran, bahan dan alat, insentif, serta fasilitas lainnya yang dibutuhkan. Tahapan yang terakhir, namun tak kalah pentingnya dan sangat vital adalah unsur leadership. TUJUAN NEGARA/DAERAH

Tugas Besar & Luas Dari Pemerintahan Apa Yang Dibutuuhkan Untuk Menyelenggarakan Tugas Besar & Luas Itu?

Struktur Organisasi

Apa Yg Dibutuhkan Agar Organisasi Itu Bisa Bekerja Scr Tepat Sasaran & Terfokus Pada Tugasnya?

Visi & Misi Organisasi

Apa Yg Dibutuhkan Agar Organisasi Yg Bervisi & Bermisi Itu Bisa Mengejawantah Dlm Nyata & Dinamis?

Personalia Pelaksana

Apa Yg Dibutuhkan Agar Personalia Yg Bekerja Itu Bisa Bekerja Efektif & Efisien?

Fasilitas Pendukung

Apa Yg Dibutuhkan Agar Kerja & Kinerja Keempat Unsur Di Atas Itu Bisa Terkoordinasi Bagus & Selaras?

Kepemimpinan

Gambar 3. Unsur-Unsur Pokok (Anatomi) Birokrasi Sumber: Rohdewohld dikutip oleh Said (2007:92)

97

Kepemimpinan inilah yang akan mengorganisir bagaimana kinerja secara keseluruhan bisa selaras dan mendukung tercapainya tujuan birokrasi pemerintahan. Pemimpin harus mengarahkan para aparatur agar dapat melakukan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien dan ekonomis, serta terarah. Tanpa kepemimpinan bisa jadi yang tercipta ialah kerja yang saling bertabrakan atau mungkin tidak saling berhubungan satu sama lain atau malah saling menghambat satu dengan yang lainnya. Pemaparan mengenai anatomi birokrasi akhirnya disimpulkan oleh Said (2007:134), bahwa birokrasi tak akan bisa sempurna sehingga birokrasi harus selalu dibenahi. Birokrasi selalu mengikuti dinamika kehidupan manusia yang melingkupinya dan merespon tuntutan masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi harus secara kontinyu menyelaraskan dirinya sesuai dengan konteks dinamika disekelilingnya dan tak boleh puas dalam keangkuhan hidup di atas menara gading. Birokrasi bukanlah institusi absolut yang sakral dan tak boleh diperbaharui dan disempurnakan. Birokrasi ada bukan untuk melayani dirinya sendiri. Dengan kata lain, bahwa birokrasi harus fleksibel dan kontekstual sesuai dengan perkembangan dan tuntutan realitas yang dhadapinya. Sistem pemerintahan daerah di Indonesia memiliki bentuk pemerintah daerah seragam dan cenderung demikian sepanjang proses pertumbuhannya. Jika ada perubahan bentuk pemerintah daerah, hal itu terjadi karena fase pemerintahan daerahnya bukan karena kemajemukan dalam fase yang sama. Simak misalnya dalam masa UU No. 22 Tahun 1999, terdapat keseragaman bentuk pemerintah daerah di Indonesia, baik untuk daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Demikian halnya, dalam UU mengenai pemerintahan daerah sebelum UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah daerah (local authority) sebagai organ

98

pelaksana pemerintahan di daerah selalu tepat asas dengan mencakup DPRD (council) dan Kepala Daerah (mayor). Namun, pada UU No. 22 Tahun 1999, istilah pemerintah daerah hanya diperuntukkan bagi Kepala Daerah beserta perangkat daerah dan tidak mencakup DPRD yang disebut sebagai Badan Legislatif Daerah. Kondisi ini disebut sebagai tidak taat asas, karena hanya DPR yang mempunyai fungsi legislatif dan menjadi bagian dari Badan Legislatif bersama Presiden dalam tata hukum kita. Padahal DPRD sebenarnya merupakan bagian dari Badan Eksekutif daerah yang memiliki fungsi pengaturan, penganggaran, dan pengawasan. Untuk mengakomodasi persoalan tersebut di atas, para pembuat UU No. 32 Tahun 2004 menghilangkan penggunaan istilah badan legislatif daerah bagi DPRD dan badan eksekutif daerah bagi Kepala Daerah dan perangkat daerah. Kini DPRD dan pemerintah daerah disebut sebagai penyelenggara pemerintahan daerah sebagai terjemahan dari local government atau local authority dalam khazanah Inggris dan Amerika Serikat. Dalam kerangka ini, maka organ pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas DPRD kabupaten/kota dan Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya. Bupati atau Walikota sebagai Kepala Daerah hanya menjalankan tugas desentralisasi secara bulat dan tidak menerima tugas dekonsentrasi. Baik Bupati atau Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota adalah lembaga politik karena proses pengisiannya melalui cara dipilih (elected) secara demokratis dan terbuka bagi partai politik. Dalam pandangan yang aplikatif, dapat dilihat dari pandangan Supriyono (2007:730), yang menyatakan bahwa mengkaji pembangunan struktur dan fungsi institusi pemerintahan daerah dapat diawali dengan memahami local government dalam pengertian organ dan fungsi. Di mana dijelaskan dalam Muluk (2009:10)

99

bahwa dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah, yakni council (DPRD) dan mayor (gubernur, bupati atau walikota), di mana rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan. Sedangkan dalam pengertian fungsi, local govenment berarti pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Berkaitan dengan pengertian organ, maka jenis-jenis pemerintah daerah meliputi: (1) the strong mayor-council form; (2) the weak mayor-council form; (3) the council-manager plan; (4) the commission form. Kemudian Norton yang dikutip oleh Supriyono (2007:730) juga menambahkan bentuk the strong mayorcouncil with chief administrative or chief executive officer plan. Chief executive plan dan semua institusi di bawahnya merupakan birokrasi lokal. Institusi pemerintahan daerah tersebut dapat menjalankan beragam fungsi pemerintahan (multi atau general puspose local authority) ataupun melaksanakan suatu fungsi pemerintahan (single atau special purpose local authority).

Gambar 4. Struktur Perangkat Daerah Kabupaten Sumber: UU No. 32 Tahun 2004 dan Kaloh (2007:178)

100

Dalam pengertian organ dan fungsi tersebut di atas, maka institusi pemerintahan daerah di Indonesia dapat dimaknai sebagai organ dan cenderung termasuk dalam the strong mayor-council form, atau bahkan cenderung berbentuk the strong mayor-council with chief executive officer. Hal ini tampak dari keberadaan Kepala Daerah (gubernur, bupati atau walikota) sebagai padanan mayor dan DPRD sebagai perwujudan dari council. Mengenai fungsi pemerintahan yang dilaksanakan adalah bersifat multi atau general puspose local authority karena institusi pemerintahan daerah melaksanakan beragam fungsi pemerintahan. Perangkat daerah merupakan birokrasi daerah otonom yang proses pengisiannya atas dasar pengangkatan (appointed) dan tertutup bagi partai politik. Melalui penjelasan Hoessein (2009:113) dipahami bahwa proses pengisian seperti ini untuk birokrat daerah otonom dimaksudkan untuk menjamin netralitas birokrasi. Perangkat daerah ini terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan lembaga teknis daerah lainnya yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan daerah. Lembaga teknis daerah bisa berupa Badan, Kantor, Kecamatan, Kelurahan, dan sebagainya. Terkait dengan kedudukan organisasi perangkat daerah ini, Salomo (2006:2) memberikan penjelasan bahwa organisasi perangkat daerah sebagai instrumen penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia merupakan salah satu elemen pemerintahan daerah yang sangat penting dengan sejumlah alasan, sebagai berikut: (1) Organisasi perangkat daerah merupakan “rumah” atau wadah yang menampung berbagai aspek penting lainnya dalam sistem pemerintahan daerah, yang menjadi wadah maupun kerangka kerja sistem keuangan,

101

sistem kepegawaian, sistem perencanaan, sistem pelayanan publik dan berbagai sistem atau sub-sistem lainnya. (2) Organisasi perangkat daerah adalah wadah di mana pemerintah daerah menjalankan berbagai kewenangan atau urusan-urusan pemerintahan yang diembannya. (3) Organisasi perangkat daerah adalah wadah bagi pemerintah daerah untuk mengemban visi dan misi daerah, tujuan daerah, dan mengemban pelayanan publik yang menjadi tugas dan tanggung-jawab daerah. Oleh karena itu, organisasi perangkat daerah mempunyai arti yang sangat penting bagi pencapaian pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Bahkan Salomo (2006:2), menegaskan bahwa keberhasilan sebuah daerah dalam menjalankan misinya antara lain tergantung dari struktur organisasi perangkat daerah yang dibuat. Apakah perangkat daerah telah mengakomodasi berbagai aspek seperti visi, misi, tujuan, tugas pokok dan fungsi, serta beban pelayanan?

2.6. Kajian Inovasi Pemerintahan Daerah Kajian terhadap inovasi pemerintahan, terutama kaitannya dengan masalah-masalah pemerintahan di tingkat lokal (local problems) dapat ditemui dalam salah satu karya dari Watson (1999) yang berjudul “Innovative Government: Creatives Approach to Local Problems” . Dalam karyanya, Watson (1999:130) telah menerangkan bahwa pemerintahan daerah (local government) memiliki beberapa alasan yang khas untuk mengembangkan kemampuan inovasi. Hal ini diungkapkan oleh Watson sebagai berikut: “.....Local governments have a unique opportunity to be innovative for several reasons. One is that local governments are very close to the problems in their communities. ....., local officials have the chance to see

102

and hear the problems as they develop. A second reason local governments can be innovative is that there are so many of them doing basically the same things. Each community serves as a laboratory for innovation. ....., local governments to solve problems and develop solutions in different ways. A third reason is that most elected officials on the local level run for office because they care about their communities and believe that they can improve them. The last reason is that the level of competence and expertise found among local public administrators has greatly increased over the past several decades. Local public administrators are better trained than they have ever been and are anxious to work for organizations that allow them to use their talents.” (1999:130-131) Relevansi pentingnya inovasi diselenggarakan pada tingkat pemerintahan daerah dengan jelas diungkapkan bahwa unit organisasi pemerintahan daerah sangat dekat dengan masyarakatnya, sehingga dianggap mengetahui secara pasti masalah-masalah pada aras lokal. Demikian halnya masalah yang dihadapi masyarakat sudah barang tentu berbeda sehingga harus pula ditangani dengan cara yang berbeda pula. Dalam hal ini Supriyono (2007), menjelaskan bahwa otonomi yang luas telah memberikan kewenangan yang sangat besar kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk mengatur dan mengurus pemberian pelayanan publik sesuai dengan local choice dan local voice masyarakatnya. Pemerintah daerah memiliki peran besar (strong public sector) di bidang pelayanan publik, termasuk dalam mengatur berperannya kelompok masyarakat dan pihak swasta. Oleh karena itu, kondisi ini kiranya mendorong pemerintah daerah untuk selalu mencari teknik dan strategi yang efektif untuk menjalankan fungsi pelayanan publik memalui kebijakan dan program yang inovatif. Inovasi penyelenggaraan pemerintahan juga mencakup perubahan dan pembaharuan struktur ataupun kebiasaan yang telah berlangsung secara rutin. Brown (2008) seperti dikutip oleh Supriyono (2011:2) mengemukakan adanya dua konsep inovasi yaitu Expansive Learning Theory (ELT) dan Socio Cultural Theory (SCT). Konsep perluasan pembelajaran mengandung pemahaman

103

bahwa inovasi terjadi ketika pandangan tradisional menyediakan suatu pedoman pelaksanaan suatu pekerjaan tetapi tidak cukup dalam menghadapi tantangan dan situasi yang baru, karenanya diperlukan pengembangan dan praktek yang baru melalui alih teknologi (technology transfer). Bagian penting dari pandangan ini adalah memadukan antara pandangan lama dan baru dalam melaksanakan sesuatu yang diarahkan pada perubahan dan pembaharuan. Sementara SCT berpandangan bahwa proses penciptaan pengetahuan dan pedomannya terarah pada konsepsi inovasi sebagai kolaborasi antara difersifikasi organisasi dan hasil yang diperoleh individu dalam pembelajaran organisasi. Di samping diperlukan alih teknologi dan perubahan sistem, diperlukan pula pembelajaran individu dan organisasi untuk mempercepat transformasi sosial budaya baik di tingkat organisasi maupun di komunitas masyarakat yang lebih luas. Kedua teori ini dalam proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan perlu dipadukan agar diperoleh hasil yang optimal, dari perspektif ELT siklus pembelajaran dapat diperluas melalui berbagai aktivitas kolaborasi dua atau lebih komunitas, baik di tingkat nasional, tingkat regional, hingga di tingkat lokal. Sebagaimana dikemukakan Brown (2008:9) “National governments have develoved much of the responsibility for innovation policies to regions. Consequently, it is possible to compare the implementation of local experiments to transform an industrial and manufacturing region into a knowledge economy. Different types of policies are affected by different contextual conditions and carry with them different possibilities for implementation”. Mencermati skema pada Gambar 5 dapat dijelaskan bahwa inovasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan adalah bersifat sistemik, inovasi pemerintahan yang ada di tingkat nasional pada dasarnya saling berkaitan dengan inovasi di tingkat regional ataupun di tingkat lokal.

104

Gambar 5. The Transformation of Policy during Implementation Sumber: Browm (2008:10)

Pemahaman ini terasa semakin penting untuk diimplementasikan di Indonesia sebagai suatu negara yang menganut paham negara kesatuan (unitary state), karena hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah bersifat coordinate dan sekaligus subordinate. Keberadaan pemerintah daerah adalah merupakan bagian dari pemerintah pusat, sehingga inovasi pemerintahan yang ada di tingkat lokal kendati memiliki kemandirian seharusnya tidak menyimpang dari desain inovasi pemerintahan yang telah ditetapkan di tingkat nasional. Pemerintah pusat memiliki peran dalam hal desain konsep inovasi kebijakan tingkat nasional (makro) yang akan diimplementasikan di tingkat pusat dan daerah. Desain kebijakan inovatif ini perlu dikomunikasikan dengan berbagai tingkatan pemerintahan agar tujuan inovasi dipahami dan diimplementasikan dengan baik. Desain dan strategi inovasi yang diperlukan adalah dalam hal melaksanakan fungsi mengatur (policy formulation) dan mengurus (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam pemanfaatan teknologi yang dapat diimplementasikan pada semua tingkatan pemerintahan.

105

Desain kebijakan yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan di tingkat regional (meso) dan di tingkat lokal (mikro) dalam bentuk program dan kegiatan pengelolaan urusan pemerintahan. Makna inovasi implementasi kebijakan ini adalah berkaitan dengan fungsi pengaturan (policy making) dan fungsi pengurusan (policy executing) di tingkat regional dan di tingkat lokal. Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih melaksanakan fungsi pengaturan, yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah (Perda) dan perundang-undangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah (local bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, melaksanakan inovasi fungsi pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya. Kebijakan inovatif yang telah ditetapkan selanjutnya diimplementasikan oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas, ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal ini dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal pengelolaan dana dan pemberian insentif. Proses

inovasi

penyelenggaraan

pemerintahan

tidak

hanya

memperhatikan keterkaitan inovasi penyelenggaraan dalam ranah tiga tingkatan,

106

yakni nasional (macro), regional (meso) dan lokal (micro). Namun menurut Roberts

(1999:99-101)

proses

inovasi

dalam

struktur

penyelenggaraan

pemerintahan suatu negara, juga mendapat pengaruh dari tiga arena institusi yang berbeda, yakni (1) innovation by legislative design; (2) innovation by yudicial design; dan (3) innovation by management design. Terdapat reaksi yang cukup kuat dari individu ataupun kelompok dari dalam arena institusi legislatif terkait dengan perumusan kebijakan yang inovatif. Hal ini terjadi terutama pada negara-negara dengan sistem pemerintahan yang demokratis. Institusi pengadilan juga dapat memberi pengaruh pada keputusankeputusan pemerintah daerah dari aspek legalitasnya.

Pada tingkatan

oprasional, secara teknis suatu kebijakan dan program yang inovatif juga sangat ditentukan oleh kemampuan institusi Perangkat Daerah dalam implementasinya. Menerapkan inovasi di sektor publik tidak dapat sukses begitu saja. Inovasi di sektor publik membutuhkan beberapa persyaratan yang harus mendukung. Watson (1999:2-3) menawarkan tiga kondisi persyaratan utama yang semestinya tersedia jika ingin inovasi di sektor publik berlangsung sukses. Ketiga persyaratan tersebut, meliputi: (1) budaya organisasi (organizational culture) yang mendukung dan mendorong lahirnya inovasi; (2) dukungan politik (political support), para administrator membutuhkan dukungan pejabat politik; dan (3) kompetensi administrasi (administrative competence), inovasi yang sukses harus dilakukan melalui kecakapan administratif dalam suatu organisasi. Selain ketiga persyaratan utama tersebut, Watson (1999:4) menyatakan bahwa lahirnya suatu inovasi dalam pemerintahan biasanya melalui tiga skenario. Pertama, munculnya tindakan inovatif karena adanya respon atau tanggapan terhadap krisis yang terjadi dalam organisasi. Kedua, menghadirkan manajer-manajer publik yang luar biasa dan memiliki dukungan politik yang kuat

107

di dalam organisasi. Ketiga, inovasi lahir hanya dari organisasi yang menyadari dan menangkap adanya peluang untuk melakukannya.

2.6.1

Konsep dan Posisi Inovasi dalam Administrasi Publik Dalam salah satu rilis institusi United Nations melalui Department of

Economic and Social Affairs (UNDESA), pada tahun 2006 menyatakan bahwa umumnya inovasi dalam pemerintahan adalah ide kreatif yang di mana jika dilaksanakan dengan sukses akan membantu memecahkan masalah publik yang bersifat mendesak. Inovasi adalah pelaksanaan ide baru dan cara baru untuk mencapai suatu hasil dalam melakukan pekerjaan. Inovasi dapat juga sebagai penggabungan elemen-elemen baru sehingga terjadi kombinasi baru dari unsur yang sudah ada atau mengubah secara signifikan atau meninggalkan cara-cara tradisional dalam melakukan sesuatu. Prinsipnya inovasi dalam konteks ini terdiri atas new products, new policies and programs, new approaches, and new processes. Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa inovasi manajemen di sektor publik dapat didefinisikan sebagai pengembangan desain baru suatu kebijakan dan SOP yang baru oleh organisasi publik dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebijakan publik. Sehingga suatu inovasi dalam administrasi negara merupakan jawaban atau solusi yang efektif, kreatif dan unik untuk menjawab masalahmasalah baru atau solusi baru untuk masalah-masalah lama. UNDESA (2006:6) mengungkapkan dalam kalimat sebagai berikut: “An innovation in public administration is an effective, creative and unique answer to new problems or a new answer to old problems”. Menurut UNDESA (2006) inovasi dalam kajian administrasi publik dapat dibedakan dalam beberapa tipe atau jenis, meliputi:

108

(1) Institutional innovations, yaitu inovasi kelembagaan yang fokus pada pembaruan lembaga-lembaga yang sudah dibangun atau menciptakan lembaga-lembaga yang benar-benar baru (focus on the renewal of established institutions and/or the creation of new institutions); (2) Organizational innovation, yakni inovasi organisasi berkaitan dengan memperkernalkan prosedur atau teknik-teknik manajemen yang baru dalam Administrasi Publik (the introduction of new working procedures or management techniques in public administration); (3) Process innovation, yaitu inovasi proses di mana fokus pada peningkatan kualitas penyediaan pelayanan publik (focuses on the improvement of the quality of public service delivery); dan (4) Conceptual innovation, yaitu inovasi konseptual yang diarahkan pada pengenalan bentuk-bentuk baru pemerintahan (the introduction of new forms of governance) misalnya interactive policy-making, engaged governance, people’s budget reforms, horizontal networks. Konsep inovasi dalam sektor publik rupanya belum sepopuler di sektor bisnis. Padahal kajian inovasi dikembangkan seiring dengan upaya menjaga dan bahkan mengembangkan kemampuan berkompetisi (bersaing) atau competitive advantage sebuah organisasi. Kemampuan ini dianggap penting untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi. Dalam situasi organisasi yang hidup dengan mengandalkan semata comparative advantage dan pada saat yang sama situasi kompetisi kurang tampak maka konsep inovasi kurang berkembang dengan baik. Hal yang sama juga terjadi pada organisasi publik yang tidak mengkhawatirkan sama sekali masalah kelangsungan hidupnya (Muluk, 2008:37). Kebanyakan organisasi sektor publik kurang tertantang karena berada dalam iklim yang nonkompetitif dan bahkan tidak merasa bermasalah dalam hal kelangsungan

109

hidupnya. Maka wajar jika konsep inovasi kurang berkembang dalam sektor administrasi publik. Dalam tulisan Hartley (2005:29) menggambarkan bagaimana hubungan antara kegiatan inovasi (innovation) dan upaya perbaikan (improvement) dalam proses pelayanan publik. Hubungan inovasi dan upaya perbaikan ini menurut Hartley (2005) dapat dipahami melalui pendekatan konsep governance dan public management yang dikenal sebagai salah satu paradigma dalam perkembangan pemikiran administrasi publik. Walaupun konsep inovasi belum lama populer dikalangan ilmuwan maupun dalam prakteknya di organisasi sektor publik, namun dapat dilacak posisi dan relevansi konsep inovasi, baik sebagai nilai maupun sebagai strategi dalam evolusi pemikiran adminisrasi publik. Salah satu sumber dari artikel yang ditulis bersama oleh Vigoda-Gadot, et al (2005), berjudul Public Sector Innovation for the Managerial and Post-Managerial Era: Promises and Realities in a Globalizing Public Administration. Artikel ini mengulas dan menganalisis bagaimana

keterkaitan

inovasi

(innovation)

dengan

evolusi

pemikiran

administrasi publik. Dalam artikel tersebut, Vigoda-Gadot, et al (2005:70) menganalisis kerterkaitan inovasi dan pemikiran administrasi publik. Ada sepuluh pertanyaan diajukan yang mencerminkan posisi konsep inovasi dalam perkembangan pemikiran administrasi publik. Kesepuluh pertanyaan mendasar tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 yang disajikan pada halaman berikut. Kemudian VigodaGadot, et al (2005) membagi tiga perspektif evolusi perkembangan pemikiran administrasi publik yakni (1) classic public administration canon; (2) new public management doctrine; dan (3) post-managerial avenues.

110

Apa yang digambarkan oleh Vigoda-Gadot, et al (2005) sebagaimana tercermin pada Tabel 8 beriktu ini menunjukkan bahwa pada dasarnya konsep inovasi sudah ada diera berkembangnya pemikiran classic public administration. Pemahaman inovasi di era administrasi publik klasik tersebut masih dalam pengertian yang terbatas. Inovasi hanya dipahami sebatas mekanisme internal organisasi. Inovasi didominasi oleh top menajer sehingga inovasi lebih bersifat top down dan hanya bertujuan mempertahankan kekuasan.

Tabel 8. An Evolutionary Analysis of Innovation in Public Administration Evolution Essential Questions

Classic Public Administration Canons

New Public Management Doctrine

Post-Managerial Avenues

1 Q1. What is innovation?

2 A threat to old, reliable mechanisms

3 New ways to respond to citizens as client and produce public goods

4 New ways to create social and psychological well-being, economic surpluses, and political stability combined

Q2. Why do we need innovation?

Do we need at all?

Improving managerial qualities in state-owned bureaucracies to stabilize the welfare state

A good combination of managerial, social, and democratic values

Q3. What are the disciplinary origins of innovation?

Engineering/law/political sciences

Organizational and managerial sciences/economic and business

A holistic view: organizational and managerial sciences/ political sciences/ social welfare/information and technology system

Q4. What are the primary goals of innovation?

Maintaining the power of bureaucracy and its centrality in policymaking and implementing process

Improving the operative power of bureaucracy through better managerial skills and the triumph of professionalism over politicization

Transforming the cultural sphere of public organizations, increasing global policy and management learning and emulation

111

Evolution Essential Questions

Classic Public Administration Canons

New Public Management Doctrine

Post-Managerial Avenues

Q5. Who are the key beneficiaries of innovation?

The private sector and social elites

Citizens as clients/customers

Citizens as owners and the global bank of policy and managerial knowledge, the community as a whole

Q6. How to portray the flow of innovation ideas?

Ultimately top down, and only when innovation serves political interests

First, top down by professional managers who the empower a bottom-up channel

Top down, bottom-up, and reliance on extraorganizational source, learning, and emulation process

Q7. Primary players in the innovation process?

Top managers, if at all

Managers and employees who improve their understanding of the needs of citizens as clients

Managers, employees, and extra-organizational players (i.e., the private sector, the third sector, transnational policy makers and academics)

Q8. How to achieve innovation?

Almost no need; classicstyle bureaucracies don’t really need innovation and see themselves as islands of stability and conservatism

Intensive contacts whit the private sector and improved learning from successful innovators in business firms (PPPspublic private partnership)

Intensive global contacts whit international innovators, benchmarking, learning and emulation of policy programs

Q9. How the evaluate innovation?

Lack of formal tools and absence of standard criteria

Output and outcome measure and the development of performance indicators (PIs)

Output and outcome measures as well as input and process measures in a comparative international view

Q10. What are the moral justifications for innovation?

Higher standard of living to vast population and better services to the less able

Encouraging competition according to liberal ideological economy, increased efficiency and the saving of public money

Global human progress, policy learning, and more equal distribution of knowledge, practices, and goods across nations

Sumber: Diadaptasi dari Vigoda-Gadot, et al (2005:70-71) Konsep pengembangan inovasi dalam pemerintahan daerah dapat juga dipahami dari pendekatan teori yang disebut “the adaption-innovation theory”. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa semua orang memecahkan masalah dan kreatif. Teori adaptasi-inovasi ini pertama kali dikembangkan oleh Kirton

112

(1979) seperti dikutip oleh Stum (2009:67) sehingga disebut atau “Kirton’s Adaption-Innovation Theory”, biasa disingkat Teori KAI. Teori KAI ini menyatakan bahwa dalam pengembangan inovasi, seseorang bisa diposisikan pada dua hal yakni adaptors dan innovators. Adaptors digambarkan sebagai “doing things better” yaitu melakukan hal-hal yang lebih baik. Menurut Stum (2009) karakteristik dari adaptors adalah (1) peduli dengan pemecahan masalah daripada mencari masalah; (2) selalu mencari solusi suatu masalah dengan mencoba dan memahaminya; (3) mempertahankan akurasi yang tinggi dan bekerja terperinci; (4) selalu taat aturan; (5) sensitif terhadap kohesi kelompok/tim; dan (6) menyediakan dasar yang aman dalam berinovasi. Selanjutnya innovators menurut teori Kirton seperti dikutip Stum (2009) digambarkan sebagai “those who would prefer to do things differently” yaitu orang-orang yang lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ciri-ciri yang melekat pada innovators yakni (1) tampak tidak disiplin dan selalu bekerja dengan pendekatan dari sudut tak terduga; (2) memperlakukan sarana lebih kecil dalam mengejar tujuan; (3) mampu merinci tugas-tugas dalam waktu yang singkat; (4) memberikan dinamika untuk perubahan revolusionir dan dalam waktu tertentu; dan (5) memiliki keraguan dan rendah diri setiap menemukan ide-ide baru.

2.6.2

Kapasitas Inovasi Organisasi Pemerintah Daerah Konsep dasar dalam memahami lebih jauh bagaimana pentingnya

kapasitas dimiliki oleh pemerintah daerah dalam melakukan inovasi pada umumnya dapat ditelusuri melalui teori pengembangan kapasitas (theory of capacity building) yang dikembangkan oleh M.S. Grindle. Pada tahun 1997, dalam karyanya berjudul Getting Good Government: Capacity Building in the

113

Public Sector of Developing Countries.

Dalam buku ini ditegaskan bahwa

kapasitas itu menyangkut tiga dimensi yakni (1) dimensi sumberdaya manusia (human resource); (2) dimensi organisasi (organizational strengthening); dan (3) dimensi reformasi kelembagaan (institutional reform). Pada setiap dimensi kapasitas tersebut memiliki fokus penekanan tertentu dan jenis-jenis usaha yang harus dilakukan untuk mengembangkan setiap fokus pada masing-masing dimensi kapasitas (Grindle, 1997:9). Pada tabel berikut ini memberikan gambaran lebih rinci dari masing-masing dimensi, fokus dan jenis usaha yang mendukungnya. Tabel 10. Dimensions and Focus of Capacity-Building Initiatives Dimension

Focus

Types of Activities

Human resource development

Supply of professional and technical personnel

Training, salaries, conditions of work, recruitment

Organizational strengthening

Management systems to improve performance of specific tasks and functions; microstructures

Incentive systems, utilization of personnel, leadership, organizational culture, communications, managerial structures

Institutional reform

Institutions and system; macrostructures

Rules of the game for economic and political regime, policy and legal change, constitutional reform

Sumber: Grindle (1997: 9) Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami bahwa dimensi sumberdaya manusia fokus pada tersedianya aparatur yang profesional dan memiliki kemampuan teknis. Agar selalu tersedia aparatur yang profesioanl dan memiliki teknis yang diinginkan, maka beberapa kegiatan yang harus dilakukan antara lain: training, pemberian gaji/upah, lingkungan kerja yang kondunsif dan sistim rekruitmen yang tepat. Pada dimensi penguatan organisasi, fokusnya ditujukan pada sistim manajemen untuk memperbaiki kinerja dari fungsi-fungsi dan tugas-

114

tugas yang ada dan pengaturan struktur mikro. Aktivitas yang harus dilakukan adalah menata sistim insentif, pemanfaatan personel yang ada, kepemimpinan, komunikasi, dan struktur manajerial. Selanjutnya yang berkaitan dengan dimensi reformasi kelembagaan (institutuional reform) yang perlu diberi perhatian terhadap perubahan sistem dan institusi-institusi yang ada, serta pengaruh struktur makro. Dalam hal ini aktivitas yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan “aturan main” dari sistim ekonomi dan politik yang ada, perubahan kebijakan dan aturan hukum, serta reformasi sistim kelembagaan yang dapat mendorong pasar dan berkembangnya masyarakat madani. Pemahaman terhadap pengembangan kapasitas ini dapat juga dilihat dalam konteks pemerintahan daerah yang dikembangkan

oleh

Keban (2000:7) dan Soeprapto (2004:12). Konsep-konsep pengembangan kapasitas juga dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Fiszbein (1997) dalam Keban (2000:7) dan Soeprapto (2004:13), bahwa kapasitas bisa dilihat pada: (1) kapasitas tenaga kerja (labor); (2) kapasitas teknologi yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau kelembagaan; dan (3) kapasitas “capital” yang diwujudkan dalam bentuk dukungan sumberdaya, sarana, dan prasarana. Sementara itu, Eade (1998) dalam Keban (2000:9) juga merumuskan bahwa kapasitas itu memiliki tiga dimensi, yaitu: (1) individu; (2) organisasi; dan (3) jaringan (networking). Nampaknya disini dimensi aspek jaringan ini sangat penting karena melalui dimensi ini individu dan organisasi dapat belajar mengembangkan diri dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam konteks kapasitas inovasi sektor publik, termasuk sektor pemerintahan daerah, menurut Gabries, et al (2009: 23-24), bahwa dalam mengelola inovasi sangat ditentukan oleh tiga kunci faktor strategis (three core

115

startegic factors) yaitu pertama, pemimpin yang kredibel (leadership creadiblity). Pemimpin yang memiliki kredibilitas adalah pemimpin yang memiliki keterampilan dan perilaku yang dapat dipelajari, dipraktekkan dan digunakan untuk mencapai kinerja organisasi yang tinggi. Pemimpin yang kredibel adalah pemimpin yang memiliki visi yang jelas, yang menjadi arah kemana organisasi melangkah. Visi sorang pemimpin disiini juga harus dikomunikasikan ke bawahan untuk diikuti dan diwujudkan bersama. Kedua, faktor adanya tim manajemen yang kuat (strong management teams). Tim manajemen yang kuat dalam konteks ini adalah struktur birokrasi pemerintah daerah yang profesional, yang bekerja menurut fungsi dan tugas masing-masing unit. Struktur manajemen birokrasi harus bekerja secara efisien, mengambil keputusan secara rasional dan bekerja berdasarkan spesialisasi masing-masing. Kemudian faktor strategis yang ketiga adalah berfungsinya badan-badan pemerintahan (governing board functioning). Dalam konteks ini yang dimaksud adalah bekerjanya lembaga perwakilan warga (council city) dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis, seperti rencana strategi pembangunan, kebijakan tentang pengalokasian anggaran dan menyusun solusisolusi atas persoalan masyarakat tanpa membeda-bedakan (diskriminasi). Kapasitas inovasi pemerintahan daerah bisa dipahami melalui suatu model kapasitas manajemen dan inovasi pemerintahan yang dikembangkan oleh Kim, et al (2007:33). Dalam studinya mengenai kapasitas inovasi pemerintahan di Korea, merumuskan suatu model yang disebut model kapasitas manajemen dan inovasi pemerintahan (a model of management capacity and government innovation). Model kapasitas manajemen inovasi pemerintahan ini terdiri dari empat dimensi yang membangun kapasitas manajemen pemerintahan dalam berinovasi.

116

Keempat dimensi dari model kapasitas manajemen inovasi pemerintahan meliputi; (1) kepemimpinan inovatif (innovative leadership), yakni tersedianya kepemimpinan yang memiliki kemampuan inovasi dan memiliki komitmen untuk menjaga dan menyebarkan inovasi tersebut; (2) kualitas timkerja (quality of workforce), yakni kualitas aparatur (pegawai pemerintah) yang mempunyai kompetensi dan skil sehingga bisa profesional dalam bekerja; (3) sistem/struktur (systems/stuctures), tersedianya sistem organisasi dan struktur organisasi yang mendukung program inovasi; dan (4) pengelolaan pengaruh dari luar (managing external influences). Gambaran lebih rinci dari model kapasitas manajemen inovasi pemerintahan dari Kim, et al (2007) ini dapat disimak pada gambar berikut ini.

Innovative Leadership • Strategic planning • Leadership commitment • Leadership stability

Environmental exigencies

Quality of Workforce • Employee commitment • Professionalism

Systems/Structures • Team structure • Knowledge sharing system • Reward system • Evaluation/feedback system

Management capacity for innovation

Managing external influences • Political support for financing new programs • Managing networks

Organizational characteristics

Government innovation (adoption+implementation) Diffusion of innovation

Government performance

Gambar 6: A Model of Management Capacity and Government Innovation Sumber: Kim, et al (2007:33)

117

Gambar 6 yang ditampilkan di atas juga menunjukkan bahwa masingmasing dimensi dalam model kapasitas manajemen inovasi pemerintahan tersebut memiliki unsur-unsur sebagai prasyarat yang harus ada untuk mendukung pada setiap dimensi tersebut. Unsur perencanaan strategis, komitmen pemimpin, dan pemimpin yang stabil merupakan prasyarat untuk kepemimpinan yang inovatif. Unsur yang menentukan kualitas dari tim kerja yakni adanya komitmen dan profesionalisme kerja dari pegawai. Sementara itu, unsur yang mendukung kapasitas sistem/struktur meliputi struktur tim, sistem berbagi pengetahuan, sistem reward dan evaluasi. Dimensi terakhir, pengaruh eksternal yang harus dikelola seperti dukungan politik terhadap anggaran bagi program yang baru dan mengelola jaringan. Kapasitas manajemen ini menentukan sejauhmana pemerintah mampu mengadopsi dan mengimplementasikan program inovasi, yang pada akhirnya meningkatkan kinerja pemerintahan. Teori desain organisasi seharusnya fokus pada bentuk struktural organisasi dan kecenderungan untuk berinovasi. Burns dan Stalker (1961) dan Mintzberg (1979) seperti dikutip Lam (2004:4) mengungkapkan bahwa ”organizational design theories focus predominantly on the link between structural forms and the propensity of an organization to innovation”. Dalam pandangan Mintzberg, sebagaimana disajikan pada Tabel 11 berikut ini, menunjukkan bahwa model struktur suatu organisasi dapat dibedakan dalam lima tipe organisasi. Kelima tipe organisasi tersebut meliputi; (1) simple structure; (2) machine bureaucracy; (3) proffesional bureaucracy; (4) devisionalized form; dan (5) adhocracy. Untuk memahami lebih komprehensif keterkaitan potensi melakukan inovasi dan bentuk atau jenis organisasi (organization archetypes).

118

Tabel 11.

Organization Archetype

Mintzberg's Structural Archetypes and Their Innovative Potentials Key Features

Innovative Potential

Simple structure

An organic type centrally controlled by one person but can respond quickly to changes in the environment, e.g. small start-ups in high-technology.

Entrepreneurial and often highly Innovative, continually searching for high-risk environments. Weaknesses are the vulnerability to individual misjudgment and resource limits on growth.

Machine bureaucracy

A mechanistic organization characterized by high level of specialization, standardization and centralized control. A continuous effort to routinize tasks through formalization of worker skills and experiences, e.g. mass production firms.

Designed for efficiency and Stability. Good at dealing with routine problems, but highly rigid and unable to cope with novelty and change.

Professional bureaucracy

A decentralised mechanistic form which accords a high degree of autonomy to individual professionals Characterized by individual and functional specialization, with a concentration of power and status in the 'authorized experts'. Universities, hospitals, law and accounting firms are typical examples

The individual experts may be highly innovative within a specialist domain, but the difficulties of coordination across functions and disciplines impose severe limits on the innovative capability of the organization as a whole

Divisionalized form

A decentralized organic form in which quasi-autonomous entities are loosely coupled together by a central administrative structure. Typically associated with larger organizations designed to meet local environmental challenges.

An ability to concentrate on developing competency in specific niches. Weaknesses include the 'centrifugal pull' away from central R&D towards local efforts, and competition between divisions which inhibit knowledge sharing.

Adhocracy

A highly flexible project-based organization designed to deal with instability and complexity. Problem-solving teams can be rapidly reconfigured in response to external changes and market demands. Typical examples are professional partnerships and software engineering firms.

Capable of fast learning and unlearning; highly adaptive and innovative. However, the unstable structure is prone to short life, and may be driven over time toward the bureaucracy. .

Sumber: Mintzberg (1979); Tidd, et al (1997) dikutip oleh Lam (2004:9).

119

Perspektif inovasi dalam organisasi salah satunya dapat dipahami melalui artikel yang ditulis oleh Slappendel (1996) yang berjudul Perspectives on Innovation in Organizations. Dalam pandangan Slappendel (1996:3) kajian inovasi dalam teori organisasi dapat dilihat dalam tiga perspektif yaitu the individualist perspective, the structuralist perspective, dan the interactive process perspective. Tabel 12. The Main Feature of the Three Perspectives of Innovation Individualist

Structuralist

Interactive Process

Individuals cause innovation

Innovation determined by structural characteristics

Innovation produced by the interaction of structural influences and the actions of individuals

Conceptualization State and objectively defined objects of of an innovation

State and objectively defined objects of practices

Innovations are subject to reinventions and reconfigurations. Innovations are perceived

Conceptualization Simple linear with focus on the of the innovative adoptions stage process

Simple linear with focus on the adoptions stage

Complex process

Basic assumption

practices

Core concepts

Champions Leader Entrepreneurs

Environment Size Complexity Differentiation Formalization Centralization Strategic type

Shocks Proliferation Innovative capability Context

Research methodology

Cross-sectional survey

Cross-sectional survey

Case studies Case histories

Main authors

Rogers March and Simon

Zaltman, et al.

Van de Ven, et al.

Sumber: Slappendel (1996:3) & Styhre (2007:15) Perspektif individu, inovasi dikaitkan dengan individu dan aktor-aktor yang terkait dengan pelaksanaan tugas organisasi. Perspektif struktural, inovasi bertumpu

pada

pandangan

bahwa

inovasi

hanya

bisa

dilakukan

jika

120

organisasinya berubah, baik prosedur, struktur dan kulturnya. Sedangkan pada perspektif adalah perpaduan antara perspektif individu dan struktural yang bersifat interaktif.

Wilayah Inovasi Birokrasi Keterpaduan

Tataran INDIVIDU

Tataran KELEMBAGAAN

Tataran SISTEM

Pengetahuan Kemampuan Kompetensi

Kepemimpinan Sumberdaya Pengambil Keputusan SIM

Birokrasi

Innovative

Kerangka Aturan Kebijakan Pendukung

Gambar 7. Wilayah Inovasi Birokrasi Pemerintah Sumber: Slappendel (1996) dimodifikasi oleh Said (2010) Sementara itu, bahwa secara operasional menurut Said (2010:5), ketiga perspektif inovasi dalam organisasi yakni individu, struktural dan interaktif sebagaimana yang digambarkan pada Tabel 12 di atas dapat diuraikan kedalam beberapa komponen. Pada tataran individu, komponen yang harus dimiliki meliputi pengetahuan (knowledge), kemampuan (ability), dan kompetensi (competence). Pada tataran kelembagaan, komponennya meliputi kepemimpinan (leadership), sumberdaya (resource), pengambilan keputusan (decition making), dan sistem imformasi manajemen (SIM). Pada tataran proses interaktif (sistem),

121

yang harus dipahami adalah mengenai kerangka aturan yang tersedia dan kebijakan pendukung lainnya.

2.6.3

Tipologi dan Karakteristik Inovasi Secara historis sebetulnya, konsep inovasi (innovation) sebagai strategi

untuk meningkatkan keunggulan dalam bersaing, telah ada kajian yang cukup panjang yang dimulai sejak berdirinya administrasi sebagai ilmu. Hal ini telah diungkap oleh Muluk (2008:41), bahwa era 1990-2000an ditandai dengan berkembangnya

kajian

knowledge

management

yang

mengedepankan

pengelolaan pengetahuan sebagai dasar pembentukan core competence (kompetensi inti) sehingga organisasi dapat mengembangkan daya inovasinya yang sulit ditiru oleh organisasi lainnya. Jika ini terjadi maka bisa dipastikan bahwa organisasi tersebut memiliki keunggulan bersaing. Tokoh-tokoh utama dalam gerakan ini adalah Peter M. Senge (1990) dengan bukunya (the fifth discipline), Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi (1995) dengan bukunya (knowledge creating company), dan masih banyak lainnya. Konsep inovasi secara umum dapat dipahami dalam konteks perubahan perilaku.

Inovasi

biasanya

erat

kaitannya

dengan

lingkungan

yang

berkarakteristik dinamis dan berkembang. Pengertian inovasi sendiri sangat beragam, dan dari banyak perspektif. Menurut Rogers (2003:12), salah satu penulis buku inovasi terkemuka, menjelaskan bahwa inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu (satu unit) tertentu dan diadopsi oleh yang lainnya. Inovasi sebagai salah satu ciri nilai fleksibilitas organisasi bukan hanya sekedar melakukan sesuatu yang baru, menemukan sesuatu yang baru, atau membawa suatu gagasan yang baru sebagaimana definisi inovasi pada

122

umumnya. Namun menurut Sherwood (2002:2), inovasi sebagai suatu proses memerlukan empat tahapan yakni: (1) tahap pengajuan gagasan yaitu mempunyai ide lebih dahulu; (2) tahap evaluasi terhadap gagasan yang akan ditindaklanjuti; (3) tahap pengembangan yaitu memperbaiki gagasan tersebut dari konsep menjadi realitas yang menghasilkan sesuatu; dan (4) tahap implementasi yaitu mengupayakan gagasan tersebut sungguh-sungguh terwujud. Pengertian lain menyebutkan bahwa inovasi adalah kegiatan yang meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik yang sifatnya baru, lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang tersedia sebelumnya. Dapat pula dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat berupa produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang baru, sistem struktur dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi. Pengertian inovasi dapat pula dipahami dalam konteks manajemen sektor publik. Pemahaman ini dikemukakan oleh Cohen dan Elmicke (1998:2-3) yang mengemukakan bahwa inovasi manajemen sektor publik selalu berkaitan dengan aspek design dan management terhadap suatu kebijakan dan program. Rancangan kebijakan berhubungan perumusan kebijakan (policy formulation). Sedangkan manajemen suatu program terkait dengan pelaksanaan kebijakan (policy implementation). Pandangan tersebut diungkapkan oleh Cohen dan Elmicke dalam pernyataan sebagai berikut: “The development and implementation of new policy designs and new standard operating prosedures by public organizations to address public policy problems”. Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebuah inovasi tidak akan bisa berkembang dalam kondisi status quo. Walaupun tidak ada satu kesepahaman definisi mengenai inovasi, namun secara umum disimpulkan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) seperti dikutip oleh Osborne

123

dan Brown (2005:127) bahwa inovasi mempunyai beberapa atribut sebagai berikut: (1) Relative Advantage atau keuntungan relatif, yakni sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam inovasi yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain. (2) Compatibility atau kesesuaian, yakni inovasi juga sebaiknya mempunyai sifat kompatibel atau kesesuaian dengan inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak serta merta dibuang begitu saja, selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, namun juga inovasi yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi terbaru. (3) Complexity atau kerumitan, artinya dengan sifatnya yang baru, maka inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting. (4) Triability atau kemungkinan dicoba, artinya inovasi hanya bisa diterima apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai lebih dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji publik”, dimana setap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk mengujii kualitas dari sebuah inovasi. (5) Observability atau kemudahan diamati, artinya bahwa sebuah inovasi harus juga dapat diamati, dari segi bagaimana ia bekerja dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Sementara itu, harus pula dipahami bahwa terdapat perbedaanperbedaan antara inovasi di sektor publik dan di sektor swasta. Perbedaan ini

124

dikarenakan adanya nilia-nilai yang dimiliki oleh masing-masing sektor. Nilai-nilai yang dimiliki oleh sebuah organisasi dan dapat dibandingkan meliputi dimensi prinsip keorganisasian, struktur organisasi, ukuran kinerja, isu manajemen, hubungan dengan pengguna akhir, sumber daya manusia, sumber pengetahuan dan horizon waktu masing-masing organisasi. Pada dimensi prinsip pengorganisasian sektor bisnis, berupaya untuk dalam rangka memperoleh profit dan pertumbuhan pendapatan sebanyakbanyaknya, sementara sektor publik lebih pada upaya penegakan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Sektor bisnis pada dimensi struktur organisasi lebih bervariasi, sementara sektor publik memiliki struktur yang kompleks dan seringkali terjadi konflik. Dari aspek isu manajemen, pada sektor bisnis beberapa manajer mempunyai otonomi dan beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder, corporate goverance dan atau keuangan. Sedangkan pada sektor publik kebanyakan manajer berada pada posisi tertekan secara politik.

Tabel 13. Karakteristik Inovasi Sektor Bisnis dan Sektor Publik Dimensi

Inovasi Sektor Bisnis

1 Prinsip Pengorganisasian

Struktur Pengorganisasian

Ukuran kinerja

2

Inovasi Sektor Publik 3

Upaya memperoleh profit, stabilitas atau pertumbuhan pendapatan

Penegakan kebijakan publik

Pasar yang terus berubah

Kebijakan baru dan atau yang berubah karena siklus politik Sistem organisasi yang kompleks, kadang konflik satu sama lain

Ukuran organisasi yang Bervariasi Perubahan besar biasanya mengalokasikan dana khusus untuk inovasi

Inovasi harus disesuaikan dengan situasi kompleks, termasuk isu social equity dan efisiensi ekonomi

Return of Investment (RoI)

Indikator dan target kinerja yang banyak

Inovasi memakan biaya besar, dihitung dari selisih keuntungan penjualan

Keuntungan dari inovasi sangat sulit diukur

125

Dimensi

Inovasi Sektor Bisnis

Inovasi Sektor Publik

Isu manajemen

Beberapa manajer mempunyai otonomi, beberapa lainnya dibatasi oleh shareholder, corporate goverance dan atau keuangan

Kebanyakan manajer berada dalam situasi tekanan politik

Inovasi berhubungan dengan pengambilan resiko

Inovasi memerlukan persetujuan politik

Pasar adalah sebagai konsumen dan juga industri. Feedback dari pasar mendorong ide/inovasi

End-users adalah masyarakat, secara tradisional adalah warga negara

Hubungan dengan end-users

Inovasi dimotivasi oleh kebutuhan menjaga hubungan dengan pasar

Rantai supplay

SDM

Sumber pengetahuan

Horizon waktu

Customer relation tidak terbangun dengan baik. Inovasi biasanya tidak didorong oleh faktor end-users

Kebanyakan perusahaan merupakan bagian dari rantai supply yang lebih besar

Sektor publik tergantung pada sektor bisnis dalam pengadaan barang dan jasa

Inovasi yang dihasilkanperusahaan kecil biasanyakalah oleh perusahaan besar, karena kalah dalam hal dukungan dana

Sektor publik menentukan standar, sektor bisnis menawarkan inovasi

Motif ekonomi

Motif idealis

Pegawai didorong untuk membuat perbaikan atas produk yang dihasilkan

Inovasi kadang dilihat sebagai ancaman, juga sebagai diadopsi untuk perbaikan pelayanan publik Sumber pengetahuan sangat banyak. Relatif kaku, hanya beberapa bagian dari sektor publik yang emanfaatkan universitas

Fleksibel dan luas mulai dari konsultan, asosiasi perdagangan, dan peneliti sektor publik Inovasi bervariasi

Jenis inovasi di beberapa bagian berbeda

Kebanyakan Short-term

Kebanyakan Long-term

Inovasi memerlukan pembayaran secepatnya

Kesulitan dalam mengetahui konsekuensi dari sebuah inovasi

Sumber: Koch dan Hauknes (2005:24-26)

Proses

pengembangan

inovasi

dalam

konteks

kajian

inovasi

pemerintahan daerah dapat dipahami dengan mengutip pandangan. Rogers (1983:135) menyatakan bahwa secara umum the innovation-development process meliputi semua keputusan, kegiatan, dan dampak melalui proses yaitu (1) recognition of a need or problem; (2) through research; (3) development; (4) commercialization of an innovation; (5) diffusions and adoptions; dan (6) its consequences. Hal ini dipahami bahwa proses pengembangan inovasi dimulai

126

adanya

masalah

dan

kebutuhan

untuk

solusinya,

kegiatan

penelitian,

pengembangan, memperkenalkan, dan selanjutnya melalui difusi dan adopsi dari suatu inovasi oleh pengguna yang merasakan akibatnya. Proses pengembangan program inovasi dalam suatu organisasi dapat juga dipahami dari pandangan Wood, et al (1998:654) yang mengemukakan empat tahapan dari proses inovasi (steps in the innovation process) yakni:

(1) Idea creation - new product or process idea arise from spontaneous, creativity, ingenuity and information processing

(2) Initial experimentation - new ideas are first examined in concept to establish their potential values and applications

(3) Feasibility determination - formal studies are conducted to determine feasibility of adopting the new product or process including cost and benefits

(4) Final application - the new product or service is produced and marketed or the new process is fully implemented. Keempat tahapan dalam proses inovasi menurut Wood, et al (1998) tersebut memberikan pemahaman bahwa suatu pengembangan inovasi dalam organisasi diawali melalui proses penciptaan ide dari suatu produk atau proses yang baru yang bisa muncul dari spontanitas, kreativitas, kecerdasan dan pengelolaan informasi. Ide baru tentang produk atau proses tersebut diuji coba terdahulu dengan membangun konsep tentang nilai-nilai potensinya dan penerapannya. Selanjutnya dilakukan penentuan kelayakan melalui studi formal bagaimana mengadopsi produk proses baru termasuk biaya dan manfaat di dalamnya dan tahapan terakhir adalah mengkomersilkan produk untuk dijual kepada pelanggan atau klien.

127

Selain pandangan dari Rogers (1983) dan Wood, et al (1998), secara teoritik proses pengembangan inovasi bisa juga dilihat dari pandangan Eggers & Singh (2009:7) yang menyebutkan bahwa proses pengembangan inovasi melalui empat fase atau tahapan, yakni (1) tahap penemuan dan mengungkap gagasangagasan inovasi (idea generation and discovery); (2) tahap menyeleksi gagasan inovasi tersebut (idea selection); (3) tahap implementasi terhadap ide inovasi yang terseleksi (idea implementation); (4) tahap difusi inovasi yakni tahap penyebaran inovasi (idea diffusion). Keempat tahapan yang dinyatakan oleh Eggers & Singh (2009) ini pada dasarnya merupakan siklus inovasi yang sangat berperan dalam pengembangan inovasi. Arti penting pengembangan inovasi bagi organisasi sektor publik, seperti inovasi pemerintahan daerah dalam kajian ini menjadi perhatian serius dari Mulgan dan Albury (2003:2). Hal tersebut dapat disimak dalam pernyataannya seperti berikut: “Innovation should be a core activity of the public sector: it helps public services to improve performance and increase public value; respond to the expectations of citizens and adapt to the needs of users; increase service efficiency and minimise costs.” Makna dari apa yang dinyatakan oleh Mulgan dan Albury di atas, bahwa inovasi seharusnya menjadi inti dari seluruh aktivitas di sektor publik. Inovasi dapat membantu meningkatkan kinerja pelayanan dan nilai-nilai publik. Inovasi berarti meningkatkan daya tanggap terhadap harapan warga dan kebutuhan para pengguna layanan. Juga inovasi dapat menumbuhkan efisiensi dan mengurangi biaya. Mulgan dan Albury (2003) juga menyebutkan beberapa alasan mengapa sektor publik harus melakukan inovasi. Beberapa alasan tersebut meliputi: (1) inovasi dilakukan untuk merespon secara lebih efektif perubahan dalam

128

kebutuhan dan ekspektasi publik yang terus meningkat; (2) untuk memasukkan unsur biaya dan untuk meningkatkan efisiensi; (3) untuk memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk dibagian-bagian di masa lalu hanya mengalami sedikit kemajuan; (4) untuk mengkapitalisasikan penggunaan ICT secara penuh, karena hal ini telah terbukti meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan. Setelah pengembangan

memahami inovasi,

konsep-konsep

berikutnya

terkait

dikemukakan

dengan

proses

konsep-konsep

yang

berhubungan dengan tipologi atau jenis inovasi di sektor publik (pemerintahan). Terkait dengan tipologi inovasi sektor publik ini menurut Halvorsen (2005:5), telah membagi tipologi inovasi di sektor publik seperti berikut ini: (1) A new or improved service (pelayanan baru atau pelayanan yang diperbaiki), misalnya pelayanan kesehatan di rumah. (2) Process innovation (inovasi proses), misalnya perubahan dalam proses penyediaan pelayanan atau produk. (3) Administrative

innovation

(inovasi

bersifat

administratif),

misalnya

penggunaan instrumen kebijakan baru sebagai hasil dari perubahan kebijakan. (4) System innovation (inovasi sistem), adalah sistem baru atau perubahan mendasar dari sistem yang ada dengan mendirikan organisasi baru atau bentuk baru kerjasama dan interaksi. (5) Conceptual innovation (inovasi konseptual), adalah perubahan dalam outlook, seperti misalnya manajemen air terpadu atau mobility leasing. (6) Radical change of rationality (perubahan radikal), yang dimaksud adalah pergeseran pandangan umum atau mental matriks dari pegawai instansi pemerintah.

129

Lebih lanjut Halvorsen (2005) menjelaskan pula bahwa inovasi itu sendiri dapat dikategorikan menjadi seperti berikut ini: (1) Incremental innovations and radical innovations. Inovasi ini berhubungan dengan tingkat keaslian (novelty) dari inovasi itu sendiri. Khususnya di sektor industri, kebanyakan inovasi bersifat perbaikan secara inkremental (2) Top-down innovations and bottom-up innovations. Ini untuk menjelaskan siapa yang memimpin proses perubahan perilaku. Makan top-down berarti manajemen atau organisasi atau hirarkhi yang lebih tinggi, sedangkan bottom-up merujuk pada pekerja atau pegawai pemerintah dan pengambil keputusan pada tingkat unit (mid-level policy makers). (3) Needs-led innovations and efficiency-led innovation. Proses inovasi yang diinisiasi

telah

menyelesaikan

permasalahan

dalam

rangka

untuk

meningkatkan efisiensi pelayanan, produk dan prosedur. Mulgan dan Albury (2003:3), menyatakan bahwa inovasi yang sukses adalah merupakan kreasi dan implementasi dari proses, produk, layanan, dan metode pelayanan baru yang merupakan hasil pengembangan nyata dalam efisiensi, efektivitas atau kualitas hasil. Oleh karena itu inovasi telah berkembang jauh dari pemahaman awal yang hanya mencakup inovasi dalam produk (products & services) dan proses semata. Inovasi produk atau layanan berasal dari perubahan bentuk dan desain produk atau layanan, sementara inovasi proses berasal dari gerakan pembaruan kualitas yang berkelanjutan dan mengacu pada kombinasi perubahan organisasi, prosedur, dan kebijakan yang dibutuhkan untuk berinovasi. Jenis-jenis dan tipologi inovasi sebagaimana yang dimaksudkan oleh Mulgan dan Albury tersebut dapat dilihat secara visual pada Gambar 8 berikut ini.

130

Gambar 8. Tipologi Inovasi Sektor Publik Sumber: Muluk, (2008:45)

Selain itu Windrum (2008:8) juga dalam karyanya berjudul: Innovation in Public

Sector

Services:

Entrepreneurship,

Creativity

and

Management,

mengungkapkan adanya taksonomi inovasi yang terdiri dari enam jenis inovasi. Keenam inovasi sektor publik menurut Windrum (2008) yaitu: (1) Service innovation is the introduction of a new service product or an improvement in the quality of an existing service product. (2) Service delivery innovation involves new or altered ways of delivering to clients or otherwise interacting with them, for the purpose of supplying specific public services. (3) Administrative and organizational innovation changes the organizational structures and routines by which front office staff produces services in a particular way and/or back office staff support front office services.

131

(4) Conceptual innovation is the development of new world views that challenge assumptions that underpin existing service products, processes and organizational. It can occur at all levels and involve the introduction of new missions, new world views, objectives, strategies and rationales. (5) Policy innovations change the thought or behavioural intentions associated with a policy belief system (Sabatier, 1987, 1999). Policy innovations are associated with three types of learning (Glasbergen, 1994). First, there is learning of how policy instruments can be improved to achieve a set of goals. Second, there is conceptual learning that follows changes in shared understanding of a problem and appropriate courses of action. Third, there is social learning based on shared understanding of the appropriate roles of policy actors. (6) Systemic innovation involves new or improved ways of interacting withother organizations and knowledge bases. As a consequence of deregulation and increasing competition, partly as the result of budgetary constraints in public administration and the increasing role of service outsourcing. Berdasarkan pembagian jenis inovasi tersebut, oleh Windrum (2008) dalam buku yang sama, memberi penjelasan bahwa jenis inovasi yang pertama sampai dengan ketiga yakni service innovation, delivery innovation, dan organizational innovation, merupakan jenis inovasi yang telah lama dikenal dan diujikan pada studi-studi sektor swasta. Namun selanjutnya dalam rangka pengembangan analisis terhadap inovasi dalam suatu organisasi, terutama organisasi sektor publik, maka digunakan jenis atau kategori berikutnya, yakni conceptual innovation (inovasi konseptual), policy innovation (inovasi kebijakan), dan systemic innovation (inovasi sistemik). 2.6.4

Strategi dan Faktor Berpengaruh Terhadap Inovasi Strategi dalam proses inovasi menjadi amat penting untuk memastikan

kesuksesan suatu inovasi dijalankan dalam organisasi publik. Untuk itulah, pada bagian ini diuraikan beberapa pandangan tentang strategi dan faktor-faktor yang menghambat dalam proses inovasi. Terkait dengan proses inovasi ini, Behn (2008:142), menyatakan bahwa terdapat empat jenis proses yang berbeda dalam penerapan inovasi yang kerap dikembangkan, antara lain:

132

(1) Diffusion, yakni proses inovasi yang sifatnya tidak disengaja (unintentional), berlangsung spontan (spontaneous), proses yang tidak tampak (hiddenhand) dilakukan oleh seseorang ketika mendengar tentang inovasi dan menyimpulkan bermanfaat untuk di coba. Sering disebut dengan “the somehow people will learn how to get better approach”. (2) Transfer, yakni pertukaran ide-ide secara informal dan diparaktekkan oleh suatu jaringan antara individu-individu, biasanya jaringan pertemanan dan kolega dalam suatu profesi (pekerjaan) yang sama atau area kebijakan, meskipun berbeda organisasi atau wilayah kerja. Biasanya disebut “the friends will tell friends about how they are getting better approach”. (3) Propagation, yakni suatu upaya berupa pemikiran atau perencanaan yang telah disiapkan terlebih dahulu (mungkin oleh inovator-inovator, individu diluar organisasi, atau level pemerintahan yang lebih tinggi) untuk membuat strategi dialog terhadap pendidikan dan bantuan untuk mentransfer inovasi dari orang (pihak) lain. Hal ini seringkali disebut sebagai “the we ought to help people learn how to get better approach”. (4) Replication, yakni suatu usaha sadar yang dilakukan oleh organisasi (individu di dalam organisasi) yang bekerja keras untuk memperbaiki, dengan mencari secara aktif terhadap ide-ide, kebijakan, program, dan praktek yang telah sukses dan dapat diadopsi. Jenis sering disebut dengan ungkapan “the we want to learn from others who know how to get better approach”. Dalam salah satu makalah yang diliris oleh NESTA (2008: 11), telah meninjau faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi sejauh mana pemerintah dan organisasi sektor publik lainnya dapat secara mandiri menghasilkan inovasi. Faktor-faktor kunci yang dapat mempengaruhi yang dimaksud meliputi:

133

(1) Jenis organisasi atau rantai penyediaan pelayanan (the type of agency or service delivery chain); (2) Misi utama organisasi (the agency’s fundamental mission); (3) Cakupan fungsional di mana organisasi beroperasi (the functional area in which the organization operates); (4) Ukuran dan hirarki organisasi (the size and hierarchy of the organization); (5) Ruang lingkup organisasi (the organization’s national, regional, urban or rural location); (6) Kebijakan organisasi yang berkaitan dengan manusia secara umum (the organization’s general human relations policies); (7) Apakah organisasi memiliki kebijakan khusus dan program yang mendorong inovasi (whether the organization has specific policies and programmes encouraging innovation). Dalam proses implementasi inovasi menurut Slappendel (1996:109) paling tidak dapat dilihat dari tiga perspektif yang saling melengkapi, yakni (1) the individual perspective, yang menekankan pada aktor individu sebagai pihak utama dengan prinsip the principal agents dalam melakukan inovasi; (2) the structural perspective, menganggap bahwa inovasi sangat ditentukan oleh karakteristik organisasi); dan (3) the interactive perspective, keberhasilan suatu inovasi merupakan dampak dari kolaborasi antara kelompok individu, organisasi dan sumber daya yang relevan (Styhre, 2007: 14) Dalam implementasinya, inovasi pun tidak terjadi secara mulus atau tanpa resistensi. Banyak dari kasus inovasi diantaranya justru terkendala oleh berbagai faktor. Pada umumnya faktor budaya organisasi menjadi faktor penghambat terbesar dalam mempromosikan sebuah inovasi. Selain faktor budaya organisasi tersebut, banyak lagi faktor yang dapat menghambat

134

tumbuhnya inovasi dalam suatu organisasi, sebagaimana tampak pada gambar berikut.

Culture of risk aversion

Delivery pressures and administrative burders

Short-term budgets and planning horizons

Reluctance to close down failing programmes or organisation

NO INNOVATION

Poor skills in active risk or change management

Over-reliance on high performers as sources of innovation

Technologies available but constraing culture or organizational arrangements

No rewards or incentives to innovate or adopt innovations

Gambar 9. Faktor-faktor Penghambat Inovasi Sumber: Mulgan dan Albury (2003:31)

Gambar 9 pada bagian di atas ini memberikan ilustrasi tentang adanya sejumlah hambatan dalam pengembangan inovasi yang dapat diidentifkasi menjadi delapan jenis penghambat. Diantaranya yang disebut dengan budaya risk aversion adalah budaya yang tidak menyukai resiko. Hal ini berkenaan dengan sifat inovasi yang memiliki segala resiko, termasuk resiko kegagalan. Sektor publik, khususnya pegawai cenderung enggan berhubungan dengan resiko, dan memilih untuk melaksanakan pekerjaan secara proseduraladministratif dengan resiko minimal. Selain itu, secara kelembagaan pun, biasanya karakter unit kerja di sektor publik pada umumnya tidak memiliki

135

kemampuan dalam menangani resiko yang muncul sebagai akibat dari pekerjaanya. Hambatan-hambatan lainnya yang dapat ditemukan pada Gambar 9 adalah adanya ketergantungan terhadap figur atau pemimpin tertentu yang memiliki kinerja tinggi, sehingga kecenderungan kebanyakan pegawai di sektor publik hanya menjadi pengikut (followers). Ketika figur atau pemimpin tersebut hilang dan digantikan oleh figur lainnya, maka yang terjadi adalah stagnasi dan kemacetan kerja. Selain itu, hambatan anggaran yang periodenya terlalu pendek, serta hambatan administratif yang membuat sistem dalam berinovasi menjadi tidak fleksibel. Sejalan dengan itu juga, biasanya penghargaan atas karya-karya inovatif masih sangat sedikit. Sangat disayangkan hanya sedikit apresiasi yang layak atas prestasi pegawai atau unit yang berinovasi. Faktor-faktor inovasi yang disampaikan oleh Mulgan dan Albury pada Gambar 9, pada dasarnya menyangkut dua hal, yakni (1) faktor-faktor inovasi yang bersumber dari individu, baik pegawai maupun pemimpinnya; dan (2) faktor-faktor inovasi yang bersumber atau berkaitan dengan karakter organisasi. Terkait dengan faktor-faktor inovasi ini, pengembangan inovasi sektor publik perlu pula dipahami bahwasanya terdapat faktor-faktor kritis yang lain. Faktorfaktor kritis pengembangan inovasi tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Muluk (2008:49) bahwa inovasi sektor publik bukanlah sebuah kondisi yang dapat sukses dijalankan dengan sebatas niat saja apalagi terjadi dengan sendirinya. Oleh sebab itu dibutuhkan beberapa faktor untuk menjamin keberhasilan pengembangan sebuah inovasi pemerintahan daerah. Beberapa faktor kritis tersebut antara lain: (1) kepemimpinan yang mendukung inovasi yakni kemauan politik yang kuat, penguatan mandat (peraturan daerah), membangun visi dan

136

misi sistem inovasi; (2) pengembangan budaya inovasi; (3) tersedianya pegawai terdidik dan terlatih (4) pengembangan tim inovasi yang memiliki kinerja inovasi dan jaringan inovasi; dan (5) orientasi kinerja yang terukur. Tanpa kehadiran faktor-faktor ini maka terjadinya inovasi pemerintahan daerah akan menjadi sulit terealisasi. Dengan demikian faktor-faktor kritis tersebut perlu terus diidentifikasi dan perlu pula terus dijamin ketersediaannya dalam suatu organisasi.

2.7.

Model Konseptual (Conseptual Model) Penelitian Model konseptual penelitian ini di awali dengan menengok kembali dasar

hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah secara umum, termasuk pembagian urusan pemerintahan dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembagian urusan pemerintahan dalam konteks penelitian ini mengacu pada dua undangundang yakni UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.

Kedua

undang-undang

yang

mengatur

sistem

pemerintahan daerah tersebut merupakan wujud dari model desentralisasi yang pada prinsipnya telah memberi ruang yang cukup lebar bagi daerah untuk berkreasi dan berinovasi baik secara politik maupun administrasi. Ruang politik dan administrasi yang cukup lebar tersebut juga sudah digunakan oleh beberapa daerah untuk berinovasi dalam mengembangkan program urusan pendidikan sebagaimana yang berlangsung di Kabupaten Gowa. Pada awalnya konsep inovasi sebagai basis keunggulan sebuah organisasi dalam memenangi persaingan hanya terkenal di sektor bisnis. Dalam perkembangannya, inovasi ini telah lama menjadi topik para ahli di antaranya oleh Korten (1976), Rogers (1983) dan Wood, et al (1998) dan menemui puncaknya ketika konsep knowledge management dikembangkan untuk

137

membentuk core competence suatu organisasi dalam berinovasi (Senge, 1990) dan (Muluk, 2008). Kemudian konsep inovasi ini dikembang pula oleh para ilmuwan dan peneliti bidang administrasi publik sebagai instrumen alternatif dan strategis baik secara politik maupun administratsi dalam menghadapi persoalanpersoalan di sektor publik yang semakin kompleks. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Mugan & Albury (2003), Farazamand (2004), Vigoda-Gadot (2005), Borins (2008), dan Eggers & Singh (2009). Dalam konteks penelitian ini, konsep inovasi dipahami sebagai instrumen administrasi pemerintahan yang sudah banyak dikembangkan dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu di antaranya adalah pengembangan inovasi pemerintahan daerah di Kabupaten Gowa dalam urusan pendidikan sebagai urusan wajib dan bersifat pelayanan dasar bagi masyarakat. Berdasarkan pada fokus pertama dari penelitian ini yakni proses pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan, maka fokus kajian dilakukan dalam konteks pemerintahan daerah yang memiliki dua fungsi dan wewenang yakni fungsi mengatur dan fungsi mengurus (Hossein, 2009) dan (Muluk, 2009). Fungsi mengatur dalam konteks penyelenggaraan urusan pendidikan bermakna bahwa pemerintah daerah (KDH) dan DPRD melaksanakan proses pembentukan (perumusan) kebijakan (Perda) yang disebut juga sebagai proses politik. Sementara fungsi mengurus bermakna sebagai proses manajerial yakni implementasi kebijakan (Perda) oleh pemerintah daerah (KDH) dan perangkat daerah terhadap kebijakan dan program yang berkaitan dengan program inovasi dalam urusan pendidikan. Proses pengembangan program inovasi dapat juga difahami dengan berdasar pada pandangan Rogers (1983) yakni program inovasi dilaksanakan melalui proses adanya kebutuhan atau masalah, penelitian, pengembangan, komersialisasi, difusi dan manfaat. Serta melalui pendapat

138

Wood, et al (1998) yakni proses penciptaan ide, uji coba pendahuluan, penentuan kelayakan, dan penerapan. Fokus penelitian yang berhubungan dengan tipologi program inovasi dalam urusan pendidikan didalami dengan menggunakan konsep tipologi inovasi di sektor publik yang dikembangkan oleh Mugan & Albury (2003) dan Muluk (2008). Dalam kajian inovasi sektor publik dikenal ada lima tipologi inovasi yakni inovasi produk layanan, inovasi proses pelayanan, inovasi metode pelayanan, inovasi kebijakan, dan inovasi sistem. Selain itu terdapat pula kategorisasi level inovasi yakni dimulai dari level inkremental, radikal, dan transformatif (sistemik). Sementara itu konsep tentang kriteria dari suatu program inovasi didasarkan pada konsep best practices sebagai dasar inovasi yang dikembangkan oleh Prasojo, et al (2004) yakni memiliki dampak positif dan nyata (impact), kemitraan (partnership) dalam proses, dan jaminan berkelanjutan (sustainability). Konsep tipologi inovasi dan kategorisasi level inovasi serta kriteria program inovasi inilah yang dijadikan sebagai alat analisis kajian untuk memahami lebih dalam bagaimana tipologi inovasi dalam urusan pendidikan. Konsep kapasitas pemerintah daerah dalam konteks ini adalah kemampuan yang dipunyai oleh pemerintah daerah sebagai organisasi publik dalam mengembangkan program inovasi urusan pendidikan. Kapasitas inovasi pemerintah daerah dimaksudkan agar tercapai model pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang efektif dan efisien. Beberapa konsep kapasitas yang ditampilkan antara lain konsep capacity building dari Grindle (1997) dan model of management and government Innovation yang dikembangkan oleh Kim, et al (2007). Dalam konteks kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan ini lebih relevan menggunakan konsep model kapasitas manajenen inovasi inovasi menurut Kim, et al (2007) yang meliputi innovative leadership

139

(kepemimpinan inovatif), quality of workforce (kualitas tim kerj), systems dan structures (sistem dan struktur), serta managing external influences (pengelolaan pengaruh-pengaruh dari luar). Bagian akhir dari kerangka konseptual penelitian ini juga ditampilkan beberapa faktor yang dinilai sebagai penghambat pengembangan inovasi pemerintahan daerah secara efektif, efisien, dan profesional. Faktor-faktor penghambat yang dimaksud dikemukakan oleh Mulgan dan Albury (2003) yang meliputi pertama, faktor-faktor yang berhubungan dengan dengan individu sumber daya aparatur dan pemimpin organisasinya. Kedua, faktor-faktor penghambat yang terkait dengan karakteristik dari institusi dan organisasi yang bersangkutan misalnya struktur organisasi, regulasi, anggaran, jaringan (internal dan eksternal), dan budaya organisasi yang cenderung resisten terhadap hal-hal baru. Melalui pengembangan model konseptual penelitian tentang inovasi pemerintahan daerah ini diharapkan berkontribusi dalam mengkaji dan memahami

bagaimana

seharusnya

efektivitas

pengembangan

inovasi

pemerintahan daerah khususnya dalam penyelenggaraan urusan pendidikan berlangsung. Secara sederhana model konseptual penelitian ini dapat diliihat pada

Gambar

10

tentang

model

konseptual

pengembangan

pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan berikut ini.

inovasi

28

URUSAN WAJIB PENDIDIKAN UU No. 32/2004 & UU No. 23/2014

LATAR BELAKANG MASALAH Fenomena empirik dunia pendidikan

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH Eggers & Singh (2009) Borins (2008), Vigoda-Gadot (2005), Farazmand A. (2004), Mulgan & Albury (2003), Watson DJ. (1999), Roberts (1999), Slappendel (1996), & Kirton (1976),

TIPOLOGI PROGRAM INOVASI Mulgan & Albury (2003), Prasojo (2004), & Muluk (2008),

PROSES PENGEMBANGAN PROGRAM INOVASI Eggers & Singh (2009), Hoessein B. (2009), Muluk (2008), Wood et al (1998), & Rogers (1983)

FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT INOVASI Mulgan & Albury (2003)

KAPASITAS INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH Grindle MS. (1997), Kim, et al (2007), Eggers & Singh (2009), Evans M. (2010)

PENGEMBANGAN INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG EFEKTIF, EFISIEN & PROFESIONAL

Gambar 10: Model Konseptual (Conceptual Model) Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

BAB III ANALISIS SOCIAL SETTING PENELITIAN

Pada bagian ini dipaparkan analisis dan deskripsi latar sosial masyarakat dan pemerintahan daerah kabupaten Gowa sebagai lokus penelitian, dimana lokasi penelitian tentang inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan ini dilakukan. Analisis latar sosial penelitian ini diharapkan berguna untuk mengetahui kondisi nyata masyarakat daerah Kabupaten Gowa. Kondisi latar sosial masyarakat suatu daerah memiliki makna penting dalam inovasi pemerintahan daerah, karena makna daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan berdasarkan kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat. Oleh karena itulah, maka analisis dimulai dengan memaparkan kondisi umum latar sosial masyarakat, kemudian kondisi-kondisi khusus mengenai latar sejarah dan masa kini penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa.

3.1

Latar Sosial Masyarakat Kabupaten Gowa Dahulu Gowa merupakan satu kerajaan orang Makassar yang besar di

Sulawesi Selatan. Kabupaten Gowa merupakan daerah atau wilayah Kerajaan Gowa. Gowa sering menjadi model kehidupan kebudayaan dan kehidupan adat istiadat orang-orang suku Makassar. Masyarakat Makassar dalam kacamata sosiologi adalah sebuah kelompok dengan anggota individu yang hingga kini ciri utamanya adalah bahasa atau mungkin juga ragam yang digunakannya untuk berkomunikasi dikalangan mereka. Bahasa tersebut adalah bahasa yang juga hingga kini masih diterima dengan istilah bahasa Makassar.

141

142

Masyarakat Kabupaten Gowa dilihat dari segi populasinya, saat ini sudah berjumlah 594.423 jiwa. Etnis mayoritas masyarakat adalah etnis Makassar atau To-Mangkasara. Masyarakat mendiami wilayah Kabupaten Gowa yang luasnya 1.883,33 Km2 atau sama dengan 3,01 persen dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Tersebar di 18 Kecamatan dan Desa/Kelurahan definitif sebanyak 167 dan 726 Dusun/Lingkungan. Wilayah Kabupaten Gowa sebagian besar berupa dataran tinggi berbukitbukit, yaitu sekitar 72,26 persen yang meliputi sembilan kecamatan yakni Kecamatan Parangloe, Manuju, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya 27,74 persen berupa dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi sembilan Kecamatan yakni

Kecamatan Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang, Pallangga,

Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo Selatan. Memperhatikan tipologi geografis daerah Kabupaten Gowa tersebut, maka wajar jika mata pencaharian pokok masyarakat Gowa adalah berladang dan bersawah (pammarri). Mata pencaharian kedua bagi masyarakat Gowa adalah berlayar mengarungi lautan, baik sebagai pedagang antar pulau maupun sebagai nelayan penangkap ikan. Hal tersebut sesuai dengan data Survei Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2009, lapangan perkejaan yang paling banyak digeluti adalah sektor pertanian yaitu 42,81 persen dibanding dengan lapangan pekerjaaan sektor lainnya. Susenas (2009) juga mencatat bahwa 14,32 persen penduduk berumur 10 tahun keatas tidak pernah sekolah, 21,45 persen yang masih sekolah, dan 64,24 persen sudah tidak bersekolah lagi. Bila dilihat dari pendidikan yang ditamatkan, terdapat 21,38 persen penduduk usia 10 tahun keatas yang tidak/belum tamat SD, 23,67 persen tamat SD, 15,94 persen tamat SLTP, 18,16

143

persen tamat SMU/SMA kejuruan, sisanya (7,53 persen) merupakan tamatan D1 hingga S3. Sementara itu, 54,37 persen penduduk usia 16-18 tahun masih bersekolah, dan 43,16 persen tidak bersekolah lagi. Selain itu, hanya 13,49 persen dari penduduk usia 19-24 tahun yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan tinggi. Dilihat dari jumlah sekolah, jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun, namun sebaliknya, jumlah guru justru cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2008, jumlah guru SD sebanyak 1.594 orang, namun pada tahun 2009 berkurang 42 persen menjadi 913 orang.

Tabel 14.

Perkembangan Indeks Pembangunan Kabupaten Gowa Tahun 2006-2012

No. Indikator 1.

Angka Harapan Hidup AHH (Tahun)

2.

Angka Melek Hurup (Persen)

3. 4.

Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Paritas Daya Beli (Ribu Rp.)

5.

IPM Gowa

6.

Peringkat Provinsi

Manusia

(IPM)

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

70,9

71,07

71,25

71,43

71,61

71,78

71,96

78

79,78

79,78

80,27

81,92

82,32

82,49

6,36

6,36

6,36

6,57

6,83

7,23

7,23

622,23 630,40 635,50 639,15 639,23 641,00 643,00 67,74

68,87

69,37

70,00

70,67

71,29

71,59

16

15

15

15

15

14

14

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2013

Deskripsi latar sosial masyarakat, sebagaimana telah diuraikan, dapat menunjukkan beberapa ciri sosial masyarakat Kabupaten Gowa yaitu: (1) masyarakat masih homogen dari sisi etnis; (2) kondisi masih agraris dan rural;

144

dan (3) rata-rata pendidikan masyarakat masih rendah. Ciri-ciri sosial masyarakat seperti ini, tentu dapat menjadi dasar (modal sosial) untuk semakin mendorong

pemerintah

daerah

setempat

melakukan

terobosan

dalam

melaksanakan pembangunan dan pelayanan publik di daerah ini. Sebaliknya ciri sosial masyarakat tersebut bisa menjadi penghambat jika tidak dilakukan dengan strategi yang tepat. Di sinilah dibutuhkan pemikiran-pemikiran inovatif dari pemerintah daerah terutama Kepala Daerah dan DPRD Kabupaten Gowa dalam melaksanakan fungsinya sebagai public services dan public goods delivery.

3.2

Deskripsi Latar Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa

3.2.1

Latar Sejarah Pemerintahan Daerah Pemerintahan daerah Kabupaten Gowa memiliki catatan sejarah yang

panjang. Sejarah pemerintahan daerah kabupaten ini pada dasarnya dapat ditelusuri jejaknya sejak Nusantara ini masih terdiri atas berbagai kerajaan yang ada pada beberapa abad yang lalu. Terutama jejak sejarah pemerintahan di daerah ini dapat ditelusuri sejak pemerintahan Kerajaan Gowa berkuasa pada abad ke XVI yang lalu. Oleh karena daerah Kabupaten Gowa adalah pusat Kerajaan Gowa yang sangat terkenal terutama ketika dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke XVI yang terkenal dengan gelar Ayam Jantan dari Timur. Pada bagian ini, pemahaman terhadap kondisi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa hanya dijelaskan dalam perpektif pemerintah modern setelah merdeka. Berdasarkan risalah pemerintahan daerah di Indonesia, Kabupaten Gowa adalah salah satu daerah otonom yang terbentuk melalui UU No. 44 Tahun 1950 tentang pembentukan 30 Daerah Swapraja termasuk 13 Daerah Swapraja di Indonesia Bagian Timur. Sejarah Pemerintahan Daerah Gowa

145

berkembang mengikuti sistem pemerintahan negara. Setelah Negara Indonesia Timur bubar dan negara berubah menjadi sistem Pemerintahan Parlementer berdasarkan UUDS Tahun 1950 dan UU Darurat No. 2 Tahun 1957, maka Daerah Makassar menjadi bubar pula. Kemudian barulah pada tanggal 17 Januari 1957 ditetapkan berdirinya kembali Daerah Gowa dalam wadah NKRI dan ditetapkan pula sebagai Daerah Tingkat II. Selanjutnya dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah untuk seluruh wilayah Indonesia maka pada tanggal 18 Januari 1957 telah dibentuk Daerah-daerah Tingkat II. Berdasarkan UU No. 29 Tahun 1957 sebagai penjabaran UU No. 1 Tahun 1957 mencabut UU Darurat No. 2 Tahun 1957 dan menegaskan bahwa Gowa sebagai Daerah Tingkat II yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam melaksanakan pemerintahan daerah didasarkan pada Surat Keputusan Mendagri No. U.P/7/2/24 tanggal 6 Pebruari 1957 yang mengangkat Andi Ijo Karaeng Lalolang sebagai Kepala Daerah. Kepala Daerah ini memimpin 12 (dua belas) daerah bawahan Distrik yang dibagi menjadi 4 (empat) lingkungan kerja pemerintahan yang disebut koordinator. Pada tahun 1960 berdasarkan kebijakan dari Pemerintah Pusat, di seluruh Wilayah Republik Indonesia diadakan Reorganisasi Distrik menjadi Kecamatan. Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa yang mulanya terdiri 12 Distrik diubah menjadi delapan Kecamatan. Berdasarkan PP No. 51 Tahun 1971 tentang Perluasan Kotamadya Ujung Pandang sebagai Ibukota Propinsi, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa menyerahkan 2 (dua) Kecamatan yang ada di wilayahnya, yaitu Kecamatan Panakkukang dan sebagian Kecamatan Tamalate dan Desa Barombong Kecamatan Pallangga (seluruhnya 10 Desa) kepada Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang.

146

Terjadinya penyerahan sebagian wilayah tersebut, mengakibatkan makna samarnya jejak sejarah Gowa di masa lampau, terutama yang berkaitan dengan aspek kelautan pada daerah Barombong dan sekitarnya. Hal ini mengingat, Gowa justru pernah menjadi sebuah Kerajaan Maritim yang berjaya di Indoneia Bagian Timur, bahkan sampai ke Asia Tenggara. Dengan dilaksanakannya UU No. 51 Tahun 1971, maka praktis wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa mengalami perubahan yang sebelumnya terdiri 8 (delapan) Kecamatan dengan 56 Desa menjadi 7 (tujuh) Kecamatan dengan 46 Desa. Sebagai akibat dari perubahan itu pula, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa berupaya dan menempuh kebijakan-kebijakan yang didukung oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dengan membentuk 2 (dua) buah Kecamatan yaitu Kecamatan Somba Opu dan Kecamatan Parangloe. Guna memperlancar pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan masyarakat Kecamatan Tompobulu, maka berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan No.574/XI/1975 dibentuklah Kecamatan Bungaya hasil pemekaran Kecamatan Tompobulu. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 1984, Kecamatan Bungaya didefenitifkan sehingga jumlah kecamatan di Kabupaten Gowa menjadi 9 (sembilan). Dalam sejarah keberadaan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II sejak tahun 1957 sampai sekarang telah mengalami 12 (dua belas) kali pergantian Kepala Daerah. Berdasarkan data dokumentasi peneliti, bahwa kini pemerintahan daerah Kabupaten Gowa secara administratif terbagi menjadi 18 Kecamatan, 127 Desa, 44 Kelurahan, dan 726 Dusun (Lingkungan). Wilayah administratif pemerintahan daerah Kabupaten Gowa ini terbentang diatas luas wilayah 1.883,33 Km2 atau setara 3,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.

147

Tabel 15. Wilayah Kecamatan dan Jumlah Penduduk Kabupaten Gowa Tahun 2011

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Kecamatan Bontonompo Bontonompo Selatan Bajeng Bajeng Barat Pallangga Barombong Somba Opu Bontomarannu Pattallassang Parangloe Manuju Tinggi Moncong Tombolo Pao Parigi Bungaya Bontolempangan Tompobulu Biringbulu Total

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Luas Kecamatan (Km2)

39.690 28.758 62.961 23.149 99.715 34.874 131.598 31.565 22.101 16.731 14.235 22.361 27.146 13.221 16.006 13.466 29.236 32.673

30,39 29,24 60,09 19,04 48,24 20,67 28,09 52,63 84,96 221,26 91,90 142,87 251,82 132,76 175,53 142,46 132,54 218,84

659.513

1.883,33

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2013

3.2.2

Latar Wilayah Administratif dan Sumber Daya Ekonomi Kabupaten Gowa berada pada 12°38.16' Bujur Timur dan 5°33.6' Bujur

Timur dari Kutub Utara. Sedangkan letak wilayah administrasinya antara 12°33.19' hingga 13°15.17' Bujur Timur dan 5°5' hingga 5°34.7' Lintang Selatan. Kabupaten yang berada pada bagian Selatan dari Provinsi Sulawesi Selatan ini berbatasan dengan 7 (tujuh) Kabupaten/Kota lainnya. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, Bulukumba, dan Bantaeng. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan Jeneponto. Sedangkan di bagian Barat berbatasan dengan Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.

148

Gambar 11. Peta Wilayah Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa Sumber: Profil Kabupaten Gowa 2013 (www.gowakab.go.id).

Secara fisik wilayah pemerintahan daerah Kabupaten Gowa sebagian besarnya merupakan dataran tinggi yang dipenuhi perbukitan yaitu sekitar 72,26%. Wilayah dataran tinggi tersebut meliputi 9 (sembilan) Kecamatan yakni Parangloe,

Manuju,

Tinggimoncong,

Tombolo

Pao,

Parigi,

Bungaya,

Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu. Selebihnya yakni sekitar 27,74% berupa wilayah dataran rendah dengan topografi tanah yang datar meliputi pula 9 (sembilan) Kecamatan yakni Somba Opu, Bontomarannu, Pattallassang, Pallangga, Barombong, Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo dan Bontonompo Selatan. Melihat kondisi fisik dan topografi wilayah Kabupaten Gowa yang sebagian besarnya adalah daerah daratan tinggi, maka menarik untuk

149

memperhatikan data tentang struktur perekonomian Kabupaten Gowa. Struktur perekonomian ini dapat dilihat dari angka PDRB atas harga belaku tahun 20092010 seperti yang tergambar pada tabel dibawah ini.

Tabel 16. Struktur Ekonomi Kabupaten Gowa Tahun 2009-2011 (Dalam %) No. Lapangan Usaha (Sektor)

2009

2010

2011

1.

Pertanian

45,65

44,61

43,11

2.

Pertambangan/Penggalian

0,64

0,67

0,67

3.

Industri Pengolahan

3,05

3,08

2,97

4.

Listrik, Gas dan Air Bersih

1,56

1,55

1,50

5.

Bangunan

2,35

2,42

2,40

6.

Perdagangan

13,35

13,87

13,94

7.

Angkutan dan Komunikasi

5,76

6,00

6,05

8.

Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan

5,84

6,05

6,23

9.

Jasa-Jasa

21,80

21,74

23,12

100,00

100,00

100,00

Total PDRB Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2013

Data angka PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2009-2010, seperti pada Tabel 3.3 menunjukkan bahwa pada tahun 2009 sektor (lapangan usaha) pertanian mempunyai kontribusi yang terbesar yaitu sebesar 45,65% terhadap PDRB, pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 44,61% dan pada tahun 2011 kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 43,31%. Selain sektor pertanian, sektor lainnya yang berkontribusi besar dalam PDRB adalah sektor jasa-jasa (pemerintahan umum dan swasta), dimana pada tahun 2009 peranan sektor jasa-jasa terhadap perekonomian Kabupaten Gowa sebesar 21,80%, pada tahun 2010 sebesar 21,74% dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 22,19%.

150

Deskripsi mengenai struktur perekonomian Kabupaten Gowa telah diuraikan, meskipun hanya melalui deskripsi statistik. Tetapi informasi statistik tersebut memberi pemahaman bahwa masyarakat Kabupaten Gowa pada umumnya masih mengandalkan mata pencaharian dari sektor ekonomi tradisional yakni sektor pertanian. Walaupun secara bertahap struktur ekonomi nanpaknya mulai bergeser ke sektor ekonomi modern yakni sektor jasa-jasa. Hal ini terjadi karena pesatnya pertumbuhan aktivitas ekonomi di sekitar wilayah perkotaan sebelah Utara dan Barat. Aktivitas ekonomi yang sangat tinggi terutama di wilayah-wilayah yang berhimpitan langsung dengan Kota Makassar.

Gambar 12. Pendapatan Perkapita Kabupaten Gowa Tahun 2000-2013 Sumber: Data Statistik Gowa 2014, Melalui: http://bappedagowa.info/

Berikutnya penting pula diketahui mengenai tingkat pendapatan perkapita penduduk Kabupaten Gowa saat ini. Berdasarkan data dokumentasi peneliti seperti pada grafik di atas, pendapatan perkapita Kabupaten Gowa tahun 2013 berada pada posisi Rp. 12.080.574, 00 pertahun. Artinya bahwa jika angka itu dikonversi ke pendapatan perkapita harian, maka berada pada posisi Rp. 25.982,15 perhari. Sangat berbeda ketika tahun 2005, enam tahun yang lalu,

151

pendapatan perkapita masih berada pada posisi Rp. 3.693.650,00 atau Rp. 10.260,14 pendapatan perkapita harian.

3.2.3 Visi dan Misi Pemerintahan Daerah Visi suatu daerah merupakan rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan suatu daerah. Visi juga sangat terkait dengan cita-cita atau keinginan suatu daerah untuk menggunakan seluruh potensinya yang dideskripsikan secara jelas dan ringkas yang dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu melalui implementasi rencana strategis yang telah ditetapkan. Penjabaran

mengenai

visi

yang

menjadi

tujuan

dalam

konteks

perencanaan strategis senantiasa mempertimbangkan niali-nilai luhur yang dianut organisasi. Kabupaten Gowa sebagai perwujudan organisasi pemerintah daerah telah mengejawantahkan niali-nilai kultural dan historis yang dimiliki menjadi sumber inspirasi dalam menjalankan fungsi pemerintah, pembangunan dan

kemasyarakatan

untuk

meningkatkan

pelayanan

dasar

dan

tata

pemerintahan yang baik. Bertitik tolak dari nilai filosofi itu pula yang mendasari pembangunan Kabupaten Gowa untuk mewujudkan cita-cita yang ingin dicapai dalam perspektif jangka panjang sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Gowa Tahun 2005-2025, yakni mencapai visi mewujudkan: “Gowa Menjadi Andalan Sulawesi Selatan dan Sejajar Daerah Termaju di Indonesia dalam Mensejahterakan Masyarakat”. Dalam mewujudkan visi jangka panjang daerah Kabupaten Gowa tersebut, telah ditetapkan pula misi pembangunan jangka panjang daerah, yaitu:

152

(1) Meningkatnya daya saing daerah. (2) Mendorong kemandirian pembangunan yang berkelanjutan. (3) Mengembangkan pemerataan pembangunan yang berkeadilan. Strategi untuk pelaksanaan visi dan misi jangka panjang daerah tersebut, dilakukan dalam bentuk perioderisasi lima tahunan rencana pembangunan daerah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) secara berkesinambungan. Penyusunan visi dan misi dalam RPJMD tentu didasakan atas prioritas permasalahan dan isu-isu strategis yang dihadapi pada setiap periode. Demikian halnya pada tahapan yang kedua lima tahunan kali ini yakni 2010-2015 didasarkan pula pada hasil evaluasi pelaksanaan dan pencapaian periode sebelumnya, selain didasarkan pada permasalahan utama dan isu-isu strategis yang sedang dihadapi. Dalam RPJMD tahun 2010-2015, visi yang ingin dicapai Kabupaten Gowa adalah “Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan”. Kandungan makna dari rumusan visi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Gowa yang handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat, mengandung makna bahwa Kabupaten Gowa dengan segenap potensi dan sumber daya yang berdaya saing kuat, bercita-cita menempatkan diri sebagai daerah yang handal dalam peningkatan kualitas kesehatan dan mutu pendidikan masyarakat serta peningkatan daya beli masyarakat. (2) Gowa yang handal dalam penyelenggaraan pemerintahan, mengandung makna bahwa Kabupaten Gowa dengan segenap potensi dan sumber daya yang berdaya saing kuat, bercita-cita menempatkan diri sebagai daerah yang

153

handal dalam membangunan tata kelola pemerintah yang baik berlandaskan prinsip-prinsip good governance dan handal dalam fungsi dan perannya sebagai koordinator, fasilitator dan stimulator bagi lahirnya inisiatif-inisiatif penyelanggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Upaya untuk menjaga kesinambungan dalam proses merealisasikan visi tersebut merupakan hal yang perlu secara terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan dengan memperhatikan pencapaian indikator-indikator. Arah menuju tujuan

tersebut

dapat

dideteksi

melalui

indikator

makro

yakni

Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). IPM sebagai indikator komposit menggambarkan pencapaian kinerja pembangunan manusia secara keseluruhan. Kondisi saat ini, menunjukkan bahwa IPM Kabupaten Gowa sebesar 70,0 yang tergolong dalam tingkat pembangunan manusia kelompok menengah dan berada pada urutan ke 15 dari 24 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan visi tersebut di atas, Kabupaten Gowa bertekad melaksanakan program dan kegiatan yang terbaik dalam mencapai lompatan angka IPM yang terbesar diantara daerah kabupaten dan kota lainnya. Oleh karena itu, diupayakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi dari seluruh pelaku pembangunan yang berorientasi pada perbaikan angka indeks pendidikan, indeks kesehatan, dan daya beli masyarakat. Dalam mewujudkan visi yang dideskripsikan di atas, maka dirumuskan misi jangka menengah daerah. Misi adalah rumusan umum mengenai sejumlah upaya yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan visi yang ada. Pernyataan misi merupakan sesuatu yang harus diemban atau dilakukan sesuai visi yang telah ditetapkan agar tujuan pembangunan dapat terlaksana dan berhasil dengan baik,

sehingga

seluruh

masyarakat

dan

pihak

yang

berkepentingan

154

(stakeholders) mengetahui program-programnya dan hasil yang diperoleh pada masa yang datang. Dalam RPJMD tahun 2010-2015 telah ditegaskan bahwa untuk mencapai visi di atas, maka dirumuskan pula misi Kabupaten Gowa sebagai berikut: (1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. (2) Meningkatkan interkoneksitas wilayah dan keterkaitan sektor ekonomi. (3) Meningkatkan penguatan kelembagaan dan peran masyarakat. (4) Meningkatkan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan lima misi jangka menengah daerah Kabupaten Gowa tersebut, ditetapkan pula lima agenda pembangunan Kabupaten Gowa untuk tahun 2010-2015, yakni: (1) Peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. (2) Peningkatan interkoneksitas wilayah dan keterkaitan sektor ekonomi. (3) Peningkatan penguatan kelembagaan dan peran masyarakat. (4) Peningkatan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. (5) Optimalisasi pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada kelestarian lingkungan hidup. Dalam pelaksanaan kelima agenda pembangunan daerah, dilandasi oleh nilai-nilai budaya lokal yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan seharihari masyarakat Kabupaten Gowa. Nilai-nilai budaya lokal tersebut merupakan kearifan lokal (local wisdom) yang menjadi spirit dan motivasi dalam proses

155

penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan daerah secara keseluruhan. Nilai-nilai budaya masyarakat yang dimaksud meliputi: (1) Assamaturu adalah nilai yang mengisyaratkan bahwa sumber kekuatan adalah kesepakatan bersama. Segala sesuatu yang akan dilaksanakan, khususnya menyangkut hajat hidup orang banyak, harus diputuskan dan disepakati secara bersama karena hal tersebut yang akan mendorong setiap orang untuk bergerak secara bersama. (2) Sipakatau,

Sipakainga’

dan

Sipakalabbiri’

adalah

nilai-nilai

yang

mengedepankan saling memanusiakan, menghormati dan saling memuliakan akan eksistensi dan jati diri setiap anggota atau kelompok masyarakat. Di samping itu, nilai ini juga amat mementingkan semangat saling introspeksi dan saling mengingatkan. Berdasarkan nilai tersebut, setiap anggota masyarakat

akan

merasa

diapresiasi

setiap

keterlibatannya

dalam

pembangunan daerah. (3) Siri’ na Pacce adalah nilai yang membentuk harga diri yang lahir dari kesadaran bahwa harga diri tersebut hanya dapat dijaga jika terbina sikap menghormati, saling menghargai, dan saling mengayomi. Dalam konteks pembangunan, nilai dapat diartikan bahwa pemerintah bersama masyarakat menjadi merasa “malu” jika gagal membangun daerah dan masyarakatnya. Oleh karena itu, setiap komponen masyarakat harus saling mendukung dan bahu membahu untuk pembangunan yang dicita-citakan. (4) Toddopuli adalah nilai yang membentuk keteguhan, konsistensi dalam sikap dan tindakan dengan senantiasa mengantisipasi segala tantangan dan hambatan, serta tanggap atas perkembangan tuntutan dan kecenderungan arah pembangunan daerah.

156

(5) Kontutojeng adalah nilai yang mensyaratkan pentingnya kesamaan antara ucapan dan tindakan. Nilai selanjutnya membentuk kejujuran, keteladanan, kebenaran

dan

kepercayaan

yang

sangat

dibutuhkan

dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Berdasarkan visi dan misi sebagaimana digambarkan di atas, dirumuskan pula tujuan pembangunan Kabupaten Gowa Tahun 2010-2015 sebagai berikut: (1) Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat). (2) Memperkuat kerjasama wilayah dan struktur perekonomian daerah dengan terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat dan ketahanan ekonomi wilayah serta berkembangnya produk unggulan daerah. (3) Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan baik dalam tahap perencanaan maupun dalam pelaksanaan dan pengawasan. (4) Mengembangkan

praktek

transparansi,

partisipasi

dan

akuntabilitas

pemerintahan dalam memberikan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat secara profesional. (5) Mengoptimalkan kontribusi produksi SDA dengan pola pemanfaatan yang menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Berdasarkan tujuan tersebut maka sasaran pembangunan Kabupaten Gowa Tahun 2010-2015 diuraikan sebagai berikut: (1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada hak-hak masyarakat, yang diukur dengan : a. Peningkatan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) b. Berkurangnya disparitas kesejahteraan masyarakat c. Menurunnya angka kemiskinan d. Menurunnya angka pengangguran

157

e. Berkembangnya organisasi kepemudaan dan olahraga f.

Meningkatnya aktivitas pembinaan keolahragaan

g. Meningkatnya aktivitas pembinaan keagamaan. (2) Meningkatnya interkoneksitas wilayah dan keterkaitan sektor ekonomi, yang diukur dengan : a. Menguatnya struktur perekonomian daerah b. Terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat c. Meningkatnya produk komoditas unggulan daerah d. Meningkatnya ketersediaan infrastruktur daerah. (3) Meningkatnya penguatan kelembagaan dan peran masyarakat, yang diukur dengan : a. Meningkatnya partisipasi organisasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan. b. Terlibatnya organisasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan. (4) Meningkatnya penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik, yang diukur dengan : a. Implementasi standar pelayanan pada instansi pemerintahan daerah. b. Meningkatnya pelibatan masyarakat dalam kehidupan politik dan pengarusutamaan gender. c. Meningkatnya kemandirian wirausaha lokal. (5) Semakin optimalnya pengelolaan sumber daya alam yang mengacu pada kelestarian lingkungan hidup, yang diukur dengan : a. Berkurangnya degradasi lingkungan. b. Meningkatnya upaya pemeliharaan lingkungan dan pengelolaan sanitasi lingkungan.

158

3.2.3 Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom merupakan salah satu elemen pokok dari kebijakan desentralisasi. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, dinyatakan bahwa urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur (policy making) dan mengurus (policy executing) atas fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya. Tujuannya adalah dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan,

dan

menyejahterakan

masyarakat.

Kemudian

urusan

pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintahan daerah selanjutnya disebut sebagai urusan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah Kabupaten Gowa sebagai salah satu daerah otonom, memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangannya berdasarkan atas aspirasi dan kepentingan masyarakat lokal. Menurut data hasil dokumentasi penulis, urusan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa yang baru telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gowa No. 3 Tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Gowa. Dalam peraturan daerah tersebut telah ditetapkan sejumlah urusan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan daerah yang wajib diselenggarakan pemerintah daerah Kabupaten Gowa berkaitan dengan pelayanan dasar. Sementara urusan pilihan adalah urusan pemerintahan daerah yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan

159

masyarakat setempat berdasarkan kondisi, kekhasan dan potensi keunggulan lokal yang dimiliki. Komposisi urusan pemerintahan Kabupaten Gowa baik yang wajib maupun pilihan dapat kita lihat pada tabel berikut. Tabel 17. Urusan Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa No. Urusan Wajib

No. Urusan Pilihan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Pendidikan 1. Perdagangan Kesehatan 2. Energi & Sumber Daya Mineral Lingkungan Hidup 3. Pariwisata Pekerjaan Umum 4. Kelautan & Perikanan Panataan Ruang 5. Pertanian Perencanaan Pembangunan 6. Kehutanan Perhubungan 7. Industri Kependudukan & Catatan Sipil 8. Ketransmigrasian KB & Keluarga Sejahtera Sosial Kesatuan Bangsa & Politik dalam Negeri 12. Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, Kepegawaian & Persandian 13. Komunikasi & Informasi 14. Pemberdayaan Masyarakat & Desa 15. Perumahan 16. Kepemudaan & Olah Raga 17. Penanaman Modal 18. Koperasi & UKM 19. Ketenagakerjaan 20. Ketahanan Pangan 21. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak 22. Pertanahan 23. Kebudayaan 24. Statistik 25. Kearsipan 26. Perpustakaan Sumber: Perda Kabupaten Gowa No. 3 Tahun 2008

Tabel 17 di atas menunjukkan adanya sejumlah urusan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa yang bersifat urusan wajib dan urusan pilihan sebagaimana tertera dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gowa No. 3 Tahun 2008. Urusan pemerintahan yang bersifat wajib tersebut berjumlah 26 urusan.

160

Sementara urusan pemerintahan yang sifatnya pilihan hanya berjumlah 8 (delapan)

urusan.

Masing-masing

urusan

pemerintahan

tersebut

dalam

pelaksanaannya tentu disertai dukungan sumber daya pendanaan, sumber daya sarana dan prasarana, serta sumber daya kepegawaian. Dukungan sumber daya tersebut dapat berasal baik dari pemerintah pusat maupun disediakan oleh pemerintah daerah sendiri. 3.2.4 Institusi Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa Secara institusional, pemerintahan daerah umumnya terdiri atas 2 (dua) unsur utama yaitu council (DPRD) dan mayor (Kepala Daerah). DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang memiliki fungsi mengatur atau pembuatan kebijakan (policy making) dan Kepala Daerah atau Bupati adalah lembaga yang memiliki fungsi mengurus atau pelaksanaan kebijakan (policy executing) dan dibantu oleh insitusi perangkat daerah (local bureacracy). Kemudian dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 1 (ayat) 2 ditegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnya pada pasal 1 (ayat) 3 dan 4 disebutkan bahwa pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Penegasan mengenai institusi pemerintahan daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, tercermin secara jelas dalam struktur pemerintahan daerah Kabupaten Gowa saat ini. Sebagaimana nampak pada gambar dibawah ini yang

161

menunjukkan struktur organisasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa. Struktur organisasi pemerintahan daerah ini terdiri atas beberapa unit pemerintahan daerah. Selain institusi Bupati/Wakil Bupati dan DPRD juga didukung oleh sejumlah unit perangkat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penunjang Kepala Daerah dalam penyelengaraan pemerintahan daerah.

Keterangan: Garis komando

Garis koordinasi Garis pertanggungjawaban

BUPATI WAKIL BUPATI

DPRD

SETDA

(unsur staf)

STAF AHLI

LEMBAGA LAIN (pelaks per UU)

INSPEKTORAT

BAPPEDA

(unsur pengawas)

(unsur perencana)

DINAS DRH

(unsur pelaksana)

LTD (BADAN, KTR & RSD)

(unsur penunjang)

SET DPRD (unsur pelayanan)

KECAMATAN

KELURAHAN

Gambar 13. Struktur Pemerintahan Daerah Kabupaten Gowa Sumber: Bagian Organisasi Sekda Kabupaten Gowa Tahun 2012

Dalam gambar struktur organisasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa memperlihatkan bahwa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pemerintah daerah didukung oleh beragam unsur unit organisasi. Unsur-unsur tersebut antara lain: (1) unsur pelaksana yakni Dinas Daerah; (2) unsur penunjang yakni LTD; (3) unsur perencana yakni Bappeda; (4) unsur pengawas yakni Inspektorat; (5) unsur staf yakni Sekretariat Daerah; (6) unsur pelayanan

162

yakni Sekretariat DPRD; (7) unsur pelaksana perundang-undang (lembaga lain seperti KPUD); dan (8) Unsur staf ahli serta (9) Kecamatan dan Kelurahan sebagai unit perangkat daerah kewilayahan. Kesembilan unit organisasi inilah yang dikenal sebagai perangkat daerah atau birokrasi lokal. 3.2.5

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Council) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian dari

penyelenggara

pemerintahan

daerah

yang

memiliki

fungsi

pengaturan

(legislation), fungsi penganggaran (budgetting), dan fungsi pengawasan (controlling) terhadap berbagai penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD adalah lembaga politik, anggotanya dipilih (elected) secara langsung oleh rakyat dan dimungkinkan keterlibatan partai politik. DPRD dan Kepala Daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur (policy making) penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan daerah yang diembannya. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, institusi DPRD dan Kepala Daerah serta Perangkat Daerah adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999 yang telah direvisi, menempatkan DPRD dan Kepala Daerah dalam posisi yang berhadaphadapan. Di mana Kepala Daerah berkedudukan sebagai Lembaga Eksekutif dan DPRD sebagai Lembaga Legislatif, sehingga terkesan adanya mekanisme chek and ballances dalam pemerintahan daerah. Kondisi DPRD Kabupaten Gowa saat ini berdasarkan hasil dokumentasi peneliti menunjukkan bahwa anggota DPRD Kabupaten Gowa berjumlah 45 orang. Jumlah ini menempatkan DPRD kabupaten tersebut menjadi terbesar kedua

setelah

Kota

Makassar

jika

dibandingkan

dengan

24

DPRD

kabupaten/kota dalam lingkup Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk jelasnya komposisi anggota DPRD Kabupaten Gowa dapat kita lihat pada tabel berikut.

163

Tabel 18. Keadaan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Periode 2009-2014 dan 2014-2019 menurut Partai Politik Jumlah Kursi (Anggota) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Partai Politik 2009-2014

2014-1019

Partai Golkar PAN PKS * PDK PPP PKB * Partai Kedaulatan Partai Patriot* Partai Gerindra PDIP Partai Hanura Partai Demokrat Persatuan Pembangunan* ** Partai Nasdem

9 5 2 8 4 1 1 1 1 2 3 6 2 -

9 5 3 6 1 8 4 1 5 3

Total

45

45

Sumber: Gowa Dalam Angka (2012) & KPUD (2014) Keterangan: *Partai Tidak Lolos Pemilu 2014 & **Partai Baru Ikut Pemilu 2014

Pada Tabel 18 di atas memperlihatkan kepada kita bahwa komposisi anggota DPRD Kabupaten Gowa periode 2009-2014 dan 2014-2019 tidak lagi terdapat partai politik yang begitu dominan dalam perolehan kursi. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Pemilu 2009 terdapat 13 partai politik dan Pemilu 2014 terdapat 10 partai politik yang meloloskan wakilnya untuk duduk sebagai anggota DPRD. Berbeda dengan periode-periode sebelumnya, dimana partai Golkar selalu mendominasi hingga 50% kursi anggota DPRD. Dominasi partai Golkar tersebut terjadi karena Kabupaten Gowa sejak lama merupakan salah satu wilayah basis partai berlambang pohon beringin tersebut. Hasil dokumentasi peneliti juga menunjukkan fakta tentang keadaan anggota DPRD Kabupaten Gowa dilihat dari aspek tingkat pendidikan dan jenis kelamin. Seperti pada data tabel berikut ini menunjukkan bahwa terdapat 20 orang anggota DPRD yang memiliki tingkat pendidikan sarjana dan 3 orang yang

164

memiliki tingkat pendidikan pascasarjana. Selebihnya yakni 22 orang anggota DPRD hanya memiliki tingkat pendidikan SMA atau sederajat.

Tabel 19. Keadaan Anggota DPRD Kabupaten Gowa Periode 2009-2014 menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Tingkat Pendidikan

Jenis Kelamin

Jumlah

Laki-Laki

Perempuan

SMU/MA SMK Diploma I/II Diploma III/IV Sarjana (S1) Pascasarjana

12 18 3

10 2 -

22 20 3

Total

33

12

45

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Sementara itu jika dilihat dari aspek keterwakilan gender maka dapat disimpulkan bahwa komposisi anggota DPRD Kabupaten Gowa belum memenuhi quota 30% perwakilan perempuan. Sehingga

aspek kertewakilan

perempuan belum terpenuhi sebagaimana data pada tabel yang hanya menempatkan 12 orang atau 26% unsur keterwakilan perempuan. 3.2.6

Kepala Daerah (Mayor) Dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia, Kepala Daerah untuk

daerah otonom pada tingkatan kabupaten disebut Bupati dan pada umumnya seorang Bupati didampingi oleh seorang Wakil Bupati. Pasangan Bupati dan Wakil Bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan di daerahnya menjalankan fungsi mengatur dan fungsi mengurus dalam berbagai urusan pemerintahan yang telah diserahkan dari pemerintah. Kemudian dalam menjalankan fungsi mengurus tersebut Kepala Daerah didukung oleh institusi profesional yang sering disebut Perangkat Daerah

165

Sejak berdiri pada tahun 1957 daerah otonom Kabupaten Gowa telah dipimpin oleh 11 (sebelas) Kepala Daerah (Bupati). Siapa sajakah kesebelas pejabat Kepala Daerah tersebut? Untuk itu ditampilkan tabel yang memuat daftar pejabat Kepala Daerah (Bupati) yang menahkodai Kabupaten Gowa berdasarkan periode kepemerintahannya.

Tabel 20. Pejabat Kepala Daerah Kabupaten Gowa Sejak Tahun 1957 No.

Naman Bupati

Periode Pemerintahan

1.

Andi Ijo Karaeng Lalolang

1957 - 1960

2.

Andi Tau

1960 - 1967

3.

K. S. Mas’ud

1967 - 1976

4.

H. M. Arief Sirajuddin

1976 - 1984

5.

A. Kadir Dalle

1984 - 1989

6.

A. Aziz Umar

1989 - 1994

7.

Syahrul Yasin Limpo

1994 - 2002

8.

Hasbullah Jabar

2002 - 2004

9.

Andi Baso Machmud

2005 (Caretaker)

10.

Ichsan Yasin Limpo

2005 - 2010

11.

Ichsan Yasin Limpo

2010 - 2015

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Periode pemerintahan 2010-2015 kali ini, Kabupaten Gowa dipimpin oleh Bupati yang dijabat oleh Ichsan Yasin Limpo dan Wakil Bupati dijabat oleh Abbas Alauddin. Periode pemerintahan kali ini adalah periode kedua bagi Bupati sekarang. Sementara wakilnya merupakan pejabat yang baru saja dilantik pada saat penelitian ini berlangsung untuk menggantikan Wakil Bupati sebelumnya karena meninggal dunia. Kemudian Bupati saat ini adalah Kepala Daerah yang kesebelas dan juga menjadi Kepala Daerah yang pertama kali dipilih langsung melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sejak daerah otonom Kabupaten Gowa ini terbentuk.

166

3.2.7

Organisasi Perangkat Daerah Perangkat daerah merupakan birokrasi daerah otonom yang proses

pengisiannya atas dasar pengangkatan (appointed). Jadi tidak berasal dari partai politik tetapi berasal dari pejabat karir PNS. Perangkat daerah adalah salah satu instrumen dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memiliki fungsi dan posisi yang sangat penting dan strategis. Perangkat daerah menjadi penting dan strategis karena menjadi instrumen utama sebagai wadah bagi pemerintah daerah atau Kepala Daerah dalam melaksanakan berbagai urusan pemerintahan yang diembannya. Dalam

mendukung

pelaksanaan

seluruh kebijakan

dan

program

pemerintah daerah yang berkaitan dengan urusan pemerintahan, Kepala Daerah bersama DPRD menetapkan dan mengatur sejumlah unit pemerintahan daerah yang disebut Perangkat Daerah. Aturan terhadap Perangkat Daerah ini tentu mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 41 Tahun 2007 yang menetapkan bahwa Perangkat Daerah suatu daerah otonom meliputi Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Badan, Inspektorat, Kantor, Kecamatan, dan Kelurahan. Mengenai unit pemerintahan daerah Kabupaten Gowa yang tergabung dalam Organisasi Perangkat Daerah diatur dalam 4 (empat) jenis peraturan daerah. Keempat jenis peraturan daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Peraturan Daerah No.6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD Kabupaten Gowa; (2) Peraturan Daerah No.7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah di Kabupaten Gowa;

167

(3) Peraturan Daerah No.8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah di Kabupaten Gowa. (4) Peraturan Daerah No.9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan di Kabupaten Gowa. Tabel 21. Unit Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Gowa Sekretariat 1. 2.

Sekretariat Daerah Sekretariat DPRD

Dinas Daerah 1. Dinas Pendidikan, Pemuda & Olah Raga 2. Dinas Kesehatan 3. Dinas Sosial, Tenaga Kerja & Transmigrasi 4. Dinas Kependudukan & Catatan Sipil 5. Dinas Perhubungan, Komunikasi & Informatika 6. Dinas Pekerjaan Umum 7. Dinas Koperasi & UMKM 8. Dinas Pengelola Keuangan Daerah 9. Dinas Pertambangan & Energi 10. Dinas Pertanian 11. Dinas Perikanan, Kelautan & Peternakan 12. Dinas Kehutanan & Perkebunan 13. Dinas Pariwisata & Kebudayaan 14. Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air 15. Dinas Perindustrian dan Perdagangan LTD (Badan, Inspektorat, RSUD) 1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 2. Badan Kesatuan Bangsa, Politik & Perlindungan Masyarakat 3. Badan Pemberdayaan Masyarakat & Pemerintahan Desa 4. Badan Keluarga Berencana & Pemberdayaan Perempuan 5. Badan Kepegawaian, Pendidikan & Pelatihan 6. Inspektorat Kabupaten 7. RSUD Syekh Yusuf LTD (Kantor) 1. 2. 3. 4. 5.

Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kantor Pelayanan Terpadu Kantor Perpustakaan, Arsip dan PDE Kantor Ketahanan Pangan Kantor Lingkungan Hidup

Unit Kerja Kewilayahan 1. 2.

Kecamatan (18 unit) Kelurahan/Desa (167 unit)

Sumber: Bagian Humas Sekretariat Daerah, 2013 (www.humasgowa.com)

168

Kedudukan Sekretariat Daerah dalam penyelenggaran pemerintahan daerah Kabupaten Gowa diatur dalam Perda Kabupaten Gowa No. 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa. Dalam peraturan daerah tersebut disebutkan bahwa Sekretariat Daerah merupakan unsur staf pemerintah daerah Kabupaten Gowa yang memiliki tugas dan

kewajiban

membantu

Bupati

dalam

menyusun

kebijakan

dan

mengoordinasikan dinas-dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah yang bereselon II(A) berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati. Dalam tugas dan kewajibannya, Sekretariat Daerah menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Penyusunan kebijakan pemerintahan daerah; (2) Mengoordinasikan pelaksanaan tugas Dinas Daerah dan LTD; (3) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah; (4) Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan; (5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam struktur organisasi dan tata kerja Sekretariat Daerah terdiri dari beberapa jabatan yakni: (a) Sekretaris Daerah; (b) Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan rakyat; (c) Asisten Perekonomian dan Pembangunan; dan (d) Asisten Administrasi Umum. Masing-masing asisten dalam susunan sekretariat daerah Kabupaten Gowa terbagi dalam beberapa bagian. Kemudian bagian dari masing-masing asisten tersebut terdiri dari beberapa sub bagian yang dibentuk berdasarkan kebutuhan organisasi. Dalam susunan organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa terdiri atas 46 jabatan struktural dengan rincian 9 (sembilan) jabatan eselon (II), dan 11

169

jabatan eselon (III), serta 26 jabatan eselon (IV). Selain jabatan-jabatan struktural itu, juga dilengkapi dengan kelompok jabatan fungsional yang terdiri dari beberapa staf ahli yang memiliki keahlian dan spesialisasi yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan. Pada susunan Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa, kelompok jabatan fungsional dimaksud terdapat 5 (lima) jabatan staf ahli yang bertugas memberikan telaah mengenai masalah pemerintahan daerah menurut bidang tugasnya. Para staf ahli tersebut bereselon II(B) dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Daerah. Kelima jabatan staf ahli yang dimaksud di atas, yakni: (a) Staf ahli bidang hukum dan politik; (b) Staf ahli bidang pemerintahan; (c) Staf ahli bidang pembangunan; (d) Staf ahli bidang kemasyarakatan dan SDM; dan (e) Staf ahli bidang ekonomi dan keuangan. Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga diatur dalam Perda Kabupaten Gowa No. 6 Tahun 2008. Sekretariat DPRD Kabupaten Gowa merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD Kabupaten Gowa. Sekretariat DPRD memiliki tugas pokok menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai kemampuan keuangan daerah. Struktur organisasi Sekretariat DPRD Kabupaten Gowa terdiri dari: (1) Sekretaris Dewan; (2) Bagian Umum; (3) Bagian Rapat, Perundang-Undangan dan Reses; (4) Bagian Humas dan Dokumentasi, dan (5) Bagian Keuangan. Masing-masing bagian memiliki 3 (tiga) Sub Bagian. Sekretaris Dewan secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara administratif bertanggung jawab kepada Bupati melalui

170

Sekretaris Daerah. Sekretaris Dewan adalah jabatan eselon II(B) yang diangkat (appointed) oleh Bupati dari unsur PNS yang memenuhi syarat Dinas Daerah sebagai unsur pelaksana otonomi daerah pada hakekatnya menyelenggarakan urusan otonomi daerah, baik yang bersifat wajib maupun pilihan, sesuai dengan pembagian urusan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007. Dinas Daerah Kabupaten Gowa telah diatur dalam Perda Kabupaten Gowa No. 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Gowa. Dalam peraturan daerah tersebut dinyatakan bahwa Dinas Daerah dalam menjalankan tugas dan juga melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya; (2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum sesuai dengan lingkup tugasnya; (3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; (4) Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam struktur organisasi Dinas Daerah dipimpin oleh Kepala Dinas yang merupakan jabatan eselon II(B). Kepala Dinas berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Dalam struktur masing-masing Dinas Daerah yang dibentuk, dipimpin oleh seorang Kepala Dinas. Juga terdiri dari Sekretaris Dinas, Bidang-bidang, Sub-sub bagian, Seksiseksi pada masing-masing bidang yang ada. Selain itu terdapat pula unit pelaksana teknis dinas (UPTD) dan kelompok jabatan fungsional yang dapat dibentuk jika dibutuhkan. Selain Dinas Daerah dalam struktur pemerintahan daerah juga dibentuk perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsinya bersifat lebih teknis.

171

Perangkat daerah ini disebut dengan Lembaga Teknis Daerah (LTD). LTD ini berkedudukan sebagai unsur pendukung yan sifatnya lebih spesifik dan teknis, yang dapat berbentuk Badan, Kantor, dan Rumah Sakit. Di mana penentuan badan atau kantor disesuaikan dengan analisis beban tugas yang harus dilakukan sebelumnya. Di Kabupaten Gowa, LTD di atur dalam Perda No. 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah. Perda ini menyatakan bahwa LTD merupakan unsur pendukung tugas-tugas Kepala Daerah yang mempunyai tugas yakni melaksanakan tugas penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik. Perangkat daerah yang berjenis LTD dalam melaksanakan tugasnya menjalankan fungsi-fungsi antara lain: (1) Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya; (2) Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya; (3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya; (4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Struktur organisasi LTD yang berbentuk Badan umumnya dipimpin oleh Kepada Badan, Kantor dipimpin oleh Kepala Kantor, dan Rumah Sakit dipimpin oleh Direktur Rumah Sakit. Masing-masing unit LTD tersebut terdiri atas beberapa jabatan struktural (eselon). Selain Kepala Badan, Kepala Kantor, dan Direktur Rumah Sakit serta setiap unit LTD dilengkapi pula oleh jabatan struktural lainnnya yakni Sekretaris, Bidang, dan Sub Bagian serta Sub Bidang. Sementara itu, LTD yang bernama Inspektorat Kabupaten Gowa dalam Perda No. 8 tersebut mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap

172

pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Dalam melaksanakan tugasnya, Inspektorat menjalankan fungsi-fungsi yakni: (a) perencanaan pengawasan; (b) perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan; (c) pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas pengawasan. Adapun susunan organisasi Inspektorat terdiri dari Inspektur, Sekretaris, Inspektur Pembantu Wilayah dan kelompok jabatan fungsional. Di mana struktur Sekretariat terdiri dari beberapa Sub Bagian. Inspektur Pembantu Wilayah dapat saja terdiri dari beberapa unit, tergantung pada kebutuhan organisasi. Jika dilihat dari tugas utamanya sebagai lembaga pengawas terhadap penyelengaraan pemerintahan daerah, pada dasarnya inspektorat kabupaten saat ini tidak berbeda jauh dengan instansi pengawas daerah sebelumnya yang disebut Badan Pengawas Daerah.

3.3 Sumber Daya Aparatur Dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan daerah Kabupaten Gowa, maka selain ketersedian struktur dan anggaran yang tepat, dibutuhkan pula sumber daya aparatur yang memadai, baik aspek kuantitas maupun kualitasnya. Sumber daya aparatur ini memiliki peran yang sangat strategis untuk melaksanakan seluruh program pembangunan daerah yang telah direncanakan. Oleh karena itu, sumber daya aparatur harus mampu terpenuhi sesuai dengan analisis kebutuhan pegawai pada masing-masing perangkat daerah yang ada. Berdasarkan hasil dokumentasi peneliti, menunjukkan bahwa sumber daya aparatur atau pegawai yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara

173

keseluruhan berjumlah 9.422 orang. PNS tersebut terbagi kedalam tiga unit kerja yakni (1) tenaga guru berjumlah 5.304 orang (56,3%); (2) tenaga kesehatan berjumlah 1.131 orang (12%); dan (3) tenaga teknis berjumlah 2.987 orang (31,7%). Jika disimak berdasarkan penggolongan jabatan, PNS Kabupaten Gowa dapat digambarkan sebagai berikut: (1) golongan I berjumlah 98 orang (1,3%); (2) golongan II berjumlah 2.334 orang (24,7%); (3) golongan III berjumlah 4.642 orang (49,2%); dan (4) Golongan IV berjumlah 2.348 orang (24,8%).

Tabel 22.

Keadaan Aparatur Daerah (PNS) Kabupaten Gowa Menurut Unit Kerja dan Golongan pada Tahun 2011 Unit Kerja

Golongan

Jml

I

II

III

IV

15

327

855

795

1.922

1

571

1.522

1.218

3.312

16

898

2.377

2.013

5.304

Laki-laki

1

100

166

12

279

Perempuan

-

371

446

35

852

Jumlah

1

471

612

47

1.131

79

662

967

209

1.917

2

303

686

79

1.070

81

965

1.653

288

2.987

98

2.334

4.642

2.348

9.422

Tenaga Guru Laki-laki Perempuan Jumlah

Tenaga Kesehatan

Tenaga Teknis Laki-laki Perempuan Jumlah

Total Pegawai Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Data yang tersedia dalam tabel diatas menunjukkan kepada kita bahwa pertama, jumlah aparatur daerah atau PNS setara dengan 1,5% dari 659.513 jiwa jumlah penduduk Kabupaten Gowa saat ini. Kedua, penyebaran PNS berdasarkan unit kerja menunjukkan bahwa persentasi PNS yang berprofesi

174

sebagai tenaga guru jauh lebih tinggi daripada persentasi PNS yang bertugas unit kerja lainnya. Ketiga, data ini juga menggambarkan bahwa aparatur daerah sebagian besar bekerja pada unit-unit penyelenggara urusan pendidikan dibandingkan

dengan

yang

bekerja

pada

unit

penyelenggara

urusan

pemerintahan lainnya.

Tabel 23.

Keadaan Aparatur Daerah Kabupaten Gowa Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin pada Tahun 2012 Jenis Kelamin

Tingkat Pendidikan

Jml

Laki-Laki

Perempuan

SD / Sederajat

140

9

149

SLTP / Sederajat

148

18

166

SLTA / Sederajat

1.123

1.245

2.368

Diploma I

57

155

212

Diploma II

312

910

1.222

Diploma III / Akademi

226

505

731

Sarjana (S1)

1.900

2.276

4.176

Master (S2)

208

109

317

Doktor (S3)

1

2

3

4.195

5.227

9.422

Total Pegawai Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2013

Selanjutnya gambaran mengenai kualitas dan kompetensi sumber daya aparatur atau PNS Kabupaten Gowa dapat kita ukur salah satunya dari tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing aparatur. Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel diatas bahwa dari 9.422 pegawai terdapat 4.496 orang (47,7%) diantaranya, berpendidikan sarjana (S1), master (S2) dan doktor (S3). Sementara pegawai yang berpendidikan diploma (I, II, dan II) berjumlah 2.165 orang (23%) dan sisanya yakni 2.689 (29,3%) hanya berpendidikan SLTA, SLTP dan SD. Kemudian keadaan pegawai dari aspek jender atau jenis kelamin,

175

berdasarkan data yang tersedia menunjukkan bahwa pegawai yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 5.227 orang (55,47%) dan pegawai yang berjenis kelamin laki-laki hanya berjumlah 4.195 orang (44,53%). Berdasarkan data tentang tingkat pendidikan aparatur daerah Kabupaten Gowa seperti tertera diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum kualitas dan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai dapat dikatakan cukup memadai. Dikatakan kualitas dan kompetensi pegawai tersebut cukup memadai karena paling tidak secara akademik sebagian besar dari pegawai yakni sekitar 70,7% pernah mengikuti jenjang pendidikan tingkat perguruan tinggi (diploma dan sarjana).

3.4 Sumber Daya Anggaran Penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom selalu disertai oleh sumber daya anggaran untuk membiayai pelaksanaannya. Anggaran ini pada umumnya disubsidi dari pemerintah ke daerah otonom atau subsidi daerah otonom (SDO) dapat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta dana subsidi lainnya. Sejumlah anggaran yang telah diserahkan tersebut, menjadi hak dan kewajiban untuk diatur dan diurus oleh pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan tugas dan fungsi pelayanan dan pembangunan, terutama dalam rangka membiayai seluruh urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan. Kondisi anggaran pendapatan suatu daerah menjadi salah satu indikator utama untuk mengukur kapasitas keuangan daerah. Terutama dalam membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Untuk itu pada tabel diatas telah ditampilkan rincian anggaran pendapatan daerah Kabupaten Gowa pada tahun anggaran 2011 dan 2012.

176

Tabel 24.

Rincian Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2011 dan 2012

No.

Uraian

1.

2.

APBD TA. 2011

APBD TA. 2012

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

48.715.102.208

54.171.034.817

Hasil Pajak Daerah

12.900.000.000

19.618.000.000

Hasil Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

28.804.494.000

27.777.226.609

4.193.800.000

3.629.000.000

2.816.808.208

3.146.808.208

547.018.138.174

669.263.979.583

24.934.284.174

28.063.512.583

470.823.554.000

586.415.307.000

51.260.300.000

54.785.160.000

100.214.631.681

97.952.330.241

12.500.000.000

-

-

-

20.348.712.081

25.048.712.081

46.632.456.000

46.632.456.000

20.733.463.600

26.271.162.160

695.947.872.063

821.387.344.641

Dana Perimbangan Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK)

3.

Jumlah

Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah Pendapatan Hibah Dana Darurat Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah Daerah Lainnya Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus Bantuan Keuangan dari Provinsi/Pemerintah Daerah Lainnya

Jumlah Pendapatan Daerah

Sumber: Dokumen RKPD Kabupaten Gowa Tahun 2013

Pada tabel diatas jelas nampak bahwa berdasarkan rincian pendapatan daerah, rupanya pendapatan asli daerah (PAD) hanya mampu berkontribusi 7% terhadap anggaran pendapatan daerah secara keseluruhan. Pendapatan daerah masih mengandalkan dana perimbangan atau subsidi daerah otonom yang bersumber dari pemerintah pusat. Seperti data pada tabel diatas menunjukkan bahwa dana perimbangan dalam rincian anggaran pendapatan tersebut sangat besar jumlahnya yakni sebesar 78% dan sisanya yakni 15% sumbernya berasal dari lain-lain pendapatan daerah yang sah. Kesimpulannya bahwa dengan

177

mencermati kontribusi PAD yang masih sangat rendah dan dana subsidi dari pemerintah pusat masih sangat tinggi, maka tidaklah salah jika dikatakan bahwa kemadirian daerah khususnya dalam aspek keuangan belumlah terwujud.

Tabel 25.

Perkembangan Anggaran Pendapatan Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2006 s/d 2012 Tahun

Jumlah (Rp)

%

2006

484.601.856.306

56,53

2007

553.579.491.647

14,23

2008

564.569.736.340

1,99

2009

606.172.651.184

7,37

2010

602.704.046.693

-0,57

2011

695.947.872.063

15,47

2012

821.387.344.641

18,02

*

861.306.769.590

4,86

2013

Sumber: Dokumen RKPD Kabupaten Gowa Tahun 2013 Keterangan: *Perkiraan sebelum APBD perubahan

Pada tabel diatas ditampilkan pula perkembangan pendapatan daerah Kabupaten Gowa dalam tujuh tahun terakhir yakni tahun 2006 hingga 2012. Nampak bahwa anggaran pendapatan daerah Kabupaten Gowa selalu mengalami peningkatan, kecuali di tahun 2009 ke 2010 justru mengalami minus sekitar - 0,57%. Rata-rata kenaikan anggaran pendapatan daerah dalam tabel tersebut adalah 8,18%. Penampilan data perkembangan anggaran pada tabel diatas tiada lain dimaksudkan untuk mengetahui kondisi keuangan daerah dari tahun ke tahun. Oleh karena dengan memahami perkembangan pendapatan daerah maka dapat pula diketahui kapasitas keuangan daerah dalam merespon kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan publik dan pembangunan semakin kompleks.

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach). Pilihan terhadap pendekatan kualitatif karena penelitian ini dilakukan melalui proses menemukan, memahami, menjelaskan dan memperoleh gambaran tentang fenomena sosial dan fenomena publik yang berhubungan dengan inovasi pemerintahan daerah dalam menjalankan kewenangan mengatur dan mengurus urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Alasan penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini, juga salah satunya didasarkan pada penjelasan Lincoln dan Guba (1985:78) bahwa penelitian kualitatif atau naturalistic inquiry adalah suatu cara penelitian yang dimaksudkan untuk memahami aktualitas, realitas sosial, dan persepsi manusia yang ada. Mengacu pula pada pandangan menurut Nasution (1996:18) bahwa penelitian kualitatif atau penelitian naturalistik dilakukan pada situasi lapangan penelitian yang bersifat “natural” atau wajar sebagaimana adanya, tanpa dimanipulasi dan diatur melalui suatu eksperimentasi. Penelitian naturalistik berusaha menyajikan peristiwa-peristiwa bagian kehidupan atau slice-of-life yang didokumentasikan melalui bahasa natural dan menyajikan sedekat mungkin bagaimana orang-orang menyatakan apa yang mereka ketahui, apa perhatian atau kepedulian, kepercayaan, persepsi dan pemahaman

mereka.

Sebagaimana

Ezzy

(2003:3)

menjelaskan

bahwa

”....meanings are constantly changing, and are produced and reproduced in each social situation with slightly different nuances and significances depending on the nature of the context as a whole”. Penjelasan Ezzy (2002) tersebut menekankan 178

179

bahwa metode penelitian kualitatif lebih pada pemberian makna (meanings) dan pemberian interpretasi (interpretation) terhadap obyek yang diteliti. Jadi penelitian kualitatif penekanannya terletak pada pemaknaan obyek masalah secara khusus. Dalam konteks penelitian ini, proses pemaknaan (meanings) dan interpretasi (interpretation) dilakukan terhadap inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa.

4.2. Fokus Penelitian Fokus penelitian pada jenis penelitian kualitatif berkaitan erat dengan perumusan masalah, karena masalah penelitian menjadi acuan dalam menentukan fokus penelitian. Namun demikian, fokus penelitian dapat saja berkembang sesuai dengan situasi masalah penelitian di lapangan. Hal ini sesuai dengan sifat pendekatan kualitatif yang fleksibel, yang mengikuti pola pikiran yang bersifat empirical inductive, di mana segala sesuatu dalam penelitian ditentukan dari hasil akhir pengumpulan data yang sebenarnya dilapangan. Menurut Moleong (2005:237), melalui penetapan fokus suatu penelitian, ada dua hal yang dicapai oleh peneliti, yaitu: (1) membatasi studi dengan maksud untuk bisa membatasi bidang penelitian (enquiry); (2) peneliti mengetahui secara pasti bahwa data yang telah dikumpulkan adalah relevan dan mendukung fokus penelitian. Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka ditentukan empat fokus penelitian sebagai berikut: (1) Proses pengembangan program inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. (2) Tipologi program inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan.

180

(3) Kapasitas

inovasi

(capacity

innovation)

pemerintahan daerah

dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan. (4) Membangun model empirik (existing model) dan model rekomendasi (recommended model) inovasi pemerintahan daerah Kabuapten Gowa dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Dalam memudahkan operasionalisasi fokus penelitian, maka ditentukan deskripsi masing-masing fokus penelitian sebagai berikut: Tabel 26. Deskripsi Fokus Penelitian No. Fokus Penelitian

Deskripsi Fokus Penelitian

1.

a. Mekanisme pengembangan program inovasi melalui proses politik (mengatur) yakni proses pembentukan kebijakan oleh DPRD & pemerintah daerah berupa peraturan daerah yang mengatur bagaimana program inovasi dalam urusan pendidikan dikembangkan.

Proses Pengembangan Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

b. Mekanisme pengembangan program inovasi melalui proses manajerial (mengurus) yakni proses operasi pelaksanaan kebijakan dan program inovasi yang telah ditetapkan dilakukan oleh pemerintah daerah (perangkat daerah terkait & unit pelaksana teknis). 2.

Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

a. Tipologi program inovasi yakni berupa jenis-jenis program inovasi (SPAS, Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba, & Satgas Pendidikan. b. Level inovasi (radikal, incremental & sistemik) dari program inovasi yang sudah dikembangkan dalam urusan pendidikan.

3.

Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan

Kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam mengembangkan kebijakan & program inovasi urusan pendidikan.dilihat dari kapasitas kepemimpinan, aparatur pelaksana, anggaran, regulasi, & jaringan inovasi.

4.

Membangun model empirik a. Model inovasi pemerintahan daerah dalam (existing model) dan model melaksanakan urusan pendidikan yang berlangsung rekomendasi saat ini (existing model). (recommended model) b. Model yang diusulkan (recommended model) tentang inovasi pemerintahan inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan yang daerah dalam penyelengefektif di Kabupaten Gowa. garaan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa

181

4.3.

Lokasi dan Situs Penelitian Menurut Moleong (2005:128), bahwa cara terbaik yang perlu ditempuh

dalam penentuan lapangan penelitian ialah dengan jalan mempertahankan teori substantif, pergilah dan jajakilah lapangan untuk melihat apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan. Keterbatasan geografis dan praktis seperti waktu, biaya, tenaga, perlu juga dijadikan pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian. Berdasarkan pandangan tersebut, maka penelitian ini akan mengambil lokasi di daerah Kabupaten Gowa dan situs penelitiannya di semua institusi pemerintahan daerah dan non pemerintahan daerah yang ada kaitannya dengan program inovasi pemerintah daerah dalam urusan pendidikan. Penentuan lokasi dan situs penelitian dilakukan secara purpossive, dengan alasan-alasan sebagai berikut: (1) Kabupaten Gowa termasuk salah satu daerah otonom yang cukup matang dan memiliki pengalaman dalam beberapa fase pemerintahan karena telah berdiri secara administratif sejak tahun 1957. (2) Kabupaten Gowa adalah salah satu daerah otonom yang pernah menjadi daerah percontohan dalam penerapan otonomi daerah di era UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. (3) Kabupaten Gowa memiliki letak geografis dan administratif yang sangat strategis, yang menjadi daerah penyangga bagi kemajuan daerah Kota Makassar sebagai centre of point bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Indonesia bagian Timur. (4) Di Kabupaten Gowa terdapat adanya fakta empiris tentang pengembangan program inovasi dalam penyelenggaran urusan pendidikan yang sukses dan juga bisa diterapkan di daerah lain.

182

4.4. Jenis Data Penelitian Data yang digunakan pada penelitian terdiri dari data primer dan sekunder dengan penjelasan sebagai berikut. (1) Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti mengumpulkannya secara langsung. Dalam konteks penelitian ini, data primer diperoleh dari orang-orang yang memiliki informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah dan fokus penelitian

tentang

inovasi

penyelenggaraan

urusan

pendidikan

di

Kabupaten Gowa. (2) Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik (BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain. Dalam konteks penelitian ini data sekunder sebagian besar diperoleh dari dokumen-dokumen resmi yang terkait dengan aktivitas pemerintahan dan pembangunan melalui website pemerintah daerah Kabupaten Gowa yaitu www.pemkabgowa.go.id dan www.humasgowa.go.id. Sementara data sekunder yang bersifat makro lebih banyak diperoleh melalui dokumen yang dirilis oleh BPS dan Bappeda, seperti Gowa Dalam Angka dan Data Statistik Kabupaten Gowa.

4.5. Sumber Data Penelitian Menurut Lincoln dan Guba (1985) dan Moleong (2005) bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan-tindakan, dapat juga berupa data tambahan seperti dokumen, arsip laporan dan lain-lain.

183

Sumber data dalam penelitian ini meliputi manusia (informan), peristiwa dan tempat serta dokumen, dengan penjelasan sebagai berikut: (1) Manusia sebagai informan, pada penelitian kualitatif posisi sumber data manusia (informan) sangat penting sebagai peran individu yang memiliki informasi. Peneliti dan informan dalam penelitian memiliki posisi yang sama, dan informan bukan sekedar memberikan tanggapan pada yang diminta peneliti, tetapi informan bisa lebih memiliki arah dan selera dalam menyajikan informasi yang dimiliki. Karena posisi ini, sumber data yang berupa manusia di dalam penelitian kualitatif lebih tepat disebut sebagai informan daripada sebagai responden. Menurut Bungin (2007:76) yang dapat menjadi informan penelitian adalah subyek yang memahami informasi obyek penelitian sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami obyek dan fokus penelitian. Tabel 27. Jumlah dan Unsur Informan Penelitian Informan dari unsur pemerintahan daerah Kabupaten Gowa Wakil Ketua DPRD, Ketua Komisi Bidang Pendidikan DPRD, Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga (Dispora), Tiga informan dari aparatur Dispora, Satu informan Kepala Sekolah, dua orang guru, dan Satu anggota Satgas Pendidikan

Informan dari non pemerintahan daerah Kabupaten Gowa Satu informan dari anggota Dewan Pendidikan, Satu informan Ketua Komite Sekolah; Dua orang tua (wali) murid dan Satu informan anggota LSM pendidikan.

Informan penelitian pada tabel di atas ditentukan melalui dua cara, yaitu: (a) key person atau purposive sampling, yakni penunjukkan informan kunci secara sengaja karena menganggap orang tersebut telah memahami

184

informasi obyek yang akan diteliti; dan (b) penunjukkan informan dengan snowball sampling; yakni menentukan beberapa orang yang dianggap dapat memberikan informasi-informasi tambahan yang memperkuat data tentang obyek yang akan diteliti. (2) Tempat dan peristiwa, tempat dan peristiwa dapat dijadikan sebagai sumber informasi karena dalam pengamatan harus ada kesesuaian dengan konteks dan setiap situasi sosial selalu melibatkan pelaku, tempat dan aktivitas. Tempat dan peristiwa dimaksudkan untuk memperkuat keterangan yang diberikan oleh informan. Tempat yang menjadi lokasi observasi penelitian ini berada di daerah Kabupaten Gowa. Di mana daerah otonom tersebut merupakan lokasi kegiatan program inovasi urusan pendidikan yang menjadi obyek kajian. Sementara peristiwa dalam konteks penelitian ini adalah akivitas yang terekam oleh peneliti dari penyelenggaraan program inovasi urusan pendidikan. (3) Dokumen, Dokumen atau arsip merupakan bahan tertulis yang dapat digunakan sebagai sumber data untuk memperoleh informasi tentang situasi dan kondisi pada masa lampau yang sangat berkaitan erat dengan kondisi peristiwa yang saat ini sedang dipelajari. Menurut Moloeng (2005) dokumen resmi terbagi dalam dokumen internal dan dokumen eksternal. Dokumen internal berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat tertentu yang digunakan dalam kalangan sendiri. Dokumen eksternal berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, berita yang disiarkan kepada media massa. Dalam dokumen juga terdapat beragam gambar yang berkaitan dengan aktivitas dan kondisi yang diperlukan sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber data.

185

4.6. Metode Pengumpulan Data Dalam memperoleh data yang akurat, aktual dan komprehensif sesuai dengan permasalahan dan fokus penelitian, maka dalam proses pengumpulan data peneliti telah menggunakan teknik pengumpulan data melalui metode wawancara,

observasi,

dan

dokumentasi.

Pelaksanaan

ketiga

metode

pengumpulan data ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Wawancara mendalam (indepth interview) Metode ini diawali dengan menyiapkan instrumen penelitian melalui daftar pedoman wawancara. Daftar wawancara inilah yang diperlukan peneliti untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan. Terhadap para informan digali informasi sedalam-dalamnya dengan teknik wawancara dengan pendekatan snowball yakni menggali informasi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan dilapangan berdasarkan rekomendasi informan dan kebutuhan data sebelumnya. Dalam prakteknya dilapangan dan untuk mempermudah pelaksanaan wawancara digunakan pedoman wawancara yang berisikan hal-hal pokok yang harus ditanyakan kepada informan. Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu melakukan janji kepada para informan. Hal ini dilakukan mengingat informan seringkali sibuk dengan aktivitas dan tugas rutinitas yang dikerjakan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya walaupun telah disepakati waktu dan tempat wawancara, seringkali peneliti masih harus menunggu atau menjadwalkan ulang waktu dan tempat wawancara karena informan mempunyai aktivitas yang lebih penting. Pada saat wawancara dilakukan, peneliti menghadapi hal-hal yang menarik, yakni ada keengganan beberapa informan yang tidak ingin direkam hasil pembicaraannya. Kondisi ini dialami pada instansi pemerintah daerah (perangkat daerah), khususnya pada aparatur daerah yang memiliki jabatan

186

Esolon IV ke bawah. Namun, justru sebaliknya yang terjadi pada informan seperti pimpinan SKPD yang diwakili oleh Sekretaris Dinas, Pimpinan DPRD diwakili oleh Wakil Ketua DPRD, dan informan dari tokoh masyarakat serta stakeholders yang lain. Para informan ini justru sangat antusias dalam memberi informasi terkait dengan kebijakan dan program inovasi yang mereka anggap sukses dilakukan di daerahnya. Untuk mengatasi berbagai kendala dilapangan peneliti disetiap awal wawancara selalu menyampaikan terlebih dahulu bahwa hasil wawancara berupa informasi dan data ini betul-betul hanya untuk digunakan untuk kepentingan akademik, tidak digunakan untuk kepentingan lainnya. (2) Observasi terhadap situasi dan fenomena di lokasi penelitian Metode observasi atau pengamatan ini dilakukan dengan cara terlibat langsung pada obyek penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam prakteknya dilapangan, peneliti melakukan pengamatan dengan tujuan untuk memperoleh

gambaran

bagaimana

sebenarnya

pengembangan

inovasi

pemerintahan daerah melalui proses perumusan dan implementasi kebijakan dan program yang ditetapkan. Pada dasarnya, pengamatan secara tidak langsung biasa dilakukan oleh peneliti disela-sela wawancara dengan informan yang berasal dari sekolah dan tempat wawancara dilakukan di sekolah-sekolah sebagai salah satu sarasan dari kebijakan dan program inovasi. (3) Proses dokumentasi data yang dibutuhkan Metode dokumentasi ini dilakukan memalui proses pengumpulan data dan informasi yang bersumber dari bahan yang tertulis, catatan suatu peristiwa atau record yang diperoleh pada saat melakukan penelitian. Data-data sekunder ini diperoleh dari berbagai sumber yang terkait dengan masalah yang diteliti. Data-data sekunder yang dibutuhkan terdiri dari beberapa jenis, yakni dokumen peraturan berupa peraturan daerah, peraturan bupati, dokumen rencana

187

pembangunan daerah, dokumen keuangan daerah (APBD), dokumen LAKIP, dan Gowa dalam angka (BPS Gowa 2012, 2013). Pada dasarnya data hasil studi dokumentasi ini digunakan sebagai data hasil penelitian sekaligus data pembanding untuk memeriksa kebenaran data hasil wawancara dan observasi. Selain melakukan studi dokumentai, peneliti juga melakukan penelusuran data sekunder dan informasi dari laporan hasil penelitian pihak lain dan media informasi baik cetak (nasional dan lokal) maupun media informasi online terutama melalui website resmi yang dimiliki pemerintah daerah Kabupaten Gowa.

4.7. Instrumen Penelitian Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena, peneliti itu sendiri diasumsikan memiliki validitas yaitu kesiapan untuk terjun di lapangan dan penguasaan terhadap metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang akan diteliti, dan kesiapan peneliti memasuki obyek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya (Sugiyono, 2007). Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian kualitatif karena penelitilah yang memiliki kemampuan untuk menangkap makna yang tersirat dibalik informasi dan fenomena sosial yang ditemui di lapangan. Tidak ada suatu instrumen berupa test atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi kecuali manusia. Seperti dikatakan oleh Lincoln dan Guba (1985), bahwa para naturalis menggunakan dirinya dan orang lain sebagai instrumen pengumpulan data utama. Alasan peneliti sendiri sebagai instrumen utama, karena antara lain: (1) manusia memiliki kemampuan beradaptasi menghadapi dan menyesuaikan

188

dengan realitas; (2) instrumen manusia dapat menangkap dan mengevaluasi makna interaksi yang berbeda; (3) manusia dapat mengapresiasi dan menilai gangguan instrumen yang mengintervensi dalam saling terbentuknya alasanalasan lain; (4) semua instrumen berbasis nilai (value based) dan berinteraksi dengan nilai-nilai lokal tetapi hanyalah manusia dalam suatu posisi untuk mengidentifikasi dan mempertimbangkan bias-bias yang dihasilkan.

4.8. Teknis Analisis Data Dalam penelitian ini, data akan dianalisis secara deskriptif. Penelitian secara deskriptif analisis dimaksudkan untuk mendiskripsikan data penelitian sesuai dengan fokus-fokus yang diteliti, tanpa melakukan pengujian hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesis, karena dalam penelitian ini penulis tidak membuat hipotesis. Disamping melakukan analisis, hasil penelitian akan diterjemahkan dan diuraikan secara kualitatif sehingga diperoleh gambaran mengenai situasi-situasi atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di lapangan. Untuk kebutuhan analisis data penelitian, akan digunakan teknik analisis data Model Spiral yang dikemukakan oleh Creswell (2007:152), sebagaimana pada Gambar 14 berikut ini. Secara operasional penggunaan Model Spiral untuk menganalisis data kualitatif, peneliti bergerak dalam lingkaran analisis daripada menggunakan pendekatan linier yang tetap. Seorang peneliti masuk dengan teks atau gambar dan keluar dengan laporan atau narasi. Selama dalam spiral analisis, peneliti bersinggungan dengan beberapa saluran analisis dan berputar dan terus berputar.

Secara teknis penggunaan Model Spiral dalam melakukan analisis

data dapat dijelaskan dalam beberapa tahapan atau saluran analisis.

189

Prosedur

Contoh Laporan

Penyajian, Visualisasi

Matriks, Pohon, Proposisi

Deskripsi, Klasifikasi, Penafsiran

Konteks, Kategori, Perbandingan

Pembacaan, Memoing

Refleksi, Menulis Catatan Seluruh Pertanyaan

Manajemen Data

Mengorganisasikan File, Unit

Pengumpulan Data

(Teks, gambar) Gambar 14. Teknik Analisis Data Model Spiral Sumber: John W. Creswell (2007)

Pada tahapan awal dilakukan pengumpulan data (data collection), baik data primer dan sekunder maupun data yang dalam bentuk teks dan gambar. Pada tahapan kedua, akan dilakukan proses membaca (reading) dan membuat catatan-catatan (memoing) sebagai refleksi dari sejumlah jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Pada tahapan ketiga, dilakukan deskripsi atas data yang telah dicatat, mengklasifikasi, dan menginterpretasi semua data berdasarkan konteks dan kategori. Tahapan terakhir, melakukan representasi dan visualisasi dengan membuat kesimpulan-kesimpulan yang dapat dibuat dalam bentuk matriks, diagram pohon, dan selanjutnya menyusun proposisi-proposisi dari hasil penelitian.

190

Sebagaimana halnya penerapan teknis analisis Model Spiral pada penelitian ini, peneliti melakukan pengorganisasian data, pembacaan dan membuat memo, serta mendeskripsikan dan interpretasi data berdasarkan empat fokus penelitian yakni (1) proses pengembangan program inovasi; (2) jenis-jenis program inovasi; (3) kapasitas inovasi pemerintahan daerah; dan (4) model pengembangan program inovasi urusan pendidikan. Kemudian data hasil penelitian disajikan dan dilakukan pembahasan dengan menggunakan teori dan konsep inovasi, seperti telah ditampilkan pada Bab II sebelumnya, sebagai alat analisis dalam pembahasan hasil penelitian. Analisis pembahasan terhadap hasil penelitian menurut keempat fokus di atas, penulis mengemasnya dalam bentuk narasi (teks), bagan (pohon analisis) dan tabel matriks. Berdasarkan tahapan analisis dalam pembahasan hasil penelitian yang divisualisasi dalam bentuk teks (narasi), matriks, dan bagan (pohon) tersebut, selanjutnya melahirkan proposisi, baik proposisi minor maupun proposisi mayor penellitian.

4.9. Uji Keabsahan Data Menurut Lincoln dan Guba (1985), Nasution (1988), dan Moleong (2005) bahwa untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu

yang

meliputi

derajat

kepercayaan

(credibility),

keteralihan

(transferability), ketergantungan (dependability) dan kepastian (confirmability). (1) Uji credibility atau validitas internal, yaitu uji kepercayaan data hasil penelitian dengan melakukan, antara lain: a. Perpanjangan pengamatan (masa pengamatan), yakni cara yang menggunakan banyak waktu untuk benar-benar mengenal suatu lingkungan, mengadakan hubungan baik dengan orang-orang yang

191

berada dilokasi penelitian, mengenal budaya setempat dan mengecek kebenaran berbagai informasi yang diperoleh. Perpanjangan masa observasi ini dimaksudkan untuk menambah waktu penelitian demi mengantisipasi bila kemudian terdapat data yang kurang lengkap, mengingat situs penelitian yang berada pada berbagai tempat. Oleh karena itu demi efektivitas penggunaan waktu, maka dilakukan pembagian waktu untuk masing-masing situs penelitian. b. Peningkatan ketekunan dalam penelitian, yakni pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus dengan memperhatikan sesuatu secara lebih cermat, terinci dan mendalam.

Hal ini dilakukan dengan

mengevaluasi data yang telah diperoleh setiap saat guna mengetahui data apa saja yang telah diperoleh dan data mana saja yang dirasa masih kurang. Data yang telah lengkap diarsip dan dibukukan (dicatat) secara baik sedangkan yang belum lengkap dilakukan penelusuran ulang sesuai teknik pengumpulan datanya dan dilakukan pada tempat atau situs sumber data diperoleh. c. Triangulasi, yakni bertujuan untuk mengecek kebenaran data tertentu dengan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian di lapangan, pada waktu yang berlainan dan dengan menggunakan metode yang berlainan pula. Terdapat tiga pola triangulasi yaitu perbandingan terhadap data, sumber data, dan teknik pengumpulan data. Prosedur triangulasi ini sangat menyita waktu, tetapi disamping menguatkan validitas juga memberikan kedalaman hasil penelitian. Triangulasi data dilakukan dengan cara mencocokkan data atau memastikan kebenaran data tersebut dari informan ke informan lainnya.

192

(2) Uji transferability (validitas eksternal), yaitu menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana sampel tersebut diambil. Pada tahapan ini, peneliti membuat laporan yang terurai secara rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya. Gunanya agar orang lain dapat memahami dan menerapkan hasil penelitian tersebut dalam konteks dan situasi sosial yang lain. Dalam rangka mendapatkan derajat validitas eksternal maka data didasarkan pada konteks empiris setting penelitian yaitu perspektif “emic” yang diterima oleh peneliti dan “etic” yakni perspektif yang merupakan hasil interpretasi peneliti. Dalam validitas eksternal ini juga dilakukan dengan membandingkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan permasalahan yang diteliti. (3) Uji dependability (reliabilitas), yaitu suatu penelitian dikatakan reliabel jika orang lain dapat mengulangi atau mereplikasi proses penilaian tersebut. Pada uji dependability ini, peneliti harus mampu menunjukkan ”jejak aktivitas lapangannya” mulai dari proses menentukan masalah/fokus penelitian, memasuki lokasi, sumber data, analisis data, uji keabsahan data, sampai pada proses membuat kesimpulan. Kemudian untuk memastikan apakah hasil penelitian benar atau salah, peneliti akan senantiasa berkonsultasi dan mendiskusikan

dengan

pembimbing

secara

bertahap.

Hal-hal

yang

dikonsultasikan berupa proses peneletian itu sendiri, taraf kebenaran data serta penafsirannya. Untuk hal ini, peneliti akan menyediakan sejumlah data mentah, hasil analisis data dan catatan tentang proses yang digunakan. (4) Uji confirmability (obyektivitas), yaitu suatu penelitian dikatakan obyektif jika hasilnya telah disepakati banyak orang. Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian dikaitkan dengan proses penelitian. Derajat obyektivitas penelitian dapat dicapai melalui audit atau pemerikasaan secara

193

cermat terhadap seluruh komponen dan proses penelitian serta hasilnya. Pemeriksaan dilakukan dan didampingi oleh pembimbing terutama yang menyangkut kepastian asal usul data, logika penarikan data, dan penilaian terhadap derajat ketelitian serta telaah terhadap kegiatan peneliti dalam menguji keabsahan data.

194

Kajian Pustaka Inovasi Pemerintahan Daerah

Konteks Inovasi Pemerintahan Daerah

Penelusuran Jurnal dan Artikel terkait

Kesenjangan Penelitian (Research Gap)

Research Problems

Research Questions

Research Objectives

Research Significances

Research Focus Proses Pengembangan Inovasi, Jenis Program Inovasi, Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah

Teknis Analisis: Model Spiral (Creswell)

Pengumpulan Data: Interview, Observasi, Dokumentasi

Penyajian Hasil Peneltian

Pembahasan Hasil Penelitian

Penyusunan Proposisi-Proposisi Simpulan & Saran

Implikasi Penelitian: Teoritis & Praktis

Gambar 15. Kerangka Umum Alur Pemikiran Penelitian

195

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab V ini merupakan bagian yang menyajikan hasil penelitian dan pembahasannya. Sub Bab hasil penelitian menampilkan hasil-hasil berupa fenomena dan fakta empiris yang berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah. Fenomena dan fakta empiris mengenai penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa ini dideskripsikan berdasarkan data hasil observasi secara langsung, keterangan wawancara yang bersumber dari para informan, dan informasi dari berbagai dokumen daerah yang berhubungan dengan inovasi pemerintahan daerah dalam melaksanakan urusan pendidikan. Sementara itu, Sub Bab pembahasan adalah pembahasan melalui analisis mendalam terhadap hasil-hasil penelitian yang telah disajikan. Pembahasan dilakukan berdasarkan pada kajian teori dan konsep serta hasil penelitian terdahulu. Di mana kajian teori, konsep dan hasil penelitian terdahulu tentu yang berkaitan dan relevan dengan topik penelitian sebagaimana telah disajikan pada Bab II, yang pada akhirnya tersusun proposisiproposisi penelitian, baik proposisi minor maupun mayor.

5.1 Penyajian Hasil Penelitian 5.1.1 Proses Pengembangan Program Inovasi Dalam Urusan Pendidikan Setelah memahami secara umum tentang proses penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, maka pada bagian ini menguraikan secara

khusus

bagaimana

proses

penyelenggaraan

urusan

pendidikan

berlangsung saat ini. Proses penyelenggaraan urusan pendidikan berarti

196

berkaitan dengan pelaksanaan fungsi mengatur dan mengurus urusan pendidikan. Di Kabupaten Gowa, fungsi mengatur dan mengurus mengenai urusan pendidikan dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan mengacu pada PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintah

Daerah

Provinsi

dan

Pemerintah

Daerah

Kabupaten/Kota. Peraturan pemerintah ini dijabarkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten Maros No. 3 Tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah Kabupaten Gowa. Dalam konteks memahami lebih jauh tentang proses penyelengaraan urusan pendidikan, maka pada bagian berikut ini diuraikan aspek-aspek dengan penyelenggaraan urusan pendidikan tersebut, yakni: (1) pembagian kewenangan dalam urusan pendidikan; (2) penyelenggara urusan pendidikan; (3) program dan kegiatan serta alokasi anggaran urusan pendidikan; dan (3) satuan pendidikan sekolah. Setelah kemudian disajikan pula beberapa data dan informasi dari keterangan wawancara peneliti dengan informan yang berkaiatan dengan fokus proses pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Pada bagian berikut ini diuraikan aspek-aspek tersebut berdasarkan deskripsi hasil dokumentasi dan pengamatan di lapangan.

(a) Pembagian Kewenangan Dalam Urusan Pendidikan Mengenai pembagian kewenangan urusan pendidikan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota sudah ditentukan secara jelas dan rinci pada bagian lampiran peraturan pemerintah tersebut di atas. Di mana pembagian kewenangan urusan pendidikan diuraikan secara jelas dan rinci berdasarkan sub bidang kewenangan. Kewenangan dalam urusan pendidikan terbagi dalam 6 (enam) sub bidang kewenangan yakni: (a)

197

kebijakan, (b) pembiayaan, (c) kurikulum, (d) sarana dan prasarana, (e) pendidik dan tenaga kependidikan, dan (f) pengendalian mutu pendidikan. Kabupaten

Gowa

sebagai

salah

satu

daerah

otonom

dalam

menyelenggarakan urusan pendidikan memiliki rincian kewenangan dalam urusan pendidikan, sebagai berikut: (1) Sub Bidang Kebijakan, terdiri dari sub sub bidang kebijakan dan standar. Pada sub sub bidang kebijakan dan standar, pemerintah daerah memiliki kewenangan meliputi: (a) Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi; (b) Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional; (c) Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota; (d) Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal; (e) Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal; (f) Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional; (g) Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal; (h) pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan

menengah;

(i)

Pemberian

dukungan

sumber

daya

terhadap

penyelenggaraan perguruan tinggi; (j) Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional; dan (k) Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten/kota.

198

(2) Sub

Bidang

Pembiayaan.

Kewenangan

pemerintah

daerah

yang

menyangkut pembiayaan urusan pendidikan antara lain: (a) Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,

pendidikan

menengah

dan

pendidikan

nonformal

sesuai

kewenangannya; dan (b) Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya. (3) Sub Bidang Kurikulum. Kewenangan pemerintah daerah yang berhubungan dengan kurikulum meliputi: (a) Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar; (b) Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah; (c) Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar; (d) Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar; dan (e) Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar (4) Sub

Bidang

Sarana

dan

Prasarana.

Pemerintah

daerah

memilki

kewenangan pada sub bidang sarana dan prasarana pendidikan, meliputi: (a) Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal; (b) Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan;

dan (c)

Pengawasan

penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. (5) Sub Bidang Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pada sub bidang ini, pemerintah daerah berwenang melakukan antara lain: (a) Perencanaan

199

kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya; (b) Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya: (c) Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/kota; (d) Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal; (e) Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal; dan (f) Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang-undangan. (6) Sub Bidang Pengendalian Mutu Pendidikan terdiri dari 4 (empat) sub sub bidang yakni penilaian hasil belajar, evaluasi, akreditasi, dan penjaminan mutu.

Pada

penilaian

hasil

belajar,

pemerintah

daerah

memiliki

kewenangan yakni: (a) Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal; (b) Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala kabupaten/kota; (c) Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan evaluasi, kewenangan pemerintah daerah adalah (a) Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan

200

menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota dan (b) Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota. Dalam hal kewenangan untuk melakukan akreditasi, pemerintah daerah hanya memiliki kewenangan membantu pemerintah dalam akreditasi pendidikan nonformal. Sedangkan kewenangan pemerintah daerah dalam kegiatan penjaminan mutu, meliputi: (a) Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan; (b) Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional; (c) Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu; dan (d) Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota. (b) Penyelenggara Urusan Pendidikan Dalam pemerintahan

mendukung daerah

penyelenggaraan

Kabupaten

Gowa

urusan

telah

pendidikan,

mengatur

Satuan

maka Kerja

Peremerintah Daerah (SKPD) yang berwenang mengurusi urusan pendidikan yakni Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda. Dinas ini secara legalitas diatur dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Gowa. Tugas pokok Dinas ini adalah melaksanakan sebagian kewenangan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembatuan di bidang pendidikan, olah raga dan pemuda.

201

Sementara itu, fungsi dari Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda ini meliputi (1) perumusan kebijakan teknis; (2) penyelenggaraan urusan pemerintah dan pelayanan umum; (3) pembinaan dan pelaksanaan tugas sesuai kewenangannya; (4) pengelolaan administrasi umum yakni ketatalaksanaan, keuangan, kepegawaian, perlengkapan dan peralatan; (5) mengelola UPTD; dan (6) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai tugas dan fungsinya. Dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2008 di atas diatur pula mengenai Susunan dan Struktur Organisasi Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda, yang meliputi: (1) Kepala Dinas; (2) Sekretariat yang melingkupi Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan, serta Sub Bagian Keuangan; (3) Bidang Pendidikan Dasar yang melingkupi Seksi Manajemen Pendidikan Dasar, Seksi Pembinaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan, dan Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar; (4) Bidang Pendidikan Menengah meliputi Seksi Manajemen Pendidikan Menengah, Seksi Pembinaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan, Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Menengah; (5) Bidang Pendidikan Non Formal dan Prasekolah melingkupi Seksi Pendidikan Non Formal, Seksi Pendidikan Prasekolah, Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Non Formal dan Prasekolah; (6) Bidang Olah Raga dan Pemuda yang melingkupi Seksi Pembinaan Kepemudaan, Seksi Pengembangan Olah Raga; dan (7) Kelompok Jabatan Fungsional. Susunan dan Struktur Organisasi Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda Kabupaten Gowa dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar ini kiranya dapat memberi deskripsi mengenai tersedianya dukungan kelembagaan dalam mendorong penyelenggaraan urusan pendidikan kearah yang lebih efektif.

202

Gambar 16. Struktur Penyelenggara Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa Sumber: Perda Kabupaten Gowa No. 7 Tahun 2008

Kemudian dalam Peraturan Bupati No. 26 Tahun 2008, telah diatur mengenai Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Jabatan Strutural pada Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda. Kepala Dinas memiliki beberapa fungsi yakni: (a) perumusan kebijakan teknis Dinas; (b) penyusunan rencana strategik Dinas; (c) penyelenggaraan pelayanan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang pendidikan; (d) melakukan pembinaan, pengkoordinasian, pengendalian,

pengawasan

terhadap program

dan kegiatan dinas;

(e)

penyelenggaraan evaluasi program dan kegiatan dinas; (f) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sementara itu Kepala Dinas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memiliki rincian tugas sebagai berikut: (1) Menyusun rencana program dan kegiatan di bidang pendidikan;

203

(2) Melaksanakan program dan kegiatan di bidang pendidikan; (3) Mengkoordinasikan pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pendidikan; (4) Melaksanakan

pengendalian

terhadap

pelaksanaan

program

dan

kegiatan di bidang pendidikan; (5) Melaksanakan pembinaan pegawai di lingkungan Dinas Pendidikan; (6) Melaksanakan pembinaan teknis dan administratif pada unit pelaksana teknis dinas dan pejabat fungsional di lingkungan Dinas Pendidikan; (7) Memonitor serta mengevaluasi pelaksanaan tugas bawahan agar sasaran dapat dicapai sesuai dengan program kerja dan ketentuan yang berlaku; (8) Menilai

prestasi

bawahan

sebagai

bahan

pertimbangan

dalam

pengembangan karier; (9) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya; (10) Menyampaikan laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah. Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi Kepala Dinas didukung oleh satuan organisasi yakni Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekretaris. Sekretariat ini memiliki tugas meliputi merencanakan operasionalisasi, memberi tugas, memberi petunjuk, menyelia, mengatur, mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan

tugas

kesekretariatan,

meliputi

urusan

umum

dan

kepegawaian, perencanaan dan pelaporan serta pengelolaan keuangan dalam lingkup Dinas. Dalam menjalankan tugas sehari-hari Sekretaris mempunyai fungsi: (a) penyusunan kebijakan teknis administrasi kepegawaian, administrasi keuangan

204

dan perencanaan pelaporan; (b) penyelenggaraan kebijakan administrasi kepegawaian, pembinaan,

administrasi

keuangan

pengkoordinasian,

dan

pengendalian,

perencanaan pengawasan

pelaporan;

(c)

program

dan

kegiatan sub bagian; dan (d) penyelenggaraan evaluasi program dan kegiatan sub bagian. Adapun rincian tugas dari seorang Sekretaris dalam lingkup Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengendalikan serta menetapkan kebijakan di bidang umum, kepegawaian, keuangan, dan perlengkapan; (2) Menyusun rencana kegiatan tahunan sebagai pedoman pelaksanaan tugas; (3) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan pelayanan teknis dan administratif kepada seluruh satuan organisasi dalam lingkup Dinas; (4) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan umum dan kepegawaian; (5) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan perencanaan dan pelaporan; (6) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan keuangan; (7) Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan urusan perlengkapan; (8) Melakukan

monitoring

dan

evaluasi

terhadap

penyelenggaraan

administrasi umum, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan; (9) Mengkoordinasikan penyusunan laporan pelaksanaan program dan kegiatan dalam lingkup Dinas; (10) Menilai prestasi kerja para Kepala Sub Bagian dalam rangka pembinaan dan pengembangan karir;

205

(11) Menginventarisir

permasalahan-permasalahan

yang

berhubungan

dengan kesekretariatan dan menyiapkan bahan petunjuk pemecahan masalah; (12) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh atasan. Subbagian Umum dan Kepegawaian mempunyai tugas menyusun rencana

kerja,

melaksanakan

tugas

teknis

ketatausahaan,

mengelola

administrasi kepegawaian serta melaksanakan urusan kerumahtanggaan Dinas. Subbagian Keuangan mempunyai tugas menyusun rencana kerja dan melaksanakan tugas teknis keuangan. Subbagian Perencanaan dan Pelaporan mempunyai tugas menyusun rencana kerja, melaksanakan tugas teknis perlengkapan, membuat laporan serta mengevaluasi semua pengadaan barang. Bidang Pendidikan Dasar mempunyai tugas melaksanakan rencana kerja program dan pengembangan kurikulum pendidikan TK, SD dan SMP, menilai dan menetapkan izin operasi pendidikan dasar, menata kebutuhan tenaga pendidik dan kependidikan serta melaksanakan pembinaan peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan dan penguatan mutu pendidikan. Bidang Pendidikan Menengah mempunyai tugas pokok melaksanakan rencana program dan pengembangan kurikulum pendidikan SMA dan SMK, menilai dan menetapkan izin operasional pendidikan menengah, menata kebutuhan tenaga pendidik dan kependidikan serta melaksanakan pembinaan peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan dan penguatan mutu pendidikan. Bidang Pendidikan Non Formal dan Informal mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan teknis pendidikan Non Formal, menilai dan menetapkan izin operasional Penyelenggara Pendidikan Non Formal. Bidang

206

terakhir yakni Bidang Sarana dan Prasarana Pendidikan mempunyai Tugas melaksanakan perumusan kebijakan teknis, pelaksanaan dan pembinaan teknis pengadaan, analisis kebutuhan, perawatan, pedoman pembakuan sarana dan prasarana Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, PAUD, Pendidikan Non Formal dan Prasarana UPTD serta Dinas Pendidikan. Selain Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga sebagai unsur utama dan memiliki tugas pokok secara teknis operasional dalam penyelenggaraan urusan pendidikan, seperti halnya di daerah lain, di Kabupaten Gowa terdapat pula

institusi

atau

lembaga

lain

yang

memiliki

peran

penting

dalam

penyelenggaraan urusan pendidikan. Lembaga yang dimaksud adalah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah secara nasional diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 24 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Kemudian pada pasal 25, menyatakan bahwa Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Selanjutnya tugas dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah ini pada intinya menjelaskan bahwa kedua institusi tersebut memiliki peran penting dalam upaya memajukan dunia pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Keduanya turut memberikan pertimbangan mengenai pelbagai isu pendidikan kepada sejumlah pemangku kepentingan seperti Gubernur, Bupati/Walikota, Dinas Pendidikan dan DPRD. Posisi ini menjadikan Dewan

207

Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai mitra strategis dan sejajar bagi pemerintah daerah dan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Keberadaan Dewan Pendidikan Kabupaten Gowa sudah memasuki periode kedua. Berdasarkan dokumentasi lapangan, saat ini anggota Dewan Pendidikan berjumlah 11 orang yang berasal dari beragam latar belakang, yakni dua orang pakar pendidikan, dua orang penyelenggara pendidikan, dua tokoh pengusaha lokal, satu orang ulama (tokoh Muslim), satu tokoh masyarakat adat, satu orang dari organisasi profesi, satu aktivis LSM, dan satu tokoh perempuan.. Demikian pula keberadaan Komite Sekolah, keanggotaannya terdiri dari unsur orangtua/wali perserta didik, tokoh masyarakat, dan pakar pendidikan yang relevan. Komite Sekolah ini sudah terbentuk disemua satuan pendidikan (sekolah) yang ada di Kabupaten Gowa. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai representasi masyarakat menyuarakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pihak pemerintah daerah dan sekolah. Dalam konteks ini pula Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memberi pertimbangan dan masukan terhadap peraturan-peraturan, baik yang dirumuskan oleh lembaga eksekutif maupun yang diusulkan oleh DPRD. (c) Program, Kegiatan dan Alokasi Anggaran Urusan Pendidikan Pada bagian awal telah diuraikan visi dan misi pemerintah daerah Kabupaten Gowa. Dalam pernyataan visi dan misi tersebut jelas nampak adanya keberpihakan dan komitmen yang tinggi terhadap pembangunan sumber daya manusia (human resource development) yakni meningkatnya kualitas sumber daya manusia yang berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar manusia. Pemenuhan hak-hak dasar manusia, salah satu di antaranya adalah pemenuhan hak dalam memperoleh pelayanan pendidikan yang memadai.

208

Hal mengenai keberpihakan dan komitmen yang tinggi terhadap pemenuhan

hak-hak

dasar

termasuk

pendidikan

sebagai

basis

untuk

meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tercermin pula dalam pernyataan visi dan misi SKPD Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Gowa. Visi tersebut berbunyi: “Terwujudnya Sistem Pendidikan Sebagai Pranata Sosial yang Kuat dan Berwibawa untuk Menciptakan Luaran dan Hasil yang Handal”. Selanjutnya rumusan misi dinas ini tersusun dalam beberapa poin, yakni: (1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (2) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai

pusat

pemberdayaan

ilmu

pengetahuan,

keterampilan,

pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional. (3) Menumbuh

kembangkan

semangat

keunggulan

secara

intensif

pengamalan ajaran agama dan nilai budaya. Visi dan misi tersebutlah yang menjadi pondasi strategis sehingga pelayanan di bidang pendidikan ini menjadi agenda prioritas dalam kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Gowa selama ini. Pelayanan bidang pendidikan ini tentu saja berkaitan dengan keseluruhan penyelenggaraan pemerintah daerah yang berkaitan dengan urusan pendidikan. Berdasarkan visi dan misi tersebut maka dijabarkanlah beberapa program dan kegiatan dalam urusan pendidikan seperti pada Tabel 28 berikut ini. Tabel 28.

Program, Kegiatan dan Alokasi Anggaran Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa tahun 2013

No.

Program dan Kegiatan

1.

Program Pendidikan Anak Usia Dini Pengadaan Sarana Mobilitas Sekolah (Honor & Motor Satpol PP)

Alokasi Anggaran 1,917,400,000 1,892,400,000

209

2.

3.

Renovasi Ruangan dan Pemasangan Paving Blok PAUD / SPAS

15,000,000

Rehabilitasi PAUD SPAS Bontoala

10,000,000

Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Pembangunan Gedung SMP

1,500,000,000

Penambahan Ruang Kelas Sekolah SD/SMP

1,000,000,000

Pembangunan Laboratorium & Ruang Praktikum Sekolah SMP

23,100,000,000

Pembangunan Perpustakaan Sekolah SD/SMP

10,625,000,000

Pengadaan Mobiler Sekolah SD/SMP

660,000,000

Rehabilitasi Sedang/Berat Bangunan Sekolah SD/SMP Rehabilitasi Sedang/Berat Taman ,Lapangan Upacara dan Fasilitas Parkir Penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Jenjang SD/MI/SDLB/SMP/MT - Tim Pengendali Pendidikan Gratis

900,000,000

Program Pendidikan Menengah

108,255,000 200,000,000

9,510,000,000 3,900,000,000

Penambahan Ruang Kelas Sekolah SMA/SMK

1,400,000,000

Pembangunan Laboratorium dan Ruang Praktikum Sekolah SMA

1,500,000,000 600,000,000

Pengadaan Mobiler Sekolah SMA

1,000,000,000

Rehabilitasi Sedang/Berat Bangunan Sekolah SMA/SMK

1,000,000,000

Penyelenggaraan Akreditsi sekolah Monitoring , Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan KTSP SD, SMP, SMA/SMK

Program Pendidikan Non Formal Pemberdayaan Tenaga Pendidikan Non Formal (PAUD SPAS) Pengembangan Pendidikan Keaksaraan ( Buta Aksara) 280 klp KF Pengembangan Pendidikan Keaksaraan 112 klp KF

50,000,000 60,000,000

6,518,329,400 2,951,329,400 980,000,000 392,000,000

Pengembangan Pendidikan Keaksaraan 170 klp KF

595,000,000

Pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup Pengembangan Kurikulum, Bahan Ajar & Model Pembelajaran Pendidikan Penunjang Proses Belajar Mengajar (SKB)

100,000,000

Pelaksanaan Ujian Nasional Paket A,B dan C

No.

100,000,000

Pembangunan Gedung SMA/SMK

Pembangunan Perpustakaan SMA

4.

38,193,255,000

Program dan Kegiatan

75,000,000 100,000,000 50,000,000

Alokasi Anggaran

Pembangunan Gedung TK Borongara

140,000,000

Pembangunan Gedung MIS Parangloe

140,000,000

Pembangunan Gedung Bermain Anak Prasekolah

25,000,000

Rehabilitasi TK Pa'rasangang Toa

30,000,000

Rehabilitasi SPAS

10,000,000

210

Pemb. Pemagaran TK Pembina Negeri Parigi

30,000,000

TK Pembina Negeri 1 Parigi (Pengadaan alat main TK)

10,000,000

Pelaksanaan hari anak nasional

35,000,000

Pelaksanaan Hari Aksara Nasional

35,000,000

Biaya Operasional Bantuan Alat Praktikum dari Jerman

5.

Program Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan Workshop Sistim Pembelajaran Tuntas berkelanjutan Pembinaan KKG SD, MGMP SMP MKPS, MKKS Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Sertifikasi Guru & Pengawas Optimalisasi Mutu Pendidikan & Tenaga Kependidikan

6.

3,000,000,000 300,000,000 100,000,000 31,200,000 20,000,000,000

Punggawa Demba An Educatinal Program SD/SMP/SMA/SMK

10,000,000,000

Program Punggawa Demba Sosialisasi kurikulum Pendidikan Karakter & Budaya Bangsa Melalui Pembelajaran Aktif & Kewirausahaan Pendidikan Lanjutan Bagi Pendidikan Utk Memenuhi Standar Kualifikasi Pengembangan Sistem Penghargaan & Perlindungan Terhadap Profesi Pendidikan Sosialisasi Sertifikasi Guru & Pengawas

300,000,000

Workshop Guru Bidang Studi SMA & SMK

100,000,000

Program Manajemen Pelayanan Pendidikan

Pembinaan Dewan Pendidikan Pelatihan Komite Sekolah Penghargaan Siswa, Guru, Pengawas & Kepala Sekolah Berprestasi Bina Kreatifitas siswa teladan SMA/SMK

50,000,000 300,000,000 50,000,000 50,000,000

1,055,000,000 250,000,000 75,000,000 200,000,000 80,000,000 30,000,000

Olimpiade Sains Nasional (OSN) SMA

30,000,000

Olimpiade Sains Nasional (OSN) SD & SMP

30,000,000

Operasional UASBN SD

80,000,000

Operasional Punggawa D'Emba

200,000,000

Pembinaan Komite Sekolah

25,000,000

Penyusunan Profil pendidikan

65,000,000

No.

Program dan Kegiatan

7.

Program Pengembangan Komunikasi Informasi Pembinaan & Pengembangan Jaringan Komunikasi & Informasi

9.

33,931,200,000

Pelaksanaan Pendidikan Gratis

Pelaksanaan Evaluasi Hasil Kinerja Bidang Pendidikan

8.

100,000,000

Program Dana Alokasi Khusus (DAK)

Alokasi Anggaran 200,000,000 200,000,000

21,000,000,000

Kegiatan DAK Dinas Pendidikan

21,000,000,000

Program Pendamping Kegiatan

7,714,462,251

211

Pendamping Rehabilitasi Sedang/Berat Bangunan Sekolah (DAK)

2,764,462,251

Pendamping Rintisan Sekolah Berstandar International

3,850,000,000

Biaya Operasional District Core Team (DCT) Program Bermutu

300,000,000

Dana Pendampingan USB SMK Negeri 1 Pattallassang

700,000,000

Pendampingan Pembinaan Utk Memenuhi Ketentuan ISO 2000

100,000,000

Jumlah

120,039,646,651

Sumber: Peraturan Bupati Gowa No. 16 Tahun 2012 tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2013

Terdapat sembilan jenis program dan 68 jenis kegiatan yang berkaitan dengan urusan pendidikan. Keseluruhan program dan kegiatan tersebut diselenggarakan oleh SKPD Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga sebagaimana telah ditetapkan dalam RKPD Kabupaten Gowa untuk tahun 2013. Kesembilan program tersebut dituangkan dalam Tabel 28 yang meliputi: (1) Program Pendidikan Anak Usia Dini; (2) Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar; (3) Program Pendidikan Menengah; (4) Program Pendidikan Non Formal; (5) Program Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan; (6) Program Manajemen Pelayanan Pendidikan; (8) Program Dana Alokasi Khusus; dan (9) Program Pendampingan Kegiatan. Masing-masing program diimplementasikan dalam beberapa bentuk kegiatan dan untuk memdukung pelaksanaannya, telah dialokasikan pula anggaran untuk setiap program dan kegiatan. Tabel 28 di atas menunjukkan bahwa program PAUD dilaksanakan dalam beberapa kegiatan yakni pengadaan sarana mobilitas sekolah untuk pegawai honor dan Satuan Tugas pendidikan, renovasi ruangan dan pemasangan paving blok untuk memperlancar kegiatan PAUD/SPAS, dan rehabilitasi gedung sekolah PAUD Kecamatan Bontoala. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan program PAUD tersebut telah dialokasikan anggaran sebesar Rp. 1,917,400,000.

212

Program wajib belajar pendidikan dasar diselenggarakan dalam beberapa jenis kegiatan, yakni pembangunan gedung SMP, penambahan ruang kelas untuk SD dan SMP, pembangunan laboratorium dan ruang untuk praktikum bagi murid SMP, pembangunan ruang perpustakaan dan pengadaan mobiler untuk SD dan SMP, rehabilitasi bangunan, taman, lapangan upacara dan fasilitas parkir

untuk

SD

dan

SMP,

dan

penyediaan

dana

BOS

untuk

SD/MI/SDLB/SMP/MT serta membentuk tim pengendali pelaksanaan pendidikan gratis. Program wajib belajar pendidikan dasar ini akan menggunakan anggaran sebesar Rp. 38,193,255,000. Pada umumnya kegiatan pada program wajib belajar pendidikan dasar ini bersifat fisik dan pengadaan fasilitas, kecuali yang berkenaan dengan penyediaan dana BOS dan pembentukan tim pengendali. Untuk program pendidikan menengah dirinci menjadi delapan kegiatan yakni

pembangunan

gedung,

penambahan

ruang

kelas,

pembangunan

laboratorium dan ruang praktikum sekolah SMA, pembangunan perpustakaan SMA, pengadaan mobiler sekolah SMA, rehabilitasi bangunan sekolah SMA/SMK, penyelenggaraan akreditasi sekolah dan terakhir adalah kegiatan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan KTPSP SD, SMP dan SMA/SMK. Anggaran untuk kegiatan-kegiatan tersebut telah dialokasikan sebesar Rp. 9,510,000,000. Kegiatan yang berhubungan dengan program pendidikan menengah inipun masih lebih banyak yang bersifat fisik dan hanya dua kegiatan yang bersifat nonfisik yakni menyangkut kegiatan akreditasi dan kegiatan monev dan pelaporan. Beriktunya program yang berhubungan dengan pendidikan nonformal meliputi kegiatan-kegiatan yang bersifat nonfisik antara lain: pemberdayaan tenaga

pendidikan

nonformal

(PAUD/SPAS),

pengembangan

pendidikan

keaksaraan (buta aksara) terbagi menjadi tiga kegiatan, pengembangan

213

pendidikan kecakapan hidup, pengembangan kurikulum bahan ajar dan model pembelajaran, penunjang proses belajar mengajar (SKB), pelaksanaan UN (paket A, B, dan C). Kegiatan yang bersifat fisik adalah pembangunan gedung (TK Borongara, MIS Parambe, dan anak prasekolah), rehabilitasi gedung (TK Pa’rasangan Toa dan SPAS), pemagaran TK Pembina Negeri Parigi, pengadaan alat bermain. Ada juga kegiata lainnya yakni pelaksanaan hari anak nasional, dan pelaksanaan hari aksara nasional, serta biaya operasional bantuan alat praktikum bantuan dari Jerman. Keseluruhan kegiatan pendidikan non formal ini akan dianggarkan sebanyak Rp. 6,518,329,400. Dari sekian kegiatan tersebut nampak

bahwa

kegiatan

non

fisik

sudah

direncanakan

lebih

banyak

dibandingkan dengan kegiatan yang bersifat non fisik dan pengadaan barang. Peningkatan mutu dan tenaga kependidikan merupakan program yang di dalamnya terdapat beberapa kegiatan unggulan. Program peningkatan mutu dan tenaga kependidikan ini terdiri dari 12 jenis kegiatan. Jenis-jenis kegiatan yang dimaksud

meliputi:

kegiatan

Workshop

Sistem

Pembelajaran

Tuntas

Berkelanjutan, pembinaan KKG SD, MGMP SMP MKPS, dan MKKS. Selain itu terdapat pula kegiatan monitoring, evaluasi dan pelaporan sertifikasi guru dan pengawas, optimalisasi mutu dan tenaga kependidikan, pelaksanaan pendidikan gratis, dan program Punggawa D’Emba an Education. Kemudian kegiatan sosialisasi kurikulum pendidikan karakter, pendidikan lanjutan bagi pendidik untuk standar kualifikasi, pengembangan sisten penghargaan dan perlindungan terhadap profesi kependidikan, sosialisasi sertifikasi guru dan pengawas, dan terakhir kegiatan workshop bagi guru bidang studi tingkat SMA dan SMK. Berdasarkan RKPD seperti tergambar dalam tabel....di atas, terlihat bahwa program peningkatan mutu dan tenaga kependidikan dianggarkan sebesar Rp. 33,931,200,000. Kemudian dari sifat kegiatan yang dirancang dalam program ini

214

nampaknya memang lebih kepada perbaikan kualitas, baik kualitas tenaga kependidikan

(profesi

guru

dan

pengawas)

maupun

kualitas

proses

pembelajaran itu sendiri. Tabel 28 di atas juga memperlihatkan program yang bersentuhan dengan manajemen pelayanan pendidikan. Kegiatan-kegiatan yang disepakati dalam manajemen pelayanan pendidikan meliputi: pelaksanaan evaluasi hasil kinerja bidang pendidikan, pembinaan Dewan Pendidikan dan kegiatan pelatihan Komite Sekolah. Selain itu juga dirancang kegiatan pemberian penghargaan kepada siswa, guru, pengawas dan kepla sekolah yang berprestasi. Kegiatan pembinaan kreativitas siswa teladan SMA/SMK, ikut serta dalam olimpiade sains nasional (OSN) untuk tingkat SD, SMP dan SMA. Kegiatan operasional UASBN SD dan operasional program Punggawa D’Emba Education. Kegiatan yang terakhir yakni kegiatan pembinaan Komite Sekolah dan penyusunan profil pendidikan Kabupaten Gowa. Anggaran untuk seluruh kegiatan dalam program manajemen pelayanan pendidikan ini adalah sebesar Rp. 1,055,000,000. Program

berikutnya

adalah

program

yang

berhubungan

dengan

pengembangan komunikasi informasi. Program ini hanya dilakukan dengan mengadakan kegiatan pembinaan dan pengembangan jaringan komunikasi dan informasi yang menggunakan anggaran sebesar Rp. 200,000,000. Kemudian program yang menggunakan anggaran dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp. 21,000,000,000. Anggaran dari alokasi DAK ini biasanya berkaitan dengan kegiatan rutin yang dilaksanakan oleh SKPD Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Hal ini dibenarkan oleh salah seorang informan Sekretaris Dinas DIkpora yakni Bapak SpM. Dalam Tabel 28 terlihat juga adanya kegiatan yang disebut program pendamping kegiatan. Kegiatan yang termasuk dalam program pendamping

215

kegiatan ini meliputi: rehabilitasi bangunan sekolah, rintisan sekolah bertaraf internasional, operasional District Core Team (DCT) program bermutu, dan pendampingan pembinaan untuk memenuhi ketentuan ISO 2000. Anggaran untuk program yang sifatnya pendamping kegiatan sebesar Rp. 7,714,462,251, yang anggarannya salah satunya bersumber dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Setelah mengetahui program dan kegiatan apa saja yang ditetapkan dalam RKPD, khususnya untuk SKPD Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, maka perlu pula diketahui gambaran tentang capaian penyelenggaraan urusan pendidikan yang telah berlangsung selama. Untuk itu berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan melalui penelusuran dokumen maka peneliti menemuan beberapa capaian yang berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Capaian penyelenggaraan urusan pendidikan tersebut tergambar dalam beberapa indikator yang dikaitkan dengan tingkatan pendidikan. Indikatorindikator tersebut meliputi: (1) Angka Partisipasi Sekolah (APS); (2) Rasio Ketersedian Sekolah/Penduduk Usia Sekolah; (3) Rasio Guru & Murid; (4) Angka Putus Sekolah (DO); (5) Fasilitas Sekolah Kondisi Baik; (6) Capaian Layanan PAUD; dan (7) Jumlah Guru Kualifikasi S1 / Diploma IV. Ketujuh indikator capaian penyelenggaraan pendidikan tersebut berkaitan dengan tiga tingkatan pendidikan yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini (PAUD). Indikator-indikator capaian penyelenggaraan urusan pendidikan tersebut masih merupakan indikator yang bersifat makro untuk mengukur keberhasilan pembangunan bidang pendidikan di Kabupaten Gowa. Beberapa indikator

216

capaian penyelenggaraan urusan pendidikan menurut tingkatan pendidikan pada tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada tampilan Tabel 29 berikut ini.

Tabel 29.

Indikator Capaian Penyelenggaraan Urusan Pendidikan Menurut Tingkatan Pendidikan Kabupaten Gowa Tahun 20102011

Indikator

Pendidikan Dasar

Pendidikan Menengah

2010

2011

2010

2011

Angka Partisipasi Sekolah (APS) Rasio Ketersedian Sekolah/Penduduk Usia Sekolah Rasio Guru & Murid

94,41%

94,97%

91,15%

91,85

1 : 43,93

1 : 44,23

1 : 48,01

1 : 50,66

1 : 4,50

1 : 4,54

1 : 10,50

1 : 10,57

Angka Putus Sekolah (DO)

0,20%

0%

0,10%

0%

Fasilitas Sekolah Kondisi Baik

418 Unit

419 Unit

118 Unit

122 Unit

Capaian Layanan PAUD Jumlah Guru Kualifikasi S1 / Diploma IV

PAUD 2010

2011

33 Unit

33 Unit

31,86%

36,36%

69,66% (Thn. 2010) & 74, 73% (Thn. 2011)

Sumber: Statistik Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2011 dan Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Pada Tabel 29 di atas menampilkan indikator angka partisipasi sekolah (APS) menurut tingkatan pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2010 dan 2011. Capaian APS menurut tingkatan pendidikan menengah berada pada 91,15% tahun 2010 dan 91,85% tahun 2011. Indikator APS tersebut memberikan makna bahwa jumlah penduduk pada usia yang seharusnya sudah bersekolah pada tingkatan pendidikan dasar (SD/MI) sudah mencapai 94,41% pada tahun 2010 dan 94,97% tahun 2011. Hal ini berarti masih terdapat penduduk pada usia

217

sekolah tersebut yang tidak bersekolah sekitar 5,59% pada tahun 2010 dan 5,3% pada tahun 2011. Demikian halnya APS pada tingkatan pendidikan menengah (SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK), bermakna juga bahwa pada tahun 2010 hanya 91,15% penduduk usia sekolah pada tingkatan pendidikan menengah yang bersekolah dan tahun 2011 sudah meningkat menjadi 91,85%. Sebaliknya masih terdapat sekitar 8,85% pada tahun 2010 dan 8,15% penduduk yang tidak bersekolah pada usia sekolah pendidikan menengah. Indikator rasio ketersediaan sekolah dengan penduduk usia sekolah berada pada angka 1 : 43,93 untuk tahun 2010 dan 1 : 44,23 tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa capaian untuk indikator ini mengalami peningkatan dalam dua tahun tersebut. Kemudian tergambar pula indikator berdasarkan rasio antara ketersediaan guru dengan jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu. Rasio antara guru dan murid ini akan memberikan makna tentang kondisi ideal antara guru yang memberi pengajaran dengan murid sekolah pada jenjang pendidikan tertentu. Angka putus sekolah (DO) di Kabupaten Gowa untuk pendidikan dasar pada tahun 2010 hanya 0,20% dan tahun berikutnya 0%. Sementara untuk pendidikan menengah pada tahun 2010 masih ada sekitar 0,10% dan tahun berikutnya sudah 0%. Kemudian indikator yang berkaitan dengan ketersediaan sekolah berdasarkan tabel... di atas terdapat 418 unit sekolah pada tahun 2010 dan tahun 2011 menjadi 419 unit untuk jenjang pendidikan dasar. Sedangkan untuk jenjang pendidikan menengah tahun 2010 terdapat 118 unit dan tahun 2011 meningkat menjadi 122 unit, serta untuk sekolah pada tingkatan PAUD, sejak tahun 2010 sampai saat ini sudah tersedia 33 unit. Terakhir menyangkut indikator guru yang telah memiliki kualifikasi sarjana (S1) dan atau Diploma IV (Akta IV) pada semua jenjang pendidikan. Menurut

218

data Tabel 28 pada tahun 2010 baru sekitar 69,66% guru yang memenuhi indikator tersebut. Kemudian pada tahun 2011 sudah meningkat menjadi 74,73% guru yang berkualifikasi S1 dan atau pendidikan Diploma IV. Dengan demikian berarti bahwa sampai tahun 2011 masih terdapat sekitar 25% guru di Kabupaten Gowa yang belum berkualifikasi ijasah S1 dan atau Diploma IV (Akta IV). Setelah mengetahui capaian penyelenggaraan urusan pendidikan berdasarkan indikator yang masih bersifat makro, maka selanjutnya disajikan pula capaian pelayanan bidang pendidikan di Kabupaten Gowa melalui indikatorindikator yang bersifat mikro. Indikator capaian pelayanan pendidikan tersebut dikatakan bersifat mikro karena berkaitan dengan pelayanan pendidikan pada tingkatan unit pendidikan sekolah. Indikator-indikator keberhasilan pelayanan pendidikan ini dapat dinilai dalam beberapa jenis indikator meliputi: (1) Angka Partisipasi Kasar (APK); (2) Angka Partsipasi Murni (APM); (3) angka kelulusan; dan (4) angka yang melanjutkan kejenjang sekolah yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian melalui penelusuran dokumentasi, terdapat beberapa indikator yang menunjukkan keberhasilan atau capaian pelayanan di bidang pendidikan yang terangkum dalam Tabel 29 berikut. Pada tingkatan sekolah SD (sederajat), angka partisipasi kasar (APK) pada tahun 2010 berada pada 116,00% dan meningkat menjadi 16,65% pada tahun berikutnya. Untuk tingkatan sekolah SMP (sederajat), APK mencapai 97,66% pada tahun 2010 dan tahun 2011 menjadi 99,00%. Selanjutnya untuk tingkatan sekolah SMA (sederajat) nilai APK tahun 2010 mencapai 94,23% dan setahun kemudian menjadi 95,25%. Indikator APK pada semua tingkatan sekolah rata-rata mengalami peningkatan. Hal tersebut bermakna bahwa dari tahun 2010 ke tahun 2011 terjadi peningkatan rasio jumlah penduduk yang memiliki usia bersekolah pada jenjang sekolah tertentu yakni sekitar 1,01%.

219

Tabel 30. Indikator Capaian Pelayanan Urusan Pendidikan Berdasarkan Tingkat Sekolah Kabupaten Gowa Tahun 2010-2011 Indikator Capaian Tingkat Sekolah

Tahun

Angka Partisipasi Kasar (APK)

Angka Partisipasi Murni (APM)

Angka Kelulusan

Angka Melanjutkan

SD / Sederajat

2010

116,00%

112,38%

99,02%

99,80%

2011

116,55%

112,78%

100%

99,83%

SMP / Sederajat

2010

97,66%

83,70%

94,34%

89,77%

2011

99,00%

84,20%

96,00%

91,25%

SMA / Sederajat

2010

94,23%

68,90%

99,74%

2011

95,25%

71,20%

99,80%

Sumber: Statistik Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2011 dan Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Indikator berikutnya menyangkut angka partisipasi murni (APM). APM merupakan indikator yang menunjukkan perbandingan antara jumlah siswa usia sedang sekolah di jenjang tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia tertentu. Oleh karena itu, berdasarkan Tabel 30 bahwa APM pada jenjang sekolah SD (sederajat) pada tahun 2010 adalah 112,38% meningkat menjadi 112,78% setahun kemudian. Untuk jenjang sekolah SMP (sederajat), APM mencapai 83,70% untuk tahun 2010 dan menjadi 84,20 pada tahun 2011. Selanjutnya APM untuk tingkatan sekolah SMA (sederajat) pada tahun 2010 hanya 68,90% menjadi 71,20% pada tahun berikutnya. Nilai indikator APM yang dilansir menunjukkan peningkatan capaian pelayanan bidang pendidikan Kabupaten Gowa jika dilihat dari indikator APM pada masing-masing jenjang sekolah. Indikator capaian pelayanan bidang pendidikan yang ditunjukkan pada Tabel 29 tersebut adalah indikator melalui persentase angka kelulusan dan

220

angka melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi. Seperti nampak pada Tabel 29 tersebut bahwa angka kelulusan pada semua tingkatan sekolah mencapai rata-rata di atas 98%. Bahkan angka kelulusan tingkat sekolah SD pernah mancapai 100% yakni pada tahun 2011. Selanjutnya indikator angka melanjutkan kejenjang sekolah lebih tinggi dapat disimak bahwa untuk murid SD (sederajat) yang melanjutkan ke tingkat SMP (sederajat) mencapai 99,80% pada tahun 2010 dan pada tahun 2011 angka melanjutkan mencapai 99,83%. Sementara itu angka melanjutkan kejenjang SMA (sederajat) mencapai 89,77% untuk tahun 2010 dan meningkat manjadi 91,25% pada tahun berikutnya. (d) Satuan Pendidikan Sekolah Setelah memahami bagaimana pembagian kewenangan dalam urusan pendidikan, siapa penyelenggara urusan pendidikan, dan apa saja yang menjadi kebijakan, program dan kegiatan serta alokasi anggarannya dalam proses penyelenggaraan urusan pendidikan, maka berikut ini akan disajikan deskripsi yang berkaitan dengan unit penyelenggara pendidikan atau yang juga disebut sebagai satuan pendidikan. Satuan pendidikan ini adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Pengertian ini sebagaimana secara eksplisit dinyatakan pada pasal 1 dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut juga dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang dan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

221

Sementara itu, untuk mengetahui bentuk dan jenis satuan pendidikan terutama jalur pendidikan formal bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Misalnya bentuk dan jenis satuan pendidikan anak usia dini (PAUD) jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 63). Kemudian mengenai bentuk satuan pendidikan dasar jalur formal yang pada umumnya berbentuk SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat (Pasal 68). Bentuk dan jenis satuan pendidikan menengah biasanya berbentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 78). Perlu juga dikemukakan bahwa satuan pendidikan yang ada selama ini dapat pula dilihat berdasarkan status penyelenggaranya. Berdasarkan status penyelenggara dari satuan pendidikan terdapat dua kategori, yakni sekolah negeri dan sekolah swasta. Adapun yang dimaksud sebagai sekolah negeri yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (daerah), mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi. Sementara itu sekolah swasta adalah sekolah yang diselenggarakan oleh non-pemerintah/swasta, penyelenggaranya dapat berupa badan dan atau yayasan pendidikan. Sekolah sebagai satuan pendidikan dan juga merupakan entitas sistem yang terbuka. Sekolah sebagai sebuah sistem adalah mencakup beberapa komponen (subsistem), dimana masing-masing komponen terdiri atas beberapa faktor yang antara satu dengan lainnya saling terkait dan mendukung untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Komponen-komponen dari sebuah sistem sekolah terdiri dari komponen masukan (input), proses (process), dan keluaran (output), serta dampak yang ditimbulkan (outcome).

222

Guru, murid, sarana prasarana, kurikulum, dana dan pengelola sekolah (kepala sekolah) dan lingkungan sekolah merupakan komponen input (masukan) bagi sistem sekolah. Komponen input inilah yang berproses dalam bentuk kegiatan belajar mengajar di sekolah/kelas dan administrasi sekolah yang nantinya menghasilkan keluaran sesuai target yang ditentukan. Target luaran sekolah adalah berupa hasil dalam jumlah tamatan/alumni yang memiliki kemampuan kognitif, afektif, dan keterampilan. Sekolah sebagai satuan pendidikan adalah organisasi formal yang tentu juga memiliki visi dan misi yang ingin diwujudkan melalui proses manajemen sekolah. Sekolah yang tedapat di Kabupaten Gowa pada umumnya memiliki visi dan misi sekolah. Sekolah sebagai sampel misalnya di SMA Negeri 3 Sungguminasa, berdasarkan temuan dari observasi peneliti, sekolah ini memiliki visi: Menjadi Sekolah yang Unggul Dalam Prestasi Luhur Dalam Budi Pekerti Sehat Jasmani, Rohani, dan Berwawasan Kebangsaan Berlandasan Nilai-Nilai Kreatif Lokal. Kemudian misi SMA Negeri 3 Sungguminasa adalah: (1) Menyelenggarakan pendidikan yang bermutu berkompoten dan terjangkau. (2) Mempersiapkan siswa agar unggul dalam kompetisi ditingkat regional, nasional, dan internasional. (3) Mempersiapkan lulusan yang mampu bersaing kejenjang pendidikan yang lebih tinggi baik di dalam dan di luar negeri. (4) Mempersiapkan lulusan yang jujur, berakhlak mulia, bertanggung jawab, inovatif, dan cinta tanah air. (5) Mewujudkan warga sekolah yang sehat jasmani, rohani, sejahtera lahir batin, religius, demokrasi, dan profesional. Selain itu, pada tingkatan pendidikan dasar pun misalnya di SMP Negeri 1 Tinggimoncong juga memiliki visi: Mewujudkan Sekolah yang Unggul Dalam

223

Prestasi, Imtaq dan Iptek serta Menyiapkan Peserta Didik yang Mandiri, Terampil dan Berkarya. Adapun misi SMP Negeri 1 Tinggimoncong ini adalah: (1) Melaksanakan PSB yang transparan, akuntabilitas, objektif sehingga tercipta kepercayaan masyarakat terhadap sekolah. (2) Mewujudkan pendidikan yang menghasilkan lulusan cerdas, terampil, beriman, bertaqwa, berdisiplin, dan memiliki keunggulan kompetitif. (3) Mewujudkan diversifikasi kurikulum agar relevan dengan kebutuhan. (4) Mewujudkan

perangkat

kurikulum

yang

lengkap,

mutakhir,

dan

berwawasan profesional. (5) Mewujudkan peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional. (6) Mewujudkan sistem pembelajaran yang kreatif dan inovatif dengan penerapan metode dan strategi CTL. (7) Mewujudkan mekanisme partisiparif dengan melibatkan seluruh warga sekolah, orang tua siswa, dan komite sekolah. (8) Mewujudkan terciptanya lingkungan belajar yang kondusif. (9) Mewujudkan kemampuan prestasi dibidang akademik dan non akademik. (10) Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama dan budya bangsa sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak. Pada satuan pendidikan sekolah dasar SD Negeri Ma’lengu Kecamatan Bontolempangan, juga memiliki visi yakni: Menjadi Sekolah Terpercaya di Masyarakat Untuk Mencerdaskan Bangsa Dalam Rangka Mensukseskan Wajib Belajar. Sedangkan misinya adalah: (1) Menyiapkan generasi unggul yang memiliki potensi dibidang IMTAQ dan IPTEK; (2) Membentuk sumber daya manusia yang aktif, kreatif, inovatif sesuai dengan perkembangan zaman. Dan (3) Membangun citra sekolah sebagai mitra terpercaya di masyarakat.

224

Sementara itu untuk mengetahui gambaran satuan pendidikan sekolah berdasarkan jumlah sekolah, jumlah guru, dan jumlah murid pada masingmasing tingkatan sekolah, maka berikut ini disajikan tabel yang berisi tentang deskripsi secara kuantitaif mengenai satuan pendidikan di Kabupaten Gowa.

Tabel 31. Deskripsi Satuan Pendidikan Sekolah Kabupaten Gowa Tahun 2010 dan 2011

Tingkat Sekolah

Jumlah Sekolah

Jumlah Guru

Jumlah Murid

Thn. 2010

Thn. 2011

Thn. 2010

Thn. 2011

Thn. 2010

Thn. 2011

TK / PAUD

209

218

493

551

6.580

6.839

SD / MI

483

483

4.205

4.205

70.049

89.919

SMP / MTs

139

155

2.534

2.545

29.989

33.126

SMA / SMK / MA

64

64

1.389

1.350

12.319

11.971

4

5

31

53

220

236

899

925

8.650

8.704

119.157

142.091

SLB

Total

Sumber: Gowa Dalam Angka Tahun 2012

Tabel 31 di atas menunjukkan bahwa jumlah sekolah di Kabupaten Gowa pada tahun 2010 adalah 899 unit. Kemudian tahun 2011 jumlah sekolah ini bertambah menjadi 925 unit. Berarti terjadi peningkatan jumlah sekolah sekitar 26 unit dalam masa tersebut. Peningkatan jumlah sekolah terutama terjadi pada sekolah TK/PAUD yakni dari 209 pada tahun 2010 menjadi 218 tahun berikutnya dan pada sekolah SMP/MTs pada tahun 2010 hanya 139 kemudian menjadi 155 unit pada tahun 2011, serta sekolah SLB juga ada penambahan dari 4 sekolah menjadi 5 sekolah pada tahun tersebut.

225

Guru merupakan salah satu komponen utama dari proses belajar mengajar pada satuan pendidikan sekolah tertentu. Terkait hal ini pada Tabel 5.4 ditampilkan juga keadaan jumlah guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Gowa untuk tahun 2010 dan 2011. Tahun 2010 jumlah guru secara keseluruhan adalah 8.650 orang dan pada tahun 2011 menjadi 8.704 orang. Jumlah guru ini sudah termasuk guru yang mengajar di sekolah negeri maupun di sekolah yang berstatus swasta. Juga mereka yang mengajar di sekolah-sekolah berbasis keagamaan yang dibina oleh Kementerian Agama, seperti sekolah TK (PAUD) Islam, MI, MTs, dan MA (MAK). Murid adalah kelompok peserta didik yang terdaftar dan aktif mengikuti proses belajar mengajar pada satuan pendidikan sekolah. Murid beserta karakteristiknya merupakan salah satu komponen input baku dalam suatu sistem satuan pendidikan sekolah. Menurut data Tabel 5.4 di atas pada tahun 2010 jumlah murid di Kabupaten Gowa terdapat 119.157 murid sekolah yang terdaftar di semua tingkatan sekolah dan tersebar di 18 kecamatan. Pada tahun 2011 terjadi peningkatan jumlah murid menjadi 142.091 orang. Hal ini berarti dari tahun 2010 ke tahun 2011 terjadi penambahan murid sekolah sebanyak 22.934 orang atau 23%. Terakhir yang penting juga diketahui mengenai tingkat kebutuhan biaya pendidikan masyarakat di Kabupaten Gowa. Menurut hasil analisis yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, diperoleh gambaran bahwa tingkat kebutuhan biaya pendidikan masyarakat pertahun adalah bervariasi menurut tingkatan pendidian yang dijalani. Berikut ini pada Tabel 31 akan disajikan rincian kebutuhan biaya pendidikan yang dirinci menurut, kategori daerah (terpencil dan kota) untuk setiap anak didik pada tiap tingkatan sekolah.

226

Tabel 32.

Kebutuhan Biaya Pendidikan Masyarakat di Kabupaten Gowa Tahun 2011

Level Sekolah

Per-Anak Didik

Daerah Terpencil

Daerah Kota

SD

1 orang

Rp. 2.600.000 / tahun

Rp. 4.420.000 / tahun

SMP

1 orang

Rp. 3.850.000 / tahun

Rp. 6.545.000 / tahun

SMA

1 orang

Rp. 4.720.000 / tahun

Rp. 8.024.000 / tahun

SMK

1 orang

Rp. 5.500.000 / tahun

Rp. 9.350.000 / tahun

Sumber: Dispora Kabupaten Gowa, 2013

Sejumlah informasi dan data yang terkait dengan urusan pendidikan, yang disajikan di atas pada dasarnya adalah data yang berhubungan proses penyelenggaraan urusan pendidikan, khususnya terkait dengan pengembangan program inovasi. Berkaitan dengan mekanisme dan proses pengembangan program

inovasi

urusan

pendidikan

dalam

konteks

penyelenggaraan

pemerintahan daerah, berikut ini beberapa data dan informasi yang diperoleh peneliti di lapangan. Menurut informan yakni Sekretaris Dispora Kabupaten Gowa, Bapak Sp.M. ketika peneliti menanyakan tentang proses dan mekanisme yang dilakukan

dalam

pengembangan

program

inovasi

urusan

pendidikan,

menuturkan bahwa: …..Proses dan mekanisme pengembangan program inovasi seperti SPAS, Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba, dan Satgas Pendidikan pada prinsipnya sama saja dengan proses pengembangan program yang lain, yaitu dibahas bersama antara Eksekutif dan legislatif, terutama Komisi Bidang Pendidikan DPRD untuk disahkan menjadi program kerja. Yang membedakan biasanya karena program inovasi tersebut merupakan unggulan, jadi menjadi fokus pembahasan yang serius dibanding program yang lain….. (Wawancara, 9 Desember 2015). Kemudian peneliti juga melakukan wawancara dengan Informan yang lain terkait mekanisme pengembangan program yang inovatif dalam urusan

227

pendidikan, yakni Wakil Ketua DPRD Gowa yang kini jadi anggota DPRD Provinsi Sulsel, Bapak RmS. Informan ini menyatakan bahwa: …..yang membedakan pembahasan program inovasi dalam urusan pendidikan dengan program lainnya, hanya persoalan prioritas karena program tersebut menjadi program primadona pemda (Bupati Gowa). Artinya bahwa prosesnya pasti selalu melalui mekanisme politik, yang dibahas bersama antara Eksekutif dan DPRD sebelum disahkan terutama jika terkait adanya besaran anggaran yang di alokasikan untuk program tertentu…... (Wawancara, 10 Desember 2015). Kedua informan di atas pada dasarya memiliki pemahaman yang sama bahwa prose pengembangan program inovasi seperti progam inovasi dalam bidang pendidikan selalu dilakukan melalui mekanisme formal penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mekanisme formal yang secara seragam berlaku dalam manajemen pemerintahan daerah. Mekanisme formal ini berkaitan dengan kewenangan

daerah

yaitu

kewenangan

mengatur,

kewenangan

dalam

perumusan kebijakan dan pembentukan peraturan daerah. Fungsi mengatur berlangsung secara politik karena prosesnya dilakukan oleh lembaga politik bernama Kepala Daerah (Bupati) dan DPRD. Oleh karena itu, mekanisme pengembangan program ini sering juga disebut sebagai proses politik. Ketika dikonfirmasi siapa saja yang terlibat dalam proses politik tersebut, informan SpM, menyampaikan bahwa: ….Pada dasarnya pihak di luar pemerintah daerah dan DPRD, kami (Pemda dan DPRD) tetap melibatkan stakeholder lain seperti Dewan Pendidikan dan LSM, juga ada Tim Ahli Pendidikan dari Perguruan Tinggi yang dilibatkan pada saat kegiatan dengar pendapat (hearing) dan sosialisasi….. (Wawancara, 9 Desember 2015). Informasi yang diberikan oleh informan SpM, tersebut menunjukkan bahwa pada tahap ini, stakeholder’s tetap dilibatkan tetapi hanya terbatas hanya pada saat hearing dan sosialisasi program saja. Hal tersebut terjadi karena lembaga DPRD sudah dianggap representasi masyarakat, sehingga dirasa

228

sudah cukup tewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat terkait dengan masalah urusan pendidikan.

Pemerintah Daerah KEPALA DAERAH

Perangkat Daerah DINAS PENDIDIKAN & SATPOL PP

Kewenangan MENGATUR & MENGURUS

Lembaga Politik DPRD

Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

Satuan Pendidikan SEKOLAH

Gambar 17.

Kerangka Proses Pengembangan Inovasi Pemerintahan Daerah dalam Urusan Pendidikan

Gambar di atas adalah ilustrasi tentang proses pengembangan inovasi yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa saat ini. Pada ilustrasi tersebut menunjukkan bagaimana proses pengembangan dijelaskan dalam dua alur proses yakni pertama, alur horisontal yang memberikan gambaran bagaimana proses atau mekanisme politik dalam pengembangan inovasi. Pada alur horisontal ini yang terjadi sebetulnya adalah proses pembentukan kebijakan daerah dalam wujud peraturan daerah (perda) yang mengatur program inovasi penyelenggaran urusan pendidikan. Alur proses kedua, alur vertikal yang menunjukkan bagaimana proses administrasi atau proses manajerial dan termasuk bagaimana teknis operasional pengembangan inovasi pemerintahan daerah dilaksanakan. Pada proses manajerial dan operasional ini pada dasarnya adalah proses menjalankan kebijakan daerah atau

229

perda-perda mengenai program inovasi urusan pendidikan dan telah ditetapkan oleh pemerintah daerah dan DPRD. Berdasarkan deskripsi tentang bagaimana proses pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan atau pelayanan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, maka dapat dilihat dalam dua tahapan proses yaitu proses politik dan proses manajerial. Pertama yakni proses politik, yang secara normatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah disebut juga sebagai mekanisme menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (Perda) atau dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi disebut kewenangan fungsi mengatur. Di mana kewenangan fungsi mengatur ini dalam prakteknya melekat pada institusi Kepala Daerah dan DPRD yang dipilih melalui mekanisme pemilihan (election). Terkait dengan hal ini, berdasarkan hasil penelitian lapangan,

nampaknya

kebijakan

dan

berlangsung

mekanisme

program

secara

inovasi

demokratis,

proses urusan

politik

dalam

pendidikan

transparan,

dan

pengembangan

belum

sepenuhnya

melibatkan

banyak

stakeholders pendidikan pada tingkat lokal. Mekanisme proses politik dalam pembentukan peraturan daerah (fungsi mengatur) masih berlangsung seperti biasanya. Proses pembahasan mengenai pengaturan tentang pengembangan inovasi pendidikan yang kemudian dituangkan dalam rencana program kerja daerah masih didominasi oleh pihak pemerintah daerah dalam hal ini pihak Dispora sebagai leading sector dan pihak komisi bidang pendidikan dalam lembaga DPRD. Atas dasar kenyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, meskipun proses pembahasan yang dilakukan terkait dengan program-program inovasi dalam urusan pendidikan (SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP dan Satgas Pendidikan), namun prakteknya pembentukan dasar hukum pengaturannya belum sepenuhnya inovatif.

230

Tahapan kedua dalam proses pengembangan inovasi urusan pendidikan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa adalah pengembangan yang disebut proses manajerial. Dalam proses manajerial ini Bupati sebagai Kepala Pemerintahan dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan pendidikan dibantu oleh instrumen perangkat daerah yakni Dinas Pendidikan dan Pemuda Olah Raga (Dispora) dan UPTD terkait (Satuan Pendidikan). Dalam konteks ini, posisi Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap seluruh program dan kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana fakta yang tergambar dari penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsifungsi manajerial dan operasional yang diperankan oleh Dispora khusunya Bidang yang berkaitan dengan urusan pendidikan tampak di dalam pelaksanaan program SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan. Dalam proses manajerial pengembangan program inovasi urusan pendidikan ini, nampaknya belum juga sepenuhnya memiliki nilai inovasi yang kuat (lemah). Hal ini nampak dari proses implementasi kebijakan dan program dilapangan yang masih lebih mengandalkan sumberdaya aparatur internal pemerintah daerah sendiri.

5.1.2 Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan Dalam RPJM 2010-2015 tercantum visi daerah Kabupaten Gowa yakni handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat dan penyelengaraan pemerintah. Salah satu misi untuk menuju tercapainya visi tersebut adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang berbasis pada pemenuhan hakhak dasar masyarakat. Tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dengan rumusan visi dan misi tersebut adalah meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Oleh karena itulah, maka pemerintah daerah Kabupaten Gowa menyadari bahwa

231

salah satu aspek pembangunan yang harus diprioritaskan untuk mencapai tujuan dan sasaran meningkatkan capaian IPM adalah fokus pada pelayanan publik di bidang pendidikan atau penyelenggaraan urusan pendidikan. Kabupaten Gowa adalah daerah otonom yang telah melakukan berbagai terobosan dalam memberikan pelayanan publik kepada warganya. Penilaian ini dilakukan oleh lembaga yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO). Pada tahun 2010, FIPO memberikan penghargaan Fajar Institute Pro Otonomi Award kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa dalam kategori Grand Award Pelayanan Publik. Penghargaan ini dinilai layak diberikan kepada pemerintah daerah Kabupaten Gowa karena berdasarkan penilaian FIPO, dibanding kabupaten-kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, daerah ini lebih berhasil dalam meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan dengan berbagai kebijakan dan program inovatif yang telah dilakukan dalam bidang pendidikan. Terdapat empat kebijakan dan program inovatif yang telah dirancang dan dilaksanakan untuk mewujudkan aksesibilitas yang terjangkau dan kualitas pelayanan di bidang pendidikan. Keempat kebijakan dan program inovatif tersebut adalah (1) Pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS); (2) Pembebasan Biaya Sekolah bagi Siswa SD-SMA (wajar 12 tahun); (3) Sistem Pembelajaran Berbasis Cinema Class atau Program D’Emba Education; dan (4) Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Berikut ini deskripsi keempat kebijakan

dan

program

inovatif

tersebut

yang

pengamatan, dokumentasi dan wawancara peneliti.

(a) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS)

didasarkan

pada

hasil

232

Program pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) ini diluncurkan pada tahun 2005 oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa, diawal kepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo dan Wakil Bupati Abdul Razak Badjidu. Ide pengembangan pendidikan anak saleh ini muncul dari bupati sendiri, sebagai respon terhadap adanya fakta bahwa saat itu masih ada anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah belum dapat membaca dan menulis Latin serta masih banyak pula anak-anak sekolah yang belum bisa dan lancar membaca Alquran. Hal ini dibenarkan oleh informan yakni Kabid Pendidikan Non Formal dan Pra Sekolah, yang berinial StR. yang waktu itu belum menjabat sebagai Kepala Bidang. Informan ini mengatakan sebagai berikut: .....Program Sanggar Pendidikan Anak Saleh ini muncul, awalnya karena banyak anak-anak yang sudah mau masuk sekolah SD tapi belum tahu membaca termasuk mengaji (membaca Alquran) ini terutama berasal dari keluarga miskin yang tersebar disemua desa. Malahan waktu itu (2005, peneliti) sebelum pak Ichsan Yasin Limpo menjadi Bupati Gowa, ada sekitar 1.500 orang anak yang sempat terdata dari semua kecamatan belum bisa membaca dan mengaji. Makanya pak Bupati yang terpilih memprogramkannya.... (Wawancara, 3 November 2013) Jadi nampak bahwa program SPAS ini menjadi terobosan awal dari bupati yang baru terpilih. Terobosan ini muncul karena adanya kenyataan sosial dihampir semua desa memiliki masyarakat yang tergolong keluarga miskin. Di mana keluarga miskin tersebut rata-rata memiliki anak berusia sekolah yang belum mampu membaca baik Latin maupun Alquran. Dengan kata lain bahwa SPAS ini adalah sarana pendidikan untuk anak-anak putus sekolah, atau bagi mereka yang tidak berhasil melanjutkan sekolah karena kekurangan biaya. Oleh karena itu, sebagai program terobosan dari Bupati Gowa, program pengembangan SPAS perlu digali lebih jauh bagaimana gambaran utuh dari program SPAS ini dikembangkan dan hal-hal yang menonjol sehingga program SPAS ini dapat dikategorikan sebagai program unggulan yang bernilai inovasi.

233

Untuk mengetahui kedua aspek tersebut berikut disajikan gambaran tentang program pengembangan SPAS berlangsung. Secara kelembagaan, program SPAS ini adalah termasuk salah satu jenis Pendidikan Luar Sekolah (PLS), karena diselenggarakan dengan maksud memberikan pembelajaran pada warga berupa pengetahuan dan ketrampilan khusus yakni baca tulis Latin dan Alquran, melalui jalur pendidikan nonformal. Bahkan program SPAS yang dikembangkan di Kabupaten Gowa ini juga termasuk jenis pendidikan berbasis masyarakat, karena penyelenggaraan pendidikan SPAS ini didasarkan pada kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Pengembangan program SPAS di Kabupaten Gowa pada hakekatnya bertujuan untuk mempercepat target pemberantasan buta aksara di daerah ini. Dimana pada saat itu, tahun 2005, indikator Angka Melek Huruf (AHM) hanya mencapai 78% (Gowa Dalam Angka, 2010). Indikator AHM ini menunjukkan bahwa hanya 78% dari jumlah penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas yang memiliki kemampuan baca tulis dan sebaliknya masih tersisa sekitar 22% penduduk berusia produktif (15 tahun ke atas) yang mengalami buta aksara. Bahkan daerah Kabupaten Gowa waktu itu termasuk satu dari tiga kabupaten penyumbang terbesar tingginya angka buta huruf di Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut keterangan dari informan yakni Sekretaris Dispora, yang berinisial Bapak SpM. yang menyampaikan kepada peneliti ketika wawancara diruang kerjanya bahwa: .......Sebelum adanya program SPAS yang dipelopori oleh pak Bupati Ichsan Yasin Limpo pada awal pemerintahannya pada tahun 2005, kondisi buta aksara didaerah ini cukup tinggi. Bukan hanya buta aksara Latin tapi juga baca Alqruan. Pada saat itu terdapat 23.177 penduduk yang berusia produktif yang masuk kategori buta aksara. Karena

234

banyaknya penduduk yang buta aksara makanya kita lakukan secara bertahap. Pada tahun pertama program ini ditargetkan 13.000 orang, kemudian sisanya 10.177 orang untuk tahun berikutnya dan Alhamdulillah pada tahun 2007 target hampir mencapai 100%....... (Wawancara, 2 Oktober 2013) Selanjutnya informan Bapak SpM. Sekretaris Dispora pada saat itu juga mengemukakan kepada peneliti bahwa: ........Pada tahun 2005, kami alokasikan sebesar Rp. 8,6 Miliar anggaran untuk program mengetasan buta aksara di daerah ini. Tetapi perlu diketahui bahwa anggaran itu, tidak seluruhnya untuk SPAS saja, karena ada juga beberapa organisasi lain seperti organisasi perempuan, LSM pemerhati pendidikan, dan kelompok Majelis Taqlim ikut menyelenggarakan program akselerasi buta aksara ini..... (Wawancara, 2 Oktober 2013) Berdasarkan keterangan dari informan Bapak SpM, tersebut di atas diketahui bahwa ada perhatian dan komitmen politik yang tinggi dari pemerintah daerah terutama Bupati Kabupaten Gowa untuk mengatasi masalah yang dialami dalam bidang pendidikan yakni tingginya buta aksara. Terbukti misalnya dari tingginya anggaran yang dialokasikan untuk akselerasi pengentasan buta aksara di daerah ini sebagaimana keterangan dari informan penelitian tersebut. Selanjutnya pada sajian berikut ini dijelaskan bagaimana pengembangan program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) ini berlangsung. Berdasarkan data lapangan yang peneliti peroleh melalui dokumentasi dan wawancara, program SPAS ini menjadi wewenang Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Meskipun pada awal pembentukannya di setiap desa/kelurahan nampaknya lebih bersifat bottom-up, karena lebih melibatkan penduduk desa setempat di mana sanggar tersebut dibangun. Termasuk juga pengelola sanggar ini berasal dari warga setempat, yang kemudian dilegitimasi oleh pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga.

235

Gambar 18 berikut ini adalah contoh wujud dari pengembangan program inovasi Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) yang beralamat di Kelurahan Bontonompo Kecamatan Sungguminasa Kabupaten Gowa.

Gambar 18. Salah Satu Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) Kelurahan Bontonompo Sungguminasa Kabupaten Gowa Sumber: Dokumentasi Sekretariat Dinas Dikpora Kabupaten Gowa Tahun 2012

Menurut informasi yang disampaikan oleh informan Bapak SpM. Sekretaris Dispora kepada peneliti yakni: .......Dinas Pendidikan Kabupaten Gowa membentuk pengelola Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) mulai tingkat desa, kecamatan, hingga tingkat kabupaten. Tugas pengelola sangat banyak dan cukup vital. Satu di antaranya mengevaluasi kinerja tutor atau pengajar SPAS. Selain mengevaluasi tutor, pengelola juga mengawasi proses belajar mengajar di SPAS. Tugas pengelola SPAS lainnya, seperti menjaga aset SPAS. Mereka juga membantu anak putus sekolah atau masyarakat tak mampu bisa masuk SPAS...... (Wawancara, 2 Oktober 2013) Secara operasional, proses pembelajaran dilaksanakan oleh tenaga pengajar atau guru sanggar sebanyak dua atau tiga orang di setiap sanggar.

236

Tenaga pengajar ini berasal dari warga setempat. Status tenaga pengajar ini diangkat menjadi pegawai tidak tetap (pegawai honorer) daerah. Karena mereka dijadikan sebagai pegawai honorer daerah, maka mereka berhak mendapat insentif setiap bulan dari anggaran daerah yang dialokasikan khusus untuk program buta aksara Kabupaten Gowa. Kemudian dalam pengelolaan SPAS yang sudah terbentuk di 154 desa/kelurahan pelaksanaannya dilakukan Tim Pengelola, yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Di mana orang yang ditunjuk dalam pengelola tersebut juga berasal dari warga desa/kelurahan setempat. Pengelola SPAS ini cukup banyak, pengelola tingkat desa saja ada 300 orang di mana masing-masing desa dan kelurahan terdapat dua orang pengelola. Di tingkat kecamatan terdapat 54 orang pengelola tersebar di 18 kecamatan dan di tingkat kabupaten ada 12 orang. Sehingga jumlah keseluruhan dari pengelola SPAS tersebut adalah 462 orang. Murid (santri) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) adalah anak-anak miskin yang berusia 6-13 tahun. Mereka diberikan pelajaran membaca huruf Latin dan hijriyah (Al Quran) dengan waktu belajar pukul 16:00-18:00 WITA yang diakhiri dengan shalat berjamaah bagi anak – anak. Dan juga mata pelajaran lainnya agar mereka bisa meneruskan ke sekolah formal jika memenuhi syarat dengan melulusi ujian yang dilaksanakan oleh tutor. Setelah Maghrib diperuntukkan bagi orang tua yang belum dapat baca tulis Latin dan Al Quran. Hal ini dipaparkan oleh Yunus (2012:17) melalui makalahnya dalam salah satu seminar inovasi pendidikan di UGM Yogyakarta yang mempresentasikan tentang praktek inovasi pendidikan di Kabupaten Gowa. Jenis materi yang diajarkan oleh guru atau tutor kepada santri SPAS tidak hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan baca tulis tetapi juga materi

237

yang terkait dengan pendidikan akhlak yang Islami. Demikiam pula dari segi santri SPAS itu sendiri, ternyata tidak hanya diikuti oleh anak-anak yang masih berusia 6-13 tahun tetapi juga diikuti oleh orang dewasa. Santri yang sudah dewasa adalah mereka yang kebanyakan orang tua dari santri SPAS juga. Hal inilah yang menjadi salah satu kelebihan dari program SPAS ini dalam mendorong pengentasan buta aksara di Kabupaten Gowa. Pada tahun 2007, SPAS menyelenggarakan ujian perdana yang diikuti oleh 700 orang santri. Diantara 700 orang santri yang mengikuti ujian tersebut sebenarnya terdapat 200 orang santri yang merupakan anak putus Sekolah Menengah Pertama (SMP), namum karena pertimbangan khusus maka mereka tetap disamakan dengan yang lainnya. Hasil ujian perdana dari SPAS ini akhirnya meluluskan ke 700 santri yang telah mengikuti ujian. Kemudian mereka diberikan ijasah yang disetarakan dengan ijasah program Paket A. Ujian perdana SPAS ini dipantau langsung dan sekaligus dilakukan evaluasi terhadap program SPAS

oleh

Direktur

Pendidikan

Masyarakat

dan

Direktur

Kesetaraan

Kementerian Pendidikan Nasional waktu itu. Setelah berlangsung dua tahun sejak diluncurkan, yakni pada tahun 2007, program SPAS ini sudah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat. Apresiasi tersebut berupa penghargaan Aksara Anugerah Utama karena pemerintah daerah Kabupaten Gowa dinilai memiliki komitmen yang tinggi dalam bidang pendidikan terutama program Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Komitmen tinggi dari pemerintah daerah tersebut tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dengan menempatkan program ini sebagai salah satu program prioritas dalam setiap tahun. Pada tahun 2009, program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) ini oleh pemerintah daerah dicanangkan menjadi Pendidikan Anak Usia Dini

238

(PAUD). Hal ini dilakukan untuk mengikuti kebijakan pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan Nasional) waktu itu, yang mengembangkan program Pendidikan

Anak

Usia

Dini

(PAUD).

Selain

itu,

juga

untuk

menjaga

keberlangsungan program SPAS tersebut. Dengan demikian, PAUD secara langsung terbentuk di 154 desa/kelurahan pada tahun 2009, karena semua program SPAS di tingkat desa/kelurahan beralih menjadi program PAUD. Namun demikian dari segi sumberdaya seperti guru pengajar dan pengelola SPAS tidak mengalami pergantian karena tetap memanfaatkan sumberdaya yang ada sebelumnya. Termasuk juga materi pembelajaran yang diajarkan selama ini di SPAS tidak mengalami perubahan. Kecuali syarat usia bagi santri yang berubah, jika sebelumnya santri SPAS berumur 6-13 tahun, maka setelah terintegrasi dengan PAUD usia santri berubah menjadi 6 tahun atau usia pra sekolah. Berdasarkan fakta dari observasi dan penelusuran dokumentasi peneliti menyimpulkan bahwa program Sekolah Pendidikan Anak Saleh (SPAS) adalah program yang benar-benar baru muncul ketika dicanangkan pertama kali oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, pada tahun 2005. Program SPAS belum pernah dilaksanakan pada periode pemerintahan bupati sebelumnya. Ketika dikonfirmasi kebeberapa informan, bahwa pengembangan SPAS yang dicanangkan oleh Bupati Ichsan Yasin Limpo di awal pemerintahannya pada periode lalu merupakan program yang bernuansa inovasi. Para informan memberi komentar bervariasi terhadap program SPAS tersebut. Informan dari Komisi 4 DPRD Gowa, yakni Bapak MkS. yang membidangi masalah pendidikan memberi keterangan kepada peneliti bahwa: .....program SPAS boleh dianggap sebagai program inovasi karena merupakan hal baru dan belum pernah ada sebelum periode kali ini. SPAS juga sangat efektif dalam meningkatkan kemampuan baca tulis

239

(Latin dan Al Quan) terutama warga yang tinggalnya di pelosok desa yang jauh Kota kabupaten..... (Wawancara, 5 Oktober 2013) Jadi berdasarkan keterangan dari informan MkS. diketahui bahwa suatu program pemerintah daerah dianggap bernilai inovatif ketika program tersebut adalah memiliki kebaruan atau sesuatu baru dan belum. Demikian halnya suatu program diakatakan inovatif ketika menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Hal lain yang didapatkan dari hasil wawancara dengan informan Mks. di atas adalah secara tersirat anggota DPRD dari Komisi 4 ini, meskipun berbeda dari segi latarbelakang partai politik sangat mendukung adanya terobosan program SPAS oleh Bupati Gowa. Demikian halnya ketika dikonfirmasi ke informan Wakil Ketua DPRD Gowa yakni Bapak RmS. mengenai dukungan institusi DPRD terhadap pengembangan SPAS di Kabupaten Gowa. Informan Bapak RmS. menyatakan bahwa: .....prinsipnya institusi DPRD selalu memberikan dukungan terhadap semua program pemerintah selama program tersebut dianggap dibutuhkan oleh masyarakat, dalam artian bahwa apapun program itu prinsipnya adalah sesuai dengan aspirasi dan kepentingan publik, pasti dibackup secara politik, termasuk alokasi anggaran untuk program tersebut, apalagi program pengembangan SPAS di daerah ini mendapat penghargaan dari pusat......(Wawancara, 3 Oktober 2013) Meskipun keterangan dari informan Bapak RmS. Wakil Ketua DPRD Gowa bernada diplomatis, tetapi secara tegas bahwa DPRD secara institusi akan selalu mendukung secara politik program-program pemerintah daerah termasuk program SPAS. Namun ketika ditanyakan tentang keterlibatan DPRD dalam merumuskan kebijakan pengembangan SPAS tersebut. Informan Bapak RmS. memberi jawaban kepada peneliti bahwa: ......DPRD baik secara institusi maupun sebagai anggota tidak terlibat dalam proses perencanaan program SPAS. Karena menurut kami, program itu adalah sepenuhnya domain dari pihak eksekutif (pemerintah daerah) dalam hal ini Bupati Gowa. DPRD baru terlibat pada saat

240

pembahasan di DPRD, ketika program tersebut akan ditetapkan sebagai RKPD tahun berjalan..... (Wawancara, 3 Oktober 2013) Jadi keterlibatan DPRD dalam program pengembangan SPAS hanya pada saat pembahasan RKPD untuk disahkan dan ditetapkan dalam suatu peraturan daerah dan penetapan alokasi anggarannya dalam APBD. DPRD tidak terlibat dalam proses perencanaan karena hal tersebut merupakan wilayah kerja pihak pemerintah daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa program SPAS murni gagasan dari pemerintah daerah dalam hal ini Bupati Gowa tanpa melibatkan

DPRD

sebagai

representasi

rakyat

daerah,

kecuali

dalam

pembahasan dan penetapan peraturan daerah sebagai bentuk kebijakan publik daerah. Penilaian yang senada dengan dua keterangan dari informan MkS. dan informan RmS. juga muncul dari informan lainnya yakni seorang pemerhati pendidikan dan berprofesi sebagai wartawan media lokal. Informan ini pernah melakukan riset tentang pelayanan publik bidang pendidikan hubungannya dengan tatakelola pemerintahan di Sulawesi Selatan. Informan berinisial IcH. dalam wawancaranya dengan peneliti memberi tanggapan terkait dengan program SPAS di Kabupaten Gowa, informan IcH. mengatakan bahwa: .....program SPAS di Kabupaten Gowa pernah mendapat penilaian sebagai salah satu program inovatif karena memberi kontribusi besar dalam meningkatkan kualitas dan akses pendidikan bagi warga di daerah ini. Penilaian terhadap program SPAS tersebut berasal dari lembaga yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO), yang konsen dalam pemberian Otonomi Award bagi daerah yang dinilai kreatif dan inovatif dalam mengemas program yang terkait dengan aspek pembangunan pendidikan.....(Wawancara, 10 November 2013) Keterangan dari informan IcH. tersebut memberi gambaran bahwa program SPAS merupakan salah satu program pemerintah daerah yang memiliki nilai inovasi karena memberi kontribusi nyata dalam mendukung misi pemerintah daerah dalam peningkatan kualitas dan akses pelayanan pendidikan bagi

241

warganya. Penilaian tersebut dilakukan oleh lembaga independen yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO). Lembaga FIPO yang didirikan oleh Koran Harian Fajar pada tahun 2008 yang lalu. FIPO ini adalah lembaga independen yang secara intensif melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Sulawesi Selatan. Meskipun pengembangan program SPAS ini telah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat dalam bentuk penghargaan Aksara Anugerah Utama dan lembaga lain seperti FIPO yang menilai bahwa program SPAS adalah program yang inovatif, tetapi dalam proses penyelenggaraan program tetap mendapat penilaian kritis dari beberapa kalangan. Di antara kalangan yang memberi kritikan adalah dari pihak DPRD dan para pemerhati pendidikan (LSM). Informan dari Ketua Komisi 4 DPRD Kabupaten Gowa yang berinisial MkS. Misalnya menuturkan kepada peneliti di gedung DPRD, menyatakan bahwa: .....hakekat program SPAS yang dilaksanakan oleh pemerintah memang ideal karena bertujuan untuk mengurangi buta aksara tetapi ada kekhawatiran terutama mengenai efektivitas penggunaan anggaran yang sudah digelontorkan begitu besar. Saya khawatirkan jangan sampai program SPAS ini lebih bersifat “proyek” saja. Artinya lebih banyak berfikir untuk mencari untung materi saja. Karena beberapa komponen dari program ini seperti pengadaan sarana prasarana sanggar dan buku ajar itu ternyata dipihak ketigakan. Pihak ketiga (kontraktor) inikan pasti mencari untung.... (Wawancara, 5 Oktober 2013) Kemudian kritikan terhadap program SPAS ini juga muncul dari kalangan pemerhati pendidikan (LSM). Misalnya dari informan KrB. Informan aktivis LSM memberi kritikan terhadap SPAS seperti berikut: ......seharusnya pelaksanaan program SPAS ini melibatkan stakeholder’s lain, misalnya pengusaha-pengusaha lokal untuk berpartisipasi menjadi penyantun dana program, sehingga ketergantungan anggaran dari pemerintah daerah (APBD) bisa diminimalisir. Apalagi didaerah inikan banyak pebisnis lokal yang sukses. Jadi pemerintah daerah bisa melakukan semacam kemitraan dengan pihak swasta untuk memajukan program SPAS tersebut...... (Wawancara, 10 November 2013)

242

Kedua informan baik dari DPRD maupun dari pemerhati pendidikan (LSM) nampaknya sama-sama menyoroti program SPAS ini dari aspek anggaran. Mereka meragukan efektivitas anggaran yang digunakan untuk program SPAS tersebut. Kritikan pertama menyangkut orientasi program, mengingat anggaran cukup besar. Jangan sampai hanya berorientasi “proyek”. Kedua menyangkut keterlibatan stakeholder’s yang banyak, misalnya pihak swasta (pebisnis) lokal yang seharusnya diajak berpartisipasi melalui program kemitraan dalam pengembangan program SPAS ini. Tidak hanya pebisnis tetapi juga organisasi masyarakat yang masih eksis seperti ormas keagamaan (Muhamadyah dan NU), organisasi profesi (PGRI) dan juga organisasi pemuda dan pelajar (KNPI). (b)

Program Pendidikan Gratis Membahas pembiayaan sekolah berarti berbicara tentang pendanaan

pendidikan yang digunakan oleh satuan pendidikan sekolah. Oleh karena itu, sebelum lebih jauh memberi gambaran tentang kebijakan pembebasan biaya (fee exemption policy) sekolah di Kabupaten Gowa, sebaiknya dipahami bahwa secara nasional aturan tentang pendanaan pendidikan sudah dituangkan dalam satu peraturan tertentu. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menjadi dasar hukum menyangkut pendanaan pendidikan. Pasal 46, 47, 48, dan 49 dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut telah mengatur tentang penanggung jawab, sumber, pengelolaan, dan pengalokasian pendanaan pendidikan. Terkait dengan kebijakan penyelenggaraan wajib belajar, Pasal 34 (ayat 2) undang-undang ini menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

243

Dalam rangka implementasi UU No. 20 Tahun 2003 tersebut khusunya pasal-pasal yang berhubungan dengan pengaturan pendanaan pendidikan, maka dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. Dalam PP No. 48 Tahun 2008 ini telah dinyatakan secara umum bahwa pendanaan pendidikan adalah penyediaan sumberdaya keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan (Pasal 1 Ayat 4). Kemudian ditegaskan bahwa penanggung jawab pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat (Pasal 2 Ayat 1). Selanjutnya yang dimaksud masyarakat pada Pasal 2 Ayat 1 tersebut adalah (a) penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat; (b) peserta didik, orang tua atau wali peserta didik; dan (c) pihak lain selain yang dimaksud dalam poin (a) dan poin (b). Makna pihak lain disini adalah pihak yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan seperti pengusaha, alumni, dan organisasi sosial. Menyangkut biaya pendidikan dalam PP No. 48 Tahun 2008 tersebut diuraikan pula bahwa jenis biaya pendidikan (Pasal 3) meliputi: (a) biaya satuan pendidikan; (b) biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan; dan (c) biaya pribadi peserta didik. Pada jenis biaya pendidikan, yang menjadi tanggung jawab peserta didik, orang tua/wali adalah pendanaan menyangkut biaya pribadi peserta didik (Pasal 47). Menurut penjelasan dalam lampiran PP ini bahwa makna dari biaya pribadi peserta didik adalah biaya personal yang meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Maksud dari penyajian lebih awal mengenai dasar hukum kebijakan pendanaan pendidikan, baik dalam UU No. 20 Tahun 2003 maupun dalam PP No. 48 Tahun 2008 adalah agar dipahami tentang adanya pedoman dasar

244

(norma hukum) terhadap kebijakan dan program pembebasan biaya pendidikan (sekolah) yang banyak dilaksanakan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota saat ini. Termasuk kebijakan dan program pembebasan biaya sekolah yang sedang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa. Salah satu kebijakan pemerintah yang termasuk pembiayaan dan pendanaan sekolah adalah kebijakan biaya operasional sekolah, yang populer dengan istilah BOS. Hingga kini, kebijakan mengenai BOS yang anggarannya bersumber dari APBN dan BOSDA yang anggarannya dari APBD, masih berlangsung secara terus menerus. Namun di setiap daerah memiliki kreativitas masing-masing di dalam mengembangkan program pembebasan biaya sekolah bagi siswa. Masing-masing daerah memiliki terobosan berupa kebijakan dan program yang inovatif dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan pemerataan akses pendidikan bagi warganya. Daerah tidak hanya terpaku pada kebijakan BOS dan BOSDA tersebut, tetapi dikreasikan dalam bentuk program yang berbeda, misalnya pemberian beasiswa bagi siswa sekolah swasta, beasiswa guru untuk melanjutkan studi, subsidi kesejahteraan guru, dan lain-lain. Berdasarkan uraian mengenai latarbelakang munculnya kebijakan pembebasan biaya sekolah bagi siswa- siswa atau program pendidikan gratis ini, maka berikut disajikan gambaran tentang pelaksanaan program pendidikan gratis di Kabupaten Gowa. Termasuk menyajikan beberapa dasar hukum dan kebijakan pengelolaan program tersebut. Selain itu disajikan pula hal-hal apa saja yang dapat menjadi jastifikasi sehingga program pendidikan gratis dinilai sebagai kebijakan dan program yang inovatif. Program pembebasan biaya (fee exemption) sekolah adalah salah satu program inovasi pemerintah daerah Kabupaten Gowa yang cukup mendapat perhatian dan respon dari berbagai pihak. Perhatian dan respon muncul dari

245

berbagai kalangan baik dari pihak pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) maupun dari pihak pemerintahan daerah (kabupaten/kota) lainnya. Perhatian dan respon dari banyak pihak tersebut tentu bervariasi dan berbeda-beda. Mulai dari respon yang sangat positif melalui apresiasi yang tinggi sampai pada respon yang bersifat sebaliknya dan berpandangan kritis terhadap progran tersebut. Untuk memahami lebih jauh program tersebut, pada bagian ini disajikan penggambaran mengenai kebijakan pembebasan biaya sekolah yang dikemas dalam wujud program pendidikan gratis di Kabupaten Gowa saat ini. Berdasarkan hasil dokumentasi peneliti, diperoleh informasi bahwa program pembebasan biaya sekolah bagi siswa-siswa SD-SMA di Kabupaten Gowa dipayungi oleh Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Kemudian dalam rangka implementasi perda ini maka ditetapkanlah Peraturan Bupati (Perbup) No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis. Meskipun demikian perlu diketahui bahwa program pembebasan biaya sekolah bagi siswa-siswa sekolah atau dengan istilah yang lebih populer disebut sebagai “program pendidikan gratis”, pada dasarnya sudah berlangsung sebelum diterbitkan kedua peraturan yang mengatur program pendidikan gratis di Kabupaten Gowa. Menurut keterangan dari informan Bapak SpM. Sekretaris Dispora Kabupaten Gowa kepada peneliti, informan menuturkan bahwa: ......dulu sebelum adanya Perda No. 4 tahun 2008 dan Perbud No. 8 tahun 2008 tentang pendidikan gratis, kita sudah menerapkan program pendidikan gratis dengan membebaskan siswa (orang tua) dari biayabiaya sekolah di tingkat SD dan SMP. Anggaran yang digunakan untuk program tersebut berasal dari anggaran BOS pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah pusat pada tahun 2005. Dana BOS pusat dihitung per siswa dan penyalurannya langsung kesekolah masingmasing. Namun khusus SMA di Kabupaten Gowa baru tahun 2007 bisa direalisasi melalui BOS Daerah (BOSDA). Dimana waktu itu, dialokasikan melalui APBD sebesar Rp. 35.000 perbulan untuk setiap siswa..... (Wawancara, 2 Oktober 2013)

246

Dari penuturan informan Bapak SpM. diperoleh fakta bahwa pendidikan gratis mulanya didasarkan pada kebijakan pemerintah pusat sejak tahun 2005 di masa awal pemerintahan Presiden SBY-JK. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan pemerataan kualitas dan akses terhadap pendidikan bagi siswa miskin yang berasal dari keluarga ekonomi lemah. Kebijakan pemerintah pusat tersebut, kemudian direalisasikan melalui alokasi anggaran Biaya Operasional Sekolah (BOS) bagi sekolah tingkat SD dan SMP. Selanjutnya pada tahun 2007 ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dengan memperluas cakupan BOS tidak hanya sampai pada SD dan SMP saja tetapi dikembangkan sampai pada tingkat SMA. Kebijakan perluasan cakupan BOS sampai tingkat SMA oleh pemerintah daerah direalisasikan dalam APBD masing-masing daerah. Makanya BOS tingkat SMA disebut BOS Daerah (BOSDA) karena dananya berasal dari APBD. Misalnya kebijakan pemerintah daerah kabupaten Gowa pada tahun 2007, alokasi BOSDA dalam APBD untuk jenjang SMA nilainya sebesar Rp 35,000 perbulan untuk setiap siswa. Saat ini alokasi BOSDA untuk tingkat SMA perbulan bagi setiap siswa tentu sudah berbeda karena jenis kebutuhan juga mengalami perubahan. Penting dipahami bahwa anggaran untuk program pendidikan gratis atau BOSDA kabupaten Gowa adalah komponen biaya tambahan bagi BOS program pendidikan gratis pemerintah pusat yang sudah menjadi program nasional selama ini. Demikian halnya dana sharing dari provinsi atau BOSDA provinsi Sulawesi Selatan juga termasuk sebagai komponen dana tambahan bagi program pendidikan gratis. Di mana dana sharing provinsi adalah konsekuensi dari komitmen pembagian dana pendidikan gratis antara pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan pemerintah kabupaten, dengan perbandingan yakni 40%

247

disediakan provinsi dan 60% ditalangi oleh masing-masing kabupaten. Demikian pula secara nasional, dana pendidikan gratis 60% subsidi pemerintah pusat dalam bentuk Dana BOS dan 40% adalah Dana BOSDA yang menjadi kewajiban setiap pemerintah provinsi. Dengan demikian, program pendidikan gratis di kabupaten Gowa tidak berdiri sendiri. Akan tetapi merupakan program yang terintegrasi dan rangkaian dari program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi dan nasional. Bagi pemerintah provinsi Sulawesi Selatan sudah meluncurkan kebijakan program gratis ini melalui Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 11 Tahun 2008 yang mengatur dan menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan gratis. Meskipun dasar hukum pengaturan penyelenggaraan pendidikan gratis, baru disahkan dan ditetapkan pada tahun berikutnya, yakni Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di provinsi Sulawesi Selatan, namun secara operasional program pendidikan gratis sudah dimulai sejak Juli 2008 melalui Peraturan Gubernur No. 11 Tahun 2008 tersebut. Memang di dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2008 dan Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 yang mengatur tentang penyelengaraan program pendidikan gratis tidak secara eksplisit menyatakan bahwa kebijakan pendidikan gratis di Gowa adalah tindak-lanjut dari kebijakan pendidikan gratis versi provinsi Sulawesi Selatan. Namun fakta dalam implementasinya menunjukkan bahwa sebagian dana untuk realisasi progran pendidikan gratis merupakan dana yang berasal dari pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi dan pusat). Hal inidiperkuat pula oleh Bupati Ichsan Yasin Limpo yang pernah menyatakan bahwa pada hakekatnya program pendidikan gratis merupakan wujud sinergi antara pemerintah

pusat,

(Kompas, 22/1/2009).

pemerintah

provinsi,

dan

pemerintah kabupaten/kota

248

Sebagai gambaran bahwa berdasarkan penelusuran peneliti dengan merangkum beragam informasi ditemukan jika pelaksanaan pendidikan gratis kabupaten Gowa merupakan penerapan perpaduan antara Dana BOS yang bersumber dari APBN dan BOSDA yang berasal dari APBD kabupaten Gowa serta dukungan dana sharing dari provinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2011 Dana BOS yang dikucurkan dari pemerintah pusat berjumlah Rp 48,01 miliar untuk membiayai 82.251 siswa SD dan 26.956 siswa SMP, sementara dana BOSDA dari pemerintah kabupaten Gowa berjumlah Rp 21 miliar dan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp 13 miliar yang diperuntukkan sebagai dana pendamping BOS SD dan SMP serta untuk membiayai operasional siswa SMA yang berjumlah 16.662 siswa. Jika ditotal dana BOS yang digunakan untuk pendidikan gratis dari tiga sumber yakni dana BOSDA kabupaten, BOSDA provinsi (dana sharing) dan dana BOS dari pemerintah pusat, maka jumlahnya akan menjadi Rp 82,01 miliar. Secara kelembagaan, sudah diuraikan bahwa pelaksanaan pendidikan gratis di kabupaten Gowa ditunjang oleh Perda No. 4 Tahun 2008 dan Perbup No. 8 Tahun 2008. Kedua jenis peraturan tersebut tentu saja menjadi legitimasi secar hukum dan politik bagi kerberlangsungan program tersebut. Terbitnya perda dan perbup tersebut menjadi penanda bahwa kebijakan pendidikan gratis mendapat dukungan politik dari institusi DPRD. Sebagaimana dituturkan oleh salah seorang informan yakni Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gowa yakni Bpk. RmS. Informan menuturkan kepada peneliti ketika wawancara di ruang kerjanya, bahwa: .....kami di DPRD sesungguhnya sangat mendukung komitmen pemerintah daerah (bupati) untuk menerapkan kebijakan pendidikan gratis. Karena ini nampaknya memang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Mengingat masyarakat kita di Gowa ini masih banyak belum atau kurang bisa mengakses pelayanan pendidikan karena masalah

249

biaya yang mereka masih anggap besar. Termasuk juga kualitas pelayanan penting diperhatikan oleh pemerintah daerah atau SKPD terkait. Olek karena itu, tahun 2008 yang lalu kita menyetujui dan pengesahkan perda yang mengatur program pendidikan gratis itu, termasuk kami sangat mengapresiasi peraturan bupati yang mengatur pelaksanaannya......(Wawancara, 3 Oktober 2013) Berdasarkan penuturan dari informan Wakil Ketua DPRD Bpk. RmS. tersebut di atas memberi penegasan bahwa inovasi dalam bidang pendidikan, yang dikemas dalam bentuk program pendidikan gratis, yang diinisiasi oleh bupati Gowa mendapat political supporting yang cukup besar dari lembaga politik DPRD. Namun demikian, tetap mendapat catatan dari DPRD bahwa disamping pembebasan biaya sekolah yang bertujuan untuk mempermudah akses terhadap pendidikan, yang tak kalah pentingnya adalah menyangkut kualitas pelayanan pendidikan itu sendiri harus tetap diutamakan. Berkaitan dengan kualitas pelayanan pendidikan atau pembelajaran tentu berhubungan langsung dengan bagaimana kondisi pelayanan pendidikan ditingkat operasional. Dimana secara operasional pelayanan bidang pendidikan dilaksanakan ditingkat satuan pendidikan atau unit sekolah. Kualitas pelayanan pendidikan atau kualitas proses belajar mengajar berarti relevansinya terhadap mutu sumber daya pendidikan yang dimiliki. Sumber daya pendidikan ini terdiri dari sarana dan prasarana sekolah, ruang kelas, guru, pengelola satuan pendidikan, dan lain-lain. Sehubungan dengan kertersediaan fasilitas untuk mendukung kualitas proses pembelajaran, informan Sekretaris Dispora Bpk. SpM. kepada peneliti menyatakan bahwa: ......kebijakan pendidikan gratis di Gowa itu ditunjang juga dengan pengadaan fasilitas pendukung seperti pembangunan sekolah, ruang kelas baru, ruang perpustakaan, laboratorium dan lain-lain. Pada periode 2006-2010 telah dibangun 15 SMP, 17 sekolah satu atap (SD-SMP), 6 SMA, 59 perpustakaan SD serta perbaikan 378 SD, 13 SMP dan 18 SMA.......(Wawancara, 2 Oktober 2013)

250

Pada tingkat operasional, realitas penerapan progran pendidikan gratis di kabupaten Gowa dapat dilihat penerapannya pada satuan pendidikan atau unit sekolah yang mengelola dan mamanfaatkan secara langsung dana pendidikan gratis tersebut. Untuk membuktikan lebih jauh, perlu kiranya disajikan beberapa fakta realisasi program pendidikan gratis yang sudah dirasakan oleh masyarakat terutama orang tua dan siswa sekolah itu sendiri. Pada tingkat pendidikan sekolah dasar, pendidikan gratis salah satunya terlaksana di Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) SDN Paccinongang di Kecamatan Somba Opu yang memiliki 386 siswa. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, di sekolah tersebut seluruh siswa tidak dipungut biaya apapun mulai dari uang pendaftaran, iuran bulanan, buku pelajaran, Lembar Kerja Siswa (LKS), uang ujian, kegiatan ekstrakurikuler, uang infaq termasuk kegiatan praktikum komputer di laboratorum semuanya diberikan gratis. Salah seorang siswa yang sempat peneliti temui bernama Nurul Alifah dan Nur Azizah siswa kelas V, secara senada mengatakan bahwa: ......di sini enggak ada pungutan sama sekali, semuanya gratis, walaupun sekolahnya bertaraf internasional, kita (siswa sekolah sekelas) seminggu sekali menggunakan fasilitas laboratorium komputer tanpa dikenakaan biaya......(Wawancara, 15 November 2013). Bebasnya pungutan di sekolah bertaraf internasional ini bisa dipahami karena berdasarkan data yang peneliti peroleh, sekolah ini didukung oleh dana BOS sebesar Rp 153,24 juta pertahun, ditambah dana pendidikan dari APBD kabupaten Gowa sebesar Rp 100 juta pertahun dan dana pembuatan LKS sebesar Rp 30 ribu persiswa. Selain itu, pemerintah provinsi Sulsel juga memberikan bantuan peralatan media pembelajaran berupa laboratorium komputer. Pemerintah kabupaten Gowa juga memberikan hadiah sebesar Rp 150 juta ketika sekolah ini menjadi juara terbaik ke-2 tingkat nasional untuk

251

bidang perpustakaan, yang dimanfaatkan pihak sekolah untuk membangun ruang pertemuan para guru. Selain

di

Sekolah

Bertaraf

Internasional

(SBI)

seperti

di

SDN

Paccinongang, perlu juga dilihat bagaimana realisasi pendidikan gratis di Sekolah Standar Nasional (SSN) seperti di SDN Bontokamase. SDN Bontokamase memiliki 959 siswa, sama seperti di SDN Paccinongan, di sekolah ini, seluruh siswa tidak dimintai uang pungutan apapun, bahkan sebanyak 30 siswa di sekolah ini mendapat beasiswa miskin masing-masing sebesar Rp 360 ribu pertahun. Seorang informan dari orang tua siswa bernama Ibu Muliyana, yang masih menumpang dirumah orang tuanya, suaminya hanya buruh harian yang tak tentu, sehingga tergolong keluarga miskin, menyatakan bahwa: ...memang anak saya mendapatkan beasiswa miskin yang sangat membantu, karena bisa dibelikan perlengkapan sekolah seperti seragam sekolah, sepatu, tas, buku tulis, pulpen dan lain-lain.... (Wawancara, 20 November 2013). Menurut informasi yang diterima peneliti, pendidikan gratis di SDN ini terlaksana berkat adanya dukungan dana BOS sebesar Rp 546,63 juta pertahun, ditambah dana APBD sebesar Rp 50 juta pertahun. Juga mendapatkan bantuan penerapan SSN sebesar Rp 120 juta pada tahun 2008. Meskipun ada pendidikan gratis, tetapi SDN Bontokamase tetap berbagai prestasi telah diraih sekolah yang memiliki 12 kelas ini, antara lain juara lomba Matematika se-Sulsel pada tahun 2008. Pada tingkatan sekolah menengah pertama (SMP), misalnya di SMPN 1 Sungguminasa operasionalisasi pendidikan gratis didukung oleh dana BOS sebesar Rp 535,8 juta pertahun, ditambah BOSDA sebesar Rp 39,48 juta pertahun dan biaya pendidikan SSN dari APBD sebesar Rp 50 juta pertahun. Di sekolah yang memiliki 940 siswa, seluruh siswa tidak dikenakan biaya baik

252

pendaftaran, buku, ekstrakurikuler, ujian sekolah dan lain sebagainya. Seperti dikemukakan oleh informan Kepala Sekolah Bpk. AbR. bahwa: .......selain dana BOS yang dikucurkan setiap tahunnya, sekolah ini juga mendapat bantuan dana pembinaan penerapan SSN sebesar Rp. 100 juta pertahun. Siswa-siswa sama sekali tidak dibebankan biaya sekolah, akibatnya setelah program ini jalan, peminat masuk disekolah ini semakin banyak.... (Wawancara, 21 November 2013) Berdasarkan pengamatan peneliti, memang siswa di sekolah ini membludak, ruang kelas yang ada hampir tidak menampung semuanya, sehingga kegiatan belajar-mengajar untuk tiga kelas dialihkan pada siang hingga sore hari. Kapasitas ruang kelas di sekolah ini sebanyak 24 ruangan, sementara jumlah murid mencapai 27 kelas. Walaupun demikian beberapa prestasi telah ditorehkan sekolah ini antara lain juara 1 Pramuka tingkat Provinsi Sulsel, juara Olimpiade Sain Nasional untuk pelajaran IPA, Matematika dan Biologi tingkat kabupaten dan menjadi 10 besar untuk tingkat provinsi. Di tingkat SLTA, program pendidikan gratis salah satunya dilaksanakan di SMAN 1 Palangga. Sejak penerapan pendidikan gratis, siswa di sekolah ini membludak dari 300 siswa menjadi 845 siswa, karena itulah di sekolah ini telah dibangun tambahan ruang kelas baru sebanyak 3 ruangan. Meski demikian, karena ruang kelas yang tersedia 7 kelas, sementara siswa sebanyak 10 kelas, 3 kelas dilakukan jam pelajaran pada sore hari. Penerapan sekolah gratis di sekolah ini didukung dana BOSDA sebesar Rp 35 riibu perbulan persiswa, sehingga total dana yang diterima sekolah ini mencapai Rp 354,9 juta pertahun. Sementara untuk buku pelajaran disediakan oleh Pemprov Sulsel, sehingga seluruh siswa bisa meminjam buku tersebut tanpa harus membeli. Untuk menjamin agar pendidikan gratis di Gowa berlangsung efektif dan berkesinambungan, maka dalam proses penerpannya didukung oleh peraturan yang tegas tentang larangan berbagai pungutan oleh pihak sekolah yang

253

dituangkan dalam Perda No 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis dan Perbup Gowa No 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis. Dalam perda yang disahkan pada 28 Maret 2008 ini kepala sekolah atau guru termasuk komite sekolah dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apa pun kepada orangtua siswa, minimal 14 jenis pungutan yang dilarang dan tertuang dalam perda yakni (1) permintaan bantuan pembangunan, (2) bantuan dengan alasan dana sharing, (3) pembayaran buku, (4) iuran Pramuka, (5) pembayaran lembar kerja siswa, (6) uang perpisahan, (7) uang foto, (8) uang ujian, (9) uang ulangan/semester, (10) uang pengayaan/les, (11) uang rapor, (12) uang penulisan ijazah, (13) uang infak dan (14) serta segala jenis pungutan yang membebani siswa dan orangtua. Bagi yang melanggar ketentuan dalam perda tersebut di atas, dikenakan sanksi berat baik administrasi maupun pidana. Sebagai contoh seorang kepala sekolah yang melanggar akan dicopot dari jabatannya dan dikembalikan sebagai guru biasa, bagi guru atau tenaga administrasi yang terbukti melakukan pungutan akan dilakukan mutasi dan tunjangan fungsionalnya dicabut, sementara bagi guru kontrak atau honorer yang melakukan pungutan akan dikenakan sanksi pemberhentian sebagai guru kontrak dan dilarang mengajar di seluruh sekolah yang ada di Gowa. Berdasarkan keterangan yang peneliti peroleh, ternyata bahwa dengan hadirnya perda yang mengatur secara tegas tentang larangan berbagai pungutan tersebut telah menjadi momok menakutkan bagi pihak sekolah. Buktinya perda ini telah “memakan korban” di mana hingga tahun 2010 sebanyak 27 guru dan kepala sekolah telah dicopot dari jabatanya dan diberhentikan dari kegiatan belajar – mengajar. Pihak sekolah akhirnya mengambil langkah aman dengan tidak memungut biaya apapun dari siswa, tetapi lebih memaksimalkan anggaran

254

yang diterima dari BOS, dana APBD kabupaten dan bantuan dana dari provinsi. Pihak sekolah juga berkreasi sendiri seperti melaksanakan program pemberian extra fooding (makanan tambahan) melalui program CSR perusahaan susu, karena tidak ada program dari Dispora setempat yang memberikan makanan tambahan. Secara garis besar implementasi inovasi kebijakan yang dikemas dalam bentuk program pendidikan gratis bertujuan untuk membebaskan siswa dan orang tua dari berbagai jenis pembiayaan sekolah telah diuraikan di atas. Mencermati hal tersebut, peneliti merumuskan beberapa poin penting, yang disari dari fakta-fakta pelaksanaan program pendidikan gratis di kabupaten Gowa sebagaimana yang telah disajikan. Pertama, inovasi kebijakan pembebasan biaya sekolah yang dikemas dalam bentuk program pendidikan gratis diprakarsai oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Kebijakan ini adalah salah satu bentuk political will dan komitmen bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia daerahnya. Program pendidikan gratis tersebut tentu tidak lahir begitu saja tetapi dilatari oleh adanya fakta bahwa akses masyarakat terhadap pendidikan masih minim dan masih rendahnya indeks pendidikan di kabupaten Gowa pada saat itu. Kedua, prakarsa dan komitmen bupati mengenai inovasi kebijakan dalam bidang pendidikan kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan kebijakan (pengaturan) dalam wujud peraturan daerah yang diajukan kepada DPRD untuk dibahas, disetujui dan disahkan. Maka terbitlah Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Kemudian dalam rangka operasionalisasi kebijakan tersebut bupati juga menerbitkan Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Pendidikan Gratis tersebut.

255

Ketiga, inovasi kebijakan tentang pendidikan gratis yang diatur dalam bentuk peraturan daerah dan peraturan bupati sebagaimana pada poin pertama dan kedua, diianggap masih memiliki titik lemah karena nampaknya belum mengatur secara tegas tentang kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terutama orangtua/wali siswa terhadap masalah pendidikan, maka kemudian diterbitkanlah Perda No. 10 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar. Perda No. 10 tahun 2009 ini pada prinsipnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab masyarakat dan orang tua/wali siswa terhadap proses pendidikan anaknya. Bahkan dalam perda ini, diatur tentang sanksi bagi orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anaknya. Keempat, aspek yang berkaitan dengan pengurusan dan pelaksanaan program pendidikan gratis, pada dasarnya sudah dinyatakan pula dalam Peraturan Bupati Gowa No. 8 tahun 2008. Tanggung jawab pengurusan dan pelaksanaan program ini, tentu terletak pada perangkat daerah yang mengurusi urusan pendidikan yakni Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. SKPD Dispora inilah yang mengelola menurut tugas pokok dan fungsi dari bidangbidang yang terkait, agar program pendidikan gratis ini dapat terealisasi secara efektif. Kelima, unit sekolah adalah wadah dimana program pendidikan gratis direalisasikan. Secara operasional kepala sekolah adalah penanggung jawab program pendidikan gratis ditingkat sekolah. Kepala sekolah berwenang menunjuk pegawai tata usaha atau seorang guru untuk menjadi bendahara. Bendahara inilah kemudian yang mengurusi dana pendidikan gratis yang sudah dialokasikan kepada masing-masing sekolah.

256

Keenam, program pendidikan gratis ini diperuntukkan bagi semua tingkatan sekolah, baik sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun sekolah swasta yang dimiliki oleh pihak swasta/non pemerintah. Ketujuh, program pendidikan gratis di kabupaten Gowa, bukanlah program yang berdiri sendiri. Dalam pengertian bahwa program ini merupakan program yang bersifat komplementer terhadap kebijakan pendidikan gratis yang digelar oleh pemerintah provinsi Sulawesi Selatan dan mendukung program Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat. (c)

Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) Komitmen pemerintah daerah kabupaten Gowa dalam mendorong

peningkatan kualitas pendidikan masyarakatnya, rupanya tidak hanya dilakukan melalui konsep inovasi kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi rendahnya akses masyarakat terhadap dunia pendidikan, yakni melalui desain kebijakan pendidikan gratis. Tetapi juga pemerintah daerah mendorong agar kualitas proses pembelajaran berlangsung semakin meningkat sehingga output atau luarannya pun makin berkualitas. Perhatian terhadap kualitas pembelajaran ini diinisiasi dalam bentuk desain program yang dinamakan Punggawa D’emba Education Program (PDEP). Dalam pengertian bahwa program pendidikan gratis relevansinya adalah untuk meningkatkan akses masyarakat (orang tua dan anak) terhadap pelayanan pendidikan yang lebih terjangkau, murah dan merata. Sementara program yang dikenal dengan sebutan Punggawa D’emba Education Program

(PDEP)

relevansinya

adalah

untuk

mendorong

agar

proses

pembelajaran di sekolah-sekolah lebih berkualitas, baik aspek penerimaan materi pelajaran oleh siswa-siswa maupun kualitas cara dan metode mengajar para guru di sekolah.

257

Berdasarkan temuan peneliti dilapangan, bahwa Punggawa D’emba Education Program (PDEP) adalah konsep pembelajaran revolusioner yang tujuan pokoknya untuk peningkatan kualitas guru dan peserta anak didik dalam memahami materi pelajaran, memiliki keterampilan, positive mindset, dan jiwa nasionalisme yang tinggi, serta memiliki pemahaman yang dalam terhadap tradisi dan budaya lokal masyarakat Gowa. Sementara secara etimologi istilah Punggawa D’Emba itu sendiri rupanya diambil dari istilah bahasa Makassar, yakni istilah Punggawa berarti pemimpin atau orang yang memiliki pengaruh kekuasaan dan istilah D’Emba memiliki makna Daeng Emba yaitu sebuah nama dari seorang tokoh lokal yang memiliki pengaruh dan dihormati karena kepeduliannya yang sangat tinggi terhadap dunia pendidikan di kabupaten Gowa. Munculnya ide perbaikan kualitas pembelajaran melalui program model pembelajaran berbasis audio visual adalah hasil studi banding ke beberapa daerah di dalam negeri dan luar negeri yang dianggap sukses dalam menerapkan konsep tersebut. Studi banding ini dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati), pihak Dispora, dan anggota DPRD yang membidangi masalah pendidikan. Awal pengembangan Punggawa D’emba Education Program (PDEP) tentu saja tidak berjalan mulus. Sehingga program ini tidak secara langsung dapat direalisasikan. Pengembangan program ini, secara teknis membutuhkan pihak (orang) yang ahli dan profesional. Tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu dibuka peluang bagi keterlibatan pihak di luar pemerintah daerah. Pelibatan pihak ketiga diadakan dalam bentuk kerjasama dengan perusahan swasta bernama I-Solution. Pengembangan Punggawa D’emba Education Program (PDEP) oleh pemerintah daerah kabupaten Gowa, diluncurkan pertama kali pada tanggal 03

258

Desember 2009. Melalui persetujuan institusi politik DPRD, program akhirnya dapat direalisasikan dengan menggunakan alokasi anggaran perubahan APBD tahun 2009. Pada saat itu anggaran yang dikucurkan untuk program ini sebesar Rp. 2.000.000.000,-. Anggaran tersebut hanya diperuntukkan bagi 20 sekolah (8 SD, 6 SMP, 6 SMA) sebagai proyek percontohan yang tersebar di 12 wilayah kecamatan. Komitmen pemerintah daerah dan DPRD terlihat sangat tinggi melalui kesepakatan untuk mengalokasikan anggaran yang cukup besar. Menurut data yang diperoleh peneliti, untuk tahun anggaran 2010 telah dikucurkan anggaran sebesar Rp. 2.497.000.000,- lebih besar sekitar 25% dari anggaran sebelumnya. Pada tahun 2010 jumlah sekolah yang menjadi sasaran adalah sebanyal 25 sekolah meliputi 13 SD, 6 SMP, dan 6 SMA yang mencakup 15 wilayah kecamatan. Selanjutnya pada tahun 2011 melalui APBD I (pokok) anggaran untuk PDEP telah dialokasikan anggaran sebesar Rp. 2.000.000.000,- untuk menyasar 20 sekolah meliputi 13 SD, 6 SD, dan 1 SMA. Selanjutnya melalui APBD II (perubahan) ditambah lagi sebesar Rp. 8.000.000.000,- yang diperuntukkan pada 80 sekolah meliputi 58 SD, 17 SMP, dan 5 SMA yang mencakup 18 kecamatan. Demikian pula pada tahun 2012 ketika penelitian ini sedang dilakukan,

pemerintah

daerah

mengalokasikan

anggaran

sebesar

Rp.

8.000.000.000,- untuk 80 sekolah yang meliputi 57 SD, 19 SMP, dan 4 SMA yang tersebar di 18 kecataman. Penerapan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) selalu diawali dengan Keputusan Buati yang mengatur tentang sekolah mana saja sebagai penerima program tersebut. Misalnya pada tahun 2011 diterbitkan Keputusan Bupati Gowa No. 288/VIII/2011, tentang Penetapan Sekolah Penerima

259

Punggawa D’Emba Education Program (Inovasi Metode Pembelajaran) Ala Cinema Edutainment Kabupaten Gowa Tahun Anggaran 2011. Keputusan Bupati Gowa tersebut menjadi dasar hukum bagi SKPD Dispora dan sekolah-sekolah yang ditunjuk untuk menerapkan inovasi metode pembelajaran ala cinema edutainment dalam proses belajar mengajar.

Tabel 33.

Tahun

Alokasi Anggaran Pelaksanaan Punggawa D’Emba Education Program Kabupaten Gowa Tahun 2009-2012 Anggaran Kegiatan Jumlah

Jumlah Sekolah

Cakupan Wilayah (Kec)

Sumber

2009

Rp 2.000.000.000

APBD II

20 (8 SD, 6 SMP, 6 SMU)

12

2010

Rp 2.497.000.000

APBD II

25 (13 SD, 6 SMP, 6 SMU)

15

2011

Rp 8.000.000.000 RP 2.000.000.000

APBD II APBD I

80 (58 SD, 17 SMP, 5 SMU) 20 (13 SD, 6 SMP, 1 SMU)

18

2012

Rp 8.000.000.000

APBD II

80 (57 SD, 19 SMP, 4 SMA)

18

Sumber: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga, Tahun 2012. Data Tabel 32 di atas mengenai alokasi anggaran untuk kegiatan pengembangan Punggawa D’Emba Education Program tahun 2009-2012 di atas menunjukkan bahwa program inovatif ini menggunakan anggaran yang jumlahnya cukup besar. Besaran anggaran yang digunakan dalam program tersebut, sejak dicanangkan tahun 2009 sampai tahun 2012 kenyataannya selalu mengalami peningkatan di setiap tahun. Peningkatan anggaran itu disebabkan karena cakupan sekolah yang menerapkan program tersebut juga semakin bertambah. Target cakupan sekolah hingga tahun 2012 sudah berjumlah 225 sekolah. Namun jumlah tersebut belum mancapai 50% dari total jumlah sekolah di kabupaten Gowa yakni 539 sekolah. Pemerintah daerah kabupaten Gowa telah menargetkan bahwa pada tahun 2015, 100% dari seluruh sekolah yang berjumlah 539 unit meliputi semua tingkatan sudah harus menerapkan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) pada semua mata pelajaran.

260

Berkaitan dengan penggunaan anggaran yang besar dalam pelaksanaan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) tersebut di atas, ditanggapi oleh salah satu informan, seorang anggota DPRD yang membidangi masalah pendidikan dengan menyatakan bahwa: .....Sebenarnya anggaran untuk program Punggawa D’Emba Education Program itu sangat besar jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya di bidang pelayan pendidikan. Meskipun demikian, bagi kami tidak keberatan yang penting anggaran yang besar itu benar-benar dipakai secara efektif untuk memajukan kualitas pendidikan di daerah Gowa. Karena peningkatkan kualitas pendidikan di daerah ini sudah menjadi komitmen bersama antara pemerintah daerah dan DPRD. Bagi kami sebagai lembaga kontrol, akan terus melakukan pengawasan terhadap realisasi program tersebut.... (Wawancara, 3 Oktober 2013) Tanggapan dari anggota DPRD di atas, menunjukkan bahwa Punggawa D’Emba Education Program dari aspek legitimasi politik tidak menjadi persoalan, karena diakui oleh pihak DPRD bahwa ini adalah salah satu program yang sangat strategis untuk mendorong agar kualitas pendidikan bisa menjadi lebih baik. Oleh karena itu, posisi DPRD sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan harus senantiasa mengikuti dan memantau penerapan program strategis tersebut. Setelah mengetahui bagaimana pertama kali konsep program ini lahir, aspek legitimasi politik, dan berapa anggaran yang dibutuhkan, maka berikut ini digambarkan bagaimana Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) diterapkan. Gambaran tentang bagaimana Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) ini berjalan tentu berkaitan dengan aspek teknis dari model pembelajaran yang berbasis audio visual tersebut. Sekaitan dengan bagaimana program PDEP tersebut terlaksana dilapangan, peneliti mendapat keterangan dari informan yakni seorang pegawai Dispora yang bernama MuD menyatakan bahwa:

261

....Pengembangan Punggawa D’Emba Education Program oleh Dispora boleh dikatakan sebagai bentuk inovasi karena program yang menghadirkan model pembelajaran yang baru, berbeda dengan model yang dikenal selama ini. Program ini berkaitan dengan perubahan model pembelajaran yang selama ini masih konvensional, seperti cermah satu arah, diskusi dan pemberian tugas menjadi model pembelajaran yang memanfaatkan media teknologi audio visual....... (Wawancara, 2 Oktober 2013). Sementara itu, peneliti juga memperoleh informasi dari seorang Kepala Sekolah SMPN 3 Sungguminasa yakni Bpk NdR. Informan ini menyatakan bahwa: .....Program pemerintah daerah yang disebut Punggawa D’Emba Education Program (PEDP) bisa menambah efektivitas proses pembelajaran, karena model pembelajaran dikelas selama ini menurut evaluasi kami, nampaknya menjadikan peserta didik cepat bosan, ngantuk, tidak fokus pada materi, dan banyak lagi perilaku yang seringkali membuat guru pengajarnya juga tidak konsentrasi dalam mengajar. Jadi pihak sekolah sangat menyambut baik terobosan ini, yang diyakni bisa meningkatkan kaulitas luluasan nantinya..... (Wawancara, 10 November 2013). Berdasarkan keterangan yang disampaikan dua informan di atas, menunjukkan bahwa kebijakan PDEP merupakan program inovatif yang dirancang dengan memanfaatkan teknologi audio visual. Melalui pembelajaran yang berbasis pada teknologi audio visual menciptakan suasana baru di dalam kelas yang tentu berbeda dengan keadaan sebelumnya. Di awal sudah disebutkan bahwa pengembangan PDEP merupakan hal baru bagi sistem pendidikan di kabupaten Gowa. Sehingga wajar jika pihak sekolah terutama guru-guru masih belum mengerti bagaimana penerapan program ini nantinya. Oleh karena itu, hal yang pertama kali ketika program diselenggarakan

adalah

mengadakan

pelatihan

bagi

guru-guru

tentang

bagaimana sistem pembelajaran dengan model yang baru ini. Pelatihan ini dilakukan selama tiga hari. Pada setiap pelatihan masing-masing sekolah yang menerapkan PDEP harus mengirimkan 3-4 guru untuk mengikuti pelatihan

262

tersebut. Selanjutnya setiap guru yang telah mendapatkan pelatihan diminta untuk melakukan diseminasi yakni melakukan pelatihan yang sama kepada guruguru di sekolahnya masing-masing. Para peserta pelatihan atau guru-guru yang mengikuti pelatihan mendapatkan materi pelatihan antara lain: (1) format moving class; (2) model cinema class; (3) penggunaan perangkat audio visual; dan (4) materi muatan lokal. Setiap sekolah baik negeri maupun swasta yang akan menerapkan PDEP harus menyiapkan satu ruangan khusus yang menjadi persyaratan utama untuk menerapkan program ini. Ruangan khusus tersebut dipergunakan untuk kegiatan cinema class yang telah difasilitasi dan dilengkapi dengan perangkat audio visual. Mata pelajaran yang menggunakan pembelajaran audio visual difokuskan pada mata pelajaran yang masuk dalam Ujian Akhir Nasional. Untuk SD kelas 4-5-6 (Matematika, Sains, Bahasa Indonesia & Bahasa Inggris); untuk SMP kelas 1-2-3 (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, Fisika, dan Kimia); untuk SMU kelas 1-2-3 (Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Biologi, Fisika, dan Kimia). Konsep materi mata pelajaran tersebut dibuat oleh guru sekolah yang telah ditunjuk dalam suatu tim sedangkan inputnya ke dalam software dibuat oleh i-Solution sebagi mitra dalam pembelajaran audio visual tersebut. Konsep pembelajaran ini juga melatih siswa untuk berani tampil berbicara di depan umum. Pembelajaran dalam cinema class memuat dua materi yakni materi inti (mata pelajaran) dan materi Punggawa D’Emba (materi muatan lokal tentang etika, adat istiadat di Gowa). Durasi materi inti sesuai dengan jam pelajaran setiap mata pelajaran sedangkan durasi materi Punggawa D’Emba berkisar 1520 menit.

263

Pembelajaran Punggawa D’Emba mengajarkan siswa untuk mengenal dan berperilaku sebagaimana adat

istiadat di Gowa.

Misalnya;

sikap

menghormati guru dan orang tua, kebiasaan mengucapkan terima kasih, berbaris dan mencium tangan guru sebelum masuk kelas; siswa mempunyai sikap mappatabe’ dan lain-lain. Materi-materi pelajaran yang tercakup dalam kelompok pembelajaran Punggawa D’Emba mengandung nilai-nilai yang sangat penting karena menyangkut pembentukan akhlak mulia bagi anak didik. Mereka diajarkan tentang pesan dan nasehat bagaimana etika bergaul dengan orang lain. Selanjutnya yang tak kalah penting untuk dipahami adalah aspek keberlanjutan dari Punggawa D’Emba Education Program tersebut. Terutama aspek yang bersifat teknis operasional dari materi pembelajaran. Oleh karena itu, pemerinatah daerah bersama dengan pihak perusahan I-solution sebagai pihak mitra sudah menyepakai bahwa durasi kontrak kerjasama berlangsung selama 5 tahun. Selama masa kontrak tersebut pemerintah daerah berhak mendapatkan fasilitas gratis bila ada updating materi. Materi yang menjadi konten dari sistem ini terdiri atas dua bagian yakni (a) materi inti adalah materi sudah disediakan oleh pihak I-solution dan (b) materi yang mengandung muatan nilai-nilai lokal adalah materi yang disiapkan oleh sekolah/guru. Pihak I-solution siap menerima saran dari guru-guru terkait materi yang disajikan dalam bentuk software, jika memungkinkan maka pihak I-Solution berusaha memperbaiki materi sesuai dengan saran dari guru. Untuk

mempermudah

akses

dan

updating

materi

maka

sistem

pembelajaran ini juga difasilitasi website yakni http://punggawademba.ilmci.com/. Website ini hanya dapat diakses oleh sekolah yang menerapkan PDEP. Melalui website ini guru dapat memperoleh info terbaru tentang pendidikan dan

264

mendapatkan updating materi. Dalam sistem pembelajaran PDEP ini, pekerjaan rumah atau PR tidak lagi diadakan. Meskipun demikian tidak berarti bahwa guru sama sekali tidak boleh memberi pekerjaan rumah bagi siswa. Jam pelajaran yang tersedia bisa termanfaatkan lebih efektif dari biasanya, karena guru tidak lagi menggunakan waktu banyak untuk membaca dan menulis materi pelajaran di papan tulis. Guru justru lebih banyak waktu untuk menjelaskan konten dari materi pelajaran dan lebih interaktif dalam berkomunikasi dengan anak didik di kelas. Dengan demikian proses belajar mengajar diwarnai oleh suasana yang lebih rileks dan fokus pada suatu materi tertentu. Terkait dengan dampak dari pengembangan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) tersebut, peneliti mendapatkan keterangan dari informan yakni Sekretaris Dispora Bpk. SpM. yang menyampaikan kepada peneliti bahwa: .....Dampak yang bisa dilihat dari penerapan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) yang sudah diterapkan selama ini adalah bahwa secara umum terjadi peningkatan rata-rata hasil belajar dan ujian nasional siswa di daerah ini. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena siswa lebih mudah memahami pelajaran melalui audio visual dimana siswa dapat melihat langsung proses terjadinya atau berlangsungnya sesuatu, sehingga daya serap siswa terhadap materi ajar bisa lebih baik.... (Wawancara, 2 Oktober 2013). Keterangan tentang dampak penerapan sistem pembelajaran berbasis audio visual seperti yang disampaikan oleh informan di atas memberi konfirmasi dan senada dengan keterangan dari salah seorang anggota Dewan Pendidikan kabupaten Gowa yakni Dr. Salam, yang dirilis melalui media cetak (Fajar, 2012) menyatakan bahwa model pembelajaran tersebut memiliki beberapa keunggulan antara lain (1) melalui media audio visual memberikan pesan yang dapat diterima secara lebih merata oleh siswa; (2) sangat bagus untuk menerangkan

265

suatu proses; (3) mengatasi keterbatasan ruang dan waktu; (4) lebih realisitis, dapat diulang-ulang dan dihentikan sesuai dengan kebutuhan; dan (5) memberikan kesan mendalam yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku siswa didik.

Gambar 19. Kelas Multimedia Dilengkapi Teknologi Audi Visual Sumber: Dokumentasi Sekretariat Dinas Dikpora Kab. Gowa Tahun 2013

Walaupun demikian, konsep pembelajaran dengan pendekatan teknologi informasi dan komunikasi melalui teknik audio visual yang memiliki banyak keunggulan

dibanding

sistem

pembelajaran

yang

konvensional

tetap

mengandung beberapa kelemahan dibalik penerapannya. Secara operasional tentu program ini membutuhkan fasilitas tertentu seperti pembenahan ruang kelas yang didesain khusus untuk metode cinema class. Sumber daya tenaga pengajar (guru) masih memiliki keterbatasan skill dalam mengoperasikan komputer dan teknologi informasi. Selain itu, beberapa mata pelajaran menurut beberapa guru dan anak didik kelihatannya masih lebih efektif jika menggunakan model konvensional.

266

Melalui penyajian hasil penelitian tentang inovasi di bidang pendidikan yang dikemas dalam bentuk program inovatif Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) sebagaimana diuraikan di atas, dapat diambil beberapa inti sari dari pengembangan program tersebut. Pertama, penerapan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) merupakan bagian dari bukti komitmen pemerintah daerah dan DPRD dalam memberikan pelayanan dasar yang maksimal di bidang pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan indeks pendidikan kabupaten Gowa. Kedua, pengembangan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) merupakan inovasi program dalam mendorong agar proses pembelajaran di sekolah-sekolah menjadi semakin berkualitas, yang ditandai dengan nilai ratarata mata pelajaran dan ujian nasional lulusan makin meningkat. Ketiga, bentuk inovasi Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) ini berkaitan dengan metode pembelajaran yang menggunakan teknologi audio visual atau cinema edutainmnet. Metode dan sistem pembelajaran ini benarbenar menjadi hal baru dan berbeda dengan metode pembelajaran konvensional selama ini. (d)

Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan Salah satu terobosan penting pemerintah daerah kabupaten Gowa, selain

kebijakan dan program SPAS, pendidikan gratis, dan Punggawa D’Emba Education Program sebagaimana telah diuraikan adalah inovasi program yang dikemas dalam bentuk Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pendidikan. Pembetukan Satgas Pendidikan ini masih merupakan bagian penting dari kebijakan strategis di bidang pendidikan kabupaten Gowa. Namun sebelum lebih dalam menyelami bagaimana program

267

itu dibentuk dan dijalankan, sebaiknya di awal penyajian kiranya urgen untuk memberikan pemahaman dasar terkait dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja dalam sistem pemerintahan daerah saat ini. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam sistem pemerintahan daerah merupakan bagian atau salah satu perangkat daerah yang membantu kepala daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan daerah. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), bahwa Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsi penegakan peraturan daerah (perda) dan membantu kepala daerah dalam melaksanakan urusan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Kemudian organisasi dan tata kerja Satpol PP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sudah diatur pula dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)

No. 40 Tahun 2011

tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja. Dengan demikian menjadi terang bahwa eksistensi Satpol PP dalam sistem pemerintahan daerah menjadi sangat strategis yang dilandasi oleh dua aturan payung hukum untuk menunaikan tugas dan fungsinya sehari-hari. Mengakselerasi terciptanya kualitas dan akses pendidikan yang lemah, telah didorong melalui program pendidikan gratis yang ditopang oleh Perda Pendidikan Gratis dan Wajib Belajar. Selain itu, pemerintah daerah juga telah mengemas program inovatif Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) untuk memperbaiki metode dan sistem pembelajaran. Namun, penerapan kedua perda di bidang pendidikan tersebut terasa belum maksimal. Oleh karena itu pemerintah daerah membuat terobosan dengan memaksimalkan fungsi dan tugas perangkat daerah Satpol PP dalam menegakkan Perda Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar.

268

Upaya memaksimalkan fungsi dan tugas Satpol PP dalam menegakkan Perda Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar diwujudkan dengan membentuk

Satuan

Tugas

(Satgas)

Pendidikan.

Pembentukan

Satgas

Pendidikan ini merupakan bentuk inovasi pemerintah daerah kabupaten Gowa yang didesain dalam bentuk kerjasama antar SKPD (perangkat daerah). Meskipun kerjasama antar SKPD bukanlah hal yang baru, namun kerjasama antara Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga melalui pembentukan Satgas Pendidikan adalah terobosan yang tidak hanya inspiratif -thinking out of the box- melainkan juga secara metodik mendorong dampak positif yang lebih luas (UNfGI, 2012). Langkah

inovasi

pemerintah

daerah

kabupaten

Gowa

melalui

pembentukan Satgas Pendidikan sejatinya merupakan langkah terobosan untuk mencari format kerjasama antar kelembagaan di lingkup SKPD yang dapat di refungsionalisasi untuk mendukung kebijakan strategis kabupaten Gowa (UNfGI, 2012). Format kerjasama antar perangkat (SKPD) dalam lingkup pemerintahan daerah seperti pembentukan Satgas Pendidikan ini sebetulnya sudah memiliki payung hukum yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 33 Tahun 2008 Tentang Pedoman Hubungan Kerja Organisasi Perangkat Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan umum pasal (1) dari Permendagri No. 33 Tahun 2008 tersebut istilah kerjasama dimaknai sebagai pola hubungan kerja yaitu rangkaian prosedur dan tata kerja antar perangkat daerah yang membentuk suatu kebulatan pola kerja dalam rangka optimalisasi hasil kerja. Selanjutnya pada pasal (2) ditegaskan pula beberapa prinsip yang harus dipegang dalam pola hubungan kerja antar perangkat daerah, antara lain: (a) saling membantu dan mendukung untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik yang berkelanjutan; (b)

269

saling menghargai kedudukan, tugas dan fungsi serta wewenang masing-masing perangkat daerah; (c) saling memberi manfaat; dan (d) saling mendorong kemandirian masing-masing perangkat daerah yang mengacu pada peningkatan kemampuan penyelenggaraan tugas-tugas kepemerintahan. Langkah terobosan melalui konsep kerjasama dan jalinan pola hubungan kerja antar perangkat daerah tentu memiliki tujuan strategis bagi keberhasilan penyelenggaraan pemerintah di kabupaten Gowa. Menurut informan Sekretaris Dinas Dikpora Bpk. SpM sekaitan dengan pembentukan Satgas Pendidikan tersebut, kepada peneliti beliau menyatakan bahwa: .....letak strategis dari mengfungsikan Satpol PP untuk bekerja secara sinergis dengan Dinas Dikpora dalam mengimplentasikan program Satgas Pendidikan hakekat utamanya untuk mendorong penguatan kualitas dan akses pendidikan terjangkau dan merata. Secara kelembagaan refungsionalisasi Satpol PP memiliki dua tujuan strategis yakni (1) mendukung implementasi kebijakan pendidikan gratis sebagai garis kebijakan bupati dan (2) mengubah wajah Satpol PP sendiri yang dianggap oleh masyarakat cenderung represif dan hanya bertugas keyika ada penggusuran...... (Wawancara, 2 Oktober 2013). Refungsionalisasi Satpol PP untuk mendukung implementasi kebijakan strategis pendidikan menjadi menarik karena secara kelembagaan SKPD ini dilibatkan dalam mengurus urusan pendidikan yang sebenarnya adalah kewenangan dari Dinas Dikpora. Sebagai contoh dari fungsi penegakan perda Satgas Pendidikan adalah perda pendidikan gratis dan perda wajib belajar yang antara lain menyangkut orang tua yang sengaja tidak menyekolahkan anaknya diancam hukuman penjara enam bulan atau denda Rp. 50 juta. Termasuk juga mendisiplinkan para siswa yang bolos sekolah dan tenaga pendidik yang selalu tidak on time datang mengajar di sekolah menjadi bagian dari fungsi Satgas Pendidikan. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, Satgas Pendidikan sudah dimulai sejak tahun 2009. Di mana pada awalnya Satgas Pendidikan ini hanya

270

diperuntukkan bagi tingkatan pendidikan sekolah dasar (SD). Namun seiring kebutuhan dan efektivitas dari implementasi kebijakan ini akhirnya mulai tahun 2010 semua jenjang pendidikan sudah memiliki Satgas Pendidikan. Bahkan sampai tahun 2012 Satpol PP telah melakukan rekrutmen sebanyak 525 tenaga honorer untuk mengisi personil dan menambah kapasitas Satgas Pendidikan. Hal yang berbeda dari kebijakan Satgas Pendidikan ini adalah aspek yang berhubungan pengisian personil. Mekanisme pengisian personil dilakukan dan dikembangkan melalui dua pola rekruitmen yakni formal dan informal. Pola rekrutmen formal dilaksakan melalui skema verifikasi yang dilakukan oleh Satpol PP dan Dinas Dikpora Kabupaten Gowa. Sementara pola rekrutmen informal penjaringan personil Satgas Pendidikan ditempuh melalui rekomendasi tokoh masyarakat setempat, di mana wilayah asal tempat tinggal calon pelamar. Mekanisme melalui pola rekrutmen informal dilakukan, tentu terkait dengan pertimbangan praktis dari tugas dan fungsi tugas dilapangan. Mengenai kualifikasi yang lain tetap mengacu pada persyaratan kepegawaian secara umum sebagaimana diatur dalam sistem kepegawaian daerah. Hasil pengamatan lapangan peneliti memperoleh data bahwa tugas Satgas Pendidikan adalah menyediakan fasilitas antar jemput gratis bagi guruguru yang alamat rumah tempat tinggalnya lebih dari 1,5 kilometer dari sekolah tempat mengajarnya. Anggota Satgas Pendidikan diberi tugas untuk melakukan razia bagi anak sekolah yang berkeliaran di luar sekolah pada saat jam pelajaran masih berlangsung. Anggota Satgas Pendidikan ditugaskan di setiap sekolah, dengan maksud bahwa satgas ini dapat juga berfungsi untuk membantu kelancaran proses belajar mengajar dan menjaga kondisi keamanan dan ketertiban lingkungan sekolah. Selain itu, Satgas Pendidikan saat ini membuka layanan akses untuk complaint system melalui SMS ke nomor 0811414222 atau

271

0811417240. Fasilitas layanan SMS ini bisa diakses oleh warga yang hendak menyampaikan informasi tentang tempat atau daerah yang kerap dijadikan tempat membolos siswa. Sejak adanya refungsionalisasi Satpol PP menjadi Satgas Pendidikan yang membantu pelayanan pendidikan di tingkat sekolah, tanggapan dan apresiasi positif dari stakeholder’s pendidikan terus mengalir. Salah seorang orang tua siswa, Pak Rahim yang sedang menjemput anaknya, menuturkan kepada peneliti bahwa: .....Satgas Pendidikan ini sangat besar fungsinya, karena dengan adanya satpol yang bertugas disekolah-sekolah, kebiasan anak-anak berkeliaran di luar sekolah pada saat masih jam pelajaran semakin berkurang. Bahkan di beberapa sekolah seperti di SMA 3 Sungguminasa ini, hampir tidak pernah lagi ada siswanya berada diluar sebelum jam pulang sekolah. Kami juga selaku orang tua merasa sangat terbantu oleh satgas ini..... (Wawancara, 11 November 2013). Jadi secara operasional dilapangan, keberadaan Satgas Pendidikan ternyata memang sangat fungsional. Sehingga wajar jika pada umumnya warga terutama para orang tua siswa sangat mendukung dan berharap agar keberadaan Satgas Pendidikan ini terus dipertahankan. Bahkan kebijakan ini dapat disebut sebagai langkah preventif untuk menekan angka bolos sekolah. Sehingga secara nyata berimbas pada daftar kehadiran siswa dan tenaga kependidikan kabupaten Gowa. Efek positif lanjutnya adalah performa Satpol PP di mata masyarakat sudah mulai berubah, dari organisasi yang cenderung represif menjadi organisasi yang akomodatif. Di awal sudah ditegaskan bahwa lembaga Satgas Pendidikan merupakan terobosan inovatif, namun tetap dinilai masih memiliki kelemahan. Satgas Pendidikan belum memiliki payung kelembagaan secara permanen. Di saat penelitian ini berlangsung, peneliti belum menemukan adanya kepastian apakah Satgas Pendidikan berada dalam struktur dan dikelola serta dibawah koordinasi

272

Kantor Satpol PP atau menjadi bagian dari kelembagaan Dinas Dikpora kabupaten Gowa. Sehingga dengan posisi demikian maka aspek sustainability dari Satgas Pendidikan ini masih belum pasti. Oleh karena itu, Bupati Gowa selaku pemimpin dan pemegang otoritas kelembagaan pemerintahan daerah tentu dengan segera harus menemukan solusi atas kekosongan payung kelembagaan Satgas Pendidikan tersebut. Di akhir deskripsi ini diketengahkan beberapa intisari yang berkaitan dengan kebijakan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan di kabupaten Gowa. Beberapa poin penting dari kebijakan tersebut, pertama, Satgas Pendidikan adalah inovasi pemerintah daerah yang dirancang dalam bentuk kerjasama atau pola hubungan kerja antar SKPD (perangkat) khususnya Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Hal ini menjadi terobosan tidak hanya inspiratif –thinking outside of the box- tetapi juga secara metodik dapat memberi dampak yang lebih luas. Kedua, Satgas Pendidikan dimaksudkan untuk mengakselerasi kebijakan strategis pendidikan kabupaten Gowa yang dideklarasikan melalui Perda Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar. Sehingga secara kontekstual kehadiran satgas ini sangat relevan untuk mendorong meningkatnya kualitas dan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Ketiga, personil Satgas Pendidikan diisi melalui pola mekanisme formal dan informal. Mekanisme rekrutmen secara formal melalui skema verifikasi yang dilakukan oleh Satpol PP dan Dinas Dikpora Kabupaten Gowa. Sementara pola rekrutmen informal penjaringan personil Satgas Pendidikan ditempuh melalui rekomendasi tokoh masyarakat setempat, di mana wilayah asal tempat tinggal calon pelamar.

273

Keempat, tujuan strategis Satgas Pendidikan adalah mendukung inplementasi kebijakan pendidikan gratis sebagai garis kebijakan Bupati Gowa dan mengubah wajah Satpol PP sendiri yang dianggap oleh masyarakat cenderung represif, arogan dan identik dengan penggusuran.

5.1.3 Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan Deskripsi pengembangan inovasi pemerintah daerah kabupaten Gowa yang berkaitan dengan urusan pendidikan telah disajikan pada bagian sebelumnya. Secara empiris pengembangan inovasi pemerintah daerah tersebut meliputi program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), pembebasan biaya sekolah melalui program Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) dan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Pada bagian ini, penyajian fokus pada bagaimana kapasitas inovasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten Gowa dalam pengembangan berbagai kebijakan dan program inovatif dalam urusan pendidikan yang relevan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Deskripsi

empiris

tentang

kapasitas

inovasi

pemerintah

daerah

kabupaten Gowa dalam menyelenggarakan urusan pendidikan, diuraikan dalam beberapa sub fokus penyajian meliputi: (1) Kapasitas kepemimpinan inovasi (innovative leadership); (2) Kapasitas pelaksana program inovasi (quality of work force) pendukung inovasi; (3) Kapasitas anggaran pendukung program; (4) Kapasitas jaringan pendukung inovasi; (5) kemampuan mengelola pengaruh eksternal inovasi (managing external influences). Deskripsi dari keempat sub fokus penyajian diuraikan secara berturut-turut pada bagian berikut ini.

274

(a)

Kapasitas Kepemimpinan Inovatif (Innovative Leadership Capacity) Kapasitas kepemimpinan inovatif (innovative leadership capacity) adalah

kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mendorong pengembangan inovasi dalam suatu organisasi tertentu. Seorang pemimpin yang memiliki kapasitas inovasi adalah pemimpin yang tentu saja menguasai pengetahuan dan berwawasan yang luas dalam hal pengembangan inovasi. Namun penguasaan pengetahuan yang mendalam dan wawasan yang luas tidaklah cukup efektif dalam pengembangan inovasi, jika tidak disertai dengan komitmen yang tinggi dan kemampuan untuk melaksanakannya. Dengan demikian, inovasi yang dikembangkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi diharapkan memberi dampak tehadap anggota organisasinya. Dalam konteks penelitian ini, penggambaran kapasitas kepemimpinan inovatif hanya fokus pada kepasitas kepemimpinan kepala daerah (Bupati) Gowa dalam mendorong pengembangan inovasi spesifik pada pelaksanaan urusan pendidikan. Sekaitan dengan hal tersebut, kapasitas kepemimpinan inovatif akan dilihat dan diukur melalui sejauhmana komitmen dan kemauan politik (political will) bupati dalam memberikan public service dan menyediakan public goods kepada warganya. Selain itu, kapasitas kepemimpina inovatif bupati akan ditinjau pula dilihat dari aspek visi-misi pengembangan inovasi yang dibangun, langkahlangkah strategis yang diambil untuk mendorong inovasi, dan stabilitas kepemimpinan bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat digambarkan beberapa hal yang berkaitan dengan kapasitas kepemimpinan inovatif yang diukur melalui komitmen dan political will dari Bupati Gowa. Pertama, bahwa komitmen dan political will Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sudah sangat nampak ketika baru saja selesai dilantik bersama Wakil Bupati Abd Razak Badjidu untuk periode

275

2005-2010 pada tanggal 13 Agustus 2005 oleh Gubernur Sulawesi Selatan HM Amin Syam di lapangan Syekh Yusuf, Sungguminasa Kabupaten Gowa. Ketika itu setelah pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Gowa berlangsung, maka dilanjutkan dengan penandatanganan ”kontrak politik” yang disaksikan oleh berbagai kalangan masyarakat yang hadir. Di antara isi ”kontrak politik” tersebut yang terkait dengan pelayanan pendidikan adalah membangun 154 buah sanggar anak saleh. Program sanggar anak saleh inilah yang kemudian dikenal dengan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS). Pengembangan SPAS ini pula menjadi progran unggulan sekaligus inovatif di awal pemerintahannya. Selain itu, ”kontrak politik” tersebut juga berisi pemberian secara gratis buku wajib kepada 2.846 anak SD yang berasal dari keluarga miskin. Sesuai dengan komitmen dalam ”kontrak politik”, hanya dalam jangka waktu satu tahun, pengembangan 154 unit SPAS dan pemberian buku gratis pada anak SD dari keluarga miskin sudah dapat terealisasi. Kedua, komitmen dan political will yang tinggi oleh Bupati Gowa tercermin pula pada pengembangan kebijakan dan program inovatif yang bernama program pendidikan gratis. Di mana program terobosan pendidikan gratis ini adalah program yang dimaksudkan untuk mengakselerasi peningkatan kualitas dan aksesibilitas masyarakat Gowa terhadap dunia pendidikan. Dalam rangka mempercepat realisasi dari program pendidikan gratis tersebut, maka langkah yang diambil bupati adalah segera mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pendidikan Gratis kepada DPRD yang kemudian disahkan menjadi Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Setelah itu, dalam rangka pelakasanaan perda tersebut maka bupati segera pula menerbitkan Peraturan Bupati Gowa Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis.

276

Ketiga, bermula dari keprihatinan melihat kondisi kualitas output sekolah yang masih rendah yang diakibatkan oleh proses pembelajaran yang belum efektif maka Bupati Gowa mengambil langkah-langkah antara lain studi banding, baik ke daerah-daerah maupun ke negara yang memiliki metode pembelajaran dan sistem pendidikan yang sudah maju. Program studi banding yang dipelopori oleh bupati dengan menyertakan pihak terkait (DPRD, Dinas Dikpora dan dewan pendidikan) bertujuan untuk mengadopsi metode dan sistem pembelajaran yang telah berhasil diterapkan disana. Hasilnya adalah mengadopsi metode dan sistem pembelajaran yang berbasis pada audio visual (cinema class). Metode dan sistem pembelajaran inilah yang kemudian dikenal dengan Punggawa D’Emba Education Program. Disamping itu, Bupati Gowa juga melakukan terobosan kebijakan yang cukup inovatif yakni kerja sama antar perangkat daerah yakni Satpol PP dan Dinas Dikpora dengan membentuk Satpol (Satgas) Pendidikan, seperti sudah diuraikan secara deskriptif pada bagian sebelumnya. Tentu peran dari Bupati Gowa tidak hanya pada fase memunculkan gagasan dan ide untuk mengembangkan kebijakan dan program inovasi dalam penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam uraian ketiga fakta di atas. Namun bupati juga sangat aktif dan paling terdepan dalam sosialisasi dan mensukseskan pelaksanaan program-program inovatif tersebut. Padahal sesungguhnya terdapat perangkat daerah yakni Dinas Dikpora selaku pembantu kepala daerah untuk pelaksanaan urusan pendidikan. Fakta-fakta yang tercatat oleh peneliti di atas terkonfirmasi kebenarannya melalui salah satu informan yakni Sekretaris Dinas Dikpora, Bpk SkM. yang menyampaikan kepada peneliti bahwa: .....Semua kebijakan dan program inovatif seperti SPAS, pendidikan gratis, Punggawa D’Emba Education, dan Satgas Pendidikan yang menjadikan Kabupaten Gowa mendapat apresiasi berupa penghargaan

277

otonomi award tahun 2009 dan 2010 dalam bidang pelayanan pendidikan merupakan terobosan yang murni gagasannya berasal dari Bapak Bupati Ichsan Yasin Limpo. Kami melihat bahwa bapak bupati sejak awal kepemimpinannya memiliki komitmen yang kuat untuk mengangkat bidang pendidikan sebagai prioritas pemerintah daerah. Kami selaku aparat dinas yang mengurusi pendidikan, di banyak tempat dan kesempatan selalu diberi pencerahan bahwa pendidikan harus maju kalau mau melihat daerah kita cepat berkembang seperti daerah lain. Namun dalam hal penyempurnaan konsep programprogram inovatif tersebut bapak bupati tetap mengundang berbagai pihak seperti DPRD dan stakeholders, terutama pihak yang paham betul tentang dunia pendidikan (perguruan tinggi dan PGRI) untuk berkontribusi menyempurnakan konseptual dari program dimaksud.....(Wawancara, 2 Oktober 2013) Pernyataan dari informan Sekretaris Dinas Dikpora bermakna bahwa peran bupati dalam pengembangan kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan memang sangat dominan dan menonjol. Meskipun demikian, agar secara teknis operasional dapat terealisasi secara efektif, maka tetap melibatkan pihak di luar institusi bupati. Terutama para stakeholder yang konsen dalam dunia pendidikan seperti Dewan Pendidikan, Perguruan Tinggi dan PGRI. Kapasitas kepemimpinan inovatif seorang bupati bisa juga dinilai dari visimisi yang ingin dikembangkan. Berdasarkan catatan hasil penelitian di lapangan diperoleh fakta bahwa Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo bersama Wakil Bupati Abd Razak Badjidu adalah kepala daerah yang diusung oleh Partai Golkar, Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Demokrat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung pada 27 Juni 2005. Pasangan kepala daerah ini merupakan kepala daerah pertama di Gowa yang dipilih melalui pemelihan kepala daerah secara langsung. Sejak masa kampanye calon kepala daerah waktu itu, Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sudah menyatakan bahwa visi pemerintahan dan pembangunan Kabupaten Gowa harus memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia, terutama bidang pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. Dari sini sudah nampak adanya visi yang kuat dari

278

Bupati Gowa untuk menjadikan urusan pendidikan sebagai kebijakan strategis pemerintah daerah melalui kebijakan dan program yang inovatif. Atas dasar visi dan misi pembangunan manusia yang bertumpu pada bidang pendidikan inilah yang diterjemahkan ke dalam visi dan misi daerah Kabupaten Gowa. Hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015. Visi daerah Kabupaten Gowa tersebut berbunyi ”Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan”. Selanjutnya salah satu misi yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi daerah Gowa tersebut, yakni handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat salah satu di antaranya adalah melalui pemberian pelayanan dan penyediaan fasilitas publik yang optimal dalam bidang pendidikan. Langkah

strategis

selanjutnya

untuk

mewujudkan

visi

dan

misi

pembangunan daerah dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat Gowa terutama hak dasar di bidang pendidikan, pemerintah daerah menjadikan isu peningkatan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan daerah. Sebagaimana dapat dilihat dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Gowa tahun 2010. Dalam kebijakan RKPD ini pemerintah daerah menetapkan enam prioritas pembangunan daerah yang meliputi: (1) Peningkatan mutu pendidikan; (2) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat;

(3)

Peningkatan

penanggulangan

kemiskinan

terpadu;

(4)

Peningkatan mutu dan produksi pertanian; (5) Peningkatan kualitas dan akses infrastruktur ke sentra perekonomian; dan (6) Peningkatan kompetensi aparatur dan kelembagaan masyarakat.

279

Menjadikan isu peningkatan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama dalam kebijakan RKPD Kabupaten Gowa tahun 2010 menunjukkan bahwa pemerintah daerah di bawah komando Bupati Ichsan Yasin Limpo memiliki komitmen politik yang kuat dalam pelayanan (urusan) pendidikan. Apalagi jika dilihat kembali program kerja dan alokasi anggaran yang cukup besar bagi sektor pendidikan. Hal ini dibenarkan oleh informan Wakil Ketua DPRD Gowa, Bapak RmS. dari Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), yang menuturkan kepada peneliti bahwa: .....Sektor pendidikan memang menjadi prioritas pembangunan daerah di Kabupaten Gowa. Sejak periode pertama 2005-2010 hingga periode sekarang 2010-2015 kepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo, pemerintah daerah menetapkan peningkatkan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama dalam RKPD. Sejak periode pertama kepemimpinan bupati sekarang, pemerintah daerah telah menetapkan alokasi anggaran 20% dari APBD untuk sektor pendidikan sebelum pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan 20% APBN diperuntukkan bagi anggarn pembangunan sektor pendidikan. Malahan saat ini alokasi anggaran untuk bidang pendidikan sudah di atas 20% dari APBD. Kami di DPRD sudah bersepakat dan membangunan komitmen dengan pemerintah daerah untuk menjadikan peningkatan mutu pendidikan ini sebagai salah satu primadona pembangunan daerah untuk memajukan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Gowa. Oleh karena itulah, kami DPRD selalu mendukung seluruh kebijakan dan program inovasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah......(Wawancara, 3 Oktober 2013). Pernyataan dari informan Wakil Ketua DPRD Gowa di atas, bahwa pengalokasian anggaran yang lebih dari 20% APBD untuk menunjang programprogram pemerintah daerah dalam meningkatkan mutu pendidikan, memberi makna bahwa komitmen dan political will pemerintah daerah telah mendapat legitimasi politik dari lembaga DPRD. Selain itu, hal yang penting lainnya adalah agar pemerintah daerah semakin menumbuhkan munculnya terobosan kebijakan dan program inovatif yang bisa mengakselerasi kualitas pendidikan masyarakat. Terobosan kebijakan dan program pemerintah daerah tidak berhenti hanya pada program-program inovatif yang sudah berlangsung selama ini. Seperti program

280

pengembangan SPAS, program pendidikan gratis, Punggawa D’Emba Education Program, dan Satgas Pendidikan. Sebagai catatan akhir dari deskripsi empirik mengenai kapasitas kepemimpinan inovatif yang dimiliki oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo adalah pertama, kepemimpinan Bupati Gowa saat ini, memiliki komitmen dan poltical will yang sudah buktikan ketika baru saja terpilih sebagai bupati untuk periode 2005-2010. Sejak saat itu bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan memiliki peran yang sangat menonjol dan dominan dalam membangun gagasan dan ide-ide terobosan. Seperti dalam merumuskan program-progam inovatif pengembangan SPAS, program pendidikan gratis, Punggawa D’Emba Edcation Program (PDEP) dan Satgas Pendidikan.

Gambar 20. Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo dan Tim Ahli Program Punggawa D’Emba Education Sumber: Dokumentasi Sekretariat Dinas Dikpora Kab. Gowa Tahun 2012

Kedua, kepemimpinan Bupati Gowa juga memiliki kapasitas dalam membangun visi dan misi yang benar-benar relevan dengan kebutuhan dasar

281

masyarakat Gowa yakni pelayanan dan penyediaan fasilitas publik pendidikan seperti tercermin dalam RPJMD Kabupaten Gowa. Visi dan misi tersebut kemudian mampu diejawantahkan dan dijabarkan dalam bentuk RKPD seperti peningkatan mutu pendidikan masyarakat. Sebagai prioritas pembangunan, maka peningkatan mutu pendidikan diakselerasi dengan mendesain programprogram inovasi sebagimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Beberapa program inovasi yang dimaksud, juga ditopang oleh kebijakan alokasi anggaran yang cukup besar yakni lebih dari 20% dari APBD Kabupaten Gowa. Terakhir, komitmen dan political will Bupati Gowa dalam mendorong lahirnya program-program inovatif tidak akan efektif terlaksana jika tanpa dukungan dan legiltimasi politik dari lembaga DPRD. Karena hal yang terkait dengan legitimasi politik menjadi jaminan terhadap stabilitas kepemimpinan dalam menjalankan mandat yang diberikan oleh rakyat (konstituen). (b)

Kapasitas Aparatur Pelaksana Program Inovasi (Teamwork Capacity) Setelah mengetahui gambaran empiris tentang kapasitas kepemimpinan

inovatif yang dimiliki oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sebagaimana yang sudah diuraikan, maka pada bagian ini digambarkan bagaimana ketersediaan tenaga pelaksana (work-force) berkualitas dalam mendukung pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan. Ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas menjadi penting, karena apalah artinya sebuah kebijakan dan program inovatif yang digagas oleh seorang kepala daerah (bupati) tanpa ditunjang oleh adanya tenaga kerja yang berada paling di depan dan mengetahui bagaimana aspek teknis dan aspek operasional dari program-program tersebut dilapangan. Untuk itulah pada bagian berikut ini disajikan fakta-fakta yang terkait dengan tersedianya tenaga kerja yang berkualitas dalam mendukung pelaksanaan kebijakan dan program inovasi pemerintah daerah Kabupaten Gowa.

282

Sebelum lebih jauh menyajikan deskripsi empiris yang berkaitan dengan kapasitas tenaga kerja dalam mendukung inovasi, perlu ditegaskan mengenai apa yang dimaksud dengan frase kualitas tenaga kerja pendukung inovasi pada pemaparan ini. Pemaparan pada bagian ini, yang hendak diuraikan tiada lain adalah tersedianya aparatur pemerintah daerah yang memiliki kualitas dan kompetensi yang memadai berupa keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) untuk mengembangkan praktek-praktek inovasi dalam urusan pendidikan. Sementara tenaga pelaksana yang dimaksudkan adalah aparatur pemerintah daerah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan aparatur non PNS, baik aparatur yang berada pada posisi jabatan struktural maupun aparatur yang berstatus sebagai pegawai dengan jabatan fungsional seperti guru-guru yang mengajar di sekolah. Mereka adalah aparatur pemerintah daerah Kabupaten Gowa yang diberi tugas dan bekerja pada instansi Dinas Dikpora. Berdasarkan hasil penelusuran data di lapangan, maka ditemukan beberapa catatan atas fakta yang berhubungan dengan kapasitas aparatur pemerintah daerah sebagai pelaksana teknis dari program inovasi dalam urusan pendidikan di kabupaten Gowa. Kapasitas aparatur atau pelaksana program inovasi digambarkan berdasarkan jenis program inovasi yang dilaksanakan. Pertama, pelaksana pengembangan SPAS yang telah dibentuk oleh Dinas Dikpora terdiri dua jenis yakni pengelola program dan tenaga tutorial atau pengajar. Pengelola program meliputi pengelola tingkat kabupaten terdiri dari 12 orang. Pengelola tingkat kecamatan berjumlah 54 orang dengan rincian tiga orang perkecamatan. Sedangkan pengelola program di desa-desa dan kelurahan berjumlah 308 orang dengan penempatkan dua orang disetiap desa dan

kelurahan.

Adapun

tugas

dari

pengelola

program

SPAS

adalah

283

menyediakan fasilitas berupa lokasi dan bangunan, mengawasi proses belajar mengajar, dan mengevaluasi tenaga pengajar. Sementara itu yang bertanggung jawab terhadap proses belajar mengajar adalah mereka yang telah ditunjuk sebagai tenaga tutorial. Tenaga tutorial dari program SPAS ini berjumlah 462 orang. Mereka tersebar dan ditempatkan di seluruh desa dan kelurahan. Di setiap desa dan kelurahan ditunjuk tiga orang tenaga tutorial. Para tenaga tutorial SPAS ini adalah orang yang berasal dari desa dan kelurahan setempat di mana SPAS itu berada. Jadi berbeda dengan pengelola progam, karena pengelola program tingkat kabupaten adalah pegawai yang berasal dari Dinas Dikpora yang berstatus PNS. Pengelola program pada kecamatan hanya diisi oleh satu PNS dan dua pengelola lainnya berasal dari non PNS. Dengan melibatkan pihak non PNS dalam pengelolaan dan pengajaran sebagaimana tersebut di atas bertanda sebagai bukti bahwa unsur masyarakat dilibatkan dalam pengembangan SPAS tersebut. Sehingga pengembangan SPAS tidak hanya dimonopoli oleh pihak Dinas Dikpora saja. Dalam pengembangan SPAS ini tentu tidak hanya sebatas menentukan siapa pengelola program dan tenaga pengajarnya. Namun yang tak kalah lebih penting adalah kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh pengelola dan tenaga tutorial tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Terkait dengan hal ini, salah seorang informan HjR. dari pengelola SPAS Bontonompo Kecamatan Sungguminasa, menuturkan kepada peneliti bahwa: .....pengelola SPAS ketika baru ditunjuk tidak langsung bertugas tetapi terlebih dahulu harus mengikuti diklat manajemen pengelolaan SPAS dan metode pembelajarannya. Ini penting dilakukan karena kami sebagai pengelola belum memahami betul bagaimana sebenarnya melaksanakan program SPAS ini dilapangan mengingat program SPAS ini adalah terobosan baru dan tentu berbeda sistemnya dengan sekolahsekolah yang formal.....(Wawancara,10 November 2013).

284

Penuturan dari narasumber HjR. salah seorang pengelola memberi informasi bahwa pada dasarnya diawal program ini diimplementasikan, seluruh pengelola sudah diwajibkan mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan tentang manajemen

pengelolaan

SPAS

termasuk

juga

materi

tentang

metode

pembelajaran yang diterapkan. Diklat tersebut penting dilakukan karena mengingat pengembangan SPAS ini adalah terobosan kebijakan dari Bupati, yang baru pertama kali dilakukan dan tentu saja memiliki perbedaan dengan satuan pendidikan lain (TK, SD, SMP, dan SMA) yang sudah memiliki standar formal dan baku. Itulah sebabnya seluruh pengelola program harus mengikuti diklat agar memiliki kapasitas berupa keterampilan dan pengetahuan yang cukup dalam mengelola dan mengajar nantinya. Kedua, berbeda dengan program pengembangan SPAS yang memiliki pengelola khusus, dalam pelaksanaan program pendidikan gratis Dinas Dikpora tidak membentuk tim kerja atau pengelola khusus untuk menerapkan program tersebut. Tetapi implementasi program pendidikan gratis ditangani langsung oleh institusi Dinas Dikpora menurut unit kerja bidang masing-masing. Namun demikian, secara operasional program pendidikan gratis ini menjadi kewenangan dari unit pendidikan atau sekolah masing-masing. Sehubungan dengan penerapan program pendidikan gratis ini, informan Sekretaris Dinas Dikpora Bapak SpM. menyebutkan bahwa: ....implementasi program pendidikan gratis terdiri atas tim pengarah dan tim manajemen. Tim pengarah penyelenggaraan program ini tentu saja adalah Bupati dan Wakil Bupati serta dibantu oleh Kepala Bappeda. Selanjutnya tim manajemen terdiri dari tim manajemen kabupaten yakni Kepala Dinas Dikpora dan tim manajemen pada tingkat sekolah yakni Kepala dan Wakil Kepala Sekolah, seorang guru/tenaga administrasi sebagai Bendahara, dan satu orang anggota komite sekolah sebagai anggota tim....(Wawancara, 2 Oktober 2013).

285

Keterangan yang disebutkan oleh informan Bapak SpM. di atas memberi informasi bahwa untuk merealisasikan program pendidikan gratis maka telah dibentuk tim pelaksana oleh Bupati yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Manajemen. Tim pengarah adalah Bupati, Wakil Bupati, dan Kepala Bappeda. Tim pengarah ini memiliki tugas memberikan arahan terhadap tim pelaksana program di tingkat kabupaten dan sekolah. Sementara itu tim manajemen program tingkat kabupaten terdiri penanggung jawab yakni Kepala Dinas Dikpora dan unsur pelaksana terdiri atas ketua, sekretaris, dan bendahara, serta seksi data dan monitoring. Tim manajemen tingkat sekolah terdiri atas Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, guru/tenaga administrasi sebagai bendahara, dan satu orang anggota Komite Sekolah sebagai anggota. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa dalam implementasi program pendidikan gratis ini, tampaknya beban tanggung jawab operasional terbesar berada pada tim manajemen di tingkat sekolah. Mengapa demikian, karena tim manajemen sekolah memiliki tugas cukup banyak meliputi: (1) memverifikasi kesesuaian jumlah dana yang diterima dengan data siswa yang tersedia dan jika jumlah dana yang diterima melebihi yang semestinya maka kelebihan dana itu harus dikembalikan ke tim manajemen kabupaten; (2) mengelola dana secara terbuka dan bertanggung jawab; (3) mempublikasikan komponen penggunaan dana melalui pengumuman di sekolah; (4) bertanggung jawab jika terjadi penyimpangan penggunaaan dana di tingkat sekolah; (5) melayani dan menangani komplain dari masyarakat; dan (6) membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada tim manajemen kabupaten. Melihat tugas-tugas yang harus diemban oleh tim manajemen program pendidikan gratis di tingkat sekolah begitu banyak, tentu dalam hal ini yang dibutuhkan adalah kapasitas dari anggota tim dalam merealisasikan program

286

inovasi tersebut. Untuk itulah, maka salah satu tugas dari tim manajemen kabupaten adalah melakukan pelatihan dan supervisi terhadap anggota tim di sekolah-sekolah untuk memastikan bahwa pelaksanaan program pendidikan gratis sudah sesuai dengan pedoman operasioanalnya. Namun demikian, faktanya dilapangan pelatihan dan supervisi tidak semuanya berjalan dengan baik. Terkadang yang diundang untuk mengikuti pelatihan hanyalah Kepala Sekolah saja, tanpa mengikutkan anggota-anggota tim lain seperti sekretaris, bendahara, dan anggota komite. Padahal mereka adalah anggota tim manajemen yang seharusnya memahami betul bagaimana teknis operasional pendidikan gratis diterapkan di sekolah-sekolah. Malah mereka hanya diberikan buku yang berisi aturan dan petunjuk teknis pelaksanaan program. Akibatnya manajemen pelaksanaan program pendidikan gratis di sekolah-sekolah bisa saja mengalami masalah misalnya tidak transparan, tidak memberi informasi yang jelas mengenai komponen penggunaan dana, dan mungkin bisa terjadi kebocoran penggunaan dana. Ketiga, kapasitas inovasi pengembangan Punggawa D’Emba Education Program berkaitan dengan kemampuan dan pengetahuan dari guru-guru dalam menerapkan konsep dan metode baru yang dikembangkan dalam proses pembelajaran berbasis teknologi cinema edutainment. Pada dasarnya program inovasi metode pembelajaran ini adalah sesuatu yang benar-benar baru dan berbeda dengan metode pembelajaran konvensional yang digunakan selama ini. Tidak hanya aspek konsep dan teknis mengajar tetapi juga dari aspek fasilitas ruang kelas harus berubah dari situasi sebelumnya. Sehingga dengan demikian, guru sebagai pelaksana operasional tentu harus segera beradaptasi dengan inovasi pembelajaran yang menggunakan teknologi multimedia tersebut.

287

Sebagai pelaku operasional dilapangan (pengajar di ruang-kelas), komponen guru di setiap tingkatan sekolah telah dibekali knowledge dan skill untuk membangun kapasitas mereka dalam menerapkan program inovasi pembelajaran yang menggunakan audio visual. Untuk mengantisipasi agar para pegawai terutama guru-guru, tidak mengalami kekagetan ketika menghadapi dunia pembelajaran yang baru tersebut, maka proses pengembangan kapasitas bagi guru-guru ini segera dilakukan, yakni tahun 2009

ketika pertama kali

program Punggawa D’Emba Education dicanangkan oleh pemerintah daerah. Hingga penelitian ini dilakukan, proses pengembangan kapasitas bagi guru-guru telah direalisasikan dalam beberapa gelombang. Proses pengembangan kapasitas dilakukan dalam bentuk Pelatihan Guru dalam Revolusi Metodologi Pembelajaran ala Cinema Edutainment. Pelatihan ini difasilitasi oleh pihak ketiga yakni I-Solution sebagai mitra dan konsultan ahli dari program inovasi metode pembelajaran tersebut.

Gambar 21. Instruktur dan Peserta Pelatihan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

Sumber: Dokumentasi Sekretariat Dinas Dikpora Kab. Gowa Tahun 2012.

288

Berdasarkan fakta dilapangan, peneliti mencatat bahwa sejak tahun 2009 hingga 2012, pelatihan yang bertujuan membangun kapasitas para guru dalam kaitan dengan metode pembelajaran ala cinema edutainment telah diikuti oleh 225 sekolah dari semua tingkatan sekolah. Pada tahun 2009 diikuti oleh 20 sekolah (8 SD, 6 SMP, 6 SMU), tahun 2010 diikuti oleh 25 sekolah (13 SD, 6 SMP, 6 SMU), tahun 2011 diikuti oleh 100 sekolah (71 SD, 23 SMP, 6 SMU), dan tahun 2012 diikuti oleh 80 sekolah (57 SD, 19 SMP, 4 SMA). Mengenai materi pelatihan yang diajarkan adalah terkait dengan pengenalan dasar terhadap konsep pembelajaran berbasis cinema edutainment, variasi konten cinema edutainment, dan teknik serta strategi penerapannya. Keempat, kapasitas inovasi pada program pembentukan Satgas Pendidikan memiliki perbedaan dengan program-program inovasi lainnya. Oleh karena dalam program inovasi pembentukan Satgas Pendidikan ini lebih pada perubahan pada aspek kelembagaan, baik dari sisi struktur kelembagaan sendiri maupun pada sisi fungsi dan tugas yang diembannya. Sebagaimana sudah digambarkan sebelumnya, bahwa pembentukan Satgas Pendidikan ini pada prinsipnya adalah usaha refungsionalisasi organisasi SKPD yang bernama Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang salah satu tujuan strategisnya yakni mengubah persepsi dan stima negatif di mata masyarakat. Persepsi dan stigma negatif yaitu petugas yang cenderung represif dan kasar serta dianggap hanya bertugas manakala ada penggusuran dan rasia semata. Semula anggota Satpol PP memiliki tugas menegakkan perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Kemudian setelah bertransformasi menjadi Satgas Pendidikan, tugasnya lebih kepada fungsi pelayanan publik di bidang pendidikan yaitu membantu Dinas Dikpora dalam implementasi kebijakan strategis

289

pemerintah daerah yakni program pendidikan gratis dan wajar 12 tahun. Refungsionalisasi Satpol PP menjadi Satgas Pendidikan tentu saja harus diikuti oleh ketersediaan sumber daya aparatur (pamong) yang mampu memahami dan mengikuti perubahan-perubahan yang telah dilakukan. Sumber daya aparatur (pamong) yang mengembang fungsi dan tugas baru sebagai anggota Satgas Pendidikan haruslah memiliki kapasitas yang berbeda dengan anggota Satpol PP lainnya. Berdasarkan fakta lapangan, penulis memperoleh data bahwa di tahun 2009 hingga tahun 2011 anggota Satgas Pendidikan masih diisi oleh anggota Satpol PP. Dengan kata lain bahwa dalam rentang waktu tersebut anggota Satgas Pendidikan diisi oleh personil lama dan tentu saja masih memiliki cara berfikir dan pemahaman yang belum berubah terhadap tugas-tugasnya selama ini. Padahal fungsi dan tugas mereka sudah berubah, dimana membutuhkan kapasitas personil yang sesuai dengan karakteristik tugas-tugas yang baru tersebut. Oleh sebab itu, sejak tahun 2012, Satpol PP telah merekrut anggota baru sejumlah 525 orang yang berstatus sebagai tenaga honorer daerah. Anggota-anggota baru inilah yang ditempatkan pada Satgas Pendidikan untuk mendukung kelancaran program pemerintah daerah di bidang pendidikan. Perekrutan anggota yang baru tersebut dilakukan agar mereka memiliki kualitas personal yang berbeda dengan anggota (pamong) lama, baik pengetahuan maupun keterampilan untuk menjalankan fungsi yang baru sebagai pelayan publik untuk suksesnya program yang berorientasi pada peningkatan akses dan kualitas pendidikan masyarakat. Kebijakan perekrutan anggota baru untuk Satgas Pendidikan seperti disebutkan di atas, juga dibarengi dengan upaya pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) teknis dan fungsional. Diklat teknis dan

290

fungsional bagi anggota baru pada dasarnya adalah program yang sudah rutin dilakukan di kalangan anggota Satpol PP. Namun, orientasi diklat bagi anggota baru Satgas Pendidikan berbeda dengan orientasi diklat yang rutin dilakukan oleh Satpol PP. Perbedaan yang dimaksudkan adalah orientasi diklat yang tidak hanya menyangkut aspek metode diklat itu sendiri tetapi juga aspek materi, yang lebih diarahkan dan disesuaikan dengan fungsi barunya sebagai pelayan masyarakat di bidang pendidikan. (c) Kapasitas Anggaran Pendukung Program Inovasi Pada bagian sebelumnya telah dideskripsikan bagaimana kapasitas kepemimpinan inovatif yang dimiliki oleh bupati dan bagaimana kapasitas dari aparatur pelaksana suatu program dalam mendukung pengembangan inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan. Selanjutnya pada bagian ini yang diuraikan adalah bagaimana kemampuan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten Gowa untuk menopang kebijakan dan program inovatif yang sedang dikembangkan. Deskripsi terhadap kapasitas anggaran ini diulas berdasarkan fakta dan data empiris yang diramu dari berbagai sumber di lapangan Pengertian dari kapasitas anggaran pendukung inovasi dalam bahasan ini adalah pernyataan yang terkait dengan penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program inovasi. Penentuan jumlah alokasi dana untuk mendukung program inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan telah melalui mekanisme yang lazim berlangsung dalam pemerintahan daerah. Mekanisme penentuan besaran alokasi dana pada tiap program kerja pemerintah tersebut umumnya melalui mekanisme politik. Mekanisme politik anggaran pada tingkat kabupaten dilakukan bersama antara pemerintah daerah (bupati) dan DPRD. Mekanisme politik ini harus dilalui untuk memperoleh pengesahan (legitimasi politik) dari DPRD sebagai lembaga representasi dari masyarakat. Besaran alokasi dana

291

untuk program kerja pemerintah daerah biasanya tertuang dan merupakan bagian dari kebijakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) suatu daerah. Demikian halnya dengan penentuan besaran alokasi dana untuk mendukung program inovasi urusan pendidikan yang sedang berlangsung tentu telah melalui proses politik dan telah dinyatakan dalam APBD kabupaten Gowa. Terkait dengan kemampuan anggaran untuk mendukung kebijakan dan program inovatif bidang pendidikan ini, peneliti memperoleh keterangan dari informan, Bapak SpM. Sekretaris Dinas Dikpora, bahwa: .....Kami, pemerintah daerah percaya dan meyakini bahwa kemampuan anggaran yakni tersedianya alokasi dana yang cukup merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan program pemerintah, termasuk program-program inovasi bidang pendidikan yang memang sudah menjadi program strategis dan unggulan daerah kami selama ini. Jadi, pemerintah daerah (bupati...peneliti) sangat komit untuk selalu menggelontorkan dana yang besar untuk merealisasikan kebijakan dan program tersebut. Setiap tahun pemerintah daerah mengajukan alokasi anggaran yang lebih besar dari 20% APBD. Bahkan setiap tahun alokasi anggaran untuk urusan pendidikan itu ditingkatkan demi mencapai targettarget yang sudah ditetapkan dalam rencana kerja pemerintah daerah....(Wawancara, 2 Oktober 2013) Keterangan dari informan di atas memberikan informasi yang cukup menarik bahwa pemerintah daerah secara lugas menyadari dan meyakini bahwa suatu kebijakan dan program inovasi pemerintah daerah harus didukung oleh tersedianya anggaran yang cukup. Artinya bahwa faktor kemampuan anggaran yang dimiliki menjadi salah satu variabel yang dianggap menentukan sukses tidaknya dari kebijakan dan program inovatif yang dicanangkan. Atas dasar pemahaman yang dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten Gowa seperti tersirat dari keterangan informan di atas, bahwa kemampuan anggaran menjadi salah satu pendorong utama suksesnya program inovasi, maka setiap tahun alokasi dana untuk program inovasi urusan pendidikan selalu ditingkatkan, tidak hanya menyangkut besaran tetapi juga cakupan alokasi dana tersebut.

292

Pandangan yang sama terhadap pernyataan bahwa kapasitas anggaran menjadi salah satu faktor kunci dalam memicu keberhasilan program inovasi bidang pendidikan di kabupaten Gowa juga datang dari salah seorang informan, yakni Bapak RmS. Wakil Ketua DPRD tersebut menuturkan kepada peneliti bahwa: .....pandangan saya selaku anggota DPRD yang memiliki fungsi budgeting, bahwa kebijakan dan program-program inovasi bidang pendidikan yang menjadi unggulan dan prioritas pemerintah daerah harus dibarengi dengan ketersediaan anggaran yang memadai. Jadi tidak cukup hanya sebatas komitmen bupati dan jajarannya (Dikpora....peneliti), tetapi harus juga ada uang untuk menggerakkan semua komponen yang dibutuhkan untuk implementasi program tersebut. Misalnya untuk pengembangan SPAS dan Punggawa D’Emba Education Program butuh uang yang memadai untuk menyediakan fasilitas seperti bangunan ruang kelas yang representatif, tidak hanya itu tetapi SDM pelaksana program pun harus ditingkatkan kapasitasnya. Semua ini membutuhkan uang. Apalagi program pendidikan gratis yang memang menyangkut anggaran untuk membiayai proses belajar mengajar di sekolah-sekolah, sangat tergantung pada ketersediaan anggaran. Jadi kami DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah selalu memperhatikan hal-hal tersebut tentu saja tanpa mengabaikan program lainnya..... (Wawancara, 3 Oktober 2013). Pandangan yang disampaikan oleh informan Bapak RmS, yang berstatus sebagai pejabat politik daerah tentang kapasitas anggaran sebagai faktor kunci implementasi kebijakan dan program inovasi, memberi makna dalam dua hal, pertama agar kebijakan dan program inovasi di bidang pendidikan di kabupaten Gowa dapat terlaksana dengan baik, maka harus mendapat alokasi dana yang memadai. Alokasi dana yang memadai artinya tersedianya dana yang mampu menutupi seluruh komponen pembiayaan dalam implementasi program inovasi tersebut. Misalnya alokasi dana untuk pengembangan Punggawa D’Emba Education Program membutuhkan dana untuk pengadaan fasilitas teknologi audio visual karena program ini berbasis cinema edutainment. Tidak hanya biaya pengadaan fasilitas teknologi audio visual tetapi juga membutuhkan biaya

293

peningkatan kapasitas pelaksana program yakni guru-guru sekolah diberi pelatihan tentang sistem dan metode pembelajaran revolusioner tersebut. Demikian pula program pendidikan gratis yang dicanangkan sebagai supporting of policy terhadap program pendidikan gratis oleh provinsi Sulsel dan program wajib belajar 12 tahun yang dibiayai oleh dana BOS pemerintah pusat. Program inovasi pendidikan gratis ini tanpa alokasi dana yang cukup maka tidak akan berhasil, karena program inovasi ini berkaitan dengan persoalan pembiayaan pendidikan yang seringkali tidak terjangkau oleh golongan masyarakat ekonomi lemah. Masyarakat yang termasuk dalam golongan ekonomi lemah adalah mereka yang mengalami pendapatan keluarga yang rendah, sehingga mereka kehilangan akses yang cukup dan kesempatan untuk menikmati pelayanan pendidikan. Artinya bahwa program pendidikan gratis yang berbasis anggaran ini merupakan salah satu solusi alternatif utama untuk mengatasi masalah kurangnya akses dan rendahnya kualitas pendidikan masyarakat kabupaten Gowa selama ini. Kedua, makna yang lain dari pandangan informan tersebut adalah pentingnya kapasitas anggaran daerah dalam menopang keberhasilan kebijakan dan program inovasi pemerintah daerah secara tersirat telah diakui oleh lembaga DPRD meskipun hal itu hanya dinyatakan oleh seorang informan yang berkedudukan sebagai Wakil Ketua DPRD. Oleh karena itu lembaga DPRD yang memiliki fungsi budgeting telah memberi garansi untuk terus mendukung secara politik terhadap alokasi dana yang diperuntukkan bagi implementasi kebijakan dan program inovasi di bidang pendidikan tersebut. Dukungan politik dari institusi DPRD diwujudkan dalam bentuk pengesahan dan penetapan APBD di setiap tahun anggaran.

294

Selain data berupa keterangan dari kedua informan di atas, sebagaimana telah dideskripsikan, peneliti juga menemukan beberapa fakta tentang kapasitas anggaran dalam mendukung program inovasi bidang pendidikan. Fakta-fakta yang dimaksud adalah tentang besaran alokasi dana untuk program inovasi pengembangan Punggawa D’Emba Education Program dan program pendidikan gratis serta program-program lainnya. Misalnya pada tahun 2011 alokasi anggaran untuk pendidikan gratis ditetapkan dan tertuang dalam APBD sebesar Rp 16.929.780.900. Selanjutnya penyelenggaraan Punggawa D’Emba Education Program dialokasikan anggaran sebanyak Rp 8.000.000.000. Kemudian anggaran untuk program pendidikan menengah sebesar Rp 2.171.259.912.dan termasuk juga untuk program peningkatan mutu dan tenaga kependidikan sebesar Rp 7.830.216.250. Ada pula alokasi anggaran untuk pengembangan SPAS sebagai bagian dari Program Pendidikan Non Formal berjumlah Rp 3. 828.146.400. Terakhir adalah alokasi anggaran untuk Program PAUD sebesar Rp 4.032.050.000. Hal yang penting pula selain besaran alokasi anggaran yang ditemukan di atas adalah berhubungan dengan sumber anggaran yang mengisi kapasitas anggaran daerah untuk membiayai pelaksanaan kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan. Berdasarkan fakta empiris ditemukan bahwa sumber-sumber pembiayaan untuk pelaksanaan kebijakan dan program inovasi hanya berasal dari satu sumber saja yakni pemerintah daerah melalui APBD. Sementara itu, peneliti tidak mendapatkan data atau informasi tentang adanya sumber-sumber pembiayaan dari pihak lain seperti pihak swasta. Kecuali bantuan-bantuan yang sifatnya nonfinansial ada yang berasal dari pihak swasta setempat seperti material bangunan sekolah dan peralatan teknologi untuk laboratorium sekolah berupa komputer dan fasilitas internet. Pihak swasta atau perusahaan-

295

perusahaan yang beraktivitas dan beroperasi di daerah ini biasanya memberikan bantuan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka miliki. Fakta tentang sumber anggaran dalam temuan ini mengindikasikan bahwa kapasitas anggaran untuk membiayai pelaksanaan program-program inovasi bidang pendidikan sangat tergantung pada kondisi keuangan daerah setempat. Ketergantungan pembiayaan program inovasi ini yang begitu tinggi terhadap keuangan daerah, memunculkan kekhawatiran akan mengganggu (mengurangi) porsi alokasi dana pada program-program non bidang pendidikan. Misalnya

program

bidang

kesehatan,

bidang

infrastruktur

dan

bidang

pengembangan ekonomi lokal yang juga tidak kalah pentingnya untuk mendapatkan alokasi dana yang memadai. Mengingat program-program tersebut juga menjadi program prioritas pembangunan daerah selama ini. (d) Kapasitas Jaringan untuk Program Inovasi Pada bagian ini deskripsi empirik berkaitan dengan kemampuan pemerintah daerah dalam membangun kapasitas jaringan dengan berbagai institusi atau stakeholder’s untuk kepentingan pengembangan kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan. Kapasitas jaringan yang dimaksud dalam konteks penelitian ini meliputi kapasitas jaringan internal pemerintahan dan kapasitas

jaringan

eksternal

pemerintahan.

Kapasitas

jaringan

internal

pemerintahan adalah kemampuan membangun jaringan antar organisasi dalam pemerintahan itu sendiri. Misalnya jaringan kerjasama antara pemerintah daerah dengan DPRD dan jaringan kerjasama antara pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah daerah provinsi. Termasuk juga jaringan yang terbangun antar SKPD dalam organisasi pemerintah daerah.

296

Sementara itu, kapasitas jaringan eksternal pemerintahan adalah kemampuan membangun jaringan kerjasama antara pemerintah daerah dengan institusi-institusi di luar lingkup pemerintahan. Misalnya jaringan kerjasama antara institusi pemerintah daerah dengan institusi swasta (private sector) dan insitusi sosial kemasyarakatan yang terdapat di daerah dan peduli terhadap kemajuan pendidikan. Terutama mereka yang memiliki keinginan berpartisipasi dalam

pengembangan

program-program

inovasi

yang

digalakkan

oleh

pemerintah daerah. Misalnya institusi perbankan, organisasi profesi pendidikan (PGRI), perguruan tinggi, Muhammadyah, NU, LSM dan lain sebagainya. Termasuk juga dewan pendidikan dan komite-komite sekolah yang sudah terbentuk dan aktif selama ini merupakan jenis jaringan yang bersifat eksternal dalam konteks pelaksanan program inovasi bidang pendidikan. Terkait dengan kapasitas jaringan dalam rangka implementasi kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan, peneliti menemukan beberapa fakta empiris yang dapat dideskripsikan dalam dua bagian yakni deskripsi yang berkaitan dengan kapasitas jaringan internal pemerintahan dan fakta yang menunjukkan adanya kapasitas jaringan eksternal pemerintahan. Deskripsi yang menggambarkan adanya fakta tentang kapasitas jaringan internal pemerintahan, yang bisa disimak dari beberapa hasil wawancara dengan informan antara lain wawancara dengan Sekretaris Dinas Dikpora, Bapak SpM sebagai informan, beliau menuturkan kepada peneliti bahwa: ....kami berpendapat bahwa hubungan yang harmonis dengan lembaga politik DPRD menjadi faktor yang sangat menunjang kelancaran dari pelaksanaan kebijakan dan program-program inovasi pemerintah daerah. Di mana dalam hal ini Bupati Gowa sangat proaktif berkonsultasi dengan pimpinan DPRD, kami juga selaku SKPD yang menjadi leading sector dari program-program pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan juga menjalin koordinasi dan kerjasama yang efektif dengan komisi yang membidangi urusan pendidikan.

297

Terutama yang selalu kami konsultasikan adalah menyangkut kebijakan alokasi anggaran..... (Wawancara, 2 Oktober 2013). Keterangan yang disampaikan oleh informan dari pihak pemerintah daerah (Dinas Dikpora) di atas sejalan dengan informasi yang disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Bapak RmS, informan ini juga menyampaikan pendapatnya kepada peneliti bahwa: .....pihak kami di DPRD pasti selalu menjalin hubungan yang efektif dengan pihak pemerintah daerah, terutama jika itu menyangkut kebijakan dan program yang kami anggap sebagai kebutuhan dasar masyarakat seperti keijakan tentang pelayanan pendidikan yang menjadi primadona daerah ini. Karena kami juga selalu menerima aspirasi terkait dengan pelayanan pendidikan yang merata dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.... (Wawancara, 3 Oktober 2013). Menyimak keterangan dari kedua informan di atas, memberikan gambaran bahwa pada dasarnya terdapat pemahaman yang seirama antara pemerintah daerah dan lembaga DPRD tentang pentingnya kerjasama dan hubungan koordinasi yang efektif sehingga terbangun jaringan yang erat dalam mengembangan kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan. Selain itu, nampak juga pengertian yang sama antara kedua institusi pemerintahan daerah tersebut bahwa kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan adalah kategori kebijakan dan program yang bersifat prioritas dan unggulan atau menjadi “primadona” dalam pembangunan daerah sebagaimana istilah yang dilontarkan oleh informan Wakil Ketua DPRD kabupaten Gowa. Selain jaringan internal pemerintahan antara pemerintah daerah dan DPRD sebagaimana telah dideskripsikan di atas, juga sudah terbangun bentuk jaringan kerjasama antar SKPD yakni Dinas Dikpora dan Satpol Pamong Praja. Perwujudan dari jaringan kerjasama antar kedua SKPD tersebut adalah pembentukan Satgas Pendidikan. Pembentukan satgas ini selain dimaksudkan untuk mengawal implementasi perda dan peraturan bupati yang berhubungan

298

dengan kebijakan dan program inovasi pendidikan, satgas juga ditujukan untuk membantu kelancaran dan ketertiban proses belajar di setiap sekolah. Hingga penelitian dilakukan nampak jaringan kerjasama SKPD dalam bentuk Satgas Pendidikan terbukti cukup efektif dalam mendorong meningkatnya aksesibilitas dan kualitas proses belajar mengajar terutama pada tingkatan sekolah. Jika deskripsi di atas berkaitan dengan kapasitas jaringan internal pemerintahan daerah yang dinilai sangat harmonis yakni antara pemerintah daerah dan lembaga DPRD kabupaten Gowa, maka penting pula disajikan bagaimana jaringan yang terbangun antara pemerintah kabupaten Gowa dengan pemerintahan daerah yang lebih tinggi yakni pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini penting diungkapkan mengingat hubungan antara pemerintah kabupaten Gowa dengan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan memiliki ciri yang berbeda dengan pemerintah kabupaten lainnya. Ciri perbedaan yang dimaksud terletak pada adanya garis politik dan latar belakang politik yang sangat kuat antara Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo dan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Kedua pemimpin daerah tersebut memiliki garis politik dan latar belakang politik yang sama yakni keduanya pejabat teras Partai Golkar. Syahrul Yasin Limpo adalah seorang Ketua DPD Partai Golkar dan Ichsan Yasin Limpo adalah Bendahara DPD Partai Golkar Sulawesi Selatan. Kemudian secara geopolitik, sejak lama kabupaten Gowa sudah menjadi salah satu daerah lumbung suara Partai Golkar. Selain hubungan yang kuat karena latar belakang politik yang sama, yang tak kalah penting untuk dicermati adalah kedua pemimpin daerah tersebut memiliki hubungan primordialisme yakni hubungan saudara adik kakak. Mencermati kedua fakta di atas yaitu adanya keterkaitan yang sangat kental secara garis politik dan hubungan primordial antara pemimpin daerah

299

tersebut tentu menjadi variabel yang dapat mendukung efektivitas sebuah jaringan pemerintahan daerah. Fakta ini dibenarkan oleh informan Wakil Ketua DPRD Gowa yakni Bapak RmS, yang menuturkan bahwa: ......kedekatan primordial dan adanya kesamaan latar politik antara Bupati Gowa dengan Gubernur Sulawesi Selatan, menjadi keuntungan tersendiri bagi daerah ini (Gowa...peneliti) dan tentu fakta ini akan sangat efektif dan mempermudah pelaksanaan kebijakan dan program daerah, terutama kebijakan dan program yang memang sudah menjadi komitmen bersama pemerintah provinsi dan kabupaten seperti program pendidikan gratis. Fakta inilah yang membedakan Gowa dengan daerah kabupaten lainnya, tidak hanya keterkaitan formal tetapi juga informal antara pemimpin pemerintahan kabupaten dengan provinsi...... (Wawancara, 3 Oktober 2013) Selain jaringan yang terbangun karena adanya relasi politik dan relasi primordial di antara kedua pemimpin daerah tersebut, juga terdapat komitmen bersama melalui kebijakan program pendidikan gratis yang dipelopori oleh Gubernur Sulawesi Selatan yang sudah berlangsung sejak 2008 yang lalu. Komiten bersama ini secara tegas terlihat pada sisi kebijakan anggaran melalui model sharing anggaran dalam pelaksanaan program pendidikan gratis. Komitmen ini didasarkan pada Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 11 Tahun 2008 tentang pelaksanaan pendidikan gratis dan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 4 Tahun 2009. Kedua kebijakan politik atau peraturan tersebut salah satu isinya menegaskan bahwa pembiayaan program pendidikan gratis dilakukan dalam bentuk sharing anggaran. Dimana komposisi sharing anggaran tersebut, sebesar 40% dibebankan kepada APBD provinsi dan 60% menjadi beban APBD kabupaten/kota. Model komitmen sharing anggaran ini sudah disepakati melalui penandatanganan MoU antara Gubernur dengan 23 Bupati/Walikota dalam lingkup provinsi Sulawesi Selatan. Jaringan eksternal pemerintah daerah adalah jaringan antara pihak tertentu dalam organisasi pemerintah daerah dengan stakeholder’s eksternal dari pihak ketiga. Stakeholders eksternal dari pihak ketiga yang dimaksud dalam

300

konteks penelitian meliputi institusi Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, PGRI, Perguruan Tinggi, LSM lokal pemerhati pendidikan, dan perusahaan swasta (bisnis) yang beroperasi di daerah tersebut. Secara normatif, eksistensi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sudah diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam PP ini secara tegas disebutkan bahwa keberadaan kedua lembaga tersebut, tidak hanya sebatas hadir sebagai representasi aspirasi masyarakat secara formal saja. Tetapi memiliki fungsi untuk turut serta aktif dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana prasarana, serta

pengawasan.

Oleh

sebab

itulah,

mereka

memiliki

tugas

untuk

menghimpun, menganalisis dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah. Misalnya terkait dengan adanya keluhan, kritik, saran dan aspirasi masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Melihat posisi dewan pendidikan dan komite sekolah yang demikian penting, menjadikan kedua lembaga ini menjadi mitra yang strategis bagi pihak pemerintah daerah dan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Kedua lembaga tersebut dianggap mitra strategis karena merupakan lembaga representasi masyarakat untuk menyuarakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat, baik kebijakan dan program yang diambil oleh pemerintah daerah maupun implementasi terhadap kebijakan dan program pembelajaran yang dikelola sekolah-sekolah. Demikian pula dalam konteks ini, dapat memberikan pertimbangan dan masukan pada pembuatan peraturan-peraturan yang sedang dirumuskan oleh lembaga eksekutif (pemda) dan legislatif (DPRD). Dalam konteks kebijakan dan program inovasi penyelenggaraan pendidikan yang sudah berlangsung, nampaknya eksistensi Dewan Pendidikan

301

dan Komite Sekolah cukup diperhitungkan oleh pihak pemerintah daerah, DPRD, dan pihak sekolah. Berdasarkan fakta yang dijumpai oleh peneliti dilapangan, memberikan gambaran bahwa keterlibatan Dewan Pendidikan sudah dilibatkan sejak pada tahap rancangan kebijakan sedang dilakukan. Pada tahapan ini, baik secara pribadi maupun lembaga, pemerintah daerah (Dispora) dan DPRD secara terbuka meminta masukan dari masyarakat melalui Dewan Pendidikan. Demikian halnya, setelah kebijakan dan program inovasi pendidikan diimplementasikan, maka Dewan Pendidikan memiliki hak untuk mengawasi penggunaan anggaran dan seluruh proses implementasi sampai ke tingkat sekolah. Sementara itu, Komite Sekolah keterlibatannya berbeda dengan Dewan Pendidikan. Komite Sekolah hanya terlibat penuh pada tingkatan sekolah. Dimana, ketika kebijakan dan program inovasi pelayanan pendidikan sudah sampai pada tingkatan operasional. Pada tingkatan sekolah, Komite Sekolah dilibatkan

dalam

menyusun

rencana

program

kerja

sekalah,

termasuk

bagaimana pelaksanaan program inovasi seperti SPAS, Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba,

dan Satgas Pendidikan.

Misalnya dalam

program

pendidikan gratis yang dimana telah diatur adanya larangan-larangan terkait dengan komponen biaya pembelajaran tertentu. Dalam hal ini, Komite Sekolah berfungsi mengontrol pelaksanaannya. Dalam pengertian bahwa komite sekolah tidak hanya terlibat dalam pelaksanaan tetapi juga mengawasi jalannya programprogram tersebut agar tidak keluar dari rencana dan ketentuan yang sudah ada. Jaringan kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan organisasi profesi seperti PGRI sifatnya kurang lebih sama dengan yang diterjadi pada hubungan dengan Dewan Pendidikan. Organisasi PGRI sebagai tempat berhimpunnya pegawai yang berprofesi sebagai guru, juga dilibatkan dan diberi hak untuk memberi masukan terhadap perumusan dan pelaksanaan kebijakan

302

dan program inovasi pelayanan pendidikan. Biasanya pelibatan PGRI diwakili oleh unsur ketua dalam mengikuti pertemuan guna membahas proses pelaksanaan program-program agar dapat berlangsung efektif dan tepat sasaran. Apalagi komponen guru dalam dunia pendidikan terutama di sekolahsekolah adalah aktor utama dan mereka yang paling memahami bagaimana proses pendidikan terutama belajar-mengajar itu berlangsung. Perguruan tinggi adalah salah satu stakeholder pendidikan yang secara empirik selama ini sudah diajak dan diundang oleh pihak pemerintah daerah dan DPRD dalam merumuskan kebijakan dan progran inovasi pendidikan di kabupaten Gowa. Pihak perguruan tinggi yang sudah terlibat diantaranya adalah UNHAS dan UNM Makasaar dan bahkan juga melibatkan perguruan tinggi dari luar seperti UM Malang. Mereka ini dilibatkan dalam rangka memberikan kontribusi konseptual menyangkut kebijakan dan program yang strategis dan inovatif dalam penyelenggaraan pendidikan, sebagaimana yang sedang dikembangkan oleh pemerintah daerah. Selain secara organisasi universitas tersebut dilibatkan, tetapi juga secara individual, beberapa akademisi ditunjuk sebagai anggota atau staf ahli bidang pengembangan sumberdaya manusia oleh pemerintah daerah. Salah satu wujud dari kesadaran pemerintah daerah tentang pentingnya jaringan dengan kelompok akademisi dan perguruan tinggi adalah pemerintah daerah kabupaten Gowa telah membentuk kelompok pakar pendidikan yang disebut Dewan Pakar Pendidikan. Dewan Pakar Pendidikan ini ditunjuk berdasarkan Peraturan Bupati Gowa No. 173/I/2012 tentang Susunan Dewan Pakar Pendidikan Kabupaten Gowa. Mereka yang berasal dari UNHAS, UNM, dan UM Malang. Salah satu diantara anggota Dewan Pakar Pendidikan tersebut adalah Dr. Salam, M.Pd, akademisi yang berasal dari UNM. Fungsi dan fungsi

303

yang diamanatkan kepada dewan pakar pendidikan ini meliputi: (1) membantu merencanakan dan menyusun kebijakan dan program inovatif di bidang pendidikan; (2) melakukan bimbingan (supervisi) terhadap pelaksanaan kebijakan dan program inovatif di bidang pendidikan; (3) melakukan evaluasi terhadap seluruh proses implementasi kebijakan dan program inovasi yang telah direncanakan; dan selanjutnya hasil dari seluruh pelaksanaan tugas dan fungsi dewan pakar pendidikan ini dikkordinasikan dan dilaporkan kepada Bupati. Selanjutnya kapasitas jaringan pemerintah daerah dengan pihak pengusaha dan rekanan pihak ketiga (swasta). Jaringan pemerintah daerah dengan pihak pengusaha dan rekanan pihak swasta pada dasarnya sudah berlangsung lama. Tidak hanya ketika pengembangan program inovasi pendidikan ini berlangsung, tetapi jauh sebelumnya, pengusaha dan rekanan dari pihak ketiga ini sudah terbentuk jaringan kemitraan dengan pihak SKPD terkait dalam lingkup pemerintah kabupaten Gowa untuk pelaksanaan proyekproyek tertentu. Meskipun demikian sifat dan jenis jaringan kemitraan pada kenyataannya bisa berbeda-beda. Hal ini tergantung pada jenis pekerjaan itu sendiri dan sifat proyek pemerintah daerah yang hendak dilaksanakan. Di antara empat jenis kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan sebagaimana sudah dideskripkan sebelumnya, keterlibatan secara langsung dari pihak ketiga atau rekanan swasta yang nampak sangat menonjol adalah pada program inovasi pengembangan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP). Pihak ketiga atau rekanan swasta yang menjadi mitra pada program inovasi ini tidak hadir begitu saja, tetapi melalui proses tender sebagaimana biasanya dalam pengadaan barang/jasa. Setelah melalui proses tender tersebut maka terpilihlah pihak rekanan swasta yang menjadi mitra kerjasama pada

304

pengembangan PDEP ini yakni I-Solution. Rekanan I-Solution ini adalah sebuah perusahaan swasta yang juga telah lama menjadi mitra usaha dari PT. Telkom. Perusahaan rekanan I-Solution tersebut selain memiliki kompetensi dan profesional dalam pengadaan barang/jasa yang berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi, juga memiliki kompentensi dalam pengembangan metode pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi yakni audio visual atau cinema education. Disamping itu I-Solution juga menjadi konsultan pada kegiatan yang berhubungan dengan metode pembelajaran berbasi teknologi informasi. Selanjutnya, akan dideskripsikan bagaimana kapasitas jaringan inovasi antara pemerintah daerah dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, terutama LSM-LSM lokal yang fokus dan konsen terhadap kebijakan dan pelayanan pendidikan di kabupaten Gowa. Kelompok LSM lokal yang selama ini bermitra dengan pemerintah daerah antara lain: The Gowa Center, Yayasan Baruga Cipta, Wakil, dan Yayasan Kesejahteraan Gowata. LSM-LSM lokal ini bekerja

dan

menjadi

mitra

lokal

dari

Program

Australian

Community

Development and Civil Sociaty Strengthening Sceme (ACCESS). Dimana salah satu daerah sasaran dari program ACCESS tersebut adalah kabupaten Gowa. Jika melihat eksistensi jaringan pemerintah daerah dengan kelompok LSM lokal tersebut nampaknya keterlibatan kelompok LSM lokal dalam mendorong pelaksanaan kebijakan dan program inovasi pelayanan pendidikan tidak begitu menonjol. Berdasarkan observasi peneliti dilapangan, kelompok LSM lokal tidak secara khusus diajak bermitra oleh pemerintah daerah (Dispora). Mereka tidak terlibat secara teknis operasional dalam proses pelaksanaan program-program inovasi yang dimaksud. Namun demikian, secara umum kelompok LSM lokal sudah sejak lama yakni tepatnya di awal periode pertama

305

kepemimpin Bupati Ichsan Yasin Limpo, kelompok LSM yang berkantor di daerah Gowa tersebut ditunjuk sebagai mitra pemerintah daerah dan DPRD. Fungsi kelompok LSM tersebut adalah untuk ikut melakukan fungsi monitoring dan kontrol terhadap jalannnya pemerintahan dan realisasi program-program pembangunan daerah. Mereka dilibatkan untuk memastikan apakah realisasi program kerja pemerintah daerah

dan penggunaan anggaran berjalan

sebagaimana yang sudah ditetapkan melalui peraturan daerah tentang APBD kabupaten Gowa. Simpulan utama dari deskripsi kapasitas jaringan inovasi pemerintah daerah yang diungkapkan di atas meliputi: pertama bahwa pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan dan progam inovasi urusan pendidikan telah berusaha membangun jaringan dengan berbagai stakeholder, baik dengan stakeholder’s internal pemerintahan daerah seperti DPRD, antar SKPD, dan pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi), maupun membangun kemitraan dengan stakeholder’s eksternal pemerintahan daerah seperti Dewan Pendidikan, Komite Sekolah, Perguruan Tinggi (UNHAS, UNM, dan UM Malang), PGRI, rekanan pihak swasta (I-Solution), dan LSM-LSM lokal. Kedua, kapasitas jaringan dalam pelaksanaan inovasi bidang pendidikan memiliki beberapa variasi yang berbeda-beda. Jaringan yang terbangun secara internal pemerintahan daerah nampaknya memiliki sifat yang lebih kuat karena jaringan itu berfungsi sejak pada tahap perencanaan sampai pada proses implementasi dari sebuah kebijakan dan program inovasi. Berbeda dengan jaringan inovasi dengan pihak stakeholder’s eksternal, kebanyakan dari pihak stakeholder’s tersebut hanya dilibatkan disaat proses implementasi dan pengawasan berlangsung.

306

Simpulan yang terakhir, adalah bahwa nampaknya membangun jaringan dalam memperkuat kapasitas berinovasi dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan belum terwujud secara efektif. Terutama fakta ini dapat dilihat pada jaringan dengan stakeholder’s eksternal pemerintahan, dimana hasil penelitian menunjukkan keterlibatan mereka dalam penyelenggaraan urusan pendidikan masih sangat terbatas. Selanjutnya pada bagian berikut ini akan diuraikan bagaimana kapasitas regulasi daerah dalam mendukung budaya inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. (e) Kapasitas Regulasi Pendukung Budaya Inovasi Pada bagian ini, diuraikan gambaran tentang kapasitas regulasi daerah yang telah ditersedia dan dilaksanakan di kapubaten Gowa untuk mendukung pelaksanaan kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan. Kapasitas regulasi yang dimaksud berkaitan dengan jenis regulasi seperti regulasi yang mengatur tentang bagaimana sistem berbagi pengetahuan, regulasi tentang sistem penghargaan (reward dan punishment), dan juga bagaimana dengan sistem evaluasi yang dilakukan terhadap para penyelenggara atau pegawai pemerintah daerah yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan program inovasi yang dimaksud. Berdasarkan

hasil

penelusuran

dokumensi

pemerintah

daerah

dilapangan, peneliti menemukan bahwa jenis regulasi yang bersifat mengatur bagaimana program-program inovasi bidang pendidikan dilaksanakan hanya terdapat 3 (tiga) jenis yakni: (1) Perda Kabupaten Gowa No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis; (2) Perda Kabupaten Gowa No. 10 tentang Wajib Belajar; dan (3) Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis. Sementara jenis regulasi yang bersifat mengurus hanya ada 2 (dua) jenis yakni: (1) Keputusan Bupati Gowa No. 288/VIII/2011

307

tentang Penetapan Sekolah Penerima Progam Punggawa D’Emba Education; dan (2) Keputusan Bupati Gowa No. 173/I/2012 tentang Susunan Dewan Pakar Pendidikan. Kelima jenis regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah baik yang sifatnya mengatur maupun yang mengurus nampaknya belum menyentuh secara spesifik aspek teknis operasional bagaimana program-program inovasi itu terlaksana dilapangan. Pada temuan peneliti tersebut diatas terdapat 2 (dua) regulasi yang bersifat pengurusan yakni Keputusan Bupati tentang pelaksanaan program Punggawa D’Emba Education dan pembentukan Dewan Pakar Pendidikan. Kedua jenis regulasi tersebut menunjukkan sekaligus mempertegas bahwa pemerintah daerah telah melibatkan pihak eksternal khususnya perguruan tinggi untuk mendukung program-program inovasi pendidikan di Gowa. Pada disisi lain, nampaknya tidak ditemukan adanya regulasi yang secara khusus mengatur sistem bagaimana berbagi atau penyebaran pengetahuan dan keterampilan (dissemination system of the knowledge and skill) bagi sesama pegawai dalam penyelenggaraan program tertentu. Serta belum ada pula aturan khusus tentang sistem pemberian penghargaan (reward) bagi aparatur pelaksana yang memiliki prestasi dalam penyelenggaraan program inovasi tersebut. Demikian halnya dalam sistem evaluasi, peneliti juga tidak menemukan adanya aturan khusus tentang bagaimana sistem evaluasi terhadap personil pelaksana programprogram inovasi bidang pendidikan. Keterbatasan regulasi baik yang berfungsi untuk mengatur (perda dan perbup) maupun regulasi yang berfungsi mengurus pelaksanaan programprogram inovasi bidang pendidikan ini diakui oleh beberapa informan yang peneliti temui. Misalnya penyataan dari informan Sekretaris Dispora, Bapak SpM, yang menyampaikan bahwa:

308

…..karena pada umumnya pegawai-pegawai yang terlibat secara langsung terhadap teknis dan operasionalisasi dari program inovasi bidang pendidikan, misalnya program Punggawa D’Emba Education sudah diberikan diklat khusus, maka secara khusus tentang bagaimana membagi pengetahuan dan keterampilan antar pegawai dalam unit kegiatan tertentu itu memang belum ada aturan khususnya. Tetapi hanya berlangsung biasa saja tanpa pedoman tertentu. Misalnya bagi pegawai yang lebih senior dan berpengalaman, yang telah ikut diklat biasanya memberitahu dan memberi contoh pada pegawai lainnya. Mengenai sistem penghargaan terhadap pegawai yang berkinerja baik, kita tentu memberi penghargaan secara rutin setiap tahunnya tapi hal ini tidak diatur secara khusus jika reward itu hanya untuk pegawai yang memiliki kemampuan berinovasi….(Wawancara, 2 Oktober 2013) Jika menyimak penuturan dari informan Bapak SpM, terkait dengan kapasitas regulasi dalam mendorong pelaksanaan program-program inovasi bidang pendidikan, nampaknya sejalan dengan apa yang ditemukan peneliti pada saat observasi lapangan dan menelusuri dokumen regulasi pemerintah daerah. Dengan adanya temuan dari hasil observasi, penelusuran dokumen regulasi dan keterangan yang disampaikan oleh salah seorang informan sebagaimana telah didekripsikan diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa: pertama, regulasi yang bersifat pengaturan hanya terdapat 3 (tiga) jenis yakni perda tentang pendidikan gratis, perda tentang wajib belajar dan perbup tentang pelaksanaan perda pendidikan gratis, sementara regulasi yang berisifat pengurusan hanya terdapat 2 (dua) jenis yakni keputusan bupati tentang penerapan program Punggawa D’Emba Education dan keputusan bupati tentang pembentukan dewan pakar pendidikan yang melibatkan unsur akademisi dari beberapa perguruan tinggi terdekat. Kedua, belum adanya regulasi yang menjadi pedoman secara teknis operasional tentang bagaimana berlangsungnya pelaksanaan program-program inovasi. Sehingga fakta ini menunjukkan belum adanya format standar operasional yang lebih rinci terhadap pelaksanaan program.

309

Simpulan yang ketiga, bahwa membangun tradisi berbagi pengetahuan dan keterampilan di antara pegawai belum juga kelihatan secara konkrit. Demikian halnya, tradisi pemberian penghargaan terhadap pejabat dan pegawai yang berprestasi, bentuk apresiasinya belum juga diatus secara baku. Tetapi pejabat dan pegawai yang berkinerja tinggi tetap dijadikan pertimbangan sebagai syarat untuk kenaikan pangkat dan untuk promosi pada jabatan-jabatan tertentu bagi pegawai yang bersangkutan. Deskripsi hasil penelitian tentang kapasitas regulasi yang mendukung budaya inovasi ini menjadi bagian akhir dari penyajian secara empirik penelitian tentang penyelenggaraan inovasi pemerintahan bidang (urusan) pendidikan. Selanjutnya pada bagian berikut ini disajikan gambaran sederhana dalam bentuk model empirik (existing model) dari keseluruhan proses inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan (bidang) pendidikan di Kabupaten Gowa.

5.1.4 Model Empirik (Existing Model) Inovasi Pemerintahan Daerah dalam Urusan Pendidikan Proses Pengembangan inovasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam penyelenggaraan urusan pendidikan tentu memiliki model empirik tersendiri.

Berdasarkan

fakta

dari

hasil

penelitian

sebagaimana

telah

dideskripsikan di atas, menunjukkan bahwa pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan tidak terlepas dari konteks kebijakan desentralisasi yang telah berlangsung kurang lebih satu dekade. Dalam hal inilah peneliti berusaha membangun sebuah model yang dimaksudkan sebagai gambaran sederhana atas

fakta

dari

pengembangan

inovasi

pemerintahan

daerah

penyelenggaraan urusan pendidikan yang telah berlangsung selama ini.

dalam

310

Pada dasarnya terdapat tiga masalah mendasar dunia pendidikan di Kabupaten Gowa, yakni (1) aspek aksesibilitas yakni terjadinya ketimpangan akses pendidikan bagi masyarakat daerah pinggiran (pegunungan) dibanding dengan daerah perkotaan; (2) aspek pembiayaan yakni terciptanya pola pungutan pendidikan; dan (3) aspek kualitas yakni keterbatasan tenaga pendidik yang kompeten. Masalah-masalah inilah yang menjadi gejala utama penyebab rendahnya IPM Kabupaten Gowa. Masalah utama lainnya adalah tingginya angka buta aksara dan angka putus sekolah. Fenomena yang disebutkan tersebut sudah eksis sekitar 10 tahun yang lalu dan menjadi pemicu utama sehingga pemerintah daerah ketika itu mengambil langkah-langkah terobosan untuk mengatasinya. Model empirik (existing model) yang dikonstruksi pada bagian ini tentu saja mengacu pada masalah penelitian dan fokus penelitian yang telah dikembangkan sebelumnya, yakni meliputi (1) bagaimana proses pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan; (2) bagaimana jenisjenis program inovasi yang telah dikembangkan dalam urusan pendidikan; dan (3) bagaimana kapasitas pemerintahan daerah dalam mengembangan kebijakan dan program inovasi dalam urusan pendidikan. Untuk itu, berikut ini akan digambarkan model inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan berdasarkan pada fakta lapangan hasil penelitian (das sein). Fokus pertama yang berhubungan dengan proses pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan. Berdasarkan deskripsi tentang bagaimana proses pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan atau pelayanan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, maka dapat dilihat dalam dua tahapan proses yaitu proses politik dan proses manajerial. Pertama yakni proses politik, yang secara normatif dalam

311

penyelenggaraan pemerintahan daerah disebut juga sebagai mekanisme menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (Perda) atau dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi disebut kewenangan fungsi mengatur. Di mana kewenangan fungsi mengatur ini dalam prakteknya melekat pada institusi Kepala Daerah dan DPRD yang dipilih melalui mekanisme pemilihan (election). Terkait dengan hal ini, berdasarkan hasil penelitian lapangan, nampaknya mekanisme proses politik dalam pengembangan kebijakan dan program inovasi urusan pendidikan belum sepenuhnya berlangsung secara demokratis, transparan, dan melibatkan banyak stakeholders pendidikan pada tingkat lokal. Mekanisme proses politik dalam pembentukan peraturan daerah (fungsi mengatur) masih berlangsung seperti biasanya. Proses pembahasan mengenai pengaturan tentang pengembangan inovasi pendidikan yang kemudian dituangkan dalam rencana program kerja daerah masih didominasi oleh pihak pemerintah daerah dalam hal ini pihak Dispora sebagai leading sector dan pihak komisi bidang pendidikan dalam lembaga DPRD. Atas dasar kenyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, meskipun proses pembahasan yang dilakukan terkait dengan program-program inovasi dalam urusan pendidikan (SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP dan Satgas Pendidikan), namun prakteknya pembentukan dasar hukum pengaturannya belum sepenuhnya inovatif. Tahapan kedua dalam proses pengembangan inovasi urusan pendidikan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa adalah pengembangan yang disebut proses manajerial. Dalam proses manajerial ini Bupati sebagai Kepala Pemerintahan dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan pendidikan dibantu oleh instrumen perangkat daerah yakni Dinas Pendidikan dan Pemuda Olah Raga (Dispora) dan UPTD terkait (Satuan Pendidikan). Dalam konteks ini, posisi Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat

312

melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap seluruh program dan kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana fakta yang tergambar dari penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsifungsi manajerial dan operasional yang diperankan oleh Dispora khusunya Bidang yang berkaitan dengan urusan pendidikan tampak di dalam pelaksanaan program SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan. Dalam proses manajerial pengembangan program inovasi urusan pendidikan ini, nampaknya belum juga sepenuhnya memiliki nilai inovasi yang kuat (lemah). Hal ini nampak dari proses implementasi kebijakan dan program dilapangan yang masih lebih mengandalkan sumberdaya aparatur internal pemerintah daerah sendiri. Pada fokus penelitian kedua yang berkaitan dengan bagaimana pengembangan jenis-jenis program inovasi dalam urusan pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa. Di bawah kepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo yang tampil sebagai inisiator utama mencanangkan program pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) dan program Pendidikan Gratis. Pengembangan program SPAS ini dimaksudkan untuk mengurangi tingginya angka jumlah buta aksara ketika itu. Sedangkan program Pendidikan Gratis adalah bentuk pembebasan biaya sekolah bagi murid sekolah tingkatan SD (sederajat) sampai tingkatan SMA (sederajat) yang bertujuan untuk menjamin agar semua anak yang sudah masuk kategori anak usia sekolah memiliki akses yang sama terhadap dunia pendidikan. Selain kebijakan dalam bentuk pengembangan SPAS dan Program Pendidikan Gratis tersebut, pemerintah daerah juga mengembangkan program yang disebut Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) dan kebijakan pembentukan

Satuan

Polisi

(Satgas)

Pendidikan.

Kedua

kebijakan

ini

313

dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas output lulusan melalui peningkatan kualitas proses pembelajaran dan meningkatkan kedisiplinan para murid/siswa dan guru-guru disetiap sekolah. Langkah terobosan yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa melalui kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan, yang meliputi: (1) Pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS); (2) Program Pendidikan Gratis; (3) Program Punggawa D’Emba Education Program (PDEP); dan (4) Pembentukan Satgas pendidikan, yang menjadikan pemerintah daerah mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Apresiasi yang diterima oleh pemerintah daerah ini tidak hanya berasal dari pihak pemerintah (pusat) saja tetapi juga berasal dari pihak non pemerintah. Apresiasi dari pihak pemerintah (pusat) berupa penghargaan, yakni (1) Aksara Anugrah Pratama Tahun 2005; (2) Aksara Anugrah Madyah Tahun 2006; (3) Aksara Anugrah Pratama Tahun 2007; dan (4) Satya Lencana Pendidikan Tahun 2007. Sementara apresiasi yang bersumber dari pihak non pemerintah adalah pemberian Otonomi Award dari lembaga yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO). Lembaga FIPO ini adalah lembaga independen yang didirikan oleh perusahaan penerbit media lokal yang bernama Harian Fajar pada tanggal 16 Juni 2008 di Makassar. Lembaga ini fokus dan berkomitmen pada kemajuan otonomi daerah, sehingga secara intensif melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena itu FIPO mengambil inisiatif dan peranan untuk mendorong pemerintah kabupaten dan kota untuk berinovasi dalam ranah (1) pelayanan publik; (2) pengembangan ekonomi; (3) performa politik lokal, dan (4) lingkungan hidup. Keempat ranah pilar inilah yang dijadikan sebagai indikator parameter untuk menilai kemajuan pelaksanaan otonomi daerah di Sulawesi Selatan. Hingga saat ini, setiap tahun kepada daerah otonom

314

kabupaten dan kota yang memiliki kinerja terbaik pada setiap indikator parameter tersebut telah diberikan apresiasi tertinggi bernama Otonomi Award. Pemerintah daerah Kabupaten Gowa secara berturut-turut pada tahun 2009 dan 2010 berhasil mendapatkan prestasi tertinggi dari FIPO dalam ranah pelayanan publik bidang pendidikan. FIPO memberikan penghargaan Otonomi Award kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa dalam kategori Grand Award Pelayanan Publik bidang pendidikan. Penghargaan ini dinilai layak diberikan karena berdasarkan kajian FIPO melalui penilaian terhadap tingkat inovasi program, survei publik terhadap program, dan existing data terkait program, maka Kabupaten Gowa memperoleh nilai tertinggi di antara derahdaerah yang masuk nominasi. Dengan demikian daerah ini dianggap berhasil dalam meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan dengan berbagai kebijakan dan program inovatif yang telah dilakukan dalam bidang pendidikan. Setelah digambarkan secara singkat bagaimana predikat inovasi itu didapatkan oleh Kabupaten Gowa. Selanjutnya penulis menguraikan bagaimana pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan tersebut berlangsung. Uraian singkat ini tentu saja berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah dalam konteks penerapan desentralisasi di Indonesia. Di mana dalam sistem pemerintahan daerah yang menganut model desentralisasi diakui selalu ada ruang kreativitas bagi daerah untuk berinovasi. Termasuk berinovasi dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan menurut preferensi dan kebutuhan masyarakat lokal (local needs). Seperti yang disebutkan diawal, bahwasanya ide dan gagasan kebijakan dan program inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan pada mulanya diinisiasi oleh Bupati Ichsan Yasin Limpo. Bupati sebagai kepala daerah dan kepala kepemerintahan tentu di dalam setiap langkahnya dan proses

315

pengambilan keputusan-keputusan strategis harus melalui mekanisme politik. Mekanisme politik ini terkait dengan keberadaan institusi perwakilan rakyat daerah yakni DPRD. Bupati sebagai Kepala Daerah dan DPRD adalah organ penyelanggara pemerintahan daerah, sebagaimana secara normatif di atur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Mekanisme politik ini jamak dilakukan oleh setiap daerah, termasuk yang dilaksanakan oleh Bupati dan DPRD Gowa dalam rangka pembahasan rencana program kerja tahunan pemerintah daerah, khusunya terkait dengan pengalokasian anggaran masingmasing program. Terkait dengan hal di atas, Bupati sebagai Kepala Pemerintahan dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan pendidikan dibantu oleh instrumen perangkat daerah yakni Dinas Pendidikan dan Pemuda Olah Raga (Dispora) dan UPTD terkait (Satuan Pendidikan). Dalam konteks ini, posisi Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat melaksanakan fungsifungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap seluruh program dan kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana fakta yang tergambar dari penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsi-fungsi manajerial dan operasional yang diperankan oleh Dispora khusunya Bidang yang berkaitan dengan urusan pendidikan tampak di dalam pelaksanaan program SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan. Fakta-fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa kesuksesan dan kegagalan implementasi program inovasi urusan pendidikan sangat ditentukan pula oleh fungsi-fungsi yang berhubungan dengan teknis operasional yang diemban oleh sekolah sebagai unit terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tidak hanya berpredikat sebagai obyek (sasaran program) tetapi juga sebagai subyek (pelaku) dari pelaksanaan program inovasi urusan pendidikan

316

yang dimaksud. Sekolah dengan seluruh sumber daya di dalamnya merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai maksud dan tujuan kebijakan dan program inovasi yang telah direncanakan. Fokus penelitian yang ketiga yakni berkaitan dengan kemampuan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam mengembangkan program inovasi dalam urusan pendidikan. Berdasarkan fakta dan temuan penelitian, penulis berhasil merangkum beberapa kapasitas yang dimiliki pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam rangka mengembangkan kebijakan dan program inovasi dalam urusan pendidikan. Kapasitas pemerintahan daerah yang dimaksud antara lain, yakni (1) kapasitas kepemimpinan inovatif; (2) kapasitas aparatur pelaksana program inovatid; (3) kapasitas ketercukupan anggaran untuk program inovasi; (4) kapasitas jaringan (networking) pemerintahan daerah dalam mendukung program inovasi; dan (5) kapasitas yang berkaitan dengan tersedianya regulasi, baik yang bersifat mengatur maupun yang bersifat mengurus pengembangan program inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Berdasarkan fakta dan data penelitian, menunjukkan bahwa kapasitas kepemimpinan Kepala Daerah dalam konteks ini Bupati Ichsan Yasin Limpo sebagai pemimpin politik tertinggi di daerah dan kapasitas anggaran yang bersumber dari APBD dan APBN sangat menonjol dan memiliki posisi strategis jika dibandingkan dengan jenis kapasitas yang lainnya. Kedua kapasitas tersebut, baik keberadaan Bupati Gowa maupun besarnya anggaran yang digelontorkan pada setiap tahunnya sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan implementasi program-program inovasi dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Kondisi ini tentu saja menjadi catatan tersendiri dari temuan

317

hasil penelitan ini, terutama yang berhubungan dengan kapasitas inovasi pemerintahan daerah. Secara empirik, masih ditemukan pula beberapa faktor penghambat pengembangan program inovasi penyelenggaraan ursan pendidikan. Beberapa yang faktor yang paling menonjol adalah terkait faktor ketersediaan tim kerja aparatur pemda yang belum berkualitas dan profesional dalam mengurus program inovasi. Tim kerja nampaknya belum memiliki keterampilan dan pengetahuan yang memadai untuk melaksanakan program inovasi secara maksimal. Padahal mereka pada dasarnya sudah mengikuti diklat aparatur secara regular dan juga sudah ada pelatihan khusus untuk pengembangan program Punggawa D’Emba Education, namun hal ini dinilai belum cukup. Selain itu, ketersediaan regulasi juga masih dinilai masih belum optimal. Regulasi masih sangat terbatas, yang ada hanya mengatur kebijakan dan program kerja bidang pendidikan seperti wajib belajar dan pendidikan gratis secara umum. Belum ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan. Padahal ini sangat diperlukan demi menjamin keberlanjutan program inovasi. Dalam rangka mempermudah memahami bagaimana pengembangan inovasi pemerintahan dalam penyelenggaran urusan pendidikan di Kabupaten Gowa, maka berikut ini ditampilkan Gambar 22 tentang kerangka kerja dari model empirik (existing model) pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan.

318 LATAR BELAKANG: Fonomena Utama:  Aksesibiitas Masih Lemah  Biaya Pendidikan Tinggi  Kualitas Pembelajaran Masih Rendah

URUSAN WAJIB PENDIDIKAN UU No. 32/2004 & UU No. 23/2014

Akibatnya:  ABA tinggi yakni: 2005 (22%), 2010 (18,09%,) & 2013 (16,39)

 Indeks pendidikan rendah yakni:

2010 (69,79) & 2013 ( 71,78)  IPM rendah yakni: 2005 (67,42/16), 2010 (70,67/15) & 2013 (72,12/15)

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM URUSAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN GOWA TIPOLOGI PROGRAM INOVASI  Terdapat 4 program inovasi yakni Sanggar Pendidikan Anak Saleh/SPAS (2006), Pendidikan Gratis (2008), Punggawa D’Emba Education (2009), Satgas Pendidikan (2009).  Level program inovasi bersifat inkremental atau komplementer terhadap program pemerintahan Provinsi/Pusat.  Semua program inovasi hasil studi banding pemda dan diadopsi dengan strategi reflikasi (tiruan) terhadap program yang mirip di daerah lain dengan tetap memperhatikan karakterisitik kebutuhan konteks lokal  Program inovasi urusan pendidikan sudah berdam-pak nyata bagi meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan (sekolah) & kualitas pembelajaran makin baik pula dan buktinya ABA semakin berkurang, indeks pendidikan & IPM Gowa meningkat

PROSES PENGEMBANGAN PROGRAM INOVASI  Proses pengembangan program inovasi urusan pendidkan melalui 2 tahap menurut kewenangan daerah yakni proses politik (mengatur) & proses manajerial (mengurus)  Proses politik (mengatur) yakni pembentukan Perda Program Inovasi oleh Bupati Gowa yg lbh banyak diwakili oleh SKPD Dinas Pendidikan bersama DPRD, kurang melibatkan stakeholders pendidikan secara maksimal (Dewan Pendidikan, Organisasi Lokal, LSM, PT)  Proses manajerial (mengurus) yakni implementasi Perda Program Inovasi termasuk operasionalisasi dilaksanakan sepenuhnya oleh SKPD Pendidikan, UPTD, & Sekolah.

FAKTOR PENGHAMBAT PROGRAM INOVASI

Kapasitas aparatur pelaksana belum optimal, meski ada Diklat regular & kompetensi aparatur khusus program inovasi Kapasitas regulasi yang mengatur secara operasional & teknis belum tersedia meski telah ada regulasi bersifat umum (Perda Pendidikan Gratis & Wajib Belajar)

KAPASITAS INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH  Ada tiga unsur kapasitas inovasi mendukung pengembangan program inovasi: Kapasitas Kepemimpinan Bupati sangat dominan (komitmen politik) sebagai adaptor/inisiator innovasi Program inovasi memiliki ketergantungan tinggi terhadap kapasitas anggaran (APBD dan APBN) Kapasitas jaringan internal Pemda dan DPRD, Pemda Gowa & Provinsi Sulsel sangat kuat mendukung program inovasi urusan pendidikan.

PENGEMBANGAN PROGRAM INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH BELUM EFEKTIF, EFISIEN & PROFESIONAL

Gambar 22: Model Empirik (Existing Model) Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

319

5.2 Pembahasan Hasil Penelitian Pembahasan pada bagian ini tentu dilakukan dengan tetap konsisten dan mengacu pada pertanyaan dan fokus penelitian sebagaimana telah dirumuskan pada Bab I dan IV, yakni: (1) proses pengembangan program inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendididkan; (2) tipologi program inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan; (3) kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan; dan yang terakhir (4) yakni membangun model ideal tentang inovasi pemerintahan daerah yang selanjutnya dijadikan sebagai model rekomendasi (recommended model) dalam penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Selain analisis pembahasan hasil penelitian yang mengarah pada fokus penelitian sebelumnya, pada bagian ini juga dibangun proposisi penelitian, baik proposisi minor maupun mayor. Proposisi-proposisi yang terumuskan tersebut dikonstruksi dari hasil analisis yang mengawinkan antara teori dan konsep inovasi pemerintahan daerah dengan hasil kajian empiris penelitian.

5.2.1

Proses Pengembangan Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan Secara teoritis dipahami secara umum bahwa dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan DPRD sebagai pejabat politik yang dipilih secara demokratis melalui proses election. Dalam kedudukannya sebagai pejabat politik memiliki kekuasaan melaksanakan fungsi pengaturan (policy formulation), yaitu menetapkan inovasi peraturan daerah (Perda) dan perundangundangan lainnya sesuai dengan keinginan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Selanjutnya Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah (local bureaucracy) sebagai pejabat yang diangkat, memiliki kewenangan melaksanakan inovasi

320

fungsi pengurusan (policy implementation) penyelenggaraan pemerintahan secara profesional dengan mengacu pada perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya (Supriyono, 2011). Selanjutnya kebijakan inovatif yang telah ditetapkan diimplementasikan oleh Perangkat Daerah (local bureaucracy) dibawah kendali Kepala Daerah dan Sekretaris Daerah. Dalam hal ini diperlukan kinerja berbagai institusi Perangkat Daerah yang inovatif dalam mengelola urusan pemerintahan, pembangunan, dan layanan publik. Birokrasi yang inovatif ditandai dengan adanya kreativitas, ketrampilan, dan kompetensi profesional untuk melakukan perubahan dalam mengelola urusan pemerintahan yang membawa manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Implementasi kebijakan yang inovatif dalam hal ini dapat diwujudkan jika mengedepankan nilai-nilai kreativitas, efektivitas, dan efisiensi atau nilai-nilai manajerial. Efisiensi yang dimaksud termasuk dalam hal pengelolaan dana dan pemberian insentif. Sekaitan dengan proses inovasi kebijakan ini, Mulgan & Albury (2003) berpandangan bahwa: pertama “Policy innovation is new policy direction and initiatives”. Bermakna bahwa inovasi kebijakan yang dimaksud yakni adanya inisiatif dan arah kebijakan baru. Hal Ini berarti bahwa setiap kebijakan (publik) yang dikeluarkan pada prinsipnya harus memuat sesuatu yang baru. Kedua, Walker (1969) seperti dikutip oleh Suwarno (2008) berpandangan bahwa “Policy innovation is a policy which is new to the states adopting it, no matter how old the program may be or how many other states may have adopted it”. Bermakna bahwa inovasi kebijakan adalah sebuah kebijakan yang baru bagi negara yang mengadopsinya, tanpa melihat seberapa usang programnya atau seberapa banyak negara lain yang telah mengadopsi sebelumnya.

321

Ketiga, “Innovations in the policy-making process”, yakni inovasi dalam proses pembuatan kebijakan fokusnya pada inovasi yang mempengaruhi proses pembuatan atau perumusan kebijakan yang mensyaratkan adanya partisipasi warga.

Oleh

karena

itu

inovasi

yang

muncul

adalah

bagaimana

mengintegrasikan mekanisme partisipasi warga dalam proses perumusan kebijakan. Terakhir, masih menurut Mulgan & Albury (2003) mengaskan bahwa “Policy to foster innovation and its diffusion” yang bermakna bahwa suatu kebijakan dibuat dalam rangka mendorong inovasi dan menyebarkannya ke sektor-sektor dan daerah lain. Proses inovasi penyelenggaraan pemerintahan menurut Roberts (1999) menyatakan proses inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara (daerah), selalu mendapat pengaruh dari tiga arena institusi yang berbeda, yakni (1) innovation by legislative design, bermakna inovasi yang dikembangkan oleh suatu pemerintahan merupakan bagian dari hasil dari proses legislasi yang dirumuskan secara bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD dengan memegang prinsip demokratis; (2) innovation by yudicial design, bermakan bahwa program inovasi yang dilaksakana tentu tidak terlepas dari kontrol aturanaturan hukum yang diciptakan oleh lembaga hukum (lembaga pengadilan); dan (3) innovation by management design, bermakna bahwa inovasi diterapkan berdasarkan dengan fungsi-fungsi dan prinsip-prinsip manajemen yang telah dibuat dengan tujuan inovasi belangsung secara efektif, efisien dan ekonomis. Dengan kata lain, bahwa pada tingkatan operasional, secara teknis suatu kebijakan dan program yang inovatif juga sangat ditentukan oleh kemampuan institusi Perangkat Daerah dalam implementasinya. Menerapkan inovasi di sektor publik tidak dapat sukses begitu saja. Inovasi di sektor publik membutuhkan beberapa persyaratan yang harus

322

mendukung. Watson (1999) menawarkan tiga kondisi persyaratan utama yang semestinya tersedia jika ingin inovasi di sektor publik berlangsung sukses. Ketiga persyaratan tersebut, meliputi: (1) budaya organisasi (organizational culture) yang mendukung dan mendorong lahirnya inovasi; (2) dukungan politik (political support), para administrator membutuhkan dukungan pejabat politik; dan (3) kompetensi administrasi (administrative competence), inovasi yang sukses harus dilakukan melalui kecakapan administratif dalam suatu organisasi. Selain

ketiga

persyaratan

utama

tersebut, Watson

(1999)

juga

menyatakan bahwa lahirnya suatu inovasi dalam pemerintahan biasanya melalui tiga skenario. Skenario pertama, yakni munculnya tindakan inovatif karena adanya respon atau tanggapan terhadap krisis yang terjadi dalam organisasi. Kedua, menghadirkan manajer-manajer publik yang luar biasa dan memiliki dukungan politik yang kuat di dalam organisasi. Skenario ketiga, suatu inovasi lahir hanya dari organisasi yang menyadari dan menangkap adanya peluang untuk melakukannya. Nah, terkait dengan konteks penelitian ini, pada dasarnya pengembangan inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa sudah dimulai sejak tahun 2005 (10 tahun) yang lalu. Ketika itu, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya tiga aspek masalah yang menjadi motivasi dan latar

belakang

munculnya

ide

atau

gagasan

pengembangan

inovasi

penyelenggaraan urusan pendidikan. Ketiga masalah mendasar yang terjadi dalam dunia pendidikan di Kabupaten Gowa, yakni: (1) aspek aksesibilitas yakni terjadinya ketimpangan akses pendidikan bagi masyarakat daerah pinggiran (pegunungan)

jika

dibandingkan

dengan

daerah

perkotaan;

(2)

aspek

pembiayaan yakni terciptanya pola pungutan pendidikan; dan (3) aspek kualitas yakni keterbatasan sarana dan tenaga pendidik yang kompeten. Ketiga masalah

323

tersebutlah yang diyakini oleh pemerintah daerah ketika itu yang menjadi penyebab utama dari fakta berikut, yakni (1) rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Gowa; (2) makin tingginya angka buta aksara; dan (3) makin meningkatnya angka putus sekolah. Berdasarkan pada fenomena dan masalah yang terjadi ketika itu, sebagaimana diuraikan di atas, maka di bawah kepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo untuk periode 2005-2010 tampil sebagai inisiator utama untuk mencanangkan program inovatif yakni pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) dan program Pendidikan Gratis. Pengembangan program SPAS ini dimaksudkan untuk mengurangi tingginya angka jumlah buta aksara ketika itu. Sedangkan program Pendidikan Gratis adalah bentuk pembebasan biaya sekolah bagi murid sekolah tingkatan SD (sederajat) sampai tingkatan SMA (sederajat) yang bertujuan untuk menjamin agar semua anak yang sudah masuk kategori anak usia sekolah memiliki akses yang sama terhadap dunia pendidikan. Selain kebijakan dalam bentuk pengembangan SPAS dan Program Pendidikan Gratis tersebut, pemerintah daerah juga mengembangkan program yang disebut Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) dan kebijakan pembentukan

Satuan

Polisi

(Satgas)

Pendidikan.

Kedua

kebijakan

ini

dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas output lulusan melalui peningkatan kualitas proses pembelajaran dan meningkatkan kedisiplinan para murid/siswa dan guru-guru disetiap sekolah. Dengan demikian berdasarkan temuan penelitian, terdapat empat kebijakan dan program inovasi yang dikembangkan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, yakni (1) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS); (2) Program Pendidikan Gratis; (3) Punggawa D’Emba Education Program (PDEP);

324

dan (4) Satuan Polisi (Satpol) atau Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Keempat kebijakan dan program inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan inilah yang menghantarkan Kabupaten Gowa sebagai daerah otonom mendapat penilaian sebagai daerah yang telah melakukan berbagai terobosan dalam memberikan pelayanan publik kepada warganya. Penilaian ini dilakukan oleh lembaga yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO). Pada tahun 2010, FIPO memberikan penghargaan Fajar Institute Pro Otonomi Award kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa dalam kategori Grand Award Pelayanan Publik. Penghargaan ini dianggap layak diberikan kepada pemerintah daerah Kabupaten Gowa karena berdasarkan penilaian FIPO, dibanding kabupatenkabupaten lainnya di Sulawesi Selatan, daerah ini lebih berhasil dalam meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pelayanan dengan berbagai kebijakan dan program inovatif yang telah dilakukan dalam bidang pendidikan. Kondisi empiris yang melatari lahirnya gagasan untuk melakukan terobosan inovasi dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa, nampaknya sejalan apa yang dikembangkan oleh FIPO setelah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan otonomi daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. FIPO menyimpulkan bahwa terhadap daerah otonom kabupaten/kota, terutama daerah otonom yang mengembangkan inovasi program pembangunan daerah terdapat beberapa kondisi dan tantangan yang memicu suatu pemerintahan daerah melakukan inovasi (Kadir, 2009:19). Beberapa kondisi dan tantangan yang bisa melahirkan inovasi pada tingkat pemerintahan daerah tersebut, antara lain: (1) Inovasi lahir dari inisiatif pemerintah daerah sendiri atas potensi wilayah yang

dimiliki

bersangkutan.

dan

tersedianya

kekuatan

social

capital

di

daerah

325

(2) Inovasi berawal dari permasalahan daerah seperti tingginya angka kemiskinan, lemahnya akses modal bagi usaha kecil, bencana alam, mahalnya biaya pendidikan, biaya kesehatan, malbirokrasi, dan lain-lain. (3) Inovasi didorong oleh implementasi kebijakan dan program pemerintah yang lebih tinggi, baik kebijakan dan program pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat. Tentu saja, pengembangan keempat kebijakan dan program inovasi dalam urusan pendidikan yang mengantar Kabupaten Gowa sebagai daerah penerima Grand Award dalam bidang pelayanan publik tidak lahir dan tidak datang begitu saja. Gagasan dari kebijakan dan program inovasi itu muncul tidak terlepas dari adanya fenomena dan problem yang terjadi dalam dunia pendidikan di Kabupaten Gowa sebagaimana telah diuraikan pada bagian awal sebagai pemicu utama. Tetapi juga sangat dipengaruhi oleh adanya kecenderungan perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yakni penerapan model desentralisasi melalui kebijakan otonomi daerah sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Di era otonomi daerah, menurut Wahab (2002:43) daerah otonom (provinsi, kabupaten/kota) memiliki kewenangan yang semakin luas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Suatu daerah otonom harus berani dan berkemampuan untuk tampil beda (the capacity to create difference) dengan daerah lain. Otonomi daerah menyediakan ruang ”manuver politik” bagi daerah dalam mengekspresikan kebijakan otonominya. Dalam prespektif administrasi publik, ruang yang sangat luas untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola pemerintahan daerah disebut diskresi (discretion). Sejak era reformasi, paling tidak sudah terdapat tiga undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah, yakni UU No. 22 Tahun 1999, UU

326

No. 32 Tahun 2004, dan UU No. 23 Tahun 2014. Ketiga undang-undang pemerintahan daerah ini secara eksplisit menegaskan bahwa penyelenggaraan urusan pendidikan merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang menjadi

kewenangan

presiden

yang

pelaksanaannya

dilakukan

oleh

pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat. Bahkan dalam UU No. 23 Tahun 2014 secara tegas dinyatakan bahwa urusan pendidikan adalah salah satu urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan oleh semua daerah dan merupakan pelayanan publik tingkat dasar karena bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara. Penyelenggaraan urusan pendidikan adalah salah satu diantara fungsifungsi pemerintahan yang berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar dan kesejahteraan masyarakat. Urusan pendidikan merupakan salah satu di antara fungsi-fungsi pemerintahan yang telah diserahkan sepenuhnya oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Penyerahan urusan pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonomi merupakan wujud manifestasi dari penerapan model desentralisasi yang dianut dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia sejak era reformasi. Secara teoritis, desentralisasi pada hakekatnya mengandung dua elemen pokok yang bertalian, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan

secara

hukum

untuk

menangani

bidang-bidang

(urusan)

pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum. Kedua elemen pokok desentralisasi tersebut kemudian melahirkan local government. Dalam konteks ini, local government dapat dimaknai dalam pengertian organ, fungsi dan daerah otonom. Dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah, yakni DPRD (council) dan kepala daerah

327

(mayor), di mana rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan (elected officials). Dalam pengertian fungsi, local govenment bermakna pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sedangkan makna dalam pengertian daerah otonom yakni bahwa pembentukan daerah otonom yang secara simultan merupakan kelahiran status otonomi berdasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif masyarakat yang berada dalam wilayah tertentu (Hoessein, 2000:10 & Muluk, 2007:9). Jika mengacu pada perspektif teori desentralisasi di atas, maka proses pengembangan inovasi urusan pendidikan harus dimaknai sebagai bagian dari pelaksanaan kekuasaan atau kewenangan mengatur (policy formulation) dan kewenangan mengurus (policy executing) bidang pendidikan yang di atur dalam pasal 7 ayat (2) point (a), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

antara

Pemerintah,

Pemerintahan

Daerah

Provinsi,

dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Dengan demikian kewenangan fungsi mengatur (policy formulation function) terhadap urusan pendidikan berada pada Kepala Daerah (Bupati) dan lembaga DPRD dan kewenangan fungsi mengurus (policy implementation function) dilaksanakan oleh Kepala Daerah (Bupati) dan Perangkat Daerah (birokrasi daerah otonom). Dalam pelaksanan fungsi mengurus mengenai urusan pendidikan ini, perangkat daerah yang terkait adalah Dinas Pendidikan dan UPT penyelenggara urusan pendidikan. Dalam konteks ini, maka proses pengembangan inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Gowa bisa dimaknai bahwa kewenangan mengatur dengan cara merumuskan kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati menjadi kewenangan Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sebagai Kepal Daerah dan lembaga DPRD sebagai lembaga representasi politik

328

masyarakat. Sementara itu, kewenangan mengurus melalui implementasi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati menjadi kewenangan Bupati sebagai Kepala Pemerintahan dan Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dispora) sebagai birokrasi daerah otonom. Adanya kewenangan mengatur dan mengurus yang begitu luas dalam proses pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa, membenarkan dan memperkuat alasan rasional mengapa sebuah negara memilih model desentralisasi. Sebagaimana dikembangkan oleh Rondinelli dan Cheema (1983:13), yang menyatakan bahwa desentralisasi menjadi pilihan rasional karena beberapa alasan. Sejumlah alasan rasional yang dikembangkan oleh oleh Rondinelli dan Cheema (1983), yang relevansinya sangat kuat dengan praktek pengembangan inovasi ururusan pendidikan di Kabupaten Gowa, antara lain dikatakan bahwa pemerintah pusat seringkali memiliki keterbatasan dalam menyusun kesesuaian rencana program pembangunan dengan kebutuhan masyarakat lokal. Melalui desentralisasi ada kesempatan bagi pejabat lokal untuk mengembangkan kemampuan manajerial dan teknisnya. Rondinelli dan Cheema (1983) juga menyatakan bahwa desentralisasi memungkinkan

koordinasi

yang

lebih

efektif

antara

pemerintah

pusat,

pemerintah lokal, dan organisasi nonpemerintah (NGO) untuk lebih fleksibel, inovatif dan kreatif dalam membuat kebijakan-kebijakan dan program-program baru dengan melokalisir pada tempat-tempat tertentu. Menjadi alternatif pembuatan keputusan, karena pemerintah pusat seringkali tidak sensitif terhadap kebutuhan kelompok masyarakat miskin. Menghasilkan fleksibel, inovatif dan kreatif dalam pemerintahan. Unit-unit pemerintahan dapat secara leluasa melakukan inovasi dan bereksperimen dalam berbagai kebijakan dan program.

329

Alasan rasional yang terakhir adalah bahwa desentralisasi dapat meningkatkan sejumlah efisiensi dalam penyediaan pelayanan dan barang publik (public goods and services). Analisis terhadap praktek inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan bisa juga dilihat dari sudut pandang perencanaan pembangunan daerah. Dalam sistem perencanaan pembangunan daerah, kebijakan dan program inovasi seperti SPAS, Program Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education Program (PDEP), dan Satgas Pendidikan dapat diposisikan sebagai bagian dari rencana pembangunan daerah Kabupaten Gowa. Berdasarkan data temuan penelitian keempat program inovasi tersebut merupakan penjabaran dari prioritas program pembangunan yang dinyatakan dalam dokumen RPJMD 20010-2015. Untuk memahami lebih jauh bagaimana komitmen dan keberpihakan pemerintah daerah dalam mendorong kebijakan dan program inovasi dalam urusan pendidikan dapat dilihat dalam pernyataan Visi dan Misi sebagaimana tertuang dalam RPJMD suatu daerah. Dalam RPJMD (2010-2015) Kabupaten Gowa, Visi yang ingin dicapai adalah “Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan”. Makna dari frase “Gowa yang handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat” adalah bahwa Kabupaten Gowa dengan segenap potensi dan sumber daya yang berdaya saing kuat, bercita-cita menempatkan diri sebagai daerah yang handal dalam peningkatan kualitas kesehatan dan mutu pendidikan masyarakat serta peningkatan daya beli masyarakat. Visi daerah Kabupaten Gowa mengenai peningkatan kualitas hidup masyarakat tersebut, dapat dicapai melalui salah satu Misi daerah yakni “meningkatkan

kualitas

sumber

daya

manusia

dengan

berbasis

pada

330

pemenuhan hak-hak dasar masyarakat”. Atas dasar Visi dan Misi daerah yang secara eksplisit sangat berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut, maka program peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini dijadikan sebagai agenda utama dalam rencana pembangunan daerah saat ini. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan derajat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Gowa yang masih berada pada posisi 15 (70,0) dari 24 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Jika mengacu pada Visi dan Misi daerah yang lebih berorientasi pada tercapainya kualitas sumber daya manusia dengan indikator IPM, maka secara konseptual salah satu komponen penting dari pembangunan manusia yang harus dimaksimalkan adalah aspek pendidikan. Tabel 34.

Rencana Strategi Pembangunan Daerah dan Program Inovasi Urusan Pendidikan Kabupaten Gowa Visi Misi

Agenda Utama Pembangunan Daerah Program-Program Inovasi Urusan Pendidikan

Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia dengan Berbasis pada Pemenuhan Hak-Hak Dasar Masyarakat Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (Human Development) melalui Indikator IPM yang Tinggi Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education Program (PDEP), Satuan Polisi (Satgas) Pendidikan

Setelah mengetahui Visi dan Misi pemerintah daerah yang menegaskan bagaimana pemerintah daerah Kabupaten Gowa di bawah kepemimpinan Ichsan Yasin Limpo memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia, yang kemudian dielaborasi ke dalam bentuk program kerja inovatif dalam rumpung bidang atau urusan pendidikan. Selanjutnya akan

331

dianalisis dengan menggunakan teori dan konsep yang berhubungan dengan proses pengembangan inovasi dalam konteks pemerintahan daerah. Secara teoritik, menurut Eggers & Singh (2009:7) menyebutkan bahwa proses pengembangan inovasi melalui empat fase atau tahapan, yakni (1) tahap penemuan dan mengungkap gagasan-gagasan inovasi (idea generation and discovery); (2) tahap menyeleksi gagasan inovasi tersebut (idea selection); (3) tahap implementasi terhadap ide inovasi yang terseleksi (idea implementation); (4) tahap difusi inovasi yakni tahap penyebaran inovasi (idea diffusion). Keempat tahapan ini pada dasarnya adalah siklus inovasi yang sangat berperan dalam pengembangan

inovasi.

Jika

teori

proses

pengembangan

inovasi

ini

disandingkan dengan hasil penelitian, nampaknya tidak semua tahapan itu dilakukan dalam proses pengembangan inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Sebagaimana telah dideskripsikan pada Bab V, bahwa gagasan inovasi program pemerintahan daerah lebih banyak karena hasil studi banding ke beberapa daerah dan negara yang telah berhasil mengembangkan program inovasi dalam bidang pendidikan. Misalnya saja pada tahap awal proses yaitu penemuan dan mengungkap gagasan inovasi. Program inovasi urusan pendidikan yang dikembangkan di Kabupaten Gowa bukanlah hasil penemuan (discovery) tetapi hanya gagasan yang diungkapkan setelah melakukan studi banding yang dilaksanakan ke berbagai daerah. Demikian halnya tahap seleksi gagasan inovasi juga tidak berlangsung. Tetapi gagasan inovasi program yang dihasilkan dari kegiatan studi banding dikemas dalam bentuk program dengan membuat nomenklatur yang berbeda dengan program yang sama di daerah lain. Setelah itu baru ke tahap implementasi program yang didahului oleh proses

332

politik yakni proses pembahasan dan penetapan oleh eksekutif (Bupati) dan DPRD yang tertuang dalam rencana kerja pemerintah daerah (RKPD). Menurut Kim (2005) dalam Noor (2013) menegaskan bahwa apapun pilihan inovasi pemerintahan daerah, yang perlu diingat adalah tidak bermain dalam inovasi yang sama dengan daerah lain. Konsepsi ini perlu dikembangkan oleh karena pertama,

pemerintahan daerah pada dasarnya dituntut untuk

mengembangkan diri, terutama yang berkaitan dengan peningkatan pelayanan publik. Terutama setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Untuk situasi ini dibutuhkan strategi kebijakan untuk memahaminya. Kedua, pemerintah daerah umumnya selalu mengikuti pola yang sama dalam menerapkan perilaku baru dalam pelayanan publik. Oleh karena itulah menurut Noor (2013:112) bahwa suatu pemerintahan daerah di dalam mengambil keputusan untuk melakukan inovasi perlu meyakini bahwa inovasi yang dikembangkan tersebut dapat memberikan keuntungan dari berbagai aspek seperti (1) dari aspek pembiayaan; (2) inovasi yang tidak mengganggu segi kehidupan sehari-hari; (3) inovasi tersebut sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada di masyarakat; dan (4) aspek teknis operasional dari suatu program inovasi. Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah pada umumnya selalu dilaksanakan melalui mekanisme proses politik dan proses administrasi/manajerial. Selain itu penyelenggaraan urusan pendidikan dalam bentuk program pemerintah daerah juga berkaitan dengan aspek legal atau dasar hukum yang melandasari perencanaan dan implementasi dari suatu program pembangunan. Terkait hal ini, menurut Shafritz & Russel (1999) dan Rosembloom & Kravchuk (2005), jika mengacu pada studi teori administrasi publik, konsepsi dalam proses pengembangan inovasi pemerintahan daerah ini

333

bisa dianalisis dengan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain (1) perspektif politik; (2) perspektif hukum (legal), dan (3) perspektif manajerial (administrasi). Seperti halnya pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta bahwa keempat jenis program inovasi urusan pendidikan yakni SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan, dalam proses perencanaanya dilakukan melalui mekanisme politik antara institusi Kepala Daerah (Bupati) dan insititusi DPRD (legislatif). Proses politik dalam manajemen pemerintahan daerah termasuk dalam perencanaan dan implementasi program inovasi urusan pendidikan, menandakan bahwa manajemen dalam pemerintahan daerah memiliki karakterisitik tertentu yang membedakannya dengan organisasi lain. Sebagaimana dijelaskan oleh Stewart (1995) bahwa manajemen pemerintahan daerah itu merupakan bagian teori domain publik (public domain theory), yang memiliki karakteristik tertentu. Karakteristik tertentu tersebut meliputi aspek tujuan (purposes), kondisi (conditions) dan tugas-tugas (tasks) yang tercermin oleh beberapa asumsi antara lain: (1) pemerintahan daerah sebagai institusi politik (political institution); (2) pemerintahan daerah selalu dilandasi oleh pilihan lokal (local choice); (3) organisasi pemerintahan daerah tidak bertujuan tunggal tapi multi-purposes, sehingga dalam inti manajemennya menganut multi-valued choice; (4) legitimasi otoritas lokal didapat melalui election, karena proses election merupakan metode rekrutmen dalam institusi kekuasaan dan proses politik yang diikuti oleh partai-partai politik. Melalui penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa proses politik dalam pemerintahan daerah tiada lain adalah bagian dari kekuasaan mengatur melalui proses pembentukan kebijakan publik, yang mana dalam konteks

334

pemerintahan daerah disebut Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbup). Dalam konteks ini, maka pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa telah dibentuk tiga jenis peraturan yakni (1) Perda Kabupaten Gowa No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis; (2) Perda Kabupaten Gowa No. 10 tentang Wajib Belajar; dan (3) Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis. Proses pengembangan inovasi urusan pendidikan bisa juga dilihat melalui

sudut

pandang

manajerial

(administrasi).

Mengkaji

proses

pengembangan inovasi pemerintahan daerah menurut perspektif manajerial (administrasi), bisa dipahami dengan menelusuri hasil penelitian yang berkaitan dengan bagaimana proses pelaksanaan program inovasi dilakukan oleh penyelenggara

urusan

pendidikan

di

tingkat

pemerintahan

daerah.

Penyelenggara urusan pendidikan dalam konteks pemerintahan Kabupaten Gowa adalah Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dispora) dan secara teknis operasional program berada pada satuan pendidikan yakni sekolah. Meskipun

perangkat

daerah

Dispora

menjadi

leading

sector

dari

penyelenggaraan urusan pendidikan ini, namun dalam realita, perangkat daerah lain pun bisa terlibat dalam urusan pendidikan melalui model kerjasama antar perangkat daerah dalam lingkup kabupaten. Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial, kendali manajemen tetap berada pada level top manajer, yang mana jika dilhat dalam struktur organisasi pemerintahan daerah, top manajer itu berada pada seorang Kepala Daerah (Bupati). Sebagaimana pandangan dari seorang ahli organisasi yakni Mintzberg (1993) menyatakan bahwa pengendali tertinggi dari keseluruhan organisasi disebut elemen the strategic apex. Artinya dalam pemerintahan daerah adalah Bupati dan Wakil Bupati, serta DPRD, karena mereka inilah yang berada pada

335

top manajer (pucuk pimpinan) dalam organisasi pemerintahan daerah. Begitu pula jika mengacu pada pandangan Wilson (1989) mereka pucuk pimpinan yang berada pada level eksekutif (the executive level). Tingkatan organisasi yang memiliki kewenangan politik pengambil kebijakan strategis berupa kewenangan dalam fungsi mengatur dan mengurus terhadap aktivitas pemerintahan. Mereka merupakan pihak yang bertanggung jawab atas keseluruhan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pada level operasional, tanggung jawab terhadap pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa tentu adalah perangkat daerah Dispora sebagai leading sector dari penyelenggaraan urusan pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian, ditunjukkan bagaimana susunan dan struktur Dispora sebagai penyelenggara urusan pendidikan. Hal diatur dalam Perda No. 7 Tahun 2008 tentang Susunan dan Struktur Dispora, yang meliputi: (1) Kepala Dinas; (2) Sekretariat yang melingkupi Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan, serta Sub Bagian Keuangan; (3) Bidang Pendidikan Dasar yang melingkupi Seksi Manajemen Pendidikan Dasar, Seksi Pembinaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan, dan Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Dasar; (4) Bidang Pendidikan Menengah meliputi Seksi Manajemen Pendidikan Menengah, Seksi Pembinaan Tenaga Pendidik dan Kependidikan, Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Menengah; (5) Bidang Pendidikan Non Formal dan Prasekolah melingkupi Seksi Pendidikan Non Formal, Seksi Pendidikan Prasekolah, Seksi Sarana dan Prasarana Pendidikan Non Formal dan Prasekolah; (6) Bidang Olah Raga dan Pemuda yang melingkupi Seksi Pembinaan Kepemudaan, Seksi Pengembangan Olah Raga; dan (7) Kelompok Jabatan Fungsional. Selanjutnya mengenai tupoksi dan rincian tugas dari setiap jabatan dalam struktur Dispora ditegaskan dalam Perbup No.

336

26 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas Jabatan Strutural pada Dinas Pendidikan, Olah Raga dan Pemuda. Dalam

melaksanakan

fungsinya

sebagai

penyelenggara

urusan

pendidikan, Dispora Kabupaten Gowa memiliki Visi yakni: “Terwujudnya Sistem Pendidikan Sebagai

Pranata Sosial yang Kuat dan Berwibawa untuk

Menciptakan Luaran dan Hasil yang Handal”. Untuk mewujudkan Visi tersebut, dirumuskan pula beberapa Misi, yakni: (4) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. (5) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai

pusat

pemberdayaan

ilmu

pengetahuan,

keterampilan,

pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional. (6) Menumbuh

kembangkan

semangat

keunggulan

secara

intensif

pengamalan ajaran agama dan nilai budaya. Selain Dispora sebagai unsur utama dan memiliki tugas pokok secara teknis operasional dalam penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa, terdapat pula institusi non struktural yang memiliki peran penting dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Institusi yang dimaksud adalah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah secara nasional diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 24 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa Dewan Pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Kemudian pada pasal 25, menyatakan bahwa Komite Sekolah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

337

Selanjutnya tugas dan fungsi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tersebut diatur dalam PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah ini pada intinya menjelaskan bahwa kedua institusi tersebut memiliki peran penting dalam upaya memajukan dunia pendidikan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Keduanya turut memberikan pertimbangan mengenai isi-isu pendidikan kepada sejumlah pemangku kepentingan seperti Gubernur, Bupati/Walikota, Dinas Pendidikan dan DPRD. Posisi ini menjadikan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai mitra strategis dan sejajar bagi pemerintah daerah dan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Keberadaan Dewan Pendidikan Kabupaten Gowa sudah memasuki periode kedua. Berdasarkan dokumentasi lapangan, saat ini anggota Dewan Pendidikan berjumlah 11 orang yang berasal dari beragam latar belakang, yakni dua orang pakar pendidikan, dua orang penyelenggara pendidikan, dua tokoh pengusaha lokal, satu orang ulama (tokoh Muslim), satu tokoh masyarakat adat, satu orang dari organisasi profesi, satu aktivis LSM, dan satu tokoh perempuan.. Demikian pula keberadaan Komite Sekolah, keanggotaannya terdiri dari unsur orangtua/wali perserta didik, tokoh masyarakat, dan pakar pendidikan yang relevan. Komite Sekolah ini sudah terbentuk disemua satuan pendidikan (sekolah) yang ada di Kabupaten Gowa. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah sebagai representasi masyarakat menyuarakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pihak pemerintah daerah dan sekolah. Dalam konteks ini pula Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memberi pertimbangan dan masukan terhadap pembentukan peraturan-peraturan, baik yang dirumuskan oleh lembaga eksekutif maupun yang diusulkan oleh DPRD.

338

Secara operasional, pelaksana program inovasi urusan pendidikan adalah satuan pendidikan yang disebut sekolah. Satuan pendidikan ini adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Landasan normatif dari keberadaan satuan pendidikan ini dalam proses penyelenggaraan urusan pendidikan, secara secara eksplisit dinyatakan pada pasal 1 dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut juga dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang dan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Sementara itu, untuk mengetahui bentuk dan jenis satuan pendidikan terutama jalur pendidikan formal bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Misalnya bentuk dan jenis satuan pendidikan anak usia dini (PAUD) jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 63). Kemudian mengenai bentuk satuan pendidikan dasar jalur formal yang pada umumnya berbentuk SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat (Pasal 68). Bentuk dan jenis satuan pendidikan menengah biasanya berbentuk SMA, MA, SMK, dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 78). Perlu juga dikemukakan bahwa satuan pendidikan yang ada selama ini dapat pula dilihat berdasarkan status penyelenggaranya. Berdasarkan status penyelenggara dari satuan pendidikan terdapat dua kategori, yakni sekolah

339

negeri dan sekolah swasta. Adapun yang dimaksud sebagai sekolah negeri yaitu sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah (daerah), mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan termasuk perguruan tinggi (universitas). Sementara itu sekolah swasta adalah sekolah yang

diselenggarakan

oleh

non-pemerintah

atau

swasta,

lembaga

penyelenggaranya bisa berbentuk badan dan yayasan pendidikan. Sekolah sebagai satuan pendidikan dan juga merupakan entitas sistem yang terbuka. Sekolah sebagai sebuah sistem adalah mencakup beberapa komponen (subsistem), dimana masing-masing komponen terdiri atas beberapa faktor yang antara satu dengan lainnya saling terkait dan mendukung untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Komponen-komponen dari sebuah sistem sekolah terdiri dari komponen masukan (input), proses (process), dan keluaran (output), serta dampak yang ditimbulkan (outcome). Jika melihat bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam urusan pendidikan, melalui berbagai kebijakan dan program inovasinya, nampaknya masih menghadapi berbagai hambatan, baik hambatan yang berkaitan dengan individu maupun hambatan yang

berhubungan

karakter

individu.

Sebagai

contoh,

masih

adanya

ketergantungan terhadap figur Kepala Daerah (Bupati) yang memiliki kinerja tinggi, sehingga kecenderungan kebanyakan pegawai hanya menjadi pengikut (followers) saja. Kekhawatiran atas kondisi ini adalah ketika figur atau pemimpin tersebut hilang dan digantikan oleh figur lainnya, maka yang terjadi adalah stagnasi dan kemacetan kerja. Selain itu, hambatan anggaran yang periodenya terlalu pendek, serta hambatan administratif yang membuat sistem dalam berinovasi

menjadi

tidak

fleksibel.

Sejalan

dengan itu

juga,

biasanya

penghargaan atas karya-karya inovatif masih sangat sedikit. Sangat disayangkan

340

jika hanya sedikit apresiasi yang layak atas prestasi pegawai atau unit yang berinovasi. Guru, murid, sarana prasarana, kurikulum, dana dan pengelola sekolah (kepala sekolah) dan lingkungan sekolah merupakan komponen input (masukan) bagi sistem sekolah. Komponen input inilah yang berproses dalam bentuk kegiatan belajar mengajar di sekolah/kelas dan administrasi sekolah yang nantinya menghasilkan keluaran sesuai target yang ditentukan. Target luaran sekolah adalah berupa hasil dalam jumlah lulusan atau alumni yang memiliki kemampuan kognitif, afektif, dan keterampilan. PROSES PENGEMBANGAN PROGRAM INOVASI URUSAN PENDIDIKAN

PENGATURAN Proses Politik

Urusan Pendidikan

Gambar 23.

Penyelenggara Urusan Pendidikan

PENGURUSAN Proses Manajerial

Program, Kegiatan, Anggaran

Satuan Pendidikan Sekolah

Pohon Analisis Proses Pengembangan Program Inovasi Urusan Pendidikan

Gambar 24 ini menunjukkan bagaimana penggunaan pola analisis induktif dalam model spiral, yakni dimulai dari beragam informasi dan data empirik tentang bagaimana proses pengembangan inovasi oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa. Kemudian meluas menjadi tema-tema yang lebih khusus yakni proses pengembangan inovasi itu berlangsung dalam dua proses yaitu proses politik (pengaturan) dan proses manajerial (pengurusan. Setelah itu lebih mengerucut pada tema yang lebih abstrak yaitu proses pengembangan

341

program inovasi yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan.

Tabel 35: Matriks Proses Pengembangan Program Inovasi Urusan Pendidikan Proses Pengembangan Program Inovasi Proses Politik (Mengatur)

Proses Manajerial (Mengurus)

Fungsi yang dijalankan

Pengaturan yakni perumusan atau pembentukan kebijakan daerah (Peraturan Daerah)

Pengurusan yakni implementasi kebijakan daerah (Peraturan Bupati / Keputusan Bupati)

Pihak-pihak yang melaksanakan

Pemerintah Daerah (Bupati), DPRD, Dewan Pendidikan, & Komite Sekolah Demokratis, Responsif, Partisipatif

Bupati, Dispora & Satpol PP, UPTD (Sekolah) Orang Tua Siswa, Rekanan & Konsultan Efektif, Efisien, Ekonomis

Nilai-nilai yang seharusnya dikembangkan Dasar argumentasi teoritis

Watson (1999), proses inovasi berlangsung efektif jika terdapat “Political support and administrative. Mulgan & Albury (2003) ”Policy innovation is new policy direction and initiatives; Innovations in the policy-making process; & Policy to foster innovation and its diffusion”

Berdasarkan analisis terhadap hasil penelitian dengan menggunakan beberapa teori dan konsep tentang proses pengembangan program inovasi pemerintahan dalam urusan pendidikan, maka dapat dirumuskan proposisi sebagai berikut:

Proposisi Minor 1: Program inovasi urusan pendidikan hanya berlangsung inovatif jika melalui perumusan dan pembentukan kebijakan daerah (Peraturan Daerah / Peraturan Bupati) yang berfungsi mengatur program inovasi secara demokratis, partisipatif, dan responsif.

Proposisi Minor 2: Proses pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang hanya berlangsung dengan inovatif jika didukung oleh proses implementasi kebijakan yang inovatif pula dengan prinsip efektifitas, efisiensi, ekonomis dan profesional.

342

5.2.2

Tipologi Program Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan Jika pada bagian Sub Bab 5.2.1 di atas dilakukan pembahasan terhadap

proses pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan, maka pada bagian ini akan diketengahkan analisis terhadap program-program inovasi yang telah dirancang dan sedang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa. Berdasarkan temuan penelitian, terdapat empat kebijakan dan program inovatif yang telah dirancang dan dilaksanakan untuk mewujudkan aksesibilitas yang terjangkau dan peningkatan kualitas pelayanan di bidang pendidikan. Secara teoritik, pada dasarnya terdapat beberapa yang menjadi sumber inovasi dalam suatu organisasi pemerintahan. Menurut Eggers & Singh (2009:9) mengelompokkan sumber-sumber inovasi dalam organisasi pemerintahan, termasuk pemerintahan daerah dapat ditinjau dari empat sumbu, yakni (1) mitra internal

(internal

partners)

yaitu

inovasi

melalui

pembaruan

organisasi

pemerintahan dari dalam (reinvented government); (2) pegawai (aparatur) pemerintahan (employees) yaitu inovasi melalui kolaborasi yang fokus pada dampak; (3) mitra eksternal (external partners) yaitu inovasi melalui partnership dan networked government; dan (4) inovasi bisa bersumber dari warga (citizens) yaitu inovasi pemerintahan yang lahir karena pemerintah sangat responsif dan mendorong partisipasi warga dalam aktivitas pemerintahan. Jika menyorot jenis program inovasi yang dikembangkan di Kabupaten Gowa dengan menggunakan pandangan Eggers & Singh (2009) di atas, maka dapat dikatakan bahwa semua jenis program inovasi bersumber dari mitra internal (internal partners) pemerintahan daerah. Keempat jenis program inovasi yakni SPAS, PDEP, Pendidikan Gratis, dan Satgas Pendidikan merupakan gagasan dan inisiatif murni dari Bupati Gowa, setelah melakukan kegiatan studi banding di daerah lain. Misalnya progran SPAS merupakan salah satu dari janji

343

kampanye politik Bupati ketika Pilkada Gowa 2005, yang kemudian dijadikan sebagai program prioritas pemerintah daerah yang bertujuan untuk mengurangi tingginya angka buta aksara ketika itu. Program SPAS ini terbukti terealisasi hingga akhir periode 2005-2010, di mana tersebar diseluruh desa dan kelurahan. Seperti halnya dengan program inovasi yang lainnya juga lahir karena digagas dan inisiatif dari internal pemerintahan. Jika dilihat dari sisi jenis inovasi apa yang telah dikembangkan di kabupaten Gowa, bisa dikonfirmasi dengan menggunakan pandangan Mulgan & Albury (2003) dan Muluk (2008) yang membagi inovasi dalam beberapa tipologi inovasi sektor publik yakni tipe inovasi yang berkaitan dengan produk layanan, proses pelayanan, berkaitan dengan metode pelayanan, inovasi kebijakan, dan inovasi yang berkaitan dengan sistem. Demikian pula derajat keinovasian suatu program pemerintah, Mulgan, Albury, dan Muluk juga mengemukakan bahwa derajat atau level inovasi bisa diihat, apakah suatu inovasi termasuk kategori inkremental, radikal, dan kategori inovasi sistemik (transformatik). Nah, berdasarkan deskripsi dari program inovasi yang dikaji pada penelitian ini dapat dikategorikan sebagai inovasi proses pelayanan dan inovasi yang bersifat inkremental dengan penjelasan program seperti berikut ini. Keempat

kebijakan

dan

program

inovatif

tersebut

adalah

(1)

Pengembangan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS); (2) Program Pendidikan Gratis yakni pembebasan biaya sekolah bagi murid/siswa SD-SMA (wajar 12 tahun); (3) Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) yaitu sistem pembelajaran berbasis cinema class; dan (4) Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan. Keempat program inovasi tersebut mungkin saja saat ini tidak lagi menjadi hal yang baru dan sudah dianggap sebagai program yang biasa-biasa saja. Anggapan bahwa program inovasi tersebut adalah program yang biasa-biasa

344

saja bisa dinilai wajar saja, karena faktanya implementasi program tersebut sudah berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Semua program inovasi urusan pendidikan tersebut masih berlangsung hingga saat ini. Berdasarkan hasil penelitian bahwa program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) itu sudah berlangsung sejak tahun 2005. Sementara program Pendidikan Gratis itu sudah dilaksanakan sejak tahun 2008, dan program Punggawa D’Emba Education (PDEP) serta Satpol Pendidikan sudah dilaksanakan sejak tahun 2010 yang lalu. Terkait dengan data hasil penelitian di atas, ada baiknya jika dipahami dengan melihat ulang makna konsep inovasi itu sendiri. Konsep inovasi secara umum dapat dipahami dalam konteks perubahan perilaku. Inovasi biasanya erat kaitannya dengan lingkungan yang berkarakteristik dinamis dan berkembang. Pengertian inovasi sendiri sangat beragam, dan dari banyak perspektif. Menurut Rogers (2003:12), salah satu penulis buku inovasi terkemuka, menjelaskan bahwa inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu (satu unit) tertentu dan diadopsi oleh yang lainnya. Jika mengacu pada pandangan Rogers (2003) tersebut, maka dapat dipahami bahwa program inovasi urusan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa sejalan dengan pandangan yang mengatakan bahwa inovasi berkaitan dengan ide yang baru, praktek dan obyek yang masih baru terutama bagi masyarakat dan pemerintah daerah. Dalam pengertian bahwa keempat jenis program inovasi tersebut bisa jadi sudah diterapkan di daerah lain, walaupun dengan bentuk dan nama yang berbeda tetapi secara substansi memiliki persamaan. Bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat program seperti SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan benar-benar menjadi hal baru, meskipun inovasi tersebut adalah

345

hasil dari adopsi atau mereflikasi program inovasi di daerah dan negara lain melalui kegiatan studi banding. Menurut Sherwood (2002), bahwa inovasi sebagai salah satu ciri nilai fleksibilitas organisasi bukan hanya sekedar melakukan sesuatu yang baru, menemukan sesuatu yang baru, atau membawa suatu gagasan yang baru sebagaimana definisi inovasi pada umumnya. Namun menurut Sherwood (2002:2), inovasi sebagai suatu proses memerlukan empat tahapan yakni: (1) tahap pengajuan gagasan yaitu mempunyai ide lebih dahulu; (2) tahap evaluasi terhadap gagasan yang akan ditindaklanjuti; (3) tahap pengembangan yaitu memperbaiki gagasan tersebut dari konsep menjadi realitas yang menghasilkan sesuatu; dan (4) tahap implementasi yaitu mengupayakan gagasan tersebut sungguh-sungguh terwujud. Dengan pemahaman dari Sherwood tersebut, kemudian dikaitkan dengan adanya fakta tentang pengembangan inovasi di Kabupaten Gowa tentu hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut sebagai sebuah organisasi sudah mulai terbuka dengan hal-hal baru. Keterbukaan terhadap ide dan praktek yang baru bagi sebuah organisasi menunjukkan bahwa organisasi tersebut sudah memiliki sifat fleksibilitas. Kondisi ini tentu menjadi hal yang menarik, oleh karena organisasi pemerintah daerah (organisasi sektor publik) selama ini dikenal sebagai organisasi yang sangat kaku dan formalisitik. Pengertian lain menyebutkan bahwa inovasi adalah kegiatan yang meliputi seluruh proses menciptakan dan menawarkan jasa atau barang baik yang sifatnya baru, lebih baik atau lebih murah dibandingkan dengan yang tersedia sebelumnya. Dapat pula dijelaskan bahwa sebuah inovasi dapat berupa produk atau jasa yang baru, teknologi proses produksi yang baru, sistem struktur dan administrasi baru atau rencana baru bagi anggota organisasi.

346

Pengertian inovasi dapat pula dipahami dalam konteks manajemen sektor publik. Pemahaman ini dikemukakan oleh Cohen dan Elmicke (1998:2-3) yang mengemukakan bahwa inovasi manajemen sektor publik selalu berkaitan dengan aspek design dan management terhadap suatu kebijakan dan program. Rancangan kebijakan berhubungan perumusan kebijakan (policy formulation). Sedangkan manajemen suatu program terkait dengan pelaksanaan kebijakan (policy implementation). Dengan merujuk pada pengertian-pengertian di atas, maka sebuah inovasi tidak bisa berkembang dalam kondisi status quo. Walaupun tidak ada satu kesepahaman definisi mengenai inovasi, namun secara umum disimpulkan oleh Rogers’s dan Shoemaker (1971) seperti dikutip oleh Osborne dan Brown (2005:127) bahwa inovasi memiliki beberapa atribut sebagai berikut: (1) Relative Advantage atau keuntungan relatif, bermakna bahwa sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai-nilai lebih dibandingkan dengan inovasi yang lain atau inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan

yang

melekat

dalam

inovasi

yang

menjadi

ciri

yang

membedakannya dengan yang lain. (2) Compatibility atau kesesuaian, bermakna bahwa inovasi sebaiknya mempunyai sifat kompatibel atau berkesesuaian dengan inovasi yang digantinya dan lingkungan dimana inovasi diterapkan. Inovasi tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan tradisi yang sudah dianggap baik pada suatu tempat tertentu. (3) Complexity atau kerumitan, artinya dengan sifatnya yang baru, maka inovasi mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena

347

sebuah inovasi menawarkan cara yang lebih baru dan lebih baik, maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak menjadi masalah penting. (4) Triability atau kemungkinan dicoba, artinya inovasi hanya bisa diterima apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai lebih dibandingkan dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji publik”, dimana setap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk mengujii kualitas dari sebuah inovasi. (5) Observability atau kemudahan diamati, artinya bahwa sebuah inovasi harus dapat diamati, terutama pada sisi bagaimana sebuah inoasi beroperasi dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. (a)

Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa program pengembangan

Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) pertama kali diluncurkan pada tahun 2005 oleh pemerintah daerah Kabupaten Gowa. Tepatnya di awal kepemimpinan Bupati Ichsan Yasin Limpo dan Wakil Bupati Abdul Razak Badjidu. Ide pengembangan pendidikan anak saleh ini muncul dari Bupati sendiri, sebagai respon terhadap adanya fakta bahwa saat itu masih ada anak-anak yang sudah memasuki usia sekolah belum dapat membaca dan menulis Latin serta masih banyak pula anak-anak sekolah yang belum bisa dan lancar membaca Alquran Program pengembangan SPAS adalah terobosan awal dari Bupati Gowa yang baru terpilih ketika tahun 2005. Terobosan ini muncul karena adanya kenyataan sosial dihampir semua desa memiliki masyarakat yang tergolong keluarga miskin. Di mana keluarga miskin tersebut rata-rata memiliki anak berusia sekolah yang belum mampu membaca baik Latin maupun Alquran. Dengan kata lain bahwa SPAS ini adalah sarana pendidikan untuk anak-anak

348

putus sekolah dan juga bagi mereka yang tidak berhasil melanjutkan sekolah karena kekurangan biaya. Secara kelembagaan, program SPAS ini adalah termasuk salah satu jenis Pendidikan Luar Sekolah (PLS), karena diselenggarakan dengan maksud memberikan pembelajaran pada warga berupa pengetahuan dan ketrampilan khusus yakni baca tulis Latin dan Alquran, melalui jalur pendidikan nonformal. Bahkan program SPAS yang dikembangkan di Kabupaten Gowa ini juga termasuk jenis pendidikan berbasis masyarakat, karena penyelenggaraan pendidikan SPAS ini didasarkan pada kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Secara operasional, proses pembelajaran dilaksanakan oleh tenaga pengajar atau guru sanggar sebanyak dua atau tiga orang di setiap sanggar. Tenaga pengajar tersebut berasal dari warga setempat. Status tenaga pengajar ini diangkat sebagai pegawai tidak tetap (pegawai honorer) daerah. Karena mereka dijadikan sebagai pegawai honorer daerah, maka mereka berhak mendapat insentif setiap bulan dari anggaran daerah yang dialokasikan khusus untuk program buta aksara Kabupaten Gowa. Kemudian dalam pengelolaan SPAS yang sudah terbentuk di 154 desa/kelurahan pelaksanaannya dilakukan Tim Pengelola, yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Di mana orang yang ditunjuk dalam pengelola tersebut juga berasal dari warga desa/kelurahan setempat. Pengelola SPAS ini cukup banyak, pengelola tingkat desa saja ada 300 orang di mana masing-masing desa dan kelurahan terdapat dua orang pengelola. Di tingkat kecamatan terdapat 54 orang pengelola tersebar di 18 kecamatan dan di tingkat

349

kabupaten ada 12 orang. Sehingga jumlah keseluruhan dari pengelola SPAS tersebut adalah 462 orang. Murid (santri) Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) adalah anak-anak miskin yang berusia 6-13 tahun. Mereka diberikan pelajaran membaca huruf Latin dan hijriyah (Al Quran) dengan waktu belajar pukul 16:00-18:00 WITA yang diakhiri dengan shalat berjamaah bagi anak – anak. Dan juga mata pelajaran lainnya agar mereka bisa meneruskan ke sekolah formal jika memenuhi syarat dengan melulusi ujian yang dilaksanakan oleh tutor. Setelah Maghrib diperuntukkan bagi orang tua yang belum dapat baca tulis Latin dan Al Quran. Hal ini dikemukan oleh Yunus (2012:17) dalam salah satu seminar inovasi pendidikan di UGM Yogyakarta yang mempresentasikan tentang inovasi pendidikan di Kabupaten Gowa. Jenis materi yang diajarkan oleh guru atau tutor kepada santri SPAS tidak hanya menyangkut pengetahuan dan keterampilan baca tulis tetapi juga materi yang terkait dengan pendidikan akhlak yang Islami. Demikiam pula dari segi santri SPAS itu sendiri, ternyata tidak hanya diikuti oleh anak-anak yang masih berusia 6-13 tahun tetapi juga diikuti oleh orang dewasa. Santri yang sudah dewasa adalah mereka yang kebanyakan orang tua dari santri SPAS juga. Hal inilah yang menjadi salah satu kelebihan dari program SPAS ini dalam mendorong pengentasan buta aksara di Kabupaten Gowa. Setelah berlangsung dua tahun sejak diluncurkan, yakni pada tahun 2007, program SPAS ini sudah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat. Apresiasi tersebut berupa penghargaan Aksara Anugerah Utama karena pemerintah daerah Kabupaten Gowa dinilai memiliki komitmen yang tinggi dalam bidang pendidikan terutama program Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Komitmen tinggi dari pemerintah daerah tersebut tertuang dalam Rencana Kerja

350

Pemerintah Daerah (RKPD) dengan menempatkan program ini sebagai salah satu program prioritas dalam setiap tahun. Pada tahun 2009, program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) ini oleh pemerintah daerah dicanangkan menjadi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Hal ini dilakukan untuk mengikuti kebijakan pemerintah pusat (Kementerian Pendidikan Nasional) waktu itu, yang mengembangkan program Pendidikan

Anak

Usia

Dini

(PAUD).

Selain

itu,

juga

untuk

menjaga

keberlangsungan program SPAS tersebut. Dengan demikian, PAUD secara langsung terbentuk di 154 desa/kelurahan pada tahun 2009, karena semua program SPAS di tingkat desa/kelurahan beralih menjadi program PAUD. Namun demikian dari segi sumberdaya seperti guru pengajar dan pengelola SPAS tidak mengalami pergantian karena tetap memanfaatkan sumberdaya yang ada sebelumnya. Termasuk juga materi pembelajaran yang diajarkan selama ini di SPAS tidak mengalami perubahan. Kecuali syarat usia bagi santri yang berubah, jika sebelumnya santri SPAS berumur 6-13 tahun, maka setelah terintegrasi dengan PAUD usia santri berubah menjadi 6 tahun atau usia pra sekolah. Program SPAS merupakan salah satu program pemerintah daerah yang memiliki nilai inovasi karena memberi kontribusi nyata dalam mendukung misi pemerintah daerah dalam peningkatan kualitas dan akses pelayanan pendidikan bagi warganya. Penilaian tersebut dilakukan oleh lembaga independen yang bernama The Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO). Lembaga FIPO yang didirikan oleh Koran Harian Fajar pada tahun 2008 yang lalu adalah lembaga bersifat independen yang secara intensif melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Sulawesi Selatan.

351

Meskipun pengembangan program SPAS ini telah mendapat apresiasi dari pemerintah pusat dalam bentuk penghargaan Aksara Anugerah Utama dan lembaga lain seperti FIPO yang menilai bahwa program SPAS adalah program yang inovatif, tetapi dalam proses penyelenggaraan program tetap mendapat penilaian kritis dari beberapa kalangan. Kritikan pertama menyangkut orientasi program, mengingat anggaran cukup besar. Jangan sampai hanya berorientasi “proyek”. Kedua menyangkut keterlibatan stakeholder’s yang banyak, misalnya pihak swasta (pebisnis) lokal yang seharusnya diajak berpartisipasi melalui program kemitraan dalam pengembangan program SPAS ini. Tidak hanya pebisnis tetapi juga organisasi masyarakat yang masih eksis seperti ormas keagamaan (Muhamadyah dan NU), organisasi profesi (PGRI) dan juga organisasi pemuda dan pelajar (KNPI). Program pengembangan SPAS ini ternyata lebih berorientasi pada pembentukan karakter, jadi tidak hanya bertujuan secara kuantitatif yakni untuk menurunnya jumlah (angka) buta aksara dan buta baca Al-quran, tetapi yang jauh penting adalah tujuan yang bersifat kualitatif yakni pembentukan mental, karakter dan akhlak anak sejak usia dini. (b) Program Pendidikan Gratis Secara garis besar implementasi inovasi kebijakan yang dikemas dalam bentuk program Pendidikan Gratis bertujuan untuk membebaskan siswa dan orang tua dari berbagai jenis pembiayaan sekolah sebagaiman telah diuraikan pada Bab V tentang deskripsi hasil penelitian. Mencermati hal tersebut, peneliti merumuskan beberapa poin penting, yang disari dari fakta-fakta pelaksanaan program Pendidikan Gratis di kabupaten Gowa sebagaimana yang telah disajikan. Pertama, inovasi kebijakan pembebasan biaya sekolah yang dikemas dalam bentuk program Pendidikan Gratis diprakarsai oleh Bupati Gowa Ichsan

352

Yasin Limpo. Kebijakan ini adalah salah satu bentuk political will dan komitmen bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia daerahnya. Program Pendidikan Gratis tersebut tentu tidak lahir begitu saja tetapi dilatari oleh adanya fakta bahwa akses masyarakat terhadap pendidikan masih minim dan masih rendahnya indeks pendidikan di kabupaten Gowa pada saat itu. Kedua, prakarsa dan komitmen Bupati mengenai inovasi kebijakan dalam bidang pendidikan kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan kebijakan (pengaturan) dalam wujud Peraturan Daerah yang diajukan kepada DPRD untuk dibahas, disetujui dan disahkan. Maka terbitlah Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Kemudian dalam rangka operasionalisasi kebijakan tersebut bupati juga menerbitkan Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Pendidikan Gratis tersebut. Ketiga, inovasi kebijakan tentang Pendidikan Gratis yang diatur dalam bentuk peraturan daerah dan peraturan bupati sebagaimana pada poin pertama dan kedua, diianggap masih memiliki titik lemah karena nampaknya belum mengatur secara tegas tentang kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terutama orangtua/wali siswa terhadap masalah pendidikan, maka kemudian diterbitkanlah Perda No. 10 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar. Perda No. 10 tahun 2009 ini pada prinsipnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab masyarakat dan orang tua/wali siswa terhadap proses pendidikan anaknya. Bahkan dalam perda ini, diatur tentang sanksi bagi orang tua yang tidak peduli terhadap pendidikan anaknya. Keempat, aspek yang berkaitan dengan pengurusan dan pelaksanaan program Pendidikan Gratis, pada dasarnya sudah dinyatakan pula dalam Peraturan Bupati Gowa No. 8 tahun 2008. Tanggung jawab pengurusan dan

353

pelaksanaan program ini, tentu terletak pada perangkat daerah yang mengurusi urusan pendidikan yakni Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. SKPD Dispora inilah yang mengelola menurut tugas pokok dan fungsi dari bidangbidang yang terkait, agar program Pendidikan Gratis ini dapat terealisasi secara efektif. Kelima, unit sekolah adalah wadah dimana program Pendidikan Gratis direalisasikan. Secara operasional, pejabat Kepala Sekolah adalah penanggung jawab program Pendidikan Gratis ditingkat sekolah. Kepala Sekolah memiliki krwenangan untuk menunjuk pegawai tata usaha atau seorang guru untuk menjadi bendahara. Bendahara inilah kemudian yang mengurusi dana Pendidikan Gratis yang sudah dialokasikan kepada masing-masing sekolah. Keenam, program Pendidikan Gratis ini diperuntukkan bagi semua tingkatan sekolah, baik sekolah negeri yang dikelola oleh pemerintah daerah maupun sekolah swasta yang dimiliki oleh pihak swasta/non pemerintah. Dan program Pendidikan Gratis di kabupaten Gowa, bukanlah program yang berdiri sendiri. Dalam pengertian bahwa program ini merupakan program yang bersifat komplementer terhadap kebijakan Pendidikan Gratis yang digelar oleh pemerintah

provinsi

Sulawesi

Selatan

dan

mendukung

program

Biaya

Operasional Sekolah (BOS) yang sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat. (c) Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) Komitmen pemerintah daerah kabupaten Gowa dalam mendorong peningkatan kualitas pendidikan masyarakatnya, rupanya tidak hanya dilakukan melalui konsep inovasi kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi rendahnya akses masyarakat terhadap dunia pendidikan, yakni melalui desain kebijakan Pendidikan Gratis. Tetapi juga pemerintah daerah mendorong agar kualitas proses pembelajaran berlangsung semakin meningkat sehingga output atau

354

luarannya pun makin berkualitas. Perhatian terhadap kualitas pembelajaran ini diinisiasi dalam bentuk desain program yang dinamakan Punggawa D’emba Education Program (PDEP). Dalam pengertian bahwa program Pendidikan Gratis relevansinya adalah untuk meningkatkan akses masyarakat (orang tua dan anak) terhadap pelayanan pendidikan yang lebih terjangkau, murah dan merata. Sementara program yang dikenal dengan sebutan Punggawa D’emba Education Program (PDEP) relevansinya adalah untuk mendorong agar proses pembelajaran di sekolah-sekolah lebih berkualitas, baik aspek penerimaan materi pelajaran oleh siswa-siswa maupun kualitas cara dan metode mengajar para guru di sekolah. Berdasarkan temuan peneliti dilapangan, bahwa Punggawa D’emba Education Program (PDEP) adalah konsep pembelajaran revolusioner yang tujuan pokoknya untuk peningkatan kualitas guru dan peserta anak didik dalam memahami materi pelajaran, memiliki keterampilan, positive mindset, dan jiwa nasionalisme yang tinggi, serta memiliki pemahaman yang dalam terhadap tradisi dan budaya lokal masyarakat Gowa. Sementara secara etimologi istilah Punggawa D’Emba itu sendiri rupanya diambil dari istilah bahasa Makassar, yakni istilah Punggawa berarti pemimpin atau orang yang memiliki pengaruh kekuasaan dan istilah D’Emba memiliki makna Daeng Emba yaitu sebuah nama dari seorang tokoh lokal yang memiliki pengaruh dan dihormati karena kepeduliannya yang sangat tinggi terhadap dunia pendidikan di kabupaten Gowa. Munculnya ide perbaikan kualitas pembelajaran melalui program model pembelajaran berbasis audio visual adalah hasil studi banding ke beberapa daerah di dalam negeri dan luar negeri yang dianggap sukses dalam menerapkan konsep tersebut. Studi banding ini dilakukan oleh pemerintah

355

daerah (Bupati), pihak Dispora, dan anggota DPRD yang membidangi masalah pendidikan. Awal pengembangan Punggawa D’emba Education Program (PDEP) tentu saja tidak berjalan mulus. Sehingga program ini tidak secara langsung dapat direalisasikan. Pengembangan program ini, secara teknis membutuhkan pihak (orang) yang ahli dan profesional. Tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu dibuka peluang bagi keterlibatan pihak di luar pemerintah daerah. Pelibatan pihak ketiga diadakan dalam bentuk kerjasama dengan perusahan swasta bernama I-Solution. Model pembelajaran inovasi ini diyakini memiliki beberapa keunggulan antara lain: (1) melalui media audio visual memberikan pesan yang dapat diterima secara lebih merata oleh siswa; (2) sangat bagus untuk menerangkan suatu proses; (3) mengatasi keterbatasan ruang dan waktu; (4) lebih realisitis, dapat diulang-ulang dan dihentikan sesuai dengan kebutuhan; dan (5) memberikan kesan mendalam yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku siswa didik. Walaupun demikian, konsep pembelajaran dengan pendekatan teknologi informasi dan komunikasi melalui teknik audio visual yang memiliki banyak keunggulan

dibanding

sistem

pembelajaran

yang

konvensional

tetap

mengandung beberapa kelemahan dibalik penerapannya. Secara operasional tentu program ini membutuhkan fasilitas tertentu seperti pembenahan ruang kelas yang didesain khusus untuk metode cinema class. Sumber daya tenaga pengajar (guru) masih memiliki keterbatasan skill dalam mengoperasikan komputer dan teknologi informasi. Selain itu, beberapa mata pelajaran menurut beberapa guru dan anak didik kelihatannya masih lebih efektif jika menggunakan model konvensional.

356

Melalui penyajian deskriptif tentang inovasi di bidang pendidikan yang dikemas dalam bentuk program inovatif Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) sebagaimana diuraikan di atas, dapat diambil beberapa inti sari dari pengembangan program tersebut. Pertama, penerapan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) merupakan bagian dari bukti komitmen pemerintah daerah dan DPRD dalam memberikan pelayanan dasar yang maksimal di bidang pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan indeks pendidikan kabupaten Gowa. Kedua, pengembangan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) merupakan inovasi program dalam mendorong agar proses pembelajaran di sekolah-sekolah menjadi semakin berkualitas, yang ditandai dengan nilai ratarata mata pelajaran dan ujian nasional lulusan makin meningkat. Ketiga, bentuk inovasi Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) ini berkaitan dengan metode pembelajaran yang menggunakan teknologi audio visual atau cinema edutainmnet. Metode dan sistem pembelajaran ini benarbenar menjadi hal baru dan berbeda dengan metode pembelajaran konvensional selama ini. (d) Satuan Polisi (Satpol) Pendidikan Salah satu terobosan penting pemerintah daerah kabupaten Gowa, selain kebijakan dan program SPAS, Pendidikan Gratis, dan Punggawa D’Emba Education Program sebagaimana telah diuraikan adalah inovasi program yang dikemas dalam bentuk Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pendidikan. Pembetukan Satgas Pendidikan ini masih merupakan bagian penting dari kebijakan strategis di bidang pendidikan kabupaten Gowa. Namun sebelum lebih dalam menyelami bagaimana program itu dibentuk dan dijalankan, sebaiknya di awal penyajian kiranya urgen untuk

357

memberikan pemahaman dasar terkait dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja dalam sistem pemerintahan daerah saat ini. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dalam sistem pemerintahan daerah merupakan bagian atau salah satu perangkat daerah yang membantu kepala daerah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan daerah. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), bahwa Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah yang memiliki tugas dan fungsi penegakan peraturan daerah (perda) dan membantu kepala daerah dalam melaksanakan urusan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Kemudian organisasi dan tata kerja Satpol PP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sudah diatur pula dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)

No. 40 Tahun 2011

tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja. Dengan demikian menjadi terang bahwa eksistensi Satpol PP dalam sistem pemerintahan daerah menjadi sangat strategis yang dilandasi oleh dua aturan payung hukum untuk menunaikan tugas dan fungsinya sehari-hari. Mengakselerasi terciptanya kualitas dan akses pendidikan yang lemah, telah didorong melalui program Pendidikan Gratis yang ditopang oleh Perda Pendidikan Gratis dan Wajib Belajar. Selain itu, pemerintah daerah juga telah mengemas program inovatif Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) untuk memperbaiki metode dan sistem pembelajaran. Namun, penerapan kedua perda di bidang pendidikan tersebut terasa belum maksimal. Oleh karena itu pemerintah daerah membuat terobosan dengan memaksimalkan fungsi dan tugas perangkat daerah Satpol PP dalam menegakkan Perda Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar.

358

Upaya memaksimalkan fungsi dan tugas Satpol PP dalam menegakkan Perda Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar diwujudkan dengan membentuk

Satuan

Tugas

(Satgas)

Pendidikan.

Pembentukan

Satgas

Pendidikan ini merupakan bentuk inovasi pemerintah daerah kabupaten Gowa yang didesain dalam bentuk kerjasama antar SKPD (perangkat daerah). Meskipun kerjasama antar SKPD bukanlah hal yang baru, namun kerjasama antara Kantor Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga melalui pembentukan Satgas Pendidikan adalah terobosan yang tidak hanya inspiratif -thinking out of the box- melainkan juga secara metodik mendorong dampak positif yang lebih luas (UNfGI, 2012). Langkah

inovasi

pemerintah

daerah

kabupaten

Gowa

melalui

pembentukan Satgas Pendidikan sejatinya merupakan langkah terobosan untuk mencari format kerjasama antar kelembagaan di lingkup SKPD yang dapat di refungsionalisasi untuk mendukung kebijakan strategis Kabupaten Gowa (UNfGI, 2012). Format kerjasama antar perangkat (SKPD) dalam lingkup pemerintahan daerah seperti pembentukan Satgas Pendidikan ini sebetulnya sudah memiliki payung hukum yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 33 Tahun 2008 Tentang Pedoman Hubungan Kerja Organisasi Perangkat Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan umum pasal (1) dari Permendagri No. 33 Tahun 2008 tersebut istilah kerjasama dimaknai sebagai pola hubungan kerja yaitu rangkaian prosedur dan tata kerja antar perangkat daerah yang membentuk suatu kebulatan pola kerja dalam rangka optimalisasi hasil kerja. Selanjutnya pada pasal (2) ditegaskan pula beberapa prinsip yang harus dipegang dalam pola hubungan kerja antar perangkat daerah, antara lain: (a) saling membantu dan mendukung untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik yang berkelanjutan; (b)

359

saling menghargai kedudukan, tugas dan fungsi serta wewenang masing-masing perangkat daerah; (c) saling memberi manfaat; dan (d) saling mendorong kemandirian masing-masing perangkat daerah yang mengacu pada peningkatan kemampuan penyelenggaraan tugas-tugas kepemerintahan. Di akhir deskripsi ini diketengahkan beberapa intisari yang berkaitan dengan kebijakan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pendidikan di kabupaten Gowa. Beberapa poin penting dari kebijakan tersebut, pertama, Satgas Pendidikan adalah inovasi pemerintah daerah yang dirancang dalam bentuk kerjasama atau pola hubungan kerja antar SKPD (perangkat) khususnya Satuan Polisi Pamong Praja dan Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga. Hal ini menjadi terobosan tidak hanya inspiratif –thinking outside of the box- tetapi juga secara metodik dapat memberi dampak yang lebih luas. Kedua, Satgas Pendidikan dimaksudkan untuk mengakselerasi kebijakan strategis pendidikan Kabupaten Gowa yang dideklarasikan melalui Perda Pendidikan Gratis dan Perda Wajib Belajar. Sehingga secara kontekstual kehadiran satgas ini sangat relevan untuk mendorong meningkatnya kualitas dan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan pendidikan. Ketiga, personil Satgas Pendidikan diisi melalui pola mekanisme formal dan informal. Mekanisme rekrutmen secara formal melalui skema verifikasi yang dilakukan oleh Satpol PP dan Dispora Kabupaten Gowa. Sementara pola rekrutmen informal penjaringan personil Satgas Pendidikan ditempuh melalui rekomendasi tokoh masyarakat setempat, di mana wilayah asal tempat tinggal calon pelamar. Keempat, tujuan strategis Satgas Pendidikan adalah mendukung inplementasi kebijakan Pendidikan Gratis sebagai garis kebijakan Bupati Gowa dan mengubah wajah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) itu sendiri yang

360

sering dianggap oleh masyarakat cenderung melakukan tindakan represif, arogan dan identik dengan penggusuran pemukiman warga. Secara teoritis menurut Eggers & Singh (2009:9), sebuah inovasi dalam pemerintahan bisa berasal dari empat sumber, yakni (1) External partners (contractors, nonprofits, other governments), artinya bahwa suatu inovasi dalam pemerintahan daerah dapat bersumber dari pihak eksternal yang bermitra dengan pemerintah misalnya pengusaha kontraktor (pihak ketiga), organisasi nonprofit (NGO), mitra pemerintahan yang setingkat dan pemerintahan yang lebih tinggi (pusat dan provinsi); (2) Citizens (engage citizen-customers), artinya bahwa inovasi pemerintahan daerah bisa muncul karena keterlibatan warga dan pelanggan; (3) Internal partners (other government agencies) artinya bahwa inovasi dalam pemerintahan daerah berasal dari badan-badan pemerintahan dalam suatu organisasi pemerintahan daerah (SKPD dan DPRD); dan (4) Employees (public employees) artinya bahwa inovasi pemerintahan daerah bisa bersumber dari personil aparatur pemerintahan sendiri. Jika mengacu pada konsep yang dikembangkan oleh Eggers & Singh di atas, nampaknya keempat program inovasi urusan pendidikan di atas, berdasarkan

sumber

munculnya

gagasan

awal

pembentukannya

dapat

dikategorikan sebagai berikut: (1) Program SPAS dan Satgas Pendidikan merupakan program yang bersumber dari internal partners karena kedua program inovasi tersebut murni gagasan dari Bupati Gowa yang kemudian dikemas menjadi program unggulan. Kecuali dalam proses perencanaannya kemudian melibatkan unsur DPRD. Kedua progam inovasi ini merupakan program inovasi yang berbasi sumberdaya lokal; (2) Program Pendidikan Gratis dan Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) merupakan program yang bersumber dari external partners, karena kedua program inovasi ini gagasan

361

awalnya karena hasil kegiatan studi banding ke daerah lain. Program Pendidikan Gratis merupakan program yang bersifat komplementer terhadap program BOS dan BOSDA yang dikembangkan oleh pemerintah provinsi dan pusat. Punggawa D’Emba

Education

Program

(PDEP)

adalah

program

perbaikan

mutu

pembelajaran berbasis teknologi informasi yang menggunakan ahli-ahli pihak mitra atau pengusaha kontraktor. Selanjutnya menurut Eggers & Singh (2009:49) sumber-sumber inovasi tersebut di atas dapat digali melalui beberapa strategi inovasi, yaitu: (1) Cultivate, melalui strategi “mengolah” sumber-sumber inovasi dari internal pemerintahan sendiri, misalnya bagaimana memunculkan ide-ide cerdas, pengetahuan dan keterampilan tertentu yang dimiliki oleh para aparatur,yang mungkin

selama

ini

belum

terungkapkan;

(2)

Replication,

organisasi

pemerintahan menciptakan sistem atau cara untuk mengidentifikasi dan mengadopsi bentuk-bentuk inovasi di tempat lain; (3) Partner, strategi di mana pemerintah bermitra dengan badan-badan pemerintahan secara internal dan bermitra dengan piha ketiga seperti pengusaha kontraktor dan organisasi noprofit; (4) Network, strategi pemerintah membangunan jaringan kepada pihapihak ekternal; dan (5) open source, strategi pemerintah dengan membuka seluas-luasnya bagi pihak ekternal yang memiliki sumberdaya yang dibutuhkan. Secara teoritis menurut Behn (2008:142), bahwa terdapat empat proses yang berbeda dalam menerapkan sebuah inovasi yang biasa dikembangkan, antara lain: (1) Diffusion, yakni proses inovasi yang sifatnya tidak disengaja (unintentional), berlangsung spontan (spontaneous), proses yang tidak tampak (hidden-hand) dilakukan oleh seseorang ketika mendengar tentang inovasi dan menyimpulkan bermanfaat untuk di coba. Hal ini sering disebut dengan “the somehow people will learn how to get better approach”. (2) Transfer, yakni

362

pertukaran ide-ide secara informal dan diparaktekkan oleh suatu jaringan antara individu-individu, biasanya jaringan pertemanan dan kolega dalam suatu profesi (pekerjaan) area kebijakan yang sama, meskipun berbeda organisasi atau wilayah kerja. Biasanya disebut “the friends will tell friends about how they are getting better approach”. (3) Propagation, yakni suatu upaya berupa pemikiran atau perencanaan yang telah disiapkan terlebih dahulu (mungkin oleh inovatorinovator, individu diluar organisasi, atau level pemerintahan yang lebih tinggi) untuk membuat strategi dialog terhadap pendidikan dan bantuan untuk mentransfer inovasi dari orang (pihak) lain. Hal ini seringkali disebut sebagai “the we ought to help people learn how to get better approach”. (4) Replication, yakni suatu usaha sadar yang dilakukan oleh organisasi (individu di dalam organisasi) yang bekerja keras untuk memperbaiki, dengan mencari secara aktif terhadap ide-ide, kebijakan, program, dan praktek yang telah sukses dan dapat diadopsi. Jenis strategi replikasi ini sering disebut dengan ungkapan “the we want to learn from others who know how to get better approach”. Jika mengacu pada hasil kajian ini, nampaknya strategi yang relevan adalah strategi replikasi inovasi apabila dikaitkan dengan beberapa pandangan tentang konsep strategis inovasi pemerintahan yang dikembangkan oleh Eggers & Singh (2009) dan Behn (2008). Hal ini diperkuat pandangan dari Sumarto (2004)

seorang

ahli

dan

peneliti

praktek

inovasi

di

Indonesia,

yang

menyimpulkan bahwa pada dasarnya strategi yang paling tepat digunakan oleh pemerintah dalam mengembangkan inovasi adalah replikasi inovasi. Peneliti menjelaskan bahwa meskipun replikasi secara etimologi berarti meniru, yang seringkali berkonotasi “negatif” yaitu melakukan duplikasi, repetisi, tidak kreatif, bahkan pecundang. Padahal, dalam konteks kebijakan dan pelayanan publik, replikasi adalah tindakan yang harus didorong agar reformasi terjadi secara lebih

363

meluas dan cepat. Melalui replikasi, terjadi akselerasi yang tidak semahal jika perubahan dimulai dari nol. Sehingga kemungkinan sukses replikasi lebih besar jika dibandingkan dengan memulakan suatu inisiatif tanpa referensi sama sekali.

TIPOLOGI PROGRAM INOVASI URUSAN PENDIDIKAN

Peningkatan Akses Pelayanan Pendidikan Program SPAS

Program Pendidikan Gratis

Peningkatan Kualitas Pembelajaran di Sekolah Punggawa D’Emba Education (PDEP)

Pembentukan Satgas Pendidikan

Gambar 24. Pohon Analisis Jenis Program Inovasi Urusan Pendidikan

Gambar 24 di di atas menunjukkan bagaimana penggunaan pola analisis induktif dalam model spiral, yakni dimulai dari beragam informasi dan data empirik

tentang

jenis-jenis

inovasi

apa

saja

yang

telah

dan

sedang

dikembangkan oleh pemerintah daerah. Kemudian meluas menjadi tema-tema yang lebih spesifik tentang pengaruhnya terhadap peningkatan akses pelayanan pendidikan dan kualitas proses pembelajaran. Kemudian terakhir mengerucut pada tema yang lebih umum dan abstrak yaitu jenis-jenis program inovasi yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam urusan pendidikan. Gambar 24 ini dapat juga dimaknai sebagai bentuk visualisasi dari beragam jenis program inovasi urusan pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah daerah. Di mana setiap jenis program inovasi memiliki dampak, yakni dapat meningkatkan akses atau keterjangkauan masyarakat terhapat pelayanan pendidikan dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah-sekolah

364

Tabel 36. Matriks Tipologi Program Inovasi dalam Urusan Pendidikan Tipologi Program Inovasi Urusan Pendidikan

Inisiator Konsep Dasar

Waktu Tipologi Fokus Lokus Implementasi

Tujuan

Kemitraan Dampak

Keberlanjutan

Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS)

Program Pendidikan Gratis

Punggawa D’Emba Education Program (PDEP)

Pembentukan Satgas Pendidikan

Pemerintah Daerah (Bupati Gowa IYL) Program menurunkan tingginya angka buta aksara & baca tulis alqu’an (anak usia sekolah & dewasa) 2006 s/d sekarang Inovasi proses pelayanan Pelayanan publik urusan pendidikan Eksternal Pemda

Pemerintah Daerah (Bupati Gowa IYL) Program mengurangi beban biaya pendidikan bagi orang tua murid ekonomi lemah & marginal 2008 s/d sekarang Inovasi proses pelayanan Pelayanan publik urusan pendidikan Eksternal Pemda

Pemerintah Daerah (Bupati Gowa IYL) Pembelajaran metode audio visual (cinema class) & integrasi nilai budaya lokal

Pemerintah Daerah (Bupati Gowa IYL) Refungsionalisasi Satpol PP dari menegakkan Perda ke melayani di bidang pendidikan 2009 s/d sekarang Inovasi metode pelayanan Pelayanan publik urusan pendidikan Eksternal Pemda

2009 s/d sekarang Inovasi produk pelayanan Pelayanan publik urusan pendidikan Eksternal Pemda

Mendirikan SPAS berbasis Desa / Kelurahan. Melibatkan volunteer untuk mengajar. Dispora, UPT sebagai Tim Monev Tahun 2010 SPAS diintegrasikan dengan program PAUD pemerintah

Menjadi supporting Pelatihan bagi guru ttg Fasilitas antar program Pendidikan moving class+cinema jemput bagi guru yg Gratis provinsi &pro- class+penggunaan rumahnya lebih 1,5 gram BOS/BOSDA perangkat audio Km dari sekolah. visual+materi muatan Bebas uang seRazia anak sekolah lokal. kolah, SPP, uang saat jam belajar. buku tingkat SD, Setiap sekolah ruang Membuka akses SMP, SMA khusus cinema class complain system (sederajat) baik difasilitasi perangkat via SMS bagi masy. negeri / swasta audio visual, serlaku yg melihat anak yg bolos sekolah Dana sharing APBD sekolah swasta/negeri Provinsi Kabupaten. Meningkatkan akses Meningkatkan akses Memperbaiki kualitas Meningkatkan pelayanan & pemerataan pembelajaran di kelas akses & kualitas pendidikan pelayanan & menanamkan nilai pendidikan pendidikan. budaya lokal makssar Masyarakat Desa Masyarakat melalui Pihak swasta sebagai Kerjasama Dispora mehibahkan lahan & Komite Sekolah penyedia teknologi & & Satpol PP menjadi volunteer hanya pengawas konsultan melatih guru Animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya meningkat, tampak dari meningkatnya Angka Partiipasi Murni (APM) & Angka Lulus (AL) semua jenjang sekolah. Angka lanjut ke jenjang lebih tinggi meningkat dan angka buta huruf & baca Alquran juga makin menurun. Secara makro berdampak terhadap perbaikan indeks pendidikan dan capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami peningkatan sejak program inovasi dilaksanakan. Selama dua periode (2005/2010 & 2010/2015) pemerintahan Bupati Gowa IYL tidak mengalami kendala di setiap tahunnya. Sehingga untuk menjamin sustainability program, maka secara kelembagaan diterbitkan Perda No. 4/2008 tentang Pendidikan Gratis & Perda No. 10/2009 tentang Program Wajib Belajar. Selain itu juga di setiap tahun diterbitkan Keputusan Bupati yang mengatur pelaksanaan program SPAS, PDEP, Pendidikan Gratis, & Satgas Pendidikan, termasuk di dalamnya mengenai dukungan alokasi anggaran yang selalu meningkat. Sudah menjadi komitmen politik juga antara Pemda dan DPRD untuk selalu memprioritaskan program dalam urusan pendidikan karena telah menjadi prioritas agenda pembangunan daerah yang tertuang dalam RPJMD dan RPJMP Kabupaten Gowa.

Sumber: Diolah dari hasil kajian Disertasi ini (2015)

365

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang berkaitan dengan jenis program yang dikembangkan kemudian dianalisis dengan teori dan konsep dari beberapa ahli, maka dirumuskanlah proposisi sebagai berikut: Proposisi Minor 3: Jika tipologi program inovasi pemerintahan diadopsi melalui strategi replikasi/imitasi, maka program inovasi pemerintahan daerah bersifat inkremental & dimodifikasi serta harus memiliki nilai perbaikan terhadap pelayanan publik.

Proposisi Minor 4: Program inovasi urusan pendidikan bisa dinilai dari segi dampak positif, keterlibatan aktor-aktor, pemberdayaan masyarakat, keberlanjutan, konteks lokal, dan dapat ditransfer serta direplikasi/imitasi oleh daerah lain.

5.2.3

Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Penyelenggaraan Urusan Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian, terdapat fakta-fakta yang berkaitan dengan

bagaimana kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Fakta-fakta tentang kapasitas inovasi pemerintahan daerah yang dimaksud meliputi (a) kapasitas kepemimpinan Bupati; (b) kapasitas aparatur pelaksana program inovasi; (c) kapasitas anggaran program inovasi. (d) kapasitas jaringan (networking) pemerintahan daerah; (e) kapasitas regulasi dalam mendukung pelaksanaan program inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan. Pada bagian berikut ini akan dijelaskan masing-masing kapasitas pemerintahan daerah tersebut. (a) Kapasitas Kepemimpinan Inovatif Bupati Kapasitas kepemimpinan inovatif adalah kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mendorong pengembangan inovasi dalam suatu organisasi tertentu. Seorang pemimpin yang memiliki kapasitas inovasi adalah pemimpin yang tentu saja menguasai pengetahuan dan berwawasan yang luas

366

dalam hal pengembangan inovasi. Namun penguasaan pengetahuan yang mendalam dan wawasan yang luas tidaklah cukup efektif dalam pengembangan inovasi, jika tidak disertai dengan komitmen yang tinggi dan kemampuan untuk melaksanakannya. Dengan demikian, inovasi yang dikembangkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi diharapkan memberi dampak tehadap anggota organisasinya. Dalam konteks penelitian ini, penggambaran kapasitas kepemimpinan inovatif hanya fokus pada kepasitas kepemimpinan Kepala Daerah (Bupati) Gowa dalam mendorong pengembangan inovasi spesifik pada pelaksanaan urusan pendidikan. Sekaitan dengan hal tersebut, kapasitas kepemimpinan inovatif dilihat dan diukur melalui sejauhmana komitmen dan kemauan politik (political will) bupati dalam memberikan public service dan menyediakan public goods kepada warganya. Selain itu, kapasitas kepemimpina inovatif Bupati akan ditinjau pula dilihat dari aspek visi-misi pengembangan inovasi yang dibangun, langkah-langkah strategis yang diambil untuk mendorong inovasi, dan stabilitas kepemimpinan bupati sebagai kepala daerah dan kepala pemerintahan. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dapat digambarkan beberapa hal yang berkaitan dengan kapasitas kepemimpinan inovatif yang diukur melalui komitmen dan political will dari Bupati Gowa. Pertama, bahwa komitmen dan political will Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sudah sangat nampak ketika baru saja selesai dilantik bersama Wakil Bupati Abd Razak Badjidu untuk periode 2005-2010 pada tanggal 13 Agustus 2005 oleh Gubernur Sulawesi Selatan HM Amin Syam di lapangan Syekh Yusuf, Sungguminasa Kabupaten Gowa. Ketika itu setelah pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Gowa berlangsung, maka dilanjutkan dengan penandatanganan ”kontrak politik” yang disaksikan oleh berbagai kalangan masyarakat yang hadir. Di antara isi ”kontrak politik” tersebut

367

yang terkait dengan pelayanan pendidikan adalah membangun 154 buah sanggar anak saleh. Program sanggar anak saleh inilah yang kemudian dikenal dengan Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS). Pengembangan SPAS ini pula menjadi progran unggulan sekaligus inovatif di awal pemerintahannya. Selain itu, ”kontrak politik” tersebut juga berisi pemberian secara gratis buku wajib kepada 2.846 anak SD yang berasal dari keluarga miskin. Sesuai dengan komitmen dalam ”kontrak politik”, hanya dalam jangka waktu satu tahun, pengembangan 154 unit SPAS dan pemberian buku gratis pada anak SD dari keluarga miskin sudah dapat terealisasi. Kedua, komitmen dan political will yang tinggi oleh Bupati Gowa tercermin pula pada pengembangan kebijakan dan program inovatif yang bernama program pendidikan gratis. Di mana program terobosan pendidikan gratis ini adalah program yang dimaksudkan untuk mengakselerasi peningkatan kualitas dan aksesibilitas masyarakat Gowa terhadap dunia pendidikan. Dalam rangka mempercepat realisasi dari program pendidikan gratis tersebut, maka langkah yang diambil bupati adalah segera mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pendidikan Gratis kepada DPRD yang kemudian disahkan menjadi Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Setelah itu, dalam rangka pelakasanaan perda tersebut maka bupati segera pula menerbitkan Peraturan Bupati Gowa Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis. Ketiga, bermula dari keprihatinan melihat kondisi kualitas output sekolah yang masih rendah yang diakibatkan oleh proses pembelajaran yang belum efektif maka Bupati Gowa mengambil langkah-langkah antara lain studi banding, baik ke daerah-daerah maupun ke negara yang memiliki metode pembelajaran dan sistem pendidikan yang sudah maju. Program studi banding yang dipelopori

368

oleh bupati dengan menyertakan pihak terkait (DPRD, Dinas Dikpora dan dewan pendidikan) bertujuan untuk mengadopsi metode dan sistem pembelajaran yang telah berhasil diterapkan disana. Hasilnya adalah mengadopsi metode dan sistem pembelajaran yang berbasis pada audio visual (cinema class). Metode dan sistem pembelajaran inilah yang kemudian dikenal dengan Punggawa D’Emba Education Program. Disamping itu, Bupati Gowa juga melakukan terobosan kebijakan yang cukup inovatif yakni kerja sama antar perangkat daerah yakni Satpol PP dan Dinas Dikpora dengan membentuk Satpol (Satgas) Pendidikan, seperti sudah diuraikan secara deskriptif pada bagian sebelumnya. Tentu peran dari Bupati Gowa tidak hanya pada fase memunculkan gagasan dan ide untuk mengembangkan kebijakan dan program inovasi dalam penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam uraian ketiga fakta di atas. Namun bupati juga sangat aktif dan paling terdepan dalam sosialisasi dan mensukseskan pelaksanaan program-program inovatif tersebut. Padahal sesungguhnya terdapat perangkat daerah yakni Dinas Dikpora selaku pembantu kepala daerah untuk pelaksanaan urusan pendidikan. Kapasitas kepemimpinan inovatif seorang bupati bisa juga dinilai dari visimisi yang ingin dikembangkan. Berdasarkan catatan hasil penelitian di lapangan diperoleh fakta bahwa Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo bersama Wakil Bupati Abd Razak Badjidu adalah kepala daerah yang diusung oleh Partai Golkar, Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan Partai Demokrat dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung pada 27 Juni 2005. Pasangan kepala daerah ini merupakan kepala daerah pertama di Gowa yang dipilih melalui pemelihan kepala daerah secara langsung. Sejak masa kampanye calon kepala daerah waktu itu, Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo sudah menyatakan bahwa visi pemerintahan dan pembangunan Kabupaten Gowa harus memprioritaskan

369

pembangunan sumber daya manusia, terutama bidang pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat. Dari sini sudah nampak adanya visi yang kuat dari Bupati Gowa untuk menjadikan urusan pendidikan sebagai kebijakan strategis pemerintah daerah melalui kebijakan dan program yang inovatif. Atas dasar visi dan misi pembangunan manusia yang bertumpu pada bidang pendidikan inilah yang diterjemahkan ke dalam visi dan misi daerah Kabupaten Gowa. Hal ini tercermin dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015. Visi daerah Kabupaten Gowa tersebut berbunyi ”Terwujudnya Gowa yang Handal dalam Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat dan Penyelengaraan Pemerintahan”. Selanjutnya salah satu misi yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi daerah Gowa tersebut, yakni handal dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Pemenuhan hak-hak dasar masyarakat salah satu di antaranya adalah melalui pemberian pelayanan dan penyediaan fasilitas publik yang optimal dalam bidang pendidikan. Langkah

strategis

selanjutnya

untuk

mewujudkan

visi

dan

misi

pembangunan daerah dalam memenuhi hak-hak dasar masyarakat Gowa terutama hak dasar di bidang pendidikan, pemerintah daerah menjadikan isu peningkatan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama dalam pembangunan daerah. Sebagaimana dapat dilihat dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Gowa tahun 2010. Dalam kebijakan RKPD ini pemerintah daerah menetapkan enam prioritas pembangunan daerah yang meliputi: (1) Peningkatan mutu pendidikan; (2) Peningkatan derajat kesehatan masyarakat;

(3)

Peningkatan

penanggulangan

kemiskinan

terpadu;

(4)

Peningkatan mutu dan produksi pertanian; (5) Peningkatan kualitas dan akses

370

infrastruktur ke sentra perekonomian; dan (6) Peningkatan kompetensi aparatur dan kelembagaan masyarakat. Menjadikan isu peningkatan mutu pendidikan sebagai prioritas pertama dalam kebijakan RKPD Kabupaten Gowa tahun 2010 menunjukkan bahwa pemerintah daerah di bawah komando Bupati Ichsan Yasin Limpo memiliki komitmen politik yang kuat dalam pelayanan (urusan) pendidikan. Apalagi jika dilihat kembali program kerja dan alokasi anggaran yang cukup besar bagi sektor pendidikan. Fakta-fakta hasil kajian ini, di mana peran dan kontribusi Bupati sebagai pemimpin pemerintahan daerah sangat menonjol dan strategis, hal ini rupanya sangat relevan dengan hasil kajian dari Evans (2010) yang melakukan kajian tentang kapasitas inovasi pemerintahan daerah terhadap delapan studi kasus yang berbeda. Hasil kajian Evans kemudian dirangkum dalam tulisan “Building the Capacity for Local Government Innovationm: Case studies from the Australian, New Zaeland, and British contexts”. Melalui kajian dengan

menggunakan

manajer

informan/responden

senior

terungkap

pemerintah

beberapa

daerah

pelajaran

sebagai

penting

bagi

pengembangan kapasitas inovasi pemerintah daerah yaitu (a) kapasitas mengetahui adanya kesenjangan metode dan pemberian pelayanan; (b) kapasitas

membangun

kemitraan

dengan

stakeholders

yang

memiliki

sumberdaya; (c) kapasitas bertindak dalam kerangka kebijakan legislatif dan memanfaatkan situasi politik secara tepat; (d) munculnya pemimpin yang memiliki agenda reformasi untuk inovasi; (e) dukungan dari pemimpin politik dan menajemen senior; (f) kolaborasi lintas-departemen dan unit pelayanan melalui

371

komunikasi yang efektif; (g) keterlibatan warga lokal; dan (h) tersedianya teknologi baru yang mendukung pelaksanaan program inovasi Demikian pula hasil kajian ini juga relevan dengan hasil temuan Capuno (2010), yang mengkaji pentingnya posisi para pemimpin daerah sebagai penggerak utama inovasi pemerintahan daerah di Negara Filipina. Hasil kajiannya dimuat dalam artikel berjudul: Leadership and Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local Governments in the Philippines. Melalui metode observasi dan survei merumuskan beberapa kesimpulan, antara lain: (a) di era desentralisasi yang sudah berlangsung 20 tahun, pemerintah daerah berhasil melakukan inovasi dalam berbagai sektor; (b) pemimpin daerah yang masih berkuasa (incumbent mayors) menjadi pendorong utama lahirnya ide dan suksesnya pelaksanaan program inovasi di daerahnya; (c) pemimpin yang berhasil mengembangkan inovasi sangat tergantung pada situasi lingkungan (sumber daya alam), pengetahuan, pengalaman, dan insentif yang diterima; (d) faktor kritis lain selain faktor kepemimpinan adalah faktor kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah, aparatur yang profesional, dan pelibatan sektor swasta. (b)

Kapasitas Aparatur Pelaksana Program Inovasi Secara

teoritis,

unsur

aparatur

sebagai

pelaksana

organisasi

pemerintahan daerah memiliki posisi yang sangat strategis dalam menentukan terwujudnya visi dan misi suatu daerah. Personel atau pegawai yang mengisi ini disebut aparatur organisasi. Aparatur-aparatur inilah yang memiliki peran vital dalam menentukan apakah visi dan misi organisasi bisa terwujud. Oleh karena itu aparatur yang mengisi bangunan organisasi itu harus melalui sebuah proses seleksi (selected). Pemilihan dan seleksi dilakukan untuk menjamin kualitas

372

aparatur yang sesuai dengan kualifikasi-kualifikasi yang dibutuhkan dalam mewujudkan visi dan misi organisasi (Rohdewohld dikutip oleh Said (2007). Menurut Girndle (1997), Fiszbein (1997) dan D.Eade (1998) dalam Keban (2000) & Soeprato (2004) secara saksama

menyatakan bahwa untuk

mewujudkan visi misi dan program suatu organisasi termasuk program yang bersifat inovasi haruslah ditunjang oleh pegawai/aparatur yang memiliki kapasitas. Kapasitas aparatur dapat diukur dari profesionalitas dan kemampuan teknis yang dimilikinya. Agar selalu tersedia aparatur yang profesioanl dan memiliki teknis yang diinginkan, maka beberapa kegiatan yang harus dilakukan antara lain: training, pemberian gaji/upah, lingkungan kerja yang kondunsif dan sistim rekruitmen yang tepat. Dalam konteks hasil penelitian ini, dapat dikemukakan aparatur pelaksana program inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan adalah aparatur yang memiliki kapasitas. Kapasitas aparatur pelaksana inovasi adalah

tenaga

pelaksana

(work-force)

berkualitas

dalam

mendukung

pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan. Ketersediaan tenaga kerja yang berkualitas menjadi penting, karena apalah artinya sebuah kebijakan dan program inovatif yang digagas oleh seorang Kepala Daerah (Bupati) tanpa ditunjang oleh adanya tenaga kerja yang berada paling di depan dan mengetahui bagaimana aspek teknis dan aspek operasional dari program-program tersebut dilapangan. Tersedianya aparatur pemerintah daerah yang memiliki kualitas dan kompetensi yang memadai berupa keterampilan (skill) dan pengetahuan (knowledge) untuk mengembangkan praktek-praktek inovasi dalam urusan pendidikan. Sementara tenaga pelaksana yang dimaksudkan adalah aparatur pemerintah daerah yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan aparatur non

373

PNS, baik aparatur yang berada pada posisi jabatan struktural maupun aparatur yang berstatus sebagai pegawai dengan jabatan fungsional seperti guru-guru yang mengajar di sekolah. Mereka adalah aparatur pemerintah daerah Kabupaten Gowa yang diberi tugas dan bekerja pada instansi Dispora. (c) Kapasitas Anggaran untuk Program Inovasi Kapasitas anggaran pendukung inovasi dalam bahasan ini adalah pernyataan yang terkait dengan penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program inovasi. Penentuan jumlah alokasi dana untuk mendukung program inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan telah melalui mekanisme yang lazim berlangsung dalam pemerintahan daerah. Mekanisme penentuan besaran alokasi dana pada tiap program kerja pemerintah tersebut umumnya melalui mekanisme politik. Mekanisme politik anggaran pada tingkat kabupaten dilakukan bersama antara pemerintah daerah (bupati) dan DPRD. Mekanisme politik ini harus dilalui untuk memperoleh pengesahan (legitimasi politik) dari DPRD sebagai lembaga representasi dari masyarakat. Besaran alokasi dana untuk program kerja pemerintah daerah biasanya tertuang dan merupakan bagian dari kebijakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) suatu daerah. Demikian halnya dengan penentuan besaran alokasi dana untuk mendukung program inovasi urusan pendidikan yang sedang berlangsung tentu telah melalui proses politik dan telah dinyatakan dalam APBD kabupaten Gowa. Hal yang penting pula selain besaran alokasi anggaran yang ditemukan di atas adalah berhubungan dengan sumber anggaran yang mengisi kapasitas anggaran daerah untuk membiayai pelaksanaan kebijakan dan program inovasi bidang pendidikan. Berdasarkan fakta empiris ditemukan bahwa sumber-sumber pembiayaan untuk pelaksanaan kebijakan dan program inovasi hanya berasal dari satu sumber saja yakni pemerintah daerah melalui APBD. Sementara itu,

374

peneliti tidak mendapatkan data atau informasi tentang adanya sumber-sumber pembiayaan dari pihak lain seperti pihak swasta. Kecuali bantuan-bantuan yang sifatnya nonfinansial ada yang berasal dari pihak swasta setempat seperti material bangunan sekolah dan peralatan teknologi untuk laboratorium sekolah berupa komputer dan fasilitas internet. Pihak swasta atau perusahaanperusahaan yang beraktivitas dan beroperasi di daerah ini biasanya memberikan bantuan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang mereka miliki. Fakta tentang sumber anggaran dalam temuan ini mengindikasikan bahwa kapasitas anggaran untuk membiayai pelaksanaan program-program inovasi bidang pendidikan sangat tergantung pada kondisi keuangan daerah setempat. Ketergantungan pembiayaan program inovasi ini yang begitu tinggi terhadap keuangan daerah, memunculkan kekhawatiran akan mengganggu (mengurangi) porsi alokasi dana pada program-program non bidang pendidikan. Misalnya

program

bidang

kesehatan,

bidang

infrastruktur

dan

bidang

pengembangan ekonomi lokal yang juga tidak kalah pentingnya untuk mendapatkan alokasi dana yang memadai. Mengingat program-program tersebut juga menjadi program prioritas pembangunan daerah selama ini. (d) Kapasitas Jaringan Pemerintahan Daerah untuk Program Inovasi Kapasitas jaringan yang dimaksud dalam konteks penelitian ini meliputi kapasitas jaringan internal pemerintahan dan kapasitas jaringan eksternal pemerintahan. Kapasitas jaringan internal pemerintahan adalah kemampuan membangun jaringan antar organisasi dalam pemerintahan itu sendiri. Misalnya jaringan kerjasama antara pemerintah daerah dengan DPRD dan jaringan kerjasama antara pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah daerah provinsi.

375

Termasuk juga jaringan yang terbangun antar SKPD dalam organisasi pemerintah daerah. Sementara itu, kapasitas jaringan eksternal pemerintahan adalah kemampuan membangun jaringan kerjasama antara pemerintah daerah dengan institusi-institusi di luar lingkup pemerintahan. Misalnya jaringan kerjasama antara institusi pemerintah daerah dengan institusi swasta (private sector) dan insitusi sosial kemasyarakatan yang terdapat di daerah dan peduli terhadap kemajuan pendidikan. Terutama mereka yang memiliki keinginan berpartisipasi dalam

pengembangan

program-program

inovasi

yang

digalakkan

oleh

pemerintah daerah. Misalnya institusi perbankan, organisasi profesi pendidikan (PGRI), perguruan tinggi, Muhammadyah, NU, LSM dan lain sebagainya. Termasuk juga dewan pendidikan dan komite-komite sekolah yang sudah terbentuk dan aktif selama ini merupakan jenis jaringan yang bersifat eksternal dalam konteks pelaksanan program inovasi bidang pendidikan. Selain jaringan internal pemerintahan antara pemerintah daerah dan DPRD sebagaimana telah dideskripsikan di atas, juga sudah terbangun bentuk jaringan kerjasama antar SKPD yakni Dinas Dikpora dan Satpol Pamong Praja. Perwujudan dari jaringan kerjasama antar kedua SKPD tersebut adalah pembentukan Satgas Pendidikan. Pembentukan satgas ini selain dimaksudkan untuk mengawal implementasi perda dan peraturan bupati yang berhubungan dengan kebijakan dan program inovasi pendidikan, satgas juga ditujukan untuk membantu kelancaran dan ketertiban proses belajar di setiap sekolah. Hingga penelitian dilakukan nampak jaringan kerjasama SKPD dalam bentuk Satgas Pendidikan terbukti cukup efektif dalam mendorong meningkatnya aksesibilitas dan kualitas proses belajar mengajar terutama pada tingkatan sekolah.

376

Jika deskripsi di atas berkaitan dengan kapasitas jaringan internal pemerintahan daerah yang dinilai sangat harmonis yakni antara pemerintah daerah dan lembaga DPRD kabupaten Gowa, maka penting pula disajikan bagaimana jaringan yang terbangun antara pemerintah kabupaten Gowa dengan pemerintahan daerah yang lebih tinggi yakni pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini penting diungkapkan mengingat hubungan antara pemerintah kabupaten Gowa dengan pemerintah provinsi Sulawesi Selatan memiliki ciri yang berbeda dengan pemerintah kabupaten lainnya. Ciri perbedaan yang dimaksud terletak pada adanya garis politik dan latar belakang politik yang sangat kuat antara Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo dan Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo. Kedua pemimpin daerah tersebut memiliki garis politik dan latar belakang politik yang sama yakni keduanya pejabat teras Partai Golkar. Syahrul Yasin Limpo adalah seorang Ketua DPD Partai Golkar dan Ichsan Yasin Limpo adalah Bendahara DPD Partai Golkar Sulawesi Selatan. Kemudian secara geopolitik, sejak lama kabupaten Gowa sudah menjadi salah satu daerah lumbung suara Partai Golkar. Selain hubungan yang kuat karena latar belakang politik yang sama, yang tak kalah penting untuk dicermati adalah kedua pemimpin daerah tersebut memiliki hubungan primordialisme yakni hubungan saudara adik kakak. Simpulan utama dari deskripsi kapasitas jaringan inovasi pemerintah daerah yang diungkapkan di atas meliputi: pertama bahwa pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan dan progam inovasi urusan pendidikan telah berusaha membangun jaringan dengan berbagai stakeholder, baik dengan stakeholder’s internal pemerintahan daerah seperti DPRD, antar SKPD, dan pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi), maupun membangun kemitraan dengan stakeholder’s eksternal pemerintahan daerah seperti Dewan Pendidikan,

377

Komite Sekolah, Perguruan Tinggi (UNHAS, UNM, dan UM Malang), PGRI, rekanan pihak swasta (I-Solution), dan LSM-LSM lokal. Kedua, kapasitas jaringan dalam pelaksanaan inovasi bidang pendidikan memiliki beberapa variasi yang berbeda-beda. Jaringan yang terbangun secara internal pemerintahan daerah nampaknya memiliki sifat yang lebih kuat karena jaringan itu berfungsi sejak pada tahap perencanaan sampai pada proses implementasi dari sebuah kebijakan dan program inovasi. Berbeda dengan jaringan inovasi dengan pihak stakeholder’s eksternal, kebanyakan dari pihak stakeholder’s tersebut hanya dilibatkan disaat proses implementasi dan pengawasan berlangsung. Simpulan yang terakhir, adalah bahwa nampaknya membangun jaringan dalam memperkuat kapasitas berinovasi dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan belum terwujud secara efektif. Terutama fakta ini dapat dilihat pada jaringan dengan stakeholder’s eksternal pemerintahan, dimana hasil penelitian menunjukkan keterlibatan mereka dalam penyelenggaraan urusan pendidikan masih sangat terbatas. Selanjutnya pada bagian berikut ini akan diuraikan bagaimana kapasitas regulasi daerah dalam mendukung budaya inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. (e) Kapasitas Regulasi untuk Inovasi Kapasitas regulasi yang dimaksud berkaitan dengan jenis regulasi seperti regulasi yang mengatur tentang bagaimana sistem berbagi pengetahuan, regulasi tentang sistem penghargaan (reward dan punishment), dan juga bagaimana

dengan

penyelenggara

atau

sistem pegawai

evaluasi

yang

pemerintah

dilakukan

daerah

yang

pelaksanaan kebijakan dan program inovasi yang dimaksud.

terhadap terlibat

para dalam

378

Berdasarkan

hasil

penelusuran

dokumensi

pemerintah

daerah

dilapangan, peneliti menemukan bahwa jenis regulasi yang bersifat mengatur bagaimana program-program inovasi bidang pendidikan dilaksanakan hanya terdapat 3 (tiga) jenis yakni: (1) Perda Kabupaten Gowa No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis; (2) Perda Kabupaten Gowa No. 10 tentang Wajib Belajar; dan (3) Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis. Sementara jenis regulasi yang bersifat mengurus hanya ada 2 (dua) jenis yakni: (1) Keputusan Bupati Gowa No. 288/VIII/2011 tentang Penetapan Sekolah Penerima Progam Punggawa D’Emba Education; dan (2) Keputusan Bupati Gowa No. 173/I/2012 tentang Susunan Dewan Pakar Pendidikan. Kelima jenis regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah baik yang sifatnya mengatur maupun yang mengurus nampaknya belum menyentuh secara spesifik aspek teknis operasional bagaimana program-program inovasi itu terlaksana dilapangan. Pada temuan peneliti tersebut diatas terdapat 2 (dua) regulasi yang bersifat pengurusan yakni Keputusan Bupati tentang pelaksanaan program Punggawa D’Emba Education Program (PDEP) dan pembentukan Dewan Pakar Pendidikan. Kedua jenis regulasi tersebut menunjukkan sekaligus mempertegas bahwa pemerintah daerah telah melibatkan pihak eksternal khususnya perguruan tinggi untuk mendukung program-program inovasi pendidikan di Gowa. Pada disisi lain, nampaknya tidak ditemukan adanya regulasi yang secara khusus mengatur sistem bagaimana berbagi atau penyebaran pengetahuan dan keterampilan (dissemination system of the knowledge and skill) bagi sesama pegawai dalam penyelenggaraan program tertentu. Serta belum ada pula aturan khusus tentang sistem pemberian penghargaan (reward) bagi aparatur pelaksana yang memiliki prestasi dalam penyelenggaraan program inovasi

379

tersebut. Demikian halnya dalam sistem evaluasi, peneliti juga tidak menemukan adanya aturan khusus tentang bagaimana sistem evaluasi terhadap personil pelaksana program-program inovasi bidang pendidikan. Berdasarkan fakta hasil penelitian di atas, nampaknya belum sepenuhnya sesuai dengan teori dan konsep kapasitas organisasi pemerintahan yang seharusnya dimiliki oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam mengelola program inovasi urusan pendidikan. Konsep kapasitas organisasi yang dikembangkan oleh Grindle (1997) menerangkankan bahwa ada tiga dimensi kapasitas yakni dimensi sumberdaya manusia, dimensi organisasi, dan dimensi reformasi kelembagaan. Kim, et al (2007), dalam studinya berjudul “The Quality of Management and Government Innovation: An Empirical Study” mengungkap sebuah model kapasitas manajemen dan inovasi pemerintahan, yang terdiri dari empat dimensi yang membangun kapasitas manajemen pemerintahan dalam berinovasi. Keempat dimensi dari model kapasitas manajemen inovasi pemerintahan meliputi; (1) kepemimpinan inovatif (innovative leadership); (2) kualitas timkerja (quality of workforce); (3) sistem/struktur (systems/stuctures); dan (4) pengelolaan pengaruh dari luar (managing external influences). Menyimak teori-teori kapasitas oleh Grindle (1997) dan Kim,et al (2007) di atas, kemudian dihubungkan dengan hasil penelitian, nampak bahwa yang menonjol hanya pada dimensi organisasi terutama pada unsur kepemimpinan (leadership) sebagaimana fakta di mana kepemimpinan Kepala Daerah (Bupati) Ichsan Yasin Limpo sangat dominan dalam mendorong pengembangan inovasi di daerahnya. Selain itu, yang dominan juga adalah faktor kapasitas anggaran yang sangat menentukan terealisasinya program inovasi terutama pada program Pendidikan Gratis, di mana profil program ini sangat berbasis pada anggaran.

380

Kapasitas dukungan politik nampaknya juga sangat kuat, terutama karena Bupati Gowa berasal dari Partai Golkar yang memiliki kursi terbanyak di DPRD dan juga adanya klan primordial dengan Syahrul Yasin Limpo Gubernur Sulawesi Selatan. KAPASITAS INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM URUSAN PENDIDIKAN

Kepemimpinan inovatif

Kepemimpin -an Bupati

Kualitas aparatur (tim)

Pelaksana Program

System/struktur yang kuat

Anggaran Program

Mengelola pengaruh eksternal

Jaringan Pemerintahan

Regulasi Program

Gambar 25. Pohon Analisis Kapasitas Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Urusan Pendidikan

Gambar 25 menunjukkan bagaimana penggunaan pola analisis induktif dalam analisis model spiral, yakni dimulai dari beragam informasi dan data empirik tentang aspek-aspek kapasitas inovasi kemudian meluas menjadi tematema yang lebih spesifik tentang dimensi-dimensi kapasitas inovasi dan terakhir mengerucut pada tema yang lebih umum dan abstrak yaitu kapasitas inovasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam urusan pendidikan. Selanjutnya digambarkan bagaimana keterkaitan antara kapasitas kepemimpinan daerah yang mendukung inovasi (leadership support) dan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah (institutional capacity) dalam pengembangan program inovasi pemerintahan daerah yang efektif. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 26 yang menunjukkan bahwa jika pengembangan inovasi didukung oleh kepemimpinan yang memiliki komitmen dan kemauan politik kuat, visi dan misi inovasi yang jelas, kepemiminan yang stabil dan motif inovasi yang mendasar disertai dengan adanya kapasitas kelembagaan yang meliputi mandat

381

organisasi untuk inovasi dalam wujud perencanaan strategis, RPJMD & RPJPD, tersedianya regulasi yang cukup sebagai dasar hukum inovasi, tim kerja (aparatur profeional), dan anggaran (dalam APBD) yang mendukung serta jaringan baik internal maupun jaringan eksternal, maka pengembangan inovasi diyakini akan berlangsung efektif.

Gambar 26:

Keterkaitan antara leadership support dan institutional capacity untuk pengembangan inovasi

Sumber: Diadaptasi dari hasil kajian disertasi ini (2016), Muluk (2008) dan Kim, et al (2007)

Melalui pembahasan terhadap hasil penelitian tentang kapasitas inovasi pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam urusan pendidikan, maka berikut ini diformulasikan proposisi penelitian dari pembahasan tersebut. Proposisi Minor 5: Program inovasi urusan pendidikan yang ditentukan oleh dominasi kapasitas kepemimpinan Bupati dan ketersediaan anggaran (APBD/APBN) bisa berlangsung efektif untuk jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh tersedianya kapasitas pemerintahan daerah secara komprehensif yakni kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur, struktur dan sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik & jaringan)

382

Proposisi Minor 6: Penyelenggaraan pemerintahan daerah urusan pendidikan adalah bagian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan urusan pemerintahan secara nasional sehingga pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang efektif harus didukung kebijakan dan program dalam urusan pendidikan pada tingkat provinsi dan pemerintah pusat.

Berdasarkan proposisi minor yang telah dirumuskan proses analisis terhadap hasil penelitian tentang pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa, maka berikut ini dirumuskanlah proposisi mayor sebagai kesimpulan dari proposisi-proposisi minor tersebut.

Proposisi Mayor:

5.2.4

Pengembangan program inovasi urusan pendidikan harus didukung oleh proses politik dan proses manajerial / administrasi inovatif pula, program inovasi bisa bersumber dari mitra internal dan eksternal pemerintahan melalui proses adopsi dengan strategi replikasi, pengembangan kebijakan dan program inovasi pemerintahan daerah dapat berlangsung efektif jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh kapasitas kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan jaringan), serta terbingkai dalam desain kebijakan dan program inovasi secara nasional

Perbandingan Hasil Kajian Disertasi ini dengan Penelitian Terdahulu Pada bagian ini menguraikan bagaimana perbandingan hasil kajian dalam

disertasi ini dengan hasil kajian penelitian terdahulu. Perbandingan hasil kajian dimaksudkan untuk melihat apakah hasil penelitian disertasi ini memiliki kontribusi dengan hasil-hasil kajian sebelumnya sebagaimana yang telah ditampilkan Bab II tentang tinjauan pustaka. Pada Tabel 37 berikut diuraikan 11 hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai ahli dan peneliti administrasi

383

publik yang penelitiannya dilaksanakan tidak hanya di Indonesia tetapi juga penelitian yang telah dilakukan di negara-negara lain.

Tabel 37.

No. 1.

Matriks Hasil Kajian Penelitian Terdahulu dan Kontribusi Hasil Kajian Disertasi Ini

Penulis, Tahun dan Judul Eko Prasojo & Teguh Kurniawan (2006), “Bebas Iuran Sekolah dan JKJ: Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana”.

2.

Fadel Muhammad (2007) Signifikansi Peran Kapasitas Manajemen Kewirausahaan terhadap Kinerja Pemda: Studi Kasus Gorontalo

3.

Graham Orange, Tony Elliman, Ah Lian Kor, & Rana Tassabehji (2007) Local Government and Social or Innovation Values

Kajian Penelitian Terdahulu

Hasil Kajian Disertasi ini

Dominasi peran bupati dalam program inovasi, krn memiliki political will dan commitment yang tinggi. Operasional program inovatif melibatkan organisasi lokal, program efisiensi & efektivitas di semua sektor, dan memunculkan perubahan budaya birokrasi. Program inovatif yang berkelanjutan.

Peran Bupati sebagai kepala pemerintahan daerah sangat dominan karena memiliki political will & komitmen tinggi, pelibatan organisasi lokal dan program inovatif yang berkelanjutan. Besarnya anggaran (APBD/APBN) yg tersedia sangat mendukung program inovasi

Mendukung bahwa peran Bupati sangat dominan karena memiliki political will & komitmen tinggi, pelibatan organisasi lokal dan program inovatif yang berkelanjutan

Inovasi penguatan kapasitas manajemen pemerintahan yakni reformasi tatakelola keuangan, organisasi matriks, mobile government, TKD, penilaian kinerja individu.Inovasi relasi faktor endowment daerah dengan lingkungan makro melalui kebijakan kemudahan investasi

Upaya peningkatan kapa-sitas inovasi di mana tersedia kepemimpinan inovatif, kualitas timkerja (aparatur), anggaran, regulasi dan membangun relasi atau networking secara ekternal yang mendukung program inovasi dalam urusan pendidikan

Mendukung upaya peningkatan kapasitas dan memba-ngun relasi atau networking secara ekternal yang mendukung program

Pengembangkan model nilai inovasi pemerintahan daerah yang berdasar tiga dimensi yang saling berkorelasi. Ketiga dimensi nilai inovasi tersebut meliputi people dimension, process dimension, dan technology dimension. Ketiga dimensi judi ukuran nilai publik (social values) inovasi.

Pengembangan program inovasi melalui proses politik (mengatur) & proses manajerial (mengurus). Tipologi program inovasi Punggawa D’Emba Education yg berbasis teknologi informasi (audio visual). Replikasi program inovasi tetap melihat kebutuhan nilai-nilai masyarakat lokal (local social values)

Mendukung model nilai inovasi yang berdasarkan tiga dimensi people, process, & technology.

Kontribusi

384

No. 4.

Penulis, Tahun dan Judul

Kajian Penelitian Terdahulu

Hasil Kajian Disertasi ini

M.A. Ajibola (2008)

Renovasi kurikulum realistik & berpusat childcentered. Kebijakan kurikulum yang menganut prinsip quality (mendorong kepercayaan diri & kemampuan anak didik menyelesaikan masalah dan prinsip relevance (model sistem kurikulum sekolah fleksibel & adaptif. Paradigma interdisciplinary, openended, inter-generational and inter-professional, multiculturalism&sustainability.

Tipologi program inovasi SPAS, Punggawa D’Emba Education, Pendidikan Gratis & Satgas Pendidikan dikembangkan utk mengurangi lemahnya aksesibilitas masyarakat, mengangkat kualitas pembelajaran yg berbasis pada anak & guru dgn metode audio visual. Porgram inovasi ini replikasi & incremental, serta adanya partisipasi masyarakat lokal (desa

Mendukung pada revolusi kurikulum yg berpusat pada anak, kebijakan yang menganut prinsip kualitas, model kurikulum fleksibel & adaftif, melalui program Punggawa D’Emba Education

Fokus pada kualitas manajemen sebagai refleksi dari inovasi. Kualitas manajerial adalah unsur utama inovasi, sehingga tidak bisa diabaikan walaupun berfluktuasi. Kualitas manajemen (inovasi) di Korea dipengaruhi oleh praktek di Jepang dan Amerika

Pengembangan program inovasi melalui proses politik (mengatur) peru- musan Perda oleh KDH & DPRD dan proses manajerial (mengurus) yakni impelementasi Perda) dilaksanakan KDH & birokrasi (perangkat daerah). Proses manajrial inilah harus berkualitas dlm mengembngkn program inovasi

Mendukung inovasi/ kuaitas manajerial terutama terkait dgn proses manjerial dalam mplementasi program inovasi

Kapasitas inovasi pemda dalam (a) mengetahui kesenjangan pelayanan; (b) kemitraan stakeholders; (c) bertindak dalam kerangka legislatif & politik yg tepat; (d) pemimpin dgm agenda reformasi utk inovasi; (e) dukungan pemimpin politik, mena-jemen senior; (f) kola-borasi lintas-unit pela-yanan; (g) keterlibatan warga lokal; & (h) tersedia teknologi baru.

Pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dalam berinovasi melalui tersedianya: (a) kepemimpinan Bupati inovatif; (b) tim kerja (aparatur) yang berkualitas; (c) anggaran yg tersedia; (d) struktur & system yg mendukung inovasi; (e) kemampuan mengelola pengaruh eksternal (jaringan internal/eksternal) pemerintahan

Mendukung pengembangan kapasitas pemda kerangka legislatif & situasi politik yg tepat, pemimpin agenda inovasi, dukungan politik, kolaborasi lintas departemen, pelibatan warga lokal & tersedia-nya teknologi baru

Innovation and Curriculum Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges of Practice and Implementation

5.

Pan Suk Kim (2009) Quality as a Reflection of Innovation? Quality of Management in the Korean Government.

6.

Mark Evans (2010) Building the Capacity for Local Government Innovation: Case Studies from the Australian, New Zaeland, and British Context.

Kontribusi

385

No. 7.

Penulis, Tahun dan Judul

Kajian Penelitian Terdahulu

Hasil Kajian Disertasi ini

Joseph J. Capuno (2010)

Hasil kajian yaitu: (a) di era desentralisasi, pemerintah daerah berhasil berinovasi; (b) pemimpin (incumbent mayors) pendorong utama ide dan sukses program inovasi; (c) pemimpin berhasil tergantung lingkungan, pengetahuan, pengalaman, & insentif; (d) jangkauan inovasi luas & variasi bermanfaat langsung pada konstituen; (e) faktor kritis lain, adalah kelembagaan meliputi kapasitas fiskal daerah, kualitas birokrasi daerah, aparatur profesional, & stakeholers. Sistem pendidikan sekolah harus berbudaya dinamis & berorientasi kedepan, maka perlu proses penciptaan & pengembangan: (a) upaya meningkatkan kualitas & produktivitas & efisiensi yg dicapai; (b) inovasi butuh pembangunan tidak hanya membentuk individu kreatif saja tetapi menciptakan inovasi berkelanjutan; (c) pemimpin di sekolah pencipta budaya inovasi; dan (d) budaya inovasi di sekolah wujud sistem pendidikan yang transformatif. Fokus pada keterlibatan multi-aktor dalam proses inovasi sektor publik. Hasil kajian melahirkan model inovasi yg disebut Model Inovasi Terbuka (the open innovation model).

Pengembangan inovasi pemerintahan daerah dlm urusan pendidikan dikaji dalam konteks kebijakan desentralisasi. Proses pengembangan program inovasi melalui proses politik (mengatur) oleh KDH & DPRD dan proses manajerial oleh KDH & perangkatnya. Tipologi inovasi direplikasi & incremental, dan bermanfaat nyata untuk jangka panjang. Kapasitas kepemimpinan & anggaran sangat dominan dlm suksesnya program inovasi

Mendukung & relevan penelitian ini, yg dilakukan kajian dlm konteks desentralisasi, pemimpin incum-bent pendorong utama ide & sukses program inovasi, termasuk faktor kritis ttg kapasitas fiscal daerah, aparat birokrasi & stakeholders

Pengembangan program inovasi Punggawa D’Emba Education berbasi teknologi informasi (audio visual) yang berorientasi pada penciptaan kualitas proses pembelajaran, membentuk individu/murid yang kreatif, pemimpin /guru disekolah berinovasi terkait dgn metode bekajar mengajar

Mendukung sesuai dgn program inovasi Punggawa D’Emba Education yang berorientasi pada penciptaan kualitas pembelajaran, membentuk individu kreatif, pemimpin /guru disekolah berinovasi terkait dgn metode bekajar mengajar

Pengembangan program inovasi dalam urusan pendidikan didasarkan pada studi banding di daerah/Negara yg sudah sukses berinovasi

Mendukung konsep inovasi terbuka, terutama hasil penelitian ini yg berkait dgn jaringan eksternal, pelibatan pihak ketiga (ahli) dalam

Leadership and Innovation under Decentralization: A Case Study of Selected Local Governments in the Philippines

8.

Comfort Olufunke Akomolafe (2011) Managing Innovations in Education System in Nigeria: A Focus on Creating and Sustenance of Culture in Innovation

9.

Lea Hennala, Satu Parjanen & Tuomo Uotila (2011)

Kontribusi

386

No.

10.

Penulis, Tahun dan Judul

Kajian Penelitian Terdahulu

Hasil Kajian Disertasi ini

Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector Front-End Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for Developing WellBeing Services

Masuknya informasi dari luar dan pengetahuan dari pengguna layanan berpotensi menghasilkan wawasan baru dan bernilai tambah dalam proses pengembangan inovasi.

Program inovasi adalah replikasi & incremental dgn bermitra dgn pihak ketiga (mitra ahli) yang memiliki pengetahuan & skill terutama pada program Punggawa D’Emba Education.

pengem-bangan program inovasi Punggawa D’Emba Education

Tomi Tura, Satu Pekkarinen, Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi (2011)

Fokus pada potensi konflik dalam inovasi pelayanan publik. Mengungkap beragam tekanan yang mempengaruhi derajat inovasi & diwujudkan sebagai benturan (clashes) & menjadi saling bertolak belakang (controversies) antara berfikir cara lama & cara baru. Tetapi benturan tersebut dapat menjadi dasar yang kuat (platform) bagi inovasi untuk dianalisis dan difasilitasi secara terbuka.

Pengembangan inovasi pemerintahan daerah dlm urusan pendidikan lebih pada inovasi pelayanan publik berkaitan dengan pelayanan dasar. Pengembangan program inovasi urusan pendidikan tidak mengalami benturan baik konsep maupun teknis operasinya karena didasarkan pd masalah dan kebutuhan dasar masyarakat.

Mendukung konsep inovasi pelayanan publik tapi tidak fokus pada potensi konflik didalamnya, juga mendukung bagaimana beralih dari cara lama ke cara baru yg difasilitasi secara terbuka

Pemahaman local government sebagai institusi harus dimaknai dari multi-dimensional perspective. Makna multidimensional perspective dari institusi local government meliputi lima dimensi: social, economic, geographic, legal, dan administrative

Pengembangan inovasi pemerintahan daerah urusan pendidikan dilaku-kan melalui proses politik (mengatur) & proses manajerial / administrasi. Tipologi inovasi yakni SPAS, Punggawa D’Emba Education, Pendidikan Gratis, & Satgas Pendidikan. Kapasitas pemerintahan daerah dlm berinovasi (kepemimpinan inovatif & anggaran besar) utk program inovasi.

Mendukung & relevan dengan dasar kajian ini bahwa local government dipahami dalam multi dimensional perspektif

Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform

11.

Daniel Adetoritse Tonwe (2011) Conceptualizing Local Government from a MultiDimensional Perspective

Sumber: Diolah dari hasil kajian Disetasi ini (2016)

Kontribusi

387

5.2.5

Model Rekomendasi (Recommended Model) Inovasi Pemerintahan Daerah Dalam Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

Pada bagian ini dikemukakan model yang seharusnya (das sollen) yang direkomendasikan dalam pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Pengembangan model das sollen ini dibangun dari hasil diskursus antara kenyataan (das sein) bagaimana program inovasi urusan pendidikan berlangsung di Kabupaten Gowa dengan kerangka teori dan konsep inovasi pemerintahan dalam perspektif adminisrasi publik, yang dapat menjadi alternatif dalam mewujudkan maksud baik dari inovasi pemerintahan daerah dalam mewujudkan visi misi dan tujuan daerah yakni meningkatnya kualitas sumberdaya manusia melalui indikator pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Adapun kerangka teori dan konseptual yang dimaksud adalah terutama terkait dengan inovasi dalam konteks teori administrasi publik, desentralisasi, local government, konsep inovasi pemerintahan daerah, dan konsep kapasitas inovasi pemerintahan daerah yang dikembangkan oleh Kirton (1976), Muthalib & Ali Khan (1982), Rondinelli & Cheema (1983), Rogers (1983), Smith BC. (1985), Turner & Hulme (1997), Grindle MS. (1997), Wood, et al (1998), Farzmand A. (2004), Vigoda-Gadot (2005), Rosembloom & Kravchuk (2005), Kim, et al (2007), Borins (2008), Eggers & Singh (2009), Hoessein (2009), Muluk (2008 & 2009)dan Evans M. (2010), serta ketentuan-ketentuan normatif terutama undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah seperti UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Selengkapnya dapat dilihat pada Bab II bagian tinjauan pustaka dalam draft penelitian disertasi ini.

388

Pada penyajian hasil empirik penelitian terdahulu pada Bab V, telah diuaraikan sejak awal, bahwasanya ide dan gagasan kebijakan dan program inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan pada mulanya diinisiasi oleh Bupati Ichsan Yasin Limpo. Bupati sebagai Kepala Daerah dan Kepala Kepemerintahan tentu di dalam setiap langkahnya dan proses pengambilan keputusan-keputusan strategis harus melalui mekanisme politik. Mekanisme politik ini terkait dengan keberadaan institusi perwakilan rakyat daerah yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bupati sebagai Kepala Daerah dan DPRD adalah organ penyelanggara pemerintahan daerah, sebagaimana secara normatif di atur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Mekanisme politik ini jamak dilakukan oleh setiap daerah, termasuk yang dilaksanakan oleh Bupati dan DPRD Gowa dalam rangka pembahasan rencana program kerja tahunan pemerintah daerah, khusunya terkait dengan pengalokasian anggaran masingmasing program. Terkait dengan hal di atas, Bupati sebagai Kepala Pemerintahan di tingkat Kabupaten dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan pendidikan dibantu oleh instrumen Perangkat Daerah yakni Dinas Pendidikan dan Pemuda Olah Raga (Dispora). Dalam konteks ini, posisi Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap seluruh program dan kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana fakta yang tergambar dari penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsi-fungsi manajerial dan operasional yang diperankan oleh Dispora khusunya pada unit struktur Bidang, yang berkaitan dengan urusan pendidikan tampak jelas di dalam pelaksanaan program inovasi Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education Program (PDEP), dan Satgas Pendidikan.

389

Proses pengembangan inovasi dalam urusan pendidikan atau pelayanan pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, maka dapat dilihat dalam dua tahapan proses yaitu proses politik dan proses manajerial. Pertama yakni proses politik, yang secara normatif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah disebut juga sebagai mekanisme menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (Perda) atau dalam konteks penyelenggaraan desentralisasi disebut kewenangan fungsi mengatur. Di mana kewenangan fungsi mengatur ini dalam prakteknya melekat pada institusi Kepala Daerah dan DPRD yang dipilih melalui mekanisme pemilihan (election). Terkait dengan hal ini, berdasarkan kajian teoritis dan konseptual serta pengalaman dari beberapa studi seharusnya mekanisme proses politik dalam pengembangan kebijakan dan program inovasi urusan pendidikan sepenuhnya berlangsung berlangsung secara demokratis, partisipatif, responsive dan melibatkan banyak stakeholders pendidikan pada tingkat lokal. Sehingga mekanisme proses politik dalam pembentukan peraturan daerah (fungsi mengatur) masih tidak lagi berlangsung seperti biasanya. Dengan demikian proses pembahasan yang dilakukan terkait dengan program-program inovasi dalam urusan pendidikan (SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP dan Satgas Pendidikan), dalam praktek pembentukan

kebijakan

daerah

sebagai

dasar

hukum

pengaturannya

menunjukkan adanya nilai-nilai inovasi untuk pengaturan urusan pendidikan. Tahapan kedua dalam proses pengembangan inovasi urusan pendidikan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa adalah pengembangan yang disebut proses manajerial. Dalam proses manajerial ini Bupati sebagai Kepala Pemerintahan dalam menjalankan fungsi mengurus yang berhubungan urusan pendidikan dibantu oleh instrumen perangkat daerah yakni Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga (Dispora) dan UPTD terkait (Satuan Pendidikan). Dalam

390

konteks ini, posisi Dispora dibawah kendali seorang Kepala Dinas dapat melaksanakan fungsi-fungsi manajerial dan fungsi-fungsi operasional terhadap seluruh program dan kegiatan (proyek) dalam urusan pendidikan. Sebagaimana fakta yang tergambar dari penyajian hasil penelitian sebelumnya, bahwa fungsi-fungsi manajerial dan operasional yang diperankan oleh Dispora khususnya Bidang yang berkaitan dengan urusan pendidikan tampak di dalam pelaksanaan program SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP, dan Satgas Pendidikan. Dalam proses manajerial pengembangan program inovasi urusan pendidikan ini, nampaknya belum juga sepenuhnya memiliki nilai inovasi yang kuat (lemah). Oleh karena itu, jika mengacu pada kajian teori dan konseptual

maka

seharusnya

efektif,

efisien,

dan

ekonomis.

Proses

pengembangan program inovasi harus dilaksanakan berdasarkan pada (1) didasari oleh kebutuhan atau masalah nyata yang dirasakan masyarakat; (2) melakukan

penelitian;

(3)

pengembangan

program

inovasi;

(4)

komersialisasi/pengenalan terhadap inovasi; dan (5) difusi & adopsi program inovasi oleh masyarakat sebagai penerima manfaat. Level program inovasi bersifat inkremental atau komplementer terhadap program pemerintahan Provinsi/Pusat. Program inovasi merupakan hasil studi banding pemda dan diadopsi dengan strategi reflikasi (imitasi) terhadap program yang mirip di daerah lain dengan tetap memperhatikan karakterisitik kebutuhan konteks lokal. Program inovasi urusan pendidikan harus berdampak nyata bagi meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan (sekolah) & kualitas pembelajaran makin baik pula dan buktinya ABA semakin berkurang, indeks pendidikan dan IPM Gowa meningkat. Mendesain tipologi program inovasi urusan pendidikan yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan.

391

Kapasitas inovasi pemerintah daerah dalam urusan pendidikan harus didukung oleh tersedianya: (1) kepemimpinan inovasi (Bupati yang memiliki perencanaan strategis, komitmen, kepemimpinan stabil); (2) Kualitas tim kerja (aparatur pelaksana) yakni komitmen aparatur yang tinggi dan profesionalisme; (3) System dan struktur yakni membangunan struktur yang kuat, sistem berbagi pengetahuan, reward system dan sistem evaluasi; dan (4) Memiliki kemampuan mengelola pengaruh eksternal yakni dukungan politik terhadap pembiayaan program baru dan mengelola jaringan (internal/elsternal). Model rekomendasi (recommended model) yang dapat dijadikan model alternative bagi pemerintahan daerah dalam mendorong munculnya program inovatif, berkelanjutan dan bernilai emprovement (nilai perbaikan) dalam pelayanan bidang pendidikan di daerah, yakni pengembangan program inovasi pemerintahan daerah yang tidak hanya didkukung oleh komitmen kepemimpinan yang tinggi tetapi juga harus berlangsung secara efektif, efisien dan profesional. Hal terakhir yang menjadi rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah masih adanya faktor penghambat yakni tim kerja aparatur pemda pelaksana program inovasi dan regulasi yang masih kurang mendukung keberadaan dan keberlanjutan inovasi. Untuk itulah, maka di rekomendasikan agar kualitas dan profesionalisme tim kerja lebih didorong melalui peningkatan keterampilan dan pengetahuan spesifik untuk pengembangan inovasi. Direkomendasikan pula agar mengoptimalkan ketersediaan regulasi baik yang mengatur maupun regulasi untuk mengurus pengembangan program inovasi. Agar lebih memahami model rekomendasi dari disertasi ini, berikut disajikan Gambar 27 tentang model rekomendasi pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa.

392  Aksesibiitas Tinggi  Biaya Murah & Terjangkau  Kualitas Pembelajaran Meningkat  Indeks Pendidikan Semakin Baik  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Meningkat

URUSAN WAJIB PENDIDIKAN UU No. 32/2004 & UU No. 23/2014

INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH DALAM URUSAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN GOWA

TIPOLOGI PROGRAM INOVASI  Level program inovasi bersifat inkremental atau komplementer terhadap program pemerintahan Provinsi/Pusat.  Program inovasi hasil studi banding pemda dan diadopsi dengan strategi reflikasi (tiruan) terhadap program yang mirip di daerah lain dengan tetap memperhatikan karakterisitik kebutuhan konteks lokal  Program inovasi urusan pendidikan harus berdampak nyata bagi meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan (sekolah) & kualitas pembelajaran makin baik pula dan buktinya ABA semakin berkurang, indeks pendidikan & IPM Gowa meningkat  Mendesain tipologi program inovasi urusan pendidikan yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan

PROSES PENGEMBANGAN PROGRAM INOVASI  Proses politik (mengatur) yakni pembentukan Perda Program Inovasi yg dilakukan antara Bupati diwakili oleh Dinas Pendidikan bersama DPRD, sebaiknya melibatkan stakeholders pendidikan secara maksimal dgn pronsip demokrastis, partisipatif, responsive.  Proses manajerial (mengurus) yakni implementasi Perda Program Inovasi termasuk operasionalisasi dilaksanakan sepenuhnya oleh SKPD Pendidikan, UPTD, & Sekolah.dgn prinsip efektif, efisiensi, & ekonomis  Proses pengembangan program inovasi harus dilaksanakan berdasarkan (1) kebutuhan/masalah, (2) penelitian, (3) pengembangan,(4) komersialisasi / pengenalan, (5) difusi & adopsi.

FAKTOR PENGHAMBAT PROGRAM INOVASI  Kualitas tim kerja (aparatur) yakni komitmen aparatur yang tinggi, profesionalisme, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta berintegritas  Tersedianya sistem regulasi mendasari program inovasi baik regulasi untuk mengatur (Perda & Perbup), maupun regulasi untuk mengurus program inovasi

KAPASITAS INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH Kapasitas inovasi pemerintah daerah dlm urusan pendidikan harus didukung oleh tersedianya:  Innovative leadership (Bupati) (perencanaan strategis, komitmen, kepemimpinan stabil)  Financial capacity untuk membiayai program inovasi (efisien & ekonomis)  System & struktur yakni membangunan struktur yg kuat, sistem berbagi pengetahuan, reward system & sistem evaluasi  Kemampuan mengelola pengaruh eksternal yakni dukungan politik terhadap pembiayaan program baru & mengelola jaringan (internal/elsternal)

PENGEMBANGAN PROGRAM INOVASI PEMERINTAHAN DAERAH EFEKTIF, EFISIEN & PROFESIONAL

Gambar 27: Model Rekomendasi (Recommended Model) Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan

393

Tabel 38: Matriks Perbandingan Praktek Inovasi Pemerintahan Daerah Aspek Inovasi

Kab. Gowa

Kab. Jembrana

Kab. Sragen

Kab. Banyuwangi

Kab. Solok

Prov. Gorontalo

Fokus

Inovasi Peningkatan Akses & Kualitas Pelayanan Bidang Pendidikan

Inovasi Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan, & Bidang Perekonomian

Inovasi Pelayanan Terintegrasi: Pembentukan BPTPM Sragen

Inovasi Strategi & Kebijakan Pembangunan Daerah

Inovasi Penerapan Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik

Kapasitas Manajemen Kewirausahaan Pemerintah Daerah

Deskripsi

Peningkatan aksesibilitas masyarakat & kualitas pelayanan pendidikan didorong melalui berbagai pengembangan program inovasi melalui Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) yang terintegrasi jadi PAUD, Pendidikan Gratis (komplementer BOS) dgn membebaskan biaya sekolah siswa SD-SMA (negeri/swasta), Program Punggawa D’Emba Education utk perbaikan kualitas pembelajaran berbasis audio visual bagi matapelajaran & bermuatan nilai2 lokal & Satuan Polisi Pendidikan meningkatkan kedisiplinan proses belajar mengajar di sekolah2. Kapasistas Bupati Gowa & besarnya anggaran sangat dominan dalam inovasi.

Bidang Pendidikan: pembebasan biaya sekolah, perbaikan gedung sekolah, beasiswa pendidikan & insentif kesejahteraan guru, sekolah kajian. Bidang Kesehatan: JKJ berbasis Asuransi. Dana bergulir; pemberian alat kerja ke kelompok masyarakat; pelatihan dan penempatan kerja di kapal pesiar; pelatihan dan pemagangan kerja di Jepang; info bursa tenaga kerja pada Dinas Kependudukan, pemberian dana talangan kepada KUD untuk membeli gabah petani; pemberian dana talangan kepada petani cengkeh; dan pembebasan PBB areal pertanian. APBD Jembrana kecil maka strategi efisiensi anggaran dilakukan.

BPTPM adalah Badan Perizinan Terpadu & Penanaman Modal diatur oleh Perda No.5/2011. BPTPM ini ditujukan untuk memberi kemudahan layanan perizinan dgn prinsip dipercaya, cepat, mudah, murah, transparan, melalui one stop service. Sehingga pelayanan perizinan tidak terpencar disetiap SKPD tetapi terintegrasi. BPTPM juga memberi informasi ke masyarakat secara jelas tttg kepastian target waktu, prosedur & biaya. BPTPM Sragen ini melayani 72 jenis pelayanan perizinan & 2 jenis pelayanan nonperizinan. Reformasi birokrasi pelayanan perizinan.

Melalui strategi pro growth, pro job, pro poor, pro environment. Pemda Banyuwangi mengembangkan program2 inovasi yakni Gerakan Masyarakat Pemberantasan Tributa & Pengangkatan Murid Putus Sekolah (Gempita Perpus), Banyuwangi Digital Society(B-Diso), Lahir Procot Pulang Bawa Akta, Refomasi Biro-krasi, Larangan Mall, EBanyuwangi Tourisme, Taman Publik Berasis IT, Pendampingan Petani, Bank Sampah, Ruang Terbuka Hijau (RTH). Tercipta pemerintah wirausaha Banyuwangi (entrepreneurship government)

Praktek tata kelola Pemerintahan (good governance) Kab. Solok ditujukan utk pembenahan aparatur pemerintahan melalui: Pos Pelayanan Satu Pintu (Posyantu). Pola Partisipatif, Revol-ving Fund, LAKIP, Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN), Partisi-pasi Masyarakat, Pakta Integritas, Sistem Pengadaan Barang & Jasa, Giro to Giro (G to G), Performance Agreement, Anggaran Berbasis Kinerja, & Tunjangan Daerah. Keberhasilan praktek tersebut diukur menurut indikator efisiensi efektifitas pelayanan, IPM, partisipasi & akuntabilitas kinerja pemda.

Pemprov Gorontalo mengalokasikan dana besar untuk pengembangan sumber daya aparatur karena pembangunan SDM merupakan salah satu program prioritas pemerintah provinsi Gorontalo.Ada tiga agenda dalam melakukan energizing bureaucracy di Gorontalo (1) program minsetting mengubah pola pikir yg lebih entrepreneurial; (2), membangun landasan utk memotivasi pegawai; dan (3) menata sistem organisasi pemerintah provinsi agar fleksibel utk tumbuhnya nilai2 kewirausahaan (entrepreneurship government)

393

394 Aspek Inovasi

Kab. Gowa

Kab. Jembrana

Kab. Sragen

Kab. Banyuwangi

Kab. Solok

Prov. Gorontalo

Inisiasi

Pemerintah Daerah (Bupati Gowa IYL) sejak tahun 2006

Pemerintah Daerah (Bupati I Gede Winasa) sejak tahun 2002

Pemerintah Daerah (Bupati Untung Wiyono) sejak tahun 2003

Pemerintah Daerah (Bupati Abdullah Azwar Anas) sejak tahun 2010

Pemerintah Daerah (Bupati Gamawan Fauzi) sejak tahun 1997

Pemerintah Daerah

Lokus

Eksternal Pemerintah Daerah

Eksternal Pemerintah Daerah

Internal & Eksternal Pemerintah Daerah

Internal & Eksternal Pemerintah Daerah

Internal Pemerintah Daerah

Internal & Eksternal Pemerintah Daerah

Keberlanjutan & Replikasi

Komitment politik yg kuat Bupati berikutnya sangat menentukan & proses pelembagaan program inovasi sudah dilakukan melalui Perda Perda No. 4/2008 ttg Pendidikan Gratis & Perda No. 10 /2009 ttg Program Wajib Belajar & tertuang dalam RPJMD & RPJMP. Peluang replikasi daerah lain terbukti dgn adanya studi banding ke daerah ini.

Strategi efisiensi penggunaan anggaran berbagai sektor pembangunan utk mendanai program2 inovasi dilakukan mengingat APBD kecil. Political Will & komitmen pemimpin selanjutnya penting jaminan lanjutan program inovasi. Daerah lain sudah banyak yang mereplikasi praktek program inovasi di Kab. Jembrana.

Pelembagaan program inovasi sudah ada melalui Perda No.5/2011 ttg Badan Perizinan Terpadu & Penanaman Modal. Peningkatan kapasitas aparatur pemda dalam memberi pelayanan terintegrasi. Model one stop service sudah menjadi program nasional dalam pelayanan perizinan pusat & daerah

Jaminan keberlanjutan kebijkan & program inovasi pelembagaan melalui Perbup No. 4/2014 yang harus ditingkatkan menjadi Perda. Komitmen & kemitraan dgn berbagai perusahaan & industri melalui CSR utk mendukung program inovasi.

Kegiatan mengukur keberhasilan dilakukan oleh KPK utk memberi gambaran kepada Kab Solok dan daerah lain dlm melakukan berbagai

(Gubernur Fadel Muh) sejak tahun 2004

Butuh pelembagaan kapasitas kepemimpinan kepala daerah yg inovatif, bervisi wirausaha, memiliki komitmen tinggi & membangun budaya macam praktek good inovasi birokrasi governance. Daerah lain pemerintah. Tidak yang baru memulai hanya direplikasi oleh praktek tata kelola banyak daerah tapi pemerintahan yg baik juga jadi obyek studi bisa belajar bagaimana administrasi publik & prakteknya yg sudah pemerintahan yang dilakukan di Kab. Solok. entrepreneurship

Sumber: Hasil kajian Disertasi (2016) & sumber lain seperti Holidin (2016), Muhammad (2007), KPK (2006), dan Prasojo, Dkk (2004).

394

395

Tabel 39.

No. 1.

Matriks Mengenai Fokus Penelitian, Hasil Penelitian, Proposisi Penelitian dan Implikasi Teoritis Penelitian

Fokus Penelitian Proses pengembangan program inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan

Hasil Penelitian Proses politik merupakan proses perumusan kebijakan atau fungsi pengaturan dilakukan oleh institusi Pemerintah Daerah dan DPRD. Proses perumusan kebijakan tentang program inovasi ini adalah inisiatif murni dari Pemda (Bupati) Gowa diwakili Dispora sebagai leading sector urusan pendidikan kemudian dibahas bersama dengan DPRD (Komisi Bidang Pendidikan). Fakta menunjukkan bahwa proses perumusan kebijakan atau pembentukan Peraturan Daerah (Perda) hanya diikuti Dispora (Eksekutif) dan Komisi Bidang Pendidikan (DPRD). Sementara itu Dewan Pendidikan, Tim Ahli Pendidikan, dan forum LSM lokal hanya diterlibat sebatas dengar pendapat (hearing) terkait dengan program inovasi. Melihat fakta tersebut nampaknya proses politik pengembangan program inovasi tidak ditemukan adanya sesuatu yang baru atau bersifat terobosan. Padahal pengembangan program inovasi seharusnya didukung dengan proses politik dalam perumusan kebijakan (Perda) yang bernilai inovasi pula. Proses manajerial/administrasi merupakan tahap implementasi kebijakan (Perda) atau fungsi pengurusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati) Gowa dibantu oleh perangka daerah (birokrasi lokal). Fakta menunjukkan bahwa proses manajerial /administrasi ini pengembangan program inovasi urusan pendidikan dilaksanakan sepenuhnya oleh struktur birokrasi Dispora dan UPTD terkait. Secara teknis operasioal proses pengembangan dilaksanakan oleh Unit Sekolah

Proposisi Penelitian Proposisi Minor 1. Proses pengembangan program inovasi urusan pendidikan hanya berlangsung inovatif jika melalui perumusan dan pembentukan kebijakan daerah (Perda /Perbup) yang berfungsi mengatur program inovasi secara demokratis, partisipatif,dan responsif

Proposisi Minor 2. Pproses pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang hanya berlangsung dengan inovatif jika didukung oleh proses implementasi kebijakan (Perda) yang inovatif pula dengan prinsip efektifitas, efisiensi, ekonomis dan profesional

Implikasi Teoritis Belum sepenuhnya sesuai dengan Farazmand (2004) bahwa Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as well. Sesuai pandangan Mulgan & Albury (2003), program inovasi harus didukung oleh Policy innovation is new policy direction and initiatives; Innovations in the policymaking process; & Policy to foster innovation and its diffusion. Sesuai pandangan Roberts (1999), tentang Innovation by legislative design and Innovation by management design Sesuai pandangan Watson (1999), proses inovasi berlangsung efektif jika terdapat Political support and Administrative competence, kecuali syarat Organizational culture belum sepenuhnya terpenuhi. Tidak sesuai dengan pandangan Eggers & Singh (2009) tentang proses pengembangan inovasi meliputi tahap: Idea generation and discovery; Idea selection; Idea implementation; and Idea diffusion, kecuali tahap 2 dan 3 yang sudah terlaksana.

396

No.

Fokus Penelitian

Hasil Penelitian

Proposisi Penelitian

Implikasi Teoritis

dan melibatkan pihak ketiga yakni masyarakat dan konsultan mitra (swasta) dalam program inovasi tertentu. Program SPAS dan Satgas Pendidikan lebih banyak melibatkan partisipasi masyarakat di desa karena program ini memang didesain berbasis masyarakat lokal. Program Punggawa D’Emba Education (PDEP) melibatkan pihak ketiga sebagai mitra konsultan dan program Pendidikan Gratis sepenuhnya dilakukan oleh Dispora dan Sekolah sementara masyarakat (Ortu) melalui Komite Sekolah berfungsi mengawasi realisasi program tersebut. 2.

Tipologi program inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan

Terdapat empat jenis program inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Gowa yang ditemukan sekaligus sebagai obyek kajian, yakni Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education (PEDP) dan Satgas Pendidikan. Keempat program ini diinisiasi pada waktu yg tidak bersamaan. SPAS dimulai 2006, Pendidikan Gratis (2008), PDEP (2009) & Satgas Pendidikan (2009).

Proposisi Minor 3. Jika tipologi program inovasi pemerintahan diadopsi melalui strategi replikasi/imitasi, maka program inovasi pemerintahan daerah bersifat inkremental & modifikasi harus memiliki nilai perbaikan terhadap kualitas pelayanan publik.

Jenis program inovasi bersifat Proposisi Minor 4: inkremental atau komplementer Program inovasi urusan terhadap program pemerintahan pendidikan bisa dinilai dari Provinsi/Pusat. Misalnya Program segi dampak positif dan Pendidikan Gratis merupakan nyata, keterlibatan aktorkeberlanjutan dari program aktor, pemberdayaan Pendidikan Gratis tingkat provinsi masyarakat, keberlanjutan, Sulsel dan komplementer konteks lokal, dan dapat terhadap program BOS pusat & ditransfer dan BOSDA (provinsi). Program SPAS direplikasi/imitasi oleh bernuansa politik karena janji daerah lain politik Bupati ketika Pilkada 2005 tetapi bisa direalisasikan. Keempat program inovasi merupakan hasil studi banding pemda dan diadopsi dengan strategi reflikasi (tiruan) terhadap program yang mirip di daerah lain

Sesuai pandangan Eggers & Singh (2009) bahwa sumber inovasi organisasi pemerintahan meliputi empat sumber yaitu internal partners; external partners; employees; and citizens. Strategi Replicate salah satu cara inovasi yang bersumber dari badanbadan pemerintahan lain dan organisasi swasta Relevan dengan Prasojo (2004 & 2006) yang mengembangkan parameter best practices dasar inovasi versi UN Habitat yaitu inisiatif yang memiliki outstanding contributions ( impact, partnership, and sustainability) Sesuai pandangan Mulgan & Albury (2003) dan Muluk (2008) bahwa teori inovasi memiliki tiga level yaitu incremental level; radical level; & systemic/ transformative level. Program inovasi

397

No.

Fokus Penelitian

Hasil Penelitian

Proposisi Penelitian

dengan tetap memperhatikan karakterisitik kebutuhan konteks lokal

pada kajian ini berada pada level incremental Sesuai pandangan Sumarto, S. Hetifah (2004) bahwa public sector innovation penekanannya pada nilai perbaikan (improvement) tehadap pelayanan publik agar lebih berkualitas, ramah dan responsive

Jenis-jenis program inovasi urusan pendidikan sudah memilki dampak nyata bagi meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan (sekolah) dan kualitas pembelajaran meningkat pula dan sebagai bukti semakin berkurang angka buta huruf aksara, indeks pendidikan makin meningkat sehingga IPM Gowa juga makin meningkat. 3.

Kapasitas inovasi pemerintahan daerah dalam pengembangan program inovasi urusan pendidikan

Terdapat lima unsur kapasitas pemerintahan daerah Kabupaten Gowa yang memiliki pengaruh terhadap pengembangan program inovasi urusan pendidikan. Kelima unsur kapasitas tersebut adalah (1) Kepemimpinan Bupati Gowa; (2) Aparatur pelaksana program; (3) Anggaran; (4) Jaringan (internal/eksternal) pemerintahan; (5) Regulasi tentang program inovasi urusan pendidikan. Kapasitas Kepemimpinan Bupati Gowa sangat dominan dan kesuksesan program inovasi memiliki ketergantungan terhadap kapasitas anggaran (APBD dan APBN) yang sangat tinggi. Unsur kapasitas inovasi pemerintahan daerah lainnya seperti aparatur pelaksana, jaringan pemerintahan dan regulasi pendukung program inovasi nampaknya belum optimal keberadaannya. Meskipun sudah ada upaya berupa diklat khusus kompetensi bagi aparatur yg terlibat pada program inovasi PDEP anggota satpol pendidikan dan pengajar SPAS yg berasal dari masyarakat sekitar. Kapasitas jaringan internal pemerintahan antara pemerintah daerah dan DPRD, pemerintah daerah Kabupaten Gowa dan

Implikasi Teoritis

Proposisi Minor 5: Program inovasi urusan pendidikan yang ditentukan oleh dominasi kapasitas kepemimpinan Bupati dan ketersediaan anggaran (APBD/APBN) bisa berlangsung efektif untuk jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh tersedianya kapasitas pemerintahan daerah secara komprehensif yang meliputi tiga dimensi kapasitas yakni kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan jaringan)

Proposisi Minor 6: Penyelenggaraan pemerintahan daerah urusan pendidikan adalah bagian yng tak terpisahkan dari pelaksanaan urusan pemerintahan secara nasional sehingga pengembangan program inovasi yang efektif harus didukung kebijakan dan program dalam urusan pendidikan tingkat provinsi & pusat

Sesuai pandangan Gabris, et al (2009) tiga strategis inti yakni: Leadership crediblity; Strong management teams; and Governing board functioning Belum sepenuhnya sesuai dengan Grindle (1997) mengenai Dimensions and focus of capacity Belum sepenuhnya sesuai dengan Kim, et al (2007) tentang Model of management capacity and government innovation Relevan dengan pandangan Brown (2008) bahwa kebijakan inovasi tingkat lokal (micro) harus dalam bingkai desain kebijakan inovasi regional (meso) dan desain kebijakan inovasi nasional (macro). Relevan dengan pandangan Concidine (2009) mengenai teori Networking innovation inside government

398

No.

Fokus Penelitian

Hasil Penelitian

Proposisi Penelitian

Implikasi Teoritis

Provinsi Sulsel sangat kuat dalam mendukung pengembangan program inovasi urusan pendidikan. 4.

Pembuatan model empirik (existing model) dan model rekomendasi (recommended model) inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan

Secara empirik, Bupati Gowa IYL menggagas program inovasi (SPAS; Pendidikan Gratis; Punggawa D’Emba Education (PDEP); dan Satgas Pendidikan). Pengembangan program inovasi menghantar Gowa meraih Ototomi Award dari FIPO institute. Proses melalui mekanisme politik dan manajerial belum inovatif, program inovasi belum berdampak signifikan dan berkelanjutan, kapasitas inovasi topdown dominasi Bupati & sangat tergantung anggaran. Direkomendasikan pengembangan inovasi proses politik demokratis, partisipatif, responsif dan proses manajerial secara efektif, efisien dan profesional, program inovasi berdampak jangka pengdek/panjang, yang didukung oleh kapasitas inovasi pemerintah daerah

Proposisi Mayor: Pengembangan program inovasi urusan pendidikan harus didukung oleh proses politik dan proses manajerial / administrasi inovatif pula, program inovasi bisa bersumber dari mitra internal dan eksternal pemerintahan yg bersifat inkremental dengan proses adopsi & strategi replikasi/imitasi, pengembangan program inovasi pemerintahan daerah dapat berlangsung efektif jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh kapasitas kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan jaringan) serta terbingkai dalam desain kebijakan dan program inovasi secara nasional

Sumber: Diolah dari hasil kajian Disertasi ini (2016)

Sesuai pandangan Mulgan & Albury (2003); Roberts (1999); Watson (1999); Muluk (2008); Eggers & Singh (2009) dan Sumarto, (2004); serta relevan dengan Gabris, et al (2009) dan Brown (2008)

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan Pada bagian penutup ini dirumuskan empat kesimpulan pokok yang dirangkai dari penyajian hasil penelitian dan pembahasannya. Empat kesimpulan pokok yang disajikan merupakan penjelasan terhadap fokus penelitian pada Bab IV pada bagian metode penelitian yang sudah ditentukan sebelumnya. 6.1.1

Proses pengembangan program inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan baik ditinjau dari sisi proses politik yakni proses perumusan kebijakan (pengaturan) maupun dari sisi manajerial atau administrasi yakni proses implementasi kebijakan (pengurusan). (a) Proses politik merupakan proses perumusan kebijakan atau fungsi pengaturan dilakukan oleh institusi Pemerintah Daerah dan DPRD. Proses perumusan kebijakan tentang program inovasi ini adalah inisiatif murni dari Pemda (Bupati) Gowa diwakili Dispora sebagai leading sector urusan pendidikan kemudian dibahas bersama dengan DPRD (Komisi Bidang Pendidikan). Fakta menunjukkan bahwa proses perumusan kebijakan atau pembentukan Peraturan Daerah (Perda) hanya diikuti Dispora (Eksekutif) dan Komisi Bidang Pendidikan (DPRD). Sementara itu Dewan Pendidikan, Tim Ahli Pendidikan, dan forum LSM lokal hanya diterlibat sebatas pada saat kegiatan dengar pendapat (hearing) terkait dengan program inovasi yang sedang dirumuaskan. Melihat fakta tersebut nampaknya proses politik pengembangan program inovasi tidak ditemukan adanya sesuatu yang baru atau bersifat terobosan. Padahal pengembangan 399

400

program inovasi seharusnya didukung dengan proses politik dalam perumusan kebijakan atau pembentukan Peraturan Daerah yang bernilai inovasi pula; (b) Aspek pengembangan program inovasi yang berkaitan dengan proses manajerial atau administrasi. Proses ini merupakan tahap implementasi kebijakan (Perda) atau fungsi pengurusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Bupati) Gowa dibantu oleh Perangka Daerah (local bureaucracy). Fakta menunjukkan bahwa proses pengembangan seluruh program inovasi urusan pendidikan jika dilihat dari aspek proses manajerial atau administrasi ini dilaksanakan sepenuhnya oleh struktur birokrasi Dispora dan UPTD terkait. Kemudian secara teknis operasioal proses pengembangan dilaksanakan oleh Unit Sekolah dengan melibatkan pihak ketiga yakni masyarakat dan konsultan mitra (swasta) dalam program inovasi tertentu. Pengembangan Program Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS) dan Satgas Pendidikan sudah melibatkan partisipasi masyarakat lokal (desa) karena program ini memang didesain sebagai

program

yang

berbasis

masyarakat

lokal.

Program

Punggawa D’Emba Education (PDEP) melibatkan pihak ketiga sebagai mitra konsultan dan program Pendidikan Gratis sepenuhnya dilakukan oleh Dispora dan Sekolah sementara masyarakat (orang tua murid) melalui Komite Sekolah berfungsi mengawasi realisasi program tersebut. 6.1.2

Tipologi program inovasi dalam urusan pendidikan dapat diuraikan bahwa:

401

(a) Terdapat empat jenis program inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Gowa yang ditemukan sekaligus sebagai obyek kajian, yakni Sanggar Pendidikan Anak Saleh (SPAS), Pendidikan Gratis, Punggawa D’Emba Education (PDEP) dan Satgas Pendidikan. (b) Keempat program ini diinisiasi pada waktu yang tidak bersamaan. Program SPAS dimulai pengembangannya pada tahun 2006, program Pendidikan

Gratis

mulai

dicanangkan

pada

tahun

2008,

pengembangan PDEP pertama kali diluncurkan pada tahun 2009, dan pembentukan Satgas Pendidikan dilakukan pada tahun 2009. (c) Keseluruhan jenis program inovasi terebut bersifat inkremental atau komplementer terhadap program pemerintahan Provinsi dan Pusat. Misalnya Program Pendidikan Gratis merupakan keberlanjutan dari program Pendidikan Gratis pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan komplementer terhadap program BOS pusat dan BOSDA (Provinsi). Program SPAS bernuansa politik karena merupakan salah satu janji politik Bupati ketika Pilkada 2005 tetapi kemudian program ini bisa direalisasikan. (d) Keempat program inovasi adalah hasil studi banding pemerintah daerah dan diadopsi dengan strategi reflikasi (tiruan) terhadap program yang mirip di daerah lain dengan tetap memperhatikan karakterisitik kebutuhan konteks lokal Gowa. Jenis-jenis program inovasi urusan pendidikan sudah memilki dampak nyata bagi meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan (sekolah) dan kualitas pembelajaran meningkat pula dan sebagai bukti semakin berkurangnya Angka Buta Aksara (ABA) dan Indeks

402

Pendidikan

makin

meningkat

sehingga

Indeks

Pembangunan

Manusia Gowa juga makin meningkat. 6.1.3 Kapasitas inovasi yang dimiliki pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dalam pengembangan program inovasi urusan pendidikan dapat diuraikan bahwa: (a) Terdapat lima unsur kapasitas pemerintahan daerah Kabupaten Gowa yang sub fokus pengembangan program inovasi urusan pendidikan. Kelima unsur kapasitas inovasi pemerintahan daerah tersebut adalah (1) kapasitas kepemimpinan Bupati Gowa; (2) kapasitas aparatur pelaksana program; (3) kapasitas anggaran; (4) kapasitas jaringan inovasi pemerintahan baik internal maupun eksternal organisasi pemerintahan; (5) kapasitas regulasi tentang program inovasi urusan pendidikan. (b) Kapasitas

Kepemimpinan

Bupati

Gowa

sangat

dominan

dan

kesuksesan program inovasi memiliki ketergantungan terhadap kapasitas anggaran (APBD dan APBN) yang sangat tinggi. Unsur kapasitas inovasi pemerintahan daerah lainnya seperti aparatur pelaksana, jaringan pemerintahan dan regulasi pendukung program inovasi nampaknya belum optimal keberadaannya. Meskipun sudah ada

upaya

berupa

Pendidikan

dan

Pelatihan

khusus

untuk

pengembangan kompetensi bagi aparatur yang terlibat pada program inovasi PDEP dan anggota Satgas Pendidikan serta pengajar SPAS yang berasal dari masyarakat sekitar lokasi sanggar. (c) Kapasitas jaringan internal pemerintahan yakni antara pemerintah daerah dan DPRD, pemerintah daerah Kabupaten Gowa dan Provinsi

403

Sulsel sangat kuat dalam mendukung pengembangan program inovasi urusan pendidikan. 6.1.4 Secara empirik, Bupati Gowa IYL, sejak tahun 2006

telah mulai

menggagas program inovasi dalam urusan pendidikan. Pengembangan program inovasi ini menghantar Gowa meraih Ototomi Award 2010 dan 2011 dari Fajar Institutr Pro Otonomi (FIPO). Faktanya dalam dalam proses pengembangannya melalui mekanisme politik dan manajerial yang belum optimal. Oleh karena itu, penelitian ini merekomendasikan bahwa prsoses pengembangan program inovasi urusan pendidikan harus didukung oleh proses politik dan proses manajerial/administrasi yang inovatif pula. Program inovasi bisa bersumber dari mitra internal dan eksternal pemerintahan melalui proses adopsi dengan strategi replikasi. Pengembangan program inovasi urusan pendidikan oleh pemerintahan daerah Kabupaten Gowa dapat berlangsung efektif jangka pendek dan jangka panjang jika didukung oleh kapasitas inovasi yang meliputi kepemimpinan yang inovatif, kualitas aparatur (tim kerja), struktur dan sistem yang kuat, dan kemampuan mengelola pengaruh eksternal (politik dan jaringan) serta terbingkai dalam desain kebijakan dan program inovasi secara nasional

6.2

Saran Pada bagian ini diketengahkan beberapa saran terkait kesimpulan dari

hasil penelitian dan pembahasannya, yang sudah dirumuskan dalam empat poin di atas. 6.2.1 Disarankan untuk memahami bahwa apapun jenis inovasi yang akan dikembangkan harus pula ditopang atau didukung oleh tersedianya

404

kebijakan yang inovatif, baik dalam proses perumusan maupun dalam implementasi kebijakan tersebut. Dalam konteks fokus penelitian ini yang dimaksud adalah terkait dengan proses pengembangan program inovasi urusan pendidikan yang belum sepenuhnya inovatif, untuk hal ini maka berlangsungnya proses pembentukan Peraturan Daerah (Perda) dan pelaksanaan Perda yang memperhatkan nilai-nilai inovasi yang ada dengan menciptkan terobosan baru, misalnya perlunya nilai partisipasi dan responsivitas lebih ditingkatkan lagi. 6.2.2 Disarankan untuk lebih banyak menciptakan jenis-jenis program inovatif lagi, terutama terkait dengan peningkatan akses dan kuaitas pelayanan pendidikan. Meskipun diakui bahwa secara umum dari jenis-jenis program inovasi urusan pendidikan (SPAS, PDEP, Pendidikan Gratis dan Satgas Pendidikan) sudah memenuhi kriteria atau parameter dari suatu best practices yakni dampak positif (nyata), kemitraan, dan keberlanjutan sebagai dasar inovasi. Meskipun demikian disarankan untuk berusaha menemukan lagi jenis program inovasi yang dapat mendukung pencapaian program inovasi yang berkaitan dengan urusan pendidikan. 6.2.3 Disarankan untuk lebih banyak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan

peningkatan

kapasitas

secara

spesifik

kepada

aparatur

pelaksana program inovasi dan juga disarakan untuk menyiapakan regulasi-regulasi dalam bentuk perda dan perbup untuk melembagakan pengembangan kebijakan dan programinovasi dalam urusan pendidikan yang dusah berlangsung selama ini. Berkaitan kapasitas inovasi pemerintahan

daerah

yang

sangat

tergantung

kepada

kapasitas

kepemimpinan seorang Bupati dan tersedianya alokasi anggaran yang besar di setiap tahunnya, tentu ini sekaligus menjadi kelemahan dari

405

proses pengembangan program inovasi. Oleh karena itu disarankan untuk

mengembangkan

konsep

leadership

for

innovation

yakni

kepemimpinan yang menginspirasi bawahannya dan memberi peluang tumbuh kembangnya nilai-nilai inovasi dalam organisasi, dan tidak lagi menggunakan

konsep

innovative

for

leadership

yakni

kapasitas

kepemimpinan yang hanya bisa mengerjakan hal-hal yang inovasi tanpa mampu menyebarkannya. Juga disarankan kepada pemerintah daerah untuk

mengembangkan

usaha-usaha

efisensi

dalam

pelaksanaan

program inovasi, sehingga nuansa ketergantungan anggaran secara berlahan dapat dikurangi.

6.3

Implikasi Teoritis dan Praktis Implikasi penelitian ini diuraikan dalam dua sisi, yakni implikasi teoritis

dan implikasi praktis yang muncul dari penyajian hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian disertasi ini. 6.3.1. Implikasi Teoritis Secara umum yang bisa dilihat pada penelitian ini adalah bahwa secara empirik memberi bukti perbedaan nyata antara inovasi sektor publik dan sektor bisnis. Sebagaimana dikembangkan oleh Koch, et al (2005) bahwa yang menjadi karakter khas inovasi di sektor publik (organisasi pemerintahan) antara lain (a) inovasi sektor publik lebih didorong oleh siklus politik yang memunculkan kebijakan yang baru atau berubah; (b) inovasi dipengaruhi oleh organisasi lebih kompleks dan berkecenderungan untuk konflik satu sama lain; (c) biasanya memiliki banyak indikator kinerja sehingga seringkali menimbulkan kebingungan dalam mengukurnya; (d) pemimpin (manajer) biasanya bekerja dalam tekanan politik, tidak ada independensi yang sesungguhnya karena kepentingan politik

406

lebih mengemuka, sehingga novasi pun tidak dapat dilakukan tanpa adanya persetujuan politik; (e) end-user inovasi adalah masyarakat sebagai warga negara bukan komsumen (pelanggan); dan (f) seringkali inovasi dipandang sebagai ancaman, karena dianggap akan menciptakan perubahan dan mengganggu stabilitas, sehingga inovasi tetap diadopsi khususnya untuk kepentingan perbaikan pelayanan publik. Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perumusan kebijakan dan implementasi kebijakan terkait dengan pengembangan program inovasi belum inovatif, tetapi sudah nampak bahwa proses pengembangan suatu program harus ditopang oleh adanya kebijakan (Perda) yang mengarahkan program. Hal ini tentu relevan dengan pandangan Mulgan & Albury (2003), program inovasi harus didukung oleh policy innovation is new policy direction and initiatives; innovations in the policy-making process; & policy to foster innovation and its diffusion. Sesuai pandangan Roberts (1999), tentang innovation by legislative design and innovation by management design. Juga sejalan dengan pandangan Watson (1999), proses inovasi berlangsung efektif jika terdapat political support and administrative competence, kecuali syarat organizational culture belum sepenuhnya terpenuhi. Demikian halnya dengan hasil penelitian ini juga sudah sejalan dengan pandangan Farazmand (2004), yang mengatakan bahwa inovasi adalah kunci sound governance (kepemerintahan yang tepat) dan inovasi dalam kebijakan dan administrasi adalah pusatnya. Jika tanpa inovasi kebijakan dan administrasi, governance bisa jadi masuk ke kondisi yang busuk dan tidak efektif, kehilangan kapasitas pemerintahannya, dan menjadi sasaran kritik dan kegagalan. Sebaliknya jika dilihat dari pandangan dari Eggers & Singh (2009) tentang proses pengembangan inovasi yang disebut sebagai proses inovasi yakni idea

407

generation and discovery; idea selection; idea implementation; and idea diffusion, nampak belum seluruhnya sesuai, kecuali proses pada idea implementation dan idea diffusion suatu program yang sudah dilaksanakan. Sehubungan

dengan

jenis-jenis

program

inovasi

yang

sudah

dikembangkan nampaknya sudah sesuai dengan pandangan Eggers & Singh (2009) bahwa salah satu sumber inovasi organisasi pemerintahan adalah mitra internal (internal partners). Di mana semua jenis program inovasi yang dikembangkan merupakan inisiatif dari pemerintah daerah sendiri, kemudian disosialisasikan dan diproses bersama DPRD untuk menjadi prioritas program kerja pemerintah daerah. Relevan juga dengan pandangan Eggers & Singh (2009) tentang strategi inovasi yakni strategi replikasi (replicate), melakukan peniruan sebagai salah satu cara inovasi yang bersumber dari badan-badan pemerintahan lain dan atau organisasi swasta. Hasil penelitian jugar relevan dengan Prasojo (2004 & 2006) yang mengembangkan parameter best practices sebagai dasar inovasi versi UN Habitat yaitu segala inisiatif yang memiliki outstanding contributions (impact, partnership, and sustainability). Program inovasi harus memiliki kontribusi yang menonjol dan dapat didemonstrasikan berupa dampak positif dan nyata, dilakukan dengan metode kemitraan, dan memiiki jaminan keberlanjutan serta dapat diadopsi oleh daerah lain. Relevan juga dengan pandangan Mulgan & Albury (2003) dan Muluk (2008) bahwa suatu inovasi dapat dilihat pada tiga level inovasi yaitu incremental; radical; & systemic/transformative. Suatu program inovasi berada pada level inovasi inkremental jika inovasi tersebut sudah mampu membawa perubahan-perubahan kecil terhadap proses atau layanan yang ada dan ini yang umumnya terjadi terutama pada sektor publik. Jika menilai jenis inovasi yang dikembangkan dalam urusan pendidikan yakni SPAS, Pendidikan Gratis, PDEP

408

dan Satgas Pendidikan, nampaknya semua jenis program inovasi yang dikembangkan tersebut termasuk inovasi inkremental, karena dampak nyata dari program inovasi tersebut hanya menimbulkan perubahan-perubahan kecil dalam proses pelayanan pendidikan. Bahkan sebagian besar program inovasi merupakan pengembangan dan kelanjutan dari program yang sama dengan program inovasi pada tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi (provinsi dan nasional). Walaupun program inovasi tersebut hanya berada level inovasi inkremental, tetapi dapat memainkan peran penting dalam pembaruan sektor publik karena dapat diterapkan secara terus menerus dan mendukung rajutan pelayanan yang responsif terhadap kebutuhan lokal dan perorangan, serta mendukung nilai tambah uang (value for money). Implikasi teoritis yang terkait dengan kapasitas pemerintahan daerah dalam pengembangan inovasi nampaknya relevan dengan pandangan Gabris, et al (2009) yang mengemukakan bahwa terdapat tiga strategi utama yang mempengaruhi kemampuan organisasi pemerintahan untuk berinovasi yakni: Leadership credibility; Strong management teams; and Governing board functioning. Namun jika dilihat dari pandangan Grindle (1997) mengenai dimensions and focus of capacity dan Kim, et al (2007) tentang model of management

capacity

and

government

innovation

nampaknya

belum

sepenuhnya terpenuhi. Hal ini terbukti dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa inovasi sangat tergantung pada kapasitas kepemimpinan Bupati dan tersedianya anggaran besar untuk program inovasi. Jika mengacu pada teori yang dikembangkan oleh Kirton (1979), atau “Kirton’s Adaption-Innovation (KAI teori) maka pengembangan program inovasi urusan pendidikan di Kabupaten Gowa dapat dikategorikan sebagai program inovasi yang diadaptasi oeh pemerintah daerah (Bupati). Hal ini didasarkan pada

409

asumsi sebagai adaptors digambarkan sebagai “doing things better” yaitu melakukan hal-hal yang lebih baik. Menurut Stum (2009) karakteristik dari adaptors adalah (1) peduli dengan pemecahan masalah daripada mencari masalah; (2) selalu mencari solusi suatu masalah dengan mencoba dan memahaminya; (3) mempertahankan akurasi yang tinggi dan bekerja terperinci; (4) selalu taat aturan; (5) sensitif terhadap kohesi kelompok/tim; dan (6) menyediakan dasar yang aman dalam berinovasi. Demikian hanya tidak sepenuhnya bahwa pengembangan program inovasi oleh pemerintah daerah dalam urusan pendidikan bisa dikatakan sebagai innovators yang digambarkan sebagai “those who would prefer to do things differently” yaitu orang-orang yang lebih memilih untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Hal ini nampak dari karakterisitik pengembangan program inovasi di Kabupaten Gowa tidak sepenuhnya sesuai dengan ciri-ciri yang melekat pada innovators yakni (1) tampak tidak disiplin dan selalu bekerja dengan pendekatan dari sudut tak terduga; (2) memperlakukan sarana lebih kecil dalam mengejar tujuan; (3) mampu merinci tugas-tugas dalam waktu yang singkat; (4) memberikan dinamika untuk perubahan revolusionir dan dalam waktu tertentu; dan (5) memiliki keraguan dan rendah diri setiap menemukan ide-ide baru.

6.3.2. Implikasi Praktis Meskipun konsep inovasi belum begitu lama berkembang dalam khasanah pemikiran administrasi publik, tetapi nampaknya konsep ini semakin hari, semakin banyak akademisi dan praktisi pemerintahan yang meyakini bahwa inovasi adalah salah satu instrumen alternatif untuk mengatasi berbagai masalah publik yang makin kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut, implikasi praktis dari penelitian ini yang perlu ditindaklanjuti adalah perlunya grand design secara

410

nasional

mengenai

inovasi

pemerintahan

yang

berkaitan

dengan

penyelenggaraan fungsi dan tugas pokok pemerintahan yakni fungsi public services dan public goods delivery. Pemerintah daerah yang mengembangkan program inovasi, termasuk pemerintah daerah Kabupaten Gowa, dalam praktek inovasi hendaknya memperhatikan aspek kapasitas yang dimiliki dalam mengembangkan sebuah program inovasi. Hal ini terkait dengan hasil penelitian yang menunjukkan masih lemahnya kapasitas organisasi pemerintah daerah terutama jika dilihat dari tiga dimensi kapasitas yakni human resource, organizational strengthening, dan institutional reform. Lebih khusus lagi jika mengacu pada model manajemen kapasitas dan inovasi pemerintahan yang dikembangkan Kim, et al (2007), meliputi innovative leadership, quality of workforce, system/structures, dan managing external influences.

Sesederhana bagaimanapun hasil penelitian yang disajikan pada penelitian disertasi ini, penulis beharap agar hal tersebut bisa bermanfaat dan berguna serta menjadi sumbangan pemikiran bagi berbagai pihak yang memiliki akses terhadap kebijakan, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dan fenomena penyelenggaraan inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa dijadikan sebagai dasar rasionalisasi untuk semakin menyempurnakan praktek inovasi pemerintahan di daerah-daerah lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, dirasakan analisnya masih dangkal, maka disarankan kepada para peneliti lainnya dan mahasiswa, terutama bagi mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Publik untuk terus melakukan kajian tentang inovasi pemerintahan daerah dalam berbagai konteks untuk memperkaya khasanah ilmu administrasi publik.

Mengingat kajian ini masih

411

sangat terbatas cakupan dan ruang lingkupnya, maka untuk para peneliti berikutnya supaya bisa lebih mendalami pada dimensi lainnya, misalnya dimensi yang terkait dengan budaya inovasi, faktor-faktor yang mendukung dan menghambat inovasi, dan terutama yang terkait dengan kapasitas inovasi yang dimiliki oleh pemerintah daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 2002. Masa Depan Otonomi Daerah: Kajian Sosial, Ekonomi, dan Politik untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan Daerah. Surabaya: SIC. Ajibola, M.A. 2008. “Innovation and Curriculum Development for Basic Education in Nigeria: Policy Priorities and Challenges of Practice and Implementation”. Research Journal of International Studies (Issue 8, November). pp. 51-58. Akenroye, Temidayo O. & Christoph W. Kuenne. 2015. “Key Competencies for Promoting Service Innovation: What are Implications for the Health Sector?”. The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 20(1). pp. 1-21. Akomolafe, Comfort Olufunke. 2011. “Managing Innovations in Educational System in Nigeria: A Focus on Creating and Sustenance of Culture of Innovation”. Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies (JETERAPS) 2(1). pp. 47-52. Albrow, Martin. 2004. Birokrasi. Penerjemah M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Yogyakarta: Tiara Wacana. Al Gore. 1993. Creating a Government That Works Better & Cost Less: the Report of the National Performance Review. A Plume Book. Alguezaui, Salma & Raffaele Filieri. 2010. “Investigating the Role of Social Capital in Innovation: Sparse versus Dense Network”: Journal of Knowledge Management: Volume 14 No. 6 2010, pp. 891-909. Anthony, Scott D. 2013. The Little Black Book of Innovation: Bagaimana Inovasi Bekerja. Jakarta: Alex Media Komputindo. Arnaboldi, Michela, Giovanni Azzone & Tommaso Palermo. 2010. “Managerial Innovations in Central Government: Not Wrong, but Hard to Explain”: International Journal of Public Sector Management: Volume 23 No. 1, pp. 78-93. Asropi.

2008. “Budaya Inovasi dan Reformasi Birokrasi“. Administrasi, Volume V, No. 3, September, h. 246-255.

Jurnal

Ilmu

Barzelay, Michael & Babak J. Armajani. 1992. Breaking through Bureaucracy. In Shafritz, Jay M., Albert C.Hyde., & Sandra J.Parkes. 2004. Classics of Public Administration. Fifth edition. USA: Thomson & Wadsworth. Batalli, Mirlinda. 2011. “Impact of Public Administration Innovations on Enhancing the Citizens‟ Expectations”. International Journal of e412

413

Education, e-Business, e-Management and e-Learning, Volume 1, No. 2, June. pp. 156-162. Behn, Robert D. 2008. “The Adoption of Innovation: The Challenge of Learning to Adapt Tacit Knowledge”. Borins, Sandford. 2008. Innovations in Government: Research, Recognition, and Replication. Washington, D.C: Brookings Institution Press. Black, Julia. Lodge M. & Thatcher, Mark (eds.). 2005. Regulatory Innovation: A Comparative Analysis. Cheltenhen UK: Edward Elgar. Borins, Sandford. 2008. Innovations in Government: Research, Recognition, and Replication. Washington, D.C: Brookings Institution Press. …........... 2001a. The Challenge of Innovating in Government. Innovations in Management Series, the Business of Government: University of Toronto. …………. 2001b. “Public Management Innovation: Toward a Global Perspective”. The American Review of Public Administration. Volume 31 No. 1, March. pp. 5-21. Bowman, Ann O‟M & Richard C. Kearney. 2003. State and Local Government: the Essentials. Second edition. New York: H.M. Company. Bromley, Daniel W. (1989). Economic Interests and Institutions: The Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basic Blackwell. Brown, Helen. 2008. Knowledge and Innovation: A Comparative Study of the USA, the UK, and Japan. New York: Routledge. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. ………., 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial. Jakarta: Kencana. Caiden E. Gerald. 1991. Administrative Reform Comes of Age. New York 19: Walter de Gruyter. Capuno, Joseph J. 2010. Leadership and Innovation Under Decentralization: A Case Study of Selected Local Governments in the Philippines. Discussion Paper No. 2010-10. University of the Philippines School of Economics. Carrera, Leandro & Dunleavy, Patrick. 2010. Productivity Change in the Public Sector: Innovation, New Public Management and Cultural Resistance to "Digital Era Governance" in Uk Social Security. Department of Government, London School of Economics and Political Science. Chien, Shiuh-Shen. 2007. “Institutional Innovations, Asymmetric Decentralization, and Local Economic Development: A Case Study of Kunshan, in PostMao China”. Environment and Planning C: Government and Policy. Volume 25, p. 269-290.

414

Cohen, Steven & William Elmicke. 1998. Tools for Innovators: Creative Strategis for Managing Public Sector Organizations. San Francisco: Jossey-Bass. Concidine, Mark., J M, Lewis & D. Alexander. 2009. Networks, Innovation and Public Policy: Politicians, Bureaucrats and the Pathways to Change Inside Government. New York: Pagrave. Conyers, Diana, 1986. “Decentralization and Development: a Framework for Analysis”, Community Development Journal, (Volume 21, Number 2, April): 88-100. Creswell, John W, 2007. Qualitatitve Inquiry & Research Design; Choosing Among Five Approachs. London: Sage Publications. Cristiansen, James A. 2000. Building the Innovative Organization: Management System That Encourage Innovation. New York: Palgrave. Denhardt, J.V. & Denhardt, R.B. 2003. The New Public Service: Serving Not Steering. New York: M.E. Sharpe. Eggers, William D. & Singh, Shalabh Kumar. 2009. The Public Innovator‟s Playbook: Nurturing bold ideas in government. Deloitte. Harvard Kennedy School of Government. Eko, Sutoro. 2007. Daerah Budiman: Prakarsa dan Inovasi Lokal Membangun Kesejahteraan. (IRE) Yogyakarta. Elcock, Howard. 2005. Local Government: Policy and Management in Local Authority. New York: Routledge. Evans, Mark, 2010. Building the Capacity for Local Government Innovation. Australian Centre for Excellence in Local Government„s (ACELG). Ezzy, Douglas. 2003. Qualitative Analysis: Practice and Innovation. Crows Nest: Allen & Unwin. Fajar, 2011. Buta Aksara di Sulsel Tembus Setengah Juta. Melalui: http://www.fajar.co.id/, tanggal 9 September 2011. Farazmand, Ali (Ed.). 2004. Sound Governance: Policy and Administrative Innovations. London: Praeger. ………….. 2004. “Innovation in Strategic Human Resource Management: Building Capacity in the Age of Globalization”. Public Organization Review: A Global Journal 4: 3–24. FIPO (The Fajar Institute of Pro-Otonomi). 2010. Menggali Kecerdasan Lokal di Punggawa D' Emba. Melalui: http://fipofajar.org.

415

Frederickson, H. George. 1988. Administrasi Negara Baru. Penerjemah: AlGhozei Usman. Jakarta: LP3ES. Frederickson, H. George & Jocelyn M. Johnston (Eds.). 1999. Public Management Reform and Innovation: Research, Theory, and Application. London: Alabama. Frederickson, H. George & Kevin B. Smith. 2003. The Public Administration Theory Primer. USA: Westview Press. Friedman, Milton. 1955. “The Role of Government in Education”. In Robert A. Solo. 1955. From Economics and the Public Interest. New Jersey: Rutgers University Press. Gabris, Gerald T., Kimberly Nelson and Curtis H.Wood. 2009. Managing For Innovation in Local Government: Three Core Strategic Factors. The Radford University Governmental and Nonprofit Assitency Centre. Gaynor, Gerard H. 2002. Innovation by Design: What It Takes to Keep Your Company on the Cutting Edge. New York: AMACOM Gibson, J. L., Ivancevich, J.M. & Donnelly, Jr. J, 1996. Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses. Penerjemah: Nunuk Adiarni. Jakarta: Bina Aksara. Grindle, Merilee S. (Editor). 1997. Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sector of Developing Countries. Boston, MA: Harvard Institute for International Development. …………. 2009. Going Local, Decentralization, Democratization, and the Promise of Good Governance. New Jersey: Princeton University Press. Halvorsen, T., Johan H., Ian M. & Rannveig R. 2005. On The Differences between Public and Private Sector Innovation. Publin Report D9. Oslo: NIFU STEP. Hartley, Jean. 2005. “Innovation in Governance and Public Services: Past and Present”. Public Money and Management. January, Blackwell Publishing. ……….,. 2006. Innovation and Its Contribution to Improvement: A Review for Policy-makers, Policy Advisers, Managers and Researchers. Department for Communities and Local Government: London Hennala, Lea., Satu Parjanen & Tuomo Uotila. 2011. “Challenges of Multi-Actor Involvement in the Public Sector Front-End Innovation Processes Constructing an Open Innovation Model for Developing Well-Being Services”: European Journal of Innovation Management: Volume 14 No. 3, pp. 364-387. Hoessein, Bhenyamin, 2009. Perubahan, Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi. Departemen Ilmu Administrasi: Fisip-UI.

416

…………., 2000. ”Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah”, Jurnal Bisnis & Birokrasi No.1/Vol.1/Juli. Departemen Ilmu Administrasi Fisip-UI. Hoessein, B, Maksum, R.I, Riduansyah, M, & Hanafi, Puji Nur, 2005. Naskah Akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta: PKPAD & Kota, Fisip UI. Holidin, Defny, Desy Hariyati, & Eka Sri Sunarti. 2016. Reformasi Birokrasi dalam Transisi. Jakarta: Prenadamedia Group. Ichsan, M, Supriyono, B & Muluk, M.R.Khairul. 2003. ”Variasi Cakupan dan Peran Pelayanan Publik Pemerintah Daerah”, dalam Muluk, M.R.Khairul (2007) Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu Media. IGI. 2012. Meningkatkan Akses dan Kualitas Pendidikan: Belajar dari Kabupaten Gowa dalam Mengemas Pendidikan. Fisipol UGM. Melalui www.igi.fisipol.ugm.ac.id INDOPOV. 2007. Inovasi Pelayanan Pro-Miskin: Sembilan Studi Kasus di

Indonesia. The World Bank: Poverty Reduction Management Unit East Asia and Pacific Region.

and

Economic

Islamy, Irfan M. 2003. Dasar-dasar Administrasi Publik dan Manajemen Publik. Malang: PDIA FIA-UB Jha, S.N. & Mathur, P.C. (Eds.). 1999. Decentraliztion and Local Politics; Reading in Indian Government and Politics-2. London: Sage Publications. Kadir, Basir, Dkk. 2009. Menggali Potensi Menumbuhkan Inovasi: Pemaparan Hasil Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah terhadap Kinerja Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Makassar: The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO). ……..., 2010. Prakarsa Memintas Pembangunan: Hasil Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan. Makassar: The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO). ………., 2011. Difusi Inovasi Daerah: Hasil Monitoring dan Evaluasi Kinerja Kabupaten/Kota se-Sulawesi Selatan dalam Rangka Otonomi Awards 2011. Makassar: The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO). ……….. 2012. Metamorfosa Inovasi Daerah: Hasil Monitoring dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan untuk Otonomi Awards 2012. Makassar: The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO). Kaho, J. Riwu, 2007. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

417

……….., 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah; Solusi Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta. Karim, Abdul Gaffar (ed.). 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Keban, Yeremias T. 2000. Good Governance” dan “Capacity Building” sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan. Naskah No.20 Team Leader Capacity Building for Local Government Bappenas. ............, 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media. Kementerian Dalam Negeri, 2005. Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta. ..........., 2008. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Jakarta. ..........., 2008. Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Jakarta. ..........., 2015. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta. Kim, Pan Suk. 2009. “Quality as a Reflection of Innovation? Quality Management in the Korean Government”. International Review of Administrative Sciences. 75:419. pp. 421-435. Kim, Seok Eun, Jung Wook Lee & Byong Seob Kim. 2007. The Quality of Management and Government Innovation: An Empirical Study. A paper for presentation at the 9th Public Management Research Conference, University of Arizona, October 25-27. Kim, Soonhee. 2009. Managerial Leadership, the Climate for Creativity, and a Culture of Innovation and Performance-Driven in Local Government. Draft Paper Prepared for the PMRA Conference, Oct 1-2, Columbus, Ohio. KPK. 2006. Mengukur Keberhasilan Kabupaten Solok Dalam Pelaksanaan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik. Jakarta: Direktorat Litbang KPK. Kompas. 2011. Kisah Sukses Para Pemimpin Daerah. Kompasiana: 12 Juni. www.kompas.com ……….., 2008. Evaluasi Sepuluh Tahun Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah. Biro Litbang Kompas, tanggal 28 April 2008. Koch, Per & Johan Hauknes, 2005. On innovation in the Public Sector – Today and Beyond. Publin Report No. D20. Oslo: NIFU STEP.

418

Kurniawan, Teguh. 2007. “Pergeseran Paradigma Administrasi Publik: Dari Prilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance”. JIANA. Volume 7 Januari: 52-70. Lam, Alice. 2004. Organizational Innovation. Working Paper No. 1: Brunel University Brunel Research in Enterprise, Innovation, Sustainability, and Ethics Uxbridge, West London. Lawson, B and Samson, D. 2001. “Developing Innovation Capability in Organizations: A Dynamic Capabilities Approach” International Journal of Innovation Management. Vol. 5, No. 3 (September) pp. 377–400. Lincoln, Y. and Guba, E, 1985. Naturalistic Inquiry. New York: Sage Publication. MAC. 2010. Empowering Change: Fostering Innovation in the Australian Public Service. Australian Government: Series: 9. Majalah e-Indonesia. 2010. Artikel Kabupaten Sragen Edisi 22/1. Melalui www.majalaheindonesia.com Maria, Rebecca Fatima Sta. 2003. “Innovation and Organizational Learning Culture in the Malaysian Public Sector”. In Advances in Developing Human Resources 5: 205. Massi & Firman. 2011. Terobosan Gowa Mengembangkan Pendidikan Gratis. Artikel. Melalui www.setkab.go.id/pro-rakyat Martin, John. 2000. Innovation Strategies in Australian Local Government. Paper in Queensland University of Technology. Meehan, Elizabeth. From Government to Governance, Civic Participation and „New Politics‟; the Context of Potential Opportunities for the Better Representation of Women. Occasional Paper No. 5, Queen's University Belfast. Moleong, Lexy J, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda. Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1994. Qualitative Data Analysis. London: Sage Publications. Mintzberg, Henry, 1979. The Structuring of Organizations a Synthesis of the Research. Englewood Cliffs N.J.: Prentice-Hall, Inc. Muhammad, Fadel. 2009. Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah. Jakarta: Gramedia. Mulgan, G. & Albury, D. 2003. Innovation in the Public Sector. Working paper version 1.9, October, Strategy Unit UK Kabinet Office.

419

Muluk,

Khairul. 2008. Knowledge Management; Pemerintahan Daerah. Malang: Bayu Media.

Kunci

Sukses

Inovasi

………... 2009. Peta Konsep Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Surabaya: ITS Press. ………., 2010. “Dari Good ke Sound Governance: Pendorong Inovasi Administrasi Publik”. Falih Suaedi (ed.) Revitalisasi Administrasi Negara. Yogyakarta: Graha Ilmu. Muttalib, M.A. & M.A. Ali Khan. 1982. Theory of Local Government. New Delhi: Stereling Publishers. Nasution, S. 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung: Tarsito. NESTA. 2008. Innovation in Government Organizations, Public Sector Agencies and Public Service NGOs. Draft Working Paper. London WC2A 2AE: LSE Public Policy Group. Noor, Irwan. 2013. Desain Inovasi Pemerintahan Daerah. Malang: UB Press. OECD. 2005. Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data. Oslo Manual: European Communities. Orange, Graham. et al., 2007. “Local Government and Social or Innovation Values”. Transforming Government: People, Process and Policy. Volume 1 No. 3, pp. 242-254. Osborne, Stephen P. & Kerry Brown. 2005. Managing Change and Innovation in Public Service Organizations. New York: Routledge. Osborne, David & Ted Gaebler, 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector. Reading MA: Addison-Wesley. Pekkarinen, Satu., Tomi Tura., Lea Hennala & Vesa Harmaakorpi. 2011. “Clashes as Potential for Innovation in Public Service Sector Reform”: International Journal of Public Sector Management: Vol. 24 No. 6, pp. 507-532 Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa. 2011. Profil Kabupaten Gowa. Melalui www.gowakab.go.id. …………, 2011. Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Gowa. Bagian Humas Pemkab Gowa. Melalui: www.humasgowa.com. …………, Kabupaten Gowa. 2013. Gowa Dalam Angka 2013. Biro Pusat Statistik.

420

Peraturan Bupati Gowa No. 8 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Perda Pendidikan Gratis. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa. Peraturan Daerah Kabupaten Gowa No. 3 Tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Gowa. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa. ………... No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa. ………… No. 10 Tahun 2009 tentang Program Wajib Belajar. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa. …………. No. 3 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2010-2015. Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Gowa. Putra, Fadillah. 2009. Senjakala Good Governance. Malang: Avereos Press. Pramusinto, Agus. 2010. Decentralization, Local Leadership and Innovation in Indonesia. The 28th International Congress of Administrative Sciences. IIAS-IASIA. Bali-Indonesia. Prasojo, Eko. 2006. “Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis”, Jurnal Bisnis & Birokrasi, Vol.XIV/No.1/Januari. Departemen Ilmu Administrasi Fisip UI. ………... 2003. Restrukturisasi Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah: Sebuah Refleksi Teoritis dan Praxis Terhadap PP No. 8 Tahun 2003, Publikasi YIPD, Tahun II No. 3. Melalui http://www.yipd.co.id. Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan & Azwar Hasan. 2004. Reformasi Birokrasi Dalam Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana. Jakarta: PKPAD & Kota. Fisip-UI. Prasojo, Eko dan Teguh Kurniawan. 2006. ”Bebas Iuran Sekolah dan JKJ: Inovasi Pro Masyarakat Miskin di Kabupaten Jembrana”. Jurnal PSPK, Edisi VIII. Hal. 100-113. Ratnawati, Tri, 2003. “Desentralisasi Dalam Konsep dan Implementasinya di Indonesia di Masa Transisi” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.). Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rhodes, R. A. W. 2007. “Understanding Governance: Ten Years On”. Organization Studies. 28; 1243 Roberts, Nancy C. 1999. ”Innovation by Legislative, Judicial, and Management Design: Three Arenas of Public Entrepreneurship”. Frederickson, George & Jocelyn M. Johnston (Eds.) Public Management Reform and Innovation: Research, Theory, and Application. London: Alabama.

421

Robbins, Stephen P, 1994. Teori Organisasi; Struktur, Desain dan Aplikasi. Penerjemah: Jusuf Udaya. Jakarta: Penerbit Arcan. Rogers, Everett M. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. Rondinelli, Dennis A & Cheema, G. Shabbir, 1983. Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills London: Sage Publications. Rosenbloom, D.H. & R.S. Kravchuk. 2005. Public Administration: Understanding Management, Politics, and Law in the Public Sector. Singapore: McGrawHill. Said, M. Mas‟ud. 2007. Birokrasi di Negara Birokratis; Makna, Masalah dan Dekonstruksi Birokrasi Indonesia. Malang: UMM Press. ………... 2010. Innovative Bureaucracy: Ingredients, Kelembagaan. Malang: Averroes Community.

Contents

dan

…………. 2009. Menggagas Innovative Bureaucracy dalam Pemerintahan Indonesia. Melalui: http_ejournal.umm.ac.id. Saleh, Choirul & M.R. Khairul Muluk. 2006. “New Public Service dan Pemerintahan Lokal Partisipatif”. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik. Vol. VI, No.1, September 2005-Februari 2006. Salomo, Roy V, 2006. Pokok-pokok Pikiran Penyempurnaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Bagian Perangkat Daerah). Depdagri kerjasama GTZ. Melalui http://www.desentralisasi.org. Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. New York: Currency Doubleday. Setiono, Budi. 2002. Jaring Birokrasi: Tinjauan dari Aspek Politik dan Administrasi. Bekasi: Gugus Press. Shafritz, Jay M & E.W. Russel. 1999. Introducing Public Administration. Second edition. New York: Longman. Shafritz, Jay M., et al. 2004. Classics of Public Administration. Fifth edition. USA: Thomson & Wadsworth. Shah, Anwar. 2005. Public Sector Delivery. Washington DC: World Bank …………. 2006. Local Governance in Industrial Country. Washington DC: World Bank

422

Siddiquee, Noore Alam. 2007. “Public Service Innovations, Policy Transfer and Governance in the Asia-Pacific Region: The Malaysian Experience”. JOAAG, Vol. 2. No: 1. h. 81-91. Sherwood, Dennis, 2002. Smart Things to Know about Innovation & Creativity. Jakarta: Alex Media Komputindo. Slappendel, Carol. 1996. “Perspectives on Innovation in Organizations”. Organization Studies, Vol. 17(1): pp.107–129. Smith, Brian C, 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London: George Allen & Unwin. Solihin, Dadang. 2010. Desentraisasi dan Otonomi Daerah. Universitas Darma Persada. Melalui: www.dadangsolihin.com/lecture. Soeprapto, H.R. Riyadi. 2004. Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah Menuju Good Governance. Naskah Pidato Guru Besar Ilmu Administrasi FIA Uiversitas Brawijaya. Stewart, John. 1988. Understanding the Management of Local Government: Its Special Purpose, Conditions and Task. Longman Group UK Ltd. Stoker, Gerry. 1998. Governance as Theory: Five Propositions. Unesco: Blackwell. Strumpf, Koleman S. 2000. Does Government Decentralization Increase Policy Innovation? Department of Economics University of North Carolina at Chapel Hill. Stum, Jake. 2009. “Kirton‟s Adaption-Innovation Theory: Managing Cognitive Styles in Times of Diversity and Change”. Emerging Leadership Journeys, Vol. 2 Iss. 1, 2009, pp. 66-78. Styhre, Alexander. 2007. The Innovative Bureaucracy: Bureaucracy in an Age of Fluidity. New York: Rutledge. Sugiyono, 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suharno. 2008. Kajian Inovasi Kecamatan sebagai Organisasi Publik. Laporan Penelitian Pusat Studi Pembangunan Pertanian & Pedesaan LPPM-IPB dan DRSP-USAID. Sumarto, Hetifah Sj. 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: YOI. Sumartono, 2007. Reformasi Administrasi Pelayanan Publik. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar FIA-Universitas Brawijaya. Malang.

423

Sun, Miantao. 2010. “Education System Reform in China after 1978: Some Practical Implications”: International Journal of Educational Management: Vol. 24 No. 4, pp. 314-329. Supriyono, Bambang, 2007. “Pembangunan Institusi Pemerintahan Daerah dalam Penyediaan Prasarana”, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, Vol. 9 No. 1 September. LPD FIA-UB. h. 727-742. .............. 2010. Sistem Pemerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Multikultural. Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar FIA-Universitas Brawijaya. Malang. ............... 2011. Inovasi Pemerintahan Daerah dalam Rangka Mempercepat Pembangunan Ekonomi Indonesia. Makalah Seminar Nasional “Peran Local Government dalam Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia”. Humanis Jurusan Administrasi Publik, FIA Universitas Brawijaya. Malang. Suwandi, Made. 2010. “Menimbang 10 Tahun Pelayanan Publik Era Otonomi Daerah”. Jurnal Ilmu Politik. Nomor 21. h. 53-71. Jakarta: AIPI. ………….. 2007. Pokok-pokok Pikiran; Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia (Dalam Upaya Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Demokratis dan Efisien). Jakarta: Ditjen Otda Depdagri. Suwarno, Yogi. 2008. Inovasi di Sektor Publik. Jakarta: STIA LAN. Taufik, Tatang A. 2007. ”Prospek dan Pragmatisme Peningkatan Daya Saing Daerah: Paradigma Sistem Inovasi”, dalam PROSPECT, Februari, Tahun 3 No. 4. Jakarta. h. 5-26. Thoha, Miftah, 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. ..............., 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Prenada Media. Tonwe, Daniel Adetoritse. 2011. “Conceptualizing Local Government from a Multi-Dimensional Perspective”. Higher Education of Social Science. Vol. 1, No. 1, 2011, pp. 66-71. Tribun Timur, 2010. Inovasi Pendidikan Kab. Gowa: Perkuatan Mutu Pendidikan Gratis, tanggal 13 Maret 2010. Turner, M. & Hulme, D. 1997. Governance, Administration and Development: Making the State Work, Kumarian Press, Connecticut. UNDESA. 2006. Innovations in Governance and Public Administration: Replicating What Works. New York: United Nations Publication.

424

UNfGI. 2012. “Pembentukan Satuan Tugas: Kebijakan Strategis Pendidikan Kabupaten Gowa” Policy Brief. USAID Indonesia, KINERJA dan Fisipol UGM. USAID, 2009. Innovations in Local Service Management: Challenges and Opportunities in Decentralized Governance in Indonesia. Good Governance Brief. LGSP-USAID. Veenswijk, Marcel (ed.). 2005. Organizing Innovation: New Approach to Cultural Change and Intervention in Public Sector Organizations. Amsterdan: IOS Press. Vigoda-Gadot, Eran, Aviv Shoham, Nitza Schwabsky, & Ayalla Ruvi. 2005. “Public Sector Innovation for the Managerial and Post-Managerial Era: Promises and Realities in a Globalizing Public Administration”. International Public Management Journal. 8 (1) p. 57-81. Wasistiono, Sadu. 2010. “Menuju Desentralisasi Berkeseimbangan”. Jurnal Ilmu Politik. Nomor 21. h. 40-52. Jakarta: AIPI. Watson, Douglas J. 1997. Innovative Government: Creative Approach to Local Problema. London: Greenword Publishing Group. Watson, Douglas J. & Wendy L. Hassett. 2003. Local Government Management: Current Issues and Best Practices. New York: M.E. Sharpe. Weber, Max. 1946. ”Bureaucracy” in Shafritz, Jay M. Hyde Albert C & Parkers Sandra J. 2004. Classics of Public Administration. Fifth Edition, Thomson Wadsworth. Wilson, James Q. 1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It. US: BasicBooks a Division of Harper Collins Publishers. Wood, J.M., Wallace, J., Zeffane, R.M., Schermerhom, J.R., Hunt, J.G., & Osborn, R.N. 1998. Organisational Behaviour: An Asia - Pacific Perspective. Brisbane: John Wiley & Sons. Yunus, Syaiful Rijal. 2012. “Gowa Menggagas Inovasi Pendidikan” Proceeding Seminar & Lokakarya Inovasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di Daerah. Fisipol UGM. Zauhar, Soesilo. 2008. Birokrasi, Birokratisasi dan Post Bureaucracy. Artikel, http://publik.brawijaya.ac.id/us/jurnal.

Related Documents

Teologi Muh
April 2020 28
Zheeendy Muh
June 2020 18
Muh. Syahril.pdf
December 2019 25
Rpp Muh
June 2020 11
Tang Poetry
May 2020 9

More Documents from ""