PENDAHULUAN
Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan terhadap berbagai penyakit. Infeksi oleh virus penyebab defisiensi imun merupakan masalah yang relatif baru, terutama pada anak. Masalah ini pertama kali dilaporkan di Amerika tahun 1982 sebagai suatu sindrom defisiensi imun tanpa diketahui penyebabnya. Jumlah kasus defisiensi imun makin meningkat secara cepat dan disertai angka kematian yang mencemaskan, maka dilakukanlah penelitian sehingga penyebab defisiensi imun ini ditemukan. Penyebabnya adalah Human Immunodefficiency Virus tipe-1 (HIV-1) pada tahun 1985. Human Immunodefficiency Virus (HIV) merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia saat ini. 95% infeksi HIV di seluruh dunia terjadi di negara berkembang. Menurut WHO, setiap tahunnya sekitar 390.000 anak terinfeksi HIV di negara-negara miskin dan berkembang.1,2 Infeksi HIV pada anak umumnya ditularkan oleh ibu secara vertikal pada saat hamil, melahirkan, dan menyusui. Oleh karena itu, penderita terbanyak ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (lebih dari 66%), sedangkan anak yang berusia antara 5-10 tahun sebanyak 26%, dan yang berusia lebih dari 10 tahun hanya 7,9%. Sebagian besar penderita (92,7%) berasal dari daerah perkotaan, kemudian sisanya berasal dari pedesaan. Sekitar 26% penderita sudah kehilangan orang tua (ibu atau ayah) karena meninggal akibat menderita penyakit HIV/AIDS. Selain itu, penularan dapat juga melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik terkontaminasi dan hubungan seks bebas tanpa alat pelindung. Insiden penyakit banyak ditemukan di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan. Kebanyakan penderita sudah ditinggal oleh salah satu orang tuanya karena meninggal akibat penyakit HIV/AIDS. Dengan demikian, perawatan serta masa depan anak menjadi tidak jelas.3,4 Dua sasaran utama infeksi HIV yaitu sistem imun dan sistem saraf. Imunopatogenesis penyakit HIV adalah terutama disebabkan oleh infeksi dan hilangnya sel CD4+ serta gangguan pada fungsi kelangsungan hidup sel T helper
1
serta makrofag dan sel dendrti yang penting dalam aktivasi sel T CD4+ juga merupakan sasaran infeksi HIV. Sistem saraf juga merupakan sasaran utama infeksi HIV yaitu dengan kemungkinan besar akibat virus tersebut dibawa masuk ke otak oleh monosit terinfeksi. Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena diperlukan waktu untuk terjadinya replikasi virus yang kemudian memegang peran dalam timbulnya berbagai gejala klinis dan laboratorium.5 Gejala klinis HIV pada anak sering tidak spesifik. Demikian juga, pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis pada bayi juga sangat sulit. Oleh karena itu diperlukan metode kriteria klinis untuk menentukan kemungkinan anak terinfeksi HIV. Metode tersebut terutama akan sangat bermanfaat untuk negara atau daerah dengan fasilitas yang sangat kurang. Untuk menjalankan semua itu diperlukan tatalaksana penderita yang lengkap dan menyeluruh dan untuk melakukannya diperlukan kerjasama yang harmonis antara keluarga dan petugas kesehatan yang terlibat, karena pengobatan dibutuhkan dalam waktu yang panjang.4
2
LAPORAN KASUS
I.
II
Identitas pasien Nama
: An. An
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 4 tahun
Agama
: Islam
Tanggal Masuk
: 5 oktober 2015
Identitas orang tua pasien
Ayah
Ibu
Nama
Tn. A
Ibu N
Alamat
Jln Elang
Jln. Elang
Pendidikan terakhir
SMA
SMP
Pekerjaaan
pedagang
Pekerja malam
Penghasilan
-
-
Pernikahan ke
1( 28tahun)
1(25tahun)
III. Anamnesis/Heteroanamnesis Dilakukan anamnesis pada nenek pasien pada tanggal 5 November 2015. Keluhan Utama
: Demam
Riwayat penyakit sekarang
:
Pasien anak laki-laki usia 4 tahun masuk dengan keluhan demam dua minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit, demam naik turun, turun dengan obat penurun panas, demamnya lebih sering pada malam hari saat demam tidak ada kejang, beringus (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), sariwan pada bagian lidah, kadang-kadang batuk (+), berlendir (-), sesak (-), nyeri tenggorokan(-),
sakit
menelan(-),
mual(-),
muntah(-).Pasien
juga
mengeluhkan bengkak pada kedua kaki yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. buang air besar dan buang air kecil biasa. Pasien sangat
3
lemas, sehingga tidak bisa berjalan dan hanya duduk sambil merangka sejak 3 hari yang lalu. Riwayat penyakit sebelumnya : Pasien pernah dirawat dengan diagnosa HIV pada usia 2 tahun Pasien riwayat GEA sekitar 2 minggu yang lalu Riwayat penyakit keluarga
:
Ibu menderita HIV Riwayat Sosial Ekonomi: Menengah ke bawah Riwayat kebiasaan dan lingkungan: Anak yang aktif Riwayat persalinan dan kahamilan
:
Pasien lahir cukup bulan secara normal Berat badan dan panjang bayi (tidak diingat) Kemampuan dan kepandaian bayi: Tengkurap usia 4 bulan Belajar berjalan 1 tahun 3 bulan Bicara belum jelas dari umur 1 tahun sampai sekarang Anamnesis makanan
:
ASI 0-8 bulan susu formula 8 bulan sampai sekarang bubur sampai sekarang Riwayat Imunisasi
:
Tidak diketahui IV. PEMERIKSAAN FISIK Kondisi Umum Keadaan umum
: lemah sakit sedang
Tingkat kesadaran
: Compos Mentis
BB
: 8,5 kg
TB
: 60 cm
Status gizi
: Gizi Buruk (Z score>-3 SD)
4
Tanda-tanda vital Tekanan darah
: 90/60 mmHg
Nadi
: 110 kali/menit
Pernapasan
: 32 kali/menit
Suhu
: 36,20C
Kulit
:likenifikasi(+) pada kedua tungkai kaki, Rumple leede (-)
Kepala
: -
Bentuk
: Microchepal(LK: 45 cm, <-2(98%))
-
Rambut
: Hitam, distribusi normal, tidak mudah rontok
-
Mata
: Konjunctiva anemis +/+, sclera ikterus -/-, edema
palpebra -/-, reflex pupil +/+, Pupil isokor, Mata cekung -/-
Hidung
: Rhinorrhea (-), pernapasan cuping hidung (-)
-
Telinga
: Othorrhea (-)
-
Mulut
: Kering (-), stomatitis(+), palatoschisis(+)
-
Tonsil
: T1/T1, hiperemis (+)
-
Faring
: Hiperemis (+)
-
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
-
Pembesaran kelenjar getah bening (+)
Thorax Paru-paru Inspeksi : pernapasan simetris kanan = kiri, pectus excavatum(+) Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-), ekspansi paru kanan = kiri, vocal fremitus kanan = kiri. Perkusi : Sonor Auskultasi:Bunyi pernapasan bronchovesiculer +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-. Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak Palpasi: Ictus cordis teraba pada spacium intercostalis V, linea midclavicularis sinistra, regular.
5
Perkusi
: Redup Atas
: Parasternal sinistra SIC2
Kanan
: Parasternal dextra SIC4
Kiri
: Midclavicula sinistra SIC5
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 murni regular. Abdomen Inspeksi : Tampak cembung, pergerakan dinding perut simetris, tidak ada bekas luka. Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal Perkusi
: Timpani
Palpasi
: Nyeri tekan (+), hepatomegali (+).
Genitalia
: Dalam batas normal
Anggota gerak
:
Ekstremitas atas
: Akral hangat, edema (-), deformitas (-)
Ekstremitas bawah
: Akral hangat, edema (+), deformitas (-)
Punggung
: Tidak terdapat kelainan
Otot-otot
: Tidak terdapat kelainan
Refleks
: Fisiologi +/+ , Patologis -/-
6
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium
:
Darah rutin
Nilai normal
RBC 2,86 x106/mm3
4,10-5,50x106/mm3
HGB 5,8g/dl
12-14g/dl
HCT 19,7 %
36,0-44,0%
MCH 20,1 pg
24-30pg
MCHC 29,3 g/dl
32-36g/dl
PLT 354x103 /mm3
200-400 x103/mm3
WBC 5,4x103 /mm3
5,0-15,0 x103/mm3
VI. RESUME Pasien anak laki-laki usia 4 tahun masuk dengan keluhan demam dua minggu sebelum masuk rumah sakit, demam naik turun, turun dengan obat penurun panas, demamnya lebih sering pada malam hari, pasien mengeluhkan sariwan pada bagian lidah, kadang-kadang batuk (+). Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kaki yang dialami sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. buang air besar dan buang air kecil biasa. Pasien sangat lemas, sehingga tidak bisa berjalan dan hanya duduk sambil merangka sejak 3 hari yang lalu. Riwayat penyakit dahulu Pasien pernah dirawat dengan diagnosa HIV pada usia 2 tahun, riwayat GEA sekitar 2 minggu yang lalu dan riwayat keluarga pasien ibunya menderita HIV, riwayat minum ASI 0-8 bulan. Dari pemeriksaan fisik diperoleh keadaan umum pasien lemah sakit sedang, kesadaran komposmentis dan gizi buruk. TD :90/60 mmHg, N : 110 kali/menit, P : 32 kali/menit, S : 36,20C. kepala: microcephal, konjungtiva anemis+/+, pada mulut: stomatitis dan palatoschisis, pada leher: ada pembesaran kelenjar getah bening, paru-paru terlihat pectus excavatum. Pada abdomen:terlihat
cembung,
nyeri
tekan
disebelah
kanan
dan
ada
hepatomegali. Pada ekstremitas bawah: edama(+). Pada pemeriksaan
7
penunjang didapatkan untuk leukosit normal dan trombosit normal tetapi untuk RBC, HB, MCH dan MCHC semuanya nilainya menurun. VII.
DIAGNOSIS : HIV pada anak dan gizi buruk
VIII. TERAPI IVFD RL 12 tpm Inj. Ceftriaxone 2x150 mg Pct 4x1 sendok Nystatin 3x1 ml Boles Dexstrosa 10% 50 ml F75 2 jam 1= 20 atau 30 menit 10 jam berikutnya 70 cc/2 jam Vit. A 200.000 iv Vit. B 1x1 tab Vit. C 2x1 tab Asam folat 5 mg,Hari selanjutnya 1 mg.
8
Follow Up 6 November 2015 S
: demam(-), kaki bengkak, buang air besar dan buang air kecil biasa
O
: TD : 90/60 mmHg N
:100 kali/menit
S
: 37,5°C
R : 41 kali/menit Mulut: stomatitis dan palatoschisis, leher: ada pembesaran kelenjar getah bening, paru-paru terlihat pectus excavatum(sternum terangkat) abdomen: terlihat cembung, nyeri tekan disebelah kanan dan ada hepatomegali. Pada ekstremitas bawah: edama(+). A
: HIV pada anak dan gizi buruk
P : IVFD RL 12 tpm Inj. Ceftriaxone 2x150 mg Pct 4x1 sendok Nystatin 3x1 ml Boles Dexstrosa 10% 50 ml F75 2 jam 1= 20 atau 30 menit 10 jam berikutnya 70 cc/2 jam Vit. A 200.000 iv Vit. B 1x1 tab Vit. C 2x1 tab Asam folat 5 mg H1 selanjutnya 1 mg.
9
7 November 2015 S : demam(+), batuk(+), kaki bengkak, buang air besar dan buang air kecil biasa O : TD : 90/60 mmHg N
:124 kali/menit
S
: 39,6°C
R : 42 kali/menit BB : 8,5 kg Mulut: stomatitis dan palatoschisis, leher: ada pembesaran kelenjar getah bening, paru-paru terlihat pectus excavatum(sternum terangkat) abdomen: terlihat cembung, nyeri tekan disebelah kanan dan ada hepatomegali. Pada ekstremitas bawah: edama(+). A
: HIV pada anak dan gizi buruk
P : Terapi lanjut Inj. Dexamethasone 3x ¼ ampl GG 1/3 tab Salbutamol 0,9 mg
3x1 pulv
Ctm 0,9 mg
10
8 November 2015 S
: demam(+), batuk (+)kaki bengkak, buang air besar dan buang air kecil biasa
O
: TD : 90/60 mmHg N
:100 kali/menit
S
: 38°C
R
: 41 kali/menit
Mulut: stomatitis dan palatoschisis, leher: ada pembesaran kelenjar getah bening, paru-paru terlihat pectus excavatum(sternum terangkat) abdomen: terlihat cembung, nyeri tekan disebelah kanan dan ada hepatomegali. Pada ekstremitas bawah: edama(+). A
: HIV pada anak dan gizi buruk
P : Terapi lanjut Inj. Dexamethasone 3x ¼ ampl GG 1/3 tab Salbutamol 0,9 mg
3x1 pulv
Ctm 0,9 mg
11
9 November 2015 S
: demam(+), kaki bengkak, buang air besar dan buang air kecil biasa
O
: TD : 90/60 mmHg N
:100 kali/menit
S
: 38°C
R
: 44 kali/menit
BB : 8,5 kg Mulut: sariawan leher: ada pembesaran kelenjar getah bening, paru-paru terlihat pectus excavatum(sternum terangkat) abdomen: terlihat cembung dan teraba kembung, nyeri tekan disebelah kanan dan ada hepatomegali. Pada ekstremitas bawah: edama(+). A
: HIV pada anak dan gizi buruk
P : Terapi lanjut IVFD RL 12 Tpm Inj. Cefriaxone 2x150 mg Pct 4x1 Nystatin 3x1 As. Folat 1x1 mg Vit C 2x1 tab B. cop 1x1 tab
12
10 November 2015 S : lemas, demam(+), sariawan,kaki bengkak, buang air besar dan buang air kecil biasa. O
: TD : 90/60 mmHg N
:134 kali/menit
S
: 39,6°C
R
: 44 kali/menit
Mulut: stomatitis dan palatoschisis, leher: ada pembesaran kelenjar getah bening, paru-paru terlihat pectus excavatum(sternum terangkat) abdomen: terlihat cembung, nyeri tekan disebelah kanan dan ada hepatomegali. Pada ekstremitas bawah: edama(+). A
: HIV pada anak dan gizi buruk
P : Terapi lanjut
13
11 November 2015 S
: demam(-), kaki bengkak(+), buang air besar cair 5x/ sehari terdapat darah dan lendir
O
: TD : 90/60 mmHg N
:130 kali/menit
S
: 36,5°C
R
: 41 kali/menit
Mulut: stomatitis dan palatoschisis, leher: ada pembesaran kelenjar getah bening, paru-paru terlihat pectus excavatum(sternum terangkat) abdomen: terlihat cembung, nyeri tekan disebelah kanan dan ada hepatomegali. Pada ekstremitas bawah: edama(+). A
: HIV pada anak dan gizi buruk
P : Terapi lanjut
14
DISKUSI
HIV adalah singkatan Human Immnuodefficiency Virus yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan terhadap berbagai penyakit. Infeksi HIV pada anak merupakan masalah yang relatif baru. Human Immnuodefficiency Virus adalah suatu virus RNA dari famili retrovirus dan subfamily lentiviridae. Dikenal dua serotipe yaitu HIV-1 dan HIV2. HIV-1 sebagai penyebab sindrom defisiensi imun yang tersering di seluruh dunia.1,2 Ada 3 faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, tindakan obstetrik a. faktor ibu -
Jumlah virus Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV diatas 100.000 kopi/ml.
-
Jumlah sel CD4 Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar
-
Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan resiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV bayi
-
Penyakit infeksi selama hamil Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran reproduksi lainnya dan tuberkolosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
15
-
Gangguan pada payudara Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain seperti mastitis, abses, dan luka diputing payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui Asi.
b. Faktor bayi -
Usia kehamilan dan berat badan pada bayi saat lahir Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik
-
Periode pemberian ASI Semakin lama ibu menyusui, berisiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
-
Adanya luka dimulut bayi Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI
c. Faktor obstetrik Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu dijalan lahir, faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke anak selama persalinan adalah: -
Jenis persalinan Risiko penularan persalinan pervaginaan lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar
-
Lama persalinan Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
-
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga 2 kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
-
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
16
Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu terpisah oleh beberapa lapis sel yang terdapat diplasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi jika terjadi infeksi, peradangan, maupun kerusakan plasenta maka HIV bisa menembus plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Selama hamil biasa 5-10%, bersalin 10-20%, menyusui 5-20%, resiko penularan keseluruhan 20-50%. Apabila ibu tidak menyusui bayinya resikonya 20-30%. Dan berkurang apabila jika ibunya sudah beriobat ARV, pemberian ARV jangka pendek dan asi eksklusif memiliki risiko penulran hiv sekitar 15-25% dan risiko penulran 5-15% apabila ibu tidak menyusui. Tetapi kalau jangka panjang maka ndapat menurunkan 1-5% risikonya.
Diagnosis HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Anamnesis yang mendukung kemungkinan adanya infeksi HIV, yaitu :1 1.
Lahir dari ibu dengan risiko tinggi
2.
Lahir dari ibu dengan pasangan berisiko tinggi
3.
Penerima transfusi darah atau komponennya, lebih-lebih berulang dan tanpa uji tanpa HIV
4.
Penggunaan obat parenteral atau intravena secara keliru (biasanya pecandu narkotika)
5.
Homoseksual atau biseksual
6.
Kebiasaan seksual yang keliru.
17
Pada kasus ini pasien lahir dari ibu yang berisiko tinggi karena ibu pasien mempunyai pekerjaan malam. Pada anamnesis juga didapatkan pasien sudah 2 minggu menderita demam, pasien mengeluhkan sariwan pada bagian lidah dan riwayat GEA sekitar 2 minggu yang lalu. Pemeriksaan fisik pada mulut: stomatitis dan palatoschisis, pada leher: ada pembesaran kelenjar getah bening, paru-paru terlihat pectus excavatum. Abdomen terdapat hepatomegali. Hal ini sudah sesuai dengan gejala dari HIV yaitu sebagai berikut: Gejala Non Spesifik (prodromal) Infeksi HIV1 1. Demam 2. Gangguan pertumbuhan 3. Kehilangan berat badan (10% atau lebih) 4. Hepatomegali 5. Limfadenopati (diameter lebih dari 0,5 cm pada 2 tempat atau lebih) 6. Splenomegali 7. Parotitis 8. Diare Gejala Spesifik Infeksi HIV1 1. Gangguan tumbuh kembang dan fungsi intelek 2. Gangguan pertumbuhan 3. Defisit motoris yang progresif yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala berikut, paresis, tonus otot yang abnormal, refleks patologis, ataksia atau gangguan melangkah 4. Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)
18
5. Infeksi sekunder yang terdiri dari : a. Infeksi oportunistik seperti pneumonia oleh Pneumocystis carinii, kandidiasis, infeksi cryptococcus, infeksi mikobakterian yang atipik b. Infeksi sekunder oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis, Salmonella enteritidis yang menimbulkan sepsi, meningitis, pneumonia dan abses organ interna. c. Infeksi virus yang berat dan berulang, stomatitis herpes yang kronik dan berulang, herpes zoster multidermatomal atau luas. Untuk Pemeriksaan penunjang HIV yang biasa dilakukan yaitu sebagai berikut:8 1. Umur pasien <18 bulan:
Bila tersedia dan mampu, lakukan pemeriksaan PCR RNA (DNA) sebagai pemeriksaan yang paling akurat untuk anak usia kurang dari 18 bulan. Diagnosis infeksi HIV dapat ditegakkan bila dua hasil tes virologi terhadap dua sampel darah berbeda menunjukkan hasil positif.
Bila status ayah dan ibu tidak diketahui, dapat dilakukan pemeriksaan antibodi antiHIV, sebaiknya dengan ELISA dan menggunakan 3 reagens yang berbeda, diikuti dengan pemeriksaan konfirmasi (immunoblot atau imunoflouresens). Jika hasil negatif, maka kemungkinan besar bayi tidak terinfeksi HIV, sedangkan bila hasil positif maka belum tentu bayi terinfeksi karena antibodi maternal dapat terdeteksi hingga usia 18 bulan.
Pada bayi yang masih mendapat ASI, interpretasi tes HIV menjadi tidak akurat. Periode jendela yang dipakai untuk dapat mengintepretasi dengan tepat adalah 6 minggu setelah ASI dihentikan. Tes HIV tetap dapat dilakukan tanpa harus menyetop pemberian ASI.
19
2. Bila anak >18 bulan, cukup dengan pemeriksaan antibodi HIV saja. Pemeriksaan
konfirmasi
infeksi
HIV:
Westernblot
atau
PCR
RNA/DNA Tentukan status imunosupresi dengan pemeriksaan hitung mutlak dan persentase CD4+ (lihatTabel 1 dan 2). CD4+ adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4+ dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit karena nilai CD4+ menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis,. Pemantauan CD4+ dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. 3. Lakukan pemeriksaan infeksi oportunistik apabila ditemukan infeksi oportunistik yang sering terjadi bersamaan dengan infeksi HIV (tuberkulosis, hepatitis B, dan C). 4. Pemeriksaan lain (laboratorium, pencitraan, dan lain-lain) dan konsultasi ke ahli terkait disesuaikan dengan kondisi infeksi oportunistik.
Tabel 1. WHO 2007 HIV Associated immunoficiency8
20
Tabel 2. Status imunosupresi berdasarkan jumlah absolut dan persentase sel TCD4 menurut usia8
Pada kasus ditemukan hasil laboraturiumnya untuk trombosit dan leukosit normal tetapi pemeriksaan darah RBC dan HCT menurun hal ini disebabkan karena pasien tersebut mengalami anemia dimana sel didalam tubuh tidakcukup mendapatkan oksigen untuk berfungsi secara normal. Kemudian untuk pemeriksaan bukti adanya infeksi HIV tidak dilakukan karena pasien sudah didiagnosis HIV pada umur 2 tahun.
21
Tabel 3. Revisi stadium klinis WHO untuk bayi dan anak dengan infeksi HIV/AIDS yang sudah terbukti.8
Untuk stadium dari kasus ini adalah stadium 3 yaitu gejalanya malnutrisi, diare persisten, demam persisten, kandidiasis oral, TB kelenjar getah bening. 22
Tabel 4. Skenario pemeriksaan HIV7
23
Prognosis Kebanyakan anak yang terinfeksi HIV meninggal di bawah usia 2 tahun dan kurang lebih 33 persen meninggal di bawah usia 1 tahun. Sayangnya menafsirkan hasil dari tes darah (antibodi) dipakai untuk orang dewasa yang tersedia paling luas adalah sulit untuk bayi di bawah usia 9-12 bulan. Hasil antibodi-negatif memberi kesan bahwa bayi tidak terinfeksi. Hasil antibodi-positif tidak memastikan bayi terinfeksi karena antibodi ibu pada anak yang terlahir oleh ibu terinfeksi HIV dapat ditahan; oleh karena itu, tes virologis adalah cara yang dibutuhkan untuk mendiagnsosis HIV pada bayi. 7
24
DAFTAR PUSTAKA 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi kedua. Badan Penerbit IDAI : Jakarta; 2010. 2. Ditjen PPM dan PL. Depkes RI statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia. Juni 2006. Diakses dari : http://www.lp3y.org/content/AIDS/sti.htm. 3. Asnake S, Amsalu S. Clinical manifestations of HIV/AIDS in Children in Northwest Ethiopia. Ethiop J Health Dev,2005;19(1):24-8. 4. Setiawan, Made. Tatalaksana Infeksi HIV/AIDS Pada Bayi dan Anak. Maj.Kedok Indonesia. Vol 59. No 12; 2009. 5. Robbins, Cotran K. Buku Ajar Patologi, Ed.7. EGC : Jakarta; 2007. 6. Behrman et al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta; 2000. 7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak; 2014. 8. IDAI. 2011. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan dokter Anak Indonesia. Jakarta.
25