Diplomasi Ekonomi Amerika Serikat-RRC: Tanggapan RRC terhadap Tekanan Amerika Serikat atas Pembajakan Piranti Lunak di RRC (1991-2005)
Ditulis pada Februari 17, 2008 oleh kajianhi Ol eh : Derry Aplianta* Tulisan ini merupakan ringkasan hasil penelitian. Pokok persoalan dari penelitian tersebut adalah berupaya menyingkap kegiatan diplomasi ekonomi yang dilakukan AS ?RRC selama periode tahun 1991 ?2005 menyangkut kegiatan pembajakan piranti lunak yang berlangsung di RRC. Penelitian
ini
juga
berupaya
mengungkapkan
kebijakan-kebijakan
RRC
dalam
penanggulangan
pembajakan piranti lunak sebagai implementasi diplomasi ekonominya dengan AS. Pembajakan piranti lunak di RRC merupakan suatu fenomena yang lahir sebagai kombinasi dari perkembangan sejarah, budaya lokal, kehidupan sosial dan gaya hidup, kemajuan teknologi, serta transisi preferensi ekonomi dari suatu negara terhadap negara lainnya. Data statistik mengenai pembajakan piranti lunak yang dikeluarkan oleh BSA menunjukkan betapa tingginya perbedaan tingkat pembajakan antara RRC dan AS. Se ju ml ah T em ua n Berdasarkan
temuan-temuan
yang
diperoleh,
penelitian
ini
mengambil
beberapa
kesimpulan,
pe rt am a meskipun secara sekilas hubungan diplomasi antara AS dan RRC ini lebih mirip hubungan antara patron dan klien: AS sebagai negara pendikte, dan RRC sebagai negara yang didikte, namun bila kita mengembalikan logika berpikir kepada kerangka pemikiran yang terdiri atas konsep kebijakan luar negeri dan diplomasi ekonomi maka tentu kita akan menemukan bahwa kedua negara tersebut sebenarnya berada pada posisi tawar yang cukup seimbang: AS sebagai negara yang berkepentingan terhadap potensi pasar piranti lunak di RRC yang selama ini
揷 edera?akibat
pembajakan, dan di sisi lain kita menemukan RRC sebagai negara yang berkepentingan dengan pasar dunia 梔 i mana AS berperan sebagai key figure sekaligus sebagai konsumen produk-produknya, ditambah lagi fakta bahwa selama ini RRC menikmati surplus perdagangan dengan AS yang kian meningkat dari tahun-ke-tahun. Kepatuhan RRC dalam hal ini adalah sebuah konsekuensi dari
motivasi ekonominya atas surplus perdagangan tersebut, dan tindakan-tindakan AS yang sifatnya bisa mengancam kelangsungan aliran surplus ini adalah sesuatu yang sebisa mungkin dihindari oleh
RRC.
Hal
inilah
yang
kemudian disinyalir
menjadi
penyebab
mengapa
kebijakan
yang
diterapkan RRC sebagai upaya penanganan pembajakan piranti lunak sangat berkiblat kepada tuntutan-tuntutan AS secara spesifik.
Ke du a , selain dinilai monoton dalam hal pendekatan yang menekankan pada hubungan antara pemerintah,
dalam
penekanan
kebijakan
luar
negerinya
terhadap
RRC,
AS
dalam
setiap
kesempatannya terlalu menekankan pendekatan hukum sebagai aspek yang harus ditingkatkan sebagai upaya penanggulangan pembajakan piranti lunak. Penekanan aspek hukum oleh AS ini sangat dominan kendati dalam varian maupun instrumen atas tuntutan maupun implementasi kebijakan dari aspek ini cukup beragam, seperti misalnya revisi perudang-undangan, efisiensi dan debirokratisasi lembaga
peradilan, serta
tentunya
penegakan
hukum
dalam
tataran
praktis.
Pemerintah
AS
nampaknya tidak melakukan inovasi maupun perubahan mendasar atas pendekatan dan penekanannya terhadap RRC melalui aspek-aspek yang berbeda, kendati setiap tahunnya nilai pembajakan piranti lunak di RRC mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan sangat jarang mengalami penurunan. Berdasarkan temuan dari penelitian ini, maka dapat diasumsikan bahwa konsistensi AS dalam menekankan aspek hukum ini mungkin dapat dikaitkan dengan adanya penurunan tingkat pembajakan piranti lunak yang lebih mengalami kemajuan dari tahun-ke-tahunnya meskipun nilai ekonominya justru semakin membengkak.
Ke ti ga , tingginya tingkat pembajakan piranti lunak
di RRC secara jelas menunjukkan bahwa setidaknya masih terdapat ketidaksepahaman antara masyarakat RRC dan Pemerintah AS secara vertikal, Namun seperti yang mungkin pernah disebutkan sebelumnya, implementasi kebijakan yang selama ini dilakukan oleh RRC masih terlalu bersifat reaktif terhadap AS, dan nampaknya kurang sensitif kepada publiknya sendiri yang selama ini justru menjadi obyek hukum dari berbagai peraturan hukumnya. Implementasi kebijakan RRC selama ini dinilai bersifat terlalu top-to-bottom dengan AS sebagai watchdog-nya, sementara RRC dalam berbagai kesempatan nampak kurang peka dalam mencoba untuk memahami persoalan yang sebenarnya mendasari terjadinya pembajakan piranti lunak di masyarakatnya. Yang kemudian penting untuk dicermati dalam hal ini juga bahwa kontestasi budaya dan kepercayaan dalam hal ini memiliki peran yang penting dalam terjadinya ketidaksepahaman ini. Hal ini kemudian menjadi tugas berat
baik bagi RRC maupun AS untuk 搈 erekonstruksi?visi publik RRC atas gambaran mengenai urgensi penanggulangan pembajakan piranti lunak. Re ko me nd as i Ba gi R RC d an I nd on es ia Berdasarkan temuan-temuan tersebut, penelitian mencoba mengajukan rekomendasi yang diantaranya adalah: pe rt am a , selain AS harus mulai mengubah metode pendekatannya, yang selama ini hanya menggunakan pendekatan 3G to G? ke arah diplomasi publik terhadap masyarakat RRC. AS juga harus memahami bahwa RRC memiliki populasi terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi tinggi, sehingga tidaklah tepat apabila negara tersebut mengaharapkan hasil signifikan dalam waktu yang relatif singkat maupun melalui pendekatan pada tingkat elit maupun birokratis. Seperti
halnya
tren
sistem
perekonomian
RRC,
pendekatan
AS
terhadap
RRC
dalam
hal
penanggulangan pembajakan piranti lunak membutuhkan masa transisi yang tidak sebentar dan tentunya melalui
tahapan-tahapan
yang
sistematis.
Transisi
yang
dilakukan
tentunya
juga
dilaksanakan secara terencana mengingat sifat ancaman pembajakan atas piranti lunak yang tidak stagnan dan kian meningkat seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi informatika. Inti dari argumen
ini
adalah
bahwa
perlu
adanya
inovasi
pendekatan
baru
yang
menekankan
kepada
dekonstruksi nilai-nilai yang kiranya berkontribusi dalam perkembangan pembajakan piranti lunak di RRC. AS harus menerapkan strategi baru dalam diplomasi ekonominya, misalnya dengan melakukan kampanye anti pembajakan kepada publik RRC dalam bentuk-bentuk yang lebih konstruktif maupun persuasif, dan tentunya berpotensi besar dalam mendistorsi maupun merekonstruksi pemahaman publik RRC mengenai pembajakan.
Ke du a , masih terkait dengan perubahan kebijakan, selain aspek hukum AS, dalam hal ini juga harus memperhatikan faktor-faktor lain seperti ketertinggalan teknologi RRC dan berusaha untuk mengimbangi faktor tersebut misalnya dengan melakukan transfer teknologi yang bisa berupa pendidikan dan pelatihan maupun membuka peluang kerjasama bilateral diantara kedua negara dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Dengan meningkatnya tingkat penguasaan IPTEK masyarakat RRC atas teknologi komputer, hal ini tentunya akan berdampak pada meningkatnya industri piranti lunak dalam negeri RRC. Peningkatan industri piranti lunak RRC ini tentu diharapkan akan meningkatkan kesadaran masyarakat RRC terhadap bahaya pembajakan atas industri piranti lunak dalam negerinya sendiri, yang kemudian akhirnya menghasilkan pemahaman bahwa pembajakan justru akan merugikan industrinya sendiri, dan meruntuhkan stigma bahwa piranti lunak bajakan adalah piranti lunak patriot.
Ke ti ga , dalam hal ini Pemerintah RRC mungkin telah melakukan hal yang tepat dengan jalan melakukan program-program sosialisasi kepada publiknya di tahun 1997 dan 2002. RRC hendaknya bisa lebih sering melakukan model pendekatan tersebut, misalnya dengan mengadakan seminarseminar mengenai pembajakan yang melibatkan berbagai kalangan, terutama terhadap masyarakat
yang selama ini rentan terhadap pembajakan. Pendekatan ini selain menjadi solusi yang tepat untuk mengendalikan masalah pembajakan piranti lunak, juga bisa menumbuhkan kesadaran warganya bahwa pembajakan tidak hanya mengancam perekonomian AS, namun juga mengancam kelangsungan ekonomi yang selama ini dinikmati RRC. Sementara, pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia sebagai salah satu negara yang marak dengan pembajakan adalah pentingnya untuk mengubah visi dan etos kerja masyarakatnya menuju etos kerja yang kompetitif dan sarat akan kreativitas. Dengan bantuan dan dukungan dari pemerintah, baik secara moril maupun materil, untuk mendorong tumbuhnya kreativitas sebagai bagian dari budaya Indonesia, maka penghargaan masyarakat atas penciptaan maupun karya-karya yang dihasilkan di negara ini akan ikut meningkat. Kesadaran masyarakat inilah yang kemudian menjadi obat yang mujarab bagi masalah pembajakan yang selama ini terus menjangkiti Indonesia, karena peningkatan kesadaran dan penghargaan masyarakat terhadap karya cipta, dengan sendirinya akan berdampak pada menurunnya permintaan atas barang bajakan dan mematikan industri bajakan. Namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa kebijakan ini akan membutuhkan waktu yang panjang, mengingat untuk mewujudkan hal tersebut perlu dimulai dengan pembenahan dari tingkat elit politik, birokrasi, serta lembaga maupun aparat penegak hukum yang sangat sarat dan rentan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sementara kesadaran masyarakat akan sulit tercipta tanpa adanya peran dan dukungan pemerintah sebagai role model. *Penulis adalah alumnus S-1 Hubungan Internasional UI dan peneliti pada Center for East Asian
Cooperation Studies (CEACoS)