DAFTAR ISI Prakata Daftar Isi BAB I
iii v PENDAHULUAN Definisi Keuangan Publik Alasan Mempelajari Keuangan Publik Pentingnya Sektor Publik Karakteristik Kebijakan Publik Ruang Lingkup Keuangan Publik Pendekatan Analisis Kriteria yang Digunakan untuk Mengevaluasi kebijakan Politik
1 1 1 2 4 5 6 7
BAB II
BARANG PUBLIK DAN EKSTERNALITAS Identifikasi Barang Publik Karakteristik Barang Publik Perbedaan antara Barang Publilk dan Barang Pribadi Permintaan Barang Publik Tingkat Output yang Efisien Free Rider Problem Eksternalitas
9 9 10 10 12 13 13 14
BAB III
PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK Tujuan Kebijakan Harga Penentuan Harga Barang Publik Implementasi Penentuan Harga dalam Produk Pertanian Fungsi Penawaran dan Tanggapan Sektor Pertanian Kebijakan Harga Positif Kebijakan Harga Negatif Kebijakan Penyangga (Buffer Stock Policy)
16 16 17 18 19 20 21 21
BAB IV
FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN Fungsi Utama Alasan Keterlibatan Pemerintah dalam Ekonomi Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian Fungsi Alokasi Fungsi Distribusi Fungsi Stabilisasi Koordinasi Fungsi Anggaran
23 23 24 26 26 27 28 29
BAB V
FUNGSI ALOKASI Latar Belakang Adanya Fungsi Alokasi Efisiensi Pasar dan Kegagalan Pasar
30 30 31
v
Penyediaan Barang Publik Efisiensi Penyediaan Barang Publik oleh Pemerintah
34 39
BAB VI
FUNGSI DISTRIBUSI Konsep Keadilan Faktor-Faktor yang Menentukan Distribusi Distribusi sebagai Suatu Kebijakan Pemecahan atas Distribusi yang Adil dan Merata Redistribusi
43 44 46 46 47 47
BAB VII
FUNGSI STABILISASI Kebijakan Stabilisasi Kebijakan Moneter Kebijakan Fiskal Stabilisasi Anggaran
50 50 50 51 51
BAB VIII
SISTEM PILIHAN PUBLIK Konsep Keseimbangan Politis (Political Equilibrum) Pemilihan dan Pemungutan Suara (Election and Voting) Memberikan Suara atau Abstain (Vote or not to vote) Keseimbangan Politis dalam Aturan Mayoritas (Majority Rule) Fenomena Cycling Penyebab Cycling Metode Pemungutan Suara
52 52 53 54 56 62 63 65
BAB IX
KONSEP ANGGARAN Balance budget Jenis-Jenis Anggaran Konsep PPBS (Planning Programming and Budgeting System) Siklus Anggaran Masalah Umum Anggaran
69 70 70 73 75 78
BAB X
KEBIJAKAN STABILISASI Model-model Pengganda dengan Investasi Tetap Pengeluaran publik Pajak Lump-Sum Peranan Tunjangan Sosial (transfer) Sistem dengan Pajak Penghasilan Kenaikan Anggaran Berimbang Jenis-Jenis Inflasi Keseimbangan menurut Paham Ricardo
80 80 83 83 84 84 85 86 89
BAB XI
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Unsur-Unsur Pembangunan Kebijakan Struktur Perpajakan Kapasitas Kena Pajak dan Upaya Perpajakan Pengembangan Struktur Perpajakan Pajak Penghasilan Perorangan Pajak Penghasilan Perusahaan
91 91 93 93 95 95 96
vi
Pajak Tanah Pajak Kekayaan dan Pajak atas Bumi dan Bangunan Pajak dan Bea atas Komoditas Insentif Perpajakan Insentif Domestik Insentif bagi Modal vs Insentif bagi Tenaga Kerja Insentif bagi Modal Asing Insentif Ekspor Kebijakan Pengeluaran Bantuan Internasional dan Redistribusi
97 97 98 98 99 100 101 102 102 103
HUTANG PUBLIK Pertumbuhan Hutang Pemerintah Struktur Hutang Pemerintah Hutang Publik sebagai Bagian dari Struktur Likuiditas Ekonomi Pendanaan Kembali vs Pelunasan Hutang Beban Pajak dari Pelunasan Hutang Pengalihan Beban melalui Hutang Luar Negeri Peminjaman oleh Pemerintah Daerah Manajemen Hutang Struktur Jangka Waktu dari Suku Bunga Teori Struktur Jangka Waktu Dampak Inflasi Struktur Jangka Waktu dan Manajemen Hutang yang Efektif Hutang Pemerintah Lokal
106 106 106
BAB XIII
DASAR-DASAR PERPAJAKAN Penerimaan Pajak Penerimaan Non Pajak Prinsip-Prinsip Pajak Siklus Arus Pajak Tarif Pajak Istilah-istilah dalam Perpajakan
124 124 124 126 127 128 129
BAB XIV
PRINSIP KEADILAN PERPAJAKAN Prinsip Manfaat Prinsip Kemampuan Membayar Kriteria Umum Keadilan Perpajakan Prinsip Keadilan dan Pajak Penghasilan Prinsip Keadilan dan Pajak Penjualan Prinsip Keadilan dan Pajak Kekayaan
132 132 133 134 136 137 138
BAB XV
DAMPAK PERPAJAKAN TERHADAP PEREKONOMIAN Efficiency Effect Dampak Pajak Kriteria Tarif Pajak Kriteria Struktur Pajak yang Baik
140 140 141 143 145
BAB XII
110 110 111 115 116 117 117 118 118 119 121
vii
BAB XVI
PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK PRIBADI Aturan Utama Penentuan Penghasilan Kena Pajak Penerapan Tarif Pajak Prosedur Pembayaran Prinsip-Prinsip Definisi Penghasilan Praktek Definisi Penghasilan : Pengecualian Praktek Definisi Penghasilan : Pengurangan atas Penghasilan Neto Preferensi Pajak Permasalahan-Permasalahan Wajib Pajak Berpenghasilan Tinggi Perlakuan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Rendah Pola Progresivitas Tarif Pajak Penyesuaian Terhadap Inflasi Pilihan Unit Kena Pajak
147 147 148 148 149 150 153
PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN Struktur Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Perlukah Perseroan Dikenakan Pajak? Integrasi Pajak Aspek-Apek Khusus Definisi Basis Pajak Aturan Penyusutan dan Waktu Penyusutan Metode Penyusutan Ekonomis vs Metode Penyusutan Dipercepat Pembebanan Sekaligus Penyesuaian Terhadap Inflasi Investment Tax Credit Siapa yang Menanggung Beban Pajak? Pajak Penghasilan Badan untuk Usaha Kecil dan Menengah
167 167 167 172 174 175
BAB XVIII
PAJAK ATAS KONSUMSI Jenis Pajak atas Konsumsi di Indonesia Bahasan-bahasan dalam Pajak atas Konsumsi Tahap Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Nilai Akhir Sebagai Agregat dari Pertambahan Nilai Jenis Pajak Pertambahan Nilai Distribusi Beban Pajak Cukai Pajak Penjualan Umum Pajak Pengeluaran Wajib Pajak Pribadi
184 184 185 187 188 189 189 192 192 192 193
BAB XIX
PAJAK ATAS KEKAYAAN Alasan-alasan Pengenaan Pajak atas Kekayaan Pajak atas Tanah Distribusi Beban Pajak Kekayaan Pajak Kekayaan sebagai pajak atas Penghasilan Modal Pola-Pola Alternatif
197 197 199 201 202 205
BAB XVII
viii
157 158 159 159 161 163 163
177 179 180 180 181 182
Pajak atas Kekayaan Bersih Pengalaman Berbagai Negara yang Menerapkan Pajak atas Kekayaan Bersih Struktur dan Basis Pajak Peranan Harta tak Berwujud (Intangibles) Bea atas Modal
206
BAB XX
PAJAK ATAS WARISAN Alasan-alasan Pengenaan pajak atas Warisan Tujuan dan Jenis Pajak Permasalahan-Permasalahan Khusus
210 210 210 212
BAB XXI
ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA ATAS BARANG DAN JASA SOSIAL Mengidentifikasai Manfaat dan Biaya Mengevaluasi dan Mengkonversi Manfaat dan Biaya Mendiskonto Manfaat yang Akan Datang Pengaruh Tingkat Diskonto terhadap Present Value Menentukan Tingkat Diskonto Sosial (Social Rate of Discount) Pengaruh Inflasi Menentukan Peringkat Proyek
213 214 214 215 216 217 219 220
BAB XXII
STRUKTUR BELANJA PUBLIK Faktor-Faktor Penyebab Pertumbuhan Faktor Belanja Barang dan Jasa Faktor Pengeluaran dari Transfer Porsi Pendapatan Klasifikasi Belanja Publik
224 224 224 226 229
BAB XXIII
KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTOR-SEKTOR UMUM Perlunya Analisis Sektor Pertahanan Nasional Jalan Raya Pendidikan Fasilitas Rekreasi
231 231 232 233 234 235
BAB XXIV
KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK DALAM TUNJANGAN SOSIAL Tunjangan Kepada Penghasilan Rendah Asuransi Sosial Sistem Tunjangan Sosial Terkini
237 237 239 239
BAB XXV
KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH Dimensi Ekonomi dan Desentralisasi Fiskal Efisiensi Stabilitas Makro Ekonomi Keadilan (Equity) Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal
241 243 243 244 245 245
206 206 207 209
ix
BAB XXVI
TRANSFER PUSAT KE DAERAH : TEORI DAN PRAKTIK Pendahuluan Tujuan Transfer Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah Jenis-Jenis Transfer
247 247 249 255 256
BAB XXVII PERPAJAKAN DAERAH Pendahuluan Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah Ciri-Ciri Tertentu Suatu Pajak Daerah Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Ketentuan Mengenai Bagi Hasil Pajak Propinsi dan Peruntukannya Tarif Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Pembiayaan Daerah
264 264 265 266
BAB XXVIII PINJAMAN DAERAH Pendahuluan Tujuan dan Batas-Batas Pinjaman Metode dan Sumber-Sumber Pinjaman Persyaratan-Persyaratan Pinjaman Penggunaan Pinjaman dalam Pembiayaan Praktek Pinjaman Daerah di Indonesia Beberapa Isu yang Terkait dengan Regulasi Pinjaman Daerah
274 274 274 276 277 278 279 280
BAB XXIX
284 284 287 288 290 292 293
KOORDINASI PAJAK INTERNASIONAL Pendahuluan Prinsip-Prinsip Pajak Internasional Koordinasi atas Pajak Penghasilan dan Pajak Laba Koordinasi Pajak Produk Koordinasi Pengeluaran Koordinasi Kebijakan Stabilisasi Pemahaman atas Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) Cakupan Tax Treaty Pencegahan Penghindaran Pajak Ketentuan Lain-Lain
Daftar Pustaka Biografi Penyusun
x
269 271 271 272
294 295 301 301 304 307
1
B A B I PENDAHULUAN Definisi Keuangan Publik euangan publik adalah bagian ilmu ekonomi yang mempelajari aktivitas finansial pemerintah. Yang termasuk pemerintah disini adalah seluruh unit pemerintah dan institusi atau organisasi pemegang otoritas publik lainnya yang dikendalikan dan didanai oleh pemerintah. Keuangan publik menjelaskan belanja publik dan teknik-teknik yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai belanja tersebut. Keuangan publik juga menganalisis pengeluaran publik untuk membantu kita dalam memahami mengapa jasa tertentu harus disediakan oleh negara dan mengapa pemerintah menggantungkannya pada jenis-jenis pajak tertentu. Dalam keuangan publik, sebagai contoh, uraian-uraian mengapa pertahanan nasional harus dikelola oleh negara sedangkan makanan diserahkan kepada swasta dan mengapa suatu negara menggunakan komposisi berbagai jenis pajak - bukan pada pajak tunggal merupakan hal-hal yang dibahas didalamnya.
K
Keuangan publik mempelajari proses pengambilan keputusan oleh pemerintah, karena setiap keputusan mempunyai pengaruh pada ekonomi dan keuangan rumah tangga dan swasta. Sehingga, penting untuk mengembangkan model-model ekonomi yang membantu menjelaskan arti alokasi sumber daya yang efisien atau optimal, arti keadilan, dan antisipasi akibat finansial maupun ekonomi atas suatu keputusan publik. Dengan demikian, fokus keuangan publik adalah mempelajari pendapatan dan belanja pemerintah dan menganalisis implikasi dari kegiatan pendapatan dan belanja pada alokasi sumber daya, ditribusi pendapatan, dan stabilitas ekonomi.
Alasan Mempelajari Keuangan Publik Keuangan publik erat kaitannya dalam proses pengambilan keputusan berdasar asas demokrasi. Apabila para pemilih wakil rakyat memonitor aktivitas para wakilnya, maka para wakil rakyat ini akan bekerja lebih keras dan berusaha Dasar-dasar Keuangan Publik
2 meyakinkan para pemilih bahwa kontribusi mereka atas pembayaran-pembayaran pajak akan menyebabkan pencapaian kondisi yang lebih baik. Sektor publik telah mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu. Jumlah yang sangat besar nilainya ini merupakan alasan yang kuat untuk menumbuhkan rasa ingin tahu masalah keuangan publik. Penting bagi kita untuk mengamati aktivitas organisasi pemerintah - yang tidak ditujukan untuk mencari laba tetapi memaksimalkan jasa pelayanan kepada masyarakat - dan mengetahui karakteristik khusus yang melekat pada sektor publik. Salah satu perhatian pokok pengeluaran rumah tangga ada pada makanan, perumahan, pakaian, transportasi, kesehatan dan rekreasi. Kemudian, muncul pertanyaan apakah pengeluaran-pengeluaran untuk masing-masing jenis tersebut dilakukan dengan bijaksana. Kemudian, apakah hasil penerimaan pajak (terutama pajak penghasilan) dari rumah tangga seperti yang tercantum dalam anggaran negara memang relevan dengan aktivitas-aktivitas sektor publik ini. Pertanyaan-pertanyaan lain akan timbul berkaitan dengan mengapa pemerintah memerlukan anggaran sebanyak itu, digunakan untuk apa uang-uang itu, dan apakah uang tersebut digunakan dengan bijaksana? Secara normal, semakin tinggi pendapatan rumah tangga maka semakin besar proporsi pajak yang harus dibayarkan. Seiring dengan itu, kepentingan dan perhatian publik akan meningkat. Bagi individu yang merasa tidak puas dengan beban pajak yang menjadi tanggungan mereka, maka mereka akan memberi pengawasan yang lebih pada aktivitas pemerintah. Sistem perpajakan haruslah diarahkan pada kepuasan dari sudut pandang para individu tersebut, karena para individu ini menaruh perhatian pada aktivitas belanja publik setelah mereka membayar pajak. Karena, apabila pembayar pajak merasa terpuaskan, mereka akan merasa sukarela pada saat pemerintah mengambil sebagian pendapatan mereka. Dalam situasi ini, pembayar pajak akan memberikan otoritas lebih kepada pemerintah untuk mengelola dan mengendalikan sejumlah sumber daya keuangannya.
Pentingnya Sektor publik Di Amerika Serikat, lebih dari dua puluh persen pendapatan nasional (GNP) berasal dari belanja pemerintah, sedangkan di negara-negara Eropa Barat, prosentase belanja publik tersebut lebih besar. Kebijakan publik dianggap penting dalam hal mempengaruhi kegiatan ekonomi nasional, melalui kebijakan moneter dan penganggaran, karena sektor publik dan sektor swasta merupakan kesatuan integral dalam sistem perekonomian. Dalam sistem perekonomian kapitalis, dikehendaki adanya kebebasan individu yang mutlak dan tidak membenarkan pengaturan ekonomi oleh pemerintah, kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat diatur sendiri oleh para individu. Pada situasi ini, peran pemerintah timbul untuk mengatur dan mengelola aspek-aspek kepentingan publik dan karakteristik umum dari aktivitas tersebut adalah bahwa kegiatan tersebut tidak ditujukan untuk memperoleh
Dasar-dasar Keuangan Publik
3 keuntungan. Pemerintah dapat melakukan tiga kegiatan publik utama, tipikalnya dalam penyediaan pertahanan nasional, keadilan sosial dan pekerjaan umum. John Stuart Mill menyampaikan alasan-alasan tentang perlunya aktivitas publik yang dilakukan oleh pemerintah sebagai berikut: 1. 2. 3.
Bahwa campur tangan pemerintah, walaupun harus membatasi kebebasan individu, dibutuhkan dalam memelihara perdamaian dan melindungi masyarakat terhadap serangan yang datang dari luar maupun dari dalam. Bahwa pemerintah haruslah bersifat inferior dalam melakukan kegiatan industri dan perdagangan, karena usaha seperti itu dapat dijalankan oleh sektor swasta. Bahwa individu akan lebih percaya diri apabila mengerjakan sesuatu untuk kepentingannya sendiri, sehingga pemerintah hanya bergerak dalam area yang menyangkut kepentingan publik atau umum.
Dalam perkembangannya, tidak ada lagi paham ekstrim seperti itu sehingga negara kapitalis pun memandang perlu adanya peranan pemerintah dalam perekonomian. Pemerintah semakin diperlukan dalam melakukan kegiatankegiatan ekonomi karena mekanisme pasar dalam sistem kapitalis mempunyai beberapa kelemahan. Diantara kelemahan-kelemahan mekanisme pasar tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2.
3. 4. 5. 6.
Adanya barang publik (akan didefinisikan dan dibahas dalam bab mendatang) yang tidak dapat disediakan oleh mekanisme pasar, sehingga harus disediakan oleh pemerintah. Adanya perbedaan biaya pribadi dan biaya sosial, manfaat pribadi dan manfaat sosial, sehingga pemerintah secara nyata diperlukan dalam pengelolaan biaya dan manfaat sosial karena swasta tidak ada keinginan mengelolanya. Adanya risiko yang sangat besar yang tidak mungkin dikelola oleh swasta. Adanya sifat monopoli dalam bidang usaha tertentu yang menyebabkan pemerintah harus campur tangan agar monopoli tidak merugikan para pelaku ekonomi. Adanya inflasi atau deflasi yang tidak dapat diselesaikan secara otomatis oleh mekanisme pasar. Adanya distribusi pendapatan yang tidak merata antar pelaku ekonomi pasar.
Akan tetapi, fungsi sektor publik berbeda dengan fungsi rumah tangga dan perusahaan dalam perekonomian. Peran tersebut dapat dilihat dalam aliran sirkuler seperti dibawah ini.
Dasar-dasar Keuangan Publik
4
Gambar 1.1 Dari gambar terlihat bahwa akan terdapat hubungan yang erat antara arus sektor swasta (rumah tangga dan perusahaan) dan sektor pemerintah. Sektor publik (anggaran pemerintah) memberi kontribusi pada pasar faktor produksi dan pasar produk sehingga merupakan bagian integral dari sistem pembentukan harga. Itulah sebabnya dalam merancang suatu kebijakan fiskal, perlu diperhatikan bagaimana sektor swasta akan bereaksi. Arus barang pribadi dan barang publik tidak dibiayai oleh penjualan tapi melalui perpajakan atau melalui pinjaman. Barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah dapat saja diproduksi oleh pemerintah, atau diproduksi oleh swasta untuk dijual kepada pemerintah. Peranan sektor publik dalam perhitungan GNP (Gross National Product) atau pendapatan nasional adalah bahwa pemerintah memberi kontribusi terhadap GNP melalui pembelian barang dan jasa.
Karakteristik Kebijakan publik Dalam menilai pentingnya sektor publik, ada sejumlah kriteria dimana komposisi output pengeluaran publik haruslah sesuai dengan keinginan konsumen, adanya preferensi pengambilan keputusan yang terdesentralisasi, dan tidak menyerahkan ekonomi hanya pada kekuatan pasar, karena mekanisme pasar tidak dapat melaksanakan semua fungsi ekonomi.
Dasar-dasar Keuangan Publik
5 Dengan demikian karakteristik kebijakan publik mempunyai sifat mengarahkan, mengoreksi dan melengkapi peranan mekanisme pasar. Rincian karakteristik tersebut adalah sebagai berikut: 1.
2. 3. 4. 5. 6.
Untuk mencapai efisiensi pasar - kondisi dimana produksi barang sama dengan keinginan pasar - mensyaratkan adanya informasi yang lengkap mengenai pasar baik bagi produsen maupun konsumen dan peraturan pemerintah diperlukan untuk menjamin persyaratan kelengkapan informasi itu. Peraturan pemerintah diperlukan untuk mengoreksi penyimpangan yang terjadi bila terdapat kondisi persaingan yang tidak efisien. Pertukaran barang dan jasa tertentu dalam mekanisme pasar perlu ada proteksi dari pemerintah untuk melindungi pelaku pasar. Timbulnya masalah eksternalitas (akan dibahas lebih lanjut pada bab mendatang) perlu dipecahkan oleh pemerintah, melalui anggaran, subsidi dan pajak. Perlunya peran sosial yang dilakukan oleh pemerintah dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam mekanisme pasar. Kebijakan publik diperlukan untuk menjamin kesempatan kerja, stabilitas harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Ruang Lingkup Keuangan Publik Ruang lingkup Keuangan Publik dapat digambarkan dalam bagan berikut ini.
Bahasan Keuangan Publik dimulai dari keadaan dan alasan perlunya peran pemerintah dalam perekonomian. Hal ini menyangkut kondisi-kondisi adanya eksternalitas yang perlu dikendalikan pemerintah, adanya barang publik yang perlu disediakan oleh pemerintah, adanya mekanisme pasar yang perlu diintervensi pemerintah karena berbagai alasan, perlunya pencapaian kondisi stabil dalam eknomi dimana peran pemerintah sangat dominan, dan sebagainya. Setelah itu, Keuangan Publik juga mencoba memberi gambaran tentang pilihan publik yang menyangkut aspek institusi publik, keseimbangan publik yang dicapai melalui proses pemilihan umum. Hasil pemilihan umum ini akan Dasar-dasar Keuangan Publik
6 menghasilkan keputusan diantaranya menyangkut penyediaan barang dan jasa publik , dan juga alokasi dan distribusi sumber daya. Kemudian, bahasan Keuangan Publik akan mencakup masalah-masalah kreasi memperoleh pendapatan yang dilakukan oleh pemerintah. Sumber pendapatan pemerintah dapat mencakup pajak dan non pajak, dan, dalam keuangan publik, sumber-sumber tersebut akan dihubungkan dengan aspek keadilan dan distribusi pendapatan. Keuangan Publik kemudian akan membahas aspek belanja publik yang merupakan aktivitas utama pemerintah dalam penyediaan barang dan jasa publik untuk kesejahteraan masyarakat. Contohcontoh belanja pemerintah tersebut meliputi pendidikan, kesehatan dan pertahanan, dimana bahasan tersebut akan dihubungkan dengan aspek efisiensi penyediaan jasa tersebut. Salah satu titik penting sisi belanja tersbut juga akan mencakup efek pengganda (multiplier) yang diperankan oleh pemerintah. Aspek pembiayaan merupakan area pembahasan Keuangan Publik berikutnya. Secara tipikal, pemerintah perlu memberikan stimulus pada perekonomian melalui kebijakan belanjanya yang mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu, dimana belanja tersebut dapat didanai oleh pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan pemerintah. Untuk menutup kekurangannya, pemerintah dapat melakukan usaha-usaha memperoleh sumber pendanaan lainya melalui hutang, misalnya. Bahasan yang meliputi kegiatan memperoleh pendapatan, kegiatan yang mencakup belanja publik dan kegiatan pembiayaan sering disebut sebagai struktur fiskal (fiscal structure). Yang terakhir, bahasan keuangan publik biasanya juga menyangkut kegiatan analisis hubungan antara kebijakan pemerintah dengan perekonomian yang dikelola oleh rumah tangga dan swasta. Dengan demikian, ruang lingkup Keuangan Publik akan menyangkut ketiga bidang utama sebagai berikut: 1. 2. 3.
Permasalahan keuangan pemerintah itu sendiri, dengan keterbatasanketerbatasan yang ada. Segala kegiatan yang berhubungan dengan alokasi sumber daya, distribusi pendapatan, dan aspek stabilisasi. Analisis hubungan sektor publik dan sektor swasta.
Fokus buku ini akan meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran dari anggaran pemerintah dan hal-hal yang berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja negara, termasuk kebijakan publik.
Pendekatan Analisis Dalam melakukan analisis kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan anggaran pemerintah, dapat dipakai beberapa pendekatan analisis sebagai berikut: Pendekatan Normatif. Pendekatan ini mencakup kriteria yang perlu ditetapkan untuk menilai kebijakan anggaran, bagaimana kualitas kebijakan fiskal, dan bagaimana agar
Dasar-dasar Keuangan Publik
7 prestasi dapat ditingkatkan. Dengan menggunakan welfare economics, analisis dihubungkan dengan kondisi efisien perilaku rumah tangga dan perusahaan. Implementasi kebijakan sektor publik mempunyai derajat kesulitan lebih tinggi, karena erat kaitannya dengan aspek politik dan harus mempertimbangkan aspek pemerataan dan keadilan. Jadi, pendekatan normatif ini akan mengarah pada bagaimana seharusnya suatu kebijakan publik ditetapkan. Pendekatan ini menggunakan alat indifference curve untuk menyatakan preferensi individu yang kemudian dihubungkan dengan preferensi bermuatan sosial untuk mendapatkan kondisi efisiensi Pareto. Teori dasar dari welfare economics menyatakan bahwa, pertama, dalam kondisi tertentu, mekanisme pasar yang kompetitif mengarah pada hasil yang efisien, dan, kedua, menyatakan suatu masyarakat dapat mencapai efisiensi Pareto tersebut dengan membuat kesepakatan (dengan melibatkan intervensi pemerintah) atas donasi individuindividu dan kemudian memberi kebebasan pada masyarakat untuk melakukan pertukaran satu sama lain. Pendekatan Positif. Pendekatan ini dilakukan dengan membahas hal-hal yang berhubungan dengan estimasi, berdasar bukti empiris. Analisis ini menilai mengapa kebijakan fiskal pemerintah mencakup aspek ekonomi, historis, politik dan sosial; bagaimana tekanan pihak-pihak yang berkepentingan dan bagaimana preferensi fiskal, dan bagaimana proses politik. Jadi, pendekatan positif ini akan mengarah pada kebijakan publik apa yang harus diambil. Pendekatan ini menggunakan alat eksperimen berdasar suatu estimasi untuk melihat perubahan perilaku. Pendekatan ini menggunakan model-model ekonometrik untuk melihat pengaruh dari suatu kebijakan dalam perilaku ekonomi yang diobservasi dan juga menggunakan analisis regresi untuk memprediksi pengaruh kebijakan setelah parameternya dapat diketahui dari model ekonometrik tersebut.
Kriteria yang Digunakan untuk Mengevaluasi Kebijakan Publik Beberapa kriteria dibawah ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi dan analisis kebijakan publik. 1.
Equity & Fairness (Keadilan dan kewajaran) Suatu kebijakan publik dapat diuji dengan berbagai pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan kewajaran dalam persepsi sosial dan seberapa fair suatu kebijakan publik terhadap isu hak kepemilikan? Sebagai contoh, apakah wajar menutup perusahaan yang menyebabkan polusi udara dibandingkan dengan kesempatan kerja yang disediakan oleh usaha tersebut? Apakah wajar menutup bisnis penebangan hutan untuk menyelamatkan habitat burung hantu? Atau, apakah wajar bagi keluarga tanpa anak harus membayar pajak pendidikan?
Dasar-dasar Keuangan Publik
8 2.
Economic Efficiency (Efisiensi Ekonomi) Kebijakan publik dapat dianalisis dari sudut Pareto Efficiency yaitu alokasi sumber daya dari kondisi yang tidak mungkin – melalui perubahan alokasi – sehingga mencapai kondisi dimana seseorang atau beberapa orang mengalami kepuasan lebih baik tanpa menyebabkan pihak lain terbebani.
3.
Paternalism (Sistem Paternal) Kebijakan publik dapat dievaluasi dari asumsi bahwa pemerintah adalah pihak yang paling mengetahui permasalahan penduduk suatu negara dan pemerintah bebas menentukan kebijakan apa saja. Sebagai contoh, orang tidak akan menabung dalam jumlah yang cukup untuk pensiun sehingga pemerintah harus mengalokasikan penerimaan pajak agar penduduk usia lanjut dapat memperoleh manfaat.
4.
Freedom of choice (Kebebasan Individu) Dalam asas demokrasi, kebebasan individu dalam perekonomian memungkinkan pertukaran sukarela atau mempromosikan proses pengambilan keputusan sukarela yang didasarkan atas pertimbangan dagang yang bebas biaya transfer antar pihak yang bertransaksi. Sehingga salah satu indikator keberhasilan kebijakan publik adalah apakah kebijakan pemerintah dapat mendorong kebebasan individu dalam bertransaksi ekonomi.
5.
Stabilization (Stabilisasi) Kebijakan publik dapat dianalisis dengan menilai apakah kebijakan yang diambil pemerintah mampu meningkatkan pengeluaran agregat? Atau apakah ekonomi sektor swasta - yang dapat memberi pekerjaan pada setiap orang - perlu diintervensi pemerintah?
6.
Trade Off Secara umum, ekonom menekankan efisiensi dan keadilan sebagai kriteria melakukan evaluasi atas kebijakan publik. Akan tetapi, mungkin ada konflik yang substansial antara beberapa kriteria tersebut. Contoh, kebijakan upah minimum mungkin mendorong keadilan, tetapi hal ini mungkin tidak efisien. Kemudian, welfare economics telah dipertimbangkan sebagai cara pemberian insentif untuk mengoreksi kebijakan berdasar keadilan sosial. Suatu kebijakan publik dapat dievaluasi dengan pertanyaan apakah pilihan kebijakan tidak akan mengorbankan tujuan lainnya atau apakah manfaat agregat dapat melampaui beban agregat.
Dasar-dasar Keuangan Publik
9
B A B II BARANG PUBLIK & EKSTERNALITAS Identifikasi Barang Publik
D
alam mengklasifikasi barang publik dan barang pribadi, kita dapat menggunakan gambar dengan sumbu horizontal berupa tingkat excludability dan sumbu verikal berupa tingkat rivalry, sebagai berikut. Rivalry rendah
Barang Publik Lokal: Perpustakaan Taman Rekreasi Area parkir
Barang Publik: Pertahanan Danau & sungai Lampu Jalan
Excludability Tinggi Barang Pribadi: Rumah, mobil Makanan, pakaian Jasa personal lain
Excludability Rendah
Rivalry Tinggi
Barang dengan eksternalitas: Pendidikan, Pengangkut sampah Jalan lokal
Dari gambar diatas, dapat ditunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan sifat rivalry dan excludability, suatu barang dapat dikelompokkan kedalam empat kategori yaitu barang publik, barang pribadi, barang publik lokal (sering disebut congestible goods) dan barang dengan eksternalitas. Karakteristik masing-masing jenis akan dibahas kemudian, terutama sifat-sifat dasar yang dipertimbangkan dalam pembahasan aspek keuangan publik.
Dasar-dasar Keuangan Publik
10
Karakteristik Barang Publik Secara umum, suatu barang publik mempunyai sifat-sifat berikut: 1.
2.
3.
Konsumsi atas barang publik oleh seseorang tidak mempengaruhi penawaran barang publik tersebut untuk dikonsumsi oleh orang lain, atau suatu barang dapat dikonsumsi oleh beberapa orang secara bersama-sama. Sifat barang publik seperti ini disebut non rival consumption. Walaupun penyedia barang menginginkan, setiap anggota masyarakat tidak dapat dibatasi/dilarang untuk mengkonsumsi barang publik atau kegiatan pembatasan tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Sifat barang publik seperti ini disebut non exclusion. Walaupun setiap orang mengkonsumsi jumlah yang sama atas barang publik, tidak ada persyaratan bahwa konsumsi ini dinilai atau dihargai oleh semua orang.
Karakteristik barang publik seperti diatas tidaklah absolut, tetapi tergantung pada kondisi pasar dan teknologi. Suatu komoditas dapat saja memenuhi satu kriteria dari barang publik, tapi mungkin tidak memenuhi kriteria yang lain. Beberapa barang tertentu yang secara konvensional tidak dipandang sebagai komoditas pribadi dapat saja mempunyai karakteristik sebagai barang publik. Sifat lain dari barang publik yang lain adalah bahwa barang publik tidak disediakan secara eksklusif oleh pihak swasta. Penyediaan barang publik yang dilakukan oleh pemerintah tidak berarti bahwa produksinya harus dilakukan oleh sektor publik, tapi mungkin disediakan oleh swasta kemudian pemerintah melakukan pembelian atas barang tersebut.
Perbedaan antara Barang Publik dan Barang Pribadi Barang publik adalah barang-barang yang mempunyai dua sifat pokok yaitu non rival consumption dan non exclusion. Non rival consumption mengandung maksud bahwa sejumlah orang dapat mengkonsumsi secara bersama-sama terhadap barang tersebut atau, pada tingkat tertentu, konsumsi yang dilakukan atas barang tidak akan mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain. Contoh barang publik dengan sifat ini adalah jalan raya dan pertahanan nasional dimana konsumsi terhadap barang tersebut oleh seseorang tidak mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk ikut mengkonsumsinya. Sedangkan non exclusion mengandung arti bahwa orang tidak dapat membatasi manfaat atas barang tersebut pada orang-orang yang sanggup membayar saja. Dengan lain perkataan, apakah seseorang itu mau membayar atau tidak (free rider) dalam mengkonsumsi barang, orang tersebut tetap dapat memperoleh barang tersebut. Terdapat beberapa perbedaan karakteristik antara barang pribadi dan barang publik. Pertukaran barang pribadi dalam mekanisme pasar tidak menghasilkan eksternalitas, sedangkan pertukaran barang publik selain dapat
Dasar-dasar Keuangan Publik
11 menghasilkan manfaat eksternal juga dapat menyebabkan beban eksternal bagi pihak lain. Contoh barang publik yang menghasilkan manfaat eksternal adalah pertahanan nasional dan contoh barang publik yang menghasilkan beban adalah penyediaan mesin atau peralatan yang menyebabkan adanya polusi udara. Perbedaan lain adalah bahwa biaya marjinal untuk distribusi barang publik kepada konsumen adalah nihil. Hal ini merupakan efek dari sifat non rival consumption. Suatu unit barang pribadi hanya dapat dinikmati oleh konsumen tertentu dan setelah itu tidak tersedia bagi orang lain, sedangkan suatu barang publik tidak dapat dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang terpisah yang dapat dikonsumsi habis. Jadi, satuan kuantitas barang publik dapat dinikmati bersamasama secara kolektif oleh sekelompok orang. Untuk memperjelas karakteristik diatas, dimisalkan ada sekelompok orang yang berada di satu ruangan tertentu. Setiap hari, penghuni ruang ini dapat mengkonsumsi sejumlah roti dan udara sejuk dari alat pendingin ruangan. Jumlah roti yang tersedia akan dikonsumsi dengan porsi yang sama oleh orang-orang yang berada di ruangan itu, dan bila seseorang akan mengkonsumsi lebih dari porsinya, dipastikan akan mengurangi porsi orang lain. Di lain pihak, tidak mungkin membagi temperatur yang telah diberi pendingin udara kepada orangorang dalam ruangan tersebut. Semua orang akan mengkonsumsi tingkat temperatur yang sama. Penambahan orang dalam ruangan, sampai batas tertentu, tidak akan mempengaruhi tingkat konsumsi atas udara sejuk tersebut. Tidak mungkin orang akan mengkonsumsi tingkat temperatur yang berbeda satu sama lain. Sejumlah roti mempunyai karakteristik sebagai barang pribadi sedangkan tingkat suhu seperti uraian diatas mempunyai karakteristik sebagai barang publik bagi orang-orang yang menghuni ruangan.
Perbedaan karena kegagalan mekanisme pasar Kebutuhan barang pribadi dirasakan secara perorangan, sedangkan kebutuhan barang publik dirasakan secara bersama-sama oleh para individu dalam masyarakat. Manfaat yang dihasilkan oleh barang publik tidak terbatas pada konsumen tertentu saja yang membeli barang itu, akan tetapi juga bagi konsumen lainnya. Contoh barang pribadi adalah roti. Konsumsi orang satu dengan orang lainnya berada dalam hubungan yang saling bersaingan (rival), karena apabila roti tadi dikonsumsi oleh seseorang, maka barang tersebut tidak tersedia bagi orang lain. Sedangkan contoh barang publik adalah alat untuk mengurangi pencemaran udara. Jika alat tersebut berfungsi dan terjadi peningkatan kualitas udara, manfaat yang dihasilkan akan tersedia bagi semua orang yang bernafas. Konsumsi atas alat anti pencemaran udara tadi oleh beberapa individu adalah tidak saling bersaing (non rival), karena keikutsertaan orang lain untuk memanfaatkan alat tidak mengurangi manfaat bagi yang lainnya. Kedua sifat barang tadi akan menimbulkan permasalahan bagaimana konsumen berperilaku dan bagaimana kedua jenis barang tadi harus disediakan. Mekanisme pasar secara tepat dapat menggambarkan penyediaan barang pribadi. Mekanisme ini didasarkan pada pertukaran dan pertukaran hanya terjadi jika terdapat hak eksklusif bagi pihak yang membelinya. Suatu pasar menyediakan Dasar-dasar Keuangan Publik
12 sistem dimana produsen akan akan memproduksi barang jika konsumen membutuhkan barang itu. Hanya pihak yang bersedia membayar barang itulah yang dapat memperoleh manfaat atas barang. Dalam kondisi ini, pasar menjadi efisien, karena transaksi pemanfaatan barang dianalogikan suatu tender terbuka dan setiap orang boleh mengikuti tender sehingga tidak ada yang dirugikan. Lain halnya dengan penyediaan barang publik dimana tidak terjadi mekanisme pasar yang efisien. Satu orang tidak dapat secara ekslusif memanfaatkan barang publik, karena apabila orang tersebut mengkonsumsi, pada saat yang sama orang atau pihak lain dapat mengkonsumsi barang publik tersebut secara bersama-sama. Konsumen juga tidak bersedia untuk melakukan pembayaran atas barang publik tadi, dengan pertimbangan bahwa orang lain juga menikmati barang yang sama. Manfaat yang dirasakan oleh satu pihak akan sama dengan manfaat yang dirasakan pihak lain, sehingga pembayaran hanya oleh satu konsumen tidak signifikan. Hubungan antara produsen dan konsumen menjadi tidak ada dan pemerintah lah yang harus bersedia memproduksi barang publik. Pemerintah harus mengambil tindakan apabila mekanisme pasar tidak berjalan.
Perbedaan karena penyediaan barang publik Permasalahan yang ada adalah bagaimana pemerintah harus menentukan berapa banyak barang publik tersebut perlu diadakan. Kesulitan terjadi dalam menentukan jenis dan kualitas barang publik, dan berapa konsumen harus membayar. Kesulitan yang sama adalah bagaimana manfaat ini dapat dinilai oleh konsumen. Dari sudut pandang konsumen, mereka tidak dapat menyatakan kepada pemerintah berapa nilai pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah. Persediaan barang publik tidak banyak dipengaruhi oleh kontribusi individu. Konsumen tidak mempunyai hak suara secara perorangan untuk menyatakan bagaimana nilai pelayanan yang nyata bagi mereka, kecuali ada jaminan konsumen lain juga melakukan hal yang sama. Konsumen akan dapat memilih sebagai free rider (dibahas lebih lanjut pada sub bab berikut) atas apa yang disediakan oleh pemerintah. Dengan demikian, cara penyediaan barang publik dan alokasinya akan berbeda dengan cara penyediaan barang pribadi. Pada tahap ini, proses politik akan menggantikan mekanisme pasar. Pemilihan dengan pemungutan suara akan menggantikan transaksi jual beli yang terjadi di mekanisme pasar. Mereka merasa berkepentingan untuk memilih apa yang akan memberi manfaat bagi mereka. Hasil pemungutan suara akan menggantikan pilihan melalui mekanisme pasar. Tingkat efisiensi proses pemilihan dan kebersamaan pilihan masyarakat akan menentukan tingkatan pencapaian pemecahan yang efisien.
Permintaan Barang Publik Kurva permintaan barang publik harus diinterpretasikan secara berbeda dengan kurva permintaan barang pribadi. Untuk barang publik (murni), seluruh konsumen harus mengkonsumsi sejumlah kuantitas yang sama atas barang. Para pembeli barang publik tidak akan dapat menyesuaikan tingkat konsumsinya sehingga seorang individu mengkonsumsi satu unit, sementara individu lain
Dasar-dasar Keuangan Publik
13 dapat mengkonsumsi dua unit. Para konsumen tidak dapat menyesuaikan jumlah yang dibeli sampai harga barang publik sama dengan manfaat marjinalnya atau sampai dengan transaksi pengadaan barang publik tersebut terjadi (kondisi equilibrium). Sayangnya, barang publik tidak dapat dihargai seperti itu, karena sifatnya yang non exclusion. Bila digambarkan dalam grafik, sumbu vertikal bukanlah harga pasar, tetapi jumlah maksimum seseorang bersedia membayar per unit barang publik, sebagai fungsi dari jumlah barang yang secara nyata tersedia, yakni sumbu horizontalnya berupa jumlah unit barang. Sebagai contoh, ada tiga orang hidup bersama dalam sebuah komunitas yang kecil dan mempunyai keinginan yang sama untuk mengadakan satuan pengamanan (satpam). Harga sewa satpam merupakan jumlah maksimal yang individu bersedia membayar dan kuantitas proteksi keamanan dapat diukur dari jumlah satpam yang disewa untuk tujuan itu, dan merupakan cerminan dari barang publik yang dapat dikonsumsi oleh ketiga orang tersebut.
Tingkat Output yang Efisien Efisiensi dalam pasar barang pribadi mensyaratkan bahwa seluruh aktivitas ekonomi dilaksanakan sampai pada titik dimana manfaat sosial marjinal (marginal social benefit) sama dengan biaya sosial marjinal (marginal social cost). Prinsip ini dapat juga berlaku untuk penerapan teori barang publik. Dimisalkan ada seseorang berkeinginan memproduksi atau membeli suatu barang (publik) untuk kepentingan pribadinya. Penyediaan barang publik oleh orang itu akan memberi manfaat kepada si penyedia dan juga kepada orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, manfaat sosial marjinalnya akan melebihi manfaat yang diterima oleh orang yang menyediakan barang tadi. Gabungan seluruh manfaat yang dinikmati oleh orang-orang di sekitarnya memberikan manfaat sosial marjinal atas tambahan unit yang disediakan. Jadi, manfaat sosial marjinal adalah jumlah manfaat marjinal yang dinikmati oleh seluruh konsumen tersebut. Kuantitas yang efisien per periode waktu berhubungan dengan titik dimana output meningkat sedemikian rupa sehingga jumlah manfaat marjinal konsumen sama dengan biaya sosial marjinal atas barang.
Free Rider Problem Sebuah sistem yang mensyaratkan kontribusi secara sukarela untuk penyediaan dan pembiayaan barang publik dapat berjalan apabila komunitas publik terdiri hanya beberapa individu. Dalam kelompok kecil, masing-masing orang kenal satu sama lain dan apabila mempunyai gagasan penyediaan suatu barang akan mudah mencapai kompromi, karena setiap anggota kelompok dengan mudah dapat mengidentifikasi manfaat barang tersebut. Sebagai contoh, sekelompok orang yang menghuni sebuah apartemen yang mewah mempunyai kepentingan yang sama dalam memperbaiki jalan akses atau mengadakan proteksi keamanan, akan secara mudah mencapai kompromi untuk menyediakan barang
Dasar-dasar Keuangan Publik
14 publik tersebut dengan mendanai secara bersama-sama. Selain proses mencapai kesepakatannya tidak rumit, ada keterikatan moral antar mereka. Tetapi, jika jumlah orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan bertambah dan informasi tentang selera dan kemampuan ekonomi kurang, sepertinya akan sulit menggambarkan preferensi kelompok tersebut, karena tidak seorang pun dalam kelompok besar tersebut secara akurat memperoleh informasi tentang manfaat nyata pengadaan barang publik. Di satu pihak, seseorang akan secara sukarela memberikan kontribusi untuk penyediaan barang publik tersebut, namun di lain pihak, akan terdapat orang-orang yang enggan memberikan kontribusi biaya. Mereka mengetahui secara persis bahwa barang publik yang akan dibeli atau diadakan tidak mungkin hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang membayar saja. Apabila kondisi itu terjadi, akan ada orang-orang yang mengambil manfaat barang publik tanpa memberikan kontribusi apa pun terhadap biaya penyediaan barang tersebut. Orang ini disebut free rider. Problem muncul jika free rider berjumlah banyak dan akhirnya penyediaan barang publik, misalnya perbaikan jalan akses ke apartemen, tidak jadi dilakukan. Semua anggota kelompok tersebut, pada akhirnya, tidak dapat menikmati kenyamanan menggunakan jalan tadi.
Eksternalitas Eksternalitas didefinisikan sebagai biaya atau manfaat dari transaksi pasar yang tidak tercermin dalam harga. Eksternalitas muncul pada saat pihak ketiga, selain pembeli dan penjual, mempengaruhi produksi atau konsumsi suatu barang. Manfaat yang dinikmati atau biaya yang menjadi beban pihak ketiga ini tidak dipertimbangkan oleh baik pembeli maupun penjual dari barang atau jasa yang bersangkutan. Eksternalitas ini muncul, biasanya, dalam transaksi penyediaan dan atau pertukuaran barang publik, karena karakteristik dasarnya. Eksternalitas dapat dihasilkan dari kegiatan produksi maupun konsumsi. Eksternalitas produksi dan konsumsi dapat merupakan sesuatu yang negatif. Contoh ektrenalitas negatif ini adalah kepadatan jalan dan taman yang tidak dirawat dan dikelola secara baik. Salah satu karakteristik penting dari eksternalitas adalah sifat reciprocal. Suatu pabrik mungkin menyebabkan eksternalitas kepada lingkungannya dengan aroma yang tidak sedap. Di sisi lain, keinginan warga sekitar untuk membebaskan diri dari bau tak sedap akan menimbulkan beban bagi perusahaan. Beban ini tetap akan timbul tidak tergantung apakah bau tak sedap akan berkurang atau tidak. Pertanyaannya adalah siapa yang harus menanggung beban tersebut. Perhatian ekonom tertuju pada distribusi manfaat dan beban sedemikian rupa sehingga menggerakkan produksi pada tingkat dimana biaya marjinal sama dengan manfaat marjinal. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan berbagai cara.
Dasar-dasar Keuangan Publik
15 Eksternalitas Positif Beberapa kasus eksternalitas positif dicontoh berikut ini. Pendidikan untuk anak, misalnya, tidak hanya memberi manfaat bagi anak-anak dan keluarganya, akan tetapi juga bagi masyarakat. Orang-orang yang berpendidikan akan lebih produktif, lebih berperilaku positif, dan akan memiliki selera yang lebih mapan dalam barang dan jasa, yang merupakan ciri-ciri masayarakat terdidik. Dengan cara yang sama, ketika sampah lingkungan kita diangkut secara teratur, risiko kesehatan kita akan berkurang, dan nilai properti kita akan mengalami peningkatan. Ketika lampu penerangan jalan ada di seberang blok rumah kita, yang dibayar oleh para warga dalam kompleks tersebut, kita dapat berjalan dalam kondisi aman di malam hari. Ketika sebuah keluarga memperbaiki rumah dan lingkungan sekitar dengan indah, manfaat tidak hanya dinikmati oleh warga sekitar, akan tetapi juga dinikmati oleh orang-orang yang lewat di perumahan tersebut. Masih banyak kasus lain yang dapat dijadikan contoh untuk eksternalitas postif. Eksternalitas Negatif Beberapa kasus eksternalitas negatif dapat dijadikan contoh berikut ini. Perokok pasif – orang yang ikut menghirup asap rokok meskipun dia tidak merokok – merupakan contoh eksternalitas konsumsi, sementara polusi air yang diakibatkan oleh limbah pabrik merupakan contoh eksternalitas produksi. Keduanya merupakan eksternalitas negatif. Ketika barang diproduksi dan dijual atau dikonsumsi, kurva biaya marjinal hanya menggambarkan biaya yang nyata timbul untuk memproduksi barang tersebut. Apabila biaya-biaya kepada pihak lain timbul karena proses produksi menimbulkan kebisingan, polusi, dan bahaya lain – termasuk biaya sosial – pasar tidak akan memperhitungkan biaya tersebut dalam menentukan harga equilibrium. Tanpa intervensi pihak lain, produsen dan konsumen akan mempertimbangkan harga yang terlalu rendah, karena mereka tidak mempertimbangkan biaya-biaya sosial. Dengan demikian, biaya sosial harus ditambahkan dalam biaya produksi biaya material, tenaga kerja, modal dan input lain - dalam kurva biaya marjinal. Proses menambahkan biaya sosial kedalam biaya produksi dan nantinya tercermin dalam biaya pasar tersebut sering disebut sebagai proses internalisasi eksternalitas (internalizing externalities). Banyak teknik dapat digunakan dalam proses internalisasi ekstrnalitas tersebut. Misalnya, peraturan mengharuskan produsen untuk memperhatikan keamanan pekerjanya, mengurangi emisi gas buang, mengurangi kebisingan dalam metode produksinya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
16
B A B III PENENTUAN HARGA BARANG PUBLIK Tujuan Kebijakan Harga ecara umum, pemerintah tidak menjual jasanya kepada masyarakat, akan tetapi pemerintah menyediakan jasa publik kepada masyarakat tanpa harus membayar. Sebagai contoh, jasa pertahanan nasional tidak dijual kepada para individu dimana individu harus membayar bila memanfaatkannya. Jasa ini disediakan secara seragam kepada seluruh pengguna di seluruh daerah dan seluruh masayarakat dapat memanfaatkan jasa ini. Namun demikian, bukan berarti bahwa penyediaan jasa publik ini tanpa menimbulkan biaya. Sebuah proses politik digunakan dalam menentukan jumlah yang harus disediakan dan distribusi biaya kepada para individu. Pemerintah terlibat dalam penyediaan barang dan jasa publik ini karena kegagalan mekanisme pasar.
S
Pertanyaan mendasar tentang mengapa pemerintah terlibat dalam kegiatan penentuan harga barang merupakan pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab. Harapan pemerintah, dengan keterlibatan dalam penentuan harga barang publik, adalah ingin meningkatkan baik efisiensi alokasi sumber daya maupun keadilan dalam distribusi pendapatan. Ini tidak berarti bahwa setiap tindakan pemerintah pasti berhasil mengatasi problem ini. Dalam menentukan seberapa banyak suatu barang harus dibeli oleh individu-individu, mereka hanya akan mempertimbangkan manfaat yang diperoleh secara pribadi, sehingga kesempatan bahwa barang tersebut tersedia di pasar akan sangat kecil. Dalam kasus ini, pemerintah akan melibatkan diri untuk menjamin bahwa manfaat eksternal harus juga dipertimbangkan dalam mengambil keputusan jumlah yang akan dikonsumsi oleh individu. Dengan analogi yang sama, pemerintah juga akan terlibat dalam penyediaan barang pribadi untuk memproteksi masyarakat dari penipuan (misalnya kebenaran iklan), kepastian tersedianya jasa (misal jasa rumah sakit dan pos), maupun keseragaman kualitas jasa (misal pendidikan). Semua keterlibatan pemerintah ini ditujukan untuk mencapai penentuan harga yang efisien.
Dasar-dasar Keuangan Publik
17
Tujuan kebijakan harga oleh pemerintah mencakup tindakan-tindakan yang diperlukan agar pasar bekerja lebih baik, termasuk memperbaiki arus informasi atau mengurangi unsur-unsur monopoli dan batasan-batasan dalam masuknya perusahaan-perusahaan baru dalam pasar. Akan selalu ada tujuantujuan ekonomi dan non-ekonomi yang dapat diikuti pemerintah melalui campur tangan, dalam meminimalkan biaya ekonomi guna mencapai sasaran-sasaran yang diinginkan.
Penentuan Harga Barang Publik Tergantung pada masing-masing tujuannya, pemerintah mempunyai banyak pilihan berkaitan dengan keputusan penyediaan barang atau jasanya: 1. 2. 3.
Dapat dijual dengan harga pasar. Dijual dengan tingkat harga tertentu yang berbeda dengan harga pasar. Diberikan secara gratis kepada para konsumennya.
Masing-masing keputusan akan mempunyai konsekuensi. Sebagai contoh, meskipun keputusan memberikan secara gratis kepada masyarakat akan memaksimalkan penggunaan barang atau jasa oleh masyarakat, cara ini menimbulkan biaya yang sangat tinggi yang harus ditanggung oleh pemerintah. Dengan kata lain, contoh tersebut menggambarkan kondisi yang tidak efisien bagi penyediaan barang dan jasa oleh pemerintah. Keputusan penentuan harga oleh pemerintah ditujukan untuk memperbaiki alokasi sumber daya ekonomi pada sektor publik. Dalam perekonomian, tingkat harga merupakan suatu tanda tingginya nilai yang merupakan kesediaan konsumen untuk membayar atas barang yang dihasilkan oleh produsen, sekaligus merupakan tingginya biaya untuk menghasilkan barang tersebut oleh produsen. Dalam mekanisme pasar barang pribadi yang bersifat persaingan sempurna, untuk menentukan tingkat keseimbangan, berlaku hukum bahwa harga sama dengan biaya marginal (marginal cost) dan sama dengan pendapatan marjinal (marginal revenue) bagi produsen, atau p = MC = MR, dimana p adalah price atau harga, MC adalah marginal cost atau biaya marjinal dan MR adalah marginal revenue atau pendapatan marjinal. Sehingga, apabila konsumen akan memaksimalkan kepuasannya, pada tingkat equilibrium, konsumen akan membeli barang-barang sampai tercapai kondisi equilibrium tersebut. Pertanyaan akan timbul, apakah hukum ekonomi tersebut berlaku juga untuk barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah? Pada dasarnya, tugas pemerintah adalah menyediakan barang untuk kepentingan orang banyak dengan harga murah. Dengan demikian, pemerintah akan ditekan oleh kekuatan politik untuk tidak mengambil keuntungan dari barang atau jasa yang dihasilkannya. Itulah sebabnya, pemerintah seringkali menetapkan harga dibawah tingkat harga yang sebenarnya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen barang tersebut. Konsekuensinya, keputusan pemerintah ini menimbulkan akibat Dasar-dasar Keuangan Publik
18 ketidakefisienan atau terjadi pemborosan apabila dipandang dari ilmu ekonomi, karena konsumen menilai barang atau jasa yang disediakan oleh pemerintah terlalu mudah diperoleh. Contoh yang dapat digunakan adalah penyediaan public utilities oleh pemerintah, seperti air minum dan listrik. Pemerintah tidak diharapkan untuk memperoleh keuntungan dari penyediaan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak itu, sehingga pemerintah dapat menetapkan harga tertinggi. Pemerintah hanya menutup biaya totalnya yang mengakibatkan perusahaanperusahaan pemerintah penyedia barang public utilities akan tetap dapat berjalan tanpa mengalami kerugian. Akan tetapi, situasi penyediaan public utilities tersebut diatas tidak berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah. Perusahaan yang mengelola public utilities yang harus menjual produksinya tanpa memperoleh keuntungan sama sekali akan menghadapi permasalahan dalam ekspansi atau melakukan perluasan usaha. Maka, pemerintah akan mengarahkan perusahaan pada kondisi bahwa, selain menghasilkan barang dan jasa sebanyak mungkin untuk mencukupi kebutuhan rakyat banyak, perusahaan juga diijinkan memperoleh keuntungan dalam jumlah tertentu. Pemerintah akan menetapkan jumlah keuntungan maksimum, kemudian konsumen akan membayar jumlah diatas nilai yang ditetapkan sebelumnya pada saat zero profit. Pada kondisi ini, konsumen tidak terlalu dibebankan tingkat harga yang terlalu tinggi, tetapi produsen masih dapat melakukan perluasan usaha untuk menambah investasinya. Penentuan harga dengan metode seperti inilah yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan penyediaan barang publik oleh pemerintah. Kajian-kajian harus dilakukan untuk memperoleh kebijakan yang tepat sasaran, artinya perusahaan penghasil public utilities diwajibkan menyediakan barang dan jasa publik, sedangkan pemerintah berkewajiban membatasi keuntungan yang harus diperoleh oleh perusahaan-perusahaan tersebut, mengingat tugas pemerintah dalam penyediaan brang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Implementasi Penentuan Harga dalam Produk Pertanian. Kebijakan penentuan harga merupakan salah satu kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan khusus, misalnya mendorong produksi atau memelihara kestabilan. Dalam menentukan harga atas produk pertanian, kebijakan publik dapat difungsikan. Produk-produk pertanian merupakan barang primer, seperti bahan makanan atau bahan mentah yang akan diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi. Produk pertanian mempunyai posisi strategis dan erat kaitannya dengan produk non pertanian, seperti alat-alat pertanian, pupuk kimia dan obat pembasmi hama. Sektor pertanian juga mempunyai kaitan yang erat dengan kebutuhan jasa angkutan, pendidikan dan kesehatan. Pendekatan yang dilakukan untuk melakukan analisis penyediaan produk pertanian adalah dengan menggunakan kebijakan harga positif, artinya kebijakan harga yang ditujukan untuk mendorong
Dasar-dasar Keuangan Publik
19 peningkatan produksi, atau kebijakan harga negatif yang berarti kebijakan harga yang ditujukan untuk mengurang peningkatan produksi. Fungsi Penawaran dan Tanggapan Sektor Pertanian Fungsi penawaran menunjukkan hubungan antara jumlah barang yang ditawarkan dan berbagai tingkat harga dari barang tersebut. Hukum penawaran menyatakan bahwa jumlah yang ditawarkan akan meningkat apabila harga barang tersebut semakin tinggi. (hal-hal lain tetap atau ceteris paribus). Secara matematis, fungsi penawaran dapat dinyatakan dengan: Q a = f ( P a, S, F, X, T ) Dimana: Qa Pa S F X T
= = = = = =
jumlah barang A yang ditawarkan harga barang A jumlah input yang tersedia keadaan alam pajak atau subsidi atau keduanya tingkat teknologi.
Dalam menggambarkan hukum penawaran, maka yang dinyatakan tetap (ceteris paribus) adala S, F, X dan T. Sehingga, kurva penawaran merupakan garis miring dari bawah keatas, yang berarti apabila barang yang ditawarkan harganya naik, maka jumlah yang ditawarkan akan meningkat, dan sebaliknya. Tentang jumlah barang yang ditawarkan akan tergantung dari tingkat elastisitas penawaran. Dengan mengubah harga, pemerintah akan mempengaruhi jumlah produksi yang dihasilkan. Apabila jumlah produk pertanian ada di gudang, peningkatan harga segera mendorong peningkatan penawaran produk tersebut. Namun, apabila peningkatan penawaran membutuhkan tenggang waktu, penyesuaian produksi akan mengikuti pola Cobweb theorem (sarang laba-laba) seperti digambarkan grafik sebagai berikut:
Dasar-dasar Keuangan Publik
20
Gambar 3.1 D merupakan kurva permintaan dan S kurva penawaran. Apabila pada periode tertentu harga pasar setinggi P a1, petani akan terdorong menanam atas dasar harga tersebut dan akan menghasilkan Q a1 pada akhir periode tanam. Karena terjadi peningkatan produksi di periode 2, maka harga pasar akan turun menjadi P a2. Pada tingkat harga tersebut, produsen akan terdorong untuk mengurangi produksinya dan harga akan meningkat menjadi P a3. Dengan tingkat harga itu, petani akan terdorong memproduksi sebesar Q a3 di akhir periode tanam berikutnya. Tetapi, harga akan terkoreksi menjadi P a4, karena fungdi permintaan tetap. Akan terjadi pergerakan sepanjang waktu ke arah titik perpotongan antara kurva D dan kurva S. Hubungan tersebut mengakibatkan tingkat harga akan cenderung mencapai equlibrium pada perpotongan kurva penawaran dan kurva permintaan.
Kebijakan Harga Positif Dari analisis diatas menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sumber kapital bagi pembangunan. Syaratnya adalah apabila produsen cukup responsif terhadap insentif harga. Dengan memberikan jaminan harga yang tinggi, para petani akan terdorong untuk meningkatkan produksi pangan. Kebijakan harga yang positif dapat berperan sebagai pendorong peningkatan produksi pertanian dan kebijakan ini akan dipakai sebagai alat untuk mempengaruhi komposisi produk pertanian. Ada tiga tanggapan produksi terhadap perubahan harga yang dapat dianalisis sebagai berikut: 1. 2.
Perubahan komposisi produksi pertanian karena perubahan harga relatif masing-masing komoditi pertanian secara individu. Peningkatan produksi pertanian secara total karena adanya perbaikan harga relatif komoditi pertanian dalam perbandingannya dengan harga komoditi sektor non pertanian. Dasar-dasar Keuangan Publik
21 3.
Peningkatan produksi pertanian yang dapat dipasarkan sebagai respon terhadap kenaikan harga komoditi pertanian (marketable surplus).
Hasil studi mengenai tanggapan produksi di negara berkembang menunjukkan bahwa tanggapan pertama tersebut dapat bersifat sangat elastis untuk jenis komoditi tertentu, akan tetapi untuk tanggapan kedua dan ketiga justru sangat inelastis atau bahkan turun dengan adanya kenaikan harga. Perkecualian dapat terjadi, jika tanaman tidak dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan sekunder, tetapi juga ditujukan untuk ketersediaan pasar maka respon yang diharapkan, baik untuk produksi pertanian secara keseluruhan maupun untuk marketable surplus, akan menunjukkan positif. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalnya setiap tanaman ditujukan untuk tujuan komersial, elastisitas penawaran komoditi yang dipasarkan akan sama dengan elastisitas produksi/output, artinya prosentase peningkatan produksi sama dengan prosentase peningkatan pemasaran. Namun apabila faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja dan kapital, harus diserap dari produksi komoditi lain, maka produksi pertanian secara total dapat menurun. Berdasarkan hasil studi, peningkatan produksi merupakan bentuk perubahan luas areal tanam, bukan dalam hal peningkatan produktivitas, karena produktivitas berkaitan erat dengan kondisi musim maupun faktor lain. Simpulan umum menyatakan bahwa tanaman yang merupakan kebutuhan sekunder masyarakat cenderung memiliki elastisitas penawaran yang rendah, sedangkan tanaman komersial memiliki elastisitas penawaran yang tinggi.
Kebijakan Harga Negatif Kebijakan harga yang positif diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi pertanian. Namun demikian, karena hasil pertanian merupakan kebutuhan primer masyarakat (seperti makanan), kebijakan ini membuat biaya produksi sektor industri dan jasa lain akan tinggi juga, sehingga akan menghambat perkembangan produksi sektor industri dan jasa. Sektor ini menghendaki adanya harga pangan yang murah, untuk memungkinkan menekan tingkat upah di sektor itu. Banyak negara mengambil kebijakan sebaliknya untuk menekan keresahan mesyarakat yang diakibatkan oleh tingginya harga pangan dan produk pertanian lainnya dengan melakukan kebijakan harga negatif agar sektor industri dan jasa mampu berkembang. Tetapi, untuk mencegah agar produksi pertanian tidak merosot, maka pemerintah mengenalkan program subsidi input dibarengi dengan penyuluhan pertanian yang intensif. Dengan demikian, para petani tidak terlalu dirugikan dengan meningkatnya produksi pertanian, dan pertumbuhan sektor lain tidak terhambat. Dari uraian diatas, jelas terdapat suatu konflik antara program bantuan harga dan program subsidi input. Di satu pihak, program bantuan harga membuat harga pangan dan produk pertanian mahal dan hasilnya dinikmati para petani, tetapi akan menghambat perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Di lain
Dasar-dasar Keuangan Publik
22 pihak, program subsidi input lewat harga faktor produksi pertanian yang murah akan mendorong produksi pertanian sehingga harga pangan akan murah dan dapat mendorong perkembangan ekonomi lebih lanjut. Cara subsidi yang terakhir ini menyebabkan pemerintah harus menyisihkan sebagian anggarannya untuk membiayai subsidi. Meskipun dengan menyisihkan anggaran ini mengakibatkan investasi di bidang lain, seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan lainnya, menjadi berkurang, kebijakan ini juga diarahkan agar swasta dapat berkembang dengan sendirinya akibat dukungan harga pangan yang murah. Cara ini, secara politis, juga merupakan alternatif yang menjamin ketenangan masyarakat.
Kebijakan Penyangga (Buffer Stock Policy) Dalam merumuskan kebijakan harga barang dan jasa publik umumnya, dan produk pertanian khususnya, pemerintah menghadapi dilema kepentingan. Di satu pihak, para konsumen mengharapkan harga pangan, khususnya, murah, dan di lain pihak, para produsen selalu menginginkan agar hasil produksinya dapat terjual dengan harga yang layak. Pemerintah berkewajiban melindungi kedua kepentingan tersebut agar konsumen dan produsen tidak menderita. Langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menentukan harga patokan berupa harga dasar (floor) dan harga maksimum (ceiling). Harga dasar ditujukan untuk melindungi produsen agar harga produk di pasar tidak turun lebih rendah dari harga yang ditetapkan, sedangkan harga maksimum ditujukan untuk melindungi konsumen agar jangan sampai menderita karena harga yang terlalu tinggi. Kebijakan ini terkenal dengan istilah kebijakan penyangga (buffer stock policy). Kebijakan penyangga dapat digambarkan dalam grafik sebagai berikut:
Gambar 3.2
Dasar-dasar Keuangan Publik
23 Pada awalnya, keadaan keseimbangan tercapai pada harga P ao dan Q ao. Kemudian, bila penawaran bertambah, misal pada saat panen, kurva penawaran bergeser ke kanan, misalnya bergeser dari S o menjadi S 1, dan harga cenderung menjadi turun. Harga dapat saja bergerak lebih rendah dari P a2. Untuk mencegah supaya harga turun tidak terlalu drastis, pemerintah turut membeli hasil panen, sehingga kurva permintaan pasar bergeser kekanan menjadi D1 sampai memotong kurva penawaran S 1 tepat pada harga dasar P a2. Keadaan sebaliknya dapat pula terjadi, bila terjadi paceklik. Untuk melindungi konsumen, maka pemerintah dapat mencegah naiknya harga komoditi dengan turut menjual produk pertanian ke pasar. Berhasil atau tidaknya kebijakan penentuan harga ini tergantung pada tersedianya dana untuk operasi (sering disebut operasi pasar). Apabila dana operasi terbatas, sedangkan harga cenderung merosot terus (dalam keadaan over supply), maka pemerintah dapat saja tidak mampu melindungi produsen, atau sebaliknya. Dengan demikian, kebijakan penentuan harga perlu dukungan kebijakan lain, seperti kebijakan moneter.
Dasar-dasar Keuangan Publik
24
B A B IV FUNGSI DAN AKTIVITAS PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN Fungsi Utama emerintah sangat diperlukan dalam perekonomian dan berfungsi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan standar kehidupan penduduk pada tingkat yang layak. Dengan melihat berbagai kelemahan mekanisme pasar, fungsi pemerintah dapat dikelompokkan sebagai berikut.
P 1.
2.
3.
Fungsi Alokasi. Yang dimaksud fungsi alokasi dalam kebijakan publik adalah fungsi penyediaan barang publik atau proses alokasi sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan bagaimana komposisi barang publik ditetapkan. Fungsi Distribusi. Yang dimaksud dengan fungsi distribusi dalam kebijakan publik adalah penyesuaian atas distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin pemerataan dan keadilan. Fungsi stabilisasi. Yang dimaksud dengan fungsi stabilisasi dalam kebijakan publik adalah penggunaan kebijakan anggaran sebagai alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja, stabilitas ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi, dengan memperhitungkan akibat kebijakan pada perdagangan dan neraca pembayaran.
Suatu kebijakan publik, misalnya pengenaan pajak dan pengeluaran publik, dapat secara simultan diarahkan kepada tiga tujuan tadi. Permasalahan utama adalah bagaimana merancang kebijakan anggaran sehingga tujuan yang
Dasar-dasar Keuangan Publik
25 berbeda-beda tersebut dapat dicapai secara lebih terpadu. Dalam the Wealth of Nations, Adam Smith mencatat empat fungsi ‘pengoreksi’ dari pemerintah: 1. 2. 3.
4.
Tugas memproteksi suatu kelompok masyarakat dari pelanggaran dan invasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya. Tugas memproteksi setiap anggota masyarakat dari ketidakadilan dan dominasi yang dilakukan oleh anggota lain dalam masyarakat. Tugas membentuk dan memelihara institusi publik agar memberi manfaat yang tinggi dan pekerjaan publik yang karena sifatnya profit yang diperoleh institusi tersebut tidak pernah mencapai tingkat pembayaran kembali dari individu yang menyediakan dan, dengan demikian, tidak dapat diharapkan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut akan disediakan dalam kuantitas yang tepat. Tugas mempertemukan biaya yang diperlukan untuk mendukung peraturan-peraturan.
Pedoman aktivitas pemerintah yang dipromosikan oleh Milton Friedman adalah bahwa keterlibatan pemerintah harus dapat membuat dan memaksa aturan-aturan umum yang mengatur perilaku para individu dan apabila pemerintah memutuskan untuk campur tangan dalam aktivitas individu, keterlibatan tersebut harus mempunyai tingkat yang minimal, misalnya tanpa mengelola aktivitas (swasta tersebut), baik secara langsung atau tidak langsung. Milton Friedman juga menyarankan pemerintah supaya membeli sumber daya yang digunakannya dalam pasar, bukan mengendalikan/mengatur sumber daya tersebut. Pada saat pemerintah memproduksi barang atau jasa, pemerintah harus membebankan secara pro rata kepada pengguna, bukan bertransaksi dengan pengguna. Aktivitas pemerintah, seharusnya, hanya berperan sebagai last resort, dalam mendanai, mengatur dan menyediakan barang atau jasa yang gratis.
Alasan Keterlibatan Pemerintah dalam Ekonomi Dalam situasi tertentu, mekanisme pasar mengarah pada alokasi sumber daya yang efisien yang timbul pada saat tidak seorang pun dapat dipuaskan lebih baik tanpa menyebabkan orang lain menderita kerugian (sering disebut efisiensi Pareto). Namun demikian, suatu masyarakat dapat saja memilih alokasi yang tidak efisien atas dasar kesetaraan atau kriteria lainnya. Kondisi inilah yang menyebabkan adanya suatu intervensi pemerintah dalam operasi pasar bebas. Ada dua argumen perlunya intervensi pemerintah yaitu kegagalan pasar dan penekanan pada aspek keadilan. Kegagalan pasar. 1. Ada beberapa barang publik yang bersifat non-rival dan non-excludable, seperti pertahanan nasional dan penerangan jalan, yang membuat tidak mungkin membebankan biaya penyediannya kepada para pengguna. Hal ini menyebabkan kegagalan pasar dimana negara dapat saja mencoba turut campur mengatasi permasalahan ini. 2. Konsumsi atau produksi barang/jasa publik mungkin menghasilkan suatu akibat eksternal positif atau negatif kepada masyarakat yang tidak Dasar-dasar Keuangan Publik
26
3. 4. 5.
tercermin dalam harga barang. Tanpa intervensi pemerintah, pasar akan memproduksi barang publik tersebut melebihi atau kekurangan, tergantung pada apakah eksternalitas ini baik atau buruk. Tidak bisa bergeraknya sumber daya yang produktif, terutama tenaga kerja, dapat membantu mencegah pencapaian alokasi sumber daya yang efisien. Informasi yang tidak simetris dan tidak sempurna mungkin mengarah pada penilaian yang salah atas barang dan jasa publik, dan dengan demikian menyebabkan penawaran dan permintaan yang tidak tepat. Akhirnya, kegagalan pasar juga berhubungan dengan permasalahan dari seleksi yang tidak menguntungkan dan bahaya moral ketika pembeli atau penjual bertindak secara eksklusif atas dasar mencari keuntungan bagi dirinya sendiri.
Aspek keadilan 1. Kepedulian secara luas atas kebutuhan mengatasi kemiskinan secara lebih serius harus menjadi perhatian oleh pemerintah. 2. Data empiris di seluruh dunia secara umum menyarankan bahwa peningkatan keadilan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan lebih cepat, dan kurangnya kemiskinan. 3. Ketidakadilan sering menghasilkan ketidakamanan dan kejahatan, eksternalitas negatif yang mempengaruhi pertumbuhan dan keadilan sosial, secara nasional dan global. 4. Peranan sektor swasta dan kebutuhan kemitraan dalam kesempatan, pemberdayaan dan proteksiperlu difasilitasi oleh pemerintah. 5. Penekanan pada aspek keadilan bukan berarti bahwa hanya negara yang harus atau dapat memberikan kontribusi menekan kemiskinan. Tugas ini berhubungan dengan penyediaan kesempatan, pemberdayaan dan proteksi. Tiga dimensi pokok dari kemiskinan yang tidak dimiliki secara eksklusif oleh sektor publik. 6. Sektor swasta dapat berperan aktif dalam menciptakan kesempatan ekonomi (penciptaan lapangan kerja, kredit), mempromosikan tambahan kepada anggota masyarakat (erat hubungannya kepada produsen dan pekerja swasta), dan memberikan kontribusi untuk mengurangi ketidakadilan melalui aktivitas yang berhubungan dengan pemerintah dan partisipasinya dalam sektor swasta (rumah sakit umum dan sekolah yang dananya dari swasta) Dengan demikian, peran pemerintah terdiri dari: Peran penyedia (Provider Role). Monopoli yang alami dalam sektor tertentu seperti energi, tambang dan lain-lain, saat sekarang dalam pertanyaan berkaitan dengan teknologi masa kini. Negara harus menyediakan barang publik untuk menjamin stabilitas ekonomi makro, keadilan, lingkungan yang bersih, penyelesaian konflik, perlindungan hak asasi, dan stabilitas nasional. Namun demikian, tidak semua fungsi mensyaratkan kehadiran negara sebagai penyedia barang atau jasa publik, dimana beberapa diantaranya difasilitasi oleh peraturan dan penciptaan ruang gerak yang tepat. Dasar-dasar Keuangan Publik
27
Peran Kemitraan (Partnership Role). Diakui secara luas bahwa baik negara maupun sektor swasta tidak dapat berfungsi secara tepat tanpa berfungsinya kedua sektor tersebut secara bersamaan. Pada masa sekarang, lebih banyak kebutuhan negara dalam perannya sebagai regulator dari mekanisme pasar dan sebagai fasilitator dari lingkungan kelembagaan dan pengaturan yang kondusif atas pembangunan sektor swasta. Pemerintah dapat menjadi mitra swasta dalam penyedia peraturan, pembangunan infrastruktur dasar dan perlindungan dari risiko dan kerugian (misalnya asuransi).
Aktivitas Pemerintah dalam Perekonomian Tingkat konsumsi dan produksi barang dan jasa publik oleh masyarakat dapat dirubah oleh kebijakan publik. Kebijakan publik menggunakan sumber daya yang mempunyai nilai yang lebih tinggi kepada masyarakat bila digunakan dalam sektor swasta. Dalam kasus ini, para ekonom mengatakan bahwa kebijakan ini tidak dalam kondisi pareto optimal. Hukum ekonomi mengatakan biaya yang naik didasarkan pada fakta bahwa sumber daya cenderung mengarah pada kondisi yang spesifik, sehingga sejumlah produktivitas hilang bila ditransfer dari kondisi yang relatif baik kepada kondisi yang baik. Kebijakan publik dapat mempengaruhi distribusi pendapatan nyata, secara langsung dan tidak langsung. Pertanyaannya adalah siapa yang memperoleh manfaat dan siapa yang menanggung beban dari suatu kebijakan distribusi tertentu. Inilah yang dimaksud dengan true incidence dari kebijakan. Sebagai contoh, kebijakan dalam upah minimum akan menyebabkan penerimaan upah lebih tinggi kepada pekerja, tetapi kesempatan kerja total mungkin turun karena kebijakan ini. Siapa yang menanggung beban atas akibat diterapkannya kebijakan pajak penghasilan badan? Apakah kepada pengusaha, pekerja atau konsumen? Dan siapa juga yang menerima tanggung jawab akibat adanya pajak penjualan? Konsumen atau pekerja? Beberapa kebijakan secara aktual menggeser ditribusi pendapatan antara generasi sekarang dan generasi mendatang. Isu ini disebut internerational transfer. Mungkin ada opprtunity cost dalam hubungannya dengan efisiensi dalam merubah distribusi pendapatan, yakni memindahkan alokasi pasar dari hak kekayaan. Fungsi Alokasi. Dilihat dari fungsi alokasi, suatu barang publik – yang berbeda sifatnya dengan barang pribadi – tidak dapat disediakan melalui sistem pasar yang melalui transaksi antara konsumen dan produsen secara individu. Sering, mekanisme pasar berfungsi, namun tidak efisien. Alasan-alasan adalah seperti diuraikan dibawah ini. 1.
Akibat kegagalan mekanisme pasar, hubungan antara produsen dan konsumen yang terjadi dalam mekanisme pasar tidak ada dan pemerintah
Dasar-dasar Keuangan Publik
28
2.
lah yang harus bersedia memproduksi barang publik. Pemerintah harus mengambil tindakan apabila mekanisme pasar tidak berjalan. Akibat kegagalan mekanisme pasar yang lain adalah bahwa proses politik akan menggantikan mekanisme pasar. Pemerintah harus menjamin bahwa proses politik dalam pengambilan keputusan penyediaan barang publik dapat terjadi secara efisien.
Barang pribadi dapat diproduksi dan dijual kepada pembeli swasta baik oleh swasta maupun oleh perusahaan pemerintah. Sedangkan, barang publik dengan cara yang sama dapat diproduksi oleh perusahaan swasta dan dijual kepada pemerintah atau dapat juga diproduksi secara langsung oleh pemerintah, seperti misalnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Masalah-masalah yang timbul dalam fungsi alokasi adalah berapa banyak barang publik yang harus disediakan oleh pemerintah dan jenis maupun kualitas barang yang perlu disediakan oleh pemerintah. Fungsi Distribusi Dilihat dari fungsi distribusi, fungsi distribusi mempunyai sifat yang lebih sulit dipecahkan dibanding fungsi alokasi dan merupakan permasalahan utama dalam penentuan kebijakan publik. Lebih khusus, fungsi distribusi memainkan peranan penting dalam kebijakan pajak dan transfer. Faktor yang Menentukan Fungsi Distribusi Tanpa adanya intervensi kebijakan, distribusi pendapatan dan kekayaan akan tergantung pada ketersediaan sumber daya alam dan kepemilikan kekayaan. Permasalahannya terletak pada aspek pemerataan dan keadilan. Apabila hukum ekonomi pasar diberlakukan, penggunaan sumber daya yang efisien ditentukan oleh nilai penetapan harga faktor produksi yang kompetitif dan distribusi pendapatan keluarga ditentukan oleh proses pasar. Namun hal ini dipandang sebagai suatu tingkat ketidakadilan yang besar, terutama dalam distribusi pendapatan modal. Para ekonom sepakat bahwa dibutuhkan penyesuaian untuk menentukan batas minimum kelompok berpenghasilan rendah. Proses penyesuaian ini akan menimbulkan inefisiensi dan merupakan biaya, dan inilah yang selanjutnya diperhitungkan dalam merancang kebijakan distribusi. Distribusi Optimal. Dalam ilmu ekonomi kesejahteraan modern berlaku prinsip bahwa suatu kondisi ekonomi disebut efisien jika, dan hanya jika, peningkatan kesejahteraan seseorang tidak akan merugikan orang lain. (Pareto Optimum). Kriteria ini tidak sama artinya dengan suatu tindakan pendistribusian kembali atas sumber daya yang ada kepada konsumen, tetapi kriteria ini digunakan untuk menilai tingkat efisiensi pasar. Distribusi yang adil mempunyai pengertian yang sangat dalam yang menyangkut perimbangan sosial dan pertimbangan nilai. Dengan menyimpulkan berbagai kriteria, pernyataan yang telah diterima secara luas adalah orang harus dikenakan pajak sesuai dengan kemampuan mereka membayar.
Dasar-dasar Keuangan Publik
29
Sedangkan kaidah pemerataan mempunyai dua masalah. Pertama, hampir tidak mungkin membandingkan tingkat utilitas masing-masing individu atas pendapatannya, dan kedua, besarnya pendapatan yang tersedia tidak dapat dipisahkan dengan cara mendistribusikan pendapatan tersebut. Simpulan umum berkaitan dengan pemerataan adalah bahwa kebijakan distribusi akan mencakup biaya efisiensi yang harus diperhitungkan. Fokus perhatian distribusi terletak pada aspek posisi pendapatan relatif yakni pemerataan secara keseluruhan. Secara lebih detail, aspek pemerataan membahas pencegahan kemiskinan dan penentuan batas minimum kelompok berpenghasilan rendah. Instrumen Fiskal Alternatif peralatan fiskal dalam fungsi distribusi adalah: 1. 2. 3.
Skema pemindahan pajak yang menggabungkan pajak progresif, yaitu pengenaan jenis pajak dimana rasio pajak terhadap penghasilan naik dengan naiknya pendapatan. Pajak penghasilan progresif yang digunakan untuk membiayai pelayanan umum. Kombinasi antara pajak atas barang mewah dengan subsidi terhadap barang tidak mewah.
Dalam mempertimbangkan instrumen kebijakan, perlu diperhitungkan bobot atau biaya efisiensi, yaitu biaya yang timbul akibat pilihan terhadap perilaku konsumen atau produsen. Pemecahan optimal menghendaki suatu kombinasi yang kompleks antara pajak dan subsidi. Konsekuensi pilihan instrumen fiskal akan menunjukkan bahwa setiap perubahan harus diselesaikan dengan biaya efisiensi yang minimum dan timbulnya suatu kebutuhan untuk menyeimbangkan konflik antara tujuan pemerataan dan tujuan efisiensi. Fungsi Stabilisasi Akhirnya dilihat dari fungsi stabilisasi, fungsi stabilisasi dirancang untuk mencapai tingkat kesempatan kerja, tingkat stabilitas harga, neraca pembayaran yang sehat, dan pertumbuhan ekonomi. Perlunya Kebijakan Stabilisasi. Tanpa kebijakan stabilisasi pemerintah, perekonomian cenderung mengalami fluktuasi, pengangguran dan inflasi. Meskipun demikian, faktor-faktor penyebab ketidakpastian dapat dialihkan dari suatu negara ke negara lain, karena adanya saling sifat salain ketergantuangan antar negara. Tingkat kesempatan kerja dan tingkat harga tergantung dari tingkat permintaan agregat dan output kapasitas berdasar harga yang berlaku. Permintaan agregat merupakan akumulasi dari pengeluaran individu dan perusahaan. Sedangkan keputusan pengeluaran dipengaruhi oleh pendapatan,
Dasar-dasar Keuangan Publik
30 kesejahteraan, penyediaan kredit dan pengharapan. Yang dibutuhkan adalah meningkatkan permintaan agregat apabila ingin meningkatkan kesempatan kerja, akan tetapi mengurangi permintaan apabila terjadi tingkat pengeluaran melebihi output sehingga dapat menyebabkan inflasi. Kondisi stabil tidak ada dapat dicapai secara otomatis. Instrumen Kebijakan Stabilisasi. 1.
2.
Instrumen Moneter. Meskipun mekanisme pasar berfungsi, para ekonom berpendapat bahwa jumlah uang beredar harus diawasi oleh sistem bank sentral dan disesuaikan dengan kebutuhan ekonomi. Komponen kebijakan moneter mencakup antara lain pembentukan cadangan wajib, tingkat diskonto, kebijakan pasar terbuka dan pengendalian kredit selektif. Instrumen moneter tidak dibahas secara detail pada buku ini. Instrumen Fiskal. Peningkatan anggaran belanja pemerintah yang bersifat ekspansi akan meningkatkan permintaan pemerintah dan kemudian menjalar ke sektor swasta. Penurunan pungutan pajak dapat juga bersifat ekspansi, karena pendapatan yang dapat diterima (disposable income) para wajib pajak lebih besar sehingga akan membelanjakan pendapatannya dengan lebih besar. Peranan sektor publik yang penting terletak pada bagaimana defisit anggaran dibiayai. Jika kebijakan moneter longgar, pengaruh ekspansioner akan tinggi karena defisit ditutup dari pinjaman. Sebaliknya, bila kebijakan peredaran uang diperketat, pinjaman akan mempertinggi bunga sehingga menghambat ekspansi pasar.
Koordinasi Fungsi Anggaran. Kegiatan-kegiatan pemerintah dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut akan tercermin dalam kebijakan anggaran, sehingga kebijakan anggaran, secara simultan, mempunyai beberapa tujuan: 1. 2. 3.
Peningkatan pelayanan pemerintah perlu diikuti dengan kenaikan pajak (tujuan alokasi) Distribusi pendapatan ke kelompok rendah/tinggi perlu diikuti pengenaan pajak progresif atau sebaliknya (tujuan distribusi), dan Kebijakan yang lebih ekspasioner diperlukan dengan menaikkan pengeluaran publik atau dengan menurunkan pajak (tujuan stabilisasi)
Suatu kebijakan publik tertentu mungkin tidak dapat memenuhi tiga tujuan sekaligus, sehingga dimungkinkan akan ada banyak pengecualian. Namun demikian, suatu kebijakan selalu berupaya meminimumkan konflik antar masingmasing tujuan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
31
B A B V FUNGSI ALOKASI Latar Belakang adanya fungsi alokasi ntuk barang-barang pribadi (private goods), sistem pasar terjadi melalui transaksi antara konsumen dan produsen secara individual secara suka rela dan sangat tepat untuk menggambarkan hubungan permintaan dan penawaran. Namun untuk barang-barang publik (social goods), sistem pasar tidak berlaku.
U
Sebagai ilustrasi, dapat dimisalkan bahwa kebutuhan yang dirasakan oleh seseorang akan pakaian akan sangat berbeda dengan kebutuhan pakaian yang dirasakan oleh orang yang berbeda. Apabila seseorang membeli satu set pakaian, maka pakaian yang sama tidak akan tersedia untuk orang lain (konsumsi terhadap barang tersebut bersifat bersaing). Berbeda dengan kebutuhan seseorang terhadap, misalnya, penggunaan atas jalan umum. Kebutuhan atas barang ini dirasakan secara bersama-sama, begitu pula manfaat yang dihasilkan dengan adanya jalan umum tersebut tersedia bagi banyak orang (tidak untuk satu konsumen). Apabila seseorang mengambil manfaat dari adanya jalan umum tersebut, manfaat yang tersedia bagi orang lain tidak akan berkurang. Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa mekanisme pasar sangat cocok untuk menggambarkan penyediaan barang-barang pribadi. Mekanisme pasar terjadi apabila ada suatu permintaan dari konsumen, kemudian produsen akan menyediakan barang yang paling diinginkan oleh konsumen. Konsumen akan berusaha mendapatkan barang yang mereka inginkan dengan harga yang serendah-rendahnya, sedangkan produsen akan menjual barang dengan harga yang setingi-tingginya. Mekanisme pasar akan membawa konsumen dan produsen ke suatu titik harga tertentu. Untuk barang seperti pakaian, aplikasi dari prinsip hubungan permintaan dan penawaran seperti ini menjadi suatu pemecahan yang efisien. Akan banyak Dasar-dasar Keuangan Publik
32 keuntungan yang didapat - terutama oleh produsen - apabila membatasi konsumen ikut dalam sistem pasar dengan syarat mereka mau membayar. Berbeda halnya dengan barang publik, akan sangat tidak efisien untuk menghalangi seorang konsumen (yang tidak membayar) untuk ikut memanfaatkan barang publik. Karena pemanfaatan barang publik oleh seseorang tidak akan mengurangi manfaat yang dirasakan oleh orang lain. Dalam keadaan demikian mekanisme pasar tentunya tidak berfungsi secara sempurna. Konsumen biasanya tidak bersedia untuk membayar pemanfaatan atas barang publik, karena manfaat yang akan dirasakan oleh setiap orang akan sama saja, baik jika dia membayar ataupun tidak. Apalagi jika semakin banyak orang yang menggunakan barang tersebut, manfaat yang dirasakan masing-masing individu akan semakin tidak berarti apa-apa. Akibatnya tidak ada pembayaran yang dilakukan secara sukarela. Dalam hal ini hubungan antara produsen dan konsumen terputus dan pemerintah harus bersedia turut campur.
Efisiensi Pasar dan Kegagalan Pasar Dalam suatu sistem ekonomi pasar, kriteria efisien dapat digunakan untuk mengevaluasi alokasi sumber daya dimana semua pasar dalam kondisi persaingan sempurna. Di sini, diasumsikan bahwa terdapat hak ekslusif terhadap semua sumber daya produktif yang tersedia di pasar dan tidak ada individu yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga atas komoditi atau produk yang diperjualbelikan. Harga atas suatu komoditi sudah ditetapkan atau harus identik untuk semua pembeli dan penjual. Hal ini berarti tidak ada distorsi pasar yang akan mengakibatkan adanya perbedaan harga antara yang diterima oleh penjual dengan yang dibayarkan oleh pembeli. Bila semua kondisi tersebut telah terpenuhi, sistem ekonomi pasar dapat menjamin penggunaan sumber daya secara efisien dalam penyediaan barang pribadi. Tentu saja, pandangan ini merupakan gambaran paling ekstrim dari sistem pasar. Dalam kenyataannya banyak kesulitan yang terjadi, sehingga pasar dapat menjadi ajang persaingan yang tidak sempurna. Distorsi yang disebabkan oleh iklan, misalnya, akan mengakibatkan konsumen kekurangan informasi atau dapat tersesatkan, dan hal ini berarti bahwa informasi yang dimiliki oleh kosumen dan produsen tidaklah sama. Selain itu, masih banyak permasalahan lain yang tidak dapat dipecahkan oleh mekanisme pasar, sehubungan dengan pemenuhan kriteria efisien. Di sinilah kemudian terjadi alasan perlunya aturan pemerintah guna menjamin efisiensi dalam sistem ekonomi pasar. Alasan pertama adalah bahwa pemerintah diharapkan dapat menjamin pasar agar dapat beroperasi secara efisien, terutama dalam hal persaingan. Alasan kedua, pemerintah sendiri seharusnya bekerja keras untuk mencapai tingkat efisiensi yang sama dengan pihak swasta, terutama dalam hal biaya produk dan kualitas produk yang dihasilkannya. Alasan ketiga terletak pada hubungan rasional dari produksi pemerintah atas barang-barang publik, misalnya terhadap sejumlah barang tertentu yang menjadi preferensi konsumen,
Dasar-dasar Keuangan Publik
33 namun pasar gagal dalam memproduksinya. Efisiensi produksi pemerintah di sini akan menjadi fokus pembahasan. Barang publik. Istilah barang publik digunakan untuk menggambarkan barang atau jasa apapun yang disediakan oleh pemerintah, mulai lampu jalan sampai dengan keamanan nasional. Para ekonom secara lebih spesifik menjabarkan istilah barang publik sebagai barang-barang yang mempunyai sifat tidak bersaing (non rivalry) dan tanpa pengecualian (non excludability). Kedua sifat tersebutlah yang kemudian akan mengakibatkan kegagalan pasar dalam memproduksi secara efisien. Sifat Tidak Bersaing Sifat tidak bersaing berarti bahwa barang tersebut dapat dikonsumsi sebanyak-banyaknya oleh seseorang tanpa akan mengurangi jumlah barang yang tersedia untuk dikonsumsi oleh orang lain. Namun perlu dipahami, bahwa sifat tidak bersaing bukan berarti bahwa manfaat yang diterima oleh setiap konsumen adalah sama. Misalnya konsumsi atas lampu jalan, seseorang dapat terlindungi dari gelapnya malam, tanpa mengurangi kebutuhan orang lain atas lampu yang sama. Namun, orang yang tinggal disekitar wilayah lampu tersebut akan lebih merasakan manfaatnya, dibandingkan dengan orang yang tinggal lebih jauh dari wilayah lampu tersebut. Dari berbagai macam barang publik, terdapat barangbarang yang mempunyai sifat tidak bersaing dengan kadar yang tinggi dan rendah. Rendah Jalan Lokal
Tinggi Pendidikan
Pelayanan Kesehatan
Udara bersih
Keamanan
Lampu Jalan
Gambar 5.1 Untuk barang publik seperti, jalan lokal, pelayanan kesehatan dan pendidikan, terdapat sifat tidak bersaing yang rendah dalam konsumsinya. Semakin banyak orang dalam suatu wilayah, akan ada kemungkinan sifat bersaing dalam penggunaan barang publik tersebut. Sebaliknya, barang publik seperti lampu jalan dan keamanan, sifat tidak bersaingnya tinggi. Sifat Tanpa Pengecualian Dimensi kedua dari barang publik adalah sifat tanpa pengecualian. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan ketidakmampuan untuk mencegah seseorang yang tidak memberikan kontribusi (tidak membayar) ikut mengkonsumsi barang publik. Misalkan, A tidak memberi kontribusi dengan membayar pajak, akan sulit bagi pemerintah untuk mencegah orang tersebut agar tidak menggunakan jalan umum, karena apabila pemerintah mencegah dengan cara tidak membangun jalan di sekitar rumahnya, maka hal tersebut akan dapat merugikan orang-orang di sekitarnya yang membayar pajak. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan sifat ini dihilangkan, jika biaya untuk mendapatkan
Dasar-dasar Keuangan Publik
34 kontribusi konsumen tidak lebih besar dari manfaatnya. Misalnya untuk tempat rekreasi, pemerintah mungkin saja menarik bayaran dari para pengunjung, selama biaya yang dikeluarkan untuk membayar staf penjaga tempat rekreasi tersebut tidak lebih besar dari pendapatan yang diterima. Oleh karena itu, sama halnya dengan sifat tidak bersaing, terdapat garis spektrum yang menggambarkan tinggi rendahnya sifat tanpa pengecualian Rendah Tempat Parkir
Tinggi Tempat Rekreasi
Perpustakaan
Udara bersih
Pendidikan
Jalan Lokal
Gambar 5.2 Barang publik versus barang pribadi Gambar 5.3. dan 5.4 dibawah ini menguraikan tentang perbedaan antara barang publik dan barang pribadi dalam suatu masyarakat yang diasumsikan hanya terdiri dari dua kelompok individu, yaitu A dan B. Gambar 5.3 mewakili barang pribadi yang mempunyai sifat bersaing dan pengecualian yang sangat tinggi. Kurva permintaan pasar (Dt) diperoleh dengan menambahkan secara horizontal kurva permintaan A (Da) dan kurva permintaan B (Db). Kurva permintaan pasar Dt berhimpitan dengan kurva permintaan Db, selama tingkat harga masih cukup tinggi, selanjutnya pada saat tingkat harga sudah cukup rendah, A dapat masuk ke dalam pasar sehingga kurva permintaan pasar Dt berbelok. Semua titik-titik dalam kurva permintaan pasar Dt merupakan gabungan dari titik-titik harga dan kuantitas yang diminta dalam kurva perimtaan A dan B. Kurva penawaran pasar SS memperlihatkan biaya marginal (MC) yang dapat dibebankan kepada A dan B secara bersama-sama untuk berbagai output dari barang pribadi. Perpotongan antara kurva SS dan Dt menentukan titik ekuilibrium harga P1 dan titik ekuilibrium kuantitas Qt. Dengan catatan bahwa Qt merupakan penjumlahan dari Qa (barang yang dibeli oleh A) dan Qb (barang yang dibeli oleh B).
Kurva Permintaan Atas Barang Pribadi P
MC P1 Da Qa
Qb Qt
Db
Dt Q
Gambar 5.3. Dasar-dasar Keuangan Publik
35 Gambar 5.4 memperlihatkan pola yang sama namun untuk barang publik. Situasi yang berbeda terjadi di sini, karena barang publik mempunyai sifat tidak bersaing dan tanpa pengecualian, sehingga barang yang dikonsumsi oleh A sama jumlahnya dengan barang yang dikonsumsi B, baik manfaat yang diterima A lebih besar maupun lebih kecil. Misalnya A sebagai warga kota Jakarta dapat menggunakan seluruh jalan kota maka demikian juga halnya dengan B, meskipun A memiliki mobil sedangkan B tidak. Oleh karena itu, dalam hal ini perbedaan terjadi bukan pada kuantitas yang dikonsumsi oleh masing-masing orang, tapi lebih kepada perbedaan dari manfaat marjinal dari setiap konsumen atau harga yang dibayarkan oleh masing-masing konsumen.
Penyediaan Barang publik Ketika pemerintah melakukan fungsi penyediaan barang publik, trade off dari penyediaan barang publik oleh pemerintah dengan penyediaan barang pribadi melalui mekanisme pasar dapat digambarkan dengan kurva kemungkinan produksi. Gambar 5.5 menunjukkan alternatif kombinasi antara barang publik dan barang pribadi, dengan asumsi seluruh sumber daya yang ada digunakan.
Kurva Permintaan Atas Barang publik P
MC P1 Pa
Dt Db
Pb Da
Qb Qt
Q
Gambar 5.4. Barang pribadi adalah barang-barang yang diproduksi untuk dijual dan tersedia di pasar, seperti makanan, pakaian, dan lain-lain. Sedangkan barang publik adalah barang-barang yang tersedia tapi tidak untuk dijual di pasar, seperti: jalan umum, pendidikan, keamanan nasional dan lain-lain.
Dasar-dasar Keuangan Publik
36 Kurva Kemungkinan Produksi
Penyediaan Batang Publik per Tahun
P C
B
G2
A
G1
O
X2
X1
M
Penyediaan Barang Pribadi per Tahun Gambar 5.5 Titik A dalam gambar menunjukkan bahwa MX1 unit adalah jumlah barang pribadi yang dikorbankan oleh masyarakat sehingga pemerintah dapat menyediakan barang publik sejumlah OG1. Pengorbanan masyarakat merupakan harga sumber daya yang seharusnya digunakan untuk memproduksi barang pribadi digunakan oleh pemerintah untuk dapat menyediakan barang publik. Sumber daya yang dikorbankan tersebut adalah harga yang harus dibayar oleh masyarakat atau pajak yang diminta oleh pemerintah agar barang publik dapat tersedia. Peningkatan jumlah barang publik yang tersedia di pasar dalam satu tahun dari OG1 ke OG2 (titik B) akan meminta penurunan dari jumlah barang pribadi di pasar dari OX1 ke OX2, atau dengan kata lain meminta pengorbanan lebih besar dari MX1 ke MX2, jika diumpamakan peningkatan jumlah barang publik per tahun merupakan respon pemerintah atas peningkatan permintaan masyarakat terhadap keamanan nasional. Jika untuk memenuhi kebutuhan keamanan nasional tersebut pemerintah harus meningkatkan pajak penghasilan, maka kualitas keamanan yang disediakan pemerintah akan meningkat dan masyarakat akan merasa lebih aman. Namun di sisi lain, pengorbanan dari pihak masyarakat terjadi dengan menurunnya kemampuan konsumsi atas barangbarang pribadi. Penyediaan Barang Melalui Anggaran Sebagaimana telah diterangkan dalam bab sebelumnya, penyediaan barang publik perlu adanya campur tangan pemerintah. Masalah yang timbul kemudian adalah bahwa setiap individu seharusnya mau membayar atas setiap manfaat yang dia
Dasar-dasar Keuangan Publik
37 terima, namun karena manfaat yang diterima dari barang publik dirasakan oleh banyak orang, maka orang tidak bersedia untuk membayar manfaat barang. Akan timbul masalah tentang jenis dan kualitas barang seperti apa yang harus disediakan oleh pemerintah. Masalah lain yang timbul, ketika pemerintah akan menetapkan jumlah uang yang harus disumbangkan untuk memperoleh barang publik. Oleh karena itu, diperlukan proses politik untuk mengungkapkan preferensi masyarakat kepada pemerintah tentang barang publik apa yang perlu disediakan dan melengkapinya dengan sumber-sumber pembiayaan yang dibutuhkan untuk membayar barang-barang publik tersebut. Untuk ini, dilakukan proses pemungutan suara guna menetapkan keputusan perpajakan dan pengeluaran publik. Pengungkapan preferensi masyarakat kepada pemerintah dilakukan melalui suatu proses pemungutan suara. Proses ini dimulai dengan pemahaman dari anggota masyarakat tentang pentingnya memberikan suara mereka, karena setiap keputusan pemerintah diambil mengikuti keputusan suara terbanyak. Namun dalam prakteknya, sering anggota masyarakat merasa bahwa biaya yang mereka keluarkan untuk menyatakan tuntutan mereka seringkali lebih besar dari manfaatnya. Akibatnya, tidak cukup informasi yang disampaikan oleh masyarakat kepada pemerintah. Dasar pemikiran tentang komunikasi efektif antara pemerintah dan masyarakat mengikuti logika kepentingan setiap individu dalam masyarakat. Setiap orang akan dengan senang hati ikut terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik – mulai dari sekedar memberikan suara, berkampanye, menyumbang bahkan sampai keluar dari pekerjaannya – jika mereka merasa bahwa ada akibat langsung dari kebijakan politik pemerintah kepada mereka. Sementara itu, apabila suatu usulan kebijakan tidak berpengaruh langsung - atau kecil pengaruhnya - masyarakat akan merasa enggan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan tersebut, karena biaya yang mereka keluarkan akan lebih besar dari manfaat yang akan mereka terima. Secara normatif, masyarakat dalam sistem yang demokratis akan terhindar dari apatisme anggotanya dalam proses pengambilan keputusan politik. Agar dapat berfungsi sebagai mekanisme yang efisien dalam mengungkapkan preferensi, maka proses pemungutan suara harus mengaitkan keputusan perpajakan (sebagai alat pendanaan) dengan keputusan pengeluaran atau belanja publik. Para pemberi suara kemudian akan dihadapkan pada suatu pilihan diantara beberapa usulan pengeluaran publik berkaitan dengan sumbangan pajak mereka. Pilihan para pemilih karena itu akan tergantung pada pengetahuan mereka sendiri serta kesadaran mereka bahwa orang lain juga menyumbang sesuai dengan rencana perpajakan yang dianut. Keterbatasan Jangkauan Manfaat atas Barang publik Pada dasarnya, barang publik disediakan untuk semua orang yang mempunyai kepentingan atas barang tersebut. Namun dalam prakteknya, ada barang publik
Dasar-dasar Keuangan Publik
38 yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di dalam negara (berskala nasional) dan ada barang publik yang hanya dapat dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu (berskala lokal). Melihat sifatnya tersebut, barang publik berskala nasional lebih tepat disediakan oleh pemerintah pusat, sementara barang publik berskala lokal lebih tepat disediakan oleh pemerintah lokal atau pemerintah daerah. Barang publik berskala lokal dalam garis kontinum,seperti yang terlihat pada gambar 5.1. dan 5.2., mempunyai sifat tidak bersaing yang rendah. Selain itu dalam skala lokal akan lebih dimungkinkan untuk mengatasai permasalahan free rider. Sebagai contoh, dalam suatu kelompok yang kecil, kontribusi seseorang baik itu berupa waktu, uang, maupun pemberian suara akan dapat menciptakan perubahan atas suatu keputusan. Berpartisipasi atau tidak berpartisipasi akan menjadi sangat terlihat, sehingga akan lebih memperkecil timbulnya masalah free rider. Akan sangat mudah bagi pemerintah lokal untuk menarik kontribusi dari para pengguna barang publik yang disediakan seperti tiket masuk tempat rekreasi, karcis parkir, tol, atau retribusi pasar, dengan biaya tarip yang rendah. Bagi pengguna juga tidak akan merasa keberatan membayar untuk dapat menggunakan barang publik karena akan lebih jelas manfaat yang dapat mereka peroleh bila dibandingkan dengan biaya yang mereka keluarkan. Sebaliknya, bagi yang sedikit atau tidak memberikan berkontribusi, maka akan sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali manfaat yang mereka dapatkan. Dari sini dapat terlihat bahwa biaya marginal dari setiap tambahan penggunaan atas barang publik ini sama dengan atau paling tidak mendekati nol. Artinya para pengguna seharusnya akan lebih termotivasi untuk menggunakan barang-barang ini sampai pada titik dimana manfaat marjinal yang mereka peroleh sama dengan atau mendekati nol. Mereka akan terus menambah konsumsi mereka atas barang publik ini sampai manfaat yang mereka dapatkan maksimal, selama tidak ada tambahan biaya yang harus mereka keluarkan. Sebagai contoh, seorang pengguna jalan tol dalam kota akan masuk dari pintu terdekat dengan tempat dia berangkat dan keluar dari pintu terjauh, tapi paling dekat dengan tempat tujuanya, karena dari manapun dia masuk dan dimanapun dia keluar biaya yang harus dikeluarkan adalah sama. Berbeda dengan pengguna jalan tol luar kota, dia akan berfikir dari pintu tol mana dia harus masuk dan di pintu tol mana dia harus keluar, dengan mempertimbangkan kondisi kemacetan (biaya oportunitas) di luar jalan tol. Hal ini disebabkan, untuk setiap tambahan pintu tol yang dia lewati, harus ada tambahan biaya yang dikeluarkan. Barang publik berskala lokal adalah barang-barang yang diproduksi oleh pemerintah lokal, yang dalam garis spektrum mempunyai sifat tidak bersaing yang rendah. Dari berbagai macam barang publik jenis ini, ada yang disebut dengan istilah congestible goods, yaitu barang publik yang mempunyai sifat tidak bersaing yang rendah yaitu hanya pada waktu penggunaannya padat dan penggunanya mencapai jumlah tertentu. Sementara di waktu yang lain ketika jumlah pengguna barang ini hanya sedikit, maka sifat tidak bersaingnya akan menjadi tinggi. Sehingga, jika pemerintah lokal harus menarik kontribusi atas Dasar-dasar Keuangan Publik
39 pengguna barang publik ini, maka biaya marjinalnya bisa akan lebih mahal dari manfaat marjinalnya. Apabila dimungkinkan, pemerintah lokal tidak perlu menarik kontribusi dari pengguna barang publik ini. Gambar 5.6. memperlihatkan bahwa tambahan permintaan atas congestible goods pada musim sepi jumlahnya sedikit (pergeseran dari titik O ke D1 sampai ke D2), begitu juga biaya marginalnya yang tetap (jika dimungkinkan nol). Sebegitu rendah permintaannya sehingga pemerintah lokal merasa tidak perlu ada penarikan atas pengguna barang publik tersebut. Di lokasi perkantoran misalnya, dimana pada hari-hari libur hampir tidak ada mobil yang datang berkunjung, pemerintah dapat menghilangkan biaya parkir, sehingga tidak perlu juga ada penjaga gerbang sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghapus biaya marjinal. Strategi lain dalam memperlakukan congestible goods adalah dengan menggunakan dua macam tarif, yaitu tarif tinggi pada musim padat dan tarif tinggi pada musim sepi. Misalnya pada tempat-tempat rekreasi, pada musim liburan dimana pengunjungnya sangat padat, dapat dikenakan tarif tinggi, sedangkan untuk hari kerja atau sekolah, para pengunjung dapat menikmati tempat rekreasi dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini diharapkan dapat menarik minat pengunjung untuk mau masuk ke tempat rekreasi tersebut, sehingga biaya menempatkan penjaga gerbang akan tertutup dari pembayaran tiket masuk. Kurva Permintaan Congestible Goods P
MC P1
O
D1
D2
Q1
D3
Q
Gambar 5.6.
Dasar-dasar Keuangan Publik
40
Efisiensi Penyediaan Barang publik oleh Pemerintah Seorang ekonom Italia mengusulkan konsep efisiensi yang dikenal dengan istilah Efisiensi Pareto (Pareto Efficiency). Efisiensi Pareto didefinisikan sebagai suatu pengaturan ekonomi tertentu adalah efisien jika di sana tidak dapat dilakukan pengaturan kembali yang akan menyebabkan seseorang menjadi lebih baik tanpa memperburuk posisi orang lain. Jadi tidaklah mungkin dalam keadaan ini untuk mengubah metode produksi, kombinasi barang yang diproduksi, atau besarnya sektor pemerintah dalam usaha untuk membantu seseorang atau kelompok tanpa merugikan orang atau kelompok lain. Jika perubahan itu masih dimungkinkan maka susunan terdahulu belumlah efisien dan peningkatan efisiensi dapat diperoleh dengan melakukan perubahan. Kaidah efisiensi mengarah pada terpenuhinya kondisi-kondisi tertentu agar tercapai pemecahan alokasi yang efisien. Secara sederhana, kita akan mempertimbangkan suatu perekonomian dengan hanya ada dua konsumen, yaitu A dan B serta dua macam barang yaitu X dan Y. Kondisi-kondisi berikut harus terpenuhi: 1.
2.
3.
Efisiensi menghendaki bahwa dengan menggunakan teknologi terbaik, jumlah tertentu barang X harus diproduksi sedemikian rupa sehingga memungkinkan diproduksinya Y sebanyak-banyaknya pada saat yang sama dan demikian pula sebaliknya. Jika suatu teknologi memungkinkan diproduksinya 10 unit barang X dan 8 unit barang Y, sedangkan teknologi lain memungkinkan diproduksinya 10 unit barang X dan hanya 5 unit barang Y, maka jelas bahwa teknologi pertama yang akan terpilih. Tingkat substitusi marjinal dalam mengkonsumsi barang X dan Y harus sama baik bagi konsumen A maupun B. Artinya tingkat dimana A dan B berkeinginan untuk menukarkan unit terakhir barang X dengan barang Y haruslah sama. Jika A ingin memberikan satu unit barang X untuk dua barang Y, sedangkan B mau menukarkan tiga unit barang Y untuk satu unit barang X, maka hal ini akan menguntungkan keduanya bila melakukan pertukaran, dimana A akan dapat meningkatkan konsumsinya terhadap barang Y sedangkan B dapat meningkatkan konsumsinya terhadap barang X, sampai tercapai tingkat substitusi marjinal yang sama. Tingkat substitusi marjinal barang X untuk barang Y dalam konsumsi haruslah sama dengan tingkat transformasi marjinal di dalam produksi. Tingkat transformasi marjinal dapat didefinisikan sebagai suatu tambahan unit barang X yang dapat diproduksi bila produksi barang Y dikurangi satu unit. Jadi jika tingkat substitusi marjinal di dalam konsumsi adalah 3X dan 2Y, sedangkan tingkat transformasi marjinal di dalam produksi adalah 3X untuk 1Y, maka akan lebih diinginkan untuk meningkatkan output barang X dan mengurangi barang Y sampai kedua tingkat tersebut menjadi sama.
Jika kondisi-kondisi di atas terpenuhi seluruhnya, maka menurut pengertian Pareto, alokasi sumber daya akan menjadi efisien.
Dasar-dasar Keuangan Publik
41 Alokasi yang Efisien Melalui Mekanisme Pasar Sekarang kita mempertimbangkan suatu kondisi dimana baik barang publik maupun barang pribadi diproduksi. Bagi barang pribadi yang tersedia melalui mekanisme pasar dimana produsen akan memproduksi barang-baranng yang paling diinginkan oleh konsumen (preferensi konsumen jelas ternyatakan), produsen akan memaksimalkan keuntungan dengan menggunakan metode biaya sekecil mungkin (memenuhi kondisi 1). Selanjutnya, konsumen akan mengalokasikan anggaran belanjanya diantara barang-barang tersebut sedemikian rupa sehingga menyamakan tingkat substitusi marjinal mereka dengan rasio harga barang (memenuhi kondisi 2). Harga yang sama dibayar oleh semua konsumen, tetapi jumlah konsumsinya berbeda, tergantung pada selera dan pendapatan mereka. Penjual dalam upayanya untuk memaksimalkan manfaat akan menyamakan biaya marjinal dengan penerimaan marjinal yang dalam keadaan bersaing juga akan menyamakan biaya marjinal dengan harga atau pendapatan rata-rata (memenuhi kondisi 3). Dari sini, kita dapat melihat bahwa mekanisme pasar menjamin terlaksananya penggunaan sumber daya yang efisien. Pemecahan masalah efisiensi sangat dimudahkan dengan menggunakan mekanisme pasar, karena disini konsumen didorong untuk menyatakan preferensi mereka, sehingga produsen termotivasi untuk memproduksi apa yang diinginkan oleh konsumen. Ini adalah kelebihan dari the invisible hands sebagaimana yang dikemukakan pertama kali oleh Adam Smith. Namun kembali kepada masalah bahwa tidak semua barang bisa disediakan melalui mekanisme pasar, oleh karenanya harus disediakan oleh pemerintah. Pemecahan masalah efisiensi kembali perlu untuk ditemukan, sebagaimana pertama kali pernah dikembangkan oleh Samuelson, ditunjukkan melalui beberapa langkah sebagai berikut. Alokasi yang Efisien Atas Barang publik Seperti diperlihatkan dalam gambar 5.3 dimana kondisi seluruh sumber daya yang ada dapat digunakan untuk memproduksi barang pribadi, penyediaan barang publik oleh pemerintah akan menyebabkan trade off dengan penyediaan barang pribadi melalui mekanisme pasar. Artinya, setiap penyediaan atas barang publik harus ada pengorbanan dari sumber-sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk memproduksi barang pribadi. Selanjutnya, jika kita perhatikan dalam gambar 5.7 dibawah ini, kita akan melihat bahwa kurva kemungkinan produksi pada sumbu XY paling atas sekali lagi mencatat kombinasi barang pribadi dan barang publik yang dapat diproduksi dengan menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia. Sumbu XY pada gambar bagian tengah memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik yang dikonsumsi oleh individu A, dan sumbu XY pada gambar bagian bawah memperlihatkan jumlah barang pribadi dan publik yang dikonsumsi oleh individu B. Karena sifat barang publik yang tidak bersaing dan tanpa pengecualian, maka dapat diasumsikan bahwa jumlah barang yang dikonsumsi dari setiap individu adalah sama, sehingga kedua individu tersebut (A dan B) akan berada pada titik yang sama pada sumbu horizontal, tetapi mereka dapat mengkonsumsi barang pribadi dengan jumlah yang berbeda, sehingga keduanya akan berada pada titik yang berbeda pada sumbu vertikal. Dasar-dasar Keuangan Publik
42 Akan tetapi, titik-titik ini akan berhubungan dengan kondisi bahwa jumlah barang X yang dikonsumsi oleh A dan B harus sama dengan output total barang X. Sebagai ilustrasi, jika A berada pada titik G pada gambar di bagian tengah, artinya A mengkonsumsi barang publik sebanyak OF dan barang pribadi sebanyak FG. Dari gambar bagian atas, diketahui bahwa kombinasi output yang paling efisien meliputi barang publik sebanyak OF dan barang pribadi sebanyak FE. Karena FG dikonsumsi oleh A maka jumlah yang tersisa bagi B sama FE-FG = FH, sehingga menempatkan B pada titik H pada gambar bagian bawah. Selanjutnya kita akan melihat pada tingkat kesejahteraan terbaik untuk A dan B. Untuk A misalnya dinyatakan oleh kurva indiferen ia2 pada gambar bagian tengah, menunjukkan bahwa jika A berada pada titik G maka B akan berada pada titik H pada gambar di bagian bawah. Kemudian jika A bergerak sepanjang ia2 ke titik P, T, dan V, berdasarkan alasan yang sama akan menempatkan B pada titik L, Z dan K. Jika A bergerak sepanjang ia2 dari tititk W ke kiri, maka B akan berpindah ke kiri sepanjang ULK. Bagi A, semua titik sepanjang ia2 akan sama baiknya, kesejahteraan A akan menjadi maksimal apabila A mendapatkan suatu titik yang akan dapat membuat B menjadi lebih baik. Hal ini akan terjadi pada titik L, dimana ULK bersinggungan dengan kurva indeferen ib4 dari B pada gambar bagian bawah. Inilah kurva tertinggi yang dapat dicapai oleh B. Jika A berada pada kurva indeferen ia1 pemecahan terbaik adalah membiarkan A dan B pada titik P dan L, dimana output total barang publik (yang paling efisien) sejumlah ON, sedangkan total output barang pribadi sebanyak NM akan dibagi antara A dan B sehingga A menerima sebanyak NP dan B menerima sebanyak NL. Jika utilitas A berubah lagi, misalnya ke kurva ia3, maka kita dapat mengulangi prosedur yang sama untuk B. Dalam setiap kasus, kita akan menemukan posisi baru bagi B pada gambar di bagian bawah (dihubungkan dengan ULK) dan satu hasil optimal baru (dihubungkan kepada L). Dengan cara ini, kita akan memperoleh serangkaian pemecahan yang berkaitan dengan berbagai tingkat kesejahteraan untuk A dan B. Semua ini adalah efisien menurut pemikiran Pareto dan memenuhi kondisi kesamaan di antara tingkat substitusi marjinal di dalam konsumsi dan tingkat transformasi marjinal di alam produksi.
Dasar-dasar Keuangan Publik
Jumlah Total Barang Pribadi
43
M
E Y
O
N F Q
Konsumsi A atas barang pribadi
Jumlah Total Barang publik
J T
ia3 P G W
ia2
R
ia1
N F U
Konsumsi A atas barang publik
Konsumsi B atas barang pribadi
ZL K
ib3 ib2 ib1
Gambar 5.7
N
F
U
Konsumsi B atas barang publik Dasar-dasar Keuangan Publik
44
B A B VI FUNGSI DISTRIBUSI
S
eperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, terdapat dua masalah pokok dalam penggunaan sumber daya yang optimal yaitu masalah penggunaan sumber daya yang efisien dan masalah pendistribusian sumber daya tersebut dengan adil. Dalam pembahasan terdahulu penekanan lebih pada efisiensi, yaitu tentang bagaimana pengalokasian sumber daya diantara berbagai kebutuhan produksi yang saling bersaing guna mencapai suatu tingkat hasil (utilitas atau kepuasan) tertentu. Pertanyaannya kemudian adalah apakah ada distribusi yang adil atau merata? Bagaimana keadaan distribusi yang adil dan merata itu yang dimaksud diatas?. Ketika istilah efisiensi berada dalam suatu area yang dapat dikatakan mendekati nilai obyektif, istilah keadilan berada dalam suatu area yang sangat berlawanan. Istilah keadilan lebih dekat pada nilai normatif daripada obyektif. Dalam ilmu ekonomi, teori distribusi biasanya mengacu pada teori mengenai peranan faktor produksi, yaitu teori penetapan harga faktor produksi dan pembagian pendapatan nasional dari penghasilan atas tanah, tenaga kerja dan modal. Teori ini memainkan peranan yang sangat penting dalam analisis ekonomi, namun demikian penekanan teori peranan produksi lebih pada pengalokasian yang efisien. Agar alokasi sumber daya menjadi efisien maka jumlah faktor produksi yang digunakan harus sedemikian rupa sehingga nilainya sama dengan nilai biaya marjinal. Walaupun demikian, teori efisiensi alokasi faktor produksi ini bukan teori fungsi distribusi. Sebagai contoh, alokasi faktor produksi dapat dikatakan efisien apabila dasar penetapan harga faktor produksi juga efisien, tanpa memperhatikan masalah distribusi akhir dari hasil penjualan produksi tersebut di pasar. Sedangkan, penekanan utama dari teori fungsi distribusi adalah pada bagaimana pendistribusian hasil produksi kepada individu-individu atau keluarga-keluarga. Oleh karenanya, masalah distribusi pendapatan terhadap individu maupun keluarga harus dibahas lebih lanjut.
Dasar-dasar Keuangan Publik
45
Konsep Keadilan Idealnya, sistem perpajakan dan belanja publik harus dapat menjamin terciptanya suatu pengorbanan yang adil dari setiap warga negara, bukan dalam ukuran rupiahnya namun lebih pada utilitasnya. Sehingga apabila ada dua kelompok ekstrim dalam masyarakat, si miskin dan si kaya, akan terasa sangat logis jika standar adil dalam pengorbanan dipenuhi melalui sistem yang menjamin bahwa kontribusi si miskin harus lebih kecil dari kontribusi si kaya. Selanjutnya, masih dalam konteks ideal, fungsi pendistribusian oleh pemerintah dapat mencakup proses penarikan dana (melalui pajak) dari si kaya dan mentransfernya kepada si miskin baik itu dalam bentuk uang ataupun jasa. Namun pada kenyataannya, sebagian besar pendistribusian yang dilakukan pemerintah tidak menguntungkan bagi si miskin, melainkan tetap lebih memihak kepada si kaya. Keadilan merupakan isu sentral dalam sektor ekonomi dan kebijakan publik. Apakah ada suatu cara untuk mendefinisikan keadilan? Pertanyaan ini telah memicu munculnya beberapa pemikiran terbaik dari para ekonom dalan kurun waktu dua abad terakhir ini. Konsep Keadilan Horizontal Salah satu jawaban atas dilema dalam mendefinisikan dan mengukur keadilan adalah konsep keadilan horizontal. Dalam konsep ini, disumsikan bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang sama untuk menikmati pendapatan, atau paling tidak kapasitasnya berada dalam suatu interval tertentu. Oleh karena itu, dari setiap orang akan ditarik pajak dengan jumlah yang sama, pemerintah akan menyediakan sejumlah barang publik yang sama pula. Permasalahannya adalah bahwa dalam suatu perekonomian, tidak hanya sekedar persoalan pendapatan. Pendapatan sendiri harus mencakup masalah seluruh pendapatan seumur hidup seseorang, bukan hanya pendapatan dalam satu tahun. Selain itu, hal lain yang mungkin perlu dimasukkan kedalam pertimbangan adalah masalah kekayaan, jumlah anggota keluarga, umur, atau kondisi-kondisi khusus lainnya seperti ketidakmampuan (cacat), dan kondisi kesehatan seseorang. Jadi, secara umum, pengukuran menggunakan konsep keadilan horizontal sulit ditemukan. Contoh konkrit dari konsep ini dapat ditemukan pada tiket masuk suatu tempat rekreasi yang tidak membedakan bagi setiap orang. Jadi, setiap orang dianggap sama, tidak perduli kaya atau miskin, tua atau muda, cacat atau normal dan sebagainya. Konsep Keadilan Vertikal Konsep kedua dalam mengukur keadilan adalah konsep keadilan vertikal. Dalam konsep ini, keadilan berarti memperlakukan setiap orang berbeda disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Dasar pengukuran dapat berupa pendapatannya, kekayaannya, dan kebutuhan atau kemampuannya untuk membayar. Oleh karena itu, melalui konsep ini, jumlah pajak yang ditarik dari Dasar-dasar Keuangan Publik
46 setiap orang tidaklah sama, namun disesuaikan dengan kondisi mereka. Tarif pajak progresif - yang akan dibahas lebih lanjut di bagian mendatang merupakan salah satu contoh konkrit dari konsep keadilan vertikal. Konsep keadilan vertikal juga tercermin dalam metode pengujian rata-rata yang digunakan bagi banyak program pemerintah, seperti pembebasan atau pengurangan biaya sekolah, dan subsidi perumahan dan kesehatan bagi rakyat miskin. Kategori rakyat miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan rata-rata – berdasarkan uji rata-rata – di bawah tingkat pendapatan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu kesulitan dalam menerapkan konsep keadilan vertikal adalah bagaimana kebijakan publik dapat menetapkan dasar yang dapat dijadikan pedoman bagi pengukuran ketidaksamaan kondisi (misalnya pendapatan) seseorang. Bagaimana cara mengukur perbedaan jumlah pendapatan seseorang jika harus dikaitkan dengan perbedaan kemampuan orang tersebut dalam membayar pajak. Apakah seseorang yang mempunyai pendapatan dua kali pendapatan orang yang lain berarti bahwa orang tersebut mempunyai kemampuan membayar dua kali juga atau tidak. Selanjutnya, dimana harus menetapkan batas suatu jumlah pendapatan sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah tersebut mempunyai kemampuan membayar pajak lebih rendah atau lebih tinggi. Apakah seseorang yang mempunyai jumlah pendapatan Rp 50.000.000,00 lebih rendah kemampuan membayar pajaknya dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai pendapatan Rp 50.000.001,-, sehingga pajak penghasilan menetapkan tarif yang berbeda. Prinsip Kompensasi Terakhir, konsep ketiga dalam upaya menginterpretasikan keadilan jatuh pada konsep prinsip kompensasi. Keadilan diterjemahkan sebagai optimalisasi pareto yang menyatakan bahwa tidak mungkin merubah kondisi seseorang menjadi lebih baik, tanpa menyebabkan kondisi orang lain sebaliknya (lebih buruk). Jadi dalam konsep ini akan tercipta peraturan atau kebijakan yang mau tidak mau akan terdapat pihak yang menang dan kalah. Ketidakmampuan untuk membandingkan utilitas dari setiap orang, menyebabkan suatu keputusan atau perubahan kebijakan sangat sulit untuk dibuat tanpa mengakibatkan adanya pihak-pihak yang diuntungkan dan pihakpihak yang dirugikan. Menyadari hal ini, para ekonom mencari beberapa kriteria untuk pengambilan keputusan dimana kondisi Pareto optimal tidak mungkin dapat dicapai. Kriteria ini akan memandu pengambil keputusan untuk memilih keputusan terbaik kedua setelah Pareto optimal. Salah satu kriteria yang paling sering digunakan adalah prinsip kompensasi yang menawarkan suatu pedoman kasar untuk memilih dari beberapa alternatif kebijakan dengan prinsip bahwa seseorang akan menjadi lebih baik atau sejahtera. Prinsip kompensasi sebagian dapat terlihat dalam kebijakan perdagangan. Contoh penurunan secara bertahap terhadap hambatan perdagangan internasional akan memberikan keuntungan bagi para konsumen dan eksportir di atas beban para tenaga kerja dan produsen importir dalam industri yang bersaing. Namun
Dasar-dasar Keuangan Publik
47 kebijakan ini tetap diinginkan karena secara total, kesejahteraan publik ini akan lebih menguntungkan. Seandainya hambatan perdagangan tetap dipertahankan sehingga tetap ada dinding yang membatasi suatu negara dalam bertransaksi dengan negara lain, maka tetap saja akan ada pihak-pihak yang diuntungkan sebagai pemenang dan pihak-pihak yang dirugikan sebagai yang kalah.
Faktor-Faktor yang Menentukan Distribusi Dalam ekonomi pasar, distribusi pendapatan ditentukan oleh penjualan faktor produksi seperti tenaga kerja dan modal. Distribusi pendapatan tenaga kerja berkaitan dengan distribusi kemampuan sekaligus keinginan tenaga kerja yang bersangkutan untuk memperoleh pendapatannya. Sedangkan distribusi pendapatan modal mencakup distribusi kesejahteraan, sebagaimana telah ditentukan oleh warisan, pola perkawinan, pola hidup dan simpanan semasa hidup. Dari distribusi pendapatan tenaga kerja dan modal terkait dengan investasi pendidikan, yang merupakan pengaruh dari tingkat upah yang dapat dicapai oleh seseorang. Selain bergantung pada penurunan dari faktor-faktor produksi tersebut, distribusi pendapatan juga bergantung pada faktor harga. Dalam persaingan sempurna, tingkat harga sama dengan nilai dari faktor produk marjinal, oleh karenanya harga-harga tersebut bergantung langsung pada sejumlah variabel seperti faktor penawaran, teknologi, dan preferensi pelanggan. Namun sebaliknya, dalam banyak kasus, tingkat pengembalian lebih ditentukan oleh pasar persaingan tidak sempurna dimana faktor-faktor institusi seperti, struktur gaji, hubungan keluarga, status sosial, ras dan lain-lain, masih memainkan peran yang penting. Oleh sebab itu, tingkat pendapatan dari berbagai macam pekerjaan mungkin berbeda sejalan dengan pertimbangan status dibandingkan dengan produk marjinal. Begitu pula dengan kesempatan seseorang memperoleh pekerjaan akan lebih bergantung pada hubungan kekeluargaan dibandingkan dengan kemampuan produktifitasnya, dan akhirnya pola pernikahan juga menjadi faktor terpenting dalam pendistribusian pendapatan. Distribusi pendapatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut di atas, menunjukkan tingkat ketidakadilan yang sangat menyolok. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan prosentase dari pendapatan yang diperoleh dengan prosentase rumah tangga yang menghasilkan. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan meningkatnya ketidakadilan dalam pendistribusian pendapatan (Musgrave, 1991).
Distribusi Sebagai Suatu Kebijakan Jika sebelumnya, pembahasan distribusi lebih terfokus sebagai hasil dari perekonomian pasar, kali ini pembahasan akan di fokuskan pada distribusi sebagai hasil dari suatu kebijakan. Setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, meskipun tidak secara langsung, tetap mempunyai dampak distribusional. Misalnya, kebijakan mengenai anti trust atau anti monopoli sebenarnya dirancang untuk mengefisienkan pasar,
Dasar-dasar Keuangan Publik
48 namun secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan modal dan tenaga kerja pada industri yang terkait dengan kebijakan tersebut. Selain itu, pendapatan riil dari konsumen yang menggunakan produk tersebut juga akan ikut terpengaruh. Contoh lain adalah kebijakan program investasi pemerintah - seperti pembangunan jalan yang tujuannya untuk menyediakan barang publik kepada masyarakat - akan mempengaruhi kesejahteraan berbagai kelompok masyarakat dari segi ekonomi dan tentunya pola distribusi. Oleh karena itu, perancangan kebijakan publik seharusnya juga mempertimbangkan masalah distribusi. Namun sayangnya, sampai saat ini analis ekonomi belum dapat menetapkan standar distribusi mana yang sebenarnya menjadi patokan, yaitu apa yang seharusnya menjadi kriteria bagi distribusi yang adil dan wajar. Tetapi, karena masalah distribusi sangat erat kaitannya dengan permasalahan kebijakan ekonomi secara dominan terhadap politik ekonomi, semestinya para ekonom yang berurusan dengan kebijakan umum pemerintah tidak boleh melepaskan pemikiran mereka dari masalah keadilan dalam distribusi pendapatan.
Pemecahan atas Distribusi yang Adil dan Merata Seandainya asumsi-asumsi yang mendasari berbagai konsep keadilan dapat digali kemudian konsekuensinya dapat diamati sehingga dapat dipilih satu konsep tertentu untuk diterapkan, maka masalah distribusi akan menjadi lebih sederhana. Namun karena belum ada alasan atau nilai-nilai yang terpilih sebagai dasar dalam menetapkan struktur masyarakat yang baik, maka masalah ini tetap belum terpecahkan. Jika diperhatikan, berbagai pendekatan dalam setiap konsep keadilan tidak perlu diterapkan secara murni, tetapi dalam perpaduan satu sama lain. Misalnya saja, prinsip keadilan yang dianut menginginkan tidak ada satu anggota masyarakat pun yang miskin, namun kebijakan penarikan pajak berdasarkan pada prinsip keadilan horizontal baru akan diterapkan jika memang kondisi ini sudah tercapai.
Redistribusi Sebelumnya pembahasan lebih berfokus pada pertanyaan dasar mengenai apa yang merupakan distribusi yang adil dan merata. Pertanyaannya sekarang adalah perlu tidaknya untuk mempertimbangkan atau bahkan menanggulangi masalah redistribusi, yaitu sampai sejauh mana dan dengan cara bagaimana mengubah keadaan distribusi yang ditentukan oleh pasar dan lembaga publik yang ada saat ini. Hal ini bisa dicapai melalui kebijakan redistribusi yang ditetapkan melalui proses anggaran. Selanjutnya, hasil dari kebijakan ini dapat dilihat melalui respon dari setiap pihak yang dirugikan atau diuntungkan dari proses tersebut . Pada gilirannya, hal ini bisa mempengaruhi bagian dari pendapatan nasional yang tersedia untuk redistribusi dan juga bisa menimbulkan biaya yang tentunya harus dipikul.
Dasar-dasar Keuangan Publik
49 Sebagian orang akan menolak adanya kebijakan redistribusi jika hal tersebut merupakan kebijakan wajib dari pemerintah. Namun, hal sebaliknya sering kali terjadi jika redistribusi didanai melalui kontribusi sukarela, seperti penggalangan dana di mesjid, gereja, organisasi nir laba dan sumbangan sosial individu. Hal ini dapat meredistribusi posisi pendapatan atau kekayaan yang telah ditentukan oleh kekuatan pasar. Jika kegiatan sukarelawan ini cukup untuk membuat perubahan yang dapat diterima, dimana terjadi penurunan atas tingkat kemiskinan dan ketidakadilan dalam masyarakat, maka campur tangan pemerintah tidak lagi dibutuhkan. Tetapi apakah mungkin cukup menggantungkan keputusan redistribusi ini kepada individu atau kelompok sosial saja, apakah menjamin bahwa perubahan yang terjadi akan optimal bagi masyarakat. Rasanya hampir mustahil, karena akan sangat mudah bagi setiap orang untuk menghindar dari membayar suatu sumbangan sukarela (menjadi free rider), terlebih dalam kelompok masyarakat yang besar. Didalam masyarakat yang kecil pun, orang dapat tetap menghindar dari menyumbang secara sukarela, meskipun hal tersebut akan lebih terlihat. Menyamakan Kepentingan Pembayar Pajak dan Penerima Pajak Pembayar pajak – dalam kasus kebijakan redistribusi oleh pemerintah – mungkin mempunyai tujuan dan kepentingan yang berbeda dengan para penerima pajak. Secara umum, para pembayar pajak akan lebih tertarik untuk mendapatkan keadilan atas kesempatan dan memastikan apakah dana yang telah mereka keluarkan dibelanjakan dengan seharusnya. Sementara itu di pihak penerima pajak – katakanlah rakyat miskin – lebih tertarik untuk memperhatikan keadilan atas hasil dan memiliki fleksibilitas dalam menggunakan sumber-sumber dana yang mereka dapatkan. Kedua kelompok ini akan memberikan suaranya, dan melakukan lobi politik untuk mempengaruhi pemerintah dengan berbagai cara. Pertanyaan berikutnya bagi pemerintah adalah apakah perhatian mereka terkait dengan konsep redistribusi, atau apakah harus lebih terpusat pada keadilan atas kesempatan atau keadilan atas hasil. Keadilan atas kesempatan dapat berupa penyediaan pendidikan, pelayanan kesehatan atau jasa lainnya yang dapat membantu masyarakat untuk berkembang atau paling tidak tetap berproduksi. Keadilan ini lebih bersifat filosofi dalam hubungannya dengan sistem pasar. Dalam masyarakat yang besar, keadilan atas kesempatan mewakili bentuk utama dari redistribusi, terutama dalam bentuk pembebasan uang sekolah dan wajib belajar. Dalam keadilan atas hasil, penekanannya lebih pada penurunan kesenjangan pendapatan dan penghapusan kemiskinan dengan cepat daripada menekankan pada berinvestasi pada orang miskin. Perbedaan filosofi dari dua pendekatan keadilan redistribusi ini tercermin dalam pribahasa ”Berikan seseorang ikan, maka dia dapat makan untuk satu hari; ajari seseorang memancing, maka dia dapat makan seumur hidupnya”. Secara umum, keadilan atas hasil sebagai suatu strategi anti kemiskinan telah semakin menurun popularitasnya di banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada.
Dasar-dasar Keuangan Publik
50 Isu kedua yang seringkali dipandang berbeda dari pihak pembayar dan penerima pajak adalah bentuk redistribusi. Para penerima akan lebih memilih untuk menerima uang tunai, karena akan lebih memberikan fleksibilitas kepada mereka untuk menggunakan dana tersebut. Di sisi lain pembayar pajak lebih memilih memberikan dananya dalam bentuk barang seperti, pakaian, dan makanan. Seandainya diberikan dalam bentuk uang, pihak pendana akan memasukkan preferensi mereka kepada pihak penerima, sehingga membatasi fleksibilitas penggunaan dana tersebut. Bagi pemerintah, cara yang termudah adalah dengan memberikan jasa pelayanan langsung seperti pelayanan kesehatan dan program pendidikan. Besarnya Bagian untuk Redistribusi Isu penting lainnya dalam masalah redistribusi yang efisien adalah penetapan bagian yang harus di redistribusikan. Redistribusi yang telah dibahas sejauh ini mencakup masalah biaya dan manfaat, dimana keduanya harus dipertimbangkan. Pertama-tama, kebijakan untuk melakukan redistribusi dapat mengakibatkan bagian yang tersedia untuk didistribusikan justru menjadi lebih kecil. Hal ini diakibatkan oleh bekerjanya pengaruh perbedaan yang berlaku pada baik pihak pembayar pajak maupun pihak penerima pajak. Hal ini dapat diperlihatkan dalam hubungan antara penawaran tenaga kerja dengan masalah tabungan, investasi dan pertumbuhan ekonomi, masalah serupa juga akan timbul. Ketika redistribusi ditetapkan sehingga akan menurunkan tingkat pendapatan, maka pada tingkat tertentu sebagian besar masyarakat akan mengurangi usaha mereka dalam mencari pendapatan atau dengan kata lain mereka akan memperbanyak waktu santai mereka, sehingga tingkat produktivitas masyarakat menurun. Hubungan antara pendapatan, waktu senggang dan pajak dapat dilihat pada grafik 6.1. Pendapatan
Pendapatan, Waktu Senggang dan Pajak
A1
A2 X1 X2 A3 X3
Grafik 6.1
Y2 Y1 Y3
Waktu Senggang Dasar-dasar Keuangan Publik
51
B A B VII FUNGSI STABILISASI Kebijakan Stabilisasi i era globalisasi ekonomi yang semakin luas, fungsi pemerintah sebagai pengatur (regulator) semakin dirasakan kebutuhannya. Dalam hubungannya dengan persaingan yang terjadi pada ekonomi pasar, fungsi pengatur tersebut dapat berupa beberapa kebijakan baik sebagai pemicu maupun sebagai penghambat persaingan. Pada intinya, kebijakan pemerintah dalam fungsi stabilisasi dirancang untuk menjaga stabilitas perekonomian seperti mempertahankan atau mencapai kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas harga yang pantas, neraca pembayaran luar negeri yang sehat dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat diterima.
D
Kebijakan Moneter Jika berfungsi dengan baik, suatu mekanisme pasar dijamin dapat diandalkan untuk menentukan alokasi sumber daya yang efisien di antara barang pribadi. Namun, para ekonom setuju bahwa mekanisme pasar tidak dapat dengan sendirinya mengatur jumlah uang yang beredar secara tepat. Sistem perbankan, jika tidak diawasi, akan berjalan tidak teratur, sehingga tidak hanya akan menghasilkan jumlah uang beredar yang tidak sesuai, tetapi juga menimbulkan reaksi dalam permintaan kredit di pasar yang akan cenderung menimbulkan fluktuasi. Oleh karena itu, keberadaan Bank Sentral sebagai pengawas jumlah uang beredar perlu menyesuaikan jumlah uang beredar dengan kebutuhan ekonomi, baik dalam hal stabilisasi jangka pendek maupun pertumbuhan jangka panjang. Komponen kebijakan moneter antara lain meliputi ketetapan mengenai cadangan wajib bank, tingkat diskonto, kebijakan pengendalian kredit dan kebijakan pasar terbuka. Perluasan moneter berupa kebijakan untuk menambah jumlah uang beredar akan cenderung memperbesar likuiditas, menurunkan suku bunga dan karena itu akan menaikkan tingkat permintaan, sementara pembatasan moneter akan berakibat sebaliknya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
52 Kebijakan Fiskal Sementara itu, suatu kebijakan fiskal mempengaruhi secara langsung tingkat permintaan barang dan jasa. Kebijakan menurunkan pajak dapat dilakukan dalam upaya pemerintah untuk memperbesar total belanja pemerintah, karena para wajib pajak akan mempunyai disposible income yang lebih besar sehingga diharapkan akan membelanjakan jumlah pendapatan yang lebih besar pula. Sejalan dengan itu, suatu kebijakan menambah pengeluaran publik jelas merupakan jenis kebijakan yang bersifat ekspansi, karena akan meningkatkan total permintaan agregat. Kebijakan ini, pada awalnya, akan menaikkan tingkat permintaan sektor pemerintah dan kemudian akan diikuti oleh sektor swasta. Di sisi lain, kebijakan defisit anggaran pemerintah juga dapat memainkan peranan yang tidak kalah penting, tergantung pada bagaimana defisit itu dibiayai. Pembiayaan defisit akan lebih besar jika defisit tersebut ditutupi dengan pinjaman, tetapi jika peredaran uang diperketat, maka pinjaman tambahan akan mempertinggi suku bunga sehingga cenderung menghambat transaksi pasar.
Stabilisasi Anggaran Kebijakan anggaran semestinya melibatkan beberapa tujuan yang berbeda, tetapi dalam prakteknya hal ini saling tumpang tindih sehingga mempersulit penyusunan kebijakan yang efisien, yaitu kebijakan yang benar-benar adil dalam rangka mencapai tujuan yang beraneka ragam tersebut. Sebagai ilustrasi, misalnya masyarakat menginginkan peningkatan atas pelayanan pemerintah. Hal ini bisa diwujudkan dengan meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, yang pada gilirannya nanti akan dipertanyakan oleh masyarakat tentang cara pendistribusiannya. Dalam proses pemungutan suara akan ada pihak-pihak yang mendukung dan menolak terhadap perubahan atas model pelayanan pemerintah, berkaitan dengan perubahan kebijakan perpajakan. Idealnya, kedua isu tersebut seharusnya dipisahkan. Masyarakat seharusnya bersedia membayar apa yang dianggap sebagai distribusi yang adil. Kemudian, dalam masalah pembiayaan kegiatan pemerintah, wajib pajak selayaknya melihat manfaat yang dapat diambil dari kegiatan tersebut, tanpa harus dihubungkan dengan kontribusinya, karena dua masalah ini sulit diselesaikan secara simultan. Akhirnya, kita dapat mengambil simpulan bahwa penentuan anggaran lebih condong sebagai proses politik ketimbang proses pasar. Proses politik didasarkan pada peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang suatu negara. Dalam suatu negara demokrasi, warga negara mempunyai kesempatan untuk memberikan suaranya dalam memutuskan suatu masalah. Hasil dari proses tersebut tergantung dari hasil pemungutan suara atau dari tingkah laku para politisi yang bermain di dalam pemerintahan tersebut. Proses politik tentunya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain faktor ekonomi, seperti ideologi. Namun demikian, dari sudut pandang ekonomi, tujuan politik adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang berguna bagi seluruh warga negaranya. Dasar-dasar Keuangan Publik
53
B A B VIII SISTEM PILIHAN PUBLIK ernahkah anda berpikir bahwa segala keputusan yang dibuat oleh pemerintah, pusat maupun daerah, dikeluarkan setelah melalui suatu proses politik? Hal-hal mulai dari peningkatan taraf hidup, pembangunan jalan raya, sampai dengan penentuan pajak dan subsidi ditetapkan dalam suatu keputusan politis.
P
Di negara demokratis, keputusan politis ditetapkan melalui suatu proses politik yang melibatkan masyarakat. Masyarakat dapat menyumbangkan suara mereka untuk menentukan kebijakan apa yang hendak dilaksanakan atau menyumbangkan suara kepada orang yang mewakili kebijakan tersebut. Misalnya, bila masyarakat menginginkan anggaran pendidikan yang lebih tinggi maka mereka dapat melakukan voting untuk meloloskan kebijakan itu atau memilih untuk mendukung orang yang pro dengan kebijakan anggaran pendidikan yang lebih tinggi tersebut. Teori pilihan publik mempelajari bagaimana suatu keputusan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak dibuat melalui suatu sistem politik. Proses politik yang ada didalam sistem tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, ekonomi, budaya, dan ideologi. Namun demikian, dari sudut pandang ekonomi, tujuan politik tersebut adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang berguna bagi masyarakat. Teori pilihan publik mempelajari bagaimana proses politik digunakan untuk menentukan besarnya barang dan jasa yang akan disediakan oleh pemerintah.
Konsep Keseimbangan Politis (Political Equilibrium) Suatu keputusan publik dibuat setelah melalui interaksi politis antara beberapa orang menurut aturan yang disepakati bersama. Penyediaan suatu barang publik memerlukan kesepakatan mengenai jumlah yang akan disediakan dan anggaran yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang tersebut. Seringkali keputusan untuk menentukan jumlah serta dana yang diperlukan ini dibuat dengan cara melakukan pemungutan suara (voting).
Dasar-dasar Keuangan Publik
54 Pada kondisi dimana barang dan jasa publik di supply oleh pemerintah dengan dana dari pajak, masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut harus tunduk dengan keputusan yang sudah dibuat. Kondisinya akan berbeda jika barang dan jasa publik tersebut sebagian atau seluruhnya dibiayai dari sumbangan atau retribusi dari masyarakat. Pada kasus ini, masyarakat dapat mengajukan keberatan bila kebijakan tersebut bertentangan dengan kehendak masyarakat. Keseimbangan politis (political equilibrium) adalah persetujuan mengenai jumlah barang publik yang akan disediakan, pada kondisi dimana aturan dalam mengambil keputusan kolektif dan besarnya pajak sudah terbentuk. Porsi pajak (tax shares) adalah bagian biaya yang dibebankan ke masyarakat. Besarnya porsi pajak adalah sama dengan biaya per unit dari barang publik yang akan disediakan oleh pemerintah. Bagi seorang voter, porsi pajak tersebut merupakan harga per unit dari barang yang disediakan oleh pemerintah. Jumlah dari seluruh porsi pajak harus sama dengan biaya rata-rata (average cost) dari barang publik tersebut untuk menghindari anggaran surplus ataupun defisit. Jika ti melambangkan porsi pajak barang publik bagi voter i, maka Σti untuk seluruh voter harus sama dengan average cost dari barang tersebut. Biaya untuk menyediakan barang publik mempengaruhi besarnya pajak yang harus dibayar oleh penduduk untuk memproduksi barang tersebut. Adanya kenaikan biaya produksi barang publik akan menaikkan pula besarnya pajak yang harus dibayar oleh penduduk. Jika kenaikan biaya tidak diiringi dengan kenaikan manfaat, maka akan mengurangi dukungan penduduk terhadap kebijakan publik tersebut. Pada kenyataannya, informasi mengenai besarnya biaya yang diperlukan untuk memproduksi barang publik susah diperoleh. Akhirnya, perdebatan maupun kampanye yang dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan itulah yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam memberikan suaranya. Pada kampanye inilah penduduk mendapatkan gambaran mengenai biaya dan manfaat yang dapat diperoleh dari barang publik tersebut.
Pemilihan dan Pemungutan Suara (Election and Voting) Pilihan publik dilaksanakan secara formal melalui suatu pemilihan umum dimana setiap individu memiliki satu suara. Analisis ekonomi terhadap proses politik mengasumsikan bahwa individu menilai kebutuhannya terhadap barang publik seperti layaknya mereka menilai kebutuhan atas barang dan jasa lainnya. Individu diasumsikan akan menetapkan pilihan jika hal itu dapat membuat kehidupan mereka lebih baik. Keputusan rasional yang paling diinginkan dari suatu proses politik untuk menentukan jumlah barang publik yang disediakan akan tercapai pada titik dimana porsi pajak per individu sama persis dengan manfaat marginal dari barang publik tersebut. Pada titik ini, jumlah barang yang disediakan memberikan kepuasan maksimal bagi setiap individu. Kenaikan maupun penurunan diluar titik ini akan menurunkan tingkat kepuasan individu.
Dasar-dasar Keuangan Publik
55 Pada Gambar 8.1, keputusan yang paling diinginkan tersebut terletak pada titik Z, dimana jumlah barang publik yang diproduksi adalah sebesar Q* dan porsi pajak sebesar ti. Pada titik Z ini, marginal benefit bagi individu i sama dengan porsi pajaknya. Setiap penambahan output barang publik dari titik 0 sampai dengan titik Q* akan membuat kondisi individu i lebih baik. Namun, penambahan yang dilakukan diatas titik Q* akan membuat kondisi i lebih buruk karena pajak yang ia bayar melebihi marginal benefit yang ia terima. Setiap individu akan bertindak seolah-olah barang publik tersebut bisa dibeli di pasar bebas dengan harga ti dan akan mendukung kebijakan yang berkaitan dengannya sepanjang manfaat yang mereka terima melebihi biaya (pajak) yang harus mereka keluarkan. Gambar 8.1: Keputusan yang Paling Diinginkan dari Proses Politis
Z
Pajak
ti
Pajak per unit output
MBi
0
Q*
Pada kondisi dimana aturan main pilihan umum sudah ada, penentuan hasil pemilihan umum akan tergantung pada besarnya alokasi pajak yang dibebankan pada setiap pemilih. Usulan untuk meningkatkan output yang ditolak pada tingkat pajak tertentu, masih mungkin untuk diajukan kembali bila menerapkan tingkat pajak yang berbeda dari yang sebelumnya karena perubahan tingkat pajak akan mempengaruhi titik Z, yaitu keputusan yang paling diinginkan. Titik equilibrium juga dapat dipengaruhi oleh distribusi manfaat (benefit). Suatu usulan yang pernah ditolak masih mungkin akan diterima bila distribusi manfaatnya dirubah sehingga sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemilih. Jadi, untuk mencapai titik keseimbangan politis, Z, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan yaitu porsi pajak (ti) dan distribusi benefit (MBi).
Memberikan suara atau abstain (Vote or not to vote) Keputusan seseorang untuk memberikan suaranya tergantung pada untung rugi yang akan ia terima sebagai akibat keputusannya tersebut dan juga kemungkinan (probabillitas) suaranya akan memberikan keuntungan bagi dirinya. Dasar-dasar Keuangan Publik
56 Namun demikian, alasan seseorang untuk memberikan suaranya tidak melulu didasari atas untung rugi semata namun bisa juga didasari atas kewajibannya sebagai seorang warga negara. Beberapa hal yang menyebabkan orang enggan untuk memberikan suaranya adalah kendala waktu dan tempat. Kadang pemungutan suara dilakukan pada waktu yang tidak tepat, atau tempat pemungutannya terlalu jauh sehingga orang tidak bisa hadir. Hal lain yang juga menjadi kendala adalah informasi. Kadangkala, sebelum seseorang memberikan suaranya ia harus mengumpulkan informasi dari berbagai sumber seperti surat kabar, majalah, internet, dan sebagainya untuk meyakinkan bahwa suaranya nanti ditujukan pada pilihan yang tepat. Hal ini cukup merepotkan bagi sebagian orang. Ada juga orang yang percaya bahwa suara mereka terlalu kecil dan tidak mungkin akan mempengaruhi hasil pemilihan. Mereka beranggapan bahwa probabilitas suaranya akan mempengaruhi hasil pemilihan sangat kecil (bahkan mendekati nol) bila jumlah peserta pemilunya sedemikian besar. Karena pengorbanan yang harus dikeluarkan untuk ikut pemilihan sudah jelas, sedangkan manfaatnya belum jelas, hal ini juga menjadi alasan seseorang untuk tidak ikut memberikan suaranya. Kenyataannya, hasil suatu pemilihan tidak tergantung pada orang-orang yang tidak memilih (di Indonesia biasa disebut golongan putih atau golput). Dampaknya, orang-orang yang ”golput” ini akan mengikuti saja arus keinginan (free riders) dari orang-orang yang ikut pemilihan. Jika setiap penduduk berpikiran seperti diatas, maka tujuan diadakannya negara demokrasi tidak tercapai karena semua penduduk tidak ada yang memberikan suaranya. Di negara demokrasi, pemilu dijadikan kewajiban bagi penduduk yang telah memenuhi syarat dengan maksud untuk menghindari free rider. Namun demikian, di beberapa negara-negara yang tidak mewajibkan penduduknya untuk memilih, partisipasi masyarakat untuk datang ke tempat pemilihan sangat tinggi. Ini membuktikan bahwa ada motivasi lain yang mendorong mereka untuk datang ketempat pemilihan seperti kebanggaan sebagai warga negara atau rasa kebersamaan antar sesama pemilih. Di Amerika Serikat telah ditemukan beberapa fakta bahwa tingkat partisipasi warga negara terhadap pemilu terkait pada mayoritas partai tertentu. Pada negara bagian yang anggota legislatifnya mayoritas dikuasai oleh satu partai, tingkat partisipasi masyarakat untuk ikut pemilu lebih rendah dibanding dengan negara bagian lain yang tidak dikuasai oleh satu partai. Alasan mereka enggan untuk ikut memilih adalah karena anggapan bahwa suara mereka akan jatuh ke orang yang sama. Kondisi ini mirip ketika Indonesia hanya mengakui tiga partai peserta pemilu pada masa orde baru, dimana apapun pilihan masyarakat, yang menjadi presiden dengan mudah dapat diperkirakan. Informasi juga merupakan alasan seseorang untuk memberikan suaranya. Namun demikian, ada beberapa pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan informasi yang terbatas. Jika mereka memiliki informasi yang memadai, pilihan mereka mungkin saja berbeda dari yang sebelumnya. Ketika seseorang menentukan pilihan berdasarkan informasi yang tidak memadai atau Dasar-dasar Keuangan Publik
57 salah, maka sangat mungkin hasil yang ia capai tidak berbeda dibandingkan jika ia menjadi ”golput”. Untuk dapat menetapkan pilihan dengan benar, seseorang harus mempunyai informasi yang lengkap mengenai konsekuensi dari setiap pilihan yang diambilnya. Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi suatu pemilihan umum dalam menghasilkan keputusan tentang kebijakan publik adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Aturan main dari pemilu itu sendiri, yaitu bagaimana kriteria untuk menerima atau menolak kebijakan publik. Biaya marjinal dan biaya rata-rata dari barang publik Informasi yang tersedia mengenai untung rugi yang terkait dengan kebijakan tersebut Distribusi pajak ke setiap pemilih. Distribusi manfaat ke setiap pemilih
Jika salah satu dari kelima faktor diatas berubah, maka titik equilibriumnya pun akan berubah sesuai dengan faktor perubahannya.
Keseimbangan Politis dalam Aturan Mayoritas (Majority Rule) Dalam melakukan pemungutan suara dikenal aturan simple majority rule, yaitu pemenang pemungutan suara akan diperoleh bila mampu mengumpulkan, minimal, setengah plus satu dari seluruh peserta pemilihan. Misalkan ada dua pilihan, A atau B, yang akan ditentukan melalui pemungutan suara yang diikuti oleh 10 pemilih. Pilihan A akan menang jika minimal ada 6 orang (10/2 +1) yang memilih A. Bila jumlah pemilihnya ganjil, maka yang paling banyak mengumpulkan suara adalah pemenangnya. Dalam contoh diatas, seandainya jumlah pemilih hanya 9, maka pemenangnya adalah yang mampu mengumpulkan 5 suara. Gambar 8.2: Keseimbangan Politis dalam Aturan Mayoritas
Marginal Benfit, Cost, dan Pajak (rupiah)
E
350
MB = AC
Σ MB
t
50 MBA
0
1
MBC
MBB
2
3
MBM MBF 4
5
MBG 6
7
Jumlah satpam per minggu Dasar-dasar Keuangan Publik
58 Berikut ini akan penulis berikan contoh penerapan simple majority rule dalam keuangan publik. Asumsikan ada n orang yang tinggal dalam satu komunitas dimana Average Cost (AC) dan beban pajak untuk setiap barang publik sudah ditetapkan. Setiap orang akan mendapat beban pajak yang sama besarnya yaitu sebesar AC/n untuk setiap unit barang publik yang dikonsumsi. Misalkan sekarang ada tujuh orang warga yang sedang berembuk untuk menentukan berapa orang satpam yang diperlukan untuk mengawasi wilayah tempat tinggal mereka. Diantara mereka telah ada kesepakatan bahwa keamanan lingkungan adalah barang publik yang harus disediakan dan didanai oleh mereka sendiri. Namun demikian, marginal benefit ketujuh orang tersebut berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada kurva A, B, C, M, F, G, dan H dalam Gambar 8.2. A menghendaki hanya seorang satpam saja yang dibutuhkan, B menghendaki 2 orang, dan seterusnya hingga H yang menghendaki 7 orang. Umpamakan gaji seorang satpam adalah Rp350 ribu per minggu sehingga average cost dan marginal cost dari barang publik ini adalah sama, yaitu Rp350 ribu. Dengan demikian pajak (t dalam hal ini adalah iuran) yang harus ditanggung oleh masingmasing warga untuk membiayai seorang satpam adalah Rp50 ribu per minggu (Rp350 ribu/7). Hal ini telah sesuai dengan rumus AC/n = Rp50 ribu. Karena keamanan lingkungan merupakan barang publik, maka setiap warga akan menikmati keamanan dalam porsi yang sama. Hal ini berbeda dengan barang pribadi, dimana masing-masing individu dapat mengkonsumsi barang sesuai yang diinginkannya tanpa memperdulikan individu yang lain. Dalam contoh diatas, ketujuh warga tersebut harus menentukan kesepakatan tentang berapa orang satpam yang dibutuhkan untuk menjaga lingkungan mereka. Hasil Pemungutan Suara menurut Aturan Mayoritas Sekarang, ketujuh warga tersebut akan melakukan voting untuk persetujuan atas setiap penambahan satu orang satpam yang akan mereka pekerjakan. Ketentuannya, bila penambahan seorang satpam disetujui oleh lebih dari setengah warga yang ikut memilih maka penambahan tersebut akan dilaksanakan, namun jika disetujui kurang dari setengah maka akan dibatalkan. Asumsikan dalam setiap pemungutan suara tidak ada yang abstain. Hasil dari pemungutan suara mereka tercantum dalam Tabel 10.1. Tabel 8.1 menunjukkan hasil pemungutan suara untuk setiap penambahan seorang satpam yang akan dipekerjakan. Pemungutan suara dimulai dengan penambahan dari 0 satpam menjadi 1 satpam, kemudian dari 1 menjadi 2 satpam, kemudian dari 2 menjadi 3 satpam, dan seterusnya. Ada tujuh alternatif keputusan yang akan diambil yaitu memperkerjakan 1 satpam, 2 satpam, 3 satpam, 4 satpam, 5 satpam, 6 satpam, atau 7 satpam. Pada pemungutan pertama kali, semua warga setuju untuk memperkerjakan seorang satpam karena marginal benefit yang diterima setiap warga berada diatas iuran yang harus dibayar. Pada pemungutan suara yang kedua untuk menambah jumlah satpam menjadi 2 orang, A tidak setuju terhadap usulan tersebut karena baginya jumlah iuran yang dibayarkan melebihi manfaat Dasar-dasar Keuangan Publik
59 yang ia terima. Ingat, apabila memperkerjakan 2 orang satpam maka iuran masing-masing warga menjadi Rp100 ribu per minggu (Rp700 ribu / 7). Namun karena 6 warga lainnya setuju, maka penambahan satpam tersebut akhirnya disetujui. Ketika melakukan pemungutan yang ketiga, ada 2 orang yang tidak setuju atas penambahan jumlah satpam menjadi 3 orang, yaitu A dan B. Namun, lagi-lagi usulan ini disetujui karena didukung oleh 5 warga lainnya. Ketika usulan penambahan jumlah satpam dari 4 menjadi 5 orang diajukan, hanya 3 warga saja yang menyetujuinya sehingga usulan tersebut ditolak. Dengan demikian, titik keseimbangan politis tentang jumlah satpam yang akhirnya dipekerjakan untuk mengawasi lingkungan mereka adalah 4 orang per minggu. Besarnya iuran yang harus ditanggung tiap warga adalah Rp200 ribu per minggu. Jika jumlah 4 orang satpam ini dibandingkan dengan jumlah yang lain, maka hasil pemungutan suaranya akan selalu dimenangkan oleh warga yang pro dengan jumlah 4 orang satpam. Hal ini karena jumlah 4 orang satpam adalah keputusan politis yang paling diinginkan (ideal) melalui sistem Aturan Mayoritas. Sebagai bukti, jika diajukan pilihan 4 orang satpam atau 2 orang satpam, maka dengan memperhatikan kurva marginal benefit masing-masing warga, dalam voting A, B dan C akan memilih 2 satpam sedangkan M, F, G, dan H akan memilih 4 satpam. Tabel 8.1: Hasil Pemungutan Suara Penambahan jumlah satpam per minggu 1
2
3
4
5
6
7
Setuju tdk setuju Tdk setuju Tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju
B
Setuju
setuju
C
Setuju
setuju
Setuju
M
Setuju
setuju
Setuju
Setuju
F
Setuju
setuju
Setuju
Setuju
Setuju
G
Setuju
setuju
Setuju
Setuju
Setuju
setuju
tdk setuju
H
Setuju
setuju
Setuju
Setuju
Setuju
setuju
Setuju
Keputusan Setuju
setuju
Setuju
Setuju
Tolak
tolak
Tolak
Warga
A
Tdk setuju Tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju Tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju tdk setuju
Pemilih Menengah (Median Voter) Pemilih menengah adalah pemilih yang keputusan ideal dirinya merupakan median dari keputusan ideal seluruh pemilih yang ikut voting. Pada contoh di atas, M, yang keputusan ideal baginya adalah 4 orang satpam sesuai kurva marginal benefitnya, adalah pemilih menengah. Sedangkan keputusan ideal bagi seluruh warga berkisar dari 1 orang sampai 7 orang satpam. Tiga warga (A, B, dan C) memiliki keputusan ideal yang kurang dari 4 orang satpam sedangkan F, G, dan H memiliki keputusan ideal lebih dari 4 orang satpam.
Dasar-dasar Keuangan Publik
60 Jika marginal benefit dari barang publik bagi seluruh warga didalam contoh berubah, keputusan ideal bagi pemilih menengah akan selalu sama dengan titik keseimbangan politis bila aturan mayoritas diterapkan. Hal yang sama juga akan terjadi bila masing-masing warga kenakan jumlah iuran yang tidak sama. Warga yang keputusan idealnya berbeda dengan keputusan ideal pemilih menengah akan mengkonsumi lebih banyak ataupun lebih sedikit dari yang sesungguhnya mereka inginkan jika mereka dapat menyewa tenaga satpam sendiri-sendiri. Semakian jauh jarak perbedaan antara keputusan ideal pemilih menengah dengan keputusan ideal warga lainnya, maka akan semakin tinggi tingkat kekecewaan terhadap keputusan yang dihasilkan dengan cara aturan mayoritas. Pada contoh kita, warga yang keinginannya untuk memperkerjakan satpam semakin kecil atau semakin besar dari dari 4 orang maka akan makin kecewa dengan hasil keputusan yang dibuat. Dalam hal ini A dan H adalah yang paling kecewa, sedangkan C dan F mungkin tidak terlalu kecewa. Pada kasus ekstrem dimana semua warga memiliki kurva marginal benefit yang sama, maka keputusan yang dihasilkan melalui voting adalah keputusan bulat dimana semua warga menyetujui usulan yang diajukan. Pada kasus ekstrem ini, semua warga adalah pemilih menengah. Dengan demikian, jika ada lebih dari dua kemungkinan keputusan yang dihasilkan dalam suatu pemungutan suara, maka hanya pemilih menengah saja yang keputusan idealnya sama dengan keputusan hasil voting dengan menggunakan Aturan Mayoritas. Pihak-pihak lain selain pemilih menengah akan tetap menerima hasil keputusan voting tersebut meskipun diantara mereka ada yang kecewa. Kekecewaan paling tinggi dialami oleh orang yang keputusan ideal bagi dirinya terletak paling jauh dari keputusan ideal si pemilih menengah. Political Externalities adalah potensi kesejahteraan yang hilang yang dialami oleh voter yang keinginan idealnya berbeda dengan hasil keputusan voting. Dalam contoh diatas, political externalities dialami oleh keenam warga selain M. Political externalities akan hilang jika iuran bagi A, B, C, F, G, dan H disesuaikan sesuai dengan marginal benefit masing-masing warga. Jadi, agar ke-6 warga lainnya setuju memperkerjakan 4 orang satpam maka iuran yang harus A, B, dan C bayarkan harus lebih kecil dari Rp200 ribu per minggu, sedangkan bagi F, G, dan H harus lebih besar dari Rp200 ribu per minggu. Jika keputusan voting dihasilkan dari suara yang bulat, semua orang setuju atau tidak setuju, maka tidak terdapat political externalities. Political transaction cost adalah seluruh pengorbanan, baik waktu, usaha, dan sebagainya, yang diperlukan untuk mencapai suatu kesepakatan. Hal ini adalah faktor yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah sebelum memutuskan untuk mengadakan/ memproduksi sendiri barang/jasa, atau membelinya secara langsung melalui mekanisme pasar. Jika keputusan untuk memproduksi barang/jasa memerlukan kesepakatan bulat atau mendekati bulat dari semua warga, maka political externalities nya akan kecil. Di lain pihak, untuk mencapai keputusan yang bulat diperlukan political transaction cost yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam memilih instistusi politis, masyarakat harus membandingkan antara political externalities dengan political transaction cost nya. Dasar-dasar Keuangan Publik
61 Masalah Pemungutan Suara dengan Aturan Mayoritas Pada contoh kita di atas, political equilibrium yang dihasilkan adalah unik, artinya hanya ada satu yaitu 4 orang satpam per minggu. Bila jumlah 4 orang satpam dibandingkan dengan jumlah yang lain, kemudian dilakukan voting, maka warga yang memilih 4 satpam akan selalu menjadi mayoritas. Pada kasus tertentu, political equilibrium dengan menggunakan aturan mayoritas dapat lebih dari satu. Jika ini terjadi maka penentuan keputusan yang menang dipengaruhi oleh faktor lain diluar dari manfaat dan biaya yang sudah dihitung sebelumnya. Faktor yang dapat mempengaruhi antara lain adalah urutan dalam melakukan pemungutan suara. Agar lebih jelas, penulis coba memberikan contoh kasus dimana tidak terdapat political equilibrium yang unik. Misalkan, ada tiga warga (A, B, dan C) yang hendak menentukan banyaknya penyelenggaraan festival dalam setahun. Setiap penyelenggaraan festival memakan biaya sebesar 200 ribu rupiah. Warga A dikenakan iuran Rp100 ribu per festival, warga B dikenakan Rp75 ribu per festival, dan C dikenakan Rp25 ribu per festival. Ada tiga alternatif yang diajukan oleh warga, yaitu: 1 kali festival per tahun, 2 kali festival per tahun, dan 3 kali festival per tahun. Pemenang voting ditentukan dengan aturan mayoritas sederhana, sehingga yang meraih 2 suara itulah yang menang. Tabel 8.2. memuat informasi mengenai urutan preferensi setiap warga atas alternatif yang diajukan. A adalah orang yang suka pesta, maka pilihan utamanya jatuh pada 3-festival. Semakin jarang festival dilakukan, semakin kecil ia menerima net benefit. Pilihan utama B jatuh pada 1 kali festival, sedangkan pilihan keduanya adalah 3-festival. B adalah orang yang ekstrem. Jika tidak mendapatkan yang paling sedikit, maka ia lebih memilih yang paling banyak daripada yang moderat. C adalah orang moderat yang pilihan utamanya jatuh pada 2-festival. Setiap penambahan maupun pengurangan frekuensi festival akan membuat net benefit yang diterimanya semakin kecil.
Warga A B C
Tabel 8.2: Urutan Preferensi Pilihan 1 Pilihan 2 (utama) 3-festival 2-festival 1-festival 3-festival 2-festival 1-festival
Pilihan 3 1-festival 2-festival 3-festival
Dasar-dasar Keuangan Publik
62 Gambar 8.3: Preferensi terhadap penyelenggaraan festival
Single peak
* Net benefit A
* *
Net benefit B
*
Festival 2
3
Single peak
Multiple peaks
**
* Net benefit B
1
* *
1
Festival 2
3
* 1
Festival 2
3
Single peak
Net benefit C
* * * 1
Festival 2
3
Gambar 8.3 menunjukkan grafik preferensi masing-masing warga atas frekuensi festival yang ditawarkan. Grafik A menunjukkan konsistensi warga A pada net benefit yang semakin besar jika makin sering diadakan festival. Grafik C menunjukkan bahwa C menikmati net benefit tertinggi jika hanya 2 kali saja diadakan festival per tahun. Penambahan maupun pengurangan frekuensi festival membuatnya menerima net benefit yang makin kecil. Namun demikian, sekali penyelenggaraan festival masih lebih baik dibanding dengan tiga kali festival per tahun. A dan C disebut memiliki preferensi tunggal (single-peak preferences) karena hanya mempunyai satu titik optimal atas preferensi yang paling diinginkan. Titik optimal A adalah pada 1 kali festival dan titik optimal C adalah pada 2 kali
Dasar-dasar Keuangan Publik
63 festival. Jika tidak mendapatkan titik optimal tersebut, maka net benefit mereka akan semakin rendah. Dilain pihak, B disebut memiliki preferensi jamak (multiple-peaked preferences) karena ketika tidak mendapatkan preferensi optimalnya maka ia menerima net benefit yang lebih rendah. Namun, jika alternatif yang ditawarkan berlanjut pada arah yang sama, ia akan mendapatkan net benefit yang lebih baik. Pada grafik B, arah alternatif frekuensi yang ditawarkan adalah mulai dari yang paling jarang (1 kali) hingga yang paling sering (3 kali). Titik optimal tertinggi B adalah pada sekali festival saja. Jika B ditawarkan 2 kali festival maka net benefit yang ia terima menjadi lebih rendah. Hal ini terlihat pada garis yang menurun pada Grafik B di atas. Tetapi, bila kemudian diajukan lagi 3 kali festival yang paling sering, maka net benefit B menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Contoh nyata dimana preferensi jamak pernah muncul adalah ketika Amerika melakukan perang melawan Vietnam. Ketika itu, opini yang timbul di masyarakat AS adalah jika ingin perang melawan Vietnam maka harus dengan menggunakan kekuatan penuh, bila perlu menggunakan senjata nuklir agar kemenangan cepat diraih. Jika militer AS tidak diperkenankan menggunakan kekuatan penuhnya, maka lebih baik AS tidak perlu mengirimkan tentaranya ke Vietnam karena hanya akan mengorbankan tentara saja, dengan kata lain tidak ada perang. Jadi, ketika ada 3 pilihan yaitu; 1) perang dengan full power, 2) perang dengan kekuatan sedang, atau 3) tidak perang, maka urutan preferensi di masyarakat adalah nomor 1, kemudian 3, dan terakhir 2.
Fenomena Cycling Pemilihan berpasangan (pair-wise elections) adalah pemilihan yang membandingkan 2 alternatif diantara 3 atau lebih alternatif yang tersedia. Berikut ini akan kita lakukan pair-wise elections untuk setiap alternatif yang tersedia yaitu 1 kali, 2 kali, dan 3 kali festival. Karena hanya ada 3 warga yang mengikuti pemilihan (A, B, dan C), maka alternatif yang meraih 2 suara akan menang, Hasil dari pair-wise elections tercantum dalam tabel 10.3. Pada pemilihan pertama, 1-festival dibandingkan dengan 2-festival. Hasilnya 2-festival menang karena didukung oleh A dan C. Pemilihan berikutnya dilakukan untuk membandingkan antara 3-festival dan 1-festival. Kali ini, 1festival menang karena B dan C mendukungnya. Kemudian, pemilihan terakhir dilakukan untuk membandingkan antara 2-festival dan 3-festival. Pada pemilihan ini 3-festival menang karena hanya C yang menolaknya. Dengan cara seperti ini, voting dengan aturan mayoritas sederhana akan menemui jalan buntu karena setiap alternatif mempunyai kesempatan untuk menang. Dalam 3 kali pemilihan, 2-festival mengalahkan 1-festival; kemudian 1festival mengalahkan 3-festival; tetapi akhirnya 3-festival dapat mengalahkan 2festival. Setiap alternatif mempunyai kesempatan untuk menang tergantung dengan siapa ia dibandingkan. Fenomena ini disebut dengan cycling. Tabel 8.3: Hasil Pemungutan Suara dengan Pemilihan Berpasangan (Pair-Wise) Dasar-dasar Keuangan Publik
64 Pemilihan I 1-festival A B C
2-festival X
X
Total suara Hasil : 2-festival menang
X 2 suara
1 suara Pemilihan II 3-festival X
A B C Total suara Hasil : 1-festival menang
1-festival X X 2 suara
1 suara Pemilihan III 2-festival
A B C Total suara Hasil: 3-festival menang
3-festival X X
X 1 suara
2 suara
Penyebab Cycling Cycling dan tidak adanya political equilibrium dengan menggunakan pairwise election dalam aturan mayoritas, disebabkan oleh adanya preferensi jamak (multiple-peaked preferences). Jika semua voter memiliki preferensi tunggal, maka aturan mayoritas akan mampu menghasilkan political equilibrium untuk setiap isu yang dibahas. Titik equilibrium tersebut akan terletak pada median dari semua voter. Dengan masih menggunakan contoh sebelumnya, akan penulis tunjukkan contoh dimana political equilibrium dapat terwujud jika tidak ada warga yang memiliki preferensi jamak. Kali ini, warga B diganti dengan warga B’ yang memiliki preferensi tunggal. Asumsikan B’ membayar iuran yang besarnya sama dengan B. Urutan pilihan terhadap berbagai alternatif dan grafik net benefit dengan masuknya warga B’ adalah seperti tercantum pada Tabel 8.4 dan Gambar 8.4.
Warga A B C
Tabel 8.4: Urutan Pilihan Berbagai Alternatif Pilihan 1 Pilihan 2 (utama) 3-festival 2-festival 1-festival 2-festival 2-festival 1-festival
Pilihan 3 1-festival 3-festival 3-festival
Dasar-dasar Keuangan Publik
65 Gambar 8.4: Net Benefit Berbagai Alternatif
titik puncak voter C titik puncak
voter B’ *
*
titik puncak voter C
*
Net benefit
*
* *
* * 0 1 2 3 Jumlah festival per tahun
Pada Gambar 8.4 di atas, A dan C masih memiliki preferensi yang sama seperti yang sebelumnya, sedangkan B’ kali ini memiliki preferensi tunggal. B akan menerima net benefit tertinggi jika festival diselenggarakan hanya satu kali saja per tahun. Dengan kondisi ini, kini semua warga memiliki preferensi tunggal dan setiap ada perubahan keputusan diluar preferensi utama akan mengakibatkan menurunnya net benefit yang mereka terima. Median puncak terletak pada 2festival per tahun dan karena C memiliki preferensi utama pada titik ini maka ia adalah pemilih median. Sekarang, mari kita lakukan pair-wise election kembali dengan kondisi seperti di atas. Hasil Pemilihan I dan Pemilihan II berturut-turut masih sama dengan yang sebelumnya, yaitu dimenangkan oleh 2-festival dan 1-festival. Pada Pemilihan III, dengan tidak adanya preferensi jamak maka kali ini dimenangkan oleh 2-festival karena didukung oleh B’ dan C. Dengan hasil ini maka 2-festival akan menjadi political equilibrium karena dapat mengalahkan dua alternatif lainnya yaitu 1-festival dan 3-festival. Walaupun 1-festival dapat mengalahkan 3festival pada Pemilihan II, namun 1-festival akan kalah dalam pemilihan jika dibandingkan dengan 2-festival. Dengan tidak adanya preferensi jamak maka hanya satu political equilibrium yang muncul yaitu milik median voter. Hasil pairwise election tanpa adanya preferensi jamak tercantum pada Tabel 8.5.
Dasar-dasar Keuangan Publik
66 Tabel 8.5: Pair-Wise Election tanpa ada Preferensi Jamak Pemilihan I 1-festival 2-festival A X B’ X C X Total suara 1 suara 2 suara Hasil : 2-festival menang Pemilihan II 3-festival 1-festival A X B’ X C X Total suara 1 suara 2 suara Hasil : 1-festival menang Pemilihan III 2-festival 3-festival A X B’ X C X Total suara 2 suara 1 suara Hasil: 2-festival menang
Metode Pemungutan Suara Simple Majority Rule Misalkan jumlah masyarakat yang mengikuti voting adalah N. Dengan metode simple majority rule, kandidat yang mampu mengumpulkan ( N/2 + 1 ) / N suara adalah pemenangnya. Jika dibutuhkan keputusan yang bulat, maka diperlukan N/N suara yang mendukung keputusan tersebut. Contoh, dengan menggunakan simple majority rule jika ada 100 orang yang mengikuti voting, maka kandidat yang mengumpulkan 51% suara adalah pemenangnya. Bila yang dibutuhkan adalah keputusan bulat, maka kandidat tersebut harus mampu mengumpulkan 100% suara agar bisa jadi pemenangnya. Minority Rule Dengan metode Minority Rule, kandidat atau suatu keputusan dapat dimenangkan walaupun hanya didukung kurang dari setengah peserta yang melakukan voting. Dengan metode ini, risiko munculnya ketidakpuasan akan lebih tinggi dibanding dengan menggunakan majority rule. Ketika setiap keputusan selalu dibuat oleh kelompok minoritas maka hal ini disebut oligarki. Hal yang paling ekstrem dari minority rule adalah ketika suatu keputusan dibuat oleh satu orang saja. Sistem ini dilakukan pada negara yang berbentuk kerajaan atau pada negara yang dipimpin oleh seorang diktator. Pada kasus ini,
Dasar-dasar Keuangan Publik
67 mungkin tidak akan pernah diadakan pemungutan suara, karena keputusan ditentukan sepenuhnya oleh satu orang saja. Plurality Voting Metode Plurality Rule umum dilakukan bila sekurang-kurangnya ada 3 alternatif yang hendak diputuskan. Salah satu kelemahan dari Majority Rule adalah bila lebih dari 2 alternatif untuk diputuskan maka terdapat kemungkinan dimana tidak ada alternatif yang memperoleh suara mayoritas. Contoh, ada tiga alternatif (1, 2, dan 3) yang hendak dipilih salah satunya melalui voting. Bila 32% suara memilih 1, 32% suara memilih 2, dan 36% suara memilih 3 maka tidak ada alternatif yang memperoleh suara diatas 50%. Dengan metode majority rule maka tidak ada pemenangnya. Akibatnya, perlu dilakukan pemilihan ulang yang tentunya akan menambah biaya dan memakan waktu. Dengan menggunakan metode plurality rule, maka kondisi diatas dapat ditentukan pemenangnya yaitu alternatif 3 karena memperoleh porsi suara yang terbanyak (36%) jika dibanding dengan 2 lainnya. Jadi, dengan plurality rule pemenangnya ditentukan oleh alternatif yang memperoleh porsi suara paling besar. Pada metode plurality rule, dimungkinkan suara minoritas untuk menjadi pemenangnya. Pada contoh di atas, alternatif 3 (36%) adalah minoritas jika dibanding dengan alternatif 1 plus alternatif 2 (64%). Hal ini dapat memicu ketidak stabilan karena keputusan tidak didukung oleh suara mayoritas. Point Voting Pada metode point voting, pemilih diberikan sejumlah point (misalkan 10) untuk kemudian dibagi-bagikan ke masing-masing alternatif menurut tingkat kepentingan yang mereka rasakan.Sebagai contoh, perhatikan tabel berikut ini. Alternatif I II III
A 5 3 2
Tabel 8.6: Point Voting B C 2 5 2 5 6 0
D 10 0 0
Total 22 10 8
Misalkan setiap pemilih memperoleh 10 point untuk dibagikan ke masingmasing alternatif. A menganggap alternatif I paling penting, alternatif II kurang penting, dan alternatif III tidak penting. Ia mendistribusikan point ke masingmasing alternatif tersebut sebesar 5, 3, dan 2. hal yang sama dilakukan oleh B, C, dan D. Bila kita perhatikan, A dan D sama-sama menganggap alternatif I penting, namun D memberikan seluruh point nya ke alternatif I tanpa membagi kepada alternatif lainnya. Dengan metode ini, yang jadi pemenangnya adalah alternatif I karena memperoleh point paling banyak. Metode ini mempunyai efek samping yaitu dapat menimbulkan transaksi jual-beli point antar sesama voter. Namun demikian dampak positifnya adalah setiap voter diberi kesempatan untuk memberikan preferensinya ke masing-masing
Dasar-dasar Keuangan Publik
68 alternatif. Walaupun sama-sama menganggap alternatif I penting, D lebih tinggi preferensinya terhadap alternatif ini dibanding oleh A. Instant Runoff Voting Instant runoff voting merupakan penyempurnaan dari majority rule dan plurality rule. Untuk lebih jelasnya penulis berikan contoh sebagai berikut. Ada 4 kandidat ( I s.d. IV) yang akan dicari pemenangnya melalui pemungutan suara yang diikuti oleh 10.000 voter (A, B, C, dst.). Setiap voter diminta untuk memberikan suara dalam bentuk peringkat untuk masing-masing kandidat. Misal, voter D memberi peringkat 1 untuk kandidat III, peringkat 2 untuk kandidat I, peringkat 3 untuk kandidat II, dan peringkat terakhir untuk kandidat IV. Voter yang lainnya juga diminta untuk melakukan hal yang sama sehingga dicapai hasil seperti pada tabel dibawah ini. Kandidat I II III IV
A 1 2 3 4
B 1 3 4 2
Tabel 8.7: Pemungutan suara I C D E 1 2 4 3 3 1 4 4 2 2 1 3
… … … … …
Total 38 4.895 4.894 173
%tase 0,38% 48,95% 48,94% 1,73%
Setelah pemungutan suara, setiap kandidat dihitung perolehan peringkat pertamanya. Ada 38 voter yang memberikan peringkat pertama pada kandidat I, 4.895 voter memberikan peringkat pertama pada kandidat II, 4.894 voter memberikan peringkat pertama pada kandidat III, dan 173 voter yang memberikan peringkat pertama pada kandidat IV. Menurut hasil pemilihan pertama ini, belum ada kandidat yang mencapai suara mayoritas karena kandidat I baru mengumpulkan 0,38%, kandidat II mengumpulkan 48,95%, kandidat III mengumpulkan 48,94% dan kandidat IV mengumpulkan 1,73%. Seandainya pada pemungutan suara I ada kandidat yang memperoleh lebih dari 50% suara maka otomatis dialah pemenangnya dan tidak perlu ada instant runoff. Karena belum ada kandidat yang memperoleh mayoritas, maka dilakukan proses runoff yang pertama. Hal yang harus dilakukan adalah menyingkirkan kandidat yang memperoleh suara paling kecil, yaitu kandidat I, kemudian membagikan porsi suaranya ke 3 kandidat lainnya berdasarkan peringkat. Dari 38 orang yang memilih kandidat I, kita akan melihat bagaimana mereka menyusun peringkat untuk kandidat II, III, dan IV. Sebagai contoh, mari kita perhatikan preferensi A, B, dan C yang memilih kandidat I sebagai peringkat pertama. Karena kandidat I tersisih, maka suara A akan dialihkan ke kandidat II karena ia berada pada urutan 2. Suara B dialihkan ke kandidat IV dan suara C juga dialihkan ke kandidat IV. Setelah dilakukan proses runoff terhadap 38 suara yang memilih kandidat I, misalkan didapat hasil sebagai berikut; 33 suara diberikan kepada kandidat II, 4 suara diberikan kepada kandidat III, dan 1 suara diberikan kepada kandidat IV
Dasar-dasar Keuangan Publik
69 berdasarkan peringkat 2 yang mereka masukkan. Hasil runoff pertama bisa dilihat pada tabel berikut ini. Kandidat II III IV
A 2 3 4
B 3 4 2
C 3 4 2
Tabel 8.8: Runoff Pertama D … perhitungan 3 … 4.895 + 33 4 … 4.894 + 4 1 … 173 + 1
Total 4.928 4.898 174
%tase 49,28% 48,98% 1,74%
Setelah dilakukan runoff pertama, masih belum terdapat kandidat yang memperoleh suara mayoritas. Oleh karena itu perlu dilakukan runoff kedua, ketiga dan seterusnya hingga diperoleh kandidat yang memperoleh suara mayoritas. Berdasarkan tabel di atas, kandidat IV akan tersingkir karena memperoleh porsi suara paling kecil. 174 suara yang memilih kandidat IV kemudian didistribusikan ke kandidat yang tersisa berdasarkan preferensi yang diberikan oleh masingmasing voter. Proses pembagiannya sama seperti yang dilakukan pada runoff pertama. Sebagai contoh, suara D akan dialihkan ke kandidat II karena memiliki urutan berikutnya setelah kandidat IV. Hasil proses runoff kedua dapat dilihat pada tabel berikut.
Kandidat II III
A 2 3
B 3 4
C 3 4
Tabel 8.9: Runoff Kedua D … perhitungan 3 … 4.928 + 17 4 … 4.898 + 157
Total 4.945 5.055
%tase 49,45% 50,55%
Berdasarkan hasil runoff pertama, 174 suara dari kandidat IV yang tersingkir akan didistribusikan ke kandidat II dan III pada runoff kedua. Misalkan, kandidat II menerima limpahan 17 suara dan kandidat III menerima 157 suara. Suara ini kemudian ditambahkan pada jumlah sebelumnya sehingga diperoleh hasil sebagai berikut; kandidat II memperoleh 4.945 suara (49,95%) dan kandidat III memperoleh 5.055 suara (50,55%). Dengan hasil ini maka kandidat III menjadi pemenangnya karena mampu mengumpulkan suara diatas 50%.
Dasar-dasar Keuangan Publik
70
B A B IX KONSEP ANGGARAN ika proses pilihan publik telah selesai, maka pemerintahan yang baru akan dinilai kinerjanya oleh masyarakat melalui paket-paket kebijakan politik, sosial dan ekonominya, termasuk kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal suatu negara secara keseluruhan terangkum dalam laporan anggaran tahunannya yang di Indonesia dikenal sebagai Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Pada masa orde baru, anggaran di Indonesia menganut sistem anggaran berimbang. Pada sistem ini pinjaman luar negeri dimasukkan sebagai unsur penerimaan negara. Sistem ini kemudian dikenal sebagai APBN Berimbang dan Dinamis. Tujuan utama dari diterapkannya sistem ini pada awal orde baru menurut Seda (2004) dimaksudkan mengurangi hyper-inflation yang mencapai 650% akibat adanya kegiatan pencetakan uang terus menerus untuk menutupi defisit anggaran. Dalam beberapa periode lanjut Seda (2004), sistem tersebut cukup efektif mengendalikan inflasi. Seluruh pengeluaran rutin dalam sistem ini diusahakan untuk ditutup dari penerimaan dalam negeri. Sedangkan pinjaman luar negeri digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Selanjutnya secara terus menerus diusahakan agar penerimaan dalam negeri dapat lebih tinggi dari pengeluaran rutin sehingga tercipta tabungan pemerintah yang dapat digunakan sebagai bagian belanja pembangunan. Agar tidak terjadi tambahan inflasi akibat adanya hutang, seluruh nilai hutang dipergunakan untuk kegiatan pembelian barang-barang impor. Sistem ini berlaku sampai dengan tahun 1999. Setelah itu diberlakukan balance budget yang mengakui adanya budget surplus dan budget deficit (dibahas pada subbab berikut).
J
Didalam konsep anggaran perlu dibedakan antara penerimaan versus pendapatan, dan pengeluaran versus belanja. Yang pertama, penerimaan publik tidak selalu berupa pendapatan publik. Karena ada beberapa aktivitas yang mengakibatkan aliran dana masuk yang tidak menambah kekayaan neto negara, seperti penerimaan kembali anggaran pengeluaran yang tidak terpakai. Sedangkan pendapatan publik pasti menyebabkan kenaikan kekayaan neto negara, contoh penerimaan pajak. Berikutnya, pengeluaran publik tidak selalu identik dengan belanja publik. Pengeluaran publik seperti pembayaran pokok hutang akan diikuti dengan pengurangan liabilitas publik sehingga tidak mengurangi kekayaan neto Dasar-dasar Keuangan Publik
71 negara. Belanja publik pasti mengurangi kekayaan neto negara, misalnya pembayaran bunga hutang. Selanjutnya, anggaran adalah suatu rencana keuangan yang merupakan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dimasa yang akan datang. Setiap anggaran belanja menguraikan berbagai fakta yang khusus (spesifik) tentang apaapa yang direncanakan untuk dilakukan oleh unit organisasi yang menyusun anggaran belanja tersebut pada periode waktu yang akan datang. Dalam anggaran, dipaparkan adanya rencana pengeluaran yang didasarkan pada ekspektasi pendapatan. Rencana pengeluaran sebaiknya mengindikasikan juga urutan skala prioritas serta ekspektasi kualitas dan kuantitas layanan.
Balance budget Seluruh rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah biasanya melalui prosedur pembahasan oleh lembaga legislatif untuk disahkan setiap tahun, on-budget. Namun ada sebagian kecil anggaran yang dibiayai dengan dedicated fund tidak dibahas oleh lembaga legislatif setiap tahunnya, dikenal sebagai off-budget. Contoh dari off-budget adalah alokasi dana yang diperuntukkan bagi program pensiun dan tunjangan hari tua. Jika rencana pengeluaran melebihi anggaran penerimaan, maka timbul budget deficit sebaliknya jika penerimaan diproyeksikan dapat lebiih tinggi dari rencana pengeluaraan maka disebut budget surplus. Pada umumnya on-budget mengalami deficit, sedangkan off-budget mengalami surplus. Apabila anggaran disusun dengan mengkonsolidasikan antara on-budget dan off-budget, maka anggaran yang dihasilkan disebut unified-budget.
Jenis-jenis Anggaran Jenis-jenis anggaran meliputi: a. Anggaran belanja line-item (line-item budgeting) Jenis anggaran belanja yang hanya membuat daftar barang-barang atau obyekobyek, disebut anggaran oyek pengeluaran atau anggaran belanja line-item. Anggaran memuat perkiraan dari pengeluaran uang. Pengeluaran tersebut harus jelas maksud dan tujuannya. Apabila dikatakan untuk membeli barang, hal ini adalah sesuatu hal yang masih sangat umum, disebabkan setiap instansi atau Departemen mempunyai kebutuhan barang yang berbeda. Oleh karena itu harus disebutkan secara khusus atau spesifik, yaitu obyek-obyek atau itemitem apa yang akan dibeli dengan uang yang dianggarkan itu. Bila obyek yang ada dalam line-item budget cukup banyak, maka perlu dibuat pengelompokan ataupun penggolongan. Pengolongan barang tersebut misalnya: jasa-jasa kontrak, perlengkapan dan material serta peralatan, tergantung pada kriteria unit atau organisasi yang bersangkutan. Dari pengelompokan barang-barang inilah maka digunakan istilah obyek atau lineitems. Contoh line-item budget adalah sebagai berikut. Jenis Pengeluaran
Jumlah
Dasar-dasar Keuangan Publik
72
•
Pengeluaran Rutin I. Belanja Pegawai II. Belanja Barang III. Subsidi Daerah Otonom IV. Pembayaran Bunga & cicilan Hutang
•
Pengeluaran Pembangunan I. Pembiayaan Rupiah 1. Bunga Kredit Program 2. Bunga Obl. Restrukturisasi Perbankan II. Pembiayaan Proyek
Rp Rp Rp Rp
XXX XXX XXX XXX
Rp Rp Rp
XXX XXX XXX
Rp
XXX
Kelebihan sistem anggaran line-item ialah mudah mengawasi penggunaanya, karena mencantumkan dengan jelas barang-barang atau obyek-obyek di mana uang itu dibelanjakan. Setiap barang atau kelompok barang dibuat daftarnya disertai angka nilai rupiah, sehingga dari catatan tersebut dapat dilihat secara tepat, apakah anggaran belanja itu dipatuhi dengan baik atau tidak. Dengan demikian orang yang bertanggung jawab dalam membelanjakan uang itu mudah diperiksa melalui keharusan mengikuti pengeluaran sebagaimana yang telah direncanakan. Sedangkan kelemahan sistem anggaran line-items adalah sulit menyederhanakan berbagai jenis barang untuk dikelompokkan. Di samping itu, terdapat perbedaan pengelompokan barang-barang antara unit atau organisasi yang satu dengan unit atau organisasi barang yang diperlukan setiap organisasi tersebut dan tidak didasarkan atas perencanaan yang menyeluruh dan berkesinambungan, karena perkiraan kebutuhan untuk masa mendatang tidak dikaitkan dengan maksud dan tujuan yang lebih luas. b. Angaran belanja berprogram (a program budgeting) Suatu anggaran yang berorientasi kepada maksud dan tujuan untuk apa uang dibelanjakan, disebut anggaran berprogram (a program budget). Anggaran berprogram mengelompokan pengeluarannya ke dalam program-program. Penggunaan kata fungsi, kegiatan, atau misi, kadang-kadang diperlukan sebagai pengganti program-program. Dengan kata lain, suatu anggaran belanja yang disusun sesuai dengan tujuan, fungsi-fungsi dan kegiatankegiatan pengeluarannya disebut anggaran berprogram (a program budget). Contoh dari anggaran berprogram yang digunakan dalam menyusun APBN Indonesia Tahun 2005 adalah sebagai berikut. Kode 01 01.01
Nama Fungsi, Sub Fungsi, dan Program PELAYANAN UMUM PEMERINTAHAN LEMBAGA EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF, KEUANGAN DAN FISKAL, DAN LUAR NEGERI
01.01 01
PENYELENGGARAAN PIMPINAN
Jumlah XXX XXX XXX
Dasar-dasar Keuangan Publik
73
01.01 02 01.01 03 Dst.
KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN PENYELENGGARAAN PIMPINAN DEPARTEMEN/ LEMBAGA PEMBINAAN PRODUK LEGISLATIF Dst.
XXX XXX Dst.
Kelebihan sistem anggaran berprogram adalah: 1) Memungkinkan kita membuat daftar prioritas dalam memutuskan kegiatan-kegiatan yang akan dibelanjakan; 2) Lebih informatif, karena dapat diketahui tingkat kepentingan tujuan pembelanjaan itu, bukan perincian yang sempit sifatnya. Dengan anggaran berprogram, kita dapat mengetahui tujuan serta maksud membelanjakan uang tersebut. Kemudian, kita juga dapat menetapkan tingkat prioritas untuk membedakan bahwa program yang satu lebih penting dari program yang lain. Oleh karena itu akan terdapat program yang mendapat dana jauh lebih sedikit dari yang lain, sekalipun ia dianggap fungsi yang lebih penting. Dengan demikian tak cukup kita menggunakan suatu anggaran yang hanya menyebutkan daftar barang-barang yang akan dibelanjakan, sebab suatu program terdiri atas unsur-unsur program, yang merupakan bagian program yang lebih luas. Sedangkan kelemahan anggaran berprogram ialah kurang mengandung arti pengawasan didalamnya, dibandingkan dengan anggaran line-item (line-item budget). Hal ini disebabkan karena dalam anggaran berprogram, anggaran belanja sistem hanya mencantumkan X rupiah untuk belanja yang satu dan Y rupiah untuk belanja yang lain. Misalnya X rupiah untuk kepentingan ketertiban umum, yang tidak jelas obyek-obyeknya, sebab dari arti ketertiban umum itu dapat pula untuk pembangunan prasarana fisik (kantor) yang mewah bagi kepentingan ketertiban umum yang menyimpan dari tujuan yang diharapkan. Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan anggaran berprogram dalam segi pengawasan dan tingkat keluwesan (flexibility) adalah dengan cara mengkombinasikan sifat anggaran berprogram dengan sifat anggaran berdasarkan anggaran line-item. Dengan demikian anggaran berprogram yang mempunyai perincian line-item dikaitkan dengan tujuan dari pada program. Sekalipun demikian dapat disebut anggaran berprogram, disebabkan tidak hanya sekedar mendaftar barang-barang dan jasa-jasa yang akan dibelanjakan, tetapi penyusunan dana itu disesuaikan dengan program-programnya. c.
Anggaran berbasis kinerja (performance budgeting). Anggaran belanja berbasis kinerja (performance budget) dibangun atas anggaran berprogram. Anggaran belanja berbasis kinerja ini hanya menambahkan keterangan berapa banyak jenis pelayanan yang akan disediakan untuk melaksanakan suatu tujuan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
74 Ada dua hal yang harus dilakukan dalam menyusun anggaran belanja berbasis kinerja, yaitu, pertama, harus tersedia ukuran hasil kerja (output) yang realistis, artinya berapa banyak suatu hasil yang dapat dibuat dengan biaya itu. Jelasnya unit ukuran yang digunakan harus menguraikan secara nyata (konkrit) apa yang akan dikerjakan. Kedua, langkah selanjutnya adalah menetapkan dan mengukur suatu tingkat pelayanan yang wajar. Dengan demikian anggaran berbasis kinerja adalah anggaran pelaksanaan yang mencakup kombinasi antara anggaran belanja line-item (line-item budget), anggaran berprogram (program budget), obyek-obyek pengeluaran (seperti persediaan dan bahan), dan data-data hasil kerja. Contoh anggaran belanja berbasis kinerja adalah sebagai berikut. Program: Peningkatan prasarana jalan Kegiatan I: Pembebasan tanah Ukuran hasil: - Panjang lahan yang dibebaskan: 10 kilometer - Biaya pembebasan per kilometer: Rp50.000.000 Jumlah Sub Total Kegiatan II: Pembangunan jalan Ukuran hasil: - Panjang jalan yang dibuat: 10 kilometer - Biaya per kilometer: Rp10.000.000 Jumlah Sub Total Total Biaya peningkatan prasarana jalan
Jumlah
Rp
500.000.000
Rp Rp
100.000.000 600.000.000
d. Zero-based budgeting Tidak seperti kebanyakan proses pengganggaran yang jumlah dan rincian kegiatannya didasarkan atas anggaran tahun sebelumnya seperti dinaikkan atau sama, zero-based budgeting menggunakan paket-paket anggaran. Seluruh program kegiatan pemerintah harus dijustifikasi setiap tahun dengan tidak mendasarkan atas kemiripan kegiatan yang telah selenggarakan tahun sebelumnya. Konsep ini banyak didukung oleh para pemerhati anggaran yang tidak menginginkan adanya pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu oleh pemerintah. Namun dalam prakteknya, konsep penganggaran ini sulit dilaksanakan sehingga tidak banyak digunakan.
Konsep PPBS (Planning Programming and Budgeting System) PPBS dimaksudkan sebagai usaha memperbaiki sistem penyusunan anggaran belanja pemerintah yang telah diuraikan diatas. Dalam membicarakan teori PPBS, dapat dijelaskan melalui konsep-konsep sebagai berikut: Tujuan Sebagaimana telah diuraikan bahwa suatu anggaran belanja yang berencana (planning budget) disusun dengan penentuan tujuan-tujuan. Konsep tujuan sangat penting dalam sistem ini, karena orang ingin mengetahui mengapa suatu kegiatan dilaksanakan, yang merupakan landasan untuk penilaian kegiatan. Disamping itu Dasar-dasar Keuangan Publik
75 dalam sistem anggaran belanja, ditunjukkan hubungan antara cita-cita atau tujuan pemerintah dengan kegiatan pemerintah, yang dikelompokkan menurut tujuannya. Adapun kelebihan penentuan tujuan, ialah: 1) Berguna untuk mengukur efisiensi dan produktivitas dalam pengertian manajemen. 2) Berguna dalam menilai keputusan-keputusan alokasi sumber. 3) Berguna bagi tujuan akhir dari kegiatan-kegiatan sesuatu pemerintahan. Output. Sekalipun belum ada kesepakatan mengenai definisi hasil (output), akan tetapi yang dimaksud disini ialah setiap penyelesaian kerja yang nyata dari seorang karyawan pemerintah adalah hasil (output) pemerintah. Hal ini dapat juga berupa sejumlah formulir pajak yang diproses sampai kepada pembangkit listrik yang menghasilkan sejumlah kilowatt listrik bagi kepentingan masyarakat, Pandangan yang paling umum mengenai hasil dari suatu institusi ialah konsep output yang universal. Konsep output yang universal beranggapan bahwa setiap penyelesaian kerja yang nyata dari suatu karyawan pemerintah dapat dipandang sebagai output. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hasil ialah barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan untuk disalurkan keluar pemerintah. Pengukuran biaya dan manfaat kegiatan pemerintah. Konsep biaya sebagaimana digunakan dalam PPBS adalah bersifat komprehensif (lengkap). Landasan berpikirnya adalah, bahwa dalam menghitung biaya produksi sesuatu produk (manfaat), kita harus melihat secara menyeluruh biaya-biaya langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan secara nyata. Pendekatan sistem anggaran ini adalah mengaitkatkan satu sama lain segala sesuatu yang berhubungan dengan produksi, yaitu semua manfaat dan semua biaya yang harus diperhitungkan. Oleh karena itu PPBS menghendaki agar dalam pengambilan keputusan yang rasional memasukkan biaya kesempatan (opportunity cost) sebagai bagian dari biaya-biaya yang relevan terhadap output. Yang dimaksud dengan biaya kesempatan ialah hilangnya kesempatan untuk membelanjakan uang atau waktu atau sumber-sumber lain untuk suatu alternatif tujuan. Misalnya kegiatan menghadiri rapat akan menghilangkan kesempatan untuk melakukan pekerjaan lain yang memperoleh hasil. Analisis menghitung hubungan antara besarnya input (biaya) dan besarnya output (hasil-hasil yang dicapai) disebut input output analysis. Ukuran efektivitas biaya menunjukkan jumlah hasil-hasil yang dapat dicapai dengan mengeluarkan sejumlah rupiah tertentu. Akan tetapi efektivitas biaya (cost effectiveness) harus dipertimbangkan pula terhadap hasil-hasil dari sudut manfaat biaya (cost-benefits). Untuk itu, disamping mengukur biaya-biaya maupun manfaat menurut nilai sekarang, dibuat juga suatu perbandingan manfaat dan biaya, dimana manfaat-manfaat yang dinyatakan dalam nilai uang dibagi dengan biayaDasar-dasar Keuangan Publik
76 biaya. Jika perbandingan itu lebih besar dari satu (>1) maka simpulannya adalah bahwa proyek tersebut layak, karena manfaatnya melebihi biayanya. Umpamanya :
manfaat Biaya
=
Rp50 juta Rp25 juta
=
2 = 2 (>1) 1
Sebaliknya seandainya rasio itu adalah kurang dari satu (<1), maka simpulannya adalah bahwa proyek itu tidak layak, karena biayanya lebih besar dari pada manfaatnya. Umpamanya :
manfaat Biaya
= Rp25 juta = Rp50 juta
=
1 (<1) 2
Analisis yang terbuka dan jelas Analisis yang terbuka dan jelas merupakan asumsi yang merupakan unsur-unsur kunci dan merupakan prasyarat pokok bagi keberhasilan PPBS. PPBS menitikberatkan pada pertimbangan rasional yang didasarkan atas data dan informasi. Hal ini berarti bahwa semua asumsi yang dipergunakan sebagai dasar pertimbangan harus dibuat dan didukung oleh data atau informasi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Mekanisme analisis data dan informasi harus jelas, sehingga asumsi itu bersifat rasional dan objektif. Objektivitas yang selengkap-lengkapnya barang kali tidak mungkin diperoleh, akan tetapi kecenderungan untuk menutupi atau menyembunyikan data kunci harus dapat dihindarkan. Hal ini disebabkan karena hasil analisis itu mungkin diuji oleh analis-analis lain dan mungkin diulangi lagi dengan menggunakan susunan asumsi yang berbeda.
Siklus Anggaran Kebijakan fiskal pemerintah suatu negara secara ringkas tercermin dalam anggarannya, yang di Indonesia disebut APBN. Istilah APBN yang dipakai di Indonesia secara formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja pemerintah pusat, tidak termasuk anggaran pendapatan dan pelanja pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan milik negara. Penyusunan anggaran negara merupakan rangkaian aktifitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk lembaga legislatif. Peran lembaga legislatif dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan proses penyusunan menjadi lebih demokratis, transparan, obyektif, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum dibahas oleh lembaga legislatif, pemerintah berkewajiban menyusun dan mengajukan rancangan anggaran. Rancangan ini memuat asumsi umum yang mendasari penyusunan anggaran seperti perkiraan penerimaan, pengeluaran, transfer, defisit/surplus, dan pembiayaan defisit, dan kebijaksanaan pemerintah. Selain itu juga dimuat perkiraan terperinci pengeluaran dan penerimaan departemen/lembaga, dan proyek, data aktual dan proyeksi perekonomian, dan informasi terkait lainnya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
77 Proses perjalanan suatu Anggaran yang dimulai dari penyusunan hingga pertanggungjawaban disebut dengan siklus anggaran. Secara umum siklus anggaran terbagi atas empat tahap yaitu: 1. Penyusunan Anggaran (budget formulation), 2. Pengesahan Anggaran (budget enactment), 3. Pelaksanaan dan Pengawasan Anggaran (budget execution), 4. Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Anggaran (budget auditing and assessment), Penyusunan Anggaran Pada umumnya proses formulasi anggaran dilakukan oleh eksekutif yang khusus menangani anggaran negara. Lembaga tersebut biasanya dibawah naungan Departmen Keuangan yang bertugas mengkoordinasikan dan mengorganisasikan usulan anggaran pembiayaan dan pengeluaran dari instansiinstansi terkait, serta mendistribusikannya sesuai urutan prioritas kegiatan dan tersedianya dana. Proses penyusunan dapat memakan waktu hingga beberapa bulan, tergantung kompleksitas struktur pemerintahan yang dilayani. Pada kebanyakan negara, anggaran disusun untuk masa satu tahun. Kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya sering dijadikan landasan penyusunan anggaran tahun berikutnya. Namun hal ini tidak mencerminkan bahwa seluruh kegiatan harus dibiayai secara bertahap. Pemerintah dapat saja melakukan perubahan drastis terhadap beberapa pengeluaran jika dipandang perlu dipilih sebagai reaksi atas perubahan indikatorindikator perekonomian. Beberapa indikator ekonomi yang biasa diikutkan dalam pembahasan anggaran antara lain: ekspektasi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan karakteristik makro ekonomi lainnya seperti harga minyak mentah dunia. Ada tiga cara dalam menyusun anggaran yaitu: 1. Bottom – Up (dari bawah ke atas) Pada cara ini, penyusunan anggaran dimulai dari unit organisasi yang paling bawah kemudian diteruskan secara berjenjang ke unit organisasi yang lebih tinggi. Dalam mengajukan usulan, unit organisasi yang paling bawah harus memperhitungkan besar kecilnya kegiatan yang akan dilakukan. 2. Top – Down (dari atas ke bawah) Cara ini merupakan kebalikan dari cara bottom – up. Pada cara ini, unit organisasi yang paling tinggi menetapkan batas tertinggi (plafond) anggaran yang dapat dibelanjakan oleh unit organisasi yang lebih rendah. Unit organisasi yang telah ditetapkan batas anggarannya tidak boleh melakukan pengeluaran melebihi dari batas tersebut 3. Campuran Cara ini merupakan gabungan dari 2 cara di atas. Pengesahan Anggaran Proses ini dimulai ditandai dengan pengajuan usulan anggaran oleh eksekutif untuk dibahas di lembaga legislatif. Anggota dewan dapat mengundang pihak esksekutif pada waktu pembahasannya, atau memilih untuk mendengarkan Dasar-dasar Keuangan Publik
78 opini publik untuk kemudian diambil keputusan. Hal ini biasa terjadi dikarenakan adanya kemungkinan anggota legislatif yang ditunjuk dalam komisi pembahasan anggaran tidak menguasai kerangka kerja anggaran. Faktor politik juga dapat ikut berperan dalam proses pembahasannya. Kesemua itu tidak mempengaruhi dibutuhkannya legalisasi usulan anggaran oleh dewan legislatif. Anggota dewan berhak menolak usulan anggaran yang diajukan pemerintah. Dalam hal tersebut, beberapa negara memungkinkan anggota dewan menyusun anggarannya sendiri atau memutuskan untuk menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Proses pembahasan selesai setelah usulan anggaran diundangkan atau diamandemen. Pelaksanaan dan Pengawasan Anggaran Proses berikutnya adalah pelaksanaan anggaran yang telah disetujui dewan. Instansi dan departemen terkait, melakukan belanja publik terbatas maksimal sebesar tertera pada anggaran. Sedangkan untuk penerimaan publik diharapkan dapat melebihi atau minimal sama dengan anggaran yang telah disetujui. Untuk mengefektifkan pelaksaaan anggaran, dibutuhkan kegiatan pengawasan. Prosedur pengawasan eksekusi anggaran dapat berbeda di tiap negara. Menteri Keuangan secara terpusat dapat menerapkan kontrol ketat terhadap prosedur aliran dana keluar, memonitor efektifitas alokasi anggaran ke departemen-departemen lainnya, dan memberi persetujuan terhadap pengeluaranpengeluaran yang besar. Atau departemen-departemen dibuat lebih independen dalam realisasi belanja publik. Sedangkan tugas Departemen Keuangan hanya memonitor melalui laporan yang sampaikan oleh departemen-departemen. Pada prakteknya, anggaran tidak dijalankan sama persis dengan jumlah yang disetujui. Beberapa deviasi menyebabkan beberapa pos pengeluaran tidak terealisasi sebagaimana tertera dalam anggaran. Tetapi pertanyaan harus diajukan oleh tim pengawas manakala terjadi perbedaan yang signifikan tetapi tanpa dasar alasan yang dapat diterima. Kemungkinan dari adanya perbedaan yang signifikan adalah adanya penyelewengan kekuasaan oleh lembaga eksekutif. Bisa juga disebabkan oleh tidak efisiennya mekanisme dan kekakuan pelaksanaan teknis realisasi anggaran di lapangan. Pengawasan anggaran secara kelembagaan dibagi dalam 2 bagian yaitu: 1. Pengawasan intern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh unit inspeksi yang betugas melakukan pengawasan di lingkungan departemen yang bersangkutan. 2. Pengawasan ekstern, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pengawasan dari luar departemen. Menurut subyeknya, pengawasan dapat dibagi menjadi: 1. Pengawasan melekat (waskat), yaitu pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya. 2. Pengawasan fungsional (wasnal) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh institusi.
Dasar-dasar Keuangan Publik
79 3. 4.
Pengawasan legislatif (wasleg) yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Legislatif. Di Indonesia, BPK merupakan lembaga tinggi negara yang melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Pengawasan masyarakat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang disampaikan secara lisan maupun tertulis kepada pemerintah.
Menurut caranya, pengawasan dapat dibagi menjadi: 1. Pengawasan langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan on the spot melalui inspeksi, sidak, maupun pemeriksaan. 2. Pengawasan tidak langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan berdasarkan laporan dari pejabat yang bersangkutan, aparat pengawasan fungsional, aparat pengawasan legislatif, atau dari masyarakat. Menurut waktunya, pengawasan dapat dibagi menjadi: 1. Pengawasan sebelum kegiatan dimulai, yang disebut sebagai pengawasan preventif 2. Pengawasan selama kegiatan dilaksanakan, yang disebut sebagai pengawasan represif. 3. Pengawasan setelah kegiatan dilaksanakan, yang disebut sebagai post audit.
Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Siklus terakhir dari anggaran adalah pemeriksaan dan pertanggungjawaban atas efektifitas anggaran khususnya penggunaan pendapatan publik. Jika dimungkinkan, pihak eksekutif harus dapat melaporkan pelaksanaan kebijakan fiskalnya secara lengkap. Agar proses pemeriksaan atas pertanggungjawaban dapat dengan mudah dilakukan. Laporan ini harus diaudit secara reguler oleh badan independen semacam Auditor General (di Indonesia disebut BPK) yang memiliki kapasitas untuk melakukan pemeriksaan yang akurat dan tepat waktu. Fungsi pemeriksaan dari lembaga legislatif tidak dimaksudkan untuk menekan pihak eksekutif atau sekedar mencari-cari kesalahan pejabat publik. Tapi lebih ditekankan pada bagaimana memanfaatkan seluruh kekayaan publik pada porsi yang paling menguntungkan ekonomi negara. Manajemen anggaran modern lebih menekankan pada perlunya sosialisasi dan distribusi informasi mengenai anggaran publik agar lebih dapat ditingkatkan efektifitas dan efisiensi prosesnya.
Masalah Umum Anggaran Setiap siklus anggaran memiliki problem tersendiri. Problem pada fase penyusunan dan pembahasan lebih banyak akibat adanya campur tangan politik. Sedangkan pada pelaksanaan dan pemeriksaan lebih mengarah pada isu-isu manajemen dan akuntansi. Untuk mencapai hasil yang diharapkan, kombinasi konflik antara manajemen dan politik perlu diakomodasi secara memadai. Pada umumnya negara berkembang, problem anggaran yang dihadapi meliputi penentuan asumsi-asumsi ekonomi dan indikator fiskal. Negara-negara
Dasar-dasar Keuangan Publik
80 tersebut seperti halnya Indonesia, menghadapi kerentanan tehadap fluktuasi perdagangan dunia, menentukan jumlah ideal penyerapan pendapatan publik melalui pajak, koordinasi pembangunan terencana dalam jangka panjang serta berkesinambungan. Beberapa permasalahan mungkin diakibatkan oleh faktorfaktor diluar kontrol, akan tetapi banyak juga ketidakefisienan yang disebabkan oleh praktek penyusunan anggaran yang tidak fair. Sebagian anggaran mengalami kebocoran atau penggunaan yang tidak selaras dengan pembangunan perekonomian berkesinambungan. Hal tersebut dapat juga disebabkan oleh lembaga-lembaga legislatif dan pemeriksa yang tidak independen atau tidak mempunyai kapasitas sebagaimana mestinya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
81
B A B X KEBIJAKAN STABILISASI
T
opik ini membicarakan lebih jauh mengenai fungsi utama ketiga dari kebijakan anggaran yang, seperti telah dibahas pada Bab VII, stabilisasi ekonomi. Anggaran, khususnya pengeluaran publik, mempengaruhi tingkat permintaan agregat. Perubahan tingkat permintaan agregat pada akhirnya menentukan kesempatan kerja dan tingkat harga. Mau tidak mau, anggaran akan sangat dikaitkan dengan perilaku perekonomian secara makro dan, pada gilirannya, akan menjadi alat yang cukup efektif untuk mempengaruhi perilaku tersebut. Lebih jauh lagi, kebijakan anggaran juga mempengaruhi tingkat distribusi output total dengan membaginya di antara konsumsi dan tabungan (yang membentuk modal) yang selanjutnya mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Saling keterkaitan inilah yang akan kita simak pada bab ini. Kebijakan fiskal terhadap tingkat permintaan agregrat dalam keadaan dimana terdapat tingkat pengangguran yang tinggi diharapkan lebih berpengaruh terhadap perubahan output riil dibanding pada penyesuaian tingkat harga. Dengan mempertimbangkan bahwa dalam suatu sistem tingkat investasi adalah sesuatu yang given (tidak dapat dipengaruhi) dan apabila tidak ada suatu pemerintahan, maka pendapatan ekuilibrium ditentukan pada tingkat dimana tabungan masyarakat sama dengan investasi. Kebijakan fiskal itu sendiri kemudian dapat digunakan untuk mempengaruhi tingkat investasi, hal ini ditentukan dalam suatu sistem
Model-Model Pengganda dengan Investasi yang Tetap Mari kita mulai dengan model yang paling sederhana di mana konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan. Sementara jumlah atau tingkat investasi dianggap tetap. Investasi akan dianggap sebagai variabel endogen (variabel yang dipengaruhi oleh pendapatan). Penentuan Pendapatan Tanpa Anggaran Sekarang kita akan menyimak bagaimana tingkat pendapatan ekuilibrium ditentukan, pertama-tama tanpa anggaran dan kemudian dengan anggaran. Dasar-dasar Keuangan Publik
82 Penentuan pendapatan dalam bentuknya yang paling sederhana diperlihatkan pada Gambar 10-1 di mana pendapatan diletakan pada sumbu horizontal dan pengeluaran pada sumbu vertikal. C adalah fungsi konsumsi ymg menunjukkan bahwa pengeluaran untuk konsumsi akan meningkat sejalan dengan pertambahan pendapatan. Pengeluaran untuk investasi, yakni I, dianggap konstan dan independen terhadap tingkat pendapatan. Dengan menambahkan I ke C secara vertikal, kita akan memperoleh garis pengeluaran total Y=C+I. Pendapatan ekuilibrium tercapai apabila pendapatan yang diterima pada suatu periode sama dengan jumlah pengeluaran. Nantinya pengeluaran tersebut akan menjadi pendapatan pada periode berikutnya. Dengan demikian, pendapatan ekuilibrium tercapai pada perpotongan garis pengeluaran total (atau C+I) dengan garis 450.
Gambar 10-1 Penentuan Pendapatan tanpa Sektor Publik Perpotongan terjadi dimana pendapatan adalah A. Untuk menjaga tingkat ekuilibrium, pengeluaran harus sama dengan pendapatan sehingga tabungan (atau pendapatan dikurangi konsumsi) harus tertutupi oleh investasi. Jika jumlah output (atau dengan kata lain, pendapatan) melebihi tingkat A, pengeluaran total tidak akan memadai untuk membeli jumlah output tersebut (yakni garis C+I terletak di bawah garis 450), nilai uang meningkat dan tingkat harga menurun. Dengan demikian output serta pendapatan pada akhirnya akan menurun sampai ke A. Di pihak lain, jika tingkat output atau pendapatan berada di bawah A, pengeluaran total akan melampaui tingkat output periode berjalan (yakni, C+I terletak di atas garis 450), nilai uang menurun dan tingkat harga meningkat
Dasar-dasar Keuangan Publik
83 sehingga akhirnya menggeser tingkat output dan pendapatan meningkat sampai ke A. Pada Tabel 10-1, persamaan (1) menunjukkan bahwa pendapatan total sama dengan jumlah konsumsi dan investasi, sementara persamaan (2) menggambarkan fungsi konsumsi. Konstanta a adalah perpotongan garis C pada Gambar 10-1 dengan sumbu vertikal, sedangkan kecenderungan marjinal untuk mengkonsumsi c menunjukkan kemiringannya. persamaan (3) diperoleh dengan mensubstitusi persamaan (2) ke dalam persamaan (1). Pecahan 1/(1-c) adalah apa yang disebut sebagai pengganda (multiplier), dan jumlah konstanta-konstanta (a+I) adalah jumlah yang digandakan (multiplicand). Jika c=0,8, maka penggandanya adalah 5, dan jika a=$50 milyar dan I=$100 milyar, maka pendapatan Y=$750 milyar [($50+$100)*5]. Penentuan Pendapatan dengan Anggaran Sekarang kita masukkan pengeluaran dan penerimaan publik ke dalam sistem tersebut guna melihat bagaimana tingkat pendapatan dipengaruhi oleh berbagai kebijakan anggaran.
Gambar 10.2 Penentuan Pendapatan dengan Pengeluaran Publik Pengeluaran publik Pertama-tama kita masukkan unsur pengeluaran publik G ke dalam sistem kita. Seperti terlihat pada Gambar 10-2. Dengan demikian diperoleh garis pengeluaran total Y=C+I+G. Artinya pengeluaran publik tersebut menaikkan output dari A
Dasar-dasar Keuangan Publik
84 menjadi B. Dengan demikian, masuknya pengeluaran publik bisa digunakan untuk menaikkan pendapatan. Jika pendapatan nasional masih berada di bawah tingkat pendapatan pada kesempatan kerja penuh, pengeluaran publik bisa digunakan untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi, seperti diperlihatkan juga pada persamaan (4) sampai (7) dari Tabel 10-1. Persamaan (4) dan (5) menyatakan kembali persamaan dasar, sedangkan persamaan (6) menghasilkan formula pendapatan yang baru. Pengeluaran publik G akan menjadi bagian dari konstanta yang digandakan. Persamaan (7) yang diperoleh dengan menyajikan persamaan (6) dalam bentuk diferensial, menunjukkan kenaikan pendapatan yang ditimbulkan. Jika C=0,8, kenaikan G sebesat $1 milyar akan menaikkan pendapatan ekuilibrium sebesar $5 milyar.
Gambar 10-3 Penentuan Pendapatan dengan Pajak Lump-Sum Pajak Lump-Sum Selanjutnya mari kita perhatikan peranan pengenaan pajak dalam bentuk lumpsum, yakni pajak dalam suatu jumlah yang tetap, tanpa memperdulikan pendapatan. Dengan menambahkan I dan C, kita mendapatkan C+I dan tingkat pendapatan sebesar A. Sekarang apabila terhadap penerimaan dikenakan pajak, fungsi konsumsi merosot dari C ke C’. Konsumsi menurun sebesar pajak yang dikenakan. Perpotongan garis pengeluaran yang baru, C'+I, dengan garis 450 menjadi lebih rendah dan pendapatan menurun dari A ke D. Konsumen yang menerima pendapatan A setelah membayar pajak akan mempunyai pendapatan
Dasar-dasar Keuangan Publik
85 disposabel sebesar D. Fungsi konsumsi ditentukan melalui C'=a+c(Y-T). Persamaan tersebut menunjukkan konsumsi sebelum pengenaan pajak sekaligus dengan penurunan pendapatan disposabel karena adanya pajak. Dengan demikian baik perubahan pajak maupun perubahan pengeluaran publik bisa digunakan untuk menyesuaikan tingkat pengeluaran yang tentunya juga mempengaruhi tingkat pendapatan serta kesempatan kerja. Pengaruh pungutan pajak lump-sum diperlihatkan pada persamaan (8) sampai (11) dari Tabel 10-1. Pada persamaan (9), pajak dimasukkan ke fungsi konsumsi sementara kecenderungan marginal untuk mengkonsumsi c merupakan pendapatan disposabel, atau pendapatan setelah pajak. Pada persamaan (10) kita melihat bagaimana pajak memperkecil jumlah yang digandakan. Persamaan (11) diperoleh dengan mengubah persamaan (10) ke dalam bentuk diferensial dan melakukan pemecahan untuk ΔT, kita melihat kaitan pajak dengan pendapatan. Dalam tabel 10-1 terlihat, kenaikan pendapatan akibat turunnya pajak untuk setiap dollar lebih rumit dibanding kenaikan pendapatan akibat tambahan pengeluaran publik. Pajak lump-sum tidak mempengaruhi faktor pengganda, tetapi mengurangi jumlah yang digandakan. Karena penambahan pendapatan akibat pengurangan pajak dalam konsumsi hanya sebesar c*ΔT saja. Sisanya tercermin dalam kenaikan tabungan. Dengan alasan yang sama, pengaruh kenaikan pajak terhadap penurunan tingkat pendapatan tidak sebesar penurunan yang diakibatkan oleh berkurangnya pengeluaran publik. Peranan Tunjangan Sosial (transfer) Tunjangan pemerintah atau pembayaran transfer (tranfer payments), yang tentunya berbeda dari dari pembelian pemerintah (G), dapat dianggap sebagai pajak negatif dalam analisis ini. Dengan demikian, tunjangan atau R dapat disubstitusikan terhadap I pada persamaan (11) tetapi dengan tanda yang terbalik, yang menunjukkan bahwa kenaikan R akan bersifat ekspansioner (memperbesar pendapatan). Akan tetapi disinipun perubahan pendapatan yang ditimbulkannya lebih kecil daripada yang ditimbulkan oleh kenaikan G. Alasannya sama, yaitu sebagian dari kenaikan pendapatan disposabel yang berasal dari tunjangan akan tercemin dalam kenaikan tabungan dan bukan dalam konsumsi. Sistem dengan Pajak Penghasilan. Sekarang kita harus beralih ke kasus yang lebih realistis dimana penerimaan pemerintah berasal dari pajak penghasilan bukan dari pajak lump-sum. Pengenaan pajak semacam ini tidak menggeser fungsi konsumsi secara paralel, sebagaimana halnya dengan pajak lump-sum, tetapi bergerak ke bawah dengan tetap berpusat pada titik potong dengan sumbu vertikal yang sama. Pajak bertambah sejalan dengan bertambahnya pendapatan. Karena itu, kemiringan fungsi konsumsilah dan bukan titik perpotongannya yang menurun. Agar pendapatan meningkat maka diperlukan penurunan tarif pajak t seperti yang diperlihatkan pada Gambar 10-4, di mana C adalah fungsi konsumsi sebelum penurunan pajak dan C” setelah penurunan pajak, dimana pendapatan menurun A ke E.
Dasar-dasar Keuangan Publik
86
Gambar 10-4 Pengaruh Pajak Penghasilan Proses ini diperlihatkan pada persamaan (12) sampai (18) dari Tabel 10-1. Perhatikan bahwa cara memperhitungkan pajak ke dalam fungsi konsumsi pada persamaan (13) berbeda dengan cara memperhitungkan pajak lump-sum pada persamaan (9), karena pengenaan pajak penghasilan dalam hal ini menurunkan kecenderungan marjinal untuk mengkonsumsi pendapatan sebelum pajak. Dengan kata lain, hal ini memperkecil faktor pengganda. Kiranya hal ini cukup masuk akal karena T=tY. Dengan naiknya pendapatan, naik pulalah penerimaan pajak, sehingga memperkecil pendapatan disposabel C. Karena itu bisa meniadakan seluruh efek ekspansioner yang ditimbulkan oleh kenaikan G. Jadi, sekiranya c=0,8, tarif pajak t=0,3 akan menurunkan pengganda dari 5 menjadi 2,27. Penambahan G sebesar $1 milyar hanya akan menaikkan Y sebesar $2,27 milyar. Karena itu pengaruh pajak penghasilan dapat menghambat keefektifan dari kenaikan pengeluaran publik. Kenaikan Anggaran Berimbang Setelah menyadari bahwa kenaikan pengeluaran adalah bersifat ekspansioner sementara kenaikan pajak bersifat restriktif (menurunkan pendapatan), kita perlu mempertimbangkan perubahan anggaran berimbang seperti ΔG=ΔT. Artinya tingkat penerimaan publik bertambah sebesar kenaikan pengeluaran publik. Pengganda dalam anggaran berimbang sama dengan 1. Kenaikan berimbang dalam pelaksanaan anggaran mempunyai efek ekspansioner, tetapi hanya satu banding satu. Efek pengganda yang melipatgandakan pendapatan tidak berlaku.
Dasar-dasar Keuangan Publik
87
Tabel 10-1: Penentuan Pendapatan dan Faktor Pengganda Fiskal (Investasi = Konstan) Sistem tanpa sektor publik Y C Y
= = =
Sistem dengan pembelian pemerintah Y = C = Y =
Sistem dengan pajak lump-sum
ΔY
=
Y C Y
= = =
ΔY
=
Sistem dengan pajak penghasilan Y C Y
= = =
C+I a + cY (a + I) 1–c
(1) (2) (3)
C+I+G a + cY (a + I + G) 1–c ΔG 1–c
(4) (5) (6) (7)
C+I a + c ( Y – T) (a + I - cT) 1–c c*ΔT 1–c
(8) (9) (10)
C+I a + c (1 - t)Y (a + I) 1 – c(1-t)
(12) (13) (14)
Sistem dengan pembelian pemerintah dan pajak penghasilan Y = C+I+G C = a + c (1 - t)Y Y = a + I + G) 1 – c(1-t) ΔY = ΔG 1 – c(1-t)
(11)
(15) (16) (17) (18)
Jenis-Jenis lnflasi Sejauh ini kita mengasumsikan bahwa tingkat harga konstan sehingga dampak kebijakan angaran terhadap tingkat permintaan agregat tercermin pada perubahan output dan kesempatan kerja. Tetapi mungkin bukan demikian halnya. Kenaikan pengeluaran agregat mungkin akan tercermin pada kenaikan harga dan bukan pada kenaikan output. Pembangunan yang mengatasi pengangguran besarbesaran dan penggunaan modal yang sangat rendah tidaklah mampu untuk Dasar-dasar Keuangan Publik
88 menyediakan output yang dibutuhkan secara cepat, dan dalam keadaan demikian kenaikan tingkat pengeluaran cenderung tercermin pada kenaikan harga. Karena itu diperlukan kebijakan fiskal yang cermat untuk menghindarkan inflasi sambil menanggulangi pengangguran. Di sini kita melihat bahwa kebijakan yang salah bisa menjadi penyebab inflasi. Di pihak lain, inflasi bisa juga timbul karena hal-hal lain di luar kebijakan stabilisasi. Dalam keadaan demikian kebijakan stabilisasi diperlukan untuk mengatasi inflasi tersebut. Kedua aspek ini akan kita pertimbangkan kemudian. lnflasi Akibat Permintaan (Demand - Pull Inflation) Inflasi yang timbul karena meningkatnya pemintaan bisa disorot dari dua sektor, yaitu sektor anggaran pemerintah dan sektor swasta. •
lnflasi yang Diakibatkan Anggaran Pertama-tama mari kita bayangkan suatu keadaan di mana kebijakan anggaran bisa menjadi penyebab inflasi. Anggaplah perekonomian berada pada tingkat tanpa pengangguran sedangkan pengeluaran publik akan ditingkatkan tanpa menaikkan pajak. Permintaan agregat meningkat dan akibatnya terjadilah inflasi. Untuk memahami bagaimana inflasi tersebut berlangsung kita bisa menyimak kembali model penentuan pendapatan yang paling sederhana di mana kita hanya memperhitungkan konsumsi dan pengeluaran publik, dan diasumsikan bahwa konsumsi sama dengan pendapatan disposable. Mari kita ubah model tersebut ke dalam bentuk yang dinamis dan kita identifikasi periode pada saat mana pengeluaran dilakukan atau pendapatan diperoleh. Kita akan memulainya dengan situasi ekuilibrium pada kesempatan kerja penuh dengan anggaran yang berimbang. Selanjutnya kita mengasumsikan bahwa pemerintah menaikkan pengeluaran publik tanpa menaikkan pungutan pajak; dengan kata lain pengeluaran tambahan tersebut dibiayai dengan anggaran yang defisit. Pada kondisi perekonomian berada dalam kesempatan kerja penuh, seluruh kenaikan pengeluaran menyebabkan penurunan nilai uang yang tercermin pada kenaikan harga.
•
Inflasi yang Ditimbulkan Sektor Swasta Proses yang sama juga bisa terjadi jika pihak swasta mengakibatkan perubahan pemintaan, misalnya berupa kenaikan investasi atau pergeseran fungsi konsumsi ke arah atas. Dan sekali lagi pemerintah melalui instrumen kebijakan fiskal harus mengambil sikap apakah akan membiarkan atau menekan kenaikan harga-harga tersebut.
lnflasi yang Diakibatkan Biaya (Cost-Push Inflation) Sekarang kita akan beralih pada suatu situasi di mana gejolak awal diakibatkan oleh kenaikan biaya secara tiba-tiba oleh faktor luar, seperti kenaikan harga minyak. Kenaikan biaya secara tiba-tiba ini, jika disokong oleh perluasan permintaan, akan mendorong kenaikan harga dan selanjutnya mengakibatkan kenaikan upah, sehingga akan menimbulkan inflasi yang berkelanjutan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
89
Pengharapan yang Rasional Banyak alasan mengapa pelaksanaan kebijakan stabilisasi merupakan tugas yang pelik. Meskipun demikian, analisis makro sampai saat ini cenderung mengarah pada suatu konsensus tentang bagaimana kebijakan harus dilaksanakan dalam keadaan yang serba sulit tersebut. Perdebatan mengenai efektivitas kebijakan fiskal dibanding kebijakan moneter telah menumbuhkan pengakuan bahwa kedua alat tersebut bisa efektif dan harus dipadukan dalam proporsi yang tepat. Teorema tentang Ketidakefektitan Kebijakan Jika harga-harga dan upah secara menyeluruh bersifat fleksibel, perekonomian akan bergerak ke arah ekuilibrium pada kesempatan kerja penuh. Pengangguran memang akan ada, tetapi pada tingkat yang wajar, yaitu bagi mereka yang sedang mencari kerja dan sedang pindah kerja. Di sini tidak diperlukan kebijakan tertentu untuk mempertahankan kesempatan kerja penuh. Jika pemerintah mengumumkan tekadnya untuk menaikkan pengeluaran publik pada tingkat tertentu, semua pelaku ekonomi akan mengharapkan harga untuk naik pada tingkat yang sama. Harga dan upah akan bergerak bersama-sama sehingga nilai riil dari semua faktor pendapatan tidak berubah - sama halnya dengan ilustrasi terdahulu mengenai tingkat inflasi yang mengarah ke keadaan ekuilibrium pada kesempatan kerja penuh. Dalam perekonomian semacam itu, semua perubahan yang diharapkan langsung disesuaikan terhadap ekuilibrium dan sistem itu tidak mungkin berubah dari keadaan tersebut kecuali jika terjadi perubahan mendadak yang tidak diharapkan atau bersifat acak. Anggaplah misalnya; jumlah upah dinaikkan berkat desakan tertentu dari serikat pekerja sedangkan produsen belum mengantisipasi kenaikan biaya ini atau karena itu belum menaikkan harga. Nilai riil dari biaya pekerja meningkat dan pada akhirnya terjadilah pengangguran. Dapatkah ini ditanggulangi dengan kebijakan yang ekspansioner? Jawabnya tergantung pada apa yang terjadi dengan pengharapan. Anggaplah semua pelaku ekonomi memperlihatkan bahwa pemerintah akan mengambil tindakan ekspansioner, misalnya dengan menaikkan jumlah pengeluaran publik untuk mendorong kenaikan harga. Sebagai reaksi, mereka berasumsi semua harga dan upah akan naik. Hasilnya, nilai riil dari biaya pekerja tidak akan berubah. Variabel-variabel riil lainnya dari sistem tersebut, termasuk tingkat kesempatan kerja, tidak akan terpengaruh oleh kebijakan tersebut. Hal ini tidak efektif. Kebijakan akan dapat mempengaruhi sistem dalam nilai riil hanya jika tindakan tersebut tidak dapat duga dan karena itu itu tidak diantisipasi oleh pelaku perekonomian. Tetapi kebijakan yang dianggap layak cenderung merupakan hal yang dapat di pekirakan sebelumnya, sedangkan kebijakan yang bersifat acak belum tentu merupakan suatu tindakan yang tepat. Pemikiran ini didasarkan pada asumsi (1) bahwa perubahan kebijakan diantisipasikan dan (2) bahwa antisipasi tersebut mendorong dilakukannya penyesuaian sesegera mungkin tanpa adanya kesenjangan dalam sistem Dasar-dasar Keuangan Publik
90 perekonomian. Jika antisipasi itu tidak sempurna atau jika kesenjangan terjadi, tindakan ekspansioner bisa mendorong kenaikan pemintaan melebihi kenaikan biaya sehingga memperbesar kesempatan kerja. Karena itu teorema yang menyatakan ketidakmungkinan di atas akan tergantung pada validitas empiris dari asumsi (1) dan (2). Karena ketidaksempumaan kita untuk memperkirakan masa mendatang dan dengan adanya keterpakuan dan ketidakluwesan, maka teorema ini tidak bisa dianggap sebagai suatu penilaian yang realistis atas keampuhan dari kebijakan. Dalam dunia nyata, kebijakan stabilisasi, meskipun sukar, namun bisa efektif. Tentu saja antisipasi mengenai pembahasan kebijakan serta kredibilitas dari pengumuman mengenai kebijakan yang diambil akan mempercepat tercapainya hasil yang diharapkan kebijakan tersebut dan memperbesar keefektifannya. Keseimbangan Menurut Paham Ricardo Dalil kedua mengenai pengharapan yang rasional dilandaskan pada pilihan antara pembiayaan dengan pajak atau pembiayaan dengan pinjaman. Pada pembahasan sebelumnya kita telah melihat bahwa kedua kebijakan itu berbeda. Kenaikan pengeluaran publik lebih ekspansioner jika dibiayai dengan pinjaman daripada dengan pajak. Efek crowding out terhadap investasi (dengan mengasumsikan jumlah uang yang beredar konstan) mengurangi efek ekspansioner dari pembiayaan dengan anggaran defisit, tetapi tetap lebih besar jika dibanding dengan pembiayaan melalui pajak. Pendekatan dengan pengharapan yang rasional mempertanyakan apakah memang demikian kenyataannya? Individu yang rasional, jika dihadapkan pada penambahan anggaran yang dibiayai secara defisit, menyadari bahwa pada masa mendatang pajak pasti dinaikkan guna membayar beban bunga dan tambahan hutang. Dia akan menghitung nilai sekarang dari kenaikan pajak masa mendatang tersebut. Nilai sekarang itu sama dengan jumlah yang harus dibayar sekarang jika kenaikan anggaran dibiayai dengan pajak. Pada kedua kasus tersebut terjadi pengurangan nilai bersih dalam jumlah yamg sama. Karena itu, pembiayan dengan pajak atau pinjaman mempunyai efek ekonomi yang seimbang - yaitu bahwa konsumen yang rasional, jika berada dalam posisi yang sama pada kedua kasus tersebut, akan bereaksi dengan cara yang sama tanpa memperdulikan apa pun metode pembiayaan yang dipilih. Karena itu, tidak perlu rasanya mempersoalkan metode mana yang dipilih. Dampak penurunan bukanlah merupakan masalah, begitu juga halnya dengan, bauran kebijakan yang semestinya. Tetapi, keseimbangan menurut Paham Ricardo ini (Ricardian Equivalence), yang mengabadikan nama seorang ekonom klasik yang terkenal yaitu Bapak David Ricardo, juga dilandasi oleh asumsi yang tidak realistik. Hampir tak bisa dibayangkan bahwa para konsumen akan mengantisipasikan konsekuensi masa mendatang dari pembiayaan dari pinjaman yang dilaksanakan saat ini. Pemberi pinjaman dan pembayar pajak bukanlah orang ymg sama, undang-undang pajak masa mendatang dan distribusi beban mereka tidaklah pasti, dan tambahan pembayaran bunga mungkin juga akan dibiayai dengan pinjaman lain. Lebih jauh lagi, nilai dari hutang di masa mendatang mungkin juga menurun karena inflasi. Dasar-dasar Keuangan Publik
91 Semua faktor ini menunjukkan bahwa mustahil kiranya setiap orang akan memberikan reaksi yang sama bagi pembiayaan dengan pajak dan pembiayaan dengan pinjaman sehingga tidak ada pengenaan efek kebijakan terhadap tingkat permintaan agregat atau terhadap pembagian output di antara konsumsi dan investasi. Sebagai contoh nyata, defisit besar-besaran pada tahun 1980-an di AS justru disertai oleh tingkat tabungan perorangan yang rendah, bukan tingkat tabungan yang tinggi seperti yang dihipotesiskan oleh pengharapan yang rasional.
Dasar-dasar Keuangan Publik
92
B A B XI PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN euangan publik memainkan peranan penting dalam perekonomian negara. Sejumlah kesulitan yang mengganggu kemajuan ekonomi suatu negara harus dipecahkan oleh sektor publik; namun masalah kelembagaan dan sosial yang dihadapi oleh suatu negara dapat memperpelik dan membatasi tugas kewenangan dalam menetapkan kebijakan anggaran dan stabilisasi. Karena itulah masalah-masalah pembiayaan pembangunan perlu dibicarakan secara khusus dan terpisah.
K
Unsur-Unsur Pembangunan Persyaratan yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di negaranegara berpendapatan rendah termasuk dalam rangka kelanjutan pertumbuhan perekonomiannya sama halnya seperti persyaratan yang diperlukan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negara yang relatif sudah maju. Namun di luar itu, masih banyak persyaratan lain yang diperlukan. Untuk mencapai pertumbuhan, tidak cukup hanya dengan cara penyediaan modal pembangunan (yang meliputi investasi fisik dan investasi sumber daya manusia) serta proses teknologi yang diperlukan, tetapi juga diperlukan sejumlah perubahan sosial dan kelembagaan yang merupakan sebab dan akibat dari tingkat pembangunan perekonomian yang masih rendah. Dalam hal ini, sektor publik memegang peranan penting terhadap semua unsur pembangunan ini. Besarnya Sektor publik dan Pendapatan per Kapita Sebagaimana telah di ulas pada bagian terdahulu mengenai perkembangan sektor publik di negara-negara maju, sektor publik cenderung tumbuh sejalan dengan pertumbuhan pendapatan. Gambaran semacam itu yang terdapat baik pada negara berpendapatan tinggi maupun rendah. Pembentukan Modal Pembangunan Persyaratan fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertambahan penduduk.
Dasar-dasar Keuangan Publik
93 Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan secara luas sehingga mencakup semua pengeluaran yang sifatnya menaikkan produktivitas. Bisa saja hal itu berupa investasi di sektor publik dan swasta. Pada tahap-tahap awal pembangunan, khususnya investasi pemerintah dalam bentuk infrastruktur, sangatlah penting karena hal itu menjadi kerangka persiapan bagi investasi manufaktur pada tahap berikutnya, entah itu oleh pemerintah (di negara-negara sosialis) atau oleh swasta (dalam perekonomian pasar bebas). Lebih jauh lagi, pembentukan modal pembangunan meliputi investasi pada sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan pelatihan (training) seperti halnya investasi dalam bentuk fisik. Terdapat berbagai cara penggunaan sumber daya untuk meningkatkan produktivitas, dan perpaduan berbagai cara tersebut harus ditentukan dalam proses perencanaan pengeluaran dan sumber daya. Lebih jauh lagi, prioritas akan selalu berubah, demikian juga dengan bauran investasi yang optimum. Untuk sementara waktu kita akan mengabaikan perencanaan masalah investasi dan memusatkan perhatian pada dari mana kita akan memperoleh sumber daya tambahan untuk investasi tersebut. Jika sumber daya yang terbengkalai tidak bisa dimanfaatkan atau jika sumber daya tambahan tidak dapat diperoleh dari luar negeri, maka konsumsi periode berjalan harus dikurangi agar sumber daya bagi investasi tersedia. Sampai pada tingkat tertentu, mobilisasi sumber daya yang terbengkalai pasti masih memungkinkan. Misalnya, banyak negara berpendapatan rendah mempunyai sedemikian banyak tenaga kerja yang terbengkalai dan lapangan kerja bagi mereka bisa tersedia hanya dengan usaha pembangunan yang sangat sederhana seperti pembangunan drainase, irigasi, jalan, dan bendungan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah hanya perlu berperan sebagai pengorganisasi bagi pemanfaatan sumber daya. Tetapi dilain pihak, sumber modal pembangunan semacam ini mempunyai keterbatasan tersendiri dan penyediaan lapangan kerja bagi para pengangguran mungkin akan memerlukan investasi pendukung tertentu. Kemungkinan lain adalah dengan mengusahakan sumber daya investasi dari luar negeri dalam bentuk pinjaman dan bantuan pemerintah atau sebagai investasi swasta. Akan tetapi, semua itu tentunya tidak akan mencukupi, dan walau bagaimanapun juga bantuan tersebut tidak akan diperoleh tanpa adanya usaha pendukung dari negara bersangkutan. Para investor swasta dari luar negeri, sebagaimana halnya dengan investor domestik, memerlukan investasi yang memadai dalam bentuk infrastruktur dan bantuan pemerintah baru akan diberikan jika telah ada rencana pembangunan yang dirumuskan dengan baik. Hal ini akan mencakup ketentuan mengenai peningkatan investasi domestik yang sebagian besar dibiayai dengan pajak. Selanjutnya, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu masalah besar adalah bagaimana mengalihkan sebagian konsumsi periode berjalan untuk digunakan sebagai sumber daya pembangunan. Pada perekonomian yang dikendalikan secara terpusat di mana badan usaha milik negara memegang dominasi, pengalihan ini dapat dilakukan dengan menahan sebagian hasil pengembalian (returns) yang dibayar kepada faktor produksi sehingga pembayaran lebih kecil Dasar-dasar Keuangan Publik
94 dari hasil produk marjinal. Tetapi pada perekonomian yang didesentralisir, pembentukan modal dari hasil internal pasti akan berasal dari tabungan pemerintah atau swasta. Dalam kadar tertentu, jika keadaan cukup mendukung, kenaikan tingkat tabungan bisa terjadi secara sukarela di sektor swasta. Di sinilah diperlukan suatu usaha pemerintah untuk menjaga stabilitas moneter sehingga kebiasaan menabung tidak diredupkan oleh inflasi yang tak berkesudahan. Di samping itu pemerintah juga bisa berperan dalam penyediaan dan pembentukan lembaga keuangan yang cocok guna menarik tabungan rumah tangga dan menggunakannya secara produktif. Usaha terakhir ini sangat penting bagi para penabung kecil karena bagi mereka umumnya tidak tersedia sarana penabungan perorangan selain daripada meminjamkannya dengan risiko tinggi atau dengan menukarnya dengan barang berharga seperti logam mulia. Dalam kondisi ini, perpajakan akan sangat berperan untuk memberikan insentif bagi tabungan atau disinsentif bagi konsumsi barang-barang mewah. Tabungan perusahaan juga dapat dirangsang melalui sistem penarikan pajak laba usaha yang mendorong ditahannya dan diinvestasikannya kembali laba usaha. Tabungan swasta secara sukarela, meskipun bermanfaat dan penting, tidak mungkin akan cukup, khususnya pada tahap awal pembangunan.
Kebijakan Struktur Perpajakan Kapasitas Kena Pajak dan Upaya Perpajakan Walaupun merupakan suatu hal yang esensial untuk mengetahui berapa tingkat penerimaan pajak yang diperlukan guna menjamin tingkat pertumbuhan tertentu, namun kelayakan tingkat pengenaan pajak itu sendiri merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan dalam menentukan target pertumbuhan. Dalam hal ini, kebijakan perpajakan harus dipertimbangkan secara bersama-sama dengan aspek-aspek lain dari kebijakan pembangunan, tetapi hal itu tidak bisa dianggap sebagai variabel dependen di dalam sistem tersebut yang berubah secara otomatis sesuai dengan pengenaan pajak yang diperlukan. Jika demikian, bagaimana kita dapat menilai kemampuan membayar pajak dari suatu negara dan bagaimana kelancaran pembayaran pajak dapat diukur? Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa besarnya sektor publik di negaranegara maju tidak hanya berkembang sejalan dengan pendapatan per kapita, tetapi kenaikan pendapatan per kapita juga disertai dengan kenaikan persentase sektor publik dalam GNP. Pada kenyataannya persentase sektor publik jauh lebih kecil pada negara-negara berpendapatan rendah sebagai suatu kelompok, tetapi tidak terlihat adanya suatu hubungan yang mencolok di dalam kelompok tersebut. Pola yang sama juga akan kita jumpai sehubungan dengan rasio penerimaan pajak terhadap GNP. Rasio penerimaan pajak terhadap GNP di negara terbelakang cenderung sangat rendah, yaitu berkisar dari 8 sampai 18 persen. Di negara-negara Amerika Latin rasio umumnya adalah sekitar 14 persen, dan di beberapa negara sampai 8 persen. Rasio pada negara-negara di Asia dan Afrika dengan pendapatan per kapita yang serupa cenderung lebih tinggi. Sementara rasio semacam itu di negara-negara maju adalah 40 persen atau lebih. Dasar-dasar Keuangan Publik
95 Mengapa upaya perpajakan (tax effort) di negara-negara berkembang sedemikian rendah, dan benarkah rasio yang rendah itu pada kenyataannya menandakan upaya perpajakan yang rendah? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita mengartikan upaya perpajakan itu. Lembaga pemberi pinjaman internasional mungkin saja mensyaratkan agar bantuan yang diberikan dibarengi dengan upaya perpajakan yang sepadan dengan negara penerima bantuan. Dengan demikian lembaga itu mungkin akan menuntut agar pada negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi terdapat rasio penerimaan pajak yang tinggi guna menunjukkan keselarasannya dengan upaya perpajakan. Negara berpendapatan rendah menghadapi keterbatasan dalam mentransfer sumber daya untuk digunakan pemerintah. Pada tingkat pendapatan per kapita yang sangat rendah, semua pendapatan pribadi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti pangan, sandang, dan papan. Sekiranya dana pemerintah tidak dimaksudkan untuk menyediakan kebutuhan hidup yang samasama mendasar (misalnya program kesehatan) maka penggunaan dana tersebut akan menimbulkan beban berat yang tidak sepatutnya. Tetapi asumsi ini tidak berlaku jika distribusi pendapatan sangat timpang yang mana akan mengakibatkan besarnya konsumsi barang-barang mewah. Keadaan ini sangat perlu diperhatikan sebagai sumber penerimaan yang potensial. Terlepas dari tingkat dan distribusi pendapatan, adanya penanganan pajak akan selalu berkaitan dengan struktur perekonomian suatu negara. Dengan demikian, pengelolaan pajak penghasilan akan jauh lebih sulit jika semua lapangan kerja terdapat pada perusahaan-perusahaan kecil. Penarikan pajak laba tidaklah layak sebelum praktek akuntansi mencapai standar minimal, dan hal ini sulit tercapai jika perusahaan-perusahaan yang ada berukuran kecil dan tidak stabil. Pajak produk tidak bisa dikenakan pada tingkat pengecer jika perusahaan pengecer kecil dan tidak permanen. Pengenaan pajak tanah yang efektif sukar dilaksanakan jika hasil pangannya dikonsumsi sendiri, sektor pertanian belum terukur dengan nilai mata uang, dan survai pertanahan belum memadai untuk menghasilkan penilaian yang semestinya. Di pihak lain, pengenaan pajak sangat sederhana pada perekonomiam yang sangat terbuka di mana impor dan ekspor berlangsung melalui pelabuhan-pelabuhan utama dan terbuka bagi petugas fiskus. Akhirnya, kelayakan pengenaan pajak tergantung juga pada kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, dukungan pengadilan terhadap penegakan peraturan perpajakan, dan ketersediaan petugas fiskus yang mampu dan jujur. Pemberian jasa pungut pajak (tax farming), yaitu sistem di mana kepada para pemungut pajak diberikan persentase tertentu sebagai insentif, hanya bisa diandalkan untuk sementara waktu saja, demikian juga halnya dengan penetapan kuota pajak bagi para petugas pajak. Meskipun demikian, dengan cara-cara semacam ini pun tidak akan tercipta struktur perpajakan yang mapan dan adil. Karena alasan ini dan alasan-alasan lainnya, maka penilaian yang realistis atas upaya perpajakan (tax effort) harus memperhitungkan penanganan pajak (tax handles) yang tersedia untuk itu. Dengan demikian, ukuran komparatif atas upaya perpajakan dapat diperoleh dengan membandingkan rasio aktual dari penerimaam terhadap GNP pada suatu negara tertentu dengan rasio yang Dasar-dasar Keuangan Publik
96 seharusnya diperoleh, dengan melihat respon pada umumnya terhadap penanganan yang tersedia. Pengembangan Struktur Perpajakan Masalah perencanaan dan pengelolaan perpajakan akan berbeda-beda sesuai dengan struktur perekonomian suatu negara dan sikap masyarakat terhadap perpajakan. Perbedaan juga akan timbul sebagai akibat tahap-tahap pembangunan ekonomi, dan sejumlah ciri struktur perpajakan yang lazim ditemukan dalam kaitannya dengan pendapatan per kapita dapat diamati. Pajak akan berperan besar terhadap perdagangan luar negeri (terutama bea) dan pajak atas produksi dan penjualan domestik untuk negara-negara berpendapatan rendah. Dengan naiknya pendapatan per kapita, peranan pajak penghasilan pun makin meningkat relatif terhadap bea demikian juga terhadap pajak penjualan dan produksi domestik. Peranan pajak upah juga makin penting dengan naiknya pendapatan per kapita. Selain itu terdapat fenomena menarik yang menyatakan bahwa pajak yang sering diklasifikasikan sebagai pajak penghasilan di negara miskin sering kali jauh berbeda dari pajak penghasilan perorangan di negara maju. Sejalan dengan itu, pajak penghasilan usaha sering kali lebih mirip dengan pajak penjualan daripada dengan pajak laba sebagaimana kita temukan di negara-negara maju dan sebagainya. Pajak Penghasilan Perorangan Pajak penghasilan perorangan tidak mungkin dan tidak dapat diharapkan untuk menduduki posisi sentral dalam struktur perpajakan pada Negara sedang berkembang dan begitu juga umumnya di negara-negara maju. Meskipun demikian, pajak penghasilan harus ditata dengan baik sejak dini dan ditingkatkan selama berlangsungnya pembangunan. Pajak ini bersifat elastis terhadap pertumbuhan GNP dan karena itu bisa menjadi sumber penerimaan yang cukup besar untuk pembiayaan pembangunan. Kontribusi pajak penghasilan perorangan di negara-negara Amerika Latin lazimnya berkisar 20 persen dan karena itu merupakan bagian yang besar dari penerimaan pemerintah, perusahaan asing, dan kelompok perusahaan domestik besar yang jumlahnya sangat kecil. Karyawan perusahaan kecil dan sebagian besar masyarakat yang mengelola usaha sendiri, khususnya di sektor pertanian, pada umumnya masih di luar jangkauan pajak penghasilan. Di satu sisi hal ini akan mencerminkan tingkat pembebasan pajak yang ditetapkan relatif tinggi jika dikaitkan dengan pendapatan rata-rata, tetapi hal itu juga merupakan akibat dari upaya pengelolaan yang tidak aktif. Pemungutan pajak penghasilan atas modal bahkan lebih sukar lagi. Prinsip penghitungan pajak sendiri (self assessment) seperti diterapkan di Indonesia tidak berjalan lancar. Penghitungan pajak oleh para petugas sering kali didasarkan pada negoisasi dan bukan ditetapkan secara objektif, dan pembayaran akhir sangat banyak yang terlambat. Penggunaan sistem pemungutan pajak oleh orang lain (witholding) bisa mempercepat pemungutan pajak dan hal itu sangat baik, tetapi penerapannya sangat terbatas pada jenis upah dan gaji tertentu saja sehingga lebih Dasar-dasar Keuangan Publik
97 mudah dilaksanakan. Keterlambatan pembayaran pajak atas pendapatan modal merupakan keuntungan besar khususnya jika hukumannya tidak sebanding dengan suku bunga dan nilai hutang pajak tersebut semakin menurun akibat inflasi. Meskipun tidak tersedia estimasi yang andal, namun bisa dikatakan bahwa pendapatan kena pajak akan benar-benar dicapai bila peraturan perpajakan dijalankan secara ketat. Tidak ada satu obat mujarab untuk mengatasi kesulitan ini kecuali dengan menerapkan wajib pungut pajak, penjatahan jumlah wajib pajak bagi setiap petugas (khususnya wajib pajak berpendapatan tinggi), komputerisasi dan penanganan terpusat atas surat pemberitahuan pajak, diharuskannya perusahaan dan bank menyampaikan informasi tentang pembayaran bunga dan pembayaran deviden, pengurangan keterlambatan penafsiran, dan hukuman yang lebih tinggi bagi pembayaran yang tertunda semuanya bermanfaat Namun semua itu tidak akan mencukupi kecuali jika badan pengadilan mendukung penuh penegakan peraturan perpajakan. Inilah prasyarat utama yang kerap kali sukar untuk dipenuhi oleh negara-negara berkembang dalam konteks budaya dan politik. Lebih jauh lagi, pengelolaan pajak penghasilan diperparah oleh masalah inflasi. Tidak jarang negara-negara berkembang menghadapi inflasi puluhan bahkan ratusan persen per tahun. Hal itu, misalnya telah dialami Cili dan Brasil selama bertahun-tahun. Guna menghadapinya, badan perpajakan bisa menaikkan tingkat pembebasan dan kelompok tarif secara otomatis setiap tahunnya sejalan dengan naiknya harga-harga, sehingga hubungan antara tarif marjinal dan pendapatan riil dipertahankan konstan. Akibatnya, pengaruh inflasi terhadap perpajakan dinetralisir, tetapi peredaran inflasi secara melekat melalui pajak penghasilan progresif akan melemah. Masalah keuntungan modal, terutama dalam kaitannya dengan tanah dan bangunan, sangat penting bagi negara-negara berkembang di mana urbanisasi yang pesat akan menaikan nilai tanah sebagaimana dialami Amerika Serikat pada akhir abad sembilan belas sesuai dengan pengamatan Henry George dan juga terjadi di Indonesia terutama di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, pajak atas keuntungan modal bagi real estate, yaitu bangunan dan tanah, dikelola sebagai suatu jenis pajak tersendiri. Pajak Penghasilan Perusahaan Masalah yang pelik akan timbul dalam pengenaan pajak penghasilan perusahaan, entah itu berupa pajak laba perseroan atau pajak persekutuan dan perusahaan perseorangan yang dikenakan menurut pajak penghasilan perorangan. Bila akuntansi perusahaan belum begitu maju sehingga belum bisa mengukur laba dengan cukup akurat, metode lain harus digunakan. Banyak negara menggunakan taksiran dan bukan pendekatan langsung guna menentukan laba. Caranya adalah dengan menaksir marjin laba atas penjualan di mana terdapat marjin yang beragam untuk berbagai industri. Metode ini, yang digunakan secara luas di negara-negara Asia, yang mana akan mengubah bentuk pajak laba menjadi
Dasar-dasar Keuangan Publik
98 semacam pajak penjualan. Hal ini terjadi karena kewajiban pajak menjadi fungsi dari penjualan dan marjin tersebut merupakan taksiran dan bukan aktual. Dalam keadaan lain, laba taksiran didasarkan pada patokan tertentu seperti luasnya lantai atau ruang kerja dan lokasi pada wilayah perkotaan. Ini juga merupakan praktek yang bisa ditemukan pada tradisi perpajakan Eropa, khususnya sehubungan dengan pendapatan profesional. Dalam hal pertanian, luasnya lahan atau jumlah ternak bisa digunakan sebagai dasar taksiran. Serentak dengan itu, pembayar pajak yang setia perlu diberi penghargaan, sementara yang bandel diberi hukuman. Proses perbaikannya harus bertahap dan tidak bisa bergerak lebih cepat dari perbaikan metode akuntansi. Para pembaharu pajak sering menyepelekan perbaikan teknik penaksiran pajak terhadap perbaikan teknis dalam pemajakan perseroan, padahal hal terakhir ini tidak begitu penting bagi negara yang sedang berkembang. Lebih jauh lagi, bentuk hukum dari badan-badan usaha sering kali berbeda. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, hukum Eropa daratan lebih berperan daripada tradisi common law (hukum Inggris), sedangkan di negaranegara Asia sistem hukum kebendaan yang sangat berbeda bisa diterapkan; dan praktek yang cocok bagi suatu negara seperti Amerika Serikat mungkin tidak dapat diterapkan di Negara sedang berkembang dengan mengingat tradisi dan tingkat pembangunannya saat ini. Pajak Tanah Satu pertanyaan mendasar dalam pajak atas tanah adalah apakah pajak tersebut harus dikenakan atas nilai tanah, atas pendapatan aktual, atau atas pendapatan potensial yang bisa dihasilkan tanah tersebut jika dimanfaatkan secara penuh. Dalam sistem persaingan sempurna, ketiga dasar tersebut akan bisa saling dipertukarkan karena nilai tanah akan sama dengan nilai pendapatannya yang dikapitalisasi, dan pendapatan aktual akan sama dengan pendapatan potensial. Dalam kenyataan, tidak demikian halnya. Tanah sering kali tidak dimanfatkan secara penuh dan ditahan untuk tujuan spekulatif atau ditahan sesuai dengan adat istiadat setempat. Pasar atas tanah mungkin tidak tersedia dan nilai jualnya saat ini tidak bisa diperoleh. Dengan demikian, ketiga dasar tersebut akan memberikan nilai yang sangat berbeda. Pajak penghasilan jarang diterapkan secara efektif ke sektor pertanian sehingga pendapatan dari tanah sering kali merupakan gabungan dari pajak penghasilan dan pajak atas tanah, yang meliputi tidak hanya penyewaan atas tanah tersebut tetapi juga peningkatan nilai atas tanah. Pajak Kekayaan dan Pajak atas Bumi dan Bangunan Disamping penerimaan dari tanah, penarikan pajak atas real estate dan pertokoan juga menjadi dasar pengenaan pajak yang penting, khususnya selama berlangsungnya urbanisasi. Ada baiknya jika hal tersebut di atas dikenakan pajak progresif atas tempat hunian, yang mengabungkan pajak atas sejumlah rumah dalam satu dasar pengenaan pajak guna melengkapi sistem penarikan pajak komoditas atas konsumsi barang-barang mewah di samping terhadap perumahan. Di luar semua ini, pajak kekayaan atas harta benda bersih jarang ditemukan dalam struktur perpajakan di Negara sedang berkembang. Meskipun pajak semacam ini Dasar-dasar Keuangan Publik
99 pada akhirnya akan lebih kecil dari pada pajak bumi dan bangunan, karena banyaknya harta tak berwujud yang tidak termasuk dalam dasar pengenaan pajak, namun jenis pajak ini penting guna melengkapi pajak penghasilan. Pajak dan Bea atas Komoditas Pengenaan pajak komoditas harus ditentukan berdasarkan kelayakan administratif sehingga tergantung pada struktur perekonomian negara tertentu. Dengan pajak yang dikenakan secara berjenjang seperti halnya pajak pertambahan nilai, penerimaan pemerintah yang hilang tidak akan besar meskipun tingkat pengecer tidak terjangkau. Jadi bukan merupakan kehilangan total seperti pada pajak penjualan eceran. Penggunaan metode faktur mungkin akan membuat para wajib pajak lebih taat. Di pihak lain, pengenaan pajak produk dengan tarif yang berbedabeda cenderung lebih sukar jika diterapkan dengan pendekatan nilai tambah. Jika suatu produk dengan nilai kena pajak yang sangat besar dihasilkan pada perusahaan yang relatif besar, maka pengenaan cukai atas produsen akan merupakan pendekatan yang paling sederhana dan gamblang. Kombinasi dari berbagai metode bisa diterapkan, tergantung mana yang paling jitu dalam keadaan tertentu. Cukai domestik juga perlu untuk dikoordinasikan dengan bea impor. Karena ingin membebani konsumsi barang mewah dengan lebih berat, sering kali mengenakan bea impor yang lebih tinggi atas barang mewah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keterkaitannya dengan pengenaan bea cukai atas produk domestik. Dengan demikian, bea masuk sering menjadi pelindung bagi produk barang mewah pengganti di dalam negeri. Jika hal ini terjadi akan merupakan kebijakan yang buruk. Jika pemerintah ingin menggunakan bea masuk sebagai proteksi atas industri itu harus dipilih sesuai dengan potensi pembangunan sehingga pengembangan itu bukan merupakan akibat sampingan dari pengenaan pajak barang mewah. Pendekatan terbaik mungkin adalah dengan menggunakan tarif yang cukup seragam sambil tetap memasukkan unsur bea impor barang mewah di dalam sistem pengenaan cukai domestik. Aspek kebijakan bea masuk lainnya yang perlu ditinjau secara kritis adalah praktek pembebasan cukai atas barang modal yang digunakan di dalam negeri. Dalam situasi di mana, karena berbagai alasan, biaya modal cenderung dinilai terlalu rendah, praktek ini akan memperburuk distorsi harga.
Insentif Perpajakan Tujuan pemerintah yang berupa pertumbuhan ekonomi dan pemerataan paling bisa dicapai dengan berpedoman pada pajak kosumsi progresif. Disamping itu pendekatan keadilan menuntut agar pendekatan ini dipadukan dengan penarikan pajak atas pendapatan modal dengan tarif progresif. Karena adanya kemungkinan timbulnya konflik antara pajak penghasilan progresif dengan insentif untuk inventasi maka tidak mengherankan bahwa telah diupayakan berbagai cara untuk meminimumkan pengaruh masalah justifikasi sampai dimana pemerataan dan pertumbuhan didahulukan terhadap satu sama lain. Kebijakan perpajakan harus memperhatikan bahwa kenaikan tingkat pertumbuhan ekonomi
Dasar-dasar Keuangan Publik
100 tidak akan memperparah pemerataan. Keringanan pajak untuk investasi yang tidak berdiri sendiri dalam meningkatkan pertumbuhan, bukan hanya menyebabkan hilangnya penerimaan pemerintah tetapi juga memperbesar ketimpangan apabila keringanan itu diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi. Dengan alasan alasan ini insentif pajak bagi investasi pada umumnya merupakan pemborosan dan tidak adil, sehingga banyak pengamat sampai sampai terdorong untuk menolak semua bentuk insentif. Namun meskipun demikian, penolakan total tidak bisa diterima. Tekanan politik agar diberikan insentif pajak akan tetap ada; dan karena ini tidak bisa dielakkan, maka sebaiknya insentif dirancang seefisien mungkin. Lebih jauh lagi, beberapa kelonggaran bagi pertumbuhan mungkin layak asalkan hal itu dilaksanakan dengan cara terbaik. Insentif Domestik Dalam menangani masalah insentif, ada baiknya kita membedakan antara insentif domestik dan masalah insentif yang berkaitan dengan modal asing. Insentif domestik bisa dikaitkan dengan investasi pada umumnya, atau dibatasi pada industri atau wilayah tertentu. Insentif bisa dirancang untuk menggalakkan ekspor dan memperkuat neraca pembayaran. Insentif Umum Intensif investasi umum bisa berupa kredit pajak atas investasi atau penyusutan yang dipercepat seperti lazim digunakan dinegara-negara maju. Selain itu di beberapa negara sering kali diberikan pembebasan pajak (tax holiday) untuk jangka waktu tertentu misalnya selama lima atau tujuh tahun, dimana selama jangka waktu itu pajak atas laba di bebaskan. Metode ini merupakan insentif bagi investasi yang memberikan laba yang tinggi pada tahap awal dan hal ini bertentangan dengan kebutuhan akan investasi yang stabil dan bersifat jangka panjang. Bagi perusahaan lama yang mengadakan investasi lama dan baru, masalah ini bisa diatasi dengan pendekatan kredit investasi atau bantuan investasi. Lebih jauh lagi, tidaklah bijaksana jika pemerintah mengadakan komitmen jangka panjang untuk mensubsidi pajak, teristimewa jika diperkirakan bahwa subsidi semacam itu tidak akan di perlukan di masa mendatang. Apapun masalahnya, insentif investasi umum tidak bisa efektif guna menaikkan tingkat investasi menyeluruh kecuali jika peningkatan tabungan juga mendapat perhatian. Ini bisa tercapai dengan mendorong perusahaan untuk menahan laba atau dengan memberikan kredit pajak bagi tabungan atas pendapatan perorangan. Tentu saja masalahnya adalah bagaimana mencapai suatu jumlah tabungan tertentu tanpa mengurangi tabungan di sektor lain. Daftar Skala Prioritas Meskipun keefektifan investasi umum di ragukan, namun insentif yang dibatasi pada sektor atau industri tertentu kiranya bisa lebih efektif dalam mengalokasikan modal data ekspor industri tersebut. Masalah utama di sini adalah bagaimana memilih industri yang akan diberi perlakuan istimewa tersebut. Dapat diduga
Dasar-dasar Keuangan Publik
101 bahwa industri yang akan dipilih adalah industri yang memainkan peranan strategis dalam pembangunan dan yang tidak akan berkembang jika tidak mendapat bantuan khusus. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan mengandung dampak eksternal (external economies) yang tidak diperhatikan dalam pengambilan keputusan investasi swasta; dan pasar modal yang tidak sempurna bisa mengacaukan investasi meskipun tanpa eksternalitas. Karena itu investasi semacam itu perlu dikoreksi. Tetapi pengalaman menunjukkan bahwa hal itu sangat sukar untuk dilaksankan. Seiring daftar skala prioritas sedemikian luas sehingga hampir tidak ada yang patut di pilih. Sedangkan dipihak lain, pemilihan industri tertentu selalu di barengi dengan teknan politik dari kelompok tertentu; dan dalam kesempatan lain lagi kita akan melihat bahwa insentif diberikan untuk mempertahankan pasar bagi perusahaan negara, seperti pabrik baja, yang seharusnya tidak mendapat prioritas utama. Meskipun pada prinsipnya insentif yang selektif itu baik, namun penerapannya secara efisien sukar untuk dilaksanakan. Insentif Regional Insentif selektif lainnya dapat kita temukan dalam kebijakan regional. Seperti telah kita ketengahkan sebelumya, kebijakan pajak bisa mempengaruhi keputusan lokasi investasi, apakah itu untuk tenaga kerja atau modal dan umumnya diharapkan agar kebijakan pajak bersifat netral. Namun keadaan negara negara berkembang bisa menuntut lain. Tenaga kerja mungkin tidak bisa berpindah secara luwes, atau mungkin juga tenaga kerja ingin dipertahankan di suatu daerah tertentu karena terlalu banyaknya perpindahan penduduk ke kota atau karena alasan non ekonomis yang menghendaki pemerataan tingkat pembangunan daerah. Karena itu, insentif khusus bisa diberikan demi pembangunan daerah tersebut. Masalahnya adalah apakah insentif itu lebih baik diberikan dengan mensubsidi investasi atau mensubsidi perusahaan pekerja di wilayah bersangkutan. Jawabannya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai, yaitu apakah peningkatan produksi atau nilai tambah didaerah tersebut, atau apakah peningkatan upah atau standar hidup masyarakatnya. Untuk tujuan terakhir ini, subsidi upah akan lebih efektif, khususnya jika terdapat banyak penganggur atau penganggur tak kentara di sektor pertanian yang dapat di tarik kesektor industri apabila biaya upah berkurang. Insentif Bagi Modal vs Insentif bagi Tenaga Kerja Penggunaan bentuk investasi yang insentif modal didorong oleh distorsi harga yang menyebabkan biaya buruh terlalu tinggi dan biaya modal menjadi rendah. Biaya buruh yang tinggi umumnya disebabkan oleh peraturan upah minimum dan berbagai tuntutan serikat pekerja; biaya modal yang rendah disebabkan oleh kurs valuta yang menguntungkan, pembebasan bea masuk, dan pengenaan pajak atas laba yang tidak efektif. Guna mengembalikannya ke keseimbangan semula, subsidi upah bisa diberikan entah secara langsung atau tidak melalui kredit atas daftar upah yang pada prinsipnya mirip dengan kredit investasi. Bisa juga pajak atas laba diperingan dengan syarat peralatan yang digunakan harus padat tenaga kerja. Cara-cara semacam itu mungkin akan tepat dalam kaitannya dengan insentif regional di mana tujuannya adalah untuk menaikkan tingkat pendapatan di daerah terbelakang. Hal itu juga mungkin tepat untuk menanggulangi Dasar-dasar Keuangan Publik
102 pengangguran akibat berjubelnya perpindahan penduduk ke kota. Cara lain untuk mendorong investasi yang padat kerja adalah dengan memberikan insentif pajak bagi pekerjaan gilir kerja (shift) malam. Insentif bagi Modal Asing Dari sudut pandang nasional, peranan insentif pajak bagi modal asing berbeda dari insentif pajak bagi modal domestik. Insentif bagi modal domestik hanyalah melibatkan transfer dari pemerintah ke investor, tetapi keringanan pajak yang diberikan kepada investor asing akan mengurangi jatah keseluruhan negara atas laba yang dihasilkan modal asing tersebut. Karena itu, kerugian ini harus dikompensasi oleh keuntungan yang diperoleh akibat pelipatgandaan modal tersebut agar insentif pajak tersebut bisa diterima. Perancangan insentif mungkin akan bisa mengarahkan investasi tersebut pada sektor yang menguntungkan negara bersangkutan. Keuntungan tersebut adalah berupa kenaikan penghasilan faktor-faktor produksi domestik akibat adanya modal asing. Tidak ada manfaatnya bagi suatu negara untuk menerima modal asing lengkap dengan sumber dayanya dan hanya meminjam lokasi pada negara tersebut. Karena itu, insentif pajak harus dikaitkan dengan nilai tambah domestik sebagai akibat adanya modal asing. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa insentif tersebut harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendorong dilakukannya reinvestasi dan operasi permanen, dan menghambat investasi yang hanya ingin mengeruk keuntungan sesaat. Apapun masalahnya, suatu negara membutuhkan kerja sama dari negara asal investor asing agar insentif yang efektif bisa diberikan. Jika negara sumber modal tersebut menarik pajak penghasilan yang diperoleh dari luar negeri dengan tarifnya sendiri sambil tetap memberikan kredit pajak luar negeri, maka pajak yang lebih rendah di negara tersebut hanya akan menjadi transfer ke negara lain tanpa adanya manfaat bagi investor yang mengirimkan labanya ke negara asalnya. Dalam hal ini, penundaan pajak akan menjadi sangat penting. Hal itu tidak hanya berfungsi sebagai penarik modal ke suatu negara yang menawarkan insentif pajak tetapi juga mendorong terlaksananya reinvestasi di negara tersebut. Karena itu, cukup beralasan untuk mempertahankan penundaan atas investasi di suatu negara yang sedang berkembang dan meniadakannya untuk investasi di negara maju. Cara lain untuk membuat insentif menjadi efektif bagi investor asing yang akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai kesepakatan pajak bersama (tax-sparing arrangement). Dengan pendekatan ini, negara asal modal akan memberikan kredit atas laba yang direpatriasi sebesar pajak yang dikenakan di negara tujuan meskipun tidak ada pajak yang dibayar menurut kesepakatan insentif tersebut. Akan tetapi, pendekatan ini tidak menggairahkan reinvestasi; dan karena tekanan politik akan menuntut agar insentif tersebut diberlakukan secara umum bagi investasi domestik, maka penarikan pajak atas laba secara umum bagi investasi domestik harus dipertimbangkan. Persoalan terakhir yang timbul dalam kaitannya dengan persaingan di antara negara sedang berkembang untuk memperebutkan modal asing adalah jika
Dasar-dasar Keuangan Publik
103 suatu negara mengalahkan yang lain dengan menawarkan insentif yang lebih besar, maka negara sedang berkembang sebagai suatu kelompok akan dirugikan. Untuk mengatasi hal semacam itu diperlukan semacam kerja sama antar negara sedang berkembang. Salah satu peran utama pasar bersama antar negara sedang berkembang adalah untuk menghindarkan hal semacam itu. Insentif Ekspor Insentif pajak untuk ekspor merupakan kebijakan umum guna membantu pengembangan pasar luar negeri dan memperkuat neraca pembayaran. Agar efektif, insentif semacam itu tidak harus dikaitkan dengan total penjualan di luar negeri atau laba yang dihasilkannya, seperti lazimnya kita hadapi, tetapi dengan nilai tambah domestik. Hanya nilai tambah domestiklah yang menambah hasil perdagangan luar negeri bagi suatu negara. Pengeksporan kembali atas barang yang diimpor atau barang dalam transito tidak memberikan nilai tambah domestik.
Kebijakan Pengeluaran Peranan kebijakan pengeluaran dalam pembangunan ekonomi kurang disorot bila dibandingkan dengan kebijakan perpajakan, dan data pembanding lebih sukar diperoleh. Negara-negara berpendapatan rendah menghabiskan banyak pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan sementara tunjangan sosial kurang diperhatikan. Dalam kadar tertentu, banyak pengeluaran untuk pendidikan juga mencerminkan tingginya biaya pendidikan di negara-negara ini. Besarnya tunjangan sosial di negara-negara kaya mencerminkan sistem jaminan sosial yang lebih baik. Peranan strategis dari investasi pemerintah dalam pembangunan ekonomi sebagian dilandasi oleh belum berkembangnya pasar modal swasta dan sebagian karena kurangnya bakat entrepreneurial (kewiraswastaan) masyarakat. Hal ini juga dilandasi oleh kenyataan bahwa tipe investasi yang diperlukan pada tahaptahap awal pembangunan sering kali memerlukan jumlah besar seperti untuk pembangunan sistem transportasi atau pembukaan suatu daerah yang terbelakang. Lebih jauh lagi, investasi semacam ini menghasilkan manfaat eksternal sehingga penyediannya sebaiknya dilakukan oleh pemerintah. Karena itu tidak mengherankan jika pengembangan investasi pemerintah memainkan fungsi utama dalam perancangan rencana pembangunan di negara sedang berkembang. Dalam konteks ini, pengunaan analsis biaya-manfaat sangat penting. Negara–negara berkembang bisa dihantui oleh pemborosan sumber daya, namun evaluasi proyek yang efisien merupakan suatu tugas yang sukar. Di satu pihak analisis biaya–manfaaat akan lebih mudah diterapkan di negara berkembang dari pada negara maju, karena investasi pemerintah lazimnya dimaksudkan untuk penyediaan barang–barang antara yang nilainya bisa diukur dengan melihat pengaruhnya terhadap harga–harga barang yang disediakan oleh swasta. Jadi manfaat dari proyek transportasi atau irigasi dapat di nilai berdasarkan penurunan biaya produk yang di timbulkannya dipasar. Suatu ukuran yang tidak bisa diperoleh jika pengeluaran publik digunakan untuk
Dasar-dasar Keuangan Publik
104 menghasilkan barang jadi untuk konsumsi. Tetapi di pihak lain, pelaksanaan evaluasinya di negara sedang berkembang lebih sulit. Di suatu sisi, manfaat langsung yang tersedia akan di sertai dengan manfaat tidak langsung atau manfaat eksternal yang lebih sukar untuk diperkirakan. Di sisi lain, jumlah biaya lebih sulit untuk di tentukan. Karena harga pasar mungkin tidak mencerminkan biaya sosial yang benar–benar terjadi, maka untuk itu harus di gunakan harga bayangan (shadow price). Jika modal dinilai terlalu rendah sementara tenaga kerja dinilai terlalu tinggi penggunaan harga pasar akan menimbulkan distorsi yang mengarah kepada teknologi yang sangat padat modal sebagaimana telah kita simak sebelumnya. Kesulitan–kesulitan itu akan makin rumit dalam konteks pembangunan yang dinamis dimana hargaharga relatif yang berlaku pada saat proyek dimulai mungkin akan sangat berbeda dari harga–harga yang berlaku setelah proyek berfungsi. Sekali lagi, kemungkinan ini menunjukkan pentingnya perencanaan jangka panjang dan evaluasi atas setiap proyek dalam konteks rencana pembangunan yang menyeluruh. Faktor lain yang juga penting adalah penentuan tarif/tingkat diskonto yang semestinya karena pasar modal swasta yang belum berkembang sepenuhnya, maka penggunaan tarif sosial kiranya tidak bisa dielakkan. Dengan memperhitungkan adanya manfaat eksternal tarif sosial tersebut harus di tetapkan lebih rendah dari pada tarif yang berlaku sehingga menunjukkan tingkat diskonto yang lebih tinggi bagi penyediaan modal dan lebih mendukung pengadaan proyek–proyek jangka panjang. Jika kita melihat dari sisi yang berlawanan, akan kita jumpai bahwa biaya konsumsi sangat tinggi pada tingkat pendapatan yang rendah; namun di masa mendatang setelah keuntungan dari penundaan konsumsi itu diperoleh, utilitas marjinal dari konsumsi itu akan lebih kecil karena pendapatan sudah lebih tinggi. Kenyataan ini cenderung diabaikan dalam pengambilan keputusan tabungan perorangan, tetapi pemerintah harus memperhitungkannya. Tetapi di sini sebagaimana halnya dalam penentuan tingkat diskonto lainnya, taksiran yang lebih kasar mungkin akan di gunakan. Dalam konteks pembangunan lazimnya, pemerintah mungkin akan merasa lebih praktis untuk menentukan tingkat konsumsi minimum yang secara politis dapat di terima untuk lima atau sepuluh tahun mendatang dan kemudian menghitung tingkat diskonto dari konsumsi minimum tersebut. Investasi dalam sumber daya manusia perlu mendapat perhatian khusus dalam konteks pembangunan. Program pendidikan penting bukan hanya dalam kaitannya dengan kebijakan pertumbuhan tetapi juga dengan pendistribusian hasil-hasil pembangunan diantara lapisan masyarakat dan keberbagai sektor perekonomian. Sejumlah studi telah memperlihatkan betapa besarnya manfaat investasi di bidang pendidikan bagi negara–negara berkembang. Yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa investasi bagi pendidikan dirancang guna menghasilkan pekerja terampil sesuai dengan kebutuhan negara bersangkutan.
Bantuan Internasional dan Redistribusi Pertimbangan kemanusiaan atau politis yang menyangkut distribusi pendapatan di suatu negara tidak bisa dibatasi hanya pada lingkup negara itu saja. Dasar-dasar Keuangan Publik
105 Kelihatannya aspek–aspek dari distribusi internasional akan menjadi unsur yang makin penting dalam politik dunia masa mendatang. Tetapi meskipun hal itu penting, masalah distribusi di tingkat internasional lebih sukar untuk di tangani dari pada lingkup suatu negara. Di tingkat internasional, kesenjangan lebih besar dan masalah organisasi lebih pelik karena tidak ada pemerintah pusat yang harus menanganinya dan upaya mengatasi ketimpangan tersebut harus melalui transfer antar negara. Upaya itu bisa dilaksanakan dalam bentuk bantuan internasional yang di rancang untuk menaikkan tingkat pertumbuhan negara-negara berkembang. Pendekatan ini telah dilaksanakan secara cukup besar-besaran dalam beberapa dekade terakhir. Atau mungkin juga pada suatu saat hal itu dilaksanakan berupa redistribusi dari tingkat pendapatan dunia pada saat itu, sehingga mirip dengan pajak penghasilan negatif yang diterapkan pada redistribusi domestik. Meskipun pendekatan ini tidak bisa diharapkan dalam waktu dekat, namun mungkin saja pada suatu saat nanti hal itu akan menjadi suatu pemikiran pokok. Masalah Besarnya Transfer Dalam menangani distribusi pada taraf internasional, yang menjadi persoalan mungkin adalah perbedaan pendapatan rata-rata di negara-negara; atau juga ketimpangan distribusi diantara masyarakat seluruh dunia tanpa memandang batas negara. Dalam kadar tertentu kedua masalah itu bertumpang tindih karena kebanyakan masyarakat miskin pada kenyataannya merupakan penduduk dari negara berpendapatan rendah; tetapi jika keduanya tidak tumpang tindih, masalah mendasar adalah redistribusi di antara anggota masyarakat. Tidak ada gunanya jika redistribusi ke negara berpenghasilan rendah pada akhirnya hanya akan menambah kekayaan segelintir masyarakat kaya di negara tersebut. Jadi, sekali lagi masalahnya mirip dengan masalah antara negara bagian di suatu negara berserikat. Ketimpangan distribusi pendapatan di antara masyarakat dunia merupakan masalah yang sangat pelik. Ketimpangan di dalam negeri diperparah dengan ketimpangan pendapatan rata-rata di antara berbagai negara. Jika seseorang di suatu negara memperoleh pendapatan sebesar rata-rata di antara berbagai negara tersebut, maka bisa diperkirakan bahwa 40 persen termiskin dari penduduk dunia menerima 3 persen dari pendapatan seluruh dunia, sementara 20 persen terkaya menerima 60 persen. Jika ketimpangan di dalam negara-negara masih diperhitungkan lagi, maka rasio tersebut berubah menjadi 2 dan 70 persen. Tingkat ketimpangan ini jauh lebih besar daripada ketimpangan di suatu negara, khususnya di negara maju. Dalam kondisi ini, mustahil kiranya untuk meratakan ketimpangan ini. Lebih jauh lagi, lebih masuk akal bahwa pendapatan per kapita di negara maju akan naik lebih cepat ketimbang di negara miskin, sehingga situasi tersebut akan semakin parah seperti halnya distribusi pendapatan domestik. Bantuan Pembangunan Dari penjelasan terdahulu terlihat dengan jelas bahwa kebijakan redistribusi tidaklah sederhana dan pengaruhnya pertumbuhan ekonomi, harus ditelaah dengan seksama. Jika sudut pandang ini mengena pada redistribusi yang bersifat nasional, maka akan lebih mengena lagi pada tingkat internasional di mana skala Dasar-dasar Keuangan Publik
106 penyesuaian potensial yang harus dicapai melalui distribusi sangat besar. Tak ada manfaatnya jika kontribusi negara-negara maju terlalu dipaksakan sehingga kemampuan ekonominya untuk mempertahankan kesinambungan bantuan menjadi terganggu. Perbaikan besar atas kemelaratan masyarakat hanya dapat dicapai dengan meningkatkan produktivitas pekerja-pekerja di negara miskin. Salah satu upaya penting untuk ini adalah dengan menata kembali aliran modal dari negara kaya ke negara miskin dengan penerapan itu, output dunia akan meningkat karena modal akan dimanfaatkan secara efisien di negara di mana keuntungan modal pekerja sangat rendah. Para pemasok modal dari negara kaya tetap mendapat keuntungan karena memperoleh hasil pengembalian yang lebih besar dari investasinya di negara-negara miskin. Akan tetapi, akan terjadi redistribusi pendapatan dari pekerja negara kaya (yang akan beroperasi dengan modal yang cukup besar) kepada pekerja di negara miskin yang produktivitasnya akan meningkat bersamaan dengan naiknya keuntungan modal pekerja. Dengan demikian, perbaikan distribusi pendapatan dunia dapat dicapai meskipun dengan memperbesar ketimpangan (kendatipun hanya dalam taraf yang lebih kecil) di negara maju. Juga dipermasalahkan bahwa masuknya tenaga manajemen asing yang menyertai masuknya modal asing, di samping menambah keahlian juga menghambat pengembangan kewiraswastaan domestik dan menciptakan ketergantungan politis. Kontribusi penting kedua bagi pembangunan ekonomi adalah dengan membuka pasar negara-negara maju lebih lebar bagi ekspor negara-negara berkembang. Ini bisa dilakukan dengan memberikan preferensi dan penghapusan pembatasan perdagangan. Dalam hal ini, pekerja di negara maju juga dirugikan karena mereka kurang leluasa untuk berpindah jika dibandingkan dengan faktor modal. Tetapi di pihak lain sebagai konsumen mereka akan diuntungkan karena harga barang-barang impor menjadi turun. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan semacam ini tidak menjamin bahwa negara-negara berkembang akan mampu secara independen untuk mempertahankan pertumbuhan yang telah mereka capai. Karena itu sindrome orang kaya baru akan tetap menggejala dan hal ini merupakan hambatan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional.
Dasar-dasar Keuangan Publik
107
B A B XII HUTANG PUBLIK Pertumbuhan Hutang Pemerintah ertumbuhan hutang pemerintah dan implikasinya terhadap perekononian sejak lama menjadi isu perdebatan yang hangat, khususnya dalam keadaan meningkatnya defisit dewasa ini. Pertumbuhan hutang publik sudah lama menjadi isu yang hangat dalam perdebatan mengenai kebijakan fiskal. Kritik-kritik terhadap pembiayaan defisit tidak hanya ditujukan pada pengaruh inflasionernya, tetapi juga terhadap konsekuensi akumulasi hutang di masa depan dan bebannya terhadap gcnerasi mendatang.
P
Pertumbuhan hutang pemerintah harus dilihat dalam kaitannya dengan GNP. Lebih dari 70 persen hutang pemerintah berbentuk surat berharga yang mudah dipasarkan. Bank komersial, perusahaan asuransi dan lembaga tabungan merupakan penanam utama hutang pemerintah. Sepertiga dari hutang yang beredar jatuh tempo kurang dari satu tahun. Kegiatan hutang pemerintah meliputi peminjaman dari instansi dalam bentuk kredit hipotik.
Struktur Hutang pemerintah Setelah menelaah pertumbuhan dan struktur hutang pemerintah, kita beralih pada implikasi ekonomi dari hutang yang beredar. Kekhawatiran bahwa hutang yang beredar tidak dapat dibayar kembali pada saat jatuh tempo tidak beralasan. Sesuai dengan sifat hutang publik, surat berharga yang jatuh tempo, didanakan kembali, bukan dilunasi. Tetapi meningkatnya rasio pembayaran bunga terhadap GNP, menimbulkan beban karena perpajakan diperlukan untuk membiayai pembayaran bunga dan mengakibatkan timbulnya deadweight loss. Namun demikian, prakiraan pertumbuhan ini, bahkan dengan asumsi yang paling pesimistik, akan bersifat moderat dan tidak eksplosif. Namun dengan menaikkan tingkat pembayaran bunga dan anggaran cenderung mengganggu program publik lainnya. Inflasi dapat berlaku sebagai bentuk penyangkalan hutang yang tersembunyi, tetapi ini bukan faktor utama karena faktanya adalah bahwa sebagian besar hutang pemerintah jatuh tempo dalam jangka sangat pendek.
Dasar-dasar Keuangan Publik
108 Tujuan Hutang Pemerintah Tiga tujuan utama Pemerintah pusat dan daerah berhutang adalah: Pembiayaan modal, kebutuhan jangka pendek, dan kepentingan darurat. Pinjaman jangka panjang untuk pembiayaan modal mengalokasikan biaya perolehan tanah, bangunan dan fasilitas-fasilitas selama masa ekonomis proyek permodalan. Pinjaman juga mendistribusikan beban pembayaran kepada para wajib pajak secara lebih adil daripada meletakkan semua beban pada mereka yang hidup pada saat fasilitas diperoleh atau dibangun. Pada tingkat lokal, pinjaman jangka pendek sering dimanfaatkan untuk mengkoreksi pendapatan, yang diterima tidak merata, terhadap pengeluaran permintaan, dimana lebih seperti arus sepanjang tahun. Pinjaman darurat digunakan untuk menanggulangi bencana alam dan kontijensi yang tidak terprediksikan sebelumnya. Permodalan sektor publik paling sering diperoleh melalui bursa dengan penerbitan obligasi, sebagai suatu jalan untuk berhutang. Beberapa jenis obligasi pemerintah: (Holley Ulbrich) 1. Obligasi Umum (General Obligation Bonds) Dijamin penuh oleh pemerintah yang menerbitkan 2. Obligasi Pendapatan (Revenue Bonds) Pendapatan dari penjualan jasa dijaminkan untuk pembayaran hutang. 3. Municipal Bond Obligasi yang bunganya dibebaskan dari pajak dari institusi penerbitnya. Beberapa faktor akan menentukan tingkat bunga yang harus dibayar oleh pemerintah atas obligasi yang diterbitkannya. Tetapi pertimbangan utama adalah evaluasi dari penyedia jasa rating obligasi yang menilai potensi pemerintah untuk membayar pokok dan bunganya pada tanggal jatuh temponya. Rating ini dibuat berdasarkan pada catatan kinerja pelunasan hutang masa lalu, praktek kebijakan fiskal, cadangannya, taxbase-nya, dan semua hal yang terkait dengan kemampuan untuk membayarnya. Sebagai tambahan, tingkat bunga adalah berbeda antara dua jenis dasar hutang pemerintah: obligasi umum pemerintah dan obligasi penerimaan. Hutang yang Ditanam Swasta Dalam beberapa aspek hutang publik (khususnya pembiayaan pembayaran bunga melalui pajak), tidak menjadi masalah, apakah hutang itu ditanam oleh lembaga masyarakat atau pun oleh instansi pemerintah. Tetapi yang menjadi masalah adalah hutang publik yang memegang sebagai bagian dari struktur likuiditas ekonomi; dan hanya hutang publik yang ditanam swasta yang menimbulkan masalah bagi manajemen. Hutang publik sebagai menunjukkan persentase dari aktiva lancar (hutang publik dan jumlah uang beredar). Komposisi Hutang Berdasarkan Jenis Penerbitnya. Komposisi hutang Pemerintahan menurut jenis penerbitnya dibagi menjadi: 1. surat berharga yang dapat dipasarkan
Dasar-dasar Keuangan Publik
109 2.
surat berharga yang tidak dapat dipasarkan,
Surat berharga yang dapat dipasarkan (berjumlah sekitar tiga perempat dari total); Surat berharga yang dapat dipasarkan diperdagangkan dan tersedia bagi setiap pembeli. meliputi tagihan, wesel dan obligasi. Perbedaan utama dari ketiga jenis hutang itu terletak pada jatuh temponya. Tagihan diterbitkan sebagian besar dengan jatuh tempo dua belas bulan, tetapi jatuh tempo itu bisa saja tiga bulan. Wesel berkisar dari 1 sampai 10 tahun dan obligasi untuk periode yang lebih panjang. Wesel dan obligasi mempunyai kupon pembayaran tahunan dan dapat ditebus dengan nilai pari pada tanggal jatuh tempo. Tagihan dijual dengan diskonto dan tidak berbunga, dimana peningkatan nilai sampai jatuh tempo merupakan pengembalian investor. Surat berharga yang tidak dapat dipasarkan ditawarkan kepada berbagai kelompok investor dan hanya dapat ditahan oleh pembeli pertama. Surat berharga ini dirancang terutama bagi berbagai dana trust lokal, tetapi surat berharga khusus juga disediakan untuk pemerintah daerah dan pemerintah luar negeri. Penerbitan yang tak dapat dipasarkan ditahan oleh individu dalam bentuk obligasi tabungan (savings bond). Dengan tersedianya, sarana investasi baru yang lebih menarik, obligasi sebagai sumber pembiayaan utama menjadi makin kurang penting. Siapa yang Menanam Hutang? Pembagian hutang menurut jenis penanamnya menjadi penting karena mempengaruhi struktur likuiditas dan posisi pasar modal. Yang paling penting adalah Trust Fund, yang menahan kewajiban dalam tahun-tahun di mana peneriman pajak masa berjalan melebihi pembayaran tunjangan. Hal ini dilakukan dalam bentuk surat berharga khusus. Sedangkan penanaman Bank Sentral berbentuk surat berharga yang dapat dipasarkan dan diperoleh melalui proses pembelian pasar terbuka. Karena sifat publik, penanaman itu sebenamya merupakan bagian dari dasar moneter (monetary base) ketimbang bagian dari hutang pemerintah kepada publik. Kecuali hutang yang ditahan pada negara-negara maju, 80 persen ditahan secara domestik, dan 20 persen ditanam luar negeri. 95 persen dari penanaman domestik adalah dari investor swasta. Sebagian besar penanaman swasta adalah pada lembaga tabungan dan dana trust perseroan, yang menyerap lebih dari 50 persen. 18 persen ditahan oleh bank komersial, 14 persen oleh pribadi (sebagian besar dalam bentuk obligasi tabungan), dan 8 persen oleh perusahaan asuransi. Struktur Jatuh Tempo Instrumen hutang diterbitkan untuk berlaku selama periode waktu tertentu, dengan pembayaran modal dilakukan pada nilai pari pada tanggal jatuh tempo. Namun kebanyakan hutang masih terpusat pada jangka pendek, dengan jatuh tempo di atas 10 tahun. Pengandalan pada jangka pendek selama periode inflasi memungkinkan Departemen Keuangan guna menghindarkan komitmen jangka panjang untuk meminjam pada tingkat bunga nominal yang tinggi dengan harapan inflasi akan dapat dicek dan tingkat bunga akan turun di masa depan. Dasar-dasar Keuangan Publik
110 Pada saat yang sama, investor merasa tak yakin mengenai masa depan (inflasi dapat memburuk) dan lebih suka untuk mencegah komitmen jangka panjang. Jadi, lebih cepat mendapatkan pengembalian pada surat berharga jangka pendek, namun dengan demikian likuiditas struktur klaim meningkat. Pembatasan Hutang Pertumbuhan hutang ditentukan oleh peraturan pajak dan pengeluaran yang mendasarinya serta tingkat surplus dan defisit yang dihasilkannya. Sesudah menentukan defisit atau surplus dan perubahan tingkat bunga dengan cara ini, lembaga legislatif dapat menetapkan batas hutang eksplisit yang tak boleh dilewati oleh Departemen Keuangan. Apabila operasi masa berjalan memerlukan kenaikan pinjaman pemerintah di atas pagunya, Menteri Keuangan meminta kenaikan pagu pinjaman. Pagu hutang, seperti yang disepakati oleh kebanyakan pengamat, merupakan suatu anakhronisme karena setiap saat legislatif, bisa menentukan penambahan hutang melalui peraturan pajak dan pengelurannya. Pagu Bunga Menjelang akhir Perang Dunia I, legislatif di USA memberlakukan pagu bunga 4 1/4 persen pada surat berharga yang lebih lama dari lima tahun, tidak temasuk yang diterbitkan kepada instansi pemerintah. Pagu sebagian besar tetap tidak efektif sampai paruh kedua tahun 1960-an ketika limit jangka panjang di pasar naik di atas tingkat ini. Meskipun pagu ini dapat dielakkan dengan penjualan obligasi bertarif kupon 4 1/4, persen pada bunga di bawah pari, Departemen Keuangan memilih tidak melakukan hal itu, karena ini akan mengganggu ketentuan legislatif. Jadi tidak ada obligasi jangka panjang yang dapat dijual sesudah tahun 1965 manakala hasil pasar melebihi pagu. Sesudah Departemen Keuangan meminta berkali-kali, Konggres mengesahkan penerbitan terbatas obligasi Tresury di atas hasil pagu. Batas ini diperluas oleh Legislatif empat kali, dan 1988 adalah sebesar $150.000 milyar. Jadi ini bukan merupakan faktor yang berarti dalam membatasi penggunaan surat berharga jangka panjang. Hutang lnstansi dan Pinjaman yang diberikan oleh Pemerintah Di samping pinjaman langsung Departemen Keuangan, pemerintah dapat terlibat dalam penjanjian dan pensponsoran pinjaman oleh berbagai institusi yang pada gilirannya meminjamkannya kembali pada peminjam swasta. Karena instansiinstansi ini menggunakan dana, pinjaman yang diberikan oleh pemerintah (yang dibedakan dari pengeluaran) memasuki arena sebagai instrumen kebijakan penganggaran tambahan. Pemberian pinjaman, seperti penarikan hutang, mengurangi posisi hutang bersih pemerintah. Dalam pagu modal yang sempuma, pemberian tambahan pinjaman $100 dengan jatuh tempo sepuluh tahun akan sama dengan pelunasan penerbitan hutang $100 dengan jatuh tempo ymg sama dengan asumsi pendapatan pajak yang sama digunakan urituk membiayai masing-masing transaksi itu. Tetapi hasil kedua transaksi itu bisa sangat berbeda dalam pasar yang tidak sempurna. Penerima pinjaman pemerintah mungkin tidak mampu mendapatkan kredit dari tempat lain. Sebenarnya, alasan utama pemberian pinjaman oleh pemerintah adalah menyediakan dana bagi peminjam yang tidak mampu meminjam dari tempat lain tetapi yang pantas mendapat
Dasar-dasar Keuangan Publik
111 pinjaman karena alasan kebijakan publik. Jadi hal itu digunakan umum sebagai alat untuk alokasi, bukan sebagai kebijakan stabilisasi. Dengan demikian, masalah ini penting dalam konteks negara berkembang di mana investasi yang ditunjang pemerintah merupakan segi yang penting dari kebijakan pembangunan.
Hutang Publik sebagai Bagian dari Struktur Likuiditas Ekonomi Sifat hutang yang berjangka waktu sangat pendek telah membuatnya makin likuid dan merupakan pengganti uang yang lebih dekat. Hutang publik merupakan media investasi yang penting bagi lembaga keuangan, khususnya bank, perusahaan asuransi dan pasar uang. Setelah meninjau pertumbuhan dan status hutang pemerintah, sekarang kita dapat beralih pada implikasi ekonominya. Masalahnya adalah bagaimana hutang yang beredar mempengaruhi berfungsinya ekonomi, yaitu bagaimana konsekuensi dari kebijakan masa lalu (yakni, defisit yang telah ditambahkan pada hutang) terhadap kondisi ekonomi di depan. Pengaruh ekonomi dari hutang yang beredar oleh karenanya harus dibedakan dengan dampak masa kini dari pembiayaan defisit yang melibatkan penciptaan hutang. Apakah akumulasi hutang yang berkelanjutan tidak akan mengarah pada kebangkrutan fiskal? Pendanaan Kembali versus Pelunasan Hutang Dengan makin membengkaknya hutang, apakah ada kemungkinan untuk membayarnya kembali? Pertanyaan yang menguatirkan ini tidaklah tepat: cepat atau lambat, hutang rumah tangga memang harus dibayar kembali, karena tindakan rumah tangga merupakan kegiatan yang terbatas. Sebaliknya hutang publik tidak perlu dibayar kembali, karena anggaran dan perekonomian merupakan kegiatan yang berkesinambungan. Apabila suatu penerbitan hutang jatuh tempo, hal itu harus dilunasi; tetapi dana yang diperlukan diperoleh dengan menerbitkan obligasi baru. Hutang itu didanakan kembali (refunded). Dengan hutang yang sebagian besar berjangka pendek, volume pendanaan kembali tabungan sekarang dengan pembayaran obligasi jatuh tempo dan penggantian melalui penerbitan obligasi kembali merupakan operasi mingguan. Sekalipun operasi penerbitan kembali obligasi secara tradisional melibatkan prosedur yang sangat rumit, yang memerlukan taksiran yang tepat atas hasil (yield) yang diinginkan masyarakat, teknik-teknik yang dikembangkan dalam tahun-tahun terakhir ini telah banyak disederhanakan. Penerbitan baru sekarang dijual melalui sistem lelang, dengan penawaran tertutup diterima dari dealer dan kemudian didasarkan pada sistem datang pertama, dilayani pertama. Meningkatnya pengandalan pada hutang jangka pendek, yang dijual pada diskonto dan bukan dengan suatu kupon, telah memperlancar perkembangan ini. Guna mempercepat proses ini, Bank Sentral bekerja erat dengan Pejabat Bendahara (Departemen Keuangan) dan bertindak sebagai instansinya. Singkatnya, operasi pendanaan kembali merupakan masalah manajemen dan apakah kita dapat membayar kembali hutang merupakan pertanyaan yang salah arah. Yang menjadi masalah adalah bagaimana jasa bunga akan mempengaruhi perekonomian dan bagaimana hutang yang beredar masuk ke dalam struktur ekononomi.
Dasar-dasar Keuangan Publik
112 Beban Pajak dari Pelunasan Hutang Untuk melunasi hutang, bunga harus dibayar. Pajak yang dikenakan untuk membiayai pembayaran ini menimbulkan beban bagi perekononian. Beban ini tidak terlihat karena sumber daya ditarik dari perekonomian. Dengan asumsi kita membicarakan hutang yang ditahan secara domestik, kita berhutang kepada diri kita sendiri dan pembayaran bunga hanyalah pemindahan dana dari satu kantong ke kantong yang lain. Namun demikian, pajak yang harus dikenakan untuk membiayai transfer ini membawa kerugian yang berat, seperti juga pajak laimya, dan ini menimbulkan beban bagi perekonomian. Beratnya pengaruh tersebut cenderung muncul bila rasio penerimaan pajak (yang diperlukan untuk melunasi hutang) pada GNP meningkat. Jelaslah hal itu menjadi begitu besar sehingga menimbulkan masalah beban dan hambatan yang serius, suatu faktor yang terlupakan dalam proposisi kita berhutang kepada diri kita sendiri. Akumulasi hutang selama perang mungkin begitu drastis, sehingga menyebabkan kekacauan fiskal dan penyangkalan hutang dalam periode sesudah perang. Peristiwa ini terjadi di negara-negara Eropa sesudah kedua perang dunia. Untunglah hanya ada sedikit kemungkinan bahwa bencana seperti itu akan terjadi dalam keadaan damai. Untuk memastikan, perluasan hutang yang terus menerus digabungkan dengan GNP yang konstan akan mengakibatkan suatu rasio hutang terhadap GNP yang tak terbatas. Tetapi GNP juga mengalami peningkatan dan dapat diperlibatkan bahwa rasio defisit pada GNP digabungkan tingkat pertumbuhan GNP yang konstan, akan mengakibatkan, rasio hutang pada GNP dan rasio bunga pada GNP yang mendekati konstan. Dengan melihat pada dekade yang akan datang, marilah kita andaikan bahwa GNP meningkat pada tingkat tahunan 5 persen (3 persen untuk inflasi dan 2 persen untuk pertumbuhan riil.) Selain itu, defisit tahunan kita andaikan sama dengan 4 persen dari GNP. Dengan asumsi yang agak pesimistik ini, rasio hutang terhadap GNP akan naik dari 51 persen menjadi 64 persen dalam 10 tahun, sedangkan rasio pembayaran bunga pada GNP akan meningkat dari 4,1 ke 5,1, Tingkat yang sepadan sesudah periode lima puluh tahun, masing-masing akan menjadi 8,1 dan 6,5 persen. Tampak bahwa prospek pertumbuhan hutang, sekalipun menurut asumsi sangat defisit, tidak langsung mengasumsikan proporsi yang eksplosif. Bahaya yang melekat dalam melanjutkan defisit yang besar tidak terletak pada pengaruhnya terhadap besarnya hutang, seperti dalam dampak langsung pada bauran fiskalmoneter sehingga berarti pada tingkat tabungan dan pertumbuhan. Penyangkalan Hutang melalui lnflasi? Secara nominal nilai pari dari hutang yang beredar bersifat tetap, tetapi inflasi akan mengurangi nilainya dalam satuan riil. Contoh, nilai pari hutang yang beredar di USA dalam tahun 1970 adalah $370 milyar. Tetapi antara tahun 1970 s.d. 1982, harga-harga naik dengan 150 persen atau pada tingkat majemuk tahunan 8 persen. Jadi nilai hutang ini dalam satuan dollar tahun 1970 turun menjadi $148 milyar, atau 40 persen dari saat itu. Apakah ini berarti bahwa inflasi menghasilkan penyangkalan (repudiation) hutang tersembunyi sebesar 60 persen? Jawabannya tergantung pada jangka waktu saat hutang diterbitkan. Bila diasumsikan seorang investor yang membeli obligasi pemerintah berjangka tiga Dasar-dasar Keuangan Publik
113 tahun dalam tabun 1970. Hasil pada saat itu adalah 7 persen, sehingga obligasi itu dapat ditebus pada $100 dalam tahun 1982 dan peneriman per tahun sampai terjual $100 adalah $7. Kemudian bila diasumsikan tingkat pengembalian modal yang sebenarnya adalah 3 persen, sehingga investor kita mengharapkan tingkat inflasi sebesar 4 persen. Pada tingkat inflasi ini hasil nominal 7 persen akan menghasilkan tingkat pengembalian 3 persen. Tetapi ternyata tingkat inflasi selama tiga tahun adalah 8 persen. Jika si investor telah mengetahui hal ini, ia akan meminta hasil sebesar 11 persen, yakni suatu obligasi yang terjual pada nilai pari yang seharusnya mempunyai pembayaran kupon sebesar $11 per tahun. Tingkat inflasi yang lebih tinggi dari yang diantisipasikan memberikan tingkat pengembalian riil (real rate of return) kepada investor sebesar -1 persen (7 persen dikurangi 8 persen). Kerugian investor ini dicerminkan oleh keuntungan yang diterima pembayar pajak, yang beruntung dalam melunasi hutang (bunga dan pembayaran kembali pada jatuh tempo) dengan dollar yang lebih murah. Pada tahun 1982, hasil (yields) telah meningkat menjadi 13 persen dan disusul dengan meningkatnya perkiraan inflasi. Sejak itu jumlahnya menurun menjadi sekitar 8 persen, bersama dengan penurunan dalam tingkat inflasi menjadi di bawah 4 persen. Dengan demikian, apakah penyangkalan hutang melalui inflasi akan terjadi, tergantung pada seberapa tepat inflasi dintisipasi pada waktu hutang diterbitkan dan bagaimana antisipasi ini dicerminkan dalam tingkat bunga nominal yang lebih tinggi. Pada gilirannya hal ini tergantung pada jatuh tempo hutang. Jika hutang ditanam dalam bentuk klaim jangka pendek, katakanlah tagihan tiga bulan, tingkat hasilnya akan sesuai dengan tingkat bunga yang berlaku dalam pasar uang hingga akan cenderung menceminkan tingkat inflasi. Situasinya berbeda jika hutang tersebut bersifat jangka panjang dan terjadi tingkat inflasi yang tinggi yang tidak diperhitungkan kctika menetapkan syarat-syarat pada waktu hutang diterbitkan. Karena hutang paling banyak diterbitkan dalam bentuk surat berharga jangka pendek, maka penyangkalan hutang melalui inflasi tidak lagi menjadi isu utama.
Apakah Pembiayaan melalui Hutang akan Membebani Generasi Mendatang? Pembahasan yang berhati-hati dilakukan terhadap pertanyaan apakah pembiayaan melalui hutang akan menimbulkan beban bagi generasi mendatang. Pengalihan beban kepada generasi mendatang adalah layak, sebagai suatu keadilan antar generasi, untuk pembiayaan atas pengeluaran modal publik. Terdapat berbagai mekanisme pengalihan beban, di antaranya termasuk a) pembentukan modal yang berkurang, b) pengalihan melalui tumpang tindih generasi, dan c) pengalihan beban dari hutang luar negeri. Lebih lanjut, pengandalan pada sumber daya luar tidak harus melibatkan penyerapan hutang luar negeri, tetapi dapat mengambil bentuk arus modal masuk dan surplus impor yang berkaitan. Menimbang bahwa ketakutan terhadap kebangkrutan fiskal adalah tidak realistik, timbul pertanyaan apakah pembelanjaan dengan hutang tidak akan membebani generasi mendatang?
Dasar-dasar Keuangan Publik
114 Bagaimana pengalihan (transfer) beban itu terjadi dan apa pengaruhnya pada ekuitas fiskal? Pengalihan Beban melalui Pembentukan Modal yang Berkurang Jika sumber daya sepenuhnya dimanfaatkan, kenaikan dalam jasa publik akan memindahkan sumber daya dari sektor swasta ke sektor publik, sehingga sumber daya yang tersedia untuk produksi barang-barang swasta akan berkurang. Dalam pengertian pelepasan sumber daya, beban tersebut haruslah dipikul oleh generasi sekarang. Tetapi tidak demikian halnya jika pemindahan beban dipandang dalam artian konsumsi masa berjalan (current consumption). Mekanisme pertama dari pengalihan beban diberikan melalui pembentukan modal yang berkurang. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme ini bekerja, kita kembali ke kerangka sistem klasik dimana investasi menyesuaikan dirinya sendiri secara otomatis terhadap tingkat tabungan yang akan datang, pada tingkat pendapatan full-employment. Dalam sistem tersebut, setiap pengalihan sumber daya dari sektor swasta ke sektor publik mengakibatkan sumber daya sektor sawsta berkurang. Dalam pengertian sempit ini, beban dari pengeluaran sekarang harus dipikul oleh generasi sekarang. Tetapi sumber daya yang ditarik dari sektor swasta mungkin berasal dari konsumsi atau pembentukan modal. Dalam kasus pertama, kesejahteraan dari generasi sekarang, yang diukur dengan konsumsinya dikurangi, dan pendapatan generasi mendatang tidak dipengaruhi. Dalam kasus kedua, kesejahteran konsumsi dari generasi sekarang tidak diganggu sementara generasi mendatang akan mewarisi stok modal yang lebih kecil dan menikmati pendapatan yang lebih rendah. Dalam pengertian ini, generasi mendatang akan dibebani. Jika kita selanjutnya mengasumsikan bahwa pembelanjaan dengan pajak berasal dari konsumsi, sedangkan pembelanjaan dari pinjaman berasal dari tabungan (sehingga menurut asumsi sistem klasik; berasal dari investasi maka selanjutnya pembelanjaan dengan pinjaman akan membebani generasi masa depan. Mengikuti prinsip bahwa jasa publik harus dibiayai atas dasar manfaat, sifat pengeluaran, yang harus dibiayai menjadi sangat panting. Dalam hal pengeluaran modal, manfaat akan terbawa ke masa depan sehingga pengalihan beban diperlukan sebagai suatu keseimbangan antar generasi. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, ini merupakan penalaran untuk membagi anggaran menjadi komponen masa berjalan dan komponen modal, dengan yang pertama dibiayai oleh pajak dan yang terakhir oleh pinjaman. Beberapa kualifikasi dari argumen yang berlaku perlu dikemukakan; 1.
Tergantung pada jenis pajak yang digunakan, pembiayaan dengan pajak sebagian dapat berasal dari tabungan. Demikian pula, pembiayan dengan pinjaman sebagian dapat berasal dari konsumsi. Tidak perlu semua transfer menaikkan konsumsi. Oleh sebab itu, defisit hanya memberikan suatu taksiran kasar mengenai penarikan sumber daya dari pembentukan modal swasta.
Dasar-dasar Keuangan Publik
115 2.
3.
Pendekatan harapan yang rasional (the rational expectation approach), seperti yang dikemukakan pada Bab X, mempertanyakan apakah tanggapan setiap individu terhadap pembiayaan melalui pajak dan pinjaman akan berbeda. Ketika generasi sekarang (sebagai individu yang rasional) meminjam kepada pemerintah, mereka diasumsikan dapat mengantisipasikan pajak masa depan (yang terhutang oleh pewarisnya) yang harus dipenuhi untuk melunasi hutang itu. Oleh karena itu, pembiayaan dengan pinjaman akan membuat keaadaan generasi pertama seperti pada pembiayaan dengan pajak. Tetapi apakah kekayaan bersih wajib pajak berkurang sedangkan pemberi pinjaman dikompensasikan ketika menerima obligasi pemerintah? Jawabannya adalah tidak, atau begitulah menurut pandangan aliran harapan rasional. Karena keuntungan ini akan dibatalkan oleh adanya asumsi kewajiban pajak masa depan. Jadi kekayaan bersih sektor swasta akan berkurang oleh pengeluaran publik, apapun metode pembiayaan (pajak atau hutang) yang digunakan. Berdasarkan argumen 'Ricardan Equivalence' ini, tidak dapat lagi dikemukakan bahwa pembiayaan melalui pinjaman akan mengakibatkan pengalihan beban sedangkan pembiayaan melalui pajak tidak seperti yang dinyatakan sebelumnya, hal ini merupakan asumsi yang hampir tidak realistis. Penalaran kita didasarkan atas asumsi sistem klasik yang terlaksana baik, di mana tingkat pemintaan agregat tidak dipengaruhi oleh pilihan antara pembiayaan melalui pajak dan melalui pinjaman. Jika asumsi ini tidak berlaku, pilihan antara pembiayaan melalui pajak dan melalui pinjaman seperti halnya bauran kebijakan fiskal-moneter mungkin harus ditentukan untuk memberikan tingkat permintaan agregat yang tepat, bukan mengakomodasikan pertimbangan keseimbangan antar generasi. Pertimbangan ini khususnya penting pada tingkat nasional, yang memikul tanggung jawab terhadap kebijakan stabilisasi; dan kurang penting pada tingkat lokal. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada tingkat lokal lebih sesuai menggunakan anggaran modal. Pengalihan Beban Melalui Tumpang Tindih Generasi
Bila tidak ada tumpang tindih generasi (generation overlap), pembentukan modal swasta yang berkurang merupakan satu-satunya mekanisme di mana pinjaman domestik dapat dialihkan kepada generasi masa depan. Tetapi tidak demikian halnya jika terdapat dua generasi yang tumpang tindih dalam suatu waktu. Andaikan bahwa generasi 1 hidup dari tahun satu sampai tahun lima puluh, sedangkan generasi 2 hidup dari tahun dua puluh lima sampai tahun tujuh puluh lima. Juga andaikan bahwa semua pajak berasal dari konsumsi. Sekarang generasi 1, dalam tahun satu, dikenakan pajak sebesar $200.000 untuk memikul biaya gedung pemerintah ymg memiliki kegunaan selama lima puluh tahun. Hal itu dilakukan dengan mengorbankan konsumsi generasi tersebut dalam jumlah yang sama. Akan tetapi terdapat pula kemungkinan dalam tahun dua puluh lima sampai lima puluh untuk memungut pajak sebesar $100.000 dari generasi 2 guna membayar generasi 1, jadi melibatkan pengalihan konsumsi swasta dari generasi 2 ke generasi 1. Dengan cara ini generasi 1, sekalipun pada awalnya memikul keseluruhan beban tembut, namun kemudian dapat mengalihkan sebagian dari
Dasar-dasar Keuangan Publik
116 beban itu ke generasi 2. Untuk maksud memastikan kembali, generasi 1 dapat diberi janji pembayaran kembali dalam bentuk obligasi, yang akan ditebus kemudian dengan pajak yang dikenakan pada generasi 2. Transfer antar generasi yang tumpang tindih seperti itu dapat berfungsi, sekalipun tidak ada pengaruh pada pembentukan modal sektor swasta. Kebalikan dari kasus ini, generasi 1 dapat memberi hadiah kepada generasi 2 dan menanggung semua beban tanpa menghasilkan generasi 2 untuk membayar hutang di masa mendatang. Hal ini persis sama dengan mekmisme yang diterapkan ketika pensiun hari tua diberlakukan dan yang pensiun pertama kali diberi tunjangan tanpa harus memberi sumbangan. Pengalihan Beban Melalui Hutang Luar Negeri Setelah membahas peranan pinjaman domestik, sekarang kita beralih pada pinjaman dari sumber-sumber luar. Mekanisme pengalihan beban melalui pinjaman luar negeri berbeda dalam beberapa hal. Perbedaan pertama adalah bahwa sekarang tidak ada keharusan bagi generasi 1 untuk mengurangi pengeluarannya. Pengeluaran sektor swasta tetap tidak berubah karena sumber daya tambahan yang diperlukan diperoleh dari luar negeri melalui surplus impor. Pembiayaan melalui pinjaman sekarang menimbulkan beban pada generasi 2 bukan dalam bentuk pembentukan modal yang berkurang, tetapi dengan membebani mereka dengan kewajiban untuk melunasi hutang kepada luar negeri. Pajak sekarang dipakai untuk membayar bunga kepada pihak luat negeri, bukan kepada pemegang hutang domestik. Generasi 2 tidak lagi berhutang kepada dirinya sendiri. Beban hutang luar negeri ini menggantikan kerugian pendapatan modal yang harus ditanggung oleh generasi 2, bila pembiayaan dilakukan melalui pinjaman domestik dan berakibat pengurangan dalam pembentukan modal. Sekarang bandingkanlah tiga sumber pembiayaan: (1) pajak, (2) pinjaman domestik dan (3) pinjaman luar negeri. Asumsikan bahwa metode I diambil dari konsumsi dan 2 diambil dari pembentukan modal, maka metode I akan membebani gcnerasi sekarang sedangkan metode 2 dan 3 akan membebani masa depan. Sekalipun metode 2 dan 3 sama dalam hal ini (dalam masalah beban), tetapi pilihan diantara keduanya tidak berarti harus persis sama. Jawabanya tergantung pada biaya pinjaman di dalam negeri dan di luar negeri. Jika biayanya sama (jika pengembalian pada modal domestik sama dengan tingkat bunga di luar), beban yang ditanggung generasi 2 akan sama dalam kedua kasus tersebut. Tetapi jika biaya domestik lebih tinggi, pinjaman luar mungkin akan lebih disukai. Pengandalan pada sumber daya luar negeri tidak harus melibatkan penempatan langsung hutang di luar negeri, tetapi dapat mengambil bentuk yang tidak langsung. Hasil yang sama bisa diperoleh jika hutangnya ditempatkan secara domestik, yaitu dengan menaikkan tingkat bunga yang menyebabkan arus masuk modal dan sekali lagi merupakan surplus impor. Jika disalurkan pada konsumsi, generasi 1 sekali lagi lepas dari beban sedangkan generasi 2 membayar pelunasan hutang pada dirinya sendiri, tetapi mereka harus membagi sebagian pendapatan nasional dengan pemilik luar negerinya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
117 Peminjaman oleh Pemerintah Daerah Masalah keadilan antar generasi muncul paling serius pada tingkat lokal, karena pada tingkat inilah sejumlah besar pengeluaran investasi publik dilakukan dan dibiayai. Andaikan suatu kotapraja bermaksud membangun gedung sekolah, yang akan mempunyai usia kegunaan selama tiga puluh tahun. Pengeluaran ini dengan demikian menyebabkan kenaikan tajam dalam total pengeluaran kotapraja. Bila pengeluaran itu akan dibiayai dari pajak, kenaikan sementara yang tajam dalam tarif pajak mungkin diperlukan, Kenaikan ini dengan sendirinya tidak diinginkan, karena wajib pajak merasa lebih mudah untuk membayar tarif pajak yang kurang lebih stabil. Lagipula, dan yang lebih penting adalah bahwa tidak adil menimpakan semua beban kepada mereka yang membayar pajak dalam tahun tersebut. Karena usia kegunaan fasilitas itu akan berlangsung selama tiga puluh tahun, cara yang paling adil adalah menyebarkan beban itu di antara generasigenerasi berikutnya dari warga kota yang akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Prinsip pemajakan berdasar kaidah manfaat ditempatkan dalam mengalokasikan beban di antara generasi-generasi. Untuk melaksanakan pemajakan berdasarkan manfaat, biaya awal ditutup dengan pinjaman yang biasanya diperoleh dari pasar luar, Dalam tahun-tahun berikutnya, generasi mendatang, warga kota dan penerima manfaat akan dipajaki setiap tahun sesuai dengan bagian manfaat yang diterimanya dalam masa berjalan. Dalam proses itu, hutang diamortisasi dan dibayar kembali pada saat fasilitas itu digunakan. Sekali lagi, keadilan antar generasi terjamin, dengan setiap generasi membayar untuk bagian manfaatnya sendiri. Sebuah kotapraja yang membiayai bangunan sekolahnya dengan meminjam dan mengamortisasikan hutang itu selama usia kegunaan aktiva itu, oleh karenanya memberikan suatu pola pembagian beban yang seimbang. Pembagian beban itu tidak hanya terjadi di antara kelompok umur, tetapi juga di antara kelompok-kelompok warga kota yang berubah dengan berubahnya populasi jurisdiksi akibat migrasi ke dalam dan migrasi ke luar. Pengalihan Beban dalam Pembiayaan Pembangunan Pembahasan sebelumnya memberi implikasi yang kurang menyenangkan terhadap pembiayaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Meskipun mekanisme pengalihan beban dapat digunakan untuk menyebarkan biaya investasi publik, namun hal itu tidak dapat digunakan untuk menyebarkan biaya program pembangunan dalam arti luas, karena tujuan pokok program terebut mensyaratkan bahwa pembentukan modal secara total (publik atau swasta) harus naik. Tetapi tidak ada keuntungan yang diperoleh dalam pencapaian tujuan ini jika pembentukan modal publik dibiayai dengan pinjaman, karena hal ini akan mengakibatkan penurunan tingkat pembentukan modal swasta. Sayangnya, mekanisme pengalihan beban pembiayaan dari pinjaman intern dengan demikian tidak dapat ditempatkan dalam situasi di mana seharusnya sangat tepat. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan pinjaman luar negeri, yaitu topik, yang akan kita bahas nanti pada saat membicarakan pembiayaan pembangunan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
118
Manajemen Hutang Struktur jangka waktu dari suku bunga dan kriteria untuk bauran jatuh tempo hutang yang optimal perlu ditelaah. Apakah suku bunga jangka panjang berada di atas atau di bawah suku bunga jangka pendek, tergantung pada apakah suku bunga itu diperkirakan akan naik atau turun. Pilihan terhadap struktur jatuh tempo dapat dipandang sebagai suatu cara untuk membeli likuiditas pada biaya yang paling rendah. Seperti yang dikemukakan sebelumnya, manajemen hutang melibatkan kegiatan pelunasan tahunan yang besar. Dalam melaksanakan kegiatan ini, seperti halnya pembiayaan kenaikan total hutang, harus diambil keputusan mengenai jenis instrumen hutang apa yang akan diterbitkan. Masalah utamanya adalah pilihan jatuh tempo. Secara tradisional dinyatakan bahwa hutang publik harus didanai (funded) dengan baik, yaitu dalam jatuh tempo jangka panjang. Jadi hutang Inggris selama abad sembilan belas sebagian besar berbentuk konsol atau surat berharga berkesinambungan (perpetual securities) yang tidak mempunyai tanggal jatuh tempo tetap, tetapi dapat ditarik oleh pemerintah asalkan dibayarkan pada harga pasar. Ketentuan ini akan melindungi pemerintah terhadap kontinjensi bahwa kreditor akan menuntut uangnya kembali pada waktu yang tidak tepat. Pandangan modern terhadap hutang nasional dan posisi pemerintah nasional dalam pasar hutang sangat berbeda. Manajemen hutang didasarkan pada asumsi bahwa surat berharga yang jatuh tempo selalu dapat dilunasi. Meskipun tingkat keseluruhan hutang dapat dinaikkan pada beberapa periode dan diturunkan pada periode lainnya (tergantung pada apakah kebijakan stabilisasi menghendaki defisit atau surplus), tidak dapat diperkirakan bahwa akumulasi hutang masa lain dapat dilunasi. Apabila suatu surat berharga jatuh tempo, hal itu akan didanakan kembali ke dalam surat berharga lain. Makin pendek rata-rata hutang yang beredar, makin besar volume kegiatan pendanaan kembali tahunan, tetapi ini tidak berkaitan khusus untuk menentukan struktur jatuh tempo. Jika demikian halnya, pedoman dasar apa yang dipakai untuk memilih jatuh tempo yang akan ditawarkan Departemen Keuangan? Salah satu jawaban yang mungkin adalah memilih struktur jangka waktu dari hutang untuk meminimalkan biaya bunga. Karena biaya untuk meminjam cenderung berbeda sesuai dengan jatuh tempo hutang, maka surat berharga yang harus dipilih adalah surat berharga yang menyerap biaya paling rendah bagi investor. Prinsip ekonomi yang mengatakan bahwa pemerintah akan membeli pensil dari pemasok yang paling murah, juga berlaku terhadap pinjaman, yakni mereka akan meminjam dari pemberi pinjaman yang berbiaya paling rendah. Bila dipertimbangkan lebih cermat, ini tampaknya suatu aturan yang terlalu sederhana, tetapi marilah kita lihat bagaimana penerapannya. Struktur Jangka Waktu dari Suku Bunga Jika kita melihat ke belakang pada sejarah suku bunga sepanjang-abad ini, suku bunga jangka pendek teeryata selalu mendekati atau di atas suku bunga jangka panjang. Pola ini terbalik selama tahun-tahun depresi 1930an di mana laju suku bunga menurun tajam dan suku bunga jangka pendek berada di bawah suku
Dasar-dasar Keuangan Publik
119 bunga jangka panjang. Selama periode perang, tingkat ymg rendah ini dipertahankan, sehingga memungkinkan pembiayaan hutang perang pada biaya yang lebih rendah. Hal ini mengharuskan penyempurnaan jumlah besar hutang oleh bank-bank komersial dan kenaikan yang sepadan dalam jumlah uang beredar. Kebijakan masa perang ini berlanjut sampai awal tahun lima puluhan. Metode yang dipertahankan oleh Departemen Keuangan ini diserang oleh Sistem Bank Sentral. Kebijakan ini terbukti tidak sesuai dengan penerapan pembatasan moneter, karena Bank Sentral harus selalu siap membeli obligasi di pasar terbuka, apabila diperlukan untuk menjaga harga obligasi agar tidak turun dan menjaga hasil obligasi agar tidak naik. Kebijakan Bank Sentral dengan demikian menggunakan ketentuan tagihan saja di mana semua kegiatan pasar terbuka dan dijalankan dalam Treasury Bills. Sesudah transisi secara bertahap, pasaran surat berharga kembali ke pola suku bunga yang lebih tinggi, dengan tingkat jangka pendek dan jangka panjang bergerak mendekat satu sama lain dan tingkat jangka pendek kadang-kadang di atas tingkat jangka panjang. Teori Struktur jangka Waktu Para ekonom telah mencoba untuk menjelaskan istilah struktur suku bunga berdasarkan tingkat pengharapan. Dalam suatu situasi di mana diperkirakan tidak ada perubahan dalam suku bunga, seperti yang berlaku dalam argumen, tidak ada alasan bahwa tingkat jangka pendek dan jangka panjang akan berbeda. Akibatnya, pemberi pinjaman (atau peminta surat hutang) akan ragu-ragu untuk mengikat dirinya untuk periode waktu yang lama, karena mereka berharap mendapatkan jangka waktu yang lebih menguntungkan di waktu berikutnya. Jadi pemintaan akan surat hutang beralih dari jangka panjang ke jangka pendek. Peminjam (atau penawar surat hutang), di pihak lain senang meminjam sebelum biaya-biaya naik. Jadi, penawaran surat hutang beralih dari pasar jangka pendek ke pasar jangka panjang. Akibatnya, pemintaan akan surat hutang jangka pendek meningkat relatif terhadap penawarannya. Harga surat hutang jangka pendek meningkat dan hasilnya menurun. Pada saat yang sama, pemintaan surat hutang jangka panjang turun relatif terhadap penawarannya. Akibatnya, harga surat hutang jangka panjang menurun dan hasilnya meningkat. Jadi, kurva hasil akan miring ke atas. Hal sebaliknya akan timbul bila diperkirakan akan terjadi penurunan tingkat bunga. Tingkat jangka panjang, sesuai dengan teori ini, timbul untuk menceminkan tingkat jangka pendek masa depan yang diperkirakan. Dampak lnflasi Akhimya, bagaimanakah mekanisme masuknya inflasi ke dalam struktur suku bunga? Dampak inflasi terhadap suku bunga umum mudah kita lihat. Inflasi akan menaikkan suku bunga karena pemberi pinjaman ingin melindungi diri mereka terhadap kerugian nilai riil klaim mereka, akibat naiknya harga-harga. Jadi, jika suku bunga atau pengembalian riil dalam keadaan tanpa inflasi adalah 3 persen, sedangkan laju inflasi yang diperkirakan adalah 6 persen, maka suku bunga nominal akan cenderung menjadi 3+6, atau 9 persen. Tambahan 6 persen diperlukan untuk mempertahankm daya beli obligasi sekalipun keuntungan bersih dalam bentuk neto hanyalah 3 persen. Penyesuaian inflasioner ini diperhitungkan untuk kenaikan tajam dalam suku bunga umum, sama seperti
Dasar-dasar Keuangan Publik
120 perkiraan penurunan inflasi yang diperhitungkan untuk perkiraan penuruan suku bunga. Hubungan antara inflasi dan jangka waktu suku bunga kurang jelas. Selama inflasi bergerak pada laju yang konstan, katakanlah 4 persen, dan investor mengharapkan laju ini dapat dipertahankan, beban tambahan inflasi juga akan tetap pada 4 persen, sehingga struktur jangka waktu tidak akan dipengaruhi. Hanya jika laju inflasi yang diperkirakan berubah, maka struktur jangka waktu akan dipengaruhi. Jadi, suatu harapan bahwa inflasi akan menurun akan ccnderung menurunkan suku bunga nominal masa depan, sehingga menyebabkan penurunan dalam tingkat jangka panjang relatif terhadap tingkat jangka pendek. Demikian pula sebaliknya untuk kenaikan yang diperkirakan dalam tingkat inflasi. Telah beberapa kali diusulkan agar Departemen Keuangan dan wajib pajak dapat dilindungi terhadap perubahan yang tak terduga dalam laju inflasi, dengan menerbitkan obligasi yang berjangka lebih panjang dan nilai pelunasan dari surat berharga tersebut diindeks pada tingkat harga. Atau terhadap obligasi tersebut ditetapkan nilai pari yang tetap, tetapi dengan pembayaran kupon tahunan yang bervariasi mengikuti tingkat inflasi. Struktur Jangka Waktu dan Manajemen Hutang yang Efektif Sekarang kita dapat mempertimbangkan kembali implikasi struktur jangka waktu dari suku bunga untuk majemen hutang dan mempertanyakan apakah biaya bunga dapat diperkecil dengan menjual surat berharga yang, bila diukur dengan hasil saat ini, dapat ditempatkan pada biaya jatuh tempo ymg paling rendah. Jawabnya jelas tidak. Andaikan bahwa Departemen Keuangan dapat meminjam untuk jangka waktu satu tahun pada 5 persen dan dua puluh tahun pada 7 persen. Ini tidak berarti bahwa mengambil surat berharga satu tahun akan lebih baik, karena pada akhir tahun peluang untuk meminjam pada 7 persen mungkin akan lenyap jika tingkat bunga naik. Atau andaikan Departemen Keuangan dapat meminjam untuk 20 tahun pada 5 persen dan untuk satu tahun pada 7 persen. Pilihan yang pertama belum tentu baik karena tingkat bunga bisa juga turun sebelum dua puluh tahun berakhir. Yang menjadi masalah pokok adalah arah perubahan suku bunga yang diharapkan oleh Departemen Keuangan. Jika para pengelola hutang berharap suku bunga akan naik, pilihan yang tepat adalah meminjam untuk jangka panjang; jika mereka memperkirakan suku bunga akan turun, pilihannya adalah pada jangka pendek. Hal yang penting adalah sekali suatu komitmen telah dibuat, tidak ada lagi jalan keluar lain. Biaya bunga hutang yang telah dibuat harus dibayar untuk periode penuh meskipun tingkatnya bisa turun; dan keuntungan dari suku bunga yang rendah akan terus diakrualkan sekalipun tingkatnya mungkin naik. Dengan demikian manajemen hutang merupakan suatu seni yang tinggi, yang membutuhkan penaksiran tajam terhadap prospek pasar untuk jangka waktu yang cukup panjang. Tetapi seandainya pun perubahan tingkat yang diperkirakan telah diperhitungkan, kriteria biaya bunga minimum tidak memberikan pedoman yang mencukupi. Namun bagaimanapun juga, pemerintah pusat dengan
Dasar-dasar Keuangan Publik
121 pengendaliannya atas penciptaan uang dapat mengatur laju suku bunga di pasar. Mereka selalu dapat mengganti hutang publik dengan uang, baik langsung melalui pencetakan uang ataupun dengan meminjam dari bank sentral. Penggantian hutang dengan uang jelas merupakan cara yang paling murah untuk menangani masalah tersebut, karena sama sekali tidak akan melibatkan biaya bunga. Namun itu bukanlah pemecahan yang memuaskan, karena mengganti hutang dengan uang akan menaikkan likuiditas dalam jumlah besar, yang menimbulkan kenaikan tingkat pemintaan agregat dan inflasi yang berlebihan. Dipandang dari sudut ini, tujuan menerbitkan surat hutang dan bukan uang (atau mengganti hutang jatuh tempo yang beredar dengan hutang baru dan bukan menguangkannya) adalah membeli likuiditas. Para investor harus diyakinkan untuk memiliki surat hutang dan bukan uang, dan cara melakukan hal ini adalah dengan membayar mereka. Timbul pertanyaan apakah satu dollar dari hutang jangka pendek bermanfaat mengurangi likuiditas seperti satu dollar dari hutang jangka panjamg. Jika hutang jangka panjang membuat penanamnya kurang likuid, mungkin beralasan bagi Departemen Keuangan untuk menerbitkan surat berharga seperti itu, sekalipun biaya bunga agak lebih tinggi. Jadi prinsip meminimisasikan biaya bunga harus dinilai kembali karena adanya pembelian likuiditas pada jangka yang lebih murah, yang tidak selaras dengan tujuan kebijakan stabilisasi. Perpanjangan hutang pada saat pengembalian cenderung untuk menjadi restriktif, dan sebaliknya mempersingkat hutang cenderung untuk menjadi ekspansioner. Perpanjangan akan menaikkan suku bunga jangka panjang relatif dibanding jangka pendek. Para investor yang ingin menahan persediaan surat berharga jangka panjang dan jangka pendek pada rentang hasil tertentu, sekarang harus menahan lebih banyak surat berharga jangka panjang dan lebih sedikit jangka pendek. Untuk melakukan hal ini, mereka menginginkan syarat yang lebih menguntungkan pada surat berharga jangka panjang dan bisa menerima syarat yang kurang menguntungkan pada surat berharga jangka pendek. Pengaruh restriktif dari kenaikan suku bunga jangka panjang pada investasi swasta akan melebihi pengaruh ekspansioner dari penurunan suku bunga jangka pendek, karena pengeluaran modal biasanya didasarkan pada pembelanjaan jangka panjang. Hutang jangka pendek cenderung lebih mirip uang, jadi perpanjangan hutang akan bersifat restriktif. Pertimbangan serupa yang diterapkan pada pendanaan kembali (atau swapping hutang) juga berlaku dalam hal memilih jenis penerbitan surat berharga untuk membiayai defisit, atau jenis penerbitan yang akan ditarik bila surplus digunakan untuk pengurangan hutang. Dalam hal apapun, manajemen hutang dapat digunakan untuk mendukung dampak ekspansioner dan restriktif dari kebijakan stabilisas saat ini. Konsekuensinya, tujuan kebijakan jangka pendek, bukan perkiraan perubahan tingkat jangka panjang dan implikasinya pada biaya bunga, yang mungkin merupakan faktor penentu dalam menentukan kebijakan manajemen hutang. Di samping penyesuaian jangka pendek, tetap ada pertanyaan mengenai apa yang merupakan bauran jatuh tempo yang baik, sejauh bersangkutan dengan Dasar-dasar Keuangan Publik
122 hutang yang beredar. Hutang jangka panjang, seperti yangg dikemukakan sebelumnya, memerlukan volume kegiatan pendanaan kembali yang lebih kecil, tetapi ini hampir bukan merupakan pertimbangan yang menentukan. Suatu hutang pada ukuran tenentu, jika jangka pendek, akan membuat perkonomian berada dalam posisi yang lebih likuid hingga cenderung untuk menaikkan kemungkinan perubahannya. Akibatnya, tugas kebijakan stabilisasi menjadi lebih sulit. Di pihak lain, suatu hutang ymg terlalu panjang dapat menimbulkan kekakuan dalam struktur keuangan dan kurang dapat memberikan likuiditas yang diperlukan. Dalam situasi apapun, hal ini, sebagian besar akan tergantung pada besamya stok uang. Dampak likuiditas pada sektor swasta dari kombinasi hutang yang lebih panjang serta persediaan uang yang lebih besar, mungkin serupa dengan dampak kombinasi hutang jangka pendek dengan persediaan uang (jumlah uang beredar) yang lebih kecil. Bila tidak ada penalaran yang lebih baik, orang akan mempunyai pandangan bahwa struktur jatuh tempo yang seimbang sampai, katakanlah lima belas tahun, akan dipilih oleh seseorang dengan hampir semuanya jangka pendek atau hampir semuanya jangka panjang.
Hutang Pemerintah Lokal Akhimya, kita bahas secara singkat mengenai pasar bagi hutang pemerintah lokal. Pasar untuk hutang pemerintah lokal sangat terstratifikasi, karena hasil (yields) tergantung pada peringkat kredit dari jurisdiksi. Biaya peminjaman untuk pemerintah lokal dikurangi, jika hal itu tidak efisien, dengan membebaskan pajak pusat untuk pembayaran bunga atas hutang tersebut. Peningkatan penggunaan yang meragukan atas pinjaman pemerintah lokal dilakukan dalam bentuk obligasi pendapatan, yang pada hakikatnya berlaku untuk membiayai industri swasta di bawah payung kebebasan pajak. Masalah manajemen hutang untuk pemerintah lokal berbeda dengan tingkat pusat, dan lebih mirip investor swasta yang berupaya mengamankan dana di pasar. Perbedaan ini berlaku baik mtuk sisi permintaan maupun untuk sisi penawaran. Pada sisi pemintaan, kesempatan untuk meminjam oleh pemerintah lokal terjadi terutama ketika sejumlah besar pengeluaran modal harus dibiayai. Jika kita perhatikan kembali pembahasan dalam pemerintah lokal, lebih bijaksana apabila pengeluaran tersebut dibiayai dari pinjaman dan bukan dari pajak. Pertimbangan untuk meminjam pada tingkat pemerintah lokal dengan demikian sangat besar dibandingkan dengan tingkat pusat, di mana kebijakan stabilisasi merupakan penentu utama. Pada sisi penawaran dalam pasar dana, pemerintah lokal tidak memiliki kendali atas kondisi pasar uang tempat mereka harus meminjam. Yang terbaik dapat dilakukan adalah mendapatkan dana pada syarat yang menguntungkan yang tersedia; dan biaya peminjaman banyak bevariasi, tergantung pada posisi fiskal dari juridiksi dan peringkat kreditnya. Hutang pemerintah lokal sekarang melebihi $500 milyar dan telah naik dengan jumlah tahunan rata-rata sekitar $15 milyar selama dekade lalu. Persentase kenaikannya agak di bawah hutang pemerintah dan GNP. Hutang ini sebagian besar berjangka panjang dan mengmbil berbagai bentuk, temasuk obligasi umum dan obligasi pendapatan khusus. Yang terakhir dikeluarkan oleh instansi tertentu atau perusahaan umum, seperti perusaahaan listrik dan air minum yang dikelola Dasar-dasar Keuangan Publik
123 oleh negara bagian, kotapraja, atau subdivisi lain, dan laba perusahaan itu digadaikan untuk membiayai pelunasan hutang. Biaya penyediaan dana bagi berbagai juridiksi peminjamaman merupakan faktor penting bagi ketentuan pelayanan lokal dan negara bagian yang melibatkan pengeluaran modal yang besar, misalnya jalan raya dan bangunan sekolah. Pengeluaran seperti itu sangat penting baik dari sudut pandang nasional, negara bagian maupun lokal. Dengan demikian, peminjaman ncgara bagian dan lokal merupakan aspek tambahan dari federalisme fiskal. Pembebasan Pajak versus Subsidi Bunga Langsung Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, kebijakan publik memberikan dukungan secara umum terhadap pinjaman pemerintah lokal dengan membebaskm pajak penghasilan bunga surat berharga menurut pajak penghasilan. Seorang investor yang tarif pajak marginalnya 28 persen akan bersedia (dengan asumsi hal lain tetap sama) mensubstitusikan obligasi kotapraja yang menghasilkan 4 persen untuk obligasi perusahaan yang menghasilkan 5,6 persen. Keuntungan pajak ini akan mengalihkan dana ke pasar yang bebas pajak, sehingga mcngurangi biaya peminjaman pemerintah lokal dan negara bagian. Seperfi telah dibahas sebelumnya, keuntungan ini banyak dikurangi pada tahun 1986 melalui pemotongan tarif pajak marjinal. Tetapi bentuk bantuan khusus ini memperoleh kritik karena dua alasan. Pertama, bantuan ini mempengaruhi segi keadilan dari struktur pajak penghasilan. Penerima penghasilan tinggi yang menerima bunga bebas pajak, membayar pajak lebih sedikit daripada mcreka yang mendapat penghasilan sama dari sumber lain. Selain itu, nilai pembebasan pajak meningkat menurut tarif kelompok sehingga mengganggu keadilan vertikal. Karena alasan ini, akan lebih baik jika bantuan tersebut diberikan dcngan cara yang tidak melibatkan preferemi pajak. Lebih lanjut, pembebasan pajak hanya menghasilkan keuntungan tabungan bunga yang lebih kecil terhadap pemerintah lokal, dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh subsidi langsung dari pemerintah pusat pada biaya yang sama. Terlepas dari pertanyaan tentang cara bagaimana dukungan pembayaran bunga yang paling baik dapat diberikan, terdapat pertanyaan selanjutnya tentang apakah dukungan umum untuk pembayaran bunga pada tingkat negara bagianlokal tersebut diperlukan. Karena pinjaman pemerintah lokal digunakan untuk pengeluran modal, maka dukungan seperti itu maka sama saja dengan menggunakan hibah untuk keperluan pengeluaaran modal. Dipandang dari sudut ini, pertanyaan yang timbul kemudian adalah apakah pengeluaran modal (capital expenditure) sebagai suatu kelompok lebih dipilih dibanding pengeluaran masa berjalan (current expenditure) hingga bermanfaat memberikan subsidi khusus, baik berdasarkan dampak pelimpahan (spillover effects) atau pun pertimbangan manfaat. Tampaknya, jawaban pertanyaan tersebut negatif. Terlepas dari masalah politik dan sejarah konstitusional (dilihat dari pembahasan sebelumnya bahwa instrumentalitas pemerintah lokal harus dibebaskan dari perpajakan pusat), alasan pokok terhadap dukungan bunga umum tampaknya meragukan. Dukungan terhadap pinjaman negara bagian dan lokal atas dasar lebih selektif, seperti halnya hibah menurut kategori tertentu, mungkin lebih dapat
Dasar-dasar Keuangan Publik
124 dibenarkan Dalam hubungan ini, pembentukan lembaga perantara keuangan (financial intermediaries) yang meminjam untuk dirinya sendiri di pasar dan kemudian meminjamkan kembali kepada kotapraja lebih bisa dipertimbangkan. Jadi, suatu bank dapat berfungsi sebagai alat dalam mengatasi ketidakmenentuan yang sekarang berlaku dari sistem peringkat kredit, dan hal itu akan mengurangi biaya pinjaman bagi kotapraja kecil dengan cara menyebarkan risiko. Di pihak lain, hal itu juga akan menimbulkan pembiasan politik pada dana yang tersedia. Dengan perkataan lain, institusi tersebut dapat bermanfaat dalam menstabilisasikan fluktuasi siklus pada biaya pinjaman dan dalam memodifikasi dampak perubahan kebijakan moneter terhadap sektor pasar modal ini. Obligasi Pendapatan industri Akhimya, perlu diperhatikan pula pertumbuhm pendapatan obligasi industri selama dekade terakhir. Obligasi seperti itu diterbitkan oleh jurisdiksi pemerintah lokal, dan hasilnya digunakan untuk membangun fasilitas industri yang pada gilirannya disewakan kepada perusahaan-perusahaan swasta. Akhir-akhir ini praktek seperti itu juga telah diperluas dengan memberikan dana hipotik. Jadi, pengurangan dalam biaya pendanaan melalui pembebasan pajak pusat diteruskan pada kesatuan yang pada hakikatnya merupakan perusahaan swasta. Dan sudut pandang kotapraja tertentu, hal itu dipandang sebagai sarana untuk menarik perusahaan ke daerahnya. Tetapi kebijakan seperti itu tidak dapat dipertahankan dari sudut pandang nasional, dan berbagai pembatasan telah diterapkan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
125
B A B XIII DASAR-DASAR PERPAJAKAN
A
ktivitas pemerintah memerlukan realokasi sumber-sumber daya dari sektor swasta. Untuk itu, masyarakat harus dihimbau secara sukarela menyerahkan sebagian pendapatannya untuk kepentingan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa publik. Pengumpulan pendapatan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai penerimaan pajak dan penerimaan non pajak.
Penerimaan Pajak Pajak adalah pungutan yang ditarik dari masyarakat tanpa mengakibatkan timbulnya kewajiban bagi pemerintah terhadap pihak pembayar. Menurut sifatnya, pajak adalah wajib. Kewajiban pajak menurut undang-undang dapat dipaksakan. Sedangkan terhadap pelanggar peraturan perpajakan dapat dikenai hukuman yang berlaku. Di Indonesia, sumber penerimaan pajak adalah yang terbesar. Disamping sebagai sumber penerimaan negara (fungsi budget), pajak juga dapat difungsikan sebagai alat pengaturan dan pengawasan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sektor swasta (fungsi regulator). Pada fungsi budget, pajak dimaksudkan untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan bagi pembiayaan kegiatan rutin operasional pemerintah mengatur negara. Sedangkan pada fungsi regulator, kebijakan perpajakan dimaksudkan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dengan cara mengatur pola produksi dan konsumsi barang-barang ekonomi. Dengan sistem perpajakan, pemerintah dapat mendorong investasi yang menghasilkan barang-barang produksi tertentu atau sebaliknya. Mekanisme perpajakan juga dapat diterapkan untuk mendorong atau mengurangi jumlah pendapatan yang dikonsumsikan.
Penerimaan Non Pajak Disamping pajak, pemerintah dapat menggunakan sumber-sumber non pajak yang mampu menggalang dana bagi keperluan pembiayaan pengeluaran publik. Jenis-jenis penerimaan tersebut antara lain:
Dasar-dasar Keuangan Publik
126 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Debt Finance Government Induced Inflation Donations User Charges Government Enterprise Lottery
Debt Finance adalah penggunaan dana pinjaman untuk membiayai pengeluaran publik. Hal ini biasanya dilakukan untuk membiayai suatu proyek besar dan memakan waktu lama seperti pembangunan rumah sakit, jalan tol dan sebagainya. Pinjaman merupakan penarikan dana masyarakat yang dilakukan oleh pemerintah dengan janji untuk membayar kembali pada masa mendatang. Dewasa ini, mekanisme pinjaman oleh pemerintah terhadap dana masyarakat dapat juga digunakan untuk mengurangi jumlah uang beredar. Untuk keperluan pinjaman, pemerintah akan membayarkan sejumlah bunga selama pinjaman tersebut belum dilunasi. Di Indonesia, kebijakan utang oleh pemerintah diaplikasikan dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Government Induced Inflation dilakukan dengan cara mencetak uang baru untuk membiayai pengeluaran publik. Inti dari kegiatan ini adalah mengakibatkan penambahan jumlah uang yang beredar dimasyarakat. Kebijakan yang serupa seperti kegiatan melepas cadangan uang yang ditahan oleh bank sentral dapat juga dikategorikan sebagai Government Induced Inflation. Adanya tambahan jumlah uang beredar yang tidak diikuti tambahan jumlah produksi, menurut kaidah ekonomi akan menyebabkan kenaikan harga pasar barang dan jasa. Donations adalah kontribusi sukarela kepada pemerintah dari masyarakat atau oraganisasi-organisasi kemasyarakatan. Penggalangan dana tersebut biasa dilakukan melalui himbauan-himbauan yang dapat menggugah kerelaan masyarakat. Misalnya penggalangan dana kemanusiaan untuk korban bencana alam, korban peperangan dan sebagainya. Dana hibah (grant/sumbangan yang tidak perlu dikembalikan) negara lain dapat juga dianggap sebagai donations. Akan tetapi, karena sulitnya memprediksi, dana hibah tidak dapat diharapkan sebagai alternatif penerimaan andalan. User Charges atau retribusi dipungut apabila dimungkinkan untuk dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan jasa-jasa tertentu. Dengan kata lain, adanya keterkaitan langsung antara jumlah nominal yang dibayar dengan balas jasa yang diterima, seperti tarif jalan tol, tarif pintu masuk tempat-tempat rekreasi, tarif parkir dan sebagainya. Berkaitan dengan otonomi daerah, dewasa ini banyak sekali jenis-jenis retribusi yang diatur dengan Peraturan Daerah yang dimaksudkan untuk menopang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Government Enterprise adalah perusahaan yang dimiliki pemerintah yang memproduksi dan menjual barang, jasa atau keduanya untuk memperoleh laba. Sebagian laba yang dihasilkan perusahaan-perusahaan negara dapat dijadikan sebagai tambahan penerimaan pemerintah. Pada kebanyakan negara maju, dewasa ini fungsi perusahaan negara terutama bukan untuk mencari laba tetapi lebih pada pemicu pertumbuhan ekonomi. Untuk mendorong iklim investasi yang positif, Dasar-dasar Keuangan Publik
127 perusahaan-perusahaan milik negara sebisa mungkin bersaing secara kompetitif dalam iklim pasar yang sehat. Jika dirasakan bahwa sektor swasta telah mampu mengembangkan sektor ekonomi tertentu, pemerintah dapat mengurangi perannya sedemikian rupa dengan cara melepas sahamnya kepada publik. Pada akhirnya, perusahaan-perusahaan yang dimiliki negara lebih berkonsentrasi pada sektor-sektor ekonomi yang belum mampu dibiayai swasta. Lottery adalah kegiatan penggalangan dana yang bertujuan untuk membiayai kegiatan tertentu dengan diiming-imingi hadiah bagi yang membeli surat undian. Secara teori, surat undian harus dijual secara murah sehingga tidak menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak menang. Atau masyarakat diharapkan lebih berniat untuk menyumbang kepada pemerintah dibanding berharap memenangkan hadiah. Pada prakteknya, kebijakan ini sering disalahgunakan oleh sebagian masyarakat dengan kultur tertentu yang senang berangan-angan dan ingin merubah status sosialnya secara cepat. Hal ini berakibat kurangnya tingkat produktivitas masyarakat pada sektor-sektor ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa.
Prinsip-Prinsip Pajak Pada awal bab digambarkan bahwa pajak tidak hanya berfungsi sebagai penggalangan dana masyarakat untuk membiayai pengeluaran publik, tetapi juga dapat difungsikan sebagai regulator (pengatur). Untuk mengoptimalkan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, kebijakan perpajakan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip yang relevan. Teori Adam Smith yang terkenal mengenai prinsipprinsip pengenaan pajak mengacu pada empat hal yaitu: 1. Prinsip keadilan (equity) 2. Prinsip kepastian (certainty) 3. Prinsip kenyamanan (convenience) 4. Prinsip ekonomi (economy) Prinsip keadilan menekankan bahwa beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan relatif masyarakat. Jumlah nominal pajak yang dibayarkan oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah harus lebih kecil dari golongan masyarakat yang lebih tinggi. Pajak diharapkan dapat menjadi alat distribusi pendapatan secara lebih fair dan mengurangi kesenjangan pendapatan. Pembahasan selanjutnya akan memaparkan bahwa apapun kebijakan yang diambil, prinsip keadilan yang memuaskan semua pihak tidak akan pernah tercapai. Prinsip kepastian dimaksudkan agar pada pelaksanaan pemungutan pajak tidak terjadi distorsi berupa kesalahan yang disengaja (penyelewengan) atau yang tidak disengaja akibat kekurangpahaman. Kebijakan perpajakan harus dibuat sesederhana mungkin dan diformulasikan menggunakan kata-kata yang meminimalkan adanya penafsiran ganda. Hal ini juga perlu ditunjang dengan adanya kecukupan proses sosialisasi dengan memasukkan unsur-unsur kemajemukan masyarakat.
Dasar-dasar Keuangan Publik
128 Prinsip kenyamanan menggarisbawahi pentingnya menciptakan kondisi yang menyenangkan bagi wajib pajak agar dengan sukarela bersedia memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dengan kata lain, sebisa mungkin dihindarkan adanya unsur-unsur menekan atau kekerasan. Kenyamanan wajib pajak dapat diberikan dengan bentuk layanan prima. Prosedur pembayaran pajak atau menjadi wajib pajak harus dibuat semudah mungkin. Kepada mereka yang patuh diberikan penghargaan yang setimpal. Prinsip ekonomi menegaskan pentingnya perbandingan antara biaya dan hasil yang efisien. Upaya-upaya penarikan pajak harus disertai dengan kegiatan yang meminimalkan biaya pemungutan atau biaya-biaya lain yang dapat mengurangi penerimaan bersih negara. Biaya pemungutan juga tidak layak dibebankan kepada wajib pajak. Mereka sedapat mungkin tidak dikenakan biayabiaya lain diluar kewajiban pajak murni. Sehingga tujuan penggunaan pajak untuk pembiayaan pengeluaran publik lebih mudah tercapai.
Siklus Arus Pajak Pengenaan pajak kepada masyarakat dan dunia usaha secara umum dapat berbentuk pajak atas pendapatan dan pajak atas konsumsi. Pajak atas pendapatan berarti adalah pengenaan tarif pajak terhadap seluruh pos-pos penerimaan rumah tangga dan perusahaan dalam siklus perekonomian. Sebaliknya, pajak atas konsumsi berarti pengenaan tarif pajak atas seluruh pola pengeluaran rumah tangga serta perusahaan. Untuk itu perlu diidentifikasi pos-pos penerimaan dan pengeluaran dalam siklus perekonomian. Pada hakekatnya siklus penerimaan dan pengeluaran dalam perekonomian pada umumnya adalah seperti gambar berikut:
Dasar-dasar Keuangan Publik
129 Gambar 11.1 Pos yang pertama adalah pendapatan rumah tangga (1). Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan golongan masyarakat yang diperoleh dari penghasilan upah atau gaji sebagai karyawan dan pendapatan jasa modal. Sedangkan golongan masyarakat lainnya yang memiliki usaha yang menghasilkan produk dikategorikan sebagai perusahaan. Pendapatan rumah tangga ini kemudian akan mengalir dalam dua bentuk yaitu sebagian menjadi konsumsi rumah tangga (2) sebagai biaya pemenuhan kehidupan sehari-hari masyarakat dan sisanya menjadi tabungan rumah tangga (3). Jumlah pendapatan rumah tangga yang dikonsumsi kemudian akan mengalir ke pasar barang konsumsi, sedangkan seluruh tabungan masyarakat diasumsikan mengalir menjadi bagian dari investasi (5) yang pada akhirnya mengalir ke pasar barang modal. Jumlah nominal konsumsi masyarakat akan sama dengan jumlah penerimaan kotor perusahaan dari pasar barang konsumsi (4) sedangkan jumlah investasi akan sama dengan jumlah penerimaan kotor dari pasar barang modal (6). Adapun total penerimaan dari kedua pasar tersebut disebut penerimaan kotor perusahaan (7). Total penerimaan perusahaan tersebut selanjutnya sebagian akan digunakan sebagai pengeluaran perusahaan (8). Sebagian pengeluaran perusahaan akan disisihkan untuk biaya penyusutan (9), dan sebagian lagi dibayarkan perusahaan sebagai biaya gaji karyawan (11) sedangkan sisanya adalah keuntungan perusahaan (12). Termasuk dalam keuntungan perusahaan adalah pendapatan jasa modal (14) yang dibayarkan kepada rumah tangga seperti bunga, deviden, dan sewa. Sedangkan sisa keuntungan yang tidak dibagi (15) akan menjadi tabungan perusahaan (16). Jumlah biaya gaji yang dibayarkan perusahaan akan menjadi pendapatan gaji (13) bagi rumah tangga. Sedangkan tabungan perusahaan bersama-sama tabungan rumah tangga, diasumsikan akan menjadi investasi seluruhnya.
Tarif Pajak Titik-titik pembebanan dalam siklus pajak adalah segala sesuatu yang dapat dikenakan pajak atau biasa disebut objek pajak. Sedangkan jumlah pajak yang dipungut dihitung dengan mempergunakan tarif pajak. Jika dilihat dari sudut pandangan dasar penentuan tarif pajak, secara umum terbagi atas tiga bentuk yaitu: 1. Proportional (flat) tax rate 2. Progressive tax rate 3. Regressive tax rate Proportional (flat) tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif dalam persentase tertentu dengan tidak melihat perubahan pendapatan individu. Dengan kata lain, berapapun jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, jumlah pengenaan tarif pajaknya sama. Sebagai ilustrasi, jika pendapatan yang diterima Dasar-dasar Keuangan Publik
130 oleh wajib pajak naik sebesar 100%, maka secara otomatis jumlah pajak yang terhutang menjadi naik sebesar 100%. Tabel dibawah ini akan menggambarkan bagaimana pajak proportional diterapkan. Tabel 11.1: Pajak Proporsional Pendapatan Pajak Nominal % 1.000 100 10.0 2.000 200 10.0 3.000 300 10.0 Progressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan individu. Dengan kata lain, jumlah pendapatan yang lebih besar yang diterima oleh wajib pajak, akan dikenakan tarif yang lebih besar pula. Sebagai ilustrasi, jika kemampuan membayar seorang wajib pajak naik sebesar 100%, jumlah pajak yang terhutang menjadi naik melebihi 100%. Tabel dibawah ini akan menggambarkan bagaimana pajak progessive diterapkan. Tabel 11.2: Pajak Progresif Pendapatan Pajak Nominal % 1.000 100 10.0 2.000 300 15.0 3.000 600 20.0 Regressive tax rate adalah pengenaan pajak dengan tarif menurun dengan makin meningkatnya pendapatan wajib pajak. Dengan kata lain, peningkatan jumlah kemampuan membayar seorang wajib pajak, semakin menurun tarif yang dikenakan. Sebagai ilustrasi, jika seorang wajib pajak mendapat kenaikan pendapatan sebesar 100%, maka jumlah kenaikan pajaknya kurang dari 100%. Tabel dibawah ini menggambarkan bagaimana tarif pajak regressive diterapkan. Tabel 11.3: Pajak Regresif Pendapatan Pajak Nominal 1.000 100 2.000 180 3.000 240
% 10.0 9.0 8.0
Istilah-istilah Dalam Perpajakan Pembahasan lebih lanjut mengenai perpajakan perlu dimulai dengan mengenal lebih jauh tentang definisi istilah yang sering muncul dalam dunia perpajakan. Beberapa istilah yang perlu mendapat perhatian khusus antara lain: • Pajak Perseorangan dan Pajak in Rem • Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung • Pembayaran Transfer
Dasar-dasar Keuangan Publik
131
Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan kepada orang per orang yang memperoleh penghasilan dimana besarnya jumlah yang terhutang disesuaikan dengan kemampuan untuk membayar pajak. Pajak perseorangan dikenakan atas transaksi rumah tangga berupa pendapatan dan konsumsi. Untuk menentukan kemampuan seseorang dalam membayar pajak atas pendapatan (personal income tax), maka seluruh sumber pendapatan perseorangan harus digabung sebagai basis pembayar pajak. Sedangkan jika konsumsi juga akan dikenai pajak, maka pajak perseorangan diterapkan dalam bentuk pajak pengeluaran perseorangan (personal expenditure tax) Pajak in Rem adalah pajak atas aktivitas atau obyek tertentu misalnya pembelian, penjualan, atau pemilikan harta kekayaan. Aktivitas atau objek yang dikenakan pajak tidak terkait dengan karakteristik pihak-pihak yang melakukan transaksi atau pemiliknya. Siapapun yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu atau memiliki objek-objek pajak tertentu, wajib membayar pajaknya. Pajak in Rem dapat dikenakan atas rumah tangga atau badan usaha. Pajak atas transaksi jual beli yang dikenakan terhadap perusahaan akan dapat diperlakukan juga terhadap semua rumah tangga yang melakukan transaksi. Hal yang sama juga berlaku ketika mengenakan pajak terhadap harta kekayaan, yang berkaitan dengan nilai kekayaan dari perseorangan atau perusahaan. Pajak langsung adalah pajak yang berdasarkan surat ketetapan dikenakan terhadap rumah tangga ataupun perseorangan dan dilakukan secara berkala. Beban pajak ini tidak dapat dipindahkan kepada orang lain. Pajak penghasilan dapat dikategorikan sebagai pajak langsung. Pajak tidak langsung adalah pajak yang tidak dipungut secara berkala dan dapat beralih sampai dengan penanggung akhir beban tersebut. Sifat pemungutan pajak ini cukup sederhana dan biasanya dikaitkan dengan adanya kejadian tertentu. Maka hampir semua pajak in Rem. Pajak pertambahan nilai dan cukai merupakan pajak tidak langsung. Pengertian dari pajak cukai adalah pajak tidak langsung yang diterapkan atas penjualan barang-barang manufaktur tertentu. Beberapa kebaikan dan kekurangan dari pajak tidak langsung, menurut Suparmoko adalah sebagai berikut: Kebaikan: 1. Pajak tidak langsung cenderung lebih stabil digunakan sebagai sarana penerimaan negara dibanding pajak langsung. Jumlah nilai yang diperoleh melalui pajak tidak langsung cenderung lebih mudah diprediksi. 2. Pengenaan pajak dapat mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang besar kecilnya penghasilan yang diperoleh. Tanpa pandang bulu, semua yang melakukan transaksi atau kejadian tertentu, diwajibkan melunasi pajak yang tertenggung. 3. Biaya-biaya yang ditimbulkan akibat adanya penerapan pajak tidak langsung relatif lebih murah dibanding pajak langsung. Dikarenakan kesederhanaan landasan aturan yang dipakai, tidak diperlukan banyak perangkat yang bertujuan untuk mensosialisasikan aturan tersebut.
Dasar-dasar Keuangan Publik
132 4.
5.
Teknik pemungutannya yang sederhana tidak memerlukan kegiatan administrasi yang kompleks. Kesederhanaan aturan juga memungkinkan dilakukannya penelusuran dan pengecekan jika terjadi kesalahan dengan cepat tanpa perlu menggunakan formula audit yang kompleks. Fungsi regulator yang dimiliki pemerintah dalam hal kebijakan perpajakan, dapat dengan mudah diterapkan. Dengan mudahnya dipahami, pemerintah lebih mudah memperkirakan dampak dari setiap kebijakan perpajakan yang dikeluarkan.
Kekurangan: 1. Kurangnya rasa berkeadilan antara golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan kedua golongan tersebut dibebani tarif pajak yang sama untuk setiap transaski atau kejadian tertentu. 2. Karena dimungkinkannya terjadi penggeseran beban pajak kepada golongan wajib pajak lainnya, penanggung akhir dari beban pajak tidak langsung belum tentu sesuai dengan target awal. Hal ini tergantung dari tingkat elastisitas kurva permintaan dan penawaran untuk barang-barang terkena pajak tidak langsung. Sebagai contoh, apabila kurva permintaan suatu barang adalah elastis sempurna maka seluruh beban pajak tidak langsung akan menjadi tanggungan produsen. Dengan kata lain, dalam kondisi seperti itu beban pajak tidak langsung tidak dapat dialihkan kepada konsumen. Menurut studi yang pernah dilakukan, pajak yang diterima sebagian besar negara-negara berkembang lebih banyak dari kategori pajak tidak langsung. Hal ini terutama diakibatkan sulitnya melakukan administrasi yang baik dan teliti untuk menerapkan pajak langsung. Sedangkan untuk negara-negara maju, peranan kebijakan fiskal adalah sangat penting. Akibatnya, pajak langsung lebih banyak digunakan dalam instrumen fiskal di negara-negara tersebut. Seluruh aliran dana yang masuk kas negara akibat diterapkannya kebijakan perpajakan biasa disebut sebagai pajak positif. Sedangkan pembayaran transfer oleh pemerintah dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pembayaran transfer atau grant oleh pemerintah dapat dianggap sebagai arus pajak dengan arah yang berlawanan. Misalnya adalah tunjangan sosial dan subsidi pajak terhadap beberapa jenis usaha tertentu. Pada beberapa negara, tunjangan sosial dapat diterapkan untuk memenuhi prinsip keadilan perpajakan. Sebagai contoh, program pensiun kepada semua pegawai akan menguntungkan golongan pendapatan yang rendah karena mereka memperoleh manfaat dari program ini melebihi jumlah kontribusi yang dibayarkan melalui pajak penghasilan yang progresif. Hal tersebut disubsidi silang oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan menengah keatas.
Dasar-dasar Keuangan Publik
133
B A B XIV PRINSIP KEADILAN PERPAJAKAN ada kenyataannya, sulit sekali didapat suatu formula kebijakan perpajakan yang memenuhi seluruh aspek keadilan. Tidak ada suatu kebijakan yang bisa memuaskan seluruh pelaku ekonomi. Suatu kebijakan dianggap adil jika dilihat dari satu sisi, tetapi kurang adil dari sisi yang lain. Untuk itu perlu dibandingkan prinsip-prinsip yang menerangkan bagaimana konsep keadilan dapat dibakukan. Lebih lanjut pembahasan keadilan perpajakan dikaitkan dengan beberapa jenis pajak.
P
Prinsip Manfaat Setiap orang setuju bahwa sistem perpajakan harus adil, dimana setiap wajib pajak harus memberikan kontribusinya yang layak untuk membiayai kegiatan pemerintah. Pendekatan pertama adalah prinsip manfaat (benefit principle). Suatu sistem pajak dikatakan adil bila kontribusi yang diberikan oleh setiap wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperoleh dari jasa-jasa pemerintah. Berdasarkan prinsip ini, sistem pajak yang adil akan tergantung dari struktur pengeluaran publik. Oleh karena itu, prinsip manfaat memandang perekonomian sektor publik sebagai sektor yang melibatkan pengeluaran maupun penerimaan yang berkesinambungan. Agar prinsip manfaat dapat dilaksanakan, maka manfaat yang diperoleh wajib pajak atas terjadinya pengeluaran publik harus diketahui terlebih dahulu. Prinsip manfaat cenderung mengalokasikan penerimaan pajak untuk membiayai jasa-jasa publik, tetapi tidak terlalu mempertimbangkan pembiayaan transfer serta tujuan redistributif. Agar sistem perpajakan dengan prinsip manfaat bisa adil, maka harus diasumsikan bahwa ketika sistem tersebut mulai diberlakukan, sudah terdapat distribusi yang tepat dalam perekonomian. Penerapan berdasarkan manfaat secara umum didasarkan karena setiap wajib pajak mempunyai preferensi terhadap jasa publik yang berbeda-beda, maka tidak ada rumusan umum yang berlaku bagi semua orang. Setiap wajib pajak akan membayar sesuai hasil evaluasi individu. Akan tetapi ada pola umum yang bisa dipelajari.
Dasar-dasar Keuangan Publik
134 Penerapan kebijakan fiskal berdasarkan prinsip manfaat didalam prakteknya, lebih banyak ditetapkan pada penyediaan jasa-jasa publik berdasarkan prinsip manfaat yang khusus. Misalnya pembebanan bea (bea cukai dan bea masuk) serta pajak pengganti pembebanan seperti pajak BBM dan pajak kendaraan dalam rangka pembiayaan jalan raya. Dalam halnya pengenaan pajak melalui pembebanan langsung terhadap pengguna, konsumsinya bersaing secara bebas. Manfaat hanya dapat diperoleh apabila pemakai dapat membayar misalnya biaya penggunaan sarana transportasi dan penyediaan fasilitas bandar udara. Dengan penetapan harga, penyediaan jasa-jasa publik oleh pemerintah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip yang sama seperti yang dilakukan oleh swasta. Keuntungan penyediaan jasa publik model ini adalah dapat meringankan beban keuangan pemerintah. Mekanisme pasar dapat diterapkan untuk mendapatkan posisi tawar menawar yang efisien.
Prinsip Kemampuan Membayar Yang kedua adalah prinsip kemampuan membayar (ability to pay principle). Menurut prinsip ini, sistem pajak dipisahkan dari sisi pengeluaran publik. Perekonomian memerlukan suatu jumlah penerimaan tertentu dan setiap wajib pajak diminta untuk membayar sesuai dengan kemampuannya. Pendekatan ini menyebabkan sisi pengeluaran publik menjadi tidak jelas. Agar prinsip kemampuan membayar dapat diterapkan, harus diketahui dulu bagaimana mengukur kemampuan tersebut. Pendekatan kemampuan membayar lebih baik dalam hal mengatasi masalah redistribusi, tetapi mengabaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik. Ukuran kemampuan membayar mencerminkan kesejahteraan menyeluruh yang dapat diperoleh seseorang termasuk diantaranya adalah pendapatan, pola konsumsi, dan kekayaan. Kemampuan membayar seseorang meningkat jika pendapatan meningkat. Prinsip ini dianggap lebih berkeadilan secara horizontal dan vertikal. Berkeadilan horizontal adalah bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan yang sama harus membayar dengan jumlah yang sama. Berkeadilan vertikal adalah bahwa orang-orang yang mempunyai kemampuan yang lebih besar harus membayar pajak dengan jumlah yang lebih besar pula. Hobbes berpendapat bahwa kewajiban membayar pajak harus dikaitkan dengan pendapatan yang dibelanjakan bukan yang ditabung. Dalam arti, pemborosan harus dikenakan pajak, sedangkan kebajikan harus diberi penghargaan. Pendapat lain mengatakan bahwa tabungan adalah konsumsi yang ditunda. Dan apabila tabungan masyarakat memperoleh bunga, jumlah pajak yang dibayar ikut meningkat apabila seluruh tabungan tersebut dikonsumsikan. Adapun perbandingan dari metode pengenaan pajak terhadap pendapatan dan konsumsi dari prinsip kemampuan membayar tercermin dari table berikut.
Dasar-dasar Keuangan Publik
135 Tabel 12.1: Perbandingan Pajak Penghasilan dan Pajak Konsumsi Pajak penghasilan Pajak Konsumsi Periode I 100 100 100 100 • Gaji 10 10 10 0 • Pajak 90 0 90 0 • Konsumsi 0 90 0 100 • Tabungan Periode II 0 9 0 10 • Bunga 0 0,9 0 11 • Pajak 0 98,1 0 99 • Konsumsi 0 0 0 0 • Tabungan Total Pajak 10 10,9 10 11 Nilai Sekarang (PV) 10 10,82 10 10
Pajak = 10%; Inflasi/Bunga = 10% Pengenaan pajak yang didasarkan atas diterimanya pendapatan (termasuk pendapatan dari bunga tabungan) akan menyebabkan total pajak yang dibayar oleh wajib pajak menjadi lebih besar berbanding lurus dengan besarnya jumlah pendapatan yang ditabung. Ilustrasi pada pajak penghasilan menggambarkan apabila seluruh pendapatan setelah dikurangi pajak dikonsumsi habis, maka tidak akan ada tambahan pendapatan pada periode II (berikutnya) dari tabungan gaji periode I. Sedangkan tambahan pajak akan dikenakan terhadap bagian gaji yang ditabung yang mendapat bunga. Keadaan ini menyebabkan orang cenderung untuk mengurangi tabungan. Ilustrasi pajak atas konsumsi terlihat lebih adil. Hal ini disebabkan tanpa melihat kapan pendapatan akan dikonsumsi, jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak mempunyai nilai sekarang yang sama. Atau dengan kata lain, ditabung atau dikonsumsi, jumlah total pajak yang dibayar memiliki nilai sekarang yang sama (asumsi nilai bunga sama dengan inflasi). Apabila pajak atas konsumsi yang dipilih, dimungkinkan adanya bagian pendapatan yang tidak pernah kena pajak. Bagian pendapatan itu ditabung dan tidak pernah dikonsumsi, yang pada akhirnya menjadi kekayaan individu. Apabila kekayaan individu dapat diwariskan kepada individu lain tanpa dikenakan pajak, maka pendapatan tersebut selamanya bisa tidak dikonsumsi dan tidak kena pajak. Sebaliknya kekayaan individu bisa menambah pendapatan pemiliknya sebagai pendapatan barang-barang modal. Atas dasar ini, kekayaan individu dan warisan bisa dikenakan pajak.
Kriteria Umum Keadilan Perpajakan Untuk keperluan analisis, pajak dapat dikategorikan sebagai pajak penghasilan, pajak penjualan (barang dan jasa) dan pajak kekayaan. Walaupun pada umumnya perpajakan lebih didasarkan atas penghasilan yang dimiliki masyarakat. Dasar-dasar Keuangan Publik
136 Prinsip keadilan perpajakan didasarkan pada distribusi pengenaan pajak untuk memenuhi belanja publik harus didasarkan pada proporsi kekayaan dan pendapatan masyarakat. Prinsip ini dianut oleh semua negara dalam rangka memenuhi tuntutan keadilan dalam hukum. Walaupun pada pelaksanaannya banyak menimbulkan perbedaan-perbedaan. Secara konsep, keadilan perpajakan mengimplikasikan proses redistribusi kekayaan masyarakat dimana orang kaya membayar lebih banyak dari orang yang lebih miskin (dimensi vertikal). Dalam prakteknya, tidak dipungkiri jika orang kaya ikut menikmati sebagian keuntungan dari adanya belanja negara. Disamping keadilan pajak secara dimensi vertikal, perlu juga diperhatikan secara horizontal dimana pengenaan pajak terhadap seseorang harus lebih rendah dari kemampuannya membayar. Sebagai ilustrasi, pajak terhadap seorang petani harus lebih rendah dari hasil pertanian yang dimilikinya. Perlu juga prinsip keadilan pajak dilihat secara geografis dimana orang-orang yang tinggal pada daerah tertentu harus dikenakan pajak yang lebih tinggi. Prinsip keadilan pajak dapat juga dilihat dari sisi yakni penerimaan dan pengeluaran. Beberapa argumen menyimpulkan keadilan pajak jika misalnya kenaikan pajak dikompensasikan dengan penyediaan pendidikan dan transportasi umum yang murah. Juga dapat dikatakan tidak adil jika sumber pendapatan tertentu dikenakan pajak tinggi, sementara sumber tersebut memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional. Struktur pajak yang progresif cenderung lebih mudah dicapai pada struktur perekonomian yang mapan. Menurut konsep ini, masyarakat golongan ekonomi rendah harus dikenakan pajak yang ringan atau dibebaskan dari kewajiban pajak seluruhnya. Hambatan utama dari kebijakan pajak adalah keadaan ekonomi dan politik suatu negara, terbatasnya volume pendapatan masyarakat yang dapat dikenakan pajak, ketakutan akan efek negatif pajak terhadap produksi dan investasi nasional, serta pengaruh kekuatan orang-orang kaya terhadap kebijakan politik nasional. Tidak jarang para pelaku ekonomi yang kuat menyuarakan keluhan-keluhannya terhadap kebijakan pajak baru yang dapat menggangu kegiatan bisnisnya. Distribusi pembebanan pajak yang adil dipengaruhi oleh cakupan faktorfaktor siapa yang membayar dan jenis pendapatannya serta tarif pajak. Hal ini juga dipengaruhi oleh metode assesment dan akurasi penghitungan pajak terhutang. Ketidakakuratan mengakibatkan ketidakadilan karena adanya pajak yang lebih atau kurang bayar. Sulitnya menerapkan metode assesment yang baik juga muncul dalam hal menentukan subjek pajak yang dikecualikan. Kebijakan pajak dianggap adil jika faktor-faktor seperti lanjut usia, dibawah umur, kemiskinan, dan cacat dikecualikan dari subjek kena pajak. Lebih lanjut keadilan pajak juga harus memperhitungkan besarnya jumlah tanggungan dalam keluarga. Sekali lagi pada negara-negara yang relatif maju dalam perekonomian cenderung dapat mempercayai dokumen-dokumen yang membuktikan adanya hak atas pengecualian pajak.
Dasar-dasar Keuangan Publik
137
Prinsip Keadilan dan Pajak Penghasilan Pajak penghasilan dapat dikategorikan sebagai pajak individu dan pajak badan. Sebagai pajak individu, pajak penghasilan dikenakan kepada orang perorang yang memiliki penghasilan tanpa melihat umur atau jumlah yang diterimanya. Sebagai pajak badan adalah pengenaan pajak atas keuntungan badan usaha yang dapat diterima para pemegang saham sesuai proporsi nilai saham yang dimilikinya. Berdasarkan dimensi waktu, pajak penghasilan biasanya dihitung atas jumlah penghasilan selama satu tahun. Penghasilan tersebut merupakan daya beli individu atas barang dan jasa selama satu tahun yang dapat dikonsumsikan atau disimpan untuk keperluan mendatang. Pendapatan masyarakat dapat diukur berdasarkan sumber perolehannya ataupun penggunaannya. Berdasarkan sumbernya, pendapatan adalah seluruh penerimaan selama periode pajak, keuntungan jasa, tunjangan dari pemerintah atau swasta, dan kenaikan nilai kekayaan. Sedangkan berdasarkan penggunaannya berupa pembelian barang dan jasa, beban pajak, sumbangan, dan tabungan. I = C + ΔNW I C ΔNW
= Pendapatan tahunan (annual income) = Konsumsi tahunan (annual consumption) = Perubahan kekayaan bersih setahun (annual change in net worth)
Metode untuk mengukur pendapatan baik berdasarkan sumbernya atau penggunaannya harus ditentukan sebelum pajak penghasilan di jalankan. Kebanyakan sistem akuntansi menggunakan sisi sumber sebagai alat ukurnya. Beberapa ahli menyarankan untuk memasukkan unsur tambahan kenaikan kekayaan sebagai bagian pendapatan kena pajak. Untuk itu perlu dihitung pendapatan yang real jika dimasukkan unsur inflasi sebagai penyeimbang. Pengukuran relatif lebih mudah jika kekayaan yang dimiliki berupa saham dan obligasi. Jika dari sisi pengeluaran, ada item-item pengeluaran yang erat kaitannya dengan kegiatan memperoleh pendapatan seperti peralatan kerja, pakaian kerja, iuran serikat pekerja, biaya penitipan anak, dan transportasi dari/menuju tempat kerja. Pengeluaran-pengeluaran tersebut diperlukan untuk mendapatkan penghasilan dan tidak menambah kekayaan wajib pajak sehingga layak dikeluarkan dari jumlah pendapatan kena pajak. Biaya pelatihan juga diperdebatkan sebagai pengeluaran yang dapat mengurangi pendapatan kena pajak. Pada beberapa kasus, wajib pajak dimungkinkan menerima pendapatan selain uang tunai. Kesulitan muncul pada saat menghitung berapa nilai tambahan kekayaan yang timbul akibat adanya transaksi non moneter ini (income in kind). Pendapatan jenis ini sering terjadi pada usaha-usaha kecil yang memproduksi barang atau jasa. Adakalanya, seorang wajib pajak memperoleh suatu produk atau menerima jasa yang dihasilkan sendiri sehingga tanpa harus mengeluarkan Dasar-dasar Keuangan Publik
138 sejumlah uang. Kegiatan tersebut jelas menambah kekayaan bersih wajib pajak, tapi biasanya luput dari pengenaan pajak. Contoh lain adalah fringe benefit, dimana seorang wajib pajak misalnya menerima pinjaman kendaraan yang dapat digunakan untuk keperluan pribadi atau tunjangan makan yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Kesemua itu dapat dikategorikan sebagai pendapatan yang tidak tercermin dalam gaji yang tertera (nonpecuniary returns). Secara umum, konsep keadilan dalam perpajakan masih dapat diperdebatkan. Akan tetapi, perbedaan pendapat dalam hal kebijakan yang berkeadilan lebih kompleks lagi pada pajak penghasilan. Baik prinsip keadilan secara horizontal maupun secara vertikal, perumusan rancangan kebijakan fiskal lebih memerlukan perhatian khusus. Secara horizontal, pengenaan pajak harus sesuai dengan kesetaraan kemampuan ekonomi masyarakatnya. Sedangkan kesetaraan kemampuan ekonomi bisa diejawantahkan sebagai kesamaan tingkat pendapatan. Atau kesetaraan ini hanya diukur dari jumlah pendapatan yang diterima saja. Sama sekali mengabaikan potensi perbedaan pengeluaran dari masing-masing rumah tangga. Hal-hal seperti jumlah anggota keluarga, biaya kesehatan, biaya pendidikan yang bervariasi sangat mempengaruhi pola pengeluaran rumah tangga. Supaya lebih adil, seharusnya hal-hal yang mempengaruhi pengeluaran rumah tangga juga ikut diperhitungkan. Banyak pendapat yang kurang setuju jika keadilan secara vertikal dilambangkan dengan tarif pajak progresif. Adapun alasan yang mendasari dapat dilihat dari dua kebijakan yang biasa berkaitan dengan pajak progresif. Pertama adalah kebijakan pendapatan tidak kena pajak. Kompensasi dari adanya kebijakan ini adalah rumitnya pelaksanaan peraturan dalam praktek. Pada akhirnya, kerumitan cenderung mendorong keengganan dan penyelewengan wajib pajak. Kedua adalah kebijakan pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi untuk setiap tambahan pendapatan. Wajib pajak cenderung mempermainkan tempo pengakuan suatu pendapatan untuk menghindari pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi.
Prinsip Keadilan dan Pajak Penjualan Prinsip umum yang ingin dicapai dalam pajak penjualan adalah bahwa jumlah pendapatan masyarakat yang ditabung seharusnya tidak perlu dikenakan pajak. Hal ini dipercaya dapat mendorong masyarakat untuk meningkatkan tabungannya disamping kegiatan administrasi perpajakannya yang cenderung lebih mudah. Basis yang menyeluruh terhadap kajian pajak penjualan dapat diturunkan dari basis pajak penghasilan. Jika dalam pajak penghasilan seluruh konsumsi dan tambahan kekayaan wajib pajak dikenakan pajak, maka pada pajak penjualan tambahan kekayaan tersebut (yang biasanya dari tabungan) dikeluarkan dari basis pajak. Seperti pada ilustrasi awal bab, ada semacam penundaan pajak penghasilan sampai terjadi konsumsi atas bagian penghasilan tersebut. Untuk menghindari Dasar-dasar Keuangan Publik
139 akumulasi pendapatan yang tidak kena pajak akibat wajib pajak meninggal dunia, warisan dikenai pajak seketika setelah wajib pajak diumumkan meninggal dunia. Pajak penjualan sama sekali tidak dipengaruhi inflasi. Hal ini disebabkan, hanya porsi penghasilan yang dibelanjakan lah yang kena pajak. Dibandingkan dengan pajak penghasilan, capital gain harus memperhitungkan tingkat inflasi sebelum menentukan jumlah kena pajak. Pada pajak penjualan, selisih lebih kekayaan wajib pajak secara moneter akibat adanya inflasi tidak membuat kemampuan membayarnya meningkat sebagai akibat wajib pajak tersebut harus membelanjakan penghasilannya dengan harga yang telah terinflasi. Perbedaan menarik pajak penjualan dengan pajak penghasilan adalah pada dana yang tersedia berupa pinjaman. Dalam pajak penjualan, pinjaman yang dikonsumsikan tetap dikenai pajak. Sedangkan pada pajak penghasilan, pinjaman tidak dikenakan pajak. Justru bunga yang timbul akibat adanya pinjaman dapat mengurangi dasar penghasilan yang dikenai pajak. Pengenaan pajak penjualan lebih dirasakan dampaknya oleh golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dikarenakan, golongan masyarakat ini cenderung untuk mengkonsumsi seluruh pendapatan yang dimilikinya. Sedangkan golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi memiliki kesempatan untuk menabung sebagian pendapatannya. Makin besar pendapatan golongan masyarakat, makin tinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Untuk menghindari hal tersebut, beberapa langkah, seperti dijelaskan oleh Ulbrich, dapat ditempuh oleh pemerintah seperti: 1. Memperbanyak item aktivitas penjualan kena pajak yang hanya mungkin dilakukan oleh golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. 2. Mengurangi atau mengeliminasi pengenaan pajak yang lebih banyak dikonsumsi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah. 3. Mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi untuk beberapa jenis produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi. 4. Mengembalikan jumlah pajak penjualan yang dibayar kepada masyarakat dengan standar penghasilan tertentu.
Prinsip Keadilan dan Pajak Kekayaan Kekayaan adalah akumulasi dari tabungan dan investasi suatu negara. Seorang wajib pajak dapat memiliki kekayaan melalui kegiatan menabung, memperoleh hibah atau mewarisi kekayaan keluarganya. Seorang wajib pajak yang tidak mampu menabung, tidak memperoleh hibah/hadiah atau warisan tidak akan pernah disebut kaya. Banyak pendapat yang setuju jika pajak kekayaan diterapkan. Hal ini dikarenakan banyak wajib pajak yang berpenghasilan rendah memiliki sejumlah kekayaan yang mana mereka memungut sewa atas pemanfaatan kekayaan tersebut oleh orang lain. Jika hal ini terjadi, sulit sekali mengukur berapa jumlah tambahan pendapatan dari kegiatan sewa tersebut. Dasar-dasar Keuangan Publik
140 Mengadministrasikan pajak kekayaan cenderung lebih sulit. Hal ini terutama untuk kekayaan yang jarang diperjualbelikan. Estimasi nilainya sering meleset dari nilai yang sesungguhnya. Dalam halnya kekayaan yang dimiliki dengan cara hutang, nilai bersih kekayaan harus dikurangi dulu dengan jumlah total hutang supaya tidak terjadi penghitungan ganda. Pengukuran nilai kekayaan akan menjadi lebih sulit jika berupa kekayaan tak berwujud (intangible asset). Secara umum pada pajak kekayaan, seorang penilai independen ditunjuk untuk mengestimasikan nilai. Jika hasilnya dirasa memadai, pengenaan tarif didasarkan atas estimasi nilai yang dihasilkan. Cara lain yang dapat dipakai untuk mengukur nilai sebuah kekayaan adalah dengan menghitung nilai sekarang (present value) dari potensi pendapatan sewa selama masa manfaat kekayaan tersebut. Tentu saja hal ini harus memperhitungkan tren kenaikan harga sewa sehingga dapat mencerminkan nilai pasar sesungguhnya. Secara prinsip, target pengenaan pajak kekayaan (kekayaan atas bendabenda seperti rumah dan mobil) adalah pemiliknya. Aplikasi pengenaan pajak terhadap kekayaan akan lebih mudah diterapkan jika pemilik dan pengguna kekayaan tersebut adalah sama. Problem distribusi pajak yang muncul akan lebih kompleks diprediksi keadilannya apabila kekayaan tersebut disewakan kepada pihak ketiga. Dalam dunia usaha, penanggung akhir dari adanya pengenaan pajak kekayaan makin sulit ditentukan karena melibatkan pemilik usaha, para pegawai, konsumen, dan pemilik kekayaan. Pajak kekayaan cenderung bersifat regresif. Artinya, pajak kekayaan lebih menguntungkan golongan masyarakat yang berpenghasilan tinggi karena nilai uang yang dikeluarkannya sebagai pajak jauh lebih rendah dengan nilai uang untuk pajak kekayaan yang dikeluarkan oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dasar-dasar Keuangan Publik
141
B A B XV DAMPAK PERPAJAKAN TERHADAP PEREKONOMIAN
S
istem perpajakan yang baik adalah sistem perpajakan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap perekonomian negara. Jika tujuan tersebut adalah mengoptimalkan tingkat produksi, kebijakan perpajakan yang dapat ditempuh dapat dengan mengenakan pajak tidak langsung. Sebaliknya jika tujuan yang ingin dicapai adalah pemerataan penghasilan, pajak langsung yang progresif lebih tepat untuk diterapkan. Efficiency Effect Excess Burden adalah tambahan biaya yang membebani masyarakat diatas jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Hal ini mengakibatkan adanya keuntungan yang hilang akibat terdistorsinya keseimbangan harga pada kurva permintaan dan penawaran. Excess burden disebabkan adanya kelebihan biaya pajak yang bersedia dibayar pembeli dibanding jumlah yang diterima oleh penjual. Dengan kata lain, penurunan pendapatan penjual tidak diikuti dengan peningkatan kuantitas yang tersedia untuk dibeli. Berkaitan dengan penerimaan negara, terkadang total excess burden tidak sama dengan total penerimaan negara. Untuk mengukurnya digunakan efficiency-loss ratio dengan persamaan sebagai berikut: W R
= Excess Burden = Tax Revenue
Estimasi efficiency-loss ratio penting dilakukan untuk meminimalkan total excess burden pada sistem perpajakan nasional. Dengan mengurangi pengenaan pajak yang menimbulkan excess burden lebih besar dalam jumlah nominal yang sama, tarif pajak dapat diturunkan tanpa mempengaruhi jumlah total penerimaan negara. Tax Incidence adalah teori yang mempelajari pelaku-pelaku ekonomi mana yang sesungguhnya menanggung beban pajak. Hal ini dimungkinkan karena pelaku ekonomi yang secara hukum berkewajiban membayar pajak kepada Dasar-dasar Keuangan Publik
142 pemerintah belum tentu menggunakan dana pribadi atau dengan kata lain dapat membebankan pajaknya kepada pelaku ekonomi yang lain. Berkenaan dengan dimungkinkannya memindahkan beban pajak kepada pelaku ekonomi lain secara keseluruhan atau sebagian (distribusi pembebanan) maka pembahasan tax incidence dapat dibagi dalam dua konsep yakni statutory incidence dan economic incidence. Statutory Incidence merujuk pada pelaku-pelaku ekonomi yang secara hukum terlibat dalam pendistribusian pembebanan pajak. Sedangkan Economic Incidence lebih mengarah pada pengaruh pendistribusian pembebanan pajak pada tingkat ekulibrium harga.
Dampak Pajak Terhadap Sistem Ekonomi Keseluruhan Secara umum, struktur perekonomian nasional (tanpa pajak) terdiri dari Pendapatan Nasional (Y), jumlah Konsumsi (C) dan Tabungan (S). Hubungan dari ketiga unsur tersebut adalah Pendapatan Nasional sama dengan jumlah Konsumsi ditambah jumlah Tabungan (Y = C + S). Apabila seluruh Tabungan (S) digunakan sebagai Investasi (S = I), maka tidak akan pernah terjadi inflasi atau deflasi. Kadang-kadang yang muncul adalah jumlah Tabungan (S) lebih besar dari jumlah Investasi (I) atau dengan kata lain, tidak semua tabungan digunakan untuk investasi (S > I) maka akan terjadi kelesuan ekonomi, penurunan harga (deflasi), dan pengangguran. Yang sering terjadi justru jumlah Tabungan lebih rendah dari jumlah Investasi (S < I). Kondisi ini menyebabkan kegairahan ekonomi dan kenaikan harga (inflasi).
Gambar 13.1
Dasar-dasar Keuangan Publik
143 Gambar menunjukkan hubungan antara tingkat Pendapatan Nasional (Y), dengan tingkat Konsumsi (C) dan tingkat Investasi (I). Pada tingkat pendapatan nasional sebesar 0Y (S=I), perekonomian dalam keadaan seimbang, tidak ada inflasi ataupun deflasi. Pada tingkat pendapatan 0Y1 (SI) terdapat deflationary gap dimana harga-harga cenderung terus turun sampai tidak ada lagi perbedaan antara Tabungan dan Investasi. Pada kondisi ini instrumen pajak dapat digunakan untuk menurunkan tingkat inflasi, menggeser kurva C+I keatas dengan menerapkan pajak atas tabungan. Terhadap Komposisi Produksi Pajak dapat digunakan sebagai pendorong kepada pelaku ekonomi untuk melakukan aktivitas tertentu dengan memberikan insentif-insentif. Berkaitan dengan dimungkinkannya penerapan insentif pajak pada suatu daerah tertentu, menimbulkan adanya beberapa alternatif pilihan yang dapat diambil oleh para pelaku ekonomi. Dengan kata lain, pajak dapat menyebabkan pergeseran penggunaan faktor-faktor produksi. Pergeseran yang dimaksud adalah dengan mengubah pola produksi sehingga menghasilkan barang-barang yang lebih rendah biaya produksinya akibat tarif pajak yang lebih kecil atau beralih produksi. Sebagai contoh, perusahaan dapat saja mengurangi produksi barang-barang yang merupakan objek pajak dan meningkatkan produksi barang-barang lain yang masih belum merupakan kategori barang kena pajak. Perusahaan lain dapat saja berpindah lokasi industri dari suatu tempat yang mengenakan pajak yang tinggi ke tempat yang memberikan insentif pajak. Seberapa jauh pengaruh pajak terhadap penggunaan faktor-faktor produksi dipengaruhi elastisitas permintaan terhadap barang-barang yang dihasilkan. Barang-barang yang tingkat permintaannya in-elastis sempurna tidak akan terpengaruh dengan adanya pengenaan pajak. Konsumen akan membayar seluruh beban pajak yang ditambahkan pada harga barang. Sebaliknya, jika elastisitas permintaan barang adalah sempurna, perusahaan tidak dapat mengalihkan beban pajaknya pada harga barang. Sehingga disarankan untuk barang-barang yang memiliki elastisitas tinggi, dikenakan pajak yang ringan. Terhadap Usaha Kerja Sebagian besar penerimaan negara dari pajak di Indonesia adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas pendapatan para pegawai. Secara teoritis, pegawai-pegawai tersebut mempunyai dua pilihan yaitu bekerja atau tidak bekerja (memanfaatkan waktu santai) akibat adanya pengenaan pajak penghasilan. Secara mudah dikatakan, pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap kemauan usaha kerja. Pajak dapat menyebabkan orang menjadi kurang giat bekerja. Orang lebih memilih untuk mempunyai lebih banyak waktu santai. Pada Dasar-dasar Keuangan Publik
144 kenyataannya, pengaruh pajak terhadap kemauan kerja individu memiliki sifat yang lebih kompleks. Bagi sebagian orang, pajak tidak menimbulkan disinsentif untuk bekerja. Juga tidak setiap kenaikan pajak akan memberi dampak negatif pada Tabungan masyarakat ataupun Investasi. Reaksi individu terhadap pengenaan pajak lebih banyak ditentukan oleh elastisitas penawaran usaha. Bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, biasanya permintaannya terhadap penghasilan adalah tinggi. Sehingga elastisitas penawaran usahanya adalah tinggi dimana dengan turunnya pendapatan, justru akan mendorong kemauan kerja yang lebih besar. Sedangkan bagi mereka yang kurang peduli dengan gaya hidup mewah, permintaannya terhadap penghasilan rendah sehingga elastisitas penawaran usaha dalam hubungannya dengan penghasilan adalah rendah juga. Terhadap Distribusi Pendapatan Tujuan pembangunan suatu negara pada umumnya adalah peningkatan pendapatan per kapita nasional, penciptaan lapangan kerja, dan distribusi pendapatan yang merata dan keseimbangan dalam neraca pembayaran internasional. Secara teori, semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pula persentase pendapatan yang ditabung. Dari kelompok-kelompok kaya inilah diharapkan sejumlah dana tabungan yang dapat digunakan untuk investasi. Dengan kata lain, masyarakat kelompok miskin tidak punya kemampuan tabungan dan investasi. Menurut pengertian ini, pendapatan nasional yang dikenai pajak akan banyak mempengaruhi turunnya jumlah tabungan masyarakat bukan pada porsi pendapatan yang dikonsumsi yang diasumsikan tetap. Tetapi pada kenyataannya, keadaan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pola konsumsi masyarakat cenderung lebih tinggi dari pola konsumsi masyarakat di negara-negara maju. Sehingga sulit didapatkan dana tabungan masyarakat. Penarikan dana masyarakat secara sukarela dengan iming-iming bunga yang tinggi pada akhirnya juga ikut berpengaruh pada tingkat inflasi nasional. Berdasarkan kenyataan tersebut, kebijakan perpajakan di Indonesia lebih banyak diterapkan untuk mengurangi kesenjangan pendapatan di masyarakat. Hal ini dilakukan dengan menerapkan tarif pajak progresif dan minimum pendapatan yang dapat dikenakan pajak. Kelemahan dari tarif pajak progresif adalah menekan pada kelompok-kelompok kaya pemilik modal sehingga mereka malas bekerja, menabung, dan melakukan investasi.
Kriteria Tarif Pajak Pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi apabila lebih banyak masyarakat yang bekerja, menabung sebagian pendapatannya serta menginvestasikan nilai tabungannya. Hal-hal tersebut menurut Daniel J Mitchell (2003) adalah prilaku-prilaku yang dapat meningkatkan kekayaan nasional. Masyarakat tidak begitu saja bekerja secara produktif dengan diterapkannya anggaran pendapatan dan belanja berimbang. Mereka juga tidak begitu saja meningkatkan tabungan dan investasi apabila dikenakan tarif pajak rendah atau subsidi perpajakan lainnya. Untuk meningkatkan pendapatan nasional sesuai
Dasar-dasar Keuangan Publik
145 dengan karakteristik masyarakat disuatu negara, para pengambil keputusan bidang pajak harus mengkonsentrasikan pada hal-hal yang berakibat positif terhadap prilaku bekerja, menabung dan berinvestasi. Mitchell (2003) memaparkan sembilan petunjuk kebijakan perpajakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sebagai berikut: 1. Penurunan tarif pajak tidak perlu diterapkan seragam untuk seluruh wajib pajak. Beberapa opsi tarif pajak yang dipungut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena tarif pajak yang rendah dapat membuat masyarakat yang produktif semakin giat bekerja. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya cenderung kurang peduli dengan pungutan pajak. Sehingga penurunan tarif pajak tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. 2. Fokus pada pertumbuhan ekonomi, bukan pada penurunan tarif. Beberapa kebijakan insentif pajak atau subsidi dapat berakibat hanya mengurangi jumlah penerimaan negara tanpa menghasilkan peningkatan kegiatan ekonomi secara signifikan. Beberapa negara telah membuktikan bahwa deregulasi perpajakan yang kecil pengaruhnya terhadap turunnya penerimaan negara justru dapat meningkatkan gairah investasi dunia usaha. 3. Kebijakan yang baik menghasilkan penerimaan negara lebih banyak. Jika keadaan prilaku masyarakat wajib pajak adalah produktif, penurunan tarif pajak justru meningkatkan jumlah penerimaan negara. Agar pelaksanaan kegiatan pemerintah tidak terganggu, harus diperhitungkan cara-cara yang dapat mengkompensasikan turunnya penerimaan negara akibat pengenaan tarif yang lebih rendah. 4. Jumlah potensi tambahan konsumsi masyarakat akibat adanya penurunan tarif pajak kurang signifikan terhadap peningkatan kegiatan ekonomi dibandingkan dengan turunnya jumlah total penerimaan negara. Untuk itu perlu diupayakan suatu kebijakan pelengkap yang dapat meng-offset selisih penurunan penerimaan negara tersebut. Pada akhirnya penurunan tarif pajak tidak merubah total pengeluaran, pendapatan nasional, dan pertumbuhan ekonomi. 5. Pertumbuhan ekonomi tidak diakibatkan oleh peningkatan konsumsi. Justru sebaliknya, pertumbuhan ekonmi sebagai faktor yang mendorong jumlah total konsumsi akibat meningkatnya jumlah daya beli masyarakat. Untuk itu, sebaiknya kebijakan publik tidak mengedepankan motif yang berupaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan jalan mendorong konsumsi. 6. Kebijakan pajak yang bardampak positif pada jangka pendek biasanya berdampak positif pula pada jangka panjang. Sebagai contoh, insentif pajak investasi dalam jangka pendek akan menarik minat pemodal masuk kedalam negeri. Secara jangka panjang, faktor produksi tersebut akan juga mendorong pertumbuhan ekonomi agregat menjadi lebih baik. 7. Efisiensi belanja negara penting dilakukan. Meskipun beberapa pos-pos belanja negara membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi seperti penyediaan keamanan dan penegakkan hukum, studi membuktikan bahwa banyak pengeluaran publik yang justru berefek negatif terhadap
Dasar-dasar Keuangan Publik
146
8.
9.
pertumbuhan ekonomi. Efisiensi belanja negara dapat dilakukan dengan merampingkan struktur pemerintahan. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh investasi yang produktif. Dana investasi terutama diambil dari tabungan masyarakat. Invesatsi dan tabungan, keduanya dipengaruhi oleh tingkat suku bunga. Sedangkan tarif pajak adalah salah satu faktor yang mempengaruhi suku bunga. Untuk itu perlu dikembangkan kebijakan pajak yang mendorong iklim investasi dan menabung. Defisit belanja negara dapat berpengaruh pada turunnya tingkat suku bunga. Tetapi pengaruhnya kurang signifikan dibanding pengaruh faktorfaktor lain seperti pasar modal. Riset akademis yang dihasilkan menunjukkan bahwa tidak ada korelasi positif antara anggaran surplus, berimbang, atau defisit dengan tingkat suku bunga.
Inti dari sembilan petunjuk diatas adalah segala upaya kebijakan pajak seharusnya difokuskan pada pertumbuhan ekonomi nasional dengan memberikan insentif pada aktivitas-aktivitas produktif nasional. Walaupun dibeberapa negara penurunan tarif pajak justru dapat meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi, penurunan tarif bukanlah satu-satunya cara yang dapat diambil pemerintah.
Kriteria Struktur Pajak yang Baik Kebijakan perpajakan akan memberi dampak yang signifikan jika disusun secara komprehensif, dengan mempertimbangkan seluruh dampak yang dapat ditimbulkan pada level ekonomi makro. Seperti dikutip dari Musgrave, kriteria yang bisa menentukan baik tidaknya sebuah kebijakan perpajakan dapat dilihat sebagai berikut: 1. Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat 2. Distribusi beban pajak harus adil. Setiap orang harus dikenakan pajak sesuai dengan kemampuannya. 3. Penanggung akhir beban pajak harus menjadi pokok perhatian. 4. Peraturan perpajakan harus mendukung kebijakan perekonomian dan mendorong pasar yang efisien. 5. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijakan fiskal untuk mencapai stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi. 6. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan mudah dipahami oleh wajib pajak. 7. Biaya administrasi dan biaya-biaya pembayaran pajak lainnya harus dibuat serendah mungkin. Penerimaan pajak harus dirumuskan secara tepat, sehingga bisa merefleksikan kemampuan membayar dari seluruh wajib pajak yang ada sehingga tidak terlalu besar atau terlalu kecil. Jika jumlah yang ditetapkan terlalu besar, dikhawatirkan investor tidak akan mau menanamkan modalnya di dalam negeri. Hal ini mengakibatkan multiplier efek yang diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tidak tercapai. Pada akhirnya, jumlah target penerimaan pajak tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya jika terlalu kecil, dikhawatirkan jumlahnya tidak dapat membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah Dasar-dasar Keuangan Publik
147 yang bermanfaat untuk menciptakan value yang dapat merangsang perputaran gerak roda eknomi. Keadilan perpajakan pada intinya adalah, beban pajak harus terdistribusi sedemikian rupa sehingga target pencapaian penerimaan pajak bisa diimbangi dengan mengurangi kesenjangan pendapatan golongan masyarakat yang kaya dengan golongan masyarakat miskin. Kecilnya kesenjangan bisa mendorong stabilisasi yang kondusif bagi perbaikan ekonomi nasional. Adanya kemungkinan peralihan beban pajak kepada penanggung akhir, perlu dilakukan pengkajian mendalam dengan melakukan simulasi yang menyeluruh untuk dapat memperoleh gambaran dampak pembebanan penanggung akhir terhadap stabilisasi ekonomi. Perlu dibuat aturan-aturan teknis yang simple dan dapat menghindarkan terjadinya salah sasaran. Jika pajak diterapkan atas produk-produk tertentu, perlu dikaji serius mengenai elastisitas permintaan dan penawarannya dalam ekonomi pasar. Ekonomi yang terus tumbuh dan pasar yang efisien harus terus dijaga agar kemakmuran masyarakat tidak rusak akibat adanya penerapan kebijakan perpajakan. Kemungkinan pergeseran titik equilibrium kurva permintaan dan penawaran harus terus diantisipasi dan terus diawasi dengan memasukkan unsurunsur spesifik para pelaku ekonomi setempat. Kebijakan perpajakan harus tetap mengindahkan konsep kestabilan ekonomi. Harus dapat ditentukan pada awal permusan kebijakan bahwa implementasinya pada akhirnya akan meminimalkan gejolak ekonomi, misalnya dengan adanya kegiatan sosialisasi yang memadai. Ekonomi yang sering bergejolak biasanya tidak menguntungkan iklim investasi. Dengan kata lain, investor-investor terutama para pemodal asing sangat mengharapkan adanya kepastian iklim berusaha. Segala kebijakan harus mengacu pada kesederhanaan. Rumusan-rumusan yang dipakai harus menghindari kesalahpahaman massal yang menyebabkan kekacauan pada proses administrasi. Simulasi terhadap bakal munculnya kekeliruan yang tidak diharapkan harus disiapkan secara matang. Simulasi tersebut bisa menggunakan beberapa skenario yang berbeda dan mengamati hasilnya. Segala biaya yang tidak berkaitan langsung dengan beban pajak sesungguhnya harus diminimalkan. Hal ini untuk memberikan kepastian berusaha bagi para pemilik modal dalam rangka menghitung proyeksi keuntungan investasi. Dengan demikian risiko biaya tinggi yang tidak terduga akibat penyelewengan peraturan oleh oknum pelaku ekonomi bisa dieliminasi.
Dasar-dasar Keuangan Publik
148
B A B XVI PAJAK PENGHASILAN WAJIB P AJAK PRIBADI
P
ajak penghasilan pertama kali diberlakukan di Indonesia sebagai suatu sistem perpajakan integral yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pertama kali diberlakukan dikenal dengan nama Pajak Penghasilan 1932 atau Inkomsten Belasting 1932. Pada tahun 1944, peraturan pajak ini diubah dengan Ordonansi Perpajakan tahun 1944 yang digunakan oleh Pemerintah Kolonial Jepang untuk melakukan pungutan-pungutan terhadap hasil pertanian sebagai pajak. Selama masa revolusi, tidak ada pungutan pajak yang berarti yang dapat dikumpulkan. Yang ada hanyalah kantor iuran negara yang menerima pembayaran pajak dari beberapa pedagang. Setelah kedaulatan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia, peraturan perpajakan Belanda dipergunakan kembali dengan melakukan penataan dan perluasan seperlunya, sehingga sampai dengan sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak yang berlaku di Indonesia yang dapat dikelompokkan sebagai pajak penghasilan adalah Pajak penghasilan (PPd), Pajak Perseroan (PPs) serta Pajak atas Bunga, Dividen dan Royalti (PBDR). Setelah reformasi perpajakan tahun 1983, pajak-pajak berdasarkan peraturan perpajakan Belanda ini disatukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-Undang ini mengalami perubahan dan perbaikan sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1991, 1994 dan 2000.
Aturan Utama Prinsip dasar Pajak Penghasilan adalah bahwa penghasilan wajib pajak dari semua sumber harus digabungkan menjadi satu angka tunggal ukuran penghasilannya. Penghasilan total ini kemudian dikurangi dengan pengecualianpengecualian dan pengurangan-pengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan yang akan dikenakan pajak. Inilah dasar pengenaan pajak yang akan
Dasar-dasar Keuangan Publik
149 dikalikan dengan tarip pajak untuk mendapatkan pajak yang menjadi beban bagi wajib pajak. Penentuan Penghasilan Kena Pajak Konsep utama dalam perhitungan penghasilan kena pajak adalah penghasilan bruto dan penghasilan kena pajak. Penghasilan Bruto. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 mendefinisikan penghasilan yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam nama dan bentuk apapun. Penghasilan dari semua sumber, selain yang dikecualikan digabungkan untuk menentukan Penghasilan Bruto. Penghasilan ini akan meliputi: a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik profesi dan sebagainya. b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan. c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan sebagainya. d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya. Dari angka penghasilan ini, wajib pajak dapat mengurangkan biaya-biaya atau pengurangan-pengurangan tertentu untuk mendapatkan penghasilan neto. Penghasilan dari usaha dan pekerjaan bebas dimasukkan dalam penghasilan neto setelah dikurangkan biaya-biaya. Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dilaporkan dalam penghasilan setelah dikurangkan dengan beberapa biaya dan penghasilan yang dikecualikan. Walaupun penghasilan neto dimaksudkan untuk menjadi satu alat ukur yang komprehensif atas posisi penghasilan wajib pajak, alat ukur ini ternyata tidak sekomprehensif mungkin. Beberapa penghasilan nonkas diabaikan (seperti imputed rent dan capital gain yang belum direalisasikan) dan beberapa penghasilan kas tertentu dikecualikan (seperti pembayaran asuransi dan pensiun). Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Penghasilan neto yang telah dihitung kemudian dikurangkan dengan PTKP. PTKP yang berlaku saat penulisan buku ini adalah wajib pajak dan pasangannya (masing-masing Rp2.880.000, kecuali bila pasangannya tidak berpenghasilan maka PTKP-nya Rp1.440.000) ditambah tiga orang tanggungan (masing-masing Rp1.440.000). Penerapan Tarip Pajak Pajak dihitung dengan menerapkan angka tarip pada skedul tarip pajak dengan angka Penghasilan Neto setelah dikurangi PTKP. Skedul tarip ini ditetapkan berdasarkan Undang-Undang dalam bentuk tarip marjinal, yang berlaku untuk tingkatan penghasilan yang naik secara berurutan. Sejak tahun 1983 sampai
Dasar-dasar Keuangan Publik
150 dengan 1994, tarip pajak yang ditetapkan antara 15% sampai dengan 35%, sejak tahun 1995 tarip pajak diturunkan antara 10% sampai dengan 30%. Prosedur Pembayaran Beberapa hal penting berkenaan dengan aspek prosedural utama pajak penghasilan Kewajiban menyerahkan SPT. Kewajiban menyerahkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan diberlakukan kepada semua wajib pajak yang telah memiliki NPWP. Oleh karena itu, hanya wajib pajak yang tidak wajib memiliki NPWP tidak diwajibkan untuk menyerahkan SPT Tahunan. Wajib pajak tersebut adalah mereka yang mempunyai penghasilan neto lebih kecil dari PTKP atau yang memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi kerja. Batas waktu penyerahan SPT Tahunan adalah tiga bulan setelah Tahun Pajak berakhir, pada saat wajib pajak harus menyerahkan pembayaran terakhir untuk pajak-pajak yang terutang pada Tahun Pajak yang telah berakhir atau menagih pengembalian pajak. Bersamaan dengan penyerahan SPT, wajib pajak menyerahkan estimasi pajak penghasilan yang harus dibayar tahun berikutnya, dan setoran pajak penghasilan masa tahun berikutnya itu didasarkan pada informasi estimasi ini. Pemotongan Pajak (Withholding). Sebagian besar pajak dipungut dengan cara dipotong oleh pihak yang melakukan pembayaran. Sistem ini memiliki banyak keunggulan. Dengan cara ini, pembayaran pajak dikaitkan dengan tingkat penghasilan tahun berjalan daripada tertinggal satu tahun, responsivitas pembayaran pajak terhadap perubahan dalam tingkat penghasilan pribadi sangat meningkat. Responsifitas sangat penting bagi efektivitas kebijakan stabilisasi. Sistem Pemotongan Pajak juga memastikan ketaatan sepenuhnya karena pernyataan penghasilan tidak diberikan sepenuhnya hanya kepada wajib pajak. Pada saat yang sama, sistem pemotongan pajak juga menimbulkan biaya tersendiri. Jika tarip pajak yang dipotong ditetapkan cukup tinggi untuk mendapatkan penerimaan pajak setinggi-tingginya, kelebihan pemotongan pajak akan dialami oleh para wajib pajak tertentu sehingga para wajib pajak ini yang secara riil memberikan pinjaman bebas bunga kepada Pemerintah. Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, harus mengembalikan kelebihan pemotongan ini kepada para wajib pajak tertentu tersebut. Audit. Sistem dasar yang melandasi Pajak Penghasilan Indonesia adalah self assessment. Setiap wajib pajak bertanggung jawab untuk menyatakan penghasilan mereka dan menghitung besarnya pajak penghasilan yang terhutang. Walaupun Direktorat Jenderal Pajak memeriksa aritmetika perhitungan pajaknya, dalam hal ini sangat dibantu oleh fasilitas komputer yang dimilikinya, DJP tidak dapat mengaudit semua SPT yang diterima. Biaya untuk mengaudit semua SPT tersebut akan sangat besar. Oleh karena itu, pemeriksaan sampel secara acak digunakan untuk membuat wajib pajak tetap patuh pada peraturan perpajakan. SPT yang melaporkan hal-hal yang tidak biasa (misalnya biaya yang mengurangi penghasilan yang sangat besar atau sumber penghasilan yang tidak biasa dapat diaudit), pada waktu-waktu tertentu kelompok wajib pajak tertentu akan
Dasar-dasar Keuangan Publik
151 diperiksa, misalnya dokter atau pengusaha retail. Walaupun begitu, cakupan auditnya terbatas.
Prinsip-Prinsip Definisi Penghasilan Konsep penghasilan dasar yang menjadi penentuan kewajiban pajak penghasilan dalam praktiknya adalah penghasilan neto. Seberapa baikkah penghasilan neto digunakan sebagai suatu ukuran kapasitas pajak? Dalam konsep basis pajak, ada dua kandidat utama sebagai basis pajak untuk pajak pribadi, yaitu penghasilan dan konsumsi. Bila kita memilih penghasilan sebagai basis pajak, maka penghasilan, sebagai indeks kapasitas kemampuan membayar pajak, harus didefinisikan sebagai kenaikan total atas kekayaan seseorang. Semua tambahan kemampuan ekonomis (accretion) harus dimasukkan, baik yang teratur ataupun yang fluktuatif, yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan, baik yang terealisasi ataupun yang tidak terealisasi. Kita tidak perlu mempertimbangkan bagaimana penghasilan tersebut digunakan, apakah akan diinvestasikan atau akan dikonsumsi. Selain itu, penghasilan dari semua sumber yang didefinisikan harus diperlakukan secara seragam dan digabungkan sebagai penghasilan global yang akan dikenakan tarip pajak. Tanpa pengglobalan ini, penerapan tarip yang progresif tidak dapat menghasilkan efek yang diharapkan yaitu mengadaptasi pajak pada kemampuan membayar wajib pajak. Pandangan pajak penghasilan ini banyak diterima oleh berbagai kalangan dewasa ini. Sekarang, konsep tambahan kemampuan ekonomis ini akan dianalisis secara mendalam apa implikasinya dalam praktik dan bagaimana konsep ini diterapkan secara memuaskan dalam perhitungan penghasilan neto. Penghasilan bruto versus penghasilan neto Penghasilan dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis (accretion concept) harus diukur dalam satuan penghasilan neto, yaitu penghasilan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan. Peraturan perpajakan mendefinisikan penghasilan yang akan dikenakan pajak sebagai penghasilan neto karena biaya-biaya yang terjadi dalam memperoleh penghasilan pada umumnya, walaupun tidak selalu, dikurangkan dari penghasilan. Peraturan perundang-undangan juga membolehkan wajib pajak mengurangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti biaya jabatan dan iuran pensiun. Akan tetapi, perlakuan biaya bunga yang boleh dikurangkan dipertanyakan konsistensinya, terutama berkaitan dengan perlakuan biaya-biaya permodalan lainnya. Walaupun ada pengecualian-pengecualian tertentu, pada umumnya penghasilan yang dapat dikenakan pajak telah dinyatakan dalam satuan penghasilan neto. Prinsip lain dalam mendefinisikan penghasilan neto adalah bahwa kerugian harus dapat diperlakukan sebagai pengurangan sepenuhnya. Karena tambahan kemampuan ekonomis dirancang untuk mengukur konsumsi plus kenaikan dalam kekayaan bersih, kerugian operasi harus dikurangkan dalam menentukan penghasilan neto dari kegiatan usaha. Kerugian mengurangi
Dasar-dasar Keuangan Publik
152 kekayaan bersih sebagaimana keuntungan meningkatkannya. Oleh karenanya, Pemerintah harus konsisten memperlakukan keduanya. Walaupun peraturan perundang-undangan tidak memberikan fasilitas pengembalian pajak, para wajib pajak dapat memperlakukannya untuk mengurangi kewajiban pajak beberapa tahun yang akan datang. Capital Income versus Labor Income Berdasarkan konsep tambahan kemampuan ekonomis, sumber penghasilan bukanlah suatu permasalahan. Akan tetapi, beberapa ahli perpajakan secara tradisional membedakan antara penghasilan dari pekerjaan (upah dan gaji) dan penghasilan dari modal, yang menekankan bahwa penghasilan dari pekerjaan harus dikenakan beban pajak yang lebih ringan. Pada beberapa negara maju, ada kredit pajak bagi wajib pajak yang memperoleh penghasilan dari pekerjaan tetapi wajib pajak yang hanya memperoleh penghasilan atas modal tidak memperoleh kredit pajak ini. Hal ini dinilai sebagai ketidakkonsistenan penerapan konsep penghasilan ini. Penghasilan Riil versus Penghasilan Nominal Penghasilan adalah alat ukur kemampuan membayar, oleh karenanya harus didefinisikan dalam satuan riil. Kenaikan dalam penghasilan uang yang sepadan dengan kenaikan harga-harga bukan merupakan kenaikan dalam penghasilan riil. Dengan demikian, dalam situasi ini, kewajiban pajak dalam satuan riil sama dengan nol. Pandangan ini menjadi penting ketika tingkat inflasi sangat tinggi. Penghasilan yang Terakumulasi versus Penghasilan yang Terealisasi Sesuai dengan definisi penghasilan sebagai ukuran peningkatan penghasilan, maka tidak menjadi perbedaan apakah penghasilan tersebut telah diterima secara kas (seperti gaji, upah, dan hasil penjualan aset) ataupun terakumulasi dalam bentuk kenaikan nilai aset yang tidak dijual. Direalisasikan ataupun tidak adalah pilihan portofolio bagi investor dan tidak boleh mempengaruhi penghasilan yang diukur untuk keperluan perpajakan. Hal inilah yang menjadi bagian dari topik kontroversial untuk memajaki capital gains. Imputed Income Beberapa orang memiliki aset yang memberikan penghasilan kas; yang lainnya memiliki barang-barang konsumsi jangka panjang yang memberikan imputed income, contohnya adalah rumah yang ditinggali pemiliknya. Pemilik mendapatkan imputed rent yang sama dengan penghasilan yang ia dapatkan apabila ia menyewakan rumahnya. Karena kenaikan kemampuan (accretion) didefinisikan sebagai peningkatan kekayaan bersih dan konsumsi, nilai dari konsumsi yang imputed tersebut harus dimasukkan ke dalam basis pajak. Penghasilan neto, yang condong pada konsep penghasilan kas, tidak memperhitungkan imputed income. Pengabaian ini menyebabkan ketidakadilan perlakuan pajak bagi pemilik rumah dan penyewa. Pembayaran yang diterima dalam bentuk natura, seperti makanan yang diperoleh dari tanaman dari lahan pribadi, layanan kendaraan kantor atau Dasar-dasar Keuangan Publik
153 keuntungan-keuntungan dari tunjangan-tunjangan natura, juga tidak diperhitungkan dalam penghasilan neto, walaupun seharusnya diperhitungkan dalam konsep penhasilan. Hal ini menjadi penting karena pembayaran dalam bentuk natura, dalam bentuk berbagai tunjangan-tunjangan natura seperti kendaraan kantor, menjadi pengganti penghasilan kas untuk menghindari pajak penghasilan. Dan juga, penerapan imputed income menjadi tidak mungkin apabila dilakukan terlalu jauh. Contohnya, secara konseptual, jasa rumah tangga yang dilakukan sendiri (seperti memasak, mencuci dan memelihara anak) merupakan penghasilan imputed bagi rumah tangga. Akan tetapi, memasukkan penghasilan ini ke dalam penghasilan neto memunculkan permasalahan serius dalam hal pengukuran dan hal-hal lain yang harus diperhitungkan ketika memberlakukan pajak penghasilan atas dasar rumah tangga. Permasalahan yang lebih membingungkan lagi adalah waktu santai (tidak bekerja). Jika seseorang memutuskan untuk santai (tidak bekerja), ini adalah bukti (seperti yang dinyatakan oleh logika ekonomi) bahwa ia menilai tidak bekerja tersebut sama dengan penghasilan ekuivalen yang hilang karena tidak bekerja. Logika tambahan kemampuan ekonomis (accretion) menyatakan bahwa penghasilan yang diterima dalam bentuk natura, dalam bentuk santai, harus dimasukkan ke dalam basis pajak. Akan tetapi, implementasi dari aturan ini tidak akan mungkin bisa dilakukan. Penghasilan versus Transfer Dari sudut pandang ekonom, pendapatan nasional adalah jumlah dari pendapatan faktor selama satu periode, yang juga menyatakan nilai dari output yang diproduksi oleh faktor-faktor tersebut. Transfer yang diterima dari pemerintah atau sumber-sumber swasta (seperti donasi dan hibah) bukan merupakan komponen penghasilan dalam istilah pendapatan nasional. Akan tetapi, perlakuan pajak seharusnya tidak mengikuti aturan dalam perhitungan pendapatan nasional. Pemilihan basis pajak merupakan permasalahan keadilan pajak. Oleh karenanya, penghasilan kena pajak seseorang tidak harus sama dengan bagiannya dalam pendapatan nasional dan juga total penghasilan kena pajak dala suatu negara harus sama dengan total pendapatan nasional. Warisan dan Hibah Transfer pribadi, seperti warisan dan hibah, juga tidak dikenakan pajak penghasilan. Transfer seperti ini tidak dikurangkan dari penghasilan oleh pemberi dan juga tidak dilaporkan sebagai penghasilan oleh penerima. Dalam konsep tambahan kemampuan ekonomis (accretion), perolehan warisan atau hibah merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi penerima, seperti juga tambahan kemampuan ekonomis dari sumber-sumber lain, dengan demikian harus dimasukkan ke dalam basis pajak penghasilan bagi penerimanya. Jika hal ini dilakukan, apakah transfer seperti ini harus dikurangkan dari basis penghasilan pajak pemberi? Tidak selalu, karena konsep penghasilan berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis, bukannya penggunaan. Juga, tidak ada keharusan bahwa basis pajak agregat sama dengan penghasilan total yang didefinisikan dalam pendapatan nasional. Dasar-dasar Keuangan Publik
154 Penghasilan Teratur versus Penghasilan Tidak Teratur Seringkali dimunculkan argumen bahwa penghasilan yang tidak teratur dan tidak diharapkan harus dimasukkan dalam penghasilan yang dikenakan pajak. Akan tetapi, posisi ini seringkali tanpa alasan yang kuat. Bagaimanapun juga, penghasilan yang tidak teratur dan penghasilan yang teratur sama pengaruhnya bagi kemampuan wajib pajak. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk membedakannya. Walaupun demikian, tarip pajak yang progresif cenderung diskriminatif terhadap penghasilan yang fluktuatif. Permasalahan ini dapat dikurangi dengan menerapkan aturan meratakan penghasilan.
Praktek Definisi Penghasilan: Pengecualian Analisis terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan menunjukkan banyaknya penyimpangan dari prinsip tambahan kemampuan ekonomis. Beberapa tambahan kemampuan ekonomis, seperti imputed income, tidak dimasukkan, sedangkan beberapa lainnya dikecualikan dari penghasilan neto. Penghasilan-penghasilan yang dikenakan pajak final Untuk memudahkan penagihan dan meningkatkan ketaatan pajak, pada beberapa transaksi tertentu berlaku tarip pajak final. Pada transaksi-transaksi ini, pajak langsung dibayarkan dengan sistem pemotongan dan tidak dapat dikreditkan dalam perhitungan Pajak Penghasilan akhir. Beberapa penghasilan yang dikenakan pajak final adalah: 1. Penghasilan yang diperoleh dari hak atas tanah dan bangunan. 2. Penghasilan jasa konstruksi dan jasa konsultan, sebelum tahun 2000. 3. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek. 4. Penghasilan dari hadiah undian Perlakuan atas pajak final ini sebenarnya melanggar prinsip keadilan pajak, karena pada transaksi tertentu seperti transaksi penjualan saham di bursa efek, walaupun belum ada penghasilan karena belum tentu transaksi tersebut memberikan untung, wajib pajak sudah diharuskan membayar pajak. Demikian pula pada transaksi-transaksi yang menguntungkan, tarip pajaknya proporsional seberapapun besarnya penghasilan (keuntungan) yang didapat. Keadilan horizontal dilanggar karena perlakuan ini menghasilkan perbedaan dalam kewajiban pajak pada tingkatan penghasilan tertentu. Keadilan vertikal dipengaruhi karena prinsip progresivitas tidak berlaku pada penerapan pajak final. Capital gain Berkenaan dengan perlakuan pajak terhadap capital gain, debat yang terjadi berkisar (1) apakah laba yang direalisasikan harus diperlakukan sebagai penghasilan biasa, dan (2) apakah laba yang tidak direalisasikan harus juga dipajaki.
Dasar-dasar Keuangan Publik
155 Perlakuan atas laba yang direalisasikan. Peraturan perpajakan memberikan perbedaan perlakuan pada beberapa capital gain, yaitu capital gain dari penjualan saham di bursa efek dan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pajak untuk transaksi-transaksi ini bersifat final dan dikenakan atas nilai transaksi, bukannya atas labanya. Perlakuan ini jelas-jelas melanggar prinsip keadilan pajak, baik keadilan horizontal maupun keadilan vertikal. Tidak ada dasar yang kuat berdasarkan prinsip keadilan untuk membedakan perlakuan pajak terhadap laba yang direalisasikan terhadap penghasilan dari usaha. Penghasilan didapatkan dari keduanya dan tidak ada dasar yang membedakan keduanya. Memang ada masalah khusus bahwa capital gain sifatnya tidak teratur dan cenderung berfluktuasi sehingga harus membayar lebih banyak dalam sistem tarip pajak yang progresif, bila dibandingkan jika capital gain tersebut diterima sebagai pendapatan tetap, kesulitan ini dapat dihilangkan dengan menggunakan aturan perataan yang tepat. Perlakuan terhadap laba yang belum direalisasikan. Karena penghasilan neto dinyatakan dalam bentuk penghasilan kas dan hanya memasukkan penghasilan kas saja, laba yang belum terealisasikan tidak dipajaki. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip tambahan kemampuan ekonomis. Berdasarkan prinsip ini, penghasilan sebagai suatu indeks dari kemampuan membayar wajib pajak harus diukur sebagai tambahan kekayaan. Semua tambahan harus dimasukkan, baik terealisasi (berubah menjadi kas) ataupun tidak. Jika Tuan Amir memiliki portofolio saham PT Telkom yang nilainya naik Rp100.000.000, kekayaannya telah bertambah sebanyak jumlah ini yang dapat diubahnya menjadi kas bila ia memutuskannya. Faktanya dia tetap memiliki dalam bentuk portofolio saham menunjukkan preferensinya untuk tetap terus memegangnya bila dibandingkan dengan alternatif lainnya, misalnya menjualnya untuk dikonsumsi atau diinvestasikan dalam bentuk aset lainnya. Apakah laba telah terealisasi tidak ada relevansinya dengan apakah ada peningkatan kemampuan ekonomis. Bahwa realisasi dalam bentuk kas memungkinkan, keputusan untuk merealisasikan dalam bentuk kas atau tidak adalah keputusan manajemen portofolio dan bukan adanya tambahan penghasilan. Penundaan pengenaan pajak setelah realisasi memberikan perlakuan yang menguntungkan kepada jenis penghasilan yang belum direalisasikan. Walaupun demikian, simpulan ini telah menjadi bahan perdebatan yang berkelanjutan dalam bentuk argumentasi-argumentasi berikut: a. Laba yang belum direalisasikan tidak boleh dipajaki karena pemiliknya dihalangi untuk melakukan konsumsi. Walaupun tidak ada konsumsi, hal ini tidak relevan dengan definisi basis dari pajak penghasilan. Prinsipnya adalah semua penghasilan harus dipajaki, tidak peduli akan digunakan untuk apa; dan walaupun berdasarkan pajak konsumsi, pembedaan apakah sudah terealisasi dan belum terealisasi bukan merupakan hal yang utama. (Berdasarkan suatu pajak konsumsi, laba yang belum direalisasikan akan dikecualikan dan laba yang direalisasikan akan dimasukkan hanya jika dikonsumsi. Laba yang sudah direalisasikan tetapi tidak dikonsumsi perlakuannya sama dengan laba yang belum direalisasikan.) Dasar-dasar Keuangan Publik
156 b. Laba yang belum direalisasikan tidak boleh dipajaki karena ketiadaan realisasi membuat kita tidak mengetahui keberadaannya. Pada awal munculnya pembukuan oleh para saudagar Venesia, mereka tidak membukukan pendapatan mereka sampai nakhoda kapal telah kembali ke pelabuhan dan menyerahkan uang hasil dagangan. Prinsip akuntansi yang hati-hati hanya mengakui pendapatan setelah ada realisasi. Akan tetapi, situasi bisnis telah berubah dan analogi seperti ini tidak tepat lagi, misalnya untuk pemegang saham PT Telkom yang dapat menjual sahamnya sewaktu-waktu. Pengukuran atas laba yang belum direalisasikan memang sulit, tetapi hal ini bukan halangan yang luar biasa. c. Pemajakan atas laba yang belum direalisasikan mengharuskan wajib pajak membayar pajak walaupun ia tidak memiliki uang kas untuk membayarnya. Pandangan ini tepat, tetapi apakah hal itu jadi persoalan? Sebagaimana halnya hutang-hutang lainnya yang jatuh tempo, adalah beralasan bagi pemerintah untuk meminta wajib pajak melikuidasi sebagian asetnya untuk membayar pajak bila diperlukan. Untuk situasisituasi di mana likuidasi parsial tidak memungkinkan (misalnya bisnis keluarga), pemerintah dapat memberikan waktu yang cukup untuk itu. d. Untuk suatu penghasilan yang akan diterima, penghasilan tersebut harus dapat dipisahkan dari aset yang menghasilkannya. Pandangan ini, yang banyak mendapatkan dukungan-dukungan hukum pada tahap-tahap awal diskusi pajak penghasilan, sulit digunakan untuk meyakinkan para ekonom. Pemisahan adalah pilihan investasi, sedangkan penghasilan diperoleh karena nilai aset meningkat. Jika pendekatan tambahan kemampuan ekonomis diikuti, laba yang sudah ataupun yang belum direalisasikan harus dimasukkan dalam penghasilan kena pajak dan digabungkan dengan penghasilan dari sumber-sumber lainnya. Suatu pendekatan yang konsisten mengharuskan bahwa pengenaan pajak pada semua laba ini harus diikuti dengan pemberian pengurangan untuk kerugian-kerugian. Selain itu juga, pengenaan pajak atas capital gain harus juga disesuaikan dengan inflasi. Permasalahan penerapan. Walaupun permasalahan pengenaan pajaknya telah jelas secara prinsip, apakah ada cara yang layak untuk memajakinya? Pengenaan pajak sepenuhnya atas laba yang sudah direalisasikan dapat dilaksanakan tanpa kesulitan-kesulitan teknis yang muncul, akan tetapi situasinya jauh lebih sulit untuk laba yang belum direalisasikan. Pengenaan pajak secara tahunan atas laba yang belum direalisasikan tidak memungkinkan karena ketidakpraktisan dalam melakukan penilaian aset secara tahunan. Beberapa aset, seperti sekuritas yang diperdagangkan, dapat dinilai dan dikenakan pajak secara periodik, misalnya setiap lima tahun. Akan tetapi, untuk aset lainnya (seperti lukisan dan tanah pertanian) sulit untuk dinilai. Oleh karena itu, telah ada usulan untuk mengenakan pajak pada saat kematian atau pemindahan aset ini (misalnya melalui pemberian) seolah-olah telah terealisasi pada saat itu. Hal ini sering disebut dengan realisasi konstruktif yang akan mengurangi kebutuhan penilaian aset hanya pada satu tanggal tertentu sehingga lebih mudah dikelola. Dengan membolehkan perataan dan menyebarkan pembayaran pada beberapa periode, ketidakadilan yang timbul karena likuidasi paksa dapat dihindari. Dasar-dasar Keuangan Publik
157
Walaupun realisasi konstruktif dapat memindahkan laba yang belum direalisasikan ke dalam basis pajak, cara ini masih memberikan beberapa keuntungan bagi capital gain. Bila penghasilan-penghasilan lain dipajaki secara reguler, pajak atas laba yang belum direalisasikan ditunda sampai kematian, yang memungkinkan wajib pajak untuk memperoleh penghasilan atas aset tersebut sementara waktu. Penundaan pajak sama dengan memperoleh pinjaman bebas bunga, yang nilainya dapat sangat substansial terutama bagi para wajib pajak muda yang mampu menunda untuk periode waktu yang sangat panjang. Tabungan Hari Tua dan Rencana Pensiun Tabungan Hari Tua adalah kegiatan memisahkan penghasilan tahun berjalan untuk penggunaan di masa depan, dengan menyetorkan sejumlah uang kepada lembaga dana pensiun atau sejenisnya. Apabila prinsip penghasilan global diikuti, semua penghasilan harus dikenakan pajak, tanpa memandang penggunaannya. Iuran pensiun dan bentuk pembayaran tabungan hari tua lainnya tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, dan ketika uang manfaat pensiun atau tabungan hari tua diterima di kemudian hari, hanya komponen bunganya saja yang dikenakan pajak penghasilan. Alternatif yang dilakukan saat ini, membolehkan pembayaran-pembayaran ini sebagai pengurang atas penghasilan dan mengenakan pajak sepenuhnya pada saat uang pensiun/tabungan dibayarkan kembali, memunculkan ketidakadilan terhadap para penabung lainnya karena dua keuntungan bagi pembayar iuran pensiun/tabungan. Pertama, penundaan pembayaran pajak sama saja dengan memperoleh pinjaman bebas bunga. Kedua, penghasilan pembayar iuran pensiun di masa depan akan lebih kecil sehingga penghasilan yang ditunda pengenaannya ini pada akhirnya terkena tarip pajak yang lebih rendah. Tabungan Hari Tua. Peraturan perundang-undangan pajak penghasilan membolehkan pembayaran Tabungan Hari Tua kepada PT Taspen tidak dimasukkan sebagai penghasilan kena pajak. Sebagaimana disebutkan di muka, aturan ini sama saja memberikan kepada pembayar Tabungan Hari Tua suatu pinjaman bebas bunga dan penerapan tarip pajak yang lebih rendah di kemudian hari ketika tabungan ini diambil oleh penabung. Tabungan ini semakin beralasan untuk dimasukkan ke dalam basis pajak apabila dipandang sebagai skema redistribusi, bukannya asuransi. Perlakuan yang tepat tentu saja dengan memperlakukan iuran Tabungan sebagaimana bentuk tambahan kemampuan lainnya dan dikenakan pajak sebagaimana mestinya. Iuran ini tidak dikenakan pajak apabila penghasilan penerima berada di bawah PTKP, sebagaimana yang berlaku pada penghasilan dari sumber-sumber lainnya. Pajak penghasilan atas gaji/upah juga tidak dikurangkan dan menjadi bagian dari penghasilan umum dan diperlakukan sama seperti pajak-pajak lainnya. Iuran Pensiun. Iuran yang tidak dikenakan pajak penghasilan adalah iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. Hal ini berlaku baik iuran pensiun itu dipotong dari penghasilan para pegawai maupun dibayarkan atau ditanggung oleh perusahaan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
158 Pengenaan pajaknya ditunda sampai uang pensiun diterima oleh para pegawai selama masa pensiun. Asuransi Jiwa. Pembayaran premi kepada perusahaan asuransi jiwa dan pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi jiwa mendapatkan perlakuan yang berbeda. Pembayaran premi asuransi jiwa tidak boleh digunakan untuk mengurangi penghasilan yang akan dikenakan pajak. Sementara itu, pembayaran asuransinya tidak dikenakan pajak penghasilan. Perlakuan premi asuransi telah sesuai dengan konsep tambahan kemampuan tetapi perlakuan atas pembayaran asuransinya tidak sesuai. Asuransi jiwa tertentu memiliki komponen tabungan (investasi) yang karena perlakuan ini bunga yang diperoleh atas tabungan ini terhindar dari pengenaan pajak. Untuk asuransi jiwa yang tidak memiliki komponen investasi, perlakuannya sudah tepat yaitu pembayarannya dikecualikan dari pengenaan pajak tanpa memperbolehkan pengurangan atas premi yang dibayarkan.
Praktik Definisi Penghasilan: Pengurangan Atas Penghasilan Neto Peraturan pajak penghasilan di Indonesia hanya membolehkan satu jenis pengurangan terhadap penghasilan neto yang disebut Pengurangan Standar atau Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Peraturan pajak penghasilan di Amerika Serikat memberikan pilihan bagi wajib pajak, apakah akan menggunakan pengurangan standar atau pengurangan khusus (itemized deduction). Pada umumnya wajib pajak yang berpenghasilan tinggi akan memilih pengurangan khusus karena akan memberikan jumlah pengurangan yang lebih besar daripada pengurangan standar. Pengurangan standar pada mulanya diberlakukan untuk memudahkan ketaatan dan administrasi. Di Amerika Serikat, pengurangan standar ini ditujukan untuk menjadi subtitusi dari pengurangan khusus, sehingga memudahkan penghitungan bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah. Akan tetapi kemudian, angka pengurangan standar ini telah dinaikkan jauh melebihi angka pengurangan khusus yang disubtitusikan. Oleh karena itu, pengurangan standar fungsinya menjadi hibrida antara pengganti pengurangan khusus dan memberikan tambahan pengurangan yang tidak berkaitan dengan ukuran rumah tangga. Dukungan untuk pengurangan khusus Prinsip pengenaan pajak atas penghasilan mengharuskan basis pajak yang komprehensif, yakni memasukkan semua tambahan kemampuan. Pendekatan ini menjadi dasar utama keberatan akan adanya pengurangan-pengurangan, tetapi beberapa pengeluaran mungkin layak diberikan. Aspek Keadilan. Penghasilan yang sama tidak berarti kemampuan yang sama untuk membayar jika para wajib pajak berada pada posisi yang berbeda-beda. Hal ini tidak saja disebabkan oleh ukuran rumah tangga tetapi juga oleh beberapa hal lainnya. Para wajib pajak dengan tagihan-tagihan darurat yang berat, seperti tagihan biaya pengobatan yang besar, dapat dikatakan memiliki kemampuan
Dasar-dasar Keuangan Publik
159 untuk membayar yang lebih kecil dibandingkan dengan para wajib pajak lainnya yang tidak menghadapi tagihan-tagihan darurat tersebut. Oleh karena itu, situasi seperti ini menjadi sangat penting terutama bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah. Prinsip ini dapat dinyatakan dengan memberikan pengurangan atas penghasilan untuk biaya pengobatan. Jika dirancang dengan baik, pengurangan ini tidak saja mendapat dukungan tetapi juga mampu mendorong terciptanya basis pajak yang lebih adil. Pertimbangan yang sama juga dapat diberlakukan bagi para wajib pajak yang cacat karena mereka membutuhkan biaya hidup yang lebih banyak. Aspek Insentif. Pengurangan dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menyediakan insentif penggunaan penghasilan untuk hal-hal yang mulia seperti sumbangan sosial atau untuk mendorong konsumsi atas hal-hal yang menimbulkan manfaat-manfaat eksternal. Dalam hal ini, pengurangan bertindak sebagai hibah tandingan yang disediakan oleh pemerintah di mana biaya pelaksanaan aktivitas-aktivitas tertentu oleh wajib pajak menjadi berkurang, sehingga mendorong wajib pajak untuk membelanjakan lebih banyak pada aktivitas-aktivitas ini. Jika aktivitas tertentu layak didukung dan jika pengurangan pajak adalah cara terbaik untuk melakukannya, keuntungan yang didapatkan dapat jauh melebihi kerugiannya pada aspek keadilan pajak. Tidak ada aturan alam yang tidak membolehkan pajak penghasilan digunakan tujuan-tujuan selain perolehan penghasilan. Pertanyaannya adalah apakah aktivitas yang perlu didukung itu membutuhkan subsidi. Jika subsidi dibutuhkan, apakah subsidi ini harus diberikan dalam bentuk pengurangan pajak.
Preferensi Pajak Kita telah mempelajari bagaimana definisi perundang-undangan dari penghasilan kena pajak, setelah pengecualian-pengecualian dan penguranganpengurangan, yang seharusnya identik dengan konsep teoritis tentang tambahan kemampuan ekonomis. Perbedaan-perbedaan yang substansial timbul yang seringkali menyebabkan penghasilan kena pajak jumlahnya di bawah dari yang ditentukan oleh konsep tambahan kemampuan. Walaupun penentuan kerugian basis pajak karena suatu hal tertentu masih diperdebatkan, banyak bukti menunjukkan bahwa kerugian atau penyusutan pendapatan atau pengeluaran pajak yang telah terjadi jumlahnya cukup besar. Istilah penyusutan pengeluaran pajak digunakan karena kegagalan memperoleh penerimaan pajak karena lubanglubang dalam basis penghasilan kena pajak pada dasarnya adalah sama dengan memperoleh penerimaan pajak sepenuhnya kemudian melakukan pengeluaran sehingga wajib pajak tetap pada posisi yang sama. Misalnya, aturan yang membebaskan pajak atas bunga pinjaman rumah sama dengan mengenakan pajak sepenuh pada pemilik rumah dan kemudian secara bersamaan melakukan pengeluaran subsidi kepada mereka. Keberadaan preferensi pajak tidak menjadi masalah besar apabila basis yang berkurang karena pengecualian dan pajak final merupakan proporsi yang tetap dari basis pajak sepenuhnya bagi seluruh wajib pajak. Dalam hal ini, preferensi pajak dapat dinetralisasi dengan pengenaan tarip pajak yang progresif. Akan tetapi, pada kenyataannya insiden preferensi sangat bervariasi, baik bagi Dasar-dasar Keuangan Publik
160 wajib pajak rata-rata pada berbagai tingkatan penghasilan maupun wajib pajak tertentu pada satu tingkatan pajak penghasilan, sehingga menimbulkan adanya ketidakadilan secara vertikal dan horizontal. Ketidakadilan pajak secara vertikal dapat terjadi karena manfaat-manfaat pengeluaran pajak hanya dinikmati oleh kelompok wajib pajak dengan penghasilan tertentu. Misalnya, di Amerika Serikat, kehilangan penerimaan dari aturan pajak terhadap terhadap capital gain lebih dinikmati oleh wajib pajak berpenghasilan tinggi. Untuk di Indonesia, penelitian tentang hal ini ada, bagaimana aturan pajak menciptakan preferensi pajak bagi golongan-golongan wajib pajak dengan penghasilan tertentu. Ketidakadilan pajak secara horizontal terjadi karena wajib pajak dengan penghasilan sama tidak mendapat manfaat yang sama karena perbedaan aturan. Wajib pajak yang menerima penghasilan dalam bentuk natura membayar lebih sedikit daripada pegawai yang menerima seluruh penghasilannya dalam bentuk kas.
Permasalahan-Permasalahan Wajib Pajak Berpenghasilan Tinggi Beberapa permasalahan penghindaran pajak timbul berkaitan dengan berbagai jenis penghasilan modal. Cara penghindaran pajak yang paling utama adalah adanya tax shelter yang timbul dari kerugian usaha. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kerugian dapat digunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak dan bunga dapat dikurangkan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. Kedua aturan ini memang sejalan dengan konsep yang benar tentang laba bersih sebagai basis pajak. Bila dikombinasikan, keduanya ternyata dapat dipakai untuk menghindari pajak dengan membentuk tax shelter. Contohnya, suatu firma dibentuk untuk investasi di dunia real estate. Dengan investasi modal yang kecil, firma tersebut dapat meminjam dalam jumlah yang banyak dengan jaminan harta real estatenya. Pembayaran bunga akan mengakibatkan kerugian yang besar pada periodeperiode awal beroperasinya firma tersebut sebelum firma tersebut memperoleh penghasilan yang cukup besar. Dengan melakukan investasi pada firma tersebut, investor dapat menghapuskan kerugian yang besar tersebut pada penghasilan mereka sehingga mengurangi pajak yang dibayarkan.
Perlakuan Pajak Bagi Wajib Pajak Berpenghasilan Rendah Permasalahan keadilan pajak secara vertikal tidak hanya seberapa besar wajib pajak berpenghasilan tinggi dipajaki, tetapi juga yang lebih penting adalah seberapa sedikit wajib pajak yang berpenghasilan rendah harus membayar pajak Berapa besarnya penghasilan minimal yang tidak dikenakan pajak? Pada umumnya, semua sependapat bahwa ada sejumlah pertama penghasilan tertentu yang tidak boleh dikenakan pajak. Penghasilan yang dikenakan pajak harus didefinisikan sebagai penghasilan kena pajak dikurangi dengan PTKP. Dalam menentukan jumlah PTKP ini, kita harus menggunakan tingkat Dasar-dasar Keuangan Publik
161 penghasilan yang rendah yang membuat wajib pajak diklasifikasikan sebagai miskin. Karena tingkat kemiskinan bervariasi sesuai dengan ukuran besarnya keluarga, sehingga beban pajak pun harus menyesuaikan dengan ukuran besarnya keluarga. Titik awal beban pajak bergantung pada berbagai faktor. Pertama, adanya PTKP sebesar Rp1.440.000 per wajib pajak, pasangannya dan setiap tanggungan (maksimal tiga tanggungan). PTKP memperhitungkan ukuran keluarga dengan asumsi implisit bahwa tambahan tanggungan tidak menciptakan skala ekonomis. Berdasarkan faktor ini, jumlah PTKP maksimal adalah Rp7.200.000. Di Indonesia, jumlah maksimal tanggungan adalah tiga orang karena adanya tujuan tambahan untuk mendukung program keluarga kecil. Hal ini menimbulkan permasalahan ketidakadilan pajak karena aturan pajak telah terdistorsi untuk memenuhi tujuantujuan nonfiskal. Ketidakadilan didapatkan oleh wajib pajak yang karena sesuatu dan lain hal harus memiliki jumlah tanggungan lebih dari tiga orang. Berikutnya, ada PTKP bagi anggota keluarga yang memiliki penghasilan untuk wajib pajak yang bersangkutan dan pasangannya, masing-masing sebesar Rp1.440.000. Ditambah dengan faktor ini maka jumlah PTKP maksimal adalah Rp10.800.000. Batas bebas pajak tersebut tidak hanya penting dalam menentukan batas bawah untuk kewajiban pajak, tetapi juga mendominasi kenaikan tarip pajak efektif atau pola progresivitas pada skala penghasilan menengah ke bawah. Tarip pajak efektif (yang didefinisikan sebagai rasio pajak terhadap penghasilan neto) pada tingkat penghasilan neto yang rendah jumlahnya sangat kecil karena porsi terbesar dari penghasilan neto adalah PTKP. Ketika penghasilan neto naik, jumlah PTKP turun secara relatif terhadap penghasilan neto, sehingga tarip pajak efektif naik. Kita dapat mengatakan bahwa PTKP adalah penghasilan yang dikenakan tarip pajak sebesar nol persen dan merupakan bagian integral dari struktur tarip pajak. Signifikansi utama dari pemberian PTKP berkaitan erat dengan pola tingkat pajak efektif pada para wajib pajak dengan penghasilan menengah ke bawah. Kredit Pajak bagi Wajib Pajak berpenghasilan Rendah Pada negara maju, telah muncul pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik berkaitan dengan tarip pajak negatif. Struktur tarip pajak tidak lagi selalu positif, tetapi bergerak dari tarip negatif pada penghasilan nol (wajib pajak pada tingkatan penghasilan ini mendapatkan subsidi dari pemerintah) bergerak ke angka nol (titik impas) dan menjadi tarip positif pada angka di atas titik impas ini. Prinsip progresifitas tidak saja menyatakan seberapa tinggi tarip pajak yang dikenakan kepada wajib pajak berpenghasilan besar tetapi juga seberapa besar transfer yang dapat diberikan kepada wajib pajak miskin. Praktik ini dapat dilakukan dengan memberikan kredit pajak pada para wajib pajak berpenghasilan rendah. Kredit Pajak untuk Biaya Mengasuh Anak Sejalan dengan perkembangan tentang hak-hak wanita dan perlakuan yang adil terhadap penghasilan keluarga, aturan hukum di negara maju menyediakan kredit pajak bagi keluarga yang memiliki anak dan pasangannya juga bekerja. Untuk Dasar-dasar Keuangan Publik
162 keluarga seperti ini, mereka harus menyediakan dana untuk menyewa pengasuh untuk anak-anak mereka.
Pola Progresivitas Tarip Pajak Pajak penghasilan secara tradisional telah dipandang sebagai suatu instrumen pajak yang progresif. Seberapa progresifkah pajak penghasilan Indonesia dan perubahan-perubahan apa yang telah dilakukan dalam pola progresivitasnya? Arti Progresivitas Tarip Pajak Pada saat membahas penghasilan neto, tarip pajak yang dikenakan meningkat seiring dengan peningkatan penghasilan neto. Pajak dikatakan progresif apabila tarip pajak cenderung meningkat pada tingkat penghasilan yang lebih tinggi, proporsional apabila tarip pajak konstan pada semua tingkat penghasilan, dan regresif bila tarip pajak turun pada tingkat penghasilan yang lebih tinggi.Untuk suatu pajak penghasilan dikatakan progresif, tidak cukup apabila kewajiban pajak meningkat ketika tingkat penghasilan meningkat. Peningkatan kewajiban pajak yang lebih rendah daripada peningkatan penghasilan membuat pajak menjadi regresif. Selain itu, semakin progresif pajak penghasilan, semakin cepat kenaikan rasio pajak terhadap pendapatan nasional. Mengukur Tingkat Progresivitas Perbedaan antara pajak-pajak progresif, proporsional dan regresif dapat digambarkan dengan mudah. Suatu pajak dikatakan progresif bila rasio pajak terhadap penghasilan naik ketika skala penghasilan meningkat, proporsional bila rasionya konstan, dan regresif bila rasionya turun. Pembedaan ini sangat jelas, tetapi situasinya lebih rumit bila kita ingin mengukur derajat progresivitas atau regresivitas. Tidak ada cara tunggal yang tepat mengukur tingkat progresivitas. Beberapa ukuran dapat dipakai, yaitu: • Rasio perubahan tarip efektif terhadap perubahan penghasilan.
T1 Rumusnya: •
− T0 Y1 Y0 Y1 − Y0
Rasio persentase perubahan kewajiban pajak terhadap perubahan penghasilan. Rumusnya:
•
T1 − T0 Y0 . T0 Y1 − Y0
Rasio persentase perubahan penghasilan setelah pajak terhadap persentase perubahan penghasilan sebelum pajak Rumusnya:
(Y1 − T1 ) − (Y0 − T0 ) Y0 . (Y0 − T0 ) Y1 − Y0
Dasar-dasar Keuangan Publik
163 Ukuran pertama, yang juga disebut sebagai progresivitas tarip rata-rata (average-rate progression), merupakan ukuran kemiringan kurva yang diperoleh dari menggambar hasil bagi tarip pajak efektif terhadap penghasilan. Nilai dari koefisien ini adalah nol untuk pajak proporsional dan positif untuk pajak progresif. Kurva tarip efektif cenderung berkurang kemiringannya dan progresivitas cenderung menurun seiring dengan meningkatnya skala penghasilan. Ukuran kedua, yang juga disebut sebagai progresivitas kewajiban pajak, mencatat elastisitas kewajiban pajak terhadap penghasilan. Koefisien ini mengukur kemiringan kurva yang diperoleh dari menggambar hasil bagi kewajiban pajak terhadap penghasilan pada bagan logaritme-ganda. Proporsionalitas ditunjukkan dengan nilai koefisien sama dengan satu dan progresivitas ditunjukkan dengan nilai koefisien di atas satu. Ukuran ketiga atau progresivitas penghasilan residu mencatat elastisitas dari penghasilan setelah pajak Ukuran ini menunjukkan kemiringan kurva yang diperoleh dengan menggambar penghasilan sebelum dan sesudah pajak pada bagan logaritme. Koefisiennya juga satu untuk pajak proporsional tetapi progresivitas sekarang ditunjukkan dengan angka koefisien yang kurang dari satu. Progresivitas pada semua indikator cenderung menurun seiring dengan kenaikan skala penghasilan setelah tingkatan penghasilan tertentu. Untuk menghindari kebingungan dalam membandingkan progresivitas pada jangkauan penghasilan tertentu yang berbeda atau untuk struktur pajak yang berbeda, perlu ditetapkan apa ukuran yang akan digunakan. Hal ini menjadi sangat penting untuk mengetahui apa yang terjadi terhadap progresivitas ketika tarip-tarip pajak berubah. Ketika tarip-tarip pajak dinaikkan atau diturunkan, banyak pihak yang mengusulkan perubahan pada seluruh tarip untuk menjaga kenetralan kenaikan dan penurunan. Apakah yang dimaksud dengan kenetralan dalam hal ini? Misalkan pajak akan dinaikkan. Jika progresivitas tarip pajak rata-rata ditetapkan konstan, semua hutang pajak harus dinaikkan dengan persentase yang sama. Tarip-tarip pajak dinaikkan pada persentase yang semakin besar pada tariptarip yang lebih tinggi. Jika progresivitas kewajiban pajak ditetapkan konstan, semua tarip pajak dinaikkan sebesar persentase kenaikan yang sama. Jika progresivitas penghasilan residu ditetapkan konstan, tarip-tarip pajak akan dinaikkan pada persentase yang semakin kecil pada tarip-tarip yang lebih tinggi. Pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang berpenghasilan rendah tentu saja akan sangat berkeinginan untuk menginterpretasikan netralitas dalam bentuk yang paling diinginkan adalah progresivitas tarip rata-rata, kemudian progresivitas kewajiban pajak dan yang terakhir adalah progresivitas penghasilan residu. Pihak-pihak yang memperjuangkan kepentingan masyarakat berpenghasilan tinggi akan cenderung mengambil posisi yang berlawanan. Yang lebih menarik lagi adalah urutan preferensi tersebut akan terbalik bila yang diperjuangkan adalah pengurangan pajak. Dengan demikian, konsep teoritis dapat menimbulkan implikasi politis.
Dasar-dasar Keuangan Publik
164
Penyesuaian Terhadap Inflasi Permasalahan inflasi tidak hanya berkaitan dengan angka nominal PTKP dan tarip pajak, tetapi juga dalam cara yang rumit berkaitan dengan perlakuan terhadap penghasilan modal. PTKP dan tingkat penghasilan yang dikenakan tarip pajak Ketika harga-harga naik, nilai riil dari PTKP menjadi turun. Akibatnya, tingkat penghasilan riil yang mulai dikenakan pajak semakin turun. Selain itu, ketika harga-harga naik, nilai riil dari tingkat penghasilan yang dikenakan tarip pajak turun, sehingga tingkat tarip pajak yang berlaku untuk tingkat penghasilan riil tertentu akan naik. Untuk kedua alasan inilah, kewajiban pajak naik lebih cepat daripada kenaikan harga. Dalam hal ini kewajiban pajak naik dalam nilai riil. Berkaitan dengan pengaruh inflasi, peraturan pajak di Indonesia hanya menyesuaikan PTKP. Itupun tidak dilakukan setiap tahun, tetapi beberapa tahun sekali. Dengan demikian, nilai riil dari PTKP cenderung turun. Sementara itu, tingkat penghasilan yang dikenakan tarip pajak tertentu tidak pernah disesuaikan. Karena pajak di Indonesia tidak terlindung dari pengaruh inflasi, wajib pajak di Indonesia mengalami kenaikan kewajiban pajak dalam nilai riil. Penghasilan Modal Beberapa permasalahan lanjutan muncul berkenaan dengan perlakuan pajak terhadap penghasilan modal. Capital gain yang sudah terealisasi, sebagian dikenakan pajak final dan sebagian lagi dikenakan pajak reguler. Perlakuan yang sama terhadap capital gain seharusnya hanya akan memajaki laba dalam nilai riil, bukannya laba dalam nilai nominal. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian terhadap inflasi. Permasalahan yang sama juga muncul berkenaan dengan kerugian yang dialami kreditur dalam nilai riil hutang nominal yang mereka berikan kepada debitur, yang tentu saja merupakan keuntungan bagi debitur. Penghasilan yang berbasis tambahan kemampuan yang didefinisikan dalam nilai riil harus membolehkan kreditur mengakui kerugian dan juga mengharuskan debitur mengakui keuntungan. Salah satu solusi yang pernah diusulkan adalah mengurangi penghasilan bunga kena pajak sesuai dengan tingkat inflasi. Permasalahan selanjutnya yang ditimbulkan oleh inflasi adalah berkenaan dengan depresiasi. Ketika harga-harga naik, pengembalian dari biaya perolehan aktiva berkurang dalam nilai riil dan penyesuaian inflasi juga diperlukan dalam hal ini. Solusi atas permasalahan ini dalam perundang-undangan pajak hanyalah parsial dalam bentuk penggunaan metode penyusutan dipercepat
Pilihan Unit Kena Pajak Perlakuan yang tepat untuk unit kena pajak berdasarkan pajak penghasilan progresif adalah suatu hal yang kontroversial yang sampai saat ini belum ada solusi yang memadai. Di Indonesia, permasalahan ini disebabkan
Dasar-dasar Keuangan Publik
165 adanya kecenderungan sosioekonomis yaitu meningkatnya partisipasi wanita dalam angkatan kerja. Pendekatan Unit Keluarga Kita mulai pembahasan dengan suatu hipotesis yang sering diterapkan dalam kebanyakan diskusi pajak penghasilan, bahwa unit kena pajak dan pengukuran kemampuan untuk membayar harus diarahkan kepada unit keluarga. Kemudian, kita akan mempertimbangkan suatu alternatif lainnya yang mendefinisikan unit kena pajak dalam bentuk individu yang memperoleh penghasilan. Prinsip. Pembahasan masalah ini ditinjau dari pandangan pengenaan pajak berdasarkan kemampuan untuk membayar, keadilan mengharuskan ketaatan akan tiga aturan berikut: 1. Unit-unit dengan penghasilan yang sama dan jumlah anggota yang sama harus membayar pajak yang sama jumlahnya. 2. Di antara unit-unit yang berpenghasilan sama, unit yang jumlah anggotanya lebih kecil harus membayar pajak lebih banyak dan unit yang jumlah anggotanya lebih besar harus membayar pajak lebih sedikit. 3. Dengan pengenaan pajak progresif, jumlah pajak (yang dinyatakan dalam persentase terhadap penghasilan) untuk unit-unit dengan jumlah anggota yang sama harus naik seiring dengan kenaikan penghasilan unit. Aturan 1 tidak perlu penjelasan lebih lanjut karena aturan ini secara sederhana mewakili persyaratan bahwa hal yang sama harus diperlakukan sama juga. Ada hal yang perlu dipertegas bahwa aturan ini tidak membedakan kemampuan untuk membayar dalam konteks unit keluarga apakah penghasilan diperoleh oleh satu anggota atau lebih. Aturan 2 menunjukkan proposisi bahwa seorang bujangan dengan penghasilan Rp30 juta memiliki posisi (kemampuan) lebih baik daripada pasangan dengan total penghasilan keduanya juga sama dengan Rp30 juta. Walaupun beberapa jenis pengeluaran konsumsi (misalnya penerangan di ruang tamu) dikonsumsi dalam jumlah yang sama baik oleh satu orang atau dua orang, pengeluaran-pengeluaran konsumsi lainnya (misalnya kursi untuk santai) lebih mahal apabila untuk pasangan. Oleh karena itu, perlakuan yang adil adalah apabila pajak yang dikenakan kepada seorang bujangan tersebut lebih tinggi daripada pajak yang dikenakan kepada pasangan suami-istri dengan tingkat penghasilan yang sama. Perbedaan seperti ini (pada jumlah yang layak) tidak boleh dipandang sebagai pajak yang diskriminatif terhadap seorang bujangan. Aturan 3 mengikuti secara langsung prinsip progresivitas dan tidak perlu penjelasan lebih lanjut. Sistem yang mengikuti aturan-aturan keadilan ini tidak akan mempengaruhi keputusan pernikahan, baik hanya satu orang dari pasangan yang menikah tersebut yang memiliki penghasilan ataupun keduaduanya memiliki penghasilan. Penggabungan Penghasilan. Instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan di atas meliputi penerapan PTKP dan penggunaan struktur tarip pajak untuk berbagai jenis Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Seperti yang dijelaskan sebelumnya, aturan perpajakan membolehkan tambahan PTKP sesuai dengan ukuran keluarga, walaupun dibatasi hanya sampai tiga tanggungan. Sistem
Dasar-dasar Keuangan Publik
166 pengenaan pajak penghasilan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak. Penggabungan penghasilan ini tidak mengurangi jumlah PTKP yang dapat dikurangkan dari penghasilan, baik ketika penghasilan masih dilaporkan sendiri maupun penghasilan digabungkan. Pendekatan Alternatif: Unit Peroleh Penghasilan Pendekatan alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas yang diikuti oleh beberapa negara Eropa adalah mengabaikan unit keluarga dan menggunakan individu sebagai unit yang dikenakan pajak. Dalam hal ini, kewajiban pajak gabungan pasangan suami istri bergantung pada bagaimana penghasilan terdistribusi di antara mereka. Struktur tarip yang digunakan, baik proporsional, progresif ataupun regresif, tidak menimbulkan perbedaan. Bila dibandingkan dengan unit keluarga, pendekatan Eropa ini memberikan perlakuan yang lebih menguntungkan bagi wajib pajak yang berpenghasilan rendah. Pengurangan untuk Tanggungan. Dalam proses mengukur kemampuan untuk membayar dari suatu unit keluarga, jumlah tanggungan tentu saja menjadi pertimbangan utama. Suatu keluarga besar dengan penghasilan neto tertentu mempunyai kemampuan untuk membayar yang lebih redah daripada keluarga kecil dengan penghasilan neto yang sama. Pertanyaannya adalah siapa yang menjadi tanggungan dan bagaimana pengurangan diberikan. Pertanyaan pertama akan menyangkut masalah bagaimana memperlakukan anak-anak yang tinggal jauh dari orang tua dan yang memiliki penghasilan. Pertanyaan kedua berkenaan dengan apakah pengurangan tersebut diberikan dalam bentuk pengurang atas penghasilan atau kredit pajak. Jika biaya dari setiap tambahan anak diukur dalam satuan pengeluaran standar (misalnya pengeluaran rata-rata), pendekatan kredit pajak lebih tepat digunakan; tetapi jika biayanya diukur dalam berapa banyak pengeluaran akan dilakukan, pendekatan pengurang atas penghasilan lebih tepat digunakan. Karena wajib pajak dengan penghasilan yang tinggi mengeluarkan biaya untuk anak yang lebih besar, sudah selayaknya memberikan manfaat pajak yang lebih besar pula. Cara lain dari perlakuan pajak terhadap tanggungan adalah PTKP. Peraturan pajak di Indonesia menggunakan cara ini dengan memberikan pengurangan atas penghasilan netto sebesar Rp1.440.000 untuk setiap tanggungan, tapi dengan jumlah maksimal tiga tanggungan. Pasangan yang tidak Bekerja. Pertanyaan terakhir dalam pajak penghasilan adalah bagaimana pengaturan tentang pasangan yang tidak bekerja dan hanya tinggal di rumah untuk mengurus rumah, menjaga anak-anak, atau menganggur. Misalkan ada sepasang suami istri A dan B di mana A memiliki penghasilan dan B tidak dan bandingkan dengan pasangan lain C dan D yang keduanya memiliki penghasilan. Asumsikan bahwa A dan C penghasilannya sama dan bahwa B memiliki potensi penghasilan yang sama dengan D. Dalam peraturan perpajakan sekarang ini keluarga C dan D membayar pajak lebih besar daripada keluarga A dan B. Padahal berdasarkan aturan opsi yang sama (bekerja dan tidak bekerja)
Dasar-dasar Keuangan Publik
167 keduanya harus membayar pajak dalam jumlah yang sama, seperti simpulan kita pada pembahasan tentang imputed income di muka, yang harus dimasukkan sebagai tambahan kemampuan. Secara prinsip, imputed income (dalam bentuk gaji yang tidak didapatkan) dari pasangan yang tidak bekerja harus dimasukkan ke dalam dasar pengenaan pajak. Selain itu, secara prinsip, prosedur yang sama juga harus diberlakukan kepada bujangan yang tidak bekerja.
Dasar-dasar Keuangan Publik
168
B A B XVII PAJAK PENGHASILAN WAJIB P AJAK BADAN Struktur Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan rinsip dasar penentuan penghasilan kena pajak cukup sederhana. Penghasilan kotor dari perseroan dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka menjalankan usaha, yang akan menghasilkan laba bersih untuk dikenakan pajak. Pada dasarnya semua pengeluaran dapat dibebankan sebagai biaya apabila mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bruto yang menjadi objek pajak. Pengeluaran untuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Demikian juga pengeluaran yang melebihi batas kewajaran karena adanya hubungan istimewa tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
P
Beberapa permasalahan penghasilan yang dikecualikan yang muncul pada wajib pajak pribadi juga muncul pada wajib pajak badan, ditambah dengan masalah-masalah lain yang khusus ada pada pengenaan pajak penghasilan kepada wajib pajak badan, menambah kerumitan dalam merancang pajak penghasilan badan yang adil dan efisien. Permasalahan ini diantaranya penentuan pengeluaran-pengeluaran apa yang dapat dibebankan sebagai biaya dan kapan pembebanan tersebut dapat dilakukan. Setiap industri memiliki kerumitan tersendiri sehingga sangat sulit untuk merancang suatu perlakuan pajak yang seragam untuk berbagai industri yang berbeda tersebut. Dengan adanya kerumitan hukum dari perseroan dan hubungan di antara mereka maka suatu pajak penghasilan badan yang adil bukanlah pajak yang sederhana
Perlukah Perseroan Dikenakan Pajak? Peranan pajak penghasilan badan dalam suatu sistem pajak yang baik tampak jelas. Jika basis pajak yang tepat dinyatakan dalam bentuk konsumsi, pajak penghasilan tidak boleh dikenakan kepada badan. Sumber penghasilan dari Dasar-dasar Keuangan Publik
169 perusahaan hanya dapat dipajaki apabila didistribusikan dan dibelanjakan oleh penerima. Pengenaan pajak kepada badan juga tetap dipertanyakan walaupun konteksnya adalah pendekatan berbasis penghasilan. Dalam hal ini, pengenaan pajak pada tingkatan perusahaan dapat dipandang sebagai alat untuk mengintegrasikan sumber penghasilan dari perusahaan ke dalam pajak penghasilan pribadi, atau pajak terhadap perusahaan dapat dipandang sebagai pajak absolut terhadap penghasilan bersumber dari perusahaan. Pandangan ini juga yang digunakan oleh Peraturan Pajak Penghasilan di Indonesia. Badan (dalam hal ini perusahaan) dikenakan pajak dan tidak dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan pribadi atas penghasilan dividen. Pandangan lain yang berkembang adalah mengintegrasikan penghasilan perusahaan ke dalam pajak penghasilan individu. Pandangan Integrasi Para penganut posisi integrasi memandang permasalahan perpajakan pada tingkatan perusahaan hanyalah sebagai satu cara memasukkan semua penghasilan yang bersumber dari perusahaan ke dalam basis pajak penghasilan pribadi. Proposisi dasarnya adalah pada akhirnya pajak harus menjadi beban pribadi dan bahwa konsep pajak yang adil hanya dapat dibebankan kepada pribadi. Selain itu, mereka berpendapat bahwa penghasilan harus dipajaki secara keseluruhan dalam konsep penghasilan global, tanpa memperdulikan dari mana sumbernya. Bila mengenakan pajak pada laba, maka laba tersebut ketika didistribusikan dipajaki dua kali, pertama pada tingkatan perusahaan dalam bentuk pajak penghasilan badan, dan berikutnya pada tingkatan pribadi sebagai dividen dalam perhitungan pajak penghasilan pribadi. Misalkan, seorang wajib pajak A yang membayar pajak penghasilan pribadi pada tarip pajak 25%. Bagiannya pada laba perusahaan adalah Rp10.000.000, yang dikenakan pajak dengan tarip efektif sebesar 28,25% (atau sebesar Rp2.825.000). Sisanya, sebesar Rp7.175.000 didistribusikan sebagai dividen kepada A, yang kemudian akan membayar pajak atasnya sebesar Rp1.793.750. Apabila kedua pajak ini digabungkan, jumlahnya menjadi Rp4.618.750. Bila tidak ada pajak penghasilan badan, pajak penghasilan yang dibayarkan pada penghasilan yang didistribusikan (dividen) sejumlah Rp10.000.000 hanya akan sebesar Rp2.500.000. Dengan demikian, ada kelebihan pajak sebesar Rp2.118.750. Berikutnya, seorang wajib pajak B, yang membayar pajak penghasilan pribadi pada tarip pajak 15%. Baginya, pajak gabungan sama dengan Rp2.825.000 ditambah Rp1.076.250, atau sebesar Rp3.901.250. Pajaknya berdasarkan sistem integrasi hanya akan sebesar Rp1.500.000, sehingga ada kelebihan pajak sebesar Rp2.401.250, di atas jumlah kelebihan bagi wajib pajak A. Dengan tidak mengintegrasikan penghasilan, sistem pajak sekarang memberikan tambahan beban pajak dan beban pajak atas penghasilan yang bersumber dari perusahaan lebih besar bagi pemegang saham kecil yang pajak penghasilan pribadinya sebenarnya lebih kecil. Pada kenyataannya, dividen yang diterima mungkin merupakan bagian penghasilan terbesar bagi A daripada bagi B. Dalam hal ini, pajak tambahan sebagai persentase dari total penghasilan akan lebih besar bagi A daripada bagi B. Walaupun demikian, pajak tambahan ini tidak adil bila ditinjau dari sudut pandang penganut integrasi, sebab semua penghasilan (termasuk yang
Dasar-dasar Keuangan Publik
170 diperoleh dari sumber perusahaan) harus dipajaki dengan tarip yang sama. Pada pajak penghasilan badan, harus ada sumber pungutan pajak penghasilan pribadi untuk penghasilan yang bersumber dari perusahaan. Ilustrasi sebelumnya ini mengasumsikan bahwa laba setelah pajak didistribusikan sebagai dividen. Dalam kenyataanya tidak harus seperti ini, sebab paling tidak sebagian dari laba perusahaan setelah pajak ditanamkan kembali pada operasi perusahaan. Dengan tidak memperhitungkan laba yang ditahan pada penghasilan pemegang saham (seperti yang seharusnya ada pada sistem terintegrasi), pajak penghasilan badan telah memenuhi fungsinya untuk mencakup laba yang ditahan. Pandangan Absolut Para penganut pandangan yang berlawanan menyatakan bahwa pendekatan integrasi memandang perusahaan secara tidak realistis. Perseroan yang dimiliki publik secara luas – merupakan wajib pajak besar yang menjadi sumber terbesar penerimaan pajak negara – bukan hanya merupakan instrumen untuk penghasilan pribadi. Perusahaan adalah entitas legal yang memiliki keberadaan sendiri, pelaku yang kekuatan besar dalam pengambilan keputusan ekonomi dan sosial, dioperasikan oleh profesional manajemen yang tidak begitu dikendalikan oleh pemegang saham secara individu. Oleh karena itu, sebagai entitas yang terpisah, perusahaan juga mempunyai kapasitas membayar pajak tersendiri, yang dengan tepat telah dikenakan pajak yang terpisah dan absolut. Apakah laba setelah pajak yang diperoleh akan dibagikan atau ditahan tidaklah relevan dalam konteks ini. Pandangan absolut atau klasik tentang pajak ini sangat rasional. Perusahaan memang bertindak sebagai unit-unit pengambilan keputusan, hanya tidak begitu jelas kaitannya dengan keinginan para pemegang saham, sehingga membutuhkan kebijakan pengaturan pada tingkatan perusahaan daripada pada tingkatan pemegang saham. Selain itu, alat-alat pajak dapat berguna pada situasisituasi tertentu untuk tujuan-tujuan peraturan perundang-undangan tersebut. Akan tetapi, permasalahannya akan berbeda apabila mengusulkan pengenaan pajak pada perusahaan karena lembaga ini memiliki kemampuan membayar pajak sendiri dan oleh karenanya harus dikenakan pajak terpisah. (Ada pendapat yang menyatakan bahwa kemampuan ini adalah kemampuan untuk membayar pajak tanpa mengalami kebangkrutan atau mengganggu operasinya. Konsep kapasitas membayar yang digunakan dalam pendapat ini lebih berkaitan dengan efek ekonomi dari pajak bukannya kemampuan untuk membayar yang digunakan dalam konteks keadilan pajak.) Pada akhirnya, seluruh pajak harus dibebankan pada orang. Laba perusahaan merupakan bagian penghasilan para pemegang saham dan, dalam konteks pendekatan kemampuan ekonomis pada pajak penghasilan, harus dipajaki sebagai bagian dari penghasilan mereka. Tidak ada alasan mengapa para pemegang saham harus membayar pajak tambahan atau diberikan perlakuan khusus. Pandangan absolutmendasarkan pada asumsi bahwa pajak dikenakan atas laba dan tidak digeserkan kepada para pelanggan atau pekerja. Walaupun penggeseran terjadi, niat dari para penganut absolutisme untuk membebankan
Dasar-dasar Keuangan Publik
171 pajak tambahan pada penghasilan yang bersumber dari perusahaan tetap tidak tepat. Pajak, dalam kasus ini, menjadi pajak penjualan atau pajak atas upah yang inferior dan arbiter, tanpa landasan rasional dalam suatu struktur pajak yang adil (Pajak ini dikatakan inferior karena tarip implisit dari pajak penjualan atau upah akan bervariasi secara arbiter dengan rasio [marjin] laba atas penjualan atau rasio laba atas upah dari beberapa perusahaan). Alasan-Alasan Lain Mengenakan Pajak kepada Perseroan Walaupun tidak ada argumentasi sah untuk mengenakan pajak atas badan secara absolut berdasarkan prinsip kemampuan untuk membayar, sejumlah pertimbangan lain dapat mendukung keberadaan pajak tersebut. Walaupun demikian, pajak tersebut tidak akan seperti yang diberlakukan sekarang. Pertimbangan Manfaat. Perusahaan dapat diminta untuk membayar pajak atas manfaat. Pemerintah menyediakan berbagai layanan yang memberi manfaat kepada perusahaan dengan cara mengurangi biaya, memperluas pasar, membantu transaksi-transaksi keuangan, dan lain-lain. Sebagian dari layanan ini, tidak hanya dinikmati oleh perusahaan, tetapi juga oleh berbagai bentuk organisasi lainnya. Langkah yang paling rasional adalah menerapkan pajak umum atas kegiatan bisnis daripada menerapkannya dengan menggunakan pajak penghasilan badan saja. Walaupun ada beberapa biaya pemerintah yang dikeluarkan dalam kaitannya dengan perusahaan secara khusus, biaya-biaya ini hanyalah faktor yang minor dan sulit untuk mendukung pengenaan suatu pajak. Hal melakukan kegiatan berdasarkan kewajiban terbatas, tentu saja sangat berharga bagi perusahaan tetapi institusi dengan kewajiban terbatas seperti itu tidak membebani biaya kepada masyarakat dan oleh karenanya tidak layak dikenakan pajak atas manfaat. Tujuan dari pajak atas manfaat adalah mengalokasikan biaya layanan publik yang diberikan, bukannya untuk membebani manfaat yang tidak menimbulkan biaya. Apabila penerapan pajak atas manfaat dipandang tepat, dua pertanyaan lanjutan muncul. Pertama berkaitan dengan tingkatan mana pajak tersebut harus dikenakan. Karena sebagian besar layanan publik yang memberikan manfaat kepada bisnis diberikan pada tingkatan pemerintah daerah, maka pajak tersebut bukan merupakan urusan pemerintah pusat. Pajaknya akan bervariasi sesuai dengan jumlah layanan yang diberikan, bukannya sesuai dengan jumlah laba yang dihasilkan. Oleh karena itu, kekayaan akan lebih tepat menunjukkan nilai layanan pemadam kebakaran; jumlah pegawai akan menunjukkan input untuk pengeluaran untuk sekolah umum; transportasi akan menunjukkan layanan jalan raya, dan sebagainya. Jika ukuran umum yang digunakan, total biaya yang dikeluarkan pada daerah operasi lebih tepat digunakan sebagai ukuran keseluruhan, dengan nilai tambah (termasuk laba dan biaya-biaya faktor lainnya) sebagai kemungkinan kedua. Tujuan-tujuan Peraturan Perundang-Undangan. Kasus berbeda untuk pengenaan pajak perusahaan secara absolut dapat dilakukan apabila pajak dipandang sebagai instrumen pengendali berkaitan dengan tingkah laku perusahaan. Bentuk pajak perusahaan yang tepat bergantung pada tujuan kebijakan tertentu yang akan dicapai.
Dasar-dasar Keuangan Publik
172
1.
2.
3.
4.
Pengendalian terhadap monopoli telah dilakukan dengan menggunakan alat peraturan perundang-undangan, tetapi pendekatan pajak dapat digunakan. Pengendalian ini tentu saja tidak akan menggunakan pajak umum atas laba, yang tidak akan efektif untuk mengoreksi tingkat laku monopolistik. Pengendalian ini memerlukan suatu pajak yang lebih kompleks, yang berkaitan dengan tingkat pembatasan monopolistik. Jika ada keinginan untuk membatasi ukuran absolut atau besarnya perusahaan (yang tidak sama dengan membatasi monopoli atau pangsa pasar), suatu pajak dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini. Pengendalian ini membutuhkan pajak bisnis yang progresif. Alasan progresivitas tentu saja bukanlah kemampuan untuk membayar seperti pada pajak penghasilan pribadi. Perusahaan-perusahaan besar dapat dimiliki oleh investor-investor kecil dan perusahaan-perusahaan kecil dapat dimiliki oleh investor-investor kaya. Progresivitas akan digunakan untuk memberlakukan diskriminasi terhadap perusahaan besar dan membatasi apa yang dianggap sebagai akibat-akibat sosial yang tidak diinginkan dari perusahaan-perusahaan besar. Pertanyaan berikutnya adalah apakah pajak tersebut sebaiknya dikenakan pada laba dan bukannya ukuran aset atau penjualan. Walaupun ukuran yang besar tidak diinginkan, itu bukan alasan memberikan penalti kepada perusahaan besar yang menguntungkan. Suatu pajak atas kelebihan laba dapat dikenakan pada periode-periode krisis (seperti perang) ketika diperlukan pengendalian langsung atas upah dan harga. Pembatasan atas upah dalam kondisi seperti ini tidak dapat diterapkan secara efektif tanpa juga membatasi laba, dan pajak atas kelebihan laba merupakan alat-alat yang berguna dalam kaitannya dengan situasi ini. Walaupun kelihatannya baik secara prinsip, pajak atas kelebihan laba sulit diadministrasikan karena kelebihan laba tidak mudah didefinisikan. Kelebihan laba tersebut harus diukur dengan membandingkannya dengan periode dasar, tetapi akan muncul ketidakadilan karena perbedaan posisi awal; atau, suatu tingkat pengembalian standar dapat digunakan, dalam hal ini disparitas risiko dapat terlewatkan, sehingga memunculkan masalah yang sulit dalam hal menentukan tarip berapa yang cocok untuk setiap industri. Suatu situasi lain yang berbeda di mana pajak atas kelebihan laba secara selektif dapat dikenakan karena krisis tertentu, seperti krisis harga minyak dan pelepasan kendali atas harga minyak, yang memunculkan pengenaan pajak atas laba tak terduga dari kenaikan harga minyak. Sebagai stimulus bagi formasi modal dan pertumbuhan, tabungan perusahaan perlu didukung dan distribusi dividen perlu dibatasi. Tujuan ini dapat dicapai dengan mengenakan pajak atas dividen yang dibayarkan dan mengecualikan laba yang ditahan. Alternatif kebijakan lain, dalam rangka mendukung berfungsinya pasar modal atau meningkatkan pengeluaran konsumsi, distribusi dividen perlu didukung sedangkan menahan laba perlu dihindari. Tujuan ini dapat dicapai dengan mengenakan pajak atas laba yang tidak dibagi dan mengecualikan laba yang dibayar sebagai dividen.
Dasar-dasar Keuangan Publik
173 5.
Terakhir, pajak perusahaan dapat digunakan untuk memberikan insentif atau disinsentif investasi, yang berbeda dari tabungan perusahaan. Alatalat seperti penyusutan dipercepat dan kredit pajak investasi dapat digunakan untuk tujuan ini dan juga dapat diterapkan secara siklus atau pada saat-saat tertentu.
Secara keseluruhan, pembahasan di atas menunjukkan bahwa instrumen pajak dapat menjadi alat yang berguna dalam mengendalikan tingkah laku perusahaan dalam banyak hal, tetapi bentuk pajak yang diperlukan bukanlah pajak atas laba.
Integrasi Pajak Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, banyak pendapat yang menyatakan bahwa perusahaan adalah alat untuk mencari penghasilan bagi pemegang saham dan oleh karenanya sumber penghasilan dari perusahaan diintegrasikan ke dalam pajak penghasilan pribadi. Apakah penyesuaianpenyesuaian yang diperlukan dalam struktur pajak untuk mencapai tujuan ini? Integrasi Penuh Untuk menjamin integrasi sepenuhnya, penyesuaian harus mengintegrasikan perlakuan pajak baik untuk laba yang ditahan maupun distribusi dividen. Hal ini dapat dicapai baik dengan menggunakan metode partnership atau melalui pengenaan pajak sepenuhnya atas capital gain. Metode Partnership. Solusi ini memasukkan laba total kepada penghasilan pemegang saham dan mengenakan pajaknya dengan pajak penghasilan pribadi. Bila laba tidak dibagi, perusahaan akan memberitahukan kepada para pemegang saham berapa jumlah yang tidak dibagi yang menjadi bagian mereka dan ditambahkan ke dalam ekuitas mereka dan kemudian pemegang saham akan memasukkan jumlah ini ke dalam perhitungan laba kena pajak mereka. Pada saat yang sama, pemberlakuan skema pemotongan pajak (withholding) juga diperlukan terhadap penghasilan laba ini. Sebagaimana perusahaan bertindak sebagai pemotong dan pemungut pajak untuk pajak penghasilan pribadi atas upah dan gaji karyawannya, perusahaan juga dapat bertindak sebagai pemotong dan pemungut pajak untuk penghasilan laba dari pemegang sahamnya. Misalkan bahwa seorang pemegang saham menerima bagian laba sebesar Rp10.000.000, dan telah diberitahukan kepadanya. Perusahaan memotong dan memungut pajak, misalnya 20 persen, sehingga pemegang saham mendapatkan sisanya sebesar Rp8.000.000. Seberapa besar bagian laba tersebut akan didistribusikan sebagai dividen, pemegang saham akan melaporkan jumlah kotornya sebesar Rp10.000.000 dalam penghasilan kena pajaknya. Jika pajak marjinalnya 25%, pajaknya akan sebesar Rp2.500.000. Atas jumlah pajak ini, ia dapat mengkreditkan Rp2.000.000 yang dipotong oleh sumber penghasilan, dan hanya membayar sisanya sebesar Rp500.000. Seorang pemegang saham yang dikenakan pajak marjinal sebesar 15% akan memunculkan beban pajak sebesar Rp1.500.000. Karena ia telah dipotong sebesar Rp2.000.000, ia berhak mendapatkan
Dasar-dasar Keuangan Publik
174 pengembalian pajak sebesar Rp500.000. Dengan melaporkan penghasilan laba pada jumlah kotornya ini, pemegang saham akan membayar pajak sesuai dengan tarip pajak marjinalnya. Dengan penjelasan lain, untuk tujuan pajak, pemegang saham diperlakukan seolah-olah mereka adalah partner dalam suatu bisnis nonperusahaan. Karena pajaknya dikenakan ketika laba diperoleh, capital gain yang menunjukkan kenaikan nilai kepemilikan yang ditimbulkan dari menahan laba harus dikecualikan dari pajak atas capital gain. Hal ini daat dilakukan dengan cara membolehkan pemegang saham menambahkan basisnya (menambahkan ke harga pokok investasi saham mereka) dengan jumlah yang sama dengan bagian mereka atas laba yang tidak dibagi. Prosedur ini tampaknya cukup adil, dan cara ini yang diusulkan sebagai prosedur standar oleh para ahli pajak. Akan tetapi, beberapa kesulitas dengan metode ini perlu dikemukakan. Ada pendapat bahwa wajib pajak tidak diharuskan membayar pajak atas penghasilan yang tidak mereka terima. Oleh karena itu, adalah tidak adil bila memasukkan laba yang ditahan ke dalam penghasilan kena pajak pribadi. Keberatan ini sama dengan yang dikemukakan dalam pembahasan pajak atas laba yang belum direalisasikan, tetapi tidak begitu meyakinkan. Satu hal penting, sebagian besar bagian dari pajak akan dibayar pada sumber pemotongan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan likuiditas pada pemegang saham. Sisanya, terutang apabila tarip pajak marjinal yang dikenakan kepada pemegang saham melebihi tarip potongan, dapat dibayar dengan menjual sebagian saham. Pendekatan ini tidak memungkinkan untuk perusahaan yang bukan perseroan publik yang sahamnya tidak diperdagangkan, tetapi para pemegang saham dapat meningkatkan rasio yang dibayarkan sebagai dividen untuk mendapatkan kas yang dibutuhkan. Ada juga argumentasi yang menyatakan bahwa pendekatan partnership, walaupun memungkinkan untuk perseroan kecil dan perseroan non-publik, tidak praktis untuk perusahaan besar dan dimiliki publik secara luas. Karena para pemegang saham bertransaksi saham secara cepat di pasar modal, sulit untuk mengalokasikan bagian laba diantara mereka. Selain itu, kesulitan-kesulitan lain akan muncul berkenaan dengan kebijakan-kebijakan pemberian insentif, seperti kredit pajak atas investasi. Manajemen, yang umumnya membuat keputusan investasi, tidak akan memberikan respons atas suatu kredit pajak yang manfaatnya diserahkan kepada para pemegang saham, dan proses penyerahan itu sendiri memunculkan kesulitan-kesulitan teknis. Akan tetapi, permasalahanpermasalahan ini terbukti bukan sesuatu yang tidak dapat diselesaikan bila usaha integrasi yang serius dijalankan. Bagaimanapun juga, perlu dicatat bahwa integrasi dengan menggunakan metode partnership tidak akan menghilangkan permasalahan-permasalahan dalam penentuan laba kena pajak perusahaan. Penentuan laba kena pajak ini sama pentingnya seperti dalam pajak perusahaan absolut. Integrasi dengan metode partnership tidak menyederhanakan administrasi pajak bahkan menambah kerumitan atasnya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
175 Metode Capital gain. Cara lainnya untuk mencapai integrasi sepenuhnya adalah dengan mengenakan pajak sepenuhnya atas semua capital gain (termasuk yang belum direalisasikan), dikombinasikan dengan penghapusan pajak atas laba. Bagian yang didistribusikan akan muncul dalam penghasilan pemegang saham sebagai dividen, sedangkan bagian yang tidak dibagikan akan muncul sebagai capital gain. Cara ini tidak memerlukan penentuan laba kena pajak untuk perusahaan. Dalam pendekatan ini, pengenaan pajak secara periodik dapat digabungkna dengan pajak atas pemindahan aset. Dengan ketiadaan pajak pada tingkatan perusahaan, insentif investasi seperti kredit pajak atas investasi harus diberikan pada tingkatan pemegang saham atau diberikan langsung sebagai subsidi kepada perusahaan. Integrasi Parsial Bila integrasi sepenuhnya telah didiskusikan selama beberapa tahun, cara ini tidak pernah dipandang sebagai cara yang realistis. Akan tetapi, beberapa praktik di negara maju telah memunculkan sampai tingkatan tertentu suatu integrasi parsial. Misalnya, di AS sebelum tahun 1986, pendapatan dividen maksimal sebesar $200 dikecualikan dari penghasilan kena pajak. Perlu diingat, keringanan ini diberikan dalam bentuk pengecualian dan bukannya kredit pajak. Akibatnya, manfaatnya bagi penerima dividen akan meningkat sejalan dengan tarip pajak marjinalnya, sehingga menguntungkan wajib pajak yang berpenghasilan besar. Sejak tahun 1986, pengecualian dividen ini ditiadakan dan tarip pajak atas perusahaan disesuaikan ke tingkat tarip pajak untuk pajak penghasilan pribadi. Cara ini dipandang sebagai mendekati perlakuan yang terintegrasi untuk laba yang tidak dibagi, tetapi pajak berganda tetap berlaku bagi dividen.
Aspek-Aspek Khusus Definisi Basis Pajak Permasalahan-permasalahan pada keuangan perusahaan, lebih rumit daripada keuangan pada rumah tangga, demikian juga permasalahan pada desain pajaknya. Berikut ini beberapa contoh atas permasalahan-permasalahan pajak tersebut. Hutang versus Modal Saham Bunga yang dibayar oleh perusahaan atas dana yang diperolehnya dengan berutang dikurangkan dari penghasilan kena pajak ketika memperhitungkan pajak penghasilan badan. Bunga diperlakukan sebagai biaya bisnis, seperti juga pembayaran gaji dan upah. Dengan ketiadaan integrasi, hal ini memunculkan insentif bagi pemberi dana untuk meminjamkan daripada melakukan investasi ekuitas. Bila meminjamkan, pendapatan bunga hanya dikenakan dalam pajak penghasilan pribadi. Bila menanam modal, distribusi dividen mengalami pajak berganda. Distorsi yang sama muncul pada sisi manajemen yang lebih memilih pendanaan hutang. Jika dana diperoleh dari hutang, bunga yang dibayarkan dapat dikurangkan dari laba kena pajak, sedangkan laba atas modal ekuitas tidak boleh dikurangkan. Penggunaan integrasi sepenuhnya akan mengembalikan netralitas perlakuan pajak. Jika tidak ada integrasi sepenuhnya, netralitas dapat dikembalikan dengan cara (1) tidak membolehkan pengurangan biaya bunga pada pajak penghasilan badan tetapi akan memperluas cakupan pajak berganda, atau Dasar-dasar Keuangan Publik
176 (2) membolehkan pengurangan bunga yang diperhitungkan atas modal ekuitas dalam pajak penghasilan badan sehingga mengurangi cakupan pajak berganda. Pada kenyataaanya, karena sangat mengandalkan sumber pendanaan internal, modal ekuitas pada perusahaan selalu meningkat, dengan sedikit bukti bahwa adanya perlakuan pajak yang buruk tersebut memiliki pengaruh. Pembayaran dalam bentuk Natura dan Biaya Entertainment Pembayaran dalam bentuk natura dan biaya entertainment merupakan topik yang banyak dibahas. Ketika biaya entertainment dapat dikurangkan dari penghasilan, biaya untuk pengeluaran tersebut berkurang sebanyak 30 persen dan aktivitasnya sulit dikategorikan untuk didukung dengan subsidi publik. Selain itu, dengan membayar dalam bentuk natura daripada dalam bentuk kas, perusahaan telah membantu pengawainya mengurangi pajak penghasilan pribadi mereka. Jadi, bila sebuah mobil senilai Rp200.000.000 diberikan kepada manajer perusahaan, biaya dari perusahaan akan sama dengan apabila gajinya dinaikkan dengan jumlah yang sama. Akan tetapi, kenaikan gaji akan menambah kewajiban pajaknya, sedangkan tunjangan kendaraan tidak. Cara penghindaran pajak penghasilan pribadi ini dapat ditutup baik dengan cara memasukkan pembayaran dalam bentuk natura ke dalam pajak penghasilan pribadi atau melarang pengurangan biaya-biaya tersebut pada pajak penghasilan badan. Cara yang dilakukan sekarang ini adalah jalan tengah dengan membatasi pengurangan atas pembayaran dalam bentuk natura dan biaya entertainment. Aturan Penyusutan dan Waktu Penyusutan Apakah dalam bentuk pajak perusahaan absolut atau integrasi berbentuk partnership, laba kena pajak harus didedinisikan dan berbagai kesulitan harus dihadapi dalam proses definisi ini. Permasalahan penyusutan adalah salah satu permasalahan yang paling sulit dan paling penting Karena pajak perusahaan adalah pajak atas laba bersih, semua biaya usaha harus dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam hal pembayaran gaji dan upah atau pembelian bahan mentah, pengurangan dapat dilakukan ketika pembayaran terjadi. Dalam hal investasi modal, pengurangan itu dilakukan selama beberapa periode. Peraturan perundang-undangan harus menentukan pada tarip berapa para investor diperbolehkan untuk memperoleh kembali biaya investasi mereka. Kapan waktu perolehan kembali biaya modal sangat penting karena nilai tunai dari kewajiban pajak berkurang ketika penyusutan dibebankan. Pengurangan biaya modal memunculkan penghematan pajak bagi investor, dan akan lebih besar bila biaya modal dikurangkan lebih cepat. Oleh karena itu, nilai tunai dari pajak dan juga pengurangan atas penghasilan tidak hanya bergantung pada tarip pajak tetapi juga pada kapan pengurangan penyusutan diperbolehkan. Faktor-faktor ini melibatkn jangka waktu penyusutan dibebankan dan kecepatan hasilnya dalam interval ini. Lama Masa Manfaat. Jangka waktu periode di mana investasi dapat diperoleh kembali atau penyusutan dibebankan pada umumnya telah ditetapkan sesuai Dasar-dasar Keuangan Publik
177 dengan masa manfaat dari aset bersangkutan. Peraturan perpajakan telah menetapkan patokan umur yang sejalan dengan praktik bisnis yang sehat, Metode Penyusutan. Metode penyusutan yang diperbolehkan untuk dipakai hanya dua metode yaitu metode garis lurus dan metode saldo menurun (declining balance method). Bangunan harus disusutkan dengan menggunakan metode garis lurus di mana jumlah yang sama sebesar C/n harus dihapuskan setiap tahun, dengan C sama dengan nilai perolehan aset dan n adalah umur aset. Jadi, untuk suatu aset yang bernilai Rp100.000.000 dengan masa umur selama 10 tahun, setiap tahun sejumlah Rp10.000.000 boleh dikurangkan. Peralatan disusutkan dengan menggunakan metode saldo menurun, dengan persentase sebesar dua kali tarip garis lurus dikurangkan pada tahun dan persentase yang sama ini kemudian diterapkan pada jumlah yang belum disusutkan setiap tahunnya. Dengan demikian, sebesar Rp20.000.000 akan dikurangkan pada tahun pertama, Rp16.000.000 akan dikurangkan pada tahun kedua, dan seterusnya. Ada satu metode lagi yang tidak diperbolehkan berdasarkan peraturan perundangundangan saat ini, yaitu metode jumlah angka tahun (sum-of-years-digits method); di mana bagian yang dikurangkan pada setiap tahun sama rasio dari sisa tahun terhadap jumlah angka tahun selama masa manfaat aset. Jadi, untuk suatu aset dengan harga perolehan Rp100.000.000 dan masa manfaat selama 10 tahun, jumlah angka tahunnya sama dengan 10 + 9 + 8 + 7 + 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 55. Beban penyusutan tahun pertama adalah 10/55 dari Rp100.000.000 = Rp18.111.111; beban untuk tahun kedua adalah 9/55 dari Rp100.000.000 = Rp16.363.636; dan seterusnya. Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah ini, nilai tunai dari penyusutan yang paling tinggi apabila menggunakan metode penyusutan saldo menurun daripada engan menggunakan metode garis lurus, dan perbedaan semakin besar dengan semakin lamanya masa manfaat. Simpulan yang sama juga berlaku apabila kita membandingkan metode jumlah angka tahun dengan metode garis lurus. Bila kita membandingkan antara metode saldo menurun dengan metode jumlah angka tahun, metode saldo menurun lebih menguntungkan pada aset-aset berumur pendek dan metode jumlah angka tahun lebih menguntungkan pada aset-aset yang berumur panjang.
Dasar-dasar Keuangan Publik
178 Nilai Tunai Penyusutan (dalam Rupiah, Harga Perolehan Aset = Rp100,000)
Masa Manfaat (I) 5 10 20 50 5 10 20 50
Garis Lurus Saldo Menurun (II) (III) DISKONTO 6 PERSEN 86.750 87.811 75.787 78.716 59.055 64.661 32.460 40.935 DISKONTO 10 PERSEN 79.534 81.100 64.469 68.528 44.663 51.539 20.806 28.829
Jumlah Angka Tahun (IV) 87.515 79.997 67.680 44.756 80.614 70.099 54.697 31.439
Metode Penyusutan Ekonomis versus Metode Penyusutan Dipercepat Tarif efektif dari pajak bergantung pada tarip nominal (sekarang 30 persen untuk perusahaan) dan tingkat penyusutan yang diperbolehkan. Semakin cepat tingkat penyusutannya, semakin rendah tarip efektif pajaknya. Ketika mempertimbangkan suatu investasi, investor akan menimbang nilai tunai dari arus laba bersihnya terhadap biaya perolehan dari aset. Nilai tunai ini sama dengan nilai tunai dari arus laba sebelum pajak dikurangi dengan nilai tunai dari pembayaran pajaknya. Nilai tunai dari pajak dapat dipandang sama dengan nilai tunai dari pajak kotor (sebelum dikurangi dengan penyusutan yang diperbolehkan) dikurangi dengan nilai tunai dari penghematan pajak karena penyusutan. Jika komponen negatif ini menjadi semakin besar seperti yang ditunjukkan pada tabel di ataas, pajaknya akan semakin turun, semakin cepat penyusutan dilakukan. Hasilnya demikian karena nilai tunai dari penghematan pajak akan semakin tinggi ketika penghematan pajak tersebut semakin cepat terealisasi. Mempercepat penyusutan (baik dengan cara memperendek periode penyusutan atau membolehkan menyusutkan jumlah yang besar pada awal-awal masa guna aset) akan mengurangi tarip efektif pajak dengan menunda tanggal jatuh tempo dari kewajiban pajak. Dari sudut pandang investor, percepatan ini ekuivalen dengan pinjaman tanpa bunga, dengan nilai tunai dari penghematan bunganya sama dengan nilai tunai dari penghematan pajak yang dihasilkan. Netralitas Metode Penyusutan Ekonomis. Sudah terbukti bahwa penyusutan yang cepat menguntungkan investor, terutama yang menginvestasikan pada asetaset yang berumur panjang. Bagaimana mengoreksi tarip penyusutan yang akan memperlakukan semua investasi secara netral? Bila hanya melihat satu investasi saja, hal ini tidaklah sulit. Pemerintah akan mengalami kerugian dari semakin cepatnya penyusutan yang diperoleh oleh wajib pajak dan oleh karenanya beban yang sama – yang didefinisikan sebagai
Dasar-dasar Keuangan Publik
179 nilai tunai dari pajak – dapat diberlakukan dengan berbagai kombinasi tarip pajak dan tarip penyusutan. Suatu tarip pajak yang lebih rendah dan penyusutan yang lebih lambat akan memberikan nilai tunai pajak yang sama dengan suatu tarip pajak yang lebih tinggi dan penyusutan yang lebih cepat. Jika semua investasai sama, tidak akan menjadi masalah kombinasi mana yang dipilih yang memberikan kepada pemerintah arus pendapatan yang tertentu. Kesulitan akan muncul karena investasi berbeda dalam jangka waktu dan keuntungan sehingga menghasilkan pendapatan yang berbeda dalam berbagai kebijakan, padahal investasi-investasi ini harus diperlakukan sama, baik dalam hal keadilan (investor dengan penghasilan yang sama harus membayar pajak yang sama besar), maupun dalam hal netralitas (pajak tidak boleh mendistorsi pola investasi). Pola penyusutan seperti apa yang diperlukan untuk memastikan definisi penghasilan yang adil dan netral? Aset yang disusutkan, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dipandang sebagai menghasilkan dua arus penghasilan. Pertama adalah arus penghasilan positif berupa laba, yang timbul dari penggunaan aset. Yang lainnya adalah arus penghasilan negatif, yang ditimbulkan dari semakin memburuknya kondisi aset dan penurunan nilai karena keusangan. Bila dijumlahkan, aset tersebut memberikan arus laba bersih positif, nilai tunai yang menjadi nilai aset tersebut. Aset dengan nilai tunai arus laba bersih yang sama harus mendapat beban yang sama yang didefinisikan sebagai nilai tunai pajak. Hal tersebut akan sesuai ketika penyusutan dibebankan sejalan dengan pengurangan nilai aset, sehingga mengenakan pajak pada arus laba bersih yang sebenarnya ketika diterima setiap tahun. Nilai berjalan dari aset pada setiap waktu sama dengan nilai kapitalisasi dari arus penghasilan di masa depan yang dihasilkannya. Oleh karena itu, penurunan dalam nilai berjalan sama dengan nilai kapitalisasi dari penurunan arus penghasilan, yang adalah biaya modal atau penyusutan ekonomis yang harus dibebankan bersama-sama dengan biaya lain dalam menghitung laba bersih. Dalam hal penyusutan pajak sama dengan penyusutan ekonomis, pengenaan pajak akan mengurangi nilai dari arus laba bersih sebesar persentase tarip pajak yang berlaku. Tarip efektifnya akan sama dengan tarip nominal atau tarip yang berlaku dan tarip ini independen terhadap umur aset dan karenanya tidak akan mendistorsi pilihan investasi di antara mereka. Jika penyusutan diperbolehkan dengan tarip percepatan, investasi yang lebih lama akan mendapat keuntungan terbanyak dan juga mendapat manfaat dari tarip pajak efektif yang lebih rendah. Oleh karenanya, pilihan-pilihan investasi akan terdistorsi dan lebih banyak modal akan mengalir ke arah tersebut. Hal sebaliknya akan terjadi bila tarip penyusutan yang diperbolehkan lebih rendah daripada tarip ekonomis. Dengan demikian, ada alasan kuat untuk menggunakan penyusutan ekonomis. Akan tetapi, walaupun prinsipnya jelas, penerapannya tidak mudah. Peralatan modal modern tidak aus secara seragam dan juga menjadi usang sebelum sempat digunakan sepenuhnya. Tingkat keusangan akan berbeda dan tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, cara yang terbaik yang dapat dilakukan adalah memakai masa guna seperti yang biasa dipakai dalam praktik bisnis dand Dasar-dasar Keuangan Publik
180 dengan asumsi bahwa masa guna yang dipercepat merupakan masa guna sebenarnya dan jejak waktu dari arus penghasilannya. Tarip Pajak yang Efektif. Berdasarkan diskusi sebelumnya, tampaklah jelas bahwa tingkat tarip nominal dan perubahannya bukanlah indikator yang cukup atas tingkat tarip efektif. Tarip efektif ditentukan dengan cara menghitung (rb – ra) / rb, di mana rb adalah tingkat pengembalian sebelum pajak dan ra adalah tingkat pengembalian setelah pajak. Dengan demikian, tarip efektif sama dengan persentase pengurangan dalam pengembalian modal karena pajak. Tarip ini bergantung pada tarip pajak yang berlaku dan tarip penyusutan. Investasi Tunggal versus Investasi Berkelanjutan. Dalam diskusi sebelumnya, kita membahas pengaruh dari penyusutan yang dipercepat terhadap tingkat pengembalian bersih dari investasi tunggal. Untuk investasi seperti itu, yang dilakukan sekali dan kemudian selesai, penyusutan yang dipercepat tidak mengurangi jumlah total pajak yang akan dibayarkan. Kewajiban pajaknya berkurang pada tahun-tahun awal dan bertambah pada tahun-tahun akhir. Labanya (ekuivalen dengan pinjaman bebas bunga) timbul dari penangguhan pajak sekali, di mana pemerintah kehilangan pendapatan pada tahun-tahun awal dan mendapatkan kembali pendapatan tersebut pada tahun-tahun terakhir. Untuk investasi yang berkelanjutan, kejadiannya tidak sama. Misalkan bahwa suatu aset diganti ketika semakin usang sedemikian rupa sehingga dasar yang akan disusutkan tidak berubah. Wajib pajak mendapat keuntungan dari penundaan (dan kerugian bagi Pemerintah) dan nilai sepanjang tahun-tahun awal dan kemudian akan rata. Pada tahun-tahun awal, kerugian pendapatan pemerintah akan berakhir tetapi tidak ada perolehan kembali kerugian awal selama reinvestasi terus-menerus berlangsung. Perolehan kembali baru terjadi setelah reinvestasi berakhir. Ada juga kasus di mana suatu perusahaan terusmenerus meningkatkan aset-asetnya yang dapat disusutkan. Jika penyusutannya cukup cepat dan ekspansinya cukup tajam, perusahaan seperti ini dapat menunda pembayaran pajak selamanya. Semua pembayaran dapat dihindari dan tanpa terjadi perolehan kembali. Pembebanan Sekaligus Biaya gaji dan pembelian bahan dikurangkan ketika terjadi investasi. Biaya-biaya ini langsung dibebankan pada biaya investasi. Apa yang akan terjadi bila hal yang sama juga dilakukan terhadap pengeluaran modal, yaitu bila percepatan dilakukan sampai titik ekstrem dan biaya investasi dibebankan ketika terjadi? Seorang investor yang melakukan investasi tunggal mungkin tidak akan dapat memanfaatkan penghapusan segera tersebut. Investor tersebut mungkin tidak dapat merealisasikan penghematan pajak (tax savings) sampai diperoleh pendapatan (laba) yang cukup di mana penyusutan akan dibebankan. Misalkan suatu perusahaan memiliki penghasilan dari investasi lain yang dapat digunakan untuk pembebanan tersebut, investor tidak perlu membayar pajak dan pemerintah tidak memperoleh pendapatan pajak.
Dasar-dasar Keuangan Publik
181 Untuk mengetahui mekanisme ini, misalkan kita menginvestasikan uang Rp100 juta pada aset A dan segera membebankannya sebagai penyusutan sebesar Rp100 juta. Karena kita belum mendapatkan penghasilan dari A, kita menderita kerugian sebesar Rp100 juta. Kemudian kita membebankan kerugian ini pada laba dari aset B, sehingga mengurangi kewajiban pajak dari penghasilan aset B. Dengan tarip pajak 30%, penghematan pajaknya akan sebesar Rp30 juta. Kita kemudian menambahkan sejumlah ini ke dalam investasi anda pada A, membebankan tambahan Rp30 juta sebagai penyusutan, mendapatkan penghematan pajak sebesar Rp9 juta, dan seterusnya. Bila kegiatan serial ini diulangi terus-menerus, kita akan berakhir dengan investasi pada A sebesar Rp100 juta + 0,30 x Rp100 juta + 0,302 x Rp100 juta . . . . = Rp142,857 juta. Kita harus membayar suatu pajak dengan tarip 30 persen penghasilan kita dari Rp142,857 juta dalam investasi pada A, membuat posisi kita sama dengan menginvestasikan Rp100 juta tanpa pajak. Penyusutan segera dengan reinvestasi secara kontinyu dari penghematan pajak yang didapat membatalkan pajak. Kebijakan yang dilaksanakan tidak akan sejauh ini. Aturan hukum biasanya hanya membolehkan sebagian (misalnya sepertiga) dari biaya investasi yang dapat diperoleh kembali dengan penyusutan segera. Dalam hal ini, hanya sepertiga dari pajak yang akan dihapuskan. Pendekatan ini sering disebut sebagai cadangan awal (initial allowance) yang merupakan cara yang netral dalam memberikan insentif investasi. Suatu sistem yang membolehkan sebagian dari pajak dibiayakan dan menyusutkan sisanya sesuai dengan penyusutan secara ekonomis akan netral antara investasi jangka pendek dan jangka panjang. Penyesuaian terhadap Inflasi Dengan harga yang selalu naik, perolehan kembali investasi dengan berdasarkan harga perolehan tidak akan memberikan penghematan pajak yang cukup untuk menjaga modal perusahaan dalam nilai riilnya. Akibatnya, penghasilan kena pajak terlalu besar, menimbulkan kenaikan tarif efektif pajak yang tersembunyi, bila diukur dalam nilai riil. Hal ini sangat relevan terutama dalam periode inflasi tinggi. Untuk menghilangkan permasalahan ini dan untuk mengatasi permasalahan inflasi dengan benar, dua solusi tersedia: (1) basis penyusutan dapat diindeks untuk naik sesuai dengan biaya penggantian; (2) seluruh penyusutan dapat dilakukan pada tahun pertama sehingga menghilangkan pengaruh inflasi. Investment Tax Credit Di Amerika Serikat, pada dua dekade sebelum reformasi pajak tahun 1986, kredit pajak investasi (investment tax credit) merupakan alat insentif yang utama. Pertama kali diperkenalkan tahun 1964, suatu kredit pajak diperbolehkan atas sebagian (pada tahun 1985 sebesar 10%) dari biaya investasi yang dikualifikasikan. Jadi, seorang investor yang membeli aset dengan harga Rp100 juta dapat memperolehnya pada biaya perolehan bersih sebesar Rp90 juta. Investasi yang dikualifikasikan untuk kredit pajak tersebut adalah semua aset yang dapat disusutkan kecuali gedung.
Dasar-dasar Keuangan Publik
182 Bagaimana kedua alat insentif, kredit investasi dan penyusutan dipercepat, dapat diperbandingkan? Kredit investasi sama dengan penyusutan dipercepat dalam hal keduanya dapat digunakan untuk mengurangi pajak, tetapi mekanismenya berbeda. Bedanya dengan penyusutan dipercepat, kredit investasi tidak hanya merupakan alat penunda pajak, tetapi juga alat yang memberi hak untuk pengurangan pajak. Untuk suatu investasi tertentu dengan lama masa manfaat tertentu, dimungkinkan untuk merancang penyusutan yang dipercepat dan provisi kredit yang menghasilkan nilai tunai yang sama kepada investor. Akan tetapi, kedua pendekatan itu berbeda diantara berbagai investasi. Penyusutan dipercepat lebih tepat untuk investasi jangka panjang, sedangkan kredit pajak memberikan keuntungan bagi aset berumur pendek. Aset yang berumur lebih pendek dapat diganti lebih sering sehingga dapat dimungkinkan untuk mendapatkan kredit pajak lebih sering lagi.
Siapa Yang Menanggung Beban Pajak? Sebagian besar ekonom memandang beban pajak penghasilan badan jatuh kepada modal, sesuai dengan model kompetitif. Para pebisnis sering memiliki pandangan berbeda dan memandang pajak sebagai biaya yang harus dipindahkan. Pandangan ekonomis adalah pandangan yang tepat bila diasumsikan bahwa semua pasar beroperasi untuk memaksimalkan laba. Akan tetapi, jika perusahaan berada dalam situasi monopoli, yang penjualan bukannya laba yang dimaksimalkan, atau aturan harga lainnya yang berubah, perusahaan akan berusaha memindahkan beban pajak dengan harga yang lebih tinggi. Demikian juga, bila pasar tenaga kerja tidak sempurna, pajak yang tinggi dapat dicerminkan dalam permintaan yang lebih terbatas dalam perundingan dengan manajemen dan oleh karenanya dapat dipindahkan bebannya kepada tenaga kerja. Hasilnya bergantung pada struktur dan tingkah laku pasar yang ada. Beberapa struktur industri sering terjadi apa yang disebut administered pricing, yaitu penentuan harga bukan berdasarkan mekanisme pasar. Pemindahan beban dengan cara penyesuaian administered pricing (dibedakan dengan pemindahan beban karena perpindahan faktor dan perubahan pasokan faktor dalam pasar yang kompetitif) tidak dapat dianggap tidak ada. Hal yang sama juga berlaku pada pasar tenaga kerja yang terorganisir. Ada banyak usaha pada tahun-tahun terakhir untuk memberikan bukti tentang ini. Jika tarip pajak perseroan berbeda antar industri, masalahnya akan cukup sederhana. Beberapa pandangan dapat diperoleh dari memeriksa perubahan-perubahan harga yang terjadi dan membandingkan posisi-posisi relatif beberapa sektor sebelum dan sesudah perubahan pajak. Hal ini tidak dapat dilaksanakan dalam dunia nyata karena pajak diterapkan pada semua perseroan dengan tarip efektif yang sama. Demikian juga, pembandingan antara tingkat pengembalian dari investasi pada perseroan dan non-perseroan sulit dilakukan karena ketidaktersediaan data pada usaha-usaha non-perseroan. Kemungkinan yang tersisa adalah mempelajari pengalaman sektor perusahaan dan bagaimana berbagai komponen dalam sektor perusahaan menanggapi pajak, termasuk tingkat pengembalian dari pemegang saham perusahaan, bagian laba perusahaan dalam nilai tambah pada sektor perusahaan, dan marjin laba perusahaan. Pendekatan Dasar-dasar Keuangan Publik
183 inipun tidak dapat menghasilkan pandangan yang cukup jelas karena perubahan tarip pajak tidak berlangsung secara sering. Hasil penelitian di Amerika Serikat tentang perubahan tarip pajak dalam rangka menguji adanya pemindahan beban pajak menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan konsisten dengan kedua hipotesa pemindahan dan nonpemindahan. Hal ini terjadi karena banyaknya faktor-faktor non-pajak yang mempengaruhi hasil penelitian sehingga penelitian tidak dapat menunjukkan siapa sebenarnya yang menanggung beban pajak. Pendekatan lain untuk mengukur adanya pemindahan beban pajak adalah dengan menggunakan pendekatan ekonometrika, yang dirancang untuk mengisolasi pengaruh pajak penghasilan perseroan. Berbagai studi telah dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir, akan tetapi masalah ini masih kontroversial. Satu jenis penelitian menggunakan model bahwa tingkat pengembalian perusahaan adalah suatu fungsi dari berbagai variabel yang telah ditentukan sebelumnya, seperti tingkat permintaan konsumen, utilisasi kapasitas, pengeluaran publik, dan tarip pajak perusahaan. Dengan memasukkan tarip pajak perusahaan, para analis berharap menggunakan koefisien regresi dari variabel ini untuk mengukur pengaruh perubahan tarip pada tingkat pengembalian. Beberapa studi mengindikasikan adanya pemindahan beban pajak yang cukup tinggi, sehingga mengarahkan kepada hipotesa pemindahan beban pajak. Beberapa studi lainnya mengindikasikan hasil yang sebaliknya. Analisis ekonometrik tidak mampu secara bulat memisahkan pengaruh pajak dari beberapa perubahan yang terjadi secara bersamaan dalam pengeluaran publik, kondisi ekonomi dan faktorfaktor lain. Pada kenyataannya, tarip pajak itu sendiri merupakan konsep yang kompleks. Dan juga, yang terpenting adalah tarip pajak efektif bukannya tarip pajak nominal. Tarip pajak efektif ini bergantung pada aturan penyusutan, kredit investasi, tingkat inflasi, dan berbagai faktor yang tidak dapat dinilai dengan jelas. Teknik ekonometrik yang lebih baik dikombinasikan dengan penggunaan data yang kurang agregatif mungkin dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Pajak Penghasilan Badan Untuk Usaha Kecil Dan Menengah Haruskah tarip pajak bagi UKM berbeda? Alasan pengenaan tarip pajak progresif untuk pajak penghasilan wajib pajak pribadi tidak dapat diterapkan pada sektor perusahaan. Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk membayar seperti halnya yang dimiliki individu dan beban pajak pada akhirnya ditanggung oleh individual. Tidak ada hubungan positif antara ukuran usaha perusahaan dan laba bersih pemiliknya. Banyak perusahaan kecil dimiliki oleh individu-individu berpenghasilan tinggi dan sebagian besar dividen yang dibayarkan oleh perusahaan diterima oleh individuindividu dengan penghasilan menengah. Jika tarip pajak akan ditetapkan progresif maka harus didasarkan pada alasan-alasan lain, seperti menahan ukuran bisnis sehingga tidak terlalu besar atau mendukung usaha-usaha kecil. Jika tujuan menahan ukuran bisnis yang
Dasar-dasar Keuangan Publik
184 ditetapkan, pajak yang progresif dapat diberlakukan tetapi diterapkan pada ukuran usaha (ukuran aset) dan bukannya tingkat laba. Akan tetapi tujuan ini pun dapat dipertanyakan, karena pada umumnya perusahaan-perusahaan ukuran menengah dan besar lebih efisien daripada usaha kecil, walaupun sedikit sekali bukti bahwa ukuran usaha yang besar diperlukan untuk mencapai efisiensi. Walaupun demikian, keringanan pajak untuk usaha-usaha kecil selalu menjadi perbincangan politik yang penting. Posisi ini dapat dipandang benar untuk mengurangi kemampuan perusahaan-perusahaan besar untuk beroperasi pada pasar-pasar modal yang tidak sempurna dan mendapat manfaat dari praktikpraktik monopolis. Selain itu, ada pandangan yang selalu ada bahwa memelihara usaha-usaha kecil yang diinginkan secara sosial walaupun tidak efisien. Bantuan kepada UKM Pilihan partnership. Untuk menghilangkan penerapan pajak berganda bagi usaha kecil berbentuk perusahaan, ada aturan khusus bahwa usaha-usaha kecil sampai dengan ukuran aset atau ukuran penjualan tertentu boleh dipajaki sebagai suatu partnership. Perusahaan kecil ini dipandang sebagai mekanisme melewatkan beban pajak, suatu penerapan integrasi yang sempurna. Tarip awal yang rendah. Pemerintah dapat pula memberikan bantuan kepada UKM dengan mengenakan tarip awal pajak yang rendah. Penggunaan tarip awal yang rendah tidak banyak manfaatnya bagi usaha-usaha besar. Walaupun tarip awal yang rendah ini dapat digunakan oleh wajib pajak pribadi untuk mengurangi pajaknya. Hal ini dapat dihindari dengan membuat aturan pajak berbeda untuk wajib pajak pribadi. Permasalahan lain yang dapat muncul adalah aturan ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan besar dengan memecahnya menjadi unit-unit kecil dengan melakukan spin off. Permasalahan ini dapat diatasi dengan memberikan penalti kepada suatu perusahaan holding yang memiliki banyak anak perusahaan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
185
B A B XVIII PAJAK ATAS KONSUMSI ajak penjualan mirip dengan pajak penghasilan karena dikenakan pada arus yang diciptakan oleh produksi output. Bila pajak penghasilan dikenakan pada sisi penjual dari faktor-faktor produksi (misalnya, atas penghasilan yang diterima oleh rumah tangga) maka pajak penjualan dikenakan pada sisi penjual dari transaksi produksi (misalnya atas penjualan yang dilakukan perusahaan), dengan angka penjualan diukur dalam ukuran unit produk atau penerimaan kotor. Pajak penjualan atas barang konsumsi dapat dipandang ekuivalen dengan pajak yang dikenakan atas pembelian-pembelian rumah tangga. Bila pajak penghasilan didasarkan pada sisi sumber pada rumah tangga maka pajak penjualan didasarkan pada sisi penggunaan. Dalam pajak umum atas barang-barang konsumsi, semua penggunaan dikenakan kecuali untuk menabung.
P
Hal yang paling penting adalah pajak penjualan berbeda dari pajak penghasilan dalam hal pajak ini merupakan pajak in rem bukannya pajak pribadi. Oleh karenanya, dalam pajak penjualan tidak membolehkan situasi-situasi pribadi konsumen sebagaimana halnya dalam pajak penghasilan individu dengan aturanaturan pengecualian, pengurangan, dan tarip progresif. Oleh karena itu, pajak penjualan inferior baik dalam hal keadilan vertikal maupun keadilan horizontal.
Jenis Pajak Atas Konsumsi Di Indonesia Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pajak atas konsumsi yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah Pajak Penjualan (PPn) yang mulai diberlakukan sejak tahun 1951. Proses penggantian Pajak Penjualan menjadi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan salah satu rangkaian perombakan sistem perpajakan nasional sebagai Reformasi Perpajakan tahun 1983 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985. Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1984, yang telah Dasar-dasar Keuangan Publik
186 mengalami perubahan-perubahan yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000. PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan atas konsumsi barang-barang dan jasa-jasa tertentu di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean). Selain itu, untuk konsumsi barang-barang tertentu yang dikelompokkan sebagai barang mewah di dalam negeri, selain dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM. Khusus untuk PPnBM hanya dikenakan satu kali ketika dijual oleh pabrikan atau ketika diimpor. Tidak semua konsumsi barang dan jasa dikenakan pajak. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN adalah: - Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. - Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. - Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya. - Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga. Jasa-jasa yang tidak dikenakan PPN cukup banyak, seperti jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa keagamaan, jasa pendidikan dan lain-lain. Cukai Cukai adalah pungutan atau pajak yang dikenakan terhadap konsumsi barangbarang tertentu. Pada prinsipnya, cukai adalah pajak atas konsumsi, seperti pajak penjualan, tetapi hanya dikenakan pada barang-barang tertentu seperti tembakau, gula, bensin dan minuman keras. Cukai merupakan hak atas pemerintah pusat. Pajak Konsumsi di Daerah Jenis pajak konsumsi lainnya diberlakukan pada tingkatan daerah dengan besarnya tarip pajak bergantung pada peraturan masing-masing daerah. Pajakpajak ini diantaranya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Parkir.
Bahasan-Bahasan Dalam Pajak Atas Konsumsi Pajak penjualan, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdiri dari beberapa jenis, termasuk definisi basis pajak, cakupan dan saat pengenaannya. Pajak per Unit versus Pajak atas Nilai (Ad Valorem) Pembedaan lebih lanjut dalam pajak penjualan adalah pajak yang dikenakan berdasarkan unit produk dan pajak yang dikenakan atas nilai produk. Sebagian besar cukai atau pajak penjualan atas produk-produk tertentu dikenakan berdasarkan unit produk, misalnya pajak atas bahan bakar minyak, cukai tembakau dan cukai minuman keras. PPN dan PPnBM merupakan contoh pajak penjualan yang dikenakan berdasarkan ad valorem. Di antara dua basis ini, bentuk
Dasar-dasar Keuangan Publik
187 ad valorem lebih berarti daripada bentuk per unit, seperti yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Ruang Lingkup Cakupan Pajak Penjualan Umum Pajak-pajak penjualan umum dapat berbeda dalam cakupan pengenaannya. Apakah pajak-pajak tersebut mencakup semua transaksi ataukah basisnya sama dengan GNP ataukah hanya konsumsi saja yang dapat dimasukkan? Inferioritas Basis Transaksi. Pajak berdasarkan perputaran (turnover tax) yang dikenakan pada jumlah total seluruh transaksi adalah pajak yang paling tidak diinginkan untuk diterapkan. Dalam pajak jenis ini, suatu produk dikenakan pajak berkali-kali sejalan dengan pergerakannya sepanjang tahapan produksi. Misalnya, penjualan biji besi dikenakan pajak ketika biji besi tersebut berpindah dari tambang ke pabrik baja, kemudian penjualan besi baja dikenakan pajak ketika besi baja berpindah dari pabrik baja ke pabrik produksi lembaran baja, penjualan lembaran baja dikenakan pajak ketika lembaran baja berpindah dari pabrik produksi lembaran baja ke pabrik mobil, dan seterusnya sampai pajak terakhir dikenakan pada penjualan mobil eceran. Akibatnya, basis pajaknya akan berjumlah beberapa kali lipat dari GNP dan hasil pajak yang besar akan didapatkan hanya dengan pengenaan tarip pajak yang rendah. Dengan GNP Indonesia yang diperkirakan sebesar sebesar Rp1180 trilyun misalnya, penerapan pajak berdasarkan perputaran yang komprehensif sebesar 1% akan menghasilkan pendapatan pemerintah sebesar Rp46 trilyun, atau sepertiga hasil dari pajak penghasilan. Prosedur seperti ini mempunyai daya tarik karena kemampuannya menghasilkan pajak yang besar dengan penerapan tarip yang kecil. Memasukkan seluruh transaksi akan tidak menimbulkan permasalahan bila setiap produk melalui jumlah transaksi yang sama sehingga persentase total kewajiban pajak berdasarkan perputaran terhadap nilai pada penjualan akhir akan sama. Dalam kenyataannya, setiap produk tidak melalui jumlah transaksi yang sama. Dengan demikian, pajak berdasarkan perputaran menimbulkan diskriminasi pengenaan pajak terhadap produk-produk yang harus melalui banyak tahapan produksi dan distribusi. Selain itu, untuk menghindari pajak, perusahaan-perusahaan akan bergabung dengan para pemasok mereka, sehingga mendorong timbulnya integrasi vertikal yang pada gilirannya akan mengurangi kompetisi. Atas dasar inilah, pajak berdasarkan perputaran dipandang sebagai bentuk pajak yang inferior. Bahkan beberapa negara Eropa telah menggantikan bentuk pajak ini dengan pajak pertambahan nilai yang menunjukkan inferioritas pajak atas perputaran ini. Basis GNP versus Basis Penghasilan atau Konsumsi. Dengan pertimbangan bahwa pengenaan ganda seperti yang dibahas dalam basis transaksi harus dihindari, pilihan basis pajak yang tersisa adalah GNP (Pendapatan Nasional) atau konsumsi. Pada umumnya, pajak penjualan yang dikenakan di berbagai negara berbasiskan konsumsi. Pajak penjualan jenis GNP akan mengenakan pajak penjualan atas barangbarang konsumsi dan barang-barang produksi. Dengan demikian, basis ini akan
Dasar-dasar Keuangan Publik
188 sama dengan yang dipakai dalam pajak atas penghasilan kotor, dalam hal ini penghasilan sebelum perhitungan penyusutan. Pajak jenis ini memiliki kelemahan dalam hal keadilan dan efisiensi. Dalam hal keadilan, pajak ini akan melanggar prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa penghasilan dari semua sumber harus dikenakan pajak sepenuhnya, tetapi dalam jumlah netonya. Dalam hal efisiensi, pajak ini akan memberikan perlakuan diskriminatif yang mengecualikan penghasilan yang ditabung (tidak dikonsumsikan) yang dalam pajak penghasilan tidak dikecualikan. Kelemahan ini akan hilang bila pajak hanya dikenakan pada basis yang sama dengan Pendapatan Nasional atau GNP dikurangi dengan pajak-pajak tidak langsung dan penyusutan. Pajak seperti ini akan memiliki basis yang sama dengan pajak penghasilan dan dapat diselenggarakan dengan menggunakan pajak pertambahan nilai jenis penghasilan. Karena basis penghasilan telah digunakan dalam pajak pribadi dengan pengenaan pajak penghasilan, satu-satunya basis yang tersisa sebagai kandidat basis pajak adalah basis konsumsi. Basis inilah yang paling banyak digunakan dalam pajak penjualan. Pajak Konsumsi Komprehensif versus Pajak Konsumsi Tertentu. Pajak penjualan umum atau eceran bertujuan mengenakan pajak yang mencakup seluruh konsumsi secara komprehensif. Dengan pengeluaran konsumsi sebesar Rp1.170 trilyun, pajak penjualan yang komprehensif sebesar 10% akan menghasilkan pendapatan negara sebesar Rp117 trilyun. Akan tetapi jumlah dalam basis ini akan berkurang karena beberapa konsumsi tertentu dikecualikan dari pengenaan pajak penjualan, seperti konsumsi perumahan (sewa rumah dan imputed-rent bagi pemilik rumah), konsumsi makanan rumah, jasa kesehatan dan lain-lain. Tahap Pengenaan Keputusan mengenai tahap pengenaan melibatkan pilihan tahapan mana yang terbaik bagi pengenaan pajak satu kali dan pilihan mengenakan pajak satu kali atau beberapa kali. Bilamana penetapan cakupan pajak merupakan hal yang substantif dalam menentukan jenis pajak yang akan diberlakukan, pemilihan tahap pengenaan lebih merupakan masalah administratif dalam rangka efisiensi penerapan pajak atas basis yang dipilih. Saat Produksi versus Saat Penjualan Eceran. Bila menggunakan pajak yang dikenakan satu kali, pilihan pengenaan pajak biasanya antara saat selesai produksi atau saat dijual secara eceran kepada konsumen. Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran lebih baik karena memungkinkan pengenaap tarip ad valorem yang seragam. Pengenaan pajak ad valorem dengan tarip yang sama pada tingkatan produksi menghasilkan tarip ekuivalen yang tidak sama dengan pengenaan pada tingkatan penjualan eceran, karena rasio harga eceran terhadap harga produksi berbeda-beda untuk berbagai produk. Pengenaan tarip yang berbeda untuk menghilangkan perbedaan ini akan sangat sulit dan merupakan cara yang tidak seefisien dan seefektif pengenaan pajak pada tingkatan penjualan eceran.
Dasar-dasar Keuangan Publik
189
Jika pajak akan dikenakan secara selektif, jawaban atas pertanyaan tahapan pengenaan akan lebih tidak jelas lagi. Jika produknya diidentifikasi pada tahapan produksi, misalnya mobil murah atau televisi, akan lebih menguntungkan mengenakan pajak pada tahapan ini, karena pengenaan pajak secara selektif pada tingkatan eceran akan sangat sulit. Dalam situasi lain (misalnya bahan kain yang digunakan untuk pakaian mewah atau pakaian murah), identifikasi produk tidak memungkinkan. Pembedaan dalam situasi ini lebih berkaitan dengan sifat dari produk final pada tahapan penjualan eceran. Walaupun demikian, pandangan umum lebih condong kepada pengenaan pada tahapan penjualan eceran untuk diterapkan pada pajak penjualan umum dan tidak begitu sering digunakan pada pajak-pajak penjualan selektif. Di negara-negara berkembang, pengenaan pajak pada tahapan produksi lebih menguntungkan karena cara ini akan mengurangi jumlah pembayar pajak yang harus ditagih pajaknya sehingga mempermudah administrasi. Selain itu, badan-badan usaha produksi cenderung lebih besar, lebih permanen, dan lebih memiliki pembukuan yang baik daripada badan-badan usaha eceran. Karakteristik-karakteristik ini memperbaiki kualitas untuk tujuan perhitungan pajak. Negara-negara berkembang dapat memperoleh hasil yang lebih baik dengan pajak penjualan yang dikenakan pada tahapan produksi karena jumlah titik penagihan pajak yang lebih sedikit, walaupun hal ini menimblkan dampak yang berbeda pada tingkatan penjualan eceran. Saat Penjualan Eceran versus Pertambahan Nilai. Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah pajak harus dikumpulkan dalam satu kali pengenaan dan pada titik penjualan final atau apakah dikumpulkan secara bertahap dengan menggunakan prosedur nilai tambah. Dengan cara kedua, nilai produk dibagi dalam potonganpotongan (nilai tambah pada setiap tahapan) di mana pajak dikenakan pada tahapan-tahapan sepanjang proses produksi. Walaupun ada perbedaan dalam teknik, basis nilai tambah dari pajak penjualan jenis konsumsi sama dengan basis penjualan eceran, hanya cara penagihannya yang berbeda. Pemilihan keduanya lebih didasarkan pada kemudahan administrasi. Penggunaan pendekatan beberapa tahapan dalam konteks pertambahan nilai harus dibedakan dengan yang sebelumnya dibahas dalam diskusi tentang pajak atas perputaran
Pajak Pertambahan Nilai Menurut sudut pandang ekonom, pajak pertambahan nilai yang diselenggarakan dengan benar akan ekuivalen dengan penerapan pajak dalam satu tahapan. Pajak pertambahan nilai bentuk pajak yang baru seperti pajak pengeluaran, pajak ini hanyalah pajak penjualan yang diadministrasikan dengan cara berbeda. Nilai akhir sebagai Agregat dari Pertambahan Nilai Mari kita lihat suatu produk, misalnya sepatu. Dengan menelusuri ke berbagai tahapan produksi, kita akan mulai dengan peternak yang menjual kulit hewan kepada penyamak, penyamak menjual kulit bahan sepatu kepada produsen
Dasar-dasar Keuangan Publik
190 sepatu, produsen sepatu menjual sepatu kepada distributor utama, distributor utama menjual sepatu kepada toko eceran, yang akhirnya akan menjual sepatu tersebut kepada konsumen. Pada setiap tahapan, nilai barang meningkat dan harga jual juga meningkat sejalan dengan peningkatan nilai tersebut. Setiap kenaikan harga menunjukkan tambahan nilai pada setiap tahapan, dengan nilai atau harga final dari produk tersebut sama dengan jumlah kenaikan atau pertambahan nilai pada seluruh tahapan. Suatu pajak yang dikenakan pada pertambahan nilai akan identik basisnya dengan suatu pajak yang dikenakan pada nilai final dari produk tersebut. Jenis Pajak Pertambahan Nilai Ada tiga jenis pajak pertambahan nilai sesuai dengan basis GNP, NNP, dan konsumsi, tetapi hanya jenis konsumsi yang dapat diterapkan secara praktis. Jenis GNP. Anggaplah bahwa semua barang dan jasa final yang diproduksi dan dijual dalam suatu periode, yaitu GNP, menjadi subyek pajak penjualan umum. Pajak tersebut akan diberlakukan baik pada barang konsumsi maupun barang modal. Pajak ini akan dibayarkan oleh penjual ketika produk dijual kepada pembeli terakhir, baik oleh konsumen rumah tangga, oleh suatu perusahaan untuk menambah persediaan barangnya, atau oleh suatu perusahaan untuk pembelian barang-barang modal. Dengan GNP sebesar Rp1.170 trilyun, pajak dengan tarip 5% yang mencakup semua barang tersebut akan menghasilkan Rp58,5 trilyun pendapatan pajak bagi negara. Jumlah yang sama dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan nilai tambah, mengenakan pajak kepada setiap penjual dengan tarip 5 persen dari nilai tambah, yaitu penerimaan kotor dikurangi dengan biaya pembelian barang setengah jadi dari produsen sebelumnya dalam lini produksi. Basis pajak pada setiap tahapan akan sama dengan penyusutan, pajak, bunga, laba dan biaya-biaya. Pajak ini akan merupakan bentuk yang paling komprehensif dari pajak pertambahan nilai dan dapat disebut sebagai pajak pertambahan nilai jenis GNP. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, pajak ini ekuivalen dengan pajak penjualan yang diterapkan pada barang konsumsi dan barang modal. Jenis Penghasilan. Pendekatan nilai tambah ini, seperti yang telah dibahas sebelumnya, juga dapat digunakan untuk menyelenggarakan pajak penjualan pada produk neto. Anggaplah tujuannya adalah mengenakan pajak pada NNP, yang sama dengan GNP dikurangi cadangan untuk konsumsi modal atau penyusutan. Pajak seperti ini dapat dikenakan dalam bentuk beberapa tahapan dengan mengenakan pajak pada nilai bersih yang ditambahkan oleh setiap perusahaan, dengan nilai bersih didefinisikan sebagai penerimaan kotor dikurangi nilai bersih dari barang setengah jadi dan penyusutan. (Catatan: Pajak ini tidak dapat dikenakan sebagai pajak atas total nilai bersih dari barang pada saat penjualan terakhir dilakukan karena prosedur ini mengharuskan pencatatan biayabiaya penyusutan yang dibebankan oleh semua produsen sepanjang lini produksi. Jadi, hanya pendekatan nilai tambah yang layak digunakan apabila pajak penjualan akan dikenakan pada produk neto). Hasil yang sama dapat diperoleh dengan menerapkan pajak penghasilan umum karena basis suatu pajak produk neto dan pajak penghasilan pada dasarnya sama. Pajak pertambahan nilai jenis penghasilan berbeda dari jenis konsumsi dalam hal jenis penghasilan
Dasar-dasar Keuangan Publik
191 membolehkan perusahaan mengurangkan penyusutan sedangkan jenis konsumsi membolehkan perusahaan mengurangkan investasi bruto, yaitu pembelian barang-barang modal. Jenis Konsumsi. Basis untuk pajak pertambahan nilai jenis ini didefinisikan sebagai pendapatan bruto perusahaan dikurang nilai dari seluruh pembelian produk-produk setengah jadi (bahan mentah dan barang dalam proses) dan juga pengeluaran modalnya atas pabrik dan peralatan-perakatan. Dengan membolehkan setiap perusahaan untuk mengurangkan pengeluaran modalnya, yang tersisa hanyalah nilai dari output barang konsumsi saja. Pajak seperti ini akan sama dengan pajak penjualan eceran umum atas barang konsumsi, dengan perbedaan hanya pada prosedur administrasi saja. Ilustrasi Perhitungan PPN untuk setiap Jenis Tabel 18.1: Ilustrasi Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai A
PERUSAHAAN B
C
Ekonomi
Pendapatan 01. Penjualan barang konsumsi 02. Penjualan produk setengah jadi 03. Penjualan barang modal
120 -
70 145 100
151 -
04. Jumlah total
120
315
151
Biaya 05. Upah, bunga, laba, dsb. 06. Pembelian produk setengah jadi 07. Penyusutan
100 20
80 120 15
90 45 16
08. Jumlah total
120
215
151
-
-
100
100
120 100 120
195 180 95
6 90 106
321 370 321
-
-
-
221 100 321 51 270
Biaya Modal 09. Pembelian barang-barang modal Basis-basis pajak 10. Basis konsumsi (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 09) 11. Basis penghasilan (baris 04 dikurangi baris 06 dikurangi baris 07) 12. Basis GNP Perhitungan Pendapatan Nasional 13. Konsumsi 14. Plus Investasi 15. GNP 16. Minus Penyusutan 17. NNP atau Pendapatan Nasional
221 265 100
270 165 51
(Tabel ini menunjukkan perhitungan ketiga basis dengan menggunakan metode yang disebut metode pengurangan. Alternatif lainnya yang dapat digunakan adalah metode penambahan. Untuk basis penghasilan, perhitungan dengan metode penambahan adalah dengan cara menambahkan semua pembayaran kepada berbagai faktor yang dinyatakan pada baris 05. Basis GNP dihitung dengan cara menambahkan pembayaran-pembayaran kepada faktor dengan penyusutan (baris 05 dan 07). Basis konsumsi ditentukan dengan menambahkan
Dasar-dasar Keuangan Publik
192 pembayaran-pembayaran kepada faktor dengan penyusutan (baris 05 dan 07) kemudian dikurangi dengan pembelian barang modal (baris 09). Jadi metode penambahan langsung menghasilkan angka pada pajak pertambahan nilai jenis penghasilan tetapi agak membingungkan pada pajak pertambahan nilai jenis konsumsi.) Basis konsumsi, seperti yang ditunjukkan pada baris 10, dihitung untuk setiap perusahaan dengan mendapatkan angka penjualannya dan dikurangi dengan pembelian barang-barang setengah jadi dan barang-barang modal (baris 06 dan 09). Basis penghasilan, seperti yang ditunjukkan pada baris 11, dihitung untuk setiap perusahaan dengan cara penjualan dikurangi dengan biaya barang-barang setengah jadi dan penyusutan (baris 06 dan 07). Basis GNP, seperti yang ditunjukkan pada baris 12, akan sama dengan penjualan total (baris 04) dikurangi pembelian barang-barang setengah jadi (baris 06). Penjumlahan basis-basis pada setiap perusahaan ini menghasilkan basis-basis untuk seluruh ekonomi, seperti yang ditunjukkan pada kolom terakhir. Jumlah total basis-basis ini sama dengan nilai dari konsumsi, pendapatan nasional, dan GNP yang ditentukan dalam perhitungan pendapatan nasional. Metode Penagihan Bila kita melihat jenis konsumsi dari pajak pertambahan nilai, kita akan menghitung basis pajak untuk setiap perusahaan adalah penjualan dikurangi dengan pembelian-pembelian barang-barang setengah jadi dan barang modal. Bila perhitungan pajak telah selesai, ada dua cara untuk menagihnya. Pertama, dikenal dengan nama metode perhitungan, yaitu metode yang meminta perusahaan membayar pajak atas basis yang telah dihitung tersebut. Kedua, metode faktur, yaitu metode yang mengharuskan perusahaan menghitung pajak brutonya dengan mengalikan tarip pajak terhadap total penjualan dan mengkreditkan atas pajak bruto ini jumlah yang sama dengan pajak yang telah dibayarkan oleh para pemasok yang barang-barang setengah jadi dan barang-barang modalnya dibeli oleh perusahaan. Dengan membuat aturan bahwa kredit pajaknya bergantung pada penyajian bukti setor pajak yang dilakukan oleh para pemasok, metode faktur memiliki elemen ketaatan karena setiap pembeli akan meminta salinan dari bukti setor tersebut. Metode ini cocok di negara yang ketaatan pajaknya rendah. Simpulan Kita telah melihat bahwa pajak pertambahan nilai jenis konsumsi memiliki basis yang sama dengan pajak penjualan eceran dengan cakupan yang sama. Bila demikian, mengapa harus ada perbedaan pendapat yang cukup tajam mengenai mana di antara kedua pajak ini yang lebih baik? Satu perbedaan berkaitan dengan persoalan politik dari kedua pajak ini. Pendukung pajak pertambahan nilai merasa bahwa pajak ini tampak berbeda sehingga tidak terkontaminasi reputasi buruk dari pajak penjualan eceran, yang mungkin saja menjadi atau tidak menjadi masalah. Jika pajak bruto pengecer disajikan sebagai bagian terpisah dari harga-harga bagi para konsumen, konsumen akan menyadari adanya pajak pada kedua pendekatan ini. Selain pertimbangan politis, ada beberapa perbedaan teknis dalam implementasi yang cukup penting. Dasar-dasar Keuangan Publik
193
Dalam pajak penjualan eceran, jumlah pembayar pajak lebih rendah daripada dalam pajak pertambahan nilai, sehingga memudahkan administrasi karena para pengecer dapat diakses secara efektif. Di negara maju yang usaha ritelnya sudah mapan, hal ini mudah dilakukan, tetapi di negara berkembang di mana usaha ritelnya umumnya usaha kecil, pajak penjualan eceran tidak akan efektif. Dalam pajak pertambahan nilai, pengecualian barang-barang modal dapat dilakukan dengan lebih efektif daripada dalam pajak penjualan eceran karena sulitnya menelusuri penggunaan barang-barang yang dibeli dari para pengecer. Selain itu, dengan menggunakan metode faktur, pajak pertambahan nilai memiliki elemen ketaatan yang tidak dimiliki dalam pajak penjualan eceran.
Distribusi Beban Pajak Pajak penghasilan memiliki peringkat yang tinggi dalam hal keadilan karena dikenakan sebagai suatu pajak pribadi yang berusaha mencapai kemampuan membayar dari wajib pajak. Hal yang sama tidak berlaku untuk pajak penjualan dan cukai. Karena tidak dibebankan secara pribadi, pajak-pajak ini tidak memberikan aturan mengenai kemampuan untuk membayar. Cukai Pada diskusi kita sebelumnya tentang tax incidence dari pajak penjualan, kita menyimpulkan bahwa distribusi beban pajak berdasarkan kelompok penghasilan didominasi dari sisi penggunaan, yaitu berdasarkan pola pengeluaran konsumsi atas produk yang dipajaki. Beban dari pajak atas barang-barang kebutuhan seharihari cenderung regresif, sedangkan beban dari pajak atas barang-barang mewah cenderung progresif. Karena sebagian besar cukai dikenakan atas barang-barang konsumsi masal, seperti minuman beralkohol dan rokok, bebannya cenderung regresif. Selain itu, cukai bersifat diskriminatif di antara konsumen dengan penghasilan yang sama tetapi dengan preferensi yang berbeda. Oleh karena itu, cukai memiliki peringkat yang rendah dalam hal keadilan horizontal dan vertikal. Dan juga, karena hanya dikenakan pada barang-barang tertentu, cukai akan menimbulkan biaya efisiensi yang lebih besar daripada pajak yang lebih umum. Dengan keterbatasan-keterbatasan seperti ini, mengapa cukai tetap digunakan? Pertanyaan ini dijawab dengan mempertimbangkan jenis barang yang dikenakan cukai. Cukai umumnya dikenakan kepada barang-barang konsumsi massal yang dipandang kurang baik untuk dikonsumsi, seperti rokok dan minuman beralkohol. Cukai juga dikenakan dalam rangka meminimalkan dead weight loss, tetapi hal ini belum menjadi kebijakan yang telah diterapkan. Pajak Penjualan Umum Pajak penjualan umum dalam bentuk pajak penjualan eceran atas barang-barang konsumsi pada dasarnya sama dengan pajak umum bertarip tetap atas pengeluaran konsumen. Bila dilihat dari keadilan horizontal, suatu pajak penjualan umum akan adil bila indeks keadilan dinyatakan dalam bentuk konsumsi tetapi akan tidak adil bila indeksnya dinyatakan dalam bentuk penghasilan. Keluarga-keluarga dengan penghasilan yang sama mungkin saja Dasar-dasar Keuangan Publik
194 memiliki tingkat konsumsi (menabung) yang berbeda karena faktor usia atau faktor-faktor lainnya. Keluarga-keluarga seperti itu akan membayar jumlah pajak yang berbeda, sehingga melanggar keadilan horizontal dalam bentuk penghasilan. Bila dipandang dari keadilan vertikal, suatu pajak penjualan umum akan proporsional berkenaan dengan tingkat konsumsi tetapi akan regresif berkenaan dengan tingkat penghasilan, karena konsumsi dalam persentase atas penghasilan menurun (menabung dalam persentase atas penghasilan naik) sejalan dengan kenaikan penghasilan. Pola ini kurang regresif bila dihitung dalam jangka waktu seumur hidup dan bukannya tahunan. Bila dihitung dalam jangka waktu seumur hidup, penghindaran atas pajak penjualan hanya dapat dilakukan dengan melalui warisan. Perlu dicatat pula bahwa sifat regresif dari pajak penjualan telah dimodifikasi dengan mengecualikan beberapa produk konsumsi massal, seperti makanan.
Pajak Pengeluaran Wajib Pajak Pribadi Walaupun telah mengecualikan beberapa produk konsumsi massal, pendekatan tradisional atas pajak konsumsi baik melalui cara selektif (cukai) maupun pajak penjualan umum (PPN bila di Indonesia) tetap bersifat regresif karena pengeluaran konsumsi dalam persentase penghasilan cenderung menurun sejalan dengan peningkatan penghasilan.Oleh karena itu, dalam perkembangan historis, pajak penjualan dipandang sebagai pajak yang progresif dan pajak penjualan dipandang sebagai pajak regresif. Dengan demikian, pendukung pajak penghasilan cenderung berasal dari pendukung progresivitas pajak, sedangkan pendukung pajak penjualan cenderung berasal dari penentang progresivitas pajak. Akan tetapi, tidak ada dasar logika yang tepat pada kedua basis pajak yang mengharuskan keduanya sama. Perbedaan progresivitas di antara kedua jenis pajak ini muncul karena pajak penghasilan telah dikembangkan dalam kerangka pajak pribadi, sedangkan pajak konsumsi telah ditetapkan sebagai kerangka dalam pendekatan nonpribadi atau in rem dari pajak penjualan. Penggunaan suatu jenis pajak pribadi dari pajak pengeluaran akan menghilangkan perbedaan ini dan membuat pemajakan atas konsumsi menjadi bersifat pribadi dan progresif. Pajak seperti ini pernah dicobakan di India dan Sri Lanka, tetapi pengenaan pajak ini dalam situasi modern belum pernah ada. Pajak ini merupakan ide yang baru dan menarik dan telah banyak mendapatkan dukungan dari para akademisi di dunia perpajakan. Berikut ini pembahasan teknis apabila pajak ini diterapkan. Penentuan Konsumsi Kena Pajak Apabila konsumsi digunakan sebagai indeks atas kemampuan untuk membayar, semua yang telah dikemukakan sebelumnya tentang keinginan untuk suatu definisi global dari basis pajak penghasilan berlaku juga. Semua konsumsi harus dimasukkan ke dalam basis pajak dan kewajiban pajak para wajib pajak tidak dipengaruhi oleh pola tertentu dari pengeluaran konsumsi mereka. Analogi dengan pajak penghasilan, wajib pajak akan menentukan konsumsinya pada suatu tahun pajak, kemudian akan mengurangkan konsumsi tidak kena pajak yang
Dasar-dasar Keuangan Publik
195 diperbolehkan, dan menerapkan tarip pajak progresif kepada jumlah sisanya yang merupakan konsumsi kena pajak. Ide ini tampaknya sederhana, tetapi belum diketahui bagaimana konsumsi kena pajak dapat ditentukan dalam kenyataannya. Perhitungan dengan menambahkan pengeluaran rupiah untuk konsumsi individu bukan merupakan pendekatan yang mungkin. Kemungkinan yang lain adalah dimulai dari penghasilan dan mengurangkannya dengan jumlah tambahan tabungan. Untuk mendapatkan angka konsumsi, jumlah tambahan tabungan harus didefinisikan sebagai tabungan neto (tambahan tabungan dikurangi penarikan tabungan), atau penambahan atas kekayaan bersih. Hal ini akan menjadi tugas yang sangat berat. Cara yang paling baik dan yang paling mungkin untuk menentukan konsumsi tahunan wajib pajak adalah dengan menggunakan cara berikut Saldo bank dan uang pada awal tahun 1. + penerimaan uang 2. + tambahan pinjaman bersih (pinjaman baru dikurangi pembayaran pinjaman atau memberikan pinjaman) 3. – investasi bersih (biaya pembelian aset-aset dikurangi hasil dari aset-aset yang dijual) 4. – saldo bank dan uang pada akhir tahun 5. = konsumsi untuk tahun berjalan. Konsumsi dalam cara ini akan diperoleh dari perubahan dalam saldo bank dan uang dan arus penerimaan dan pembayaran-pembayaran nonkonsumsi selama tahun berjalan. SPT harus digunakan untuk membuat wajib pajak menyatakan jumlah-jumlah tersebut (dengan dirinci) seperti pelaporan penghasilan dalam pajak penghasilan. Konsep penerimaan yang digunakan dalam skedul perhitungan di atas sama dengan penghasilan yang didefinisikan dalam pajak penghasilan, disesuaikan dengan mengecualikan capital gain tetapi memasukkan imputed rent dari rumah-rumah yang dihuni pemiliknya dan juga warisan dan hadiah yang diterima. Walaupun konsumsi rumah akan dimasukkan dengan cara memasukkan komponen imputed rent, pembelian barang-barang konsumsi jangka panjang (seperti mobil), akan diperlakukan sebagai konsumsi tahun berjalan, dengan membolehkan penggunaan tarip merata untuk menghindari ketidakadilan. Dalam beberapa hal, pendekatan ini lebih sederhana daripada yang dipakai dalam pajak penghasilan. Dilema dalam memperlakukan capital gain yang belum direalisasikan akan tidak ada. Jika aset dijual, hasil yang diterima akan masuk ke dalam basis pajak kecuali dikurangi dengan pembelian aset-aset lain atau kenaikan dalam saldo-saldo aset. Dan juga, tidak ada kebutuhan untuk menentukan laba perusahaan. Dividen akan muncul sebagai penerimaan, dan capital gain yang belum direalisasikan, yang diperoleh dengan menahan laba, bukan hal yang relevan sampai realisasi terjadi dan hasilnya disalurkan ke dalam konsumsi. Permasalahan sulit dari akuntansi penyusutan juga akan hilang. Penyesuaian terhadap inflasi hanya diperlukan untuk indeks tarip-tarip pajak,
Dasar-dasar Keuangan Publik
196 karena permasalahan yang lebih mengganggu berupa perubahan nilai-nilai nominal tidak akan muncul. Akan tetapi, pajak pengeluaran akan memunculkan kesulitan-kesulitan baru. Untuk alasan-alasan administratif dan lainnya, metode pemotongan pajak harus tetap diberlakukan, tetapi cara ini akan sangat sulit dalam pajak pengeluaran daripada dalam pajak penghasilan. Karena pemotongan pajak harus dilakukan terhadap penghasilan, suatu rasio yang ditetapkan sebelumnya dari penghasilan terhadap konsumsi harus diterapkan. Selain itu, pemotongan pajak dalam sistem tarip yang gradual mempersulit penerapan karena tarip pajak yang tepat bergantung pada apakah penerimaan tersebut akan dibelanjakan atau diinvestasikan kembali, suatu faktor yang sangat mengganggu dalam kasus penghasilan modal. Permasalahan lainnya adalah pentingnya mencatat secara lengkap saldosaldo kas pada awal tahun. Bila tidak dilakukan, konsumsi yang tidak dikenakan pajak akan dapat dilakukan oleh wajib pajak yang akan didanai nantinya dengan menarik lebih banyak uang dari bank. Untuk memastikan peminjaman dipertanggungjawabkan, pemberi pinjaman diharuskan untuk melaporkan informasi mengenai pinjaman-pinjaman yang diberikan. Dengan demikian, pengecekan silang akan lebih banyak dilakukan. Hal yang sama juga diperlakukan untuk penjualan-penjualan aset. Untuk tujuan ini, wajib pajak diharuskan untuk melaporkan neraca atau daftar harta mereka dalam SPT. Perlakuan atas Warisan dan Hibah Dalam konsep pajak pengeluaran wajib pajak pribadi, ada suatu permasalahan khusus timbul karena penghasilan tidak digunakan untuk konsumsi tetapi akan diwariskan atau dihibahkan. Berdasarkan filosofi tambahan kemampuan ekonomis, penerimaan suatu warisan/hibah akan dimasukkan ke dalam basis pajak penerima warisan/hibah. Akan tetapi, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, konsep penghasilan yang berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis memperlakukan secara diskriminatif terhadap konsumsi di masa depan. Pajak berdasarkan konsumsi, memberikan perlakuan yang sama dengan menerapkannya pada nilai tunai konsumsi sehingga beban pajak tidak dipengaruhi oleh faktor waktu. Tetap saja, perlakuan terhadap warisan/hibah masih menimbulkan tanda tanya. Seorang pembayar pajak dapat menghindari pajak apabila ia memutuskan sebagian penghasilannya digunakan sebagai warisan/hibah. Apabila penerima warisan/hibah tidak membelanjakannya, penghasilan tersebut tetap tidak dikenakan pajak. Cara terbaik untuk mengatasi penghindaran pajak ini adalah dengan memasukkan warisan/hibah sebagai basis pajak pengeluaran. Dengan demikian, basis pajak yang adil bukannya konsumsi saja tetapi semua penggunaan penghasilan, baik itu untuk konsumsi ataupun untuk diwariskan. Evaluasi Penggunaan pajak pengeluaran wajib pajak pribadi akan meningkatkan kualitas perpajakan konsumsi karena memungkinkan penerapan prinsip kemampuan Dasar-dasar Keuangan Publik
197 untuk membayar dan menghilangkan sifat regresif yang melekat pada pajak penjualan umum. Walaupun pajak pengeluaran berbasis konsumsi merupakan cara yang lebih baik, akan tetapi ada dua pertanyaan yang harus dijawab yaitu basis mana yang lebih baik (penghasilan atau konsumsi) dan bagaimana memperlakukan warisan/hibah. Dalam hal kegiatan menabung berupaya didukung dengan sistem pajak yang ada, pendekatan pajak pengeluaran lebih disukai daripada pemberlakuan pengecualian secara sepotong-potong dalam sistem pajak penghasilan. Penggantian pajak penghasilan dengan pajak pengeluaran akan menyederhanakan beberapa hal penting, terutama yang berkaitan dengan permasalahan inflasi. Akan tetapi, penggantian ini juga akan menimbulkan kesulitan-kesulitan baru seperti masalah pemotongan pajak. Pajak pengeluaran juga tidak akan menghilangkan perlakuan-perlakuan khusus dan loophole yang selama ini ada pada pajak penghasilan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
198
B A B XIX PAJAK ATAS KEKAYAAN Alasan-Alasan Pengenaan Pajak Atas Kekayaan rgumen atas pengenaan pajak kekayaan didasarkan pada kemanfaatannya dan kemampuan untuk membayar, akan tetapi kedua alasan ini tidak pernah dapat menjelaskan mengapa hanya pajak atas bumi dan bangunan saja yang diberlakukan. Pertimbangan manfaat mengarah pada pemberlakuan pajak bumi dan bangunan jenis in-rem sedangkan pertimbangan kemampuan untuk membayar mengarah pada pemberlakuan pajak kekayaan wajib pajak pribadi.
A
Alasan Manfaat Pajak atas Kekayaan Alasan pengenaan pajak kekayaan atas dasar manfaat adalah bahwa layananlayanan publik meningkatkan nilai dari bumi dan bangunan dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh pemiliknya. Dalam bentuknya yang paling umum, argumentasi dukungan ini dapat diturunkan dari teori Locke yang menyatakan bahwa negara adalah pelindung bumi dan bangunan, yang dinyatakan pada akhir abad ke-17. Salah satu dari fungsi dasar suatu negara, sebagaimana pendapat para ahli teori hukum alam, adalah pelindung kekayaan; dan oleh karenanya pemilik kekayaan membayar kepada negara untuk biaya-biaya negara tersebut. Logikanya, basis pajaknya adalah seluruh kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Atau lebih tepat lagi, basis pajaknya akan didefinisikan sebagai kekayaan bersih, yaitu kekayaan wajib pajak dikurangi dengan kewajibannya. Demikian juga, berdasarkan konsep ini, pendapatan dari pajak harus dibatasi hanya sebesar biaya yang diperlukan untuk melaksanakan layanan perlindungan, seperti biaya penegakan hukum, administrasi perundang-undangan dan administrasi pengadilan. Walaupun berapa besarnya biaya tersebut masih dapat diperdebatkan, yang pasti tidak semua biaya dari fungsi negara harus diperoleh dari pengenaan pajak ini. Penggunaan pajak kekayaan untuk mendanai pendidikan, misalnya, tidak memiliki dasar yang rasional.
Dasar-dasar Keuangan Publik
199 Penerapan aturan kemanfaatan yang lebih spesifik lagi, terutama berkaitan pada tingkat lokal, mengharuskan pemilik kekayaan membayar untuk layananlayanan khusus yang meningkatkan nilai dari kekayaan. Pembangunan trotoar, misalnya, meningkatkan nilai gedung di belakang trotoar tersebut, demikian juga perlindungan khusus oleh polisi pada daerah-daerah tertentu. Dalam kasus-kasus tertentu, manfaat khusus yang dinikmati oleh setiap kekayaan dapat diukur dengan suatu indeks seperti panjang jalan di depannya atau lokasinya. Dalam kasus-kasus lain, manfaat yang dinikmati harus diperkirakan secara relatif terhadap nilai dari kekayaan. Hal ini mengindikasikan bahwa suatu pajak khusus dapat dikenakan untuk mendanai suatu layanan tertentu. Cara pengenaan seperti ini sangat tepat dikenakan pada tingkatan lokal untuk mendanai layanan-layanan khusus tadi. Alasan Kemampuan Membayar Pajak Dalam kaitannya dengan kemampuan untuk membayar pajak, asal mula dari pajak kekayaan harus dilihat dari konteks sejarahnya. Pada masa lalu, kepemilikan harta tak bergerak dan harta bergerak (seperti hewan ternak) merupakan indeks yang paling mudah untuk menentukan kemampuan untuk membayar. Sebagian besar pajak yang dipungut oleh negara diterima dalam bentuk barang, sehingga pendapatan uang seperti yang digunakan sekarang akan merupakan indeks yang menyesatkan. Akan tetapi, dalam kondisi modern di mana penghasilan sebagian besar diterima dalam bentuk uang, kekayaan lebih sulit diukur daripada penghasilan. Berdasarkan situasi ini, dapatkah pajak kekayaan dapat dibenarkan untuk alasan kemampuan untuk membayar? Berdasarkan diskusi sebelumnya, ada dua simpulan yang diambil. Penggunaan penghasilan sebagai indeks kesetaraan, tidak diperlukan lagi pajak kekayaan sebagai pelengkap apabila penghasilan tersebut didefinisikan sebagai secara komprehensif mencakup seluruh tambahan kemampuan ekonomis. Akan tetapi dalam praktiknya tidak semua penghasilan dapat dicakup sehingga memunculkan kebutuhan akan pajak kekayaan. Juga dalam hal konsep pajak atas konsumsi, pajak tambahan atas kekayaan dapat dibenarkan karena alasan penumpukkan kekayaan. Oleh karena itu, jika kekayaan dipajaki karena kemampuan untuk membayar, yang diperlukan bukanlah pajak atas kekayaan tetapi pajak atas kekayaan besih wajib pajak pribadi. Alasan Pengendalian Sosial Pajak atas kekayaan dapat dibenarkan dengan alasan untuk pengendalian sosial. Konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi kekayaan berbeda dengan konsekuensi sosial dari ketidakmerataan dalam distribusi konsumsi, dan karenanya masyarakat perlu menanganinya secara terpisah. Untuk tujuan ini, suatu pajak progresif atas kekayaan dan bukannya atas penghasilan adalah instrumen yang tepat. Sebagaimana berdasarkan pendekatan kemampuan untuk membayar, indikasinya adalah juga pajak pribadi dan definisi kekayaan secara global. Bedanya, basisnya lebih tepat didefinisikan sebagai kekayaan kotor daripada kekayaan bersih karena kekayaan kotor lebih menunjukkan cakupan kendali ekonomis yang diperoleh oleh pemiliknya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
200
Pajak atas Tanah Pengenaan pajak khusus atas tanah yang terpisah dari kekayaan telah diusulkan berdasarkan alasan efisiensi dan keadilan. Karena pengembalian atas tanah adalah dalam bentuk rente ekonomis (yaitu suatu tingkat pengembalian dari suatu faktor produksi dalam penawaran yang tidak elastis), tanah dapat dipajaki tanpa menimbulkan suatu excess burden. Pajak atas tanah juga dapat digunakan untuk mendorong penggunaan tanah yang lebih intensif. Selain itu, kenaikan nilai tahan dapat dipandang sebagai peningkatan kekayaan yang tidak adil, seperti yang dikemukakan oleh Henry George dalam bukunya Progress and Poverty. Struktur Dan Basis Pajak Atas Kekayaan Di Indonesia (Pajak Bumi Dan Bangunan) Jenis pajak atas kekayaan yang berlaku di Indonesia adalah pajak atas bumi (tanah) dan bangunan. Sebelum reformasi perpajakan tahun 1983, peraturan yang berkaitan dengan pajak atas tanah dan bangunan ini adalah Undang-Undang Nomor 11 PRp1959 untuk pajak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, Ordonansi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi Verponding 1928 untuk pajak atas tanah yang tunduk pada hukum Belanda (Barat), dan Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1908 untuk pungutan-pungutan lain daerah atas tanah dan bangunan. Setelah reformasi pajak, dasar hukum yang mengatur pajak atas bumi dan bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994. Basis Pajak, Tarip Nominal, Rasio Penilaian dan Tarip Efektif Yang menjadi objek PBB adalah bumi dan bangunan. Bumi mencakup permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan, meliputi jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olah raga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, dan fasilitas lain yang memberikan manfaat. Beberapa objek pajak dikecualikan dari pengenaan pajak, yaitu: -
-
-
Objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Objek pajak yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenisnya dengan itu. Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. Objek pajak yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Objek pajak yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Dasar-dasar Keuangan Publik
201
Basis pajak untuk objek-objek pajak ini adalah harga pasar wajar atau harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Karena harga ini sulit didapat, yang sering dilakukan adalah menggunakan harga objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau nilai pengganti. Pada praktiknya, basis pajak ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap tiga tahun sekali, kecuali untuk daerah yang mengalami perkembangan pembangunan yang cepat, penetapannya dilakukan setiap tahun. Dari basis pajak ini tidak seluruhnya akan diterapkan PBB. Basis yang akan diterapkan pajak serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%, bergantung pada jenis objek pajaknya. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 1998, hanya 40% dan 20% dari basis pajak saja yang akan dikenakan. Pada umumnya, pengenaan tarip pajak hanya akan dikenakan sebesar 20% dari basis pajak kecuali untuk objek-objek pajak tertentu, yaitu: -
-
Objek pajak perumahan yang WP-nya perseorangan dengan basis pajak sama dengan atau di atas Rp1 milyar, tidak berlaku untuk PNS, ABRI, Pensiunan Janda/Duda yang semata-mata dari gaji/uang pensiun. Objek pajak perkebunan yang luasnya sama dengan atau lebih dari 25 Ha yang dikuasai BUMN dan Badan Usaha Swasta. Objek pajak kehutanan, termasuk areal blok tebangan dalam kegiatan Pemegang HPH, Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu.
Tarip pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah 0,5 persen yang merupakan tarip tunggal. Dengan demikian, tarip efektif PBB yang berlaku sekarang ini secara nasional adalah 1 persen dan 2 persen. Nilai Pasar versus Penghasilan sebagai Basis Penilaian Ada satu pertanyaan mendasar dalam pajak atas kekayaan yaitu bagaimana mengukur nilai kekayaan. Apakah kekayaan tersebut diukur dengan nilai jualnya atau nilai sewanya dan apakah nilai yang digunakan adalah nilai aktual atau nilai potensialnya? Negara-negara tertentu, seperti Amerika Serikat dan Indonesia, menggunakan harga jual atau harga pasar sebagai nilai kekayaan, sedangkan negara-negara lain, seperti Inggris, menggunakan penghasilan sewa aktual yang diperoleh dari harta tersebut. Jika pasar yang sempurna tersedia dan penggunaan optimal terjadi, perbedaan ini akan hilang karena harga jual dari kekayaan akan sama dengan nilai kapitalisasi dari penghasilan aktual yang juga akan sama dengan potensi penghasilannya. Dalam kenyataannya, hal ini tidak terjadi. Jika kekayaan kurang didayagunakan, pengenaan pajak berdasarkan basis penghasilan akan menyajikan nilainya terlalu rendah, suatu faktor yang sangat penting bagi negara-negara berkembang. Perbedaan lainnya antara pendekatan nilai pasar dan pendekatan penghasilan muncul dari perbedaan dalam risiko. Satu kekayaan dengan penghasilan tahunan sebesar Rp100 juta dapat memiliki nilai pasar sebesar Rp500 juta, sedangkan kekayaan lainnya dengan penghasilan yang sama dapat memiliki nilai pasar dua kali lipat. Penghasilan dikapitalisasi dengan
Dasar-dasar Keuangan Publik
202 tingkat bunga yang berbeda karena adanya premi risiko yang harus dibebankan pada kekayaan yang pertama. Kasus-kasus ini dapat terjadi dalam kondisi ekonomi yang melesu pada daerah-daerah bisnis yang menyebabkan kekayaankekayaan pada daerah ini memiliki tingkat hasil yang tinggi atas penghasilan bila dibandingkan secara relatif terhadap nilai pasarnya. Basis pengenaan pajak yang paling baik pada kondisi seperti ini adalah pendekatan nilai pasar karena memperhitungkan perbedaan tingkat risiko atas kekayaan-kekayaan tersebut. Walaupun penilaian dengan menggunakan nilai jual lebih disukai, seringkali tidak terjadi frekuensi penjualan rumah-rumah sejenis yang cukup untuk memberikan basis evaluasi nilai jual. Penilaian dengan perkiraan, berdasarkan jenis rumah dan lokasinya, terpaksa digunakan. Pada negara-negara tertentu, telah dikembangkan prosedur yang canggih untuk melakukan evaluasi atas nilai jual dengan menggunakan persamaan regresi yang berisi sejumlah variabel, yang mengaitkan nilai rumah terhadap berbagai karakteristik. Prosedur seperti ini memiliki keunggulan dalam hal memungkinkan dilakukannya penyesuaian atas nilai tanah dan bangunan lebih sering lagi, suatu hal yang sangat penting dalam periode inflasi. Tanah versus Bangunan sebagai Komponen Basis Pajak kekayaan dikenakan atas nilai pasar suatu real estate tanpa membedakan apakah dikenakan pada komponen tanah atau komponen penyempurnaan tanah (bangunan). Dalam sudut pandang ekonomi, pembendaan ini penting sekali karena berkaitan dengan pembebanan pajak. Karena penawaran atas tanah jumlahnya tetap, pengenaan pajak atas rente tanah atau mengenakan pajak atas nilai tanah (yang menunjukkan nilai kapitalisasi dari rentenya) telah lama diakui sebagai suatu bentuk pemajakan yang paling kecil kemungkinannya menghambat insentif untuk menginvestasikan pada penyempurnaan tanah (bangunan). Selain itu, keuntungan yang timbul dari kenaikan nilai tanah karena pertumbuhan populasi dan pendapatan dapat dipandang sebagai laba yang tidak diinginkan secara sosial. Dalam praktiknya, pengenaan pajak terjadi sebaliknya. Pada kota-kota besar negara maju, pengenaan pajak atas penyempurnaan tanah telah menghambat investasi seperti itu, terutama investasi untuk rumah-rumah murah. Circuit Breaker Pajak kekayaan atas rumah tinggal dipandang sebagai beban bagi penduduk yang berusia tua. Sejumlah besar pemilik rumah yang berpenghasilan rendah adalah orang-orang tua. Beberapa aturan telah dikembangkan di berbagai negara untuk menyediakan pengurangan beban pajak kepada penduduk berusia tua dan keluarga dengan penghasilan rendah, yang disebut juga dengan circuit breaker.
Distribusi Beban Pajak Kekayaan Beban atas pajak kekayaan merupakan hal yang kontroversial. Satu pandangan menyatakan bahwa pajak kekayaan merupakan pajak atas penghasilan modal, dikenakan dalam pasar-pasar yang kompetitif. Pandangan lain Dasar-dasar Keuangan Publik
203 membedakan berdasarkan jenis pengenaan dan menempatkan lebih banyak pembahasan pada konsekuensi-konsekuensi dari ketidaksempurnaan pasar. Pajak Kekayaan sebagai Pajak atas Penghasilan Modal Bila Pajak Kekayaan dikenakan secara Nasional. Misalkan bahwa ada suatu pajak nasional atas semua barang modal. Pajak seperti ini dapat juga dipandang sebagai pajak atas penghasilan modal. Dengan asumsi pasar modal yang dan prosedur penilaian yang sempurna, suatu pajak sebesar 5 persen yang dikenakan atas nilai dari suatu aset dapat segera diterjemahkan sebagai suatu pajak penghasilan atas penghasilan yang diperoleh dari aset tersebut. Misalkan aset tersebut memiliki nilai Rp100 juta dan memperoleh penghasilan tahunan sebesar Rp10 juta, yang sesuai dengan tingkat bunga pasar yang sebesar 10 persen. Hutang pajak berdasarkan pajak 5 persen atas nilai aset akan sebesar Rp5 juta. Bila dinyatakan dalam suatu persentase atas penghasilan aset, jumlah ini sama dengan 50 persen. Pajak sebesar 5 persen atas nilai aset (pajak kekayaan) adalah sama dengan pajak sebesar 50 persen atas penghasilan kekayaan (pajak penghasilan). Dengan menggunakan rumus umum, nilai dari suatu aset pada pasar modal yang sempurna ditentukan dengan persamaan Y = iV, sehingga V = Y/i, di mana V adalah nilai aset, Y adalah penghasilan tahunan, dan i adalah tingkat bunga pasar. Jika hasil yang sama akan diperoleh dari pajak kekayaan pada tingkat pajak tp dan suatu pajak atas penghasilan aset tersebut pada tingkat pajak ty, maka tpY/i = ty atau tp = ity. Dalam suatu pasar di mana modal menghasilkan tingkat pengembalian sebesar 10 persen, kejadian pajak dari suatu pajak umum atas nilai aset modal yang dikenakan dengan tarip Rp5 juta per Rp100 juta nilai aset sama dengan kejadian pajak dari suatu pajak atas penghasilan dengan tarip 50 persen. Dengan demikian, distribusi beban pajak pada pajak umum atas penghasilan modal kembali berlaku. Dengan kejadian ditentukan terutama dari sisi sumber, pajak seperti itu akan mengurangi tingkat pengembalian bersih dari modal dan diserap oleh penerima penghasilan modal. Dengan pengecualian pada sisi terendah, penghasilan ini sebagai bagian dari total penghasilan akan meningkat besarnya sejalan dengan peningkatan, sehingga kejadian pajaknya progresif. Dalam jangka panjang, pengurangan dalam tingkat pengembalian bersih dari modal akan menekan persediaan modal, sehingga mengurangi produktivitas tenaga kerja di masa depan, yang juga karenanya akan mendapatkan tanggungan beban pajak. Bila PBB dikenakan secara Lokal. Jika daerah dibebaskan untuk menentukan tarip atas pajak kekayaan, seperti yang berlaku di Amerika Serikat, maka kejadian pajak akan terjadi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, modal yang diinvestasikan pada daerah-daerah bertarip tinggi tidak dapat bergerak dan pemiliknya harus menanggung beban pajak yang tinggi. Beban dari pajak atas penghasilan modal ini akan dikapitalisasi dan mengurangi nilai dari kekayaan. Hal ini juga berlaku pada bangunan dan tanah. Penerima beban pajak dalam jangka pendek adalah pemilik dari kekayaan lokal yang dikenai beban pajak yang lebih tinggi. Beban pajak diterima oleh pemilik yang memiliki kekayaan pada saat pajak tersebut dinaikkan. Mereka tidak dapat mengurangi beban pajak dengan menjual aset yang dipajaki.
Dasar-dasar Keuangan Publik
204 Untuk mengilustrasikan fakta ini, kita mengasumsikan kembali bahwa tingkat pengembalian atas modal sebelum pajak adalah 10 persen, sehingga suatu aset yang menghasilkan Rp10 juta per tahun memiliki nilai sebesar Rp100 juta. Sekarang asumsikan suatu daerah tempat aset tersebut mengenakan pajak kekayaan sebesar Rp5 juta untuk setiap Rp100 juta nilai aset. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pajak ini sama dengan pajak penghasilan sebesar 50 persen. Penghasilan neto berkurang menjadi Rp5 juta, yang bila dikapitalisasikan pada tingkat 10 persen akan menurunkan nilai aset menjadi sebesar Rp50 juta. Jika pemilik aset yang semula ingin menjual aset tersebut, ia harus menanggung kerugian pajak tersebut karena pembeli akan meminta suatu tingkat pengembalian sebesar 10 persen, sama dengan tingkat pengembalian investasi-investasi lain yang tersedia. Beban pajak jatuh pada pemilik aset mula-mula, yaitu pemilik aset sebelum pengenaan pajak tersebut. Pemilik berikutnya yang membeli aset tersebut akan melakukannya hanya pada harga yang lebih rendah sehingga tidak dibebani oleh pajak tersebut. Kerugiannya telah dikapitalisasikan dan tetap berada pada pemilik aslinya. Dalam jangka panjang, bagian pajak yang menyatakan nilai dari tanah tidak berubah. Tanah tidak dapat dipindahkan, sehingga pemilik asli dari tanah pada daerah-daerah berpajak tinggi akan menderita kerugian permanen yang besarnya sama dengan bagiannya dalam pajak. Tidak ada perbedaan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Karena kepemilikan tanah lebih banyak pada wajib pajak berpenghasilan tinggi, beban pajaknya bersifat progresif. Situasinya berbeda apabila yang dikenakan pajak adalah modal. Modal yang diinvestasikan pada penyempurnaan tanah (bangunan) tidak akan melekat selamanya. Dalam jangka panjang, modal ini akan pindah dari daerah yang berpajak tinggi ke daerah yang berpajak rendah. Pengeluaran pemeliharaan atas aset-aset tua akan berkurang dan investasi baru pada daerah berpajak tinggi akan menurun. Sejalan dengan penurunan persediaan modal pada daerah berpajak tinggi dan kenaikan persediaan modal pada daerah berpajak rendah, tingkat pengembalian bruto atas modal pada daerah berpajak tinggi akan naik sedangkan tingkat pengembalian bruto atas modal pada daerah berpajak rendah akan turun. Pergerakan ini akan terus berlangsung sampai tingkat pengembalian bersih dari investasi pada daerah berpajak tinggi sama dengan tingkat pengembalian pajak daerah-daerah lain. Seperti situasi pada pajak perseroan, suatu pajak yang dikenakan pada modal dalam satu sektor ekonomi akan dibagi bebannya oleh semua pemilik modal. Seberapa besar perpindahan modal dari daerah yang berpajak tinggi bergantung pada mobilitas keluar dari tenaga kerja. Jika tenaga kerja dapat berpindah dengan segera, tenaga kerja tersebut harus dibayar sebesar apa yang ia terima di tempat lain dan perpindahan modal akan semakin besar. Jika tenaga kerja tidak dapat berpindah, pajak akan dinyatakan dalam bentuk pengurangan upah. Karena tenaga kerja yang tidak terampil cenderung kurang mudah bergerak daripada tenaga kerja terampil, situasi seperti ini akan memunculkan pengaruh regresif. Bila tenaga kerja pada daerah berpajak tinggi cenderung merugi, tenaga kerja pada daerah berpajak rendah cenderung beruntung. Demikian juga, pemilik tanah dan pemilik modal lainnya. Pengaruh ini adalah yang paling penting bila Dasar-dasar Keuangan Publik
205 dipandang dari perspektif suatu daerah khusus, walaupun secara nasional tidak berpengaruh terhadap distribusi beban pajak. Beban di Dalam versus Beban di Luar. Pajak nasional dan lokal yang akan menjadi perhatian suatu daerah lokal hanya bagian yang akan terbeban bagi penduduknya dan bukan bagian yang menjadi beban penduduk daerah lain. Jadi misalkan suatu kekayaan yang berada pada daerah A dimiliki oleh penduduk daerah B. Akibatnya, beban jangka pendek akan berada pada individu luar tersebut sedangkan penduduk lokal menikmati free ride. Akan tetapi, penduduk lokal tidak akan menikmati hal ini dalam jangka panjang ketika modal dapat berpindah ke luar. Sekarang, penduduk lokal merasakan bahwa sewa meningkat dan upah turun sedangkan pihak luar mengalami keuntungan. Semakin besar perpindahan modal, semakin kecil pendapatan yang diperoleh dan semakin besar juga kenaikan sewa dan penurunan penghasilan yang dialami oleh penduduk yang berpajak tinggi. Tidak hanya penduduk lokal tidak mampu mengekspor beban pajak tersebut ketika ditagihkan, tetapi mereka juga mengalami kerugian terhadap pihak luar karena modal makin sedikit tersedia untuk mereka. Kebijakan pajak lokal akan melibatkan suatu pilihan yang sulit antara (1) laba yang diperoleh dari pemindahan beban pajak kepada pihak luar melalui pemajakan atas modal yang dimiliki oleh orang asing dan (2) bahaya kerugian pada ekonomi lokal dari berpindahnya modal asing. Hal ini juga terjadi pada tingkatan internasional dalam hal perbedaan pajak antar negara. Perbedaan Manfaat. Sebagaimana kenaikan dalam tarip pajak kekayaan akan mengurangi nilai dari kekayaan dan mendorong perpindahan modal ke luar, demikian pula penyediaan tambahan layanan publik akan meningkatkan nilai dari kekayaan dan menarik modal masuk. Sekolah atau layanan-layanan lokal yang lebih baik akan membuat suatu kota atau daerah menjadi tempat yang lebih menarik untuk ditinggali dan menjadi lokasi bisnis. Perbaikan ini akan meningkatkan permintaan akan rumah dan bangunan, mendorong pada peningkatan nilai kekayaan, dan karenanya menimbulkan efek sebaliknya dari kenaikan tarip pajak kekayaan. Dengan demikian, manfaat-manfaat dari pengeluaran-pengeluaran tersebut dapat dikapitalisasi tidak kurang dari beban pajaknya sehingga pengaruh kombinasi pajak dan pengeluaran akan menyebabkan nilai perumahan menjadi turun, tidak berpengaruh atau naik, bergantung pada bagaimana pendapatan pajak diperoleh dan apa penggunaannya. Jika semua pajak kekayaan dikenakan dalam kesesuaian kuat dengan prinsip manfaat, kedua pengaruh tadi akan saling menghilangkan dengan nilai kekayaan tidak bergantung pada tarip pajak. Kenyataannya tidak demikian. Pajak kekayaan, seperti PBB, digunakan sebagai sumber pendapatan umum dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang manfaatnya tidak selalu sejalan dengan kontribusi pajak. Walaupun demikian, penyelidikan empiris menunjukkan bahwa nilai kekayaan berkaitan dengan pengeluaran dan juga perbedaan pajak, sehingga menyatakan secara jelas pentingnya mempertimbangkan kedua aspek tersebut. Dasar-dasar Keuangan Publik
206 Keadilan pengenaan PBB dan Pajak Penghasilan. Karena keberatan utama atas pajak kekayaan berasal dari pemilik rumah, mari kita bandingkan posisi mereka sebagai investor dalam jasa perumahan dengan posisi investor saham perusahaan, dengan mempertimbangkan tidak hanya pajak kekayaan, tetapi juga pajak penghasilan wajib pajak pribadi dan pajak penghasilan wajib pajak badan. Walaupun investor pada jasa-jasa perumahan akan membayar pajak lebih tinggi dalam kerangka pajak kekayaan, keseluruhan beban pajaknya masih lebih rendah daripada kombinasi ketiga pajak ini. Hasil ini menunjukkan tambahan beban yang harus ditanggung oleh pemegang saham karena pajak penghasilan wajib pajak badan dan juga perlakuan yang lebih baik kepada pemilik rumah dalam kerangka pajak penghasilan wajib pajak pribadi. Pola-Pola Alternatif Bagian pajak yang dikenakan kepada tanah dapat segera dibebankan kepada pemilik tanah. Karena penawaran atas tanah bersifat tidak elastis dan tanah tidak dapat dipindahkan, tidak ada penghindaran atas pajak. Distribusi pembebanannya cenderung progresif. Pajak yang dikenakan pada bangunan komersial dapat dipandang sebagai sama dengan pajak penghasilan badan. Dalam kasus ini, kita dapat mengasumsikan suatu pasar yang tidak sempurna dan mempostulasikan bahwa sebagian dari pajak tersebut, misalkan separuhnya, dipindahkan kepada konsumen. Bagian dari distribusi beban pajak ini kemudian akan menjadi regresif. Yang tersisa adalah pajak atas rumah tinggal. Sebagaimana masyarakat melihatnya, pajak ini dipandang sebagai pajak atas jasa-jasa konsumsi perumahan. Karena pengeluaran perumahan akan menjadi bagian yang semakin kecil sejalan dengan kenaikan skala penghasilan, pajaknya akan bersifat regresif. Bagaimana pandangan pajak ini, yang merupakan pajak atas pengeluaran perumahan, dapat direkonsiliasikan dengan interpretasi yang lebih awal, yaitu pajak atas penghasilan modal? Kunci dari teka teki ini terletak pada fakta bahwa perumahan dapat dipandang sebagai pos investasi, tetapi (dalam kasus perumahan yang ditinggali pemiliknya) juga dipandang sebagai barang konsumsi yang tahan lama. Karena hal ini, pemilik yang menempati akan bersedia menerima sewa imputed yang lebih rendah pada perumahan daripada pada investasi lainnya. Sebagian dari pajak akan terserap dalam sewa-kepemilikan ini dan didistribusikan sejalan dengan konsumsi dan bukannya dibagi dengan semua penghasilan modal. Penjelasan di atas tidak berlaku untuk kekayaan yang disewakan, di mana pemiliknya hanya mempertimbangkan pilihan investasi. Jika pasarnya kompetitif, modal yang diinvestasikan pada rumah sewaan akan meminta tingkat penghasilan yang sama dengan modal-modal lain, dengan distribusi bebannya sejalan dengan penghasilan modal. Akan tetapi hasilnya akan berbeda bila pasar sewa tidak sempurna sebagaimana yang sering terjadi. Pajak dapat mengarah pada peningkatan batas atas sewa atau pelonggaran dari penentuan harga monopoli yang dibatasi sebelumnya. Tingkat pajak kekayaan efektif cenderung akan tinggi pada lingkungan berpenghasilan rendah dan sebagian disebabkan oleh pengenaan
Dasar-dasar Keuangan Publik
207 pajak pada tarip yang lebih tinggi di tengah-tengah kota pada lingkungan berpenghasilan rendah. Tambahan beban pajak ini akan ditanggung pula oleh penyewa.
Pajak Atas Kekayaan Bersih Dalam mendiskusikan alasan pengenaan pajak atas kekayaan dan kekayaan, kita membedakan antara argumentasi kemanfaatan yang menunjukkan perbedaan beban kepada pengguna dalam kekayaan yang dikenakan dengan basis in rem dan argumentasi kemampuan untuk membayar yang mengarahkan pada pajak atas kekayaan bersih yang dikenakan secara pribadi. Pajak kekayaan (PBB) – yang diterapkan kurang lebih secara seragam sebagai pajak in rem kepada semua bumi dan bangunan dalam suatu daerah tertentu – tidak mengikuti kedua pola ini. Sekarang kita bahas jenis pajak yang lain yang lebih menarik tetapi jarang digunakan, yaitu pajak atas kekayaan bersih. Pengalaman berbagai Negara yang Menerapkan Pajak atas Kekayaan Bersih Pajak atas kekayaan bersih diberlakukan pada beberapa negara, seperti Belanda, Jerman, negara-negara Skandinavia, dan Swiss. India dan beberapa negara Amerika Latin juga menggunakan pajak jenis ini. Di kebanyakan negara, pajak ini dikenakan hanya kepada individu, walaupun pada beberapa negara (seperti Jerman dan India) perseroan juga dipajaki. Definisi dari aset kena pajak biasanya mencakup aset berwujud dan aset tak berwujud dan dalam banyak kasus semua kewajiban hutang dapat dikurangkan. Akan tetapi, beberapa negara tidak membolehkan kewajiban tidak berkaitan dengan perolehan aset kena pajak. Orang pribadi diberikan pengecualian dan tarip pajak dapat proporsional (umumnya 1 persen atau kurang) atau progresif ( berkisar sampai 2,5 persen). Pajak atas kekayaan bersih, kecuali di Swiss, dikenakan sebagai pajak pusat. Negara yang menggunakan pajak ini umumnya menerapkannya sebagai tambahan atas pajak kekayaan, dengan pendapatan dari pajak atas kekayaan bersih hanya merupakan bagian kecil (di bawah 5 persen) dari total pendapatan pajak. Pajak ini merupakan salah satu komponen penting dalam struktur pajak karena pajak ini dapat digunakan sebagai pelengkap dari cakupan atas penghasilan modal yang tidak efektif dalam kerangka pajak penghasilan. Aspek ini sangat penting pada negara-negara berkembang karena sulitnya mengenakan pajak atas penghasilan modal. Untuk negara-negara lain, pajak ini dapat digunakan sebagai pelengkap untuk pajak pengeluaran. Struktur dan Basis Pajak Basis Pajak. Pajak atas kekayaan bersih sangat berkaitan dengan kemampuan untuk membayar. Oleh karena itu, pajak ini harus dikenakan pada orang pribadi dan juga badan. Sejalan dengan pandangan partnership dari pajak laba perusahaan, kekayaan bersih dari perusahaan harus diperhitungkan kepada pemiliknya. Sebagaimana dalam hal pajak penghasilan, basisnya harus didefinisikan secara global, sehingga dapat memberikan perlakuan yang sama pada semua komponen kekayaan bersih. Selain itu, prinsip keseragaman harus diterapkan baik kepada sisi
Dasar-dasar Keuangan Publik
208 aset maupun sisi kewajiban pada neraca. Semua aset berwujud dan tak berwujud, aset berpenghasilan dan yang tidak berpenghasilan semuanya dimasukkan. Demikian juga, semua kewajiban hutang juga dikurangkan. Mengukur Kekayaan Bersih. Administrasi pajak atas kekayaan bersih mengharuskan adanya identifikasi atas aset kena pajak dan verifikasi atas hutang yang diklaim. Administrasi ini mengharuskan SPT yang melampirkan neraca tahunan yang berisi daftar harta dan kewajiban pembayar pajak. Berkenaan dengan akuntansi untuk asset, pemerintah harus memastikan bahwa semua aset telah dinyatakan. Selain itu, ada juga permasalahan dalam penilaian aset. Kesulitan-kesulitan yang melekat dalam penilaian saat ini atas semua aset telah didiskusikan dalam kaitannya dengan pajak atas penghasilan modal. Di sini juga perkiraan juga harus dipergunakan. Dengan demikian, aset yang menjadi subjek pajak kekayaan (terutama bila pengenaannya disamakan) dapat dinilai dengan cara itu, sedangkan aset lain, seperti sekuritas yang diperdagangkan, dapat dinilai berdasarkan harga penawaran di pasar. Untuk sisanya, perkiraan yang kasar (seperti biaya perolehan dikurangi dengan penyusutan) harus digunakan. Kesulitan yang sama juga terjadi pada hutanghutang yang dapat dikurangkan. Kesulitan dalam mengadministrasikan suatu pajak atas kekayaan bersih yang baik cukup besar. Tidaklah mengherankan bila pajak atas kekayaan bersih lama kelamaan akan terdegenerasi menjadi pajak atas bumi dan bangunan saja. Akan tetapi, kesulitan ini tidaklah sangat besar. Bila dikaitkan dengan administrasi pajak penghasilan, dan secara khusus dengan administrasi pajak pengeluaran, dapat memunculkan elemen self enforcement. Perolehan aset harus dinyatakan untuk meminimalkan pajak pengeluaran, pernyataan ini akan menambah basis dari pajak atas kekayaan bersih. Peranan Harta tak Berwujud (Intangibles) Klaim kepada swasta. Asumsikan suatu keadaan di mana tidak ada hutang publik atau uang yang dikeluarkan pemerintah. Semua instrumen hutang adalah antara orang pribadi. Misalnya hanya ada dua orang, yaitu A dan B, yang posisi kekayaannya adalah berikut: Tabel 19.1: Basis Pajak A B Harta berwujud Hutang Piutang Kekayaan bersih
100.000 10.000 90.000
50.000 10.000 60.000
A+B 150.000
150.000
Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di atas, basis total untuk suatu pajak atas harta berwujud dan kekayaan bersih akan sama, yaitu sebesar Rp150.000. Jika kita menagih sebesar Rp15.000 dari suatu pajak sebesar 10 persen atas semua harta berwujud, A akan membayar sebesar Rp10.000 dan B akan membayar sebesar Rp5.000. Jika kita mengumpulkan jumlah yang sama dengan
Dasar-dasar Keuangan Publik
209 menggunakan pajak atas kekayaan bersih, A akan membayar sebesar Rp9.000 dan B akan membayar sebesar Rp6.000. Pada awalnya, hal ini menyarankan bahwa A akan lebih menyukai pajak atas kekayaan bersih sedangkan B akan lebih menyukai pajak kekayaan. Akan tetapi, pasar akan menyesuaikan seperlunya. Ketika pajak atas kekayaan dikenakan, peminjam tidak akan bersedia membayar pada tingkat bunga yang sama seperti yang mereka lakukan sebelumnya karena penghasilan neto mereka dari investasi pada kekayaan akan menurun. Pemberi pinjaman harus puas dengan suatu tingkat bunga yang lebih rendah, sehingga sebagian beban dipindahkan dari A ke B. Pada akhirnya, distribusi beban akan sama dengan yang terjadi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih, yaitu sejalan dengan distribusi kekayaan. Jika suatu tarip proposional dikenakan, pilihan diantara keduanya tidak ada permasalahan. Sebaliknya, keduanya berbeda apabila pajak diterapkan dengan tarip progresif. Sesuai dengan tabel di atas, kita dapat melihat bahwa distribusi beban dari suatu tarip progresif pada kekayaan (di mana basis A dua kali basis B) akan berbeda dengan yang dikenakan pada basis kekayaan bersih (di mana basis A hanya lebih besar 50 persen daripada basis B). Karena pajak pribadi mengharuskan adanya pengenaan pajak berdasarkan prinsip kemampuan untuk membayar, pajak atas kekayaan bersih adalah bentuk yang paling baik dari pajak atas kekayaan. Klaim terhadap Pemerintah. Perbedaan lebih lanjut dapat terjadi jika kita mengasumsikan adanya klaim terhadap pemerintah, apakah klaim itu dalam bentuk hutang publik atau uang yang didukung oleh kredit Bank Sentral. Klaim seperti ini akan menambah kekayaan dari seseorang tanpa mengurangi kekayaan dari orang lainnya. Klaim-klaim seperti ini dapat menjadi tambahan pada basis kekayaan bersih bagi seluruh kelompok secara keseluruhan. Misalnya tabel di atas dimodifikasi sebagai berikut: Tabel 19.2: Basis Pajak Modifikasi A Kekayaan bersih dari tabel sebelumnya Klaim terhadap pemerintah Kekayaan bersih
90.000 70.000 160.000
B 60.000 20.000 80.000
A+B 150.000 90.000 240.000
Dalam kasus ini, penagihan sebesar Rp15.000 berdasarkan pajak atas kekayaan bersih tarip tetap akan mengharuskan pengenaan tarip sebesar 6,2 persen, dan mendapatkan Rp9.888 dari A dan Rp5.112 dari B. Untuk mendapatkan sejumlah pendapatan yang sama dengan pajak kekayaan, suatu tarip sebesar 10 persen, dengan pembayaran sebesar Rp10.000 dan Rp5.000 masing-masing. Pasar sekali lagi akan mengkompensasikan untuk pengurangan tingkat pengembalian bersih dari kekayaan, tetapi beban A akan tetap lebih tinggi berdasarkan pajak atas kekayaan bersih daripada pajak atas kekayaan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
210
Bea Atas Modal Satu bentuk pajak kekayaan lainnya adalah bea atas modal. Dikenakan sekali dan selamanya, bea ini telah digunakan oleh beberapa negara dalam situasisituasi mendesak seperti reformasi moneter untuk menghentikan inflasi setelah perang. Jika sifatnya benar-benar satu kali dan selamanya, yang tidak diantisipasikan atau diharapkan akan terjadi kembali, bea seperti itu berbeda dari bentuk pajak kekayaan lainnya karena tidak ada efek-efek mengganggu terhadap tingkah laku ekonomi. Hal ini menambah daya tarik pajak jenis ini sebagai instrumen pajak redistribusi, akan tetapi asumsi mendasar tentang aplikasinya yang unik dan tanpa antisipasi menyebabkan pajak ini tidak termasuk bagian dari struktur pajak normal.
Dasar-dasar Keuangan Publik
211
B A B XX PAJAK ATAS WARISAN ajak atas warisan adalah salah satu jenis pajak kekayaan yang tidak dikenakan setiap tahun tetapi dikenakan pada saat pemindahan dengan mewariskan atau menghibahkan. Pajak atas warisan dapat diterapkan pada tingkatan nasional maupun pada tingkatan lokal. Walaupun basisnya dikembangkan secara substansial, pajak atas warisan tidak akan menjadi sumber pendapatan utama suatu negara. Akan tetapi, pajak atas warisan mendapat perhatian luas karena filosofi sosial dan sebagai instrumen kebijakan untuk menyesuaikan distribusi kekayaan. Untuk alasan inilah pajak atas warisan secara potensial merupakan elemen yang penting dalam struktur pajak.
P
Alasan-Alasan Pengenaan Pajak atas Warisan Pajak atas warisan dapat dikenakan dalam berbagai bentuk dan untuk berbagai alasan. Pajak dapat dikenakan pada warisan secara keseluruhan atau atas jumlah yang diterima oleh ahli waris. Sekilas pandang, tidak ada perbedaan apakah pajak dikenakan atas warisan atau kepada penerima warisan. Akan tetapi, apabila tarip pajak yang dipakai tidak proporsional, perbedaan pengenaan ini dapat menimbulkan perbedaan jumlah pajak.
Tujuan dan Jenis Pajak Beberapa hal berikut yang memunculkan pengenaan pajak atas warisan pada suatu masyarakat: 1. Masyarakat mungkin ingin membatasi hak seseorang untuk membagikan hartanya pada saat meninggal. Orang pribadi dapat menggunakan harta mereka ketika mereka masih hidup tetapi hak kepemilikan mereka berakhir ketika meninggal. Dalam hal ini, suatu pajak atas kekayaan dapat diberlakukan. Jika masyarakat ingin membolehkan warisan bebas sampai sejumlah tertentu, suatu pengecualian dapat diberlakukan. Jika
Dasar-dasar Keuangan Publik
212
2.
3.
4.
5.
6.
masyarakat ingin menyita warisan yang melebihi suatu jumlah tertentu, suatu tarip pajak 100 persen di atas batas tersebut dapat diberlakukan. Suatu masyarakat mungkin ingin menetapkan batasan-batasan yang semakin meningkat atas hak seseorang untuk memindahkan kekayaannya pada generasi-generasi berikutnya, dalam hal ini, tingkatan tarip pajak atas warisan yang dapat diterapkan akan naik ketika kekayaan diwariskan secara berurutan, suatu pendekatan yang pertama kali disarankan oleh ekonom Italia, Eugino Rignano. Masyarakat juga dapat membatasi hak seseorang untuk mendapatkan kekayaan dari warisan, yaitu tanpa usahanya sendiri. Dalam hal ini, pajak dapat diterapkan kepada ahli waris. Jika diinginkan untuk membolehkan beberapa perolehan harta melalui warisan tetapi membedakan antara perolehan-perolehan besar dan kecil, tarip progresif dapat diterapkan. Masyarakat juga dapat mempunyai tujuan yang lebih umum mencapai distribusi kekayaan yang lebih adil. Tradisi pewarisan merupakan satu faktor utama yang menimbulkan konsentrasi kekayaan, dengan kekayaan dari warisan merupakan sumber lebih dari separuh kekayaan dari priapria kaya dan merupakan sumber hampir seluruh kekayaan wanitawanita kaya. Pajak atas warisan dapat digunakan untuk mengurangi ketidakadilan dalam distribusi kekayaan ini. Pajak pada saat kematian dapat dipandang sebagai pelengkap atas pajak penghasilan daripada sebagai tambahan pajak atas transfer. Berdasarkan pendekatan tambahan kemampuan ekonomis dari pajak penghasilan, penerimaan dari suatu warisan selayaknya dimasukkan sebagai penghasilan bagi ahli waris. Dalam hal ketiadaan memasukkan hal tersebut, suatu pajak atas warisan (yang taripnya dikaitkan dengan penghasilan dari ahli waris) dapat dipandang sebagai koreksi definisi penghasilan yang kurang baik. Hal yang sama juga dapat dinyatakan untuk pernanan dari pajak atas warisan (yang berkaitan dengan konsumsi dari pewaris) sebagai koreksi untuk definisi basis yang efektif dalam hal pajak pengeluaran yang tidak memasukkan warisan dalam basisnya. Pajak atas warisan dapat dipandang sebagai suatu alternatif dari pajak atas penghasilan modal selama masa hidup penerimanya. Pandangan ini dapat dinyatakan bahwa penggantian kepada pajak atas warisan dari pajak atas penghasilan modal yang progresif akan mengurangi pengaruh disinsentif pada menabung dan investasi.
Oleh karena itu, pilihan antara pendekatan pajak atas warisan atau pajak kepada ahli waris bergantung pada tujuan-tujuan yang akan dicapai dengan merancang pajak tersebut. Hanya jika tarip pajaknya proporsional tidak ada perbedaan di antara keduanya. Walaupun tujuannya berbeda, keduanya tidak harus mutually exclusice. Dalam mencapai tujuan 1 dan 3 di atas, masyarakat dapat menerapkan pajak atas warisan (yang mengurangi hak pewaris membagikan hartanya) dan pajak kepada ahli waris yang dirancang untuk membatasi hak ahli waris untuk menerima dan/atau mengkompensasikan ketidaktercakupan warisan ke dalam penghasilan kena pajak. Pilihan di antara tujuan-tujuan ini dan pemilihan pajak yang tepat merupakan permasalahan yang harus dibedakan dengan pertanyaan bagaimana transaksi-transaksi pada saat kematian
Dasar-dasar Keuangan Publik
213 (penerimaan suatu warisan atau memberikan warisan) harus diperlakukan dalam suatu pajak penghasilan atau pengeluaran.
Permasalahan-Permasalahan Khusus Capital gain. Di Amerika Serikat, aset untuk tujuan pajak warisan dinilai berdasarkan harga pasarnya pada saat pemiliknya meninggal, bukannya sebesar harga perolehan aslinya. Basis yang baru ini kemudian digunakan untuk tujuan pemajakan atas penghasilan modal pada saat penjualan aset tersebut oleh ahli waris. Jadi, hanya peningkatan harga dari saat kematian saja yang diperhitungkan, membuat peningkatan harga sebelum kematian tidak dipajaki. Pengurangan karena Status Pernikahan. Permasalahan perlakuan terhadap unit keluarga yang muncul pada pajak penghasilan, terjadi juga pada pajak warisan. Apabila salah satu pasangan meninggal, warisan dapat diberikan kepada pasangannya yang masih hidup bebas dari pajak. Hal ini sesuai dengan pendekatan unit keluarga dalam pajak penghasilan. Harta yang diwariskan kepada pasangan yang masih hidup diperlakukan seolah-olah harta tersebut adalah harta bersama, walaupun sebelum kematian kepemilikannya terpisah. Aturan yang sama tidak berlaku untuk anak dan anggota keluarga lainnya. Walaupun demikian, aturan sampai seberapa jauh hubungan kekeluargaan menyebabkan pengecualian dari pengenaan pajak sangat bergantung pada peranan keluarga dalam kaitannya dengan hak untuk memindahkan harta setelah meninggal. Kontribusi bagi Lembaga Sosial. Sumbangan sosial juga penting dalam pajak atas warisan/hibah. Pada umumnya tidak ada batasan pengurangan atas sumbangan sosial dalam kerangka pajak atas warisan. Peranan dari sumbangan sosial dalam pajak warisan, sebagaimana juga dalam pajak penghasilan, melibatkan persoalanpersoalan budaya, sosial dan politik yang sudah di luar pembahasan kebijakan pajak. Organisasi-organisasi yang didukung oleh sumbangan-sumbangan tidak kena pajak telah mencapai tujuan-tujuan yang berguna yang tidak dapat dicapai oleh anggaran negara, akan tetapi pembebasan pajak ini mendorong timbulnya kendali privat yang tinggi dalam penggunaan dana yang sebenarnya dana publik. Bisnis Keluarga. Para kritikus dari pajak atas warisan menyatakan bahwa pajak ini mengancam kelangsungan institusi perusahaan yang dimiliki keluarga. Salah satu keberatan yang dimunculkan adalah pajak atas warisan dapat membuat ahli waris harus melikuidasi perusahaan dengan persyaratan-persyaratan yang tidak menguntungkan dalam rangka membayar pajak tersebut. Keberatan ini sebenarnya bukan masalah besar karena dapat diatasi dengan aturan-aturan yang liberal untuk pembayaran yang dicicil atau ditunda. Walaupun demikian, pembayaran pajak akan mengharuskan suatu likuidasi, yang tidak harus melibatkan pemecahan unit usaha. Unit tersebut dapat dijual secara keseluruhan atau sebagian dari ekuitas dapat dipindahkan kepada pihak luar. Konsekuensi yang mungkin sulit dicegah adalah gangguan atau pengurangan terhadap kendali keluarga atas bisnis sebagai akibat dari pengenaan pajak apabila kekayaan yang diwariskan dalam bentuk bisnis keluarga.
Dasar-dasar Keuangan Publik
214
B A B XXI ANALISIS MANFAAT DAN BIAYA ATAS BARANG DAN JASA SOSIAL nalisis manfaat dan biaya (cost benefit analysis) adalah suatu cara untuk menentukan bobot dari berbagai alternatif proyek pemerintah. Tujuan analisis ini adalah untuk meyakinkan pengambil keputusan bahwa proyek yang akan dilaksanakan adalah yang paling efisien dan memiliki marginal benefit yang lebih besar dari marginal cost nya. Analisis ini akan menyajikan informasi yang berguna bagi pengambil keputusan dalam menentukan proyek yang akan dilaksanakan dari berbagai alternatif proyek yang diajukan.
A yaitu: 1. 2. 3.
Ada tiga langkah pokok dalam melakukan analisis manfaat dan biaya Mengidentifikasi manfaat dan biaya dari setiap proyek yang diusulkan, Mengevaluasi dan mengkonversi manfaat dan biaya tersebut kedalam suatu nilai uang, dan Mendiskontokan manfaat yang akan datang.
Langkah tersebut bertujuan untuk mengetahui nilai sekarang (present value) dari manfaat proyek dibandingkan dengan anggaran biaya yang dibutuhkan untuk membiayai proyek tersebut. Walau langkah-langkah diatas terlihat sederhana, namun analisis manfaat dan biaya yang benar membutuhkan kombinasi dari keahlian ekonomi, teknik, dan logika. Dalam mengukur manfaat, harus memperhitungkan pula seluruh dampak sampingan (externalities) yang timbul dari proyek tersebut. Biaya pun harus diterapkan dengan benar, termasuk menghitung manfaat yang dikorbankan (opportunity cost) karena melepaskan alternatif proyek. Tingkat diskonto juga harus ditentukan dengan benar guna membandingkan manfaat sekarang dan manfaat yang akan datang dari berbagai alternatif proyek.
Dasar-dasar Keuangan Publik
215
Mengidentifikasi Manfaat dan Biaya Langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan proyek-proyek yang diusulkan beserta masing-masing outputnya. Selanjutnya, mengidentifikasi biaya yang dibutuhkan serta manfaat yang dihasilkan selama umur ekonomis proyek tersebut. Manfaat dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu, manfaat langsung dan manfaat tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang diterima oleh pihak-pihak yang terkait langsung dengan output dari proyek yang bersangkutan. Contoh, dalam suatu proyek irigasi yang bertujuan untuk meningkatkan areal persawahan maka yang menjadi manfaat langsung adalah seluruh hasil bersih yang diperoleh petani yang tinggal di areal yang dilalui oleh jaringan irigasi tersebut. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang diterima oleh pihak-pihak yang tidak terkait langsung dengan output proyek yang bersangkutan. Dalam contoh irigasi diatas, yang menjadi manfaat tidak langsung adalah meningkatnya kesuburan tanah di daerah yang tidak dilewati jaringan irigasi secara langsung. Dalam menghitung manfaat, hanya kenaikan riil pada output atau kesejahteraan saja yang perlu diperhitungkan. Selain itu, perlu juga diperhatikan jangan sampai terjadi perhitungan ganda. Sebagai contoh, nilai tanah yang dilalui proyek irigasi diperkirakan akan bertambah mahal karena disamping harga tanah itu sendiri, orang akan memperhitungkan pula potensi lahan yang dapat dikembangkan. Oleh karena itu bila kita memasukkan kenaikan harga tanah dan juga hasil panennya dalam menghitung manfaat, maka kita telah melakukan penghitungan ganda karena hasil panen sudah tercermin dalam harga tanah. Pada proyek-proyek tertentu terdapat kendala dalam menghitung besarnya manfaat yang diperoleh. Misalnya, bagaimana cara mengkuantifkan manfaat dari proyek pendidikan maupun proyek kesehatan? Dalam proyek pendidikan, kenaikan penghasilan yang dinikmati orang yang menerima proyek pendidikan dapat juga dimasukkan sebagai manfaat proyek tersebut. Dalam proyek peningkatan keselamatan kerja, manfaat dapat mencakup kenaikan produksi sebagai akibat berkurangnya kecelakaan kerja. Dalam menghitung biaya proyek, disamping memasukkan unsur biaya langsung, kita harus memperhitungkan pula biaya tidak langsung (externalities) yang timbul karena proyek tersebut. Sebagai contoh, suatu proyek pembangunan bendungan telah menyebabkan beberapa daerah menjadi kekurangan air. Biayabiaya yang timbul akibat kesulitan air tersebut harus pula dimasukkan sebagai biaya dalam proyek pembangunan bendungan itu.
Mengevaluasi dan Mengkonversi Manfaat dan Biaya Setelah berhasil mengidentifikasi seluruh manfaat dan biaya yang timbul, maka langkah selanjutnya adalah mengevaluasi serta mengkonversi manfaat dan biaya tersebut kedalam nilai uang tertentu. Dalam menilai output dari suatu proyek diperlukan estimasi mengenai permintaan dan surplus konsumen atas
Dasar-dasar Keuangan Publik
216 output yang bersangkutan. Misalnya, dalam proyek yang akan menghasilkan padi, kita memerlukan estimasi permintaan dan surplus konsumen terhadap komoditi padi untuk menghitung manfaat dari proyek tersebut. Kesulitan baru timbul bila hasil proyek tidak bisa dijual atau merupakan benda yang tidak berwujud. Misalnya, dalam proyek peningkatan kesehatan masyarakat, kita sulit menentukan secara langsung manfaat proyek tersebut mengingat outputnya dinikmati oleh masyarakat secara kolektif. Alternatifnya, manfaat proyek dapat diestimasi dengan cara menghitung besarnya kenaikan penghasilan yang dinikmati oleh masyarakat yang menjadi obyek proyek kesehatan tersebut. Cara yang sama juga dapat diterapkan untuk menghitung manfaat proyek pendidikan. Kesulitan lain dapat pula timbul apabila input maupun output suatu proyek merupakan barang yang dapat dipasarkan namun harganya tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya. Sebagai contoh, listrik merupakan output proyek pembangkit listrik yang dapat dipasarkan, namun karena pasokannya dimonopoli oleh PLN maka harga listrik yang diterapkan adalah harga monopolistik yang lebih tinggi dibanding dengan harga pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, dalam menghitung manfaat proyek kita harus menurunkan harga output agar sesuai dengan kondisi harga pasar yang sebenarnya. Demikian pula dengan faktor input. Bila harga input yang digunakan terlalu rendah karena input tersebut menerima subsidi, misalnya bahan bakar, kita harus menaikkan harga bahan bakar tersebut dalam menghitung biaya yang dibutuhkan suatu proyek.
Mendiskonto Manfaat yang akan datang Alasan kita melakukan diskonto karena nilai uang Rp 100 saat ini lebih tinggi dibanding nilai uang Rp 100 di masa yang akan datang, dengan asumsi suku bunga perbankan positif. Jika tingkat suku bunga bank sebesar 5% setahun, maka hanya dengan menyimpan uang sebesar Rp. 95,24 sekarang kita akan mendapatkan Rp. 100 setahun yang akan datang. Nilai Rp. 95,24 adalah present value dari Rp. 100 satu tahun yang akan datang. Diakhir tahun, uang sebesar Rp. 95,24 akan menjadi Rp. 95,24 + (Rp. 95,24)(0,05) = Rp. 100,Secara umum, present value (PV) dapat dihitung dengan rumus sbb:
PV = dimana:
X (1 + r )n
X = adalah nilai uang masa yang akan datang r = tingkat suku bunga n = jangka waktu
Semakin tinggi kita menerapkan tingkat suku bunga, semakin rendah present value dari X. Tingkat suku bunga, r, disebut juga sosial rate of discount yang digunakan untuk menghitung present value dari penerimaan dimasa yang Dasar-dasar Keuangan Publik
217 akan datang. Bila suatu proyek menghasilkan penerimaan sebesar Xi per tahun selama beberapa tahun mendatang, maka present value dari seluruh penerimaan tersebut dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: n
Xi i i =1 (1 + i )
PV = ∑
Misalnya, jika suatu proyek menghasilkan penerimaan sebesar X1 pada tahun pertama, dan X2 pada tahun kedua, present value seluruh penerimaan tersebut adalah,
PV =
X1 X2 + 1 (1 + r ) (1 + r ) 2
Pengaruh Tingkat Diskonto terhadap Present Value Mengapa memilih tingkat diskonto yang tepat merupakan hal yang penting? Pertama, karena dalam rangka mengevaluasi manfaat dan biaya secara akurat. Suatu analisis yang sudah menetapkan tingkat diskonto secara tepat namun salah dalam mengkalkulasi manfaat dan biayanya maka akan menghasilkan informasi yang menyesatkan. Seluruh tahap dalam menganalisis manfaat dan biaya adalah sama pentingnya bila hendak menghasilkan informasi yang akurat. Namun demikian, penentuan tingkat diskonto akan berdampak pada peringkat proyek yang diajukan. Tingkat diskonto yang rendah cenderung menguntungkan proyek yang berjangka panjang dibanding proyek yang berjangka lebih pendek. Berikut ini disajikan ilustrasi pengaruh tingkat diskonto yang berbeda dalam memilih suatu proyek. Diasumsikan ada 2 alternatif proyek, yang akan dipilih salah satunya untuk dilaksanakan. Proyek A menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp. 90 pada saat itu juga. Proyek B menghasilkan Rp. 0 pada tahun pertama dan Rp. 100 pada tahun kedua. Pada tingkat tingkat diskonto 0 %, 5 %, dan 10 %, present value dari dua proyek tersebut adalah sebagai berikut. Tingkat Diskonto
Tabel 21.1: Tingkat Diskonto dan Peringkat Proyek Present value Present Value Proyek A Proyek B
0%
Rp. 90
5%
Rp. 90
10%
Rp. 90
Rp.100 = Rp.100 (1 + 0) 2 Rp.100 = Rp.90,7 (1 + 0,05)2 Rp.100 = Rp.82,6 (1 + 0,1)2
Dasar-dasar Keuangan Publik
218 Present value Proyek A selalu Rp. 90 karena langsung menghasilkan manfaat di awal proyek. Present value Proyek B bervariasi tergantung pada tingkat diskontonya. Pada Tabel 8.1 terlihat bahwa present value Proyek B lebih besar daripada present value Proyek A pada tingkat diskonto 0 % dan 5 %. Namun pada tingkat diskonto 10 %, Proyek A lebih menguntungkan dibanding Proyek B. Secara umum, semakin besar tingkat diskonto yang digunakan, semakin kecil nilai manfaat yang diterima dimasa yang akan datang. Alasan kedua perlunya ditentukan tingkat diskonto secara akurat adalah semakin besar tingkat diskonto yang digunakan maka akan semakin banyak proyek-proyek pemerintah yang akan ditolak pelaksanaannya. Sejauh ini, tingkat diskonto yang digunakan adalah tingkat suku bunga umum yang dipakai untuk menghitung bunga tabungan dan investasi oleh masyarakat. Tingkat diskonto yang lebih besar dari bunga tabungan berarti opportunity cost belanja pemerintah lebih besar dibanding kepuasan masyarakat yang hilang. Hal ini berarti pemerintah dituntut untuk lebih efisien agar dapat menerapkan tingkat diskonto yang lebih rendah. Suatu proyek yang menghasilkan present value negatif akan dapat menjadi positif bila menggunakan tingkat diskonto yang lebih rendah.
Menentukan Tingkat diskonto Sosial (Social Rate of Discount) Tingkat diskonto sosial mencerminkan tingkat return yang dapat dihasilkan dari suatu dana jika dikelola pada sektor swasta atau masyarakat. Tingkat diskonto sosial merupakan opportunity cost dari dana tersebut bila digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah. Agar tidak timbul pemborosan, dana tersebut tidak boleh digunakan oleh pemerintah jika ternyata alternatif penggunaannya di sektor swasta menghasilkan manfaat sosial yang lebih tinggi. Penggunaan tingkat diskonto sosial sebagai tingkat diskonto dalam menganalisis suatu proyek adalah untuk meyakinkan bahwa tidak terjadi salah kalkulasi dalam menganalisis manfaat dan biaya proyek. Tingkat diskonto sosial merupakan tingkat suku bunga dimana baik penabung maupun investor rela melepaskan dananya guna membiayai kegiatan atau proyek pemerintah. Sebagai contoh, jika suku bunga tabungan adalah sebesar 10 persen, maka proyek pemerintah harus dapat menghasilkan manfaat yang sama atau lebih besar dari 10 persen agar ada aliran dana dari sektor swasta ke sektor publik. Tingkat return yang diharapkan oleh penabung dan investor tidak selalu sama karena adanya distorsi dalam perekonomian (misalnya pajak). Sebagai contoh, jika perusahaan dikenakan pajak penghasilan sebesar 50 persen, maka keuntungan bersih perusahaan dari hasil investasinya hanya setengah dari keuntungan aktual yang diperoleh. Bila dalam investasinya tersebut perusahaan harus membayar bunga sebesar 10 persen atas dana yang dipinjamnya, maka dana tersebut harus dapat menghasilkan keuntungan lebih dari 20 persen supaya dapat menutup biaya bunga, pajak, beserta keuntungan yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 21.1
Dasar-dasar Keuangan Publik
219
Gambar 21.1 Pengaruh Pajak terhadap Tingkat Return
S Return (persen)
20 = rg 16
E
E’
i = 10 = rn
D = keuntungan D’ = keuntungan setelah pajak
0
F2
F1
Dana tabungan dan investasi per tahun
Pada Gambar 21.1, kurva D adalah tingkat permintaan dana untuk investasi tanpa dipengaruhi pajak. Setiap titik dalam kurva ini menunjukkan gross return yang diperoleh perusahaan atau investor untuk setiap dana yang diinvestasikannya. Semakin tinggi gross return, semakin sedikit dana yang diminta oleh investor untuk diinvestasikan. Kurva S adalah supply dana yang siap diinvestasikan. Setiap titik dalam kurva S menggambarkan suku bunga yang harus dibayarkan kepada penabung agar mau menyimpan dananya untuk kepentingan investasi. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin banyak dana yang disediakan oleh penabung. Pada kondisi tidak ada pajak, titik keseimbangan pasar akan terjadi pada titik E. Penerimaan kotor (gross return) yang diperoleh perusahaan, rg, akan sama dengan bunga yang dibayarkan kepada penabung, dan dalam contoh ini diumpamakan sebesar 16 persen. Sekarang, diasumsikan investor dikenakan pajak penghasilan sebesar 50 persen sedangkan bunga tabungan tetap tidak dikenakan pajak. Dampak pengenaan pajak penghasilan ini adalah penerimaan bersih investor turun hingga setengahnya. Pada Tabel 8.2. hal ini digambarkan oleh pergeseran kurva D ke D’. Akibat turunnya dana yang diinvestasikan dari F1 ke F2 per tahun, gross return yang dikehendaki investor naik menjadi 20 persen (rg) karena harus membayar pajak. Gross return sebesar 20 persen ini hanya akan menghasilkan penghasilan neto sebesar 10 persen (rn). Titik keseimbangan yang baru sekarang terletak di E’. Jika dana sebesar F2 ini hendak diinvestasikan ke proyek pemerintah, maka
Dasar-dasar Keuangan Publik
220 tingkat diskonto yang digunakan adalah 20 persen. Namun, bila dana tersebut digunakan untuk konsumsi, opportunity cost nya hanya 10 persen. Hal lain yang dapat mempengaruhi tingkat diskonto selain pajak adalah tingkat risiko. Dalam contoh diatas, jika faktor risiko tidak diperhitungkan maka titik keseimbangan pasar akan terletak pada rate sebesar 10 persen. Jika memasukkan faktor risiko dan inflasi dalam menghitung penghasilan neto, maka investor akan menginginkan gross return yang lebih tinggi lagi, dalam contoh diatas bisa lebih tinggi dari 20 persen. Semakin tinggi faktor risiko suatu proyek, semakin tinggi pula gross return yang diharapkan dari proyek tersebut.
Pengaruh Inflasi Inflasi dapat menjadi masalah dalam analisis manfaat dan biaya karena ia mempengarungi net present value dari manfaat bersih suatu proyek. Ada dua alternatif cara untuk mengatasi masalah inflasi ini. Pertama, manfaat dan biaya suatu proyek diperhitungkan dahulu, kemudian tingkat inflasinya disesuaikan. Dan, NPV manfaat dan biaya yang sudah memasukkan unsur inflasi tersebut didiskonto dengan menggunakan nilai nominal tingkat bunga. Nominal tingkat bunga adalah tingkat bunga murni ditambah dengan tingkat inflasi. Kedua, bila manfaat dan biaya dihitung tanpa memperhitungkan inflasi, maka NPV nya dihitung dengan menggunakan tingkat suku bunga murni saja (yaitu nominal interest rate setelah dikurangi tingkat inflasi). Contoh: Ada 2 proyek yang diajukan, A dan B, yang mempunyai jangka waktu selama 1 dan 2 tahun. Manfaat bersih (net benefit) kedua proyek tersebut adalah sebagai berikut. Tahun 0 1 2
Net Benefit Proyek A - 1.000.000 1.500.000 -
Net Benefit Proyek B - 1.000.000 500.000 1.000.000
Tingkat Inflasi pertahun adalah 5%. Nominal Tingkat Bunga adalah 15% Bila menggunakan cara pertama, kita perhitungkan dahulu pengaruh tingkat inflasi terhadap net benefit yang diterima pada tahun ke-1 dan ke-2. Hasil dari penyesuaian terhadap inflasi adalah sebagai berikut Tahun 0 1 2
Net Benefit Proyek A - 1.000.000 1.575.000
Net Benefit Proyek B - 1.000.000 525.000 1.102.500
Dasar-dasar Keuangan Publik
221 Setelah itu, NPV proyek A dan B dihitung dengan menggunakan nominal tingkat bunga sebagai tingkat diskonto nya. Perhitungannya adalah sebagai berikut:
− 1.000.000 1.575.000 + = 369.565 (1 + 15%)0 (1 + 15%)1 − 1.000.000 525.000 1.102.500 NPV ( B) = + + = 290.170 (1 + 15%)0 (1 + 15%)1 (1 + 15%)2 NPV ( A) =
Bila menggunakan cara kedua, NPV proyek A dan B dihitung dengan menggunakan tingkat suku bunga murni sebagai tingkat diskonto nya. Tingkat suku bunga murni pada contoh ini adalah 10% (15% - 5%). Maka, perhitungan dengan cara kedua akan menghasilkan NPV sebagai berikut:
− 1.000.000 1.500.000 + = 363.636 (1 + 10%)0 (1 + 10%)1 − 1.000.000 500.000 1.000.000 NPV ( B) = + + = 280.991 (1 + 10%)0 (1 + 10%)1 (1 + 10%)2 NPV ( A) =
Perhitungan dengan cara pertama maupun kedua menghasilkan NPV yang hampir sama dan keputusan yang diambil pun sama, yaitu memilih melaksanakan Proyek A karena ia menghasilkan NPV manfaat bersih yang paling besar.
Menentukan Peringkat Proyek Jika ada beberapa proyek yang diajukan, maka biasanya mereka akan diurut sesuai dengan besarnya NPV manfaat bersih yang dihasilkan oleh masingmasing proyek tersebut. Ada tiga kriteria dalam menentukan peringkat proyek, yaitu: 1. Net Benefit Criterion (Net Present Value) Dengan kriteria ini, proyek yang menghasilkan manfaat bersih positif akan dipertimbangkan untuk dilaksanakan. Rumus yang digunakan untuk menghitung Net Benefit Criterion adalah
( Bi − Ci ) i i =1 (1 + r ) n
Net _ Benefit _ Criterion :B − C = ∑ dimana: Bi = manfaat tahun ke-i Ci = biaya tahun ke-I r = tingkat diskonto
Jika ada beberapa proyek yang menghasilkan manfaat bersih positif, maka proyek yang dipilih adalah proyek yang menghasilkan manfaat bersih yang paling besar. 2.
Benefit-Cost ratio
Dasar-dasar Keuangan Publik
222 Benefit-Cost ratio merupakan modifikasi dari Net Benefit Criterion. Rumus yang digunakan untuk menghitung adalah n
∑ B (1 + r )
i
∑ C (1 + r )
i
i
B Benefit − Cost _ Ratio : = C
i =1 n
i
i =1
dimana: Bi = manfaat tahun ke-i Ci = biaya tahun ke-I r = tingkat diskonto Pada kriteria Benefit-Cost Ratio, proyek yang dipilih adalah yang menghasilkan rasio lebih dari 1 (satu). Bila ada beberapa proyek menghasilkan rasio diatas 1, maka yang dipilih adalah proyek dengan rasio paling besar. Contoh: Anggota DPRD suatu daerah sedang mempertimbangkan usulan pemda setempat untuk mengucurkan dana guna membiayai proyek pemanfaatan lahan kosong. Ada dua usulan yang diajukan yaitu Proyek A dan Proyek B. Proyeksi penerimaan dan pengeluaran dari masing-masing proyek tersebut adalah sebagai berikut. Arus Penerimaan dan Pengeluaran Proyek (dalam ribuan rupiah) Proyek A Proyek B Tahun Penerimaan Pengeluaran Net Benefit Penerimaan Pengeluaran Net Benefit 0 100,000 0 (100,000) 0 200,000 (200,000) 50,000 250,000 1 (200,000) 0 200,000 (200,000) 1,000,000 250,000 2 750,000 1,550,000 200,000 1,350,000 1,000,000 250,000 3 750,000 1,550,000 200,000 1,350,000 2,000,000 100,000 4 1,900,000 1,550,000 200,000 1,350,000 2,000,000 100,000 5 1,900,000 1,550,000 200,000 1,350,000 Bila tingkat suku bunga yang berlaku adalah 5% per tahun, peringkat proyek tersebut dapat ditentukan sebagai berikut. Analisis masing-masing proyek adalah sebagai berikut: Proyek A Net Benefit Criterion:
NBC =
(100.000) (200.000) 750.000 750.000 1.900.000 1.900.000 + + + + + 0 1 2 (1 + 5%) (1 + 5%) (1 + 5%) (1 + 5%)3 (1 + 5%)4 (1 + 5%)5
= 6.119.490
Dasar-dasar Keuangan Publik
223 Benefit-Cost Ratio:
+ 50.000 + ... + 1.900.000 (1,05)0 (1,05)1 (1,05)5 B / C _ Ratio = 100.000 + 250.000 + ... + 100.000 (1,05)0 (1,05)1 (1,05)5 7.296.200 = = 6,2 1.176.710 0
Proyek B Net Benefit Criterion:
NBC =
(200.000) (200.000) 1.350.000 1.350.000 1.350.000 1.350.000 + + + + + (1 + 5%)0 (1 + 5%)1 (1 + 5%)2 (1 + 5%)3 (1 + 5%)4 (1 + 5%)5
= 6.005.082 Benefit-Cost Ratio:
+ 0 + ... + 1.550.000 (1,05)0 (1,05)1 (1,05)5 B / C _ Ratio = 200.000 + 200.000 + ... + 200.000 (1,05)0 (1,05)1 (1,05)5 7.365.464 = = 5,414 1.360.382 0
Berdasarkan analisis Net Benefit Criterion dan Benefit-Cost Ratio, Proyek A memiliki peringkat diatas Proyek B, sehingga DPRD sebaiknya memilih Proyek A untuk dilaksanakan. 3. Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return adalah tingkat suku bunga pada posisi apabila selisih antara present value manfaat dan present value biaya sama dengan nol (PV manfaat – PV biaya = 0). Dengan kata lain, tingkat suku bunga pada kondisi proyek tersebut mencapai titik impas. Rumus untuk mencari IRR adalah sebagai berikut: n
IRR = ∑ i =1
( Bi − C i ) =0 (1 + r ) i
IRR adalah tingkat suku bunga ( r ) yang diperlukan untuk menghasilkan NPV = 0. Bila IRR lebih besar dari tingkat suku bunga pasar maka proyek layak dilaksanakan, dan bila IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga pasar maka proyek tersebut tidak layak dilaksanakan. Jika ada dua atau lebih proyek yang memiliki IRR diatas suku bunga pasar, maka proyek dengan IRR yang tertinggilah yang akan dilaksanakan. Ketiga metode analisis tersebut di atas hanya merupakan salah satu ukuran untuk dapat menolak atau menerima pelaksanaan proyek. Di negara berkembang seperti di Indonesia, pemilihan proyek tidak hanya diukur dari manfaat dan biaya semata,
Dasar-dasar Keuangan Publik
224 namun juga harus memperhitungkan faktor-faktor lain yang dapat memberikan kesejahteraan menyeluruh secara nasional, karena tujuan pemilihan proyek adalah memaksimalkan kemakmuran secara keseluruhan dan bukan memaksimalkan keuntungan per proyek saja.
Dasar-dasar Keuangan Publik
225
B A B XXII STRUKTUR BELANJA PUBLIK ab ini berkaitan dengan struktur belanja publik dan permasalahan kebijakan dalam penyusunan program belanja. Pertumbuhan belanja publik sangat erat kaitannya dengan tuntutan kemajuan masyarakat dan dikehendakinya pertimbangan sosial yang diperankan oleh pemerintah dalam menjalankan kebijakannya.
B
Dari studi empiris telah dibuktikan bahwa belanja publik menunjukkan angka yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Belanja publik juga cenderung mengalami kenaikan porsinya, apabila dibandingkan dengan total pendapatan nasional. Kajian-kajian struktur belanja publik perlu mempertimbangkan kondisi objektif ini.
Faktor-Faktor Penyebab Pertumbuhan Dalam memahami faktor penyebab pertumbuhan belanja publik, perlu dibedakan faktor antara belanja barang dan jasa, dan belanja transfer. Kedua faktor ini mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain. Faktor belanja barang dan jasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi belanja barang dan jasa diantaranya adalah sebagai berikut: Pertumbuhan Pendapatan per Kapita Proporsi antara barang pribadi dan barang publik selalu berubah sesuai dengan kenaikan pendapatan per kapita, dan porsi barang publik selalu menunjukkan peningkatan. Implikasinya adalah bahwa kebijakan anggaran yang efisien menghendaki adanya peningkatan rasio pembelian pemerintah terhadap pendapatan nasional.
Dasar-dasar Keuangan Publik
226 Biasanya, peningkatan per kapita seiring dengan perkembangan perekonomian yang berubah dari negara agraris (yang diasumsikan berpendapatan rendah) menjadi negara industri (yang diasumsikan berpendapatan tinggi). Permintaan barang publik akan semakin meningkat dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Ernst Engel seperti dikutip oleh Musgrave mengatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pengeluaran untuk barang-barang tertentu. Selama pendapatan rata-rata meningkat, maka pola konsumsi bagi perekonomian diharapkan akan meningkat pula. Untuk barang publik, kecenderungan seperti diatas mempunyai dua kemungkinan. Barang publik yang merupakan kebutuhan dasar (bukan kemewahan) - seperti keamanan, pendidikan dasar dan sanitasi - mengalami kecenderungan menurun. Sedangkan kebutuhan lainnya, seperti pendidikan tinggi dan pelayanan kesehatan, akan mengalami kecenderungan yang semakin meningkat, bila pendapatan meningkat. Ditambah, barang-barang pelayanan umum yang merupakan barang mewah, seperti penyelidikan angkasa luar dan pangkalan perahu, terdapat kecenderungan yang meningkat. Pengamatan bisa dilakukan juga pada belanja publik dalam penyediaan barang modal. Pada tahap awal, pembangunan ekonomi menimbulkan kebutuhan khusus terhadap barang modal, seperti jalan, pelabuhan dan instalasi listrik. Barang modal tersebut mempunyai manfaat yang bersifat eksternal, dimana belanja modal diperlukan dalam jumlah yang besar yang memerlukan pengembalian jangka panjang, sehingga tidak mudah dilakukan oleh pihak swasta. Kebutuhan akan barang modal ini harus lebih besar pada awal pembangunan ekonomi, dan peran pemerintah akan semakin menurun dalam pengadaan barang modal, apabila sektor swasta telah terbuka kesempatannya menanamkan modal dalam pengembangan industri. Pola pertumbuhan belanja publik untuk penyediaan barang modal kelihatannya terbalik, tetapi pengembangan industri akan menimbulkan akibat sampingan, seperti polusi dan kemacetan kota, yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan investasi pemerintah. Akhirnya, investasi dalam sumber daya manusia dan biaya pendidikan akan mengalami peningkatan selama pendapatan meningkat seiring dengan laju pembangunan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak dapat diestimasikan secara tepat kecenderungan yang akan terjadi pada belanja publik untuk barang konsumsi dan barang modal yang diakibatkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Kadang kecenderungannya meningkat, dan kadang menurun. Perubahan Teknologi Perubahan teknologi mempunyai pengaruh penting dalam pertumbuhan porsi belanja publik. Jika teknologi berubah, maka proses produksi juga berubah. Perubahan teknologi dapat meningkatkan atau menurunkan kepentingan penyediaan barang publik yang mempunyai manfaat eskternal besar sehingga harus disediakan oleh pemerintah.
Dasar-dasar Keuangan Publik
227
Sebagai contoh, penemuan mesin pembakaran mengakibatkan berkembangnya industri mobil. Dengan meningkatnya industri mobil, permintaan jalan raya bergerak sangat cepat, sehingga belanja sektor publik meningkat dibandingkan masa kereta kuda dan mesin uap yang digunakan untuk kereta api. Contoh lain adalah perubahan teknologi persenjataan yang mengakibatkan meningkatnya pengeluaran militer. Perubahan teknologi juga mempercepat barang menjadi usang, sehingga biaya penggantian akan meningkat. Perubahan teknologi di masa datang yang menyebabkan membengkaknya anggaran pemerintah adalah bidang teknologi angkasa luar merupakan faktor penting dalam porsi pengeluaran negara, kecuali terbukti teknologi angkasa luar menjadi barang pribadi. Perubahan Populasi Perubahan populasi terutama akan meningkatkan belanja pendidikan dan kesehatan, karena terjadi perubahan komposisi umur. Kebutuhan pendidikan juga akan mendorong peningkatan permintaan perumahan, dan penyediaan jaminan hari tua. Peningkatan populasi yang disertai dengan mobilitas populasi juga mendorong pertumbuhan kota baru yang tentunya menyebabkan kebutuhan peningkatan pelayanan umum, yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan anggaran. Biaya Relatif Selain perubahan-perubahan kuantitas seperti diuraikan diatas, tak kalah pentingnya adanya pengaruh perubahan biaya jasa publik terhadap pengeluaran publik. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya inflasi harga faktor produksi yang dibeli pemerintah lebih cepat dibanding dengan rasio deflasi dalam pendapatan nasional. Menurut Musgrave, perbedaan respon terhadap inflasi bukanlah merupakan faktor utama. Dalam jangka panjang, sifat penyediaan barang dan jasa publik yang dapat mengubah komponen pendapatan nasional menjadi kurang apabila dibandingkan dengan perubahan teknologi. Meski pun biaya jasa publik menjadi lebih mahal, bukan berarti porsi belanja publik dalam pendapatan nasional harus meningkat. Sebuah barang publik dapat disubstitusi dengan barang pribadi, karena sifatnya yang elastis, kecuali bila permintaan barang publik bersifat inelastis, maka bisa diestimasikan bahwa porsi belanja publik akan meningkat. Urbanisasi Proses urbanisasi dapat menimbulkan permasalahan bagi pemerintah. Sebagai contoh, kemacetan di perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan infrastruktur dan pelayanan umum. Hal ini mendorong meningkatnya kebutuhan barang-barang yang perlu disediakan oleh pemerintah. Faktor Pengeluaran dari Transfer Porsi Pendapatan. Sejak tahun 1930-an, porsi belanja keperluan sosial dalam pendapatan nasional meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan transfer. Contohnya adalah Dasar-dasar Keuangan Publik
228 peningkatan asuransi hari tua. Program ini lebih merupakan alat untuk menyediakan jaminan hari tua dengan dasar pembiayaan swadaya. Sistem ini ditujukan untuk menyeimbangkan besarnya distribusi pendapatan melalui transfer dari anggaran pengeluaran ke program pembelian pemerintah yang ditujukan bagi penyediaan barang dan jasa untuk kelompok berpenghasilan rendah. Tindakan pendistribusian kembali pendapatan tersebut dapat dipengaruhi dari dua arah. Pertama, jika terdapat ketimpangan pendapatan oleh karena peningkatan pendapatan per kapita, penyesuaian atau perbaikan atas ketimpangan tersebut yang perlu dilakukan. Sehingga, perubahan hanya terjadi pada tingkat yang tidak signifikan atau distribusi pendapatan tetap stabil, dan hanya sedikit mengarah pada pemerataan. Kedua, jika tujuan pendistribusian kembali pendapatan adalah untuk menyesuaikan pendapatan keluarga, peningkatan pendapatan rata-rata tidak mengubah kebutuhan untuk mendistribusikan kembali pendapatan. Kecuali, jika tujuannya untuk mencapai tingkat minimum pendapatan, kebutuhan untuk pendistibusikan kembali pendapatan akan menurun jika pendapatan rata-rata meningkat. Tingkat pendapatan minimum ditentukan dalam pengertian rata-rata, sehingga ruang lingkup pendistribusian kembali – yaitu transfer pendapatan sebagai suatu prosentase dari pendapatan nasional – akan tetap konstan. Adanya perubahan ruang lingkup redistribusi pendapatan dapat timbul akibat faktor-faktor demografi. Apabila terjadi penurunan pertumbuhan populasi dalam bentuk meningkatnya penduduk yang lanjut usia, diperlukan peningkatan penyediaan kebutuhan penduduk berusia lanjut. Namun demikian, perubahan tersebut diikuti dengan pergeseran rasio penduduk pensiun ke usia kerja, sehingga memerlukan peningkatan dalam rasio pengeluaran publik untuk penduduk usia lanjut terhadap pendapatan nasional. Penjelasan ini perlu dihubungkan dengan perubahan sosial dan politik, apakah ada tekanan politis untuk mendistribusikan pendapatan kembali atau tidak. Efisiensi dan Keadilan dalam Belanja Publik Prinsip pareto optimum mengatakan bahwa proyek dikatakan efisien jika memberi manfaat paling tidak kepada satu orang dan tidak merugikan orang lain. Secara teoritis, tingkat efisien semacam itu dapat dicapai. Akan tetapi dalam kenyataannya, proyek semacam itu sangat sulit dicapai, sehingga diusulkan agar konsep efisiensi diperlunak. Misalkan suatu jalan akan dibangun dengan biaya $150,000 yang akan dibebankan dari general fund, sehingga A, B, dan C harus membiayai masing-masing senilai $50,000. Manfaat yang akan diperoleh A dan B masing-masing $70,000 dan C adalah $40,000, sehingga manfaat agregat adalah $180,000. Karena nilai manfaat lebih besar dari biayanya, maka dikatakan bahwa proyek tersebut layak dibangun, meski pun C mengalami kerugian. Pada kasus ini, prinsip Pareto Optimum dilanggar. Namun demikian, dengan memperlunak konsep, efisiensi proyek tetap ada apabila orang-orang yang diuntungkan (A dan B) dapat menutupi kerugian
Dasar-dasar Keuangan Publik
229 pihak lain ( C ) dan dipandang masih lebih baik dibandingkan dengan tidak ada proyek. Berdasarkan kriteria ini, jumlah agregat manfaat bersih senilai $30,000 dapat disahkan dan proyek dikatakan efisien. Tetapi dalam kenyataan, pihak C tidak menerima manfaat dan kerugiannya belum tentu akan diganti. Perlu diadakan persyaratan tambahan agar proyek tetap dikatakan efisien yaitu bahwa penggantian kerugian harus benar-benar dilaksanakan, dalam bentuk transfer dari A dan B kepada C. Efisiensi proyek tergantung pada bagaimana mendefinisikan efisiensi tersebut. Cara yang lebih tepat adalah dengan mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun mengalami kerugian bersih dan kondisi ini menghasilkan proyek yang efisien menurut prinsip Pareto optimum. Problem utamanya adalah bahwa preferensi seseorang tidak mudah untuk diungkapkan dan mungkin saja proyek tersebut tidak efisien. Aspek Keadilan Dalam meninjau aspek keadilan dalam belanja publik, pertimbangan mengenai distribusi dan fungsi obyektif dapat dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan proyek. Petimbangan distribusi dimulai dengan penentuan apakah apakah bobot distribusi dapat digunakan dalam menilai besarnya manfaat dan biaya. Yang pertama, dimisalkan ada dua buah proyek yang dipertimbangkan, dimana kedua proyek mempunyai biaya dan tingkat penggunaan yang sama, sementara dana terbatas untuk satu proyek, sehingga salah satu harus dikorbankan. Proyek I, dimisalkan, berupa penyediaan taman bermain di lingkungan masyarakat berpenghasilan tinggi dan Proyek II, dimisalkan, berupa penyediaan taman serupa untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Permasalahan timbul dalam menyusun peringkat manfaat kedua proyek tersebut. Apabila nilai nominal proyek yang dijadikan dasar pertimbangan, masyarakat berpenghasilan tinggi akan menerapkan nilai yang lebih tinggi dibanding masyarakat berpenghasilan rendah, karena mereka mampu membayar lebih tinggi dan proyek I dianggap lebih layak. Tetapi, pertimbangan sosial dapat menyimpulkan sebaliknya. Setiap rupiah yang dibelanjakan oleh masyarakat miskin dapat dinilai lebih tinggi, sehingga proyek II akan dipandang lebih layak. Jika kondisi yang berlaku adalah distribusi optimal, penilaian proyek yang didasarkan pada permintaan konsumen juga akan optimal dipandang dari segi sosial. Akan tetapi, jika distribusi yang berlaku tidak optimal, evaluasi sosial yang tercermin dari kesejahteraan sosial akan menyimpang dari evaluasi swasta dan proyek II akan dipandang lebih layak. Hal ini menunjukkan kecocokan dengan konsep efisiensi yang lebih luas. Kondisi yang sama juga muncul jika ada dua proyek yang menghasilkan jasa yang sama, tetapi dengan biaya yang berbeda. Dimisalkan akan dibangun sebuah kapal laut. Alternatif I akan memilih lokasi konstruksi di daerah yang upahnya tinggi, sementara alternatif II memilih lokasi yang tingkat upahnya
Dasar-dasar Keuangan Publik
230 rendah. Misalkan juga biaya modal, bahan baku dan transportasi di lokasi I lebih rendah, sehingga total biaya di lokasi I akan lebih rendah. Tanpa mempertimbangkan aspek distribusi, lokasi I dianggap lebih layak, karena nilai manfaat bersih lebih tinggi. Tetapi, bila bobot distribusi pendapatan diperhitungkan, proyek II akan lebih diutamakan, karena memberikan manfaat kepada mereka yang berpenghasilan rendah. Dapat disimpulkan bahwa, jika distribusi pendapatan tidak optimal, penggunaan bobot distribusi dalam perhitungan biaya-manfaat dapat digunakan sebagai alat pengoreksi aspek distribusi. Fungsi obyektif dapat digunakan sebagai alat untuk menghitung pembobotan dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan sosial. Bobot ditentukan dari kejadian yang ditunjukkan oleh perilaku di masa lalu. Atau bobot dapat diperoleh dari analisis pajak penghasilan, berdasarkan asumsi bahwa dalam menerapkan tarip pajak, pemerintah bermaksud mendistribusikan beban pajak sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prinsip pengorbanan yang sama. Risiko Perubahan Perekonomian Perencanaan proyek berlangsung dalam ketidakpastian dan risiko ketidakpastian manfaat di masa akan datang akan mengurangi nilai sekarang dan harus diperhitungkan dalam perencanaan pengeluaran investasi pemerintah. Hasil yang berisiko dapat diestimasikan dengan cara pembobotan berbagai hasil berdasarkan angka probabilitasnya, dimana jumlah probabilitas adalah sama dengan satu. Penjumlahan hasil tertimbang ini kemudian akan digunakan dalam analisis nilai manfaat yang diharapkan. Risiko perubahan perekonomian mempunyai implikasi perlunya pendiskontoan atas manfaat maupun biaya, karena adanya dimensi waktu. Evaluasi proyek jangka panjang perlu mempertimbangkan dinamika perkembangan perekonomian yang berkaitan dengan harga relatif dan pengaruh distorsi harga. Akibatnya, analisis manfaat biaya harus dibuat dalam berbagai alternatif saat dimulainya proyek. Pengaruh penundaan satu tahun akan menyebabkan perubahan nilai sekarang atas perhitungan neto manfaat dan biaya.
Klasifikasi Belanja Publik. Kalsifikasi belanja publik dapat dikategorikan berdasar berbagai macam kriteria. Salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengklasifikasikan belanja pemerintah adalah seperti diuraikan dalam Government Finance Statistics Manual. Klasifikasi belanja menurut fungsi pemerintah adalah sebagai berikut: 1.
Belanja jasa publik umum. Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah belanja operasi untuk organisasi eksekutif dan legislatif, belanja untuk jasa-jasa umum, belanja riset dasar, belanja transaksi hutang, dan belanja administrasi transfer antar unit pemerintah. 2. Belanja Pertahanan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
231
3.
4.
5. 6.
7. 8.
9. 10.
Belanja-belanja dalam kategori ini antara lain adalah belanja pertahanan militer dan sipil, bantuan militer untuk asing, riset pertahanan dan sebagainya. Belanja perlindungan umum. Belanja dalam kategori ini dibedakan dengan belanja pertahanan, dan dianatara contohnya adalah belanja jasa kepolisian, jasa pemadam kebakaran, jasa pengadilan, jasa rumah tahanan dan penjara, dan juga riset untuk perlindungan publik. Belanja urusan ekonomi Belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja urusan ketenagakerjaan, belanja komersial dan ekonomi, belanja kehutanan dan pertanian, belanja energi dan bahan bakar, pertambangan, transportasi, komunikasi dan belanja untuk perindustrian lainnya, termasuk risetnya. Belanja perlindungan lingkungan. Belanja yang termasuk disini diantaranya adalah belanja pengelolaan limbah dan polusi, proteksi keragaman hewani maupun tata kota. Belanja perumahan dan public utilities. Belanja dalam kategori ini diantaranya adalah pengembangan perumahan dan pemukiman, sistem penyediaan air bersih, belanja penerangan jalan, dan pekerjaan-pekerjaan umum lainnya. Belanja kesehatan. Belanja kesehatan meliputi perlengkapan dan peralatan kesehatan, jasa kepada pasien, jasa rumah sakit umum, dan risetnya. Belanja rekreasi, budaya dan agama. Diantara belanja yang termasuk dalam kategori ini adalah belanja jasa olahraga dan rekreasi, belanja jasa kebudayaan, jasa penyiaran, jasa urusan keagamaan dan komunitas, dan lain-lain. Belanja Pendidikan. Pendidikan mencakup belanja pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, termasuk belanja pendukung pendidikan lainnya. Belanja perlindungan sosial. Belanja-belanja yang termasuk dalam kategori ini diantaranya belanja perlindungan terhadap manusia lanjut usia (manula), belanja perlindungan anak dan keluarga, belanja untuk mengatasi pengangguran, dan belanja sosial lainnya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
232
B A B XXIII KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK SEKTOR-SEKTOR UMUM
D
alam bab ini akan dibahas lebih rinci berbagai jenis belanja serta masalahmasalah yang ditimbulkannya. Pembahasan akan dimulai dari jenis belanja pertahanan nasional, pembangunan jalan raya, belanja pendidikan dan perlindungan lingkungan berupa pembangunan taman rekreasi.
Perlunya Analisis Sektor Banyak pendapat tentang pengelompokan pengeluaran publik kepada sektor, akan tetapi sektor-sektor yang dibahas disini didasarkan pada klasifikasi Bank Dunia, dengan melihat pengalaman-pengalaman empiris di berbagai negara. Sehingga, pendekatan pengelompokan sektor diasumsikan mengacu pada laporan-laporan Bank Dunia, untuk lebih fokus pada pembahasan materi. Tujuan analisis sektor menyangkut beberapa tujuan: 1. Membantu pertimbangan strategis dan kebijakan untuk seluruh perekonomian. 2. Memungkinkan penilaian strategis dan kebijakan pembangunan sektor yang mendorong kontribusi sektor terhadap pembangunan ekonomi negara. 3. Menentukan prioritas investasi dalam rangka identifikasi proyekproyek khusus lain dan studi pra investasi tambahan yang diperlukan. 4. Mengevaluasi kapasitas lembaga-lembaga tiap sektor dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik. Analisis sektor diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang pilihan, prioritas, dan hubungan antar sektor diantara proyek dan program yang dilaksanakan pemerintah. Perencanaan yang berhasil memerlukan penerjemahan tujuan dan kebijakan sektor kedalam kebutuhan sektor dan subsektor secara individual dan juga kedalam rincian yang lebih detail pada proyek-proyek
Dasar-dasar Keuangan Publik
233 tertentu. Dengan demikian, tujuan analisis sektor adalah untuk menjembatani kesenjangan antara kebijakan ekonomi makro tingkat nasional, program-program investasi dan kebijakan ekonomi mikro dari proyek individu. sektor.
Ada beberapa cara atau metode yang dapat digunakan dalam analisis 1.
2.
3.
Melengkapi cakupan ekonomi makro dengan menganalisis pengaruh terhadap sektor, sub sektor dan proyek, variabel-variabel kebijakan umum seperti nilai tukar, struktur pajak, kebijakan upah dan tingkat bunga. Analisis sektor memberikan perkiraan potensi hasil, lapangan kerja, dan kebutuhan investasi untuk sektor secara keseluruhan sebagai masukan bagi keputusan badan perencana mengenai program dan prioritas investasi nasional. Analisis sektor membantu menjamin bahwa proyek-proyek individu terpilih didasarkan pada perencanaan dasar kebutuhan dan prioritas sektor, dan perubahan kebijakan dan kelembagaan perlu berprestasi baik pada tingkat proyek atau tingkat ekonomi mikro.
Pertahanan Nasional. Di Amerika Serikat, selama tahun 80-an, belanja pertahanan nasional merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan anggaran, meskipun akhirnya dilampaui oleh pertumbuhan program sosial. Dalam dekade tersebut, belanja pertahanan menjadi faktor utama anggaran pemerintah dalam pembelian barang dan jasa dari swasta. Belanja pertahanan dibagi menjadi belanja personil, operasi dan pemeliharaan, pembelian barang dan jasa, penelitian dan pengembangan. Masalah utama dalam belanja pertahanan. Masyarakat tidak dapat menyediakan sendiri keamanan bagi dirinya dan proteksi yang diberikan haruslah secara kolektif, sehingga contoh penyediaan jasa pertahanan menjadi contoh klasik yang dapat dibahas. Belanja pertahanan selain menghadapi masalah yang kompleks dalam perencanaan, juga melibatkan masalah-masalah kebijakan luar negeri, seperti kesediaan untuk menerima risiko konflik militer. Suatu kebijakan pertahanan dapat dipandang sebagai kebijakan subyektif. Alasannya, seseorang dapat saja memandang kebijakan tersebut defensif, tapi orang lain dapat berpandangan bahwa kebijakan tersebut ofensif. Keputusan politik memegang peranan angat penting dalam menentukan pola kebijakan pertahanan ini, meski pun menjadi kebijakan yang sulit diperkirakan. Masalah lainnya adalah menyangkut keseimbangan antara angkatan darat, laut, udara dan marinir, dan pemilihan sistem persenjataan tertentu. Yang paling penting, perencanaan pertahanan nasional harus menemukan keseimbangan antara senjata konvensional dan modern, ruang lingkup nasional, regional atau internasional. Terakhir, masalah kekuatan militer tidak hanya meningkatkan akibat pengrusakan, tetapi juga bisa mencegah konflik yang juga menimbulkan pengrusakan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
234 Efektifitas biaya modernisasi kekuatan strategis. Kebutuhan pertahanan nasional dan berbagai masalahnya memerlukan perancangan yang kesemuanya harus dipenuhi dengan seefisien mungkin. Perdebatan yang muncul di Amerika Serikat tentang sistem persenjataan adalah apakah harus memodernisasi kekuatan strategis ataukah harus membangun kekuatan strategis baru. Kelayakan proyek-proyek militer, mulai land-based missiles, submarine-based missiles, maupun Administrations Strategic Defensive Initiative (sering disebut perang bintang), sampai sekarang masih dipertentangkan oleh para ilmuwan, mengingat risikonya yang sangat tinggi. Dengan melihat anggaran pertahanan Amerika Serikat saat ini, sangat sulit memperkirakan apakah akan ada pembatasan persenjataan strategis dengan melakukan pemotongan anggaran, mengingat peran Amerika dalam perang melawan terorisme sangat besar bahkan menjadi sponsor bagi program internasional ini. Dampak terhadap industri Karena pertahanan merupakan kontributor utama dalam defisit anggaran pemerintah federal AS, dampaknya terhadap perkenomian negara layak dilakukan pembahasan. Dampak pertama terjadi pada besarnya pengeluaran untuk pengadaan struktur industri serta pertumbuhan produktivitas dalam bidang peralatan pertahanan. Terdapat pergeseran dari permintaan swasta untuk barang konsumsi dan perumahan kepada pembelian pemerintah untuk sektor pertahanan. Industri pertahanan mencakup sektor manufaktur, seperti aerospace, pabrik pembuatan kapal laut, dan pabrik persenjataan elektronik. Di lain pihak, sektor ini secara nyata juga mendukung kesempatan kerja di sektor swasta. Dampak terhadap pertumbuhan produktivitas. Program riset dan pengembangan yang dilakukan untuk kepentingan pertahanan nasional berpengaruh besar terhadap perkembangan teknologi dan pertumbuhan produktivitas. Dari satu pihak, produktivitas yang ditimbulkan oleh sektor pertahanan akan dialihkan ke sektor swasta - seperti komputer - namun di lain pihak, terserapnya bakat ilmiah oleh industri pertahanan akan menyebabkan industri swasta tersebut ke arah penurunan. Bukti empiris menunjukkan bahwa negara dengan prosentase belanja pertahanan terhadap pendapatan nasionalnya kecil, misalnya Jerman dan Jepang, ternyata mengalami pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat dibanding dengan negara dengan prosentase belanja pertahanan yang lebih besar, seperti Amerika Serikat. Pertumbuhan produktivitas jangka panjang akan tergantung pada peningkatan jumlah orang berbakat ilmiah dan kontribusi anggaran dalam peningkatan aktivitas ilmiah tersebut.
Jalan Raya yaitu: 1. 2.
Keunikan sistem jalan raya sebagai barang publik menyangkut tiga hal Kerjasama yang rapi antara pemerintah federal, pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal lainnya. Jalan raya membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.
Dasar-dasar Keuangan Publik
235 3.
Perkiraan pajak yang besar. Kerjasama antar unit pemerintah.
Pengeluaran untuk jalan raya, di Amerika Serikat, paling banyak dilakukan pada tingkat negara bagian, termasuk jalan antar negara bagian. Sebagian yang lain dilakukan oleh pemerintah federal dengan mentransfer hampir seluruh penerimaannya melalui grant kepada tingkat pemerintah dibawahnya dan sebagian besar diterima oleh negara bagian. Sedangkan pemerintah lokal bertanggungjawab terhadap jalan raya di daerahnya. Pembagian kerja dan pembiayaan ini menunjukkan perhatian yang besar dari pemerintah, baik federal, negara bagian, maupun pemerintah lokal lainnya. Pembiayaan melalui pungutan kepada pemakai. Pembangunan jalan raya sebagian besar didanai oleh pemakai jalan. Untuk tingkat federal, penerimaan berasal dari pajak bahan bakar, yaitu penghasilan yang ditransfer dari Highway Trust Fund dalam bentuk grant antar pemerintahan. Pada tingkat negara bagian, penerimaan jalan raya diperoleh dari retribusi dan pajak kendaraan bermotor, yang selanjutnya dipakai untuk membangun jalan negara bagian dan sebagian lainnya ditransfer ke pemerintah lokal dalam bentuk grant. Sedangkan pada tingkat pemerintah lokal, jalan raya dibiayai dari general fund, yang salah satunya berasal dari pajak atas kekayaan yang dimiliki penduduk lokal serta dari pembebanan khusus lainnya. Penerimaan dari tarip tol tidak terlalu siginifikan dibanding dengan sumber pendanaan lainnya.
Pendidikan Anggaran pendidikan, di Amerika Serikat, terutama dibiayai oleh pemerintah lokal dan negara bagian, meskipun pengendalian sistem pendidikan tetap berada di bawah pemerintah lokal. Dana negara bagian yang disalurkan kepada pemerintah lokal dalam bentuk bantuan dan subsidi, terutama untuk mendanai pendidikan tingkat tinggi. Pemerintah federal juga ikut membiayai pembangunan pendidikan, meskipun tidak terlalu besar, karena pendidikan pada dasarnya tetap merupakan jasa publik yang harus disediakan oleh pemerintah. Swasta ikut memberikan andil membiayai pendidikan juga, meskipun kontribusinya tidak sebesar pemerintah.
Masalah-masalah kebijakan pendidikan. Permasalahan yang ada dalam kebijakan pendidikan menyangkut apa yang seharusnya diajarkan di sekolah negeri (kurikulum), bagaimana proses pengajaran berlangsung, siapa yang berhak memperoleh pendidikan, dan apakah sebaiknya pemerintah memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan swasta juga. Negara bagian pada umumnya mempunyai kebebasan yang cukup memadai dalam merancang struktur fiskal masing-masing dan dalam mengendalikan pemerintah lokal yang secara langsung bertanggungjawab dalam penyediaan pendidikan. Hal ini telah mendapat dukungan undang-undang di negara bagian dan telah pula diakui oleh Mahkamah Agung bahwa setiap
Dasar-dasar Keuangan Publik
236 warganegara berhak atas perlakukan yang sama dalam bidang pendidikan. Namun demikian, tidak ada keharusan menurut konstitusi bahwa pendidikan harus sebanding di seluruh negara bagian. Pendidikan dasar dan menengah sebagian besar disediakan oleh pemerintah, melalui sekolah negeri. Pada tingkat ini, timbul perdebatan tentang perlunya monopoli pemerintah atas sekolah pada tingkatan itu. Hasil yang efisien akan dapat diperoleh jika terdapat persaingan yang sehat antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Penganjur pendidikan berpendapat bahwa pendidikan merupakan kepentingan umum sehingga harus disediakan oleh pemerintah, akan tetapi mereka juga setuju bahwa tidaklah berarti bahwa pendidikan harus disediakan oleh sekolah negeri. Konsumen pendidikan mengharapkan pemberian pendidikan yang sama atau paling tidak ada standar minimum. Masalah pokok yang juga timbul adalah berkaitan dengan tingkat pendidikan. Persaingan yang dapat dilakukan oleh sekolah-sekolah swasta perlu didukung dengan kebijakan dalam menjamin persaingan yang sehat oleh pemerintah. Persoalan pendidikan bukanlah hanya persoalan fiskal saja, akan tetapi merupakan persoalan politik.
Fasilitas Rekreasi Pembangunan fasilitas rekreasi memberi manfaat ganda yakni manfaat bagi pemakai, manfaat bagi masyarakat di sekitarnya dan manfaat lain - seperti keindahan alam. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik yang bersifat barang akhir atau barang konsumsi, tidak seperti jalan raya yang bersifat barang antara. Problem utama dalam penyediaan fasilitas rekreasi adalah seberapa besar manfaat barang tersebut dapat dinikmati oleh publik. Pengukuran manfaat atas barang ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengukuran cara pertama dengan menghitung pungutan kepada pemakai. Dengan cara ini, kelayakan proyek dihitung berdasarkan rencana tarip yang akan dibebankan kepada para pengguna yang kemudian dibandingkan dengan biaya proyek. Cara kedua adalah dengan melakukan penghitungan kesediaan membayar para pemakai untuk penyediaan fasilitas rekreasi. Dari penghitungan tersebut, kurva permintaan dapat disimulasikan sehingga dapat dijadikan dasar pengukuran manfaat. Kemudian, ada cara ketiga dengan analogi fasilitas swasta yang menarik iuran dari para anggotanya sebagai dasar penghitungan manfaat. Cara lain adalah dengan penghitungan manfaat yang dapat dilakukan dengan menghitung biaya yang dikeluarkan oleh pemakai dalam melakukan rekreasi keluar rumah. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pembobotan dalam menilai waktu para pemakai fasilitas ini dengan membandingkan efisiensi dari setiap alternatif penggunaan dana. Selain berbagai manfaat diatas, perlu juga dipertimbangkan manfaat dalam bentuk lain dari suatu fasilitas rekreasi. Sebagi contoh, proyek sumber daya Dasar-dasar Keuangan Publik
237 air dapat mempunyai manfaat ganda, selain untuk rekreasi juga dapat digunakan untuk konservasi sumber daya air. Contoh lain adalah sebuah bendungan dapat dinilai manfaatnya sebagai pembangkit tenaga listrik, pengendalian banjir, irigasi, selain ditujukan untuk rekreasi. Analisis pasar dapat digunakan dalam penilaian manfaat atas fasilitas rekreasi, meski pun bukan satu-satunya cara. Fasilitas rekreasi merupakan barang publik sehingga penilaian dan pembobotan sosial atas fasilitas rekreasi harus lebih diutamakan, bukan penilaian seperti yang dilakukan dalam pengadaan fasilitas swasta. Dan, hal ini dapat dianggap sebagai subsidi untuk jenis jasa swasta. Tujuan non finansial tertentu, misalnya keindahan alam dan margasatwa, harus dipertimbangkan, meskipun tidak dapat diukur dengan mudah melalui pengujian pasar.
Dasar-dasar Keuangan Publik
238
B A B XXIV KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK DALAM TUNJANGAN SOSIAL erdapat berbagai macam bentuk tunjangan sosial yang dikelola pemerintah. Contoh yang diuraikan dalam bab ini merupakan contohcontoh tunjangan sosial utama yang umumnya terdapat di negara-negara maju. Sampai seberapa jauh mana tingkat tunjangan diberikan tergantung pada kemampuan finansial masing-masing negara.
T
Tunjangan kepada Penghasilan Rendah Di Amerika Serikat, terdapat sejumlah program tunjangan yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Komponen-komponen utama program tersebut antara lain sebagai berikut: Medicaid. Program ini ditujukan bagi semua orang yang memenuhi kriteria AFDC (Aid to Fammilies with Dependent Children) yang sering disebut sebagai program kesejahteraan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain adalah orang yang mempunyai pendapatan terbatas menurut kriteria SSA (Supplementary Security Income), serta semua orang yang berumur diatas 65 tahun. Bantuan diberikan dalam bentuk Medicare yaitu asuransi kesehatan yang preminya dibayar oleh pemerintah suatu negara. Program ini biasanya dirancang dan dikelola oleh negara bagian dengan berpedoman pada standar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah federal. Jaminan Penghasilan Tambahan. Tunjangan ini diberikan dalam bentuk pembayaran tunai kepada orang-orang yang penghasilannya atau aset seseorang kurang dari jumlah minimum yang ditetapkan. Program ini dikelola oleh pemerintah federal.
Dasar-dasar Keuangan Publik
239 Kupon Makanan. Rumah tangga (tidak terbatas umur) berhak memperoleh kupon makanan jika mempunyai aktiva atau berpenghasilan kotor yang kurang dari nilai yang ditetapkan oleh pemerintah federal. Meskipun demikian, program ini diberikan melalui pemerintah lokal. Perumahan Murah. Program ini merupakan program pemerintah federal dimana subsidi perumahan diberikan dalam bentuk hipotik berbunga rendah bagi petani berpenghasilan rendah. Tunjangan Kesejahteraan. Program AFDC menetapkan bahwa pemerintah federal memberikan bantuan kepada setiap negara bagian – baik uang tunai maupun dalam bentuk lain – yang kemudian dipakai untuk menunjang keluarga yang mempunyai anak dibawah 18 tahun yang belum mandiri. Standar yang digunakan dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara bagian lain. Program kesejahteraan ini paling banyak menimbulkan perdebatan. Program ini dipandang sebagai program yang merendahkan martabat karena persyaratannya dibatasi pada keluarga yang tidak mempunyai kepala keluarga pria. Tunjangan yang diberikan dinilai tidak memadai untuk standar kehidupan minimum yang layak. Selain itu, program ini dipandang tidak mendorong orang untuk bekerja lebih giat, karena tunjangan akan menurun jika pendapatan meningkat – sering disebut tarif pajak marjinal. Titik permasalahan telah berubah dari memberikan keringanan dalam ekonomi kepada kesejahteraan anak dalam keluarga yang berorang tua tunggal. Untuk mengatasi kritik ini, pola tunjangan alternatif mulai dipertimbangkan. Cara paling efektif dalam menunjang keluarga berpenghasilan rendah adalah dengan membagikan dana melalui pemenuhan kekurangan pendapatan mulai pendapatan tingkat bawah. Dengan demikian alternatif ini akan menjamin tingkat minimum yang cukup sesuai ketersediaan dana sosial pemerintah. Namun demikian, kebijakan pemberian tunjangan alternatif ini dapat mengurangi jumlah bantuan yang dapat diberikan kepada golongan yang paling membutuhkan. Pola alternatif lain adalah bentuk pajak penghasilan negatif. Bantuan diberikan kepada orang-orang dengan pendapatan rendah atau yang tidak berpendapatan. Jika pendapatan kotor meningkat, maka pajak negatif akan menurun sampai pada titik mencapai nol dan sesudah itu terjadi pajak positif yang terhutang. Prinsip ini merupakan perluasan prinsip perpajakan progresif yang telah diterima umum dan berbagai cara untuk menggabungkan prinsip pajak negatif ke dalam struktur pajak positif telah dipertimbangkan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
240
Asuransi Sosial Komponen-komponen utama dari asuransi sosial ini di Amerika Serikat meliputi sistem asuransi sosial OASI (Old Age and Survivors Insurance), HI (Health Insurance), dan DI (Disability Insurance). Asuransi Pensiun dan Cacat. Peraturan OASI menetapkan bahwa program ini mencakup semua pekerja berusia dibawah 65 tahun dan bekerja di bidang komersial serta industri - kecuali jalan kereta api dan karyawan pemerintahan yang mempunyai skema lain - berhak mendapatkan asuransi pensiun dan cacat yang preminya bersumber dari penerimaan pajak penghasilan upah dan gaji (payroll tax). Prinsipnya adalah menggabungkan kontribusi pemberi kerja dan karyawan. Asuransi Kesehatan. Setiap individu berhak atas jaminan sosial pensiun dan juga berhak atas Medicare pada usia 65 tahun. Tunjangan ini untuk memberikan perlindungan dasar terhadap biaya jasa rumah sakit, biaya rawat jalan, dan jasa perawatan kesehatan rumah. Perdebatan sekitar asuransi kesehatan ini menyangkut apakah asuransi hanya mencakup orang yang berusia lanjut atau harus diperluas kepada seluruh penduduk, dan kalau diperluas bagaimana bentuknya. Perdebatan muncul karena menyangkut pembiayaan yang sangat besar, pengaruhnya terhadap jasa medis yang diberikan, kebebasan memilih dokter, dan peranan asuransi swasta. Asuransi Pengangguran. Program ini dibiayai dari pajak upah dan gaji federal dan pajak tambahan dari negara bagian yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Semua kontribusi dari pemerintah federal dan negara bagian dibayarkan kepada dan dikelola oleh Federal Unemployment Trust Fund.
Sistem Tunjangan Sosial Terkini. Seiring dengan perkembangan pemikiran aspek keadilan, sistem tunjangan sosial juga mengalami perubahan. Sistem tunjangan dalam bentuk tunai dipandang oleh para ekonom dapat menimbulkan efek yang negatif bagi golongan penghasilan rendah dalam hal produktivitasnya, sehingga golongan penghasilan tinggi mempunyai preferensi memberikan kontribusinya dalam bentuk non tunuai. Salah satu perubahan yang substansial dari sistem kesejahteraan di Amerika Serikat berubah sejak diundangkannya Undang Undang Rekonsiliasi Kesempatan Kerja dan Tanggungjawab Personal tahun 1996. Aturan tersebut menciptakan program kesejahteraan yang disebut Temporary Aid for Needy Families (disingkat TANF) yang pada intinya mengatur hal-hal dibawah ini. 1.
Menurut aturan AFDC, setiap orang yang mempunyai pendapatan dibawah batasan tertentu dan memenuhi persyaratan tertentu diberikan bantuan manfaat tunai secara mutlak tanpa pandang bulu. TANF mengubah aturan bantuan tunai tersebut kecuali dalam hal bahwa
Dasar-dasar Keuangan Publik
241
2. 3.
4.
bantuan secara tunai tersedia hanya temporer – tidak setiap saat berdasarkan ada tidaknya prgram tunjangan tunai tersebut. Secara umum, TANF mengatur bahwa individu tidak dijinkan menerima bantuan tunai untuk masa lebih dari lima tahun. Setiap orang dewasa yang normal (tidak cacat) yang telah menerima pembayaran bantuan tunai selama dua tahun diharuskan mengambil bagian dalam suatu kegiatan yang ditujukan untuk membuat individu tersebut dapat menghidupi dirinya sendiri. Setiap negara bagian diberikan grant dari pemerintah federal untuk mendanai program kesejahteraan dimana jumlahnya adalah tetap, kemudian negara bagian tersebut melaksanakan prgram kesejahteraannya sepanjang tepat sasaran dalam batasan grant tersebut. Dengan demikian, struktur pemberian bantuan kesejahteraan negara bagian dikendalikan oleh pemerintah federal. Suatu negara bagian dapat menggunakan grant tersebut untuk membayar bantuan secara tunai, melaksanakan program pelatihan kerja, melaksanakan program pembatasan kehamilan, atau program lainnya yang sejenis.
Dasar-dasar Keuangan Publik
242
B A B XXV KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
D
alam konteks desentralisasi fiskal, apapun bentuk pemerintahan suatu negara, baik itu negara federal maupun negara kesatuan (unitary), akan selalu memunculkan pola hubungan fiskal antar pemerintahan (fiscal intergovernmental relationship). Dan sebagaimana dikemukakan oleh Norregaard (1995), terdapat perbedaan-perbedaan dalam interval luas dalam struktur kelembagaan dan hubungan keuangan pusat dan daerah, baik dalam negaranegara yang pada dasarnya berbentuk federal maupun negara yang berbentuk kesatuan.
Tabel 25-1: Susunan Rak Desentralisasi Fiskal Kelompok Negara Federalisme Fiskal Keuangan Federal Negara Maju Perancis, Jepang Amerika Serikat, Kanada Negara Berkembang Indonesia, Kolumbia, India, Brasil, Argentina, Maroko, Tunisia Pakistan, Afrika Selatan Negara Transisi Cina, Vietnam Rusia, Bosnia Herzegovina Sumber: Bird dan Vaillancourt (1998) Menurut Bird dan Vaillancourt (1998), terdapat dua model hubungan fiskal antar pemerintahan yang berlaku saat ini (lihat Tabel 25-1). Pertama, federalisme fiskal (fiscal federalism). Kedua, keuangan federal (federal finance). Konsep federalisme fiskal maksudnya adalah Pemerintahan Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) merupakan kepanjangan tangan dari Pusat. Atau, di beberapa negara yang berbentuk federal, pemerintahan negara bagian (state) bukan merupakan pelaku otonom. Perancis dan Inggris mencerminkan pola ini
Dasar-dasar Keuangan Publik
243 untuk kelompok negara-negara maju (Bennet, 1990), sementara Indonesia1, Maroko dan Tunisia adalah untuk negara berkembang, serta Cina dan Vietnam adalah contoh negara transisi (Bank Dunia, 1996a). Dalam model federalisme fiskal, konsentrasi kekuasaan di pusat demikian tinggi. Dalam perspektif ini, kerangka yang sesuai untuk desentralisasi adalah bersifat “top down” dan berpola dekonsentrasi2 atau maksimalnya berpola delegasi3, dan kerangka analisis yang sesuai adalah agency theory4. Implikasi dari hubungan fiskal model federalisme fiskal ini adalah berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (Dati I dan Dati II) dalam rangka untuk menggalakkan otonomi regional dan untuk memperbaiki infrastruktur lokal, biasanya akan dibelanjakan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan pedoman dan sektor-sektor yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Berbeda dengan model federalisme fiskal, model keuangan federal (federal finance) lebih cocok diterapkan untuk beberapa negara, terutama negara-negara yang memiliki keanekaragam dalam aspek geografis dan etnis (Bird, 1994b serta Bird dan Chen, 1996). Dalam model keuangan federal, batas-batas resmi, penyerahan fungsi, wewenang, serta pembiayaannya sudah secara umum ditetapkan melalui sebuah undang-undang. Secara teoritis, negara yang berbentuk federal, pada umumnya menganut model keuangan federal. Contoh yang paling aktual adalah Amerika Serikat dan Kanada. Di Amerika Serikat, model hubungan fiskal yang terjadi adalah hubungan fiskal antara Pemerintah Federal (Pusat) dengan Pemerintah Negara Bagian/Propinsi (state) dan hubungan fiskal antara Pemerintah Negara Bagian/Propinsi (state) dengan Pemerintah Lokal (Kabupaten/Kota).5 Di mana, masing-masing pemerintahan memiliki kewenangan (otonomi) yang jelas terhadap wilayah, fungsi, serta pembiayaan sesuai dengan konstitusi federal.
1
Indonesia di sini maksudnya adalah sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
2
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.
3
Delegasi adalah pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat. Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
4
Menurut teori ini, principal (Pemerintah Pusat) dapat secara sepihak menentukan dan mengubah baik tanggung jawab pengeluaran maupun pendapatan Pemerintah Daerah dan pengaturan hubungan keuangan antar pemerintahan dalam upaya mengatasi permasalahan-permasalahan informasi yang tidak simetri, serta perbedaan-perbedaan tujuan antara principal dan agent (Pemerintah Daerah).
5
Di Amerika Serikat (yang berbentuk negara federal), state dibagi ke dalam counties (wilayah kabupaten), parishes (suatu wilayah pemerintahan gereja, yaitu Lousiana), atau townships (Kota). Namun, di Amerika Serikat, counties merupakan agen utama pemerintahan regional dari pemerintahan propinsi dan memiliki memiliki kewenangan (authority) independensi yang signifikan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
244 Bahkan, beberapa dewan sekolah (school board) di Amerika Serikat memiliki kekuasaan untuk mengenakan pajak (Davey, 1983). Meski secara teoritis negara yang berbentuk federal akan menerapkan model keuangan federal, tetapi pada prakteknya tidak selalu demikian. Menurut Bank Dunia (1995b) negara-negara seperti Pakistan, Argentina, dan Afrika Selatan adalah negara-negara berbentuk federal, namun prakteknya sejauh ini masih sentralisasi fiskal dan federalisme fiskal. Pada negara yang berbentuk kesatuan (unitary), model keuangan federal juga berlaku. Sesungguhnya, sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Indonesia secara tidak langsung telah menerapkan model keuangan federal. Ini terbukti, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 25/1999, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk menetapkan pajak serta melakukan pinjaman secara mandiri. Bahkan, dibandingkan dengan Amerika Serikat, derajat desentralisasi fiskal di Indonesia lebih tinggi.
Dimensi Ekonomi dari Desentralisasi Fiskal Dimensi yang ekonomi baku dari suatu kebijakan keuangan publik adalah stabilitas makro ekonomi, keadilan (equity), dan efisiensi (Musgrave dan Musgrave, 1989). Menurut para ahli ekonomi, aspek efisiensi merupakan raison d'etre untuk desentralisasi fiskal. Karena preferensi setiap individu terhadap barang publik berbeda, maka dalam suatu sistem fiskal yang terdesentralisasi, setiap individu dapat memilih untuk tinggal di sebuah komunitas atau masyarakat yang sesuai dengan preferensi mereka dalam rangka untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial. Argumentasi ekonomi tentang efisiensi berasal dari fakta bahwa Pemerintah Daerah dapat memenuhi berbagai kepentingan dan pendapat dari para penduduk dan dapat mengalokasikan berbagai sumber daya (resources) secara lebih efisien dibandingkan Pemerintah Pusat. Namun demikian, aspek efisiensi tidaklah satu-satunya dimensi ekonomi untuk mengevaluasi desentralisasi fiskal. Disain fiskal antar pemerintahan juga memiliki implikasi penting atas] keadilan dan stabilitas makro ekonomi. Efisiensi Teori desentralisasi didasarkan pada asumsi bahwa Pemerintah Pusat hanya dapatmenyediakan barang dan jasa secara lintas wilayah secara konsisten. Oleh karenanya, sesuai dengan argumen ini, terdapat keuntungan efisiensi potensial dari desentralisasi fiskal, yaitu: (1) Efisiensi Alokasi Sumber Daya (Efficient Allocation of Resources) Desentralisasi akan meningkatkan efisiensi karena Pemerintah Daerah memiliki informasi yang lebih baik mengenai kebutuhan penduduknya dibandingkan Pemerintah Pusat. Keputusan mengenai pengeluaran publik yang
Dasar-dasar Keuangan Publik
245 dibuat oleh Pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap keinginan konstituennya dibandingkan dengan keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. (2) Persaingan Antar Pemerintah Daerah (Competition Among Local Governments) Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Suatu analogi argumen untuk menjelaskan hal ini dikemukakan oleh Tiebot (1956) yang kemudian dikenal sebagai "The Tiebout Model". Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyakarat lokal dengan Pemerintah Daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari Pemerintah Daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya (Hyman, 2002). Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal. Stabilitas Makro Ekonomi Penilitian empiris tentang desentralisasi dan pengelolaan makro ekonomi (macroeconomic governance) memberikan sedikit dukungan bahwa desentralisasi inheren dengan destabilisasi. Studi terkini mengenai hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pengelolaan makro ekonomi menemukan bahwa “sistem desentralisasi fiskal menawarkan perbaikan potensial yang lebih besar terhadap perbaikan pengelolaan makro ekonomi dibandingkansistem fiskal yang tersentralisasi”. Fakyanya, negara-negara federal yang terdesentralisasi secara tinggi seperti Swiss, Jerman, Austria, dan Amerika Serikat memiliki kinerja makro ekonomi yang sangat stabil dan tingkat inflasi yang rendah (Shah, 1997). Namun demikian, khusus bagi negara-negara berkembang, stabilitas makro ekonomi bukanlah hal yang otomatis dapat terwujud dengan diterapkannya desentralisasi fiskal. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa jika suatu negara mendesentralisasikan tanggung jawab pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan sumber-sumber yang tersedia, maka tingkat pelayanan akan menurun. Atau, Daerah akan menekan Pusat untuk mendapatkan tambahan kucuran dana yang lebih besar, atau pinjaman yang lebih besar, atau kedua-duanya. Salah satu contoh terjelas adalah kasus-kasus di negara Federasi Rusia (Wallich, 1994). Sebaliknya, jika lebih banyak penerimaan daripada pengeluaran yang didesentralisasikan, maka mobilisasi dana Daerah dapat menurun dan ketidakseimbangan makro ekonomi dapat kembali muncul (Yu, 1996).
Dasar-dasar Keuangan Publik
246 Keadilan (Equity) Apek keadilan dari sebuah kebijakan keuangan publik berkaitan dengan redistribusi pendapatan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam definisi klasik, redistribusi biasanya berupa suatu transfer dana kepada rumah tangga berpendapatan rendah untuk mencapai keseimbangan dalam distribusi pendapatan. Dalam konteks desentralisasi, isu redistribusi memiliki dua dimensi: keadilan horisontal (horizontal equity) dan keadilan lokal (within-locality equity). Keadilan horizontal merujuk pada tingkat kapasitas Pemerintah Daerah (subnational governments) dalam memenuhi pelayanan publik. Terdapat dua faktor utama yang memberikan kontribusi munculnya ketidakadilan horisontal: (1) basis pajak (taxes bases) sangat berbeda secara signifikan antara daerah satu dengan daerah yang lain dan (2) karakteristik regional yang mengakibatkan perbedaan biaya penyediaan pelayanan. Untuk mengurangi ketidakadilan horisontal ini, maka perlu dirancang kebijakan untuk memberikan sumber daya (resources) yang lebih besar kepada Daerah yang lebih miskin. Bantuan pemerataan (equalization grant), adalah alat yang biasa digunakan untuk mengoreksi ketidakadilan horisontal tersebut. Namun demikian, penyediaan resources yang lebih banyak kepada daerah miskin hanyalah satu aspek dari problem keadilan. Kesuksesan dalam kebijakan redistribusi juga memerlukan perhatian yang khusus terhadap keadilan dalam wilayah lokal setempat (within-locality equity). Dalam merancang kebijakan redistribusi, Pemerintah Daerah memerlukan dukungan dari Pemerintah Pusat. Dengan kata lain, Pemerintah Daerah tidak dapat mengambil kebijakan redistribusi secara efektif. Mobilitas rumah tangga adalah hambatan riil Pemerintah Daerah untuk menggunakan kebijakan redistribusi. Jika Pemerintah Daerah mengeluarkan program redistribusi pendapatan secara agresif, ia akan menciptakan suatu insentif yang kuat bagi penduduk berpendapatan rendah untuk datang dan akan mendorong penduduk berpenghasilan tinggi untuk pindah kemana saja. Sebab, dengan program redistribusi pendapatan, itu berarti pajak bagi penduduk kaya dan subsidi bagi penduduk miskin.
Syarat-Syarat Keberhasilan Desentralisasi Fiskal Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting bagi kesuksesan desentralisasi, terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro. Pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, yaitu pengambilan keputusan tentang manfaat dan biayanya harus transparan dan pihak-pihak yang terkait harus memiliki kesempatan untuk mempengaruhi keptusan-keputusan tersebut. Kedua, biaya-biaya dari pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat. Untuk itu, seharusnya tidak perlu terjadi “ekspor pajak” dan tidak ada tambahan transfer dari level pemerintahan yang lain. Sementara itu, Sidik (2002) menyebutkan bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi,
Dasar-dasar Keuangan Publik
247 dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Di samping itu, Sidik (2002) juga berpendapat untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi, maka Pemerintah Daerah harus didukung sumbersumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari local revenue, pinjaman, maupun transfer dari pemerintah pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan mempedomani hal-hal sebagai berikut: (1) adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement dan (2) terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
Dasar-dasar Keuangan Publik
248
B A B XXVI TRANSFER PUSAT KE DAERAH: TEORI DAN PRAKTEK Pendahuluan alam konteks desentralisasi fiskal, transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Desentralisasi memang merupakan pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Sejalan dengan desentralisasi tersebut, aspek pembiayaannya juga ikut terdesentralisasi. Implikasinya, Daerah dituntut untuk dapat membiayai sendiri biaya pembangunannya.
D
Namun, ternyata banyak daerah di berbagai negara ini local government revenue) tidak cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran Daerah (lihat Tabel 26.1). Dari Tabel 26.1. terlihat bahwa, tidak ada satupun Pemerintah Daerah di berbagai negara yang disurvei memiliki pendapatan yang dapat membiayai seluruh pengeluarannya.
Dasar-dasar Keuangan Publik
249 Tabel 26.1: Prosentase Pendapatan atas Pengeluaran Daerah Negara Kesatuan
1995
1996 6.85% 68.65% 70.63% 66.19% 93.62% 60.28% 57.50% 66.97% 84.64% N/A 77.93% 72.22% 39.91% 60.50% 56.92% 62.10% 66.49% 89.65% 82.83% 27.31%
199 7 3.69% 66.78% 77.73% 65.35% 93.83% 72.74% 58.55% 73.10% 84.29% 78.76% 73.82% 71.71% 40.68% 58.66% 60.10% 61.30% 66.21% 79.75% 81.88% 27.91%
Albania Azerbaijan Belarusia Bulgaria Kroasia Republik Cekoslowakia Denmark Estonia Irlandia Kazakhstan Latvia Lithuania Mauritius Moldova Mongolia Norwegia Polandia Republik Slovakia Slovenia Inggris
5.64% 73.97% 73.18% 57.27% 98.11% 72.26% 57.10% 65.95% 87.26% N/A 75.53% 73.82% 39.51% 72.74% 58.46% 60.96% 71.52% N/A 77.31% 27.47%
Negara Federal* Australia Austria Bolivia México Switzerland United States
85.73% 82.74% 85.64% 97.37% 81.35% 62.43%
1998 4.05% 58.30% 81.69% 61.08% 89.18% 75.80% 59.25% 72.04% 85.31% 71.68% 72.08% 80.65% 42.52% 62.49% 57.32% 59.71% 64.83% 73.69% 80.60% 29.33%
83.28% 85.31% 85.93% 97.72% 81.91% 63.51%
81.92% 87.28% 85.85% 99.98% 81.96% 64.32%
81.80% 83.89% 85.76% N/A 82.02% 64.51%
* Pemerintah Daerah di negara-negara federal adalah kelompok Pemerintah Daerah yang terendah tingkat pendapatannya. Catatan: Pendapatan Pemerintah Daerah tidak termasuk transfer antar pemerintahan (intergovernmental transfers) Sumber: International Monetary Fund. 1998. Government Finance Statistics Year Book 1998, Country Tables. Implikasi dari kondisi tersebut, transfer dana dari Pusat (intergovernmental transfer) merupakan sumber penerimaan yang amat dominan bagi Pemerintah Daerah di banyak negara, terutama negara berkembang. Tidak terkecuali Indonesia. Sumber ini membiayai sekitar 85% dari pengeluaran pemerintah daerah di Afrika Selata, antara 67% sampai 95% pengeluaran negara bagian di Nigeria, 70% sampai 90% pengeluaran negara bagian yang miskin di Meksiko, 72% pengeluaran popinsi dan 86% pengeluaran Kabupaten/Kota pada dekade 1990-an di Indonesia (Simanjuntak, 2002).
Dasar-dasar Keuangan Publik
250
Tujuan Transfer Pada dasarnya, transfer Pusat ke Daerah dapat dibedakan atas bagi hasil pendapatan (revenue sharing) dan bantuan (grants). Adapun tujuan dari transfer ini bermacam-macam yaitu pemerataan vertikal (vertical equalization), pemerataan horisontal (horizontal equalization), mengatasi persoalan efek pelayanan publik (correcting spatial externalities), mengarahkan prioritas (redirecting priorities), melakukan eksperimen dengan ide-ide baru (experimenting with new ideas), stabilisasi, dan kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah. Vertical Equalization Transfer Di banyak negara, Pemerintah Pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara yang bersangkutan. Sementara itu, Pemerintah Daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara, atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak yang basis pajaknya bersifat lokal dan mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaannya relatif kurang signifikan. Kondisi ini akhirnya menimbulkan ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada era tahun 1960-an, Pemerintah Federal Amerika Serikat sangat memonopoli sumber-sumber penerimaan. Kondisi ini akhirnya bisa menimbulkan ketimpangan antara Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian (State), dan Pemerintahan Lokal. Kemudian, pada pertengahan era 1960-an hingga pertengahan 1980-an lahirlah kebijakan bagi hasil penerimaan umum (General Revenue Sharing/GRS). GRS untuk tingkat negara bagian diberlakukan secara tuntas pada tahun 1982 dan untuk tingkat lokal diberlakukan pada secara tuntas pada tahun 1986. Dengan demikian, tujuan dari vertical equalization transfer ini adalah untuk mengkoreksi kesenjangan pendapatan yang diperoleh setiap level pemerintahan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
251
KOTAK 26.1: PRAKTEK VERTICAL EQUALIZATION DI INDONESIA Penerapan vertical equalization di Indonesia berlaku sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Latar belakang diberlakukannya formula vertical equalization ini didasari oleh suatu kondisi selama Orde Baru, dimana Pemerintah Pusat begitu dominan dalam menguasai sumber-sumber penerimaan negara yang berujung pada timbulnya ketimpangan fiskal secara vertikal antara Pemerintah Pusat dengan Daerah. Daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti Aceh dan Irian Jaya, terpaksa harus menjadi daerah miskin karena hasil dari sumber-sumber kekayaan alam mereka diangkut ke Pusat.
.
Kondisi ini kemudian berubah dengan keluarnya Undang-undang Nomor 25/1999. Menurut Undang-undang No. 25/1999 ini, daerah penghasil penerimaan (baik itu pajak maupun sumber daya alam) mendapat porsi yang besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue sharing) yang lebih besar dibandingkan sebelum diberlakukannya Undang-undang No. 25/1999 (lihat Tabel 2.2. Dengan bagi hasil yang lebih besar ini, taxing power yang diterima Daerah menjadi lebih besar dan ketimpangan vertikal dapat dikurangi
Tabel 26.2. Proporsi Bagi Hasil Beberapa Penerimaan Negara Sebelum dan Sesudah UU No. 25/1999 (dalam %) No
Jenis Penerimaan
Sebelum UU No. 25/1999 Pusat
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
PBB BPHTB IHH PSDH/IHPH Land Rent/Iuran Tetap Royalty Pertambangan Umum Perikanan Minyak Gas Alam Dana Reboisasi PPh
10 20 55 55 20 20 100 100 100 100 100
Dati I
16,2 16 30 30 16 16 -
Dati II
64,8 64 15 15 64 64 -
Sesudah UU No. 25/1999 Pusat
20 20 20 20 20 85 70 60 80
Propinsi
16,2 16 16 16 16 16 3 6 8
Kab /Kota
Pemertaan Kab/Kota Lainnya
64,8(+) 64(+) 64 32 64 32 6 12 40 12
+ + 32 32 80 6 12 -
Sumber : Sidik 2002, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 1999
Horizontal Equalization Transfer Keseimbangan antara kebutuhan pendapatan (revenue needs) dan kemampuan untuk menghasilkan pendapatan juga memiliki dimensi horisontal. Artinya, dengan tarif pajak yang sama seharusnya juga menghasilkan penerimaan yang sama di antara daerah. Pengalaman empirik di berbagai negara menunjukkan ternyata kemampuan Daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi, tergantung kondisi daerah bersangkutan yang memiliki kekayaan sumber daya alam atau tidak, ataupun daerah dengan intensitas kegiatan ekonomi yang tinggi atau rendah. Kondisi ini berimplikasi kepada besarnya basis pajak atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) di daerah-daerah bersangkutan.
Dasar-dasar Keuangan Publik
252 Di sisi lain, daerah-daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang sangat bervariasi. Terdapat daerah-daerah dengan penduduk miskin, penduduk lanjut usia, dan anak-anak serta remaja yang tinggi proporsinya. Ada pula daerah-daerah yang berbentuk kepulauan luas, dimana sarana-prasarana transportasi dan infrastruktur lainnya masih belum memadai. Sementara di lain pihak, ada daerahdaerah dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar, namun memiliki sarana dan prasasarana yang telah lengkap. Ini mencerminkan tinggi rendahnya kebutuhan fiskal (fiscal need) dari daerah-daerah yang bersangkutan. Membandingkan kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal tersebut di atas, maka dapat dihitung kesenjangan atau celah fiskal (fiscal gap) dari masing-masing daerah yang seyogyanya ditutup oleh transfer dari Pemerintah Pusat. Dengan kata lain tujuan dari horizontal equalization transfer adalah untuk menutup celah fiskal yang dimiliki oleh setiap daerah.
Dasar-dasar Keuangan Publik
253
KOTAK 26.2: PRAKTEK HORIZONTAL EQUALIZATION DI INDONESIA Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan contoh yang paling tepat sebagai bentuk horizontal equalizataion di Indonesia. Secara faktual, peran DAU dapat dijadikan counter atas pembagian dana bagian daerah yang didasarkan atas dasar penghasil daerah (by origin atau vertical equalization) yang cenderung menimbulkan ketimpangan antardaerah, karena daerah yang mempunyai potensi pajak dan SDA yang terbatas pada daerah-daerah tertentu. Sebagai horizontal equalization, DAU dirancang dengan sebuah formula yang digunakan untuk menghitung potensi penerimaan daerah atau kapasitas fiskal (fiscal capacity) dan kebutuhan fiskal daerah (fiscal needs). Sehingga, melalui suatu formula ini, maka dapat dihitung celah fiskal (fiscal gap) yang akan ditutup dengan transfer DAU dari Pusat. Rumus Umum DAU 2001 adalah sebagai berikut: 1.
DAU akan dialokasikan kepada Daerah dengan menggunakan bobot daerah. Bobot daerah harus dirumuskan dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas pertimbangan kebutuhan dan potensi potensi penerimaan.
2.
Besarnya DAU setelah formula paling tidak sama dengan besarnya bantuan Subsidi Daerah Otonom (SDO) dan Inpres tahun 2000. Oleh karenanya, dalam alokasi DAU 2001 terdapat faktor penyeimbang dan faktor lumsum. Faktor Penyeimbang adalah suatu mekanisme untuk mencegah penurunan kapasitas Pemerintah Daerah dalam membiayai kewajiban-kewajiban mereka. Faktor penyeimbang juga diarahkan untuk mengatasi permasalahan pendanaan akibat terjadinya transfer pegawai dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang tentunya membawa konsekuensi pada gaji dan biaya-biaya terkait lainnya. Faktor lumpsum intinya adalah suatu mekanisme untuk membagi habis total DAU yang sudah dianggarkan dalam APBN 925% dari penerimaan bersih domestik). Dalam prakteknya, terjadi selisih hitung antara total DAU yang dianggarkan dengan total faktor penyeimbang dan faktor formula.
3.
Faktor formula. Formula DAU terdiri dari dua, yaitu potensi penerimaan dan kebutuhan fiskal. Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan potensi penerimaan adalah (a) PDRB sektor sumber daya alam (primer); (b) PDRB sektor industri dan jasa lainnya (non-primer); dan besarnya angkatan kreja (SDM). Variabel-variabel yang digunakan untuk menentukan kebutuhan daerah adalah (a) jumlah penduduk; (b) luas wilayah; (3) indeks harga bangunan; dan (4) jumlah penduduk miskin.
4.
Penentuan Bobot dan Alokasi Daerah.
Sumber: Brodjonegoro dan Pakpahan (2002)
Dasar-dasar Keuangan Publik
254 Correcting Spatial Externalities Beberapa jenis pelayanan publik di satu wilayah memiliki “efek menyebar” (atau eksternalities) ke wilayah-wilayah lainnya. Misalnya, pendidikan tinggi (universitas), pemadam kebakaran, jalan raya penghubung antar-daerah, sistem pengendali polusi (udara dan air), dan rumah sakit daerah, tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat tertentu saja. Namun, tanpa adanya “imbalan” (dalam bentuk pendapatan) yang berarti dari proyek-proyek serupa di atas, biasanya Pemerintah Daerah enggan untuk berinvestasi di sini. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu memberikan semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayananpelayanan publik demikian dapat dipenuhi oleh daerah. Gambar 26-1: Koreksi “Spillovers” Melalui Transfer
P
MC
P1 PB
DT
PA DA QB
QT
DB Q
Berdasarkan Gambar 26-1, jika permintaan dari penduduk (resident demands) setempat yang diperhitungkan, maka jumlah permintaannya akan sangat rendah, yaitu sebesar DA dan harganya (biayanya) pun relatif murah (PA) sehingga Daerah setempat dipastikan dapat mengadakannya. Namun, untuk permintaan atas barang publik tertentu (misalnya, perguruan tinggi), peminatnya juga berasal dari luar daerah (nonresident demands), yaitu sebesar DB dengan harga (biaya) sebesar PB. Sehingga, total permintaan atas barang publik tersebut adalah DT dengan harga (biaya) sebesar P1, yang bagi Daerah bersangkutan akan sangat sulit untuk dapat mengadakannya, karena biayanya terlalu mahal. Agar penyediaan barang publik tersebut tetap dilakukan oleh Daerah bersangkutan, maka Pemerintah Pusat memberikan transfer (subsidi), yaitu sebesar perbedaan antara PB dan P1. Dengan adanya subsidi ini, maka Daerah
Dasar-dasar Keuangan Publik
255 bersangkutan dapat menyediakan barang publik tersebut, karena biayanya berada dalam jangkauan anggaran Daerah. Redirecting Priorities Setiap level pemerintahan memiliki prioritas masing-masing di dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Dan seringkali prioritas yang dikembangkan oleh setiap level pemerintahan tersebut, akhirnya bertentangan dengan prioritas yang sedang dibangun oleh level pemerintahan lainya. Misalnya, Pemerintah Pusat berkeinginan mengedepankan pembangunan di sektor pendidikan secara murah dan terjangkau. Ini terkait dengan pemenuhan harapan para konstituen pemilih ketika pemilihan umum berlangsung. Namun ternyata, keinginan tersebut ternyata tidak sinkron dengan pola kebijakan Daerah. Pemerintah Daerah ternyata menginginkan pembangunan di sektor kesehatan lebih mendapat prioritas karena pertimbangan kondisi masyarakat setempat. Agar keinginan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berjalan secara paralel, seyogyanya Pemerintah Pusat memberikan transfer atau insentif kepada Daerah. Transfer Pemerintah Pusat kepada Daerah semacam ini akan membantu mengarahkan kembali prioritas daerah dan pusat sesuai dengan keinginan yang diharapkan oleh masing-masing level pemerintahan. Experimenting with New Ideas Bantuan (grants) seperti ini berawal dari adanya keinginan Pemerintah Pusat untuk mengujicobakan suatu program baru di suatu Daerah sebelum program tersebut diberlakukan terhadap seluruh Daerah. Alasan perlunya bantuan dari Pusat kepada Daerah sehubungan dengan uji coba program baru tersebut, karena Daerah yang menjadi tempat uji coba tidak mau menanggung kerugian dan risiko manakala terjadi dampak negatif terhadap program baru tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya bantuan untuk tujuan uji coba program baru ini tidak lebih dari sebuah kompensasi atas kesediaan Daerah menjadi ajang uji coba suatu program baru dari Pusat. Stabilisasi Transfer dana dapat ditingkatkann oleh Pemerintah ketika aktivitas perekonomian sedang lesu. Di saat lain, bisa saja dana transfer ke daerah dikurangi manakala perekonomian sedang booming. Transfer untuk dana-dana pembangunan (capital grants) adalah merupakan instrumen yang cocok untuk tujuan ini. Namun kecermatan dalam mengkalkulasi amat diperlukan agar tindakan menaikkan/menurunkan dana transfer itu berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi. Memenuhi Standar Pelayanan Minimum Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan subsidi agar dapat mencapai standar pelayanan minimum. Jika dikaitkan dengan postulat Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran redistributif dari sektor publik akan dijalankan oleh Pemeirntah Pusat, maka penerapan standar pelayanan minimum Dasar-dasar Keuangan Publik
256 di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh Pemerintah Pusat.
Kriteria Desain Transfer Pusat ke Daerah Dari berbagai tujuan yang hendak dicapai dalam rangka transfer antar tingkat pemerintahan, dapat kiranya sebagai acuan untuk mendesain sistem atau model transfer bagaimana yang akan diterapkan. Berikut adalah beberapa kriteria umum yang biasa digunakan di banyak negara di dunia. 1. Otonomi. Prinsip ini merupakan dasar desentralisasi fiskal di dunia, apakah negara tersebut berbentuk federal maupun negara kesatuan. Prinsip ini menekankan agar Pemerintah Daerah memiliki independensi dan fleksibilitas dalam menentukan prioritas-prioritas mereka. Tidak boleh ada pembatasan yang sedemikian ketat sehingga sebagian besar keputusan di Daerah harus mengikuti atau mengacu kepada ketentuan Pusat. Pajakpajak dimana Daerah bisa ikut memungut di atas tingkat yang ditetapkan Pusat (piggyback), bagi hasil (revenue sharing) berdasarkan formula, ataupun transfer yang bersifat umum (block grant) adalah sumber-sumber penerimaan daerah yang konsisten dengan tujuan tersebut. 2. Penerimaan yang memadai (revenue adequacy). Pemerintah daerah semestinya memiliki pendapatan (termasuk transfer) yang cukup untuk menjalankan segala kewajiban atau fungsi yang diembannya. 3. Keadilan (equity). Besarnya dana transfer dari Pusat ke daerah seyogyanya berhubungan positif dengan kebutuhan fiskal daerah dan, sebaliknya, berkebalikan dengan besarnya kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan. 4. Transparan dan stabil. Formula transfer mesti diumumkan sehingga dapat diakses masyarakat. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa setiap daerah dapat memperkirakan berapa penerimaan totalnya (termasuk transfer), sehingga memudahkan penyusunan anggaran. Formula tersebut seyogyanya dipakai untuk jangka menengah (misalnya 3-5 tahun), agar perencanaan jangka menengah dan panjang dapat dilakukan oleh Daerah. 5. Sederhana (simplicity). Alokasi dana kepada Pemeirntah Daerah semestinya didasarkan pada faktor-faktor obyektif dimana unit-unit individual tidak memiliki kontrol atau dapat mempengaruhinya. Di samping itu juga formula yang dipakai seyogyanya relatif mudah untuk dipahami. 6. Insentif. Desain dari transfer ini harus sedemikian sehingga memberikan semacam insentif bagi daerah dengan manajemen fiskal yang baik, baik sebaliknya menangkal praktik-praktik yang tidak efisien. Dengan demikian, tidak Dasar-dasar Keuangan Publik
257 perlu ada transfer khusus/spesifik untuk membiayai defisit anggaran Pemerintah Daerah, atau ada semacam kontrol terhadap belanja daerah.
Jenis-Jenis Transfer Pengalaman empiris dari berbagai negara menunjukkan bahwa pemberian transfer oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah dapat disertai dengan syarat-syarat tertentu atau tidak bersyarat sama sekali. Dengan demikian, pada dasarnya jenisjenis transfer dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu (1) transfer tanpa syarat (unconditional grant, general purpose grant, block grant dan (2) transfer dengan syarat (conditional grant, categorial grant, spesific purpose grant). Transfer Tanpa Syarat Pada umumnya transfer jenis ini ditujukan untuk menjamin adanya pemerataan dalam kemampuan fiskal antar daerah, sehingga setiap Daerah dapat melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri pada tingkat yang layak. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal yang bersifat horisontal (horizontal equalization). Ciri utama dari transfer ini adalah Daerah memiliki keleluasaan (diskresi) penuh dalam memanfaatkan dana transfer ini sesuai dengan pertimbanganpertimbangannya sendiri atau sesuai dengan aturan apa yang menjadi prioritas daerahnya. Transfer tanpa syarat biasanya dibagikan berdasarkan suatu formula tertentu. Namun, formula apa yang tepat untuk menjamin meratanya kemampuan fiskal (fiscal capacity) Daerah dalam menjalankan pelayanan publik minimum, amat tergantung kepada kondisi atau keadaan di masing-masing negara.
Dasar-dasar Keuangan Publik
258 KOTAK 26.3: PRAKTEK TRANSFER TANPA SYARAT DI INDONESIA Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan bentuk yang masuk dalam kategori transfer tanpa syarat (unconditional grant) untuk kasus di Indonesia. DAU adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Menurut UU No. 25/1999 ketentuan mengenai aturan alokasi DAU adalah sebagai berikut: 1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN. 2. DAU untuk Daerah Propinsi dan untuk Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen) dari total DAU nasional. 3. Dalam hal terjadi perubahan kewenangan di antara Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, persentase Dana Alokasi Umum untuk Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota disesuaikan dengan perubahan tersebut. 4. DAU untuk suatu Daerah Propinsi tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Propinsi yang ditetapkan dalam APBN, dengan porsi Daerah Propinsi yang bersangkutan. 5. Porsi Daerah Propinsi merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Propinsi di seluruh Indonesia. 6. DAU untuk suatu Daerah Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 7. Porsi Daerah Kabupaten/Kota merupakan proporsi bobot Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan terhadap jumlah bobot semua Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. 8. Bobot Daerah ditetapkan berdasarkan: • kebutuhan wilayah otonomi Daerah; • potensi ekonomi Daerah. 9. Penghitungan DAU berdasarkan rumus di atas dilakukan oleh Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Penjelasan efek dari unconditional grant terhadap pembiayaan daerah, dapat dilihat pada Gambar 26-2. Asumsikan terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran6 Daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi
6
Garis anggaran (budget line) adalah kurva yang menunjukkan kombinasi konsumsi dua macam barang yang membutuhkan biaya (anggaran) yang sama besar.
Dasar-dasar Keuangan Publik
259 barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve)7. Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia. Karena tidak ada batasan pada cara pembelanjaan fasilitas publik manapun, maka yang bertambah akibat adanya transfer adalah jumlah anggaran. Hal ini digambarkan dengan adanya pergeseran (shifting) budget line yang sejajar dari AB menjadi FG. Sehingga, jumlah barang yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu menjadi OK (untuk assested public goods) dan menjadi OH (untuk other public goods). Dengan demikian, tingkat kepuasan masyarakat pun menjadi lebih besar, sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1. Kondisi inilah yang menyebabkan mengapa penerima lebih memilih unconditional grants dibandingkan bentuk transfer lainnya. Ini mengingat, dengan unconditional grants memungkinkan tercapainya kesejahteraan yang lebih baik bagi Daerah yang muncul dari kemungkinan untuk memilih yang lebih besar. Namun, bagi pemberi, hal ini bisa juga menjadi suatu kerugian karena tidak ada kepastian tercapainya tujuan bersama sesuai dengan maksud pemberian grants tersebut. Gambar 2-2: Efek Unconditional Grant Terhadap Pembiayaan Daerah Other Public Goods
F
i2
i1 A
E1
H
i2 C
E
i1 O
7
D
K
B
G Assested Public Goods
Kurva indiferensi (indifference curve) adalah kurva yang menunjukkan berbagai kombinasi konsumsi dua macam barang yang memberikan tingkat kepuasan sama bagi seorang konsumen.
Dasar-dasar Keuangan Publik
260 Transfer Dengan Syarat (Conditional Transfer) Transfer ini biasanya digunakan untuk keperluan yang dianggap penting oleh Pemerintah Pusat namun kurang dianggap penting oleh Daerah. Contohnya adalah proyek-proyek yang menimbulkan efek eksternalitas positif bagi daerahdaerah lain ataupun proyek-proyek dari Pemerintah Pusat yang sifatnya ujicoba atas suatu program atau ide baru (experimenting with new ideas). Transfer ini dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu:
Transfer pengimbang (matching grants). Transfer pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah untuk menutup sebagian atau seluruh kekurangan pembiayaan satu jenis urusan tertentu. Jadi, di sini Pemerintah Daerah telah mengalokasikan sejumlah dana dari pendapatan daerahnya untuk penyelenggaraan urusan tersebut. Hanya saja, dana Daerah belum cukup untuk menjamin penyelenggaraan urusan tersebut dengan baik. Transfer dari Pemerintah Pusat dalam hal ini berfungsi untuk membantu mengatasi kekurangan dana tersebut. Transfer pengimbang ini juga dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis: 1) Transfer pengimbang tidak terbatas (open-ended matching grants). Transfer ini diperuntukkan apabila transfer tersebut dapat dan memang ditujukan untuk menutup seluruh kekurangan dana yang terjadi. Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, Daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana atau sebesar Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh Pusat. Penjelasan efek dari open-ended matching grants dapat disajikan dalam Gambar 26-3. Sama dengan kasus sebelumnya, asumsikan terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran Daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve). Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia. Pemerintah Pusat dan Daerah berniat meningkatkan kuantitas barang B, sedangkan barang A dibiarkan tetap. Untuk tujuan ini, Pemerintah Pusat dan Daerah sepakat memberikan kontribusinya masing-masing, yaitu misalnya Pusat 90% dan Daerah 10%. Dengan demikian, kurva garis anggaran (budget line) akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu hanya menggeser kuantitas
Dasar-dasar Keuangan Publik
261 barang B, sementara barang A tetap. Sehingga, jumlah barang B (untuk assested public goods) yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu dari OD menjadi OP. Dengan demikian, tingkat kepuasan untuk barang B pun menjadi lebih besar, namun untuk barang A tetap, sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1. Gambar 26-3: Efek Dari Open-Ended Matching Grants Other Public Goods
A
i2
i1 S E1
N
i2 E
C Q O
D
B
P
i1
M Assested Public Goods
Efek negatif dari open-ended matching grants adalah grant yang diberikan oleh Pemerintah Pusat justru akan menyebabkan ketidakmerataan antardaerah, karena sifat grant ini yang tidak terbatas. Akibatnya, daerah yang kaya akan mampu membuat proyek yang kaya pula dan menjadi semakin kaya, sementara Daerah yang miskin akan tetap miskin karena mereka tidak dapat membuat proyek kaya, yang pembiayaannya bisa sebagian besar dari Pemerintah Pusat. 2) Transfer pengimbang terbatas (closed-ended matching grants). Pada transfer ini terdapat batasan jumlah dana maksimum yang dapat digunakan. Hal ini sangat disukai oleh pemberi bantuan (Pemerintah Pusat), karena walaupun dana yang diberikan sesuai dengan besar proyek, namun setelah besarnya biaya proyek melampaui jumlah tertentu, pemberi bantuan dapat mencukupkan bantuannya. Misalnya, sebuah proyek pembangunan universitas awalnya membutuhkan dana sekitar Rp100 miliar. Sementara itu, Daerah hanya mampu menyediakan dana sebesar 10% dari total kebutuhan dana atau sebesar Rp10 miliar. Maka, kekurangan tersebut, yaitu sebesar Rp90 miliar ditanggung sepenuhnya oleh Pusat. Namun, dalam perjalanannya, estimasi biaya ternyata membengkak menjadi Rp110 miliar atau mengalami kekurangan Rp10 miliar lagi. Karena Pemerintah Pusat tidak lagi mau mengucurkan dananya, dengan
Dasar-dasar Keuangan Publik
262 sendirinya proyek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula, yaitu Rp100 miliar. Penjelasan efek dari closed-ended matching grants dapat disajikan dalam Gambar 26-4. Sama dengan kasus sebelumnya, asumsikan terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran Daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve). Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E0, dimana posisi E0 ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia. Dalam rencana awal, Pemerintah Pusat dan Daerah berniat meningkatkan kuantitas barang B, sedangkan barang A dibiarkan tetap. Untuk tujuan ini, Pemerintah Pusat dan Daerah sepakat memberikan kontribusinya masing-masing. Misalnya, dari proyek senilai Rp100 miliar, Pemerintah Pusat akan memberikan kontribusinya sebesar 90% dan Daerah 10%. Dengan demikian, kurva garis anggaran (budget line) akan mengalami pergeseran dari AB menjadi AM, yaitu hanya menggeser kuantitas barang B, sementara barang A tetap. Sehingga, jumlah barang B (untuk assested public goods) yang dapat dipenuhi menjadi lebih banyak, yaitu dari OD menjadi OP. Dengan demikian, tingkat kepuasan untuk barang B pun menjadi lebih besar, namun untuk barang A tetap, sebagaimana digambarkan pergeseran kurva indiferensi yaitu dari i1i1 menjadi i2i2 dan titik keseimbangan baru menjadi E1. Namun dalam perkembangannya, terjadi kenaikan bahan baku sehingga budget seharusnya dinaikkan menjadi Rp110 miliar. Karena Pemerintah Pusat tidak lagi mau mengucurkan dananya, dengan sendirinya proyek tersebut harus disesuaikan dengan jumlah anggaran semula, yaitu Rp100 miliar. Implikasinya, garis anggaran tidak jadi bergeser dari AB menjadi AM, tetapi dari AB menjadi AT yang berarti jumlah barang A yang dapat dihasilkan akan lebih sedikit dibandingkan perkiraan semula. Implikasinya, terjadi titik keseimbangan baru dari E menjadi E1, dimana posisi permintaan (demand) barang barang B adalah tetap OD. Dalam gambar terlihat bahwa rotasi pada budget line setelah batas tertentu, slope-nya menjadi sejajar pada budget line awalnya.
Transfer bukan pengimbang (non-matching grants). Transfer bukan pengimbang adalah transfer yang diberikan oleh Pusat kepada Daerah untuk menambah dana penyelenggaraan suatu jenis urusan tertentu tanpa mempertimbangkan bahwa Pemerintah Daerah sendiri telah/akan mengalokasikan dananya dengan jumlah besar atau kecil. Jenis transfer ini dapat dipakai oleh Pemerintah Pusat untuk menjadi sarana menginternalisasikan Dasar-dasar Keuangan Publik
263 limpahan manfaat, (eksternalitas) terutama kepada Daerah yang menghasilkan limpahan manfaat tersebut. Jadi, kendati Pemerintah Daerah yang bersangkutan telah mengalokasikan pendapatan daerahnya (local revenue) untuk pembiayaan penyelenggaraan urusan itu, namun karena pelaksanaannya menghasilkan limpahan manfaat besar kepada daerah-daerah lain, transfer diberikan oleh Pusat untuk mendorong Daerah agar tetap bersemangat dan mau mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk pelaksanaan fungsi tersebut. Penjelasan efek dari non-matching grants terhadap pembiayaan daerah, dapat dilihat pada Gambar 26-5. Asumsikan terdapat dua jenis barang publik (public goods), yaitu barang publik yang akan dibantu dengan transfer (assisted public goods/B) yang digambarkan dengan garis horisontal (horizontal axis) dan barang publik yang tidak dibantu (other public goods/A) yang digambarkan dengan garis vertikal (vertical axis). Garis AB adalah garis anggaran Daerah setempat (community budget line), yang memperlihatkan kombinasi berbagai konsumsi barang yang tersedia, dalam kasus ini adalah barang A dan barang B. Kurva i1i1, i2i2, dan seterusnya adalah kurva indiferensi (indifference curve). Gambar 26-4: Efek Closed-Ended Matching Grants Other Public Goods
A
i2
i1 S E1
N
i2 E
C Q
T O
D
B
P
i1
M Assested Public Goods
Pada kondisi sebelum ada transfer, posisi permintaan (demand) barang A adalah OC dan barang B adalah OD sehingga titik keseimbangan awal adalah E, dimana posisi E ini merupakan posisi tinggi dalam hal kepuasan tertinggi pada anggaran yang tersedia. Dengan adanya transfer dari Pusat ke Daerah untuk keperluan khusus tanpa diperlukannya dana pendamping, maka budget line dari barang
Dasar-dasar Keuangan Publik
264 publik yang dibantu (assested public goods) mengalami pergeseran (shifting), namun tidak mengubah batas maksimum fasilitas publik lainnya (other public goods). Gambar 26-5: Efek Non-Matching Grants Other Public Goods
i2
i1 A
F E1
H
i2 C
E
i1 O
D
K
B
G Assested Public Goods
Dasar-dasar Keuangan Publik
265
B A B XXVII PERPAJAKAN DAERAH Pendahuluan emerintah Daerah dapat memperoleh pendapatan dari dari perpajakan dengan tiga cara. Pertama, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, ialah melalui pembagian hasil pajak-pajak (revenue sharing) yang dikenakan dan dipungut oleh Pemerintah Pusat. Dalam konteks Indonesia, menurut Undang-undang No. 25/1999, pajak Pemerintah Pusat yang dibagikan adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
P
Kedua, Pemerintah Daerah dapat memungut tambahan pajak (opsen, surchage di atas suatu pajak yang dipungut dan dikumpulkan oleh Pemerintah Pusat. Menurut pengertian ini, para Wajib Pajak di wilayah (daerah) mereka, pada umumnya membayar pungutan tambahan beserta pajak-pajaknya kepada Pemerintah Pusat. Kemudian, Pemerintah Pusat membayarkan pendapatan opsen tersebut kepada Pemerintah Daerah. Praktek seperti ini diterapkan di Swedia, Amerika Serikat, dan India. Pemerintah Daerah Swedia, misalnya, memungut opsen atas pajak penghasilan nasional. Di Amerika Serikat, Pemerintah Daerah mengenakan opsen atas pajak penjualan di tingkat negara bagian (state). Sedangkan, beberapa panchayats (Pemerintah Kabupaten) di India menikmati opsen atas pajak tanah. Untuk lebih jelas memahami opsen, Davey (1983) mendefinisikan bahwa opsen adalah semacam pungutan pajak (precept) yang dipungut oleh propinsi (county) atau dewan desa (parish council) di Inggris di atas rate (pajak atas harta tetap, semacam PBB) dewan kabupaten (district council), sedangkan di daerahdaerah nonmetropolitan, precept Pemerintah Propinsi merupakan proporsi yang tinggi dari seluruh pungutan pungutan wajib wajib pajak. Opsen tersebut mungkin dipungut sebagai prosentase tambahan atas pendapatan kena pajak (PKP), dalam hal pajak penghasilan atau alternatifnya, sebagai suatu prosentase
Dasar-dasar Keuangan Publik
266 tambahan atas pajak yang sebenarnya dibayarkan kepada Pemerintah Pusat atau negara bagian. Ketiga, adalah pungutan-pungutan yang dikumpulkan dan ditahan oleh Pemerintah Daerah sendiri. Adapun variabel yang utama adalah dasar hukumnya (kewenangannya). Suatu jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah mungkin ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangan Pemerintah Pusat. Dalam konteks di Indonesia, pajak daerah jenis ini diatur dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Bagian ini hanya akan mendiskusikan mengenai pajak yang diperoleh oleh Pemerintah Daerah sendiri. Alasan pembatasan ini, adalah (i) tax revenue sharing telah dibahas pada bagian sebelumnya, dan (ii) pembahasan mengenai opsen, kurang relevan dengan sistem perpajakan di Indonesia, karena Indonesia tidak menerapkan sistem opsen.
Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah Menurut Davey (1983) terdapat empat kriteria mengenai pajak Daerah. Keempat kriteria tersebut adalah kecukupan dan elastisitas, pemerataan, kemampuan administratif, dan dapat diterma secara politik. Kriteria pertama, kecukupan dan elastisitas. Kecukupan maksudnya bahwa sumber pendadapat tersebut harus menghasilkan pendapatan yang besar dalam kaitannya dengan seluruh atau sebagian biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Seringkali dijumpai Pemerintah Daerah mempunyai banyak jenis pajak, tetapi pendapatan yang dihasilkan tidak mampu melebihi biaya yang dikeluarkan untuk memungutnya. Sedangkan elastis maksudnya adalah kemampuan untuk menghasilkan tambahan pendapatan agar dapat menutup tuntutan yang sama atas kenaikan pengeluaran Pemerintah Daerah, dan dasar pengenaan pajaknya berkembang secara otomatis, misalnya, apabila harga-harga meningkat, penduduk di suatu daerah meningkat, dan pendapatan individu meningkat, maka dengan sendirinya pajak juga harus meningkat. Dalam hubungan ini, elastisitas mempunyai dua dimensi. Pertama, pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan pajak itu sendiri. Kedua, kemudahan untuk memungut pertumbuhan pajak tersebut. Elastisitas merupakan kualitas suatu sumber pajak yang penting. Elastisitas juga dengan mudah dapat diukur dengan membandingkan hasil penerimaan selama beberapa tahun dengan perubahan dalam indeks harga, penduduk, atau PDRB. Kriteria kedua, adalah keadilan. Prinsip keadilan ini adalah bahwa beban pengeluaran Pemerintah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupan masing-masing golongan. Keadilan memiliki tiga dimensi. Pertama, pemerataan secara vertikal, yaitu dalam hubungan pembebanan pajak atas tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, pajak dapat dikatakan baik kalau pajak tersebut bersifat progresif, yakni prosentase pendapatan seseorang yang dibayarkan untuk pajak bertambah sesuai dengan tingkat pendapatannya. Sedangkan, pajak dikatakan tidak baik, jika Dasar-dasar Keuangan Publik
267 pajak tersebut bersifat regresif, yakni persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak berkurang dengan adanya kenaikan pendapatan. Kedua, pemerataan secara horisontal, yaitu dalam konteks hubungan pembebanan pajak berdasarkan sumber pendapatan. Maksudnya adalah seseorang yang memiliki jumlah pendapatan yang sama, seharusnya dikenakan pajak dalam jumlah yang sama. Petani yang memiliki pendapatan Rp100 juta per tahun, maka pajaknya harus sama dengan pegawai kantor (swasta atau negeri) yang memiliki gaji sebesar Rp100 juta per tahun. Dengan konsep keadilan horisontal seperti ini, maka diharapkan tidak ada penduduk yang yang kebal pajak. Ketiga, adalah keadilan geografis. Pembebanan pajak harus adil antarpenduduk di berbagai daerah. Seseorang seharusnya tidak dibebani pajak lebih berat hanya karena mereka tinggal di suatu daerah tertentu. Kriteria ketiga adalah kemampuan adimistratif. Untuk menilai suatu pajak agar dapat memenuhi tuntutan keadilan dan pemerataan, maka dibutuhkan suatu administrasi yang baik dan fleksibel. Dimana, administrasi pemungutan pajak harus sederhana, mudah dihitung, pelayanan memuaskan bagi si wajib pajak. Kriteria keempat, adalah adanya kesepakatan politik. Tidak ada pajak yang populer. Semua orang pada dasarnya ingin menolak membayar pajak, kalau diperbolehkan. Bahkan, dalam beberapa jenis pajak, lebih tidak populer dibandingkan jenis pajak yang lain. Dalam kondisi seperti ini, kemauan politik diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar dan bagaimana pajak tersebut ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sanksi terhadap para pelanggar. Dengan adanya kemauan politik seperti ini, maka diharapkan pajak pun dapat secara politis diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak. Sidik (2002) menambahkan bahwa selain keempat kriteria yang ditetapkan Davey (1983) di atas, pajak daerah juga harus memenuhi kriteria non-distorsi terhadap perekonomian. Artinya, implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban baik bagi konsumen maupun produsen. Namun demikian, jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss). Dalam konteks Indonesia, kriteria non-distorsi terhadap perekonomian merupakan alasan keluarnya UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan adanya UU No. 34 Tahun 2000 ini diharapkan pajak daerah tidak menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat.
Ciri-Ciri Tertentu Suatu Pajak Daerah Untuk mempertahankan prinsip-prinsip pajak daerah tersebut di atas, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri Dasar-dasar Keuangan Publik
268 dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut: • pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya. • relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam. • tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay). Dalam konteks Indonesia, terutama kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak selain mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu, Pemerintah Daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya. Adapun fungsi pajak dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: fungsi budgeter dan fungsi regulator. Fungsi budgeter yaitu bila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara (daerah) yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Sementara, fungsi regulator yaitu bila pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya: pajak minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi minuman keras, pajak ekspor dimaksudkan untuk mengekang pertumbuhan ekspor komoditi tertentu dalam rangka menghindari kelangkaan produk tersebut di dalam negeri. Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu: 1. Pajak yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. 2. Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”. Pajak daerah yang sangat “mobile” akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “mobile” akan mempermudah daerah untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak komsumsi di banyak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada). Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama untuk mempertahankan di tingkat pemerintah yang lebih tinggi (Pusat/Propinsi). 3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah, seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
Dasar-dasar Keuangan Publik
269 4. Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah. 5. Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan). 6. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi. 7. Pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakkan hukum (law-enforcement) dan komputerisasi. 8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua tingkat pemerintahan, namun penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.
Model Leviathan Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar pengenaan pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk menggunakan tarif yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal. Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib pajak, permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi. Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan. Dengan asumsi bahwa biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level pelayanan publik yang dibiayai dari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar 27-1 di bawah ini menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y (tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun illegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar 27-1 ini juga mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak tertentu adalah independent terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*. Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tarif tertinggi, tetapi dapat dicapai total penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue Maximizing Tax Rate. Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak dan respon harga Dasar-dasar Keuangan Publik
270 dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak Maksimal. Gambar 27-1: Model Leviathan
Tarif Pajak Daerah Kurva Laffer
t*
Total Penerimaan Pajak Daerah T*
Ketentuan Mengenai Pungutan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia telah diatur sejak lama, terutama sejak tahun 1997 dengan dikeluarkannya UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun, dalam perkembangannya, UU No.18 Tahun 1997 dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk mengadakan pungutan baru. Walaupun dalam UU tersebut sebenarnya memberikan kewenangan kepada daerah, namun harus ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga pada waktu UU No. 18 Tahun 1997 berlaku belum ada satupun daerah yang mengusulkan pungutan baru karena dianggap hal tersebut sulit dilakukan. Selain itu, pengaturan agar Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus mendapat pengesahan dari Pusat juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah. Seiring dengan keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, maka UU No.18 Tahun 1997 diubag dengan UU No.34 Tahun 2000. Dengan diubahnya UU No.18 Tahun 1997 menjadi UU No.34 Tahun 2000, diharapkan pajak daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Dalam UU No.34 Tahun 2000 dan PP pendukungnya, yaitu PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang Retribusi
Dasar-dasar Keuangan Publik
271 Daerah menjelaskan perbedaan antara jenis pajak daerah yang dipungut oleh Propinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh Kabupaten/Kota. Jenis-Jenis Pajak Daerah Propinsi Pajak Propinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis pajak, yaitu : (i) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (PKB & KAA); (ii) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB & KAA); (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB); (iv) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan (P3ABT & AP). Jenis Pajak Propinsi bersifat limitatif yang berarti Propinsi tidak dapat memungut pajak lain selain yang telah ditetapkan, dan hanya dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam UU. Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh Propinsi terkait dengan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom yang terbatas yang hanya meliputi kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah Kabupaten/Kota dan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Namun demikian, dalam pelaksanaannya Propinsi dapat tidak memungut jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk Pajak Propinsi yang ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia dan diatur dalam PP No.65 Tahun 2001. Jenis-Jenis Pajak Daerah Kabupaten Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak (Pasal 2 ayat 2), yaitu : (i) Pajak Hotel; (ii) Pajak Restoran; (iii) Pajak Hiburan; (iv) Pajak Reklame; (v) Pajak Penerangan Jalan; (vi) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; (vii) Pajak Parkir. Jenis pajak Kabupaten/Kota tidak bersifat limitatif, artinya Kabupaten/Kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber keuangannya selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam UU No. 34 Tahun 2000, dengan menetapkan sendiri jenis pajak yang bersifat spesifik dengan memperhatikan kriteria yang ditetapkan dalam UU tersebut. Kriteria dimaksud (Pasal 2 ayat 4) adalah : a. Bersifat pajak dan bukan retribusi; b. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan; c. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum; d. Objek pajak bukan merupakan objek pajak Propinsi dan/atau objek pajak Pusat; e. Potensinya memadai; f. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif; g. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan h. Menjaga kelestarian lingkungan. Dasar-dasar Keuangan Publik
272
Ketentuan Mengenai Bagi Peruntukkannya (Pasal 2A)
Hasil
Pajak
Propinsi
dan
Hasil penerimaan pajak Propinsi sebagian diperuntukkan bagi Daerah Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi yang bersangkutan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 30% (tiga puluh persen); b. Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen); c. Hasil penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan diserahkan kepada Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 70% (tujuh puluh persen). Hasil penerimaan pajak Kabupaten diperuntukkan paling sedikit 10% (sepuluh persen) bagi Desa di wilayah Daerah Kabupaten yang bersangkutan. Bagian Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar Daerah Kabupaten/Kota. Bagian Desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar Desa. Penggunaan bagian Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan sepenuhnya oleh Daerah Kabupaten/Kota. Dalam hal hasil penerimaan pajak Kabupaten/Kota dalam suatu Propinsi terkonsentrasi pada sejumlah kecil Daerah Kabupaten/Kota, Gubernur berwenang merealokasikan hasil penerimaan pajak tersebut kepada Daerah Kabupaten/Kota dalam Propinsi yang bersangkutan. Dalam hal objek pajak Kabupaten/Kota dalam satu Propinsi yang bersifat lintas Daerah Kabupaten/Kota, Gubernur berwenang untuk merealokasikan hasil penerimaan pajak tersebut kepada Daerah Kabupaten/Kota yang terkait. Sedangkan ketentuan mengenai realokasi dilakukan oleh Gubernur atas dasar kesepakatan yang dicapai antar Daerah Kabupaten/Kota yang terkait dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Tarif Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk Pajak Propinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah, namun tidak boleh lebih tinggi dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU tersebut. Dengan adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh Propinsi dan yang dipungut oleh Kabupaten/Kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda. Disebutkan dalam UU No. 34/2000 Pasal 3 ayat (1), tarif jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar: a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 5% (lima persen); b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 10% (sepuluh persen); c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);
Dasar-dasar Keuangan Publik
273 d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20% (dua puluh persen); e. Pajak Hotel 10% (sepuluh persen); f. Pajak Restoran 10% (sepuluh persen); g. Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen); h. Pajak Reklame 25 % (dua puluh lima persen); i. Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen); j. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen); k. Pajak Parkir 20% (dua puluh persen). Peranan Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Mendukung Pembiayaan Daerah Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen dari PAD, adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan inidiperlihatkan dalam suatu studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI8 bahwa banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh: • Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi. • Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan. • Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah. Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani olehbiaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy9 yang 8
Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia, LPEM Universitas Indonsia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI, Jakarta, 1999.
9
Buoyancy adalah perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak terhadap persentase perubahan pendapatan nasional. Dengan kata lain, buoyancy adalah elastisitas penerimaan
Dasar-dasar Keuangan Publik
274
•
rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi antar daerah yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian besar daerah Propinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang dari 10%10. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antar daerah juga sangat timpang karena basis pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
Tidak signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari ‘sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang tentunya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah penerimaan pajak yang dipungut oleh daerah hanya sebesar 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah).11 Ketimpangan dalam penguasaaan sumbersumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”.
perpajakan terhadap PDB yang menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan perpajakan apabila PDB berubah 1%. 10
Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2001.
11
Machfud Sidik. 2002. op.cit. hal. 8.
Dasar-dasar Keuangan Publik
275
B A B XXVIII PINJAMAN DAERAH Pendahuluan injaman merupakan alternatif lain yang bisa dipilih untuk membiayai pembangunan daerah. Sumber pinjaman dapat berasal dari berbagai pihak, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya pihak yang dapat dijadikan sumber pinjaman membuat pembiayaan pembangunan dengan pinjaman mampu mengumpulkan dana yang cukup besar. Pinjaman dalam negeri dapat berasal dari; Pemerintah Pusat, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, masyarakat, dan sumber lainnya seperti pinjaman dari daerah lain. Pinjaman yang berasal dari masyarakat penghimpunan dana dapat melalui penerbitan Obligasi Daerah. Walaupun kemungkinan nilai pinjaman yang mampu dikumpulkan cukup besar karena banyaknya sumber yang bisa digunakan, namun perlu diperhatikan adanya batas meminjam yang disesuaikan dengan kemampuan tiap-tiap daerah. Risiko yang terkandung dalam melakukan pinjaman, terutama risiko dalam pembayaran bunga maupun pokok, harus menjadi pertimbangan dalam melakukan pinjaman. Pinjaman juga dapat dibedakan berdasarkan jangka waktu; jangka pendek dan jangka panjang. Pemilihan jangka waktu akan sangat tergantung pada jenis proyek yang akan dibiayai.
P
Pada bagian ini akan dibahas mengenai tujuan dan batas-batas pinjaman, metode dan sumber-sumber pinjaman, persyaratan-persyaratan pinjaman, dan kemampuan meminjam (ability to borrowing). Dan agar pembahasan ini lebih riil di lapangan, dalam subbagian selanjutnya akan disajikan praktek pinjaman daerah di Indonesia.
Tujuan dan Batas-Batas Pinjaman Pemerintah Daerah dapat membiayai sebagian pengeluarannya dengan melakukan pinjaman. Dalam konstitusi di berbagai negara, masalah kewenangan daerah untuk meminjam ini telah diatur. Pada dasarnya kewenangan daerah Dasar-dasar Keuangan Publik
276 melakukan pinjaman adalah seperti yang dituliskan oleh Davey (1983), bahwa berbagai pinjaman dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. untuk menutup kebutuhan dana (cash) jangka pendek; 2. untuk membiayai kekurangan dana anggaran tahunan berupa biaya rutin dan beban hutang; 3. untuk membeli pabrik dan peralatan dengan unsur jangka menengah; 4. untuk membiayai investasi yang diharapkan dapat menghasilkan penerimaan bagi daerah; 5. untuk membiayai pembangunan modal jangka panjang (prasarana atau penyediaan pelayanan umum). Pinjaman dengan maksud untuk menutup kebutuhan dana jangka pendek adalah sangat umum dilakukan, biasanya sebagai suatu keharusan karena pola pengumupulan penerimaan daerah yang tidak seimbang. Bentuk pinjaman yang umum berupa bank overdraft, akan tetapi Pemerintah Daerah seringkali mencari pinjaman langsung dari deposito jangka pendek dari masyarakat berupa short-term bills, dengan jangka waktu sampai tiga bulan. Kekurangan dana dari anggaran tahunan adalah hal yang umum terjadi untuk Pemerintah Pusat. Tetapi jarang diperkenankan bagi Pemerintah Daerah. Pada tahun 1975, Pemerintah Daerah di Italia meminjam 61% dari penerimaan kotor mereka untuk membiayai pengeluaran modal, membayar hutang dan membiayai sebagaian besar dari biaya-biaya rutin (operating cost). Pemerintahan New York juga pernah melakukan pinjaman untuk membayar gaji pegawai dan uang pensiunan dan membayar hutang yang telah jatuh tempo. Pembelian sebuah pabrik dan peralatan lainnya juga dapat dibiayai dengan pinjaman. Suatu cara penyelesaian yang umum untuk membeli peralatan dengan pinjaman adalah dengan membeda-bedakan perkiraan umur masingmasing peralatan. Pilihan lain adalah dengan cara pinjam sewa (leasing). Cara leasing ini semakin dikenal untuk menghindari pembelian peralatan yang cepat menjadi usang sebagai akibat perubahan teknologi. Praktek dan konsep yang secara luas dapat diterima adalah dana pinjaman untuk membiayai kegiatan investasi yang dapat “membiayai sendiri”. Maksudnya adalah, proyek yang dibiayai tersebut dapat menghasilkan penerimaan (revenue) yang dapat digunakan untuk membayar kembali dana pinjaman. Praktek-praktek seperti ini antara lain sering diterapkan di negara-negara maju. Sebagai contoh, pembangunan British New Town Corporation dibiayai oleh Pemeirntah Pusat Inggris. Pengembalian pinjaman tersebut dari hasil penjualan rumah-rumah dan toko-toko yang dibangun oleh British. Pemerintah negara bagian di Amerika Serikat juga mengadakan pinjaman melalui industrial aid bonds untuk menyediakan dana investasi perusahaan manufaktur perorangan. Manfaat dari pinjaman seperti ini adalah, selain mendapatkan sumber penerimaan bagi daerah, Pemerintah Daerah juga mampu menyediakan pelayanan publik secara lebih baik. Sementara itu, penggunaan dana pinjaman untuk membiayai pembangunan prasarana dan penyediaan pelayanan umum, biasanya diarahkan untuk membiayai prasarana publik yang reraltif cenderung lebih mengedepankan Dasar-dasar Keuangan Publik
277 manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat dibandingkan dengan revenue yang dihasilkan. Oleh karenanya, sumber pinjaman untuk pembiayaan jenis ini biasanya berasal dari negara-negara donor dengan tingkat bunga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bunga komersial. Dari pembahasan ini prinsip dasar yang harus dipegang ketika Pemerintah Daerah melakukan pinjaman adalah bahwa penggunaan dana pinjaman harus sesuai dengan karakteristik dari pinjaman itu sendiri. Pinjaman yang bersifat jangka pendek, tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan atau investasi jangka panjang, karena akan menimbulkan mismatch (ketidaktepatan) antara pembayaran pinjaman yang jatuh tempo dengan waktu penerimaan penghasilan. Dengan kata lain, sesungguhnya batasan-batasan atau teknik-teknik pembiayaan yang berlaku dalam dunia korporasi juga berlaku bagi Pemerintah Daerah.
Metode dan Sumber-Sumber Pinjaman Terdapat beberapa sumber pinjaman dan metode pinjaman yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah, yaitu: 1. Pinjaman yang bersumber dari pemerintah yang lebih atas (umumnya dari Pemerintah Pusat). 2. Pinjaman yang bersumber dari badan-badan internasional, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB), Bank Pembangunan Amerika Latin (untuk negara-negara di kawasan Amerika Latin), Bank Asia Afrika dan bantuan bilateral, yang biasanya pinjaman ini diberikan kepada Pemerintah Pusat negara yang bersangkutan melalui mekanisme pinjaman two step loan atau subsidary loan aggreement.12 3. Pinjaman yang berasal dari bank sentral di negara masing-masing. 4. Obligasi Jangka Panjang (bond) 5. Pinjaman jangka pendek yang diberikan oleh bank-bank komersial. 6. Pinjaman hipotek atas asset tetap. 7. Pinjaman internal yang berasal dari dana cadangan, misalnya dana pensiun. 8. Dana untuk sewa beli peralatan (leasing). 9. Dana kontraktor untuk pembangunan proyek-proyek. Di antara sistem pinjaman tersebut di atas, ada tiga cara yang paling sering digunakan oleh Pemerintah Daerah di berbagai negara. Pertama, adalah Pemerintah Pusat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah. Praktek ini diterapkan oleh India, dimana 71,6% pinjaman daerah berasal dari Pemerintah Pusat pada tahun 1979. Bahkan, di Indonesia, hampir 100% pinjaman jangka panjang Pemerintah Daerah berasal dari Pemerintah Pusat, karena ada larangan dari Pemerintah Pusat bagi Pemerintah Daerah untuk meminjam di luar skema Pemerintah Pusat. Pembahasan lebih lanjut untuk kasus di Indonesia ini akan di bahas secara khusus di subbagian berikutnya. Kedua, sumber dana yang berasal 12
Mekanisme pinjaman two step loan dan subsidiary loan aggreement adalah pinjaman dari luar negeri ke Pemerintah Pusat, kemudian oleh Pemerintah Pusat, pinjaman tersebut diteruskan ke Pemerintah Daerah.
Dasar-dasar Keuangan Publik
278 dari pasar keuangan. Misalnya, dengan mengeluarkan obligasi (bonds) di pasar modal. Ketiga, melalui bank-bank komersial, khusus untuk pinjaman jangka pendek untuk memenuhi cash flow Pemerintah Daerah.
Persyaratan-Persyaratan Pinjaman Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam ketentuan pinjaman adalah (i) jangka waktu pinjaman; (ii) cara pembayaran kembali; (iii) tingkat bunga; (iv) keamanan pinjaman; dan (v) persetujuan dan penyidikan. Jangka waktu pinjaman sangat tergantung dengan tujuan penggunaan pinjaman. Jangka waktu pinjaman Pemerintah Daerah bisa saja berkisar antara 24 jam (overnight) hingga 40 tahun. Untuk tujuan capital investment, maka Pemerintah Daerah harus mendapatkan pinjaman dengan jangka waktu yang setidaknya sama dengan umur proyek. Sebagai pilihan yang dapat dilakukan adalah dimana jangka waktu pinjaman dapat diturunkan sesuai penerimaan dari pajak dan retribusi untuk mengimbangi beban pinjaman tersebut. Yang terpenting adalah bahwa jangka waktu pinjaman bergantung pada sikap pasar serta suku bunga yang berlaku. Biasanya, pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat atau lembaga keuanga internasional sering mencari turnover dana yang dipinjamkan secepat mungkin, misalnya pinjaman untuk masa 10 tahun, dengan maksud agar dapat meningkatkan kemampuan finansial Pemerintah Daerah. Persyaratan cara pembayaran kembali akan tergantung pada metode pembayaran yang dilakukan. Jika menggunakan metode anuitas berarti membayar beberapa kali angsuran dalam jumlah yang sama besarnya setiap kali pembayaran hingga masa pembayaran selesai. Komponen dalam setiap kali pembayaran tersebut adalah pokok pinjaman dan bunga pinjaman. Metode pembayaran yang lain adalah menggunakan metode sinking fund, dimana angsuran pinjaman dibayar secara tetap, sehingga hutang pokok yang dibayarkan adalah kumulatif selama masa pinjaman. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa bila cara sinking fund dtelah diterapkan dan untuk memenuhi kewajibannya disanggupi dengan baik, namun dalam prakteknya metode ini sering lebih merupakan usaha penyelematan terhadap utang kepada pihak luar (external debt). Persyaratan tingkat bunga pinjaman yang bersumber dari pasar keuangan pasti didasarkan pada bunga pasar. Pada umumnya, semakin lama suatu pinjaman, tingkat bunga pun akan semakin tinggi. Sementara itu, pinjaman dari lembaga-lembaga internasional oleh suatu Pemerintah biasanya memberlakukan bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan bunga pasar. Namun, pinjaman dari lembaga-lembaga internasional tersebut juga memberlakukan fee, berupa management fee dan commitment fee yang besarnya sangat tergantung dari negosiasi antara kedua belah pihak. Di Indonesia, misalnya, management fee dan commitment fee sekitar 0,25% dari pinjaman yang belum ditarik. Persyaratan keamanan pinjaman muncul karena pihak pemberi pinjaman biasanya menghendaki suatu keadaan aman terhadap kegagalan pembayaran Dasar-dasar Keuangan Publik
279 kembali. Makanya, dalam berbagai klausul pinjaman oleh Pemerintah Daerah, tidak jarang pemberi pinjaman meminta adanya jaminan dari Pemerintah Pusat atau dijamin dengan aset tertentu. Persyaratan persetujuan muncul karena suatu pinjaman yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah, biasanya tidak dapat dilakukan sebelum ada persetujuan dari lembaga yang berwenang, misalnya lembaga perwakilan daerah. Dalam konteks di Indonesia, pinjaman yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah baru dapat dijalankan jika DPRD setempat memberikan persetujuan.
Penggunaan Pinjaman Dalam Pembiayaan Kebutuhan akan pinjaman daerah muncul akibat kecenderungan yang terjadi dimana peningkatan peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan dan pembiayaan pembangunan proyek-proyek investasi daerah, misalnya proyekproyek infrastruktur, semakin besar. Hal ini dilandasi dengan perkembangan tingkat urbanisasi yang lebih tinggi daripada kemampuan daerah menyediakan berbagai infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik. Kewenangan yang lebih besar kepada Daerah untuk menentukan prioritas investasi daerah dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan daerah. Keterbatasan keuangan Pemerintah Pusat yang berimplikasi pada dana perimbangan pusat dan daerah. Keterbatasan Pemerintah Daerah dalam memobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari daerahnya sendiri menjadi alasan penggunaan pinjaman dalam pembiayaan suatu daerah. Dari sisi teori fiskal, pendapat yang mendukung pinjaman daerah mengacu pada prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity considerations). Proyek-proyek yang bersifat jangka panjang dengan manfaat ekonomi dan sosial selayaknya didanai oleh pembiayaan jangka panjang. Masyarakat yang menerima manfaat proyek di masa mendatang secara prinsip harus ikut menanggung beban biaya pengadaan proyek tersebut, sedangkan pinjaman daerah yang berasal dari sumber non-pemerintah (private debt sources) akan meningkatkan efisiensi penggunaannya, karena Pemerintah Daerah harus memperhitungkan secara tepat nilai opportunity cost of capital yang sesungguhnya dan memprioritaskan proyek-proyek yang akan dilaksanakannya sesuai dengan tingkat manfaat sosial dan ekonomi (Alisjahbana, 2001). Prasyarat utama bagi diperbolehkannya daerah meminjam adalah dengan menerapkan “the golden rule guidelines” bagi pinjaman daerah (Magrassi, 2000): “ ...... local government should only use sub-national debt to finance capital projects that are anticipated to produce financial rate of returns that, vis-a-vis the project socioeconomic benefits, justify the debt service paid to lenders”. Untuk menghindari risiko yang dapat terjadi atas penggunaan pinjaman daerah dalam pembiayaan hendaknya memperhatikan kaidah yang berlaku dalam memperkirakan kapasitas meminjam Pemerintah Daerah. Dua ukuran yang sering digunakan untuk itu adalah Debt Service Ratio (DSR) dan Debt Coverage Ratio (DCR). DSR merupakan ambang batas kemampuan pelunasan daerah yang pada prinsipnya digunakan Pemerintah Daerah untuk mengendalikan jumlah pinjaman yang relatif aman. Sedangkan DCR pada prinsipnya merupakan angka Dasar-dasar Keuangan Publik
280 perbandingan antara perkiraan kemampuan daerah yang dapat disisihkan (tabungan neto) dengan total rencana pembayaran pinjaman setiap tahunnya. Istilah disisihkan dimaksudkan untuk mempertegas adanya rencana untuk membiayai proyek melalui dana pinjaman daerah, dan terutama tersedianya dana untuk pengembalian pinjaman secara aman.
Praktek Pinjaman Daerah di Indonesia Ketentuan Dasar Pinjaman Daerah di Indonesia Undang-undang No. 25 Tahun 1999 menyebutkan bahwa daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari; (a) sumber dalam negeri (b) sumber luar negeri. Pinjaman daerah yang berasal dari luar negeri harus melalui Pemerintah Pusat, perlunya persetujuan Pemerintah Pusat harus ada evaluasi yang menyeluruh tentang aspek-aspek dapat tidaknya usulan pinjaman untuk diproses lebih lanjut. Sedangkan untuk pinjaman dari dalam negeri dapat secara langsung dilakukan bila disetujui oleh DPRD dengan prinsip pinjaman tersebut harus secara langsung dikaitkan dengan kemampuan daerah untuk membayar pinjamannya. Undangundang No 25 Tahun 1999 Pasal 11 ayat 1 menyebutkan bahwa: "Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya". Pinjaman dari dalam negeri dapat bersumber dari (PP 107/2000 pasal 2 ayat 2); § Pemerintahan Pusat § Lembaga Keuangan Bank § Lembaga Keuangan Bukan Bank § Masyarakat § Sumber Lainnya Pinjaman daerah menurut PP No 107 Tahun 2000 adalah: semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang, sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Dalam hal ini, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Pinjaman pada dasarnya dapat digunakan untuk pembiayaan defisit aliran kas jangka pendek; pembiayaan defisit anggaran rutin tahunan; pembelian peralatan dan kendaraan yang memiliki umur ekonomis jangka menengah; pembiayaan investasi yang diharapkan dapat secara langsung menghasilkan pendapatan, dan pembiayaan investasi jangka panjang yang tidak menghasilkan pendapatan secara langsung. Walaupun demikian, pinjaman harus didefinisikan sebagai sumber dana pelengkap untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Pinjaman harus secara langsung dikaitkan dengan kemampuan mengangsur serta cara mengalokasikan pada pembangunan dan atau penyediaan layanan publik yang produktif. Pinjaman daerah sebaiknya bersifat jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat (Wiratmo, 2001). Berdasarkan penggunaan dan melihat jangka waktunya maka; a. Pinjaman jangka pendek dapat digunakan untuk membantu kelancaran arus kas dan dana awal bagi investasi jangka panjang
Dasar-dasar Keuangan Publik
281 b. Pinjaman jangka panjang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Beberapa Isu yang Terkait dengan Regulasi Pinjaman Daerah Pada tahun 1999, Pemerintah RI memberlakukan dua undang-undang penting yang berkaitan dengan desentralisasi, yaitu UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan terjadi perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut intergovernment fiscal relation yang dalam UU 25/1999 disebut perimbangan keuangan. Salah satu hal penting yang membedakan derajat desentralisasi fiskal antara sebelum dan sesudah keluarnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 adalah diperkenankannya Daerah melakukan pinjaman sendiri secara langsung, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri, yang artinya Pemerintah Pusat tidak menjadi penjamin (sovereign guarantor). Kondisi ini sangat berbeda dengan ketentuan mengenai pinjaman daerah sebelum UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 (lihat Tabel 28-1 ). Namun, pada kenyataannya lembaga lender multilateral (ADB, World Bank, dan lain-lain) mensyaratkan perpanjian pinjaman dilakukan oleh negara sebagai anggota, yang dalam hal ini adalah Pemerintah Pusat. Hal yang sama juga berlaku untuk pinjaman bilateral, dimana negara lender hanya melakukan pinjaman dengan Pemerintah Pusat sebagai peminjam (Pakpahan, 2004). Pasal 11 UU No. 25/1999 menyebutkan bahwa: (1) Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya; (2) Daerah melakukan pinjaman dari sumber luar negeri melalui Pemerintah Pusat; (3) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat; dan (4) Daerah dapat melakukan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas Daerah.
Dasar-dasar Keuangan Publik
282 Tabel 28-1: Pinjaman Daerah Sebelum dan Setelah Kebijakan Desentralisasi SEBELUM DESENTRALISASI
SETELAH DESENTRALISASI
Legal Foundation UU No. 25/1999 PP 107/2000 Institutional Setting Persetujuan (Approval) Persetujuan (Approval) • Menteri Dalam Negeri, berkenaan • Menteri Keuangan dengan persetujuan batas • DPRD maksimum pinjaman dan persetujuan pemberian. • Menteri Keuangan, sebagai pengawas RPD dan persetujuannya Batasan Pinjaman (Persyaratan) Batasan Pinjaman (Persyaratan) • 1982: Debt Service Coverage Ratio • Jumlah kumulatif pokok pinjaman (DSCR) < 15% yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah Penerimaan • Kepmendagri Nomor 96 Tahun Umum APBD tahun sebelumnya. 1994: § Minimum DSCR = 1 • DSCR minimal 2,5 berdasarkan § Average DSCR > 1,5 proyeksi penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu pinjaman. • Jumlah maksimum pinjaman jangka pendek adalah 1/6 jumlah belanja APBD tahun anggaran berjalan. Sumber-Sumber Pinjaman • Pinjaman Luar Negeri Pemerintah • Sumber Dalam Negeri: § Pemerintah Pusat Pusat § Perbankan • Pinjaman Pemerintah Pusat melalui § Lembaga keuangan nonRDI bank • INPRES untuk pembangunan pasar § Sumber-sumber lain • IPEDA • Sumber-sumber lain (BPD dan • Sumber Luar Negeri § Bilateral sektor swasta) § Multilateral • Pemerintah Pusat melalui RPD Sumber: Alm & Mulyani, 2000 UU No. 5/1974
Lebih jauh, dalam rangka mengimplementasikan Pasal 11 UU No. 25/1999, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan regulasi/peraturan, yaitu PP 107/2000 tentang Pinjaman Daerah. Beberapa komponen kunci tentang pinjaman daerah yang ditetapkan oleh UU No. 25/1999 dan PP 107/2000 adalah sebagai berikut:
Dasar-dasar Keuangan Publik
283 Sumber Pinjaman Indonesia/Dalam Negeri
Institusi tempat Meminjam • Pemerintah Pusat; • Lembaga Keuangan Bank; • Lembaga Keuangan Bukan Bank; • Masyarakat; • Sumber lainnya. Luar Negeri • Bilateral • Multilateral Sumber: Pasal 11 UU No. 25/1999 dan Pasal 2 PP 107/2000
Jenis/Tipe Pinjaman Jangka Panjang (Long Term)
Penggunaannya • Hanya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset Daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Jangka Pendek (Short Term) • Daerah dapat melakukan Pinjaman Jangka Pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan Kas Daerah. Sumber: Pasal 11 UU No. 25/1999 dan Pasal 4 & 5 PP 107/2000 Persyaratan Jangka Panjang (Long Term)
Jangka Pendek (Short Term)
Keterangan • Jumlah kumulatif pokok Pinjaman Daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya; dan • Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran Daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit 2,5 (dua setengah). • Jumlah maksimum Pinjaman Jangka Pendek adalah 1/6 (satu per enam) dari jumlah belanja APBD tahun anggaran yang berjalan.
Sumber: Pasal 6 & 7 PP 107/2000
Dasar-dasar Keuangan Publik
284 Prosedur Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat • Untuk memperoleh pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Daerah mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk dilakukan evaluasi. • Perjanjian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Kepala Daerah. Sumber: Pasal 12 PP 107/2000 Prosedur Pinjaman Daerah dari Luar Negeri • Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui Pemerintah Pusat. • Daerah mengajukan usulan pinjaman kepada Pemerintah Pusat disertai surat persetujuan DPRD, studi kelayakan dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan. • Pemerintah Pusat melakukan evaluasi dari berbagai aspek untuk dapat tidaknya menyetujui usulan tersebut. • Apabila Pemerintah Pusat telah memberikan persetujuan, Pemerintah Daerah mengadakan perundingan dengan calon pemberi pinjaman yang hasilnya dilaporkan untuk mendapatkan persetujuan Pemerintah Pusat. • Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. • Perjanjian Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri ditandatangani oleh Kepala Daerah dengan pemberi pinjaman luar negeri. Sumber: Pasal 13 PP 107/2000 Pembayaran Kembali Pinjaman Daerah • Semua pembayaran yang menjadi kewajiban Daerah yang jatuh tempo atas Pinjaman Daerah merupakan prioritas dan dianggarkan dalam pengeluaran APBD. • Pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri oleh Daerah, dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman luar negeri. • Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Pusat memperhitungkan kewajiban tersebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) kepada Daerah. • Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban pembayaran atas Pinjaman Daerah yang bersumber dari luar negeri, maka kewajiban tersebut diselesaikan sesuai perjanjian pinjaman. Sumber: Pasal 14 PP 107/2000 Larangan Penjaminan • Daerah dilarang melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan terhadap pinjaman pihak lain yang mengakibatkan beban atas keuangan Daerah. • Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijadikan jaminan dalam memperoleh Pinjaman Daerah. Sumber: Pasal 10 PP 107/2000
Dasar-dasar Keuangan Publik
285
B A B XXIX KOORDINASI PAJAK INTERNATIONAL Pendahuluan ransaksi internasional bukan merupakan hal yang baru. Transaksi tersebut sudah dilakukan sejak jauh sebelum abad Masehi. Ekonom klasik menaruh perhatian terhadap perdagangan internasional. Adam Smith atau David Ricardo berpendapat bahwa negara akan lebih baik apabila melakukan spesialisasi produksi barang berdasarkan keuntungan komparatifnya, mengekspor barang tersebut dan mengimpor barang dari negara lain yang bisa memproduksi barang lain dengan lebih efisien. Sebagai contoh, negara dengan tenaga kerja murah akan lebih baik memproduksi barang bercirikan padat karya, seperti tekstil dan sepatu. Negara dengan kemampuan teknologi tinggi sebaiknya memproduksi barang seperti computer atau perangkat lunak. Kemudian kedua negara tersebut akan melakukan pertukaran: negara yang satu mengeksport tekstil dan mengimpor computer, sedangkan yang lainnya mengekspor computer dan mengimpor tekstil. Dengan cara semacam itu kemakmuran dunia akan semakin meningkat. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai doktrin keunggulan komparatif. Asumsi dalam teori tersebut adalah bahwa faktor produksi seperti tenaga kerja, modal, tanah dan mesin tidak mudah berpindah (tidak mobil), sedangkan barang yang dihasilkan bisa dipindahkan dengan mudah. Juga teori tersebut mengasumsikan pertukaran barang komoditi, bukannya barang yang terdiferensiasi. Daya saing suatu negara sudah ditentukan (given), tergantung sumberdaya yang dipunyai. Faktor lain seperti ketidakpastian, skala ekonomi, teknologi tidak dipertimbangkan dalam teori tersebut.
T
Perusahaan multinasional tumbuh dengan menyalahi doktrin keunggulan komparatif. Jika ekonomi klasik mengasumsikan bahwa faktor produksi tidak mudah berpindah, perusahaan multinasional dibangun dengan asumsi bahwa faktor produksi sangat mobil. Perusahaan multinasional bisa memproduksi barang di Indonesia (karena tenaga kerja murah), kemudian memperoleh modal dari pasar keuangan eropa, produk didesain di prancis, kemudian barang jadi dijual ke
Dasar-dasar Keuangan Publik
286 Amerika Serikat, sedangkan pusat perusahaan tersebut di Jepang. Faktor produksi tidak dibatasi oleh batas-batas negara, tetapi sudah melintas batas-batas negara. Koordinasi dan alokasi sumberdaya menjadi kunci pengelolaan perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional berusaha mengoptimalkan sumberdaya yang ada di dunia ini tidak terbatas pada batas-batas negara. Gambaran mengenai perusahaan multinasional tersebut diatas menunjukkan fakta bahwa semakin hari akan semakin meningkat saling ketergantungan perekonomian dunia dan kondisi ini akan semakin mempengaruhi aspek internasional dalam hal keuangan publik. Penyatuan perekonomian Eropa ke dalam pasar bersama, makin meningkatnya peranan perusahaan multinasional, pembiayaan badan kerjasama internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan NATO, dan ketimpangan distribusi pendapatan internasional akan mengarah kepada perlunya koordinasi fiskal internasional. Setiap negara tentunya akan mengatur bagaimana negara tersebut akan menarik pajak terhadap pendapatan warga negaranya yang diperolehnya dari luar negeri dan pendapatan warga negara asing yang berasal dari dalam negeri. Sejalan dengan kondisi tersebut suatu negara tentunya juga harus mengatur bagaimana pajak produk dan pajak penjualan dari negara bersangkutan akan diterapkan pada sistem ekspor impornya. Keputusan ini tentunya akan diambil secara bersamasama dengan negara lain, dan perjanjian pajak internasional merupakan suatu media yang dapat mengkoordinasikan masalah-masalah tersebut. Dalam hal penerapan koordinasi pajak internasional, terdapat beberapa asas yang perlu diperhatikan yang diantaranya adalah: 1. 2. 3.
Keadilan antar perorangan Keadilan antar negara Efisiensi Keadilan Antar Perorangan
Dalam prakteknya, jika seseorang menerima pendapatan yang berasal dari berbagai negara, dia akan dikenakan pajak lebih dari satu kali. Misalnya adalah Mr. A, seorang warga negara Amerika Serikat, yang dalam masa tertentu bekerja di Indonesia, akan membayar pajak sesuai dengan ketentuan Indonesia atas penghasilan yang diperolehnya di Indonesia. Dalam kasus lain, Mr. A juga melakukan investasi di Indonesia dan menerima deviden yang dikenakan pajak oleh Indonesia. Karena dia juga menerima pendapatan sebagai warga negara Amerika Serikat, tentunya Mr. A juga akan dikenakan pajak oleh pemerintah Amerika Serikat. Dalam kasus ini yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keadilan horizontal (keadilan antar perorangan) yang mengharuskan bahwa pajak total yang dibayarnya (baik didalam maupun luar negeri) akan sama dengan pajak yang di bayar oleh Mr. B, yang menerima pendapatan total yang sama tetapi seluruhnya berasal dari Amerika Serikat? Atau sudah cukupkah kiranya jika Amerika Serikat menganggap pajak yang di bayar ke negara lain sebagai pengurangan pendapatan dan menyamakan beban pajak sesuai dengan
Dasar-dasar Keuangan Publik
287 pengenaan pajak di Amerika Serikat saja? Dalam kasus Mr. A, keadilan diinterpretasikan dalam artian internasional, sedangkan dalam kasus Mr. B keadilan diinterpretasikan dalam artian nasional. Keadilan Antar Negara Masalah keadilan yang lebih pelik akan kita temui dalam menentukan pembagian penerimaan pajak diantara ditjen pajak atau departemen keuangan di berbagai negara. Meskipun dengan cara yang berbeda, masalah ini akan timbul baik dalam hal pajak penghasilan maupun pajak produk. Sehubungan dengan pajak penghasilan, secara umum disetujui bahwa negara dimana pendapatan itu dihasilkan (juga di sebut sebagai negara sumber) berhak menarik pajak atas pendapatan tersebut, tetapi berapa tarif yang akan di kenakan masih menjadi persoalan. Konsekuensi dari kondisi tersebut di atas adalah bahwa pajak Indonesia yang di kenakan terhadap penghasilan atas modal Amerika Serikat yang ditanamkan di Indonesia tentunya akan mengurangi pengembalian (return) bagi Amerika Serikat. Berbeda halnya dengan pajak tambahan yang mungkin di kenakan oleh Amerika Serikat, sehingga tidak akan merugikan bagi Amerika Serikat tetapi hanya merupakan transfer dari warga negara Amerika Serikat ke Departemen Keuangan Amerika Serikat. Oleh karena itu, kerugian yang di derita Amerika Serikat hanya akan tergantung pada tarif pajak atas modal Amerika Serikat yang di kenakan di Indonesia. Salah satu pandangan mengenai keadilan antar negara adalah bahwa negara sumber harus diperbolehkan menarik pajak atas pendapatan yang di peroleh investor asing dengan tarif sebesar yang di kenakan negara lain atas pendapatan warganya di negara tersebut. Kondisi ini bisa disebut sebagai prinsip berbalasan. Dalam hal pajak produk, masalah keadilan berkaitan dengan kemungkinan untuk membebani warga asing melalui perubahan harga. Jika negara A mengenakan pajak atas ekspor, tentunya biaya ekspor akan naik. Jika negara tersebut mendominasi pasar ekspor, harga ekspor akan naik dan konsumen di luar negeri akan membayar lebih mahal. Jadi, sebagian dari beban pajak akan digeser keluar negeri. Sejalan dengan itu, jika Impor dikenakan pajak, pemasok luar negeri harus menjual produknya dengan harga yang lebih rendah. Hal ini juga menunjukkan bahwa sebagian beban pajak akan di geser keluar negeri. Jika kita menerima kriteria bahwa suatu negara harus membayar pajaknya sendiri, maka penggeseran beban semacam itu bisa dianggap sebagai hambatan bagi keadilan antar negara. Efisiensi Perbedaan tarif pajak tentunya akan mempengaruhi lokasi dari kegiatan perekonomian dan cenderung menghambat penggunaan sumber daya yang paling efisien. Jika Mr.C, seorang investor merasakan bahwa pajaknya akan lebih rendah apabila dia menanamkan modal di Vietnam dari pada di Indonesia, maka Mr C akan menanamkan lebih banyak modalnya di Vietnam. Dengan demikian, permasalahannya adalah bagaimana mengelola pengenaan pajak atas pendapatan Dasar-dasar Keuangan Publik
288 dan investasi internasional sehingga tidak mengganggu efisiensi alokasi modal secara global. Kondisi ini akan mengakibatkan bahwa lokasi produksi tidak lagi di tentukan oleh keunggulan komparatif (atau biaya sumber daya relatif), yang merupakan persyaratan bagi perdagangan yang efisien, tetapi di modifikasi oleh perbedaan biaya pajak.
Prinsip Prinsip Pajak Internasional Berbagai struktur sistem pajak nasional mempunyai dampak yang sangat penting terhadap arah dan aliran baik barang maupun modal secara internasional dan konsekuensinya, akan tercipta efisiensi alokasi sumber daya di seluruh dunia dalam integrasi perekonomi dunia. Walaupun kemungkinan tidak ada satu negarapun yang secara ketat menerapkan prinsip prinsip pajak internasional. Pada dasarnya terdapat dua pendekatan dalam pajak internasional yang lazim dipergunakan yakni pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak Langsung /Capital Income (Direct) Taxation Dua prinsip dalam pajak penghasilan internasional adalah prinsip pajak berdasarkan asas domisili dan prinsip pajak berdasarkan asas sumber pendapatan. Prinsip pajak berdasarkan asas domisili menyatakan bahwa penduduk akan dikenakan pajak di negara di mana ia berdomisili tanpa memperhatikan darimana sumber penghasilan yang diperolehnya baik pendapatan yang diperolehnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi yang bukan merupakan penduduk tidak akan ditarik pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya di negara tersebut. Yang berkaitan erat dengan asas domisili ini adalah penentuan domisili bagi subjek pajak. Artinya, seseorang subjek pajak akan dianggap sebagai penduduk dalam negeri (resident taxpayer) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syaratsyarat in tergantung pada undang-undang masing-masing negara. Di samping itu, setiap negara mempunyai definisi penduduk sendiri-sendiri, yang berbeda dari negara lain, tergantung dari falsafah yang dianutnya. Prinsip pajak berdasarkan asas dari sumber pendapatan menyatakan bahwa seluruh pendapatan yang diperoleh di suatu negara akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan tempat domisili penerima pendapatan tersebut, baik itu warga negara ataupun bukan warga negara. Jadi, penduduk suatu negara tidak akan dikenakan pajak terhadap pendapatan yang diperolehnya di luar negeri dan warga negara asing akan dikenakan pajak sama dengan pendapatan penduduk yang diterima di negara tersebut. Penentuan sumber penghasilan tergantung dari dua hal yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan itu sendiri dan (b) penentuan sumber penghasilan berdasarkan undang-undang pajak dari suatu negara. Pada umumnya, untuk menentukan letak sumber penghasilan, jenis-jenis penghasilan dibagi menjadi dua, yaitu: • Penghasilan dari usaha (active income) • Penghasilan dari modal (passive income), misalnya dividen, bunga, royalty dan penghasilan dari harta.
Dasar-dasar Keuangan Publik
289 Pajak Komoditi (Pajak Tidak Langsung) Dengan menganalogikan pada pajak domisili dan pajak sumber pendapatan pada pajak langsung, terdapat dua prinsip pajak tidak langsung yang berlawanan satu sama lain (khususnya untuk pajak pertambahan nilai) yakni prinsip pajak tujuan dan prinsip pajak sumber. Menurut prinsip pajak tujuan, barang atau jasa yang dibeli oleh penduduk dikenakan pajak, baik barang atau jasa tersebut dibuat di dalam negeri ataupun barang import. Jadi barang barang impor akan dikenakan pajak sedangkan barang barang ekspor dibebaskan dari pajak. Menurut prinsip pajak sumber, segala barang maupun jasa yang bertujuan untuk konsumsi akhir pada suatu negara akan dikenakan pajak, tanpa memperhatikan sumber ataupun asal produksi.
Koordinasi Atas Pajak penghasilan Dan Pajak Laba Pengenaan Pajak atas Pendapatan yang Diperoleh Setiap negara berhak untuk menarik pajak atas pendapatan warganya entah di manapun pendapatan itu di peroleh. Secara umum prinsipnya adalah memperbolehkan pengenaan pajak atas pendapatan di negara sumber sedangkan negara asal warga bersangkutan akan memberikan kredit pajak. Kondisi ini selaras dengan konsep keadilan antar negara yang menyatakan bahwa negara sumber pendapatan tidak boleh melakukan diskriminasi, tetapi bisa menerapkan tarifnya sendiri terhadap penghasilan orang asing. Demikian juga dengan pemberian kredit pajak oleh negara asal warga bersangkutan, meskipun menyebabkan menurunnya penerimaan negara bersangkutan, kondisi ini selaras dengan pandangan internasional mengenai keadilan antar perorangan. Berkaitan dengan pengertian tersebut berikut illustrasi yang mungkin terjadi jika seseorang warga negara Amerika Serikat bekerja di Inggris. Nn. D yang bekerja selama enam bulan di Inggris dan kemudian kembali ke Amerika Serikat, akan membayar pajak Inggris Raya atas pendapatan yang diperolehnya di Inggris. Guna menentukan pajak yang akan di bayarnya di Amerika Serikat, pendapatan di Inggris juga akan diperhitungkan, tetapi pajak yang telah dibayar di Inggris akan dikreditkan terhadap kewajiban pajaknya di Amerika Serikat, karena hal itu merupakan pajak seharusnya akan dibayarnya seandainya pendapatan tersebut diperoleh di Amerika Serikat. Paling tidak itulah prosedurnya seandainya pajak yang dikenakan Inggris tidak melebihi pajak yang akan dikenakan Amerika Serikat atas pendapatan yang diperoleh di Inggris tersebut. Pengenaan Pajak Tehadap Pendapatan Atas Modal Pada umumnya terdapat beberapa ketentuan dalam memperlakukan pendapatan investasi asing; 1.
Investor perorangan yang menerima pendapatan investasi dari luar negeri akan membayar pajak penghasilan perorangan atas pendapatan tersebut. Pemerintah di negara sumber pendapatan lazimnya akan
Dasar-dasar Keuangan Publik
290
2.
3.
mengenakan withholding tax, misalnya sebesar 15 persen, yang selanjutnya akan dikreditkan terhadap pajak yang akan dibayarkan di negara asal investor. Perusahaan yang mengoperasikan kantor cabang di luar negeri akan dikenakan pajak atas laba kantor cabang sesuai dengan peraturan pajak perseroan negara bersangkutan. Untuk pengenan pajak di negara asal, laba perusahan induk dan kantor cabang akan dianggap sebagai satu unit. Perusahaan anak yang didirikan di luar negeri (foreign incomporated subsidiary), secara hukum merupakan satuan perusahaan terpisah. Labanya akan dikenakan pajak laba perseroan negara asing dan pajak untuk negara asal akan ditangguhkan sampai laba perusahaan anak tersebut dikirimkan ke perusahan induk sebagai deviden. Penangguhan Pajak
Ketentuan mengenai penangguhan pajak didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan anak diluar negeri benar-benar merupakan satuan usaha yang tepisah. Jadi, kelihatannya hal ini akan bertentangan dengan ketentuan mengenai pengkreditan yang mengganggap pajak perusahaan anak pada kenyataannya merupakan pajak perusahaan induk. Penangguhan pajak hampir tidak menimbulkan perbedaan apa pun bagi perusahaan induk jika pajak luar negeri tidak lebih kecil dari pajak yang akan dikenakan di dalam negeri. Jika kondisi ini terjadi (biasanya pada negara–negara yang sedang berkembang, dimana mungkin tarif pajak sangat rendah), perusahaan anak akan lebih condong untuk menginvestasikannya kembali labanya dinegara yang menerapkan tarif pajak yang rendah (yang disebut sebagai surga pajak). Pembagian Laba sebagai Dasar Pengenaan Pajak Dalam Lingkup Internasional Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa suatu negara berhak mengenakan pajak dari laba yang timbul di wilayah bersangkutan. Jika dikaitkan dengan perusahaan multinasional, implementasi dari aturan ini, akan menyebabkan perlunya ditentukan berapa besar laba yang timbul pada setiap negara. Hal ini merupakan persoalan yang rumit. Sebuah perusahaan Amerika Serikat mengoperasikan sebuah perusahaan anak di Kanada. Sesuai dengan konsep keadilan antar negara, Kanada berhak menarik pajak perusahaan anak tersebut. Tetapi dengan cara apakah laba ini benar-benar bisa dipisahkan dari laba perusahaan induknya di Amerika Serikat? Jika terjadi transaksi jual beli yang terjadi antara perusahan induk dan perusahaan anak, maka laba bisa di geser dari satu negara ke negara lain guna memanipulasi pajak agar diperoleh pajak yang terendah. Kesulitan akan berlipat ganda apabila serangkaian perusahaan anak beroperasi di berbagai negara. Untuk mengantisipasi kondisi ini, telah diupayakan berbagai aturan untuk menghambat penggeseran laba, misalnya: persyaratan agar harga ditentukan berdasarkan transaksi yang wajar dengan pihak ketiga atau transaksi tanpa hubungan istimewa (arm’s-length-basis). Karena kesulitan-kesulitan yang di hadapi Dasar-dasar Keuangan Publik
291 dalam menghitung laba yang terpisah bagi satuan satuan usaha yang terkait, maka pernah disarankan suatu cara yang berbeda sama sekali. Laba sebagai dasar pengenaan pajak (profits base) dari perusahaan multinasional dapat dialokasikan di antara negara negara tidak berdasarkan lokasi dari perusahaan anak tetapi berdasarkan negara asal laba yang diperoleh oleh group usaha tersebut secara keseluruhan. Negara asal tersebut bisa diperkirakan dengan suatu rumus yang memperhitungkan lokasi nilai tambah dan penjualan. Meskipun cukup menarik, namun pelaksanaan pendekatan ini memerlukan pengaturan pajak internasional dan karena itu masih merupakan alternatif yang tak terjangkau.
Koordinasi Pajak Produk Aspek Efisiensi Jika pajak penghasilan mempengaruhi aliran atau perpindahan modal, maka pajak produk mengarahkan perhatian kita pada pengaruhnya terhadap aliran produk. Hal ini akan semakin terasa jika kurs valuta asing bersifat fleksibel. Perdagangan internasional yang berlangsung secara bebas didasarkan pada argumen dasar bahwa semua negara yang berdagang akan mendapat manfaat jika masing-masing berspesalisasi pada produk di mana ia memiliki keunggulan komparatif. Anggaplah negara A mempunyai keunggulan komparatif dalam menghasilkan produk X sementara negara B mengimpor X dan mengekspor Y. Akan tetapi, karena biaya produksi semakin meningkat untuk jumlah yang makin besar, negara A akan tetap memproduksi sebagian dari Y dan negara B memproduksi sebagian dari X yang dibutuhkannya. Baik A maupun B akan lebih makmur daripada jika tidak ada perdagangan. Dengan mengekspor X dan mengimpor Y, negara A akan memperoleh pendapatan riil yang lebih tinggi daripada jika ia memproduksi semua Y yang dibutuhkannya, dan hal sebaliknya berlaku untuk B. Dalam menentukan apakah berbagai pajak yang ada berpengaruh atau tidak terhadap lokasi produksi, pertanyaan kini adalah apakah pajak bersangkutan mempengaruhi harga relatif antara barang produksi dalam negeri dan barang impor. Jika pajak mempengaruhi harga, konsumen akan mensubstitusikan kedua jenis barang itu satu sama lain dan lokasi produksi akan berbeda dari lokasi produksi untuk pajak yang netral. Pajak Konsumsi. Pajak konsumsi atau pajak tujuan produk (destination taxes) tidak mempengaruhi lokasi kecuali jika terdapat diskriminasi antara barang produksi dalam negeri dan barang impor, yaitu jika pajak tersebut dalam bentuk bea masuk dan cukai. Misalkan negara A mengenakan pajak terhadap konsumsi atas semua X dan Y, yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor. Ini tidak akan mempengaruhi perdagangan karena harga relatif antara produksi dalam negeri dan impor tidak berubah. Jika pajak itu hanya dikenakan terhadap Y, baik produksi domestik maupun impor, akibatnya konsumen akan menambah konsumsi X dan mengurangi konsumsi Y. Penyesuaian ini bisa mempengaruhi tingkat perdagangan, tetapi lokasi untuk kedua produk itu (pada tingkat produksi yang baru) masih akan tetap sejalan dengan keunggulan komparatif.
Dasar-dasar Keuangan Publik
292 Situasinya akan sangat jauh berbeda jika negara A mengenakan pajak hanya terhadap Y impor, yaitu terhadap Y dikenakan bea masuk. Pajak ini akan menyebabkan perbedaan harga relatif antara produk domestik dan impor, sehingga Y produksi dalam negeri akan mensubstitusi Y impor. Dengan menurunnya impor, mata uang A terhadap mata uang B akan naik. Jadi, ekspor X dari A juga akan menurun sampai tercapai suatu titik ekuilibrium pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dan dengan pemberian produksi X dan Y yang kurang efisien di antara negara A dan B. Pajak atau bea semacam itu akan melemahkan perdagangan yang efisien, dan dewasa ini telah banyak cara diupayakan untuk mengurangi perdagangan yang bersifat proteksionis. Pajak Produksi Dalam mempermasalahkan pajak produksi atau pajak asal produk (origin taxes), kita bisa melihat bahwa distorsi atau penyimpangan bisa saja terjadi meskipun tidak ada upaya untuk mendiskriminasikan produk luar negeri. Pertama-tama anggaplah bahwa harga negara B mengenakan pajak produksi umum misalnya cukai sebesar 10 persen terhadap barang X dan barang Y. Akibatnya, harga barang di negara B akan naik sejalan dengan pajak tersebut. Karena merasa bahwa harga produk dalam negeri telah naik jika dibandingkan dengan harga produk impor, konsumen negara B akan memperbesar impor. Konsumen negara A akan merasakan hal sebaliknya. Eksportir B akan menambahkan pajak tersebut ke biaya (harga) produknya sehingga harga barang impor bagi konsumen A menjadi lebih tinggi sehingga impor akan dikurangi. Jika kurs valuta asing bersifat fleksibel, kenaikan permintaan atas mata uang A dan penurunan permintaan atas mata uang B akan menyebabkan naiknya nilai mata uang A terhadap B. Ini akan menghambat keinginan konsumen B untuk menambah impor dan keinginan konsumen A untuk mengurangi impor. Perbandingan harga antara ekspor dan impor tidak akan berubah dan nilai riil perdagangan tidak terpengaruh. Situasinya akan berbeda jika pajak produksi negara B dikenakan hanya pada satu jenis produk saja, misalnya atas produk Y yang diekspornya. Sekali lagi konsumen A akan merasakan naiknya biaya (harga) Y dan akan mensubstitusinya dengan Y produksi dalam negeri. Dengan menurunnya impor A atas barang Y, nilai mata uang A terhadap B akan naik. Biaya impor bagi konsumen B menjadi naik dan karena itu impor dikurangi. Titik ekuilibrium yang baru akan dicapai pada tingkat perdagangan yang lebih rendah dengan disertai perubahan distribusi lokasi produksi. Sekarang negara A memproduksi lebih banyak barang Y dan negara B memproduksi lebih banyak barang X dari pada sebelumnya. Karena itu, pengenaan pajak produk hanya kepada barang Y saja di negara B menimbulkan efek distorsi yang mirip dengan efek distorsi yang timbul akibat dikenakannya bea masuk atas barang Y di negara A. Distorsi ini bisa dihindarkan seandainya barang B memberikan penghapusan pajak atas barang Y yang di ekspornya. Tindakan B akan membatalkan kenaikan harga barang impor Y di negara A sehingga tidak perlu mensubtitusinya dengan memproduksi Y di dalam negeri. Dengan dihapusnya pajak atas barang Y oleh negara B, maka pajak atas barang Y telah berubah dari pajak produksi menjadi pajak konsumsi. Artinya hal itu sejajar dengan pajak
Dasar-dasar Keuangan Publik
293 penjualan eceran atas produk Y di negara B yang seperti telah kita lihat, tidak mendistorsikan lokasi produksi sejauh dikenakan terhadap produk impor dan produk dalam negeri. Ceritanya juga akan sama jika B memajaki X. Konsumen B dalam hal ini akan melakukan subtitusi dengan X impor, dan penyesuain selanjutnya akan terjadi. Pada akhirnya, tingkat perdagangan riil akan naik, tetapi lagi-lagi lokasi produksi akan mengalami distorsi. Makin banyak X diproduksi di A dan makin banyak Y diproduksi di B dari pada sebelumnya. Distorsi dalam hal ini bisa dihindarkan jika B mengenakan bea masuk atas X untuk mengkompensasi pajak produksi X. Disini juga pajak berubah menjadi pajak konsumsi (yaitu pajak atas semua X yang di konsumsi di B) tanpa adanya distorsi atas lokasi produksi.
Koordinasi Pengeluaran Diantara sejumlah negara, sebagaimana halnya dengan pemerintah daerah, terdapat kepentingan bersama yang mendorong mereka untuk bekerja sama dalam proyek patungan. Ini bisa saja menyangkut pembangunan jalan di perbatasan dua negara, usaha pertahanan bersama seperti NATO, usaha bersama dalam memerangi penyakit, jaringan narkotik, dan pasar bersama. Semua ini menyebabkan perlunya pembagian beban biaya yang harus dipikul. Jika jumlah anggota kelompok atau pesertanya kecil, pembagian beban biaya bisa dirundingkan dengan membandingkan manfaat yang akan diperoleh setiap pihak. Khusus mengenai pertahanan, kerja sama akan lebih menguntungkan sekutu yang kecil karena peningkatan pertahanan yang kecil sekalipun oleh sekutu yang besar akan merupakan tambahan perlindungan yang sangat besar bagi sekutu tersebut. Jika anggotanya sangat banyak, maka masalahnya akan mirip dengan masalah penentuan anggaran antar perorangan. Jika tarif perkiraan (assesment rate) yang proposional digunakan, setiap negara mungkin akan diharuskan untuk membayar dalam presentase GNP atau presentase pendapatan nasional yang sama. Jika perhitungan progresif digunakan, akan timbul pertanyaan apakah kelompok tarif tersebut hanya dikaitkan dengan pendapatan perkapita dari penduduk di berbagai negara (dimana penduduk dianggap sebagai patokan dasar). Kedua macam pertimbangan di atas diperhitungkan dalam menentukan kontribusi bagi anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pembagian beban biaya ditentukan melalui pemungutan suara setiap tahun dan direvisi berkali-kali. Prosedurnya pada dasarnya adalah: biaya total dibagi di antara negara anggota sesuai perbandingan kontribusi dasar atau GNP. Ini akan menimbulkan pajak proporsional dalam kaitannya dengan GNP, terlepas dari pendapatan per kapita. Selanjutnya prinsip ini dimatangkan lagi dengan menambah sejumlah ketentuan seperti pembebasan beban bagi negara miskin, ketentuan kontribusi minimum, dan pembatasan jumlah yang harus dikontribusikan oleh suatu negara, dengan bagian tertinggi (sekarang 25 persen) disumbangkan oleh Amerika Serikat. Organisasi-organisasi lain menerapkan pola yang berbeda. Kontribusi bagi Dana Moneter Internasional (IMF) tidak ditentukan berdasarkan manfaat yang diperoleh, melainkan dengan hak penarikan (drawing rights) yang ditetapkan sesuai dengan kemungkinan diperlukan kredit-kredit IMF. Prosedur yang kiraDasar-dasar Keuangan Publik
294 kira sama diikuti dalam pemesanan modal saham Internasional Bank for Reconstruction and Development (IBRD). Harus dicatat bahwa semua kontribusi ini relatif kecil jumlahnya sehingga pengecualian atau penyimpanan bagi negara tertentu tidak begitu berpengaruh. Kontribusi untuk NATO, yang melibatkan jumlah yang besar, tidak ditentukan dengan suatu dasar perumusan yang tetapkan tetapi pada hakikatnya tergantung pada negosiasi. Amerika Serikat merupakan penanggung terbesar atas biaya NATO, dengan kontribusi yang mungkin melebihi bagian yang seharusnya ditanggungnya seandainya hal itu ditentukan berdasarkan presentase GNP.
Koordinasi Kebijakan Stabilisasi Dengan makin meningkatnya saling ketergantungan dunia, maka nasib suatu negara ditentukan juga oleh apa yang terjadi di negara lain. Suatu negara tidak mungkin lagi bertindak sendiri untuk mengendalikan persoalan yang dihadapinya. Kerja sama internasional diperlukan dalam bidang kebijaksanaan stabilisasi. Hal ini khususnya berlaku untuk negara negara dengan perekonomian yang terkait erat seperti pasar bersama, tetapi juga berlaku bagi negara dengan perdagangan luar negeri yang terkecil seperti Amerika Serikat. Koordinasi khususnya diperlukan karena saling ketergantungan tidak hanya menyangkut perdagangnan tetapi juga aliran atau perpindahan modal. Pengaruh terhadap Perdagangan Dengan asumsi bahwa keadaan kurs valuta asing yang bersifat tetap, menurunnya pendapatan dan kesempatan kerja dinegara A, akan menyebabkan impornya akan menurun sehingga menyebarkan kelesuan perekonomian atau malaise tersebut ke negara B yang menghadapi penurunan ekspor. Jika A mengambil kebijakan ekspansionir, pendapatannya naik dan begitu juga halnya dengan impornya. Kebocoran yang ditimbulkan impor akan memperkecil faktor pengganda (multiplier) dan karena itu kebijakan A menjadi kurang efektif, dan hal itu juga turut memulihkan keaadan negara B karena ekspornya jadi meningkat. Karena itu, kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap negara lain sehingga diperlukan kordinasi kebijakan untuk menampung kebutuhan kedua negara. Pengaruh kebijakan ekspansioner dari negara A terhadap perdagangan akan diperlemah jika kurs valuta asing bersifat fleksible. Dengan naiknya impor A, nilai mata uangnya akan turun. Karena itu, biaya impornya menjadi tinggi sehingga membatasi atau memperkecil devisit perdagangan negara A dan ekspor negara B. Dengan demikian kurs valuta asing yang fleksibel cenderung mengurangi saling ketergantungan. Hal yang sama berlaku juga untuk keadaan inflasi, dengan kurs yang tetap, kebijakan inflasioner negara akan memperlemah (mendefisitkan) neraca perdagangannya dan menimbulkan besarnya permintaan ke negara B. Dengan kurs yang fleksibel, pengalihan permintaan ke Negara B ini tidak akan terjadi karena adanya penurunan nilai mata uang A. Sekali lagi, kurs yang fleksibel akan mengurangi gejolak perdagangan. Akan tetapi gambaran ini telalu disederhanakan. Penyesuaian kurs tidak berlangsung dalam sekejap dan perubahan kurs secara diskresioner dapat menjadi faktor pengganggu
Dasar-dasar Keuangan Publik
295 pengendalian atas kurs itu sendiri merupakan alat kebijakan yang memerlukan kerja sama lebih lanjut. Aliran Modal Pengaruh kebijakan yang ekspansioner atau restriktif terhadap perdagangan bisa dikatakan sama, entah itu kebijakan fiskal atau moneter. Akan tetapi, bauran kebijakan stabilisasi akan menjadi masalah besar jika dikaitkan dengan aliran modal. Aliran modal dipengaruhi oleh tingkat pengembalian yang dihasilkan di berbagai negara. Perpaduan kebijakan fiskal yang longgar dengan kebijakan moneter yang ketat akan menghasilkan suku bunga yang tinggi sehingga mengundang masuknya modal asing, dan begitu juga sebaliknya. Peranan aliran modal menjadi penting jika kita mempertimbangkan pengaruh kebijakan stabilitasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Banyak hal tergantung pada bagaimana bentuk dari surplus impor yang ditimbulkan tersebut. Jika surplus impor tersebut berupa investasi riil, maka akan terjadi peningkatan modal di negara bersangkutan yang akan tercermin pada kenaikan produktivitas tenaga kerjanya. Pendapatan modal di masa mendatang akan dikirimkan keluar negeri, sehingga keuntungan bagi negara tempat penanaman modal tersebut adalah berupa kenaikan produtivitas tenaga kerja dan produktivitas faktor-faktor domestik lainnya.
Pemahaman atas Tax Treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda) Tax Treaty atau perjanjian pajak berganda adalah merupakan suatu perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka mengantisipasi pemajakan ganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini akan digunakan oleh penduduk dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi diantara mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai dengan transaksi yang dihadapi. Setiap tax treaty mempunyai prinsip prinsip dasar yang kurang lebih sama, sebagai bagian dari konvensi internasional di mana setiap negara yang terlibat dalam suatu tax treaty menyusun perjanjiannya masing masing berdasarkan model-model perjanjian yang diakui secara internasional. Pada dasarnya terdapat dua model treaty yang sering dijadikan acuan dalam menyusun suatu treaty yaitu model OECD dan Model PBB. Sebagai suatu perjanjian, sebuah treaty adalah merupakan suatu kontrak yang mengikat suatu negara dengan negara lain dalam hal perlakuan perpajakan. Oleh karena itu, didalamnya selalu berisi klausul-klausul, pasal-pasal dan ayatayat yang berkaitan dengan suatu aspek transaksi dan pihak tertentu. Pasal-pasal ataupu ayat-ayat yang terdapat dalam sebuah tax treaty pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar yaitu bagian yang mengungkapkan cakupan tax treaty, bagian yang mengatur minimalisasi pengenaan pajak berganda,
Dasar-dasar Keuangan Publik
296 bagian tentang pencegahan penghindaran pajak dan bagian yang mencakup halhal lainnya.
Cakupan Tax Treaty Personal Scope Tax treaty adalah persetujuan yang ditandatangani oleh dua negara, sehingga subyek pajak yang menjadi sasaran adalah mereka yang menjadi penduduk dari kedua negara tersebut (Rachmanto Surachmat, 2001). Dengan kata lain, ketentuan personal scope mengatur tentang kepada siapa sajakah ketentuan-ketentuan dalam suatu treaty yang bersangkutan bisa diterapkan. Dalam pasal dan ayat ini akan diatur ketentuan tentang siapa saja yang merupakan orang pribadi, badan usaha dan entitas lainnya yang berdasarkan treaty tersebut dianggap sebagai penduduk dari salah satu negara yang terikat perjanjian, termasuk di dalamnya orang pribadi, badan atau entitas lainnya yang dianggap sebagai penduduk dengan status kependudukan ganda (double residence). Biasanya disini definisi mengenai penduduk maupun perihal kependudukan ganda tidak diartikan lebih lanjut. Kedua hal tersebut akan diatur dalam klausul lain yaitu dalam klausul tentang general definitions dan tentang residence. Oleh karena itu, pengertian personal scope akan berkaitan dengan pengertian-pengertian dalam kedua klausul tersebut. Tax Covered Klausul ini mengatur tentang jenis-jenis pajak yang perlakuannya menggunakan ketentuan tax treaty yang bersangkutan. Jenis pajak yang diatur disini akan mengikuti ketentuan sesuai dengan tax treaty dan mengabaikan ketentuan internal yang berlaku di masing-masing negara. Dalam beberapa hal, ketentuan suatu tax treaty memiliki suatu kekuatan yang berada di atas sistem perundang undangan yang berlaku secara internal di dalam suatu negara. Aturan dalam tax treaty hanya diberlakukan untuk jenis pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh). Atas pajak tidak langsung seperti Pajak Pertambahan Nilai atau pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah tidak diatur dalam tax treaty. Dalam ketentuan umumnya (general definitions), diatur tentang definisi istilah-istilah umum yang berkaitan dengan definisi persons (orang atau badan), national (negara atau kewarganegaraan), international traffic (lalu lintas internasional), enterprise (badan usaha) dan lain lain. Residence Dalam kriteria ini akan diatur tentang dua hal yakni definisi penduduk (berkaitan dengan personal scope) serta tie breaker rule, yaitu tentang ketentuan yang menentukan tidak berlakunya status residence atas suatu pihak dengan karakteristik tertentu. Definisi penduduk adalah setiap orang pribadi atau badan yang berdasarkan ketentuan internal suatu negara – seperti keberadaan, domisili, tempat kedudukan manajemen atau sebab-sebab lain yang mempunyai karakteristik yang sama – dapat dikenai pajak di negara tersebut. Dengan kata lain, penduduk adalah Subjek Pajak dalam negeri suatu negara yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lokal yang berlaku dinegara tersebut. Undang-undang nasional dari banyak negara umumnya mengenakan
Dasar-dasar Keuangan Publik
297 pajak berdasarkan hubungannya dengan negara yang bersangkutan (Rachmanto Surachmat, 2001). Artinya, pengenaan pajak tidak hanya mendasarkan pada alasan tempat tinggal, tetapi juga karena keberadaan secara teratur di negara tersebut. Dalam klausul ini juga menegaskan bahwa orang pibadi atau badan tidak dapat langsung dianggap sebagai penduduk suatu negara hanya karena mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Dalam prakteknya, orang pribadi atau badan dapat dianggap sebagai penduduk dari dua negara berdasarkan asas world wide income yang dianut. Hal ini bisa terjadi karena setiap negara pada dasarnya berhak mengatur definisi penduduk sesuai dengan versinya masing-masing. Menyadari efek-efek negative tersebut, article residence selanjutnya mengatur langkah yang dapat digunakan untuk menghilangkan status kependudukan ganda yang sering disebut dengan tie breaker rule. Tie breaker rule dibedakan menjadi dua yaitu yang diterapkan untuk orang pribadi dan yang diterapkan untuk selain orang pribadi. Tie breaker rule untuk orang pribadi terdiri dari penentuan permanent home (tempat tinggal tetap), center of economic and social interests (pusat kepentingan ekonomi dan social), habitual abode (tempat kebiasaan untuk tinggal), national (kewarganegaraan) serta mutual agreement (perjanjian antar otoritas perpajakan). Langkah-langah tersebut secara berurutan bersifat prioritas, artinya apabila dengan menggunakan ketentuan pertama masalah kependudukan ganda telah bisa dipecahkan, maka langkah kedua dan seterusnya tidak perlu digunakan lagi. Sementara itu tie breaker rule untuk pihak selain orang pribadi hanya ada satu ketentuan yaitu tempat dimana manajemennya efektif berada. Permanent Establishment Klausul ini mengatur tentang seberapa jauh jangkauan suatu negara dalam mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Pada jaman sekarang, suatu usaha tidak hanya dilakukan di negara sendiri. Di negara lainpun suatu pihak melakukan usaha. Apabila usaha di negara lain itu ternyata berhasil, adalah hal yang logis jika otoritas pajak di negara tersebut ingin mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima. Namun berkaitan dengan keinginan tersebut, tentunya harus ada batasan-batasan ataupun aturan yang jelas hingga bisnis yang dilakukan yang sekaligus merupakan investasi di negara tersebut tetap saja berjalan dengan baik. Cerminan dari batas atau aturan tersebut adalah ketentuan tentang permanent establishment atau bentuk usaha tetap (BUT). Contoh contoh dari BUT dapat dikatagorikan menjadi empat macam yaitu: • •
BUT Fasilitas Fisik. BUT tipe ini merupakan tipe yang paling mudah diketahui keberadaannya. BUT timbul karena adanya fasilitas fisik seperti gedung, kantor perwakilan, pabrik, bengkel dan lain lain. BUT Aktivitas. Timbulnya BUT tipe ini ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa (seperti jasa konstruksi dan jasa jasa lainnnya). Lamanya time test yang digunakan dapat berbeda beda antara satu tax treaty dengan tax treaty yang lain. Time test ini disesuaikan dengan kesepakatan dari kedua negara.
Dasar-dasar Keuangan Publik
298 • •
BUT Asuransi. Timbulnya BUT Asuransi ditandai dengan keadaan dimana suatu perusahaan asuransi menerima premi atau menanggung risiko di negara lain. BUT Keagenan. BUT tipe keagenan timbul jika terdapat agen di negara lain yang memiliki wewenang untuk menentukan kontrak atau mengurus barang-barang dagang di negara lain.
Dalam klausul ini juga ditentukan kondisi-kondisi dimana BUT dianggap tidak muncul seperti dalam hal suatu tempat yang hanya berfungsi untuk memajang barang-barang dagangan, tempat yang hanya dipergunakan untuk pembelian barang dagangan atau mengumpulkan informasi dan sebagainya. Entry Into Force Klausul ini menjelaskan tentang saat berlakunya sebuah tax treaty. Saat berlakunya tax treaty sangat bergantung dari selesainya tahap-tahap pembentukannya. Pembentukan sebuah tax treaty yang dimulai dengan penandatanganan oleh kedua otoritas yang berwenang dan dilanjutkan dengan ratifikasi di kedua negara. Setelah kedua negara selesai meratifikasi, selanjutnya dilakukan pertukaran dokumen-dokumen ratifikasi. Setelah pertukaran dokumen ratifikasi ini selesai dilakukan maka tax treaty pun dapat diberlakukan. Termination Klausul ini menjelaskan tentang saat berakhirnya sebuah tax treaty. Tax treaty dapat berakhir setelah periode tertentu yang telah disepakati oleh kedua negara. Salah satu negara dapat mengakhiri sebuah tax treaty dengan cara mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu yang harus dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan yang telah disepakati.
Minimalisasi Pemajakan Berganda Income from Immovable Property Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang berasal dari harta tak bergerak termasuk penghasilan yang bersumber dari pertanian atau sektor perhutanan. Didalamnya diatur bahwa negara tempat harta tak bergerak tersebut terletak juga dapat mengenakan pajak atas penghasilan dari harta tersebut. Business Profits Klausul ini merupakan perluasan dari klausul permanent establishment yang mangatur tentang pengenaan pajak atas laba usaha milik penduduk suatu negara yang bersumber dari negara treaty partner (negara pasangan dalam tax treaty). Penentuan dapat atau tidaknya negara treaty partner mengenakan pajak, sangat tergantung pada ada atau tidaknya BUT di suatu negara. Laba usaha milik penduduk suatu negara pada dasarnya hanya dapat dikenakan pajak di negara tersebut. Namun apabila penduduk suatu negara mendapatkan penghasilan di negara treaty partner melalui BUT-nya, maka negara treaty partner tersebut berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima melalui BUT itu. Bila kegiatan Dasar-dasar Keuangan Publik
299 usaha yang dilakukan penduduk negara domisili di negara sumber tidak melalui BUT, maka laba usaha dari kegiatan itu hanya dikenai pajak di negara domisili (Rachmanto Surachmat, 2001) Shipping, Inland Waterways Transport and Air Transport Klausul ini menjelaskan tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran (termasuk pengangkutan di sungai dan danau) dan perusahaan penerbangan yang beroperasi di jalur internasional. Perusahaan yang bergerak di bidang ini bisa memperoleh penghasilan dari beberapa negara. Jika setiap negara mengenakan pajak atas laba yang diterimanya maka perusahaan pelayaran dan penerbangan tersebut tentunya akan menanggung beban pajak yang terlalu besar. Dalam menghadapi permasalahan ini pada umumnya diatur dua alternatif pengenaan pajak. Alternatif pertama, memberikan hak pemajakan kepada negara tempat di mana manajemen efektif berada. Alternatif kedua, sama dengan alternatif pertama dengan pengecualian untuk penghasilan dari pengoperasian kapal laut yang hak pemajakannya diberikan kepada kedua negara sekaligus. Dividends Dividen merupakan penghasilan yang diterima oleh pemegang saham dari suatu perusahaan. Tak sedikit negara yang mengenakan pajak atas penghasilan berupa dividen ini. Indonesia pun mengenakan pajak atas dividen baik yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri maupun wajib pajak luar negeri. Klausul dividen, sebagaimana namanya, memang merupakan aturan mengenai pengenaan pajak atas penghasilan yang berupa dividen. Dalam klausul ini dinyatakan bahwa negara tempat dividen berasal juga berhak mengenakan pajak atas dividen tersebut. Dalam artikel ini juga menyatakan tentang tarif pajak maksimal yang dapat dikenakan di negara asal dividen tersebut yang dibedakan menjadi dua yaitu tarif untuk dividen portofolio (saham dengan kepentingan semata mata investasi) dan untuk dividen dari penyertaan langsung ( saham dengan kepentingan control) Interets Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan bunga yang diterima dari negara treaty partner. Selain memberikan definisi tentang bunga, klausul ini juga mengatur bahwa negara tempat bunga berasal (treaty partner) juga dapat mengenakan pajak atas bunga tersebut. Tak berbeda dengan artikel dividen, artikel bunga pun mengatur tentang tarif maksimal pemotongan pajak untuk negara tempat dividen berasal. Royalties Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan royalti yang diterima dari negara treaty partner. Tak berbeda dengan artikel dividend dan bunga, artikel royalti ini juga memberikan definisi royalti disamping mengatur bahwa negara tempat di mana royalti berasal dapat mengenakan pajak sesuai dengan tarif maksimal yang disepakati.
Dasar-dasar Keuangan Publik
300 Capital Gains Klausul ini mengatur tentang penghasilan berupa keuntungan pemindahtanganan harta. Ketentuan dalam tax treaty pada umumnya mengatur bahwa negara tempat harta tersebut terletak sebelum dipindahkan juga berhak untuk mengenakan pajak. Termasuk dalam pengertian harta dalam artikel ini adalah harta berupa perumahan dalam suatu kawasan real estate. Dalam bukunya, Rachmanto Surachmat (2001) memaparkan bahwa hak mengenakan pajak atas keuntungan karena pemindahtanganan harta yang digunakan untuk berusaha harus diberikan kepada negara yang sama, yaitu negara yang berhak mengenakan pajak atas business profit (negara tempat perusahaan berdomisili), tanpa membedakan apakah keuntungan itu diperlakukan sebagai gain dari usaha. Karena itu, persetujuan penghindaran pajak berganda tidak memerlukan aturan khusus yang membedakan capital gain dari business profit. Hal ini diserahkan kepada undang undang pajak domestik masing-masing negara. Independent Personal Services Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima orang pribadi yang bersumber dari negara treaty partner sebagai imbalan dari jasa-jasa professional yang diberikannya di negara tersebut. Aturan ini pada dasarnya sejalan dengan aturan permanent establishment dan business profits namun secara khusus ditujukan untuk orang pribadi yang memberikan jasa-jasa profesional (seperti dokter, pengacara) untuk dan atas namanya sendiri di negara treaty partner. Negara treaty partner tempat jasa tersebut dilakukan dapat mengenakan pajak sepanjang orang pribadi tersebut memiliki tempat tetap (fixed base) disana atau berada di negara treaty partner melebihi batas waktu yang disepakati bersama.. Dependent Personal Services Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi sehubungan dengan pemberian jasa yang dilakukannya di negara lain dalam suatu hubungan kerja. Berbeda dari pemberian jasa oleh independent personal yang dilakukan untuk dan atas namanya sendiri, jasa yang diberikan oleh orang pribadi yang dimaksud di sini merupakan jasa yang dilakukan untuk dan atas nama pihak lain yang memiliki hubungan kerja dengannya. Di sini diatur bahwa negara tempat orang pribadi tersebut bekerja dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterimanya. Namun untuk menganakan pajak tersebut, ada beberapa syarat kumulatif yang terlebih dahulu harus dipenuhi yaitu: • Orang pribadi yang bersangkutan berada di negara lain melebihi time test yang telah disepakati; • Penghasilan yang diterima oleh orang pribadi tersebut dibayarkan oleh pemberi kerja; • Penghasilan tersebut tidak dibebankan kepada BUT. Director’s Fees Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh direktur yang bekerja pada perusahaan yang berada di negara lain (merupakan penduduk di negara tersebut). Dalam klausul ini dinyatakan bahwa penghasilan Dasar-dasar Keuangan Publik
301 yang diterima oleh direktur dalam kapasitasnya yang murni sebagai seorang direktur dapat dikenai pajak di negara domisili perusahaanya tanpa memandang jangka waktu keberadannya di sana. Bila diperhatikan, prinsip ini berbeda dengan prinsip pemajakan atas penghasilan orang pribadi yang lain sebagaimana diatur dalam klausul dependent dan independent personal services yang menggunakan syarat jangka waktu keberadaan sebagai alat menentukan aspek pemajakan. Menurut Rachmanto Surachmat (2001), hal ini untuk menyederhanakan pengenaan pajaknya, sebab seringkali penentuan di mana kegiatan pekerjaan dilakukan – dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direksi – adalah sulit. Fungsi sebagai direktur bisa saja dilakukan di negara dimana ia berdomisili, karena itu yang diberikan hak pemajakan adalah negara di mana pihak yang membayarkan gaji berkedudukan. Namun demikian, apabila pekerjaan yang dilakukan tidak lagi murni sebagai seorang direktur maka pemajakan atas penghasilan tersebut tidak lagi mengikuti ketentuan dalam klausul ini. Penentuan aspek pemajakannya disesuaikan dengan jenis kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan oleh direktur tersebut. Jika direktur tersebut melakukan tugas tugas manajerial misalnya, maka aspek pemajakannya mengacu pada klausul dependent personal services. Namun apabila direktur tersebut bekerja sebagai konsultan pada perusahaan, maka aspek pemajakannya dalam hal ini akan mengacu pada klausul independent personal services. Artists and Sportsmen Klausul ini mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh artis (entertainer) dan olahragawan (sportsmen) dari negara lain. Prinsip pemajakan yang diatur dalam artikel ini adalah negara tempat penghasilan tersebut bersumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh artis ataupun atlit. Prinsip ini juga berlaku meskipun penghasilan tersebut tidak langsung dibayarkan kepada sang artis/atlit (dibayarkan kepada pihak lain, contohnya agen). Termasuk dalam pengertian entertainer dalam artikel ini antara lain yaitu artis televisi, artis radio atau musisi. Sedangkan termasuk dalam olahragawan antara lain adalah pemain sepakbola, pemain golf, pemain tennis, pemain catur atau pemain bridge. Pensions Klausul ini mengatur tentang penghasilan yang diterima oleh pensiunan swasta. Pada umumnya, penghasilan berupa pensiun dikenai pajak di negara tempat di mana pekerjaan itu dahulunya dilakukan. Namun sebagian besar tax treaty mengatur bahwa penghasilan tersebut dikenai pajak di negara di mana yang bersangkutan menjadi penduduk pada saat pensiun Government Services Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri. Pada prinsipnya, hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh para pegawai negeri diberikan kepada negara di mana ia bekerja. Hal yang sama juga berlaku atas penghasilan yang diterima oleh pensiunan pegawai negeri. Namun demikian, apabila pegawai negeri atau pensiunan tersebut merupakan warga negara dari salah satu negara dan sudah
Dasar-dasar Keuangan Publik
302 sejak awal menjadi penduduk di negara tersebut maka penghasilan yang diterimanya hanya dikenakan pajak di sana.
Pencegahan Penghindaran Pajak Associated Enterprises Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan atas pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Apabila terjadi transaksi antara pihak-pihak di kedua negara yang memiliki hubungan istimewa, akan ada kecenderungan di mana harga transaksi yang disepakati bukan merupakan harga yang wajar. Harga yang wajar adalah harga yang terjadi antara dua pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Salah satu efek dari adanya harga yang tidak wajar itu adalah terjadinya pergeseran laba dari suatu negara kepada negara yang lainnya. Hal ini dipandang sebagai suatu usaha untuk menghindari pajak dari suatu negara. Dalam kondisi demikian, kepada negara yang bersangkutan diberikan hak untuk mengadakan penyesuaian penyesuaian sehubungan dengan pergeseran laba tersebut. Exchange of Information Klausul ini mengatur tentang pertukaran informasi antar otoritas pajak di kedua negara yang terkait dalam suatu tax treaty. Dengan adanya pertukaran informasi, dapat dikatakan bahwa klausul ini merupakan salah satu senjata dalam menanggulangi praktek-praktek penyelundupan atau penggelapan pajak. Pertukaran informasi dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pertukaran informasi secara rutin dan pertukaran informasi berdasarkan permintaan.
Ketentuan Lain Lain Non Discrimination Klausul ini mengatur tentang persamaan perlakuan perpajakan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara dan kepada bukan warga negara. Secara khusus Rachmato Surachmat (2001) dalam bukunya menyatakan bahwa klausul ini adalah aturan dalam hukum internasional yang memberikan perlindungan dari diskriminasi. Suatu negara yang terikat tax treaty memiliki kewajiban untuk memberikan perlakuan perpajakan yang sama untuk warga negaranya. Perlakuakn perpajakan yang sama ini mengandung arti bahwa dalam suatu kondisi yang sama, pihak yang bukan warga negara dari suatu negara tidak boleh menanggung kewajiban pajak yang lebih berat daripada yang ditanggung oleh warga negara dari negara tersebut. Perlakuan yang sama juga harus diberikan kepada mereka yang bukan merupakan warga negara dari kedua negara yang terikat perjanjian. Mutual Agreement Procedure Klausul ini mengatur tentang prosedur yang digunakan oleh kedua negara untuk berkomunikasi dalam menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan antara pembayar pajak dengan otoritas pajak mengenai perpajakan tertentu. Klausul ini dapat dipandang sebagai semacam sarana bagi para pembayar pajak untuk Dasar-dasar Keuangan Publik
303 “curhat” tentang suatu perlakuan perpajakan yang tidak disetujuinya. Melalui ketentuan dalam klausul ini, otoritas perpajakanpun memiliki sarana untuk memecahkan kesulitan yang timbul sebagai akibat dari perbedaan interpretasi atas suatu ketentuan dalam sebuah tax treaty. Namun demikian perlu diingat bahwa mutual agreement procedure tidak mencakup seluruh klausul yang terdapat dalam sebuah tax treaty. Klausul-klausul yang dapat menikmati ketentuan dalam mutual agreement procedure antara lain adalah business profits, related persons dan royalty. Member of Diplomatic Missions and Consular Posts Klausul ini mengatur tentang perlakuan perpajakan yang diberikan kepada anggota dari suatu misi diplomatik dan konsulat. Menurut Rachmato Surachmat (2001), maksud dari kalusul ini adalah untuk menjamin bahwa para diplomat, berdasarkan tax treaty, tidak memperoleh perlakuan yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan berdasarkan hukum internasional. Dalam kesepakatan internasional, setiap penghasilan yang diterima oleh anggota suatu korps diplomatik atau konsulat, ditetapkan hanya dikenai pajak di negara di mana mereka berasal. Ketentuan dalam klausul ini pun mengatur hal yang sama. Jadi, meskipun anggota korps diplomatik atau konsulat mendapatkan penghasilan yang bersumber dari negara di mana mereka bertugas, negara tersebut tidak dapat mengenakan pajak atasnya. Tax Treaty Mengalahkan UU PPh Bisa disimpulkan bahwa tax treaty muncul karena dua sebab yang mendasar. Pertama, keinginan untuk menghindari pemajakan berganda yang bisa menimbulkan distorsi ekonomi, yang berakibat buruk bagi investasi. Kedua, tax treaty juga dimaksudkan untuk mencegah usaha-usaha penghindaran pajak yang dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak suatu negara. Mengingat sifat perjanjiannya yang bilateral, antara dua negara, tax treaty mengalahkan UU PPh yang berlaku di masing masing negara treaty partner. Setiap tax treaty antara suatu negara dan negara lainnya adalah suatu perjanjian yang bersifat spesifik hanya mengikat negara-negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, secara umum setiap tax treaty mengikuti prinsip prinsip dasar dari model model tax treaty yang ada seperti model OECD atau model PBB, yang dijadikan sebagai acuan pada saat pembuatannya. Memahami prinsip prinsip dasar tersebut akan memudahkan setiap pihak dalam memahami berbagai tax treaty yang ada, antara berbagai negara pada umumnya dan antara Indonesia dengan negara negara lain pada khususnya. Yang perlu diperhatikan adalah, dalam tax treaty pada umumnya sudah disepakati bahwa setiap negara treaty partner berhak menentukan prosedur dan tata cara untuk membuktikan bahwa suatu pihak benar-benar berdomisili atau berkedudukan dan berstatus sebagai pembayar pajak di negara treaty partner. Bukti dimaksud seringkali disebut Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence Taxpayer (CRT) yang diterbitkan oleh competent authority atau pejabat yang berwenang yang ditunjuk oleh suatu negara treaty partner. Surat keterangan yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau instansi sejenis di negara treaty Partner juga bisa dipersamakan dengan SKD/CRT. Dengan memiliki SKD/CRT, maka suatu pihak berhak untuk menerapkan suatu ketentuan tax treaty dengan negara dimana yang bersangkutan berkedudukan atau berdomisili. Jika tidak memiliki SKD/CRT, maka pengenaan pajaknya kembali pada Undang Dasar-dasar Keuangan Publik
304 Undang yang berlaku di negara masing masing. Sebagai contoh, jika Wajib Pajak luar negeri yang berkedudukan di Inggris, maka Wajib Pajak luar negeri tersebut hanya dapat menerapkan ketentuan tax treaty Indonesia – Inggris apabila memiliki SKD/CRT dari competent authority yang ditunjuk negara Inggris. Jika tidak, maka penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari Indonesia langsung dikenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 26% dari penghasilan bruto.
Dasar-dasar Keuangan Publik
305
DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana, Armida S. 2001. “Tinjauan Permasalahan serta Prakondisi yang Diperlukan Bagi Pengembangan Penggunaan Pinjaman Daerah di Indonesia”. Makalah pada sidang ISEI, Batam, Indonesia, 14 April. Aronson, J. Richard. 1985. Public Finance, McGraw Hill, Inc. Arsjad, Nurjaman, dkk. 1992. Keuangan Negara. Intermedia, Jakarta. Bennet, Robert J., editor. 1990. Decentralisation, Local Governments and Markets. Oxford: Clarendon Press. Bird, Richard M dan Chen, Duanjie. 1996. “Federal Finance and Fiscal Federalism: The Two Worlds of Canadian Public Finance”. Discussion Paper No. 6, International Centre for Tax Studies. University of Toronto (July). Bird, Richard M. 1994b. “A Comparative Perspective on Federal Finance” dalam K.G. Banting, D.M. Brown, dan T.J. Courchence, editor. The Future of Fiscal Federalism. Kingston, Ont.: Queen’s University School of Public Policy. Bird, Richard M. dan Francois Vaillancourt. 1998. Fiscal Decentralization in Developing Countries. United Kingdom: Cambridge University Press. Brennan, Geoffrey dan Buchanan, James. 1981. “Tax Limits and The Logic of Constitutional Restriction, dalam “Democratic Choice and Taxation: A Theoritical and Empirical Analysis”, Hettich,Walter dan Winer, Stanley, L. Cambridge University Press. Brodjonegoro, Bambang dan Arlen T. Pakpahan. 2002. ”Evaluasi atas Alokasi DAU 2001 dan Permasalahannya” dalam Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Cnossen, Sijbren & Hans-Werner Sinn. 2003. Public Finance and Public Policy in the New Century, MIT Press, Cambridge, London. Davey, K.J. 1983. Financing Regional Government: International Practices and Their Relevance to the Third World. University of Birmingham: Institute of Local Government Studies. Feldstein, Martin, (1984), Debt and Taxes in The Theory of Public Finance, NBER, Massachusetts Avenue Cambridge, MA, USA. Fullerton, Don dan Metcalf, Gilbert. 2002. Tax Incidence- Working Paper 8829. National Bereau of Economics Reserach. Cambridge (Maret). Gunadi, (1999), Pajak Internasional, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta Hanafi, M, Mamduh, (2003), Manajemen Keuangan Internasional, BPFE, Jogyakarta Hyman, David N. 2002. Public Finance, A Contemporary Application of Theory to Policy. Edisi Ketujuh. United States: South-Western, Thompson Learning. Kadjatmiko. 2004. “Transfer Antar Tingkat Pemerintahan (Intergovernmental Transfer)” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi
Dasar-dasar Keuangan Publik
306 Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI. Laporan Akhir Pengembangan Obligasi Daerah di Indonesia. 2002. Studi yang dilakukan oleh Sustainable Indonesian Growth Alliance (SIAGA) Project A Banking Industry Reform, yang merupakan kerjasama Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta dengan United States Agency for International Development (USAID). LPEM Universitas Indonesia bekerjasama dengan Clean Urban Project, RTI (1999), “Laporan Studi Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Keuangan Daerah di Indonesia”, Jakarta. Magrassi, Marco. 2000. “Subnational Investment Needs and Financial Market Response”. Inter-American Development Bank. Mitchell, Daniel J. 2003. Nine Simple Guidelines for Pro-Growth Tax Policy. Capitalism Magazine. (15 April). Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Practice. International Edition. United States: McGraw-Hill, Inc. Norregaard, John. 1995. “Intergovernmental Fiscal Relations” dalam P. Shome, editor. Tax Policy Handbook. Washington, DC: International Monetary Fund. Pakpahan, Arlen T. 2004. “Pinjaman Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Daerah” dalam Machfud Sidik, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI. Razin, Assaaf., Sadka Efraim, (1991), International Fiscal Policy Coordination and Competition: An Exposition, NBER, Massachusetts Avenue Cambridge, MA, USA. Republik Indonesia, “Undang-undang No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah”. Republik Indonesia, “Undang-undang No.25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusar dan Daerah”. Republik Indonesia, “Undang-undang No.34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah”. Rosen, Harvey S. 2002. Public Finance (Sixth Edition), McGraw Hill, New York. Sidik, Machfud, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Sidik, Machfud. 2002. ”Implementasi UU Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah (Kebijakan Pemerintah Dalam Perimbangan Keuangan)”. Makalah yang disampaikan Seminar Nasional Rencana Revisi Undang-Undang Otonomi Daerah Kerja sama Forum Rektor - Fraksi Utusan Daerah MPR-RI. Jakarta, 4 April. Sidik, Machfud. 2002. “Optimalisasi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah”. Makalah yang disampaikan dalam Acara Orasi Ilmiah dengan Thema “Strategi Meningkatkan
Dasar-dasar Keuangan Publik
307 Kemampuan Keuangan daerah Melalui Penggalian Potensi Daerah Dalam Rangka Otonomi Daerah” Acara Wisuda XXI STIA LAN Bandung Tahun Akademik 2001/2002. Bandung. 10 April. Sidik, Machfud, dkk. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Jakarta: Direktoral Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, Departemen Keuangan RI. Simandjuntak, Robert A. 2002. ”Transfer Pusat ke Daerah: Konsep dan Praktik di Beberapa Negara” Machfud Sidik, dkk. 2002. Dana Alokasi Umum. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Subiyantoro, Heru dan Singgih Riphat, editor. 2003. “Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Suparmoko, M, Drs., M.A., Ph.D. 1996. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek (Edisi 4), BPFE, Yogyakarta. Surahmat, Rachmanto,(2001), Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; Sebuah Pengantar, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ulbrich, Holley. 2003. Public Finance in Theory and Practice. United States: SouthWestern, Thompson Learning. Ter-Minassian,Teresa. 1997. “Fiscal Federalism in Theory and Practice”, International Monetary Fund, Washington, DC. The International Budget Project. 2001, A Guide to Budget Work for NGOs, The Center on Budget and Policy Priorities, Washington DC (Desember). Wiratmo, Masykur. 2001. “Perencanaan Pembiayaan Daerah”. Makalah pada Worskhop Manajemen Strategik Penerimaan Daerah dan Keuangan Daerah, Malang, Indonesia, 26-27 September. World Bank. 1996a. “Vietnam: Fiscal Decentralization and the Delivery of Rural Services”. Report No. 15745-VN. Washington, DC (Oktober). Zakaria, Jaja, (2001), Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda serta penerapannya di Indonesia, Fiska Sarana, Jakarta. ---------, Tax Review, Volume I/No. 5/2004.
Dasar-dasar Keuangan Publik
308
BIOGRAFI PENYUSUN
Noor Fuad, dilahirkan di Kudus, 1 Januari 1947, menikah dan telah dikaruniai 1 putri dan 2 putra. Saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Departemen Keuangan. Beberapa jabatan penting di lingkungan Departemen Keuangan pernah dipercayakan kepadanya, antara lain sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan dan Kepala Badan Analisa Keuangan dan Moneter. Gelar Sarjana Ekonomi diperoleh dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada tahun 1972, kemudian melanjutkan pada undergraduate program bidang ekonomi di Boulder Colorado University, USA, tahun 1984. Selanjutnya meneruskan ke program master bidang kebijakan ekonomi di University of Illinois at Urbana Champaign, USA, tahun 1986. Beberapa penugasan yang pernah diterima antara lain, sebagai Ketua Grup Kerja Tim Subsidi Impor Bulog, Anggota Tim Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN Departemen Keuangan, Ketua Tim Koordinasi dan Monitoring Perhitungan APBN, Penasehat Tim Penyempurnaan Sistem Akuntansi, Anggota Dewan Komisaris PT Telkom dan Anggota Redaksi Jurnal Keuangan dan Moneter, Departemen Keuangan. Selain itu, saat ini beliau masih aktif sebagai Anggota Dewan Penasehat ISEI Cabang Jakarta, Anggota Dewan Komisaris PT Pelindo III dan Ketua Dewan Pengawas Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Pengalaman mengajar yang pernah dilaksanakan antara lain, sebagai dosen Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dosen luar biasa pada Universitas Trisakti, dan STIE Indonesia, Jakarta. Sedangkan beberapa hasil karya penulisan atau papernya, yaitu ” Energy Comsumption in USA, Cross Section Analysis” (1980), ”Pengaruh Eksternal Shock Negara Industri terhadap Negara Berkembang” (terjemahan, 1984), ”Services Account Balance of Payment” (1985), ”Pokok-pokok Pengembangan Pendidikan dan latihan Jarak Jauh di Departemen Keuangan (1994), dan ” The Impact of Institutional Environment on Public Official Permormance: Does Instititional Environment Affect The Rate Of Corruption?” (bersama Andie Megantara, Jurnal Keuangan Publik, BPPK Vol.1 No.1, September 2003). Buku hasil karyanya yang lain berjudul “Manual Statistik Keuangan Pemerintah”.
Dasar-dasar Keuangan Publik
309 Andie Megantara, lahir di Solo, 29 Januari 1970. Saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Kurikulum, Pusdiklat Pegawai BPPK. Gelar Sarjana Hukum didapatkan dari Universitas Airlangga, Surabaya, tahun 1993, kemudian menyelesaikan program masternya pada bidang Manajemen Keuangan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1996. Sedangkan program doktoral bidang Manajemen diselesaikan di Nanzan University, Nagoya, Jepang tahun 2003. Berbagai penugasan lain di luar jabatan struktural banyak dipercayakan kepadanya, antara lain sebagai Direktur Program Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Keuangan Terapan (LP2MKt), Anggota Dewan Editor Jurnal Keuangan Publik BPPK, dan Ketua Tim Penyusun Buku Dasar-dasar Keuangan Publik. Selain itu, hampir seluruh perjalanan karirnya diabdikan sebagai pengajar di berbagai institusi, antara lain pada Diklat Pimpinan Tingkat III dan IV serta diklat-diklat lain di Pusdiklat Pegawai BPPK, dosen pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Universitas Paramadina Mulya, Universitas Budi Luhur dan Universitas Al Azhar Indonesia. Beberapa hasil tulisan atau paper yang pernah dibuat antara lain; ”An Overview of the Indonesian Automotive Industry” (Journal of Economics and Business Administration No. 29, March 2002), ”The Impact of Institutional Environment on Public Official Corruption” (Journal of Economics and Business Administration No. 30, March 2003), dan ”The Impact of Institutional Environment on Public Official Performance: Does Institutional Environment Affect the Rate of Corruption?” (bersama Noor Fuad, Jurnal Keuangan Publik Vol.1 No.1, September 2003). Buku hasil karyanya yang lain berjudul “Manual Statistik Keuangan Pemerintah”.
Bambang Widjajarso tercatat sebagai staf pengajar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang, dan Universitas Indonesia, Depok, khususnya untuk mata kuliah Seminar Akuntansi Sektor Publik. Dilahirkan di Boyolali, 13 Agustus 1961. Gelar akuntan diperoleh dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Jakarta, tahun 1990 sedangkan program master pada bidang Business Administration diraih dari University of Kentucky, Lexington, USA, tahun 1994. Minatnya pada bidang keuangan publik dimulai sejak meniti karir sebagai auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Propinsi Bali dimana penugasan-penugasannya meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran negara dari aktivitas pemerintah yang didanai APBN, sehingga sampai sekarang mendalami manajemen keuangan sektor publik. Saat ini aktif memberikan pelatihan Manajemen Keuangan Daerah pada beberapa Pemerintah Daerah melalui Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan, STAN, sebagai tenaga ahli bidang sektor publik. Selain aktif di bidang pengajaran, juga aktif sebagai peneliti pada Research Institute in Political Economy and Local Government Empowerment. Makalah-makalah yang dihasilkan diantaranya “Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah”, “Memahami GASB Statement No 34”, “Prospek Akuntansi Pemerintah Indonesia”, dan “Konsep Dasar Akuntansi Dana”. Buku hasil karyanya yang lain berjudul “Manual Statistik Keuangan Pemerintah”.
Dasar-dasar Keuangan Publik
310 Huriah Akbar Prabowo, lahir di Jakarta 31 Oktober 1971. Sekarang menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Pengembangan Pendidikan Akuntan, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), Departemen Keuangan. Pendidikan program Diploma III dan IV diselesaikan di STAN sedangkan gelar Master of Commerce diraih dari University of New South Wales, Sydney, Australia. Kecintaannya kepada almamater, membuat dirinya terpanggil untuk lebih mengembangkan potensi di bidang sistem informasi yang dikuasainya bagi kemajuan STAN dan BPPK. Tercatat pembangunan jaringan sistem informasi kepegawaian dan sistem kontrol awal database keuangan BPPK (early warning system) merupakan hasil rintisan bersama. Kegiatannya selain menjabat di BPPK antara lain aktif mengajar pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan beberapa diklat yang diselenggarakan di BPPK seperti Diklat Pimpinan Tingkat IV. Adi Budiarso, lahir di Salatiga, 1 September 1970, menikah dan dikaruniai dua anak. Setelah menyelesaikan program diploma III Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) tahun 1991, mendapat penugasan sebagai Asisten Dosen STAN dan Verifikator pada Bagian Keuangan BPPK. Gelar Akuntan diperolehnya setelah lulus dari program Diploma IV STAN tahun 1997, kemudian pada tahun 2001 berhasil menyelesaikan program Master of Accounting di University of Southern Californa, USA. Saat ini disamping jabatan struktural yang disandangnya sebagai Kepala Sub Bidang Program pada Pusdiklat Pegawai BPPK Jakarta, juga aktif berkecimpung di bidang pengembangan kepemimpinan, sistem akuntabilitas instansi pemerintah, perpajakan dan keuangan publik. Jabatan lain yang dipegangnya adalah sebagai Direktur Program Lembaga Pengembangan Kepemimpinan Global Yayasan Artha Bhakti BPPK, serta mengajar pada program Pascasarjana Universitas Atmajaya, Diploma IV (Program dalam Bahasa Inggris) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan Diklat Pimpinan Tingkat IV BPPK. Rahmadi Murwanto, saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Perumusan Program pada Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan. Pendidikan Diplomanya diselesaikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, sedangkan gelar Master of Business Administration dan Master of Accountancy diperoleh pada tahun 2001 dari Weatherhead School of Management, Case Western University. Sejak tahun 1997 telah menjadi staf pengajar pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara untuk beberapa mata kuliah di bidang Akuntansi dan Manajemen Keuangan, setelah sebelumnya menjadi asisten dosen dari tahun 1991 sampai dengan 1994. Di samping pekerjaan utama yang bersangkutan dengan pengembangan SDM Departemen Keuangan, juga aktif mengamati berbagai perkembangan dalam bidang regulasi akuntansi, praktik perpajakan, investasi dan manajemen risiko.
Dasar-dasar Keuangan Publik
311 Fajar Hasri Ramadhana, saat ini menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Evaluasi Program pada Sekretariat BPPK. Gelar Sarjana Ekonomi di bidang akuntansi diperoleh dari Universitas Indonesia pada tahun 1997, sedangkan gelar Master of Arts diraih dari University of Colorado pada tahun 2003. Kegiatannya selain menjabat di BPPK, adalah mengajar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Mengajar bukan hal yang baru baginya sebab sejak lulus Diploma III STAN tahun 1993, pernah beberapa kali menjadi Asisten Dosen untuk mata kuliah tertentu. Beberapa mata kuliah yang pernah diberikan antara lain Evaluasi Proyek dan Akuntansi Keuangan Lanjutan. Disamping hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi, minat yang besar juga dicurahkan pada dunia komputer. Tidak heran, hal yang sering dilakukan di waktu senggang bersama keluarga adalah bermain game bersama dua anaknya yang beranjak besar, Umar dan Ilyas.
Insyafiah, dilahirkan di Jakarta, 25 Maret 1974, menikah dan telah dikaruniai 1 putra dan 1 putri. Pendidikan Diploma III diselesaikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Jakarta pada tahun 1995, sedangkan gelar Sarjana Ekonomi diperoleh dari Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun 1999. Kemudian melanjutkan program master bidang finance di The University of Newcastle, Australia, lulus tahun 2002. Di samping bekerja di Pusdiklat Pegawai, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan sejak September 1995, saat ini juga aktif mengajar antara lain, sebagai Dosen Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, STIE Tri Bhakti – Bekasi, dan Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta.
Sunarsip, dilahirkan di Tuban, 25 Mei 1973, menikah dan telah dikaruniai 3 putra. Sejak November 2004 bekerja pada Kementerian BUMN sebagai Tenaga Ahli Menteri BUMN. Sebelumnya pernah bertugas di Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan dan Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan. Pendidikan Diploma IV diselesaikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pada tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan pada program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MKPK) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kegiatan lainnya antara lain sebagai Kontributor Ahli Majalah ”Warta Bisnis”, Editor Pelaksana Jurnal Keuangan Publik BPPK, pengajar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan Universitas Al Azhar Indonesia, Direktur bidang Kajian Ekonomi Center for Indonesian Reform (CIR), penulis di berbagai harian dan majalah nasional, pemandu acara talk show ekonomi di radio SMART FM, serta sebagai pembicara di berbagai seminar dan pelatihan tingkat lokal maupun nasional. Disamping itu, aktivitas lainnya yang pernah dilakukan adalah sebagai peneliti di Badan Analisa Fiskal, Anggota Komite Risiko dan Kepatuhan PT Bank BNI (Persero) Tbk., Kepala Divisi Riset Pusat Pengembangan Akuntansi dan Keuangan STAN, dan Anggota Tim Perumus Kebijakan Exit Strategy Pasca IMF (Tim Indonesia Bangkit 2001).
Dasar-dasar Keuangan Publik