Disertasi (komparasi Tpb Dan Tt)

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Disertasi (komparasi Tpb Dan Tt) as PDF for free.

More details

  • Words: 49,770
  • Pages: 237
DISERTASI

HUBUNGAN SIKAP DAN PERILAKU MEMILIH SATU MEREK: KOMPARASI ANTARA THEORY OF PLANNED BEHAVIOR DAN THEORY OF TRYING

Oleh: Sabrina Oktoria Sihombing 99/840/PS

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2004

INTISARI

Penelitian ini menguji dan memperbandingkan dua teori sikap, yaitu: theory of planned behavior (selanjutnya disebut TPB) dan theory of trying (selanjutnya disebut TT), untuk memahami fenomena memilih merek. TPB merupakan salah satu teori sikap yang banyak diaplikasikan dalam beragam perilaku. Di lain pihak, TT merupakan teori sikap yang lebih baru tetapi belum banyak diaplikasikan secara empiris. Walaupun kedua teori tersebut dikembangkan dari theory of reasoned action (selanjutnya disebut TRA), ada perbedaan-perbedaan dalam pemahaman akan perilaku, sikap, dan perilaku lampau pada kedua teori tersebut. Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, penelitian ini menghipotesiskan bahwa TT lebih fit dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku memilih satu merek dibandingkan TPB. Penelitian ini memperluas TPB dengan menambah dua variabel baru, yaitu frekuensi dan resensi. Kedua variabel tersebut mencerminkan perilaku lampau. Penambahan variabel tersebut karena TRA dan TPB mendapat kritik khususnya berkenaan dengan adanya variabel yang relevan untuk menjelaskan niat dan perilaku tetapi tidak dimasukan dalam model, yaitu variabel perilaku lampau. Penelitian ini juga menghipotesiskan bahwa norma subyektif, dalam budaya kolektivism, merupakan prediktor yang memberikan pengaruh lebih besar terhadap niat dibandingkan prediktor lainnya baik dalam TPB maupun TT. Hal ini didasarkan pada budaya Indonesia yang kolektivism (Hofstede, 1994).

Hasil penelitian-penelitian

sebelumnya pada budaya individualism memperlihatkan pengaruh sikap yang lebih besar

xvii

terhadap niat dibandingkan pengaruh norma subyektif dan kontrol keperilakuan yang dirasakan (Ajzen 1988, 1991). Desain sampel pada penelitian ini adalah sampel bertujuan (purposive sample) dengan jumlah responden 321 mahasiswi. Penelitian ini menggunakan dua pengukuran, yaitu pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung (belief-based measure) dalam mengukur konstruk sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Kemudian, data dianalisis dengan menggunakan structural equation modeling (SEM) dengan menggunakan metode estimasi maximum likelihood (ML). Dengan didasarkan pada hasil uji statistik, hasil analisis menunjukan bahwa TT lebih fit dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku memilih satu merek dibandingkan TPB. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa pengukuran langsung dan tidak langsung dapat memberikan hasil yang berbeda. Akan tetapi, posisi yang diambil penulis adalah menggunakan pengukuran langsung dalam pengujian hipotesis. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan keakuratan dan keandalan pengukuran tersebut dibandingkan dengan pengukuran tidak langsung. Hasil penelitian juga mendukung hipotesis penelitian bahwa perilaku lampau (yaitu, frekuensi) merupakan prediktor yang signifikan terhadap niat baik dalam TPB maupun TT. Hasil penelitian ini juga mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa sikap bukan sebagai prediktor yang dominan baik dalam TPB dan TT. Dengan kata lain, jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian di negara barat, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa budaya barat lebih menekankan sikap sebagai faktor penentu dalam proses pembelian sedangkan budaya timur lebih menekankan pada norma subyektif dibandingkan sikapnya sendiri.

xviii

ABSTRACT

This research examined and compared two attitude theories (that is, the theory of planned behavior and the theory of trying) in understanding the relationship between attitude and behavior of choosing a brand. Theory of planned behavior (TPB) is an attitude theory that is applied in many different behavioral domains. On the other side, theory of trying (TT) is a newer attitude theory that has been applied in limited areas. Both theories were developed based on theory of reasoned action (TRA). Although those theories were based on TRA, both theories have different conceptualization on behavior, attitude, and past behavior. Based on those differences, it was hypothesized in this research that TT could fit better than TPB in explaining the relationship between attitude and behavior of choosing a brand better than TPB. This research also extended TPB by adding two variables: frequency and recency. Those two variables reflect past behavior. The adding of those two variables in TPB was to accommodate the critique to TRA and TPB as those two theories exclude past behavior as a significant predictor to understand behavior intention and behavior itself. This research hypothesized that subjective norm, in collectivism culture, was a dominant predictor to intention compared to other predictors in TPB and TT. This hypothesis was based on Indonesian culture, that is, collectivism culture (Hofstede, 1994). Previous research in the individualism culture showed attitude as a dominant predictor to intention compared with subjective norms and perceived behavioral control (Ajzen, 1988, 1991).

xix

The design sample of this research was a purposive sample with 321 students who participated in a two-wave survey. This research applied two measures, that is, direct measure and belief-based measure. Then, the data was analyzed with structural equation modeling (SEM). Maximum Likelihood (ML) was applied as an appropriate estimation method. Based on statistical tests, results showed that TT was fit better than TPB in explaining of choosing a brand phenomenon. This result of this research also showed that direct measure and belief-based measure gave different results. However, the position taken by the researcher was to apply direct measure to test hypotheses. The reason was the measure gave accuracy and reliability better than belief-based measures. This research supported the hypothesis that frequency past behavior as a significant predictor to intention in TPB and TT. This research also supported the hypothesis that attitude was not a dominant predictor to intention in TPB and TT. In other words, compared to other research in individualism culture, this result showed that western culture relied on attitude as a main factor in the purchase process whereas eastern countries relied on subjective norms rather than their own attitude.

xx

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL………………………………………………………….

i

HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………... ii

PERNYATAAN……………………………………………………………….

iii

PRAKATA…………………………………………………………………….

iv

DAFTAR ISI………………………………………………………………….

vi

DAFTAR TABEL…………………………………………………………….

x

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………. xvi

INTISARI……………………………………………………………………… xviii

ABSTRACT…………………………………………………………………….. xx

BAB

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1

Permasalahan…………………………………………………………. 1

1.2

Keaslian………………………………………………………………. 6

1.3

Kontribusi Penelitian…………………………………………………

1.4

Tujuan Penelitian…………………………………………………….. 13

1.5

Jastifikasi Penelitian…………………………………………………. 14

1.5.1

Pilihan Merek dan Sikap Konsumen adalah Topik-Topik Penting

9

dalam Pemasaran……………………………………………………. 14

vi

1.5.2

Keterbatasan Penelitian yang Menggunakan Teori Sikap untuk Memahami Pilihan Merek……………………………………………… 16

1.5.3

Pentingnya Validasi Empiris terhadap Teori-Teori Sikap yang Eksis (yaitu, TPB dan TT) Dalam Berbagai Lingkup Perilaku dan Kultur Budaya…………………. ……………………………………………… 17

1.5.4

Pentingnya Menguji Teori dan Memperbandingkan Teori-Teori Sikap.. 18

1.5.5

Besarnya Pasar Kosmetik dan Produk Pelembab Pemutih di Indonesia.. 21

1.6

Alur Penulisan………………………………………………………….. 24

1.7

Simpulan….……………………………………………………………. 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Pendahuluan……………………………………………………………. 26

2.2

Terminologi Merek…………………………………………………….. 27

2.2.1

Kekuatan Merek Dalam Pemasaran dan Perilaku Konsumen…………. 28

2.2.2

Pilihan Merek………………………………………………………….. 31

2.3

Perilaku………………………………………………………………… 32

2.3.1

Sikap…………………………………………………………………… 34

2.3.2

Theory of Planned Behavior…………………………………………… 36

2.3.3

The Teory of Trying…………………………………………………… 45

2.4

Budaya…………………………………………………………………. 53

2.4.1

Penelitian Lintas Budaya ……..………………………………………. 55

2.4.2

Budaya Indonesia dan Jastifikasi Penggunaan Responden di Yogyakarta yang Mewakili Budaya Indonesia………………………... 58

2.5

Simpulan………………………………………………………………

63

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1

Pendahuluan……………………………………………………………

64

3.2

Jastifikasi Paradigma Penelitian……………………………………….

64

3.3

Survai………….………………………………………………………

67

3.3.1

Jastifikasi Penggunaan Metode Survai………………………………..

69

vii

3.3.2

Jastifikasi Penggunaan Teknik Kuesioner Dilakukan Sendiri (personally administered questionnaire)….. …………………..……..

70

3.3.3

Mengatasi Kesalahan-Kesalahan Dalam Survai………………………

72

3.3.4

Pertimbangan Etika Dalam Survai……………………………………

74

3.3.5

Pengembangan Kuesioner Penelitian…………………………………

75

3.3.6

Definisi Konseptual dan Definisi Operasional……………………….

77

3.3.7

Pengambangan Skala…………………………………………………

79

3.3.7.1 Tahap Eksplorasi……………………………………………………..

80

3.3.7.2 Tahap Kuantitatif……………………………………………………..

81

3.4

Pengukuran……………………………………………………………

84

3.5

Proses Sampling………………………………………………………

86

3. 6

Analisis Data …………………………………………………………

90

3.6.1

Proses Pra-analisis……………………………………………………

90

3.6.2

Analisis Deskriptif……………………………………………………

93

3.6.3

Analisis Inferensial…………………………………………………..

93

3.7

Simpulan……………………………………………………………..

100

BAB 4 ANALISIS DATA 4.1

Pendahuluan …………………………………………………………

4.2.1

Hasil Analisis Survai Pertama (Survai Merek dan Jangka Waktu

101

Pembelian)……………………………………………………………… 102 4.2.2

Hasil Analisis Survai Kedua (Survai Salient Beliefs)…………………… 104

4.2.3

Hasil Analisis Survai Ketiga (Survai Consumer Decision Making)……. 108

4.2.3.1 Hasil Analisis Survai CDM Uji Coba (Realibilitas, Validitas, dan Korelasi Variabel CDM) …………………………………………… 4.2.3.2

Hasil Analisis Survai CDM Survai Aktual (Reliabilitas, Validitas, dan Korelasi Variabel CDM)………………………………………..

4.3.1

109

112

Tingkat Pengembalian Kuesioner Survai 4 dan 5 (Survai Sikap – Niat dan Survai Perilaku)… ……………………….

114

4.3.1

Profil Responden…………………………………………………….

117

4.4

Hasil Analisis Data…………………………………………………..

118

viii

4.4.1

Hasil Analisis Data Survai Uji Coba………………………………….

118

4.4.1.1 Reliabilitas, Validitas, dan Korelasi Variabel TPB…………………...

118

4.4.1.2 Reliabilitas, Validitas, dan Korelasi Variabel TT………………….…

122

4.4.2

126

Hasil Analisis Data Aktual………………….……………………….

4.4.2.1 Reliabilitas, Validitas, dan Korelasi Variabel TPB…………………....

126

4.4.2.2 Reliabilitas, Validitas, dan Korelasi Variabel TT………………….….

130

4.4.2.3 Model Struktural dan Pengujian Hipotesis………………….…………

134

4.4.3

148

Pembahasan Atas Hasil Analisis…………………...………………….

4.4.3.1 Theory of Planned Behavior…………………...………………….……

148

4.4.3.2 Theory of Trying…………………...…………………...……………..

163

4.5

175

Simpulan…………………...…………………...………………….….

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

5.1

Pendahuluan …………………...…………………...…………………..

177

5.2

Simpulan atas Hipotesis-Hipotesis Penelitian………………….……

178

5.3

Keterbatasan Penelitian………………………………………………...

182

5.4

Implikasi Terhadap Teori…………………...………………….………

183

5.5

Implikasi Manajerial…………………...………………….…………… 185

5.6

Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya ………………….………… 188

DAFTAR PUSTAKA

190

LAMPIRAN A (PENENTUAN JUMLAH SAMPEL) LAMPIRAN B (KUESIONER THEORY OF TRYING) LAMPIRAN C (KUESIONER THEORY OF PLANNED BEHAVIOR) LAMPIRAN D (KUESIONER CONSUMER DECISION MAKING) LAMPIRAN E (HASIL UJI STATISTIK)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1

Penelitian-penelitian Pilihan Merek……………………

Tabel 1.2

Aplikasi TPB dalam Beragam Lingkup Perilaku dan Alat Analisis………………………………………

Tabel 1.3

7

Memprediksi Niat dari Sikap terhadap Perilaku dan Norma Subyektif dengan Menggunakan TRA……

Tabel 2.3

6

Aplikasi TT dalam Beragam Lingkup Perilaku dan Alat Analisis………………………………………

Tabel 2.2

3

40

Memprediksi Niat dari Sikap terhadap Perilaku, Norma Subyektif, Kontrol Keperilakuan yang Dirasakan dengan Menggunakan TPB………………..

40

Tabel 2.4

Definisi-definisi Sikap…………………………………

48

Tabel 2.5

Perbedaan TPB dan TT………………………………..

51

Tabel 2.6

Penelitian Lintas Budaya Pada Satu Wilayah………….

57

Tabel 2.7

Penelitian Lintas Budaya pada Beberapa Wilayah……

57

Tabel 2.8

Perbedaan Budaya Indonesia dan USA……………….

61

Tabel 3.1

Karakteristik Paradigma yang Digunakan dalam Penelitian ini…………………………………………..

66

x

Tabel 3.3

Perbandingan Teknik Kuesioner………………………

71

Tabel 3.4

Definisi Konseptual dan Definisi Operasional………..

77

Tabel 3.5

Peneliti dan Pengukuran yang Digunakan…………….

86

Tabel 3.6

Cut-off Value untuk Uji-uji dalam SEM……………..

97

Tabel 4.1

Salient Behavioral Beliefs (advantages).……………..

105

Tabel 4.2

Salient Behavioral Beliefs (disadvantages).………….

105

Tabel 4.3

Salient Referents……………...………………………

106

Tabel 4.4

Salient Control……………...………………………..

106

Tabel 4.5

Mencoba Membeli dan Menggunakan Pelembab Pemutih Ponds Bulan Depan dan Berhasil……………

Tabel 4.6

Mencoba Membeli dan Menggunakan Pelembab Pemutih Ponds Bulan Depan dan Gagal………………

Tabel 4.7

107

Mencoba Membeli dan Menggunakan Pelembab Pemutih Ponds Bulan Depan …………………………

Tabel 4.8

107

108

Nilai corected item-to-total correlation dan Cronbach α CDM………………………………………. 110

Tabel 4.9

Analisis Faktor Konstruk CDM ………….……………..

111

Tabel 4.10

Korelasi antar Variabel CDM ……….……………….… 111

xi

Tabel 4.11

Nilai corected item-to-total correlation dan Cronbach α CDM ………….…………………………

112

Tabel 4.12

Reliabilitas Komposit dan AVE (CDM)………………

Tabel 4.13

Analisis faktor Konstruk CDM ……..….……………...

113

Tabel 4.14

Korelasi antar Variabel CDM ….....………………... .

114

Tabel 4.15

Tingkat Pengembalian Kuesioner………………………

115

Tabel 4.16

Tingkat Pengembalian Kuesioner Penelitian TPB dan TT. 116

Tabel 4.17

Tabel t-Test ……………………………………………

116

Tabel 4.18

Profil Responden………………………………………

117

Tabel 4.19

Nilai corected item-total correlation dan Cronbach α TPB (pengukurang langsung)…………….

Tabel 4.20

113

119

Nilai corected item-total correlation dan Cronbach α TPB (pengukuran tidak langsung)…………

119

Tabel 4.21

Analisis Faktor Konstruk TPB (pengukuran langsung)…

120

Tabel 4.22

Analisis Faktor Konstruk TPB (pengukuran tidak langsung)121

Tabel 4.23

Korelasi antar Variabel TPB (Pengukuran Langsung dan Tidak Langsung)……………………………………

121

xii

Tabel 4.24

Nilai corected item-total correlation dan Cronbach α TT (pengukuran langsung)…………………. 122

Tabel 4.25

Nilai corected item-total correlation dan Cronbach α TT (pengukuran tidak langsung)……………. 123

Tabel 4.26

Analisis Faktor Konstruk TT (pengukuran langsung)…….. 124

Tabel 4.27

Analisis Faktor Konstruk TT (pengukuran tidak langsung).. 124

Tabel 4.28

Korelasi antar Variabel TT……………………………….. 125

Tabel 4.29

Nilai corected item-total correlation dan Cronbach α TPB (pengukuran langsung)………………..

Tabel 4.30

126

Nilai corected item-total correlation dan Cronbach α TPB (pengukuran tidak langsung)…………. 127

Tabel 4.31

Realibilitas Komposit dan AVE (TPB)………………….. 127

Tabel 4.32

Analisis Faktor Variabel TPB (pengukuran langsung)…… 128

Tabel 4.33

Analisis Faktor Variabel TPB (pengukuran tidak langsung) 128

Tabel 4.34

CFA TPB (pengukuran langsung dan tidak langsung)……. 129

Tabel 4.35

Korelasi antar Variabel TPB – Survai Aktual (Pengukuran Langsung dan Tidak Langsung ………………………….

Tabel 4.36

130

Nilai corected item-total correlation dan Cronbach α TT (pengukuran langsung)…………………. 130

xiii

Tabel 4.37

Nilai corected item-to-total correlation dan Cronbach α TT (pengukuran tidak langsung)…………… 131

Tabel 4.38

Realibilitas Komposit dan AVE (TT) …………………… 132

Tabel 4.39

CFA TT (pengukuran langsung dan tidak langsung)…….. 133

Tabel 4.40

Korelasi antar Variabel TT-Survai Aktual (Pengukuran langsung dan Tidak Langsung…………………………… 134

Tabel 4.41

Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TPB Pengukuran Langsung) ………………………………… 135

Tabel 4.42

Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TPB (pengukuran tidak langsung)………………………………………….. 136

Tabel 4.43

Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TT (pengukuran langsung)………………………………………………… 139

Tabel 4.44

Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TT (pengukuran tidak langsung)………………………………………….. 140

Tabel 4.45

Estimasi Parameter untuk Variabel Sikap (pengukuran langsung dan tidak langsung)…………………………… 142

Tabel 4.46

Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TT untuk Hipotesis 12 (pengukuran langsung dan tidak langsung).. 143

Tabel 4.47

Hasil Komparasi TPB dan TT………………………….. 144

Tabel 4.48

Hasil Pengujian Hipotesis……………………………….. 146

xiv

Tabel 4.49

Hasil Pengujian Hipotesis (Akhir) ……………………… 147

Tabel 5.50

Penggunaan Kata Sifat pada Penelitian Ini……………… 150

Tabel 4.51

Hasil Analisis Lanjutan Pengukuran Sikap Secara Langsung dan Tidak Langsung dengan EFA…………… 152

Tabel 4.52

Hasil Analisis Lanjutan Pengukuran Norma Subjektif Secara Langsung dan Tidak Langsung dengan EFA ……. 153

Tabel 5.53

Hasil Analisis Lanjutan Pengukuran Kontrol Keperilakuan yang dirasakan Secara Langsung dan Tidak Langsung dengan EFA…………………………… 157

Tabel 4.54

Komparasi Hasil Penelitian Bagozzi dan Kimmel (1995) dan Penelitian Ini …..……………………………….… 163

Tabel 4.55

Komparasi Hasil Penelitian Bagozzi & Warshaw (1990) Bagozzi & Kimmel (1995) dengan Penelitian Ini …….. 166

Tabel 4.56

Validitas Konverjen Konstruk Sikap……………………. 167

Tabel 4.57

Korelasi ATT, ATS, ATF, ATP………………………… 167

Tabel 4.58

Nilai AVE Dimensi-dimensi Sikap………………………168

Tabel 4.59

Sikap sebagai First-Order vs Second-Order…………… 170

Tabel 4.60

Hasil Komparasi TPB dan TT……………………………174

Tabel 5.1

Hasil Pengujian Hipotesis ………………………………. 177

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1

Garis Besar Penulisan Disertasi………………………….. 25

Gambar 2.1

Alur Pembahasan Bab 2………………………………….. 26

Gambar 2.2

Pendekatan S-O-R untuk Memahami Perilaku Manusia….. 33

Gambar 2.3

Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior………………………………………… 38

Gambar 2.4

Pengaruh Budaya terhadap Sikap dan Perilaku………….. 42

Gambar 2.5

Konsekuensi atas Dihilangkannya Variabel-variabel……. 45

Gambar 2.6

Theory of Trying…………………………………………. 46

Gambar 3.1

Alur Pembahasan Bab 3…………………………………… 65

Gambar 3.2

Tahapan Survai dalam Penelitian ini……………………… 68

Gambar 3.3

Proses Keputusan Pilihan Merek………………………….. 68

Gambar 3.4

Pengembangan Kuesioner untuk Penelitian ini…………… 75

Gambar 3.5

Pengembangan Skala pada Penelitian ini…………………. 80

Gambar 3.6

Proses Sampling dalam Penelitian ini……………………. 87

Gambar 3.7a Model Struktural TPB …………………………………… 99

xvi

Gambar 3.7b Model Struktural TPB – FR ……………………………… 99

Gambar 3.8

Model Struktural TT ……………………………………… 100

Gambar 4.1

Alur Pembahasan Bab 4…………………………………… 101

Gambar 4.2

Merek-merek yang Pelembab Pemutih Digunakan Responden ………………………………………………

103

Gambar 4.3

Jangka Waktu Pembelian………………………………...

103

Gambar 5.1

Alur Pembahasan Bab 5…………………………………… 176

xvii

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Permasalahan Masalah sikap merupakan salah satu masalah yang penting untuk memahami kualitas non fisik manusia (Azwar, 1995; Masrun, Faryanto, Harjito, Utami, Bawani, Aritonang, & Sitjipto, 1985). Ini karena sikap merefleksikan apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia tersebut (Arnould, Price, & Zinkhan, 2002; Azwar 1995). Lebih lanjut, pengetahuan akan sikap, bagaimana proses terbentuknya, dan bagaimana proses perubahannya merupakan pengetahuan yang bermanfaat khususnya untuk masalahmasalah sosial. Dengan kata lain, dengan pengetahuan akan sikap dan cara-cara mempengaruhinya, manipulasi dan pengendalian psikologis terhadap manusia dapat dilakukan (McBroom & Reed, 1992 dalam Wright 1998). Dalam kaitannya dengan pemasaran, sikap merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi konsumen dalam memilih merek (Arnould et al., 2002). Sikap konsumen yang positif terhadap suatu merek membentuk preferensi konsumen tersebut untuk memilih merek tersebut dalam pembeliannya. Singkatnya, konsumen cenderung membeli merek yang paling berkenan (Wells & Prensky, 1996; Engel, Blackwell, & Miniar, 1995; Berkman & Gilson, 1986; Zaltman & Wallendorf, 1979). Pemahaman akan merek penting bagi produsen dan pembeli. Bagi produsen, merek adalah salah satu komponen utama dalam strategi pemasaran perusahaan (Del Rio, Vazques, & Iglesias, 2001; Calderon, Cervera, & Molla, 1997; Urde, 1994). Merek dapat mengiklankan kualitas produk dan besarnya perusahaan (Kotler, 2002). Tidak hanya itu, merek dapat meningkatkan kepuasan konsumen sehingga konsumen menjadi loyal

2

(Pringle & Thompson, 1999; De Chernatony & & McDonald, 1992). Dengan loyalitas konsumen ini berarti perusahaan mempunyai keyakinan akan permintaan masa depan (Mudambi, 2002; de Chernatony & McDonald, 1992; Murphy, 1988). Bagi pembeli, merek dapat memberikan efisiensi (Kotler, 2002; Mudambi, 2000; Wikie & Moore, 1999) dan rasa aman (Wilkie & Moore, 1999; Murphy, 1988) karena merek membantu pembeli untuk memilih dalam banyaknya pilihan yang ada. Memilih merek dari beragamnya merek-merek yang ada merupakan salah satu masalah penting yang dihadapi oleh banyak orang (Tuck, 1976) dan memilih merek adalah juga merupakan salah satu aktivitas kehidupan sehari-hari (Luoviere, Hensher, & Swait, 2000; Azjen & Fishbein, 1980; Tuck, 1976). Akan tetapi, memilih merek adalah suatu proses yang kompleks (Hauser, 1986). Hauser (1986) menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan untuk menjelaskan pilihan merek mempersyaratkan adanya trade-off antara kompleksitas (yaitu, memasukan banyak variabel atau konstruk) dan parsimoni (yaitu, fokus pada variabel atau konstruk tertentu). Dengan kata lain, pilihan merek dapat dijelaskan melalui pendekatan perilaku atau pendekatan sikap. Model-model awal perilaku konsumen (misalnya: model Engel & Blakwell, 1982; model Howard & Sheth, 1969; model Nicosia, 1966) merupakan model kompleks yang menggabungkan pendekatan perilaku dan kognitif. Akan tetapi, modelmodel tersebut mempunyai permasalahan-permasalahan. Sebagai contoh, model perilaku konsumen Nicosia mempunyai variabel-variabel yang tidak didefinisikan secara operasional, misalnya variabel motif dan penyebaran pesan (Bristor, 1985; Horton, 1984; Tuck, 1976; Lehmann, Farley, & Howard, 1971).

3

Penelitian pilihan merek banyak dilakukan dengan menggunakan pendekatan perilaku dibandingkan dengan pendekatan sikap (Tabel 1.1). Pilihan merek, menurut pendekatan perilaku, disebabkan oleh stimuli atau lingkungan eksternal dan bukannya hasil dari proses mental (Lilien, Kotler, & Moorthy, 1992; O’Shaughnessy, 1992). Lebih lanjut, pendekatan perilaku memfokuskan pada model-model probabilitas (Murthi & Srinivasan, 1999; Roy et al., 1996; Krishnamurti, Raj, & Sivakumar, 1995; Zufryden, 1977). Sebaliknya, pendekatan sikap memfokuskan pada pilihan konsumen sebagai suatu hasil dari proses mental (Mathur, 1998) dan juga memfokuskan pada model-model deterministik (Hansen, 1976).

Tabel 1.1

Penelitian-penelitian pilihan merek Peneliti (tahun)

Pendekatan Pendekatan perilaku sikap Baltas (1998) X Bawa dan Shoemaker (1987) X Bucklin dan Gupta (1992) X Chatterjee, Heath, dan Basuroy (2000) X Day dan Deutscher (1982) X Dhar et al. (1996) X Dhar dan Nowlis (1999) X Eardem dan Keane (1996) X Funkhouser, Parket, dan Chatterjee (1994) X Gensch dan Recker (1979) X Hadipranata & Koswara (1982; 1981) X Hauser (1986) X Huber et al. (1993) X Kraft, Granbois, dan Summers (1973) X Krishnamurti et al. (1997) X Mathur (1998) X Miller dan Ginter (1979) X Mittal (1994) X Murthi dan Srinivasan (1999) X Park, Lessig, dan Merrill (1982) X Pieter dan Warlop (1999) X Obermiller dan Wheatley (1985) X Roy, Chintahunta, dan Haldar (1996) X Simonson dan Tversky (1992) X Sivakumar dan Raj (1997) X

4

Tabel 1.1

Lanjutan Penelitian-penelitian pilihan merek

Tellis (1988) X Wilson, Mathews, dan Harvey (1975) X Woodside et al. (1977) X Jumlah 24 5 Disusun untuk penelitian ini berdasarkan peneliti-peneliti yang disebut diatas.

Ada beberapa teori sikap yang digunakan dalam menjelaskan perilaku manusia, misalnya: theory of reasoned action (Fishbein & Ajzen, 1975), theory of planned behavior (Ajzen, 1988), dan theory of trying (Bagozzi & Warshaw, 1990). Kecuali theory of trying (selanjutnya disebut TT), theory of reasoned action (selanjutnya disebut TRA) dan theory of planned behavior (selanjutnya disebut TPB) telah diaplikasi dalam beragam lingkup perilaku. Akan tetapi, walaupun TRA telah diaplikasikan dalam beragam lingkup perilaku, TRA juga mendapat kritik. Kritik utama tersebut adalah bahwa teori tersebut hanya dapat diaplikasikan untuk memahami perilaku yang mudah dilakukan atau tidak ada hambatan dalam melakukan perilaku tersebut (Bagozzi, 1992; Ajzen, 1988). Dengan kata lain, TRA hanya membatasi perilaku dalam konteks perilaku yang memerlukan sedikit sumber dan ketrampilan. Padahal, tidak sedikit perilaku konsumen yang merupakan perilaku yang kompleks yang membutuhkan kontrol keperilakuan atau kemampuan konsumen tersebut dalam berperilaku (Dharmmesta, 2003a). TPB dikembangkan untuk mengakomodir kritik terhadap TRA dengan menambahkan variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan dalam model TRA (Ajzen, 1988). Variabel baru tersebut menjelaskan mudah atau tidaknya seseorang berperilaku. Lebih lanjut,

5

variabel tersebut juga merefleksikan pengalaman lampau seseorang termasuk didalamnya rintangan dan halangan untuk berperilaku (Ajzen, 1988, h.132). Penelitian ini mengaplikasikan dua teori sikap, yaitu TPB dan TT, untuk memahami perilaku memilih satu merek. Pemilihan TPB dan TT karena didasarkan bahwa kedua teori tersebut dikembangkan dari TRA. Kemudian, kedua teori tersebut diperbandingkan karena dua alasan utama. Pertama, pemahaman dan penggunaan variabel dalam kedua teori tersebut. Dengan kata lain, adanya perbedaan akan pemahaman perilaku dan sikap dalam TPB dan TT. Lebih lanjut, perbedaan penggunaan variabel dalam kedua teori tersebut. Secara rinci, TT menggunakan variabel perilaku lampau sebagai prediktor niat sedangkan TPB tidak menggunakan variabel perilaku lampau secara eksplisit melainkan tersirat dalam variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan (Ajzen, 1988). Alasan kedua adalah didasarkan pada pemahaman bahwa teori-teori yang eksis tidaklah tetap sepanjang masa. Akan tetapi, melalui proses evolusi yang tidak pernah berhenti, teori-teori tersebut dapat dimodifikasi atau bahkan digantikan dengan teori-teori yang lebih baru agar teori-teori semakin berkembang (Bagozzi, 1992, h. 200; Eagly, 1992, h.705). Dalam teori sikap, TT (1990) adalah teori yang lebih baru dibandingkan TPB (1988). Penjelasan lebih lanjut mengenai pentingnya komparasi teori disampaikan pada sub bagian 1.5.4. Dalam kaitannya dengan fenomena memilih satu merek, menurut pemahaman penulis, kedua teori tersebut belum diaplikasikan pada lingkup perilaku memilih satu merek (Tabel 1.2 dan 1.3). Dengan demikian, berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka masalah yang diteliti adalah sebagai berikut:

6

1. Bagaimana theory of planned behavior dan theory of trying dapat menjelaskan hubungan sikap dan perilaku memilih satu merek di Indonesia? 2. Apakah theory of trying lebih fit dibandingkan theory of planned behavior dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku memilih satu merek di Indonesia?

1.2 Keaslian Sentral penelitian ini adalah pada pendekatan sikap dalam menjelaskan perilaku pilihan merek, yaitu dengan menggunakan TPB dan TT. Teori-teori sikap ini dipilih untuk menjelaskan perilaku konsumen dalam memilih merek karena alasan parsimoni, yaitu, lebih menitikberatkan pada konstruk-konstruk spesifik daripada menggunakan banyak konstruk dalam menjelaskan perilaku pilihan merek (Doyle, 1995; Bagozzi, 1992; Hauser, 1986; Ajzen & Fishbein, 1980). TPB telah diaplikasikan dalam beragam lingkup perilaku (Tabel 1.2) tetapi TT belum banyak diaplikasikan (Tabel 1.3). Lebih lanjut, berdasarkan rekapitulasi penelitian TPB dan TT memperlihatkan bahwa belum ada penelitian yang menggunakan teori TPB dan TT untuk menjelaskan memilih merek.

Tabel 1.2

Aplikasi TPB Dalam Beragam Lingkup Perilaku & Alat Analisis

Lingkup Perilaku Perilaku tidak etis

Mengkonsumsi ganja Etika Bisnis Donasi darah Profesi medis Pemahaman diri

Peneliti

Alat Analisis Chang (1998) SEM Parker, Manstead, & Stradling (1995) Regresi Lin et al. (1999) SEM Corner dan McMillan (1999) Regresi Weber dan Gillespie (1998) Regresi Trafimow dan Duran (1998) Regresi Giles dan Cairns (1995) Regresi Randall dan Gibson (1991) Regresi Spatz et al. (2003) Multiple Discriminant Trafimow (2001) Regresi Sheeran dan Orbell (1999) Manova Terry et al. (1999) Regresi

7

Armitage et al. (1999) Tkachev dan Kolvereid (1999) Chatzisarantis dan Biddle (1998) Trafimow dan Duran (1998) Orbell, Hodgkins, & Sheeran (1997) Leone, Perugini, & Ercolani (1999) Koslowsky (1993) Randall (1994)

Perilaku belajar

Regresi Korelasi SEM Regresi Regresi SEM Regresi Regresi

Pengurangan berat badan

Sheeran dan Orbell (2000) Regresi Bagozzi dan Kimmel (1995) SEM Terry dan O'Leary (1995) SEM Perugini dan Bagozzi (1992) SEM Bagozzi dan Warshaw (1990) Regresi Schifter dan Azjen (1985) Regresi Pembelian George (2002) PLS Dharmmesta dan Khasanah (1999) Regresi Kalafatis, Pollard, East, & Tsogas SEM (1999) Kokkinaki (1999) Regresi Kanler dan Todd (1998) SEM Thompson dan Thompson (1996) Regresi Keuangan Sahni (1994) Regresi Perilaku komplain East (2000) Regresi Perilaku organisasional Cordano dan Frieze (2000) SEM Morris dan Venkatesh (2000) Regresi Maurer dan Palmer (1999) Regresi Aktivitas luar ruang Hrubes, Azjen, & Daigle (2001) Regresi Sumber: disusun untuk penelitian ini berdasarkan peneliti-peneliti yang disebut diatas

Tabel 1.3

Aplikasi TT Dalam Beragam Lingkup Perilaku & Alat Analisis

Lingkup Perilaku Perilaku belajar Berhenti merokok Berolah-raga Penggunaan teknologi Diet

Peneliti Dharmmesta (2002) Kassaye dan Schumacher (1998) Bagozzi dan Kimmel (1995) Bagozzi, Davis, & Warshaw (1992a) Bagozzi dan Warshaw (1990) Bagozzi dan Kimmel (1995)

Alat Analisis Regresi Markov Regresi SEM** Regresi Regresi

**: analisis hanya sampai dengan model pengukuran Sumber: disusun untuk penelitian ini berdasarkan peneliti-peneliti yang disebut diatas

Dalam kaitannya dengan TPB, penelitian ini memperluas TPB dengan menambahkan variabel perilaku lampau (yaitu, frekuensi dan resensi) sebagai prediktor niat dan

8

perilaku. Penambahan variabel ini untuk mengakomodir kritik terhadap TPB yang tidak memasukan variabel perilaku lampau sebagai variabel yang signifikan untuk memprediksi niat dan perilaku. Penelitian-penelitian yang berkenaan dengan perilaku telah mengindikasikan bahwa perilaku lampau adalah variabel yang mampu memprediksi niat dan perilaku (Chatzisaranti, Hagger, Biddle, Karageorghis, Smith, & Sage, in press; Nordfalt & Soderlund, 2004; Soderlund et al., 2001; Ewing, 2000; Trafimow & Borrie, 1999; Miniard & Obermiller, 1981; Woodside & Bearden, 1981; Bentler & Speckart, 1979). Sejauh pemahaman penulis, hanya penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Kimmel (1995) yang telah mengaplikasikan TPB dan menambahkan variabel perilaku lampau (frekuensi dan resensi) pada lingkup perilaku diet dan berolah-raga. Penelitian ini mengaplikasikan TPB yang telah diperluas (selanjutnya disebut TPB-FR) pada perilaku memilih satu merek. Dalam kaitannya dengan analisis data, penelitian TPB umumnya dianalisis dengan menggunakan analisis regresi (Tabel 1.2). Beberapa penelitian TPB dianalisis dengan menggunakan Structural Equation Modeling (selanjutnya disebut SEM), misalnya: penelitian yang dilakukan oleh Perugini dan Bagozzi (2001), penelitian Lin, Hsu, Kuo dan Sun (1999), penelitian Kanler dan Todd (1998), serta penelitian Bagozzi

dan

Kimmel (1995). Di lain pihak, dengan jumlah penelitian TT yang terbatas (Tabel 1.3), teknik analisis yang digunakan pada penelitian-penelitian tersebut adalah dengan menggunakan analisis regresi (misalnya: Dharmmesta, 2002; Bagozzi & Kimmel, 1995; Bagozzi & Warshaw, 1990). Hanya satu penelitian TT yang menggunakan SEM tetapi hanya digunakan sampai pada model pengukuran (yaitu, penelitian Bagozzi et al., 1992a). Padahal, SEM

9

merupakan suatu alat analisis yang mempunyai keunggulan-keunggulan dibandingkan analisis regresi, misalnya: kemampuan alat analisis tersebut untuk digunakan pada topik keperilakuan yang seringkali kompleks (Cheng, 2001) dan SEM mampu mengontrol kesalahan pengukuran sehingga hubungan antar konstruk dapat diuji tanpa bias (MacKenzie, 2001; Steenkamp & Van Trijp, 1991). Dengan demikian, penelitian ini mencoba mengisi celah (fill the gap), khususnya untuk penelitian TT,

dengan

menggunakan SEM sebagai alat analisis.

1.3. Kontribusi Penelitian Penelitian ini memberikan kontribusi baik secara teori maupun praktis. Kontribusi penelitian ini secara teori adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini menggunakan pendekatan antar disiplin (yaitu, pemasaran, psikologi dan perilaku konsumen) dalam memahami perilaku memilih merek. Penelitian dengan pendekatan multidispliner adalah penelitian yang memfokuskan pada upaya memahami fenomena secara lebih lengkap yang dapat meningkatkan penelitian ilmuilmu sosial (Deshpande, 1999; Murray & Evers, 1989; Horton, 1984). Lebih lanjut, penelitian ini menguji teori-teori sikap, yaitu TPB dan TT, untuk memahami fenomena memilih satu merek. Dengan demikian, penelitian ini berimplikasi pada teori yaitu mendukung daya prediksi kedua teori tersebut dalam menjelaskan fenomena memilih merek. 2. Berkaitan dengan pengujian teori, penelitian ini berusaha meningkatkan validitas eksternal dengan mengaplikasikan kedua teori tersebut dalam lingkup perilaku dan budaya yang beragam (Chan, 1999; Davis, 1996, Alden et al., 1989; Fishbein &

10

Ajzen, 1975; Triandis, Malpass, & Davidson., 1972 dalam Craig & Douglas 2000), yaitu perilaku memilih merek dalam budaya Indonesia. Validitas eksternal merupakan faktor utama dalam setiap penelitian, baik penelitian korelasional atau eksperimental, yang dapat dilakukan dengan mengaplikasikan suatu teori pada beragam lingkup perilaku, budaya, dan populasi (Chan, 1999; Davis, 1996; Durvasula, Andrews, Lysanski, & Netemeyer, 1993; Schmitt & Klimoski, 1991; Calder, Phillips, & Tybout, 1982; Jacoby, 1978; Fishbein & Ajzen, 1975). 3. Penelitian ini menguji validasi konstruk ‘sikap’ pada TT, yaitu sikap sebagai multidimensi. Validitas konstruk adalah sentral dalam proses ilmiah (Carmines & Zeller, 1979; Churchill, 1979) dan merupakan syarat mutlak dalam pengujian teori (Steenkamp & Van Trijp, 1991; Peter, 1981; Bagozzi, 1980). Terlebih lagi, Eagly dan Chaiken (1993) menunjukkan terbatasnya penelitian yang menguji validitas konstruk sikap sebagai multidimensi. Tidak hanya itu, penelitian yang menguji konstruk sikap sebagai multidimensi pada TT juga sangat terbatas dan kesemuanya dilakukan oleh pengembang teori tersebut (Bagozzi & Kimmel, 1995; Bagozzi et al., 1992a; Bagozzi & Warshaw, 1990) 4. Penelitian ini memperluas TPB dengan menambahkan dan menguji variabel perilaku lampau (yaitu, frekuensi dan resensi) sebagai variabel penentu niat dan perilaku. Penelitian ini menambahkan variabel lampau dengan didasarkan pada kritik terhadap TRA dan TPB mendapat kritik berkenaan dengan adanya variabel yang relevan untuk menjelaskan niat dan perilaku tetapi tidak dimasukan dalam model, yaitu variabel perilaku lampau (Bagozzi et al., 1992a; Bagozzi & Warshaw, 1990; Fredricks & Dosswtt, 1983; Manstead et al., 1983; Bagozzi, 1981; Bentler & Speckart, 1979).

11

5. Penelitian ini menggunakan dua pengukuran dalam mengukur konstruk sikap, yaitu pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung (belief-based measure). Sangat terbatas penelitian yang menggunakan dan memperbandingkan dua pengukuran tersebut (Giles & Cairns 1995; Terry & O’Leary, 1995) serta menjelaskan persamaan atau perbedaan hasil dari kedua pengukuran. Sikap dengan pengukuran tidak langsung merupakan hasil perkalian antara keyakinan dan evaluasi. Perkalian ini dapat menjadi masalah dalam hal pengukuran karena perkalian tersebut dapat menimbulkan masalah potensial, misalnya: reliabilitas (Ajzen, 2002) dan validitas (Ajzen, 2002; Churchill, et al., 1993). Penelitian ini memberikan bukti empiris perbedaan hasil pengukuran langsung dan tidak langsung. Perbedaan hasil pengukuran mendukung penelitian atau pendapat (misalnya, Churchill et al., 1993) yang menyatakan bahwa perkalian variabel (misalnya A x B) dapat mengukur variabel yang berbeda dengan variabel aktual yang ingin diukur. Penelitian ini juga memberikan kontribusi terhadap bidang praktis sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi praktisi untuk menggunakan TPB atau TT untuk memahami hubungan sikap, niat, norma subyektif, kontrol kerilakuan yang dirasakan dan perilaku lampau untuk memahami niat atau perilaku. Konstrukkonstruk yang teruji dapat digunakan dengan lebih yakin oleh para praktisi dalam memahami suatu fenomena (Garver & Mentzer, 1999; Petty & Cacioppo, 1996; Brinberg & Hirschman, 1986; Lynch, 1982). 2. Penelitian ini juga mengidentifikasikan keyakinan-keyakinan konsumen yang penting (salient modal beliefs) yang digunakan konsumen dalam memilih merek, khususnya merek Ponds. Keyakinan-keyakinan tersebut merupakan keyakinan-keyakinan yang

12

paling dipikirkan (top-of-the-head) oleh konsumen (Tuck, 1976). Keyakinankeyakinan ini berguna bagi pemasar untuk meningkatkan dan memperbaiki programprogram pemasaran mereka. Terlebih lagi, berdasarkan pemahaman akan keyakinankeyakinan konsumen tersebut, pemasar dapat menambahkan atribut-atribut baru yang belum dipunyai oleh produk mereka. 3. Kontribusi praktis lainnya adalah pada pengembangan skala penelitian ini. Butir-butir (items) pada kuesioner penelitian ini belum dikembangkan sebelumnya dalam budaya Indonesia. Dengan menggunakan dua tahap penelitian (sesi 3.3.7), penelitian ini mengembangkan butir-butir kuesioner yang akurat dan valid. Pengembangan instrumen yang akurat dan valid dapat memberikan manfaat tidak hanya pada pengembangan pemasaran sebagai ilmu tetapi juga pada peningkatkan kualitas penelitian (Summers, 2001; Churchill, 1979). Tidak hanya itu, pengembangan instrumen baru perlu dilakukan di berbagai negara atau budaya (misalnya, Indonesia) untuk melihat apakah ada hubungan antar konstruk yang spesifik (culturally specific) pada budaya tertentu (Steenkamp & Baumgartner, 1998). 4. Penelitian ini memberikan profil pengguna produk pelembab pemutih merek Ponds. Tidak hanya itu, penelitian ini memberikan informasi mengenai sikap responden terhadap pelembab pemutih Ponds, referensi (orang lain) yang mempengaruhi pembelian Ponds, dan kontrol pribadi dalam pembelian Ponds. Tidak hanya kontribusi pada teori dan praktis, penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi bagi konsumen itu sendiri dan bagi bangsa Indonesia. Kontribusi penelitian ini bagi konsumen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kontribusi bagi konsumen secara tidak langsung dan langsung. Kontribusi secara tidak langsung adalah

13

melalui produsen / praktisi. Konsumen adalah titik sentral dalam pemasaran. Produk atau jasa yang dihasilkan produsen bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, pemahaman akan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen terhadap niat pembelian (yaitu: sikap, norma subyektif, kontrol, dan pengalaman lampau) pelembab pemutih Ponds maka produsen akan berusaha meningkatkan manfaat produk yang dapat meningkatkan manfaat bagi konsumen. Kontribusi penelitian ini bagi konsumen secara langsung adalah membantu konsumen untuk menjadi konsumen yang lebih baik melalui pembelajaran bagaimana orang berkonsumsi dan bagaimana memahami pemasar menjual produknya. Penelitian ini juga memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan hubungan antara pemerintah, pemasar, peneliti pemasaran, dan konsumen Indonesia. Edukasi dan pemberdayaan diri konsumen (Dharmmesta, 2003b) baik yang dilakukan oleh peneliti pemasaran dan konsumen itu sendiri membantu konsumen dalam mengambil keputusan pembelian yang dibuat dengan rencana yang matang. Keputusan pembelian tersebut adalah untuk memuaskan kebutuhan konsumen. Kebutuhan konsumen tersebut ‘ditangkap’ pemasar dengan penciptaan produk atau jasa. Penciptaan produk atau jasa tersebut kemudian diawasi oleh pemerintah agar produk dan jasa yang tersedia tidak merugikan konsumen. Dengan demikian, perlindungan konsumen melibatkan semua pihak, baik konsumen itu sendiri, pemasar, dan pemerintah.

1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan masalah penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk:

14

1. Mengaplikasikan dan memperbandingkan teori-teori sikap, yaitu TPB dan TT, untuk memahami hubungan niat dan perilaku memilih merek. 2. Mengembangkan skala penelitian mengenai sikap dan perilaku yang akurat dan valid dengan mengaplikasikan metode ilmiah yang setepat-tepatnya (rigorous scientific methods). 3. Mengaplikasikan pengukuran langsung dan tidak langsung dalam TPB dan TT, dan membahas hasil kedua pengukuran tersebut. 4. Mengetahui keyakinan-keyakinan menonjol (salient modal beliefs) responden terhadap produk pelembab pemutih Ponds.

1.5. Jastifikasi Penelitian Ada lima alasan pentingnya penelitian ini sebagai berikut: (a) pilihan merek dan sikap konsumen adalah topik-topik penting dalam pemasaran; (b) keterbatasan penelitian sikap konsumen yang berkaitan dengan pilihan merek; (c) pentingnya validasi empiris terhadap teori-teori sikap yang ada (yaitu, TPB dan TT) dalam berbagai lingkup perilaku dan kultur budaya; (d) pentingnya menguji dan memperbandingkan teori-teori; dan (e) besarnya pasar produk pelembab pemutih di Indonesia.

1.5.1. Pilihan Merek dan Sikap Konsumen Adalah Topik-Topik Penting Dalam Pemasaran Perilaku pilihan merek merupakan isu yang penting tidak hanya bagi peneliti pemasaran tetapi juga bagi pemasar (Baltas, 1998; Dhar, 1992; Day, 1970). Dengan kata

15

lain, mengapa orang lebih memilih barang elektronik dengan merek X dibandingkan merek Y adalah merupakan isu penting bagi peneliti dan pemasar. Merek mempengaruhi pilihan seseorang (Kohli & Thakor, 1997). Lebih lanjut, pilihan merek yang dilakukan oleh seseorang meliputi seleksi dari beragam alternatif, mengkonsumsi merek pilihan tersebut, dan menolak merek-merek lainnya (Bettman et al., 1998). Pilihan merek merupakan tema penting dalam bidang perilaku konsumen (Assael, 1998; Bettman, Luce, & Payne, 1998), dan juga merupakan isu utama dalam sektor ekonomi (Nicosia, 1978) dan dalam bidang pemasaran (Bearden, Ingram, & La Forge, 2001; Heilman, Bowman, & Wright, 2000; Baltas, 1998), dan merupakan suatu tujuan utama dalam pengembangan teori pemasaran (Farley & Kuehn, 1965). Pilihan merek dapat dijelaskan melalui pendekatan perilaku atau pendekatan sikap. Pendekatan sikap merupakan sentral dalam penelitian didasarkan pada empat alasan. Pertama, sikap konsumen adalah salah satu faktor penting dalam pilihan merek (Arnould et al., 2002; Bearden et al., 2001).

Disadari atau tidak, pilihan merek seseorang

seringkali dipengaruhi oleh sikap orang tersebut terhadap merek. Lebih lanjut, walaupun ada banyak faktor yang mempengaruhi pilihan merek seseorang, sikap orang tersebut dapat

menyederhanakan

proses

pengambilan

keputusan

(Kardes,

1999)

yang

menentukan hasil akhir, yaitu pilihan merek (Berkman & Gilson, 1986). Selanjutnya, usaha untuk memprediksi perilaku konsumen dari sikap konsumen didasarkan pada karakteristik sikap yang cenderung konsisten (Eiser & Van Der Plight, 1988; Ajzen & Fishbein, 1977; Crespi, 1965). Ketiga, teori-teori sikap seperti TPB dan TT merupakan teori yang menggunakan konstruk-kontruk spesifik, misalnya sikap, norma subjektif dan niat, untuk memprediksi perilaku seseorang (Bagozzi, 1992).

16

Penggunaan konstruk-konstruk spesifik dalam teori menunjukkan sifat parsimoni dalam teori tersebut. Sifat parsimoni ini dapat dipahami dalam konteks efisiensi (Neuman, 2000; Doyle, 1995; Wheten, 1989). Ajzen dan Fishbein (1980) menunjukan bahwa model perilaku konsumen yang memfokuskan pada beragam variabel eksternal (misalnya, karakteristik demografi) daripada variabel-variabel internal konsumen

mengalami

kesulitan dalam menjelaskan beragam topik perilaku. Dengan kata lain, dibutuhkan variabel-variabel yang berbeda untuk menjelaskan perilaku yang berbeda seperti menurunkan berat badan atau perilaku memilih merek. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa model atau teori yang berusaha untuk mengunakan keseluruhan konstruk-konstruk dan proses psikologi biasanya kurang dalam hal parsimoni (Doyle, 1995; Hauser, 1986; Ajzen & Fishbein, 1980; Bettman, 1971). Terakhir, usaha untuk mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen merupakan tujuan utama baik bagi peneliti pemasaran dan pemasar. Banyak perusahan menginvestasikan uangnya untuk berusaha merubah konsumen dalam berpikir, merasakan dan bertindak atas produk-produknya (Boninger, Krosnick, & Berent, 1995; Engel, et al., 1995). Dari keempat alasan diatas, dapat dikatakan bahwa pemahaman akan sikap merupakan kunci utama untuk memahami perilaku konsumen.

1.5.2. Keterbatasan Penelitian Yang Menggunakan Teori Sikap untuk Memahami Pilihan Merek Walaupun pilihan merek merupakan salah satu tema penelitian pemasaran yang sering dilakukan, namun hanya sedikit penelitian yang menggunakan variabel sikap sebagai variabel utama (misalnya, penelitian Mathur, 1998; penelitian Wilson, Mathews dan

17

Harvey, 1975). Dalam kaitannya dengan teori sikap (yaitu, TRA, TPB, dan TT), penelitian hubungan sikap dan perilaku lebih banyak dilakukan dalam bidang psikologi sosial sebagaimana telah disampaikan pada Tabel 1.2 dan 1.3 di depan. Dengan demikian, penelitian mengenai memilih merek dengan menggunakan teori sikap (yaitu, TPB dan TT) akan berimplikasi pada teori, yaitu (1) membantu memahami fenomena tersebut secara lebih lengkap, dan (2) mendukung daya prediksi kedua teori dalam menjelaskan niat dan perilaku memilih merek.

1.5.3. Pentingnya Validasi Empiris Terhadap Teori-Teori Sikap yang Eksis (yaitu, TPB dan TT) Dalam Berbagai Lingkup Perilaku dan Kultur Budaya Penelitian ini berusaha memperluas aplikasi TPB dan TT dalam konteks memilih merek (lingkup perilaku) dalam budaya Indonesia (budaya yang berbeda) sebagaimana yang disarankan oleh Ajzen dan Fishbein (1975) dan Triandis, Malpass, dan Davidson (1972, dikutip oleh Craig & Douglas, 2000). Tepatnya, penelitian ini akan dilakukan di Yogyakarta. Validasi empiris terhadap perilaku dan budaya yang beragam perlu dilakukan. Alasan utama adalah Indonesia mempunyai budaya yang berbeda dengan Amerika Serikat dimana banyak teori-teori sikap atau teori-teori perilaku konsumen diciptakan dan dikembangkan (Craig & Douglas, 2000; Lee & Green, 1991; Tuck, 1976; Van Raaij, 1978). Dengan kata lain, perilaku konsumen di negara maju dapat saja berbeda dengan perilaku konsumen pada negara berkembang (Usunier, 2000; Raju, 1995). Dalam kaitannya dengan teori-teori sikap (misalnya, TRA, TPB, dan TT), validasi empiris pada budaya yang berbeda perlu dilakukan karena budaya mempengaruhi keyakinan seseorang

18

dan norma-norma yang dianutnya (Malhotra & McCort 2001; Sojka & Tansuhaj 1995; Czinkota, Ronkainen, & Moffett, 1994). Perbedaan utama antara bangsa Indonesia dan Amerika adalah pada pandangannya terhadap nilai-nilai (Sarwono, 1998). Bangsa Amerika umumnya memiliki nilai-nilai kebebasan dan fokus pada diri sendiri (individual). Sebaliknya, bangsa Indonesia cenderung untuk memilihara harmoni dan keseimbangan. Nilai-nilai ini dapat membuat bangsa Indonesia dan Amerika berbeda dalam pola konsumsinya dan berbeda dalam pengaruh prediktor berkonsumsi. Contohnya, konsumen Indonesia cenderung lambat dan menjaga harmoni dalam berkonsumsi (Sarwono, 1998; Hadipranata & Koswara, 1981) sedangkan konsumen Amerika lebih bebas berekspresi mengkonsumsi apapun yang mereka inginkan (Sarwono, 1998). Dari pembahasan di atas, validasi empiris teori-teori yang eksis perlu dilakukan di negara

berkembang

dengan

melakukan

replikasi

penelitian

dan

kemudian

mempertimbangkan hasil penelitian yang berbeda sebagai hasil adanya perbedaan budaya (Bottomley & Holden, 2001; Durvasula et al., 1993; Lee & Green, 1990; Manrai & Manrai, 1996; van Raaij, 1978). Lebih lanjut, Brown & Caulder (1982) menunjukan bahwa validasi empiris teori-teori yang eksis pada lingkup perilaku yang berbeda atau setting yang beragam dapat mendukung teori-teori tersebut menjadi semakin beralasan (well-grounded).

1.5.4. Pentingnya Menguji Teori dan Memperbandingkan Teori-Teori Sikap Penelitian ini merupakan penelitian untuk menguji teori atau yang dikenal juga sebagai penelitian ‘aplikasi teori’ (Calder et al., 1981) atau ‘penelitian dasar’ atau

19

‘penelitian yang diarahkan ke teori’ (Petty & Cacioppo, 1996). Fokus penelitian ini adalah menguji dua teori, yaitu TPB dan TT, serta memperbandingkan kedua teori tersebut dalam konteks memilih merek. Ada empat alasan pentingnya pengujian teori. Pertama, pengujian teori menitikberatkan pada hubungan antar konstruk, misalnya kontruk sikap, norma subyektif, dan niat. Konstruk-konstruk terpilih tersebut dapat memberikan implikasi untuk menjelaskan beragam perilaku (Lynch, 1982; Bentler & Speckart, 1979; Goode & Hatt, 1952). Lebih lanjut, Lynch (1982) juga menunjukkan bahwa penelitian konstruk pilihan atau aplikasi teori dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya, yaitu penelitian ‘aplikasi akibat’ (effects application). Alasan kedua adalah pengujian teori sebagai ‘science-type work’ (Olson, 1982). Dengan kata lain, untuk memahami bidang perilaku konsumen, bekerja dengan membangun, menguji, serta memodifikasi teori merupakan syarat untuk mencapai pemahaman tersebut. Lebih lanjut, pengujian teori dalam beragam keadaan (circumstances) diperlukan untuk proses konfirmasi (Hunt, 1991) dan agar teori menjadi semakin grounded (Brown & Gaulden, 1982). Alasan ketiga adalah pengujian teori merupakan evolusi yang tidak pernah berhenti (Bagozzi,1992). Teori-teori yang lulus falsifikasi atau yang dimodifikasi dapat dikatakan sebagai teori-teori yang dapat menjelaskan fenomena dengan parsimoni, terintegrasi, kredibel, dapat dipercaya, dan memperoleh status ilmiah (Bagozzi, 1992; Schemlkin & Pedhazur, 1991; Zaltman et al., 1982; Calder et al., 1981). Selanjutnya, pengujian teori yang dilakukan pada beragam perilaku dan populasi dapat menggeneralisasi teori tersebut (Fredricks & Dossett, 1982).

20

Akhirnya, pengujian teori membantu para praktisi karena teori yang teruji dan dapat digunakan untuk membantu memahami suatu fenomena dengan yakin (Garver & Mentzer, 1999; Petty & Cacioppo, 1996; Brinberg & Hirschman, 1986) sebagaimana yang disampaikan Lewin (1946, dalam Zuber-Skerritt 1991) “there is no so practical as a good theory.” Ada empat alasan pentingnya memperbandingkan kedua teori tersebut. Pertama, setiap teori adalah bermanfaat dalam memberikan pemahaman akan fenomena, akan tetapi, masing-masing teori hanya mampu menjelaskan sebagian fenomena saja (Barker, Nancorrow, & Spackman, 2001; Halonen & Stantrock, 1999). Alasan kedua, tiap teori menggunakan variabel-variabel tertentu untuk menjelaskan fenomena (Schelmelkin & Pedhazur, 1991; Goode & Hatt, 1952). Lebih lanjut, pengujian teori terbaik adalah jika dilakukan komparasi antara dua atau lebih teori (Platt, 1964 dikutip oleh Petty & Cacioppo, 1996) karena akan dihasilkan teori mana yang lebih baik untuk memahami suatu fenomena (Bagozzi & Baumgartner, 1994). Alasan ketiga adalah teori-teori eksis saat ini tidaklah tetap sepanjang waktu. Akan tetapi, teori-teori tersebut akan semakin berkembang misalnya melalui modifikasi atau perbaikan-perbaikan dalam teori tersebut jika banyak penelitian empiris yang mendukungnya (Neuman, 2000; Bagozzi, 1992). Terakhir, berpikir komparasi adalah merupakan suatu pemikiran ilmiah sebagaimana disampaikan oleh Swanson (1971, dikutip oleh Ragin, 1987, h.1): Thinking without comparison is unthinkable. And, in the absence of comparison, so is all scientific thought and scientifc research.

21

Beberapa penelitian yang melakukan perbandingan teori-teori, misalnya, penelitian Leone et al. (1999), penelitian Bagozzi dan Kimmel (1995), dan penelitian Bagozzi dan Warshaw (1990). Penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Warshaw (1990) memperbandingkan TPB dan TT serta theory of self-regulation (selanjutnya disebut TSR) untuk memahami perilaku menurunkan badan. Penelitian yang lain, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Kimmel (1995), memperbandingkan TRA, TPB, TT, dan TSR untuk memahami perilaku diet dan berolah-raga. Hanya sedikit penelitian yang memperbandingkan TPB dan TT (misalnya, Bagozzi & Kimmel, 1995; Bagozzi & Warshaw, 1990). Terlebih lagi, kedua penelitian tersebut baru diaplikasikan pada konteks perilaku diet dan berolah-raga. Menurut pemahaman penulis hingga saat ini, belum ada penelitian yang menggunakan dan memperbandingkan TPB dan TT dalam konteks memilih merek. Dengan demikian, ada kebutuhan untuk menguji dan memperbandingkan kedua teori tersebut dalam konteks memilih merek.

1.5.5. Besarnya Pasar Kosmetik dan Produk Pelembab Pemutih di Indonesia Industri kosmetika di Indonesia terus berkembang dan tumbuh dengan mengesankan. Menurut data Cosmetic Industry Statistic (Cakram, 1996) menunjukan bahwa rata-rata pertumbuhan per tahun adalah sekitar 16-17 persen yang berarti selalu lebih tinggi dari laju pendapatan per kapita nasional Indonesia. Hingga tahun 1996, ada sekitar 500 pemain dalam bisnis kosmetika di Indonesia. Peningkatan kesadaran wanita akan pentingnya perawatan diri mendorong pertumbuhan industri kosmetika (Christiastuti, 1997; Palupi, 1997). Sebagai contoh, Mustika Ratu terus mengembangkan berbagai pabrik-pabriknya baik yang ada di dalam negeri dan di luar negeri (Chriatiastuti, 1997)

22

dan berbagai merek-merek asing banyak dijumpai di berbagai toko-toko di Indonesia (Palupi, 1997). Khususnya mengenai produk pemutih, berbagai penelitian menunjukan bahwa 55% dari 85% wanita Indonesia yang berkulit gelap ingin agar kulitnya menjadi lebih putih. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 70%-80% perempuan di Asia (yaitu: Cina, Thailand, Taiwan, dan Indonesia) ingin mempunyai kulit yang lebih putih. Sebagai contoh, besarnya keinginan untuk mempunyai kulit putih bagi perempuan di Thailand juga dapat dilihat dari penjualan pelembab pemutih untuk muka lebih besar dari penjualan pelembab dasar (tidak menggunakan bahan pemutih). Besarnya harapan perempuan Asia, khususnya Indonesia, akan kulit yang putih disebabkan oleh pengaruh globalisasi yang membawa dampak homogenisasi dan westernisasi (Subagyo, 2002). Globalisasi adalah fenomena yang tidak dapat dihindari dan diingkari. Akibat globalisasi, terjadi perubahan dalam pemahaman konsep cantik bagi banyak negara. Sebagai contoh, pada waktu lalu, perempuan cantik menurut versi orang Afrika adalah perempuan yang tubuhnya besar yang menandakan kesuburan. Akan tetapi, saat ini perempuan cantik menurut versi Afrika adalah perempuan yang langsing cenderung kurus (Kompas, 2002). Perempuan cantik menurut versi orang Kenya (Gatra, 2002) dan India (Kotabe & Helsen, 2001) saat ini adalah perempuan yang memiliki kulit putih. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, kulit yang cantik tidak lagi kulit yang kuning langsat yang dahulu sering diiklankan oleh produsen kosmetika nasional. Saat ini, kulit yang cantik bagi perempuan Indonesia adalah kulit yang putih (Iswara, 2002; Kompas, 2002). Akibatnya, industri kosmetika Indonesia (seperti Sari Ayu, Viva, Biokos, Citra, dan sebaginya) ikut-

23

ikutan memproduksi krim pemutih dengan membungkusnya sebagai ramuan tradisional (Iswara, 2002). Pada suatu laporannya, Kompas (2001a) menyajikan suatu artikel mengenai penelitian produk kosmetik pemutih wajah di Asia sebagai berikut: •

Penelitian yang dilakukan oleh perusahaan kosmetik asal Prancis, L’Oreal, di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan pada tahun 1997 menunjukkan bahwa 85% perempuan Indonesia diperkirakan mempunyai kulit yang cenderung gelap dimana 55% persennya ingin mempunyai kulit yang lebih putih.



Penelitian yang dilakukan oleh perusahaan kosmetik Procter & Gamble (tahun tidak disebutkan) menunjukkan bahwa 70%-80% perempuan di Asia (yaitu: Cina, Thailand, Taiwan, dan Indonesia) ingin mempunyai kulit yang lebih putih.



Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Miho Saitoh dari Universitas Waseda – Jepang (tahun tidak disebutkan) yang menggunakan responden mahasiswi Universitas Indonesia juga menunjukkan bahwa kebanyakan responden ingin memiliki kulit yang lebih putih. Beberapa alasan mengapa perempuan Asia dan khususnya Indonesia ingin mempunyai

kulit putih dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kulit putih identik dengan kulit orang yang berkelas. Lebih lanjut, kulit putih dianggap lebih baik dari kulit yang gelap. Ketiga, adanya pandangan bahwa kulit yang cantik adalah kulit yang putih. Pandanganpandangan tersebut semakin dipertegas dengan digunakannya para model dalam iklaniklan kecantikan dimana model tersebut umumnya adalah perempuan yang berkulit putih Kulit putih telah menjadi citra kecantikan yang disebarkan oleh industri kosmetik. Lebih lanjut, industri kosmetik nasional sering menggunakan citra perempuan Kaukasia, yaitu

24

perempuan yang berkulit putih, berhidung mancung, dan bertubuh tinggi (Gatra, 2002; Iswara, 2002; Kompas, 2002; Kompas, 2001b). Ada berbagai produk pemutih yang beredar di Indonesia, yaitu produk pembersih muka, pelembab muka, dan pelembab badan. Dari ketiga jenis produk pemutih itu, pelembab muka merupakan yang paling banyak dibeli konsumen. Misalnya saja, 46% dari produk pemutih yang dijual L’Oreal dikontribusikan dari pelembab pemutih muka. Tidak hanya itu penelitian yang dilakukan oleh Nielsen Retail Audit (tahun tidak disebutkan) di Thailand menunjukan bahwa penjualan pelembab pemutih untuk muka lebih besar dari penjualan pelembab dasar (tidak menggunakan bahan pemutih). Studi eksplorasi yang dilakukan peneliti pada tanggal dua hingga empat Mei 2002 menunjukkan beragam merek pelembab muka yang beredar di Yogyakarta, misalnya: Ponds, Sari Ayu, Oil of Olay, Plenitude White Perfect, Extraderm Lite, Tull Jye, Biokos, Revlon, Nivea, Avon, Chun Mien , Pixy, Hidroquenon, Citra, dan Hazeline White & Natural.

1.6. Alur Penulisan Penulisan disertasi ini terbagi atas lima bab (Gambar 1.1). Bab pertama memperlihatkan latar belakang penelitian, masalah penelitian, jastifikasi penelitian, metodologi yang digunakan dan keterbatasan penelitian. Kemudian, tinjauan literatur mengenai merek dan sikap pada bab dua merupakan landasan dalam mengembangan hipotesa penelitian. Bab tiga membahas mengenai paradigma penelitian dan desain penelitian. Kemudian, bab empat memaparkan hasil analisis data. Akhirnya, bab lima membahas kesimpulan penelitian dan implikasi penelitian baik bagi teori maupun praktis.

25

Gambar 1.1 Garis Besar Penulisan Disertasi P e n d a h u lu a n (B a b 1 )

T in ja u a n P u s ta k a (B a b 2 )

M e to d o lo g i P e n e litia n (B a b 3 )

A n a lis is D a ta (B a b 4 )

S im p u la n d a n S a ra n (B a b 5 )

Catatan: --- berarti materi bab 2 adalah dasar bagi pengembangan kontribusi pada bab 5 Sumber: dibangun untuk penelitian ini.

1.7. Simpulan Bab ini menjelaskan secara ringkas isi dari disertasi ini. Alur pembahasan digambarkan dalam gambar 1.1. Jastifikasi penelitian serta keterbatasan penelitian juga dipaparkan dalam bab ini. Bab selanjutnya, bab dua, akan membahas tinjauan pustaka yang berkenaan dengan merek dan sikap.

26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendahuluan Bab satu telah menjelaskan masalah penelitian yaitu bagaimana TPB dan TT dapat diaplikasikan untuk memahami fenomena memilih satu merek, dan teori mana yang lebih mampu memprediksi fenomena tersebut. Bab dua bertujuan untuk mengembangkan fondasi teoritis dan hipotesis penelitian untuk menjawab masalah penelitian. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu: merek (2.2), perilaku (2.3), dan budaya Indonesia (2.4) sebagaimana tergambar pada Gambar 2.1. Dalam bagian merek dibahas mengenai terminologi merek (2.2.1), kekuatan merek (2.2.2), dan pilihan merek (2.2.3). Kemudian, pada bagian perilaku, dijelaskan mengenai pendekatan sikap untuk memahami perilaku (2.3.1) dan teori-teori sikap, khususnya theory of planned behavior (2.3.2) dan theory of trying (2.3.3). Lalu, pentingnya pemahaman akan budaya (2.4) disampaikan. Pada pembahasan ini meliputi penelitian lintas budaya (2.4.1) serta budaya Indonesia dan jastifikasi penggunaan responden di Yogyakarta (2.4.2). Gambar 2.1 Alur Pembahasan Bab 2 2.1. Pendahuluan

2.2. Terminologi merek 2.2.1. Kekuatan merek dalam pemasaran & perilaku konsumen 2.2.2. Pilihan merek

2.3. Perilaku 2.3.1. Sikap 2.3.2. Theory of Planned Behavior 2.3.3. Theory of Trying

2.5. Simpulan

2.4. Budaya 2.4.1. Penelitian Lintas Budaya 2.4.2. Budaya Indonesia dan Jastifikasi Penggunaan Responden di Yogyakarta

27

2.2 Terminologi Merek Suatu merek didefinisikan sebagai nama, tanda, terminologi, simbol, desain, atau kombinasinya, yang ditujukan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari satu penjual dengan penjual lainnya dan mampu membedakan barang atau jasa tersebut dari kompetitor (Kotler, 2003). Lebih lanjut, merek adalah juga merupakan janji kepada konsumen atas nilai tambah barang atau jasa tersebut (Doyle, 2000). Merek yang sukses adalah merek yang mampu membuat perbedaan (Clow & Baack, 2002; Doyle, 2000). Artinya, pada saat banyak merek-merek yang tidak terlalu berbeda satu dengan yang lainnya, merek yang sukses adalah merek yang mampu membuat perbedaan yang menonjol (salient) bagi pembelinya. Lebih lanjut, suatu merek adalah menonjol jika pembeli menyadari adanya merek tersebut, lalu mempertimbangkan merek tersebut, dan kemudian membeli serta merekomendasikan merek tersebut pada orang lain (Clow & Baack, 2002). Merek dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu: merek atribut, merek yang menjadi aspirasi, dan merek pengalaman (Doyle, 2000). Merek atribut (attribute brands) adalah merek yang memiliki citra yang mampu memberikan keyakinan kepada pembelinya akan atribut-atribut yang dimiliki produk tersebut. Misalnya, Volvo dipercaya sebagai mobil yang aman dan dibuat dengan kualitas yang tinggi. Lalu, merek tipe kedua adalah merek aspirasi (aspirational brands), yaitu merek yang memberikan citra bagi pembeli merek tersebut. Citra ini biasanya dikaitkan dengan gaya hidup, status, dan penghargaan diri. Sebagai contoh, merek jam tangan Rolex memberikan citra profesional dan status diri. Kemudian, merek tipe ketiga adalah merek pengalaman (experience brands). Merek ini diasosiakan dengan emosi yang melebihi dari

28

sekedar aspirasi. Merek pengalaman mampu mengekspresikan individualitas, personal, dan ide-ide dalam hidup. Salah satu contoh merek pengalaman adalah Nike yang mampu mengekspresikan ‘just do it’. Akan tetapi, lebih dari merek pengalaman, Kotler (2003) menunjukkan bahwa merek yang terkuat adalah merek yang dibungkus secara emosional. Merek tipe ini dikenal dengan merek emosional (emotional branding), yaitu merek yang terhubung dengan konsumennya pada level yang mendalam dan adanya sentuhan emosi.

2.2.1. Kekuatan Merek dalam Pemasaran dan Perilaku Konsumen Merek memainkan peranan penting dalam pemasaran karena merek merupakan salah satu alat utama yang dapat digunakan pemasar untuk membedakan satu produk dengan produk lainnya (Kotler, 2002). Merek merupakan salah satu topik penelitian penting bagi peneliti maupun pemasar (misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Del Rio et al., 2001; Law & Lamb, 2000; Heath, 1999; Fournier, 1998; Keller, 1993; Urde, 1994). Bagi praktisi pemasaran, khususnya manajer pemasaran, merek adalah aset bisnis yang berharga yang dapat digunakan sebagai inti dari strategi perusahaan (Del Rio et al., 2001; Calderon, Cervera, & Molla, 1997; Urde, 1994). Merek juga merupakan faktor utama dalam kesuksesan suatu perusahaan dalam persaingan yang kompetitif (Wood, 2000; Urde, 1994). Tambahan lagi, citra perusahaan dapat dibangun dari merek-merek karena merek mencerminkan kualitas dan besarnya perusahaan (Kotler, 2002). Bagi peneliti, hubungan antara merek dan konsumen mendorong niat peneliti untuk memahami mengapa, kapan, dan bagaimana konsumen membeli merek (Fournier, 1998; Webster, 1992). Terlebih lagi, topik mengenai merek seperti loyalitas merek (misalnya, Ewing, 2000; Ha, 1998; Rundle-Thiele & Bennett,

29

2001), sikap terhadap merek (misalnya, Aaker & Jacobson, 2001; Fairclothet al., 2001; Woodside et al., 1975), ekuitas merek (misalnya, Lassar, Mittal, & Sharma, 1995; Pitta & Katsanis, 1995; Keller, 1993; Aaker, 1991) dan citra merek (misalnya, Faircloth et al., 2001) merupakan topik-topik penting dalam bidang pemasaran dan perilaku konsumen. Kekuatan merek bagi pemasar dapat digambarkan dalam beberapa cara. Pertama, suatu merek adalah sumber perbedaan yang dapat mengidentifikasikan produk atau jasa dari produsen yang satu dengan produsen lainnya (Kotler, 2002; Kohli & Thakor, 1997; Lamb, Hair, & McDaniel, 1992), dan membantu pembeli untuk merekomendasikan kepada orang lain atau bahkan menolak merek tersebut (Murphy, 1990). Tambahan lagi, merek melindungi produsen dari kompetitor-kompetitornya yang berusaha untuk mebuat produk yang identik (Kotler, 2002). Kedua, merek adalah sesuatu yang dapat diiklankan dan dapat dikenali pada saat suatu produk dipajang di dalam toko (Lamb et al., 1992). Lebih lanjut, suatu merek yang terkenal dapat menciptakan citra yang kuat dan baik dalam pikiran konsumen (Shocker, Srivasta, & Ruekert, 1994; Keller, 1993) dan citra tersebut merupakan isyarat yang lebih kuat dibandingkan dengan harga pada saat konsumen mengevaluasi kualitas produk (Temporal, 2000). Ketiga, merek-merek yang terkenal mempunyai keuntungan emosional (Mudambi, 2000; Temporal 2000). Dengan kata lain, seorang pembeli akan membeli merek yang familiar atau merek yang terkenal karena dapat mengurangi resiko dan ketidak-pastian yang akan diterimanya. Merek juga akan meningkatkan kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, dan dengan demikian akan memberikan kepastian pada produsen akan

30

permintaan-permintaan produknya pada masa yang akan datang (Mudambi, 2000; De Chernatony & McDonald, 1992; Murphy, 1990). Akhirnya, merek juga meningkatkan nilai tambah pada produk atau jasa (De Chernatony & McDonald, 1992). Dengan demikian, produsen dapat meraih tingkat keuntungan yang lebih karena mereka menetapkan harga yang lebih tinggi dan karena konsumen menghargai merek tersebut. Akhirnya, merek adalah aset bisnis yang penting (Calderon et al., 1997; Kohli & Thakor, 1997; Pitta & Katsanis, 1995; Davis, 1995) yang dapat meningkatkan neraca perusahaan (Farquhar et al., 1991) sehingga dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan dan posisi kompetisi perusahaan (Del Rio et al., 2001; Mudambi, 2000; Urde, 1994). Merek juga memberikan keuntungan bagi pembeli. Keuntungan pertama, suatu merek memberikan tanda atau sinyal mengenai kualitas produk atau jasa (Kotler, 2002). Lebih lanjut, merek dapat meningkatkan efisiensi dan keyakinan pembeli dalam keputusankeputusan pembelian saat pembeli dihadapkan oleh beragamnya pilihan merek yang tersedia. Dengan kata lain, pembeli memilih produk atau jasa dengan merek yang lebih dikenalnya daripada mencoba merek baru (Kotler, 2002; Mudambi, 2000; Murphy, 1990; Temporal, 2000). Keuntungan kedua, merek dapat memungkinkan pembeli yang puas untuk melakukan pembelian ulang (De Chernatony & McDonald, 1992). Tidak hanya itu, merek membantu tingkat inovasi perusahaan, yaitu dengan membuat berbagai produk dengan berbagai merek, sehingga pembeli mempunyai banyak pilihan dan membeli sesuai dengan kebutuhan mereka (Kotler, 2002).

31

2.2.2. Pilihan Merek Salah satu hal nyata yang dihadapi oleh konsumen setiap harinya adalah membuat pilihan dari beragam produk, jasa, dan merek yang ada (Luoviere et al., 2000; Sheppard et al., 1988; Tuck, 1976). Dalam kaitannya dengan merek, proses memilih dari beragam merek yang dilanjutkan dengan mempertimbangkan beberapa merek dan lalu memilih satu merek adalah isu sentral dalam perilaku konsumen (Assael, 1998). Lebih lanjut, pilihan merek juga mempengaruhi sektor ekonomi secara keseluruhan sebagaimana ditunjukkan oleh Nicosia (1978, h.12): Choices-and changes in these choices- of toothpaste brands, car makes, types of houses, forms of protection, and kinds of entertainment have an impact that spreads from the social miliea of consumers through retailers, middleman, and manufacturers, up to industrial an extrative sectors of the economy.

Pilihan merek yang dilakukan konsumen dapat didefinisikan sebagai suatu merek tertentu yang dipilih dari beragam alternatif, dibeli, dan dikonsumsi oleh konsumen (Olson & Reynolds, 2001). Pilihan merek juga dapat didefinisikan sebagai respon konsumen untuk memilih merek tertentu dan menolak merek yang lain (Bettman et al., 1998; Louviere et al., 2000). Para pemasar selalu berusaha untuk mengetahui merekmerek apa yang dipilih konsumen. Dengan kata lain, kegiatan pemasaran yang dibuat oleh pemasar berusaha menarik perhatian konsumen agar produk-produk pemasar dipilih oleh konsumen (Bettman et al., 1998). Beragam penelitian telah dilakukan untuk memahami pilihan merek. Penelitian merek umumnya menekankan pada variabel-variabel eksternal seperti harga (Krishnamurti et al., 1997; Roy et al., 1996; Raj & Sivakumar, 1995; Bucklin & Gupta, 1992), karakteristik demografik (Murthi & Srinivasan, 1999; John & Laksmi-Rata, 1999),

32

kualitas produk (Sivakumar & Raj, 1997), iklan (Tellis, 1988), referensi kelompok (Hadipranata & Koswara, 1981), keluarga (Hadipranata & Koswara, 1982), dan waktu (Dhar & Nowlis, 1999; Pieters & Warlop, 1999). Nicosia (1978) menunjukkan bahwa salah satu alasan penelitian pilihan merek umumnya menggunakan variabel-variabel eksternal adalah karena variabel-variabel tersebut lebih mudah diukur dibandingkan dengan variabel-variabel mental. Di lain pihak, sedikit penelitian yang menggunakan variabel-variabel mental konsumen untuk memahami pilihan merek. Penelitian ini menggunakan variabel-variabel mental karena perilaku manusia adalah hasil dari proses mental (Ellis & Hunt, 1993). Penjelasan selanjutnya mengenai perilaku dibahas pada sub bab berikut ini .

2.3. Perilaku Perilaku didefinisikan sebagai: (1) segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia, dan (2) perubahan dalam materi atau non materi yang disebabkan langsung oleh manusia (Bagozzi, 1980; Fishbein & Ajzen, 1975). Perilaku juga merupakan hasil dari proses mental. Sikap dan niat adalah contoh dari variabel-variabel mental yang mempengaruhi perilaku (Ellis & Hunt, 1993). Munurut Bagozzi (1980), perilaku dapat dibedakan menjadi tindakan, kegiatan, dan hubungan. Tindakan adalah pergerakan fisik dalam waktu yang pendek. Kegiatan didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang berulang kali dalam waktu yang relatif panjang. Sedangkan hubungan didefinisikan sebagi pertukaran antara memberi dan menerima.

33

Perilaku manusia adalah perilaku yang kompleks (Hauser, 1986). Dalam memahami perilaku manusia, ada dua pendekatan yang dapat digunakan: (1) pendekatan yang fokus pada variabel-variabel eksternal, dan (2) pendekatan yang memfokuskan pada variabelvariabel internal dalam mempengaruhi perilaku (Pratt, 1978). Pendekatan yang pertama, adalah pendekatan yang fokus pada variabel eksternal disebut pendekatan perilaku atau disebut juga pendekatan stimulus – respon (selanjutnya disebut S-R). Di lain pihak, pendekatan yang kedua adalah pendekatan yang fokus pada variabel mental disebut sebagai pendekatan sikap atau disebut juga pendekatan stimulus – organism – respon (selanjutnya disebut S-O-R) seperti pada Gambar 2.2. Dalam kaitannya dengan perilaku konsumen, perilaku beli konsumen dimulai dari kesadaran akan suatu kebutuhan, yaitu melalui proses pencarian dan evaluasi alat pemuas kebutuhan, serta tindakan pembelian itu sendiri dan evaluasi atas barang/jasa yang dibelinya tersebut. Dengan kata lain, perilaku konsumen meliputi pikiran, perasaan, dan tindakan konsumen (Dharmmesta, 2003b).

Gambar 2.2 Pendekatan S-O-R untuk Memahami Perilaku Manusia

stimulus

variabel variabel mental * sikap * motif * keyakinan * emosi * dll

perilaku

Sumber: Pratt (1978, h.107)

Perbedaan mendasar antara dua pendekatan tersebut adalah adanya variabel-variabel mental dalam pendekatan S-O-R yang dipertimbangkan sebagai variabel-variabel yang

34

dapat mempengaruhi perilaku manusia. Dengan kata lain, jika suatu stimulus diberikan sama kepada dua orang (misalnya potongan harga) tetapi perilaku kedua orang tersebut dapat saja berbeda. Mungkin kedua-duanya membeli atau kedua-duanya tidak membeli atau hanya salah satu yang membeli (Pratt, 1978). Variabel-variabel mental yang tercakup dalam teori sikap menjadi sentral penelitian ini. Teori-teori sikap (misalnya, theory of reasoned action, theory of planned behavior, dan theory of trying) adalah teori-teori reduksi yang menggunakan variabel-variabel yang mampu merangkumkan variabel psikologis lainnya (Bagozzi, 1992). Bagozzi (1992) juga menunjukkan bahwa variabel sikap, norma subyektif, dan niat merupakan contoh dari variabel-variabel sentral dalam menjelaskan perilaku. Lebih lanjut, teori sikap adalah teori deterministik (Hansen, 1976) yang memiliki sifat parsimoni (Bagozzi, 1992).

2.3.1. Sikap Variabel sikap merupakan salah satu variabel utama dalam psikologi sosial. Lebih lanjut, sikap memainkan peranan penting dalam banyak penelitian di bidang psikologi sosial (Allport, 1967). Pemahaman akan hubungan sikap dan perilaku merupakan tema yang krusial bagi peneliti dan praktisi pemasaran. Ada dua alasan utama pentingnya pemahaman hubungan sikap dan perilaku bagi peneliti dan praktisi pemasaran. Pertama, sadar atau tidak sadar, keputusan beli konsumen umumnya dipengaruhi oleh sikap konsumen (Berkman & Gilson, 1986). Walaupun ada faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keputusan beli tersebut, keputusan akhir tetap ditentukan oleh sikap konsumen. Dengan kata lain, sikap dipertimbangkan sebagai salah satu variabel utama

35

dalam memprediksi pembelian karena karakteristik sikap yang cenderung konsisten (Ajzen & Fishbein, 1977; Crespi, 1965). Kedua, bagaimana mempengaruhi sikap konsumen adalah salah satu tugas terpenting bagi

pemasar

dan

peneliti

pemasaran.

Hal

ini

karena

banyak

perusahaan

menginvestasikan dananya untuk dapat mengubah atau mendorong konsumen untuk berpikir, merasakan, dan bertindak sesuai dengan harapan pemasar (Engel et al., 1995). Pemahaman akan hubungan sikap dan perilaku juga dapat membantu peneliti dan pemasar untuk memprediksi dan mengubah sikap (Ajzen, 2001; Wright, 1998). Tidak hanya itu, konstruk sikap akan terus menjadi fokus sentral teori dan penelitian dalam ilmu sosial dan keperilakuan (Ajzen, 2001). Pentingnya pemahaman hubungan sikap dan perilaku juga dapat diringkaskan sebagai berikut: •

Sikap adalah suatu konsep penjelasan (an explanatory concept) yang dapat membantu peneliti dan praktisi untuk memahami perilaku, baik perubahan perilaku atau perilaku yang konsisten. Pemahaman akan perubahan dan perilaku konsumen memberikan kontribusi bagi penelitian pemasaran (Crespi, 1965).



Dalam konteks pemasaran, sikap sering digunakan untuk memprediksi pilihan konsumen (Smith & Swinyard, 1983). Sedangkan dalam konsteks ilmu ekonomi, sikap dapat mengukur utilitas produk (Vodopivec, 1992).



Sikap mempengaruhi proses belajar konsumen yang akhirnya mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan (McCarthy, 1978). Secara khusus, sikap memainkan peranan penting dalam membentuk preferensi konsumen dalam memutuskan merek mana yang akan dibeli. Konsumen biasanya memilih merek yang

36

paling berkenan (Wells & Prensky, 1996; Engel et al., 1995; Berkman & Gilson, 1986; Zaltman & Wallendorf, 1979). •

Sikap juga merepresentasikan gaya hidup konsumen (Hawkins, Best, & Coney, 1994).



Sikap konsumen dapat digunakan untuk memutuskan efektif atau tidaknya aktifitas pemasaran dan pengembangan produk baru (Peter & Olson 1999; Burton, Lichtenstein, & Netemeyer, 1998; Engel et al., 1995; Aaker, Batra, & Myers, 1992).

2.3.2. Theory of Planned Behavior Pembahasan mengenai TPB dimulai dari pembahasan theory of reasoned action (selanjutnya disebut TRA) karena dasar TPB adalah TRA (Ajzen, 1988). TRA yang dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) merupakan salah satu teori sikap yang sering diteliti dan diaplikasikan (Bagozzi, 1992). Lebih lanjut, TRA merupakan salah satu teori yang dikenal sebagai teori fundamental dalam menjelaskan perilaku. Dari perspektif teori, TRA adalah teori yang parsimoni yang mampu menjelaskan perilaku manusia yang kompleks (Bagozzi, 1992). Dari perspektif praktis, TRA telah diaplikasikan dalam beragam konteks seperti: pembelian (Thogersen, 1998; Netemeyer & Bearden, 1992; Bagozzi, Baumgartner, & Yi, 1992b), konsumsi (Thompson & Thompson, 1996), loyalitas merek (Ha, 1998), strategi pemasaran hotel (Buttle & Bok, 1996), penjualan (Candel & Pennings, 1999), perilaku tidak etis (Chang, 1998), perilaku organisasi (Elliot, Jobber, & Sharp, 1995), lingkungan (Bang, Ellinge, & Hardjimarcou, 2000; Dahab, Gentry, & Su, 1995), penggunaan mariyuana dan obat-obat keras (Bentler & Speckart, 1979), niat untuk hidup di jalan

37

(Wright, 1998), berolah-raga (Bagozzi & Kimmel, 1995), dan pengurangan berat badan (Bagozz & Kimmel, 1995; Saltzer, 1981). Akan tetapi, walaupun TRA diakui dalam teori dan praktis, TRA juga mendapat kritik. Kritik yang utama adalah TRA hanya dapat diaplikasikan untuk memahami perilaku yang mudah dilakukan atau tidak ada hambatan dalam melakukan perilaku tersebut (Bagozzi, 1992; Ajzen, 1988). Dengan kata lain, TRA hanya membatasi perilaku dalam konteks perilaku yang memerlukan sedikit sumber dan ketrampilan. Padahal, tidak sedikit perilaku konsumen yang merupakan perilaku yang kompleks yang membutuhkan kontrol keperilakuan atau kemampuan konsumen tersebut dalam berperilaku (Dharmmesta, 2003a). Ajzen (1988), salah satu pengembang TRA, merevisi TRA menjadi TPB dengan menambahkan variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan (perceived behavioral control, selanjutnya disebut PBC). Ajzen mengakomodasi kritik-kritik terhadap TRA utamanya yang berkaitan dengan bahwa TRA hanya tepat diaplikasikan pada perilaku yang mudah atau dibawah kendali kemauan orang tersebut. Padahal, perilaku seseorang dapat saja dihadapkan pada situasi yang tidak mudah untuk berperilaku, misalnya karena kurang atau tidak ada sumber daya (misalnya, uang, waktu, ketrampilan, dll). Penambahan PBC dalam TRA dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa niat dan perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif seseorang. Akan tetapi, juga dijelaskan oleh mudah atau tidaknya seseorang berperilaku. Dengan kata lain, jika seseorang yakin bahwa dia tidak punya sumber daya (misalnya, uang) maka orang tersebut kecil kemungkinannya mempunyai niat membeli suatu produk walaupun orang tersebut mempunyai sikap positif untuk membeli produk tersebut. PBC merefleksikan

38

juga pengalaman lampau seseorang termasuk didalamnya rintangan dan halangan untuk berperilaku (Ajzen, 1988, h.132). Lebih lanjut, PBC dapat mempengaruhi langsung perilaku atau dapat juga mempengaruhi perilaku melalui niat (Ajzen, 1988). Gambar 2.3 memperlihatkan TRA dan ditambahkannya satu variabel PBC sehingga menjadi TPB.

Gambar 2.3 Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior

Sikap terhadap perilaku (A)

Norma subyektif (SN)

Niat (I)

Perilaku (B)

Kontrol keperilakuan yang dirasakan (PBC)

Sumber: Ajzen (1988, h. 133)

Perilaku dalam TPB diasumsikan sebagai fungsi dari keyakinan (beliefs). Keyakinan dalam TPB dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) keyakinan keperilakuan (behavioral beliefs) yang diasumsikan mempengaruhi sikap terhadap perilaku, (2) keyakinan normatif (normatif beliefs) sebagai determinan norma subyektif, dan (3) keyakinan kontrol (control beliefs) yang diasumsikan mempengaruhi PBC. Lebih lanjut, keyakinankeyakinan ini bisa didasarkan pada pengalaman lampau atau dipengaruhi oleh faktorfaktor atau informasi lainnya (Dharmmesta, 1998). Untuk memprediksikan sikap pada TPB, keyakinan keperilakuan (b) dikalikan dengan evaluasi atas perilaku yang dimaksud (e). Dengan demikian, sikap terbentuk dari keyakinan dan evaluasi (Σbe). Sedangkan norma subyektif (ΣNbMC) terbentuk dari

39

keyakinan normatif (Nb) dan motivasi untuk mengikuti saran dari orang-orang yang dianggap penting (MC). Lalu, PBC (Σpc) terbentuk keyakinan kontrol (p) dan akses ke faktor kontrol tersebut (c) (Dharmmesta, 1998). Berbagai hasil studi mendukung TPB dimana teori tersebut telah digunakan untuk memprediksi niat dan perilaku pada berbagai bidang, misalnya: perilaku organisasional (Morris & Venkatesh, 2000; Cordano & Frieze, 2000; Maurer & Palmer, 1999; Shani, 1994), dan pembelian (George, 2002; Dharmmesta & Khasanah, 1999; Kalafis et al., 1999; Kokkinaki, 1999; Kanler & Todd, 1998). Berdasarkan bahasan mengenai TPB diatas, maka dihipotesiskan sebagai berikut: H1: Sikap memilih merek mempengaruhi niat memilih merek. H2: Norma subyektif mempengaruhi niat memilih merek. H3a:Kontrol keperilakuan yang dirasakan mempengaruhi niat memilih merek. H3b:Kontrol keperilakuan yang dirasakan mempengaruhi perilaku memilih merek. H4: Niat memilih merek mempengaruhi perilaku memilih merek.

Dalam tinjauan literatur sebelumnya telah disampaikan mengenai pentingnya pemahaman akan variabel sikap. Sikap mampu menjelaskan tindakan-tindakan manusia (Ajzen & Fishbein, 1980, h.13). Terlebih lagi, Myer (1999, h.130) menunjukkan bahwa sikap mengarahkan perilaku sebagaimana ditunjukan sebagai berikut “Attitudes as as efficient way to size-up the world. When we have to respond quickly to something, how we feel about it can guide how we react.” Tinjauan literatur yang dilakukan oleh Ajzen (1988) pada Tabel 2.2 dan 2.3 memperlihatkan bahwa sikap seringkali mampu

40

menjelaskan perilaku dibandingkan dengan norma subyektif dan kontrol keperilakuan yang dirasakan.

Tabel 2.2 Memprediksi Niat Dari Sikap Terhadap Perilaku dan Norma Subyektif Dengan Menggunakan TRA Niat Kooperasi dalam prisoner's dilemma game (Ajzen, 1971) Melakukan aborsi (Smetana dan Adler, 1980) Menggunakan pil KB (Ajzen dan Fishbein, 1980) Niat untuk menyusui sendiri bayinya (Manstead et al., 1983) Menggunakan mariyuana (Ajzen et al., 1982) Datang ke gereja (King, 1975) Melakukan pilihan suara (Ajzen dan Fishbein, 1980) Niat untuk mempunyai anak lagi (Vinokupar-Kaplan, 1978) Membeli bir (Ajzen dan Fishbein, 1980) Bergabung pada rehabilitasi alkohol (Ajzen dan Fishbein, 1980)

Koefisien korelasi Koefisien regresi A SN A SN 0.75 0.69 0.53 0.40

Korelasi berganda R 0.82

0.50 0.81 0.73

0.69 0.68 0.60

0.21 0.64 0.61

0.46 0.41 0.22

0.76 0.89 0.78

0.79 0.74 0.81

0.45 0.59 0.71

0.74 0.62 0.61

0.13 0.20 0.27

0.80 0.76 0.79

0.65

0.83

0.19

0.70

0.85

0.76 0.69

0.63 0.67

0.60 0.43

0.27 0.37

0.79 0.73

Sumber: Ajzen (1988, h.119)

Tabel 2.3 Memprediksi Niat Dari Sikap Terhadap Perilaku, Norma Subyektif, dan Kontrol Keperilakuan yang Dirasakan Dengan Menggunakan TPB Niat Mencari pekerjaan (van Ryn dan Vinokur, 1990) Bermain video game (Doll dan Ajzen, 1990) Menjadi mabuk (Schlegel et al., 1990) Niat untuk santai (Ajzen dan Driver, in press) Partisipasi untuk pemilihan (Watters, 1989) Pemilihan umum (Watters, 1989) Pemilihan umum

Koefisien korelasi A SN 0.63 0.55

PBC 0.20

Koefisien regresi A SN 0.48 0.35

PBC 0.07

Korelasi berganda R 0.71

0.92

0.54

0.87

0.46

0.17

0.43

0.94

0.63

0.41

0.58

0.41

0.15

0.36

0.72

0.59

0.7

0.80

0.28

0.09

0.62

0.85

0.39

0.13

0.30

0.32

0.03

0.20

0.43

0.91

0.67

0.89

0.54

0.06

0.39

0.94

0.33

0.34

0.62

0.10

0.10

0.54

0.64

41

Tabel 2.3. Lanjutan Memprediksi Niat Dari Sikap Terhadap Perilaku, Norma Subyektif, dan Kontrol Keperilakuan yang Dirasakan Dengan Menggunakan TPB (Netemeyer et al., 1990) Menurunkan berat badan (Netemeyer et al., 1990) Menurunkan berat badan (Schifter dan Ajzen, 1985) Melakukan aktifitas (Madden et al., in press) Niat untuk masuk kelas (Aizen dan Madden, 1986) Niat untuk mendapat nilai A (Ajzen dan Madden, 1986) Niat untuk mencuri (Beck dan Ajzen, in press) Memberikan hadiah (Netemeyer et al., 1990) Melakukan pelanggaran laluLintas (Parker et al., 1990) Membatasi menyusui (Beale dan Manstead, 1991) Berolah-raga (Godin et al., 1989) Berolah-raga (Godin et al., 1990) Menggunakan kondom (Otis et al., in press) Sumber: Ajzen (1991, h.12-13)

0.33

0.14

0.31

0.24

0.02

0.47

0.56

0.62

0.44

0.36

0.79

0.17

0.30

0.74

0.52

0.36

0.37

0.43

0.22

0.26

0.63

0.51

0.35

0.57

0.32

0.36

0.44

0.68

0.48

0.11

0.44

0.50

0.09

0.45

0.65

0.68

0.40

0.77

0.29

0.05

0.59

0.81

0.51

0.38

0.44

0.36

0.08

0.20

0.56

0.26

0.48

0.44

0.15

0.28

0.33

0.60

0.43

0.33

0.52

0.26

0.16

0.40

0.60

0.50

0.01

0.60

0.76

0.24

0.84

0.94

0.42

0.13

0.50

0.25

0.01

0.39

0.55

0.62

0.42

0.29

0.52

0.26

0.17

0.69

Penelitian yang diringkaskan oleh Ajzen (1991, 1988) diatas memperlihatkan bahwa sikap seringkali menjadi prediktor yang berpengaruh lebih besar terhadap niat dibandingkan norma subyektif dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Akan tetapi, hasil penelitian tersebut tidak dapat dijadikan dasar bahwa pengujian teori pada negara atau budaya yang berbeda dapat memberikan hasil yang sama. Dengan kata lain, perilaku manusia dapat berbeda antara satu negara dengan negara lainnya karena perbedaan budaya sebagaimana diperlihatkan oleh Dayakisni dan Yuniardi (2002, h.50) sebagai berikut:

42

Gambar 2.4 Pengaruh Budaya terhadap Sikap dan Perilaku

Nilai-Nilai Pribadi Nilai-Nilai Budaya

Keyakinan dan Sikap

Perilaku

KebutuhanKebutuhan Sumber: didaptasi dari Dayakisni dan Yanuardi (2003, h.50)

Indonesia adalah negara dengan budaya kolektivism yang menekankan pada harmoni, toleransi, dan gotong royong. Di lain pihak, Amerika, negara dimana TPB dan TT dikembangkan merupakan negara dengan budaya individualism (Hofstede, 1994). Pembahasan mengenai perbedaan budaya ini dibahas dengan lebih rinci pada sesi 2.4 (bahasan mengenai budaya). Dengan didasarkan pada pemahaman akan perbedaan budaya, yaitu Indonesia yang kolektivism, maka penelitian menghipotesiskan bahwa:

H5: Norma subyektif mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan sikap memilih merek dan kontrol keperilakuan yang dirasakan terhadap niat memilih merek.

Perilaku Lampau Sebagai Prediktor Niat dan Perilaku. Penelitian-penelitian yang berkenaan dengan perilaku (Chatzisarantis et al., in press; Nordfalt & Soderlund, 2004; Soderlund, et al., 2001; Ewing, 2000; Trafimow & Borrie, 1999; Miniard & Obermiller, 1981; Woodside & Bearden, 1981; Bentler & Speckart, 1979) telah mengindikasikan bahwa perilaku lampau adalah variabel yang mampu memprediksi niat dan perilaku selanjutnya (future behavior). Hubungan antara perilaku lampau dengan niat dan perilaku

43

selanjutnya dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan kognitif, yaitu teori kognitif konsistensi (cognitive consistency theory) dan teori persepsi diri (self-perception theory). Teori kognitif konsistensi menjelaskan bahwa seseorang cenderung berperilaku secara konsisten. Misalnya, seseorang yang menggunakan helm pada perilaku sebelumnya cenderung akan menggunakan helm juga perilaku selanjutnya. Sedangkan teori persepsi diri menunjukan bahwa kinerja suatu perilaku dapat menyebabkan seseorang mengasumsikan bahwa dia harus mempunyai sikap yang konsisten atau dia tidak akan melakukan perilaku tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang membeli koran Kompas setiap harinya, dia akan menyimpulkan dirinya bahwa dia menyukai koran Kompas (Nordfalt & Soderlund, 2004; Schiffman & Kanuk, 2000; Outlette & Wood, 1998). Outlette dan Wood (1998) melakukan meta analisis mengenai perilaku lampau dan kaitannya dengan niat dan perilaku selanjutnya. Menurut mereka, perilaku terjadi dari dua proses, yaitu: (1) perilaku terjadi karena repetisi otomatis akibat perilaku lampau, dan (2) perilaku terjadi karena niat berperilaku yang disadari dan dikontrol. Perilaku yang terjadi karena niat berperilaku dipengaruhi oleh perilaku lampau baik secara

langsung

maupun

tidak

langsung.

Secara

langsung,

perilaku

lampau

mempengaruhi niat melalui keinginan untuk konsisten dan persepsi diri. Secara tidak langsung, perilaku lampau mempengaruhi niat melalui pengaruhnya terhadap sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Dengan kata lain, keinginan untuk konsisten dan persepsi diri dapat menghasilkan kesimpulan mengenai sikap, tekanan normatif, dan kontrol yang dirasakan yang konsisten dengan frekuensi perilaku lampau (Outlette & Wood, 1998, h. 58).

44

Berdasarkan bahasan mengenai perilaku lampau, penelitian ini memperluas TPB dengan menambahkan variabel perilaku lampau (yaitu: frekuensi dan resensi) dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1. TRA dan TPB mendapat kritik berkenaan dengan adanya variabel yang relevan untuk menjelaskan niat dan perilaku tetapi tidak dimasukan dalam model, yaitu variabel perilaku lampau (Bagozzi et al., 1992a; Bagozzi & Warshaw, 1990; Fredricks & Dosswtt, 1983; Manstead et al., 1983; Bagozzi, 1981; Bentler & Speckart, 1979). 2. Perilaku lampau dapat menjadi salah satu input bagi seseorang untuk berperilaku (Bagozzi et al., 1992a). Lebih lanjut, perilaku lampau merefleksikan terkontrolnya beragam faktor, baik internal maupun eksternal, pada saat itu (Nordfalt & Soderlund, 2004). 3. Pada saat ketidakmampuan seseorang mengakses sikap, maka perilaku lampau merupakan prediktor perilaku. Lebih lanjut, kemampuan sikap memandu perilaku lebih berhasil jika sikap terbentuk secara keperilakuan (yaitu, pertalian antara obyek dan evaluasi) daripada sikap yang terbentuk secara tidak langsung. Dengan kata lain, informasi yang diperoleh melalui perilaku atau observasi perilaku dianggap lebih terpercaya daripada informasi dari orang lain (Dharmmesta, 2003; 2000). 4. Alasan metode penelitian, yaitu penghilangan variabel perilaku lampau dapat mengarah pada prediksi yang berlebihan atas pengaruh sikap terhadap niat berperilaku sebagaimana terlihat pada Gambar 2.5 (Bagozzi, 1994; Bagozzi et al., 1992a).

45

Gambar 2.5 Konsekuensi Atas Dihilangkannya Variabel-Variabel

Model dasar .24 (.1)

Past behavior

.86(.13) 2

R = .45

Attitude

Dihilangkan variabel intervening Past behavior

.15(.16) Intention

Dihilangkan penyebab umum (commom cause) Attitude

.90(.13) 2

R = .44

Intention

.45(.20) 2

Intention

R = .08

Sumber: Bagozzi (1994, h.370)

Berdasarkan bahasan mengenai perilaku lampau sebagai prediktor yang signifikan terhadap niat dan perilaku, maka dapat dihipotesiskan bahwa:

H6a : Perilaku lampau (frekuensi) mempengaruhi niat memilih merek. H6b: Perilaku lampau (frekuensi) mempengaruhi perilaku memilih merek. H6c : Perilaku lampau (resensi) mempengaruhi perilaku memilih merek.

2.3.3. The Theory of Trying Theory of trying merupakan modifikasi dari theory of reasoned action (Bagozzi & Warshaw, 1990). Dalam teori tersebut, Bagozzi dan Warshaw mengubah variabel perilaku dengan variabel mencoba (trying). Kemudian, variabel mencoba ini ditentukan oleh variabel niat untuk mencoba yang mana variabel itu dipengaruhi oleh sikap untuk mencoba, norma sosial, dan frekuensi mencoba lampau (frequency of past trying). Variabel mencoba juga dipengaruhi oleh resensi mencoba lampau (recency of past trying) sebagaimana terlihat pada Gambar 2.6. Persamaan utama antara TPB dan TT adalah kedua teori tersebut dikembangkan dari TRA. Sedangkan ada tiga perbedaan antara TPB dan TT sebagai berikut. Perbedaan

46

Gambar 2.6 Theory of Trying Sikap terhadap sukses Harapan akan sukses Sikap terhadap gagal

Sikap terhadap mencoba

Harapan akan gagal Sikap terhadap proses

Frekuensi mencoba lampau

Resensi mencoba lampau

Niat untuk mencoba

Mencoba

Norma sosial terhadap mencoba

TRA

Sumber: Bagozzi dan Warshaw (1990, h..131)

pertama berkenaan dengan pemahaman akan perilaku. Perilaku dalam TRA dan TPB dibedakan menjadi perilaku dalam kontrol seseorang (TRA) dan tidak di dalam kontrol seseorang (TPB). Hal ini yang dikritik oleh Bagozzi (1992, h.181) dengan menunjukkan bahwa masalah filosofis yang tidak terselesaikan oleh TPB adalah apakah perilaku dapat dipisahkan menjadi perilaku yang mudah dan tidak mudah. Kritik yang sama juga disampaikan oleh Eagly & Chaiken (1993) bahwa kebanyakan perilaku berada diantara ekstrim perilaku mudah dan perilaku tidak mudah. Dalam TT, Bagozzi dan Warshaw (1990) serta Bagozzi (1992) menyatakan bahwa pemahaman perilaku dalam TT sebagai perilaku yang diarahkan tujuan (goal-directed behavior). Lebih lanjut, perilaku yang diarahkan tujuan tersebut dapat dipahami sebagai perilaku diniati yang terdapat rintangannya (bisa sedikit atau banyak) untuk mencapai tujuan. Selain perilaku yang diniati, ada juga perilaku yang tidak diniati yaitu perilaku yang tidak didasarkan pada alasan-alasan dan bisa karena kebiasaan (Bagozzi, 1992; Bagozzi & Warshaw, 1990).

47

Masih dalam kaitannya dengan perilaku, perbedaan antara TPB dan TT adalah TPB tidak mempertimbangkan adanya ‘proses’ dalam mencapai tujuan. Di lain pihak, TT mempertimbangkan proses tersebut yang direfleksikan dalam ‘sikap terhadap proses’. Lebih lanjut, konsekeunsi berperilaku dalam TPB adalah berperilaku atau tidak berperilaku. Sedangkan konsekeunsi berperilaku dalam TT adalah sukses setelah mencoba dan gagal walaupun sudah mencoba. Akhirnya, tindakan atau perilaku dianggap sebagai kinerja akhir (final performance) dalam TPB sedangkan dalam TT tindakan adalah suatu rangkaian usaha untuk mencapai kinerja akhir (Dharmmesta, 2002; Bagozzi, 1992). Perbedaan kedua adalah perbedaan dalam konseptualisasi sikap (Bagozzi, 1992; Bagozzi & Warshaw, 1990). Sikap dalam theory of trying didefinisikan sebagai multi dimensi yang terdiri dari sikap terhadap mencoba dan sukses (As), sikap terhadap mencoba dan gagal (Af), dan sikap terhadap proses (Ap). Sebaliknya, sikap dalam theory of planned behavior didefinisikan sebagai unidimensi, yaitu evaluasi seseorang terhadap obyek (Ajzen, 1988). Dalam kaitannya dengan konsep sikap, banyak definisi sikap yang ditawarkan oleh peneliti-peneliti. Sebagai contoh adalah definisi sikap yang ditawarkan oleh Allport (1935) adalah sikap sebagai kondisi mental dan neural atas kesiapan, yang terorganisir melalui pengalaman, yang pengaruhnya terarah pada semua obyek dan situasi yang terkait. Di lain pihak, Ajzen (1988) mendefinisikan sikap sebagai pembawaan (disposition) untuk merespon berkenan atau tidak berkenan, suka atau tidak suka, terhadap suatu obyek, orang, atau situasi. Definisi sikap lainnya terdapat pada Tabel 2.4. Akan tetapi, walaupun sikap dapat didefinisikan dengan banyak pendekatan (Antonides,

48

1991), dapat dikatakan bahwa sikap sering didefinisikan sebagai evaluasi seseorang terhadap obyek psikologis. Evaluasi ini mencakup rasa senang-tidak senang, pro-kontra, suka-tidak suka, dan (Ajzen, 2001). Definisi ini sering digunakan karena alasan sebagai berikut: •

Orang sering mengembangkan sikapnya didasarkan pada perasaan dan emosi dibandingkan sikap yang didasarkan pada evaluasi rasional (Aaker et al., 1992).

Tabel 2.4 Definisi-Definisi Sikap Peneliti

Tahun

Definisi

Thomas dan Znaniecki

(1918, Ajzen 1980)

Allport

1935

Sikap sebagai kondisi mental dan neural atas kesiapan, yang terorganisir melalui pengalaman, yang pengaruhnya terarah pada semua obyek dan situasi yang terkait.

Doob

1947

Sikap adalah: (1) suatu respon implisit, (2) yang (a) diantisipasi dan (b) memediasi dalam hubungan dengan respon, (3) yang dibangkitkan oleh (a) beragam stimulus, (b) sebagai hasil dari pembelajaran sebelumnya atau atas naik-turunnya generalisasi dan diskriminasi, (4) yang merupakan isyarat dan dorongan, (5) dan yang dipertimbangkan sebagai sebagai hal yang signifikan dalam masyarakat.

Chein

1948

Sikap adalah pembawaan untuk mengevaluasi obyek-obyek , tindakan, dan situasi tertentu.

Rosenberg dan Hovland

1960

Sikap digambarkan sebagai mencakup tiga komponen utama: komponen kognitif (pikiran), komponen afektif (perasaan), dan Komponen konatif (tindakan).

Crespi

1965

Sikap adalah kecenderungan berperilaku dalam cara yang spesifik.

Oppenheim

1966

Sikap adalah kondisi kesiapan, yang merupakan juga tendensi untuk bertindak atau bereaksi dalam cara tertentu pada saat dikonfrontasikan dengan stimulus.

Rokeach

1968

Sikap adalah organisasi keyakinan yang konsisten terhadap obyek atau situasi tertentu., dan sikap merupakan kecenderungan untuk merespon dalam suatu cara tertentu.

Fishbein dan Ajzen

1975

Sikap adalah afek atau evaluasi seseorang terhadap obyek.

White

1975

Sikap adalah pilihan yang dieksternalkan yang merefleksikan

dikutip oleh dan Fishbein

Sikap adalah proses mental individual yang menentukan respon potensial dan aktual individu tersebut.

49

kecenderungan seseorang untuk memilih dan mengorganisasikan pengalamannya dalam cara yang kontinyu dan dapat diprediksi. Bagozzi dan Burnkrant

1979

Sikap adalah konstruk yang kompleks yang mencakup komponen kognitif dan afektif.

Berkman dan Gilson

1986

Sikap adalah evaluasi seseorang.

Eagly dan Chaiken

1993

Sikap adalah tendensi psikologis yang diekspresikan melalui evaluasi suka tidak suka terhadap obyek tertentu.

Schiffman et al..

1997

Sikap adalah kecenderungan yang dipelajari untuk berperilaku dalam cara suka atau tidak suka yang konsisten terhadap suatu obyek.

Sumber: diringkaskan dari peneliti yang disebut diatas



Banyak peneliti di bidang psikologi sosial setuju bahwa sikap adalah evaluasi seseorang terhadap obyek (Schiffman, Bednall, Cowley, Watson, & Kanuk, 1997; Eagyl & Chaiken, 1993; Berkman & Gilson, 1986; Fishbein & Ajzen, 1975; Chein, 1948). Lebih lanjut, teknik pengukuran sikap yang standard (misalnya, Likert, Guttman, skala semantik diferensial Osgood dan Thurstone) mengukur sikap melalui evaluasi orang terhadap obyek sikap (Engel et al., 1995; Ajzen 1988)



Afek (perasaan) adalah bagian paling esensial dari sikap (Fishbein & Ajzen 1975). Lebih lanjut, keyakinan (kognitif) dan niat (konatif) terlihat erat kaitannya dengan sikap, akan tetapi, komponen-komponen tersebut adalah konsep yang berbeda dan bukan merupakan bagian dari sikap itu sendiri (Fishbein 1980; Chaiken & Baldwin, 1981). Fishbein dan Ajzen (1975, h.21) menolak konsep sikap sebagai multikomponen karena sikap sebagai multikomponen tidak dapat menjelaskan dan meningkatkan hubungan sikap dan perilaku. Ringkasnya, sebagaimana disampaikan diatas bahwa sikap dalam TRA dan TPB

didefinisikan sebagai unidimensi atau sikap sebagai afektif. Akan tetapi, sikap dalam TT diperlakukan sebagai multidimensi yang ditegaskan oleh Bagozzi dan Warshaw (1990,

50

h.135) sebagai berikut “The introduction of multiple attitude is a central feature of the model.” Perbedaan yang terakhir antara TPB dan TT adalah dimasukannya variabel perilaku lampau (past behavior) dalam TT. Mengacu pada Bagozzi dan Warshaw (1990), pengaruh perilaku lampau dalam TT dibedakan menjadi dua: frekuensi dan resensi (recency). Lebih lanjut, Bagozzi dan Warshaw mendefinisikan frekuensi, misalnya frekuensi pembelian, sebagai pembelian yang dilakukan pada waktu-waktu yang lampau dalam kurun waktu yang panjang. Sedangkan resensi pembelian adalah pembelian yang baru saja dilakukan. Konsep frekuensi dan resensi, menurut Bagozzi dan Warshaw (1990), merupakan konsep yang berbeda (distinct). Bagozzi dan Kimmel (1995, p. 442-443) menjelaskan tiga pengaruh frekeunsi dan resensi terhadap perilaku. Pertama, frekeunsi perilaku lampau dapat mempunyai dua pengaruh, yaitu (1) pengaruh frekeunsi sebagai proksi (proxy) untuk kontrol aktual saat terjadi rintangan internal dan eksternal dan (2) frekuensi dapat memprediksi perilaku yang akan datang lebih baik dibandingkan variabel niat khususnya pada saat seseoramg belum mempunyai niat. Kedua, resensi mempunyai pengaruh langsung terhadap perilaku. Ketiga, frekuensi mempengaruhi niat. Berkaitan dengan variabel perilaku lampau, variabel ini tidak tersurat secara eksplisit dalam TPB. Akan tetapi, perilaku lampau diasumsikan direfleksikan dalam variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan (Ajzen, 2001; 1988). Perbedaan antara TPB dan TT diringkaskan dalam Tabel 2.5.

51

Tabel 2.5 Perbedaan TPB dan TT Isu kritikal Perilaku * dalam pencapaian tujuan (goal), tindakan dibedakan menjadi:

Theory of planned behavior

TRA ---> kemauan sendiri v( olitional) perilaku yg dapat dikontrol TPB ---> nonvolitional, tidak dalam kontrol seseorang

Theory of trying

Perilaku dibedakan menjadi tindakan yg diniati (intended behavior) dan tindakan yang tidak diniati u( nintended behavior), misalnya kebiasaan TT ---> perilaku yang diniati = perilaku yang dirasakan seseorang bahwa terdapat rintangan-rintangan (banyak atau sedikit) untuk mencapai hasil

* dalam pencapaian tujuan:

Tidak mempertimbangkan 'proses' sebagai faktor yang dapat merefleksikan kesuksesan atau kegagalan dalam berperilaku.

Mempertimbangkan 'proses' yang direfleksikan dalam 'sikap terhadap proses'.

* konsekuensi berperilaku

Berperilaku - Tidak berperilaku

Sukses setelah mencoba Gagal walaupun sudah mencoba

* tindakan (action)

Satu tindakan sebagai kinerja akhir (final performance)

Tindakan adalah suatu usaha, atau sebagai suatu rangkaian usaha / percobaan (attempts) dalam rangka mencapai kinerja akhir.

Sikap

Unidimensional

Multidimensional (sikap meliputi sikap terhadap mencoba dan sukses, sikap terhadap mencoba dan gagal, sikap terhadap proses).

Perilaku lampau

Tersirat secara implisit dalam variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan (perceived behavioral control).

Eksplisit, perilaku lampau diukur dengan dua cara: frekuensi dan resensi. Perilaku lampau mempengaruhi niat untuk mencoba dan mencoba.

Sumber: Darmmesta (2002), Bagozzi (1992), Bagozzi dan Warshaw (1990), Ajzen (1988)

Berdasarkan pembahasan mengenai TT, maka hipotesis tujuh sampai 12 dikembangkan berkaitan dengan TT. Disampaikan kembali bahwa hipotesis sepuluh dikembangkan dengan didasarkan akan perbedaan budaya Indonesia dan Amerika. Hipotesis sepuluh sama dengan dengan hipotesis lima pada pengujian TPB.

52

H7:

Sikap mencoba memilih merek mempengaruhi niat mencoba memilih merek.

H8:

Norma subyektif mempengaruhi niat mencoba memilih merek.

H9:

Frekuensi mencoba lampau mempengaruhi niat dan perilaku mencoba memilih merek.

H10:

Norma sosial mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan sikap mencoba memilih merek dan frekuensi mencoba lampau terhadap niat mencoba memilih merek.

H11:

Sikap terhadap sukses dan harapan akan sukses, sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal, dan sikap terhadap proses mempengaruhi sikap mencoba memilih merek.

H12a:

Niat mencoba memilih merek mempengaruhi perilaku mencoba memilih merek.

H12b:

Frekuensi mencoba lampau mempengaruhi perilaku mencoba memilih merek.

H12c: Resensi mencoba lampau mempengaruhi perilaku mencoba memilih merek. Berdasarkan pembahasan mengenai TPB dan TT, khususnya berkaitan dengan perbedaan-perbedaan kedua teori tersebut (Tabel 2.5), penelitian ini menghipotesiskan bahwa TT lebih mampu memprediksi hubungan sikap dan perilaku memilih satu merek dibandingkan dengan TPB dengan dua alasan utama sebagai berikut: 1. TT memasukan variabel perilaku lampau yang mempunyai status yang sama dengan sikap dan norma sosial dalam memprediksi niat untuk mencoba dan mencoba itu sendiri. Penelitian-penelitian perilaku telah memperlihatkan pengaruh perilaku lampau terhadap niat dan perilaku selanjutnya (Chatzisarantis et al., in press; Nordfalt & Soderlund, 2004; Soderlund et al., 2001; Ewing, 2000; Trfimow & Borrie, 1999; Miniard & Obermiller, 1981; Woodside & Bearden, 1981; Bentler & Speckart, 1979).

53

TPB, di lain pihak, merefleksikan perilaku lampau pada kontrol keperilakuan yang dirasakan (Ajzen, 1988). Lebih lanjut, variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan terbentuk dari keyakinan kontrol dan akses ke faktor kontrol tersebut. 2. Konsep sikap dalam TT adalah konsep yang terinci dan jelas yang mampu menjelaskan tendensi seseorang dalam mencapai tujuan (Dharmmesta, 2003b; 2000; Bagozzi & Kimmel, 1995). Dengan didasarkan pada pembahasan ini, maka penelitian ini menghipotesiskan bahwa:

H13:

Theory of trying lebih fit dalam menjelaskan fenomena memilih satu merek dibandingkan dengan theory of planned behavior.

2.4. Budaya Masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana theory of planned behavior dan theory of trying dapat menjelaskan niat dan perilaku memilih merek produk pelembab pemutih di Indonesia, dan teori mana yang lebih mampu memprediksi fenomena tersebut.” Lebih lanjut, salah satu kontribusi praktis dalam penelitian ini adalah pengembangan skala penelitian yang memasukan budaya Indonesia. Di satu sisi, responden yang digunakan pada penelitian ini adalah responden yang berdomisili di Yogyakarta. Penjelasan lebih lanjut di bawah membahas mengenai budaya (2.4), penelitian lintas budaya (2.4.1), dan bahasan mengenai jastifikasi terhadap penggunaan responden di Yogyakarta yang dapat mewakili budaya Indonesia (2.4.2). Budaya didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil buah budi manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat, 1980). Lebih lanjut, Koentjaraningrat menjelaskan bahwa gagasan ataupun naluri manusia adalah merupakan

54

bahan dasar suatu tindakan. Tindakan dan hasil karya manusia merupakan tolak ukur budaya

manusia.

Sependapat

dengan

Koentjaraningrat,

Sastrosupono

(1982)

mendefinisikan budaya sebagai tindakan atau perilaku manusia, misalnya duduk, tidur, berbicara dan sebagainya. Hofstede (1994) juga mendefinisikan budaya sebagai pikiran, perasaan, dan tindakan manusia. Menurutnya, budaya adalah piranti lunak jiwa manusia (software of the mind). Peneliti lain, Matsumoto (1996, dalam Dayakisni & Yuniardi, 2003) mendefinisikan budaya sebagai suatu set dari sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh suatu kelompok orang. Dengan demikian, dari beberapa definisi di atas, konsep budaya meliputi pikiran atau gagasan manusia (termasuk di dalamnya sikap, nilai-nilai, dan keyakinan), tindakan, dan hasil karya manusia. Setidaknya, ada tiga karakteristik budaya (Kayam, 1997; Sastrosupono, 1982). Pertama, kebudayaan itu bersifat menyejarah, berkembang, dan senantiasa berjalan terus sehingga ada perubahan dari waktu ke waktu. Lebih lanjut, kebudayaan adalah suatu ‘bentuk’ yang merupakan hasil dari suatu proses yang dinamis dan panjang (Kayam, 1997). Kedua, kebudayaan itu berada dan berkembang dalam geografis tertentu. Dengan kata lain, kebudayaan itu berada di dalam suatu masyarakat tertentu dengan latar belakang dan warna tertentu. Terakhir, kebudayaan berpusat pada perwujudan nilai-nilai. Pemahaman akan budaya penting tidak hanya bagi peneliti tetapi juga praktisi pemasaran. Pentingnya pemahaman budaya terutama dalam membuat strategi pemasaran (Doran, 2001; Tse, Wong, & Wong, 1988; O’Connor, Sullivan, & Pogorzelski., 1985; Munson & McIntyre, 1979; Van Raaij, 1978). Contohnya, Indonesia memiliki mayoritas penduduk yang beragama Islam, sehingga produk atau makanan yang ditawarkan haruslah halal. Sekalipun suatu supermarket menawarkan produk yang non-halal, maka

55

penempatannya harus terpisah. Contoh lainnya adalah makanan yang ditawarkan oleh McDonald di India tidak menggunakan daging sapi. Speece (1986, dalam Tan, McCullogh, & Teoh, 1987) menyatakan bahwa perilaku konsumen merupakan fungsi dari karakteristik universal dan karakteristik budaya yang spesifik. Dengan kata lain, perilaku konsumen di Indonesia mempunyai karakteristik yang mirip dengan konsumen di negara lain tetapi juga mempunyai perbedaan yang tidak ditemui di negara lainnya. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Green (1991) menunjukkan bahwa konsumen di Amerika dan Korea memilih merek A sebagai merek sepatu yang dibeli. Akan tetapi, pembelian yang dilakukan responden di Korea sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial. Sedangkan pembelian yang dilakukan oleh responden di Amerika lebih banyak dipengaruhi oleh sikap. Dengan kata lain, konsumen di Amerika adalah konsumen yang fokus pada dirinya sendiri (self-centered) sedangkan konsumen di Korea mempertimbangkan orang lain, khususnya orang-orang dalam kelompoknya (group-oriented). Lebih lanjut, Usunier (2000) juga menunjukkan bahwa kebanyakan perilaku beli konsumen di negara-negara Asia Tenggara dipengaruhi oleh keluarga.

2.4.1 Penelitian Lintas Budaya Salah satu tujuan utama penelitian pengujian teori adalah untuk memeriksa apakah teori atau model tersebut dapat diaplikasikan di suatu negara atau konteks budaya yang berbeda (Chan, 1999). Hasil dari pengujian teori tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman akan adanya perbedaan atau persamaan antar negara atau budaya (Craig & Douglas, 2000).

56

Pengujian teori dapat dikatakan sebagai salah satu penelitian lintas budaya jika (1) penelitian tersebut dilakukan di luar negara Amerika Serikat, atau (2) memasukan terminologi budaya dalam judul penelitian, atau (3) berkaitan erat dengan konsumen dan perilaku konsumen (Sojka & Tansuhaj, 1995). Penelitian lintas budaya juga meliputi: (1) penelitian pada satu wilayah , (2) penelitian di beberapa wilayah, (3) penelitian pengaruh eksternal, dan (4) penelitian transional (Craig & Douglas, 2000; Kumar, 2000). Penelitian tipe pertama, yaitu penelitian pada satu wilayah, merupakan penelitian yang dilakukan di satu negara tertentu dan komparasi dengan budaya lain yang dapat dilakukan secara eksplisit atau implisit. Jika dilakukan secara implisit, penelitian ini biasanya tidak membahas secara eksplisit hal-hal yang berkaitan dengan komparasi dan ekuivalen (Craig & Douglas, 2000). Tabel 2.6 memperlihatkan beberapa penelitian yang menggunakan tipe satu wilayah. Tipe penelitian satu ini yang diaplikasikan dalam disertasi ini karena penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan teori TPB dan TT dalam lingkup perilaku memilih merek di Yogyakarta. Hasil analisis penelitian ini kemudian dikomparasikan dengan beberapa penelitian sejenis yang dilakukan di negara lain (misalnya Amerika dan Korea). Penelitian tipe kedua merupakan penelitian yang dilakukan di beberapa wilayah dan merupakan penelitian yang lebih banyak dilakukan dalam penelitian lintas budaya (Craig & Douglas, 2000). Penelitian ini secara eksplisit menguji perbedaan budaya atau wilayah. Beberapa penelitian perilaku konsumen yang menggunakan tipe penelitian ini misalnya: Malhotra dan McCort (2001), Kalafatis et al. (1999), Lee dan Green (1991), Alden et al. (1989), dan Tse et al. (1988) sebagaimana terlihat pada Tabel 2.7.

57

Tabel 2.6

Penelitian Lintas Budaya pada Satu Wilayah

Peneliti

Tema

Responden

Doran (2001)

Konsumen Perbedaan konsumen Amerika 25 Amerika 25 Cina dan Cina

Daghfous, Petrof, & Pons (1999)

Nilai dan inovasi

Evers & Day (1997)

Peranan budaya Mahasiswa dalam penerimaan 38 Australia 75 Indonesia software komputer 66 Cina

Chaudhuri (1994)

Difusi inovasi Indonesia

Tan dan (1987)

adopsi Mahasiswa 83 Kanada 68 Perancis 85 Afrika

di Studi Kasus 1 perusahaan minyak kelapa sawit

Lokasi Penelitian Montreal – Kanada

Kanada

Sydney – Australia

Indonesia

budaya Mahasiswa Farley Pengaruh pada hubungan 108 Singapura sikap terhadap iklan dan niat beli

Singapura

Aplikasi model Konsumen 129 Singapura multi-atribut

Singapura

Tan et al. (1987)

Sumber: diringkaskan dari peneliti yang disebutkan diatas

Tabel 2.7

Penelitian Lintas Budaya pada Beberapa Wilayah

Peneliti

Tema

Responden

Lokasi Penelitian Hong Kong Amerika

Malhotra dan McCort (2001)

Komparasi Model Niat di Hong Kong dan Amerika

Mahasiswa 215 Hong Kong 225 Amerika

Kalafatis et al. (1999)

Aplikasi TPB pada pemasaran hijau di UK dan Yunani

Konsumen 170 Yunani 175 UK

Yunani UK

Lee dan Green (1991)

Aplikasi TRA; komparasi di

Mahasiswa 212 Amerika

Amerika

58

Alden et al. (1989)

Tse et al. (1988)

Amerika dan Korea

217 Korea

Korea

Hubungan antara keterlibatan dan pengambilan keputusan

Mahasiswa 264 Amerika 115 Jerman 93 Thailand

Amerika Jerman Thailand

Nilai-nilai konsumsi Konsumen +/- 200 konsumen di di 5 negara masing-masing negara: Jepang, Taiwan, Singapura, Korea Selatan, Hong Kong

Jepang Taiwan Singapura Korea Selatan Hong Kong

Sumber: diringkaskan dari peneliti yang disebutkan diatas

Penelitian tipe ketiga, yaitu penelitian pengaruh eskternal, merupakan penelitian yang memfokuskan pada pengujian pengaruh eksternal pada perilaku. Pengaruh tersebut dapat secara langsung maupun tidak langsung muncul pada individu pada saat individu tersebut tinggal untuk sementara waktu pada budayanya yang berbeda. Akhirnya, penelitian tipe transional adaah penelitian yang berkaitan erat dengan transisi dari satu budaya ke budaya yang lain, misalnya melalui migrasi ke negara lain (Craig & Douglas, 2000).

2.4.2. Budaya Indonesia dan Jastifikasi Penggunaan Responden di Yogyakarta yang Mewakili Budaya Indonesia Ada dua pendapat mengenai budaya Indonesia, yaitu: (1) kebudayaan Indonesia itu belum ada atau masih merupakan pembicaraan tentang cita-cita dan (2) kebudayaan Indonesia itu sudah ada (Gunadi, Sutarno, Handayani, & Lutfiah, 1995; Sastrosupono, 1982). Beberapa pakar kebudayaan (misalnya: Kayam, 1997; Gunadi et al., 1995; Hassan 1989; Joesoef, 1987; Suriasumantri, 1986; Sastrosupono, 1982) menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan suku-suku yang memuncak pada suatu saat.

59

Atau dengan perkataan lain, kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan suku. Kebudayaan Indonesia juga merupakan suatu sintesa dari berbagai macam budaya suku sehingga melahirkan sesuatu yang baru. Adapun beberapa indikator budaya Indonesia adalah: (1) bahasa nasional (Bahasa Indonesia), (2) Pancasila, (3) Undang Undang Dasar 1945, (4) pembangunan dan modernisasi Indonesia, (5) lagu-lagu nasional, dan (6) karya seni nasional. Penjelasan singkat mengenai dua contoh budaya Indonesia adalah sebagai berikut. Contoh yang pertama adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan pengejawantahan budaya Indonesia yang menjadi penjalin kesatuan dan pengikat kekitaan Indonesia (Hassan 1989, h.21). Contoh yang kedua adalah Pancasila. Pancasila ditentukan oleh nilai-nilai yang hidup dan berkembang di Indonesia. Manusia Indonesia rata-rata mengenalnya- disudut manapun mereka berada pada bumi Nusantara- walaupun dengan derajat penghayatan yang berbeda dan wujud pengamalan yang berlainan, sesuai dengan kondisi alami dan keadaan zaman masing-masing (Joesoef, 1987, h.14). Berbeda dengan beberapa pakar yang disebutkan sebelumnya, Magnis-Suseno (1996) mendefinisikan budaya Indonesia sebagai budaya yang majemuk yang terdiri dari lebih 200 budaya seperti budaya Jawa, Sunda, Batak, dan beragam budaya lainnya. Lebih lanjut, Magnis-Suseno (1996) berpendapat bahwa budaya Jawa (ataupun beragam lainnya) mencerminkan budaya Indonesia. Sarwono (1998) menjelaskan bahwa walaupun ada banyak budaya di Indonesia, tetapi ada nilai-nilai utama (core values) bangsa Indonesia yang dominan. Nilai-nilai utama tersebut didasarkan pada kriteria bahwa nilai-nilai itu harus diterima dan diamalkan baik

60

dalam sikap maupun perilaku sebagian besar rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut adalah: harmonis, toleransi, gotong-royong, dan religius. Harmoni dan toleransi berarti menjaga kesimbangan dalam bermasyarakat. Sebagai contoh, ambisi seseorang untuk mendapatkan sesuatu tidak diekspresikan secara lugas, melainkan orang cenderung untuk bertindak dan berkata-kata secara tidak langsung untuk menghindari adanya friksi dengan pihak lain. Sedangkan gotong-royong merupakan nilai bangsa Indonesia yang telah dikenal sejak lama. Misalnya, masyarakat suatu wilayah atau kampung umumnya sering bergotong-royong untuk melaksanakan suatu acara tertentu seperti acara hari kemerdekaan Republik Indonesia. Harmoni, toleransi dan gotong royong ini juga dikenal sebagai budaya kolektif, atau budaya “kita” (Hofstede, 1994). Nilai yang lain, religius, dalam kaitannya dengan bidang perilaku konsumen merupakan nilai yang mempengaruhi seseorang dalam berkonsumsi. Sebagai contoh, McDonald tidak menjual makanan yang mengandung babi atau kandungan-kandungan lain yang diharamkan oleh ajaran agama. Lebih lanjut, banyak gerai makanan yang tutup atau buka setengah hari untuk menghormati orang yang berpuasa. Penelitian yang dilakukan Hofstede (1994) di banyak negara memperlihatkan karakteristik atau tipikal orang masing-masing negara tersebut. Hosftede membedakan dimensi budaya menjadi empat, yaitu: jarak kekuasaan (power distance, selanjutnya disebut PD), invidualisme (individualism, selanjutnya disebut IDV), maskulin (masculinity, selanjutnya disebut MAS), dan penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance, selanjutnya disebut UAI). Tabel 2.8 memperlihatkan tipikal orang Indonesia dibandingkan dengan orang Amerika.

61

Tabel 2.8

Perbedaan budaya Indonesia dan USA

Indonesia Dimensi

Peringkat

budaya

Nilai

USA Peringkat

skor

Power distance (PDI)

Nilai skor

8/9

78

38

40

Individualism (IDV)

47/48

14

1

91

Masculinity (MAS)

30/31

46

15

62

Uncertainty

41/42

46

43

48

avoidance (UAI) Sumber: diringkaskan dari Hofstede (1994)

Secara ringkas, PD didefinisikan sebagai seberapa besar ketidak-seimbangan terjadi pada masyarakat. Salah satu contoh bentuk PD adalah misalnya di Indonesia sebagai negara dengan nilai PD yang besar. Artinya, di Indonesia, anak harus patuh kepada orang tua dan guru dimana anak di Amerika (negara dengan nilai PD kecil) memperlakukan orang tua dan guru seimbang dengan dirinya. Kemudian, IDV adalah seberapa besar hubungan antar individual dalam masyarakat adalah longgar. Indonesia dengan nilai IDV tinggi menunjukan bahwa hubungan antar individual dalam masyarkat adalah erat. Hubungan yang erat ini meletakan harmoni sebagai kunci dalam menjaga hubungan. Lebih lanjut, MAS berkaitan dengan perbedaan peran gender dan preferensi individu. Negara dengan nilai MAS tinggi (misalnya Amerika) membedakan dengan jelas bahwa laki-laki harus lebih agresif dibanding perempuan. Laki-laki harus memfokuskan pada kesuksesan material dan perempuan harus lebih sederhana dan memperhatikan kualitas hidup. Akan tetapi, negara dengan nilai MAS rendah mempunyai pandangan bahwa laki-

62

laki dan perempuan haruslah berlaku sederhana dan memperhatikan kualitas hidup. MAS juga berkaitan dengan preferensi individu dalam masyarakat. Negara dengan MAS tinggi menekankan pada pencapaian nilai-nilai heroik dan tegas. Sebaliknya, negara dengan MAS rendah menekankan individu untuk menjaga hubungan, yaitu dengan memperhatikan orang lain. Akhirnya, UAI adalah toleransi atas ketidak-jelasan. Dalam dimensi ini, Indonesia dan Amerika mempunyai nilai yang mirip atau mempunyai perspektif yang hampir sama (Hofstede, 1994). Data yang digunakan oleh Hosftede (1994) dalam menyusun peringkat tersebut adalah data yang dikumpulkan dari beragam negara. Negara yang dipilih tersebut mempunyai karakteristik sebagai berikut. Pertama, negara tersebut mempunyai satu bahasa yang dominan, misalnya bahasa Indonesia untuk negara Indonesia. Kedua, mempunyai sistem pendidikan nasional. Terakhir, negara tersebut mempunyai sistem politik nasional. Dengan demikian, data yang didapat dari suatu negara, misalnya Indonesia, dapat dikatakan sebagai tipikal Indonesia. Atau, data yang didapat dari negara Amerika, dapat dikatakan tipikal Amerika (Hosftede, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh Hofstede menggunakan pekerja IBM sebagai respondennya. Karena pekerja juga merupakan konsumen, maka tabel tersebut dapat digunakan untuk memahami perilaku konsumen (Milner, Fodness, & Seece, 1993). Berdasarkan definisi budaya Indonesia, pemahaman akan penelitian lintas budaya, serta Tabel 2.8 yang telah dipaparkan diatas, maka penelitian ini menggunakan pemahaman bahwa responden penelitian, yang keseluruhannya adalah berprofesi sebagai mahasiswi di beberapa universitas di Yogyakarta, dapat mencerminkan budaya Indonesia

63

dengan tiga alasan utama. Pertama, bahwa mahasiswi Yogyakarta mengenal dan mengamalkan beberapa budaya Indonesia terutama seperti menggunakan bahasa Indonesia dan mengamalkan Pancasila walaupun dengan derajat yang berbeda-beda. Kedua, ada nilai-nilai utama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia seperti harmonis, toleransi, gotong-royong, dan religius. Nilai-nilai ini juga diajarkan kepada sebagian besar penduduk Indonesia sejak usia dini. Ketiga, sebagaimana Magnis-Suseno (1996) menyatakan bahwa budaya Jawa yang mendominasi masyarakat di Yogyakarta juga dapat mencerminkan budaya Indonesia.

2.6. Simpulan Bab ini telah memaparkan tinjauan literatur mengenai merek, perilaku, dan teori-teori sikap, dan budaya sebagai fondasi teoritis dalam pengembangan hipotesis penelitian. Bab selanjutnya membahas metodologi penelitian yang diaplikasikan pada penelitian ini.

64

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendahuluan Pada bab sebelumnya telah disampaikan konsep-konsep yang berkenaan dengan perilaku, sikap, dan pilihan merek. Pada bab tersebut juga disampaikan hipotesishipotesis untuk menjawab masalah penelitian. Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan metodologi penelitian untuk menguji hipotesis-hipotesis penelitian. Bab ini terdiri dari tujuh sub-bab sebagaimana pada Gambar 3.1. Bab ini dimulai dengan pendahuluan (3.1) yang diikuti dengan bahasan mengenai paradigma penelitian (3.2). Lalu, pembahasan mengenai survai (3.3) yang diikuti dengan pembahasan mengenai pengukuran (3.4). Kemudian, dilanjutkan dengan proses sampling yang diaplikasikan pada penelitian ini (3.5). Akhirnya, analisis data disampaikan (3.6) yang diikuti dengan kesimpulan (3.7).

3.2. Jastifikasi Paradigma Penelitian Paradigma penelitian ini adalah paradigma post-positivism (Guba & Lincoln, 1994) atau dikenal juga sebagai paradigma modern empiricism (Hunt, 1991) atau paradigma scientific realism (Perry, Riege, & Brown, 1999; Dooley, 1995). Perbedaan utama paradigma ini dengan paradigma lainnya (yaitu: positivism, critical theory, dan relativism) adalah pada pemahaman akan sifat realitas (nature of reality), tujuan pertanyaan (inqury aim), dan metodologinya (Tabel 3.1). Secara singkat, paradigma

65

Gambar 3.1. Alur Pembahasan Bab 3

Pendahuluan (3.1) Paradigma penelitian (3.2) Survai (3.3) 3.3.1 Justifikasi penggunaan metode survai 3.3.2 Justifikasi pengguaan teknik kuesioner dilakukan sendiri 3.3.3 Mengatasi kesalahan-kesalahan dalam survai 3.3.4 Pertimbangan etika dalam survai 3.3.5 Pengembangan kuesioner penelitian Pengukuran (3.4) Proses sampling (3.5) Analisis data (3.6) 3.6.1 Proses pra-analisis 3.6.2 Analisis deskriptif 3.6.3 Analisis inferensial Kesimpulan (3.7)

scientific realism menyadari bahwa ilmu mencoba menemukan kebenaran walaupun kebenaran yang absolut adalah tidak mungkin. Lebih lanjut, ilmu digunakan untuk memberikan penjelasan, memprediksi, dan mengontrol fenomena. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data umumnya kuantitatif (misalnya survai) walaupun metode kualitatif dapat juga digunakan (misalnya studi kasus).

66

Tabel 3.1 Karakteristik Paradigma yang Digunakan Dalam Penelitian Ini Pendekatan objektif dalam ilmu sosial

Kriteria

Positivism

Sifat realitas Ilmu menemukan sifat kenyataan yang sesungguhnya.

Ilmu adalah obyektif.

Pendekatan subjektif dalam ilmu sosial

Postpositivism/ Critical theory Scientific realism Ilmu mencoba untuk me- Kenyataan dibentuk oleh nemukan sifat kenyata- banyak faktor seperti sosial an tetapi kebenarannya dan budaya, dan dikristalitidak dapat diketahui sasi sepanjang waktu. secara sempurna. Ilmu yang 100% obAdanya tekanan antara yektif adalah tidak subyek dan obyek. mungkin, tetapi ilmu lebih obyektif dalam menjustifikasi pengetahuan daripada yg bukan ilmu

Relativism/ Constructivism Ilmu menciptakan beragam kenyataan yang didasarkan pada sosial dan pengalaman.

Memahami dan rekonstruksi.

Tujuan pertanyaan

Penjelasan, prediksi dan kontrol.

Penjelasan, prediksi dan kontrol.

Ilmu dan metodologi

Hanya logika justifikasi yang dibutuhkan untuk memahami ilmu.

Prosedur-prosedur dibe- Kritik, transformasi dakan antara penemuan dan emansipasi dan justifikasi pengetahuan.

Banyak prosedur dapat diciptakan dan dijustifikasikan untuk memahami ilmu.

Pendekatan kuantitatif.

Umumnya kuantitatif, tetapi dapat juga meliputi pendekatan kualitatif. Teori harus dibangun, kemudian dikonfirmasi atau tidak dikonsfirmasi.

Pendekatan kualitatif (dialog/dialektikal)

Pendekatan kualitatif.

Prosedur dialektikal: mencari kontradiksi-kon tradiksi antara pemahaman intersubjektif dan kondisi sosial yang objektif.

Data diciptakan dan diinterpretasikan oleh ilmuwan dalam lingkup berbagai teori.

Data menyediakan tujuan untuk menguji teori.

Kritik, transformasi dan emansipasi.

Ilmu adalah subyektif.

Metode yang Eksperimen, survey. biasa digunakan

Survey, studi kasus.

Interview mendalam analisa sejarah.

Interview mendalam

Kriteria evaluatif

Validitas, realibilitas, objektif.

Validitas, realibilitas, objektif.

Peningkatan kualitas hidup.

Dapat dipercaya, otentik

Nilai (value)

Bebas nilai (valuefree )

Sadar nilai (valueaware )

Value-laden

Value-laden

Penulis

Bagozzi (1980);

Healy dan Perry (2000); Perry, Riege dan Brown (1999); Hunt (1991);

Murray danOzanne (1991); Fleming (1997)

Anderson (1983, 1986); Hudson & Ozanne (1988); Evered dan Louis (1981) Muncy dan Fisk (1987); Peter dan Olson (1983) Anderson (1988; 1983); Stern dan Schroeder (1993); Stern (1989, 1993) Hirschman (1988); Holbrook dan O'Shaughnessy (1988); O'Shaughnessy (1985); Morgan (1980)

67

3.3. Survai Penelitian ini meliputi penelitian eksplorasi dan deskriptif. Ada dua penelitian eksplorasi yang akan dilakukan pada penelitian ini. Penelitian pertama bertujuan untuk mengetahui merek-merek pelembab pemutih yang digunakan responden dan jangka waktu pembelian produk. Hasil penelitian pertama ini adalah merek dominan (yaitu Ponds) yang dipakai responden dan jangka waktu pembelian produk tersebut. Kemudian, setelah diketahui merek yang dominan, penelitian kedua bertujuan untuk mengetahui keyakinan-keyakinan menonjol (salient beliefs) responden terhadap perilaku memilih produk pelembab pemutih Ponds. Keyakinan-keyakinan tersebut lalu dihitung frekuensi dan persentasenya. Lebih lanjut, keyakinan yang dipilih oleh setidaknya sepuluh persen dari responden yang akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan kuesioner pada survai 4 dan 5 (Ajzen & Fishbein, 1980). Penelitian deskriptif meliputi tiga survai, yaitu: survai ketiga, survai keempat, dan survai kelima (Gambar 3.2). Survai ketiga bertujuan untuk memahami proses keputusan beli konsumen (consumer decision making) terhadap produk pelembab pemutih Ponds. Survai ini dilakukan dengan menggunakan model proses keputusan pilihan merek (Hawkins et al, 1998), yaitu proses yang meliputi keputusan ini terdiri dari empat tahap: adanya kebutuhan, pencarian informasi, kriteria-kriteria evaluatif alternatif hingga akhirnya memilih satu merek (Gambar 3.3).

68

Gambar 3.2. Tahapan Survai Dalam Penelitian Ini eksplorasi 1 Survey merek & jangka waktu pembelian Mei 2002

deskripsi

2 Survey salient modal beliefs

3 Survey proses keputusan konsumen

4 Survey sikap niat

5 Survey perilaku

Juli 2002

Febuari 2003

Febuari 2003

April 2003

Sumber: dikembangkan untuk penelitian ini

Gambar 3.3. Proses Keputusan Pilihan Merek Kebutuhan

Mencari informasi

Evaluasi alternatif

Memilih merek

Sumber: diadaptasi dari Hawkins et al. (1998, h. 499

Survai keempat dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang memuat butir-butir yang disusun berdasarkan keyakinan-keyakinan responden yang didapat dari survai kedua yang meliputi variabel-variabel yang ada pada TPB dan TT. Akan tetapi, variabel perilaku pada TPB dan TT tidak ditanyakan pada survai keempat. Pertanyaan-pertanyaan tersebut ditanyakan pada survai kelima yang dilakukan satu hingga satu setengah bulan sesudah survai kedua. Jangka waktu satu hingga satu setengah bulan tersebut merupakan hasil penelitian survai pertama yang dilakukan pada tanggal dua hingga empat Mei 2002. Lebih lanjut, ada tiga kriteria responden pada survai keempat dan kelima, yaitu: (1) mahasiswi yang berumur 18 – 25 tahun, (2) telah menggunakan produk tersebut minimal 6 minggu, dan (3) berdomisili di Yogyakarta. Alasan untuk ketiga kriteria ini dijelaskan lebih lanjut pada sub bagian 3.4 (proses sampling).

69

3.3.1. Jastifikasi Penggunaan Metode Survai Data untuk penelitian deskriptif dapat dilakukan melalui beberapa teknik: survai, eksperimen, data sekunder, dan observasi (Zikmund, 1997). Survai merupakan teknik pengumpulan data yang tepat untuk penelitian ini dengan didasarkan pada kriteria yang disarankan oleh Malhotra (2002) dan Sekaran (2000), yaitu: tujuan penelitian, keakuratan metode tersebut, ketersediaan sumber data, ketersediaan fasilitas penelitian, waktu yang diperlukan untuk penelitian, dan biaya yang akan dikeluarkan. Alasan pertama penggunaan metode survai adalah berkaitan dengan tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan fenomena memilih merek dengan menggunakan teori-teori sikap. Metode survai merupakan metode yang tepat untuk mendapatkan data mengenai sikap, motivasi dan preferensi konsumen dalam suatu penelitian deskriptif (Aaker & Day, 2001; Malhotra, 1999;). Lebih lanjut, metode ini dapat digunakan untuk mencari hubungan antar variabel (Sonquist & Dunkelberg, 1977). Alasan kedua adalah metode survai memberikan hasil yang akurat dan ilmiah (Zikmund, 1997). Alasan ketiga, data yang dibutuhkan untuk penelitian ini dapat dilakukan dengan melaksanakan survai terhadap pembeli dan pembeli potensial produk pelembab pemutih. Kemudian, survai digunakan pada penelitian ini karena tersedianya fasilitas-fasilitas pendukung untuk metode tersebut (misalnya komputer untuk mengolah data). Selanjutnya, waktu yang tersedia untuk melakukan survai telah direncanakan dengan seksama sehingga data yang dibutuhkan dapat dikumpulkan selama satu setengah bulan. Terakhir, biaya yang dikeluarkan untuk penelitian ini telah diperhitungkan dengan cermat. Metode survai juga dipilih karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

70



Survai merupakan metode yang dapat memberikan hasil yang cepat, efisien dan meliput sampel dalam jumlah yang besar (Zikmund, 1997; Davis, 1996);



Pemberian kode, analisis dan interpretasi data relatif mudah (Malhotra, 1999);



Metode ini dapat digunakan dan diaplikasikan dalam berbagai keadaan (Aaker & Day, 2001; Davis, 1996); dan



Data yang didapat dari metode ini dapat diandalkan (Aaker & Day, 2001; Malhotra, 1999).

3.3.2. Jastifikasi Penggunaan Teknik Kuesioner Dilakukan Sendiri (personally administered questionnaire) Ada lima tipe metode survai, yaitu: wawancara tatap muka (face-to-face interviews), kuesioner dilakukan sendiri, kuesioner melalui surat, kuesioner melalui telepon, dan kuesioner melalui media elektronik (internet), atau kombinasi dari kelima tipe tersebut (Aaker et al., 2001; Sekaran, 2000; Malhotra, 1999). Dari kelima tipe tersebut, kuesioner dilakukan sendiri merupakan teknik yang paling tepat dalam penelitian ini dengan mengacu pada keunggulan-keunggulan metode tersebut (Tabel 3.3) dibandingkan metode lainnya sebagaimana ditunjukkan Malhotra (2002, h.207, penekanan ditambahkan) sebagai berikut: When evaluating the various survey methods within the context of specific research project, one has to consider the salient factors relevant to data collection. For example, if a new perishable food product has to be tested, respondents would have to taste the product before answering the questionnaire. This would involve interviewing at central locations, leading to mall intercept as the natural choices. If no method is clearly superior, the choice must be based on an overall consideration of the advantages and disadvantages of the various methods.

71

Tabel 3.3. Perbandingan Teknik Kuesioner Kriteria

1. Tingkat respon

Interview muka- Dilakukan senSurat ke-muka diri ( personally administered) Baik sekali Cukup Baik sekali

Buruk

Buruk

2. Kerjasama responden

Baik sekali

Baik sekali

Buruk

Cukup

Buruk

3. Kerahasiaan responden

Buruk

Baik sekali

Baik sekali

Cukup

Baik sekali

4. Mendapatkan pertanyaan sensitif

Buruk

Baik sekali

Baik sekali

Baik sekali Baik sekali

5. Keberagaman pertanyaan

Baik sekali

Baik sekali

Cukup

Buruk

Buruk

6. Jumlah data yang dapat dikumpulkan

Baik sekali

Baik sekali

Cukup

Cukup

Buruk

7. Fleksibilitas dalam pengumpulan data

Baik sekali

Baik sekali

Buruk

Cukup

Baik sekali

8. Kemampuan untuk tindakan lanjut

Baik sekali

Baik sekali

Buruk

Buruk

Buruk

9 . Fleksibilitas geografi

Buruk

Buruk

Baik sekali

Baik sekali Baik sekali

10. Kecepatan

Cukup

Baik sekali

Buruk

Baik sekali Baik sekali

11. Potensi bias dari interviewer

Buruk

Cukup

Tidak ada

Cukup

Tidak ada

12. Biaya

Buruk

Buruk

Baik sekali

Cukup

Baik sekali

13. Kontrol thdp petugas lapangan 14. Kontrol thdp lingkungan pengumpulan data

Buruk

Buruk

Baik sekali

Cukup

Baik sekali

Baik sekali

Baik sekali

Buruk

Buruk

Buruk

15. Penggunaan stimulus fisik

Baik sekali

Baik sekali

Buruk

Buruk

Buruk

Baik sekali

Baik sekali

Buruk

Cukup

Buruk

Baik sekali

Baik sekali

Buruk

Baik sekali Buruk

Buruk

Buruk

Baik sekali

Cukup

16. Kontrol terhadap sampel 17. Kemampuan utk meminimalkan item yg tidak dijawab 18. Social desirability Jumlah baik sekali

10

13

6

Telepon

4

Sumber: dibangun untuk penelitian ini berdasarkan dari Aaker, Kumar and Day (2001); Cooper & Schindler (1998); Davis (1996); Malhotra (1999); Neuman (2000); Oppenheim (1992); Sekaran (2000); Zikmund (1997).

Elektronik

Baik sekali 8

72

Dari Tabel 3.3 memperlihatkan keunggulan-keunggulan metode kuesioner dilakukan sendiri, misalnya: •

Kuesioner dilakukan sendiri memberikan tingkat respon yang lebih tinggi dibandingkan dengan kuesioner melalui surat, telepon dan elektonik (Malhotra, 1999; Oppenheim, 1992);



Beragam pertanyaan dapat ditanyakan karena responden dapat melihat dan membaca kuesioner tersebut dan dapat menanyakan pertanyaan yang tidak jelas kepada peneliti (Aaker et al., 2001; Malhotra, 1999; Oppenheim, 1992); dan



Teknik ini sangat fleksibel dalam mendapatkan data (Malhotra, 1999).

3.3.3. Mengatasi Kesalahan-Kesalahan Dalam Survai Peneliti berusaha mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam survai, yaitu: kesalahan non respon, kesalahan akibat bias, dan kesalahan administratif, sebagaimana yang ditunjukan oleh Zikmund (1997) yang dibahas sebagai berikut. Kesalahan tipe pertama, yaitu kesalahan non respon, direduksi dengan mengaplikasikan beberapa metode yang disarankan oleh Malhotra (1999) serta Sudman dan Blair (1999) untuk mengurangi kesalahan non-respon seperti: pemberitahuan awal kepada responden, memotivasi responden, membuat kuesioner yang baik, memberikan insentif kepada responden, dan melakukan tindakan lanjutan (follow up). Kesalahan non-respon juga direduksi dengan memberitahukan kepada asisten-asisten penelitian agar melakukan pengecekan pada saat menerima kuesioner yang diberikan oleh responden. Asisten penelitian harus memastikan bahwa semua butir telah diisi dengan lengkap sebelum

73

diberikan kepada peneliti. Kuesioner dapat diisi oleh responden pada saat diberikan oleh asisten atau dapat dibawa pulang. Kesalahan tipe kedua, yaitu kesalahan yang diakibatkan bias, meliputi kesalahan akibat bias yang disetujui (acquisencece bias), bias interviewer, dan bias perlindungan (auspices bias). Kesalahan akibat bias yang disetujui merupakan salah satu faktor penyebab common method variance (Podsakoff, MacKenzie, Lee, & Podsakoff, 2003). Kesalahan ini dapat dihindari dengan menggunakan butir positif dan negatif dengan jumlah yang sama. Akan tetapi, penggunaan butir positif dan negatif secara bersamaan dapat mempengaruhi keakuratan pengukuran (Herche & Engelland, 1996). Dengan demikian, penelitian ini mengaplikasikan saran yang direkomendasikan oleh Schmitt dan Stults (1985, dikutip oleh Schriesheim & Eisenbach, 1995) untuk mereduksi bias tersebut. Saran tersebut adalah memberikan informasi awal disampaikan kepada responden bahwa ada butir-butir yang negatif yang mengisyaratkan agar responden dapat membaca dengan lebih teliti. Kesalahan akibat bias interviewer direduksi dengan membangun kuesioner setepattepatnya sehingga dapat menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tidak spesifik dan tidak diperlukan. Selanjutnya, kesalahan akibat bias perlindungan dihindari dengan mengidentifikasikan Universitas Gadjah Mada University sebagai lembaga dimana peneliti bernaung agar penelitian tidak diragukan sebagai penelitian komersial oleh responden. Kesalahan tipe ketiga, yaitu kesalahan administratif, meliputi kesalahan dalam memproses data, kesalahan seleksi sampel, kesalahan interviewer, dan kesalahan akibat interviewer berbohong. Kesalahan dalam memproses data dihindari dengan membuat

74

prosedur memproses data yang seksama seperti melakukan pemberian kode dan mengkategorikan data. Kemudian, kesalahan pemilihan sampel dihindari dengan mengaplikasikan desain sampling yang tepat bagi penelitian ini (yaitu, purposive sampling). Lalu, kesalahan interviewer dihindari dengan membangun kuesioner yang tepat yang dapat menjawab masalah penelitian dan menghindari pertanyaan yang tidak spesifik. Akhirnya, kesalahan akibat kebohongan interviewer dihindari dengan memberikan informasi kepada interviewer (asisten penelitian) bahwa hasil kuesioner akan diperiksa ulang oleh peneliti (Zikmund, 1997). Tepatnya, peneliti melakukan kunjungan ulang secara acak ke responden yang telah mengisi kuesioner. Pada kunjungan tersebut, peneliti memfokuskan pada informasi karakteristik responden dan meminta penegasan apakah responden tersebut benar pernah mengisi kuesioner.

3.3.4. Pertimbangan Etika Dalam Survai Etika merupakan salah satu bagian penting dalam survai yang mempengaruhi hak-hak responden dan kualitas data yang akan didapat (Davis, 1996). Beberapa isu etika dipertimbangkan dalam penelitian ini. Pertama, hak-hak responden dihargai (Sekaran, 2000; Davis, 1996). Tepatnya, peneliti akan bertanya kepada calon responden apakah mereka bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Kemudian, peneliti akan menjelaskan tujuan penelitian kepada responden. Lebih lanjut, responden dapat saja tidak menjawab atau menolak menjawab dalam kuesioner. Peneliti akan menerima semua jawaban responden pada kuesioner dengan tidak mempertanyakan responden mengenai jawaban-jawaban tersebut. Terakhir, peneliti memastikan bahwa semua pertanyaan pada kuesioner adalah tepat dan tidak ada pertanyaan yang tidak relevan.

75

3.3.5. Pengembangan Kuesioner Penelitian Pengembangan kuesioner penelitian dilakukan melalui tujuh tahap yang disarankan oleh Aaker et al. (1998), yaitu: (1) merencanakan apa yang akan diukur, (2) membuat format kuesioner, (3) membuat butir-butir dalam kuesioner, (4) membuat lay-out kuesioner, (5) hasilkan kuesioner, (6) kuesioner diuji-cobakan, dan (7) membuat kuesioner baru yang telah direvisi (Gambar 3.4.).

Gambar 3.4 Pengembangan Kuesioner Untuk Penelitian Ini Konstruk Langkah 1

Merencanakan apa yang akan diukur

Konstitutif (constitutive ) dan definisi operasional Pengembangan skala

Langkah 2

Membuat format kuesioner

Langkah 3

Membuat pernyataanpernyataan dalam kuesioner

Langkah 4

Lay-out kuesioner

Langkah 5

Hasilkan kuesioner

Langkah 6

Uji coba kuesioner

Langkah 7

Membuat kuesioner yang telah direvisi

Sumber: dibangun untuk penelitian ini berdasarkan pada Aaker et al. (1998, h.307)

Pemahaman akan variabel-variabel dalam CDM, TPB, dan TT didasarkan pada tinjauan pustakan pada Bab dua. Kemudian, format kuesioner dibuat dengan

76

memasukkan butir-butir (items) yang berkaitan dengan CDM, TPB, dan TT pada masingmasing kuesioner. Lay-out kuesioner dibuat sebagai berikut. Butir-butir yang mengukur konstruk yang sama diletakan pada boks yang sama dengan tujuan agar memudahkan responden informasi dan mereduksi kebingungan responden (Harrison & McLaughlin, 1996; Bagozzi & Warshaw, 1990: Fishbein & Ajzen, 1980). Tidak hanya itu, butir-butir yang diletakan dalam 1 grup dapat mendukung validitas diskriminan konstruk-konstruk yang diuji (Harrison & McLaughlin 1996). Pada penelitian ini, setiap konstruk yang akan digunakan ditulis dengan huruf tebal dan diberikan instruksi dalam menjawab pertanyaan (Bagozzi & Warshaw, 1990). Setelah kuesioner selesai dibuat, kuesioner kemudian diuji-cobakan untuk menghasilkan kuesioner yang sesungguhnya. Dalam pengembangan kuesioner TT, ada satu butir pernyataan yang didesain dalam pertanyaan tertutup dan terbuka. Butir pernyataan itu adalah resensi pembelian. Pertanyaan tertutup menanyakan jumlah produk yang baru saja dibeli dan digunakan dalam kurun waktu enam minggu terakhir. Pilihan jawaban adalah nol hingga enam. Pertanyaan terbuka menanyakan tanggal dan bulan pembelian. Manfaat dengan penggunaan pertanyaan terbuka adalah untuk mereduksi jawaban tidak jujur (Waters, 1991). Lebih lanjut, tanggal dan bulan yang telah disebutkan akan menjadi dasar untuk pemeriksaan ulang pada pertanyaan perilaku (membeli atau tidak membeli) pada kuesioner terakhir (Kuesioner 5). Dengan kata lain, jika responden A mengatakan membeli tetapi tanggal atau bulan pembelian terakhir sama dengan yang ditulisnya pada kuesioner sebelumnya, maka responden A dianggap tidak melakukan pembelian.

77

3.3.6. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional Konseptualisasi dan operasionalisasi variabel-variabel perlu dilakukan sebelum data dikumpulkan (Davis, 1996). Definisi konseptual dan operasional setiap konstruk pada penelitian ini disajikan dalam Tabel 3.4. Definisi-definisi konseptual dipresentasikan dengan mengacu pada pengembang masing-masing teori. Sebagai contoh, definisi konseptual untuk variabel-variabel TPB mengacu pada Fishbein dan Ajzen (1980, 1975) dan Ajzen (1988). Variabel-variabel pada TT mengacu pada Bagozzi dan Warshaw (1990).

Tabel 3.4. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional

Hipotesis Theory of planned behavior H1. Sikap memilih merek mempengaruhi niat memilih merek.

Konstruk Sikap memilih merek

Definisi konseptual Evaluasi seseorang bahwa melakukan perilaku memilih merek adalah baik atau jelek, yaitu bahwa orang tersebut berkenan atau tidak berkenan melakukan perilaku tersebut (Ajzen & Fishbein 1980, h.6).

Definisi operasional Keyakinan dan evaluasi seseorang untuk membeli merek X satu bulan mendatang.

Niat memilih merek Kecenderungan seseorang bahwa Niat seseorang untuk membeli ia akan berperilaku memilih me- merek X satu bulan mendatang. rek (Ajzen & Fishbein 1980, h.42). H2. Norma subyektif mempengaruhi niat memilih merek.

Norma subyektif

Persepsi seseorang atas tekanan sosial yang diletakan padanya untuk berperilaku atau tidak berperilaku (Ajzen & Fishbein 1980, h.6).

Niat memilih merek sebagaimana didefinisikan pada H1. H3a. Kontrol keperilakuan Kontrol keperilaku- Mudah atau sulitnya seseorang yang dirasakan mem- an yang dirasakan berperilaku (Ajzen 1988, h.132). pengaruhi niat. H3b. Kontrol keperilakuan yang dirasakan mem- Niat memilih merek sebagaimana didefinisikan pada pengaruhi perilaku H1.

Keyakinan dan kemauan seseorang untuk menuruti saran keluarga atau teman untuk membeli merek X.

sebagaimana didefinisikan pada H1. Keyakinan kontrol seseorang dan akses ke kontrol tersebut untuk membeli merek X. sebagaimana didefinisikan pada H1.

78

Tabel 3.4. Lanjutan Definisi Konseptual dan Definisi Operasional H4. Niat memilih merek mempengaruhi perilaku memilih merek.

Niat memilih merek sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

Perilaku memilih merek

Membeli atau tidak membelinya merek X satu bulan mendatang.

Respon seseorang yang dapat diamati dalam memilih merek Fishbein & Ajzen 1975, h.53).

H5. Norma subyektif mem- Sikap memilih me- sebagaimana didefinisikan pada punyai pengaruh yang rek H1. lebih besar dibandingkan dengan sikap memilih Norma subyektif sebagaimana didefinisikan pada merek dan kontrol keperiH2. lakuan yang dirasakan terhadap niat memilih Kontrol keperilakua sebagaimana didefinisikan pada merek. yang dirasakan H3.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

Niat memilih merek sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

H6a. Perilaku lampau (fre- Perilaku lampau kuensi) mempengaruhi niat memilih merek. H6. Perilaku lampau (frekuensi) mempengaruhi perilaku memilih merek. H6b. Perilaku lampau (resensi) mempengaruhi Niat memilih merek perilaku memilih merek. Perilaku memilih merek

Perilaku lampau meliputi frekuensi pengalaman seseorang dalam memilih merek dan resensi orang tersebut terhadap frekeunsi mencoba lampau (Bagozzi & Warshaw 1990, h.130).

sebagaimana didefinisikan pada H2. sebagaimana didefinisikan pada H3.

Frekeunsi seseorang membeli merek X satu tahun yang lalu. Resensi seseorang membeli merek X enam bulan yang lalu.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H5.

sebagaimana didefinisikan pada H5.

Sikap seseorang terhadap sukses, gagal, dan proses dalam memilih merek (Bagozzi & Warsahwa 1990, h.130).

Sikap seseorang untuk membeli merek X satu bulan mendatang.

Niat memilih merek sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

H8. Norma subyektif mem- Norma subyektif sebagaimana didefinisikan pada pengaruhi niat mencoba H2. memilih merek. Niat memilih merek sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H2.

Theory of trying H7. Sikap mencoba memiSikap mencoba lih merek mempengaruhi memilih merek niat mencoba memilih merek.

H9. Frekuensi mencoba Frekuensi mencolampau mempengaruhi ba lampau niat dan perilaku mencoba memilih merek. Niat memilih merek

Perilaku memilih merek

sebagaimana didefinisikan pada H1.

Frekuensi seseorang dalam Seberapa banyak produk merek X percobaan masa lampau (Bagozzi yang dibeli seseorang. & Warshaw 1990, h.131). sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H5.

sebagaimana didefinisikan pada H5.

79

Tabel 3.4. Lanjutan Definisi Konseptual dan Definisi Operasional H10. Norma sosial mempu- Sikap mencoba nyai pengaruh yang lebmemilih merek besar dibandingkan dengan sikap mencoba Norma subyektif memilih merek dan frekeunsi mencoba lampau terhadap niat Frekuensi mencomencoba memilih me- ba lampau rek. Niat mencoba memilih merek

sebagaimana didefinisikan pada H7.

sebagaimana didefinisikan pada H7.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H9.

sebagaimana didefinisikan pada H9.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

H11. Sikap terhadap sukses Sikap untuk mendan harapan akan suk- coba dan sukses ses, sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal, dan sikap terhadap proses mem- Sikap untuk menpengaruhi sikap men- coba dan gagal coba memilih merek.

Keyakinan dan evaluasi seseorang terhadap konsekuensi yang berkaitan dengan sukses (Bagozzi & warshaw 1990, h.131). Keyakinan dan evaluasi seseorang terhadap konsekuensi yang berkaitan dengan gagal (Bagozzi & warshaw 1990, h.131). Sikap terhadap Keyakinan dan evaluasi seseproses orang terhadap konsekuensi yang berkaitan dengan proses (Bagozzi & warshaw 1990, h.131). H12a. Niat mencoba memilih Niat mencoba me- sebagaimana didefinisikan pada merek mempengaruh milih merek H1. perilaku mencoba memilih merek. Frekuensi menco- sebagaimana didefinisikan pada H12b. Frekuensi mencoba ba lampau H9. memilih merek mempengaruhi peri- Resensi mencoba Resensi seseorang terhadap laku mencoba lampau coba lampau (Bagozzi & WarsH12c. Resensi mencoba shaw 1990, h.132). memilih merek mempengaruhi perilaku mencoba Theory of planned behavior dan theory of trying H13. Theory of trying lebih Niat memilih merek mampu memprediksi fenomena memilih satu merek dibandingkan Perilaku memilih dengan theory of planne merek behavior

Keyakinan dan evaluasi seseorang untuk membeli merek X satu bulan mendatang, dan sukses.

Keyakinan dan evaluasi seseorang untuk membeli merek X satu bulan mendatang, tapi gagal.

Keyakinan dan evaluasi seseorang terhadap proses untuk membeli merek X satu bulan mendatang.

sebagaimana didefinisikan pada H1. sebagaimana didefinisikan pada H9. Resensi seseorang membeli merek X enam bulan yang lalu.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H1.

sebagaimana didefinisikan pada H5.

sebagaimana didefinisikan pada H5.

3.3.7. Pengembangan Skala Pengembangan skala dilakukan melalui delapan langkah sebagaimana pada Gambar 3.5. Kedelapan langkah tersebut dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu: tahap eksplorasi

80

dan tahap kuantitatif. Tahap eksplorasi meliputi langkah untuk menghasilkan butir-butir butir pernyataan (statement items) dan validitas isi (content validity). Tahap yang kedua, yaitu tahap kuantitatif, meliputi langkah-langkah yang bertujuan untuk membersihkan ukuran (purify measures). Pengembangan skala penelitian ini mengacu pada Churchill (1979) dan DeVellis (1991).

Gambar 3.5. Pengembangan skala pada penelitian ini

Tahap 1: eksplorasi Langkah 1

Langkah 2

Langkah 3

Langkah 4

Hasilkan butirbutir ( items )

Langkah 5

Analisis butirbutir untuk validitas isi (content validity )

Tahap 2: kuantitatif Pengumpulan data awal

Langkah 6

Langkah 7

Pengumpulan data aktual

Menilai reliabilitas * coefficient alpha * reliabilitas konstruk * AVE

Menilai validitas * covergent validity * discriminant validity * criterion validity * predictive validity

Pembersihan ukuran ( purify measure ) * coefficient alpha * EFA

Sumber: Churchill (1979), Devellis (1991)

3.3.7.1 Tahap Eksplorasi Tahap pertama dalam tahap eksplorasi adalah membuat kelompok butir-butir yang berkaitan dengan tema penelitian. Tepatnya, tahap ini dimulai dari pemahaman akan

81

keyakinan-keyakinan (beliefs) responden yang menonjol (salient) berkenaan dengan pelembab pemutih Ponds. Fishbein (1967) menjelaskan mengenai definisi keyakinankeyakinan menonjol, yaitu keyakinan-keyakinan yang dominan dalam suatu masyarakat. Dengan mengacu pada definsi tersebut, maka survai eksplorasi dilakukan untuk mengetahui keyakinan-keyakinan tersebut. Semua jawaban kemudian ditabulasi (Ajzen & Fishbein, 1980). Hasil studi eksplorasi merupakan dasar dalam pengembangan kuesioner selanjutnya. Tahap kedua adalah berkaitan dengan validitas isi (content validity). Validitas ini memperlihatkan tingkatan suatu konstruk direpresentasikan oleh butir-butir yang mengacu pada konstruk tersebut (Garver & Mentzer, 1999). Validitas ini lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan kuantitatif (Parasuraman et al., 1988). Langkah ini dilakukan dengan memberikan desain kuesioner kepada pembimbing-pembimbing peneliti untuk diperiksa.

3.3.7.2. Tahap Kuantitatif Tahap ketiga adalah mengumpulkan data dengan menggunakan kuesioner uji coba. Churcill (1979) tidak mengidentifikasikan jumlah sampel yang tepat untuk sampel uji coba (pilot test) dalam pengembangan skala. Beberapa peneliti misalnya DeVellis (1991) menyarankan sampel berjumlah 300 sedangkan Spector (1992) menyarankan 100 – 200. Peneliti lainnya, Summers (2001) menyarankan hanya 20 responden untuk uji coba kuesioner. Dari beragam angka tersebut, penelitian ini menggunakan 100 responden untuk uji coba kuesioner dengan pertimbangan bahwa jumlah 100 merupakan jumlah yang cukup untuk menganalisis data uji coba kuesioner.

82

Skala perbedaan semantik (semantic differential) bipolar (yaitu, -3 hingga +3) digunakan dalam kuesioner penelitian ini dengan mengacu pada Ajzen (2002) dan Ajzen dan Fishbein (1980). Pada skala ini, nilai nol merupakan nilai netral. Skala bipolar, dibandingkan dengan skala unipolar (misalnya satu hingga tujuh), merupakan skala yang tepat untuk diaplikasikan pada penelitian sikap dan perilaku (Bettman et al., 1975). Salah satu alasannya adalah skala bipolar memberikan hasil korelasi sikap ke perilaku yang lebih baik dibandingkan dengan skala unipolar (Candel & Pennings, 1999). Tahap keempat adalah membersihkan ukuran dengan menggunakan Cronbach α dan exploratory factor analysis (selanjutnya disebut EFA). Cronbach α merupakan hasil ukur yang sering digunakan oleh banyak peneliti dalam menilai reliabilitas ukuran. Batasan nilai α yang digunakan pada penelitian ini adalah 0.70 (Hair et al., 1995). Lebih lanjut, butir-butir dalam kuesioner akan dipertahankan atau dihilangkan dengan melihat nilai item-to-total correlations (Parasuraman et al., 1988; Churchill, 1979). Batasan nilai yang akan digunakan adalah > 0.30 (Azwar, 1999). Penelitian ini menggunakan teknik ukur lain selain Cronbach α untuk menilai reliabilitas ukuran. Hal ini karena Cronbach α mempunyai keterbatasan khususnya dalam kaitannya dengan unidimensionalitas (Baumgartner & Homburg, 1996). Cronbach α tidak membuktikan bahwa suatu ukuran adalah unidimensional walaupun mempunyai nilai α yang tinggi (Baumgartner & Homburg, 1996). Oleh karena itu, Baumgartner & Homburg (1996) serta Hulland et al. (1996) menyarankan untuk menggunakan realibilitas komposit (composite reliability) dan average variance extracted (AVE) untuk menilai reliabilitas konstruk. Dengan demikian, reliabilitas komposit dan AVE juga dilaporkan pada hasil analisis data.

83

Pembersihan ukuran juga dilakukan dengan EFA. EFA berguna untuk menguji validitas konstruk. Validitas ini menunjukkan suatu tingkatan dimana suatu konstruk mencapai arti secara teoritis dan empiris. Validitas konstruk merupakan kondisi yang diperlukan dalam menguji teori (Stennkamp & Van Trijp, 1991; Bagozzi, 1980), sentral dari proses ilmiah (Churchill, 1979), dan sentral dari pengukuruan sebuah konsep (Carmines & Zeller, 1979). Analisis faktor merupakan metode yang kuat (powerful) dan yang harus ada (indispensable) untuk menguji validitas konstruk (Kerlinger & Lee, 2000, h.679). Dalam analisis faktor (factor analysis), rotasi yang digunakan adalah rotasi varimax. Rotasi ini memberikan hasil yang baik dalam memaksimalkan jumlah variansi yang dapat membedakan faktor-faktor dengan jelas (Hair et al., 1995). Hair et al. juga memberikan arahan dalam menentukan nilai factor loading yang dianggap signifikan. Menurut mereka, nilai loading terkait dengan jumlah sampel. Dengan didasarkan pada tabel yang diringkaskan oleh Hair et al., maka dalam penelitian ini, factor loading yang signifikan adalah factor loading yang mempunyai nilai lebih besar dari 0.35 dimana sampel yang dibutuhkan agar signifikan adalah 250 (Hair et al., 1995). Sampel penelitian ini sendiri adalah lebih dari 250, tepatnya 321 responden. Dalam analisis faktor juga mengaplikasikan KMO (the Kaiser-Meyer-Olkin) untuk mengukur seberapa jauh indikator-indikator suatu konstruk dalam kelompok yang sama. Dengan kata lain, KMO mengukur homogenitas variabel (Sharma, 1996). Sharma juga memberikan rekomendasi bahwa batasan nilai KMO yang memadai untuk penelitian adalah KMO lebih besar atau sama dengan 0.70.

84

Selain analisis faktor, penelitian ini juga menggunakan confirmatory factor analysis (selanjutnya disebut CFA) untuk menguji validitas konstruk. CFA juga merupakan alat uji validitas konstruk yang lebih rigid dibandingkan dengan teknik lainnya (Garver & Mentzer, 1999; Steenkamp & Van Trijp, 1991). CFA juga dapat dipahami sebagai model pengukuran (measurement model) karena CFA fokus pada hubungan antar konstruk dan ukuran (Bagozzi, 1994). Lebih lanjut, dengan mengacu pada Garver dan Mentzer (1999) serta Bagozzi et al. (1992), validitas konstruk pada penelitian ini dinilai dari beberapa cara: (1) reliabilitas, (2) validitas konverjen (convergent validity), (3) validitas diskriminan (discriminant validity), dan (4) validitas kriteria (criterion validity). Validitas konverjen juga merupakan salah satu cara untuk mereduksi common method variance (Podsakoff & Organ, 1986).

3.4 Pengukuran Variabel-variabel dalam TPB dan TT seperti sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan diukur dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung (Ajzen, 2002). Variabel lainnya seperti frekuensi, resensi, dan niat hanya diukur dengan pengukuran langsung. Pengukuran tidak langsung adalah pengukuran yang dikaitkan dengan keyakinan responden. Penelitian ini menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung didasarkan pada keunggulan masing-masing pengukuran. Keunggulan pengukuran langsung adalah konsistensi internal atau reliabilitas yang tinggi dibandingkan dengan pengukuran tidak langsung. Reliabilitas yang lebih rendah pada pengukuran tidak langsung karena keyakinan seseorang dapat menjadi tidak pasti jika orang tersebut yakin bahwa

85

perilakunya dapat memberikan hasil yang negatif dan positif secara bersamaan (Ajzen, 2002, h.8). Akan tetapi, pengukuran tidak langsung memberikan kontribusi pada praktis karena pengukuran tidak langsung dapat mengidentifikasikan keyakinan-keyakinan konsumen dalam menggunakan produk Ponds (Ajzen, 2002;1991; Engel et al., 1995; Aaker et al., 1992; Fishbein & Ajzen, 1975). Dengan kata lain, pengukuran langsung sikap hanya menanyakan apakah konsumen merasa, misalnya: positif atau bijaksana, dalam menggunakan produk Ponds. Sedangkan dengan pengukuran tidak langsung diketahui bahwa dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat memberikan hasil kulit wajah yang lebih putih dan terlihat cerah yang berdampak positif pada peningkatan rasa percaya diri. Hasil keyakinan-keyakinan tersebut disampaikan pada sub bab 4.2.2 (hasil analisis survai kedua). Tabel 3.5 memperlihatkan bahwa hanya sedikit penelitian yang menggunakan dua pengukuran sekaligus, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung, dalam aplikasi TPB (misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Giles & Cairns, 1995; Terry & O’Leary, 1995). Beberapa penelitian hanya menggunakan pengukuran langsung saja (misalnya, Weber & Gillespie, 1999; Chang, 1998; Trafimow & Duran, 1998; Koslowsky, 1993) dan tidak langsung saja (misalnya, Hubres et al., 2001; East, 2000; Kanler & Todd, 1998). Beberapa penelitian lainnya menggunakan gabungan pengukuran langsung dan tidak langsung (misalnya, Maurer & Palmer, 1999; Tkacher & Kolvereid, 1999; Parker et al., 1995; Schifter & Ajzen, 1985). Dengan kata lain, untuk konstruk tertentu (misalnya sikap) diukur dengan pengukuran langsung tetapi konstruk lainnya (misalnya kontrol keperilakuan yang dirasakan) menggunakan pengukuran tidak langsung.

86

Tabel 3.5

Peneliti dan Pengukuran Yang Digunakan

Sumber: diringkaskan dari peneliti-peneliti diatas Hanya Menggunakan Pengukuran Pengukuran Langsung Tidak Langsung Weber & Gillespie, 1999 Chang, 1998 Trafimow & Duran, 1998

Hubres et al ., 2001 East, 2000 Kanler & Todd, 1998

Menggunakan & Memisahkan Pengukuran Langsung & Tidak Langsung

Menggunakan Gabungan Pengukuran Langsung & Tidak Langsung

Giles & Cairns, 1995 Terry & O'Leary, 1995

Maurer & Palmer, 1999 Tkacher & Kolvereid, 1999 Parker et al., 1995

Koslowky, 1993

Schifter & Ajzen, 1985

Ada perbedaan hasil antara pengukuran langsung dan tidak langsung (Engel et al., 1995; Bagozzi, 1981). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi (1981) menunjukkan bahwa pengukuran sikap dengan menggunakan pengukuran tidak langsung lebih baik dibandingkan dengan pengukuran tidak langsung. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh oleh Giles dan Cairns (1995) serta Terry dan O’Leary (1995) menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu pengukuran langsung lebih baik dibandingkan dengan pengukuran tidak langsung. Dengan didasarkan pada keunggulan masing-masing pengukuran, penelitian ini menggunakan dua pengukuran dan telah mencoba kedua pengukuran tersebut pada survai uji coba. Hasil survai uji coba yang baik mendorong penulis untuk menggunakan kedua pengukuran tersebut pada survai aktual.

3.5. Proses Sampling Proses sampling pada penelitian ini meliputi empat tahap yaitu tahap mendefinisikan populasi, mendesain sampel, menentukan jumlah sampel dan melakukan rencana pengambilan sampel (Gambar 3.6.).

87

Gambar 3.6. Proses sampling dalam penelitian ini

Langkah 1

Mendefinisikan populasi : pengguna produk pelembab pemutih Unit analisa : pengguna produk pelembab pemutih merek Ponds Tempat penelitian : Yogyakarta Elemen

Langkah 2

Desain sampel Sampel purposif * 18 - 25 tahun usia min. 18 thn (Sudman, 1983) * mahasiswi * telah menggunakan Ponds min. 6 minggu * domisili Yogyakarta

Langkah 3

Langkah 4

Jumlah sampel N = 321

Pengambilan sampel Waktu penelitian : Febuari 2003 - April 2003 Produk : pelembab pemutih Ponds

Sumber: diadaptasi untuk penelitian ini berdasarkan Malhotra (1999)

Definisi populasi. Pada langkah awal proses sampling dalam penelitian ini adalah mendefinisikan populasi penelitian yang terdiri atas elemen populasi dan unit analisis. Elemen populasi adalah para pemakai produk pelembab pemutih. Lebih lanjut, unit analisis penelitian ini adalah pemakai produk pelembab pemutih merek Ponds.

88

Desain sampel. Sampel purposif diaplikasikan pada penelitian ini. Dengan kata lain, responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah responden yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) mahasiswi yang berumur 18 – 25 tahun, (2) telah menggunakan produk Ponds setidaknya 6 minggu, dan (3) berdomisili di Yogyakarta. Penentuan usia minimal 18 tahun mengacu pada Sudman (1983) yang menyatakan bahwa usia responden untuk penelitian sikap sebaiknya 18 tahun, yaitu usia yang dianggap memasuki kedewasaan untuk dapat bersikap. Ada tiga alasan penggunaan sampel purposif pada penelitian ini. Pertama, penelitian ini menitikberatkan pada pengujian teori (yaitu, TPB dan TT). Dengan demikian, penggunaan responden yang homogen merupakan sampel yang ideal untuk menguji teori (Calder, et al. 1987; Lynch, 1982). Sampel homogen adalah sampel yang ideal karena sampel yang homogen mampu memprediksi dengan lebih tepat dibandingkan sampel yang heterogen. Dengan kata lain, sampel yang heterogen berarti ada banyak perbedaanperbedaan dalam responden yang mengakibatkan prediksi menjadi lebih sulit (Kerlinger & Lee 2000; Calder et al., 1981). Lebih lanjut, sampel yang heterogen merupakan ancaman dalam kesimpulan statistik. Sampel heterogen memungkinkan terjadinya kesalahan Tipe II, yaitu, mengambil kesimpulan bahwa teori tidak dikonfirmasi padahal hubungan teoretikal suatu variabel diganggu dengan adanya beragam data (Calder et al., 1987; Cook & Campbell, 1975). Alasan kedua dalam penggunaan sampel purposif adalah sampel ini mampu mereduksi non-respon (Melnick et al., 1991). Ketiga, biaya untuk sampel purposif cenderung lebih rendah (Sudman & Blair, 1999).

89

Mahasiswi sebagai sampel penelitian. Penelitian ini menggunakan mahasiswi sebagai sampel penelitian. Jastifikasi untuk penggunaan mahasiswi sebagai sampel adalah sebagai berikut. Pertama, mahasiswi mudah mengikuti petunjuk pengisikian kuesioner dibandingkan dengan responden non mahasiswi (Yavas, 1994).Kedua, mahasiswa/i juga lebih kooperatif (Yavas, 1994). Lalu, biaya penelitian dengan menggunakan sampel mahasiswi relatif lebih ringan (Yavas, 1994). Akhirnya, Petty dan Cacioppo (1996) serta Calder et al. (1982) juga menunjukkan bahwa

selama sampel mahasiswa/i relevan

terhadap teori yang digunakan maka sampel mahasiswa dapat digunakan untuk menguji teori.

Penentuan jumlah sampel. Karena formula penentuan jumlah sampel tidak dapat digunakan untuk sampel non-probabilitas maka penentuan jumlah sampel nonprobabilitas biasanya didasarkan pada subjektifitas peneliti atau komparasi terhadap studi-studi terdahulu (Hair et al. , 2000). Pada penelitian ini, penentuan jumlah sampel (N= 321) didasarkan pada komparasi terhadap studi-studi sikap-perilaku terdahulu dimana jumlah sampel minimum adalah 53 orang dan jumlah sampel maksimum adalah 1.194 orang. Jumlah sampel rata-rata pada penelitian sikap dan perilaku yang dirangkumkan pada lampiran A adalah 190 orang (untuk penelitian TPB) dan 212 (untuk penelitian TT). Dengan demikian, jumlah sampel sebesar 321 orang adalah lebih besar dan dapat diperbandingkan (comparable) dengan penelitian sejenis. Penentuan jumlah sampel juga erat kaitannya dengan penggunaan SEM sebagai alat analisis. Tidak ada arahan yang jelas untuk menentukan jumlah sampel yang tepat untuk menggunakan SEM. Misalnya, Hulland et al. (1996) menyatakan bahwa sampel dengan

90

jumlah 100 – 200 merupakan jumlah yang cukup untuk menggunakan SEM. Sedangkan menyatakan

Dengan jumlah sampel sebesar 321 orang maka jumlah ini sesuai dengan

pertimbangan diatas. Lebih lanjut, interval keyakinan (confidence interval) pada penelitian ini adalah 95 persen dengan nilai kritikal z = 1.96 (Hair et al. , 2000).

Pengambilan sampel. Pengambilan data akan dilakukan pada bulan Febuari hingga April 2003. Delapan asisten peneliti membantu pengambilan data.

3.6. Analisis Data Data pada penelitian ini dianalisis melalui tiga tahap: (1) proses pra-analisis, (2) statistik deskriptif dan (3) statistik inferensial (Sekaran, 2000). Proses pra-analisis meliputi memasukan dan membersihkan data. Sedangkan statistik deskriptif yang digunakan adalah frekuensi dan persentase khususnya untuk menggambarkan profil responden dan hasil analisis mengenai pilihan merek. Statistik inferensial pada penelitian ini adalah digunakannya structural equation modeling sebagai teknik menganalisis data.

3.6.1. Proses Pra-Analisis Pada tahap proses pra-analisis, data diperiksa baik oleh assisten penelitian dan oleh peneliti sendiri. Pemeriksaan data ini meliputi kelengkapan jawaban dan profil responden. Kuesioner yang tidak lengkap atau maksimal tidak mengisi lima butir tidak diproses lebih lanjut. Kuesioner yang tidak diisi lengkap berkenaan dengan profil responden juga tidak diproses lebih lanjut. Profil responden, khususnya nama, alamat serta usia responden, adalah penting dalam studi longitudinal. Adanya assistan penelitian

91

mampu membantu meminimalkan kuesioner yang tidak terpakai karena jawaban yang tidak lengkap. Proses pra-analisis pada penelitian ini dimulai dengan memeriksa jawaban yang hilang, outliers, dan normalitas data.

Jawaban yang hilang (missing responses). Kuesioner pada penelitian ini diperiksa dua kali, yaitu oleh asisten penelitian dan peneliti sendiri. Asisten peneliti diminta untuk memeriksa apakah responden sudah mengisi dengan lengkap kuesioner tersebut sebelum diserahkan kepada peneliti. Kemudian, peneliti memeriksa apakah kuesioner telah diisi dengan lengkap. Kuesioner yang diproses lebih lanjut adalah kuesioner yang terisi lengkap dan kuesioner dengan pembatasan maksimal lima jawaban hilang. Jawaban yang hilang pada penelitian ini diperlakukan dengan memberikan nilai netral pada jawaban yang hilang tersebut (Malhotra, 1999). Malhotra menunjukkan bahwa dengan memberikan nilai netral tidak akan mengubah nilai tengah (mean) variabel tersebut. sehingga uji statistik lainnya (misalnya, korelasi) tidak terlalu terpengaruh (Malhotra 1999).

Outliers. Hair et al. (1995) menunjukkan ada empat tipe outliers. Yang pertama adalah outliers yang muncul karena kesalahan dalam memasukan data. Kemudian, tipe yang kedua, adalah outliers yang muncul karena hal-hal yang ekstrim yang dapat dijelaskan. Ketiga, outliers yang muncul karena hal-hal yang ekstrim tetapi tidak dapat dijelaskan. Tipe yang terakhir adalah outliers yang muncul pada saat dikombinasikan dengan variabel lain. Deteksi adanya outliers dalam penelitian ini dimulai dengan menguji distribusi univariat dari setiap variabel. Pengamatan yang berada diluar rentang distribusi dikatakan

92

sebagai outliers. Dengan kata lain, setiap nilai standardized variable yang melebihi 4 adalah outliers (Hair et al., 1995).

Lebih lanjut, multivariate outliers diuji dengan

menggunakan Mahalanobis distance dengan menggunakan p > 0.001 (Hair et al., 1995). Pengujian outliers dilakukan dengan menggunakan program SPSS. Beberapa peneliti (misalnya: Hair et al., 1995; Bagozzi & Baumgartner, 1994; Schmelkin & Pedhazur, 1991) menunjukkan bahwa keputusan apakah outliers dihilangkan atau dipertahankan adalah tidak sekedar untuk membersihkan data. Tetapi, harus juga dipahami sebagai adanya individu-individu (responden) yang unik yang berbeda dengan kebanyakan. Terlebih lagi, penghilangan outliers dapat menyebabkan masalah baru, misalnya outliers yang baru (Schmelkin & Pedhazur, 1991). Oleh karena itu, setelah peneliti yakin dengan memeriksa kembali apakah ada outliers yang muncul karena kesalahan dalam memasukan data maka penelitian ini tetap menggunakan data yang ada. Penelitian ini tidak menghilangkan outliers karena outliers tersebut dapat karena perbedaan nilai yang ekstrim tetapi dari populasi yang sama sebagaimana yang ditunjukkan oleh Hair et al. (1995, h. 60): “But if they do represent a segment of the population, they should be retained to ensure generalisability to the entire population. As outliers are deleted, the analyst is running risk of improving the multivariate analysis but limiting its generalisability.”

Normalitas Data. Asumsi awal dalam menggunakan SEM adalah data mempunyai distribusi normal (Hair et al., 1995).Pada penelitian ini, skewness dan kurtosis dapat saja terdistribusi tidak normal. Distribusi dikatakan normal jika nilai skewness dan adalah sama dengan nol (Tabachnick & Fidell, 1996). Akan tetapi, distribusi normal sulit dicapai pada prakteknya (Joreskog & Sorbom, 1982). Dalam penelitian ini, semua variabel akan diuji pada tingkat univariat and multivariat dengan menggunakan AMOS.

93

3.6.2. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif bertujuan untuk mentransformasi data mentah menjadi suatu bentuk yang dapat memberikan informasi dalam menggambarkan faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini (Sekaran, 2000). Penelitian ini menggunakan alat frekuensi dan persentase untuk menggambarkan profil responden. Lebih lanjut, hubungan antar variabel akan menggunakan uji korelasi.

Analisis korelasi. Koefisien korelasi memperlihatkan kedekatan hubungan asosiasi antara variabel dependen dan independen (Hair et al., 1995). Pada penelitian ini digunakan korelasi Pearson sebagaimana Pearson tepat digunakan jika data penelitian pada skala interval (Aaker et al., 1998).

3.6.3 Analisis Inferensial Pada sub bab ini dibahas mengenai jastifikasi penggunaan SEM, metode estimasi dalam SEM, dan uji χ2/df sebagai berikut.

Jastifikasi SEM. SEM merupakan alat analisis yang sesuai dengan paradigma yang dianut pada penelitian ini, yaitu scientific realism (Bagozzi, 1994). Tidak hanya itu, SEM diaplikasikan pada penelitian ini dengan didasarkan pada tujuh alasan sebagai berikut. Pertama, penelitian ini fokus pada hubungan antar konstruk dalam menguji teori. SEM tepat digunakan karena SEM adalah teknik konfirmasi (Tabachnick & Fidell, 1996) yang didasarkan pada suatu teori (a theory-based approach) (Cheng, 2001; Garver & Mintzer,

94

1999; Bentler & Chou, 1987; Aaker & Bagozzi, 1979). Terlebih lagi, analisis dengan menggunakan SEM meliputi analisis yang berkaitan dengan teori, metodologi, dan statistik (Bagozzi, 1981). Alasan kedua adalah SEM tepat digunakan pada hal-hal yang menyangkut topik keperilakuan (behavioral) yang seringkali kompleks. Dengan kata lain, suatu dependen variabel dapat saja merupakan independen variabel pada hubungan yang lain (Cheng, 2001). Ketiga, kemampuan SEM dalam mengukur hubungan antara variabel laten (variabel yang tidak dapat diobservasi secara langsung) dengan variabel yang dapat diobservasi secara langsung (Hoyle & Oanter, 1995). Keempat, SEM mampu untuk mengontrol kesalahan pengukuran sehingga hubungan antar konstruk dapat diuji tanpa bias (MacKenzie, 2001; Steenkamp & Van Trijp, 1991). Kelima, SEM dapat digunakan untuk menguji variabel intervening (Bagozzi, 1994). Keenam, SEM ideal untuk digunakan dalam menguji dan memperbandingkan teori (Garver & Mentzer, 1999; Sauer & Dick, 1983). Terakhir, SEM dapat menyediakan berbagai uji statistik sehingga dapat menilai suatu ukuran dengan lebih baik jika dibandingkan dengan metode-metode lainnya (MacKenzie, 2001).

Metode estimasi dalam SEM. Ada beberapa metode estimasi yang dapat digunakan dalam SEM. Pada program AMOS, misalnya, ada lima metode estimasi, yaitu: the maximum likelihood (ML), generalized least squares (GLS), unweighted least squares (ULS) and asymptotically distribution free (ADF) (Arbuckle & Wothke, 1999). GLS dan ML

Kemudian, ADF tepat digunakan jika sampel penelitian >1000 (Bryne, 1995).

95

Lebih lanjut, teknik estimasi ULS mempunyai keterbatasan khususnya dalam memberikan beragam uji statistik. Pemilihan teknik estimasi dalam SEM untuk penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa data penelitian ini mengandung outliers dan tidak normal. Dengan demikian, teknik estimasi ML adalah teknik estimasi yang tepat karena ML dapat digunakan walaupun asumsi normalitas tidak terpenuhi (Tabachnick & Fidell, 1996; Hoyle & Panter 1995; Bagozzi & Baumgartner, 1994; Diamantopoulos, 1994). Lebih lanjut, Purwanto (2002) menunjukkan bahwa teknik ML merupakan teknik estimasi yang dapat menahan kritik mengenai ketepatan penggunaan SEM pada data sosial dan perilaku. Akan tetapi, pada data yang tidak normal, uji χ2 dan standard error diragukan ketepatannya (Bagozzi & Baumgartner, 1994). Penggunaan ML pada data yang tidak normal harus disertai dengan χ2 yang telah dikoreksi (Steenkamp & van Trijp, 1991; Bentler & Chou, 1987).

Chi-square test (χ2) and χ2/df. Keterbatasan utama uji χ2 adalah asumsi distribusi normal dan jumlah sampel (Joreskog & Sorbom, 1982). Berkaitan dengan asumsi distribusi normal, Joreskog dan Sorbom menjelaskan bahwa asumsi tersebut sering gagal dilaksanakan dalam prakteknya. Sedangkan berkenaan dengan jumlah sampel, uji χ2 sensitif terhadap jumlah sampel ( Hair et al., 1995; Fredricks & Dossett, 1983; Joreskog & Sorbom, 1982; Fornell & Larcker, 1981; Bentler & Bonett, 1980). Hair et al. (1995) juga menunjukkan bahwa

tepat digunakan bila jumlah sampel berkisar 100 – 200.

Dengan kata lain, jika jumlah sampel lebih besar dari 200 atau kurang dari 100 maka χ2 akan memberikan hasil yang signifikan.

96

Oleh karena keterbatasan utama tersebut, uji χ2 diperbaiki dengan membagi χ2 dengan derajat kebebasan (degrees of freedom, selanjutnya disebut df) untuk mereduksi sensitivitas χ2 terhadap jumlah sampel (Wheaton et al., 1977 dalam Bryne 2001). Tidak ada batasan yang jelas mengenai nilai χ2/df untuk menunjukkan diterima atau tidaknya suatu model. Kelloway (1998) menunjukkan bahwa nilai tersebut sebaiknya kurang dari lima. Peneliti lain, Marsh dan Hocevar (1995, dalam Arbuckle & Worthe, 1999) merekomendasikan nilai dua hingga lima sebagai nilai fit yang cukup beralasan (reasonable fit). Dengan kata lain, nilai yang rendah menunjukkan ‘good fit’ sedangkan nilai lebih dari lima adalah ‘poor fit’. Penelitian ini mengaplikasikan batasan nilai χ2/df kurang dari lima. Tabel 3.6 memperlihatkan cut-off value untuk uji-uji dalam SEM.

97

Tabel 3.6. Cut-off Value Untuk Uji-Uji Dalam SEM Goodness-of-fit

Cut-off value

Referensi

indexs Absolute fit GFI

> 0.90

Kelloway (1998)

AGFI

> 0.90

Hair, dkk (1995) ; Kelloway (1998)

CMIN/DF

>5 2 - 5 (reasonable fit)

Kelloway (1998) Marsh & Hocevar (1985, dalam Arbuckle & Worthe 1999)

RMR

< 0.70

Bagozzi, dkk (1992)

0 (perfect fit)

Hulland, dkk (1996)

<= 0.05 (good fit) 0.05-0.1 (adequate fit) RMSEA

< 0.08 <0.05 (close fit)

Hair, dkk (1995) Baumgartner & Homburg (1996)

0.05 - 0.08 (reasonable fit) Incremental fit NFI

> 0.90

Hair, dkk (1995) ; Tabahnick & Fidell (1996) ; Kelloway (1998)

RFI

> 0.90

Kelloway (1998)

CFI

> 0.90

Tabahnick & Fidell (1996) : good fitting model Bagozzi & Kimmel (1995) : satisfactory - fit

IFI

> 0.90

Kelloway (1998)

Tidak ada cut-off value yang standar.

Hair, dkk (1995)

Parsimonious fit PGFI

Komparasi 2 teori dilakukan dengan melihat nilai PGFI terbesar PNFI

Tidak ada cut-off value yang standar.

Kelloway (1998)

Komparasi 2 teori dilakukan dengan

Hair, dkk (1995)

melihat nilai PNFI terbesar AIC

Tidak ada cut-off value yang standar.

Kelloway (1998)

Komparasi 2 teori dilakukan dengan

Hair, dkk (1995)

melihat nilai AIC terkecil CAIC

Tidak ada cut-off value yang standar. Komparasi 2 teori dilakukan dengan melihat nilai CAIC terkecil

Kelloway (1998)

98

Model pengukuran. CFA dapat dipahami dan disebut juga sebagai model pengukuran karena CFA fokus pada hubungan antar konstruk dan ukuran (Kaplan, 1995; Bagozzi, 1994). Ada dua cara yang dapat digunakan peneliti untuk mengevaluasi validitas model pengukuran (Cheng, 2001). Pertama, model pengukuran dilakukan dengan melakukan uji setiap konstruk secara terpisah. Kedua, pengujian dilakukan dengan memasukkan semua konstruk bersama-sama. Penelitian ini mengaplikasikan pengujian model pengukuran dengan memasukan semua konstruk secara bersama-sama untuk masing-masing teori. Keunggulan dengan cara ini adalah dapat memberikan gambaran bahwa indikatorindikator untuk masing-masing konstruk adalah berbeda. Dengan kata lain, validitas diskriminan tiap ukuran dapat diasumsikan walaupun belum teruji secara statistik (Cheng, 2001). Dalam mengaplikasikan SEM, penelitian ini menggunakan AMOS 4.0 karena keunggulan program tersebut yang mudah digunakan dan kemampuannya untuk mengimpor data dari beragam program lainnya, misalnya data dari program SPSS atau Excel (Arbuckle & Wothke, 1999).

Model struktural. Berdasarkan tinjauan literatur, maka model struktural untuk TPB dan TT diperlihatkan pada Gambar 3.7 dan 3.8 sebagai berikut.

99

Gambar 3.7a Model Struktural TPB

x1

Att H1 res2

res1

x2

SN

H2

Beh

Int

y2

H3a

x3

y1

PBC

H3b

Gambar 3.7b Model Struktural TPB-FR

x5

x4

Frek

Res

H6b H6a

x1

H6c

Att H1 res2

res1

x2

SN

H2

Beh

Int

H3a

x3

PBC

y1

H3b

y2

100

Gambar 3.8 Model Struktural TT

x7

x8

Frek

Res

res1

x1

H12b

ATS H9

ATT x2

H12c

ETS H11

x3

ATF

x4

ETF

y1

Int

H12a

Try

y3

H8

SN x5

res3

res2

H7

y2

ATP

x6

3.7 Simpulan Pada Bab 3 ini telah dijelaskan bagaimana metodologi penelitian diaplikasikan penelitian. Dalam hal metodologi ini, langkah-langkah dalam desain sampel, pengembangan kuesioner, hingga bagaimana pengembangan skala telah dijelaskan dan dijastifikasi. Bab ini juga membahas etika penelitian dalam kaitannya dengan metode survai yang diaplikasikan dalam penelitian ini. Akhirnya, bab ini ditutup dengan pembahasan mengenai reliabilitas dan validitas pengukuran serta metode analisis data.

101

BAB IV ANALISIS DATA

4.1. Pendahuluan Bab sebelumnya telah membahas metodologi penelitian disertasi ini. Pada bab ini disampaikan hasil analisis data. Pembahasan bab ini dimulai dengan hasil analisis survai 1 (4.2.1), survai 2 (4.2.2), survai 3 (4.2.3), profil responden dan tingkat pengembalian kuesioner (4.3), hasil analisis data (4.4), dan diakhiri dengan kesimpulan (4.5) sebagaimana tergambar pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Alur Pembahasan Bab Empat 4.1 Pendahuluan

4.2.1 Hasil analisis survai 1 (survai merek dan jangka waktu pembelian)

4.2.2 Hasil analisis survai 2 (salient beliefs Ponds)

4.2.3 1 Hasil analisis data uji coba survai 3 (consumer decision making) 4.2.3.2 Hasil analisis data aktual

4.3 Hasil analisis data uji coba TPB dan TT

4.4.1 Tingkat pengembalian kuesioner data aktual

4.4.2 Hasil analisis data aktual 4.4.3 Pembahasan atas hasil analisis

4.5 Simpulan

102

4.2.1 Hasil Analisis Survai Pertama (Survai Merek dan Jangka Waktu Pembelian)

Survai ini bertujuan untuk mengetahui merek pelembab pemutih apa yang paling banyak digunakan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami jangka waktu pembelian produk tersebut. Jangka waktu pembelian ini berguna untuk menetapkan rentang waktu antara survai keempat (survai sikap-niat) dan survai kelima (survai perilaku). Adapun informasi lebih lanjut mengenai survai adalah sebagai berikut: Tanggal pelaksanaan : dua hingga empat Mei 2002 Jumlah responden

: 61 orang

Hasil survai menunjukan bahwa merek yang paling banyak digunakan adalah merek Ponds (Gambar 4.2) dan lebih dari separuh responden membeli produk pelembab pemutih setiap satu bulan sekali (Gambar 4.3). Dengan didasarkan pada hasil survai ini, maka merek pelembab pemutih yang digunakan pada penelitian ini adalah merek Ponds. Lebih lanjut, jangka waktu yang digunakan antara survai keempat dan kelima adalah satu setengah bulan karena jumlah responden yang membeli setiap bulan atau antara satu hingga dua bulan tidak terlalu berbeda jauh (Gambar 4.3).

103

Gambar 4.2 Merek-merek yang Pelembab Pemutih Digunakan Responden

1 1

Gizi Hidroquenon

3

Oil of Ulay

1 1

Pixy Extraderm

2

Citra white

1

Merek

Chun Mien

4

L'oreal

1

Avon

6

Nivea white

2

Hazeline snow

3

Revlon

1

Biokos

3 3

Sari Ayu Tull Jie

28

Ponds

0

5

10

15

20

25

30

Jumlah responden Sumber: hasil analisis data

Gambar 4.3 Jangka Waktu Pembelian

34 35 30 25 20 J u m la h re s p o n d e n 1 5 10 5 0

27

0 > = 1 b u la n

1 - 2 b u la n

< 2 b u la n

F r e k u e n s i p e m b e lia n Sumber: hasil analisis data

104

4.2.2 Hasil Analisis Survai Kedua (Survai Salient Beliefs) Survai ini bertujuan untuk mengetahui keyakinan-keyakinan menonjol (salient beliefs) responden membeli dan menggunakan pelembab pemutih merek Ponds. Adapun tanggal pelaksanaan dan jumlah responden adalah sebagai berikut: Tanggal pelaksanaan : 24 Juni – 24 Juli 2002 Jumlah responden

: 131 mahasiswi, 18-25 tahun, domisili di Yogyakarta

Mengacu pada Ajzen dan Fishbein (1980), hasil survai mengenai keyakinankeyakinan tersebut lalu dihitung frekuensi dan persentasenya. Lebih lanjut, keyakinan yang dipilih oleh setidaknya sepuluh persen oleh responden yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan kuesioner keempat (kuesioner sikap-niat). Hasil survai memperlihatkan bahwa keunggulan utama dalam membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds adalah dapat: (1) memutihkan kulit wajah secara nyata, (2) membantu memberikan kesan wajah yang bersih, (3) membantu melindungi kulit wajah dari sinar ultra violet, (4) membantu melembabkan kulit wajah, (5) membantu memberikan kesan wajah yang cerah, (6) membantu meningkatkan rasa percaya diri, dan (7) membantu menghilangkan flek-flek hitam di kulit wajah (Tabel 4.1). Hasil survai ini juga memperlihatkan dua kelemahan dalam membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds, yaitu (1) harus menyisihkan uang agar dapat membeli dan (2) khawatir tidak ada stok di toko (Tabel 4.2).

105

Tabel 4.1

Salient Behavioral Beliefs (advantages)

Membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds bulan depan

Frekuensi

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu memutihkan kulit wajah secara nyata.

78%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu memberikan kesn wajah yang bersih.

39%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu melindungi kulit wajah dari sinar ultra violet.

32%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu melembabkan kulit wajah.

29%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu memberikan kesan wajah yang cerah.

18%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri.

14%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu menghilangkan flek-flek hitam di wajah.

11%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu menjadikan warna kulit wajah menjadi lebih rata.*

7%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu memberikan kesan kulit wajah tidak kusam.*

3%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu memberikan kesan kulit wajah bercahaya.*

2%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu kulit wajah tidak menjadi kering.*

2%

Dengan menggunakan pelembab pemutih Ponds dapat membantu memberikan kesan kulit wajah berseri. *

1%

* tidak digunakan

Tabel 4.2

Salient Behavioral Beliefs (disadvantages)

Membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds bulan depan

Frekuensi

Harus menyisihkan uang agar dapat membeli.

66%

Khawatir tidak ada stok di toko.

27%

106

Hasil survai memperlihatkan bahwa pembelian pelembab Ponds dipengaruhi oleh tiga referensi utama, yaitu: (1) saudara, (2) teman, dan (3) ibu (Tabel 4.3). Selanjutnya, keyakinan akan kontrol responden berkaitan dengan: (1) kemudahan mendapatkan produk dan (2) harga produk yang terjangkau (Tabel 4.4).

Tabel 4.3

Salient Referents Referents

Frekuensi

Saudara (kakak atau adik)

72%

Teman

65%

Ibu

37%

Sales Promotion Girl (SPG)*

9%

Pacar*

5%

Suami*

2%

* tidak digunakan

Tabel 4.4

Salient Control

Membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds bulan depan

Frekuensi

Kemudahan mendapatkan produk.

77%

Harga yang terjangkau.

52%

Penelitian ini mengeksplorasi keyakinan-keyakinan responden terhadap mencoba membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds bulan depan dan berhasil. Hasil analisis memperlihatkan bahwa responden yakin jika dapat membeli dan menggunakan Ponds bulan depan dan berhasil akan: (1) menjadikan mereka tetap percaya diri, (2) kulit

107

muka menjadi lebih putih, (3) tidak takut melakukan aktifitas di bawah sinar matahari, dan (4) kulit muka akan menjadi lebih lembab dan halus (Tabel 4.5).

Tabel 4.5

Mencoba Membeli dan Menggunakan Pelembab Pemutih Ponds bulan depan dan berhasil Keyakinan

Frekuensi

Tetap percaya diri.

71%

Kulit muka menjadi lebih putih.

40%

Tidak takut melakukan aktifitas di bawah sinar matahari.

21%

Kulit muka menjadi lebih lembab dan halus.

17%

Tabel 4.6 memperlihatkan keyakinan-keyakinan responden terhadap mencoba membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds bulan depan dan gagal. Hasil analisis memperlihatkan bahwa responden yakin jika dapat membeli dan menggunakan Ponds bulan depan dan gagal, maka: (1) tidak percaya diri dalam bergaul, (2) takut kulit muka menjadi kusam, (3) takut kulit muka kembali ke warna sebelumnya, (4) takut melakukan aktifitas dibawah sinar matahari, dan (5) takut kulit muka menjadi kering.

Tabel 4.6

Mencoba Membeli dan Menggunakan Pelembab Pemutih Ponds bulan depan dan gagal Keyakinan

Frekuensi

Tidak percaya diri dalam bergaul.

58%

Takut kulit muka menjadi kusam.

23%

Takut kulit muka kembali ke warna sebelumnya.

21%

Takut melakukan aktifitas di bawah sinar matahari.

18%

Takut kulit menjadi kering.

18%

108

Hasil analisis memperlihatkan keyakinan-keyakinan responden terhadap mencoba membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds (Tabel 4.7). Hasil analisis adalah sebagai berikut: (1) kulit muka menjadi lebih putih, (2) kulit muka terlihat lebih cerah, (3) kulit muka terlihat lebih bersih, (4) kulit muka terlihat lebih halus, (5) harus menyisihkan uang karena mahal, dan (6) kulit muka akan terasa pedih pada saat pertama kali pakai.

Tabel 4.7

Mencoba Membeli dan Menggunakan Pelembab Pemutih Ponds bulan depan Keyakinan

Frekuensi

Kulit muka menjadi lebih putih.

56%

Kulit muka terlihat lebih cerah.

22%

Kulit muka terlihat lebih bersih.

18%

Kulit muka terlihat lebih halus.

14%

Harus menyisihkan uang karena harganya mahal.

50%

Kulit muka terasa pedih pada saat pertama kali pakai.

12%

4.2.3 Hasil Analisis Survai Ketiga (Survai Consumer Decision Making) Pengambilan keputusan konsumen (selanjutnya disebut CDM) adalah proses kognitif yang digunakan individu pada saat individu tersebut harus memilih produk, jasa, atau merek. Proses ini dimulai dari disadarinya suatu kebutuhan. Lalu, individu mulai mencari informasi dan menentukan kriteria evaluatif untuk membedakan manfaat yang diberikan oleh satu merek dengan merek lainnya. Akhirnya, individu sampai pada tahap pilihan merek.

109

Tujuan dilakukannya survai CDM adalah didasarkan dua pertimbangan utama. Pertama, kuesioner CDM adalah kuesioner yang berfungsi untuk menyaring calon responden yang menggunakan pelembab Ponds. Dengan kata lain, penelitian ini tidak menanyakan kepada calon responden apakah mereka menggunakan pelembab merek Ponds. Tetapi, calon responden yang menulis pada jawaban merek yang digunakan adalah Ponds yang akan dipertimbangkan sebagai responden penelitian. Nama, alamat, dan usia responden pengguna merek Ponds kemudian dikumpulkan untuk menjadi responden survey keempat dan kelima. Kedua, kuesioner CDM juga dilakukan sesuai dengan judul disertasi ini yaitu memilih satu merek. Konsumen sampai pada pembelian atau pemilihan suatu merek merupakan hasil dari proses pengambilan keputusan. Hasil analisis data CDM disampaikan dua bagian. Pertama, hasil analisis data uji coba (4.2.3.1) yang akan disampaikan terlebih dahulu. Kedua, hasil analisis data aktual disampaikan (4.2.3.2). Hasil analisis data memaparkan reliabilitas, validitas, dan korelasi kuesioner CDM. . 4.2.3.1 Hasil Analisis Survai CDM Uji Coba (Reliabilitas,Validitas, dan Korelasi Variabel CDM)

Reliabilitas. Tabel 4.8 memperlihatkan bahwa nilai corrected item-total correlation butir dalam kuesioner CDM berkisar dari 0.2378 hingga 0.7814. Batasan yang digunakan untuk menghilangkan suatu butir adalah 0.30 (Azwar, 1999). Satu butir, yaitu ev_8 (kemasan produk), mempunyai nilai lebih kecil dari 0.30. Dengan demikian butir tersebut tidak digunakan pada kuesioner selanjutnya.

110

Tabel 4.8 Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α CDM Butir NEED Need_1 (kulit wajah yang putih memberikan kesan wajah bersih) Need_2 (kulit wajah harus terlindungi dari sinar UV) Need_3 (kulit wajah yang putih memberikan kesan cerah) Need_4 (kulit wajah yang putih meningkatkan rasa PD) Need_5 (kulit wajah yang putih memberikan kesan wajah yang halus)

Corrected ItemTotal Correlation 0.6844 0.5440 0.7814 0.6057 0.5920

EXTERNAL Ext_1 (teman) Ext_2 (keluarga) Ext_3 (iklan) Ext_4 (SPG)

0.5220 0.6239 0.3987 0.3785

INTERNAL Int_1 (memori) Int_2 (pengalaman lampau)

0.5757 0.5757

EVALUATIVE CRITERIA Ev_1 (harga) Ev_2 (kemampuan produk untuk memutihkan) Ev_3 (kemampuan produk melindungi kulit) Ev_4 (kemampuan produk melembabkan wajah) Ev_5 (kemampuan produk untuk menghaluskan) Ev_6 (ketersediaan di pasar) Ev_7 (kecocokan dengan kulit) Ev_8 (kemasan produk) Sumber: hasil analisis data

Cronbach α 0.8320

0.6928

0.7133

0.4534 0.5679 0.5672 04546 0.6384 0.3562 0.5307 0.2378

0.7436

Validitas. Setelah kuesioner diperiksa oleh para pembimbing (validitas isi) kemudian kuesioner diberikan kepada responden yang sesuai dengan kriteria responden yang dituju. Lalu, validitas konstruk variabel dalam CDM dilakukan dengan menggunakan analisis faktor. Tabel 4.9 memperlihatkan hasil analisis faktor.

111

Tabel 4.9

Analisis faktor konstruk CDM 1

N eed_1 N eed_2 N eed_3 N eed_4 N eed_5 Ext_1 Ext_2 Ext_3 Ext_4 Int_1 Int_2 Ev_1 Ev_2 Ev_3 Ev_4 Ev_5 Ev_6 Ev_7

C omponent 2 3 0.822 0.548 0.860 0.690 0.767 0.733 0.797 0.428 0.715

4

0.859 0.793 0.622 0.770 0.774 0.519 0.637 0.463 0.624

Sumber: hasil analisis data

KMO = 0.756

Korelasi antar variabel. Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat korelasi antar variabel CDM. Hasil uji korelasi menunjukkan tidak ada hubungan korelasi yang leih besar dari 0.70 (Garver & Mentzer, 1999).

Tabel 4.10 Korelasi Antar Variabel CDM Need External Internal Evaluative Choice

Need External 1 0.287** 1 0.176 0.242* 0.456** 0.393** 0.087 0.250*

** correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) * correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Sumber: hasil analisis data

Internal Evaluative Choice

1 0.265** 0.271**

1 0.202*

1

112

4.2.3.2 Hasil Analisis Survai CDM Survai Aktual (Reliabilitas,Validitas, dan Korelasi Variabel CDM)

Reliabilitas. Butir-butir yang digunakan dalam kuesioner survai aktual merupakan hasil dari survai uji coba. Pembahasan akan dimulai dari dari reliabilitas ukuran yang meliputi: corrected item-total correlation dan Cronbach α (Tabel 4.11), reliabilitas komposit, dan AVE (Tabel 4.17). Hasil analisis pada tabel 4.16 menunjukkan bahwa Cronbach α variabel CDM berkisar dari 0.6465 hingga 0.8595. Sedangkan pada tabel 4.12 memperlihatkan bahwa nilai reliabilitas komposit variabel CDM berkisar dari

0.66

hingga 0,87. Nilai komposit 0.6 hingga 0.8 dikategorikan sebagai nilai komposit yang cukup baik (Bagozzi & Baumgartner, 1994).

Tabel 4.11

Nilai corrected item-to-total correlation dan Cronbach α CDM Butir

NEED Need_1 (kulit wajah yang putih memberikan kesan wajah bersih) Need_2 (kulit wajah harus terlindungi dari sinar UV) Need_3 (kulit wajah yang putih memberikan kesan cerah) Need_4 (kulit wajah yang putih meningkatkan rasa PD) Need_5 (kulit wajah yang putih memberikan kesan wajah yang halus)

Corrected ItemTotal Correlation

Cronbach α 0.8595

0.7094 0.5745 0.7750 0.7082 0.6642

EXTERNAL Ext_1 (teman) Ext_2 (keluarga) Ext_3 (iklan) Ext_4 (SPG)

0.5292 0.4706 0.3765 0.3609

INTERNAL Int_1 (memori) Int_2 (pengalaman lampau)

0.5141 0.5141

0.6465

0.6626

113

EVALUATIVE CRITERIA Ev_1 (harga) Ev_2 (kemampuan produk untuk memutihkan) Ev_3 (kemampuan produk melindungi kulit) Ev_4 (kemampuan produk melembabkan wajah) Ev_5 (kemampuan produk untuk menghaluskan) Ev_6 (ketersediaan di pasar) Ev_7 (kecocokan dengan kulit) Sumber: hasil analisis data

0.4092 0.5663 0.5705 0.5485 0.6611 0.4365 0.5855

0.7941

Tabel 4.12 Reliabilitas Komposit dan AVE (CDM) Konstruk Need External Internal Evaluative

Realibilitas Konstruk 0.87 0.66 0.69 0.81

AVE 0.99 0.96 0.96 1

Sumber: hasil analisis data

Validitas. Hasil analisis faktor diperlihatkan dalam Tabel 4.13. Nilai KMO adalah 0.833 yang berarti indikator-indikator dari setiap konstruk adalah homogen (Sharma, 1996).

Tabel 4.13

Need_1 Need_2 Need_3 Need_4 Need_5 E x t_ 1 E x t_ 2 E x t_ 3 E x t_ 4 In t_ 1 In t_ 2 Ev_1 Ev_2 Ev_3 Ev_4 Ev_5 Ev_6 Ev_7

Analisis faktor konstruk CDM 1 0 .8 3 2 0 .6 7 6 0 .8 7 1 0 .7 9 9 0 .7 7 0

Sumber: hasil analisis data

KMO = 0.833

Component 2 3

4

0 .7 6 5 0 .7 4 5 0 .5 3 4 0 .6 6 3 0 .8 3 2 0 .8 0 0 0 .5 7 8 0 .7 2 4 0 .7 5 2 0 .6 3 2 0 .7 2 6 0 .5 1 1 0 .6 8 0

114

Korelasi. Hasil analisis korelasi pada Tabel 4.14 memperlihatkan bahwa semua nilai signifikan pada p = 0.01.

Tabel 4.14

Korelasi Antar Variabel CDM

N eed E x te rn a l In t e r n a l E v a lu a t iv e C h o ic e

N eed 1 0 .1 9 9 * * 0 .1 3 7 * * 0 .3 1 0 * * 0 .1 6 7 * *

E x te rn a l

In te r n a l

E v a lu a t iv e

C h o ic e

1 0 .2 2 5 ** 0 .3 0 8 ** 0 .2 0 5 **

1 0 .3 9 2 * * 0 .2 7 1 * *

1 0 .2 8 7 * *

1

** correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Sumber: hasil analisis data

4.4.1 Tingkat Pengembalian Kuesioner Survai 4 dan 5 (Survai Sikap – Niat dan Survai Perilaku) Pada Bab 3 sebelumnya telah disampaikan bahwa kuesioner yang digunakan adalah kuesioner yang diisi secara lengkap baik pada bagian mengenai profil responden dan butir-butir yang berkaitan dengan TPB dan TT. Tabel 4.15 memperlihatkan bahwa 321 kuesioner yang dapat digunakan dari 377 kuesioner yang disebarkan. Dengan demikian, tingkat pengembalian kuesioner pada penelitian ini adalah 85.14 persen. Tabel 4.15 memperlihatkan bahwa ada perbedaan jumlah jumlah pada survai 1 dan survai 2

dimana responden berkurang sebanyak 49 responden. Dua faktor utama

berkurangnya jumlah responden disebabkan: (1) responden tidak ditempat pada saat kuesioner kedua diberikan (karena libur dan KKN) dan (2) kuesioner dikembalikan terlambat. Responden yang tidak di tempat tersebut telah dicoba untuk ditemui hingga tiga kali kunjungan.

115

Tabel 4.15

Tingkat Pengembalian Kuesioner Uji coba n(%)

Survai 1 (sikap – niat) n(%)

Survai 2 (perilaku) n(%)

Kuesioner yang dapat Digunakan

100 (91.74%)

377 (95.69%)

321 (85.14%)

Kuesioner yang tidak Dapat digunakan

9 (8.26%)

17 (4.31%)

7 (1.86%)

Kuesioner tidak kembali/ Terlambat dikembalikan

0 (0%)

0 (0%)

49 (13%)

Total kuesioner tersebar

109 (100%)

394 (100%)

377 (100%)

Response rate Sumber: hasil analisis data

91.74%

95.69%

85.14%

Hasil tingkat pengembalian kuesioner penelitian, yaitu sebesar 85.14 persen, merupakan hasil tingkat pengembalian yang baik bila dibandingkan dengan penelitian sejenis (penelitian TPB dan TT). Tabel 4.16 memperlihatkan tingkat pengembalian kuesioner rata-rata adalah 70 persen. Lebih lanjut, mortalitas responden tersebut juga diuji dengan menggunakan t-Test untuk mengetahui apakah ada perbedaan mean usia. Hasil analisis memperlihatkan bahwa perbedaan mean adalah 20.87 dan 21.04 adalah tidak signifikan yang berarti tidak ada perbedaan usia antara responden yang mengikuti kuesioner keempat dan kelima dengan 49 responden yang tidak mengikuti kuesioner kelima (tabel 4.17).

116

Tabel 4.16

Tingkat pengembalian Kuesioner Penelitian TPB dan TT Peneliti

Tingkat Pengembalian Kuesioner 64.30% 48% 87% 52.20% 94.00% 58% 90% 47% 89% 76% 80% 20.40% 82% 20% 90% 96% 92% 80% 70% 90% 33% 90%

Spatz et al. (2003) George (2002) Hrubes et al. (2001) Cordano dan Frieze (2000) Dharmmesta (2000) Sheeran dan Orbell (2000) Dharmmesta dan Khasanah (1999) Corner dan McMillan (1999) Lin et al. (1999) Sheeran dan Orbell (1999) Terry et al. (1999) Chatzisarantis dan Biddle (1998) Orbell et al. (1997) Thompson & Thompson (1996) Bagozzi dan Kimmel (1995) Parker et al. (1995) Terry dan O'Leary (1995) Randall (1994) Sahni (1994) Perugini dan Bagozzi (1992) Randall dan Gibson (1991) Bagozzi dan Warshaw (1990)

Rata-rata Sumber: direkapitulasi dari peneliti-peneliti disebut diatas

Tabel 4.17

70%

Tabel t-Test

T-Test Group Statistics

USIA

RESP_KOD 1.00 2.00

N 321 49

Mean 20.8785 21.0408

Std. Deviation 1.7838 1.7673

Std. Error Mean 9.956E-02 .2525

117

Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances

F USIA Equal varianc assumed Equal varianc not assumed

.035

t-test for Equality of Means

Sig.

t

.852

95% Confidence Interval of the Difference Mean Std. Error Sig. (2-tailed)Difference Difference Lower Upper

df

-.594

368

.553

-.1623

.2733

-.6997

.3750

-.598

63.859

.552

-.1623

.2714

-.7045

.3799

4.3. 2. Profil Responden Distribusi frekuensi digunakan untuk menggambarkan profil responden. Tabel 4.18 memperlihatkan bahwa kebanyakan responden berusia tahun 20 tahun (76 orang = 23,7 persen). Jumlah responden terbesar adalah mahasiswi UGM (116 orang = 36,1 persen). Umumnya responden membeli produk Ponds ukuran 20 ml (133 orang = 41,4 persen) dan ukuran 50 ml (132 orang = 41,1persen). Responden kebanyakan membeli setiap satu setengah bulan (101 orang = 31.5 persen). Lebih lanjut, produk tersebut telah digunakan oleh responden sejak tahun 1999 (66 orang = 20,6 persen) dan hanya lima responden (lima orang = 1,6 persen) yang baru menggunakan produk tersebut di tahun 2003.

Tabel 4.18 usia

Profil Responden

frek (%)

univ

frek (%)

frek.

frek (%)

size

frek (%)

pembelian UGM

awal

frek (%)

pemakaian

18

25 (7.8%)

116 (36.1%)

0.5 bln

7 (2.2%)

20 ml 133 (41.4%)

1995

12 (3.7%)

19

51(15.9%) Janabadra

14 (4.4%)

1 bln

90 (28%)

50 ml 132 (41.1%)

1996

14 (4.4%)

20

76 (23.7%)

UMY

49 (15.3%)

1.5 bln

21

53 (16.5%)

UPN

20 (6.2%)

2 bln

22

53 (16.5%)

Unwama

25 (7.8%)

23

32 (10%)

UTY

19 (5.9%)

24

22 (6.9%)

Lain-lain

78 (24.3%)

25

9 (2.8%)

Sumber: hasil analisis data

1997

29 (9%)

71 (22.1%)

101 (31.5) 70 ml

56 (17.4%)

1998

54 (16.8%)

2.5 bln

6 (1.9%)

1999

66 (20.6%)

3 bln

34 (10.6%)

2000

56 (17.4%)

4 bln

11 (3.4%)

2001

41 (12.8%)

5 bln

1 (0.3%)

2002

44 (13.7%)

2003

5 (1.6%)

118

4.4. Hasil Analisis Data Pada sub bab 4.4 ini akan dipaparkan hasil analisis data. Pertama, hasil analisis data uji coba (4.4.1) yang akan disampaikan terlebih dahulu. Pada bagian ini akan memaparkan reliabilitas dan validitas baik untuk kuesioner CDM dan kuesioner TPB dan TT. Kemudian, hasil korelasi antar variabel CDM, TPB, dan TT disampaikan. Pada bagian kedua (4.4.2) dipaparkan hasil analisis data aktual yang juga meliputi reliabilitas, validitas, dan korelasi antar variabel CDM, TPB, dan TT. Pada bagian ini disampaikan hasil analisis model pengukuran (measurement model) dan model struktural (structural model) TPB dan TT.

4.4.1. Hasil Analisis Data Uji Coba Kuesioner yang diuji-cobakan adalah kuesioner pengambilan keputusan konsumen (CDM), TPB, dan TT. Jumlah kuesioner yang dapat diolah pada survai uji coba adalah 100 dari total 109 kuesioner yang disebar. Hasil analisis data uji coba dipaparkan sebagai berikut. Pertama, reliabilitas, validitas, dan kemudian korelasi antar variabel CDM. Kemudian, reliabilitas, validitas, dan kemudian korelasi antar variabel TPB. Akhirnya, reliabilitas, validitas, dan kemudian korelasi antar variabel TT.

4.4.1.1.Reliabilitas, Validitas, dan Korelasi Variabel TPB Reliabilitas. Nilai corrected item-total correlation untuk masing-masing butir dalam kuesioner TPB, baik pengukuran langsung dan tidak langsung, berkisar dari 0.5112 hingga 0.8527. Lebih lanjut, nilai Cronbach α berkisar 0.7551 hingga 0.9205. Tidak ada

119

butir yang dibuang pada pengukuran langsung (Tabel 4.19). Akan tetapi, dua butir pada pengukuran tidak langsung tidak digunakan untuk proses selanjutnya (Tabel 4.20).

Tabel 4.19 Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α TPB (pengukuran langsung) Butir

Corrected ItemTotal Correlation

ATT Berguna – tidak berguna (att_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_c) Positif – negatif (att_d) Baik – buruk (att_e)

0.7651 0.7535 0.6916 0.8735 0.8248

SN Setuju – tidak setuju (ns_a) Mungkin – tidak mungkin (ns_b)

0.6258 0.6258

PBC Terkontrol – tidak terkontrol (pbc_a) Sulit – tidak sulit (pbc_b) Mungkin – tidak mungkin (pbc_c)

0.6673 0.7887 0.6664

INT Mungkin – tidak mungkin (int_a) Setuju – tidak setuju (int_b)

0.8527 0.8527

Cronbach α 0.9137

0.7683

0.8400

0.9205

Tabel 4.20 Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α TPB (pengukuran tidak langsung) Butir

Corrected ItemTotal Correlation

ATT bexev_a bexev_b bexev_c bexev_d bexev_e bexev_f bexev_g bexev_h bexev_I

0.8072 0.7222 0.7112 0.6771 0.8348 0.7528 0.5112 -0.0943 -0.0329

SN nbxmc_a nbxmc_b nbxmc_c

0.6790 0.7092 0.5641

Cronbach α 0.7902

0.7578

120

PBC pxc_a pxc_b

0.7551 0.6068 0.6068

Sumber: hasil analisis data

Validitas. Analisis faktor digunakan untuk menilai validitas konstruk TPB. Hasil faktor analisis pada tabel 4.21 (pengukuran langsung) dan tabel 4.22 (pengukuran tidak langsung) menunjukkan bahwa semua butir mempunyai nilai loading lebih besar dari 0.70 dengan nilai KMO = 0.813 (pengukuran langsung) dan KMO = 0.861 (pengukuran tidak langsung).

Tabel 4.21 Analisis faktor konstruk TPB (pengukuran langsung)

att_a att_b att_c att_d att_e sn_a sn_b pbc_a pbc_b pbc_c int_a int_b

1 0.802 0.789 0.813 0.889 0.849

KMO = 0.813 Sumber: hasil analisis data

Component 2 3

4

0.789 0.919 0.852 0.884 0.766 0.866 0.844

121

Tabel 4.22

bexev_a bexev_b bexev_c bexev_d bexev_e bexev_f bexev_g nbxmc_a nbxmc_b nbxmc_c pxc_a pxc_b int_a int_b

Analisis Faktor Konstruk TPB (Pengukuran Tidak Langsung) 1 0.867 0.787 0.776 0.804 0.868 0.781 0.743

Component 2 3

4

0.825 0.812 0.825 0.766 0.910 0.912 0.881

KMO = 0.861 Sumber: hasil analisis data

Korelasi antar variabel. Tabel 4.23 memperlihatkan korelasi antar variabel TPB baik dengan pengukuran langsung maupun tidak langsung. Tidak ada nilai korelasi yang melebihi 0.70.

Tabel 4.23

ATT BEXEV SN NBXMC PBC PXA INT

Korelasi Antar Variabel TPB (Pengukuran Langsung dan Tidak Langsung) ATT 1 0.615** 0.474** 0.473** 0.208* 0.266** 0.449**

BEXEV

SN

NBXMC

PBC

PXA

INT

1 0.465** 0.296** 0.393** 0.366** 0.482**

1 0.495** 0.180 0.279** 0.398**

1 0.152 0.305** 0.318**

1 0.305** 0.318**

1 0.545**

1

** correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed)

Sumber: hasil analisis data

122

4.4.1.2 Reliabilitas, Validitas, dan Korelasi Variabel TT

Reliabilitas. Nilai corrected item-total correlation untuk masing-masing butir dalam kuesioner TT (pengukuran langsung dan tidak langsung) berkisar dari 0.5732 hingga 0.8540. Lebih lanjut, nilai Cronbach α berkisar 0.6589 hingga 0.9113. Dari tabel 4.24 (pengukuran langsung) terlihat bahwa tidak ada butir yang harus dihilangkan. Akan tetapi, ada 1 butir yang harus dihilangkan pada pengukuran tidak langsung (Tabel 4.25).

Tabel 4.24

Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α TT (Pengukuran Langsung) Butir

Corrected ItemTotal Correlation

ATT Berguna – tidak berguna (att_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_c) Positif – negatif (att_d) Baik – buruk (att_e)

0.6327 0.7515 0.7951 0.7921 0.8015

ATS Berguna – tidak berguna (att_s_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_s_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_s_c) Positif – negatif (att_s_d) Baik – buruk (att_s_e)

0.7854 0.7321 0.7984 0.8040 0.7978

ATF Berguna – tidak berguna (att_f_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_f_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_f_c) Positif – negatif (att_f_d) Baik – buruk (att_f_e)

0.7548 0.6955 0.8510 0.8540 0.6150

ATP Berguna – tidak berguna (att_p_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_p_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_p_c) Positif – negatif (att_p_d) Baik – buruk (att_p_e)

0.6541 0.7137 0.7574 0.7977 0.7637

Sumber: hasil analisis data

Cronbach α 0.9007

0.9113

0.8992

0.8892

123

Tabel 4.25 Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α TT (Pengukuran Tidak Langsung) Butir BXES BXE_S_A BXE_S_B BXE_S_C BXE_S_D BXE_S_E BXE_S_F

Corrected ItemTotal Correlation

Cronbach α 0.8431

0.7051 0.5939 0.5732 0.6382 0.6327 0.6662 0.9107

BXEF BXE_F_A BXE_F_B BXE_F_C BXE_F_D

0.7841 0.8228 0.8093 0.7875 0.6589

BXEP BXE_P_A BXE_P_B BXE_P_C BXE_P_D BXE_P_E

0.7490 0.8171 0.7255 0.7379 -0.3448

Validitas. Tabel 4.26 (pengukuran langsung) dan 4.27 (pengukuran tidak langsung) memperlihatkan bahwa nilai loading untuk butir-butir pada kuesioner TT. Nilai KMO untuk pengukuran langsung adalah 0.841 dan 0.789 untuk tidak langsung.

124

Tabel 4.26 Analisis Faktor Konstruk TT (Pengukuran Langsung) 1 a tt_ a a tt_ b a tt_ c a tt_ d a tt_ e a tt_ s _ a a tt_ s _ b a tt_ s _ c a tt_ s _ d a tt_ s _ e a tt_ f_ a a tt_ f_ b a tt_ f_ c a tt_ f_ d a tt_ f_ e a tt_ p _ a a tt_ p _ b a tt_ p _ c a tt_ p _ d a tt_ p _ e sn_a sn_b in t_ a in t_ b

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

.6 .6 .7 .8 .8

1 2 7 0 0

2 .5 8 .7 0 .7 8 .8 4 .8 9

C om ponent 3 8 7 8 7 5 0 .7 8 7 0 .7 3 9 0 .7 2 6 0 .7 8 2 0 .7 0 7 0 0 0 0 0

4

.7 .7 .8 .9 .6

5

7 3 8 1 3

6

9 1 6 0 3

9 9 6 7 6 0 .6 7 3 0 .7 9 4 0 .9 1 6 0 .9 3 4

KMO = 0.841 Sumber: hasil analisis data

Tabel 4.27 Analisis Faktor Konstruk TT (Pengukuran Tidak Langsung) 1 bxe_s_a bxe_s_b bxe_s_c bxe_s_d bxe_s_e bxe_s_f bxe_f_a bxe_f_b bxe_f_c bxe_f_d bxe_p_a bxe_p_b bxe_p_c bxe_p_d nbxmc_a nbxmc_b nbxmc_c int_a int_b

Component 3 4 0.669 0.701 0.41 0.777 0.812 0.546 0.872 0.894 0.886 0.859 2

5

0.833 0.852 0.857 0.858

KMO = 0.789 Sumber: hasil analisis data

0.927 0.899 0.937 0.923 0.891

125

Korelasi antar variabel. Nilai koefisien korelasi untuk variabel-variabel dalam TT (pengukuran langsung dan tidak langsung) diperlihatkan dalam tabel 4.28. Tidak ada nilai korelasi yang melebihi 0.70.

Kesimpulan. Kuesioner CDM, TPB, dan TT telah diuji-cobakan sebelum kuesioner tersebut digunakan pada survai aktual. Hasil reliabilitas, validitas, dan korelasi antar variabel CDM, TPB, dan TT telah diperlihatkan pada tabel 4.18 hingga tabel 4.28 yang hasilnya menunjukkan bahwa kuesioner dapat digunakan untuk survai aktual dengan revisi minor. Lebih lanjut, karena hasil analisis data pengukuran langsung dan tidak langsung adalah baik, maka kedua pengukuran tersebut digunakan bersamaan pada survai aktual (Ajzen, 2002).

Tabel 4.28 F

Korelasi Antar Variabel TT R

Att

Ats

Atf

Atp

BXES

Exp_s

BXEF

F

1

R

0.608**

1

Att

0.269**

0.215

1

Ats

0.337**

0.179

.618**

Atf

-0.249*

-0.014 -0.386** -0.413**

Atp

0.173

0.121

0.478** 0.618** -0.399**

BXES

0.275**

0.245*

0.461** 0.628** -0.255** 0.445**

Exp_s

0.188

0.083

0.305** 0.488** -0.256** 0.241** 0.479**

BXEF

-0.129

-0.063

-0.160

-0.236* 0.302**

-0.124

-0.193*

-0.242*

1

Exp_f

-0.177

0.007

-0.176

-0.247* 0.336**

-0.186

-0.161

-0.271**

0.113

BXEP

0.079

0.113

0.362** 0.497**

0.262**

0.191

0.253*

0.354** -0.297** 0.466** 0.300**

0.045

0.002

0.182

0.220**

-0.101 0.332**

0.260**

0.148

0.210*

0.317**

-0.008 0.287** 0.334**

SN NBXMC Int

BXEP

SN

NBXMC

Int

1 1 1 1

-0.194 0.490** 0.666**

** correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) * correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Sumber: hasil analisis data

Exp_f

0.156

1 1

0.349** -0.317** -0.156

1

0.308**

-0.239*

-0.123 0.312**

0.126

-0.123

-0.123

0.145

0.449**

1 1

0.452**

-0.127

-0.240*

0.337

0.389**

0.305**

1

126

4.4.2

Hasil Analisis Data Aktual

Jumlah kuesioner yang diolah pada survai aktual ini adalah 321 untuk kuesioner TPB dan TT. Sama seperti pemaparan pada analisis data sebelumnya, maka hasil analisis data aktual ini akan dimulai dari reliabilitas, validitas, dan korelasi antar variabel TPB (4.4.2.1.). Selanjutnya, dipaparkan reliabilitas, validitas, dan korelasi antar variabel TT (4.4.2.2.).

4.4.2.1. Reliabilitas, Validitas, dan Korelasi Varibel TPB

Reliabilitas. Hasil reliabilitas kuesioner aktual TPB dianalisis dengan melihat nilai itemto-total correlation dan Cronbach α untuk hasil pengukuran langsung diperlihatkan pada Tabel 4.29 dan tidak langsung pada Tabel 4.30. Reliabilitas komposit dan AVE ditampilkan pada Tabel 4.31 sebagai berikut.

Tabel 4.29 Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α TPB (pengukuran langsung) Butir

Corrected ItemTotal Correlation

ATT Berguna – tidak berguna (att_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_c) Positif – negatif (att_d) Baik – buruk (att_e)

0.6385 0.7626 0.7399 0.8025 0.8120

SN Setuju – tidak setuju (ns_a) Mungkin – tidak mungkin (ns_b)

0.5804 0.5804

PBC Terkontrol – tidak terkontrol (pbc_a) Sulit – tidak sulit (pbc_b)

0.5332 0.5485

Cronbach α 0.8971

0.7339

0.7363

127

Mungkin – tidak mungkin (pbc_c)

0.6147

INT Mungkin – tidak mungkin (int_a) Setuju – tidak setuju (int_b) Sumber: hasil analisis data

0.8844 0.7932 0.7932

Tabel 4.30 Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α TPB (pengukuran tidak langsung) Butir

Corrected ItemTotal Correlation

ATT bexev_a bexev_b bexev_c bexev_d bexev_e bexev_f bexev_g

0.6196 0.7679 0.7099 0.5491 0.7764 0.6850 0.5882

SN nbxmc_a nbxmc_b nbxmc_c

0.7360 0.7973 0.7927

PBC pxc_a pxc_b

0.5293 0.5293

Cronbach α 0.8804

0.8709

0.6922

Sumber: hasil analisis data

Tabel 4.31 Reliabilitas Komposit dan AVE (TPB) Konstruk

Realibilitas Konstruk

AVE

0.9136 0.7436 0.7431

0.99 0.88 0.88

0.8846

0.98

0.8855 0.9027 0.9184

0.91 0.78 0.98

Pengukuran langsung ATT (attitude) SN (subjective norm) PBC (perceived behavioral control) INT (intention) Pengukuran tidak langsung BEXEV (attitude) NMXMC (subjective norm) PXC (perceived behavioral control) Sumber: hasil analisis data

128

Validitas. Validitas variabel-variabel TPB dianalisis dengan menggunakan analisis faktor (Tabel 4.32 dan 4.33) dan confirmatory factor analysis (CFA) pada Tabel 4.34. Analisis CFA dilakukan dengan menggunakan AMOS 4.0.

Tabel 4.32

Analisis faktor variabel TPB (pengukuran langsung)

1 0.680 0.798 0.819 0.862 0.882

att_a att_b att_c att_d att_e sn_a sn_b pbc_a pbc_b pbc_c int_a int_b

Component 2 3

4

0.794 0.879 0.811 0.775 0.686 0.887 0.857

KMO = 0.852 Sumber: hasil analisis data

Tabel 4.33

Analisis Faktor Variabel TPB (Pengukuran Tidak Langsung)

bexev_a bexev_b bexev_c bexev_d bexev_e bexev_f bexev_g nbxmc_a nbxmc_b nbxmc_c pxc_a pxc_b int_a int_b

1 0.736 0.79 0.745 0.590 0.802 0.730 0.715

KMO = 0.875 Sumber: hasil analisis data

Component 2 3

4

0.805 0.880 0.868 0.738 0.851 0.902 0.894

129

Tabel 4.34 memperlihatkan hasil analisis CFA terhadap variabel-variabel TPB, baik pengukuran langsung maupun tidak langsung. Hasil pada Tabel memperlihatkan bahwa semua nilai CR lebih besar dari 1,96 yang menunjukkan signifikan pada p = 0,05 (Hox & Bechger, 2003). Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa pengukuran langsung dan tidak langsung memberikan hasil yang baik.

Tabel 4.34

Confirmatory Factor Analysis TPB (Pengukuran Langsung dan Tidak Langsung)

Pengukuran langsung Path Standardized Regression Weight att_a <-- Att 0.679 att_b <-- Att 0.799 att_c <-- Att 0.780 att_d <-- Att 0.877 att_e <-- Att 0.884

CR

12.899 12.635 13.948 14.033

sn_a <-- SN sn_b <-- SN

0.852 0.681

8.296

pbc_a <-- PBC pbc_b <-- PBC pbc_c <-- PBC

0.601 0.636 0.852

8.745 9.711

int_a <-- Int int_b <-- Int Absolute fit:

0.878 0.903

16.830

GFI : 0.939 (good fit ) AGFI : 0.901(good fit ) CMIN/DF : 2.630 (reasonable fit ) RMR : 0.044 (good fit ) RMSEA : 0.071 (reasonable fit ) Sumber: hasil analisis data

Pengukuran tidak langsung Path Standardized Regression Weight bexev_a <-- bexev 0.667 bexev_b <-- bexev 0.834 bexev_c <-- bexev 0.767 bexev_d <-- bexev 0.598 bexev_e <-- bexev 0.839 bexev_f <-- bexev 0.736 bexev_g <-- bexev 0.610

12.914 12.069 9.699 12.976 11.645 9.868

nbxmc_a <-- nbxmc nbxmc_b <-- nbxmc nbxmc_c <-- nbxmc

0.828 0.883 0.795

17.155 15.651

pxc_a <-- pxc pxc_b <-- pxc

0.807 0.656

9.192

int_a <-- Int int_b <-- Int Absolute fit:

0.881 0.900

13.449

GFI : 0.945 (good fit ) AGFI : 0.918 (good fit ) CMIN/DF : 1.834 (good fit ) RMR : 0.330 (poor fit ) RMSEA : 0.051 (reasonable fit )

CR

130

Korelasi. Hasil analisis korelasi pada Tabel 4.35 memperlihatkan nilai korelasi antar variabel TPB, baik pengukuran langsung maupun tidak langsung. Tabel 4.35

ATT BEXEV SN NBXMC PBC PXA INT BEH

Korelasi Antar Variabel TPB – Survai Aktual (Pengukuran Langsung dan Tidak Langsung) ATT 1 0.610** 0.448** 0.361** 0.311** 0.394** 0.409** 0.133*

BEXEV

SN

NBXMC

PBC

PXA

INT

BEH

1 0.473** 0.423** 0.305** 0.479** 0.411** 0.049

1 0.499** 0.158** 0.312** 0.397** 0.038

1 0.240** 0.437** 0.315** 0.014

1 0.365** 0.428** -0.022

1 0.457** 0.056

1 0.109

1

** correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) Sumber: hasil analisis data

4.4.2.2. Reliabilitas, Valididtas, dan Korelasi Variabel TT

Reliabilitas. Tabel 4.36 sampai 4.38 memperlihatkan nilai item-to-total correlation, Cronbach α, reliabilitas komposit, dan AVE baik untuk pengukuran langsung maupun tidak langsung. Tabel 4.36 Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α TT (Pengukuran Langsung) Butir

Corrected ItemTotal Correlation

Cronbach α 0.8975

ATT Berguna – tidak berguna (att_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_c) Positif – negatif (att_d) Baik – buruk (att_e)

0.7016 0.7187 0.7225 0.8073 0.7848

ATS Berguna – tidak berguna (att_s_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_s_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_s_c) Positif – negatif (att_s_d) Baik – buruk (att_s_e)

0.7232 0.7368 0.6574 0.7684 0.7777

ATF Berguna – tidak berguna (att_f_a)

0.7368

0.8897

0.9227

131

Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_f_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_f_c) Positif – negatif (att_f_d) Baik – buruk (att_f_e)

0.7397 0.8300 0.8499 0.8121

ATP Berguna – tidak berguna (att_p_a) Menyenangkan – tidak menyenangkan (att_p_b) Bijaksana – tidak bijaksana (att_p_c) Positif – negatif (att_p_d) Baik – buruk (att_p_e)

0.6949 0.7927 0.7408 0.7984 0.8009

SN Setuju – tidak setuju (ns_a) Mungkin – tidak mungkin (ns_b)

0.5804 0.5804

INT Mungkin – tidak mungkin (int_a) Setuju – tidak setuju (int_b)

0.7932 0.7932

0.9059

0.7339

0.8844

Sumber: hasil analisis data

Tabel 4.37 Nilai corrected item-total correlation dan Cronbach α TT (Pengukuran Tidak Langsung) Butir BXES BXE_S_A BXE_S_B BXE_S_C BXE_S_D BXE_S_E BXE_S_F

Corrected ItemTotal Correlation

Cronbach α 0.8532

0.6479 0.6574 0.5463 0.7260 0.6966 0.5885 0.8962

BXEF BXE_F_A BXE_F_B BXE_F_C BXE_F_D

0.7349 0.8120 0.8071 0.7352 0.9221

BXEP BXE_P_A BXE_P_B BXE_P_C BXE_P_D

0.7714 0.8788 0.8727 0.7652

SN NBXMC_A NBXMC_B NBXMC_C

0.7360 0.7973 0.7927

0.8709

132

PBC PXC_A 0.5293 PXC_B 0.5293 Sumber: hasil analisis data

Tabel 4.38

0.6922

Reliabilitas Komposit dan AVE (TT) Konstruk

Realibilitas Konstruk

AVE

0.8989 0.8938 0.9240 0.9084 0.7396 0.8851

0.9927 0.9616 0.9888 0.9915 0.8967 0.9808

0.8580 0.8993 0.9250 0.8740 0.8851

0.9285 0.8239 0.9222 0.7672 0.9785

Pengukuran langsung ATT (attitude toward trying) ATS (attitude toward success) ATF (attitude toward fail) ATP (attitude toward process) SN (subjective norm) INT (intention) Pengukuran tidak langsung BXE_S (attitude toward success) BXE_F (attitude toward fail) BXE_P (attitude toward process) NBXMC (subjective norm) INT (intention) Sumber: hasil analisis data

Hasil analisis CFA terhadap variabel-variabel TT diperlihatkan pada Tabel 4.39 di bawah ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa CR lebih besar dari 1.96 yang mengindikasi semua loading adalah signifikan.

133

Tabel 4.39 Confirmatory Factor Analisis TT (pengukuran langsung dan tidak langsung) Pengukuran langsung Standardized Regression Weight att_a <-- Att 0.740 att_b <-- Att 0.758 att_c <-- Att 0.769 att_d <-- Att 0.874 att_e <-- Att 0.853

13.560 13.780 15.800 15.415

att_s_a <-- Ats att_s_b <-- Ats att_s_c <-- Ats att_s_d <-- Ats att_s_e <-- Ats

0.768 0.778 0.690 0.836 0.858

14.550 12.669 15.842 16.331

att_f_a <-- Atf att_f_b <-- Atf att_f_c <-- Atf att_f_d <-- Atf att_f_e <-- Atf

0.807 0.765 0.870 0.905 0.856

15.343 18.341 19.386 17.916

att_p_a <-- Atp att_p_b <-- Atp att_p_c <-- Atp att_p_d <-- Atp att_p_e <-- Atp

0.733 0.832 0.794 0.863 0.851

14.877 14.161 15.474 15.235

sn_a <-- SN sn_b <-- SN

0.824 0.704

8.979

int_a <-- Int int_b <-- Int Absolute fit:

0.852 0.931

12.890

Path

GFI : 0.854 (reasonable fit ) AGFI : 0.815 (reasonable fit ) CMIN/DF : 2.620 (reasonable fit ) RMR : 0.035 (good fit ) RMSEA : 0.071 (reasonable fit ) Sumber: hasil analisis data

CR

Pengukuran tidak langsung Path Standardized Regression Weight bxe_s_a <-- bxes 0.712 bxe_s_b <-- bxes 0.763 bxe_s_c <-- bxes 0.551 bxe_s_d <-- bxes 0.820 bxe_s_e <-- bxes 0.783 bxe_s_f <-- bxes 0.599

12.680 9.242 13.531 12.983 10.025

bxe_f_a <-- bxef bxe_f_b <-- bxef bxe_f_c <-- bxef bxe_f_d <-- bxef

0.793 0.874 0.864 0.791

17.166 16.955 15.220

bxe_p_a <-- bxef bxe_p_b <-- bxef bxe_p_c <-- bxef bxe_p_d <-- bxef

0.808 0.934 0.926 0.802

20.721 20.468 16.572

nbxmc_a <-- nbxmc nbxmc_b <-- nbxmc nbxmc_c <-- nbxmc

0.812 0.900 0.793

16.890 15.380

int_a <-- Int int_b <-- Int

0.836 0.949

10.864

Absolute fit: GFI : 0.913 (good fit ) AGFI : 0.884 (reasonable fit ) CMIN/DF : 2.161 (reasonable fit ) RMR : 0.283 (poor fit ) RMSEA : 0.060 (reasonable fit )

CR

134

Korelasi. Korelasi antar variabel TT baik pengukuran langsung dan tidak langsung diperlihatkan pada Tabel 4.40. Tidak ada nilai korelasi yang melebihi 0.70.

Tabel 4.40

Korelasi Antar Variabel TT – Survai Aktual (Pengukuran Langsung dan Tidak Langsung)

F

R

Att

Ats

Atf

F

1

R

0.583**

Att

0.173** 0.202**

Ats

0.124* 0.185** .690**

Atf

-0.083

-0.097 -0.390** -0.407**

Atp

0.042

0.153** 0.674** 0.694** -0.398**

Atp

BXES

Exp_s

BXEF

SN

NBXMC

B

1 1 1

Exp_s

0.184** 0.187** 0.429** 0.444** -0.167** 0.408** 0.445**

BXEF

-0.108 -0.132* -0.171** -0.253** .244** -0.250** -0.224** -0.080*

Exp_f

-0.112* -0.137* -0.253** -0.306** .292** -0.342** -0.294** -0.259** 0.093

1 1 1 1

0.126* 0.383** 0.463** -0.247** 0.500** 0.617** 0.415** -0.248** -0.300**

1

SN

0.183** 0.212** 0.401** 0.410** -0.253** 0.464** 0.311** 0.317** -0.151** -0.180** 0.387**

1

NBXMC

0.132* 0.205** 0.297** 0.352** -0.205** 0.366** 0.315** 0.265** -0.077 -0.176** 0.410**

0.496**

1

0.254** 0.262** 0.382** 0.405** -0.218** 0.406** 0.363** 0.403** -0.111* -0.184** 0.304** 0.121* 0.084 0.105 0.068 -0.068 0.160** 0.07 0.148** -0.032 -0.095 0.01

0.399** 0.041

0.316** 0.012

Int B

Int

1

0.146** 0.171** 0.506** 0.549** -0.294** 0.446**

0.054

BXEP

1

BXES

BXEP

Exp_f

1 0.108

1

** correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) * correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)

Sumber: hasil analisis data

4.4.2.3. Model Struktural dan Pengujian Hipotesis Pada bagian ini dipaparkan hasil pengujian hipotesis yang telah dibangun dalam Bab 2. Hipotesis dikatakan didukung atau tidak didukung dengan melihat nilai critical ratio (selanjutnya disebut CR). Lebih lanjut, CR lebih besar dari 1.96 mengindikasikan signifikansi pada p = 0.05 (Hox & Bechger, 2003). Hasil pengujian hipotesis disampaikan lebih dahulu dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung. Kemudian, posisi yang diambil penulis untuk menentukan diterima atau ditolaknya suatu hipotesis adalah dengan menggunakan pengukuran langsung dengan keunggulan pengukuran tersebut, yaitu: keakuratan dan keandalan pengukuran tersebut dibandingkan dengan pengukuran tidak langsung (Ajzen, 2002, h.8). Hipotesis satu

135

sampai hipotesis enam berkaitan dengan TPB dan hipotesis tujuh sampai hipotesis duabelas berkaitan dengan TT. Tabel 4.41 memperlihatkan hasil model struktural untuk pengujian hipotesis TPB dengan menggunakan pengukuran langsung. Selanjutnya, Tabel 4.42 memperlihatkan hasil model struktural TPB dengan menggunakan pengukuran tidak langsung. Berdasarkan hasil model struktural tersebut maka hasil pengujian hipotesis 1 hingga 6 disampaikan.

Tabel 4.41 Estimasi parameter untuk jalur struktural TPB (pengukuran langsung) Hipotesis

Path

Standardized regresion weight

CR

Absolute fit

Parsimonius fit

H1 H2 H3a H3b H4

int <-- att int <-- sn int <-- pbc behavior <-- pbc behavior <-- int

0.076 0.258 0.566 -0.114 0.195

1.138* 3.582 7.308 -1.183* 2.123

GFI = 0.940 (gf) AGFI = 0.906 (gf) CMIN/DF = 2.355 (rf) RMR = 0.055 (rf) RMSEA = 0.065 (rf)

PGFI = 0.599 PNFI = 0.695 AIC = 202.615 CAIC = 360.073

H6a H6b H6c

int <-- frequenc behavior <-- frequenc behavior <-- recency

0.157 0.085 0.004

3.343 GFI = 0.944 (gf) 1.218* AGFI = 0.910 (gf) 0.051* CMIN/DF = 1.971 (gf) RMR = 0.050 (rf) RMSEA = 0.055 (rf)

PGFI = 0.590 PNFI = 0.668 AIC = 237.851 CAIC = 452.565

Keterangan: gf = good fit ; rf = resonable fit ; pf = poor fit * tidak signifikan Sumber: hasil analisis data

Hipotesis 1: Sikap memilih merek mempengaruhi niat memilih merek. Hasil : hipotesis tidak didukung (pengukuran langsung) dan didukung (pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.076 dengan CR = 1.138 (tidak signifikan) untuk pengukuran langsung

136

standardized regression weight = 0.180 dengan CR = 2.275 (signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Tabel 4.42 Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TPB (Pengukuran Tidak Langsung) Hipotesis

Path

Standardized regresion weight

CR

Absolute fit

Parsimonius fit

H1 H2 H3a H3b H4

int <-- att int <-- sn int <-- pbc behavior <-- pbc behavior <-- int

0.180 0.024 0.451 -0.006 0.119

2.275 0.326* 4.237 -0.073* 1.508*

GFI = 0.943(gf) AGFI = 0.918 (gf) CMIN/DF = 1.735 (gf) RMR = 0.315 (pf) RMSEA = 0.048 (gf)

PGFI = 0.653 PNFI = 0.743 AIC = 218.004 CAIC = 394.548

H6a H6b H6c

int <-- frequenc behavior <-- frequenc behavior <-- recency

0.168 0.093 0.007

3.210 GFI = 0.940 (gf) 1.345* AGFI = 0.912 (gf) 0.103* CMIN/DF = 1.664 (gf) RMR = 0.286 (pf) RMSEA = 0.046 (gf)

PGFI = 0.639 PNFI = 0.713 AIC = 271.075 CAIC =504.876

Keterangan: gf = good fit ; rf = reasonable fit ; pf = poor fit * tidak signifikan Sumber: hasil analisis data

Hipotesis 2: Norma subyektif mempengaruhi niat memilih merek. Hasil : hipotesis didukung (pengukuran langsung) dan tidak didukung (pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.258 dengan CR = 3.582 (signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.024 dengan CR = 0.326 (tidak signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

137

Hipotesis 3a: Kontrol keperilakuan yang dirasakan mempengaruhi niat memilih merek. Hasil : hipotesis didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.566 dengan CR = 7.308 (signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.451 dengan CR = 4.237 (signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 3b: Kontrol keperilakuan yang dirasakan mempengaruhi perilaku memilih merek. Hasil : hipotesis tidak didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = -0.114 dengan CR = -1.183 (tidak signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = -0.06 dengan CR = -0.073 (tidak signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 4: Niat memilih merek mempengaruhi perilaku memilih merek. Hasil : hipotesis didukung (pengukuran langsung) dan tidak didukung (pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.195 dengan CR = 2.123 (signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.119 dengan CR = 1.508 (tidak signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

138

Hipotesis 5: Norma subyektif mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan sikap memilih merek dan kontrol keperilakuan yang dirasakan terhadap niat memilih merek. Hasil : hipotesis tidak didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight norma subyektif

(0.258)

>

standardized

regression weight sikap (0.076) tetapi norma subyektif < kontrol keperilakuan yang dirasakan (0.566) untuk pengukuran langsung standardized regression weight norma subyektif

(0.024)

<

standardized

regression weight sikap (0.180) dan kontrol keperilakuan yang dirasakan (0.451) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 6a: Frekuensi mempengaruhi niat memilih merek. Hasil : hipotesis didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.157 dengan CR = 3.343 (signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.168 dengan CR = 3.210 (signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 6b: Frekuensi mempengaruhi perilaku memilih merek. Hasil : hipotesis tidak didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.085 dengan CR = 1.218 (tidak signifikan) untuk pengukuran langsung

139

standardized regression weight = 0.093 dengan CR = 1.345 (tidak signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 6c: Resensi mempengaruhi perilaku memilih merek. Hasil : hipotesis tidak didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.004 dengan CR = 0.051 (tidak signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.007 dengan CR = 0.103 (tidak signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Tabel 3.43 (pengukuran langsung) dan Tabel 3.44 (pengukuran tidak langsung) memperlihatkan hasil model struktural untuk pengujian hipotesis 7 sampai hipotesis 12 yang berkaitan dengan theory of trying.

Tabel 4.43 Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TT (Pengukuran Langsung) Hipotesis

Path

Standardized regresion weight

CR

H7 H8 H9 H12a H12b H12c

int <-- att int <-- sn int <-- frequenc behavior <-- int behavior <-- frequenc behavior <-- recency

0.246 0.273 0.163 0.082 0.096 0.007

4.696 5.147 3.269 1.432* 1.393* 0.102*

Absolute fit

GFI = 0.970 (gf) AGFI = 0.888 (rf) CMIN/DF = 3.773 (rf) RMR = 0.133 (pf) RMSEA = 0.093 (pf)

Keterangan: gf = good fit; rf = reasonable fit ; pf = poor fit * tidak signifikan Sumber: hasil analisis data

Parsimonius fit

PGFI = 0.259 PNFI = 0.317 AIC = 111.274 CAIC = 268.732

140

Hipotesis 7: Sikap mencoba memilih merek mempengaruhi niat mencoba memilih merek. Hasil : hipotesis diterima (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.246 dengan CR = 4.696 (signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.292 dengan CR = 5.726 (signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Tabel 4.44 Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TT (Pengukuran Tidak Langsung) Hipotesis

Path

Standardized regresion weight

CR

H7 H8 H9 H12a H12b H12c

int <-- att int <-- sn int <-- frequenc behavior <-- int behavior <-- frequenc behavior <-- recency

0.292 0.208 0.178 0.081 0.096 0.007

5.726 4.065 3.533 1.429* 1.391* 0.102*

Absolute fit

GFI = 0.976 (gf) AGFI = 0.910 (gf) CMIN/DF = 3.016 (rf) RMR = 0.155 (pf) RMSEA = 0.079 (rf)

Parsimonius fit

PGFI = 0.260 PNFI = 0.315 AIC = 102.186 CAIC = 259.644

Keterangan: gf = good fit ; rf = reasonable fit ; pf = poor fit * tidak signifikan Sumber: hasil analisis data

Hipotesis 8: Norma subyektif mempengaruhi niat mencoba memilih merek. Hasil : hipotesis diterima (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.273 dengan CR = 5.147 (signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.208 dengan CR = 4.065 (signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

141

Hipotesis 9: Frekuensi mempengaruhi niat mencoba memilih merek. Hasil : hipotesis diterima (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.163 dengan CR = 3.269 (signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.178 dengan CR = 3.533 (signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 10: Norma sosial mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan sikap mencoba memilih merek dan frekuensi mencoba lampau terhadap niat mencoba memilih merek. Hasil : hipotesis didukung (pengukuran langsung) dan ditolak (pengukuran tidak langsung) standardized regression weight norma sosial (0.273)

>

standardized regression

weight sikap (0.246) dan frekuensi mencoba lampau (0.163) untuk pengukuran langsung standardized regression weight norma sosial (0.208) < standardized regression weight sikap (0.292) tetapi norma sosial < frekuensi mencoba lampau (0.178) untuk pengukuran tidak langsung

Tabel 4.45 memperlihatkan hasil estimasi parameter untuk variabel sikap (baik untuk pengukuran langsung dan tidak langsung) untuk pengujian hipotesis 11 yang berbunyi: “Sikap terhadap sukses dan harapan akan sukses, sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal, dan sikap terhadap proses mempengaruhi sikap mencoba memilih merek.”

142

Tabel 4.45

Estimasi Parameter untuk Variabel Sikap (Pengukuran Langsung dan Tidak Langsung) Path

Standardized regresion weight

CR

pengukuran langsung Att <-- atsxexp 0.246 Att <-- atfxexp 0.273 Att <-- Atp 0.163 pengukuran tidak langsung

7.830 0.997* 7.573

Att <-- bxesxexp Att <-- bxefxexp Att <-- bxep

8.349 1.446* 1.098*

0.491 0.071 0.065

Keterangan: * tidak signifikan Sumber: hasil analisis data

Hipotesis 11: Sikap terhadap sukses dan harapan akan sukses, sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal, dan sikap terhadap proses mempengaruhi sikap mencoba memilih merek. Hasil : hipotesis didukung, kecuali sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal (Atfexp) untuk pengukuran langsung hipotesis didukung, kecuali sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal (bxefxexp) dan sikap terhadap proses (bxep) untuk pengukuran tidak langsung

Pengujian hipotesis 12 disampaikan dengan didasarkan pada hasil model struktural pada Tabel 4.43 dam 4.44 yang telah ditampilkan sebelumnya. Tabel tersebut diringkaskan kembali (Tabel 4.46) untuk memudahkan penyampaian hasil pengujian.

143

Tabel 4.46

Estimasi Parameter untuk Jalur Struktural TT untuk hipotesis 12 (Pengukuran Langsung dan Tidak Langsung)

Hipotesis

Path

Standardized Regression weight

CR

Pengukuran langsung H12a H12b H12c

behavior Å int behavior Å frequenc behavior Å recency

0.082 0.096 0.007

1.432* 1.393* 0.102*

0.082 0.096 0.007

1.429* 1.391* 0.102*

Pengukuran tidak langsung H12a H12b H12c

behavior Å int behavior Å frequenc behavior Å recency

Keterangan: * tidak signifikan Sumber: hasil analisis data

Hipotesis 12a: Niat mencoba memilih merek mempengaruhi perilaku mencoba memilih merek. Hasil: hipotesis tidak didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.082 dengan CR = 1.432 (tidak signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.081 dengan CR = 1.429 (tidak signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 12b: Frekuensi mencoba memilih merek mempengaruhi perilaku mencoba memilih merek. Hasil: hipotesis tidak didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung)

144

standardized regression weight = 0.096 dengan CR = 1.393 (tidak signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.096 dengan CR = 1.391 (tidak signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 12c: Resensi mencoba memilih merek mempengaruhi perilaku mencoba memilih merek. Hasil: hipotesis tidak didukung (pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung) standardized regression weight = 0.007 dengan CR = 0.102 (tidak signifikan) untuk pengukuran langsung standardized regression weight = 0.007 dengan CR = 0.102 (tidak signifikan) untuk pengukuran tidak langsung

Hipotesis 13 berkaitan dengan teori mana yang lebih mampu menjelaskan niat dan perilaku memilih merek. Tabel 4.47 memperlihatkan hasil model struktural TPB dan TT sebagai berikut.

Tabel 4.47 Hasil Komparasi TPB dan TT Peng ukuran lang sung T heo ry o f T heo ry o f p lanned T rying b ehavio r GFI CFI PG F I PN F I AIC C AIC

Sumber: hasil analisis data

0.940 0.961 0.599 0.695 202.615 360.073

0.970 0.962 0.259 0.317 111.274 268.732

Peng ukuran tid ak lang sung T heo ry o f T heo ry o f p lanned T rying b ehavio r GFI CFI PG F I PN F I AIC C AIC

0.943 0.973 0.653 0.743 218.004 394.548

0.976 0.960 0.260 0.315 102.186 259.644

145

Hipotesis 13: Theory of trying lebih mampu memprediksi fenomena memilih satu merek dibandingkan dengan theory of planned behavior. Hasil: hipotesis didukung (pengukuran langsung dan tidak langsung). Tabel 4.47 memperlihatkan hasil yang bahwa theory of trying mempunyai nilai uji-uji statistik yang lebih dibandingkan dengan theory of planned behavior baik untuk pengukuran langsung dan tidak langsung. Lebih lanjut, hasil analisis memperlihatkan bahwa theory of trying unggul pada uji statistik GFI, CFI, AIC, dan CAIC untuk pengukuran langsung. Sedangkan untuk pengukuran tidak langsung, theory of trying unggul pada GFI, AIC, dan CAIC. Hasil pengujian hipotesis diringkaskan dalam Tabel 4.48. Tabel tersebut memperlihatkan adanya hasil pengujian hipotesis yang berbeda sebagai hasil perbedaan pengukuran yang digunakan, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung. Akan tetapi, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, posisi yang diambil penulis untuk menentukan suatu hipotesis diterima atau ditolak didasarkan pada pengukuran langsung (Tabel 4.49).

146

Tabel 4.48

Hasil Pengujian Hipotesis Hipotesis

Theory of planned behavior H1 (pengaruh sikap terhadap niat) H2 (pengaruh norma subyektif terhadap niat) H3a (pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan terhadap niat) H3b (pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan terhadap perilaku) H4 (pengaruh niat terhadap perilaku) H5 (noma subyektif mempunyai pengaruh yang dibandingkan dengan sikap dan kontrol keperilakuan yang dirasakan) H6a (pengaruh frekuensi terhadap niat) H6b (pengaruh frekuensi terhadap perilaku) H6c (pengaruh resensi terhadap perilaku) Theory of trying H7 (pengaruh sikap terhadap niat) H8 (pengaruh norma subyektif terhadap niat H9 (pengaruh frekuensi terhadap niat) H10 (norma sosial mempunyai pengaruh yang dibandingkan dengan sikap dan frekuensi terhadap niat mencoba memilih) H11 (pengaruh sikap terhadap sukses dan harapan akan (AsEs), sikap terhadap gagal dan harapan (AfEf), sikap terhadap gagal dan harapan dan sikap terhadap proses (Ap) pada sikap mencoba memilih (At). H12a (pengaruh niat terhadap perilaku mencoba memilih) H12b (pengaruh frekuensi terhadap perilaku mencoba memilih) H12c (pengaruh resensi terhadap perilaku mencoba memilih) Theory of planned behavior dan theory of trying H13 (Theory of trying lebih mampu memprediksi fenomena memilih merek dibandingkan dengan theory of planned behavior)

Sumber: hasil analisis data

Hasil Pengukuran Pengukuran langsung tidak langsung ditolak didukung didukung

didukung ditolak didukung

ditolak

ditolak

didukung ditolak

ditolak ditolak

didukung ditolak ditolak

didukung ditolak ditolak

didukung didukung didukung didukung

didukung didukung didukung ditolak

didukung (kecuali AfEf)

didukung (kecuali AfEf dan Ap)

ditolak ditolak

ditolak ditolak

ditolak

ditolak

didukung

didukung sebagian

147

Tabel 4.49

Hasil Pengujian Hipotesis (Akhir)

Hipotesis

Theory of planned behavior H1 (pengaruh sikap terhadap niat) H2 (pengaruh norma subyektif terhadap niat) H3a (pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan Terhadap niat) H3b (pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan Terhadap perilaku) H4 (pengaruh niat terhadap perilaku) H5 (norma subyektif mempunyai pengaruh yang lebih besar Dibandingkan dengan sikap dan kontrol Keperilakuan yang dirasakan) H6a (pengaruh frekuensi terhadap niat) H6b (pengaruh frekuensi terhadap perilaku) H6c (pengaruh resensi terhadap perilaku) Theory of trying H7 (pengaruh sikap terhadap niat) H8 (pengaruh norma subyektif terhadap niat H9 (pengaruh frekuensi terhadap niat) H10 (norma sosial mempunyai pengaruh yang lebih besar Dibandingkan dengan sikap dan frekuensi terhadap niat mencoba memilih) H11 (pengaruh sikap terhadap sukses dan harapan akan (AsEs), sikap terhadap gagal dan harapan (AfEf), sikap terhadap gagal dan harapan dan sikap terhadap proses (Ap) pada sikap mencoba memilih (At). H12a (pengaruh niat terhadap perilaku mencoba memilih) H12b (pengaruh frekuensi terhadap perilaku mencoba memilih) H12c (pengaruh resensi terhadap perilaku mencoba memilih) Theory of planned behavior dan theory of trying H13 (Theory of trying lebih mampu memprediksi Fenomena memilih merek dibandingkan dengan theory of planned behavior )

Hasil

ditolak didukung didukung ditolak didukung ditolak

Didukung Ditolak Ditolak Didukung Didukung Didukung Didukung

didukung (kecuali AfEf)

ditolak ditolak ditolak

didukung

148

4.4.3. Pembahasan Atas Hasil Analisis Pembahasan mengenai hasil analisis masing-masing hipotesis didasarkan pada tinjauan literatur yang telah dibahas pada Bab 2 dan persamaan serta perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dipaparkan.

4.4.3.1. Theory of Planned Behavior Hipotesis 1- pengaruh sikap terhadap niat. Hasil analisis data dengan menggunakan pengukuran langsung menunjukkan nilai critical ratio yang tidak signifikan (CR= 1.138). Artinya, dengan menggunakan pengukuran langsung maka hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh sikap terhadap niat tidak didukung. Di lain pihak, dengan menggunakan pengukuran tidak langsung, hipotesis ini didukung dengan nilai critical ratio yang signifikan (CR = 2.275). Adanya hubungan sikap terhadap niat yang signifikan ini dapat disebabkan karena penggunaan butir-butir keyakinan yang tepat. Dengan kata lain, butir-butir keyakinan dalam kuesioner penelitian ini mampu menangkap keyakinan-keyakinan responden terhadap memilih merek Ponds. Penggunaan butir-butir keyakinan yang tepat dapat menjelaskan hubungan sikap dan niat berperilaku (Fishbein & Ajzen, 1975). Akan tetapi, hipotesis hubungan sikap dan perilaku tidak didukung dengan pengukuran langsung pada penelitian ini. Ada tiga alasan yang mungkin untuk hubungan yang tidak signifikan tersebut. Dua alasan pertama didasarkan pada perspektif teoritis dan alasan terakhir dilihat dari perspektif pengukuran variabel (kuantitatif). Alasan pertama adalah seseorang berperilaku untuk mencapai suatu tujuan (goal) tertentu. Tujuan tersebut dalam TPB dipengaruhi salah satunya oleh sikap. Akan tetapi,

149

sikap dalam TPB hanya mencakup tendensi untuk berperilaku secara keseluruhan (Bagozzi & Kimmel, 1995, h.456). Sebagai komparasi, sikap dalam TT meliputi sikap terhadap sukses, sikap terhadap gagal, dan sikap terhadap proses. Dengan kata lain, sikap dalam TT lebih terinci dan eksplisit untuk menjelaskan tendensi seseorang dalam mencapai tujuan (Dharmmesta,2003b, 2002; Bagozzi & Kimmel, 1995). Alasan kedua, konsep sikap dengan pengukuran langsung dalam TPB bisa dicampuraduk (confounded) dengan konsep norma subyektif (Manstead, 2000; Bagozzi & Kimmel, 1995). Disampaikan kembali bahwa sikap dengan pengukuran langsung adalah sikap sebagai afek atau evaluasi global responden terhadap menggunakan produk tersebut (Schiffman et al., 1997; Ajzen, 1991). Penelitian Bagozzi & Kimmel (1995) dalam menguji TPB juga menggunakan sikap dengan pengukuran langsung. Hasil penelitian mereka menunjukan sikap berpengaruh positif terhadap niat tetapi tidak ada pengaruh norma subyektif terhadap niat. Ketidak-konsistenan norma subyektif menurut Bagozzi & Kimmel (1995, h.456, penekanan ditambahkan) dimungkinkan karena konsep sikap tercampuraduk dengan konsep norma subyektif sebagaimana disampaikan sebagai berikut: “What could account for the inconsistent performance subjective norms in test of theory of planned behavior, and the successful result under the theory of trying? One possibility lies in the way attitudes are conceived and measured in TPB are global, unidimensional evaluation of overall acts, while attitudes under TT are specific appraisals of three well-defined aspects of goal pursuit. It is conceivable that the less focused representation of attitudes under TPB gets confounded with subjective norm, but attitudes under the TT are distinctive enough to avoid confounding.”

Masih terkait dengan alasan kedua, penggunaan kata sifat untuk mengukur sikap secara langsung biasanya adalah bijaksana-tidak bijaksana, baik-buruk, positif-negatif,

150

dan sebagainya. Pemilihan kata sifat pada penelitian ini (Tabel 4.50) mengikuti kata sifat yang digunakan pada penelitian Bagozzi dan Warshaw (1990), Bagozzi dan Kimmel (1995), Ajzen (2001), dan Dharmmesta (2002). Akan tetapi, pemilihan kata sifat yang menggambarkan evaluasi global ini mungkin harus dilakukan penelitian lebih dahulu. Artinya, kata sifat yang digunakan yang dapat digunakan pada penelitian-penelitian lain, mungkin tidak dapat digunakan pada penelitian ini. Ringkasnya, perlu penelitian eksplorasi sebelumnya untuk menentukan kata sifat yang tepat digunakan pada penelitian memilih merek produk pelembab pemutih.

Tabel 4.50 Penggunaan Kata Sifat Pada Penelitian Ini Kata sifat pada penelitian ini

Acuan

Tidak berguna – berguna

Bagozzi dan Kimmel (1995)

Tidak menyenangkan – menyenangkan

Bagozzi dan Warshaw (1990)

Tidak bijaksana – bijaksana

Bagozzi dan Kimmel (1995)

Negatif – positif

Ajzen (2002), Kimmel (1995)

Buruk – baik

Ajzen (2002), Dharmmesta (2002), Bagozzi dan Warshaw (1990)

Bagozzi

dan

Sumber: dari peneliti yang disebutkan diatas

Penelitian ini juga telah mengaplikasikan kata sifat yang paling tepat menggambarkan sikap sebagai evaluasi global, yaitu, kata sifat ‘baik - buruk’ (Ajzen, 2002). Ajzen (2002) menunjukkan bahwa kata sifat tersebut merupakan kata sifat yang paling baik untuk menggambarkan evaluasi global. Akan tetapi, Manstead (2000) menyatakan bahwa kata sifat ‘baik – buruk’, dibandingkan dengan beragam kata sifat lainnya, merupakan kata

151

sifat yang mengandung makna moral. Dengan kata lain, seseorang mempunyai sikap positif untuk memakan makanan yang mengandung daging karena baik bagi kesehatan. Tetapi, menjadi seorang yang vegetarian dapat didasarkan pada pertimbangan moral (Manstead, 2000, h.13). Dengan demikian, Manstead menunjukkan bahwa konstruk sikap (jika diukur dengan pengukuran langsung dan menggunakan kata sifat ‘baik-buruk’) dan konstruk norma menjadi tidak terlalu berbeda. Tetapi perbedaan konstruk tersebut akan nyata jika sikap diukur dengan menggunakan pengukuran tidak langsung (Manstead, 2000). Ringkasnya, konsep sikap dengan pengukuran langsung tercampur-aduk dengan konsep norma subyektif. Alasan ketiga untuk perbedaan hasil dalam menguji hubungan sikap dan niat dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung bisa didasarkan pada perspektif pengukuran variabel. Hasil analisis lanjutan menunjukan bahwa konstruk sikap dengan pengukuran langsung dan tidak langsung adalah konstruk yang berbeda (Tabel 4.51). Artinya, sikap dengan pengukuran langsung mengukur komponen afektif sedangkan pengukuran sikap dengan tidak langsung mengukur komponen kognitif. Hal ini memang sesuai dengan definisi sikap secara langsung dan tidak langsung. Permasalahannya adalah bahwa mengukur sikap dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung dapat memberikan hasil yang berbeda sebagaimana hasil penelitian ini dan penelitian Giles dan Cairns (1995) serta Terry dan O’Leary (1995). Dari pembahasan mengenai hipotesis 1 diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan sikap dan niat pada penelitian ini tidak didukung karena konsep sikap pada TPB adalah konsep yang tidak terinci atau eksplisit untuk menjelaskan mampu menjelaskan niat berperilaku. Konsep sikap pada TPB juga dapat tercampuraduk dengan

152

Tabel 4.51 Hasil Analisis Lanjutan Pengukuran Sikap Secara Langsung dan Tidak Langsung dengan Exploratory Factor Analysis

Rotated Component Matrixa

1 ATT_A ATT_B ATT_C ATT_D ATT_E BEXEV_A BEXEV_B BEXEV_C BEXEV_D BEXEV_E BEXEV_F BEXEV_G

Component 2 .383 .654 .255 .818 .234 .813 .274 .843 .269 .851 .650 .336 .780 .318 .796 .182 .625 .208 .801 .292 .737 .258 .664 .199

Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization. a. Rotation converged in 3 iterations.

konsep norma subyektif. Kemudian, perbedaan hasil dengan menggunakan pengukuran sikap secara langsung dan tidak langsung menunjukan bahwa konsep sikap harus diperlakukan secara bijaksana sebagaimana disampaikan oelh Giles & Cairns (1995, h.179): “Clearly, the assumption that the direct and belief-based measure of attitude and subjective norm are synonymous must not be taken for granted.”

Hipotesis 2 – pengaruh norma subyektif terhadap niat. Hasil analisis hipotesis dua ini sama dengan hipotesis satu dimana hasil yang berbeda dengan menggunakan pengukuran yang berbeda. Intinya, hipotesis ini didukung jika menggunakan pengukuran langsung

153

(CR = 3.582) dan tidak didukung jika menggunakan pengukuran tidak langsung (CR = 0.326). Pengukuran tidak langsung merupakan interaksi antara keyakinan normatif (normative beliefs)

dan motivasi untuk

menuruti (motivation to comply). Dengan

didasarkan pada pengukuran langsung, hasil penelitian ini menunjukan adanya pengaruh norma subyektif terhadap niat berperilaku. Hasil analisis untuk hipotesis 1 dan 2 menunjukkan adanya perbedaan hasil jika menggunakan pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung. Serupa dengan pembahasan untuk hipotesis 1. Tabel 4.52 memperlihatkan bahwa pengukuran langsung dan tidak langsung dapat mengukur hal yang berbeda.

Tabel 4.52 Hasil Analisis Lanjutan Pengukuran Norma Subyektif Secara Langsung dan Tidak Langsung dengan Exploratory Factor Analysis

Rotated Component Matrixa

SN_A SN_B NBXMC_A NBXMC_B NBXMC_C

Component 1 2 .330 .807 .124 .909 .866 .184 .866 .276 .864 .184

Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization. a. Rotation converged in 3 iterations.

Dalam kaitannyan dengan hipotesis 1 dan 2, dapat disampaikan bahwa pengukuran tidak langsung yang didasarkan pada keyakinan memang dapat memberikan hasil yang berbeda dengan pengukuran langsung (Giles & Cairns, 1995; Terry & O’Leary, 1995).

154

Hal tersebut telah disadari oleh Ajzen sebagai pengembang teori TPB (1991, h.19 dan h.28) sebagai berikut: …inquiries into the role of beliefs as the foundation of attitude toward a behavior, subjective norm, and perceived behavioral control have been only partly successful. …there are still many issues that remain unresolved. The theory of planned behavior traces attitudes, subjective norms, and perceived behavioral control to an underlying foundation of beliefs about the behavior. Although there is plenty of evidence for significant relations between behavioral beliefs and attitude toward the behavior, between normative beliefs and subjective norms, and between control beliefs and perception of behavioral control, the exact form of these relations is still uncertain…there is clearly much room for improvement.

Hipotesis 3a – pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan terhadap niat. Hasil penelitian, baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = 7.308) dan tidak langsung (CR = 4.237), memberikan hasil yang sama, yaitu mendukung hipotesis tersebut. Kontrol keperilakuan yang dirasakan merupakan variabel tambahan pada theory of reasoned action untuk mengakomodir kritik terhadap TRA bahwa TRA hanya dapat diaplikasikan pada perilaku yang mudah. Penambahan variabel tersebut membentuk suatu teori baru yang dikenal dengan theory of planned behavior (Ajzen, 1988). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa, baik dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung, kontrol keperilakuan yang dirasakan merupakan determinan utama terhadap niat berperilaku. Dengan kata lain, pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan lebih besar bila dibandingkan dengan sikap dan norma subyektif terhadap niat. Hasil penelitian ini (yaitu, pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan lebih besar dibandingkan variabel lainnya) sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dharmmesta dan Khasanah (1999), Tkachev dan Kolvereid (1999), Chatzisarantis dan Biddle (1998), serta Giles dan Cairns (1995). Beragam penelitian yang mengaplikasikan TPB juga

155

menunjukkan hubungan yang signifikan antara kontrol keperilakuan yang dirasakan dengan niat (Maurer & Palmer, 1999; Kanler & Todd, 1998; Giles & Cairns, 1995; Parker et al., 1995). Di lain pihak, penelitian lain menunjukkan hasil hubungan kontrol keperilakuan yang dirasakan dan niat yang tidak signifikan (Bagozzi & Kimmel, 1995; Terry & O’Leary, 1995).

Hipotesis 3b – pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan terhadap perilaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis 3b tidak didukung baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = -1.183) maupun tidak langsung (CR = 0.073). Dengan kata lain, penelitian ini tidak menemukan hubungan antara kontrol keperilakuan yang dirasakan dengan perilaku. Ada dua versi posisi kontrol keperilakuan yang dirasakan dalam TPB (Dharmmesta, 2000). Versi yang pertama adalah variabel tersebut sebagai prediktor terhadap niat. Selanjutnya, versi yang kedua adalah variabel tersebut sebagai prediktor bagi perilaku. Versi yang pertama telah diuji pada hipotesis 3a. Pada hipotesis 3b ini, yaitu versi kedua posisi variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan dalam TPB, tidak didukung secara empiris. Walaupun beberapa penelitian yang mengaplikasikan TPB membuktikan hubungan positif antara kontrol keperilakuan yang dirasakan (misalnya, Dharmmesta & Khasanah, 1999; Terry & O’Leary, 1995), namun beberapa penelitian lain tidak menemukan hubungan tersebut (misalnya, East, 2000; Bagozzi & Kimmel, 1995; Giles & Cairns, 1995). Alasan yang mungkin untuk hubungan yang tidak signifikan antara kontrol keperilakuan yang dirasakan dan perilaku dapat disebabkan karena kurangnya atau

156

ketidak-cukupan sumber daya atau kesempatan seseorang untuk berperilaku (Ajzen, 1988). Ajzen (1988) menyadari bahwa dalam situasi tertentu, variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan tidaklah terlalu realistik untuk memprediksi perilaku. Situasi tersebut adalah jika seseorang dalam kondisi tidak punya sumber daya yang cukup, misalnya uang, untuk membeli suatu produk. Dengan kata lain, jika seseorang tidak punya cukup uang, maka motivasinya untuk membeli produk (yaitu, berperilaku) menjadi berkurang atau tidak jadi membeli. Ajzen (1988) juga menyampaikan beberapa kondisi yang memungkinkan tidak terjadinya hubungan antara kontrol keperilakuan yang dirasakan dan perilaku: (1) kurangnya sumber daya (misalnya: tidak punya uang), (2) kurangnya kesempatan (misalnya, tidak dapat membeli karena sibuk), (3) adanya sumber daya yang berubah (misalnya: saat akan membeli tidak punya uang, atau uang terpakai untuk hal yang lain), (4) adanya informasi baru atau adanya kondisi-kondisi yang baru (misalnya: ada produk baru yang sejenis yang ingin dicoba).

Hipotesis 4 – pengaruh niat terhadap perilaku. Hasil analisis menunjukkan bahwa hipotesis ini didukung jika menggunakan pengukuran langsung (CR = 2.123) dan tidak didukung jika menggunakan pengukuran tidak langsung (CR = 1.508). Variabel niat dibangun dengan mengacu beragam literatur (misalnya, Ajzen, 2001; Ajzen & Fishbein, 1980; Fishbein & Ajzen, 1975), Niat, pada penelitian ini, diukur dengan menggunakan dua butir pernyataan “Saya berniat untuk membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds bulan depan” dan “Saya akan membeli dan menggunakan pelembab pemutih Ponds bulan depan”.

157

Kembali disampaikan bahwa perbedaan hasil dengan pengukuran langsung dan tidak langsung merupakan konsekuensi dari penggunaan pengukuran langsung dan tidak langsung pada variabel sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Artinya, permasalahan pada pengukuran variabel independen mempengaruhi variabel dependen sebagaimana telah diperlihatkan pada Tabel 4.51 dan Tabel 4.52 sebelumnya, serta Tabel 4.53 berikut ini.

Tabel 4.53 Hasil Analisis Lanjutan Pengukuran Kontrol Keperilakuan Yang Dirasakan Secara Langsung dan Tidak Langsung dengan Exploratory Factor Analysis

Rotated Component Matrixa

PCB_A PCB_B PCB_C PXC_A PXC_B

Component 1 2 .823 .753 .239 .791 .275 .376 .776 .909

Extraction Method: Principal Component Analysis. Rotation Method: Varimax with Kaiser Normalization. a. Rotation converged in 3 iterations.

Penelitian ini mengalami kendala dalam melakukan komparasi terhadap penelitian lain yang mengaplikasikan TPB dengan menggunakan pengukuran tidak langsung, yaitu penelitian yang dilakukan oleh East (2000) serta Kanler dan Todd (1998). Kendala tersebut karena penelitian yang dilakukan oleh East serta Kanler dan Todd hanya memprediksi niat saja dan tidak memprediksi perilaku. Ringkasnya, alasan yang mungkin atas pengaruh niat dan perilaku yang tidak signifikan dengan menggunakan pengukuran

158

tidak langsung adalah konsekuensi dari permasalahan dalam variabel-variabel independen.

Hipotesis 5 – norma subyektif mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap niat dibandingkan dengan sikap dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Hipotesis ini dikembangkan dengan pemahaman bahwa dalam budaya kolektivism, noma subyektif lebih berpengaruh dibandingkan dengan sikap dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Akan tetapi, penelitian ini tidak memberikan hasil yang mendukung hipotesis tersebut baik dengan menggunakan pengukuran langsung maupun tidak langsung. Dalam temuan penelitian ini, variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan lebih besar besar pengaruhnya (standardized regression weight = 0.566) dibandingkan sikap (standardized regression weight = 0.076) dan norma subyektif (standardized regression weight = 0.258) dengan menggunakan pengukuran langsung. Hasil analisis dengan menggunakan pengukuran tidak langsung juga memberikan hasil yang sama (standardized regression weight = 0.451 untuk kontrol keperilakuan yang dirasakan, 0.180 untuk sikap, dan 0.024 untuk norma subyektif). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dharmmesta & Khasanah (1999) dalam penelitian mengenai pembelian jasa angkutan kereta api, dimana kontrol keperilakuan yang dirasakan merupakan variabel dominan penentu niat berperilaku. Hipotesis

norma subyektif yang lebih berpengaruh terhadap niat dibandingkan

prediktor lainnya didukung pada TT (hipotesis sepuluh) tetapi tidak pada TPB. Hal ini dimungkinkan karena penggunaan variabel-variabel yang berbeda. Dengan kata lain, TPB menggunakan variabel sikap, norma subyektif dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Dari ketiga variabel tersebut, kontrol keperilakuan yang dirasakan

159

memberikan pengaruhnya yang lebih besar terhadap niat. Hal ini dimungkinkan karena responden penelitian ini adalah mahasiswi, yang mungkin lebih mempertimbangkan faktor sumber daya (uang) dibandingkan pengaruh teman dan sikapnya sendiri dalam membeli Ponds. Di lain pihak, TT menggunakan variabel sikap, norma sosial, dan frekuensi mencoba lampau sebagai prediktor niat untuk mencoba. Dari ketiga variabel tersebut, norma sosial terbukti mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dua prediktor lainnya. Artinya, jika sumber daya tidak diperhitungkan, maka responden dalam budaya kolektivism lebih mempertimbangkan norma sosial dalam pembeliannya dibandingkan sikapnya sendiri.

Hipotesis 6a – pengaruh frekuensi terhadap niat. Hasil penelitian ini, baik pengukuran langsung (CR = 3.343) dan tidak langsung (CR = 3.210), mendukung hipotesis bahwa frekuensi mempengaruhi niat secara signifikan. Hasil penelitian sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Kimmel (1995). Pada penelitian tersebut, mereka menambahkan variabel frekuensi dan resensi pada TPB. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa frekuensi mempengaruhi niat berperilaku. Pengaruh yang signifikan juga dikemukakan oleh Bagozzi (1981) dan Bagozzi et al. (1992a). Bagozzi et al. (1992a) mengaplikasikan theory of reasoned action (TRA) yang ditambah dengan variabel baru ‘perilaku lampau’ (past behavior). Walaupun perilaku lampau pada Bagozzi et al. (1992a) tidak dibedakan antara ‘frekuensi’ dan ‘resensi’, tetapi perilaku lampau pada penelitian tersebut didefinisikan sebagai seberapa sering responden menggunakan kupon. Dengan kata lain, seberapa sering dapat dianggap

160

sebagai frekuensi. Demikian juga pada penelitian Bagozzi (1981) dimana frekuensi juga didefinisikan sebagai seberapa sering seseorang menyumbang darah.

Hipotesis 6b – pengaruh frekuensi terhadap perilaku. Frekuensi, pada penelitian ini, ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku. Hasil analisis pengukuran langsung (CR = 1.218) dan tidak langsung memberikan hasil yang sama (CR = 1.345), yaitu menolak hipotesis tersebut. Walaupun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Bagozzi dan Kimmel (1995) di mana frekuensi berpengaruh secara positif terhadap perilaku, tetapi hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi (1981) dan Bagozzi et al. (1992a). Pada dua penelitian tersebut, frekuensi hanya mempengaruhi niat berperilaku tetapi tidak perilaku aktual. Alasan yang mungkin terhadap tidak berpengaruhnya frekuensi terhadap perilaku pada penelitian ini adalah dapat disebabkan karena adanya faktor situasional dan lingkungan belanja tertentu (misalnya, antrian yang panjang dan lingkungan belanja yang tidak menyenangkan) yang dapat mengakibatkan gagalnya konsumen dalam melakukan pembelian (Negara & Dharmmesta, 2001). Faktor lain yang mungkin adalah banyaknya beragam produk sejenis dan iklan-iklan produk tersebut yang memberikan informasi mengenai keunggulan mereknya. Akibatnya, konsumen bisa saja berpindah merek atau konsumen selalu mempertimbangkan merek-merek lainnya sebelum melakukan pembelian (Assael, 1998).

Hipotesis 6c – pengaruh resensi terhadap perilaku. Bagozzi dan Warshaw (1990) membedakan perilaku lampau menjadi frekuensi dan resensi. Menurut mereka, frekuensi

161

dan resensi adalah variabel yang berbeda yang dapat mempengaruhi perilaku. Hasil penelitian ini, baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = 0.051) dan tidak langsung (CR = 0.103), tidak mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa resensi mempengaruhi perilaku secara signifikan. Penelitian empiris penambahan variabel perilaku lampau lebih diuji-cobakan pada TRA (misalnya: Bagozzi et al., 1992a; Fredricks & Dossett, 1983; Manstead et al., 1983; Bentler & Speckart, 1979) dibandingkan TPB (misalnya: Bagozzi & Kimmel, 1995). Jika Bagozzi (1981) dan Bagozzi et al. (1992a) mendefinisikan perilaku lampau sebagai frekuensi, maka penelitian Fredricks dan Dossett (1983) serta Bentler dan Speckart (1979) mendefinisikan perilaku lampau sebagai resensi (contohnya: ‘Apakah dalam 2 minggu terakhir anda masuk kelas?). Hasil penelitian Fredricks dan Dossett (1983) serta Bentler dan Speckart (1979) menunjukkan bahwa resensi mempengaruhi perilaku aktual. Lebih lanjut, dalam penelitian yang mengaplikasikan TPB, Bagozzi dan Kimmel (1995) juga menunjukkan bahwa resensi mempengaruhi perilaku aktual. Penelitian ini mengalami kendala dalam melakukan komparasi hasil penelitian ini karena terbatasnya penelitian lainnya yang menggunakan resensi sebagai prediktor perilaku aktual (Bagozzi & Kimmel, 1995; Fredricks & Dossett, 1983; Bentler & Speckart, 1979). Walaupun penelitian ini memberikan hasil yang berbeda dengan ketiga penelitian yang telah disebutkan, dimungkin perbedaan ini sebagai dampak dari target perilaku pada penelitian ini. Dengan kata lain, seseorang membeli produk pelembab pada penelitian ini bukan karena sebagai akibat dia baru saja membeli (resensi) tetapi disebabkan sikap positif orang tersebut terhadap membeli pelembab pemutih, norma –

162

norma yang dianut oleh orang itu, dan karena orang tersebut mempunyai uang untuk membeli produk tersebut. Target perilaku yang berkesinambungan dapat mendukung daya prediksi resensi terhadap perilaku aktual. Sebagai contoh, target perilaku pada penelitian Bagozzi dan Kimmel (1995) adalah perilaku berolah-raga dan melakukan diet, perilaku yang diteliti pada penelitian Fredricks dan Dossett (1983) adalah perilaku menghadiri kelas, dan perilaku pada penelitian Bentler dan Speckart (1979) adalah perilaku meminum minuman beralkohol dan menggunakan obat-obat keras dan mariyuana. Ringkasnya, perilaku pada penelitian-penelitian tersebut menunjukkan adanya kesinambungan perilaku. Misalnya, seseorang yang menggunakan alkohol atau mariyuana biasanya tidak dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja. Seseorang yang menggunakan mariyuana biasanya akan melanjutkannya kembali dalam waktu dekat dan bukannya dengan jarak waktu yang lama. Demikian juga dengan perilaku berolah-raga dan meminum minuman beralkohol. Dalam kaitannya dengan hipotesis 6, penambahan variabel frekuensi dan resensi pada TPB atau TPB + frekuensi + resensi (selanjutnya disebut model TPB-FR) memberikan hasil yang lebih baik dalam absolute fit-nya dibandingkan dengan model TPB saja, untuk pengukuran langsung. Sedangkan untuk pengukuran tidak langsung, model TPB lebih baik dibandingkan dengan model TPB-FR. Ukuran yang digunakan untuk menyatakan adanya perbedaan yang substansial dalam komparasi model adalah nilai perbedaan setidak-tidaknya 0.06 (Williams & Hazer, 1986 dalam Hair et al., 1995). Bagozzi dan Kimmel (1995, h. 450) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa model TPB-FR (GFIe = 0.91 ; CFIe = 0.96 dan GFId = 0.91 ; CFId = 0.98) lebih fit dibandingkan dengan model TPB saja (GFIe = 0.91 ; CFIe = 0.94 dan GFId = 0.91 ; CFId = 0.97) dengan

163

menggunakan pengukuran langsung. Notasi e menjelaskan penelitian yang dilakukan pada tema berolah-raga dan d pada penelitian mengenai melakukan diet. Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian ini sebagaimana terlihat pada Tabel 4.54.

Tabel 4.54 Komparasi Hasil Penelitian Bagozzi dan Kimmel (1995) dan Penelitian Ini Bagozzi & Kimmel (1995)

TPB + FR GFIe = 0.91 CFIe = 0.96

TPB GFIe = 0.91 CFIe = 0.94

GFId = 0.91 CFId = 0.98

GFId = 0.91 CFId = 0.97

Penelitian ini (2003)

GFI = 0.944 GFI = 0.940 CFI = 0.966 CFI = 0.961 Sumber: Bagozzi dan Kimmel (1995) dan hasil analisis data

4.4.3.2. Theory of Trying Karena terbatasnya penelitian yang menguji TT (misalnya: Dharmmesta, 2002; Kassaye & Schumacher, 1998; Bagozzi & Kimmel, 1995; Bagozzi et al., 1992b; Bagozzi & Warshaw, 1990) maka pembahasan hasil temuan penelitian ini hanya dikomparasi pada penelitian yang dilakukan Dharmmesta (2002), Bagozzi dan Kimmel (1995), serta Bagozzi dan Warshaw (1990). Penelitian ini tidak diperbandingkan dengan penelitian Bagozzi et al. (1992b) karena penelitian tersebut hanya menguji validitas konstruk sikap pada TT. Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga tidak dikomparasikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kassaye & Schumarcher (1998) karena penelitian tersebut tidak menguji hubungan antar variabel dalam TT.

164

Hipotesis 7 – pengaruh sikap terhadap niat. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa sikap adalah sebagai prediktor niat berperilaku. Hipotesis ini didukung baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = 4.696) maupun tidak langsung (CR = 5.726). Pengaruh sikap terhadap niat dalam TT juga dapat ditemukan pada penelitian Bagozzi dan Warshaw (1990) serta Dharmmesta (2002). Kembali disampaikan, sikap dalam TT mampu memprediksi niat berperilaku bila dibandingkan dengan TPB karena sikap dalam TT merupakan variabel yang eksplisit yang mencakup sikap terhadap sukses, sikap terhadap gagal, dan sikap terhadap proses dalam pencapaian suatu tujuan.

Hipotesis 8 – pengaruh norma subyektif terhadap niat. Temuan penelitian ini mendukung bahwa norma subyektif sebagai prediktor yang signifikan terhadap niat berperilaku baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = 5.147) dan tidak langsung (CR = 4.065). Hasil temuan ini juga sama dengan penelitian TT yang dilakukan oleh Bagozzi dan Warshaw (1990), Bagozzi dan Kimmel 1995) serta Dharmmesta (2002).

Hipotesis 9 – pengaruh frekuensi terhadap niat. Hasil penelitian mendukung bahwa frekuensi mempengaruhi niat berperilaku secara positif baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = 3.269) dan tidak langsung (CR = 3.533). Hasil ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Warshaw (1990), Bagozzi dan Kimmel (1995) serta Dharmmesta (2002).

165

Hipotesis 10 – norma sosial mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan sikap dan frekuensi mencoba lampau terhadap niat mencoba. Hasil temuan penelitian ini mendukung hipotesis tersebut yaitu pengaruh norma subyektif yang lebih besar (standardized regression weight = 0.273) dibandingkan sikap (standardized regression weight = 0.246) dan frekuensi (standardized regression weight = 0.163) terhadap niat mencoba.

Hipotesis 11 – pengaruh sikap terhadap sukses dan harapan akan sukses (AsEs), sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal (AfEf), dan sikap terhadap proses (Ap) terhadap sikap mencoba memilih (At). Dengan menggunakan pengukuran langsung, maka hanya AfEf yang tidak signifikan (CR = 0.997). Di lain pihak, jika menggunakan pengukuran tidak langsung maka selain AfEf (CR = 1.446) juga Ap (CR = 1.098) tidak signifikan. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Warshaw (1990) dan Bagozzi dan Kimmel (1995) dimana hasil penelitian mereka menunjukkan hasil yang tidak signifikan untuk interaksi antara sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal. Tabel 4.55 memperlihatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Warshaw (1990), Bagozzi dan Kimmel (1995), dan penelitian ini sendiri.

166

Tabel 4.55 Komparasi Hasil Penelitian Bagozzi &Warshaw (1990), Bagozzi & Kimmel (1995), dan Penelitian Ini Peneliti (tahun) Bagozzi & Warshaw (1990) Bagozzi & Kimmel (1995)

Penelitian ini (2003)

regression weight AfEf = 0.11 AfEfe = 0.04 AfEfd = -0.04 AfEf = 0.273 (pengukuran langsung)

AfEf = 0.071 (pengukuran tidak langsung)

Keterangan e = olah-raga ; d = diet pada B&K (1995) Sumber: hasil analisis data

Sebagaimana telah disampaikan pada Bab dua bahwa perbedaan utama antara TPB dan TT adalah perbedaan pada konseptualisasi sikap. Sikap dalam TPB adalah unidimensi, sedangkan sikap pada TT adalah sebagai multidimensi. Terlebih, Bagozzi dan Warshaw (1990) menyatakan bahwa diperkenalkannya sikap sebagai multidimensi merupakan fitur sentral dari theory of trying. Maka penelitian ini membuktikan apakah sikap dalam TT adalah multidimensi. Pembuktian ini dilakukan dengan menggunakan model tiga faktor dan model empat faktor untuk menguji validitas konverjen, diskriminan, dan kriterion dari konstruk sikap dalam TT (Bagozzi & Kimmel, 1995; Bagozzi et al., 1992; Bagozzi & Warshaw, 1990). Hasil dari beragam uji statistik tersebut memperlihatkan bahwa validitas konverjen untuk konstruk sikap terpenuhi (Tabel 4.56).

167

Tabel 4.56

Validitas Konverjen Konstruk Sikap

GFI AGFI CMIN/DF RMR RMSEA CFI

Model 3 Faktor Model 4 Faktor (ATS, ATF, ATP) (ATT, ATS, ATF, ATP) 0.886 0.849 0.842 0.807 3.664 3.254 0.035 0.036 0.091 0.084 0.935 0.924

Sumber: hasil analisis data

Lebih lanjut, Tabel 4.57 memperlihatkan korelasi antara ATT, ATS, ATF, dan ATP. Tidak ada nilai yang sama dengan 1. Validitas diskriminan tercapai jika nilai korelasi > 1 (Bagozzi & Kimmel, 1995; Bagozzi et al., 1992b; Bagozzi & Warshaw, 1990). Peneliti yang lain, Fornell dan Larker (1981) menyatakan validitas diskriminan tercapai jika AVE lebih besar dari 0.50. Tabel 4.58 memperlihatkan bahwa nilai AVE, baik untuk pengukuran langsung maupun tidak langsung, untuk masing-masing faktor adalah lebih besar dari 0.50. Dengan kata lain, validitas diskriminan untuk konstruk sikap terpenuhi.

Tabel 4.57

Korelasi ATT,ATS,ATF, ATP

ATS ATS 1 ATF -0.530 ATP 0.709 ATT 0.763 Sumber: hasil analisis data

ATF

ATP

ATT

1 -0.507 -0.540

1 0.728

1

168

Tabel 4.58

Nilai AVE Dimensi-Dimensi Sikap Konstruk

AVE

Pengukuran langsung ATT (attitude toward trying) ATS (attitude toward success) ATF (attitude toward fail) ATP (attitude toward process)

0.9927 0.9616 0.9888 0.9915

Pengukuran tidak langsung BXE_S (attitude toward success) BXE_F (attitude toward fail) BXE_P (attitude toward process)

0.9285 0.8239 0.9222

Sumber: hasil analisis data

Bagozzi et al. (1992) juga menyatakan validitas kriterion terpenuhi jika korelasikorelasi tersebut signifikan dan hubungannya diarahkan teori. Hasil Tabel 4.56 juga memperlihatkan nilai korelasi yang signifikan dan sesuai arahnya, yaitu korelasi positif antara ATT-ATS dan ATT-ATP dan korelasi negatif antara ATT-ATF. Pada Tabel 4.56 juga memperlihatkan adanya korelasi yang tinggi (yaitu, korelasi >0.70) antara ATS dan ATP (0.709), ATS dan ATT (0.763), serta ATP dan ATT (0.728). Garver dan Mentzer (1999) menyatakan jika nilai korelasi melebihi 0.70, maka konstruk tersebut harus dilihat sebagai variabel second-order. Jika korelasi kurang dari 0.70, maka konstruk tersebut adalah variabel first-order. Korelasi yang tinggi antar variabel atau multikolinier adalah masalah yang dapat muncul pada penelitian yang menggunakan konstruk-konstruk mental sebagai variabel independen. Hal ini dikarenakan adanya hubungan korelasi yang tinggi antara pikiran dan perasaan yang muncul sebagai fungsi dari memori manusia dan reaksi psikologis

169

(Bagozzi & Burnkrant, 1985, h.53). Bagozzi dan Burnkrant pada halaman yang sama juga menunjukkan bahwa: “Multicollinearity is an aspect of one’s data and the limitations of analytic procedures and not the theory under scrutinity, per se.”

Penelitian ini menggunakan variabel second-order (second-order variable) sebagai cara untuk mengatasi masalah multikolinier (Garver & Mentzer, 1999; Bagozzi & Burnkrant, 1985). Tabel 4.59 memperlihatkan hasil analisis sikap sebagai first-order dan sikap sebagai second-order. Hasil menunjukkan bahwa loading masing-masing indikator pada second-order lebih besar nilainya dibanding loading pada first-order kecuali untuk indikator-indikator sikap terhadap gagal. Nilai loading yang lebih tinggi pada secondorder menunjukkan tercapainya validitas konverjen (Bagozzi et al., 1991). Bagozzi et al. (1991) juga menyatakan bahwa validitas diskriminan pada second-oder tercapai jika korelasi masing-masing indikator lebih kecil dari satu. Analisis data second-order pada penelitian ini memberikan hasil bahwa semua nilai korelasi masing-masing indikator adalah kurang dari 1. Ringkasnya, penelitian ini menunjukkan bahwa sikap pada TT adalah sebagai second-order variable. Kembali pada pembahasan mengenai sikap sebagai multidimensi, hasil penelitian sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Warshaw (1990) yaitu terhadap gagal dan harapan akan gagal (AfEf) tidak signifikan sebagai parameter sikap. Bagozzi dan Warshaw memperikirakan bahwa AfEf tidak signifikan karena target perilaku dalam penelitian yang tidak mempertimbangkan kegagalan sebagai suatu penentu utama.

170

Tabel 4.59

Sikap Sebagai First-Order vs Second-Order

FIRST-ORDER Standardized Regression Weight att_s_a <-- Ats 0.767 att_s_b <-- Ats 0.778 att_s_c <-- Ats 0.691 att_s_d <-- Ats 0.836 att_s_e <-- Ats 0.857

14.513 12.668 15.814 16.273

SECOND-ORDER Standardized Regression Weight att_s_a <-- Ats 0.814 att_s_a <-- Ats 0.800 att_s_c <-- Ats 0.707 att_s_d <-- Ats 0.836 att_s_e <-- Ats 0.864

16.647 14.003 17.747 18.603

att_f_a <-- Atf att_f_b <-- Atf att_f_c <-- Atf att_f_d<-- Atf att_f_e <-- Atf

0.807 0.765 0.870 0.905 0.856

15.333 18.346 19.389 17.918

att_f_a <-- Atf att_f_b <-- Atf att_f_c <-- Atf att_f_d<-- Atf att_f_e <-- Atf

0.686 0.744 0.855 0.894 0.842

13.699 16.090 16.911 15.806

att_p_a <-- Atp att_p_b <-- Atp att_p_c <-- Atp att_p_d<-- Atp att_p_e <-- Atp

0.729 0.830 0.794 0.865 0.853

14.727 14.053 15.358 15.151

att_p_a <-- Atp att_p_b <-- Atp att_p_c <-- Atp att_p_d<-- Atp att_p_e <-- Atp

0.758 0.833 0.792 0.869 0.860

16.175 15.184 17.043 16.826

att <-- Att att <-- Att att <-- Att att<-- Att att <-- Att

0.738 0.758 0.769 0.875 0.853

13.523 13.745 15.761 15.359

Path

CR

Path

Absolute fit:

Absolute fit:

GFI : 0.849 (rf) AGFI : 0.807 (rf) CMIN/DF : 3.254 (rf)

GFI : 0.863 (rf) AGFI : 0.816 (rf) CMIN/DF : 4.414 (rf)

RMR : 0.036 (gf) RMSEA : 0.084 (pf)

RMR : 0.079 (rf) RMSEA : 0.103 (pf)

CR

Keterangan: gf = good fit ; rf = reasonable fit ; pf = poor fit Sumber: hasil analisis data

Misalnya, jika seseorang gagal melakukan olah raga, maka orang tersebut dapat mencobanya lagi di lain waktu. Demikian juga dengan target perilaku pada penelitian ini,

171

yaitu memilih dan menggunakan pelembab pemutih Ponds. Seseorang yang gagal membeli produk tersebut dapat mencobanya kembali di waktu yang lain. Akan tetapi, jika target perilaku adalah menyelesaikan program S3, maka sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal (AfEf) dapat menjadi prediktor yang signifikan terhadap sikap terhadap mencoba (At) (Bagozzi & Warshaw, 1990, h.138). Tidak signifikannya AfEf pada penelitian ini juga dapat digambarkan dari pendapat seorang responden dalam mengisi kuesioner penelitian: Menurut saya berhasil atau gagalnya kulit wajah saya menjadi lebih putih dengan memakai produk Ponds ini, mungkin tidak terlalu berpengaruh untuk saya. Karena saya ngerasa cocok dengan menggunakan Ponds, makanya saya masih menggunakannya. Kulit wajah saya tidak putih, juga tidak hitam (sawo matang kali yah…). Setelah memakai Ponds, wajah saya berwarna aslinya, tetapi saya merasa lebih bersih dan cerah (tidak kusam). Jadi menurut saya, berhasil atau gagalnya dalam memakai Ponds, bukan karena putih, tetapi menjadikan kulit wajah saya bersih dan cerah, tidak kusam.

Hipotesis 12a – pengaruh niat terhadap perilaku mencoba memilih. Hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis tersebut baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = 1.432) maupun tidak langsung (CR = 1.429). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Dharmmesta (2002) dan Bagozzi dan Kimmel (1995) pada target perilaku melakukan olah raga. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Kimmel (1995) pada target perilaku melakukan diet, niat merupakan prediktor yang signifikan terhadap perilaku mencoba melakukan diet. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan Bagozzi dan Warshaw (1990), niat berpengaruh terhadap perilaku mencoba. Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagozzi dan Warshaw (1990) serta Bagozzi dan Kimmel (1995) dapat

172

disebabkan oleh rentang waktu yang cukup lama pada penelitian ini (1,5 bulan dimana Bagozzi & Warshaw = 1 minggu dan Bagozzi dan Kimmel = 2 minggu).

Hipotesis 12b – pengaruh frekuensi terhadap perilaku mencoba memilih. Temuan penelitian ini tidak mendukung bahwa frekeunsi berpengaruh terhadap perilaku mencoba baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = 1.393) dan tidak langsung (CR = 1.391). Hasil temuan ini sama dengan temuan Bagozzi dan Warshaw (1990) tetapi berbeda dengan Dharmmesta (2002) serta Bagozzi dan Kimmel (1995). Tidak signifikannya pengaruh frekuensi terhadap perilaku mungkin disebabkan target perilaku, yaitu memilih dan menggunakan Ponds. Banyaknya beragam produk kosmetik dan iklaniklan yang memberikan informasi keunggulan beragam merek dapat menjadi faktor frekuensi pembelian Ponds tidak menentukan perilaku untuk membeli Ponds kembali. Dengan kata lain, ada variabel keinginan mencari variasi lain karena pengaruh iklan atau display produk yang dapat menarik niat konsumen (Assael, 1998). Faktor lain yang mungkin adalah faktor situasional dan lingkungan belanja, misalnya, antrian yang panjang akan mengakibatkan seseorang tidak jadi melakukan transaksi pembelian (Negara & Dharmmesta, 2001).

Hipotesis 12c – pengaruh resensi terhadap perilaku mencoba memilih. Hasil penelitian ini menolak hipotesis pengaruh resensi terhadap perilaku mencoba memilih baik dengan menggunakan pengukuran langsung (CR = 0.102) dan tidak langsung (CR = 0.102). Hasil temuan ini berbeda dengan temuan yang dilakukan oleh Dharmmesta (2002), Bagozzi dan Kimmel (1995), serta Bagozzi dan Warshaw (1990). Hampir sama

173

dengan penjelasan untuk hipotesis 12b, target perilaku penelitian ini dapat menjadi faktor tidak signifikannya variabel resensi dalam memprediksi mencoba membeli Ponds. Membeli Ponds beberapa saat yang lalu (resensi) dapat menjadi variabel yang tidak utama dalam menentukan pembelian selanjutnya mungkin karena adanya produk baru. Atau, responden pada penelitian ini tidak mempertimbangkan resensi sebagai penentu pada pembelian selanjutnya. Pembahasan hipotesis 12b dan 12c berkenaan dengan pengaruh frekuensi (F) dan resensi (R) terhadap perilaku mencoba memilih. Penelitian yang dilakukan Dharmmesta (2002) membuktikan bahwa frekuensi dan resensi merupakan prediktor perilaku mencoba belajar. Lebih lanjut, dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa frekuensi dan resensi merupakan variabel yang identik dengan variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan (PBC) dalam TPB karena unsur utama dalam ketiga variabel adalah pengalaman lampau. Hasil analisis penelitian ini, walaupun tidak menguji apakah FR = PBC, memperlihatkan hasil bahwa tidak mendukung hipotesis pengaruh PBC terhadap perilaku (hipotesis 3b) dan tidak mendukung hipotesis pengaruh frekuensi dan resensi terhadap perilaku (hipotesis 12b dan 12c). Dengan kata lain, dapat dimungkinkan bahwa FR adalah identik dengan PBC (Dharmmesta, 2002, h.63).

Hipotesis 13 – TT lebih mampu memprediksi fenomena memilih satu merek dibandingkan TPB. Hasil analisis dengan menggunakan SEM memperlihatkan bahwa nilai-nilai uji statistik TT lebih baik dibandingkan dengan TPB jika menggunakan pengukuran langsung.

Baumgartner dan Homburg (1995) serta Hair et al. (1995)

menunjukkan bahwa program-program komputer yang dilakukan untuk menjalankan

174

SEM (misalnya, AMOS 4.0, LISREL, EQS, dsb) memberikan banyak uji statistik yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan. Penggunaan uji statistik yang tampak pada Tabel 4.60 didasarkan pada penelitian sejenis (yaitu komparasi TPB dan TT) yang dilakukan Bagozzi dan Kimmel (1995) dan uji statistik untuk memperbandingkan model yang disarankan oleh Hair et al. (1995). Hasil analisis menunjukkan bahwa theory of trying unggul pada uji statistisk GFI, CFI, AIC, dan CAIC untuk pengukuran langsung. Sedangkan untuk pengukuran tidak langsung, theory of trying unggul pada GFI, AIC, dan CAIC. Dengan kata lain, pada pengukuran tidak langsung, uji statistik memberikan hasil yang sama baiknya bagi theory of trying dan theory of planned behavior. Kembali disampaikan bahwa nilai perbedaan yang dianggap signifikan adalah 0.06.

Tabel 4.60

Hasil Komparasi TPB dan TT Pengukuran langsung Theory of Theory of planned Trying behavior

GFI CFI PGFI PNFI AIC CAIC

0.940 0.961 0.599 0.695 202.615 360.073

0.970 0.962 0.259 0.317 111.274 268.732

Pengukuran tidak langsung Theory of Theory of planned Trying behavior GFI CFI PGFI PNFI AIC CAIC

0.943 0.973 0.653 0.743 218.004 394.548

0.976 0.960 0.260 0.315 102.186 259.644

Sumber: hasil analisis data

TT dapat dikatakan teori yang lebih mempunyai kemampuan prediktif dibandingkan dengan TPB karena TT adalah teori yang menjelaskan perilaku yang didasarkan tujuan (goal-directed behavior) yang memahami akan adanya kendala-kendala dalam

175

pencapaian tujuan. Pemahaman akan adanya kendala tersebut memunculkan konsep sikap sebagai multi dimensi, yaitu konsep sikap mencakup sikap terhadap sukses dan harapan akan sukses, sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal, dan sikap terhadap proses. Artinya, sikap dalam TT adalah konsep yang terinci dan eksplisit yang mampu memprediksi tendensi niat berperilaku. Tidak hanya itu, TT juga memasukan variabel perilaku lampau sebagai variabel yang signifikan terhadap niat berperilaku dan berperilaku. Di lain pihak, Ajzen (1991, h.21), yang merupakan konseptor TPB, juga tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan dalam TPB sebagaimana yang disampaikannya berikut ini: The theory of planned behavior is, in principle, open to the inclusion of additional predictors if it can be shown that they capture a significant proportions of the variance in intention or behavior after the theory variables have been taken into account. The theory of planned behavior in fact expanded the original theory of reasoned action by adding the concept of perceived behavioral control.

Perubahan dan perbaikan yang kontinyu dalam mengembangkan teori-teori sikap juga merupakan salah satu keunggulan teori sikap dalam memprediksi perilaku sebagaimana yang diungkapkan oleh Eagly (1992, h.705): One of the admirable feature of attitude theories is their tendency to cumulate in the sense that newer theories have built on some of the themes of older ones and often developed some theme that remained underdeveloped in an earlier theory.

4.4.

Simpulan

Bab ini telah melaporkan hasil analisis data. Pertama, tingkat pengisian kuesioner dilaporkan. Kemudian, profil responden disampaikan. Kemudian, hasil analisis data yang

176

berkaitan dengan reliabilitas dan validitas ukuran disampaikan. Terakhir, hasil pengujian hipotesis dipaparkan dan hasilnya diringkas pada Tabel 4.49. Hasil pengujian menunjukkan adanya hipotesis yang diterima atau ditolak baik dengan menggunakan pengukuran langsung maupun tidak langsung. Bab selanjutnya, yaitu Bab lima, menyampaikan simpulan hasil penelitian serta implikasi temuan bagi teori dan praktek.

177

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Pendahuluan Masalah penelitian ini , yaitu: “Bagaimana theory of planned behavior dan theory of trying dapat menjelaskan hubungan antara niat dan perilaku memilih satu merek di Indonesia, dan apakah TT lebih fit dibandingkan TPB dalam menjelaskan femonena tersebut?” telah dipaparkan pada bab satu. Lebih lanjut, latar belakang dan jastifikasi penelitian serta organisasi penulisan disertasi ini juga telah dipaparkan pada bab satu. Kemudian, bab dua telah memberikan fondasi teoritis mengenai merek, pilihan merek, dan teori-teori sikap untuk membangun hipotesis-hipotesis penelitian. Bab berikutnya, yaitu bab tiga, menggambarkan metodologi penelitian yang diaplikasikan pada penelitian ini. Pada bab ini, dijelaskan bagaimana instrumen penelitian dibangun dan dinilai reliabilitas serta validitasnya. Sampel penelitian didesain sebagai sampel bertujuan untuk mendapatkan responden yang homogen sebagai suatu syarat dalam pengujian teori. Selanjutnya, bab empat menyampaikan hasil analisis data yang meliputi hasil survai uji coba dan survai aktual. Lebih lanjut, pada hasil survai aktual, disampaikan dua hasil analisis data: (1) data dari pertanyaan langsung dan (2) data dari pertanyaan tidak langsung (belief-based questionnaire). Akhirnya, pada bab lima ini disampaikan simpulan hasil penelitian serta implikasi temuan bagi teori dan praktis. Pada bagian ini juga disampaikan keterbatasan penelitian dan rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. Alur penulisan bab lima diperlihatkan pada Gambar 5.1.

178

Gambar 5.1 Alur Pembahasan Bab 5

5.1 Pendahuluan

5.2 Simpulan atas hipotesishipotesis penelitian 5.3 Keterbatasan penelitian

5.4 Implikasi terhadap teori

5.5 Implikasi terhadap praktis

5.6 Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya

Sumber: dikembangkan untuk penelitian ini

5.2. Simpulan atas Hipotesis-Hipotesis Penelitian Dengan didasarkan pada hasil analisis data, simpulan penelitian ini dibatasi oleh responden, produk, dan merek yang digunakan, serta hanya di dalam lingkup perilaku memilih satu merek. Ada tujuh simpulan dapat disampaikan dari hasil penelitian ini yang berkenaan dengan “bagaimana theory of planned behavior dan theory of trying dapat menjelaskan hubungan niat dan perilaku memilih satu merek di Indonesia, dan apakah theory of trying lebih fit dalam menjelaskan fenomena tersebut dibandingkan theory of planned behavior? Pertama, hasil analisis data dengan menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung dapat memberikan hasil yang berbeda yang juga dialami oleh Giles dan Cairns (1995) serta Terry dan O’Leary (1995). Walaupun penelitian ini menyampaikan dan

179

membahas hasil dari dua pengukuran (yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung) tersebut, tetapi posisi yang diambil penulis adalah menggunakan pengukuran langsung sebagai penentu akhir pengujian hipotesis. Artinya, hipotesis didukung atau tidak didukung hanya didasarkan pada pengukuran langsung dengan pertimbangan pada keakuratan dan keandalan pengukuran tersebut dibandingkan dengan pengukuran tidak langsung. Dengan demikian, hasil akhir hasil pengujian hipotesis adalah sebagaimana pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1

Hasil pengujian Hipotesis

Hipotesis

Theory of planned behavior H1 (pengaruh sikap terhadap niat) H2 (pengaruh norma subyektif terhadap niat) H3a (pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan Terhadap niat) H3b (pengaruh kontrol keperilakuan yang dirasakan Terhadap perilaku) H4 (pengaruh niat terhadap perilaku) H5 (norma subyektif mempunyai pengaruh yang lebih besar Dibandingkan dengan sikap dan kontrol Keperilakuan yang dirasakan) H6a (pengaruh frekuensi terhadap niat) H6b (pengaruh frekuensi terhadap perilaku) H6c (pengaruh resensi terhadap perilaku) Theory of trying H7 (pengaruh sikap terhadap niat) H8 (pengaruh norma subyektif terhadap niat H9 (pengaruh frekuensi terhadap niat) H10 (norma sosial mempunyai pengaruh yang lebih besar Dibandingkan dengan sikap dan frekuensi terhadap niat mencoba memilih) H11 (pengaruh sikap terhadap sukses dan harapan akan (AsEs), sikap terhadap gagal dan harapan (AfEf), sikap terhadap gagal dan harapan dan sikap terhadap proses (Ap) pada sikap mencoba memilih (At). H12a (pengaruh niat terhadap perilaku mencoba memilih) H12b (pengaruh frekuensi terhadap perilaku mencoba memilih) H12c (pengaruh resensi terhadap perilaku mencoba memilih)

Hasil

ditolak didukung didukung ditolak didukung ditolak

didukung ditolak ditolak didukung didukung didukung didukung

didukung (kecuali AfEf)

ditolak ditolak ditolak

180

Theory of planned behavior dan theory of trying H13 (Theory of trying lebih mampu memprediksi Fenomena memilih merek dibandingkan dengan theory of planned behavior )

didukung

Kedua, dengan menggunakan Tabel 5.1 tersebut, maka penelitian ini mendukung bahwa norma subyektif, kontrol keperilakuan yang dirasakan, dan frekuensi sebagai prediktor yang signifikan terhadap niat dalam TPB. Lebih lanjut, hasil penelitian ini mendukung bahwa norma sosial, frekuensi, dan sikap sebagai prediktor yang signifikan terhadap niat dalam TT. Tidak didukungnya hipotesis pengaruh sikap terhadap niat dalam TPB tetapi didukung didalam TT disebabkan oleh konsep sikap dalam TT sebagai konsep yang terinci dan eksplisit. Dengan kata lain, ketegasan konsep sikap dalam TT mampu memprediksi tendensi seseorang dalam berperilaku. Ketiga, resensi bukan sebagai prediktor yang signifikan terhadap niat baik dalam TPB maupun TT. Hal ini dapat disebabkan oleh target perilaku. Dengan kata lain, jika target perilaku adalah target perilaku yang berkesinambungan seperti mempelajari bahan perkuliahan (Dharmmesta, 2002), berolah-raga (Bagozzi & Kimmel, 1995), dan perilaku menggunakan obat-obat keras dan mariyuana (Fredricks & Dossett, 1983) maka resensi adalah prediktor yang signifikan. Keempat, hasil analisis memperlihatkan bahwa norma sosial merupakan faktor yang dominan sebagai faktor yang mempengaruhi niat seseorang untuk membeli dalam TT tetapi tidak dalam TPB. Prediktor yang berpengaruh lebih besar dalam TPB adalah kontrol keperilakuan yang dirasakan. Perbedaan hasil ini dapat dimungkinkan karena penggunaan variabel yang berbeda dalam masing-masing teori. Dengan kata lain, bagi responden penelitian ini, variabel kontrol keperilakuan yang dirasakan lebih berpengaruh jika dibandingkan dengan sikap dan norma subyektif (TPB). Tetapi, dalam TT, karena

181

tidak ada variabel kontrol yang menjelaskan sumber daya seseorang untuk membeli, maka norma sosial lebih berpengaruh dibandingkan sikap dan frekuensi mencoba lampau. Kelima, penelitian ini mendukung konstruk sikap sebagai multidimensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel sikap terbukti merupakan variabel yang multidimensi yang terdiri atas sikap terhadap sukses dan harapan akan sukses dan sikap terhadap proses. Analisis model pengukuran yang dilakukan pada penelitian ini menunjukan validitas konverjen dan diskriminan masing-masing dimensi tersebut. Keenam, hasil penelitian memperlihatkan bahwa niat sebagai prediktor yang signifikan dalam TPB tetapi tidak dalam TT. Penggunaan kontruk-konstruk tertentu dan berbeda baik dalam TPB dan TT mempengaruhi perbedaan hasil analisis kedua teori tersebut. Ketujuh, penelitian ini memperlihatkan hasil uji statistik TT lebih fit dibandingkan dengan TPB. Secara umum, dari tujuh simpulan tersebut dapat disampaikan bahwa pada penelitian ini TT lebih fit untuk menjelaskan hubunga sikap dan perilaku memilih satu merek dibandingkan TPB. Keberhasilan TT dalam menjelaskan fenomena memilih satu merek karena TT didukung oleh konstruk-kontruk dalam TT yang mencakup tujuan tersebut dan terinci. Sebagai contoh, konstruk sikap dalam TT adalah konsep yang multidimensi yang meliputi sikap terhadap keberhasilan, kegagalan, dan proses. Dalam TPB, sikap merupakan konstruk yang berdimensi satu. Dengan kata lain, sikap dalam TPB merupakan evaluasi seseorang terhadap perilaku yang mengarah pada tujuan secara umum. Selain konstruk sikap, variabel perilaku lampau juga merupakan variabel yang terinci dalam TT. Konsep ini dibedakan menjadi frekuensi perilaku lampau dan resensi perilaku lampau. Walaupun hasil analisis penelitian ini hanya mendukung hipotesis hubungan

182

frekuensi dan niat, penelitian TT ini mendukung adanya peranan perilaku lampau terhadap niat seseorang. Hal ini dapat terlihat pada model TPB-FR (perluasan TPB dengan menambahkan frekuensi dan resensi). Secara ringkas, walaupun hasil penelitian ini tidak ditujukan untuk digeneralisir, hasil penelitian mendukung pentingnya suatu teori memasukkan variabel-variabel yang tegas dan rinci untuk menjelaskan suatu fenomena. Penelitian TT dan TPB serta komparasi kedua teori tersebut masih diperlukan pada lingkup perilaku yang sama atau berbeda agar simpulan teori mana yang lebih fit dapat didukung dengan kuat.

5.3. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mempunyai tiga keterbatasan utama. Pertama, penelitian ini hanya menggunakan satu produk dan satu merek, yaitu produk pelembab pemutih merek Ponds. Dengan demikian, hasil penelitian ini tidak ditujukan untuk digeneralisasikan pada merek dan produk lainnya. Penggunaan satu produk adalah cukup beralasan sebagaimana tujuan penelitian ini adalah pengujian teori. Tidak hanya itu, dengan menggunakan satu merek yang spesifik merupakan salah satu kriteria agar hubungan sikap dan perilaku dapat ditingkatkan (Ajzen & Fishbein, 1980). Dalam kaitannya dengan generalisasi hasil penelitian, perbedaan karakteristik responden karena perbedaan karakteristik demografis dan psikografis responden juga membatasi generalisasi temuan penelitian ini pada konsumen merek Ponds tetapi di wilayah yang lain. Lebih lanjut, perbedaan keyakinan responden terhadap masing-masing merek pelembab pemutih membatasi generalisasi temuan penelitian ini pada merek pelembab pemutih lainnya. Keterbatasan kedua adalah responden yang digunakan, yaitu mahasiswi di Yogyakarta. Walaupun penggunaan sampel yang homogen adalah ideal dalam pengujian

183

teori, akan tetapi kesimpulan dan implikasi penelitian akan lebih dikuatkan jika dilakukan penelitian-penelitian lanjutan dengan sampel yang berbeda. Keterbatasan ketiga adalah berkaitan dengan personally administered questionnaire yang digunakan pada penelitian ini. Penggunaan kuesioner yang dilakukan sendiri tersebut dapat menyebabkan common method variance yang dapat mengarahkan kepada kesimpulan yang menyesatkan (Campbell & Fiske, 1959 dalam Podsakoff Organ, 1986). Jastifikasi atas penggunaan kuesioner yang dilakukan sendiri telah disampaikan pada Bab tiga sebelumnya. Secara ringkas, self-report memberikan keunggulan-keunggulan seperti waktu, tenaga, dan biaya yang yang lebih sedikit dibandingkan observasi langsung (Ajzen & Fishbein, 1980). Penelitian ini telah melakukan pengembangan skala yang rigid yang dapat mereduksi potensi terjadinya common method variance tersebut, misalnya: dengan mempertimbangkan item-trimming (Podsakoff & Organ, 1986) dan mereduksi acquiescence bias (Podsakoff et al., 2003).

5.4. Implikasi Terhadap Teori Temuan pada penelitian ini memberikan implikasi pada teori. Ada tiga implikasi pada teori adalah sebagai berikut. Pertama, hasil penelitian ini memberikan bukti empiris pengaruh variabel perilaku lampau pada niat. Perilaku lampau, menurut Bagozzi dan Warshaw (1990) dibedakan menjadi frekuensi dan resensi. Walaupun hanya variabel frekuensi yang signifikan mempengaruhi niat baik dalam TPB dan TT, penelitian ini mendukung pentingnya variabel perilaku lampau sebagai prediktor niat selain variabel sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Pengaruh frekuensi perilaku lampau terhadap niat dapat terjadi walaupun seseorang mempunyai sikap yang jelas atau sikap yang tidak jelas. Dengan kata lain, pada saat seseorang mempunyai sikap yang jelas, pengaruh frekuensi lampau adalah usaha untuk

184

konsisten dalam berperilaku. Demikian juga halnya pada saat seseorang tidak jelas dengan sikapnya, frekuensi perilaku lampau memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap niat. Seseorang yang tidak mempunyai sikap jelas dapat disebabkan kurangnya informasi untuk membentuk suatu keyakinan, atau karena tidak adanya evaluasi, atau karena ada hal yang memang tidak jelas (Dharmmesta, 2000; Bagozzi & Warshaw, 1990). Secara ringkas, hasil yang signifikan pengaruh frekuensi perilaku lampau terhadap dapat mendukung pemahaman pentingnya perilaku lampau dalam analisis perilaku konsumen. Kedua, model-model perilaku konsumen yang dikembangkan di negara barat menunjukan sikap sebagai faktor utama yang mampu mempengaruhi proses pembelian konsumen. Akan tetapi, penelitian ini menghipotesiskan bahwa norma subyektif sebagai prediktor yang memberikan pengaruh lebih besar dibandingkan prediktor lainnya. Walaupun hanya pada TT, hasil penelitian ini mendukung hipotesis tersebut. Dengan demikian, dapat disampaikan bahwa perbedaan prediktor yang memberikan pengaruhnya lebih besar dapat dipengaruhi oleh faktor budaya sebagai salah satu karakteristik konsumen yang mampu mempengaruhi proses mental konsumen dalam melakukan pengambilan keputusan pembelian (Wells & Prensky, 1996). Ketiga, hasil analisis yang memperlihatkan bahwa pengaruh sikap terhadap niat tidak signifikan dalam TPB menunjukan bahwa konstruk sikap bukan konsep yang terinci dan eksplisit untuk menjelaskan niat seseorang dalam mencapai tujuan. Sebaliknya, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konstruk sikap dalam TT adalah konsep yang terinci yang menjelaskan niat seseorang dalam mencapai tujuan. Konseptualisasi sikap yang jelas ini memberikan implikasi teoritis yaitu konsep sikap yang terinci mempengaruhi tendensi seseorang untuk berperilaku (Dharmmesta 2003b; 2002; Bagozzi & Kimmel, 1995).

185

Ringkasnya, implikasi teori atas hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: •

Penelitian ini mendukung bahwa ada prediktor penjelas lain selain sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan yang dapat memprediksi niat. Prediktor penjelas niat tersebut adalah frekuensi perilaku lampau.



Norma subyektif sebagai prediktor yang memberikan pengaruh lebih besar terhadap niat dibandingkan prediktor lainnya dalam budaya kolektivism.



Penelitian ini mendukung bahwa konstruk sikap dalam TT adalah konsep yang terinci yang jelas yang mampu dibedakan dengan konsep norma subyektif. Tegasnya sikap seseorang akan memperngaruhi tendensi seseorang untuk berperilaku.

5.5. Implikasi Manajerial Temuan penelitian ini memberikan implikasi-implikasi bagi produsen, khususnya bagian pemasaran pelembab pemutih Ponds. Implikasi-implikasi tersebut berkaitan dengan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, keyakinan-keyakinan konsumen terhadap produk pelembab pemutih Ponds, dan skala pengukuran yang dikembangkan dalam penelitian ini.

Variabel-variabel penelitian. Praktisi dapat menggunakan variabel-variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini pada penelitian sejenis dengan lebih yakin. Dengan kata lain, variabel-variabel telah teruji dapat

membantu praktisi untuk memahami

fenomena dengan kokoh.

Keyakinan-keyakinan konsumen. Implikasi praktis atas identifikasi keyakinankeyakinan responden akan dikaitkan dengan strategi pemasaran yang difokuskan pada

186

strategi promosi. Ada empat implikasi yang berkaitan dengan strategi promosi, khususnya penekanan pada strategi iklan, yang mengandung pesan akan produk, harga, dan distribusi. Pertama, penelitian ini mengindentifikasi keyakinan-keyakinan utama responden terhadap memilih dan menggunakan pelembab pemutih Ponds. Keyakinan-keyakinan yang positif yang dipercayai oleh responden dapat terus dipelihara oleh bagian pamasaran Ponds dengan iklan-iklan yang menggambarkan keyakinan-keyakinan tersebut. Misalnya, keyakinan responden bahwa Ponds dapat memutihkan dan mencerahkan kulit wajah. Maka, iklan-iklan yang akan dibuat sebaiknya menggambarkan perbedaan warna kulit sesudah menggunakan Ponds. Kedua, selain memelihara keyakinan-keyakinan positif yang dipercayai konsumen, bagian pemasaran Ponds dapat juga memperkenalkan keyakinan baru kepada konsumen melalui iklan. Keyakinan baru ini misalnya Ponds adalah produk yang aman bagi kulit dan cocok bagi semua jenis kulit. Ketiga, keyakinan-keyakinan negatif menurut responden penelitian ini adalah harga Ponds yang cukup mahal dan ketidak-tersediaan produk ukuran kecil pada saat akan dibeli. Keyakinan harga Ponds yang mahal ini dapat direduksi dengan iklan yang berkaitan dengan strategi produk. Dengan kata lain, produsen Ponds dapat membuat produk dengan beragam ukuran sehingga dengan adanya ukuran yang kecil akan membantu harga produk tersebut terjangkau konsumen, khususnya mahasiswa. Atau, keyakinan akan harga Ponds yang cukup mahal dapat direduksi dengan iklan yang menitik-beratkan pada manfaat produk dengan harga yang terjangkau. Terakhir, dalam kaitannya dengan keyakinan negatif responden atas ketersediaan produk, produsen Ponds harus lebih memperhatikan ketersediaan barangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan pengelolaan saluran distribusi dan kontrol yang kontinyu dari

187

tenaga penjual terhadap ketersediaan barang dan segera memesan sebelum produk tersebut habis di rak pajangan (display).

Instrumen penelitian. Penelitian ini mengembangkan instrumen penelitian melalui proses yang rigid dapat digunakan oleh praktisi baik untuk memahami sikap konsumen dalam memilih dan menggunakan Ponds. Penelitian yang dilakukan secara kontinyu juga dapat memperlihatkan jika ada terjadi perubahan sikap. Lebih lanjut, informasi yang diperoleh dari instrumen penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang berharga yang lebih baik dibandingkan jika praktisi hanya mengandalkan informasi penjualan produk saja yang turun-naiknya penjualan dipengaruhi beragam variabel.

Secara ringkas, implikasi terhadap praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menguji konstruk-konstruk pada TPB dan TT dimana konstruk-konstruk yang teruji dapat digunakan oleh praktisi dengan lebih yakin untuk memahami perilaku memilih dan menggunakan merek Ponds atau merek lainnya. 2. Mengidentifikasi keyakinan-keyakinan penting konsumen terhadap produk pelembab pemutih Ponds. 3. Mengembangkan instrumen penelitian yang dapat digunakan produsen Ponds untuk mengamati sikap atau perubahan sikap dalam membeli dan menggunakan Ponds.

5.6. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya Penelitian ini memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk penelitian selanjutnya. Pertama, sebagaimana telah dikemukakan pada sub bab keterbatasan penelitian, penelitian ini hanya menggunakan satu merek produk pelembab pemutih. Penelitian selanjutnya sebaiknya mereplikasi penelitian ini pada merek lain dalam kategori produk

188

yang sama sebelum generalisasi penelitian yang lebih kokoh disampaikan. Demikian juga halnya dengan responden mahasiswi yang digunakan pada penelitian ini. Penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan responden yang bukan mahasiswi sehingga hasil penelitian dapat digeneralisir. Kedua, penelitian ini menggunakan pengukuran langsung dan tidak langsung untuk menguji TPB dan TT. Akan tetapi, beberapa temuan mendapatkan hasil yang berbeda pada hipotesis yang sama, misalnya hipotesis didukung dengan menggunakan pengukuran langsung tetapi ditolak jika menggunakan pengukuran tidak langsung. Penelitian sejenis selanjutnya sebaiknya juga menggunakan

pengukuran yang sama

(pengukuran langsung dan tidak langsung) sehingga dapat diketahui pengukuran mana yang lebih stabil dan mampu menjelaskan fenomena memilih merek. Ketiga, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap tidak berpengaruh terhadap niat dalam menguji TPB jika menggunakan pengukuran langsung. Penelitian ini menggunakan kata sifat yang diacu dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan studi eksplorasi terlebih dahulu untuk menentukan kata sifat apa yang tepat untuk digunakan pada penelitian memilih merek. Keempat, hasil penelitian memperlihatkan hasil yang tidak signifikan “sikap terhadap gagal dan harapan akan gagal” (AfEf) sebagai dimensi sikap dalam TT. Penelitian selanjutnya dapat mencoba pada target perilaku yang sama (yaitu, memilih merek) untuk melihat apakah AfEf dapat menjadi prediktor sikap yang signifikan. Kelima, penelitian ini menggunakan tenggang waktu satu setengah bulan antara kuesioner keempat (sikap dan niat) dan kuesioner kelima (perilaku) dimana tenggang waktu tersebut merupakan hasil temuan dari penelitian eksplorasi. Akan tetapi, Ajzen dan Fishbein (1980), Ajzen (1988), dan penelitian yang dilakukan Dharmmesta (2002) merekomendasikan waktu yang singkat antara kuesioner sikap dan kuesioner perilaku.

189

Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat mencoba dengan mengaplikasikan tenggang waktu yang lebih singkat dibandingkan satu setengah bulan. Terakhir, penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode self-report tetapi dengan mempertimbangkan usaha-usaha yang dapat mereduksi common method variance (Podsakoff et al, 2003; Avolio, Yammarino, & Bass, 1991; Podsakoff & Organ, 1986).

190

DAFTAR PUSTAKA

Aaker, D.A. and Jacobson, R.J., 2001, “The Value Relevance of Brand Attitude in HighTechnology Markets,” Journal of Marketing Research, 38, 485-493. Aaker, D.A, Kumar, V. and Day, D.S., 2001, Marketing Research, 7th edn., NY: John Wiley & Sons. --------------, Batra, R. and Myers, J.G., 1992, Advertising Management, 4th edn., New Jersey: Prentice Hall. -------------- and Bagozzi, R.P., 1979, “Unobservable Variables in Structural Equation Models with an Application in Industrial Selling,” Journal of Marketing Research, 16, 147-158. Ajzen, I., 2002, “Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and Methodological Considerations,” http:/www-unix.oit.umass.edu/~aizen/pdf/tpb.measurement.pdf ----------, 2001, “Nature and Operation of Attitudes,” Annual Review of Psychology, 52, 27-58. ----------, 1991, “The Theory of Planned Behavior,” Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50, 179-211. ----------, 1988, Attitudes, Personality, and Behavior, Britain: Open University Press. ----------, Timko, C. and White, J.B., 1982, “Self-Monitoring and the Attitude-Behavior Relation,” Journal of Personality and Social Psychology, 42, 3, 426-435. ---------- and Fishbein, M., 1980, Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Alden, D.L., Hoyer, W.D. and Wechasara, G., 1989, “Choice Strategies and Involvement: a Cross-Cultural Analysis,” Advances in Consumer Research, 5, 693-701. Allport, G.W., 1967, ‘Attitudes,’ in Readings in Attitude Theory and Measurement, Martin Fishbein (ed.), New York: John Wiley & Sons. Amoo, T. and Friedman, H.H., 2000, “Overall Evaluation Rating Scales: An Assessment,” International Journal of Market Research, 42, 3, 301-310. Anderson, P.F., 1986, “On Method in Consumer Research: A Critical Relativist Perspective,” Journal of Consumer Research, 13, 155-173.

191

--------------------, 1983, “Marketing, Scientific Progress, and Scientific Method,” Journal of Marketing, 47, 18-31. Angelmar, R., Zaltman, G. and Pinson, C., 1972, “An Examination of Concept Validity,” Proceedings of the Third Annual Conference of the Association for Consumer Research, 586-593. Antonides, G., 1991, Psychology in Economics and Business, The Netherland: Kluwer Academic Publisher. Aogoustinos, M. and Walker, I., 1995, Social Cognition: An Integrated Introduction, London: Sage. Arbuckle, J.L. and Worthe, W., 1999, AMOS 4.0 User’s Guide, Chicago: SmallWaters Corporation. Armitage, C.J., Conner, M., and Norman, P., 1999, “Differential Effects of Mood on Information Procesing: Evidence from the Theory of Reasoned Action and Planned Behavior,” European Journal of Social Psychology, 29, 4, 419-433. Arnould, E., Price, L. and Zinkhan, G., 2002, Consumers, NY: McGraw-Hill. Assael, H., 1998, Consumer Behavior and Marketing Action, Ohio: South-Western College Publishing. Avolio, B.J., Yammarino, F.J., and Bass, B.M., 1991, “Identifying Common Methods Variance with Data Collected from a Single Source; an Unresolved Sticky Issue,” Journal of Management, 17, 3, 571-587. Azwar, S., 1995, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, Edisi ke 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bagozzi, R.P., 2000, “On the Concept of Intentional Social Action in Consumer Behavior,” Journal of Consumer Research, 27, 388-396. ------------------- and Dholakia, U., 1999, “Goal Setting and Goal Striving in Consumer Behavior,” Journal of Marketing, 63, 19-32. -------------------- and Kimmel, S.K., 1995, “A Comparison of Leading Theories for the Prediction of Goal-Directed Behaviors,” British Journal of Social Psychology, 34, 437-461. --------------------, 1994, “Structural Equation Models in Marketing Research: Basic Principles,” in Principles of Marketing Research, R.P. Bagozzi (ed.), Masschusetts: Blackwell Publishers.

192

--------------------, 1992, “The Self-Regulation of Attitudes, Intentions, and Behavior,” Social Psychology Quarterly, 55, 2, 178-204. --------------------, Baumgartner, H. and Yi, Y., 1992a, “State versus Action Orientation and the Theory of Reasoned Action: An Application to Coupon Usage,” Journal of Consumer Research, 18, 505-518. --------------------, Davis, R.P. and Warshaw, P.R., 1992b, “Development and Test of a Theory of Technological Learning and Usage,” Human Relations, 45, 659-664. --------------------, Yi, Y. and Phillips, L.W., 1991, “Assessing Construct Validity in Organizational Research, Administration Science Quarterly, 36, 421-458. ---------------------- and Warshaw, P.R., 1990, “Trying to Consume,” Journal of Consumer Research, 17, 127-140. ---------------------- and Burnkrant, R.E., 1985, “Attitude Organization and the AttitudeBehavior Relation: A Reply to Dillon and Kumar,” Journal of Personality and Social Psychology, 49, 1, 47-57. ----------------------, 1981, “Attitudes, Intentions, and Behavior: A Test of Some Key Hypotheses,” Journal of Personality and Social Psychology, 41, 4, 607-627. ----------------------, 1980, Causal Models in Marketing, New York: John Wiley & Sons. ----------------------- and Burnkrant, R.E., 1979, “Attitude Organization and the AttitudeBehavior Relationship,” Journal of Personality and Social Psychology, 37, 6, 913-929. ---------------------, Tybout, A.M., Craig, C.S. and Sternthal, B., 1979, “The Construct Validity of the Triparte Classification of Attitudes”, Journal of Marketing Research, 16, 88-95. ---------------------, 1977, “Convergent and Discriminant Validity by Analysis of Covariance Structures: The Case of the Affective, Behavioral, and Cognitive Components of Attitude,” Advances in Consumer Research, 4, 11-17. Baltas, G., 1998, “An Integrated Model on Category Demand and Brand Choice”, Journal of the Market Research Society, 40, 295-306. Bang, H., Ellinger, A.E., Hadjimarcou, J., and Traichal, P.A., 2000, “Consumer Concern, Knowledge, Belief, and Attitude Toward Renewals Energy: An Application of the Reasoned Action Theory, Psychology & Marketing, 17, 6, 458-468.

193

Barker, A., Nancorrow, C. and Spackman, N., 2001, “Informed Eclecticism: A Research Paradigm for the Twenty-First Century,” International Journal of Market Research, 3, 3-27. Baumgartner, H. and Homburg, C., 1996, “Applications of Structural Equation modeling in Marketing and Consumer Research: A Review,” International Journal of Research in Marketing, 13, 139-161. Bawa, K. and Shoemaker, R.W. 1987. “The Effects of a Direct Mail Coupon on Brand Choice Behavior,” Journal of Marketing Research, 24, 370-376. Bearden, W.O., Ingram, T.N. and LaForge, R.W., 2001, Marketing: Principles & Perspectives, 3rd edn., New York: McGraw-Hill. Bem, D.J., 1967, “Self-Perception: An Alternative Interpretation of Cognitive Dissonance Phenomena,” Psychological Review, 74, 183-200. Bentler, P.M and Chou, C., 1987, “Practical Issues in Structural Modeling,” Sociological Methods & Research, 16, 1, 78-117. --------------- and Bonett, D.G., 1980, “Significance Tests and Goodness of Fit in the Analysis of Covariance Structures,” Psychological Bulletin, 88, 3, 588-606. --------------- and Speckart, G., 1979, “Models of Attitude-Behavior Relations,” Psychological Review, 86, 5, 452-464. Berkman, H.W. and Gilson, C., 1986, Consumer Behavior: Concepts and Strategies, 3rd edn., Boston: Kent Publishing Company. Berkowitz, L. and Devine, P.G., 1995, “Has Social Psychology Always Been Cognitive? What is “Cognitive” Anyhow?,” Personality and Social Psychology Bulletin, 21, 6, 696-703. Bettman, J.R., Luce, M.F. and Payne, J.W., 1998, “Constructive Consumer Choice Processes,” Journal of Consumer Research, 25, 187-217. ------------------, Capon, N. and Lutz, R.J., 1975, ‘Multiattribute Measurement Models and Multiattribute Attitude Theory: A Test of Construct Validity,” Journal of Consumer Research, 1, 1-15. ------------------, 1971, “Methods for Analyzing Consumer Information Processing Models,” Proceedings of the Second Annual Conference of the Association for Consumer Research, 197-207. Blackston, M., 1992, “Observations: Building Brand Equity by Managing the Brand’s Relationships,” Journal of Advertising Research, May/June, 79-83.

194

Bless, H. and Mackie, D.M., 1992, “Mood Effects on Attitude Judgment: Independent Effects of Mood Before and After Message Elaboration,” Journal of Personality and Social Psychology, 63, 4, 585-595. Bloemer, J.M.M., 1998, “Brand Choice Involvement and Commitment: Two Different Though Related Concepts,” European Advances in Consumer Research, 3, 21-31. Bollen, K.A. and Long, J.S, 1993, Testing Structural Equation Models, California: Sage. ---------------, 1989, Structural Equations With Latent Variables, NY: Wiley. Boninger, D.A., Krosnick, J.A. and Berent, M.K., 1995, “Origins of Attitude Importance: Self-Interest, Social Identification, and Value Relevance,” Journal of Personality and Social Psychology, 68, 1, 61-80. Borgida, E. and Campbell, B., 1982, “Belief Relevance and Attitude-Behavior Consistency: The Moderating Role of Personal Experience,” Journal of Personality and Social Psychology, 42, 2, 239-247. Bottomley, P.A. and Holden, S.J.S., 2001, “Do We Really Know How Consumers Evaluate Brand Extensions? Empirical Generalizations Based on Secondary Analysis of Eight Studies,” Journal of Marketing Research, 38, 494-500. Brekler, S.J., 1984, “Empirical Validation of Affect, Behavior, and Cognition as Distinct Components of Attitude,” Journal of Personality and Social Psychology, 47, 6, 1191-1205. Brinberg, D. and Hirschman, E.C., 1986, “Multiple Orientations for the Conduct of Marketing Research: An Analysis of the Academic/Practitioner Distinction,” Journal of Marketing, 50, 161-173. Bristor, J.M., 1985, “Consumer Behavior from a Contemporary Philosophy of Science Perspective: an Organizational Framework,” Advances in Consumer Research, 12, 300-304. Brown, S.W. and Gaulden, C.F., 1982, “Replication and Theory Development,” in Theoretical Developments in Marketing, C.W. Lamb and P.M. Dunne (eds.), Chicago: American Marketing Association. Brownlie, D., Saren, M., Whittington, R. and Wensley, R. (1994), “The New Marketing Mypio: Critical Perspectives on Theory and Research in Marketing – Introduction,” 28,3, 6-12. Brucks, M. and Zeithmal, V., 1991, “Price and Brand Name as Indicators of Quality Dimensions,” MSI Working Paper, 91-130.

195

Bucklin, R.E. and Gupta, S., 1992, “Brand Choice, Purchase Incidence, and Segmentation: An Integrated Modeling Approach,” Journal of Marketing Research, 29, 201-215. Burton, S., Lichtenstein, D.R., Netemeyer, R.G. and Garretson, J.A., 1998, “A Scale for Measuring Attitude Toward Private Label Products and an Examination of Its Psychological and Behavioral Correlates,” Journal of the Academy of Marketing Science, 26, 4, 293-306. ------------ and Lichtenstein, D.R., 1988, “The Effect of Ad Claims and Ad Context on Attitude Toward the Advertisement,” Journal of Advertising, 17, 1, 3-11. Buttle, F. and Bok, B., 1996, “Hotel Marketing Strategy and the Theory of Reasoned Action,” International Journal of Contemporary Hospitality Management, 8, 3, 510. Byrne, B.M., 2001, Structural Equation Modeling with AMOS: Basic Concepts, Applications, and Programming, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Calder, B.J. and Tybout, A.M., 1999, “A Vision of Theory, Research, and the Future of Business Schools,” Journal of the Academy of Marketing Science, 27, 3, 359-366. Calder, B.J., Phillips, L.W. and Tybout, A.M., 1982, “The Concept of External Validity,” Journal of Consumer Research, 9, 241-244. -------------------------------------------------------, 1981, “Designing Application,” Journal of Consumer Research, 8, 197-207.

Research

for

Calderon, H., Cervera, A. and Molla, A., 1997, “Brand Assessment: A Key Element of Marketing Strategy,” Journal of Product & Brand Management, 6, 5, 293-304. Candel, M.J.J.M. and Pennings, J.M.E., 1999, “Attitude-based Models for Binary Choices: A Test for Choices Involving an Innovation,” Journal of Economic Psychology, 20, 547-569. Carmines, E.G. & Zeller, R.A., 1979, Reliability and Validity Assessment, California: Sage University Press. Chaiken, S. and Baldwin, M.W., 1981, “Affective-Cognitive Consistency and the Effect of Salient Behavioral Information on the Self-Perception of Attitudes,” Journal of Personality and Social Psychology, 41, 1, 1-12. Chan, R.Y.K., 1999, “Environmental Attitudes and Behavior of Consumers in China: Survey Findings and Implications, Journal of International Consumer Marketing, 11,4, 25-52.

196

Chang, M.K., 1998, “Predicting Unethical Behavior: A Comparison of the Theory of Reasoned Action and the Theory of Planned behavior,” Journal of Business Ethics, 17, 1825-1834. Chatterjee, S., Heath, T.B. and Basuroy, S., 2000, “Cross-Coupons and Their Effect on Asymmetric Price Competition Between National and Store Brands,” Advances in Consumer Research, 27, 24-29. Chatzisarantis, N.L.D., Hagger, M.S., Biddle, S.J., Karageorghis, C.I., Smith, B.M., and Sage, L., in press, “The Influences of Perceived Autonomy Support on Physical Activity within the Theory of Planned Behavior,” Journal of Sport and Exercise Psychology, http://www. -------------------------- and Biddle, S.J.H., 1998, “Functional Significance of Psychological Variables that are Included in the Theory of Planned Behavior: A Self-Determination Theory Approach to the Study of Attitudes, Subjective Norms, and Perceptions of Control and Intentions, European Journal of Social Psychology, 28, 303-322. Chattopadhyay, A. and Nedungadi, P., 1992, “Does Attitude toward the Ad Endure? The Moderating Effects of Attention and Delay,” Journal of Consumer Research, 19, 26-33. Chaudhuri, A., 1994, “The Diffusion and Innovation in Indonesia,” Journal of Product and Brand Management, 3, 3, 19-26. Chein, I., 1948, “Behavior Theory and the Behavior of Attitudes: Some Critical Comments,” in Readings in Attitude Theory and Measurement, Martin Fishbein (ed.), New York: John Wiley & Sons. Cheng, E.W.L., 2001, “SEM Being More Effective than Multiple Regression in Parsimonious Model Testing for Management Development Research,” Journal of Management Development,” 20,7,650-667. Chernev, A., 1997, “The Effect of Common Features on Brand Choice: Moderating Role of Attribute Importance,” Journal of Consumer Research, 23, 304-311. Christiastuti, G., 1997, “Mengincar Segmen Kosmetik Malaysia,” Warta Ekonomi, 47, 29. Churchill, G.A., 1979, “A Paradigm for Developing Better Measure of Marketing Constructs,” Journal of Marketing Research, 16, 64-73.

197

Clark, J.M. and Paivio, A., 1989, “Observational and Theoretical Terms in Psychology: A Cognitive Perspective on Scientific Language,” American Psychologist, 44, 3, 500-512. Clow, K.E. and Baack, D., 2002, Integrated Advertising, Promotion, and marketing Communications, New Jersey: Pearson Education. Conner, M. and McMillan, B., 1999, “Interaction effects in the Theory of Planned Behavior: Studying Cannabis Use,” British Journal of Social Psychology, 38, 195-222. Cooper, D.R. and Schindler, P.S., 1998, Business Research Methods, Boston: McGrawHill. Cordano, M. and Frieze, I.H., 2000, “Pollution Reduction Preferences of U.S. Environmental managers: Applying Ajzen’s Theory of Planned Behavior,” Academy of Management Journal, 43, 4, 627-642. Cote, J.A. and Buckley, M.R., 1988, “Measurement Error and Theory Testing in Consumer Research: An Illustration of the Importance of Construct Validity”, Journal of Consumer Research, 14, 579-582. Craig, C.S. and Douglas, S.P. (2000), International Marketing Research, 2nd edn., Chichester: Prentice Hall, Inc. Craig-Lees, M., Joy, S. and Browne, B., 1995, Consumer Behaviour, Australia: John Wiley & Sons. Crespi, I., 1974, “General Concepts,” in Handbook of Marketing, Robert Ferber (ed.), New York: McGraw-Hill. --------, 1965, Attitude Research, New York: American Marketing Association. Czinkota, M.R., Ronkainen, I.A., and Moffett, M.H., 1994, International Business, 3rd ed., Harcourt: The Dryden Press. Dahab, D.J., Gentry, J.W., and Su, W., 1995, “New Ways to Reach Non-Recyclers: an Extension of the Model of Reasoned Action to Recycling Behaviors,’ Advances in Consumer Research, 22, 251-256. Day, G.S. and Deutscher, T., 1982, “Attitudinal Predictions of Choices of Major Appliance Brands,” Journal of Marketing Research, 29, 192-198. ------------, 1970, Buyer Attitudes and Brand Choice Behavior, NY: The Free Press.

198

Davidson, A.R., Yantis, S., Norwood, M. and Monatno, D.E., 1985, “Amount of Information About the Attitude Object and Attitude-Behavior Consistency,” Journal of Personality and Social Psychology, 49, 5, 1184-1198. -------------------- and Jaccard, J.R., 1979, “Variables That Moderate the AttitudeBehavior Relation: Results of a Longitudinal Survey,” Journal of Personality and Social Psychology, 37, 8, 1364-1376. --------------------- and Morrison, D.M., 1983, “Predicting Contraceptive Behavior From Attitudes: A Comparison of Within- Versus Across-Subjects Procedures,” Journal of Personality and Social Psychology, 45, 5, 997-1009. Davis, D., 1996, Business Research for Decision Making, 4th edn., California: Warsworth Publishing Company. Davis, S., 1995, “A Vision for the Year 2000: Brand Asset Management,” Journal of Consumer Marketing, 12, 4, 65-82. Davis & Cosenza, R.M (1988), Business Research for Decision Making, New York, Harper and Row. Dayakisni, T. and Yuniardi, S., 2003, Psikologi Lintas Budaya, Malang: UMM Press. DeBono, K.G. and Snyder, M., 1995, “Acting on One’s Atitudes: the Role of a History of Choosing Situations,” Personality and Social Psychology Bulletin, 21, 6, 629-636. De Chernatony, L., 1996, “Integrated Brand Building Using Brand Taxonomies,” Marketing Intelligence & Planning, Vol. 14, No. 7, pp. 40-45. Del Rio, A.B., Vazquez, B. and Iglesias, V., 2001, “The Role of the Brand Name in Obtaining Differential Advantages,” Journal of Product & Brand Management, 10, 7, 452-465. Deshpande, R., 1999, “Foreseeing Marketing”, Journal of Marketing, 63, 164-167. -----------------, 1983, “Paradigma Lost: On Theory and Method in Research in Marketing, Journal of Marketing, 47, 101-110. DeVellis, R.F., 1991, Scale Development, California: Sage Publications. Dhar, R. and Simonson, I., 1999, “Making Complementary Choices in Consumption Episodes: Highlighting versus Balancing,” Journal of Marketing Research, 36, 29-49. -----------, 1992, “To Choose or Not to Choose: This is the Question,” Advances in Consumer Research, 19, 735-738.

199

Dharmmesta, B.S., 2003a, “Sikap dan Perilaku Konsumen dalam Pemasaran: Sebuah Tinjauan Sosial-Kognitif,” Kajian Bisnis, 29, 1-25. ----------------------, 2003b, Pemasaran Yang Berkeadilan Menuju pemberdayaan Konsumen, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, 6 September, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.

----------------------, 2002, “Trying To Act: An Empirical Study of Investigating Higher Education Consumers,” Gadjah Mada International Journal of Business, 4, 1, 4566. ----------------------, 2000, “Perilaku Mencoba Membeli: Sebuah Kajian Analitis Model Bagozzi-Warshaw Untuk Panduan Peneliti,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 15, 4, 453-470. ----------------------, and Khasanah, U., 1999, “Theory of Planned Behavior: An Application to Transport Service Consumers,” Gadjah Mada International Journal of Business, 1, 1, 83-96. ----------------------, 1998, “Theory of Planned Behavior Dalam Penelitian Sikap, Niat dan Perilaku Konsumen,” Kelola, 18, 85-103. ----------------------, 1997, “Keputusan Keputusan Stratejik Untuk mengeksplorasi Sikap dan Perilaku Konsumen,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Insonesia, 12, 3, 1-19. Dhar, R. and Wertenbroch, K., 2000, “Consumer Choice Between Hedonic and Utilitarian Goods,” Journal of Marketing Research, 37, 60-71. Diamantopoulos, A., 1994, “Modelling with LISREL: A Guide for the Uninitiated,” Journal of Marketing Management, 10, 105-136. Doghfus, N., Petrof, J.V., and Pons, F., 1999, “Values and Adaption of Innovations: A Cross-Cultural Study,” Journal of Consumer Marketing, 16, 4, 314-331. Doll, J. and Ajzen, I., 1992, “Accessibility and Stability of Predictors in the Theory of Planned Behavior,” Journal of Personality and Social Psychology, 63, 5, 754765. Doob, L.W., 1947, “The Behavior of Attitudes,” in Readings in Attitude Theory and Measurement, Martin Fishbein (ed.), New York: John Wiley & Sons. Dooley, D., 1995, Social Research Methods, 3rd edn., New Jersey: Prentice-Hall.

200

Doran, K.B., 2001, “Methodological Issues in Cross-Cultural Research: Lessons Learned in a Study of Chinese and North American Consumers,” Asia Pacific Advances in Consumer Research, 4, 239-242. Doyle, P., 2000, “Building Successful Brands : The Strategic Options,” The Journal of Consumer Marketing, Vol. 7, no.2, pp. 5-14. -----------, 1990, Value Based Marketing: Marketing Strategies for Corporate Growth and Shareholder Value, Oxford: John Wiley & Sons. Durvasula, S., Andrews, J.C., Lysanski, S. and Netemeyer, R.G., 1993, “Assessing the Cross-National Applicability of Consumer Behavior Models: A Model of Attitude toward Advertising in General,” Journal of Consumer Research, 19, 626-636. Eagly, A.H. and Chaiken, S., 1993, The Psychology of Attitude, Forth Worth: Harcout Brace Jovanovich College Publishers. Eagly, A.H., 1992, “Uneven Progress: Social Psychology and the Study of Attitudes,” Journal of Personality and Social Psychology, 63, 5, 693-710. East, R., 2000, “Complaining as Planned Behavior,” Psychology and Marketing, 17, 12, 1077-1095. Eastman, J.K., Goldsmith, R.R. and Flynn, L.R., 1999, “Status Consumption in Consumer Behavior: Scale Development and Validation,” Journal of Marketing Theory and Practice, Summer, 41-55. Eiser, J. R. and van der Plight, J., 1988, Attitudes and Decision, London: Routledge. Eliashberg. J., Gary, L. and Kim, N., 1995, “Searching for Generalizations in Business Marketing Negotiations,” Marketing Science, 14, G47-G60. Ellis,, H.C. and Hunt, R.R., 1993, Fundamentals of Cognitive Psychology, 5th ed., Dubuque: Brown & Benchmark. Elliot, R., Jobber, D. and Sharp, J., 1995, “Using the Theory of Reasoned Action to Understand Organizational Behavior: The Role of Beliefs Salience,” British Journal of Social Psychology, 34, 161-172. Engel, J.F., Blackwell, R.D. and Miniard, P.W., 1995, Consumer Behavior, 8th ed., Forth Worth: The Dryden Press. Evers, V. and Day, D., 1997, “The Role of Culture in Interface Acceptance, “ in Human Interaction, Howard, S., Hammond, J. and Undegaard, G. (ed.), London: Chapman & Hall.

201

Ewing, M.T., 2000, “Brand and Retailer Loyalty: Past Behavior and Future Intentions,” Journal of Product & Brand Management, 9, 2, 120-127. Farley, J.U., Lehmann, D.R. and Mann, L.H, 1998, “Designing the Next Study for Maximum Impact,” Journal of Marketing Research, 35, 496-501. --------------, --------------------- and Sawyer, A., 1995, “Empirical Marketing Generalizations Using Meta-Analysis,” Marketing Science, 14, G36-G46. -------------- and Kuehn, A.A., 1965, “Stochastic Models of Brand Switching,” in Science in Marketing, George Schwartz (ed.), New York: John Wiley & Sons. Farquhar, P.H., 1990, “Managing Brand Equity,” Journal of Advertising Research, 30, 711. Fazio, R.H., Powell, M.C. and Herr, P.M., 1983, “Toward a Process Model of the Attitude-Behavior Relation: Accessing One’s Attitude Upon Mere Observation of the Attitude Object,” Journal of Personality and Social Psychology, 44, 4, 723735. ---------------, Sanbonmatsu, D.M., Powell, M.C. and Kardes, F.R., 1986, “On the Automatic Activation of Attitudes,” Journal of Personality and Social Psychology, 50, 2, 229-238. Fishbein, M. & Ajzen, I., 1975, Belief, Attitudes, Intention, and Behavior: An Introduction to Theory and Research, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing. ---------------, 1975, “Attitude, Attitude Change, and Behavior: A Theoretical Overview,” in Attitude Research Bridges the Atlantic, P. Levine (ed.), American Marketing Association. ---------------, 1967, “Attitude and the Prediction of Behavior,” in Readings in Attitude Theory and Measurement, New York: John Wiley & Sons. Fisher, R.J. and Tellis, G.J., 1998, “Removing Social Desirability Bias With Indirect Questionning: Is the Cure Worse than the Disease?,” Advances in Consumer Research, 25, 563-567. Flynn, L.R. and Pearcy, D., 2001, “Four Subtle Sins in Scale Development: Some Suggestions for Strengthening the Current Paradigm,” International Journal of Market Research, 43,4, 409-423. Fornell, C. and Larcker, D.F., 1981, “Evaluating Structural Equation Models with Unobservable Variables and Measurement Error,” Journal of Marketing Research, 18, 39-50.

202

Fredricks, A.J. and Dossett, D.L., 1983, “Attitude-Behavior Relations: A Comparison of the Fishbein-Ajzen and the Bentler-Speckart Models,” Journal of Personality and Social Psychology, 37, 3, 315-321. Funder, D.C. and Ozer, D.J., 1983, “Behavior as a Function of the Situation,” Journal of Personality and Social Psychology, 44, 1, 107-112. Funkhouser, G.R., Parker, R. and Chatterjee, A., 1994, “A Cross-Cultural Comparison of Source and Brand Choice as a Function of Consumer Price and Non-Price Cost Sensitivities,” Asia Pacific Advances in Consumer Research, 1, 140-147. Gatra (2002), “Tolak Krim Pemutih,” No. 32, Thn. VIII, h. 78. Garver, M.S. and Mentzer, J.T., 1999, “Logistics Research Methods: Employing Structural Equation Modeling to test for Construct Validity,” Journal of Business Logistics, 20, 1, 33-57. Gensch, D.H. and Recker, W.W., 1979, “The Multinomial, Multiattribute Logit Choice Model,” Journal of Marketing Research, 16, 124-132. George, J.F., 2002, ‘Influences on the Intent to Make Internet Purchases,’ Internet Research; Electronic Networking Applications & Policy, 12, 2, 165-180. Giles, M and Cairns, E. (1995), “Blood Donation and Ajzen’s Theory of Planned Behavior: an Examination of Perceived Behavioral Control,” British Journal of Social Psychology, 34, 173-188. Goldberger, A.S., 1973, “Structural Equation Models: An Overview,” in Structural Equation Models in Social Sciences, A.S. Goldberger & O.D. Duncan (eds.), New York: Seminar Press. Goode, W.J. and Hatt, P.K., 1952, Methods in Social Research, NY: McGraw-Hill. Gorsuch, R.L. and Ortberg, J., 1983, “Moral Obligation and Attitudes: Their Relation to Behavioral Intentions,” Journal of Personality and Social Psychology, 44, 5, 1025-1028. Greenwald, A.G. and Banaji, M.R., 1995, “Implicit Social Cognition: Attitudes, SelfEsteem, and Stereotypes,” Psychological Review, 102, 1, 4-27. Guba, E.G. and Lincoln, Y.S., 1994, “Competing paradigms in Qualitative Research,” in Handbook of Qualitative Research, Denzin, N.K. and Lincoln, Y.S., eds., Thousand Oaks: Sage.

203

Gunadi, I.H, Sutarno, Handayani, T. and Lutfiah, A., 1995, Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya, Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ha, C.L., 1998, “The Theory of Reasoned Action Applied to Brand Loyalty,” Journal of Product & Brand Management, 7, 1, 51-61. Hadipranata, A.F. and Koswara, E., 1981, Penyesuaian dan Kebebasan Memilih Konsumen, Laporan Penelitian, No. 114, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. -----------------------------------------------, 1982, Interaksi Suami-Istri Dlam Memilih dan Mengambil Keputusan, Laporan Penelitian, No. 91, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Hair, J.F., Bush, R.P. and Ortinan, D.J., 2000, Marketing Research: A Practical Approach for the New Millennium, Boston: McGraw-Hill. Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. and Black, W.C., 1995, Multivariate Data Analysis, New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Halonen, J.S. and Santrock, J.W., 1999, Psychology: Contexts & Application: 3e, 3rd edn., NY: McGraw-Hill. Hansen, F., 1976, “Psychological Theories of Consumer Choice,” Journal of Consumer Research, 3, 117-142. Harrison, D.A. and McLaughlin, M.E., 1996, “Structural Properties and Psychometric Qualities of Organizational Self-Report: Field Test of Connections Predicted by Cognitive Theory,” Journal of Management, 22, 313-338. Hassan, F. (1989), Renungan Budaya, Jakarta: Balai Pustaka. Hauser, J.R., 1986, “Agendas and Consumer Choice,” Journal of Marketing Research, 23, 199-212. Hawkins, D.I., Best, R.J. and Coney, K.A., 1998, Consumer Behavior: Building Marketing Strategy, Boston: Irwin McGraw-Hill. Hayduk, L.A. (1996), LISREL: Issues, Debates, and Strategies, Baltimore: The Johnson Hopkins University Press. Healy, M. and Perry, C., 2000, “Comprehensive Criteria to Judge Validity and Reliability of Qualitative Research within the Realism Paradigm,” Qualitative Market Research, 3, 118-126.

204

Heath, R., 1999, “Just Popping Down to the Shops for a Packet of Image Statements” a New Theory of How Consumers Perceive Brands,” Journal of the Market Research Society, 41, 2, 153-169. Heider, F., 1967, “Attitudes and Cognitive Organization,” in Readings in Attitude Theory and Measurement, Martin Fishbein (ed.), New York: John Wiley & Sons. Heilman, C.M., Bowman, D. and Wright, G.P., 2000, “The Evolution of Brand Preferences and Choice Behaviors of Consumers New to a Market,” Journal of Marketing Research, 37, 139-155. Herche, J. and Engelland, B., 1996, ‘Reversed-Polarity Items and Scale Unidimensionality,” Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 24, No. 4, 366-374. Hofstede, G., 1994, Cultures and Organizations: Software of the Mind, London: HarperCollins Publishers. Holbrook, M.B. and O’Shaughnessy, J., 1988, “On the Scientific Status of Consumer Research and the Need for an Interpretive Approach to Studying Consumption Behavior,” Journal of Consumer Research, 15, 398-402. Homer, P.M. and Kahle, L.R., 1988, “A Structural Equation Test of the Value-AttitudeBehavior Hierarchy,” Journal of Personality and Social Psychology, 54, 4, 638646. Horton, R.L., 1984, Buyer Behavior: A Decision-Making Approach, Ohio: Charles, E. Merrill Publishing Company. Hox, J.J. and Bechger, T.M., 2003, “An Introduction to Structural Equation Modeling,” Family Science Review, 11, 354-373. Hoyle, R.H. and Panter, A.T., 1995, “Writing About Structural Equation Models,” in Structural Equation Modeling: Concepts, Issues, and Applications, Hoyle, R.H (editor), California: Sage. Hrubes, D., Ajzen, I. And Daigle, J., 2001, “Predicting Hunting Intentions and Behavior: An Application of the Theory of Planned Behavior,” Leisure Science, 23, 165178. Hubbard, R. and Scott, A.J., 1994, “Replications and Extensions in Marketing: Rarely Published but Quite Contrary,” International Journal of Research in Marketing, 11, 233-248. Hudson, L.A. and Ozanne, J.L., 1988, “Alternative Ways of Seeking Knowledge in Consumer Research, Journal of Consumer Research, 14, 508-521.

205

Hulland, J., Chow, Y.H. and Lam, S., 1996, “Use of Causal Models in Marketing Research: A Review,” International Journal of Research in Marketing, 13, 181197. Hutchinson, J.W., Raman, K. and Mantrala, M.K, 1994, “Finding Choice Alternatives in Memory; Probability Models of Brand Name Recall,” Journal of Marketing Research, 31, 441-461. Hutomo, R.S.,., 2002, “Agar si Mangkok Merah kembali Tersaji,” Marketing, 4, 18.

Hunt, S.D., 1991, Modern Marketing Theory: Critical Issues in the Philosophy of Marketing Science, Ohio: South Western Publishing Co. Hussey J. and Hussey, R., 1997, Business Research: A Practical Guide for Undergraduate and Postgraduate Students, London: MacMillan Press Ltd. Iswara, D., 2002, “Iklan Televisi: Mengapa Tidak Berperspektif Feminis?,” Kompas, 28 Oktober 2002. Jacoby, J., Johar, G.V. and Morrin, M., 1998, “Consumer Behavior: A Quadrennium,” Annual Review of Psychology, 49, 319-344. ------------, 1978, “Consumer Research: A State-of-the-Art Review,” Journal of Marketing, 42, 87-96. Joesoef, D. (1987), ‘Pancasila, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan,’ dalam Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, Prawihardjo, S.H., Bakker, Sutrisno, S. (editor), Yogyakarta: PT. BP Kedaulatan Rakyat. John, D.R. and Lakshmi-Ratan, R., 1992, “Age Differences in Children’s Choice Behavior: The Impact of Available Alternatives,” Journal of Marketing Research, 29, 216-226. Joreskog, K.G. and Sorbom, D., 1982, “Recent Developments in Structural Equation Modeling,” Journal of Marketing Research, 19, 404-416. ---------------------------------------, 1988, LISREL 7: A Guide to the Program & Application, Chicago: SPSS Inc. Kahle, L.R. and Berman, J.J., 1979, “Attitudes Cause Behavior: A Cross-Lagged Panel Analysis,” Journal of Personality and Social Psychology, 45, 3, 501-512.

206

Kalafatis, S.P., Pollard, M., East, R. and Tsogas, M.H., 1999, “Green Marketing and Ajzen’s Theory of Planned Behavior,” Journal of Consumer Marketing, 16, 5, 441-460. Kanler, C. and Todd,, S., 1998, “The Motivation to Purchase pension: An Application of Planned Behavior Theory, Kingston University Paper Series, http://business.king.c.uk/papers/opres32 Kaplan, D., 1995, “Statistical Power in Structural Equation Modeling’, in Structural Equation Modeling: Concepts, Issues, and Applications, California:Sage. Karahanna, E., Straub, D.W. and Chervany, N.L., 1999, “Information Technology Adoption Across Time: A Cross-Sectional Comparison of Pre-Adoption and PostAdoption Belief,” MIS Quarterly, 23, 183-231. Kardes, F.R., 1999, Consumer Behavior and Managerial Decision Making, NY: Addsion-Wesley. Kasali, R., 1998, “Using Communication Strategies to Design Food Marketing Strategies,” Kelola, 19, 107-125. -------------, 1994, Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Jakarta: PT. Temprint. Kassaye, W. Wossen and Schumaker, P.P., 1998, “Testing the Impact of Trying in Behavior Intervention,” Journal of Economic Psychology, 19, 75-106. Katona, G., 1963, Psychological Analysis of Economic Behavior, New York: McGrawHill. Keller, K.L., 1993, “Conceptualizing, Measuring and Managing Customer-Based Brand Equity,” Journal of Marketing, 57, 1, 1-22. --------------, 1991, “Memory and Evaluation Effects in Competitive Advertising Environments,” Journal of Consumer Research, 17, 463-476. Kelloway, E.K., 1998, Using LISREL for Structural Equation Modeling, London: Sage. Kerlinger, F.N. and Lee, H.B., 2000, Foundations of Behavioral Research, Fort Worth: Harcout College Publishers. King, G.A. and Sorrentino, R.M., 1983, “Psychological Dimensions of Goal-Oriented Interpersonal Situations,” Journal of Personality and Social Psychology, 44, 1, 140-162.

207

Kohli,C. and Thakor, M., 1997, “Branding Consumer Goods: Insight from Theory and Practice,” Journal of Consumer Marketing, 14, 3, 206-219. Kokkinaki, F., 1999, “Predicting Product Purchase and Usage: The Role of Perceived Control, Past Behavior and Product Involvement,” Advances in Consumer Research, 26, 576-583. Kompas, 2002, “Globalisasi dan Perubahan Nilai Kecantikan,” 14 Oktober, hal. 36. Kompas, 2001a, “Putih Itu Cantik, Tidak Putih Juga Cantik,” 25 Februari, hal.13. Kompas, 2001b, “Krim Pemutih dan Pilihan yang Kritis,” 14 Mei, hal. 34. Koslwsky, M., 1993, “A Comparison of Two Attitude-Behavior Models for Predicting Attrition in Higher Education,” The Journal of Applied Behavioral Science, 29, 359-365. Kotabe, M. and Helsen, K., 2001, Global Marketing Management, NY: John Wiley & Sons. Kotler, P., 2000, Marketing Management, New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Kraft, F.B., Granbois, D.H. and Summers, J.O., 1973, ‘Brand Evaluation and Brand Choice: A Longitudinal Study,” Journal of Marketing Research, 10, 235-241. Kraus, S.J., 1995, ‘Attitudes and the Prediction of Behavior: A Meta-Analysis of the Empirical Literature,” Personality and Social Psychology Bulletin, 21, 1, 58-75. Krishnamurthi, L., Raj, S.P. and Sivakumar, K., 1995, “Unique Inter-Brand Effects of Price on Brand Choice,” Journal of Business Research, 34, 47-56. Krosnick, J.A., 1999, “Survey Research,” Annual Review of Psychology, 50, 537-567. Lamb, C.W., Hair, J.E. and McDaniel, C., 1992, Principles of Marketing, Ohio: South Western Publishing Co. Landis, R.S., Beal, D.J. and Tesluk, P.E., 2000, “A Comparison of Aaproaches to Forming Composite Measures in Structural Equation Models,” Organizational Research Methods, 3, 2, 186-207. LaPiere, R.T., 1967, “Attitudes versus Actions,” in Readings in Attitude Theory and Measurement, Martin Fishbein (ed.), New York: John Wiley & Sons. Lassar, W., Mittal, B. and Sharma, A., 1995, “Measuring Customer-based Brand Equity,” Journal of Consumer Marketing, 12, 4, 11-19.

208

Lavine, H., Huff, J.W. and Wagner, S.H., 1998, “The Moderating Influence of Attitude Stength on the Susceptibility to Context Effects in Attitude Surveys,” Journal of Personality and Social Psychology, 75, 2, 359-373. Lee,C. and Green, R.T., 1991, “Cross-cultural Examination of the Fishbein Behavioral Intentions Model,” Journal of International Business Studies, 2nd Quarter, 289305. Lehmann, D.R., Farley, J.U. and Howard, J.A., 1971, “Testing of Buyer Behavior Models,” Proceedings of the Second Annual Conference of the Association for Consumer Research, 232-242. Levine, G.M., Halberstadt, J.B. and Goldstone, R.L., 1996, “Reasoning and the Weighting of Attributes in Attitude Judgements,” Journal of Personality and Social Psychology, 70, 2, 230-240. Ligas, M., 2000, “People, Products, and Pursuits: Exploring the Relationship between Consumer Goals and Product Meanings,” Psychology and Marketing, 17, 11, 9831003. Lilien. G.L., Kotler, P. and Moorthy. K.S., 1992, Marketing Models, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Lin., T., Hsu, M.H., Kuo, F. and Sun, P. (1999), “An Intention Model-Based Study of Software Piracy,” Proceeding of the 32nd Hawaii International Conference on System Sciences, http://www.computer.org/proceedings/hicss/0001/00015/ 00015030.pdf Leone, L., Perugini, M. and Ercolani, A.P., 1999, “A Comparison of Three Models of Attitude-Behavior Relationships in the Studying Behavior Domain,” European Journal of Social Psychology, 29, 161-189. Lord, K.R., Lee, M. and Sauer, P.L., 1995, “The Combined Influence Hypothesis: Central and Peripheral Antecedents of Attitude toward the Ad,” Journal of Advertising, 24, 1, 73-85. Louviere, J.J., Hensher, D.A., and Swait, J.D., 2000, Stated Choice Methods: Analysis and Application, UK: Cambridge University Press. Lovie, A.D., 1983, “Attention and Behaviorism-Fact and Fiction,” Journal of Personality and Social Psychology, 74, 501-510. Lynch, J.G., 1999, “Theory and External Validity,” Journal of the Academy of Marketing Science, 27, 3, 367-376.

209

--------------, Marmorstein, H. and Weigold, M.F., 1988, “Choices from Sets Including Remembered Brands: use of Recalled Attributes and Prior Overall Evaluations,” Journal of Consumer Research, 15, 169-184. --------------, 1982, “On the External Validity of Experiments in Consumer Research,” Journal of Consumer Research, 9, 225-239. MacCallum, R.C. and Austin, J.T., 2000, “Applications of Structural Equation Modeling in Psychological Research,” Annual Review of Psychology, 51, 201-226. MacCharty, E.J., 1978, Basic Marketing, 6th ed., Illinois: Richard D. Irwin. Mackie, D.M. and Asuncion, A.G., 1990, “On-Line and Memory-Based Modification of Attitudes: Determinants of Message Recall-Attitude Change Correspondence,” Journal of Personality and Social Psychology, 59, 1, 5-16. Mackenzie, S.B., 2001, “Opportunities for Improving Consumer Research through Latent Variable Structural Equation Modeling,” Journal of Consumer Research, 28, 159166. ------------------- and Spreng, R.A., 1992, “How Does Motivation Moderate the Impact of Central and Peripheral Processing on Brand Attitudes and Intentions?,” Journal of Consumer Research, 18, 519-529. ------------------- and Lutz, R.J., 1989, “An Empirical Examination of the Structural Antecedents of Attitude Toward the Ad in an Advertising Pretesting Context,” Journal of Marketing, 53, 48-65. Matsumoto, D., 1996, Culture and Psychology, NY: Brooks Cole Publishing, Co. McBroom, W.H. and Reed, F.W., 1992, “Toward a Reconceptualization of AttitudeBehavior Consistency,” Social Psychology Quarterly, 55,2, 205-216. Magnis-Suseno, F. (1996), ‘Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Budaya Perusahaan Indonesia,’ Usahawan, No. 7, Juli. Malhotra, N.K. and McGort, J.D. 2000. “A Cross-Cultural Comparisons of Behavioral Intention Models: Theoretical Consideration and an Empirical Investigation,” International Marketing Review, 18, 3, 235-269. ------------------ and Birks, D.F., 1999, Marketing Research: An Applied Approach, England: Prentice-Hall. Manrai, L.A. and Manrai, A.K., 1996, “Current Issues in the Cross-Cultural and CrossNational Consumer Research,” Journal of International Consumer Marketing, 8, 3/4, 9-22.

210

Manstead, A.S.R., 2000, “The Role of Moral Norm in the Attitude-Behavior Relation,” in Attitudes, Behavior, and Social Context, Terry, D.J. and Hogg, M.A. (eds.), New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. --------------------, Proffitt, C. and Smart, J.L., , “Predicting and Understanding Mothers’ Infant-Feeding Intentions and Behavior: Testing the Theory of Reasoned Action,” Journal of Personality and Social Psychology, 44, 4, 657-671. Mantel, S.P.. and Kardes, F.R., 1999, “The Role of Direction of Comparison, AttributeBased Processing, and Attitude-Based Processing in Consumer Preference,” Journal of Consumer Research, 25, 335-352. Masrun, Nartono, Faryanto, F.R., Harjito, P., Utami, M.S., Bawani, N.A., Aritonang, L. and Sitjipto, H., 1986, Studi Mengenai Kemandirian Pada Penduduk di Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis), Laporan Penelitian, Proyek Pola Pengembangan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, No. 15/P/PPKLH/12/1985, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. Maurer, T.J. and Palmer, J.K., 1999, ‘Management Development Intentions Following Feedback -–Role of Perceived Outcomes, Social Pressures, and Control,’ The Journal of Management Development, 18, 9, 733-751. Mathur, A., 1998, “Incorporating Choice into an Attitudinal Framework: Cross-Cultural Extension and Additional Findings,” Journal of International Consumer Marketing, 10, 4, 93-110. Melnick, E.L., Colombo, R. and Tasjian, R., 1991, “Sampled Survey Data: Quota Samples versus Probability Samples,” Advances in Consumer Research, 18, 576582. Miller, K.E. and Ginter, J.L., 1979, “An Investigation of Situational Variation in Brand Choice Behavior and Attitude,” Journal of Marketing Research, 16, 111-123. Milner, L.M., Fodness, D. and Speece, M.W., 1993, “Hosftede’s Research on CrossCultural Work-Related Values: Implications for Consumer Behavior,” European Advances in Consumer Research, 1, 70-76. Miniard, P.W., Sirdeshmukh, D. and Innis, D.E., 1992, “Peripheral Persuasion and Brand Choice,” Journal of Consumer Research, 19, 226-239. Miniard, P.W., Obermiller, C. and Page, T.J., 1981, “Predicting Behavior wit Intention: A Comparison of Conditional Versus Direct Measure,” Advance in Consumer Research, 9, 461-471.

211

Mittal, B., 1994, “A Study of the Concept of Affective Choice Mode for Consumer Decisions,” Advances in Consumer Research, 21, 256-263. ------------, 1990, “The Relative Roles of Brand Beliefs and Attitude Toward the as Mediators of Brand Attitude: A Second Look,” Journal of Marketing Research, 27, 209-219. ------------- and Lee, M., 1988, “Separating Brand-Choice Involvement from Product Involvement via Consumer Involvement Profiles,” Advances in Consumer Research, 15, 43-49. Morris, M.G. and Venkatesh, V., 2000, “Age Differences Technology Adoption Decisions: Implications for a Changing Work Force,” Personnel Psychology, 53,2 375-404. Mudambi, S., 2002, “Branding Importance in Business-to-Business Markets: Three Buyer Clusters,” Industrial Marketing Management, 31, 1-9. Mueller, R.O., 1996, Basic Principles of Structural Equation Modeling, New York: Springer. Munson, J.M. & McIntyre, S.H., 1979, “Developing Practical Procedures for the Measurement of Personal Values in Cross-Cultural Marketing,” Journal of Marketing Research, 16, 48-52. Murray, J.B. and Evers, D.J., 1989, “Theory Borrowing and Reflectivity Interdisciplinary Fields,” Advances in Consumer Research, 16, 647-652. Murphy, J.M., 1988, “Branding,” Marketing Intelligence and Planning, 6, 4, 4-8. Murthi, B.P.S. and Srinivasan, K., 1999, “Consumers’ Extent of Evaluation in Brand Choice,” Journal of Business, 72, No. 2, 229-256. Myers, J.H. and Alper, M.I., 1968, “Determinant Buying Attitudes: Meaning and Measurement,” Journal of Marketing, 32, 13-20. Negara, D.J. and Dharmmesta, B.S, 2001, “Normative Moderators of Impulse Buying Behavior,” Gadjah Mada International Journal of Business, 5,1, 1-14. Netemeyer, R.G. and Bearden, W.O., 1992, “A Comparative Analysis of Two Models of Behavioral Intention,” Journal of the Academy of Marketing Science, 20, 1, 4959. Neuman, W.L., 2000, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, 4th edn., Massachusetts: Allyn and Bacon.

212

Nicosia, F.M., 1978, “Brand Choice: Toward Behavioral-Behavioristic Models,” in Behavioral Management Science in Marketing, Silk, A.J. and Davis, H.L. (ed), NY: John Wiley & Sons. Obermiller, C. and Wheatley, J.J., 1985, “Beliefs in Quality Differences and Brand Choice,” Advances in Consumer Research, 12, 75-78. O’Connor, P.J., Sullivan, G.L. and Pogorzelski, D.A., 1985, “Cross Cultural Family Decisions: A Literature Review,” Advances in Consumer Research, 12, 59-64. O’Keefe, D.J., 1980, “The Relationship of Attitudes and Behavior: A Constructivist Analysis,” in Message-Attitude Behavior Relationship: Theory, Methodology, and Application, Robert D. McPhee (ed.), New York: Academic Press. Orbell, S., Hodgkins, S. and Sheeran, P., 1997, “Implementation Intentions and the Theory of Planned Behavior,” Personality and Social Psychology Bulletin, 23, 9, 945-954. O’Shaughnessy, J., 1985, “A Return to Reason in Consumer Behavior: an Hermeneutical Approach,” Advances in Consumer Research, 12, 305-311. ----------------------, 1992, Explaining Buyer Behavior: Central Concepts and Philosophy of Social Science Issues, New York: Oxford University Press. Palupi, D.H.,1997, “Berjaya Berkat Direct Selling”, Swa, Februari, hal. 53-54. Parasuraman,A., Zeithaml, V.A., and Berry, L.L., (1988), “SERVQUAL: A MultipleItem Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality,” Journal of Retailing, 64,1, 12-40. Park, C., Lessig, V.P. and Merrill, J.R., 1982, “The Elusive Role of Price in Brand Choice Behavior,” Advances in Consumer Research, 9, 201-205. Parker, D., Manstead, A.S.R. and Stradling, S.D., 1995, “Extending the Theory of Planned Behavior: The Role of Personal Norm,” British Journal of Social Psychology, 34, 127-137. Perugini, M. and Bagozzi, R.P., 2001, “The Role of Desires and Anticipated Emotions in Goal-Directed Behaviors: Broadening and Deepening the Theory of Planned Behavior,” British Journal of Social Psychology, 40, 79-98. Perry, C., Riege, A.M. and Brown, L., 1999, “Realism’s Role Among Scientific Paradigms in Marketing Research,” Irish Marketing Review, 12,2. Peter, J.P., Churchill, G.A., and Brwon, T.J., 1993, “Caution in the Use of Difference Scores in Consumer Behavior,” Journal of Consumer Research, 19, 655-662.

213

---------- and Olson, J.C., 1983, “Is Science Marketing?,” Journal of Marketing, 47, 111125. -----------, 1981, “Construct Validity: A Review of Basic Issues and Marketing Practices,” Journal of Marketing Research, May, 133-145. Peterson, R.A., 1994, “A Meta-analysis of Cronbach’s Coefficient Alpha,” Journal of Consumer Research, 21, 381-391. Petty, R.E. and Cacioppo, J.T., 1996, “Addressing Disturbing and Disturbed Consumer Behavior: It is Necessary to Change the Way We Conduct Behavioral Science?,” Journal of Marketing Research, February, 1-8. Pieters, R. and Warlop, L., 1999, “Visual Attention During Brand Choice: The Impact of Time Presure and Task Motivation,” International Journal of Research in Marketing, 16, 1-16. Pitta, D.A. and Katsanis, L.P., 1995, “Understanding Brand Equity for Successful Brand Extension,” Journal of Consumer Marketing, 12, 4, 51-64. Podsakoff, P.M., MacKenzie, S.B., Lee, J., and Podsakoff, N., 2003, “Common Method Biases in Behavioral Research: a Critical Review of the Literature and Recommended Remedies,” Journal of Applied Psychology, 88,5, 879-903. ------------------- and Organ, D.W., 1986, “Self-Reports in Organizational Research: Problems and Prospects,” Journal of Management, 12,4, 531-544. Powell, M.C. and Fazio, R.H., 1984, “Attitude Accessibility as a Function of Repeated Attitudinal Expression,” Personality and Social Psychology Bulletin, 10, 1, 139148. Pratt, R.W., 1978, “Consumer Behavior: Some Psychological Aspects,” in Behavioral Management Science in Marketing, Silk, A.J. and Davis, H.L. (ed.), NY: John Wiley & Sons. Pringle, H. and Thompson, H., 1999, Brand Spirit: How Cause Related Marketing Build Brands, Chichester: John Wiley & Sons. Purwanto, B.M., 2002, “The Effect of Salesperson Stress Factors on Job Performance,” Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia, 17, 2, 150-169. Raju, P.S., 1995, “Consumer Behavior in Global Markets: the A-B-C-D Paradigm and its Application to Eastern Europe and the Third World,” Journal of Consumer Marketing, 12, 5, 37-56.

214

Rigby, K., 1986, “Orientation Toward Authority: Attitudes and Behavior,” Australian Journal of Psychology, 38, 2, 153-160. Reynolds, T.J. and Olson, J., 2001, “The Means-End Approach to Understanding Consumer Decision Making,” in Understanding Consumer Decision Making: The Means-End Approach to Marketing and Advertising Strategy, Reynolds, T.J. and Olson, J. (eds.), New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Rokeach, M., 1968, Beliefs, Attitudes, and Values: A Theory of Organization and Change, California: Jossey-Bass, Inc., Publishers. Rosenthal, R. and Rosnow, R.L., 1991, Essentials of Behavioral Research: Methods and Data Analysis, New York: McGraw-Hill. Roy, R., Chintahunta, P.K. and Haldar, S., 1996, “A Framework for Investigating Habits, “The Hand of the Past,” and Heterogeneity in Dynamic Brand Choice”, Marketing Science, 15, 3, 280-299. Rundle-Thiele, S. and Bennett, R. 2001, “A Brand for All Seasons? A Discussion of Brand Loyalty Approaches and Their Applicability for Different Markets,” Journal of Product & Brand Management, 10, 1, 25-37. Ruslina, S., 2000, “Maraknya Pasar Produk Pelembab,” Swa, 18, 74-75. Ryan, M.J. and Bonfield, E.H., 1975, “The Extended Fishbein Model: Additional Insight and Problems,” Advanced in Consumer Research, 2, 265-284. Sahni, A., 1994, “Incorporating perceptions of Financial Control in Purchase Prediction : An Empirical Examination of the Theory of Planned Behavior,” Advances in Consumer Research, 21, 442-448. Saltzer, E.B., 1981, “Cognitive Moderators of the Relationship between Behavioral Intention and Behavior,” Journal of Social Psychology, 41, 2, 260-271. Sampson, P. and Palmer, J., 1975, “Attitude Measurement and Behavior Prediction,” in Attitude Research Bridges the Atlantic, P. Levine (ed.), American Marketing Association. Sarwono, S.S. (1998), “Cultural Values and Marketing Practices in Indonesia,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 13, 2, 90-100. Sastrosupono, M.S., 1982, Menghampiri Kebudayaan, Bandung: Penerbit Alumni. Sauer, P.L. and Dick, A., 1993, ‘Using Moderator Variable in Structural Equation Models,” Advances in Consumer Research, 20, 636-640.

215

Schiffman, L., Bednall, D., Cowley, E., Watson, J. and Kanuk, L., 1997, Consumer Behaviour, 2nd edn., Australia: Prentice Hall. Schifter, D.E. and Ajzen, I., 1985, “Intention, Perceived Control, and Weight Loss: An Application of the Theory of Planned Behavior,” Journal of Personality and Social Psychology, 49, 843-851. Schmelkin, L.P. and Pedhazur, E.J., 1991, Measurement, Design, and Analysis: An Integrated Approach, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Schmitt, N. and Stults, D.M., 1985, “Factors Defined by Negatively Keyed Items: The Results of Careless Respondents?,” Applied Psychological Measurement, 9, 367373. Schmitt, N.W. and Klimoski, R.J., 1991, Research Methods in Human Resources Management, Cincinnati: South-Western Publishing, Co. Schriesheim, C.A. and Eisenbach, R.J., 1995, “An Exploratory and Confirmatory FactorAnalytic Investigation of Item Wording Effects on the Obtained Factor Structures of Survey Questionnaire Measures,” Journal of Management, 24, 6, 1177-1193. Schutte, R.A. and Fazio, R.H., 1995, “Attitude Accessibility and Motivation as Determinants of Biased Processing: A test of the MODE Model,” Personality and Social Psychology Bulletin, 21, 7, 704-710. Sears, D.O., 1997, “The Impact of Self-Interest on Attitudes – A Symbolic Politics Perspective on Differences Between Survey and Experimental Findings: Comment on Crano,” Journal of Personality and Social Psychology, 72, 3, 492496. Sekaran, U., 2000, Research Methods for Business: A Skill Building Approach, 3rd edn., New York: John Wiley & Sons. Sharma, S., 1996, Applied Multivariate Techniques, New York: John Wiley & Sons. Shaw, M.E. and Costanzo, P.R., 1982, Theories of Social Psychology, 2nd edn., New York: McGraw-Hill. Sheppard, B.H., Hartwick, J. and Warshaw, P.R., 1988, “The Theory of Reasoned Action: A Meta-Analysis of Past Research with Recommendations for Modifications and Future Behavior,” Journal of Consumer Research, 15, 325343. Sheeran, P. and Orbell, S., 2000, “Self-Schemas and the Theory of Planned Behavior,” European Journal of Social Psychology, 30, 533-550.

216

-------------- and Taylor, S., 1999, “Predicting Intentions to Use Condoms: A MetaAnalysis and Comparisons of the Theories of Reasoned Action and Planned Behavior,” Journal of Applied Social Psychology, 29, 1624-1675. Shocker, A.D., Srivastava, R.K. and Ruekert, R.W., 1994, “Challenges and Opportunities Facing Brand Management,” Journal of Marketing Research, 31, 149-158. Sivakumar, K. and Raj, S.P., 1997, “Quality Tier Competition: How Price Change Influences Brand Choice and Category Choice,” Journal of Marketing, 61, 71-84. Skinner, B.F., 1985, “Cognitive Science and Behaviorism,” British Journal of Psychology, 76, 291-301. Smith, Robert E. and Swinyard, W.R., 1983, “Attitude-Behavior Consistency: The Impact of Product Trial versus Advertising,” Journal of Marketing Research, 20, 257-267. Sojka, J. and Tansuhaj, P.S., 1995, “Cross—Cultural Consumer Research: A TwentyYear Review,” Advances in Consumer Research, 22, 461-474. Sonquist, J.A. and Dunkelber, W.C., 1977, Survey and Opinion Research, New Jersey: Prentice-Hall. Spatz, B.a., Thombs, P.L., Bryne, T.J., and Page, B.J. (2003), “Use of the Theory of Planned Behavior to Explain HRT Decisions,” American Journal of Heatth Behavior, 27,4, 495. Spector, P.E., 1992, Summated Rating Scale Constructions: An Introduction, Newbury Parck, CA:Sage. Subaygo, A., 2001, “Multikulturalisme di Tengah Kultur Monolitik dan Uniformitas Global,” Kompas, 28 Desember. Sudman, S. and Blai, E., 1999, “Sampling in the Twenty-first Century,” Journal of the Academy of Marketing Science, 27, 2, 269-279. ------------ 1998, “Survey Research and Ethics,” Advances in Consumer Research, 25, 69-71. ------------ 1983, “Applied Sampling,” in Handbook of Survey Research, Rossi, P.H., Wright, J.D. and Anderson, A.B. (eds.), NY: Academic Press. Summers, J.O., 2001, “Guidelines for Conducting Research and Publishing in MarketingL From Conceptualization through the Review Process,” Journal of the Academy of Marketing Science, 29, 4, 405-415.

217

Steenkamp, J.E.M. and Baumgartner, H., 1998, “Assessing Measurement Invariance in Cross-National Consumer Research,” Journal of Consumer Research, 25, 78-90. ----------------------, Van Trijp, H.C.M., 1991, “The Use of LISREL in Validating Marketing Construct,” International Journal of Research in Marketing, 8, 283299. Sthepan,C.G. and Sthepan, W.G., 1985, Two Social Psychologies: An Integrative Approach, Illinois: The Dorsey Press. Tabachnick, B.G. and Fidell, L.S., 1996, Using Multivariate Statistics, 3rd ed., NY: Harper Collins College Publishers. Tan, C.H., McCullough, J., and Teoh, J., 1987, “An Individual Analysis to Cross Cultural Research,” Advances in Consumer Research, 14, 394-397. Tellis, G.J., 1988, “Advertising Exposure, Loyalty, and Brand Choice Purchase, A TwoStage Model of Choice,” Journal of Marketing Research, 25, 134-144. Temporal, P., 2000, Branding in Asia: The Creation, Development, and Management of Asian Brands for the Global Market, Singapore: John Wiley & Sons. Terry, D.J. amd Leary, J.E., 1995, “The Theory of Planned Behavior: The Effects of Perceived Behavioral Control and Self-Efficacy,” Bristish Journal of Social Psychology, 34, 199-220. Thompson, N.J. and Thompson, K.E., 1996, ‘Reasoned Action Theory: an Application to Alcohol-Free beer,’ Journal of Marketing Practice: Applied Marketing Science, 2,2, 35-48. Thurstone, L.L., 1967a, “The Measurement of Social Attitudes,” in Readings in Attitude Theory and Measurement, Martin Fishbein (ed.), New York: John Wiley & Sons. -------------------, 1967b, “Attitudes Can Be Measured,” in Readings in Attitude Theory and Measurement, Martin Fishbein (ed.), New York: John Wiley & Sons. Tkachev, A. and Kolvereid, L., 1999, “Self-Employment Intention among Russian Student,” Entrepreneurship & Regional Development, 11, 3, 269-280. Trafimow, D., 2001, “Condom Use Among U.S. Students: The Importance of Confidence in Normative and Attitudinal Perceptions,” The Journal of Social Psychology, 14, 1, 49-59. --------------- and Duran,A., 1998, “Some Tests of the Distinction Between Attitude and Perceived Behavioral Control,” British Journal of Social Psychology, 37, 1-14.

218

Triandis. H.C., Malpass, R. and Davidson, A. (1972), “Psychology and Culture,” Annual Review of Psychology, 24, 355-378. Tsang, E.W.K., 1999, “Replication and Theory Development in Organizational Science: A Critical Realist Perspective,” Academy of Management Review, 24, 4, 759-780. Tse, D.K., Wong, J.K. and Tan, C.T., 1988, “Towards Some Standardized Cross-Cultural Consumption Values,” Advances in Consumer Research, 15, 387-395. Tuck, M., 1973, “Fishbein Theory and the Bass-Talarzk Problem,” Journal of Marketing Research, 10, 345-348. Urde, M., 1994, “Brand Orientation – A Strategy for Survival,” Journal of Consumer Marketing, 11, 3, 18-32. Usahawan, 1996, “Strategi Penanggulangan Rumor,” No. 9, Th. XXV, September. Usunier, J., 2000, Marketing Across Cultures, England: Pearson Education Limited. Vodopivec, B., 1992, “A Need Theory Perspective on the Parallelism of Attitude and Utility,” Journal of Economic Psychology, 13, 19-37. Van den Putte, B., Hoogstraten, J. and Meertens, R., 1996, “A Comparison of Behavioral Alternative Models in the Context of the Theory of Reasoned Action,” Bristish Journal of Social Psychology, 34, 161-172. Van Raaij, W.F., 1978, “Cross-cultural Research Methodology as a Case of Construct Validity,” Advances in Consumer Research, 5, 693-701. Waters, K.M., 1991, “Designing Screening Questionnaire to Minimize Dishonest Answers,” Applied Marketing Research, 31, 1, 51-53. Webb, D.J., Green, C.L. and Brasher, T.G., 2000, “Development and Validation of Scales to Measure Attitudes Influencing Monetary Donations to Charitable Organizations,” Journal of the Academy of Marketing Science, 28, 2, 299-239. Weber, J. and Gillespie, J., 1998, “Differences in Ethical Beliefs, Intentions, and Behaviors,” Business & Society, 37, 4, 447-467. Webster, F.E., 2000, “Understanding the Relationships among Brands, Consumers and Resellers,” Journal of the Academy of Marketing Science, 28, 1, 17-23. Weiner, B., 2000, “Attributional Thoughts about Consumer Behavior,” Journal of Consumer Research, 27, 382-387. Wells, W.D. and Presnky, D., 1996, Consumer Behavior, NY: John Wiley & Sons.

219

Wilkie, W.L. and Moore, R., 1999, “Marketing’s Contribution to Society,” Journal of Marketing, 63, 198-218. Whetten, D.A. (1989), “What Constitutes a Theoretical Contribution,” Academy of Management Review, 14,4,490-495. Wilkie, W., 1986, Consumer Behavior, New York: John Wiley & Sons, Inc. Wilson, D.T., Mathews, H.L. and Harvey, J.W., 1975, “An Empirical Test of the Fishbein Behavioral Intention Model,” Journal of Consumer Research, 1, 39-48. Witt, R.R. and Bruce, G.D., 1972, “Group Influence and Brand Choice Congruence,” Journal of Marketing Research, 9, 440-443. Wood, L., 2000, “Brands and Brand Equity: Definition and Management,” Management Decision, 38, 9, 662-669. Woodside, A.G. and Bearden, W.O., 1977, “Longitudinal Analysis of Consumer Attitude, Intention, and Behavior Toward Beer Brand Choice,” Advance in Consumer Research, 4, 349-356. -------------------, Clokey, J.D. and Combers, J.M., 1975, “Similarities and Differences of Generalized Brand Attitudes, Behavioral Intention, and Reported Behavior,” Advances in Consumer Research, 2, 335-344. White, I.S., 1975, “Implications of a Holistic Theory of Attitude Formation,” in Attitude Research Bridges the Atlantic, P. Levine (ed.), American Marketing Association. Wright, B.R.R., 1998, “Behavioral Intention and Opportunities among Homeless Individuals: A Reinterpretation of the Theory of Reasoned Action,” Social Psychology Quarterly, 61, 4, 271-286. Wilson, D.T., Mathews, H.L. and Harvey, J.W., 1975, “An Empirical Test of the Fishbein Behavioral Intention Model,” Journal of Consumer Research, 1, 39-48. Wilcox, R.R., 1998, “The Goals and Strategies of Robust Methods,” British Journal of Mathematical and Statistical Psychology, 51, 1-39. Winer, R.S., 1999, “Experimentation in the 21st Century: The Importance of External Validity,” Journal of the Academy of Marketing Science, 27, 3, 349-358. Yau, O.H.M. 1994, Consumer Behaviour in China: Customer Satisfaction and Cultural Values, London: Routledge.

220

Yavas, U., 1994, “Students as Subjects in Advertising and Marketing Research,” International Marketing Review, 11, 4, 35-43. Zaltman, G. and Wallendorf, M., 1979, Consumer Behavior: Basic Findings and Management Implications, NY: John Wiley & Sons. Zanna, M.P., Olson, J.M. and Fazio, R.H., 1980, “Attitude-Behavior Consistency: An Individual Difference Perspective,” Journal of Personality and Social Psychology, 38, 3, 432-440. Zikmund, W.G., 1997, Exploring Marketing Research, 6th ed., Fort Worth: The Dryden Press. Zufryden, F.S., 1977, “A Composite Heterogeneous Model of Brand Choice and Purchase Timing Behavior,” Management Science, 24, 2, 121-136. Zuber-Skerritt, O., 1991, Professional Development in Higher Education: A Theoretical Framework for Action Research, Brisbane: Griffith University Press.

Related Documents

Tt
May 2020 33
Tt
November 2019 40