Diagklin (botulisme Pada Kuda).docx

  • Uploaded by: rowena yutifri
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Diagklin (botulisme Pada Kuda).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,309
  • Pages: 10
MAKALAH PRAKTIKUM DIAGNOSA KLINIK

BOTULISME PADA KUDA

Oleh :

Nama

: Rowena Yutifri Syahida

NIM

: 155130107111027

Kelas

:C

Kelompok : 6 Asisten

: Dyah Ayu Puspitasari

LABORATORIUM DIAGNOSA KLINIK VETERINER FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Botulismus adalah penyakit yang berpotensi menyebabkan kematian pada hewan maupun manusia, bersifat neuroparalitik yang disebabkan oleh toksin dari Clostridium botulinum. Clostridium botulinum tersebar secara luas dalam tanah dan tanaman, isi usus dari hewan mamalia, burung dan ikan. Neurotoksin botulinum merupakan toksin biologis terkuat yang pernah diketahui dan bahkan di beberapa negara telah dikembangkan menjadi senjata biologis. Selain itu, aspek medik dari toksin telah dikembangkan untuk pengobatan berbagai penyakit pada manusia. Spora C. botulinum relatif tahan panas tetapi toksin botulinum tidak tahan panas dan dapat diinaktifasi dengan antitoksin yang sesuai. Toksin botulinum dapat menghambat pelepasan acetyl choline, yang pada akhirnya berakibat paralisis. Diagnosis laboratorium untuk botulismus yang utama harus dilakukan adalah isolasi C. Botulinum dan deteksi toksinnya dalam individu yang terserang. Deteksi cepat dan sensitif terhadap semua tipe toksin botulinum diperlukan dalam kasus botulismus (Natalia dan Priadi, 2012). Kasus botulismus di Indonesia ditemukan terutama pada unggas dan meskipun banyak kasus dicurigai botulismus tetapi tidak dilakukan konfirmasi diagnosis laboratorium. Kasus botulismus yang diduga terjadi pada sapi di Jawa Timur menunjukkan hasil uji serologi positif untuk C. botulinum tipe C. Selain menyerang pada sapi dan ayam, botulisme banyak ditemukan menyerang pada kuda di beberapa negara bagian barat. Pencegahan botulinum dengan vaksinasi dapat menginduksi respon antibodi yang kuat dan mampu bertahan protektif selama 12 bulan, sedangkan pengobatan pada hewan biasanya tidak efektif (Natalia dan Priadi, 2012).

1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana cara mendiagnosa botulisme pada kuda?

1.3 Tujuan 1. Mengetahui cara mendiagnosa botulisme pada kuda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Botulisme adalah penyakit yang ditandai dengan kelumpuhan yang progresif. Penyakit ini dapat terjadi pada semua spesies mamalia dan burung. Kuda adalah spesies yang sangat sensitif terhadap botulotoxin. Penyakit ini disebabkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh Clostridium botulinum. C. botulinum adalah bakteri anaerob, gram positif dan dapat memproduksi spora. Bakteri dan spora C. botulinum tersebar di alam, dapat ditemukan di tanah, sedimen sungai dan danau, serta saluran pencernaan ikan dan mamalia. Bakteri ini akan memproduksi toksin pada tanaman dan hewan yang mengalami pembusukan. Toksin yang diproduksi oleh C. botulinum adalah toksin yang paling berbahaya yang dikenal di dunia sains. Famili dari botulisme diketahui dapat menyebabkan penyakit mematikan termasuk botulisme, blackleg, malignant edema, dll. Delapan toksin botulinum yang berbeda diketahui sebagai tipe A, B, C1, C2, D, E, F dan G. Tiga cara intoksikasi botulinum pada kuda yaitu melalui (Coffield and Whelchel, 2007; Wilkins, 2007): a. Keracunan makanan ternak (menelan toksin yang terdapat dalam bahan pakan). b. Botulisme luka (sporulasi C. botulinum pada luka yang diikuti oleh produksi dan sistemik penyerapan toksin). c. Toxoinfectious botulisme (menelan spora yang memproduksi dan mengabsorpsi toksin dari saluran gastrointestinal pada anak kuda).

2.2 Gejala Klinis Gejala klinis botulisme pada kuda adalah kelumpuhan progresif, disfagia, anoreksia, pergerakan lidah dan kelopak mata yang buruk, gemetaran, pelebaran pupil, lethargy, berbaring terus menerus dan ketidakmampuan untuk berdiri, hipersalivasi dan mengeluarkan sekret berwarna kehijauan atau putih kental, tremor otot, dan depresi (Camargo dkk, 2008). Pada anak kuda gejala klinis umum termasuk peningkatan lama waktu berbaring. Saat dipaksa berdiri, akan mengalami tremor otot dan ambruk ke tanah dengan posisi lateral. Anak kuda tidak akan bisa menelan susu dari induknya, dan akan terlihat bekas air susu di seluruh moncong dari anak kuda atau meneteskan air liur berwarna putih. Kuda dewasa juga dapat mengalami gejala yang sama, yaitu dengan mengeluarkan kembali biji-bijian yang telah dimakan di sekitar ember pakan, makanan yang dimuntahkan lagi akan tertutupi oleh saliva, karena tidak bisa ditelan. Tanda-tanda tambahan termasuk hipersalivasi, gerakan kelopak mata

lemah, lidah mudah ditarik keluar dari mulut dan hanya ditarik kembali dengan lambat, sembelit, dan ileus (kekurangan kontraksi usus) (Camargo dkk, 2008).

2.3 Patogenesis Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum yang sudah masuk dalam tubuh dapat memproduksi toksin dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena lingkungannya mendukung untuk pertumbuhannya. Toksin tidak diabsorbsi melalui kulit yang utuh. Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan ditransportasikan menuju synaps cholinergik perifer terutama neuromuscular junction. Pada tempat ini, heavy chain toksin berikatan dengan membran neuronal pada bagian presynaptic synaps perifer. Toksin kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated endocytosis. Light chain dari toksin menyeberangi membran vesikel endocytic dan memasuki sitoplasma. Di dalam sitoplasma, light chain toksin (yaitu senyawa zinc-yang mengandung endopeptidase) memecah beberapa protein yang membentuk synaptic fusion complex (Natalia dan Priadi, 2012). Neurotoksin clostridial mula-mula tampak terikat pada kompleks SNARE sebelum terjadi pemecahan. Kompleks synaptic fussion akan menyatukan vesikel synaptic (yang berisi acetyl choline) dengan membran terminal neuron. Pecahnya kompleks synaptic fussion mencegah vesikel mengalami fusi dengan membran, yang akan mencegah pelepasan acetylcholine ke dalam celah synaptic. Tanpa pelepasan acetylcholine neuronal, otot yang berhubungan tidak dapat berkontraksi dan menjadi lumpuh. Blokade pelepasan acetylcholine dapat berlangsung beberapa bulan. Fungsi normal akan kembali dengan lambat melalui kembalinya protein SNARE ke dalam sitoplasma atau melalui produksi synaps yang baru. Kematian akibat botulismus secara akut terjadi karena obstruksi udara pernafasan atau kelumpuhan otot-otot pernafasan. Pengaruh botulinum neurotoxin pada neuromuscular junction dan organ otot dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat secara tidak langsung (Natalia dan Priadi, 2012).

2.4 Diagnosa dan Diagnosa Banding Pengamatan gejala klinis, sejarah, dan keadaan lingkungan digunakan untuk membuat diagnosis sementara. Jika salah satu kuda di kelompok menunjukkan tanda-tanda botulisme, kemungkinan yang lainnya dapat dengan cepat mengikuti, jika kuda kuda tersebut diberi makan dari sumber yang sama terkontaminasi jerami atau pakan. Botulisme dapat didiagnosa secara klinis dan akan lebih akurat apabila dilakukan tes laboratorium. Akan tetapi agak sulit untuk mendeteksi toksin botulinum pada hewan atau untuk mengisolasi toksin dari bahan pakan dan

kotoran dari kuda yang terinfeksi. Bukan tidak mungkin jika pada tes darah rutin menunjukkan hasil yang normal, namun kudanya menunjukkan gejala-gejala botulisme. Oleh karena itu, lebih banyak kasus botulisme yang tidak terdeteksi dibanding yang telah didiagnosa. Jika gejala klinisnya berhubungan dengan botulisme dan jerami yang diberikan jatuh ke tanah dan terdapat di tempat yang lembab, terdapat bekas bangkai atau bahan lain yang telah membusuk, atau jika ada anak kuda yang terinfeksi, maka botulisme patut dicurigai (Camargo dkk, 2008). Uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi toksin botulisme adalah (Natalia dan Priadi, 2012): a. Mouse lethality assay Uji proteksi pada mencit atau mouse lethality assay dilakukan dengan cara penyuntikan enceran sampel dalam larutan buffer fosfat secara intraperitoneal pada mencit. Jika sampel mengandung toksin, mencit akan menunjukkan gejala karakteristik botulismus seperti kelemahan otot, sesak atau sulit bernafas dan bulu yang kusut. Tipe toksin ditentukan dengan cara netralisasi toksin dengan antitoksin spesifik. Jika mencit yang disuntik dengan sampel dan antitoksin bertahan hidup, maka tipe toksin adalah sesuai dengan antitoksin yang diberikan. Jika toksin dan antitoksin tidak sesuai, mencit akan menunjukkan gejala botulinum. b. Nonlethal mouse assay Uji ini serupa mouse bioassay, tetapi tidak membunuh mencit dan hanya menyebabkan gejala kelumpuhan otot lokal karena toksin disuntikkan secara subkutan. c. Metode imunologi Uji ini lebih sederhana, cepat dilakukan dan diinterpretasi. Uji-uji ini adalah radioimmunoassay, gel diffusion assay, passive hemaglutination assay dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pada awalnya, ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang kurang baik, tetapi dengan adanya perkembangan pada tahun-tahun terakhir, sensitifitasnya sudah dapat menyamai mouse bioassay. Endopeptidase assay dapat berfungsi untuk menggantikan mouse lethality assay karena uji ini sangat spesifik, lebih sensitif dan hanya mendeteksi neurotoksin yang aktif secara biologi. d. Deteksi molekuler dari C. botulinum dan karakterisasi genetik C. botulinum Metode deteksi DNA telah mengambil alih teknik konvensional untuk deteksi C. botulinum. Teknik seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) dan southern hybridization merupakan uji sensitif dan spesifik dibandingkan dengan media kultur atau mouse bioassay. Untuk karakterisasi isolat C. botulinum, dapat dilakukan DNA sequencing, pulsefield gel electrophoresis (PFGE), ribotyping, randomly amplified polymorphic DNA analysis (RAPD) dan repetitive elemen sequence based PCR.

Diagnosis banding botulisme meliputi beberapa ensefalitis, infeksi EHV tipe 1, paparan toxicants seperti logam berat, insektisida, inhibitor kolinesterase, antibiotik ionofor, toksin jamur, obat-obatan (Galey, 2001), ketidakseimbangan elektrolit berat (hiponatremia), tick paralysis, sindrom myasthenic postanethetic (Wilkins, 2007), guttural pouch mycosis, listeriosis, gangguan sistem motorik kuda, hyperkalemic kelumpuhan, penyakit otot putih dan ulserasi faring (Coffield dan Whelchel, 2007).

2.5 Pengobatan dan Pencegahan Terapi yang dilakukan secara simtomatik dan menambahkan methylsulphate neostigmine. Karena neostigmine methylsulphate dapat menghambat asetilkolinesterase, diperkirakan bisa mengembalikan motilitas colon dalam kasus impaksio colon pada kuda dan untuk mengembalikan motilitas gastrointestinal dan efeknya pada gangguan hipodinamik gastrointestinal tertentu pada kuda. Gejala klinis lainnya adalah myasthenia yang berkembang menjadi ketidakmampuan untuk berdiri. Tujuan penggunaan neostigmine methylsulphate adalah untuk mengurangi gejala-gejala klinis yang timbul. Selain itu, dosis rendah neostigminmethylsulphate diberikan untuk efek lain, karena meningkatkan sekresi air liur dan untuk pasien yang tidak memiliki refleks menelan (Coffield and Whelchel, 2007). Pemilik kuda harus berhati-hati ketika memberi makan jerami yang telah terkena hujan pada saat panen. Jerami yang dilipat merupakan faktor risiko, karena saat dilipat terdapat kadar air yang berlebihan. Jerami yang membusuk atau mengandung bahan yang membusuk tidak boleh diberikan pada kuda. Selain itu, kondisi bagian dalam jerami tidak dapat diketahui sebelum dibuka. Pemberian pakan dengan pakan yang berkualitas dan sumber yang jelas, selalu menjaga kebersihan kandang atau lingkungan di sekitar kuda, menghindari pemberian pakan di tanah dan melakukan vaksinasi. Vaksin terhadap toksin tipe B hampir 100% efektif (Camargo dkk, 2008).

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Case Report A. Sinyalemen, Anamnesa, dan Pemeriksaan Fisik Seekor kuda thoroughbred jantan berusia enam tahun dirujuk ke Equine Klinik dengan keluhan anoreksia, kelemahan, cara berjalan yang tidak biasa, peningkatan air liur dan kelesuan. Pemiliknya melaporkan bahwa kudanya tidak bisa menahan lehernya tetap lurus, dan terusmenerus bersandar ke sisi kiri, dapat makan tapi tidak bisa menelannya semua makanannya. Gejala klinis pertama kali pertama diamati lima hari sebelumnya. Kuda itu diberi makan gandum, barley, jagung dan jerami yang disimpan di gudang penyimpanan. Pemiliknya melaporkan terdapat bau apek dari barley. Depresi, gait yang tidak biasa, bersandar terusmenerus ke sisi kiri, dan bergerak dengan gait yang tidak beraturan adalah gejala klinis pertama yang diamati setelah masuk. Bahan makanan ada di dalam dan sekitar mulutnya dan mengalami hipersalivasi. Kuda tersebut menyeret kuku-kuku kakinya ke tanah dan berdiri dengan kepala dan leher tergantung di bawah posisi horisontal. Refleks pupil terlihat berkurang ketika dikenai cahaya. Terdapat refleks menelan yang kurang dan refleks ekor dicatat namun tonus analnya normal. Suhu tubuh 38,6 ° C, detak jantung 60/menit, dan laju pernafasan 24/menit. Terdapat hiperemia pada membran mukosa, waktu pengisian kapiler (CRT) adalah 3 detik (Kasap dkk, 2016) .

B. Diagnosa dan Terapi Pada hari pertama, pemeriksaan endoskopi menunjukkan adanya air liur dan bahan pakan di nasofaring. Terdapat hiperememik dan edema pada mukosa epiglotis. Indikator hematologi dan biokimia menunjukkan hasil leukositosis (white blood cell count / WBC): 14,800 / μl) dan neutrofilia (neutrofil (NEU): 85,1%) berada dalam batas normal. Pada kasus ini, botulisme didiagnosa berdasarkan temuan klinis (Kasap dkk, 2016). Terapi antibiotik yang diberikan yaitu ceftiofur 2 mg / kg IM sekali sehari (Seftivet®, Vetaş, Istanbul). Selain itu, gejala klinis dan nilai hematokrit (packed cell volume (PCV): 44%) mengenai status dehidrasi berada dalam batas normal sehingga dilakukan terapi cairan dengan larutan Ringer laktat dengan dekstrosa 5% (minimum 5 l untuk satu hari) secara intravena. Kuda tersebut terus menerus berbaring, refleks pupil, palpebral, dan tonus lidah serta ekor berhenti keesokan harinya. Akhirnya neostigmine methylsulphate (Peristor®, Provet, Istanbul) diberikan secara subkutan sebanyak 0,025 mg/kg 3 kali sehari selama dua hari. Beberapa gejala

mulai berubah pada hari yang sama termasuk refleks palpebreal, ekor dan tonus lidah. Kuda tersebut mencoba berdiri dan mulai minum air tetapi tidak bisa mengunyah makanannya. Pada hari ketiga, kuda tersebut telah dapat defekasi, namun terdapat adanya pneumonia. Total leukosit yang dihitung meningkat (WBC: 24,500/μl). Oleh karena itu, metronidazol (Polifleks®, Polifarma) ditambahkan pada pengobatan antibiotik sebanyak 10 mg/kg, IV, dua kali sehari selama empat hari. Pada hari keempat, pasien mampu berdiri, dan terus minum air. Namun, refleks menelan tidak pulih. Sehingga diberikan cairan intravena (Kasap dkk, 2016). Pada hari-hari berikutnya, kemampuan untuk menelan makanan dan air tidak dapat kembali normal. Pasien tersebut kemudian dieuthanasi pada hari ke-10 dengan izin dari pemiliknya. Pada hari yang sama, dilakukan nekropsi dan tidak ada hasil spesifik yang ditemukan. Selanjutnya sampel kandungan kolon dan serum darah dikirim kurir ke Balai Pengendalian dan Penelitian Veteriner untuk menetralkan toksin tapi BoNT tidak dapat terdeteksi kemudian sampel serum dari hari ke 6 dan 10 dikirim ke Miprolab, Jerman untuk mendeteksi antibodi BoNT spesifik menggunakan ELISA. Pada sampel antibodi terhadap BoNT/A terdeteksi menunjukkan kontak sebelumnya yang tidak relevan dengan antigen (Kasap dkk, 2016) .

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Botulisme adalah penyakit yang disebabkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh Clostridium botulinum. Gejala klinis botulisme pada kuda adalah kelumpuhan progresif, disfagia, anoreksia, pergerakan lidah dan kelopak mata yang buruk, gemetaran, pelebaran pupil, lethargy, berbaring terus menerus, ketidakmampuan untuk berdiri, dan hipersalivasi. Clostridium botulinum masuk ke dalam tubuh dapat melalui kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. Diagnosa sementara dilakukan dengan mengamati gejala klinis, sejarah, dan keadaan lingkungan. Botulisme dapat didiagnosa secara klinis dan akan lebih akurat apabila dilakukan tes laboratorium. Terapi dilakukan secara simtomatik dan pemberian antitoksin. Sedangkan pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi.

DAFTAR PUSTAKA Camargo, Fernanda C., B. Coleman, L. Lawrence. 2008. Botulism: A Deadly Disease That Can Affect Your Horse. Kentucky: Departement of Animal Science University of Kentucky. Coffield J.A., Whelchel D.D. 2007. Botulinum Neurotoxin. In: Gupta R.C. (ed.): Veterinary Toxicology. Elsevier Saunders, St. Louis, MO. 755–770. Galey F.D. 2001. Botulism in The Horse. The Veterinary Clinics of North America, 17, 579– 588. Jahn, P., E. Ludvikova, D. Chmelar, L. Kalova. 2008. Botulism in Horses: A Case Report. Veteriarni Medicina, 53 (12): 680-684. Kasap, S., H. Batmaz, M. Kocaturk, F. Gessler, S. Catık, O. Topal. 2016. Botulism (type A) in A Horse - Case Report. Acta Vet. Brno, 85: 071–076. Natalia, Lily dan Priadi, A. 2012. Botulismus: Patogenesis, Diagnosis dan Pencegahan. Wartazoa Vol. 22 No. 3. Wilkins P.A. 2007. Botulism. In: Sellon D.C., Long M.T. (eds.): Equine Infection Disease. W.B.Saunders, Philadelphia, PA. 372–376.

Related Documents


More Documents from "anisa"