Faktor Intern a. Menurut Shandy (2010) Kebiasaan menyontek dapat muncul dari diri sendiri disebabkan karena kurangnya percaya diri dalam mengerjakan tugas. Selain itu menyontek juga disebabkan faktor “malas” yang sudah ada pada siswa. Malas belajar dan tidak membuat tugasakanmembentuk karakter siswa yang menginginkan sesuatu diperoleh dengan cara instan, sehingga menyontek menjadi pilihan. Hal senada juga diungkapkan oleh Dien F. Iqbal, Dosen Fakultas Psikologi Unpad, seperti yang dikutip Rakasiwi (2007) sesorang menyontek tidak hanya disebabkan dari faktor luar, tetapi juga faktor dari dalam diri. Dari dalam diri, konsep diri merupakan gambaran apa yang dibayangkan seseorang, nilai dan sesuatu yang dirasakan tentang dirinya sendiri. Misalnya, anggapan bahwa, "Saya adalah orang biasa saja". Anggapan ituakan memunculkan kompenen afektif yang disebut harga diri. Faktor Ekstern Selain karena faktor intern, kebiasaan menyontek juga didorong oleh faktor ekstern atau lingkungan.Peserta didik terdorong untuk melakukan tindakan curang karena implikasi dari pendidik, keluarga dan teman sebaya. a.
Dari Pendidik
Beberapa alas an siswa untuk menyontek juga didorong dari para pendidik (Guru dan Dosen). Salah satunya adalah bagi sebagian pendidik yang tidak mempersiapkan proses belajar mengajar dengan baik. Metode yang monoton dan kurangnya variasi dalam mengajar menyebabkan siswa bosan dan jenuh untuk belajar.Alasan kedua juga didorong kurangnya ketegasan dari guru untuk menindaklanjuti siswa yang ketahuan menyontek.Dengan pembiaran yang dilakukan guru, hal ini dapat menyebabkan budaya menyontek semakin menjadi-jadi. Peserta didik akanterbiasa dengan sikap curang ini karena tidak ada sanksi yang tegas dari pendidik.Bahkan yang sangat disayangkan ada beberapa oknum guru yang memberikan kunci jawaban untuk Ujian Nasional. b. Dari orang tua atau keluarga. Dari observai mini yang penulis lakukan, hasrat untuk menyontek juga didorong oleh orang tua yang menuntut anaknya untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Jika tidak didukung degan cara yang relevan, tuntutan orang tua tersebut bisa berdampak negatif pada anak.Salah satunya adalah orang tua yang mementingkan hasil daripada proses anak dalam belajar. Hal ini bisa menekan anak untuk menyontek dalam pelajaran karena takut, dan menyontek dianggap sebagai solusi pintas untuk mendapatkan nilai yang tinggi.
Dari teman Keinginan menyontek juga timbul pada saat anak melihat temannya yang lain membuat kecurangan. Dilihat dari ilmu psikologi, anak-anak yang belum matang dalam berpikir cenderung meniru dari apa yang mereka lihat di lingkungan sekitar. Maka Jika ada teman mereka yang menyontek, siswa tersebut terdorong untuk menyontek karena berpikir bahwa “untuk apa jujur saat ujian sementara semua temannya mendapat nilai yang tinggi karena menyontek”.Hasrat untuk menyontek juga muncul karena adanya peluang yang diberikan oleh teman.Peluang ini dapat berupa pembagian isi jawaban dengan sukarela oleh beberapa siswa yang pintar.Mereka beranggapan bahwa dengan saling membantu saat ujian menjadikanbukti solidaritas dalam pertemanan.Maka “kesempatan” ini mendorong siswa untuk melakukan sikap yang curang.Asumsi ini sangat cocok jika dikaitkan dengan pesan bang napi di salah satu stasion TV swasta yang menyatakan : “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan”. Jadi dengan adanya peluang ini akan mendorong siswa untukmenyontek.
SANGGAHAN Saya kurang setuju jika dikatakan bahwa perilaku menyontek saat un yang dilakukan siswa karena alasan siswa takut tidak lulus.Karena UN bukanlah satu-satunya penentu kelulusan siswa.Yang mana diatur dalam PP No 19\/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pada Pasal 72 (1) PP No. 19\/2005 disebutkan bahwa peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a. menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b. memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan; c. lulus ujian sekolah\/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. lulus ujian nasional. Misalnya seorang siswa yang memiliki nilai tinggi pada ujian sekolah dan penilaian akhir akhlak dan jasmani yang baik adalah suatu ketidakmungkinan bahwa siswa tersebut tidak lulus hanya karena nilai UN yang kurang baik.Sehingga alasan siswa menyontek pada saat UN karena takut tidak lulus masih beluzm dapat dibenarkan. Karena pada dasarnya materi yang diujiankan telah dipelajari selama 6 tahun bagi siswa yang masih disekolah dasar dan 3 tahun bagi yang telah sekolah menengah pertama dan menengah atas.Ditahun terakhir juga biasanya akan dilaksanakan pemantapan yang akan mengulang pembelajaran 3 tahun terakhir dan membahas bentuk-bentuk soal UN tahun-
tahun sebelumnya.Hal ini tentu dilakukan agar nantinya siswa terbiasa saat mengerjakan soal-soal UN dan tidak lagi mengharapkan contekan dari teman. Dari 3 tahun proses belajar ditambah pemantapan seharusnya para siswa telah mengetahui dan mengenal konsep-konsep atau inti dari mata pelajaran yang diUN kan.Misalnya saja pada mata pelajaran matematika yang seringkali membuat siswa merasa kesulitan sehingga tidak jarang ada yang menulis rumus-rumus dalam bentuk contekan.Padahal apa yang keluar di soal UN tidak akan menggunakan rumus yang berbeda dengan apa yang telah dipelajari selama 6 atau 3 tahun.Sehingga alasan yang membuat siswa menyontek adalah suatu ketidakpahaman siswa yang bisa saja dikarenakan karena siswa yang malas dan sering menganggap enteng setiap pelajaran yang dijelaskan disekolah dan pada akhirnya kesulitan saat mengerjakan soal UN. Perilaku menyontek pada siswa dalam menyikapi UN juga perlu dicermati oleh semua pihak yang terlibat dalam UN. Seringkali kita mendengar tentang solidaritas remaja yang kadang kala disalahartikan atau mungkin juga ini adalah dampak dari pergeseran nilai sosial sehingga para remaja sekarang mengartikan bahwa sikap solider itu adalah bagaimana kita membantu teman, baik itu dalam hal positif maupun negatif. Sikap solidaritas remaja dibagi menjadi dua hal, yaitu solidaritas yang positif dan solidaritas negatif, jika solidaritas ditanggapi secara positif oleh remaja sekarang maka dampaknya akan baik sekali untuk perkembangan kehidupan sosial mereka di masa yang akan datang. Melihat fenomena ini kita juga sering melihat para siswa di sekolah misalnya pada saat ujian berlangsung mereka membantu temannya dengan cara memberikan jawaban dengan alasan bahwa itu merupakan sikap solider. Apabila siswa tidak membantu temannya maka tidak jarang iya akan dibully atau disisihkan dikelasnya. Keinginan menyontek juga timbul pada saat anak melihat temannya yang lain membuat kecurangan. Dilihat dari ilmu psikologi, anak-anak yang belum matang dalam berpikir cenderung meniru dari apa yang mereka lihat di lingkungan sekitar. Maka Jika ada teman mereka yang menyontek, siswa tersebut terdorong untuk menyontek karena berpikir bahwa “untuk apa jujur saat ujian sementara semua temannya mendapat nilai yang tinggi karena menyontek”.Hasrat untuk menyontek juga muncul karena adanya peluang yang diberikan oleh teman.Peluang ini dapat berupa pembagian isi jawaban dengan sukarela oleh beberapa siswa yang pintar.Mereka beranggapan bahwa dengan saling membantu saat ujian menjadikanbukti solidaritas dalam pertemanan.Maka “kesempatan” ini mendorong siswa untuk melakukan sikap yang curang.Asumsi ini sangat cocok jika dikaitkan dengan pesan
bang napi di salah satu stasion TV swasta yang menyatakan : “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan”. Jadi dengan adanya peluang ini akan mendorong siswa untukmenyontek.