Destarata Hamparan Laras Syukur

  • Uploaded by: Taranderi Arasy
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Destarata Hamparan Laras Syukur as PDF for free.

More details

  • Words: 5,016
  • Pages: 25
DESTARATA HAMPARAN LARAS SYUKUR Hampir bersamaan seluruh Wangsa Bharata dan rakyat di penjuru Astinapura menahan nafas mendengar keputusan Pandu Dewanata untuk mundur dari tahta kerajaan. Gejolak kekecewaan tenggelam dalam angin yang nyaris diam tak bergerak. Berjutajuta mata terbelalak kering menatap kepergian Sang Pandu yang terus berjalan menuju pertapaan suci tempat pencurahan air mata yang mengalir menuju kediaman para dewa. Destarata, sang kakanda yang baru dinobatkan menjadi raja Astinapura masih terus menyesali kepergian adiknya. Sesekali diarahkan wajahnya ke dalam sudut-sudut gelap matanya seolah mencari sumber-sumber kebajikan adinda yang sedemikian lembut menggayut pada simbol simbol amanah. Setiap tarikan nafas telah menjadikan tubuhnya menjadi lebih kurus dan terus bertambah kurus. Desir anak panah para ksatria yang terus giat berlatih mulai terdengar seperti pekik peperangan yang tidak kunjung selesai. Sesekali nafasnya tertahan oleh harapan adanya keceriaan pagi dengan sinar benderang menghalau kegelapan malam yang terus membuat tubuhnya semakin bertambah kurus. Destarata menggumamkan kata-kata yang tak satu orangpun mampu menterjemahkannya. Kepergian Pandu Dewanata terasa bagai harum bunga ilalang pagi hari di padang Kurusetra. Destarata mencermati satu persatu langkahnya yang terbata mengukur batas-batas kubur para anggota Wangsa Kurawa. Kesederhanaan harum bunga ilalang perlahan sirna sejalan dengan naiknya sang surya yang diikuti harum melati dan kenanga yang semerbak semakin menggelora 1

keseluruh batas-batas Astina. Pekik singa luka sesekali terdengar menghentikan langkah perlahan para aulia yang terus mengiringi sang raja. Sebersit rasa takut manusia sertamerta muncul ketika langit memerah merambat ke setiap jengkal tanah menyelimuti tubuh Destarata yang tampak semakin kurus dan mengecil di tengah padang Kurusetra. Baginda mbabar wahyu jati diri, gumam para aulia setengah terkejut melihat kesudahan prosesi penjabaran hidayah. Terdengar tangis pilu dewi-dewi dalam laras angin yang menghentak seluruh keyakinan akan kekuatan hak akan dunia dan akhirat. Takdir sudah tertulis pada dinding-dinding hati Wangsa Kurawa yang tidak mungkin terhapus air mata penyesalan seorang raja. Destarata memeluk tubuh tegap Suyudana yang banyak termangu dalam ketidakmengertian akan tujuan prosesi penjabaran hidayah yang diterima sang baginda. Seluruh tenaganya hilang menerima getar keluguan sinar mata anak tercinta yang tak surut-surut memandang kagum kepada dirinya. Bukankah kewaspadaan kepada kewajiban akan menjadi ekor bagi hak yang menjadi kepala ?, tanya Destarata lirih. Bisma separuh menggeleng, kemudian menganggukkan kepalanya dengan pasti. Ditekannya dalam-dalam keyakinan akan hak dan kewajiban adalah sebagai dua buah mata dari sebilah pisau yang mampu merobek-robek keniscayaan impian manusia untuk menguasai dunia sebagai awal dari niat kebajikan. Jalan kita masih jauh sri baginda, Bisma mengingatkan. Penguasaan alam tidak membuat kita menemukan jalan yang dimudahkan untuk pensucian niat, lanjut Bisma sekaligus mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Destarata mengangguk 2

perlahan. Ditenangkan hatinya untuk membayangkan mimik sang kesatria Bisma sebagai tolok ukur pengujian keyakinannya yang belum terpuaskan dari kemungkinan-kemungkinan untuk mensiasati hidayah amirul haq. Sekilas tampak tersungging senyuman Suyudana, anak tertua dari anak tertua wangsa Bharata. Akalnya menari-nari kegirangan ketika menangkap maksud-maksud tersembunyi dari hidayah yang sampai kepada orang tua, yang mengalirkan darah dan detak jantung di tubuhnya. Keyakinannya sampai kepada pengertian sifat hakiki dari takdir orang tua sebagai penyampai amanah duniawi bagi anak-anaknya dalam menjalani dharma. Dipandanginya Bisma yang masih termenung mencari-cari terminologi pemisahaan keutamaan kesetiaan ksatria dengan kalbu seorang manusia yang selalu ditempatkan pada ujung tombak kepentingan rakyat banyak. Dirinya sangat khawatir akan ucapan-ucapan Sang Bisma yang mungkin akan menumbuhkembangkan pemikiran-pemikiran sang ayahanda terhadap penolakan hak heriditas. Perlahan senja mulai berganti menjadi malam gelap tanpa bintang. Tidak satupun punggawa maupun senopati dan adipati yang bergerak. Tubuh mereka tampak bagaikan tonggak-tonggak kayu hitam yang mengecil di bagian kepala dan membesar pada bagian perut, yang tersebar merata hampir di seluruh padang Kurusetra. Semilir angin menyadarkan Destarata akan malam yang semakin dingin. Apakah putra-putra Kunti akan datang esok pagi ? tanya Destarata kepada Arya Widura yang tampak lebih sedih dari siapapun. Arya Widura menidakkan sambil melirik ke arah Sengkuni dan Pendeta Dorna yang saling berbisik mensikapi pertanyaan sang baginda yang datang begitu tiba-tiba. Destarata 3

bergerak menggapai Suyudana, kemudian bergerak meninggalkan padang Kurusetra diikuti seluruh pengikutnya yang bergerak bagai ular dengan obor yang menyala sebagai matanya. Pasar-pasar tampak sepi. Bahkan orang yang lalu lalang di jalan-jalan utama kerajaan menghindar untuk saling bertukar cerita. Kemarahan yang tersembunyi jauh di dalam lubuk hati Destarata telah menghancurkan banyak kepastian harapan rakyat banyak. Kegelisahan sang baginda tak mampu di tepis oleh siapapun. Kelelahan dan ketidakpastian dalam menafsirkan hidayah imami telah mengalir keseluruh sendi-sendi kehidupan Astina. Penguatan kebajikan dan kebathilan menjadi sesuatu yang tampak memisah dan mengelompok menjadi kutub-kutub waktu yang setiap kali memercikkan api dalam pertemuan seharihari. Kepandaian dan kekuasaan tidak lagi diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat banyak, dan cenderung dijabarkan sebagai suatu ketakutan umat terhadap retorika ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Takdir sudah menjelma menjadi azab bagi Wangsa Kurawa yang tidak mungkin terhapus air mata penyesalan seorang raja. Sri Baginda belum wafat, bisik abdi dalam kepada adipatiadipati yang ikut termenung hampir empat puluh hari lamanya, Beliau sudah mulai menggerakkan bibir dan bersuara, lanjut abdi dalam dengan nada yang lebih diriang-riangkan. Tampak beberapa adipati merasa lega mendengar berita bahwa Sri Baginda masih hidup. Kelegaan seorang manusia yang sulit membedakan raja tertidur dan diam dalam waktu sekian lama dengan kematian yang tidak membuat kaku. Kelegaan yang menyelinap dalam hati Destarata yang sertamerta memisahkan nafsu dengan akal untuk mencari terminlogi hidayah yang menggeliat dalam dimensi 4

syariah, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Seluruh pasukan dan abdi dalam kembali disiagakan untuk menerima titah baginda. Hidayah yang semula hanya berupa sedikit keberuntungan dari adanya amanah, menjadi zat beku dalam proyeksi pilihan masyarakat Astina untuk tetap bisa makan, berpakaian, mempunyai pekerjaan, dan mendapatkan rasa aman. Kelembagaan syariah cenderung lebih membahasakan mazab tebas bakar untuk membentuk wacana yang baru, dan bukan untuk mengawinkan nilai-nilai sosial budaya yang telah sedemikian kuat mengakar dengan nilai-nilai kemandirian individu dalam kriteria hak-hak sosial. Dimana pada keadaan seperti itu, anak-anak balita yang tersesat tidak akan mendapat pertolongan siapapun rakyat Astina. Kebajikan menjadi kearifan kesendirian manusia yang berjuang melanjutkan hidupnya untuk tetap indah, nyaman, aman, dan jauh dari rasa takut. Pragmatisme kesendirian manusia menjebak dan mengisyaratkan terjadinya perang Bharatayuda. Positivisme sejarah membawa panji-panji dan menggelar pasukan untuk keyakinan terhadap keterlanjuran. Rasa lapar dan haus yang dijalani Destarata belum membuat tubuhnya lemas tidak berdaya. Ketakutan yang menggiris terhadap bayangan mayat-mayat bergelimpangan di padang Kurusetra membuat tubuh kurusnya kaku dan tidak berdaya. Ketakutan untuk memandang hidayah dari sisi rasionalisme mengalihkan akal dan inderanya ke dalam irasionalime budaya. Irasionalisme yang diyakini sebagai pendekatan kotak hitam, yang jika ini maka itu, serta lebih dekat kepada normativisme yang lahir dari dalam tanah tempatnya berpijak dan dikandung selama ribuan tahun. 5

Destarata sedikit merasa lega. Terpancar rasa kegembiraan seorang yang anak mendapat hadiah karena kebaikannya membuat Destarata lupa akan intuisi yang datang diujung rasa takutnya. Kembali dirinya terjebak dalam ketidakpastian terminologi rasionalisme dan normativisme yang tidak pernah ia bedakan sebelumnya. Dikumpulkannya sisa tenaga untuk memerintahkan abdi dalam mengundang para aulia, pendeta, begawan, maupun ahli nujum untuk memecahkan intuisi ke dalam tema perjuangan sosial. Apakah dalam istanaku terdapat sebuah cermin ?, tanya Destarata kepada undangan yang hadir dalam balairung. Semua terdiam. Kesantunan aulia, pendeta, begawan, dan ahli nujum menghalangi mulutnya untuk menyatakan lantai dan bahkan dinding-dinding balairung dapat digunakan sebagai cermin bagi sang baginda. Semua terdiam. Pertanyaan Destarata lebih diartikan sebagai permintaan untuk dijabarkan menggunakan mata hati dan bukan lahiriah. Destarata menagis dan menjerit keras dalam hati. Tidak pernah terbayang dalam benaknya bahwa tidak satupun manusia utama Astina mampu menjawab pertanyaannya yang paling sederhana sekalipun. Takdir sudah merusak sistem hirarki dan kekerabatan menjadi azab bagi Wangsa Kurawa yang tidak mungkin terhapus air mata penyesalan seorang raja. Perlahan kesabaran Destarata kembali mengisi seluruh ruangan balairung dengan mulai menjelaskan kajian-kajian yang selama ini telah dijalaninya. Seluruh hadirin memandang kagum kepada sinar hidayah yang muncul bersamaan dengan menguatnya penjelasan-penjelasan Destarata dari waktu ke waktu. 6

Sampai pada pertanyaan akan dibawa kemana arah pembangunan kerajaan kita ini, saya sudah tidak mampu lagi menjawab, Tutup Destarata kemudian duduk kembali di singgasananya. Sejenak terasa hening, para undangan tenggelam dalam fikiran dan perasaannya masing-masing. Seluruh sistematika dan kronologi pembicaraan yang disampaikan Destarata belum menghasilkan jawaban. Justeru sebaliknya menghasilkan banyak pertanyaan, dimana satu pertanyaan diperkirakan akan memerlukan penjabaran jawaban yang panjang lebar dan belum tentu baik dan benar. Ketidaktahuan para undangan menjadikan suasana balairung seperti musium patungpatung yang menatap lantai mengkilat tempat bercermin para dayang-dayang istana. Tidak satupun undangan yang berani bergerak. Sedikit saja suara yang ditimbulkan oleh gerakan anggota badan dapat ditafsirkan sang baginda sebagai ancangancang untuk angkat bicara. Telinga baginda begitu tajam, bahkan sebagian berpendapat bahwa gerakan yang berada dalam hatipun mampu didengar oleh sang baginda. Destarata semakin merasa tersudut oleh waktu yang terus berjalan dengan cepat dan tak henti-hentinya. Seminar-seminar kecil di kalangan elite kerajaan cenderung diramaikan oleh keharusan diri seorang raja untuk bersikap dan bukan bermenung, apalagi bermuram durja. Di sana sini pembicaraan tentang hidayah imami menjadi bahasa pergaulan rakyat kecil yang prihatin, sedih, dan rindu akan kemajuan-kemajuan pembangunan yang sarat akan harapan terdistribusinya manfaat kepada setiap anggota masyarakat secara langsung atau tidak langsung. Hamahama padi dan palawija sudah mati karena tidak ada lagi yang bertanam di ladang-ladang yang tampak menghijau oleh rapatnya ilalang. Keprihatian rakyat pun sudah semakin menjadi-jadi. 7

Keputusasaan seorang raja menjadi mahal harganya ketika harus mengorbankan kesetiaan rakyatnya yang menganggap dirinya sebagai penata negara dan sekaligus penata agama. Kesetiaan yang kaku terhadap tanggung jawab akan hidup dan mati keluarga akan berdiri rikuh di samping kesetiaan terhadap kewiraan diri untuk tetap memegang teguh amanat hak-hak masyarakat sosial. Kesetiaan yang semula tidak pernah dipertanyakan telah berubah menjadi pensiasatan terhadap kondisi pertahanan diri dan keluarga yang secara umum nyaris dimaklumi oleh masyarakat banyak sebagai bentuk upaya logis dalam meningkatkan jumlah waktu makan dan kualitasnya. Sampai batas tertentu keprihatinan massal akan berubah menjadi kekuatan yang mampu merobohkan dinding angin yang tak tampak sekalipun. Ancaman terjadinya kekacauan dan perpecahan di dalam kerajaan tampak semakin nyata. Kemampuan prajurit yang lebih dibekali oleh senjata pembunuh tidak berdaya menghadapi situasi lokal stasioner. Jeritan kelaparan menumpulkan ketajaman senjata dan mengarahkan terbentuknya radikal-radikal kiri dan kanan yang mengatasanamakan rakyat. Ambisi para elite lokal untuk menjadi raja besar di tempat yang kecil menjadi insentif tersembunyi. Kasak-kusuk sesama elite kerajaan menjadi pola gaya yang juga ikut termaklumi. Jargon-jargon karakteristik situasi lokal memenuhi dinding-dinding kadipaten sampai pada papan-papan pengumuman di kademangan. Ketidakterkendalian yang bersumber dari karakteristik situasional lokal berkembang kepada struktur penonjolan kemandirian yang tak henti-hentinya mempertanyakan seberapa besar upeti yang layak bagi pelaksanaan administrasi 8

pemerintahan kerajaan di pusat. Keadaan ini terus berkembang dan mengkristal menjadi keyakinan massa sebagai sesuatu yang hak dan sebaliknya menjadi bathil bagi kemaslahatan rakyat yang berada di daerah-daerah yang memiliki potensi sumberdaya yang rendah. Astina tampak seperti keramik tua yang retak seribu, getas, meskipun tetap tampak cantik dan tua. Kenampakan monumental seolah Astina tetap berdiri di atas fondasi nation state dan character building yang kuat, sebagaimana dicanangkan oleh founding fathers kerajaan Astina terdahulu. Pergeseran nilai-nilai kenampakan lebih diwarnai oleh prilaku manusia dewasa yang sejak lahir disusui oleh sapi-sapi yang akrab dengan gaya seruduk dan tendang kanan-kiri. Astina yang kurus telah menjadi patah kaki dan buta matahatinya. Sisa-sisa kejayaan Astina tinggal doa kaum papa yang terus mengalir deras dan membanjiri kehidupan hari esok. Takdir telah mewujud sedekat bayang-bayang keputusasaan yang seketika mampu berubah menjadi azab bagi Wangsa Kurawa yang tidak mungkin terhapus air mata penyesalan seorang raja. Azab yang akan meluluhlantakkan Astina akan turun pada saat pemuka-pemuka agama tidak lagi mampu menegakkan nilai-nilai agama dan doa-doa telah menyebar kepada tuhan-tuhan dunia yang baru. Sang Baginda Destarata yang sejak dilahirkan terhindar dari segala godaan bentuk keindahan kasat mata, memiliki ketajaman kalbu indrawi yang mampu menjelajah lorong-lorong gelap dan menghindar dari ancaman ular yang paling berbisa sekalipun. Berkah lahiriah seorang manusia yang beranjak surut semenjak dinobatkan menjadi raja. Cobaan hidayah terhadap rasa syukur 9

akan berkah yang telah dimiliki melahirkan kebimbangankebimbangan yang menggurat sedemikian dalam pada perjalanan sejarah Astina. Kunti dengan kelima putranya tak habis-habisnya menangisi kebijaksanaan sang baginda yang tak pernah percaya kepada kemampuan untuk menghasilkan keputusan yang baik dan benar. Kebijakan sang baginda lebih mirip pengeras suara bagi kebijakankebijakan pribadi atau kelompok-kelompok yang memiliki tujuantujuan tertentu. Kecemasan yang berlarut-larut menjadikan Sang Bima geram setiap kali terbangun dari tidurnya. Kecemasan Arjuna yang lebih mencintai keindahan tenggelam dalam kegelapan untuk membunuh ratusan ribu pasukan berkuda. Serta kecemasan Nakula-Sadewa terhadap terjadinya pengutamaan kemewahan lebih dari kesederhanaan. Yudhistira yang lahir pada hari jadi dharma, yang juga merupakan titisan Dewa Dharma, lebih banyak diam mencermati lakon yang akan ditetapkan oleh Sang Baginda Destarata. Kekhawatirannya terhadap kemungkinan terjadinya perang Bharatayuda ditepis jauh-jauh sebagai wujud pengarusutamaan kesatriaan dharma. Hakekat keterlanjuran hidayah imami yang melekat dalam diri manusia menuntut aliran dharma manusia sekecil apapun terus mengalir bersama hidayah lainnya membentuk aliran jernih yang mampu menghilangkan kerinduan akan rasa haus dalam setiap interaksi komunitas rakyatnya. Kesadaran bahwa kejujuran merupakan kewaspadaan seorang raja untuk tetap jujur merupakan tarekat seorang raja besar dari suatu negara besar. Proyeksi kejujuran sang raja akan melahirkan keberanian ma’rifat dalam mengolah kiyas-kiyas dasar aturan main bernegara, yang pada gilirannya mampu menghasilkan 10

syariat distribusi equity dan equality pengembangan kesejahteraan rakyat.

di

segala

bidang

Gejolak ketidaksantunan terminologi yang lahir dalam pemikiran Wangsa Kurawa telah mengguncang kawah Candradimuka sehingga memaksa dewa-dewa turun untuk urun rembuk dan memihak kepada kaum Pandawa. Keharusan seorang ksatria utama Astina untuk melebur diri di segala sektor pembangunan masyarakat kecil, telah menjadi pilihan yang tak lazim. Tidak sekalipun pernah difahami bahwa keikutsertaan dan identifikasi diri ke dalam rakyat merupakan hak dan kewajiban seorang kesatria di masa-masa datang. Keyakinan pemikiran dan perasaan Pandawa terhadap jalan ksatria meluluhkan hati para dewa dan dewi yang secara ikhlas dan dengan sendirinya terus membantu dan melindungi kelima Pandawa dalam pembentukan jati diri. Kelima anak-anak Kunti telah berhasil membangun suatu paradigma baru tentang pembelajaran bagi kaum kesatria tidak melulu diperoleh dari bangku sekolah, akan tetapi telah mengejawantah dalam wilayah-wilayah perwakilan yang disandangnya. Tidak ada embel-embel seragam untuk menunjukkan keutamaan kelompok dan lebih mengutamakan pemusatan kepada penyuaraan keinginan masyarakat kolektif dalam wawasannya. Kewaspadaan Wisnu yang menjelajah ke masa yang akan datang, mengharuskan dirinya menitis kepada Krisna dengan tidak segan-segan untuk menggelar Cakra bagi perlindungan keutamaan duniawi. Seluruh kaidah-kaidah empirisme kesejatian kesatria sebagaimana kehendak dewa-dewa disampaikan kepada 11

Sang Arjuna yang terus prihatin dan gelisah dari satu pertapaan ke pertapaan lainnya untuk membekali diri. Apakah di masa yang akan datang Astina akan menjadi lebih makmur, aman, dan tenteram Sang Prabu ?, Tanya Yudhistira tanpa tedeng aling-aling. Sang Prabu Kresna terdiam lama. Sulit baginya untuk menjelaskan sejarah Astina ratusan tahun yang lalu dan perjalanannya di kemudian hari. Keterbatasan pengetahuan kelima Pandawa terhadap teknologi di masa yang akan datang membatasi penjelasan Sang Prabu Kresna untuk menjelaskan secara gamblang tentang perjalanan Astina. Manusia hanya dapat mempelajari tanda-tandanya, jawab Sri Krisna untuk mengawali perkataannya setelah terdiam sekian lama. Kebutaan lahiriah dari Kanda Destarata merupakan tanda bahwa rakyat Astina telah menjadi buta dan putus asa untuk mencari celah pemecahan pembangunan yang dihadapkan pada dinding batu terjal yang menjulang tinggi. Sekilas tampak Arjuna mengangkat kepalanya sambil terus memandang Sri Krisna lekatlekat. Ada tiga jenis kebutaan yang dapat dialami manusia Yang pertama adalah kebutaan lahiriah. Kebutaan lahiriah akan membuat manusia tidak dapat melihat apa yang ada disekelilingnya. Kebutaan ini akan membawa pikiran dan perasaan manusia yang mengalaminya kepada ketergantungan terhadap manusia lainnya untuk memberi tanda-tanda arah yang harus dilaluinya. Tanda-tanda arah diperlukan sebagai rangkaian tali yang panjang untuk memandu setiap langkah baik secara fisik maupun pikiran dan perasaannya.

12

Rasa ketergantungan kepada orang lain akan terpancar dari wajah yang menyiratkan permohonan yang bersifat universal sehingga setiap manusia yang melihatnya akan menolongnya untuk memberi arah dan penjelasan sebagaimana yang diperlukan. Rasa ketergantungan ini tidak membuat seorang yang buta untuk malu bertanya kepada manusia lainnya. Kepercayaan yang tinggi kepada orang yang ditanya tidak akan pernah luntur meski sudah beberapa kali tertipu atau dipermainkan. Seorang buta lahiriah mengajarkan kepada manusia lainnya untuk mempercayai apa-apa yang disampaikan dengan tanpa syarat. Baru kemudian setelah beberapa kali tertipu dan dipermainkan oleh orang yang sama, maka keputusan seorang buta lahiriah adalah tidak lagi mempercayai manusia tersebut dalam keadaan apapun yang dihadapinya. Sikap yang lahir dari rasa ketergantungan kepada manusia lainnya akan memancarkan mimik kepasrahan yang tinggi terhadap dunia. Hampir seluruh keyakinan pemikirannya hanya didasarkan kepada pendekatan terhadap tekanan suara serta jumlah dan arti kata yang terdengar, untuk kemudian dibandingkan dengan ingatan sebelumnya. Hanya orang mengalami kebutaan secara lahiriah yang mampu dengan mudah untuk mempercayai ketulusan dan ketujujuran seseorang dengan hanya didasarkan kepada pendengarannya. Mudahnya seorang yang buta secara lahiriah untuk tertipu dalam jangka panjang adalah ketika orang yang memberi informasi memiliki ketenangan yang tinggi dan menguasai seluruh aspek lingkungan kehidupan dari seseorang yang mengalami kebutaan lahiriah, serta kemudian menutup dan 13

mengurangi dengannya.

sumber

informasi

yang

mungkin

berinteraksi

Pemikiran seorang buta secara lahiriah akan terbentuk secara kokoh terhadap suatu cara penyelesaian masalah yang telah berulang kali dibuktikan mampu memberi penyelesaian yang baik bagi dirinya. Sebaliknya, kelemahan pemikiran tersebut seringkali sulit berkembang secara cepat, sehingga mampu mengantisipasi terhadap kejadian yang memerlukan tindakan yang bersifat cepat dan seketika. Sri Krisna sejenak menghentikan penjelasannya untuk melihat reaksi dari kelima saudara Pandawa yang terdiam dan terus menundukkan kepala. Suasana hening yang membawa kegelisahan kelima satria terasa menekan dan akan meledakkan seluruh isi pendopo istana Wirata. Lapat-lapat terdengar suara tarikan nafas Nakula dan Sadewa untuk melepaskan segala tekanan dalam dadanya. Kesantunan perasaan seorang satria akan menekan seluruh fikirannya ketika membayangkan sebuah jiwa yang terkurung di dalam tubuh manusia tanpa mampu melihat dunia dengan mata sebagai jendela hidupnya. Tidak pernah terbayangkan oleh kelimanya bahwa ada kehendak Yang Maha Kuasa dalam menciptakan manusia untuk selalu bertirakat di dalam keseluruhan waktu hidupnya. Bukankah orang buta akan lebih mudah masuk surga dibanding dengan orang tidak mampu melihat ? Tanya Arjuna penuh harap. Sri Krisna tersenyum dan kembali tersenyum. Entah apa yang difikirkannya sampai harus beberapakali

14

tersenyum dengan pertanyaan Arjuna.

tanpa

memberikan

jawaban

terhadap

Dalam perhitungan manusia, kebutaan seseorang akan lebih menghindarkan diri manusia dari perbuatan zinah, berjudi, dan bermabuk-mabukan. Akan tetapi sesungguhnya, cobaan yang terberat bagi seseorang yang mengalami kebutaan adalah bagaimana hati dan fikirannya mampu secara terus menerus mensyukuri kehidupan dan tetap menjaga imannya dalam menjalani kehidupannya sehari hari. Jangan sekali-kali manusia yang mampu dunia melihat merasa bangga karena mendasarkan perhitungannya sendiri telah bersih dari perbuatan salah, lalu dengan serta merta menganggap dirinya terjaga dari godaan duniawi. Pernahkan seorang pemuka agama yang diagung-agungkan oleh pengikutnya mencoba merasakan dan memahami untuk mensyukuri kehidupannya dalam keadaan yang tidak mampu melihat apa-apa. Dalam kebutaan lahiriah, mensyukuri kehidupan diartikan sebagai upaya manusia untuk tetap menjaga imannya tanpa mengabaikan kebenaran dan kesabaran. Meskipun upaya untuk menjaga kebenaran yang menjadi tanggung jawabnya hanya dalam porsi yang jauh lebih kecil dari orang yang mampu melihat, akan tetapi menjaga kebenaran yang dibebankan kepadanya merupakan kebenaran dasar dari setiap manusia yang harus dikemas dalam kesabaran yang sangat besar. Banyak orang mengalami kebutaan lahiriah yang mampu bersyukur dan menjaga kebenaran dengan kesabaran yang tinggi, yaitu ketika pemuka agama yang berada di sekitar tempat tinggalnya mampu memberikan penjelasan-penjelasan terhadap pengarus utamaan kebenaran, dan sebaliknya. Rasa syukur 15

seorang yang buta lahiriah tidak berbobot lebih rendah dari rasa syukur seorang ibu yang mendapatkan bayinya lahir dalam kesempurnaan wujud manusia. Kesempurnaan mata manusia menjadi hal yang paling disyukuri oleh manusia ketika harus memilih bagian indera yang harus dihilangkan dari tubuhnya. Akan tetapi sedikit manusia yang mau mensyukuri kesempurnaan matahatinya ketika dihadapkan kepada pilihan alternatif kebenaran yang membungkus komposisi manfaat dan mudharat di dalamnya. Secara perlahan dalam kehidupan keseharian, matahati tergeser ke arah sudut yang semakin gelap dan tertutup oleh berbagai kepentingan manusia yang tidak pernah habis dan berhenti. Seluruh pilihan manusia sepenuhnya diserahkan kepada fikiran yang menjadi raja dalam diri manusia dan meletakkan rasa syukur sebagai ungkapan pernyataan dalam merayakan keberhasilan pemikiran. Inilah yang sering disebut manusia sebagai kebutaan matahati, tutup Sri Krisna sambil menghindarkan pandangan kelima Pandawa yang sekilas mencoba mencari sisi kemanusiaannya. Pemikiran yang lengkap dan matang akan membawa fikiran manusia ke dalam kesederhanaan yang lebih mampu mensyukuri kebesaran tuhan dalam kehidupannya. Pada saat seperti itu, setiap manusia yang mengalaminya akan merasakan kebahagian ketika mendapati dirinya hidup di masa kanak-kanak yang hanya memiliki kemampuan terbatas untuk berfikir dan lebih mampu mensyukuri apa yang diperolehnya dari manusia yang ditemuinya.

16

Pada hakikatnya manusia akan rindu kepada situasi dimana matahatinya mampu melihat dengan sempurna. Hal yang sering tidak diketahui oleh manusia yang bersandar kepada pemikirannya adalah tumbuhnya perikehidupan yang selalu dirasakan pahit yang berkepanjangan. Sebaliknya, bagi orang yang mendasarkan keputusannya kepada matahatinya akan merasakan sisi kehidupan tanpa kecemasan. Kebutaan matahati menjadikan sikap manusia menutup diri untuk mempercayai orang lain. Kemudian dengan kepercayaan diri yang tinggi, manusia yang mengalami kebutaan matahati akan memulai mengatur dan menentukan secara sepihak terhadap manfaat dan mudharat yang mungkin diperolehnya. Kepercayaan terhadap orang lain serta sikap untuk mengatur dan menentukan secara sepihak inilah yang semakin membuat manusia semakin tenggelam dalam kebutaan hakikat. Lantas bagaimana mungkin manusia yang mengalami kebutaan hakikat mampu mensyukuri tuhannya yang harus dilihat secara ma’rifat. Apakah manusia lupa bahwa fikiran mereka hanya mampu melihat jelas pada hari ini dan kemarin. Dan ketika harus melihat ke waktu yang akan datang, banyak perihal yang tidak dapat dilihat dan atau hanya terlihat samar-samar oleh fikirannya. Pernahkah mereka memikirkan bahwa hari esok adalah wilayah Yang Maha Kuasa dimana hanya sedikit manusia yang dengan jelas mampu melihatnya. Tampak sebersit rasa gentar yang terpancar dari wajah dan tubuh kelima Pandawa ketika mendengar kalimat terkahir yang diucapkan oleh Sri Krisna. Kegentaran kelimanya terjadi ketika harus dengan cepat mengingat kejadian-kejadian dalam perjalanan hidupnya yang menggambarkan kebutaan matahati. 17

Sri Krisna kembali tersenyum setelah merasakan aura kegentaran manusia ketika dihadapkan kepada ketentuan tuhannya. Apakah dinda Yudhistira mengetahui jenis kebutaan manusia yang ketiga ? Tanya Sri Krisna kepada Yudhistira yang mengangguk kepalanya setelah terdiam sejenak. Kebutaan yang ketiga adalah ketika kedua jenis kebutaan tersebut di derita oleh seorang manusia, Jawab Yudhistira sambil menatap Sri Krisna memohon pembenaran dari jawabannya. Sri Krisna diam saja. Pandangannya dialihkan ke arah luar istana seolah tidak perduli dengan jawaban Yudhistira. Meningkatnya jumlah manusia yang buta secara lahiriah dan sekaligus buta matahati akan menjadi tanda-tanda datangnya kehancuran dunia, dimana tidak ada lagi rasa kepercayaan manusia yang satu dengan lainnya. Ketidakpercayaan niat baik dari seseorang akan menyulut berbagai konflik yang berujung kepada kehancuran manusia itu sendiri. Kepercayaan di antara manusia akan sangat diperlukan bagi manusia dalam membentuk perikehidupan yang baik dalam kesehariannya. Kepercayaan akan mendorong manusia yang satu dengan yang lain membentuk kelompok kecil dan terus membesar sampai ke dalam bangsa dan seluruh bangsa di dunia. Kepercayaan inilah yang akan menjadi kendaraan untuk mendistribusikan kebaikan dan kebenaran manusia kepada seluruh manusia. Kepercayaan yang dilatihtumbuhkan oleh seorang yang mengalami kebutaan lahiriah merupakan jembatan pendekatan kepercayaan seorang manusia kepada tuhannya. Ketidakmampuan seseorang untuk melihat keadaan sekelilingnya 18

tidak jauh berbeda dengan seorang manusia yang hidup di dalam tuhannya, ucap Sri Krisna memecah keheningan. Penerapan takdir seseorang untuk mengalami kebutaan merupakan kemulyaan yang diberikan oleh tuhan, dimana dengan tertutupnya mata sebagai pintu dunia bagi jiwanya akan menyulitkan bagi setan untuk mengajaknya ke dalam kesesatan. Kepercayaan manusia yang terus tumbuh dalam mengenal tuhannya tidak pernah terlepas dari keyakinannya untuk mencermati perilaku kehidupan diri dan manusia lainnya di sekelilingnya. Terbentuknya perkembangan kepercayaan dan keyakinan manusia lebih merupakan kesepakatan seorang manusia terhadap dirinya sendiri untuk meciptakan perilaku utama yang didasarkan pada perhitungan keyakinan dan tetap berpegang teguh kepada kepercayaan yang dianutnya. Perilaku utama seperti ini sering disebut sebagai pambudi, pekerti, atau budi pekerti yang bersifat toleran terhadap perkembangan agama apapun tanpa mengorbankan kegiatan pembangunan kerajaan di masa itu. Selanjutnya pambudi akan menjadi sumber kekuatan masyarakat dalam mengolah cipta, rasa, karsa, dan karya. Keempat pilar tersebut yang berulang kali dikaji oleh para aulia, pendeta, begawan, bahkan ahli nujum untuk menghindari peperangan dan menjadi perekat persatuan, tutup Sang Prabu Kresna sambil terus termenung. Terpancar kegembiraan Yudhistira setelah mendapat jawaban analogis terhadap pemikiran yang telah terbentur pada ketidakberdayaan rasionalitas untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi Astina.

19

Bukankah artinya kita dapat menghindarkan diri dari kemungkinan perang Bharatayuda, tanya Yudhistira yang terasa lebih sebagai sebuah pernyataan daripada sebuah pertanyaan. Sang Prabu Kresna mengangkat kedua bahunya tinggi-tinggi. Ada kemungkinan besar untuk menunda keadaan itu selama mungkin, jawab Sang Pabu Kresna menanggapi dengan tetap mengangkat kedua bahunya tinggi-tinggi. Pernyataan Sang Prabu Kresna sudah cukup bagi Yudhistira untuk meyakini pemecahan kegundahannya selama ini. Kerangka berfikir yang bermula dari pembenahan masalah sosial budaya akan mampu menghasilkan dasar-dasar pengembangan perekonomian dan politik, dimana dalam perjalanannya sistem pertahanan dan keamanan nasional tidak pernah akan memberi peluang bagi pengembangan sistem politik yang memberi dampak buruk kepada perkembangan perekonomian dan sosial budaya. Sebagian kalangan yang berpendapat bahwa kekacauan politik telah meluluhlantakkan budaya sejati bangsa Astina masih sangat memerlukan pengkajian lebih jauh. Interaksi sosial yang selalu mengisi kesenjangan antara ras penguasa ekonomi dengan ras pribumi yang hina papa lebih mengarah kepada penuntasan hutang hutang perlakuan lama dari ras tertentu kepada ras lainnya. Semuanya lebih disebabkan oleh kesenjangan yang selalu dibungkus rapi oleh setiap penguasa Astina, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Kebenaran yang hakiki dalam penuntasan kesenjangan tidak lebih dari upaya seluruh anak bangsa untuk memanusiakan manusia yang satu dan lainnya. Dalam artian, keyakinan terhadap kearifan tradisional bukan menjadi dasar pengelompokan. Keutamaan suatu ras tidak berarti merupakan 20

keutamaan universal, akan tetapi akan menjadi baik bagi yang menginginkannya. Kebudayaan universal yang telah mapan bermukim di kotakota besar mulai merambah ke arah hinterland. Tragisnya, masyarakat pinggiran lebih menerima budaya seperti ini dengan mengenyampingkan budaya yang telah melahirkan dan membesarkan dirinya sendiri. Keadaan ini selalu dijadikan alasan oleh para cerdik pandai sebagai kekalahan budaya tradisional terhadap budaya modernisasi yang bersifat global dan sarat akan kesetaraan. Alangkah naifnya kepandaian yang tidak dapat menilai budaya tradisional yang penuh dengan keindahan rasa hormat antarmanusia jika dibandingkan dengan rasa menghargai kebebasan satu individu dengan individu lainnya. Penurunan kualitas budaya akibat kebanggaan eksklusivitas masyarakat kota dengan bahasa dan gaya yang tampil beda telah menghancurkan benteng budaya istana yang terdalam. Kecemasan empu-empu dan budayawan Astina lebih menunjukkan bahwa mereka sudah tidak mampu berbuat apaapa. Kreativitas absurd yang mengawinkan budaya-budaya tertentu cenderung menginginkan lahirnya varietas budaya yang dominan, dan bukan sebaliknya. Dalam hal ini, upaya pengkayaan budaya bukan sepenuhnya merupakan tanggung jawab budayawan yang mati-matian menolak ketertinggalan melainkan menjadi tanggungjawab manusia yang menjadi bagian dari budaya tersebut. Sang Baginda Destarata yang lebih mengandalkan ketajaman pendengaran dan mata hatinya hanya sedikit tahu dan maklum 21

dengan keadaan ini. Jauhnya jarak antara akal dan kemampuan matahati sering membuat beliau gampang lelah. Kekuatan yang bersumber dari matahati menganggap hal-hal yang berkaitan dengan akal merupakan pekerjaan gampang dan dapat dipikirkan oleh manusia pandai manapun. Sehingga kelelahan yang terjadi lebih sering timbul akibat penolakan sinkronisasi kesimpulan akal dan matahati sebagai suatu kesatuan sikap. Keyakinan seperti ini menjadikan Destarata menjadi tidak cukup untuk menjadi seorang raja Astina yang besar di negara yang besar. Perbedaan antara manusia yang bersikap logis, rasionalis, dan pragmatis sering mencemooh manusia yang terlalu sering mengandalkan perasaannya dengan kata-kata irasional. Ahli nujum yang sering bergaul dengan para dedemit dan genderuwo terasa akan lebih rasional ketika harus menterjemahkan simbolsimbol dan informasi yang diperoleh dari langit. Inilah yang menjadi perbedaan Destarata dan Yudhistira, yaitu Destarata yang menggunakan pendekatan langit ke bumi dan Yudhistira yang menggunakan pendekatan bumi ke langit. Sangat sulit dikatakan bahwa program-program Sang Baginda Destarata akan membumi. Hidayah langit perlu seperangkat transformator atau penterjemah yang mampu menjabarkan amanah ke dalam bentukan-bentukan nyata yang menumbuhkan padi sampai jadi beras, hingga kembali kepada siklus yang menumbuhkan padi. Kebingunan rakyat yang tidak bisa makan jangan diartikan pergeseran budaya santun kepada anakisme temporer, akan tetapi lebih kepada penjabaran tema untuk dilaksanakan dan dikerjakan. Sebaliknya, Yudhistira yang gigih mendampingi rakyat selalu terhambat oleh keyakinan penguasa bahwa rakyat terlalu miskin, 22

bodoh, dan tidak dapat dipercaya untuk menjalankan dan mengembangkan program secara mandiri. Bagi-bagi uang atau bagi-bagi beras sudah dapat membuat rakyat senang. Bukan pancing yang diberi, tapi ikan. Pendekatan seperti ini tidak lebih hanya merupakan pendekatan pemikiran nasional yang baik untuk jin dan bukan manusia. Sedemikian panjang tali yang di bawa oleh Yudhistira dan keempat saudaranya untuk mendatangi pos yang satu kepada pos yang lain agar tidak tersesat dan lupa pulang kepada rakyatnya yang terus menunggu dengan harap-harap cemas. Tali rasa yang berwarna pelangi tidak terpisah dalam perbedaan satu warna, akan tetapi lebih bertumpu kepada kekuatan campuran warna itu sendiri. Sampai ke titik batas upaya manusia dari seorang Destarata dan Yudhistira, kesadaran terhadap hidayah yang terpisah dari langit atau dari bumi tidak dapat dijadikan dasar sebagai pembeda dari tanda-tanda alam. Kebenaran hakiki dari suatu hidayah hanya merupakan serat maya yang menghubungkan setiap zarah di atas bumi Astina kepada sang pencipta, dimana terkadang tampak nyata di bagian langit dan di bagian bumi, lantas samarsamar dan sama sekali tidak tampak terlihat oleh mata hati atau secara kasat mata di bagian tengah atau pinggirnya. Penyatuan hidayah menjadi yang agenda terpenting dalam tahapan penyelesaian krisis sosial budaya, ekonomi, politik, pertahanan keamanan, dan ideologi bangsa dan kerajaan Astina. Pertemuan pertama antara Sang Baginda Destarata sebagai penerima hidayah imami dengan Yudhistira yang menghambakan diri sebagai tali rasa antara rakyat dengan rajanya tidak banyak membicarakan tentang hak dan kewajiban seorang raja atau 23

rakyatnya. Pegkajian lebih mengarah kepada simbol-simbol kerinduan aliran sungai dan debur laut sebagi bakti manusia yang menerima hidayah dan tali rasa. Upaya untuk menghindarkan negara dari biaya sosial yang tinggi akibat polarisasi kebajikan dan kebathilan merupakan hasil pertama yang mereka sepakati. Mengisi perut rakyat yang baru akan bertanam pada musim tanam yang akan datang menjadi kesepakatan kedua yang dikawinkan dengan penegakan hukum dari tingkat dukuh hingga kadipaten. Mempersiapkan lembaga yang mengatur pinjaman luar negeri yang berintikan utusan-utusan menteri-menteri yang mengurusi keuangan menjadi kesepakatan ketiga yang menghindarkan Sang Baginda Raja disibukkan oleh usulan tetek bengek dari utusan kerajaan lain. Pengembangan revisi aturan di wilayah kadipaten akibat adanya perubahan peraturan istana menjadi prioritas utama yang berjalan secara simultan dengan kesepakatan-kesepakatan sebelumnya. Berpuluh-puluh dan bahkan beratus-ratus kesepakatan yang timbul antara paman dan kemenakan, baik yang terucap maupun yang tidak terucap, menjadikan tubuh Destarata lebih bersih, putih, dan bersinar sebagaimana layaknya kulit penghuni istana. Jargon kebersatuan hidayah imami yang tak bermata dan hidayah tali rasa yang menjembatani harapan rakyat dan takdir di masa yang akan datang telah lahir dan tumbuh di atas bumi Astina. Sayangnya, dalam sekejap seluruh kekuatan kesepakatan tersebut menghilang ketika mendengar derap langkah kaki yang tergopohgopoh menghampiri Destarata sepeninggal Yudhistira. Kembali di seluruh wilayah Astina terdengar suara riuhnya pesta yang tak berapa lama kemudian tenggelam dalam tangisan penderitaan rakyat. Tampak hampir seluruh penduduk berdiri 24

mengelilingi tempat pesta sambil menjulurkan tangan untuk meminta sedikit sisa nasi yang mungkin akan terbuang. Takdir sudah menjelma menjadi azab bagi Wangsa Kurawa yang tidak mungkin terhapus air mata penyesalan seorang raja.

25

Related Documents

Syukur
May 2020 25
Syukur
July 2020 17
Laras Bahasa
November 2019 25
Laras Bahasa
April 2020 18
Laras Bahasa.docx
December 2019 19

More Documents from "XFlee"