CRITICAL JOURNAL REPORT/REVIEW HUKUM TATA NEGARA DOSEN PENGAMPU Dra. Yusna Melianti,MH DISUSUN OLEH : DEWANI IRAWAN (3182111012) KELAS REGULER B
JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Critical Journal Report “Pengantar Ilmu Hukumn tata Negara”. Saya mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu mata kuliah Hukum Tata Negara Dra.Yusna Melati, MH yang telah membimbing serta mengarahkan saya dalam menyusun critical journal report ini. Critical journal report ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan critical journal ini. Terlepas dari semua ini, saya menyadari sepenuh nya bahawa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki critical journal ini. Akhir kata saya berharap semoga critical journal ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca terkhususnya bagi penulis.
Medan, Maret 2019
Dewani Irawan
BAB I
PENDAHULUAN A. Biografi Journal a. Jurnal Utama Judul Jurnal : Pertanggung jawaban Penggunaan Hak Prerogatif Presiden Di Bidang Yudikatif Dalam Menjamin Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman Nama Jurnal
: Jurnal Cita Hukum
Penulis
: Bachtiar Baital
Tahun puatan
: 2014
Volume jurnal
: Vol II No 1
ISSN
: 2356-1440.
b. Jurnal pembanding Judul
: Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia
Nama Jurnal : Jurnal Hukum Penulis
: Ni’matul Huda
Tahun pembuatan : 2001 Volume Jurnal : Volume 8 No 18 ISSN
:
B. Latar Belakang Critical jurnal review sangat lah penting, karena bukan hanya sekedar laporan atau tulisan tentang isi sebuah jurnal atau artikel, tetapi lebih menitikberatkan pada evaluasi (penjelasan, interprestasi & analisis) mengenai keunggulan dan kelemahan buku atau artikel tersebut dan apa yang menarik dari artikel tersebut, bagaimana isi jurnal tersebut yang bisa mempengaruhi cara berpikir & dan menambah pemahaman terhadap suatu bidang kajian tersebut dan lebih kritis dalam menanggapinya. Dengan kata lain dengan critical jurnal review akan menguji pemikiran pengarang atau penulis berdasarkan sudut pandang, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki.
C. Tujuan Penulisan
Untuk meningkatkan penulis sebagai mahasiswa yang dapat mengkritik sebuah buku yang dibahas sehingga dapat membandingkan Jurnal .
Untuk menambah daya fikir kritis penulis dalam mengulas Jurnal yang dikritik
Untuk menyelesaikan tugas cjr sebagai tugas mata kuliah ilmu kewarganegaraan
Untuk Mengetahuai apa itu Hukum Tata negara
D. Manfaat
Menambah pengetahuan tentang Hukum Tata negara
Menyelesaikan mata kuliah Hukum Tata Negara
BAB II
PEMBAHASAN A. RINGKASAN JURNAL UTAMA Dalam sejarah ketatanegaraan suatu negara, umumnya konstitusi digunakan untuk mengatur dan sekaligus untuk membatasi kekuasaan negara, termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan kekuasaan Presiden. Kekuasaan Presiden dalam suatu negara sangat penting, sehingga kekuasaan Presiden harus diatur secara jelas di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan dibawahnya. Besar tidaknya kekuasaan Presiden bergantung kepada kedudukan, tugas dan wewenang yang diberikan konstitusi kepadanya. Dalam praktik ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif Presiden tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan-kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Hak istimewa ini bahkan dapat dikatakan sudah mengalami penyempitan, karena ia hanya diberikan dalam hal-hal yang terbatas dan kepada kekuasan tertentu saja, yakni raja. Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik, sehingga suatu kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, susah untuk mendapat tempat dalam praktik ketatanegaraan. Sebagai contoh, pengangkatan kepala departemen (menteri) di Amerika Serikat, yang menganut sistem presidensial murni, harus mendapatkan persetujuan dari Senat Amerika. Padahal dengan jelas kekuasaan tersebut adalah kekuasaan eksekutif yang dalam sistem presidensial ditegaskan bahwa menteri-menteri diangkat oleh presiden. Oleh karena itu dengan jelas dapat dikatakan bahwa hak prerogatif presiden adalah hak yang tidak lagi diartikan sebagai hak yang mandiri, mutlak dan tidak dapat mengikutsertakan lembagalembaga negara lain dalam pelaksanaannya.
Hak-hak presiden yang kemudian diterjemahkan sebagai hak konstitusional presiden di bidang yudikatif secara normatif telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yang menegaskan bahwa presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Artinya, Mahkamah Agung berhak memberikan pertimbangan hukum
kepada presiden dalam memberi grasi dan rehabilitasi kepada narapidana. Selain itu, juga dapat dilihat prosedur pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24B ayat (3) UUD 1945, penetapan hakim agung oleh presiden sebagaimana ditegaskan dalam pasal 24A ayat (2) UUD 1945, dan proses pengisian jabatan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi di mana presiden berhak mengajukan 3 hakim konstitusi dari 9 hakim serta berwenang menetapkannya.Hak konstitusional presiden di bidang yudikatif ini sesungguhnya memiliki relevansi dengan eksistensi lembaga yudikatif yang oleh UUD 1945 dijamin kemerdekaan kekuasaannya. Paling tidak relevansi tersebut dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, perspektif tentang pemberian grasi dan rehabilitasi oleh Presiden sebagai manifestasi pelaksanaan hak konstitusional presiden. Kedua, perspektif campur tangan presiden dalam proses pengisian jabatan anggota Komisi Yudisial, penetapan hakim agung dan pengajuan serta penetapan hakim konstitusi. Kedua perspektif ini penting dalam mendudukkan dan menjawab apakah hak-hak konstitusional presiden di bidang yudikatif ini dapat atau tidak mereduksi atau bahkan dapat dikatakan potensial mengamputasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Dalam disertasinya yang berjudul “Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia”, Suwoto menegaskan bahwa dalam sistem pembagian kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu dalam setiap pemberian kekuasaan harus sudah dipikirkan beban tanggung jawab bagi setiap penerima kekuasaan. Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif sudah diterima pada waktu menerima kekuasaan. Persoalan pertanggungjawaban ini menjadi menarik jika dikaitkan dengan penggunaan hak konstitusional presiden. Dalam hal ini patut dipertanyakan apakah presiden dapat dimintai pertanggungjawaban atas penggunaan hak-hak konstitusional yang berasal dari kewenangan atribusi UUD. Sebagai contoh dalam hal pemberian grasi oleh Presiden kepada terpidana dapatkah dimintai pertanggungjawabannya kepada Presiden. Tentu tidak mudah untuk menjawab hal tersebut, karena dibutuhkan basis argumentasi yang jelas dan didukung oleh hasil telaah teoritis. Lahirnya ide dan keinginan untuk melakukan pembatasan yuridis terhadap
kekuasaan pada dasarnya disebabkan politik kekuasaan cenderung korup sebagaimana menurut Lord Acton. Hal ini dikhawatirkan akan melemahkan fungsi dan peran negara bagi kehidupan individu dan masyarakat. Atas dasar itu terdapat keinginan yang besar agar dilakukan pembatasan kekuasaan secara yuridis-normatif untuk menghindari kekuasaan yang sewenangwenang.
B. RINGKASAN JURNAL PEMBANDING Prerogatif secara kebahasaan berasal dari bahasa Latin praerogativa (dipllih sebagai yang paling dahulu memberi suara), praerogrativus (diminta sebagai yang pertama memberikan suara), praerogare (diminta sebeium meminta yang iain). Sebagai pranata hukum (hukum tata negara), prerogatif berasal dari sistem ketatanegaraan Inggrls. Hingga saat Ini, pranata prerogatiftetap merupakan salah satu sumber hukum, khususnya sumber hukum tata negara di Kerajaan Inggris. Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat hanya satu kali terjadi konflik yang sungguhsungguh antara Presiden dengan Badan Pekerja di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yaitu dalam hubungan Peraturan Pemerlntah No. 6 Tahun 1946 tentang penyempurnaan Susunan KNIP. Pada 16 Oktober 1945 keanggotaan KNIP telah dlperbanyak menjadi 188 orang anggota. Semenjak Januari 1946, beberapa partai politik mulai mendesak supaya susunan KNIP diubah sesuai dengan apa yang disebut sebagai perimbangan yang sebenarnya dari kekuatan-kekuatan politik, berbeda dari perimbangan yang diwakili dalam KNIP.'" Pada 10 Juli 1946 Badan Pekerja KNIP yang beranggota 200 orang telah diperbarul dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1946. Undang-undang Ini member) kesempatan kepada Panltia Pemilihan di daerah-daerah untuk mengambil inislatif memilih 110 anggota, kepada partai-partai politik untuk memilih 60 orang anggota lain. Hanya 30 anggota yang akan ditunjuk oleh Presiden. Selama tidak ada suatu undang-undang yang mengatur penunjukan anggota KNIP, Presiden menganggap soal itu sebagai prerogatifnya, karena itu, pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah. Oleh karena dengan penarikan rencana undang-undang dari Badan Pekerja tidak
terdapatsuatu sikap resmi dan positif dari KNIP terhadap persoaian itu, dapatlah disimpulkan bahwa KNIP mengakui prerogatif Presiden untuk menunjuk anggota-anggota KNIP sampai ada suatu UU yang mengatur soal tersebut. Begitu pulapenegasan yang ada didalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, mengatakan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Jadi, fungsi eksekutif diserahkan kepada Presiden." Secara tegas Harun Alrasid tidak mengatakan bahwa,Presiden daiam.kerangka UUD 1945 memlliki hak prerogatif. tetapi dari uraiannya dapat diketahui bahwa Presiden memiliki hak prerogatif. Misalnya, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan'Angkatan Udara, sehingga keputusan tingkat puncak dalam bidang militer berada di tangan Presiden. Presiden, berwenang menyatakan keadaan bahaya. Hal ini berarti bahwa dalam hal seluruh atau sebagian wilayah negara akan dinyatakan dalam keadaan daruratsipil, keadaan darurat militer, atau keadaan perang. Sepenuhnya merupakan wewenang Presiden tanpa persetujuan jabatan lain. Presiden. juga tanpa persetujuan jabatan Iain, berwenang untuk mengangkat menteri. Ketentuan menteri diangkatdan diberhentikan oleh Presiden, dikaitkan dengan ketentuan bahwa kekuasaan pemerintahan dipegang oleh presiden, maka ditarik kesimpulan bahwa berlaku sistem pemerintahan presidensial. Dan masih banyak hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden. Akan tetapi, ketika UUD 1945 telah diubah sampai tiga kali, struktur UUD 1945 mengalami perubahan yang luar biasa. Pasal-pasal yang tadinya memberikan wewenang penuh kepada Presiden untuk menyelenggarakan pemerintahan, setelah teijadi perubahan (pertama, kedua dan ketiga) UUD 1945 wewenang Presiden mengalami pengurangan yang cukup besar. Ada keharusan bagi Presiden untuk meminta persetujuan dariDPR (Pasal 11 dan 15),tetapi ada juga yang "harus" memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), atau pertimbangan MA (Pasal 14ayat(1)). Dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapoiri, yang selama ini dipahami sebagai wewenang penuh Presiden atas dasar Pasal 10 UUD 1945, dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR No. VII/ MPR/2000 secara substantif telah mengurangi wewenang Presiden, karena adanya keharusan bagi Presiden Lintuk meminta persetujuan DPR. Secara akademis persoalan ini masih
diperdebatkan, berkaitan dengan kedudukan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 apakah sudah operasional atau belum.
BAB III PEMBAHASAN Adapun dalam menjalankan kekuasaan nya presiden memiliki hak prerogatif tersendiri salah satunya
Misalnya, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan'Angkatan Udara, sehingga keputusan tingkat puncak dalam bidang militer berada di tangan Presiden. Presiden, berwenang menyatakan keadaan bahaya. Hal ini berarti bahwa dalam hal
seluruh atau sebagian wilayah negara akan dinyatakan dalam keadaan daruratsipil, keadaan darurat militer, atau keadaan perang. Penggunaan hak konstitusional presiden di bidang yudikatif memiliki relevansi dengan eksistensi kekuasaan kehakiman yang merdeka. Paling tidak relevansi itu dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, perspektif tentang pemberian grasi dan rehabilitasi oleh presiden sebagai manifestasi pelaksanaan hak konstitusional presiden. Kedua, perspektif campur tangan presiden dalam proses pengisian jabatan anggota Komisi Yudisial, penetapan Hakim Agung dan pengajuan serta penetapan Hakim Konstitusi.
Kelebihan Dan Kekurangan Jurnal a. Kelebihan Jurnal Utama Cover yang digunakan pada jurnal utama sangat lah menarik, karena berbeda dengan jurnal biasanya pembaca lihat. Pada jurnal utama struktur yang biasa digunakan dalam pembentukan jurnal yang baik dan benar sudah dilakukan. Pengunaan bahasa yang mudah dipahami Penyusunan materi nya sistematis Banyak disertai dengan Undang- Undang untuk memperkuat pernyataan. Jurnal ini berisikan kajian tentang Penggunaan hak-hak konstitusional sebagai wujud pelaksanaan kekuasaan presiden selama ini masih belum diatur secara jelas dan rinci, sehingga membuka ruang multi tafsir. Jurnal ini juga disertai dengan adanya penulisan Foot note atau catatan kaki pada setiap halaman. b. Kelemahan Jurnal Utama
Adapun kelemahan jurnal utama ialah penulis tidak memberikan batasan pembahasan sehingga pembaca harus memahami secara keseluruhan tanpa bisa langsung melihat pembahasan yang dibuat.
c. Kelebihan Jurnal Pembanding
Penggunaan bahasanya juga mudah dipahami oleh pembaca.
Disertai dengan pemberian foot note atau catatan kaki pada setiap halaman.
Pada setiap materi atau setiap paragraf nya terdapat banyak kutipan undang - undang untuk memperkuat pernyataan.
d. Kelemahan Jurnal Pembanding
Tidak adanya ISSN sehingga kurang bisa menjadi bahan rujukan oleh pembaca untuk menulis kan artikel ilmiah mereka
Sama seperti jurnal utama, jurnal pembanding penulis tidak memberikan batasan pembahasan sehingga pembaca harus memahami secara keseluruhan tanpa bisa langsung melihat pembahasan yang dibuat.
BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Penggunaan hak-hak konstitusional sebagai wujud pelaksanaan kekuasaan presiden selama ini masih belum diatur secara jelas dan rinci, sehingga membuka ruang multi tafsir. Kebutuhan di
masa mendatang menuntut suatu peraturan perundang-undangan yang jelas dan rinci mengenai hak konstitusional Presiden RI, batasan-batasan penggunaan, mekanisme pelaksanaan, dan mekanisme pertanggung-jawabannya. Oleh karena itu, DPR bersama pemerintah perlu membentuk suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang penggunaan hak-hak konstitusional Presiden serta mekanisme pelaksanaannya secara jelas dan menyeluruh. Seoara umum dapat dipahami bahwa UUD 1945 memberikan wewenang prerogatif pada Presiden melalui Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 dan Pasal 17, sehingga Presiden dalam meiaksanakan wewenangnya tidak perlu meminta persetujuan lembaga lain, misalnya DPR. Akan tetapi, ketika UUD 1945 telah diubah sampai tiga kali, struktur UUD 1945 mengalami perubahan yang luar biasa. B. SARAN Adapun saran yang ingin penulis sampaikan ialah :
DPR bersama pemerintah perlu membentuk suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang penggunaan hak-hak konstitusional Presiden serta mekanisme pelaksanaannya secara jelas dan menyeluruh.
Ke depan, kekuasaan Presiden harus ada pengaturannya secara tegas di dalam konstitusi ataupun UU. agar mudah dikontrol pelaksanaannya, Untuk itu, DPR harus aktif mengawasi jalannya pemerintahan dengan menggunakan hak-haknyasecara optimal dan proporsional.
DAFTAR PUSTAKA Baital, Bachtiar. (2014). Pertanggung jawaban Penggunaan Hak Prerogatif Presiden Di Bidang Yudikatif Dalam Menjamin Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman. Jurnal Cita Hukum. 2 (10) 2356-1440 Huda, Ni’matul. (2001). Hak Prerogatif Presiden dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia. Jurnal Hukum. 8 (18)