International Standard Serial Number: 0125 -913X
Diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan PT. Kalbe Farma
Daftar Isi : Artikel : 3 8 13 18 21 26 Karya Sriwidodo
32 37 41 49 53 55 58
Pengantar Farmakokinetika Farmakokinetika Klinik Monitoring Kadar Terapeutik Obat Ketersediaan Hayati Obat Pengukuran Klirens Ginjal Obat Teknik Analisis Obat Dalam Cairan Biologis Dengan GLC dan HPLC Farmakoterapi Rasional Ketersediaan Hayati Sediaan Pelepasan Lambat Strategi Penelitian Farmakokinetika Bioavailabilitas Obat Bagaimana Pengaruh Tubuh Terhadap Obat Konsultasi Farmakologik di Samping Penderita Sekilas Tentang Sub Bagian Farmakokinetika Bagian Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farma
62 Cara Menentukan Kualitas Protein Suatu Bahan Makanan Bunuh Diri Bersama 65 Perkembangan Mastektomi : Sedikit Mungkin Sama Dengan Banyak
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.
67 Hukum & Etika : Tepatkah Tindakan Saudara ? 69 Catatan Singkat 70 Humor Ilmu Kedokteran 72 Abstrak abstrak
Artikel
Pengantar Farmakokinetika Dr Yeyet Cahyati S Apt
PENDAHULUAN Sejak beberapa tahun yang lalu, pola pengontrolan kualitas dan pemakaian klinik obat dipengaruhi oleh suatu disiplin ilmu yang mempelajari nasib obat dalam tubuh. Disiplin ilmu tersebut kita kenal dengan nama "Fammakokinetika". Kata " farmakokinetika" berasal dari kata-kata "pharmacon " , kata Yunani untuk obat dan racun, dan "kinetic". Jadi " farmakokinetika" adalah ilmu yang mempelajari kinetika obat, yang dalam hal ini berarti kinetika obat dalam tubuh. Proses-proses yang akan menentukan kinetika obat dalam tubuh meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Untuk memahami kinetika obat dalam tubuh tidak cukup hanya dengan menentukan dan mengetahui perkembangan kadar atau jumlah senyawa asalnya saja (unchanged compound), tetapi juga meliputi metabolitnya. Bagian tubuh di man konsentrasi/jumlah obat dan atau metabolitnya ditentukan biasanya darah (plasma/serum), ekskreta (urin, faeses, ludah, dan lain - lain), atau jaringan tubuh lain.
dengan saat ini memang tidak mungkin untuk dapat menentukan kinetika obat dalam tubuh secara eksperimental dalam PEMODELAN DALAM FARMAKOKINETIKA waktu yang kontinyu. Dengan demikian, data eksperimental Da lam suatu penelitian/studi farmakokinetika, perkembarig- yang akan kita peroleh hanyalah untuk waktu-waktu tersebut an kadar/jumlah obat (senyawa asal dan atau metabolitnya) tadi. Sebagai contoh dapat dilihat gambar 1. dalam tubuh dilakukan pada titik-titik waktu yang diskonJika data tersebut dibiarkan apa adanya, tidak banyak mantinyu (misalnya pada waktu-waktu 30 menit, 1 jam, 2 jam, 3 faat yang bisa ditarik. Oleh karena itu, dalam dunia farina" jam, 6 jam dan 8 jam setelah pemberian obat), karena sampai kokinetika akan dijumpai apa yang disebut dengan "model . " "Model yang paling sering dipakai adalah model komparte– Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan mental, di mana keadaan tubuh direjpresentasikan ke dalam Alam Institut Teknologi Bandung bentuk kompartemen: satu kompartemen atau pluri-komparte– Konsultan pada Sub Bidang Farmakokinetika, Bidang Farina- men. Tiap kompartemen mempunyai besarai volume (isi) yang kologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farina, disebut "volume distribusi " . Model-model tadi hanyalah suatu Jakarta representasi matematika yang tidak bisa dihubungkan dengan
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 3
keadaan fungsi - fungsi tubuh secara tegas. Oleh karena itu " volume distribusi" tadi disebut " volume distribusi yang timbul" (apparent volume of distribution). Beberapa contoh model kompartemental dalam farmakokinetika dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Representasi model Satu kompartemen dan masingmasing satu contoh dari model dua kompartemen dan tiga kompartemen dari model kompartemental tinier terbulca.
Berdasarkan ketepatan regresi kurva yang diperoleh, konstanta-konstanta transfer antar kompartemen dan konstanta kecepatan eliminasi (dan juga konstanta kecepatan absorpsi) dari model tadi mendekati kinetika proses tingkat satu, sehingga persamaan kinetika obat dapat diselesaikan ke dalam persamaan umum :
Untuk model satu kompartemen misalnya, jika obat diberikan secara injeksi intravena (dalam dosis tunggal), perkembangan kadar obat dalam darah dapat direpresentasikan dengan persamaan :
Sedangkan untuk model 2 kompartemen, dan obat diberikan secara ekstravaskular, persamaan kinetika yang cocok adalah :
4
Ccrmin Dunia Kedokteran No. 37 1985
mencapai puncaknya, kemudian akan turun. Gambaran umum bentuk kurva kinetika untuk masingmasing cara pemberian dapat dilihat pada gambar 3, sedangkan bentuk kurva kinetika untuk tiap model kompartemental dapat dilihat pada gambar 4. Adanya suatu kinetika yang pluri-kompartemental biasanya hanya dapat terlihat dengan nyata pada pemberian obat secara injeksi intravena.
Waktu Gambar 3. Bentuk umum kurva perkembangan kadar obat dalam darah menurut model satu kompartemen setelah pemberian obat secara injeksi intravena (A), infus dimana infus dihentikan sebelum kesetimbangan dicapai (B1), infus dimana infus dihentikan setelah kesetimbangan dicapai (B2), dan secara ekstravaskular (oral, rektal, dan lainlain) (C).
PROFIL PERKEMBANGAN KADAR OBAT DALAM TUBUH (DARAH) Sebagaimana telah dikatakandi muka, darah (plasma atau serum) merupakan cairan tubuh yang paling sering dipakai dalam penelitian farmakokinetika. Ini mudah dimengerti karena: (a) kebanyakan obat sampai ke reseptornya melalui darah, dan (b) tidak mudah mendapatkan jaringan tubuhlain dari organisme hidup, khususnya manusia. Profil perkembangan kadar obat dalam darah dapat dibagi ke dalam tiga kategori : (a) Profil kinetika, di mana obat dimasukkan sekaligus ke dalam sistem peredaran darah (misalnya cara injeksi intravena). (b) Profil kinetika,di mana obat diberikan secara infus. (c) Profil kinetika, di mana obat diberikan secara ekstravaskular (oral, rektal, dan lain-lain). Untuk obat yang diberikan secara injeksi intravena, semua obat akan masuk sekaligus ke dalam sistem peredaran darah, kemudian jumlah obat dalam darah akan menurun karena obat mengalami proses distribusi dan eliminasi (metabolisme dan ekskresi). Untuk obat yang diberikan secara infus, kadar obat dalam darah akan naik secara perlahan-lahan sesuai dengan kecepatan infus, dan akan naik terus sampai infus dihentikan atau sampai suatu saat di mana kecepatan eliminasi sama dengan kecepatan infus. Setelah infus dihentikan, kadar obat akan turun kembali seperti halnya setelah pemberian secara injeksi intravena. Pada pemberian obat secara ekstravaskular(oral, rektal, dan lain-lain), obat akan masuk ke dalam sistem peredaran darah secara perlahan-lahan melalui suatuproses absorpsi sampai
Waktu Gambar 4. Bentuk umum kurva perkembangan kadar obat dalam darah menurut model satu kompartemen (A), model dua kompartemen (B), dan model tiga kompartemen (C), pada pemberian obat secara injeksi intravaskular.
KEGUNAAN FARMAKOKINETIKA Pengetahuan farmakokinetika berguna dalam berbagai bidang farmasi dan kedokteran, seperti untuk bidang farmakologi, farmasetika, farmasi klinik, toksikologi dan kimia medisinal.
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
5
Bidang farmakologi Pertama kali, dengan penelitian farmakokinetika dapat dibantu diterangkan mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh, khususnya untuk mengetahui senyawa yang mana yang sebenarnya bekerja dalam tubuh; apakah senyawa asalnya, metabolitnya atau kedua-duanya. Jika efek obat dapat dinilai secara kuantitatif, data kinetika obat dalam tubuh sangat penting artinya untuk menentukan hubungan antara kadar/jumlah obat dalam tubuh dengan intensitas efek yang ditimbulkannya. Dengan demikian daerah kerja efektif obat (therapeutic window) dapat ditentukan. Bidang farmasetica Dalam bidang farmasetika, farmakokinetika berguna untuk menilai ketersediaan biologis (bioavailability) suatu senyawa aktif terapeutik dari sediaannya (sediaan yang diberikan secara ekstravaskular). Seperti sudah banyak dibuktikan, kualitas zat aktif, jenis dan komposisi bahan pembantu serta teknik pembuatan sediaan yang dipakai dalam pembuatan suatu sediaan dapat mempengaruhi ketersediaan biologis zat aktif dari sediaan tersebut. Sedangkan ketersediaan biologis zat aktif akan menentukan efektivitas terapeutik dari sediaan yang bersangkutan. Selain itu, farmakokinetika dapat membantu menentukan pilihan bentuk sediaan yang paling cocok/baik untuk dibuat. Bidang farmasi klinik Untuk bidang farmasi klinik, farmakokinetika memiliki beberapa kegunaan yang cukup penting, yaitu : a) Untuk memilih route pemberian obat yang paling tepat. Apakah harus secara injeksi intravena, atau bisa dengan route lain seperti secara oral, rektal, dan lain-lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai ketersediaan biologis obat setelah pemberian dalam berbagai route pemberian, dan dengan mempertimbangkan profil kinetika obat yang dihasilkan oleh berbagai route pemberian tersebut. b) Dengan cara identifikasi farmakokinetika dapat dihitung aturan dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage regimen individualization). Sampai dengan saat ini cara identifikasi farmakokinetika merupakan cara yang paling tepat untuk pengindividualisasian dosis, khususnya untuk obat-obat dengan daerah keija terapeutik yang sempit seperti teofilin, dan lainlain. c) Data farmakokiketika suatu obat diperlukan dalam penyusunan aturan dosis yang rasional. d) Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan obat maupun antara obat dengan makanan atau minuman. Bidang toksikologi Dalam bidang ini farmakokinetika dapat membantu menemukan sebab-sebab terjadinya efek toksik dari pemakaian suatu obat. Bidang kimia medisinal Dalam bidang kimia medisinal, pengetahuan farmakokinetika dan data farmakokinetika suatu senyawa obat dapat membantu memberikan arah terhadap sintesis senyawa-senyawa obat baru yang lebih unggul: potensi lebih tinggi, stabilitas 6
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
dalam tubuh lebih terjamin, dan profil kinetika yang lebih menguntungkan untuk pemakaian klinik sesuai dengan indikasinya. Sebagai contoh, sintesis senyawa-senyawa obat dari golongan benzodiazepin. Benzodiazepin mempunyai beberapa indikasi seperti untuk pengimbas tidur, sebagai penenang, antikonvulsan, dan lain-lain. Untuk penggunaan sebagai penenang sekarang telah disintesis beberapa senyawa dengan waktu paruh eliminasi yang cukup besar (50 jam ke atas) seperti etiloflazepat, dan lain-lain. FARMAKOKINETIKA DI INDUSTRI FARMASI Secara garis besar, industri-industri farmasi dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu : I. Industri farmasi yang memproduksi bahan baku (baik senyawa aktif terapeutik maupun bahan pembantu), dan sekaligus memproduksi sediaan jadi (tablet, kapsul, obat suntik, dan lain-lain). II. Industri farmasi yang hanya memproduksi obat jadi. Untuk industri farmasi yang termasuk ke dalam kelompok I, khususnya yang mensintesis senyawa-senyawa aktif terapeutik baru, penelitian farmakokinetika perlu dilakukan untuk mengetahui/menentukan beberapa hal : — mekanisme kerja obat — arah sintesis senyawa baru selanjutnya — daerah kerja terapeutika obat — aturan dosis standar (standard dosage regimen) — route pemberian dan bentuk sediaan yang paling cocok — kualitas obat jadi — dan lain-lain. Untuk industri farmasi yang termasuk kelompok II seperti lazimnya industri-industri farmasi yang ada di Indonesia dewasa ini, fungsi penelitian farmakokinetika lebih terbatas, terutama untuk menilai kualitas sediaan obat jadi yang dihasilkan, yaitu ditinjau dari segi ketersediaan biologisnya (bioavailability). Fungsi lain yang bisa dikembangkan adalah untuk menilai kembali atau untuk menghaluskan aturan dosis standar yang sudah ditentukan, dengan memperhitungkan data kinetika senyawa aktif dari sediaan obat yang bersangkutan. Dengan ketersediaan biologis yang tinggi, dosis obat bisa diperkecil sehingga penggunaan obat bisa lebih ekonomis. Untuk industri-industri farmasi di Indonesia, fungsi yang kedua ini semestinya bisa benar-benar dikembangkan, mengingat aturan dosis standar yang dipakai yaitu yang sudah ditetapkan berdasarkan data kinetika obat yang diamati pada orang-orang Barat. Padahal, obat akan digunakan untuk orang-orang Indonesia yang belum tentu memiliki respon farmakokinetika yang sama dengan orang Barat terhadap obat-obat yang dipakai. MASALAH YANG DIHADAPI OLEH INDUSTRI-INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA Untuk melaksanakan penelitian farmakokiketika terdapat beberapa masalah yang harus dipecahkan. Yang pertama adalah masalah tenaga ahli. Untuk penelitian ini diperlukan tenaga ahli khusus untuk analisis farmakokinetika. Berdasarkan pengalaman penulis, dalam program pendidikan tinggi farmasi stratum 1 (Sl) di Indonsia, disiplin ilmu ini belum diberikan secara mendalam. Masalah yang kedua adalah masalah peralatan, khususnya
peralatan untuk penentuan kadar obat dalam cairan biologis. Cara penentuan kadar untuk keperluan studi farmakokinetika harus memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang cukup tinggi, karena: (a) dalam sampel terdapat senyawa lain (baik senyawa endogen maupun metabolit obat sendiri) yang dapat berinterfrensi, dan (b) kadar obat yang harus ditentukan kadarnya relatif sangat rendah (rata-rata sampai di bawah 1 mcg/ml). Masalah ini bisa dijawab dengan menggunakan peralatan analisis yang ber-performance tinggi seperti kromatograf cair penampilan- tinggi ("HPLC "), kromatograf gas, TLC-scanner, dan lain-lain, di samping juga diperlukan peralatan ekstraksi dan derivatisasi untuk skala mikro. Untuk senyawa-senyawa antibiotika dengan tujuan studi tertentu (misalnya untuk studi bioavailabilitas), cara niikrobiologis masih bisa dipakai dan masih merupakan alternatif pilihan. Masalah yang ketiga adalah masalah biaya operasional yang cukup tinggi; yang diperlukan untuk penyiapan sampel, untuk analisis kuantitatif dan untuk pemeliharaan alat. Dengan adanya masalah-masalah itulah maka belum semua industri farmasi di Indonesia mampu untuk melakukan penelitian farmakokinetika. Pada saat ini memang ketersediaan biologis suatu sediaan belum ditetapkan sebagai persyaratan sediaan obat, tetapi kalau nanti persyaratan ini ditetapkan, mau tidak mau semua industri farmasi harus melaksanakan penelitian farmakokinetika ini.
PENUTUP Pengetahuan farmakokinetika bermanfaat dan diperlukan dalam berbagai bidang pekerjaan farmasi dan kedokteran, seperti dalam bidang farmasetika, farmakologi klinik, farmasi klinik, toksikologi dan kimia medisinal. Karena cukup banyak masalah yang dihadapi untuk melaksanakannya, sampai dengan saat ini belum semua industri farmasi di Indonsia mampu melakukan penelitian farmakokinetika ini (khususnya uji ketersediaan biologis atau bioavailabilitas), padahal pelaksanaannya cukup penting dalam rangka pelayanan kesehatan yang lebih rasional, efisien dan efektif. KEPUSTAKAAN 1. Aiache JM, Devissaguet JPh and Guyot-Herrmann AM (Eds.) Galenica 2 — Biopharmacie, Technique et Documentation, Paris, 1978. 2. Rowland M and Tozer TN. Clinical Pharmacokinetics: Concepts and Applications, Lea & Febiger, Philadelphia, 1980. 3. Wagner JG. History of pharmacokinetic, Pharmac Ther, 1981; 12 : 537 — 562. 4. Wagner JG. Do you need a pharmacokinetic model, and, if so, which one?, J Pharmacokin Biopharm, 1975; 3(6) : 457 — 477. 5. Wagner JG. Fundamentals of Clinical Pharmacokinetics, 1st ed., Illinois; Drug Intelligence Publications, Inc, Hamilton, 1979.
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
7
Farmakokinetika Klinik dr Budiono Santoso Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
PENDAHULUAN Semenjak Dost l mengajukan istilah farmakokinetika kirakira 30 tahun yang lalu, yang kurang lebih diartikan sebagai "ilmu mengenai analisis kuantitatif antara organisma dan obat", maka kita telah melihat perkembangan yang begitu pesat bidang ilmu ini sampai sekarang. Pengertian yang dicakup dalam definisi dari Dost tadi sebenarnya kalau ditelaah lebih dalam meliputi "analisis matematika dari jumlah dan aktifitas obat dalam badan dalam hubungannya dengan waktu". Namun demikian tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar mengenai "analisis matematka" seperti yang dimaksud dalam pengertian di atas, tetapi lebih banyak membicarakan tempat dan manfaat dari farmakokinetika dalam klinik, terutama sehubungan dengan perawatan penderita. Ini didasarkan pada kenyataan, analisis matematika dalam badan terutama mengenai jumlah maupun aktifitasnya telah banyak sekali dibahas dalam berbagai tulisan dan penerbitan. Di lain pihak, kemanfaatan farmakokinetika dalam kepentingan klinik secara luas sering tidak mendapat perhatian yang layak. Pengaruh klinik atau terapeutik suatu obat pada seorang pasien sebenarnya merupakan hasil dari daya farmakologik obat tersebut, di man hal yang terakhir ini akan sangat tergantung pada kadar yang bisa dicapai pada tempat kerja obat (reseptor). Sayangnya, pengukuran kadar obat pada reseptor hampir selalu tidak dimungkinkan. Namun demikian, karena setiap perubahan kadar obat yang terukur dalam cairan darah secara praktis akan mencerminkan perubahan pada reseptor, dengan pengukuran kadar obat dalam cairan darah akan bisa diperhitungkan atau diramalkan tingkat aktifitas farmakologik yang tercapai (lihat Bagan 1). Tinggi rendahnya kadar obat dalam cairan darah merupakan hasil dari besarnya dosis yang diberikan, dan pengaruh-pengaruh proses -proses alami dalam tubuh mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme sampai ekskresi obat.
8 Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Dengan melihat alur peristiwa yang tergambar pada bagan satu, sebenarnya farmakokinetika merupakan analisis matematika dari proses-proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Namun demikian, jika kita kembali kepada defi-
nisi dari Dost tadi, sebenarnya lingkup farmakokinetika seharusnya juga mencakup analisis matematika dari aktifitas obat. Perlu dicatat, walaupun perkembangan teknologi modern saat ini telah memungkinkan kuantifikasi kadar sebagian besar obat dalam cairan biologik, misalnya saja dengan teknik kromatografi gas, kromatografi cairan tekanan tinggi (high pressure liquid chromatography; HPLC), spektrometri massa (mass spectrometry) dan lain-lain, tetapi kuantifikasi aktifitas maupun pengaruh klinik obat bukan merupakan pekerjaan yang gampang, kalau tidak bisa dikatakan sangat sulit. Sehingga sampai saat ini farmakokinetika hampir selalu diartikan sebagai studi kuantitatif dari proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat seperti yang diajukan oleh Greenblatt dan Koch-Weser (1975) 2 Penerapan prinsip -prinsip farmakokinetika dalam penanganan penderita secara langsung atau tidak dikenal sebagai farmakokinetika klinik. Permasalahan yang selalu dihadapi oleh klinikus yang berminat terhadap farmakokinetika adalah, bagaimanakah memanfaatkan secara maksimal pengetahuan tentang kinetika obat untuk kepentingan penanganan penderita?
Kecepatan infus = Cl x C ss
(rumus 1)
Cl adalah klirens tubuh total, yakni menggambarkan kemampuan individu untuk mengeliminasi obat yang ditunjukkan dengan besarnya volume darah yang dibersihkan dari
Vd= volume distribusiyang merupakan volume hipotetis penyebaran obat dalam cairan tubuh. = ke1 tetapan kecepatan eliminasi obat per unit waktu. Persamaan (3) juga bisa ditulis seperti berikut,
MANFAATDALAM PENERAPAN KLINIK Walaupun kepentingan dari penerapan farmakokinetika kepada masalah-masalah klinik telah banyak sekali diingatkan dan ditekankan selama bertahun-tahun terakhir ini, tetapi suatu penelaahan terhadap publikasi -publikasi mengenai farmakokinetika dalam berkala -berkala terkemuka di dunia3 telah mengungkapkan, penelitian -penelitian yang berkaitan langsung dengan penanganan masalah -masalah yang dihadapi dalam klinik kebanyakan hanya menjadi tujuan sekunder. Misalnya, dalam keadaan klinik yang sesungguhnya maka pemberian obat pada pasien lebih sering dengan dosis ganda (multiple dosing) dibanding dengan pemberian dosis tunggal (single dosing), namun penelitian -penelitian justru lebih banyak dengan pemberian dosis tunggal baik pada orang sehat maupun penderita. Bagi para klinikus yang berminat dalam farmakokinetika, mungkin akan lebih mudah menerima dan menelaah hasil penelitian dosis berganda dibanding dengan dosis tunggal untuk menerapkan hasil tersebut bagi kepentingan penderita. Manfaat penerapan farmakokinetika bagi kepentingan penanganan penderita adalah untuk tuntunan penentuan aturan dosis (dosage regimen) yang menyangkut besarnya dosis dan interval pemberian dosis, terutama untuk obat-obat dengan ling. kup terapeutik yang sempit seperti teofilina, digoksin, fenitoina, fenobarbital, lidokain, prokainamida dan lain-lain.
t½‚ adalah waktu paroh obat yang menggambarkan lamanya jumlah obat (kadar obat) dalam badan turun menjadi separuhnya. Karena jika infus diberikan dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan tadi, kadar obat dalam keadaan tunak (steady state) baru akan tercapai 4xt‚, maka untuk kasus-kasus berat seperti di atas perlu diberikan suatu dosis pengisi (loading) agar tercapai Css dalam waktu cepat. Besarnya dosis pengisi diperhitungkan,
Contoh kasus 2 Untuk penderita asma yang tidak begitu berat diinginkan kadar teofilina dalam darah sebesar 5 ug/ml dalam keadaan tunak. Berapa dosis yang diperlukan dapat diperhitungkan dari
Contoh kasus 1 Misalnya: jika dalam suatu unit darurat dihadapi seorang penderita status asmatikus berat, di mana sebagai tindak lanjut diagnosis dan evaluasi klinik diputuskan untuk memberikan terapi teofilina per infus. Dengan melihat beratnya serangan asma yang diderita, klinikus menginginkan kadar teofilina dalam keadaan tunak (steady state = C s) sebesar 12 ug/ml. Untuk menentukan berapa kecepatan infus yang perlu diberikan, dan berapa besarnya bolus yang diperlukan bisa diperhitungkan dari perhitungan-perhitungan farmakokinetika:
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
9
Untuk kedua keadaan klinik yang digambarkan pada contoh kasus 1 dan 2 di atas, kadar terapeutik bisa dicapai dengan memperhitungkan kecepatan infus (contoh 1) atau besarnya dosis oral (contoh 2), jika bisa diketahui nilai volume distribusi (Vd) maupun waktu paroh (t'%) dan ketersediaan hayati (F) untuk dosis oral. Salah satu manfaat farmakokinetika dalam klinik, seperti halnya digambarkan pada ke dua contoh di atas adalah untuk menentukan aturan dosis dan pemberiannya setelah parameterparameter kinetika yang diperlukan bisa diketemukan. Persoalannya, apakah setiap parameter kinetika harus ditentukan dulu sebelum menentukan aturan dosis dan pemberiannya pada setiap penderita? Jelas hal ini tidak dimungkinkan karena akan kehilangan nilai praktis terapeutiknya. Dalam buku-buku standar farmakologi klinik atau farmakokinetika, sebenarnya data mengenai parameter-parameter farmakokinetika dari berbagai obat bisa dicari dan dijadikan pedoman untuk memperkirakan nilai parameter kinetika yang diperlukan (approximate value). Namun demikian perlu dicatat hal-hal sebagai berikut: 1). Sebagian besar (hampir semua) data kinetika obat didapatkan pada orang-orang Barat (ras Kaukasoid), dan makin banyak diketahui adanya variasi antar etnik yang cukup bermakna untuk beberapa obat. 2). Keaneka-ragaman antar individu dalam satu populasi dari satu kelompok etnik untuk berbagai obat sering terlalu besar untuk bisa diambil suatu nilai perkiraan rata-rata yang dapat diterapkan pada setiap individu. Manfaat lain dari farmakokinetika adalah mempelajari faktor-faktor yang dapat menipengaruhi proses -proses biologik yang dialami oleh obat dalam tubuh mulai dari absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi. Termasuk di sini misalnya faktor -faktor genetik maupun lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal tubuh. Misalnya dengan mengukur parameter kinetika eliminasi (khusus untuk metabolisme) suatu obat dalam satu populasi, dapat diidentifikasi kemung. kinan adanya sub populasi yang lain dari umumnya anggota populasi dalam hal kemampuan metabolisme obat tertentu. Pengukuran waktu paroh (5%) INH dalam suatu populasi akan memberikan gambaran distribusi frekuensi yang polimodal, di mana individu -individu dalam populasi terbagi secara genetik ke dalam kelompok -kelompok asetilator cepat dan asetilator lambat4 Contoh lain, peristiwa-peristiwa saling mempengaruhi (antar aksi obat) dalam tingkat proses -proses biologik absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi dipelajari dan dievaluasi secara in vivo, baik pada orang sakit ataupun penderita, dengan pendekatan farmakokinetika yakni dengan pengukuran -pengukuran parameter -parameter kinetika peristiwa -peristiwa di atas5 . Misalnya, hambatan metabolisme primidon oleh karena INH dibuktikan secara klinik dengan adanya pemanjangan t½ primidon sesudah pra-perlakuan INH dibandingkan tanpa pra-perlakuan INH6. KEANEKA RAGAMAN ANTAR ETNIK Seperti telah disinggung di muka, salah satu permasalahan yang sering menjadi bahan pertanyaan dalam berbagai keadaan itu apakah data kinetika suatu obat dari satu kelom-
10
Cermin Dunia Kedokteran No. 37
1985
dari ras Kaukapok etnik (dalam hal ini umumnya didapat soid) bisa dipakai sebagai dasar untuk pembuatan pedoman aturan dosis dan pemberian pada kelompok etnik lain (ras Negroid dan Mongoloid)? Jawabannya bisa dua kemungkinan, ya dan tidak. Ini mungkin karena tidak ada perbedaan yang bermakna secara klinik dalam parameter -parameter farmakokinetika antara masing -masing kelompok etnik. Kemungkinan lain, untuk beberapa obat ternyata perbedaanperbedaan antar kelompok etnik ini cukup bermakna klinik sehingga memerlukan penyesuaian aturan - aturan dosis pada kelompok etnik lain sesuai dengan parameter-parameter kinetik yang didapat pada populasi yang bersangkutan. Keaneka ragaman antar etnik ini mungkin disebabkan karena adanya perbedaan dalam frekuensi gen dalam populasi yang bersangkutan untuk variasi obat yang di bawah pengaruh gen monogenik (polimorfisme genetik) atau oleh karena perbedaan-perbedaan dalam faktor -faktor lingkungan internal maupun eksternal yang bisa berpengaruh terhadap prosesproses kinetika (terutama metabolisme). Misalnya, keaneka ragaman metabolisme isoniazid yang berupa reaksi asetilasi menjadi asetil -isoniazid. Individu-individu dalam populasi terbagi menjadi asetilator cepat dan asetilator lambat, di mana ciri genetik masing -masing di bawah gen dominan (R) dan resesif (r). Frekuensi asetilator pada masingmasing kelompok etnik sangat berbeda. Pada ras Mongoloid sebagian besar tergolong ke dalam asetilator cepat dengan ni' lai waktu paro (t½) kurang dari 2 jam, sedangkan pada ras Kaukasoid atau Negroid frekuensi asetilator cepat sedikit lebih rendah dari pada asetilator lambat7. Pada gambaran histogram, frekuensi distribusi waktu paro INH dalam kepustakaan nilai antimode yang memisahkan asetilator cepat dan lambat disebutkan 2 jam, di mana nilai waktu paro INH kurang dari 2 jam adalah asetilator cepat 4. Penelitian terhadap orang-orang Indonesia suku Jawag menunjukkan; nilai antimode t½ - INH yang memisahkan asetilator cepat dan lambat tidak terletak pada nilai 2 jam, tetapi antara 2½ - 3½ jam. Mengapa bisa terjadi pergeseran distribusi nilai t½ - INH ini sulit diterangkah. Tetapi analisis lebih lanjut dari data kinetika yang didapat menunjukkan, nilai rata-rata volume distribusi (Vd) pada subyek -subyek Indonesia • Jawa tadi sebesar 89% ± SEM 3%berat'badan. 4,9 Nilai volume distribusi pada kepustakaan rata-rata dilaporkan sebesar 61%. Jika dilihat rumus,
maka kemungkinan pergeseran ke kanan nilai antimode yang memisahkan asetilator cepat & lambat pada populasi Indonesia - Jawa menjadi antara 2½ - 3½ jam dibandingkan dengan nilai 2 jam pada ras Kaukasoid (Gambar 1), disebabkan oleh karena tingginya nilai volume distribusi (Vd). Jika dilihat kecepatan metabolisme rifampisin, pada bukubuku standar disebutkan, nilai t½ sesudah pemberian dosis 600 mg bervariasi antara 1½ - 4 jam. kadar puncak obat aktif yang dicapai sesudah pemberian 600 mg disebutkan berkisar antara 7 - 10 ug/ml. Penelitian sementara pada subyek-subyek Indonesia - Jawa (Santoso & Suryawati, 1984, belum di-
KEANEKA-RAGAMAN ANTAR INDIVIDU Kalau dikatakan di muka bahwa untuk beberapa obat ternyata didapati perbedaanyang cukup bermakna klinik dalam parameter-parameter kinetika antara kelompok-kelompok etnik, maka pada individu-individu dalam satu populasipun akan didapati keaneka- ragaman kinetika yang mungkin cukup berarti, terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang sempit. Seperti telah dikatakan, keaneka-ragaman biologik antar individu dalam proses--proses kinetika (terutama metabolisme) mungkin berasal dari faktor - faktor genetik (genetic make-up) atau faktor-faktor lingkungan (lingkungan internal dan eksternal)10 . Faktor-faktor non-genetik meliputi penyakit -penyakit, keadaan kurang gizi, umur, pengaruh obat-obat yang digunakan bersamaan (antar aksi obat) dan lain-lain, termasuk faktor kebiasaan (merokok), dan kontak dengan cemaran - cemaran lingkungan (misalnya pestisida).
N
INH • T1/2 Gambar 1. Gambaran histrogram frekuensi distribusi dari waktu paro INH pada populasi Kaukasoid (atas) dan pada populasi Indonesia Java (bawah). Antimode yang memisahkan asetilator cepat (dengan genotipe RR dan Rr) dan asetilator lambat (dengan genotipe rr) terletak pada nilai t½ 2 jam pada orang Kaukasoid dan antara 2½ - 3½ jam pada orangorang Indonesia Jawa.
publikasi) menunjukkan sesudah pemberian dosis 600 mg, nilai t½ beragam antara 4 - 12 jam dengan kadar puncak antara 17 • 29 ug/ml. Perbedaan data kinetika yang didapat seperti ini mungkin mengharuskan untuk mempertimbangkan kembali aturan dosis pada subyek - subyek Indonesia - Jawa, jika diingat kemungkinan pengaruh -pengaruh toksis dari rifampisin. Masih banyak lagi contoh-contoh tentang adanya perbedaan antar kelompok etnik dalam parameter -parameter kinetika dari obat. Perbedaan ini mungkin relatif kecil, mungkin bisa juga besar dan mempunyai makna klinik yang mengharuskan penyesuaian aturan dosis. Perlu dicatat bahwa perlu tidaknya untuk melakukan penyesuaian aturan dosis pada suatu populasi tidak hanya dengan melihat perbedaan parameter kinetika (misalnya t½) tetapi juga mempertimbangkan lebar & sempitnya lingkup terapeutik(therapeutic range) kadar obat. Untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang lebar, berarti jarak antara kadar efektif minimal dan kadar toksik minimal lebar, perbedaan parameter kinetik tertentu tidak membawa konsekuensi apa-apa. Tetapi untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang sempit, adanya variasi kinetika sedikit sudah membawa konsekuensiyang sangat penting.
Penyakit-penyakit pada organ eliminasi misalnya hepar atau ginjal akan mengurangi kemampuan eliminasi obat dengan akibat turpnnya nilai klirens (Cl) obat, atau memanjangnya nilai Ph. Bagaimanakah aturan dosis obat pada keadaan gangguan-gangguan fungsiorgan seperti ini? Jelas akan diperlukan suatu penyesuaian dosis yang tepat dengan kemampuan eliminasi tubuh terhadap obat yang bersangkutan. Pada keadaan gangguan fungsi ginjal, penyesuaian dosis bisa dikerjakan dengan memberikan dosis obat yang sesuai dengan kemampuan faal ginjal yang diukur dengan nilai klirens kreatinin. Nilai klirens kreatinin memang memberikan gambaran kuantitatif faal ginjal. Aturan -aturan atau rumus-rumus penyesuaian dosis pada gangguan faal ginjal banyak dijumpai dalam buku-buku standar dan dibuat berdasarkan menurunnya nilai klirens kreatinin. Jika pada gangguan faal ginjal, ada parameter kuantitatif yang bisa dipakai untuk mengukur faal ginjal sehingga penyesuaian dosis bisa dilakukan berdasarkan baik buruknya faal saat itu, maka tidak demikian halnya dengan gangguan faal hati. Tidak ada parameter kuantitatif yang bisa dipakai untuk mengukur fungsi hati, sehingga pada keadaan gangguan fungsi hati jika akan melakukan penyesuaian dosis obat tidak ada petunjuk yang tepat. Sayangnya, sampai sekarang orang tidak bisa menentukan satu obat uji yang bisa dipakai untuk mengukur11kemampuan metabolisme hati untuk segala macam obat . Walaupun pada mulanya orang banyak menaruh harapan bahwa dengan mengukur parameter- parameter eliminasi antipirin sebagai substratmodel metabolisme di hati, dapat diketahui kemampuan fungsi metabolisme hati untuk obat-obat - parameter eliminasi lain, ternyata korelasi antara parameter antipirin dengan obat lain terlalu kecil. Kesulitan yang sama juga dihadapi jika menjumpai kasuskasus malnutrisi. Walaupun secara umum sering ada anggapan bahwa pada keadaan malnutrisi selalu terjadi penurunan kemampuan eliminasi obat, tetapi perubahan - perubahan patofisiologik pada malnutrisiyang bisa mempengaruhi kemampuan eliminasi obat sangat kompleks12 . Perubahan- perubahan juga meliputi proses- proses absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi obat. Perubahan kinetikayang dialami oleh satu obat belum tentu sama dengan perubahan yang dialami
Cermin Dunia Kedokteran
No. 37 1985
11
obat lain. Sebab contoh, pada kwashiorkor terjadi penurunan kemampuan eliminasi isoniazid 13 , tetapi sebaliknya dengan 14 sulfa-diazin justru terjadi kenaikan kecepatan eliminasi Klirens (Cl) isoniazid pada 8 orang penderita tbc yang disertai hipoproteinemia, dengan rehabilitasi nutrisi selama 4 minggu naik dari 16.0 ƒ SEM 2.6 1/jam menjadi 19.9 ƒ 1/jam8 (lihat gambar 2). Ini menunjukkan adanya penurunan kemampuan metabolisme INH pada keadaan malnutrisi, yang kemudian kembali membaik sesudah perbaikan gizi.
Dari uraian di atas, maka tidak mungkin untuk membuat pedoman penyesuaian dosis pada keadaan malnutrisi untuk semua obat. Setiap obat akan mengalami perubahan-perubahan kinetik (kalau ada) sesuai dengan sifat-sifat fisiko kimiawi dan kinetik masing-masing. Individualisasi dosis obat pada setiap pasien dengan kondisi khusus yang potensial bisa merubah parameter - parameter kinetika . obat, harus dibarengi dengan monitoring terapi. Besarnya dosis yang diberikan, efek terapeutik yang didapatkan, dan efek toksik yang mungkin timbul harus selalu ditimbang-timbang. Jika memungkinkan, pengukuran kadar obat dalam plasma akan sangat membantu individualisasi dosis, terutama untuk obat-obat dengan lingkup terapeutik yang sempit. Walaupun pendekatan- pendekatan farmakokinetika sudah diambil untuk individualisasi dosis, hal ini tidak bisa mengesampingkan pentingnya tindakan monitoring terapi baik secara klinik terhadap tercapainya terapeutik dan timbulnya efek toksik, maupun secara laboratorik.
PENELITIAN FARMAKOKINETIK DI INDONESIA Salah satu hambatan dalam penelitian farmakokinetika di Indonesia umumnya yaitu kurangnya sarana untuk pengukuran kadar obat dalam cairan biologik. Namun demikian kalau toh alat-alat yang canggih memang di luar kemampuan setiap laboratorium untuk mengadakannya, maka alat-alat yang relatif lebih murah seperti spektrofotometer maupun spektrofluorometer masih banyak bermanfaat. Salah satu masalah yang dihadapi saat ini, seperti diuraikan di depan adalah perlunya data kinetika dari populasi (population kinetics) orang-orang Indonesia untuk obat-obat tertentu. Sehingga penelitian -penelitian kinetika pada populasi dari berbagai kelompok etnik di Indonesia mungkin perlu mendapatkan perhatian. Kalau data parameter kinetika obat biasanya didapatkan dari orang sehat dengan cara pemberian dosis tunggal (single dose study), maka untuk penerapan dalam klinik perlu diteliti kinetika obat-obat pada kondisi -kondisi klinik khusus dengan cara pemberian dosis berulang (multiple dosing). Ini nantinya akan lebih mudah diterima dan dipakai oleh klinikus dalam pertimbangan-pertimbangan terapi pada kondisi yang bersangkutan. Pengaruh - pengaruh dari cemaran-cemaran lingkungan, pengaruh penyakit - penyakit, pengaruh status gizi dan lainlain terhadap kinetika obat mungkin menarik untuk diteliti.
KEPUSTAKAAN
Gambar 2. Klirens INH pada 8 orang penderita tbc dengan hipoalbuminemia pada saat masuk (I) sebesar 16.0 ƒ SEM 2.6 L/jarn dan sesudah rehabilitasi nutrisi dan terapi anti tbc selama 4 minggu (II) sebesar 19.9
12
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
1. Dost FH. Der Blutspiegel : kinetik der konsentration Sablaufo in der kreislauffussigheit. Leipzig : Thieme. 1953. 2. Greenblatt DJ. & Koch Wosser J Clinical Pharmacokinetics. N Eng J Mod 293 : 702 - 705. 3. Tognoni G Bellantuono C Bonati M D'Incalli M Gerna M Latini R Mandelli M Porro MG and Riva E. Clinical relevance of Pharmacokinetics. Clinical Pharmacokinetics. 1980; 5 : 105 - 136. 4. Weber WW & Hein DW. Clinical pharmacokinetics of isoniazid. Clinical Pharmacokinetics, 4 : 401 - 422. 5. Park BK & Brockonridge AM. Clinical implications of enzyme induction and enzyme inhibition. Clinical Pharmacokinetics, 1981; 6 : 1 - 24.
(bersambung ke halaman 66)
Monitoring Kadar Terapeutik Obat dr Armen Muchtar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indo-
nesia, Jakarta
PENDAHULUAN Yang dimaksud dengan monitoring kadar terapeutik obat adalah pemeriksaan secara berkala kadar obat dalam darah guna membantu klinisi dalam menetapkan dosis obat yang dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit penderita. Perlunya monitoring kadar obat dalam tubuh sudah lama dikemukakan, antara lain oleh William Wethering, ketika fox glove yang mengandung glikosida kuat mulai digunakan, ia menghimbau agar obat yang manjur ini tidak dengan begitu saja ditolak penggunaannya, semata-mata karena adanya efek sampingyang berbahaya dan sukar dkendalikan. Dasar-dasar monitoring kadar terapeutik obat mulai dirintis oleh Brodie dan kawan-kawan ketika mereka berhasil mengukur kadar quinidine dalamplasmamanusia dengan menggu' nakan fluarometer1 . Arti klinis dari pemeriksaan ini kemudian diungkapkan oleh Sokolow 2 , ketika ia dapat memperlihatkan adanya perbedaan interindividuil kadar quinidin plasma sebanyak 5 kali pada dosis 3 gram per hari pada pengobatan aritmia. Berdasarkan pengalamannya dalam memonitor kadar quinidin dalam serum, ia menyimpulkan sebagai berikut3 * Efektivitas quinidin dalam pengobatan aritmia atrium kronik dan pencegahan aritmia rekuren, serta timbulnya intoksikasi quinidine terlihat mempunyai korelasi yang lebih dekat dengan kadar ketimbang dosis. * Karena kadar quinidin dalam serum dapat bervariasi lebih besar dari variasi dalam dosis, maka kadar dalam serum merupakan indilcasiyang lebih terpercaya bila diduga ada toksisitas. * Walaupun lebih penting dari dosis, sebaiknya kadar dalam serumtidak dianggap sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi toksisitas. Keparahan penyakit, deplesi elektrolit, infeksi, ikut pula menentukan toksisitas. Semenjak itu, sejalan dengan penemuan alat-alat baru yang sensitif untuk pemeriksaan kadar obat dalam darah, terjadi
perkembangan pesat dalam penelitian dan analisis hubungan antara dosis -kadar-respon penderita. Secara konsepsionil, dewasa ini hubungan tertera dalam Gambar I. Secara matematis, hubungan itu oleh Wagner dirumuskan sebagai berikut :
Css = kadar dalam keadaan steady state, fD = fraksi dosis yang masuk dalam sirkulasi sistemik, t1⁄2 = waktu paruh obat dalam plasma, Vd = volume distribusi, T = interval pemberian Obat.
INDIVIDUALISASI DOSIS DALAM FARMAKOTERAPI Dalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkan atas dosis rata-rata, yaitu dosis yang diperkirakan memberikan efek terapeutik dengan efek samping minimal. Bila dosis ratarata itu tidak menimbulkan efek sama sekali atau sudah menimbulkan efek yang berlebihan, biasanya dokter dengan segera menghentikan pengobatan karena dianggap 'tidak cocok' bagi penderita, tanpa perlu mempertimbangkan apakah dosis yang diberilcan itu memang sudah sesuai dengan kebutuhan penderita. Pentingnya individualisasi dosis menjadi semakin beralasan ketika Brodie dkk. memperlihatkan bahwa ada perbedaan spesies, strain dan individual dalam kecepatan metabolisme obat 4 . Kemudian, Hammer dan Sjoqvist menemukan ada perbedaan individual sebesar 30 x lipat dari kadar "steady state" desmetil imipramin yang diresepkan pada suatu dosis tertentu 5 . Perbedaan individuil kadar obat dalam keadaan "steady state" ini barangkali tidak menimbulkan masalah dalam penentuan besar dosis bila 'Therapeutic window" dari obat yang bersangkutan cukup besar. Tetapi bila "therapeutic window" suatu obat sempit, individualisasi dosis menjadi penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja (dalam mg/kg BB) sudah dapat menimbulkan perbedaan nyata dalam respons. Individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bi-
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 13
kan manfaat untuk memonitoring kadarnya, karena bila cermat, respon klinis penderita masih dapat diamati. (Tabel 1). Tabel 1.
Gambar 1. Faktor-faktor yang menentukan hubungan antara dosis dan efek obat.
la efek obat mudah diukur, sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons yang sedang diamati. Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya karena tujuan pengobatan bersifat profilaksis, atau sukar membedakan efek akibat dosis berlebihan dengan gejala penyakit, titrasi dosis hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah. Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring kadar terapeutik obat bermanfaat dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang : * kecepatan metabolismenya berbeda nyata secara individual * mempunyai "therapeutic window" yang sempit * efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur * gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat * kecepatan metabolisme mudah jenuh OBAT-OBAT YANG KADARNYA PERLU DIMONITOR Monitoring kadar obat dilakukan atas persyaratan respon sekelompok penderita mempunyai korelasi yang lebih baik dengan dosis, dan korelasi itu cukup kuat sehingga dapat diperlihatkan pada setiap penderita. Sebelum monitoring itu dikerjakan secara rutin, terlebih dahulu perlu ada penelitian klinis yang terkontrol guna memperlihatkan adanya hubungan antara kadar plasma dengan respon klinis. Disain dari penelitian seperti ini tergantung pada respon yang dituju, yaitu mungkin efek terapeutik atau efek toksik atau kedua-duanya. Obat-obat yang telah diuji pada percobaan klinik yang terkontrol memenuhi persyaratan tersebut di atas tidak banyak, tetapi merupakan obat-obat penting, sebagian diantaranya masih diperdebat14
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Obat-obat
yang kadarnya sering dimonitor secara rutin.
Obat
Kesaran kadar terapeutik
Penjelasan
Fenitoin
10-20 mcg/ml
Esensial untuk terapi yang rasional karena adanya satu ration kenetik
Teofilin
5-20 mg/ml
Esensial untuk terapi rasional sewaktu serangan akut.Variasi kenetl individual yang sangat besar; toksisitas hebat pada kadar 25 mg/ml.
Litium
0,6-1,2 mcg/1
untuk mencegah efek toksik
Fenobarbital
15-20 mg/ml
mencegah therapeutic failure pada febrile convulsion.
Karbama zepin
5-10 mcg/ml
membedakan "therapeutic failure" dengan efek toksik (pusing, ataksia, diplopia)
Valproate
50-100 mcg/ml
Farmakokinetikanya kompleks, masih perlu uji klinik
Quinidin
4-6 mcg/ml
Masih perlu diteliti dengan alat yang lebih sensitif (HPLC)
Prokainamida
4-6 mcg/ml
membedakan therapeutic failure dengan efek toksik
Aminoglikosida - Gentamisin
5-10 mcg/ml
untuk mencegah ototoksisitas yang irreversibel
Antidepresan trisiklik Amitriptilin (AT)
AT+NT 120-250 mcg/ml
Hanya untuk depresi endogen
Nortriptilin (NT)
50-150 mcg/ml
untuk segera mencapai kadar terapeutik
Imipraimin (I) Digoksin
150-300 mcg/ml 0,5-2 mcg/ml
Untuk
diagnosis
intoksikasi
INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN KADAR Haruslah disadari bahwa pemeriksaan kadar obat dalam cairan biologik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari "pharmaco therapeutic audit" yang tujuannya untuk memperbaiki kualitas terapi obat. Tujuan ini hanya dapat dicapai bila ada 'dialog' antara klinisi yang meminta pemeriksaan dengan laboratorium pemeriksa. Dalam praktek, tujuan dari monitoring akan tercapai dengan baik bila permintaan itu dilengkapi dengan data klinis yang diperlukan untuk interpretasi (Tabel 2), dan pemeriksaan dilakukan secara berulang selama terapi pemeliharaan. (Gambar 1). Interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat dalam plasma memerlukan berbagai macam data klinis yang lebih banyak dari data klinis yang diperlukan untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan kimia klinik untuk diagnostik. Kecuali untuk tolerasi glukosa, pemeriksaan kimia klinik bila perlu hanya memerlukan puasa malam hari. Waktu untuk pengambilan sampel darah tidak perlu ketat sekali,
karena zat yang hendak di periksa dalam knnia klinik relatif kadarnya stabil dari jam ke jam berkat adanya peranan hemeostasis tubuh. Dilain pihak interpretasi pemeriksaan kadar terapeutik obat memerlukan data klinis yang berguna untuk memperhitungkan secara matematis besarnya dosis dan aturan pemberian, bila resimen dosis harus diubah agar mencapai kadar terapeutik (Gambar 2). Gambar 2 . "Flow chart" monitoring kadar terapeutik obat.
Tabel 2 Data penderita yang diperlukan untuk menjawab permintaan monitoring
Nama obat yang akan dianalisis Nama penderita, umur, kelamin dan berat badan Nama pengirim dan alamat Riwayat singkat penyakit Kehamilan Alasan untuk memerlsa kadar Analsis yang terakhir Tanggal dan jam pengambilan sampel Tanggal dan jam terakhir minum obat Kadar kreatininserum Daftar dari semua obat yang diminum pada waktu yang sama (dosis, bentuk sediaan,interval pemberian, awal pengobatan/perubahan dosis) Tanda-tanda perbafican oleh pengobatan atau tanda-tanda efek samping Data lain yang dirasa perlu
tidak tepat akan menuntun pengobatan kearah yang salah. Pengertian yang sesungguhnya dari uji kualitas yaitu pengecekan terhadap setiap langkah pemeriksaan, mulai dari pengambilan sampel sampai pada penyerahan hasil pemeriksaan dan interpretasinya kepada dokter yang meminta. Meskipun demikian, uji kualitas seringkali diartikan secara sempit, yaitu uji kualitas yang terbatas pada prosedur dan teknik pemeriksaan laboratorik saja.
UJI KUALITAS DALAMMONITORING Uji kualitas dalam analisis kadar obat terdiri atas dua bentuk, yaitu uji kualitas internal (control) dan uji kualitas external (inter laboratory quality control). Uji kualitas internal bertujuan untuk mengawasi keseksamaan (precision, relibility, reproducibility), sedangkan uji kualitas external terutama bertujuan untuk menguji ketepatan (accuracy) dari metode pengukuran. Dalam uji kualitas internal yang dimonitor adalah penyimpangan hasil pengukuran yang jauh dari harga ratarata, yang barangkali terjadi karena kekurangcermatan pemeriksa atau gangguan keandalan (performance) dari alat-alat yang digunakan, sedangkan dalam uji kualitas external yang dimonitor adalah sensitifitas serta spesifisitas alat, serta keandalan prosedur ekstraksi dari masing-masing laboratorium. Uji kualitas dalam monitoring kadar terapeutik obat mulai menarik perhatian ketika Richens 6 melihat adanya perbedaan besar dari hasil pengukuran kadar fenitoin dari sampel darah yang sama sumbernya yang dikirim ke enam laboratorium. Pada tahun 1976, Pippenger dkk7 mempublikasikan hasil uji kualitas yang dilakukan secara tersamar dengan menggunakan 3 pooledsera yang masing-masing berisi 4 macam antikonvulsan. Sampel dikirim ke laboratorium yang melayani pemeriksaan kadar obat, dan hasilnya dibandingkan dengan hasil pengukuran oleh 5 laboratorium yang luas pengalamannya dalam pengukuran kadar obat anti konvulsan. Ternyata ada perbedaan yang sangat besar, di mana pada beberapa kasus ditemui coefficient of variation sebesar 504% (Tabel 3). Dengan demikian, uji kualitas merupakan hal yang penting dalam monitoring kadar obat, karena hasil pengukuran yang
SUMBER KEKELIRUAN DALAM MONITORING KADAR OBAT Seringkali tidak disadari bahwa kealpaan atau kekeliruan dapat terjadi pada tahap-tahap yang mendahului analisis laboratorik. Pemberian obat yang waktunya tidak sesuai dengan yang diintruksikan, pengambilan sampel darah yang tidak tepat waktunya, sampel darah yang tidak cukup dan terjadinya hemolisis karena hisapan darah ke dalam tabung yang terlalu cepat adalah kesalahan yang sering terjadi. Karet penutup tabung reaksi dan kanula dapat menimbulkan persoalan karena mengandung zat yang dapat menggeser obat dari ikatan protein, dan alat yang terlepas diikat oleh sel darah merah8. Satu titik lemah dalam monitoring ialah perubahan yang terjadi selama obat disimpan secara invitro dalam tabung plastik. Berapa lama sampel darah dapat dibiarkan sebelum dipusing? Bagaimana pengaruh kecepatan pusingan terhadap kadar obat dalam plasma? Apakah sampel harus disimpan pada suhu kamar atau dalam lemari es? Apakah sampel harus dibekukan dan apa pengaruh pencairan kembali dengan cara pemanasan? Perbedaan individual dalam ikatan obat -protein plasma perlu diperhitungkan dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan kadar obat dalam plasma. Seringkali dikemukakan bahwa yang penting untuk diukur adalah kadar obat bebas, yang tidak terikat protein plasma, karena jumlahnya lebih mencerminkan kadar obat pada reseptor. Kenyataannya, kebanyakan metoda pengukuran yang ada saat ini adalah mengukur kadar obat total, balk terikat maupun yang bebas. Perbedaan individual dalam jumlah obat yang tak terikat protein plasma se-
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 15
ringkali terjadi karena adanya perbedaan sifat protein, pengaruh obat lain yang diberikan bersama, pengaruh penyakit, serta sifat fisik dari obat yang diberikan. Metabolit aktif dapat mempersulit interpretasi kadar obat dalam darah, karena sifat-sifat farmakokinetika dan farmakodinamika metabolit tidak dkctahui. Kesulitan dengan metabolit adalah belum semuanya dapat diukur serentak dengan mengukur kadar zat asalnya.
Jumlah labotorium yang ikut
Obat
Rata2
Coefficient of variation (%)
Fenitoin
109 5
13,1 12,8
57,3 15,7
00 - 70,0 10,7 - 16,0
Fenobarbital
108 5
49 48,1
50,8 17,1
0,0 - 64,0 34,9 -57,0
Primodon
93 5
12,3 12,5
77,2 11,5
0,0 -83 100-13,5
Etasuksemid
71 5
14,9 1,4
504,7 156,4
0,0 - 633,3 0,0-5.0
Sesuai dengan kemampuan personil, kegiatan monitoring kadar terapeutik obat dapat dibagi atas dua kelompok; pertama yang mengeijakan pengukuran dan kemudian melaporkan hasilnya, dan yang kedua selain melakukan pengukuran dan pelaporan hasil, mempunyai kemampuan untuk berdialog dengan dokter pengirim sehubungan dengan status klinik dan farmakologik penderita. Sesungguhnya yang diharapkan adalah monitoring yang terintegrasi ke dalam therapeutic audit yang bertujuan memperbaiki kualitas farmakoterapi. Dalam hal ini, seorang ahli farmakologi klinik mempunyai peranan sentral dalam kegiatan monitoring kadar terapeutik obat, karena latar belakang pendidlkannya dalam kedokteran dan farmakokinetika klinik (Tabel 4). Pengukuran kadar obat dalam plasma sebagai bagian dari therapeutic audit (Sjogvist) 9
Pihak yang terlibat Analisis obat Ahli farmakologi klinik Dokter praktek
Keahlian dalam Analisis obat Terapi ya Mengetahui prinsip tidak
Sfektrofotometri dan kalorimetri Flame fotometry Bioassay Fluarometry Kromatografi: TLC, CLC, HPLC Ligand assays: RIA, EIA, Mass fragmentography (GC-MS)
Kisaran (meg/ml)
PERSONIL D AN PERALATAN DALAM MONITORING.
16
Tabel 5. Metode pengukuran kadar obat dalam darah
Hasil uji kualitas external obat antikonvulsan oleh Pippenger dkk7
Tabel 3.
Tabel 4
Peralatan yang digunakan untuk monitoring kadar obat mengalami banyak kemajuan dalam waktu 10 tahun yang terakhir (Tabel 5). Antara tahun 1950-1960,fotometer merupakan alat utama untuk pengukuran kadar obat. Dengan alat ini diperlukan volume sampel yang besar, teknik estraksi membutuhkan waktu dan majemuk, kurang sensitif dan banyak gangguan, sehingga kurang disukai untuk monitoring.
Farmakokologi Klink.
Pada permulaan tahun 1960 kromatografi gas-cair (GLC) mulai diperkenalkan. Kelebihan dari fotometri yaitu pemeriksaan lebih spesifik, karena alat ini mampu memisahkan dan merlgukur kadar lebih dari satu macam obat. Kekurangannya alat ini memerlukan penanganan oleh teknisi yang terlatih. Perkembangan baru dalam GLC adalah pemanfaatan detektor, terutama detektor nitrogen-fosfor yang bertujuan untuk meningkatkan sensitifitas alat, sehingga hanya sedikit sampel darah yang diperlukan. Kemudian muncul teknk radioimmunoassay yang memungkinkan pengukuran kadar obat dalam volume kecil. Satu terobosan dalam teknilc radioimmunoassay adalah pengembangan enzyme immunoaasay (EMIT) dapat memeniksa kadar obat dari sediaan sebanyak 50 mcl. Setelah kurva harian selesai dibuat, pengukuran setiap sediaan dapat dilakukan dalam waktu beberapa menit saja. Kelebihan EMIT adalah sampel darah yang diperlukah cukup kecil, prosedur sederhana dan hasilnya cepat diperoleh, serta akurat (Tabel 6). Tabel 6. Uji kualitas pengukuran kadar fenitoin dengan menggunakan berbagai metoda (Page dan Richens) Jumlah hasil pemeriksaan
Jumlah percobaan yang di luar 95% confidence limits (%).
Metoda
Jumlah laboratorium
GLC senyawa asal
34
691
64
(9,3%)
Turunan
51
904
47
(5,2%)
10
138
41
(30 %)
tidak
tidak
Prinsip dan pandangan global
Spektrofotometri
ya
Kromatografi lapis tipis (TLC)
3
83
13
(16 %)
EMIT
8
68
2
(2,9%)
ya, dalam bidangnya
Cermin Mania Kedokteran No. 37 1985
tidak
Suatu metoda baru yang praktis dan banyak disukai dewasa ini adalah kromatografi cair bertekanan tinggi (HPLC). Kelebihannya dari kromatografi gas-cair adalah dalam ketetapatan, kesederhanaan dan ketepatan analisis, serta pemeriksaan serentak dari zat asal dan metabolitnya. Dalam memilih peralatan dan metoda mana yang hendak digunakan dalam monitoring, tidak ada patokan yang mudah untuk diikuti. Biasanya hal itu tergantung pada: - pengetahuan tentang kebaikan dan kekurangan masing-masing metoda - kecakapan personil untuk mengatasi hambatan yang mungkin dihadapi - nilai klinis dari obat yang hendak diukur kadarnya - sistem penyediaan, pemeliharaan dari servis dari alat dan reagensia yang diperlukan. Berdasarkan kriteria tersebut, dewasa ini dianggap EMIT adalah alat yang baik untuk pelayanan rutin yang banyak, sedangkan HPLC lebih cocok untuk penelitian dan untuk pelayanan yang permintaanya tidak banyak. Masalah dana untuk pengadaan alat laboratorium ini seyogyanya tidak menjadi persoalan bila kebutuhannya ada, dan
berdasarkan cost-benefit analysis ada manfaatnya buat penderita.
KEPUSTAKAAN 1.
Brodie BB and Underfriend S. Estimation of quinine in human plasma, with note on estimation of quinidine. J. Pharmacol and Exper. Therap. 1943; 78: 154.
2.
Sokolow M and Edgar AL. Blood quinidine concentration as a guide in the treatment of cardiac arrythmias. Circulation 1950; 1:576-592.
3.
Sokolow M. SOme quantitative aspects of treatment with quinidene. Ann Int Med, 1956; 45:482-588.
4.
Brodie BB. On mice, microsomes, and man. Pharmacologist 1964;6:12-26.
5.
Hammer, W. Sjoqvist F. Plasma levels of monomethy lated tricyclic antidepresants during treatment with imipramine-like compounds. Life sci 1967; 6: 1895-1903.
6.
Richens A. Results of a phenytoin quality control scheme Clinical Pharmacology of Antiepileptic Drugs, Springer, 1975 p 293.
7.
Pippenger CE, et al. Interlaboratory variability in determination of plasma antiepileptic drug concentration. Arch Neurol. 1976; 33: 351-355.
8.
Piafsky KM, Borga O. Inhibitor of drug protein binding in 'Vacutainer'. Lancet 1976; 2: 963-964
9.
Sjoqvist F. Therapeutic Drug Monitoring Twenty Years Experience. 2nd World Conference of Clinical Pharmacology and Therapeutics (Lemberger L and Reidenberg M: eds), 1983; July 31-August 5: 38-63
10.
Page J and Richens A. Quality Control of Routine Drug Assays. Syva Monitor. The Bulletin of Therapeutic Drug Monitoring 1982;11: 1-4..
Disajilcan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simposium Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.
Cermin Dunia Kedokteran
No. 37 1985
17
Ketersediaan Hayati Obat Dr M. Masri Apt Jurusan Farmasetika Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
PENDAHULUAN Kegiatan industri farmasi di Indonsia yang telah ada sejak puluhan tahun yang lalu, telah mendapatkan momentum perkembangan yang pesat. Ini karena prioritas yang telah diberikan Pemerintah Republik Indonesia dalam rangka Pembangunan Nasional mulai tahun 1969. Sebagai hasil nyata selama ± 15 tahun perkembangannya, yaitu banyaknya produkproduk obat yang diperdagangkan (specielite) baik ragam maupun jenisnya untuk mencukupi kebutuhan kuantitatif masyarakat. Arti penting kuantitatif produk obat ini tidak dapat terlepas dari segi kualitatifnya, yaitu tinjauan dari kualitas terapeutik produk obat itu sendiri, yang dalam hal ini ketersediaan hayati (bioavailabilitas) obat ikut menjamin keberhasilan pengobatan, sebagai salah satu variabel dalam kualitas terapeutik obat. Dalam praktek pengobatan, seringkali terjadi bahwa pem beri obat yang dengan berbagai dasar pertimbangannya telah mempertukarkan atau menggantilcan pemakaian suatu produk obat dengan produk lainnya yang ekivalen kimiawi dan ekivalen farmasetik. Telah banyak publikasi menyatakan timbulnya kejadian baik yang bersifat tak efektif maupun timbulnya toksisitas obat, yang mungkin tidak diketahui kecuali melalui pengujian klinik mendalam. Masalah biokivalensi obat merupakan masalah serius yang memerlukan penanganan, apabila dikehendaki suatu situasi yang Iebih balk agar kita tidak menjadi korban dari pemakaian obat, sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembuatan obat dan pengobatan yaitu untuk memberiican efek terapi optimal kepada pemakai obat. Uraian di dalam paper ini bersifat umum, dengan harapan dapat dikembangkan suatu kerja sama multidisipliner dalam pengembangan bioavailabilitas dan bioekivalensi obat, dan bertujuan meningkatkan kualitas terapeutik produk obat pada umumnya. Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simpodum Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984. 18
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
KETERSEDIAAN HAYATI SEBAGAI KONSEP PENGEMBANGAN KUALITAS PRODUK OBAT. Melihat kembali publikasi penelitian pada tahun 1945 di mana Oser, Melniek dan Hoehberg mengemukakan cara mengukur vitamin -vitamin dari suatu produk obat yang diabsorpsi oleh tubuh manusia. Hasil ini telah membawa perubahan besar dalam konsep farmasi dari The Art of Compounding dalam pembuatan produk obat menjadi saat ini sebagai drug delivery system yang menurut Wagner1, hampir setiap sesuatu yang dilakukan terhadap sistem ini dapat merubah kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk dan jumlah yang diberikan/tersedia pada tempat yang dituju di dalam tubuh. Keberhasilan pengobatan tidak ditentukan semata-mata oleh takaran zat aktif di dalam unit dose akan tetapi bentuk obat dalam arti keseluruhan. Bentuk obat yang dipandang sebagai drug delivery system harus dapat menjamin ketersediaan optimal obat di dalam tubuh. Dalam hal ini konsep bioavailabilitas obat yang menurut Academy of Pharmaceutical Sciences diartikan sebagai "kecepatan dan besarnya zat aktif utuh dari suatu bentuk obat yang masuk ke dalam sirkulasi umum darah", akan merupakan faktor penentu dan merupakan parameter keberhasilan pembuatan suatu produk obat. Definisi yang lebih mendalam dari F.D.A. yaitu, bioavailabilitas suatu (beberapa) zat aktif dari suatu produk obat didefinisikan sebagai "kecepatan dan banyaknya yang diabsorpsi dan menjadi tersedia pada tempat aksi (site of action) " . Definisi ini mengarahkan pengertian bioavailabilitas obat kepada konsep interaksi obat-reseptor, dan membawa arti bioavailabilitas menjadi suatu pengertian yang lebih kompleks dan luas. Bioavailabilitas merupakan karakteristik sesuatu produk obat terhadap sistem biologis yang menggunakannya, dan mencakup juga segi farmakokinetika obat di dalam darah atau cairan- cairan biologis,yaitu sebagai respons atau reaksi tubuh
terhadap zat kimia yang masuh ke dalam sistemnya. Farmakokinetika obat mengandung banyak parameter yang dapat dipakai untuk menginterpretasi respons biologis atau reaksi organ terhadap obat, sehingga cara-cara pengobatan terhadap pasien akan menjadi lebih rasional, mengandung segi kuantitatif dan kualitatif. Dengan pengembangan konsep ini secara keseluruhan, sesuatu produk obat akan mencapai tingkat yang sebaik-baiknya untuk aplikasi klinik. KETERSEDIAAN HAYATI OBAT SEBAGAI SALAH SATU VARIABEL PENJAMIN KUALITAS TERAPEUTIK. Tujuan bioavailabilitas obat sesungguhnya antara lain agar suatu produk obat mampu memberikan suatu efek terapi optimal kepada pemakai obat, dalam arti suatu produk obat akan cepat dan mempunyai kemampuan dalam mengobati sesuatu penyakit yang diderita seseorang. Dengan ini effektivitas pengobatan akan dicapai dengan baik. Selain itu, bioavailabilitas juga menekankan tentang pembatasan atau pengaturan pemakaian obat agar keamanan (safety) pemakaian obat dapat dijamin, dan terhindar dari pengaruh toksik atau efek-efek yang tidak dikehendaki. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana dan bagaimana obat telah tersedia di dalam darah untuk mampu memberikan respons klinik yang sesuai, baik sebagai zat aktif tunggal ataupun kombinasi beberapa zat aktif dari suatu bentuk obat. Seringkali penyimpangan dari tujuan-tujuan ini tidak diketahui dengan baik, kecuali melalui analisis klinik yang mendalam terhadap pemakai obat, hingga dapat diketahui sebabsebab fenomena toksik karena pemberian obat. Terutama untuk obat-obat yang potensinya tergolong keras, sedangkan bioavailabilitasnya dan profil farmakokinetika bentuk obat tersebut terhadap populasi pemakai obat belum diketahui. Seyogyanya bagi obat-obat tertentu tersebut didapatkan data tentang bioavailabilitas beserta profil farmakokinetikanya. Selanjutnya, apabila hal ini telah terpenuhi, perlu ditekankan tentang cara-cara pemberian atau pemakaian obat yang didasarkan atas penggunaan prinsip farmakokinetika obat, agar dicapai suatu kualitas terapeutik yang optimal setelah memperhatikan keadaan atau kondisi penerima obat. ESTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI OBAT. Pada dasarnya, estimasi bioavailabilitas obat dapat dilakukan menurut metode - metode farmakokinetika dan klinik ' . Metode farmakokinetika mencoba memperkirakan availabilitas fisiologis obat melalui pengukuran obat unchanged di dalam darah/urin atau metabolit -metabolit yang terbentuk, sedangkan metode klinik didasarkan atas percobaan -percobaan klinik. Dalam hal ini diperlukan variabel klinik untuk mengukur efikasitas obat atau mengukur besarnya efek obat, seperti penurunan kadar gula darah, aktifitas komplek protrombin, dan sebagainya. Selain kedua metode tersebut di atas, bioavailabilitas obat dapat juga diperkirakan dari segi farmakologis seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti2, 3 Data farmakologis yang diperlukan untuk mengevaluasi dan mengoptimasi bioavailabilitas produk obat adalah pengukuran intensitas respons farmakologis yang berupa signal-signal, dipersyaratkan suatu respons bertingkat dalam fungsinya terhadap dosis. Respons ini tidak lain hasil interaksi antara zat .
aktif dan reseptor di tempat aksi, sehingga akan diperoleh availabilitas biofasik obat. Dalam hal ini, kemungkinan melakukan sampling untuk menentukan kadar obat di tempat aksi, dari mana dapat di1corelasikan antara dosis dan respons farmakologisnya. Dengan uraian sederhana di atas, bioavailabilitas obat pada hakekatnya mempunyai arti luas dan terutama mempelajari efek-efek obat yang berasal dari suatu produk obat. Estimasi dan penilaian bioavailabilitas obat dari segi klinik meminta biaya yang tinggi dan membutuhkan banyak waktu, sedangkan secara farmakologis relatif juga mahal. Estimasi availabilitas fisiologis dengan mengukur plasmalevel obat atau ekskresi uriner zat aktif unchanged, atau kemungkinan lain yaitu saliva level obat merupakan cara yang cukup ekonomis dan relatif singkat. Asalkan cara ini dapat didisain, dikelola dan dievaluasi dengan baik, diharapkan hasil-hasilnya akan relatif dekat dengan potensi obat yang sebenarnya. Penilaian availabilitas fisiologis obat dapat ditarik dari beberapa variabel farmakokinetika, seperti luas area di bawah kurva, konsentrasi puncak, waktu mencapai konsentrasi puncak, jumlah ekskresi uriner, jumlah zat yang diserap, dan sebagainya. Sasaran studi bioavailabilitas obat Di samping memperkirakan bioavailabilitas suatu produk obat, selanjutnya perlu dipelajari faktor yang mempengaruhinya, faktor yang menjaga atau mempertahankan bioavailabilitas, dan faktor kondisi yang diperlukan obat agar bioavailabilitasnya dapat berfungsi se-efektif mungkin. Ini merupakan jangkauan studi bioavailabilitas obat. Cakupan sasaran - sasaran studi bioavailabilitas suatu produk obat, seperti tertera pada tabel berikut 4 : Tabel : Sasaran-sasaran studi bioavailabilitas obat I. Ekivalensi A. Bentuk obat. B. Syarat-syarat pengaturan C. Pemasaran (lawan produk saingan) II. Penentuan "waktu pemakaian". A. Tentang dosis : jumlah dan bentuk B. Route pemakaian C. Pertimbangan-pertimbangan temporal. III. Interaksi-interaksi. A. Kompatibilitas (absorpsi) 1. Eksipien-eksipien, bahan pemanis, dan sebagainya 2. Makanan 3. Obat-obat yang dikombinasikan atau dipakai bersamaan B. Perlakuan terhadap over dosis C. Interferensi/Potensiasi 1. Inhibisi metabolisme 2. Induksi Enzim IV. Korelasi -korelasi in vivo - in vitro. V. VI.
Korelasi-korelasi in vivo - binatang. Korelasi-korelasi bioavailabilitas - aktivitas (farmakologis).
Kesemua studi ini adalah bagian dari studi bioavailabilitas suatu produk obat. Ini memerukan juga studi tentang bioavailabilitas produk obat lain yang sama untuk menentukan bioekivalensinya. BIOEKIVALENSI BEBERAPA PRODUK OBAT. Sejumlah penelitian mengungkapkan, beberapa produk obat
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
19
yang mempunyai ekivalensi kimiawi dan ekivalensi farmasetika, namun di antara beberapa produk -produk itu tidak memberikan bioekivalensi. Hal ini telah diselidiki misalnya terhadap zat-zat aktif digoksin 5 , oksitetrasiklin6 , dan lain-lain. Ketidak-bioekivalensi ini menimbulkan problem serius dalam bidang pengobatan, yaitu apabila masing -masing produk obat belum diketahui bioavailabilitasnya, sehingga penggantian suatu specialite dengan specialite lain dapat membawa risiko kepada pemakai obat. Selain itu, telah diketahui juga adanya ketidak -bioekivalensi obat dari batch-ke-batch suatu specialite obat dari pabrik yang sana5 . Ketidak-bioekivalensi yang dapat terjadi baik antar produk obat atau antar batch dari suatu specialite obat ini seharusnya menjadi pemikiran dan tindakan berhati-hati produsen obat dalam memproduksi obat, yang harus menjaga stabilitas fisiskhemis dan bioavailabilitas secara bersamaan. Studi bioekivalensi Studi bioekivalensi produk obat pada umumnya dengan maksud membandingkan bioavailabilitas antara7 : suatu formulasi baru obat standar dibandingkan terhadap formulasi asli/lama, atau suatu bentuk pemakaian baru obat dibandingkan terhadap formulasi yang diperdagangkan. Karena sifatnya merupakan pembandingan bioavailabilitas antar produk obat yang berasal dari beberapa pabrik, diperlukan : 1. Peralatan analitik yang mempunyai kemampuan tinggi. Alat harus mampu menentukan kadar obat bahkan sampai beberapa mg/ml cairan biologis. Diperlukan alat-alat dengan presisi, ketelitian, kepekaan dan selektifitas yang tinggi. Alatalat seperti HPLC, GLC, Radioimmune assays, teknik-teknik fluoresensi, Mass Spectrometry dan sebagainya akan sangat membantu untuk tugas-tugas tersebut. 2. Prosedur yang seragam (standar) tentang syarat atau cara bagaimana suatu percobaan bioekivalensi dikerjakan terhadap zat aktif, mencakup : — disain eksperimental; dipilih model yang paling tepat untuk keperluan percobaan dengan mengingat jumlah produk obat yang diuji. Model yang dipilih nantinya harus mampu memperkirakan adanya variabilitas-variabilitas inter/antar subyek, batch-ke-batch, interval waktu percobaan atau perlakuan. — subyek yang dikenala percobaan dan syarat-syaratnya. 3. Metode Statistik. Dalam hal ini perlu dipilih metode yang tepat setelah mempertimbangkan efek-efek yang ditimbulkan oleh adanya variasivariasi, baik dari masing-masing individu di dalam kelompok, maupun variasi batch dari suatu produk. yang — ukuran sampel merupakan persoalan sangat penting harus diperhitungkan atau dipertimbangkan dengan tepat, sebagai faktor penentu untuk dapat membedakan bila di antara produk obat terdapat perbedaan yang berarti. — Prosedur sampling perlu digariskan atau ditentukan agar hasil-hasilnya berguna dalam pengolahan data secara statistik. — Cara analisis statistik dipilih yang paling sesuai, apakah studi membandingkan 2, 3 atau lebih produk obat. Selain itu, apakah yang diukur variabel karakteristik atau beberapa variabel. Semua ini merupakan kriteria yang perlu ditentukan atau digariskan bersama untuk percobaan bioekivalensi obat. Sasaran studi bioekivalensi produk obat 20
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Dari sekian banyak specialite yang beredar, tentu saja tidak semua obat harus mengalami uji kesetaraan bioavailabilitasnya. Dikenal adanya obat-obat poten dengan risiko yang cukup besar bagi kehidupan manusia, obat-obat yang mudah menimbulkan efek kematian karena over dosis, atau lainnya, akan merupakan prioritas penelitian bioavailabilitas dan bioekivalensi obat. Studi bioavailabilitas obat di Indonesia • Di lingkungan Industri farmasi Riset bioavailabilitas obat atau produk obat di beberapa industri memberikan arti sangat penting bagi perkembangan industri farmasi tersebut di masa yang akan datang, dan kepentingan masyarakat pemakai obat di fihak lainnya. Penelitian ini perlu digalakkan terhadap semua industri farmasi baik yang menghasilkan produk obat jadi, bahan baku obat dan juga kosmetika. Hal ini akan semakin perlu, baik untuk kepentingan masyarakat di dalam negeri, maupun untuk kemungkinan pemasaran ke luar negeri, di mana tuntutan bioavailabilitas obat akan merupakan persyaratan utama. • Pengembangan dan pengaturan bioavailabilitas obat Masalah bioavailabilitas obat bukan mempakan masalah sesuatu fihak, namun merupakan persoalan semua fihak yang berkepentingan terhadap obat. Di dalam hal ini perlu dikelola, dikembangkan dan diatur segala informasi tentang bioavailabilitas dan biekivalensi obat dalam satu sistem terpadu. Untuk itu diperlukan satu wadah resmi dengan tujuan semata-mata untuk membantu meningkatkan kualitas bioavailabilitas / terapeutik produk -produk obat Organ yang mampu menampung, mengolah dan mendistribusi informasi bioavailabilitas dan bioekivalensi obat, di samping Drug Monitoring yang telah ada. KESIMPULAN DAN SARAN. Bioavailabilitas produk obat diakui merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menjamin efektifitas pengobatan dan kualitas terapeutik produk obat itu sendiri. Bioavailabilitas obat mempunyai pengertian luas, namun dapat ditentukan beberapa kriteria yang diperlukan untuk kepentingan evaluasi dan hal ini tergantung dari kesepakatan ilmiah. Riset bioavailabilitas obat perlu lebih digalakkan ke segenap industri farmasi, pengembangan produk obat dari segi in vitro dan in vivo. Di samping itu, diperlukan suatu petunjuk atau pedoman tentang studi bioavailabilitas dan bioekivalensi obat pada manusia. Dibutuhkan suatu sistem atau organ resmi yang melaksanakan sistem informasi dari hasil riset bioavailabilitas obat, berada di bawah pengawasan POM, organ resmi yang anggotaanggotanya terdiri dari ilmuwan-ilmuwan berkompeten untuk keperluan tersebut, seperti ahli-ahli farmakologi, biostatistika, klinis, kimia. Diperlukan bantuan dari segenap industri farmasi. Sebelum itu, diperlukan serangkaian diskusi panel tentang bioavailabilitas dan bioekivalensi obat, membahas tentang pedoman, prosedur dan hal-hal yang bersifat penilaian bioavailabilitas dan bioekivalensi obat. KEPUSTAKAAN 1. JG Wagner. Biopharmaceutics and Relevant Pharmacokinetics, ed. I, Illinois : Drug Intelligence Publications, 1971. (Bersambung ke halaman 61)
Pengukuran Klirens Ginjal Obat Dra Sri Suryawati Apt Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PENDAHULUAN Dalam menentukan dosis obat suatu individu, seringkali perhatian khusus perlu diberikan, sehubungan dengan kemampuan tubuh individu untuk mengeliminasi obat yang diberikan. Ini dapat dijumpai misalnya pada individu dengan usia lanjut, bayi, kelainan fungsi alat-alat eliminasi, atau karena terjadi interaksi dengan obat lain sehingga eliminasinya terhambat l-2 Untuk mengetahui kemampuan tubuh mengeliminasi obat tertentu, pengukuran parameter -parameter kinetika eliminasi merupakan metoda yang telah banyak dikenal dan dipergunakan. Pengukuran parameter - parameter ini meliputi kecepatan eliminasi (kel), waktu paro biologik (t0,5) dan klirens tubuh total (Cl) yang memerlukan pengambilan sampel darah secara serial selama waktu tertentu. Tentu saja ini merupakan metode yang rumit dan kurang menyenangkan bagi pasien. Untuk obat-obat tertentu, terutama yang mengalami eliminasi dengan cara ekskresi melalui ginjal, dengan mengukur nilai klirens ginjal kita telah mendapatkan gambaran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat tersebut. Ini berdasarkan asumsi bahwa : Cl total
= Cl renal + Cl nonrenal
Apabila ekskresi ginjal merupakan cara eliminasi utama untuk suatu obat, maka : Cl total = Cl renal
Klirens ginjal suatu obat didefinisikan sebagai volume darah yang dapat dibersihkan dari obat tersebut oleh ginjal per satuan waktu, sehingga sebenarnya nilai klirens ginjal ini merupakan suatu ukuran yang menggambarkan kemampuan ginjal untuk membersihkan obat dari tubuh. Secara lebih sederhana klirens ginjal dapat didefinisikan, dalam hubungannya dengan pembuangan obat melalui ginjal, sebagai hasil dari kecepatan aliran darah ginjal (Q r ) dan extraction ratio ginjal (E r ); Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simposium Farmakokinetla Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.
Cl r = Q r x Er (volume/unit waktu), sedangkan E r adalah selisih kadar obat dalam plasma arteri dan vena per kadar obat dalam plasma arteri, atau
Dapat dikatakan pula, sebenarnya nilai klirens ginjal tersebut merupakan tetapan yang menggambarkan hubungan antara kecepatan ekskresi obat pada waktu t (= dAe/dt) dengan konsentrasi obat dalam plasma Dada waktu t (= C). atau
Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya klirens ginjal merupakan hasil dari proses -proses filtrasi glomeruler dan sekresi maupun reabsorpsi di sepanjang tubuli renis. Banyak manfaat yang dapat diambil dari pengukuran kadar obat dalam urin. Keterbatasan kemampuan ekskresi ginjal suatu obat misalnya, dapat diketahui dari nilai klirens ginjal yang terukur setelah pemberian dosis bertingkat. Manfaat yang sangat besar dalam hubungannya dengan terapi obat itu untuk mengetahui kemampuan tubuh mengeliminasi obat yang diberikan, bila obat tersebut dieliminasi terutama dengan ekskresi ginjal. Untuk obat-obat ini, perubahan kemampuan ekskresi ginjal akan memberikan akibat yang nyata pada efek farmakologiknya. Selain itu, pengukuran klirens ginjal juga bermanfaat untuk kepentingan monitoring terapi obat, terutama pada keadaan-keadaan dimana overdosis perlu dicurigai, mengingat :
dimana t0,5 adalah waktu paro obat, kel adalah tetapan kecepatan eliminasi, dan k r adalah tetapan kecepatan ekskresi Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
21
ginjal. Selain hal di atas, untuk obat-obat yang eliminasi utamanya adalah ekskresi ginjal ini, pengukuran jumlah obat dalam urin dapat memberikan gambaran kemampuan absorpsinya tanpa harus memberikan obat secara intravenosa. MEKANISME EKSKRESI Ekskresi obat melalui ginjal dipengaruhi oleh sifat-sifat fisiko-kimia obat, ikatan dengan protein plasma dan faal ginjal. Nefron merupakan unit utama fungsi ginjal, terdiri atas glomerulus, tubulus proksimalis, ansa Henle, tubulus distalis dan duktus kolektikus. Glomerulus menyaring darah dan filtrat mengalir ke tubulus. Hampir semua air dari filtrat direabsorpsi, dan hanya 1—2 ml/menit saja yang menjadi urin. Sementara itu terjadi pula sekresi dan reabsorpsi di sepanjang tubuli proksimalis dan distalis. Jumlah obat yang diekskresi ke dalam urin merupakan hasil filtrasi, sekresi dan reabsorpsi. Filtrasi dan sekresi memperbesar jumlah obat, sedangkan reabsorpsi mengurangi. Dengan kata lain :
Filtrasi giomeruler Kira-kira 25% volume semenit jantung, yaitu 1,2 — 1,5 liter darah permenit, mengalir ke ginjal. Sepuluh persen dari jumlah tersebut difiltrasi di glomerulus. Hanya obat dalam bentuk bebas yang terfiltrasi. Molekul obat yang terikat pada makromolekul atau sel-sel darah tak dapat melalui membran glomeruler. Dengan demikian filtrat mengandung obat dengan kadar yang identik dengan kadarnya di cairan plasma, yaitu fraksi obat yang bebas (= Cb). Kecepatan filtrasi pada orang dewasa normal adalah sebesar kira-kira 125 ml/menit, dan disebut sebagai kecepatan filtrasi glomeruler atau GFR (glomenilar filtration rate), sehingga :
Mengingat hanya obat dalam bentuk bebas yang dapat terfiltrasi, dan fraksi obat yang bebas sebesar f b , maka : kecepatan filtrasi = fb x GFR x C C adalah kadar obat di dalam darah. Bila ekskresi obat ke dalam urin terutama dengan menggunakan cara filtrasi glomeruler, dan mengingat bahwa
dianggap bahwa kecepatan ekskresi ginjal sama dengan k.ecenatan filtrasi. sehingga :
Sekresi aktif Filtrasi berlangsung terus. Sekresi dapat diketahui bila ternyata kecepatan ekskresi melebihi kecepatan filtrasi obat. Mengingat persamaan :
sehingga
maka terlihat, apabila nilai klirens ginjal ternyata melebihi klirens yang disebabkan filtrasi, tentu terjadi pula sekresi. Mungkin pula terjadi reabsorpsi, namun lebih kecil daripada sekresinya. Reabsorpsi Reabsorpsi diduga pasti terjadi, apabila klirens ginjal yang terukur ternyata nilainya lebih kecil daripada klirens yang disebabkan filtrasi glomeruler (yang ditunjukkan dengan nilai klirens kreatinin). Mungkin pula berlangsung sekresi aktif, namun besarnya tidak melebihi reabsorpsi. Reabsorpsi dapat bervariasi dari nol sampai sempurna. Reabsorpsi aktif terjadi pada beberapa senyawa endogen misalnya vitamin -vitamin, elektrolit, glukosa dan asam-asam amino, namun untuk kebanyakan obat reabsorpsi berlangsung secara pasif. Derajat reabsorpsi tergantung pada sifat-sifat obat, misalnya polaritas, derajat ionisasi dan berat molekulnya. Obat-obat yang sangat lipofilik akan mengalami reabsorpsi sempurna. Reabsorpsi dipengaruhi pula oleh faktor - faktor fisiologik seperti misalnya pH dan kecepatan pembentukan urin. PENGUKURAN KLIRENS GINJAL Untuk mengukur klirens ginjal suatu obat, dikenal dua metode dengan kelebihan dan kelemahan masing - masing. Dasar ke dua metode ini adalah pengertian yang telah dijelaskan di muka, hahwa :
Metode I Karena tidak mungkin untuk mengukur kecepatan ekskresi obat ke dalam urin pada waktu sesaat, persamaan di atas dijabarkan menjadi :
yaitu berdasarkan pengukuran yang dilakukan dalam interval waktu tertentu. • A Ae/ A t adalah kecepatan ekskresi ginjal obat yang diukur selama A t, dan Cmid adalah konsentrasi obat dalam plasma path pertengahan interval waktu tersebut.
Kreatinin, suatu senyawa endogen dan inulin, suatu polisakarida eksogen, tidak terikat pada protein plasma dan tidak mengalami sekresi maupun reabsorpsi. Dikatakan bahwa jumlah yang terfiltrasi, seluruhnya berada dalam urin sehingga nilai klirens ginjal kedua obat ini dapat digunakan untuk mengukur besarnya kecepatan filtrasi glomeruler. 22
Cumin Dunia Kedokteran No. 37 1985
A Ae/ A t dapat dihitung dari : A Ae/ A t = sehingga :
Q u x Cu
• Q u adalah kecepatan pembentukan win dalam interval waktu tertentu dan Cu adalah kadar obat (dalam bentuk babas) dalam sampel win tersebut.
Nampaknya metode ini sangat sederhana dan praktis untuk dilaksanakan, namun sebenarnya banyak hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada pelaksanaannya. Penyimpangan hasil pengukuran klirens ginjal dapat terjadi misalnya pada pengambilan sampel. Pada pengambilan sampel darah misalnya, idealnya diambil dari arteri 4 . Penggunaan darah venosa perifer akan memberikan kadar obat yang lebih rendah daripada arteri, sehingga nilai klirens yang terukur lebih besar. Namun tentunya sangat sulit untuk mengambil sampel darah arteri sehingga umumnya digunakan darah venosa perifer. Kesulitan lain yaitu dalam mengumpulkan urin, terutama bila tidak menggunakan kateter. Untuk melancarkan produksi urin, dapat diberikan minum air putih 400 ml 1—2 jam sebelum minum obat, 200 ml pada waktu minum obat dan diteruskan dengan 200 ml tiap 1 jam. Perhatian khusus perlu diberikan pada penentuan interval pengambilan sampel urin, karena tergantung pada sifat-sifat farmakokinetika masing-masing obat. Pengambilan sampel urin dilakukan pada fase eliminasi (pada model satu kompartemen), atau fase terminal (pada model dua kompartemen). Pengukuran klirens yang dilakukan pada fase absorpsi maupun distribusi akan memberikan hasil yang menyesatkan. Selain hal di atas, lama interval pengumpulan urin juga perlu dipertimbangkan. Bila kecepatan ekskresi obat mengikuti orde 1, interval sepanjang waktu paro obat pun tidak akan memberikan kesalahan yang berarti. Untuk obat-obat yang ekskresi ginjalnya tidak mengikuti orde 1, kesalahan pengukuran dapat diperkecil dengan cara memperpendek interval pengumpulan urin. Namun perlu diperhatikan bahwa interval di bawah 0,5 jam akan memberikan hasil yang kurang tepat. Metode II Telah diterangkan di muka, metode ini berdasarkan penger __ dt, maka pada waktu 0 sampai t tian bahwa Cl r = dA C
Aet adalah jumlah obat yang telah diekskresi dalam bentuk tetap ke urin sampai waktu t, dan AUC t adalah luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam plasma versus waktu dari 0 sampai t. Pada waktu 0 sampai tak terhingga, maka Ae~ adalah jumlah total obat dalam bentuk tetap yang ditemukan kembali di urin, dan AUCt adalah luas daerah di bawah kurva kadar obat dalam plasma versus waktu dari 0 sampai tak terhingga. Ae~ dapat dihitung berdasarkan volume urin yang ditampung dari waktu 0 sampai kira-kira 10 kali waktu paro obat, dikalikan kadar obat dalam sampel urin tersebut. Bila semua dosis obat yang diberikan masuk sirkulasi sistemik dan ekskresi ginjal merupakan cara eliminasi utama, maka : Metode pengukuran ini jelas memerlukan waktu yang lebih panjang daripada metode I, dan sedikitpun tidak boleh ada
urin yang terlewatkan, tetapi mudah dikerjakan karena tidak direpotkan dengan kesalahan-kesalahan misalnya karena pengosongan kandung kencing yang tidak sempurna, kurang tepatnya interval dan lain-lain yang kadang-kadang sulit untuk diatasi. Analisis kadar obat dalam urin Ketepatan pengukuran klirens ginjal obat sangat dipengaruhi metode yang digunakan untuk penetapan kadar obat dalam sampel. Perlu diperhatikan pula stabilitas obat tersebut dalam sampel urin maupun plasma, karena seperti telah dikatakan di muka, klirens dihitung berdasarkan kadar obat tak berubah. Metabolit-metabolit yang tidak stabil, misalnya konjugat glukuronida 3 memberikan hasil pengukuran yang kurang tepat. Selain itu diperlukan pula metode analisis yang cukup sensitif untuk membedakan obat dengan metabolitmetabolitnya. FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH PADA EKSKRESI GINJAL Hemodinamika ginjal Perubahan kecepatan aliran darah ginjal umumnya akan mempengaruhi proses-proses filtrasi glomeruler, sekresi maupun reabsorpsi tubuler, meskipun perubahan di bawah 10 — 20% mungkin tidak akan memperlihatkan akibat yang nyata Pengurangan konsumsi natrium mungkin dapat menurunkan aliran darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruler, sedang pemberian infus larutan salin dan diuretik osmotik dapat memperbesar aliran darah ginjal dan ekskresi air5 . Tentu saja hal ini akan berpengaruh pada proses reabsorpsi obat. Beberapa obat diketahui dapat menurunkan kecepatan aliran darah ginjal, misalnya propranolol 6 . Dalam gambar 1 terlihat bahwa pemberian propranolol 1 jam sebelumnya, menyebabkan turunnya nilai klirens kreatinin dari 70,9 (± SEM 5.3) ml/menit menjadi 58,6 (± SEM 3.4) ml/menit. Untuk obat-obat yang ekskresinya tergantung pada kecepatan aliran darah ginjal, seperti misalnya salisilat dosis tinggi, penurunan kecepatan aliran darah ginjal menyebabkan turunnya nilai klirens ginjal obat tersebut. Pada gambar 2 dapat dilihat, pra pemberian propranolol mengakibatkan menurunnya klirens ginjal salisilat (setelah pemberian aspirin 1000 mg) dari 4,6 (± SEM 0.56) ml/menit menjadi 3,26 (± SEM 0.35) ml/menit 6 . Usia Kemampuan ekskresi ginjal pada umumnya lebih rendah pada bayi dan anak-anak7, dan pada usia lanjut 8 bila dibandingkan dengan orang dewasa normal. Ini disebabkan karena lebih rendahnya kemampuan filtrasi glomeruler pada anakanak dan usia lanjut, ditambah dengan belum sempurnanya sistem sekresi pada bayi baru lahir, meskipun hal ini diimbangi dengan ikatan protein yang lebih rendah dan juga rendahnya kemampuan reabsorpsi 5 . pH urin Untuk obat-obat yang bersifat elektrolit lemah, klirens ginjal sangat dipengaruhi oleh pH urin. Untuk asam lemah misalnya, lingkungan urin yang asam akan mengakibatkan berkurangnya jumlah obat yang diekskresi, karena reabsorpsi tubuli meningkat. Sebaliknya, suatu basa lemah akan mengalami kenaikan ekskresi dalam lingkungan urin yang sama. Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
23
Dalam gambar 3 dapat dilihat bahwa ekskresi ginjal metamfetamin ternyata lebih banyak pada lingkungan urin asam bila dibandingkar dengan lingkungan alkalis 9 Ikatan dengan protein plasma Seperti telah diterangkan di muka, jumlah obat yang mengalami filtrasi ditentukan oleh besarnya fraksi obat bebas dalam plasma. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa apabila filtrasi glomeruler merupakan mekanisme ekskresi utama, makin besar fraksi obat yang terikat dengan protein plasma, makin kecil nilai klirens ginjalnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan perbedaan nilai klirens ginjal antara sulfadiazin (ikatan protein 40 — 60%) dan sulfametazin (ikatan protein 80—90%) 10 . Pada gambar 4 terlihat bahwa nilai klirens ginjal sulfametazin jauh lebih rendah daripada sulfadiazin. Perlu diperhatikan, selain ikatan protein yang besar pada sulfametazin, obat ini eliminasi utamanya adalah dengan asetilasi. Ketergantungan dosis Pada umumnya, kecepatan ekskresi ginjal suatu obat proporsional dengan kadarnya di dalam plasma, sehingga peningkatan dosis akan menaikkan nilai klirens ginjal. Namun pada beberapa obat, pada dosis tertentu akan mengalami kejenuhan dalam mekanisme ekskresinya, sehingga kenaikan dosis justru akan mengakibatkan menurunnya nilai klirens ginjal. Sebagai contoh adalah salisilat dan sulfadiazin 10 Dalam gambar 5 dapat dilihat bahwa klirens ginjal salisilat lebih rendah pada dosis aspirin 1000 mg dibandingkan dengan dosis aspirin 500 mg. Dalam gambar 6 dapat dilihat pula penurunan klirens ginjal sulfadiazin pada pemberian dosis 1000
24
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Gambar 4. Nilai klirens ginjal sulfametazin dan sulfadiazin setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a).
Gambar 5. Nilai klirens ginjal salisilat setelah pemberian aspirin dosis 500 mg dan 1000 mg per oral. (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a).
Gambar 6. Nilai klirens ginjal sulfadiazin setelah pemberian dosis 500 mg dan 1000 mg per oral. (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a).
mg dibandingkan dengan dosis 500 mg. Sedangkan pada sulfametazin, kenaikan dosis tidak menyebabkan penurunan nilai klirens ginjal (gambar 7) 10
Kelainan fungsi ginjal Umumnya nilai klirens kreatinin dianggap sebagai ukuran untuk mengetahui fungsi ginjal, meskipun sebenarnya nilai ini hanya menggambarkan kemampuan ultrafiltrasi glomeruler saja. Mengingat bahwa klirens tubuh total merupakan jumlah klirens ginjal dan klirens non ginjal, maka apabila fungsi ginjal menurun : a) Obat-obat yang eliminasi utamanya adalah ekskresi ginjal, kecepatan eliminasi akan berkurang sehingga mengakibatkan memanjangnya waktu paro obat, dan mungkin sekali terjadi akumulasi pada pemberian berulang. b) Obat-obat yang eliminasi utamanya tidak melalui ginjal, penurunan fungsi ginjal tidak akan berpengaruh nyata pada eliminasinya. c) Untuk obat-obat yang dieliminasi dengan kedua cara tersebut, penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan menurunnya kecepatan eliminasi, tergantung seberapa besar ekskresi ginjal berperan. KEPUSTAKAAN 1. Breimer DD & Danhof M. Interindividual differences in pharmacokinetics and drug metabolism. Dalam: Breimer DD (ed.). Towards
Gambar 7. Nilai klirens ginjal sulfametazin setelah pemberian per oral dosis 500 mg dan 1000 mg. (dari : Suryawati & Santoso, 1985 a). (Bersambung ke halaman 61)
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
25
Teknik Analisis Obat Dalam Cairan Biologis Dengan GLC dan HPLC Drs Mohammad Makin Ibnu Hadjar PhD Jurusan Kimia Farmasi — Fakultas Farmasi Universitas Gadfah Mada, Yogyakarta
Bagi beberapa kelompok peneliti, metode analisis obat dalam cairan biologis mempunyai arti yang sangat penting. Masalah- masalah yang berhubungan dengan studi ketersediaan hayati obat, pengembangan obat baru, penyalahgunaan obat, farmakokinetika klinik dan riset obat - obatan, semuanya menuntut adanya metode analisis obat dalam sampel biologis dengan kepekaan, kespesifikan, kecepatan, ketepatan dan ketelitian yang tinggi, tetapi dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Kesulitan utama yang dihadapi ialah, selain kadar yang biasanya sangat kecil, dalam cairan biologis obat ada bersamasama dengan metabolit -metabolitnya dengan struktur kimia yang hampir mirip. Tercampurnya obat dengan zat-zat endogenous dalam sampel biologis (dalam jumlah yang jauh lebih besar dari obatnya) menambah kesulitan tersebut. Metode analisis yang digunakan dengan sendirinya harus mampu mendeteksi dan menetapkan kadar obat dan metabolit-metabolitnya, serta mempunyai prosedur clean-up yang singkat dan sederhana, agar kehilangan obat dan metabolitnya dapat dihindarkan. Kromatografi cairan-gas (GLC) dan kromatografi cairan tekanan tinggi (HPLC) telah membuktikan keunggulannya terhadap metode-metode yang lain dalam analisis obat dalam cairan biologis.
tersebut. Kegiatan studi farmakokinetika klinik seperti ini tidak akan pernah dapat dilakukan tanpa melaksanakan analisis obat dalam cairan biologis. Dalam pengembangan obat baru, pertanyaan tentang ketersediaan hayatinya merupakan sesuatu yang sangat penting. Bisa saja suatu obat baru pada uji farmakologik menunjukkan adanya potensi, yang kemudian pada uji farmakokinetika memberikan absorpsi yang kurang baik dan memberikan harga waktu paruh yang rendah dalam tubuh. Tentunya agar tidak diderita kerugian yang lebih lanjut, arah dari pengembangan obat baru tersebut harus ditinjau kembali. Keputusan yang cepat dan tepat itu mutlak memerlukan informasi atau data yang diperoleh dari percobaan analisis obat dalam cairan biologis. Studi metabolisme suatu senyawa, yang juga melakukan analisisnya dalam cairan biologis, seringkali menjurus pada penemuan obat baru. Oksifenbutazone dan desipramine merupakan contoh obat-obat baru yang ditemukan setelah studi metabolisme. Mereka masing -masing sebagai metabolit dari fenilbutazone dan imipramine. Selain dalam studi biofarmasetika dan farmakokinetika tersebut di atas, analisis obat dalam cairan biologis mempunyai peranan yang penting pula dalam toksikologi, pusatpusat rehabilitasi korban penyalahgunaan obat, deteksi beberapa penyakit (meningkatnya kadar metilguanidina dalam PERANAN ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN BIOLOGIS serum penderita uremia), memperoleh informasi tentang seDALAM BERBAGAI STUDI berapa jauh penyebaran suatu tumor (meningkatnya kadar Tidak sedikit obat yang mempunyai indeks terapeutik yang 5-S-sisteinildopa, suatu asam amino baru, dalam cairan biorendah, di mama rasio dosis toksis/dosis terapeutik < 10. Obat- logis), dan lain sebagainya. obat tertentu, seperti teofilina, akan memberikan efek samping yang toksis apabila konsentrasinya dalam darah mencapai PROBLEM ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN BIOLOGIS dua kali konsentrasi terapeutiknya. Sering timbul kesulitanKadar obat dalam cairan biologis yang umumnya sangat kesulitan yang serius bagi penderita yang diberi obat jenis ini, kecil (10-6 - 10- 12 g mr -1 ) membatasi metoda -metoda yang karena adanya perbedaan konsentrasi terapeutik antar -individu dapat digunakan untuk menetapkan kadarnya; hanya metodeyang besar. Untuk terapi yang optimal dan pengaturan dosis metode yang sangat sensitif saja yang dapat dipakai. Dalam secara individu diperlukan adanya data kinetika obat-obat cairan biologis, obat selalu ada bersama-sama dengan meta26
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
bolit -metabolitnya. Struktur kimia dari metabolit -metabolit tersebut pada umumnya hampir mirip dengan struktur kimia obat induknya, sehingga sukar mendeteksi mana yang obat mana yang metabolit. Mutlak perlu digunakannya metode analisis yang sangat selektif. Zat-zat endogenous (dalam jumlah yangjauh lebih besar dari jumlah obatnya) dalam matriks sampel biologis sangat mengganggu pelaksanaan analisis, khususnya metode spektroskopi, karena zat-zat endogenous tersebut juga menyerap sinar ultraviolet/visibel. Prosedur clean-up sampel yang berbelit-belit akan memberikan risiko hilang atau berkurangnya obat dan metabolit -metabolitnya. GLC dan HPLC yang selain mampu mendeteksi dan menetapkan kadar, juga sekaligus mampu melakukan pemisahan, sehingga dapat mengatasi problem yang didiskusikan di atas. Berikut akan didiskusikan masalah kromatografi. KROMATOGRAFI Kromatografi dalam berbagai bentuknya telah digunakan secara luas sebagai teknik pemisahan dan analisis. Pada tahun 1941, Martin dan Synge, yangkemudian mendapat hadiah Nobel, dalam makalahnya mengemukakan pengertian-pengertian dasar tentang kromatografi gas (GC) dan HPLC. Tidak kurang dari 10 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1952, James dan Martin untuk pertama kali mengintrodusir penggunaan GC. Sejak saat itu GC telah menjadi bentuk kromatografi yang paling baik dan berkembang dengan sangat cepat. Bentuk-bentuk kromatografi yang lain seperti kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis (TLC), kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi (semuanya termasuk kromatografi cairan), belum memperoleh sukses yang sama seperti yang telah dicapai oleh GC. Hal ini disebabkan karena efisiensinya yang rendah serta waktu analisisnya yang panjang: Pada awal tahun 1960-an, Giddings menunjukkan bahwa kerangka kerja teoritis yang dikembangkan untuk GC berlaku sama baiknya untuk kromatografi cairan, dan antara tahun 1967 - 1969 Kirkland, Huber, dan kelompok Horvath, Preiss dan Lipsky mengemukakan penggunaan HPLC yang pertama kali. Dengan menggunakan tekanan yang tinggi (sampai dengan 5000 psi), HPLC dapat mengatasi kelemahan -kelemahan dari kromatografi cairan pada umumnya, misalnya viskositas cairan yang relatif lebih besar dibanding dengan viskositas gas, sehingga HPLC mampu memberikan waktu analisis (5 - 30 menit) yang kurang lebih sama dengan waktu analisisnya GC. Dalam beberapa hal, memang, baik teknik GC maupun HPLC dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang sama. Keduanya mempunyai keunggulan yang berupa sensitivitas, selektivitas dan kecepatan analisis yang tinggi. Dengan menggunakan detektor ultraviolet mereka dapat memberikan pola spektrum ultraviolet darimasing -masing komponen sampel yang diperiksa. Keduanya dapat dihubungkan langsung dengan spektrometer massa, sehingga dapat diperoleh pola spektrum massa dari masing-masing komponen campuran yang sangat penting untuk elusidasi struktur kimianya. Kedua teknik ini juga dapat digunakan untuk kromatografi preparatif, yaitu masing-masing komponen campuran dapat dikumpulkan dalam keadaan yang sangat murni, sehingga dapat digunakan untuk percobaan -percobaan penelitian lebih lanjut. Kedua -duanya juga dapat dilengkapi dengan sistem microprocessor, sehingga analisis dapat dilaksanakan tanpa kehadir-
an sang operator. Akan tetapi, sejumlah besar obat -obatan tidak dapat dianalisis dengan teknik GC, karena sifatnya yang sangat polar (konjugat sulfat dan glukuronat dari obat dan metabolitmetabolitnya), tidak mudah menguap dan tidak stabil terhadap panas, kalau tanpa modifikasi struktur kimianya terlebih dahulu. Teknik HPLC merupakan pilihan utama untuk analisis golongan obat-obat tersebut. Kemampuan HPLC untuk menangani secara langsung obat-obat dan metabolit -metabolit yang sangat polar serta konjugat -konjugatnya dalam cairan biologis sungguh merupakan suatu keunggulan. Pelaksanaan analisisnya yang pada suhu kamar akan mencegah peruraian obat selama proses analisis. Selain detektor, jumlah variabel yang dapat diatur dalam HPLC jauh lebih banyak dari pada dalam GC. Kalau hanya fase diam saja yang dapat divariasi pada analisis dengan GC, maka baik fase diam maupun fase gerak kedua -duanya dapat divariasi dalam teknik HPLC. Bukan itu saja, berbagai ragamnya mode kromatografi (modemode adsorpsi, partisi, penukar ion dan eksklusi) pada proses pemisahan dengan HPLC memungkinkan teknik ini dapat digunakan untuk analisis hampir semua jenis obat. Keunggulan lain yang disumbangkan oleh HPLC dalam analisis obat dalam cairan biologis ialah prosedur ekstraksi, dan clean-up yang mendahului analisis relatif sangat berkurang dibandingkan dengan teknik GC. Bahkan telah dilaporkan keberhasilan analisis obat dalam urin dengan menginjeksikan langsung sampel ke dalam kolom dan menggunakan sistem reversed phase, dimana fase gerak digunakan air yang dapat mengelusi zat-zat endogenous yang menyerap ultraviolet itu bersama solvent front. Jumlah jenis detektor yang dapat dipilih pada teknik HPLC juga lebih banyak dibandingkan dengan GC. Untuk pemahaman lebih lanjut, berikut akan didiskusikan dasar-dasar GC dan HPLC. KROMATOGRAFI GAS Pada GC, fase geraknya berupa gas yang inert, sedang fase diamnya dapat berupa cairan (disebut kromatografi cairan-gas atau "gas-liquid chromatography", yangdisingkat GLC) atau berupa padatan (kromatografi padatan-gas, "gas-solid chromatography", GSC). Proses pemisahan pada GLC terjadi dengan mekanisme partisi, sedang pada GSC nielalui mode adsorpsi. Untuk sampel yang berupa obat, GLC lebih populer daripada GSC. Ini disebabkan karena hampir semua obat akan mengalami peruraian dengan kondisi yang diperlukan agar terjadi elusi pada GSC Oleh karena itu, istilah GC dalam literaturliteratur dimaksudkan untuk GLC. Fase diam yang palingsering digunakan pada analisis obat dalam cairan biologis dengan teknik GLC ialah siloksan yang tersubstitusi (OV-1 dan OV-17) dan polietilen glikol yang disalurkan (1 - 5%) pada solid support. Bagian-bagianpokok suatu GLC ialah : silinder tempat gas pembawa, pengatur aliran dan tekanan gas, tempat injeksi sampel, kolom, detektor, rekorder, dan thermostat untuk tempat injeksi sampel, kolom dan detektor. Setelah sampel diinjeksikan, komponen-komponen sampel yang ada dalam keadaan uap dibawa oleh gas pembawa ke dalam kolom. Dalam kolom, komponen -komponen tersebut berpartisipasi antara gas pembawa dan fase diam (cairan). Fase diam ini secara selektif menahan komponen -komponen sampel
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 27
sesuai dengan koefisien distribusinya, sehingga terbentuk pitapita komponen yang terpisah dalam gas pembawa. Bersama aliran gas pembawa, pita-pita komponen ini meninggalkan kolom dan dideteksi oleh detektor yang kemudian oleh rekorder dibuat kromatogramnya. Macam detektor yang dikenal pada GC ialah detektor hantaran panas ("thermal conductivity detector", TCD), detektor ionisasi nyala ("flame ionization detector " , FID), detektor penangkap elektron ( "electron capture detector' , ECD) dan detektor yang hanya khusus mendeteksi senyawa yang mengandung unsur nitrogen dan fosfor. TCD berdasar atas prinsip, suatu benda yang panas akan kehilangan panasnya pada suatu kecepatan yang tergantung kepada komposisi gas di sekitarnya. Jadi, kecepatan hilangnya panas itu dapat digunakan sebagai ukuran tentang komposisi gas. Detektor ini kurang sensitif untuk analisis obat dalam cairan biologis. FID merupakan detektor yang paling luas penggunaannya, bahkan dianggap sebagai detektor yang universal untuk analisis obat dalam cairan biologis menggunakan GLC. Pada detektor ini, komponen-komponen sampel yang keluar dari kolom dibakar dalam nyala (campuran gas hidrogen dan udara atau oksigen). Sejurnlah besar ion yang terbentuk dalam nyala masuk ke dalam celah elektrode dan menurunkan tegangan listrik dari celah elektrode mula-mula. Penurunan tegangan ini yang kemudian dicatat sebagai sinyal oleh rekorder. Intensitas sinyal ini berbanding lurus dengan konsentrasi solute dalam gas pembawa. Aliran elektron sebagai hasil ionisasi gas pembawa (nitrogen atau argon/methan) dalam ECD memberikan sinyal yang berupa baseline suatu kromatogram. Bila kemudian suatu senyawa masuk ke dalam detektor, sebagian dari elektron tersebut akan ditangkap oleh senyawa sebelum mereka mencapai plat detektor. Ini mengakibatkan aliran arus listrik dalam detektor berkurang, yang oleh rekorder akan dicatat sebagai suatu peak. Detektor ini hanya dapat digunakan untuk se'wawa obat-obatan yang dapat mengabsorpsi elektron dengan mudah, yaitu senyawa-senyawa yang mengandung gugus karbonil dan nitro yang terkonjugasi sertasenyawa-senyawa yang mengandung halogen-organik. Sensitivitas detektor ini pada tingkat pikogram. Suatu psikotropik baru (1,2-benzisoxazole3-acetamidoxime hydrochloride), analisisnya dalam plasma berhasil dilakukan dengan GLC menggunakan detektor ini. Spektrometer massa dapat juga digunakan sebagai detektor pada GLC. Kombinasi GLC dengan spektrometer massa (GCMS) saat ini merupakan suatu alat yang ampuh dalam identifikasi obat dan metabolit-metabolitnya dalam cairan biologis. Untuk obat-obat yang sukar menguap dan tidak stabil terhadap panas, agar dapat dianalisis secara GLC harus diderivatisasi secara kimia. Obat-obat dengan gugus fungsional yang sangat polar seperti hidroksil (OH), karboksil (COOH) dan amino (NH 2 ) diubah menjadi eter (OR), ester (COOR) dan amida (NHCOR) yang merupakan gugus-gugus yang kurang polar.
sangat tinggi. Fase diamnya dapat berbagai macam, tergantung mode kromatografi yang dipilih dalam proses pemisahan. Proses pemisahan dalam HPLC dapat dilakukan dengan berbagai mode kromatografi sebagai berikut : • Mode kromatografi cairan-cairan (partisi) : fase diam berupa cairan yang disalutkan atau diikatkan secara kimia pada solid support. Komponen sampel yang dipisahkan berpartisi di antara fase diam dan fase gerak. Pada mode ini dikenal sistem normal phase (fase diam berupa senyawa yang polar, sedang fase geraknya non-polar) dan sistem reversed phase (fase diam berupa senyawa yang non-polar, sedang fase geraknya polar). Dengan sistem normal phase dapat dipisahkan pestisida, steroid, anilina, alkaloida, glikol, alkohol, fenol, aromatik dan komplek logam. Sistem reversed phase dapat memisahkan alkohol, aromatik, antrakuinon, alkaloid, oligomer, antibiotika, barbiturat, steroid, pestisida-klor dan vitamin-vitamin. • Mode kromatografi pasangan ion ('ion pair chromatography'; IPC) : merupakan bentuk khusus dari kromatografi cairan-cairan yang digunakan untuk pemisahan senyawa obatobat yang ionik atau yang dapat terionisasi seperti amino biogenik, sulfonamida, karboksilat dan sulfonat. Ada dua mekanisme proses pemisahan pada IPC, yaitu mode partisi, di mana molekul sampel yang ionik atau yang mudah terionisasi, tetapi tidak bersifat lipofilik, membentuk suatu pasangan ion dengan suatu counter-ion yang cocok yang ditambahkan pada fase geraknya. Dengan terbentuknya pasangan ion ini akan menambah sifat lipofilik sampel, sehingga memperbesar afinitasnya terhadap fase diam. Mekanisme yang kedua ialah mode penukar ion, di mana counter-ion yang polar dianggap sebagai diabsorpsi oleh fase diam hidrokarbon sehingga seperti membentuk suatu titik penukar ion, pada mana molekul sampel yang polar akan dapat diabsorpsi seperti pada kromatografi penukar ion. • Mode kromatografi padatan-cairan (adsorpsi) : fase diamnya berupa padatan yang dapat mengadsorpsi molekul sampel yang dipisahkan secara reversibel. Dalam sistem normal phase digunakan fase diam yang polar (silica gel, alumina) dan fase gerak non-polar (heksan, kloroform). Sebaliknya, pada sistem reversed phase digunakan fase diam yang nonpolar (butiran polimer) dengan fase gerak yang polar (air, etanol). Dengan mode adsorpsi ini dapat dipisahkan antioksidan, vitamin, steroid, barbiturat, zat-zat warna, amina, hidrokarbon, fenol, alkaloida, amida, lipida, asam-asam amino dan alkohol-alkohol. • Mode kromatografi penukar ion ("ion-exchange chromatography'; IEC) : fase diam terdiri dari suatu matriks yang tegar, yang permukaannya menyangga suatu muatan positif sehingga menyajikan suatu titik penukar ion (R+ ). Bila digunakan suatu fase gerak yang mengandung anion, titik penukar ion tersebut akan menarik dan memegang suatu counterion negatif (Y-). Sampel yang berupa anion (X-) kemudian dapat bertukaran dengan counter-ion (Y-) :
KROMATOGRAFI CAIRAN TEKANAN TINGGI Seperti tampak dari namanya, fase gerak yang digunakan pada HPLC berupa cairan yang dialirkan dengan tekanan
Karen prosesnya menyangkut penukaran anion, disebut kromatografi penukar anion. Proses kromatografi penukar kation dapat digambarkan :
28
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
R +Y - +
X- '7=
R +X - +
Y- .
merah dari komponen sampel sehingga gugus-gugus fungsionalnya dapat diketahui. Fase diam penukar kation mengandung gugusan asam, dibedaDetektor indeks bias merupakan detektor yang juga luas kan menjadi penukar kation kuat (—SO3 ) dan penukar kation penggunaannya setelah detektor ultraviolet. Dasarnya ialah lemah (—COO-). Fase diam penukar anion mengandung gugus- pengukuran perbedaan indeks bias fase gerak murni dengan an basa; dibedakan menjadi penukar anion kuat (—NR+ ) dan indeks bias fase gerak yang berisi komponen sampel, sehingga 3 penukar anion lemah (—NH2 ). Mode kromatografi ini berhasil dapat dianggap sebagai detektor yang universal pada HPLC. digunakan untuk memisahkan dan analisis asam amino, asam Detektor ini kurang sensitif dibanding dengan detektor ultranukleat, protein, asam karboksilat, sulfonat aromatik, gula- violet dan sangat peka terhadap perubahan suhu. gula, obat-obat analgetik, vitamin, purin dan glikosida. Sekarang juga telah ada HPLC yang dikombinasi dengan • Mode kromatografi eksklusi ("exclusion chromatograspektrometer massa. Dengan HPLC-MS, prospek studi yang phy"; EC, juga disebut "gel filtration chromatography", gel berkaitan dengan analisis obat dalam cairan biologis menjadi permeation chromatography" atau "gel chromatography") : lebih cerah lagi. memisahkan campuran sesuai dengan ukuran dan bentuk moDari uraian di atas jelaslah bahwa bagian-bagian pokok dari lekulnya. Molekul-molekul kecil yang dapat masuk secara suatu HPLC meliputi wadah penyuplai pelarut (fase gerak), bebas ke dalam pori-pori fase padat dikatakan sebagai mempompa penakan, tempat injeksi sampel, kolom, detektor dan punyai koefisien distribusi K = 1, sedang molekul-molekul rekorder. besar dieksklusi secara sempurna dari seluruh pori-pori memUntuk memperoleh kondisi terbaik pada analisis obat dapunyai K = 0. Molekul-molekul ukuran sedang mempunyai lam cairan biologis menggunakan HPLC, perlu pendekatan K antara 0 dan 1. Jadi, molekul-molekul besar akan bergerak yang akan diuraikan sebagai berikut. jauh lebih cepat melalui kolom dibanding dengan molekulmolekul kecil. Molekul-molekul akan dielusi berturut-turut PENDEKATAN DALAM ANALISIS DENGAN HPLC sesuai dengan penurunan ukurannya. Contoh fase diam pada Sifat Permasalahan mode ialah suatu gel dekstran dalam bentuk butiran yang diMacam dan sifat obat yang akan diperiksa harus diketahui pasarkan dengan nama Sephadex. Mode kromatografi ini bermisalnya kelarutan, pola spektrum ultraviolet, pola dahulu, hasil digunakan pada pemisahan senyawa-senyawa dengan spektrum inframerah (untuk gugus fungsional), struktur mobobot molekul > 2000, termasuk polimer organik (poliolelekul dan lain sebagainya. Perlu juga diketahui apakah yang fine, polistirene, polivinyl, poliamida), bipolimer (protein, perlu dianalisis itu, misalnya hanya obatnya saja atau obat asam nukleat, oligosakrida, peptida, gula-gula, glikol). dan metabolit-metabolitnya. Apakah sebagai hasil analisis Selain beragamnya mode kromatografi, keunggulan HPLC cukup suatu kromatogram atau masing-masing komponen juga karena luasnya pilihan detektor yang dapat digunakan. sampel harus dipisahkan/dikompulkan untuk percobaan lebih Secara garis besar, detektor dalam HPLC dapat dibedakan : lanjut? Juga apakah analisis yang akan dilakukan itu hanya 1 ). berdasar pengukuran diferensial suatu sifat yang dimiliki dimaksudkan untuk memecahkan suatu masalah saja atau akan baik oleh molekul sampel maupun fase gerak (disebut bulk property detector, yang termasuk ini misalnya : detektor dijadikan metode kontrol kualitas yang rutin ? Jawaban dari semua pertanyaan di atas akan mempengaruhi indeks bias, detektor konduktivitas dan detektor tetapan dan menentukan pendekatan analisisnya. dielektrika). 2). berdasar pengukuran suatu sifat yang spesifik dari mole Pemilihan Mode Kromatografi kul sampel (disebut solute property detector). Jenis yang keSetelah menentukan sampai seberapa jauh analisis itu didua ini dibedakan lagi menjadi : yang tidak perlu adanya perlukan dan sifat-sifat sampel, sang analis kemudian memilih pemisahan fase gerak, termasuk ini ialah detektor-detektor mode kromatografi yang paling cocok untuk memberikan fotometer (uv-vis dan fluoresen), polarografi dan radioaktif; hasil yang dikehendaki. Pemilihan mode kromatografi (partisi, dan yang fase feraknya harus dipisahkan dahulu, termasuk ini adsorpsi, penukar ion, pasangan ion atau eksklusi) yang diialah FID dan ECD. dasarkan atas kriteria bobot molekul, kelarutan dan sifat Pada detektor ultraviolet/visibel, deteksi komponen sampel gugus fungsional dapat dilihat pada transparansi. didasarkan pada absorpsi sinar ultraviolet (untuk detektor Seleksi Fase Diam dan Fase Gerak ultraviolet) dan sinar tampak (untuk detektor visibel). DetekSuatu pemisahan akan berhasil apabila tercapai suatu kesetor ultraviolet merupakan detektor yang paling luas digunakan timbangan yang tepat antara kekuatan-kekuatan intermolekukarena sensitivitas dan reprodusibelitasnya yang tinggi serta lar yang melibatkan molekul sampel, fase gerak dan fase diam. mudah operasinya. Sebagai ukuran kekuatan-kekuatan intermolekular tersebut Obat-obat yang fluoresen dapat dipisahkan dan dianalisis dengan indikator fluorimeter, seperti aflatoksin, beberapa ialah polaritas molekul. Hampir semua pemisahan-pemisahan yang baik diperoleh karena cocoknya polaritas molekul sampel asam amino aromatik, fenol, kuinolin dan estrogen. Untuk dengan polaritas fase diam dan digunakannya fase gerak yang obat-obat yang tidak berfluoresensi dapat dibuat menjadi berbeda polaritasnya. turunannya yang berfluoresensi dengan pereaksi seperti Pada kromatografi dengan sistem normal phase, komponen dansyl klorida (5-dimetilaminonaftalene-l-sulfonil klorida). sampel yang paling kurang polar akan dielusi terlebih dahulu; Detektor ini lebih peka dari pada detektor ultraviolet. penambahan polaritas dari fase geraknya akan menurunkan Detektor fotometer inframerah juga dapat digunakan pada waktu elusinya. HPLC. Dengan detektor ini dapat dibuat pola spektrum infra-
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
29
Pada kromatografi dengan sistem reversed phase, komponen sampel yang paling polar akan terelusi terlebih dahulu; penambahan polaritas dari gase gerak akan menaikkan waktu elusinya. Diagram pada transparansi akan menggambarkan hal ini. Pemilian Detektor Detektor index bias merupakan satu-satunya detektor pada HPLC yang universal, tetapi kurang sensitif dan sangat peka terhadap perubahan suhu. Detektor ultraviolet dengan panjang gelombang yang variabel merupakan pilihan yang paling baik bagi sekelompok besar obat-obatan. Dalam hal-hal yang sangat spesifik dapat digunakan detektor-detektor fluorometer dan elektrokimia.
umum dapat dikatakan bahwa optimasi pemisahan dapat dilakukan, dengan menentukan fast diam yang sesuai dengan mode kromatogtafi yang akan digunakan, kemudian mengubah-ubah fase gerak hingga dicapai pemisahan yang sebaikbaiknya. Setelah diperoleh suatu kromatogram yang baik, tentunya yang terakhir ialah bagaimana mengevaluasi data kromatogram itu. • Analisis Kualitatif
Identifikasi suatu komponen sampel dapat dilakukan dengan membandingkan harga tR dari peak yang muncul dalam kromatogram dengan harga t R suatu reference standard. ApaPemisahan Kromatografi bila harga t R tersebut sama dalam dua atau lebih sistem yang Untuk mempertimbangkan kondisi analisis yang optimal dicoba, maka dikatakan bahwa kedua senyawa tersebut perlu difahami pengertian-pengertian pokok dalam kroma- identik. Untuk lebih menegaskan kesimpulan tersebut, dapat tografi yang secara umum berlaku bagi semua mode. Dua para- dilakukan percobaan spiking, yaitu kepada sampel ditambahmeter kromatografi yang penting dalam optimasi hingga di- kan obat standard reference kemudian dibuat kromatogramperoleh suatu pemisahan yang maksimum dan dalam waktu nya. Apabila kedua senyawa tersebut identik maka standard yang minimum: reference akan menaikkan tinggi peak dari obat yang dianalisis. 1). Persamaan yang menghubungkan waktu retensi (t R) dan Untuk HPLC yang dilengkapi dengan spektrometer massa, faktor kapasitas (k'), identifikasi obat yang dianalisis dapat dilakukan dengan mencocokkan pola spektrum massa yang diperoleh dengan yang ada dalam literatur-literatur. Untuk obat yang baru, identifikasinya dilakukan dengan mencoba mengelusidasi strukturnya tidak saja dengan spektrum massanya tetapi 2). Persamaan yang menghubungkan resolusi (Rs) dengan juga dengan spektra NMR, IR dan UV dari obat yang dipisahfaktor kapasitas (k ' ), retensi relatif ( a) dan jumlah theorekan dan dikumpulkan dari eluat yang keluar dari HPLC. tical plates (N) : • Analisis Kuantitatif Detektor yang ideal pada HPLC ialah yang mampu menghasilkan sinyal yang mempunyai korelasi linier dengan konsenHarga optimum untuk k ' adalah antara 1 — 10. Harga k' trasi komponen sampel. Dengan asumsi seperti tersebut, yang lebih besar cenderung akan memperpanjang waktu re- konsentrasi komponen sampel dapat diturunkan dari intensitas tensi dan pita-pita kromatografi terelusi sebagai peaks yang sinyal yang ditunjukkan dalam kromatogram. Dikenal dua cara pengukuran secara kuantitatif, yaitu lebar dan datar sehingga sukar untuk mendeteksinya. Apabila harga k ' sudah terletak pada rentangan yang optimum, maka dengan mengukur peak height dan peak area. harga k' tidak sepantasnya diubah. Perubahan resolusi hanya Dikenal beberapa metode untuk merubah data peak height atau peak area dari suatu kromatogram menjadi konsentrasi akan diperoleh dengan menaikkan N, atau a . dari komponen sampel yang sesuai, yaitu dengan membuat Faktor kapasitas (k ') merupakan parameter yang paling mudah dioptimasi, karena biasanya hanya menyangkut perkurva baku dengan cara-cara external standard, internal stanubahan kekuatan fase gerak. Tetapi k ' sebetulnyajuga dapat dard dan standard addition. diatur dengan merubah fase diamnya, walaupun hal ini jelas Sebelum sampai kepada bagian aplikasi GLC dan HPLC dalam analisis obat dalam cairan biologis, berikut akan disajitidak menyenangkan. kan preparasi sampel dalam GLC dan HPLC. Harga optimum untuk a terletak antara 1,05 — 10. Perubahan harga dapat diperoleh dengan merubah sifat fase diam dan/atau fase gerak. Perubahan fase gerak di sini lebih ber- PREPARASI SAMPEL makna kalau yang diubah komposisi fase gerak; bukan perSeperti telah dikemukakan di muka, prosedur ekstraksi ubahan kekuatannya. Pengaruh perubahan a lebih sukar di- dan clean-up dalam HPLC lebih sederhana dari teknik-teknik ramalkan dari pada perubahan k ' dan N, dan dalam suatu yang lain. Telah banyak dilaporkan bahwa beberapa sampel sampel yang terdiri dari banyak komponen, perubahan a ha- biologis dapat dianalisis dengan HPLC dengan langsung mengnya akan merubah urut-urutan peaknya saja. Tetapi dalam hal injeksikan ke dalam kolom (pra-kolom). Namun adanya prowaktu analisis, memang perubahan a merupakan cara yang ter- tein, lipid, garam-garam dalam jumlah yang relatif banyak baik untuk memperbaiki Rs. Karena untuk memperbaiki Rs dalam sampel biologis, perlu diperhatikan untuk menghindari lebih mudah dicapai dengan menaikkan N, cara ini nampakadanya gangguan pada efisiensi kolom. Protein dapat dihilangnya lebih baik. Tetapi perbaikan Rs dengan cara ini umumnya kan dengan cara pengendapan, ultrafiltrasi dan penggunaan akan mengakibatkan bertambahnya waktu retensi, karena pe- pra-kolom. Pereaksi-pereaksi asam seperti asam trikloroasetat, nambahan N biasanya diperoleh dengan penambahan panjang asam perklorat dan asam tungstat dapat digunakan untuk kolom atau pengurangan kecepatan alir fase gerak. Secara mengendapkan protein dalam cairan biologis untuk analisis
30
Cennin Dunia Kedokteran No. 37 1985
obat-obat yang tahan asam. Untuk yang tidak tahan asam, pengendapan dilakukan dengan etanol atau metanol. Penggunaan pra-kolom untuk menghilangkan protein telah dilaporkan pada analisis frusemide, dengan langsung menginjeksikan plasma ke dalam pra-kolom yang mempunyai susunan sama dengan kolom analisis. Dengan menggunakan buffer fosfat (pH 2,5) sebagai fase gerak, protein tertimbun pada prakolom ini. Fase gerak metilenklorida atau dietil eter dapat mengelusi lipid netral dengan menggunakan mode kromatografi adsorpsi. Dengan mode yang sama fase gerak campuran metilenklorida/ metanol atau metanol dapat mengelusi fosfolipid. Lipid yang terelusi ini tidak akan mengganggu bila digunakan detektor ultraviolet karena absorpsi molar senyawa-senyawa tersebut rendah. Pada sistem reversed phase, lipid dapat tertahan pada fase diam hingga dapat menyebabkan terganggunya efisiensi kolom. Ini dapat diatasi dengan mengaliri kloroform setiap setelah 100 kali injeksi plasma yang sari dengan eter. Kalau problem utama pada sampel plasma adalah penghilangan protein dan lipid, maka pada sampel urin masalah yang dihadapi adalah, bagaimana menghilangkan garam-garam anorganik atau komponen-komponen dengan bobot molekul rendah yang memiliki sifat-sifat kromatografik yang mirip dengan obat yang dianalisis. Konsentrasi obat dalam sampel urin juga perlu mendapat perhatian. Garam-garam anorganik dapat dipisahkan dari sampel urin dengan melewatkan sampel melalui suatu kolom yang berisi resin Amberlite XAD-2 yang dapat menahan senyawa-senyawa organik dan meneruskan garam-garam anorganik dan dengan mengelusinya dengan metanol, dapat diperoleh senyawa organik yang dikehendaki. Akhirnya akan diberikan beberapa aplikasi GLC dan HPLC dalam analisis obat dalam cairan biologis.
APLIKASI GLC DAN HPLC DALAM ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN BIOLOGIS Teknik GLC dan HPLC telah membuktikan kemampuannya untuk menganalisis sejumlah besar golongan obat-obatan dalam cairan biologis. Analisis dibenzepine dan metabolit-metabolitnya serta penetapan fenobarbital, primidone dan fenitoin, semuanya dalam cairan biologis, secara GLC, akan dibahas sebagai contoh. Contoh analisis menggunakan teknik HPLC yang akan didiskusikan meliputi penetapan propranolol dan 4-dehidroksipropranolol dalam plasma secara simultan dan penetapan parasetamol dan metabolit-metabilitnya.
KEPUSTAKAAN 1. Pryde A, and Gilbert MT. "Aplications of high performance liquid chromatography." New York: Chapman and Hall Ltd., 1979. 2. Hamilton RJ, and Sewell PA. "Introduction to high performance liquid chromatography". New York: Chapman and Hall Ltd., 1977. 3. Smith RV, and Stewart IT. "Textbook of biopharmaceutic analysis". Philadelphia: Lea & Febiger, 1981. 4. McNair HM, and Bonelli EJ. "Basic gas chromatography", 5 th ed., California: Varian Aerograph, 1969. 5. Dell D. in "Assay of drugs and other trace compounds in biological fluids" (E. Reid, ed.), Amsterdam: North-Holland Publishing Company, 1976; p. 131 — 134. 6. Done JN, Knox JH, and Loheac J. "Applications of highspeed liquid chromatography". London: John Wiley & Sons, 1974. 7. Nation RL, Peng GW, and Chiou WL. Journal of Chromatography, 1978; 145 : 429. 8. Rutherford DM, and Flanagan RJ. Journal of Chromatography, 1978; 157 : 311. 9. Schlicht HJ, and Gelbke HP. Journal of Chromatography, 1978; 166: 599. Disajilcan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simposium Farmakokinetllca Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
31
Farmakoterapi
rasional
dr. R.H. Yudono
Jurusan Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Menurut saya, kalau penanggulangan penyakit secara medis itu rasional, maka sudah semestinya farmakoterapinya juga rasional. Sayang sekali banyak pengobatan oleh dokter tidak dilakukan secara rasional; apalagi orang awam yang mengobati diri sendiri (self medication) dengan obat bebas atau obat bebas terbatas. Untuk dapat melakukan pengobatan secara rasional, pertama-tama kali harus ditegakkan diagnosanya, atau bila hal ini tidak mungkin dilakukan, setidak -tidaknya harus ditentukan diagnosa kemungkinan. Jika seorang dokter tak dapat menentukan diagnosa kemungkinan, maka dengan sendirinya ia tak dapat memberi pengobatan secara kausal rasional. Karena kewajiban dokter harus mengurangi penderitaan dan memperpanjang umur, maka kalau ia tak dapat memberi pengobatan kausal rasional, setidak -tidaknya ia dapat mengurangi penderitaan secara simtomatik rasional, asal ini tidak menopengi (masking) penyakitnya atau bahkan membuat penyakitnya bertambah parah. Yang paling disayangkan tentunya ialah, bila diagnosa sudah dapat ditegakkan secara rasional, akan tetapi farmakoterapinya tidak rasional. Hal ini dapat disebabkan karena dokter kurang menguasai patofisiologi dari badan yang sakit, kurang menguasai farmakologi klinik dengan farmakokinetikanya dan kurang dapat menghubungkan secara logis patofisiologi dengan farmakologi. Dari pihak penderita, seringkali terapi rasional tak memberikan hasil yang diinginkan karena kurang menuruti nasihat dokter (penderita dengan pengobatan jangka panjang, harga obat mahal, orang berumur lanjut yang suka lupa dsb.) (Blackwell, 1973). Evaluasi dari terapi tentunya diperlukan untuk membuktikan bahwa terapi itu tepat, artinya dapat menyembuhkan dan tidak menyebabkan efek-efek yang merugikan. Beberapa hal tidak rasional dapat terjadi, seperti misalnya, dalam : (a) Penentuan obat dengan rejimen terapinya, atau (b) Cara pemberian obat.
32
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
PENENTUAN OBAT DAN REJIMEN TERAPI Suatu hat yang masih belum kita ketahui dengan pasti adalah apakah suatu obat yang dibuat oleh industri farmasi yang terkenal itu tentu lebih bail( dari pada suatu obat yang sama yang dihasilkan oleh industri farmasi yang kecil yang kurang terkenal (therapeutic equivalence). Penentuan obat secara rasional dapat lebih mudah dilakukan bila kita selalu membiasakan diri untuk mempertimbangkan lebl dulu masak-masak hubungan antara indikasi, hukumhukum farmakologi klinik dan sifat-sifat obat. Kalau kita sudah terbiasa berpikir secara logis -metodis sistematis, maka pengalaman menjadi berharga untuk di kemudian hari digunakan untuk menentukan penggunaan obat dengan cepat. Selain itu, kebiasaan mengevaluasi hasil terapi menyebabkan kita lebih menguasai ilmu pengobatan tersebut, termasuk mengetahui obat mana yang balk stabilitasnya, tidak mudah dirusak oleh isi lambung-usus, keterdapatan hayati (bioavailability), sedikit efek sampingnya, dan kurang mengganggu organorgan badan yang penting. Patofisiologi dari penyakit perlu diketahui supaya dapat disesuaikan dengan macam obatnya, formulasinya, dosisnya, frekuensi pemberian seharinya, dan cara pemberiannya. Formulasi obat harus sesuai dengan keadaan tertentu dari traktus digestivus. Misalnya jangan memberikan obat yang mudah dirusak oleh asam bila ada gangguan hiperasiditas dan sebagainya. Pengurangan dosis obat perlu dilakukan pada adanya gangguan ekskresi renal atau; frekuensi pemberian obat sehari mungkin perlu dikurangi ataupun obat diganti dengan yang diekskresi melalui hepar/empedu. Pada keadaan hipoproteinemia, dosis perlu dikecilkan karena albumin yang mengikat obat berkurang, sehingga obat bebas (unbound) bertambah konsentrasinya. Penderita dengan gangguan hepar, perlu dikurangi dosisnya atau frekuensi pemberian sehari. Pada adanya dekompensasi kordis, karena distribusi obatnya lambat, maka dosisnya perlu dikurangi, karena pada permulaan terjadi kumulasi dari obat di dalam darah; jika konsentrasi
obat itu mencapai otak dan jantung, maka obat itu dapat meracuni. Jika penderita memerlukan lebih dari satu macam obat, maka perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya interaksiinteraksi antara obat itu sendiri, fungsional atau kimiawi maupun fisikokimiawi atau secara tidak langsung melalui pendesakan dari ikatannya pada albumin atau melalui pemacuan atau penghambatan enzim-enzim metabolisme obat. Interaksi antara obat yang satu dan yang lain dapat juga terjadi pada tempat absorpsinya, tempat aksinya dan pada ekskresi renalnya. Di samping itu masih juga adanya variabilitas karena perbedaan genetik (poor and efficient metabolizer, rapid and slow acetylator dll.). Sehubungan dengan ini perlu dipertimbangkan tentang kemungkinan perubahan -perubahan dosis atau frekuensi pemberian obat sehari, karena dosis yang tertera di buku-buku farmakologi atau farmakope (dosis standar ) kebanyakan ditentukan pada orang ras Kaukasoid. Karena kemungkinan adanya interaksi - interaksi antara obat yang satu dan yang lain — yang kadang -kadang sukar diperkirakan terlebih dulu itu — maka dokter perlu mengendalikan diri untuk tidak terlalu banyak memberikan obat sekaligus (polypharmacy) pada seorang penderita. Farmakoterapi hams dilakukan secara individual mengingat keadaan penderita : — umur yang muda sekali atau yang tua sekali — sifat-sifat genetik — lingkungan hidup (kebiasaan merokok, minum alkohol, business dan sebagainya). — riwayat sakit dan riwayat pengobatan sebelumnya : derajat sakitnya setelah diobati, berhasil atau tidak berhasil menyembuhkan, efek samping yang merugikan, allergi, interaksi-interaksi, kebiasaan tak dihabiskan atau dimakan tak menurut aturan, kebiasaan mengobati sendiri dan sebagainya. Umur muda sekali l — Makin muda anak, relatif makin besar dosisnya, karena metabolismenya lebih kuat (per kg BB). — Makin tinggi temperatur badan, makin kuat metabolismenya : tiap derajat Celcius kenaikan temperatur badan sesuai dengan 10% kenaikan metabolisme. — Anak terlalu gemuk (obesitas) relatif memerlukan lebih sedikit obat, karena jaringan lemak relatif kurang berpengaruh dalam metabolisme. Karena enzim-enzim detoksifikasi, fungsi renal, pengikatan pada protein serum dan barier darah — otak belum sepurna, maka jangan mudah memberi obat pada bayi. Untuk bayi yang baru lahir (neonatus) penetapan dosis belum ditetapkan secara tepat (akurat). Oliguria pada tiap umur memerlukan pengurangan dosis atau pengurangan frekuensi pemberian obat sehari. Penentuan konsentrasi obat di dalam plasma darah penting untuk memonitor terapi; jadi bukan dosis obatnya waktu diberikan pada penderita. Therapeutic range adalah jarak antara konsentrasi efektif minimal dan konsentrasi efektif maksimal dari obat di dalam plasma darah pada sebagian besar dari populasi. Intoksikasi karena obat dapat diharapkan terjadi, jika konsentrasi obat itu di dalam plasma darah melebihi therapeutic range.
atau
Dosis obat
=
Volume distribusi X konsentrasi obat dalam plasma darah.
Volume distribusi dari obat yang satu berbeda dengan obat yang lain, karena kelarutannya di dalam cairan-cairan badan dan ikatannya pada jaringan jaringan badan berbeda. misalnya : Digoksin (Lanoksin) : — konsentrasi plasma darah terapeutik : 0,9 ng/cc 0,0009 ug/cc 0,0009 mg/L — Vd : 7,5 L/kg dosis obat (initial)
=
7,5 X 0,0009
=
0,00675 mg/kg
Walaupun Vd itu ditentukan dari data yang didapat pada pemberian i.v., juga dapat digunakan untuk pemberian per os dan i.m. Obat-obat yang absorpsi i.m. nya kurang baik, lebih balk diberikan secara i.v. lambat, terutama bila diperlukan onset of action yang cepat (misalnya digoksin, fenitoin, diazepam dan sebagainya). Eliminasi renal Mempertahankan konsentrasi plasma darah terapeutik suatu obat dilakukan dengan memberikan obat dalam dosis yang ekuivalen dengan eliminasinya. Obat-obat poler seperti : penisillin, aminoglykosides dan sebagainya dapat langsung diekskresi oleh ginjal. Kumulasi dapat terjadi jika frekuensi pemberian obat itu lebih cepat dari waktu paruh. Jadi interval pemberian obat harus dilakukan sesuai dengan 1 — 2 waktu paruh. Suatu steady state (plateau) dapat tercapai. Eliminasi hepatik Untuk menentukan dosis dari obat-obat yang dimetabolisir di dalam hepar haruslah berhati-hati, karena hepar mempunyai kapasitas metabolistik yang terbatas. Sehingga ada kemungkinan suatu ketika pemberian dosis multipel tidak dimetabolisir dan konsentrasi obat dalam plasma darah akan naik dengan cepat (lihat gambar). Jika hal ini tidak dikontrol dengan penentuan konsentrasi obat di dalam plasma darah, maka akan terjadi akumulasi. Contoh : Seorang anak mempunyai BB : 20 kg Anak itu mendapat fenitoin tiap 24 jam sekali per os. 4 jam sesudah mendapat obat, konsentrasi plasma darahnya : 18 ug/cc = 18 mg/L. Dekat sebelum diberikan dosis per os yang kedua, pada kontrol ternyata konsentrasi obat di dalam plasma darah menjadi 10 ug/cc = 10 mg/L. Ini berarti bahwa dalam 20 jam (24 — 4) terjadi penurunan konsentrasi obat, karena metabolisme, sebanyak 8 mg/L. Vd fenitoin = 0,75 L/kg, jadi anak dengan BB = 20 kg, Vd nya : 20 x 0,75 = 15 L Dosis = Vd x konsentrasi obat dalam plasma darah Do sis = 15 L x 8 mg/ L = 120 mg Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 33
Jika dosis obat dalam 20 jam adalah 120 mg, maka dalam __ X 120 mg = 144 mg. 24 jam adalah 24 20 Jadi dosis maintenance untuk anak dari 20 kg = 144 mg atau 144 ___ 7,2 mg/kg BB diberikan tiap 24 jam sekali per os. 20 = Gambar : Perbedaan kurve eliminasi langsung oleh ginjal dan eliminasi yang didahului metabolisme oleh hepar.
Volume distribusi (Vd) (dalam L/kg BB). Fenotiazin Asetaminofen Fenobarbital Fenitoin Salisilat Furosemid Teofilin Digoksin Penisilin Benzodiazepin
> 30 10 — 1,0 0,75 0,75 — 0,2 (terapeutik) — 0,6 (toksik)
>
0,2 0,46 7,5 0,2 — 0,3 10
Infus yang kontinyu Dewasa ini beberapa macam obat diberikan secara infus yang kontinyu untuk mendapatkan konsentrasi obat di dalam plasma darah yang konstan (obat - obatnya : teofilin, insulin, tolazoline (alpha-blocker), nitroprusid, lidokain, dopamin). Jika tidak dilakukan kalkulasi dari konsentrasi teofilin di dalam plasma darah, ada kemungkinan konsentrasi ini menjadi rendah, seperti pada infus aminofilin : dosis yang diberikan biasanya 0,9 mg/kg/jam. Pada dosis ini konsentrasi steady state di dalam plasma darah adalah 10 ug/cc Dari daftar konsentrasi terapeutik, dapat kita lihat therapeutic range nya : 7 — 20 ug/cc. Ini berarti bahwa 10 ug/cc itu termasuk therapeutic range yang rendah, dan ini mungkin oleh penderita asma bronkial dirasakan kurang menolong, terutama pada status asmatikus. Jika kita menghendaki konsentrasi steady state dari teofilin itu 15 ug/cc (15 mg/liter), maka :
ROUTE DARI ELIMINASI OBAT
Dosis infus = 15 (mg/liter X 0,1 (L/kg/jam) (mg/kg/jam) (konsentrasi (plasma clearance) plasma darah) Dosis infus = 1,5 mg/kg/jam
Renal
Hepatik
Digoksin (25%) Fenobarbital (25%) Aminoglikosid Furosemid Penisilin
75% 75% Salisilat Teofilin Fenitoin Asetaminofen Alkohol Kafein
Konsentrasi terapeutik obat dalam plasma darah. Digoksin Fenobarbital Salisilat Teofilin Fenitoin Asetaminofen Alkohol (etanol) (bergejala) Prokainamida Quinidin Sulfisoksazol
34
0,9 15 7
— 2,4 — 30 < 350 — 20 10 — 20 10 — 20
ng/cc ug/cc ug/cc ug/cc ug/cc ug/cc
1000 4 — 6 3 — 5 100
ug/cc ug/cc ug/cc ug/cc
Cermin, Dunia Kedokteran No. 37 1985
Infus yang kontinyu harus diawali dengan pemberian loading initial dose, sehingga konsentrasi teofilin dalam plasma darah menjadi 15 ug/ cc.
Umur tua sekali : Dari segi biologis, yang dimaksudkan di sini ialah orang berumur 75 tahun atau lebih, walaupun ada juga yang menganggap orang tua sekali itu berumur lebih dari 50 tahun2 . Pengobatan pada umur yang lanjut ini sering tidak rasional, karena penderita mungkin kurang mengerti maksud pengobatan itu, sehingga sering menggunakan obatnya menurut pikirannya sendiri yang tidak benar dan juga mereka sering lupa minum/makan obatnya pada waktu-waktu yang ditentukan. Dalam hal ini dokter harus menerangkan dengan jelas cara menggunakan obat itu, atau ditulis pada kertas khusus dengan jelas, atau diberitahukan pada pengantar penderita tua itu. Juga, kalau dapat, dokter menentukan rejimen terapi yang sederhana. Sehubungan dengan ini perlu dikemukakan, 20 — 25% dari penderita tua itu mengalami reaksi -reaksi obat yang merugikan dan ini sering juga disebabkan karena interaksiinteraksi polifarmasi 2 . Respon penderita dari golongan ini terhadap banyak obat berbeda dengan penderita dewasa muda, karena absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresinya berbeda. Perbedaan pada orang tua sekali dalam absorpsi melalui dinding usus
dapat disebabkan karena berkurangnya aliran darah splanknik, naiknya pH lambung dan berkurangnya transfer aktif maupun pasif. Sebaliknya, ada perlambatan dari motilitas usus teoritis menambah absorpsi obat. Pada orang tua, kemungkinan terdapat penambahan jaringan lemak, sedangkan cairan badan total, volume plasma, caftan intersisial dan massa badan tanpa lemak berkurang. Ini dapat mengurangi volume distribusi dari obat yang larut dalam air, dan menambah volume distribusi dari obat yang larut dalam lemak. Dosis standar dari obat yang larut dalam air pada keadaan penderita itu akan mudah menimbulkan intoksikasi. Pada berkurangnya albumin (protein pengikat obat) yang mungkin terdapat pada orang tua, obat bebas (free drug) tentunya lebih banyak dan ini dapat menyebabkan intoksikasi. Pengurangan cardiac output dan penambahan tahanan vaskuler perifer dapat juga mengurangi aliran darah renal dan hepatik. Ini juga dapat menyebabkan intoksikasi dari obat dengan dosis standar, karena eliminasinya (metabolisme dan ekskresi) berkurang, lebih-lebih karena kemampuan untuk transformasi enzimatik obat berkurang. Glomerular filtration rate dari orang berumur antara 20 — 90 tahun rata-rata berkurang 355. Karena itu, dan karena masa badan tanpa lemak juga berkurang, sehingga produksi kreatinin endogen berkurang. Maka berkurangnya creatinin clearance karena gangguan fungsi renal dapat tersembunyi, sebab disangka normal. Pemberian obat-obat anti hipertensi mudah menimbulkan hipotensi ortostatik, karena tahanan dalam pembuluh-pembuluh darah perifer pada orang tua bertambah dan kekuatan otot jantung berkurang. Pada semua umur juga berlaku : — Pada edema, relatif diperlukan sedikit obat. — Penyakit hati dan ginjal relatif memerlukan obat dengan dosis yang dilcurangi, karena berkurangnya eliminasi (metabolisme dan ekskresi) obat. — Obat jangan diberikan pada idiosinkrasi. — Rejimen terapi harus ditentukan berdasarkan observasi klinik dan dengan pertolongan pemeriksaan laboratorik. — Obat lama yang sudah diketahui baik jangan diganti dengan obat baru yang belum dikenal baik sifat-sifatnya. Sifat-sifat Genetik Farmakoterapi terhadap penderita yang mempunyai dasar genetik tertentu harus disesuaikan. Contoh-contoh dalam hal ini di antaranya adalah : — Rejimen terapi Isoniazid dan Hydralazine perlu disesuaikan dengan adanya asetilator cepat atau lambat, sekalipun perbedaannya tidak banyak. — Jangan memberi terapi dengan kinin, kinidin, sulfonamida, kloramfenikol, acetosal dan sebagainya pada penderita dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase, karena dapat menyebabkan hemolisis. lingkungan hidup Kebiasaan-kebiasaan dalam hidup seorang penderita seringkali menyebabkan respon yang berubah terhadap obat. Seorang perokok berat misalnya, memerlukan lebih banyak mikronutriensia dan nutriensia dari pada bukan perokok, karena absorpsi melalui dinding usus terganggu (iritasi mukosa usus oleh asap rokok yang tertelan). Di samping itu, zat-zat
yang terdapat di dalam asap rokok merupakan inducer dari microsomal drug metabolizing enzymes.
Berdasarkan ini, dosis obat per os perlu ditinggikan untuk mendapat efek yang diinginkan. Berapa besar dosis obat yang harus diberikan tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma darah dan tergantung dari sensitivitas tempat aksi obat. Pengobatan terhadap peminum alkohol perlu didasari pengetahuan tentang kemungkinan adanya sinergisme dengan depresansia umum (alkoholisme akut), atau adanya toleransi farmakodinamika dan farmakokinetika (alkoholisme kronik). Juga perlu disadari bahwa karena adanya gangguan absorpsi di traktus digestivus, pemberian obat per os harus ditinggikan dosisnya. Penderita yang aktif sekali dalam kehidupan sehari-hari jika mungkin jangan diberi obat yang menekan aktivitas mental, dan jangan diberi rejimen terapi yang mengharuskan penderita itu seringkali memakan atau meminum obat, karena kemungkinan lupa itu besar. Selanjutnya yang juga penting untuk diperhatikan ialah riwayat sakit serta pengobatannya yang lalu, karena mungkin dapat berpengaruh baik ataupun buruk terhadap pengobatan yang akan diberikan sekarang. Riwayat sakit yang lalu perlu diketahui, karena kemungkinan berhubungan dengan penyakit sekarang. Apalagi jika penyakit yang lalu dapat diperkirakan belum sembuh benar atau meninggalkan bekas kelainan yang memudahkan terjadinya penyakit sekarang. Riwayat pengobatan yang lalupun penting untuk diketahui, sehingga memudahkan dokter memberi pengobatan yang tepat. CARA PEMBERIAN OBAT Tentang cara pemberian obat selanjutnya perlu juga ditentukan sesuai dengan situasi dan kondisi medis penderita. Jika tidak ada keperluan khusus dan tidak ada halangan, maka pemberian obat secara oral paling banyak dilakukan (lebih dari 80%)3 . Juga pada pemberian obat secara oral ini terdapat banyak variabel-variabel antara penderita yang satu dan yang lain, bahkan juga pada satu penderita dalam situasi dan kondisi yang berbeda, karena perbedaan dalam produksi, sifat dan komposisi dari getah-getah lambung dan usus, kecepatan pengosongan lambung, ada atau tidak adanya zat makanan, keadaan patologis dari saluran pencernaan dan sebagainya. 4 Adanya gangguan-gangguan emosional, terutama di negara maju yang separuh sampai dua pertiga dari penderita merupakan penyebab dari gangguan gastrointestinal. dapat mengganggu absorpsi obat. Dengan tidak memperhatikan kebiasaan dan cara hidup (merokok, makan, minum dan sebagainya) penderita, maka terapi rasionalpun kadang-kadang tidak memberi hasil yang diharapkan. Pemberian kemoterapeutika pada diare tanpa usaha mengurangi frekuensi peristaltik, tentunya tak rasional. PENUTUP Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat drtarik kesimpulan : 1). Setelah berusaha menegakkan diagnosis penyakit secara medis rasional melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
35
laboratorik, maka dokter perlu mengetahui dengan baik patologi dan patofisiologi penyakitnya, dan secara logis-metodissistematis menentukan penanggulangannya untuk secara medis rasional mengembalikan homeostasis badan, tidak kurang dan tidak berlebihan. 2). Jika farmakoterapi diperlukan, maka dengan melalui penyesuaian secara rasional patologi dan patofisiologinya dengan obat, menurut prinsip-prinsip farmakologi klinik dengan memperbesar rasio keuntungan : kerugian, dan memperkecil rasio ongkos : keuntungan, diharapkan penyakitnya dapat disembuhkan atau setidak-tidaknya penderitaan dapat dikurangi secara tidak berlebihan. Karena farmakoterapi demikian itu hanya mengobati halhal yang esensial saja, maka tak lain terapi itu harus juga dilakukan dengan menggunakan obat-obat yang esensial.
KEPUSTAKAAN
1. Silves HK, Obrien D. (ed) Current Pedriatric Diagnosis & Treatment, 6th ed, Los Altos, California: Lange Medical Publications, 1980; 1029-1047. 2. Birket DJ, Wing LMH. Drug Treatment in Old Age, Medical Progress, 1984; 11 (6): 41-48. 3. Melmon KL, Morrelli HF. Clinical Pharmacology, Basic Principles in Therapeutics, New York: The Macmillan Company, 1972; 3 - 58, 534-544. 4. Levine RR. Factors Affecting Gastrointestinal Absorption of Drugs, American Journal of Digestive Disorders, 1970; 15: 171-188. 5. Anderson RJ et al : Therapeutic considerations for Elderly Hypertensives, Clinical Therapeutics, 1982; 5: 25-35. 6. Birket DJ et al. Fundamentals of Clinicals Pharmacology. Drug 1979; 6 (8): Absorption and Bioavailability, Medical Progress 51-56. 7. Blackwell B : Drug Therapy, The New England, 1973; 289 (5): 249-252. 8. Isselbacher KJ, Adams RD, Brauwald E, Petersdorf RG, Wilson JD. Harrison's Principles of Internal Medioine, 9th ed., Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd., International Student Edition, 1980; 372-383. Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simposium Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.
36
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Ketersediaan Hayati Sediaan Pelepasan Lambat Drs Victor S Ringoringo, Apt
Pengembangan teknologi formulasi baru pada dua dekade terakhir banyak ditekankan pada pengembangan bentuk sediaan obat yang dapat melepaskan obat secara terkontrol. Salah satu di antaranya adalah pengembangan bentuk sediaan obat yang, didisain untuk meningkatkan durasi aksi obat yang terkandung di dalamnya. Beberapa jenis bentuk sediaan obat yang dikembangkan untuk maksud ini adalah l ,2 • Sediaan pelepasan lambat • Sediaan aksi diperpanjang • Sediaan aksi berulang Ketiga jenis sediaan di atas dapat dibedakan sebagai berikut : Sediaan pelepasan lambat Obat dalam sediaan pelepasan lambat mempunyai sistem pelepasan obat yang unik, yaitu mula-mula dilepaskan kirakira separuh dari dosis total yang merupakan dosis inisial, kemudian diikuti dengan pelepasan sisa obat secara bertahap dan seragam selama periode waktu tertentu. Tujuan sediaan ini adalah untuk memperoleh kadar terapeutik obat dalam darah dengan cepat, dan mempertahankan kadar tersebut selama periode waktu tertentu. Sediaan aksi diperpanjang Sediaan ini melepaskan obat dengan laju pelepasan tertentu, yang dapat menghasilkan durasi aksi obat yang lebih panjang dibandingkan dengan pemberian dosis tunggal yang normal. Sediaan ini berbeda dengan sediaan pelepasan lambat yaitu tidak adanya dosis inisial.
darah sama dengan pemberian obat secara intermiten dengan dosis tunggal. Sediaan pelepasan lambat didesain untuk memberikan kadar obat dalam darah yang adekuat selama periode waktu tertentu untuk mendapatkan keuntungan -keuntungan klinik, yaitu : 1. meningkatkan hasil terapi obat, berupa peningkatan efektivitas dan penurunan efek samping serta efek toksik obat 2. meningkatkan kepatuhan penderita dengan aturan dosis yang lebih menyenangkan 3. untuk obat tertentu, dari segi ekonomi dapat diperoleh penghematan biaya pengobatan Tetapi di samping keuntungan-keuntungan di atas, ada pula kerugian-kerugian dalam pemakaian sediaan pelepasan lambat yaitu 1. tidak adanya fleksibilitas aturan dosis 2. untuk beberapa obat harganya semakin mahal oleh karena penerapan teknologi yang tinggi 3. adanya risiko over dosis 1,2 FARMAKOKINETIKA SEDIAAN PELEPASAN LAMBAT Dengan menggunakan konsep sederhana model farmakokinetika satu kompartemen terbuka, efek laju pelepasan lambat terhadap kadar obat dalam darah dapat digambarkan sebagai berikut4 :
Sediaan aksi berulang Sediaan aksi berulang didesain untuk melepaskan dengan segera satu dosis tunggal, kemudian diikuti dengan pelepasan dosis tunggal kedua, ketiga dan selanjutnya setelah interval waktu tertentu. Keuntungan utama dari sediaan ini adalah berkurangnya frekuensi pemberian obat. Tetapi kadar obat dalam Disajikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi dan Simposlum Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984.
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
37
Keterangan 1. (fi ) dan (fs ) adalah fraksi dosis obat formulasi sediaan pelepasan lambat yang memberikan pelepasan cepat dan pelepasan lambat 2. ki dan kr adalah tetapan laju pelepasan obat fraksi pelepasan cepat dan fraksi pelepasan lambat 3. k a dan ke adalah tetapan laju absorpsi dan eliminasi 4. Ci dan C~ adalah kadar obat yang dilepaskan pada tempat pemberian obat dan fraksi pelepasan cepat dan fraksi pelepasan lambat 5. Cb dan ce adalah kadar obat yang diabsorpsi dan yang dieliminasi
Dengan demikian uji ketersediaan hayati hendaknya memuat data in vivo tentang profil farmakokinetika, data ketersediaan hayati yang komparabel dengan standar, dan reprodusibilitas prilaku in vivo.
Fraksi pelepasan cepat didesain untuk mencapai kadar terapeutik dengan cepat, dan fraksi pelepasan lambat didesain untuk mempertahankan kadar terapeutik tersebut1
1. sediaan larutan atau suspensi dari obat yang sama 2. sediaan konvensional dengan aturan dosis biasa yang mengandung zat aktif yang sama 3. sediaan pelepasan lambat standar 4. sediaan lain.
EVALUASI SEDIAAN PELEPASAN LAMBAT Pengembangan sediaan pelepasan lambat bertujuan : 1. absorpsi obat dari sediaan pelepasan lambat yang maksimal 2. meminimalisir variabilitas antar pasien. Pada pengembangan sediaan pelepasan lambat, pendekatan yang dilakukan adalah dengan memodifikasi laju pelepasan obat dengan manipulasi farmasetika, yang dapat merubah laju absorpsi obat dan kadar obat dalam darah. Oleh karena itu harus ada jaminan dan bukti ilmiah bahwa efektivitas absorpsi obat tidak terganggu, dan variabilitas tidak meningkat 4 . Menurut FDA 4 , obat-obat dalam sediaan pelepasan lambat dianggap sebagai obat baru, sehingga harus memenuhi persyaratan keamanan dan khasiat obat secara klinik. Sama seperti obat baru dalam bentuk sediaan konvensional, persetujuan terhadap sediaan pelepasan lambat berdasarkan pada evaluasi khasiat dan keamanan secara klinik dan bukti karakteristik pelepasan lambatnya.
Standar pembanding Produk standar pembanding untuk uji ketersediaan hayati sediaan pelepasan lambat dapat berupa5
Metoda uji ketersediaan hayati sediaan pelepasan lambat Dosis tunggal a) Dosis tunggal sediaan pelepasan lambat dibandingkan dengan dosis tunggal sediaan pelepasan cepat yang konvensional. Profil farmakokinetika obat dengan t½ 1,7 jam dalam sediaan pelepasan cepat dan sediaan pelepasan lambat dapat dilihat pada Gambar 1 berikut4 :
Persyaratan keamanan dan khasiat Untuk obat yang dalam sediaan konvensional telah diketahui aman dan efektif : 2 6 10 14 16 20 26 1. diperlukan suatu studi klinik terkontrol untuk membuktiWaktu (jam) Gambar 1. Simulasi kurva kadar obat dalam plasma vs waktu dari kan keamanan dan keefektifan obat tersebut dalam sediaan obat dengan t½ 1,7 jam berdasarkan model farmakokinetika satu pelepasan lambat 2. data ketersediaan hayati obat dalam sediaan pelepasan lam- kompartemen. bat. Tampak bahwa pada sediaan pelepasan lambat, kurva berbenSedangkan untuk obat yang dalam sediaan pelepasan lam- tuk flat sedang sediaan pelepasan cepat berupa lembah dengan bat telah terbukti aman dan efektif, diperlukan adanya : puncak yang tinggi. 1. data ketersediaan hayati yang komparabel dengan standar Keefektifan dan keamanan obat dalam sediaan pelepasan lamsediaan pelepasan lambat obat sejenis. bat ini harus dibuktikan secara klinik, dan dibandingkan de2. data ketersediaan hayati yang pada keadaan mantap (steady- ngan sediaan pelepasan cepatnya. state) komparabel dengan obat sejenis dalam sediaan pe- b) Dosis tunggal sediaan pelepasan lambat dibandingkan delepasan cepat yang konvensional. ngan dosis berganda sediaan pelepasan cepat yang konvenData ketersediaan hayati dapat berupa profil kadar obat sional. Profil kadar obat dalam darah sediaan pelepasan lambat dalam darah dan profil kecepatan ekskresi melalui urin pada dengan t½ 1 jam, yang dibandingkan dengan 3 dosis berturutkeadaan mantap 4 . an dari obat yang sama dengan sediaan pelepasan cepat dapat Uji ketersediaan hayati sediaan pelepasan lambat ber- dilihat pada Gambar 2 4 . tujuan untuk menentukan apakah kondisi berikut ini dipe- Terjadi penurunan kadar puncak sampai 30% pada. sediaan nuhi atau tidak s pelepasan lambat, tetapi luas area di bawah kurvanya relatif 1. produk sediaan pelepasan lambat tersebut memenuhi sama bila dibandingkan dengan sediaan pelepasan cepat. Profil persyaratan pelepasan lambat atau tidak. Dengan perkataan kadar obat dalam darah sediaan pelepasan lambat harus berlain, apakah memang benar produk tersebut merupakan se- ada dalam batas-batas kadar terapi obat tersebut. Hal ini diaan pelepasan lambat ? harus dikaitkan dengan efektivitas dan keamanan secara klinik. 2. keadaan mantap yang ditunjukkan ekivalen dengan produk Dosis berganda biasa yang mengandung zat aktif yang sama Seringkali tidak mungkin untuk mengevaluasi dengan baik 3. formulasi produk tersebut menunjukkan profil farmakoki-. ketersediaan hayati sediaan pelepasan lambat berdasarkan netika yang konsisten dosis tunggal, sehingga penelitian ketersediaan hayati dosis
38
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
yaitu : metoda flow trough system dan metoda rotatingbottle. Pada metoda rotating bottle, sediaan pelepasan lambat dapat diuji pelepasannya pada berbagai variasi pH yaitu mulai dari pH 1,2 (1 jam), pH 2,5 (1 jam), pH 4,5 (1,5 jam), pH 7 (1,5 jam), dan pH 7,5 (2 jam). Urutan pH ini menggambarkan perubahan pH mulai dari lambung sampai ke usus. Dianjurkan untuk melakukan uji disolusi in vivo dan uji ketersediaan hayati in vivo secara bersamaan. Uji in vitro yang berkorelasi baik dengan uji in vivo dapat dipakai untuk memperkirakan ketersediaan hayati sediaan pelepasan lambat in vivo.
Gambar 2. Simulasi kurva kadar vs waktu dari sediaan pelepasan cepat (1) dan sediaan pelepasan lambat (2) dari obat dengan t½ 1 jam.
berganda sediaan pelepasan lambat perlu dibandingkan dengan dosis berganda sediaan pelepasan cepat yang konvensional. Dalam hal ini parameter -parameter yang dipakai sebagai kriteria adalah4 : 1) kadar obat plasma dalam keadaan mantap harus diperoleh pada obat sediaan pelepasan lambat dan obat sediaan pelepasan cepat pada sejumlah sukarelawan yang cukup. 2) penentuan kadar pada keadaan mantap harus ditentukan dengan membandingkan nilai-nilai Cmin (trough) pada 3 hari atau lebih. 3) kegagalan dalam memperoleh kadar keadaan mantap pada sebagian besar sukarelawan menunjukkan kurang patuhnya pasien atau kegagalan dalam formulasi. 4) perbandingan parameter -parameter farmakokinetika seperti Cmin, AUC dan lain-lain hanya terbatas pada subyek yang mencapai keadaan mantap. 5) perbandingan AUC selama interval pemberian dosis hanya dibenarkan bila kedua obat yang diuji dan obat standar berada pada keadaan mantap. Kalau tidak, perbandingan secara teoritis tidak valid. Evaluasi in vitro Walaupun belum ada metoda evaluasi in vitro yang dapat meniru dengan sempurna keadaan in vivo yang sebenarnya, 'uji in vitro dapat dikembangkan untuk mensimulasi pelepasan obat secara lambat dari sediaannya. Metoda in vitro yang dapat dikembangkan untuk mengevaluasi sediaan pelepasan lambat yaitu dengan uji laju disolusi4,6 . Persyaratan uji disolusi in vitro yaitu : 1. metoda yang reprodusibel 2. pemilihan medium yang tepat 3. hidrodinamika larutan yang terkontrol baik 4. pemilihan sink condition yang tepat. Walaupun belum ada metoda yang resmi secara kompendial, ada beberapa metoda yang sekarang terus dikembangkan,
KESIMPULAN Di dalam mengevaluasi suatu obat dalam sediaan pelepasan lambat, faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan adalah : 1. Sifat-sifat farmakokinetika, farmakodinamika, dan toksikologi obat. 2. Ketersediaan hayati 3. Karakteristik pelepasan lambat 4. Reprodusibilitas in vivo 5. Profil farmakokinetika yang menunjukkan pelepasan lambat 6. Bukti klinik yang mendukung keamanan dan keefektifan sediaan pelepasan lambat. LAMPIRAN I UJI KETERSEDIAAN HAYATI SEDIAAN PELEPASAN LAMBAT PAPAVERIN HC1 Karakteristik papaverin HCI — pKa = 6,4 — Cmaks pada dosis 300 mg sediaan pelepasan cepat = 1 mcg/ ml — t½ = 90 — 120 menit. — Sediaan pelepasan lambat berupa encapsulated pellets atau granules dengan dosis 150 dan 300 mg, interval pemberian obat, T = 8 — 12 jam. Kriteria uji ketersediaan hayati 1. Uji ketersediaan hayati hendaknya dilakukan dengan disain menyilang (complete cross-over design) dengan menggunakan larutan papaverin HC1 sebagai standar pembanding. 2. Jumlah sukarelawan 20 orang. 3. Sukarelawan diperiksa kesehatannya, meliputi pemeriksaan fisik dan laboratoris. Hanya sukarelawan. sehat yang boleh diikutsertakan dalam penelitian. 4. Sukarelawan berumur 18 — 50 tahun dengan berat badan ± 10% dari berat badan idealnya. 5. Sukarelawan tidak diperkenankan meminum obat apapun selama 1 minggu sebelum penelitian berlangsung. 6. Sukarelawan harus berpuasa 8 jam sebelum uji dilaksanakan. Obat diminum dengan 240 ml air. Minuman dan makanan lain tidak boleh diberikan selama 4 jam sesudah pemberian obat. Komposisi makanan harus diseragamkan. 7. Sampel darah harus dikumpulkan selama 12 jam atau lebih setelah pemberian obat. 8. Sampel serum atau plasma hendaknya dianalisis dengan metoda spesifik terhadap papaverin HC1 dengan sensitivitas
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
39
0,01 mcg/ml. 9. Wash-out selama interval 1 minggu. 10. Data yang dianalisis mencakup kadar papaverin HC1 pada setiap periode sampling, Cmaks, tmaks, dan AUC. 11. Data kadar papaverin HC1 dalam darah pada setiap sampling hendaknya dianalisis dengan analisis varian untuk menguji perbedaan antara obat yang diperbandingkan. 12. Bila sediaan pelepasan lambat tersebut dinyatakan ekivalen terhadap regimen dosis-berganda suatu produk dengan pelepasan cepat yang normal, maka data harus diberikan untuk membuktikan pernyataan tersebut. Rujukan : Dittert LW, Disanto AR. The Bioavailability of Drug Products. Cumulative Edition. Washington : American Pharmaceutical Association, 1978 : 71-74.
Gambar 3. Simulasi kadar teofilin dalam serum tyh = 3,7 jam) ratarata pada anak dari beberapa formulasi teofilin yang berbeda. Keterangan : __________ = --------- = ..................... = –.–.–.–=
absorpsi konstan tablet biasa formulasi sediaan pelepasan lambat yang diabsorpsi sempurna dan reliabel formulasi sediaan pelepasan lambat yang diabsorpsi tidak sempurna dan eratik
Dikutip dari : Weinberger M, Hendeles L, and Johnson G. Rationale and Procedures for Measuring Serum levels of Theophylline. Dalam : Baer DM, Dito WR. Interpretations in Therapeutic Drug Monitoring. Chicago : American Society of Clinical Pathologists, 1981 : 125.
KEPUSTAKAAN 1. Notari RE. Biopharmaceutics and Clinical Pharmacokinetics. Third Edition. New York : Marcel Dekker, Inc, 1980 : 152-72. 2. Ballard BE. Prolonged Action Pharmaceuticals. Dalam : Osol A, ed. Remington's Pharmaceutical Sciences. 16 th Edition. Pensylvania : Mack Publishing Company, 1980: 1594‚1602. 3. McGinty, Stavchansky, and Martin. Bioavailability in Tablet Technology. Dalam : Lieberman HA, Lachman L. Pharmaceutical Dosage Forms. Volume II (Tablets). New York : Marcel Dekker, Inc., 1980: 434‚39. 4. Cabana. BE, Chien YH. Regulatory Considerations in Controlled Release Medications. PJB Publications Limited. 5. The National Archives of the United States. Code of Federal Regulations. 21 Parts 300 to 499. Washington : US. Government Printing Office, 1982: 123. 6. Hanson WA. Handbook of Dissolution Testing. Oregon : Pharmaceutical Technology Publications, 1982: 45 -61.
40
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Strategi Penelitian Farmakokinetika Drs Imono Argo Donatus SU Jurusan Bio Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada
PENDAHULUAN Seperti telak diketahui, mutu suatu produk obat ditentukan oleh persyaratan keamanan, kemanjuran, dan akseptabilitas yang dipenuhinya, ketika obat tersebut dipergunakan. Manjur, bararti obat dapat sampai sel sasaran dengan kadar yang tepat guna. Namun untuk mengukur kadar obat di sel sasaran ini, merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkan tak berlebihan jika dikatakan sebagai suatu hal yang sangat sulit dan riskan untuk dilakukan pada manusia. Karenanya timbullah permasalahan di sini, yakni: bagaimana cara menaksir dan mengkaji ketepatgunaan obat di sel sasaran serta nasibnya di dalam badan? Penelitian farmakokinetika merupakan salah satu alternatif jawaban terhadap permasalahan tersebut. Seperti penelitian pada umumnya, agar tujuan penelitian dapat dicapai seefektif dan seefisien mungkin, perlu disusun suatu strategi pencapaiannya. Demikian pula halnya dalam penelitian farmakokinetika. Karenanya, dalam makalah ini akan dipaparkan dan dikaji tentang strategi penelitian farmakokinetika yang meliputi: pengertian dan arti penting serta penerapan atau operasional strategi penelitian farmakokinetika.
dilalui oleh obat. Yaitu meliputi tahap farmasetika, tahap farmakokinetika, dan tahap farmakodinamika. Tahapan farmakokinetika (absorpsi, distribusi, biotransfonnasi, ekskresi) merupakan tahapan yang berfungsi untuk menyediakan obat agar berada di dalam sirkulasi sistemik, sehingga obat dapat menjalankan aksinya seperti yang diharapkan. Karenanya, fraksi dosis yang mencapai sirkulasi sistemik dinyatakan sebagai ketersediaan hayati atau ketersediaan biologis obat.
PENGERTIAN DAN ARTI PENTING Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan eliminasi (biotransfonnasi dan ekskresi) suatu obat di dalam badan1 . Takrif (definisi) tersebut mengandung pengertian: dalam farmakokinetika akan dipelajari proses perpindahan atau nasib obat di dalam badan. Nasib obat di dalam badan dapat dikaji melalui pentahapan aksi hayati atau biologisnya, seperti terlihat pada gambar 1. Di situ jelas terlihat, untuk dapat menimbulkan efek seperti yang diharapkan terdapat tiga tahapan penting yang akan * Dipresentasikan pada Seminar Berkala I Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia dan Simposium Farmakokinetika Klinik - Yogyakarta, 3 - 4 Desember 1984. Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 41
Pada dasarnya strategi adalah suatu rencana yang disusun sebelumnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dengan demikian, berdasarkan atas fungsi tahapan farmakokinetika obat, dalam makalah ini strategi penelitian farmakokinetika ditakrifkan sebagai: suatu rencana yang disusun sebelum meneliti tahapan farmakokinetika obat, guna memperoleh informasi tentang ketersediaan hayati atau ketersediaan biologisnya. Takrif atau definisi tersebut mengandung pengertian: 1). obyek penelitian farmakokinetika adalah tahap farmakokinetika obat yakni proses absorpsi, distribusi, dan eliminasi; 2). hasil penelitian farmakokinetika merupakan informasi tentang nilai ketersediaan hayatinya; 3). nilai ketersediaan hayati obat akan berguna untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan efek farmakologik obat yang diwujudkan sebagai onset, durasi, dan intensitas efek; 4). agar kesahihan (validitas) penjelasan, peramalan, dan pengendaliannya dapat diandalkan, perlu disusun suatu rencana yang canggih sebelum menjalankan penelitian farmakokinetika. Telah dijelaskan di atas bahwa obyek penelitian farmakokinetika adalah tahap farmakokinetika obat. Sebagai tolok ukurnya adalah parameter farmakokinetika. Banyak takrif (definisi) tentang parameter farmakokinetika, namun dalam makalah ini hanya akan dipaparkan satu takrif yang paling sederhana, yakni yang diajukan oleh Reilley (1974). 3 Oleh Reilley, parameter farmakokinetika ditakrifkan sebagai besaran yang diturunkan secara matematik dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin. Dari takrif yang sederhana ini, tersirat beberapa pengertian dasar yang memiliki arti penting dalam menyusun strategi penelitian farmakokinetika. Pertama, dari kata matematik, tersirat pengertian bahwa harga parameter yang diukur merupakan harga pendekatan. Selain itu juga tersirat, dalam menghitung parameter farmakokinetika, diperlukan asumsi-asumsi tertentu seperti ordo kinetika dan model kompartemen badan. Kedua, dari perkataan kadar obat atau metabolitnya, terkandung pengertian bahwa pemilihan metode penetapan kadar terutama harus didasarkan pada spesifitas metode yang akan dipergunakan. Ketiga, dari perkataan darah atau urin, terkandung pengertian bahwa pemilihan cuplikan hayati atau biologis harus didasarkan pada pertimbangan - pertimbangan yang rasional dan mendasar. Berdasarkan atas pengertian parameter farmakokinetika dan urutan pelaksanaan penelitian farmakokinetika, yang termasuk dalam strategi penelitian farmakokinetika adalah: (1) pemilihan rancangan uji coba, (2). pemilihan subyek uji dan jumlahnya, (3) pemilihan cuplikan hayati (biologis), (4) pemilihan metode analisis, (5) pemilihan takaran dosis, (6) pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan hayati, (7) analisis dan evaluasi hasil. Strategi tersebut perlu dipertimbangkan sebelum melaksanakan penelitian farmakokinetika. Mengapa demikian? Karena kesahihan hasil penelitian tergantung pada kecanggihan penerapan strategi tersebut. Dengan perkataan lain, penerapan strategi penelitian farmakokinetika memiliki arti penting dalam menjamin keterandalan dan kesahihan hasil penelitian.
42
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Artinya, ketetapan pengukuran parameter farmakokinetika suatu obat dapat terjamin, sehingga penerapannya dalam sistern pengobatan dapat memiliki nilai yang tepat guna dan berhasil guna. PENERAPAN STRATEGI Pada dasarnya penelitian farmakokinetika dikerjakan pada tahap praklinis maupun tahap uji klinis suatu obat. Oleh karena itu, penerapan strategi penelitiannya juga harus disesuaikan dengan kondisi yang ada pada kedua tahap tersebut, di samping tujuan yang akan dicapainya. Pemilihan rancangan uji coba Keberhasilan suatu penelitian takkan lepas dari metodologi penelitian dan rancangan uji coba yang diterapkan, sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Demikian pula halnya dengan penelitian farmakokinetika. Tergantung pada tujuan yang akan dicapai, maka ketepatan pemilihan rancangan uji coba akan menentukan keterandalan dan kesahihan hasil ujinya. Misalnya jika kita ingin mengetahui harga parameter farmakokinetika suatu obat pada subyek sehat, rancangan uji coba yang kita tetapkan kemungkinan akan berbeda jika kita ingin mengetahuinya pada subyek sakit. Mengapa demikian? Karena pada subyek sakit mungkin terdapat keterbatasan-keterbatasan tertentu seperti jarak antara mulai sakit dan sembuh, sehingga terkadang tidak memungkinkan diterapkannya rancangan pola silang yang dapat diterapkan pada subyek sehat. Dalam memilih rancangan uji coba, perlu pula dipertimbangkan adanya berbagai variabel yang melekat pada subyek uji rnaupun pada sistem penelitiannya sendiri. Variabel-variabel tersebut dinyatakan sebagai variabilitas antar subyek 4 (misal umur, berat badan, daya tahan, kemampuan metabolisme), variabilitas karena perlakuan (misal dosis yang berbeda, formulasi yang berbeda), waktu (efek waktu dapat disebabkan oleh pembahan lingkungan, kelelahan, efek sisa suatu perlakuan atas perlakuan lainnya), variabilitas dalam subyek, dan residual yakni variabditias yang tidak dapat diidentifikasi seperti kesalahan penetapan kadar dan lain sebagainya. Variabel-variabel tersebut dapat diperkecil efeknya dengan suatu rancangan uji-coba yang tepat. Rancangan yang sering dipergunakan dalam penelitian farmakokinetika meliputi rancangan acak lengkap (completely randomized design) dan rancangan pola silang (cross over design). Rancangan acak lengkap dipergunakan jika variabel luar tidak diketahui, atau bila pengaruh variabel ini yang sengaja tidak dikontrol terhadap variasi subyek, adalah sangat kecil. Rancangan ini juga dipakai jika diketahui bahwa subyek keadaannya seragam dan inferensi yang dibuat berdasarkan hasil percobaan tidak dimaksudkan sebagai inferensi yang bersifat percobaan tidak dimaksudkan sebagai inferensi yang bersifat luas serta berlaku untuk populasi yang lebl beragam5. Sebagai contoh, jika kita akan menilai ketersediaan hayati komparatif antara produk A dan B, maka sejumlah subyek dibagi ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama mendapat produk A dan kelompok kedua produk B, seperti terlihat pada tabel 1. Sedang jika tiga produk obat yang diperbandingkan rancangan uji-coba terlihat pada tabel 2. Perlu diingat bahwa rancang-
an ini memiliki satu kelemahan. Yakni, walaupun randomisasi dan matching telah dilakukan sejauh mungkin, namun kemampuan metabolisme di antara subyek itu mungkin masih tetap ada. Karenanya, dapat dimengerti jika rancangan ini tidak disarankan jika hasil ujinya dipergunakan untuk inferensi populasi yang lebih beragam. Tabel 2
Tabel 1 C•atoh rancanBan acak lengkap lengkap dengan 2 perkkuan A dan B.
Contoh rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan A, B, dan C.
Kelompok
Kelompok
I
I
II
Tabel 5.
11
III
•
•
•
•
•
A
B
A
B
C
Memperhatikan keterbatasan rancangan acak lengkap tersebut, maka dlkembangkan suatu rancangan yang lebih representatif untuk inferensi populasi, yakni rancangan pola silang. Rancangan ini terutama ditujukan untuk memperkecil pengaruh variabilitas dalam subyek di samping variabilitas waktu dan sebagainya. Misalnya dalam contoh teradahulu, dua produk A dan B dibandingkan harga ketersediaan hayatinya, maka masing-masing subyek akan menerima kedua produk tersebut pada waktu yang berbeda. Dengan demikian masing -masing subyek akan berlaku sebagai kontrol terhadap ia sendiri. Dalam rancangan ini dikenal dua macam rancangan pola silang, yakni blok lengkap dan blok tak lengkap. Blok lengkap artinya setiap subyek mendapat perlakuan yang lengkap, misal A dan B atau A, B, dan C, seperti terlihat pada tabel 3 dan 4. Contoh rancangan pola silang blok lengkap, 2 perlakuan A dan B, 12 subyek.
Tabe1 3. Kelompok
Periode waktu
1 ............ 6 7 .............12
I II Tabel 4.
subyek
I
II
A B
B A
Contoh rancangan pola silang blok lengkap, 3 perlakuan A, B, dan C, 12 subyek.
Kelompok
subyek
Periode waktu I II III
I II III IV V VI
1 3 5 7 9 11
A B C A B C
2 44 6 8 10 12
B C A C A B
perlakuan. Rancangan ini biasanya dipergunakan jika perlakuan yang akan diperbandingkan sama dengan, atau lebih besar dari pada empat perlakuan, seperti terlihat pada tabel 5. Rancangan ini disarankan untuk dipilih berdasarkan atas berbagai pertimbangan, di antaranya: (1) periode atau waktu penelitian akan sangat panjang, (2) pengambilan darah yang berlebihan pada subyek uji, berdasarkan pertimbangan medis tak diperkenankan, (3) karena terlalu sering seorang subyek kembali untuk menjalankan uji berikutnya, terdapat kecenderungan sukarelawan gagal menyelesailcan penelitian4
C A B B C A
Berbeda dengan blok lengkap, pada rancangan pola silang tak lengkap setiap subyek tidak mendapatkan seluruh macam
Contoh rancangan pola silang blok tak lengkap, 4 perlakuan A, B, C, dan D, 12 subyek. Subyek 1 2 3 4 5 6 7 8
9
10 11 12
Periode waktu I
II
A D C B D D B B C A A C
B C A C A B A D D D C B
Dari uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa dalam memilih rancangan uji-coba disarankan untuk mempertimbangkan variabilitas penelitian, keterbatasan rancangan, serta tujuan yang akan dicapai.
Pemilihan dan jumlah subyek uji Subyek uji yang dipergunakan dalam penelitian farmakokinetika meliputi hewan atau manusia. Hewan uji dipergunakan pada tahap uji praklinis pengembangan obat ataupun jika terjadi kasus (terutama kasus keamanan) setelah suatu sediaan obat beredar di pasaran. Sedang manusia uji dipergunakan pada tahap uji klinis. Pemilihan hewan uji tergantung pada tujuan yang akan dicapai, pengalaman sebelumnya dengan senyawa - senyawa yang serupa atau berhubungan, dan sifat rancangan uji-cobanya6 . Namun, pemilihan hewan uji ini bukan pekerjaan mudah. Banyak pertimbangan-pertimbangan lain yang masih diperlukan, yakni bentuk sediaan dan cara pemberian, kemudahan penanganan hewan uji, kemudahan pengosongan lambung, kemudahan mendapatkan cuplikan hayati, besar contoh hayati, dan volume maksimum yang dapat diterima oleh hewan uji7 . Pada umumnya hasil penelitian farmakokinetika dipergunakan untuk menentukan aturan dosis pada manusia. Karenanya, pemilihan hewan uji hendaknya diutamakan pada adanya kemiripan mekanisme absorpsi, distribusi, dan eliminasinya terhadap suatu obat dengan manusia. Misalnya untuk keperluan uji ketersediaan hayati suatu obat atau sediaan obat, dapat dipergunakan hewan uji anjing, kera, babi, kelinci, mencit, tikus. Anjing merupakan hewan uji pilihan, karena anjing mampu diberi berbagai bentuk sediaan obat secara oral. Keuntungan
Cermin Dania Kedokteran No. 37 1985
43
lainnya, anjing mampu diberi dosis obat secara berulang, yang mana hal ini sangat panting bagi penelitian komparatif dengan rancangan pola silang. Selain itu, hewan ini dapat memberikan sejumlah cuplikan hayati yang cukup memadai untuk kepentingan analisis farmakokinetika. Dan yang lebih penting, anjing dan manusia memiliki kemiripan fisiologis saluran cerna mereka, terutama dalam hal keduanya tidak secara berkesinambungan mensekresi asam klorida ke dalam lumen gastrik maupun empedu ke dalam usus halus. Kera tentunya juga merupakan hewan uji pilihan. Namun, karena penanganannya lebih sulit, biasanya hanya dipergunakan jika diketahui anjing tidak menunjukkan kemiripan dengan manusia dalam hal sifat penerimaan terhadap golongan obat tertentu. Bagi juga merupakan hewan uji pilihan karena makanannya. morfologi dan fisiologi saluran cerna, fisiologi jantung serta ginjalnya, sangat mirip dengan manusia. Namun besar badannya merupakan faktor pembatas. Hewan kecil seperti mencit, tikus dan hamster bukan hewan uji pilihan karena mereka tidak dapat diberi kebanyakan bentuk sediaan obat secara utuh melalui mulut. Selain itu hewan-hewan ini cuplikan biologisnya lama dan sulit diperoleh. Karenanya, hewan uji ini biasanya hanya dipergunakan dalam penelitian pendahuluan. Kelinci juga bukan hewan uji pilihan terutama untuk penelitian absorpsi, karena terdapat perbedaan yang besar fisiologis saluran cernanya dengan manusia, yakni kecepatan pengosongan lambungnya lambat serta sulit diperoleh dengan metode puasa konvensional8 . Jika subyek ujinya manusia, sebelum uji coba dilaksanakan, terlebih dahulu dipenuhi persyaratan -persyaratan uji klinik seperti pernah dipaparkan oleh Lesne (1976) 9 atau mengikuti buku petunjuk "Guidelines for biopharmaceutical studies in man" (1972) 10 . Selain kriteria " sehat" atau sakit" dari subyek uji, perlu mendapat perhatian pula latar belakang pendidikan serta hubungan kerja antara peneliti dan subyek uji'. Berapakah jumlah subyek uji yang dipergunakan dalam penelitian farmakokinetika? Suatu pertanyaan yang terkadang sulit untuk dijawab, dan seringkali menimbulkan masalah dalam menilai kesahihan hasil penelitian. Jumlah subyek yang diperlukan dalam penelitian farmakokinetika, terutama tergantung pada variabilitas antar subyek bagi obat. Jika variabilitas antar subyek, misalnya untuk harga luas daerah di bawah kurva (AUC) relatif kecil, subyek uji yang diperlukan juga relatif sedikit. Sebaliknya jika variabilitas AUC antar subyek relatif besar, maka jumlah subyek uji yang diperlukan juga relatif besar. Dengan perkataan lain, jumlah subyek uji ditentukan oleh koefisien variasi antar subyek. 11 Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat suatu cara yang dapat menentukan jumlah subyek uji yang sesuai untuk penelitian farmakokinetika, yakni menggunakan teori hipotesis8 . Untuk keperluan tersebut, diperlukan empat parameter, yakni: 1). A, beda terkecil suatu parameter farmakokinetika (misal AUC) antara perlakuan (misal formulasi, perbedaan dosis) yang dikehendaki dapat mendeteksi. 2). a, tingkat signifikansi di man uji-t akan dikerjakan. 3). 1 — Q, probabilitas bahwa perbedaan akan terdeteksi. 4). T 2 , variansi error flap observasi 6 . Harga a dan Q kita tentukan, sedang A dipilih atas dasar 44
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
pengetahuan klinis tentang besar perbedaan yang secara terapeutik akan bermakna. Dan T 2 biasanya dinilai dari hasil orientasi atau publikasi. Bila keempat parameter tersebut telah ditentukan, jumlah subyek (n) yang akan dipergunakan dapat diperoleh. Sebagai contoh, jika kita ingin membandingkan harga ketersediaan hayati dua produk obat menggunakan suatu rancangan uji-coba tertentu. Hipotesis nol menyatakan tidak adanya perbedaan harga AUC antara dua formulasi. Dengan menggunakan rancangan uji coba dengan n subyek uji, rata-rata AUC _ dari dua formulasi memiliki suatu distribusi dengan rata-rata nol dan variansi 2 T 2 /n. Hipotesis nol akan ditolak jika perbedaan antar rata-rata melebihi ta/ 6,/ 2 T 2 /n. Selanjutnya ingat bahwa bagi suatu probabilitas (1 — /) menemukan perbedaan A jika betul-betul ada, A harus lebih besar dari pada nilai t a/ 9\/ 2 T 2 /n dengan sekurang-kurangnya t( N,/2 T 2 /n. Keadaan ini dinyatakan sebagai:
Persamaan tersebut dapat disusun ulang sebagai berikut:
Dengan demikian jumlah subyek uji yang diperlukan untuk harga ketersediaan hayati dua formulasi tersebut akan diketahui. 6 Pemilihan cuplikan hayati Cuplikan hayati yang paling sering dipergunakan di dalam penelitian farmakokinetika adalah darah atau urin. Masalahnya kapan dipergunakan darah dan kapan urin? Jika mungkin, penetapan kadar obat tak berubah pada cuplikan darahlah yang menjadi pilihan pertama. Mengapa demikian? Pertama, karena darah merupakan tempat yang paling cepat dicapai obat dan paling logis bagi penetapan kadar obat di dalam badan. Paling logis karena darahlah yang mengambil obat dari tempat absorpsi, mendistribusikan ke jaringan sasaran, serta menghantarkan ke organ eliminasi 12 . Kedua, bagi kebanyakan obat, bentuk obat tak berubah merupakan senyawa yang memiliki aktivitas farmakologik. Karenanya, penetapan kadar pada cuplikan darah akan memberikan suatu indikasi langsung berapa kadarnya yang mencapai sirkulasi. Jika tidak ada metode penetapan kadar obat dalam darah yang tersedia, atau jika level darah pada pemberian dosis normal, sangat rendah untuk dapat ditetapkan dengan tepat, maka penetapan kadar obat pada cuplikan urin merupakan alternatifnya 12 . Sebenarnya penggunaan cuplikan urin dapat lebih baik dari pada darah, terutama jika obat diekskresikan ke dalam urin secara sempurna dalam bentuk tak berubah. Karena selain data urin mengukur langsung jumlah obat yang berada di dalam badan, juga karena variabilitas clearance renal dapat diabaikan. Keterbatasan penggunaan cuplikan urin di antaranya karena sulitnya pengosongan kandung kencing, kemungkinan terjadinya dekomposisi obat selama penyimpanan, dan kemungkinan terhidrolisnya konyugat metabolit yang tidak stabil di dalam urin, sehingga dapat mempengaruhi jumlah total obat dalam bentuk tak berubah yang dieksresikan pada waktu tak terhingga. Akibatnya dapat terjadi kesalahan penafsiran terhadap harga ketersediaan hayati obat yang di-
teliti.
uraian di atas jelas terlihat bahwa ketetapan pemilihan cuplikan hayati akan mempengaruhi kesahihan hasil uji. Dari
Pemilihan metode analisis penetapan kadar Telah dibraikan bahwa parameter farmakokinetika suatu obat diperoleh dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya di dalam darah atau urin. Dengan demikian, jelas bahwa metode analisis penetapan kadar obat yang dipergunakan dalam penelitian farmakokinetika harus memenuhi berbagai persyaratan, yakni: (1) selektif atau spesifik, (2) sensitif, (3) teliti dan tepat, (4) dan cepat 13 Selektivitas metode menempati prioritas pertama, karena bentuk obat yang akan ditetapkan dalam cuplikan hayati adalah bentuk tak berubah atau metabolitnya. Artinya, metode analisis yang dipergunakan hams memiliki spesifitas yang tinggi terhadap salah satu bentuk obat yang akan ditetapkan tersebut. Smith dan Stewart (1981) 14 bahkan lebih memperluas lagi pengertian selektivitas metode ini, yakni kemampuan suatu metode penetapan kadar untuk membedakan suatu obat dari metabolitnya, obat lain (dalam kasus tertentu yang berkaitan), dan kandungan endogen cairan hayati. Pemilihan metode yang memiliki slektivitas tinggi ini perlu mendapat perhatian khusus. Mengapa demikian? Karena hal ini erat sekali kaitannya dengan rumus-rumus matematik yang akan diterapkan dalam menghitung parameter farmakokinetika. Rumus matematik yang diturunkan berdasarkan data pengukuran kadar obat tak berubah dalam cuplikan hayati berlainan dengan yang diturunkan dari data kadar metabolitnya. Sensitivitas metode berkaitan dengan kadar terendah yang dapat diukur oleh metode yang dipergunakan. Dalam penelitian fanmakokinetika, pilihan metode analisis juga tergantung pada tingkat sensitivitas yang dimiliki oleh metode. Ini dapat dimengerti mengingat dalam menghitung parameter farmakokinetika suatu obat, diperlukan sederetan data kadar obat dari waktu ke waktu atau dari kadar tertinggi sampai ke kadar terendah dalam cuplikan hayati yang dipergunakan. Misal kita akan menghitung AUC, maka perlu data kadar obat dari waktu nol sampai tak terhingga. Karenanya, metode analisis yang dipilih hams dapat meliput kadar obat tertinggi sampai terendah yang ada di dalam badan. Ketelitian (accuracy) dan ketepatan (precision) perlu pula dipertimbangkan dalam memilih metode analisis, karena akan menentukan kesahihan (validitas) hasil penetapan kadar. Keketelitian ditunjukkan oleh kemampuan metode dalam memberikan hasil pengukurannya sedekat mungkin dengan nilai sesungguhnya. Ini dapat diketahui dari harga perolehan kernbalinya (recovery), yang dinyatakan sebagai % error (harga sesungguhnya dikurangi harga uji, dibagi harga sesungguhnya, kali 100%). Ketepatan menunjukkan kedekatan hasil pengukuran berulang pada cuplikan hayati yang sama. Ini dapat diketahui dari harga replikasinya, yang dinyatakan sebagai koefisien variasi (deviasi baku dibagi harga rata-rata, kali 100% 15 Cepat, juga merupakan persyaratan yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode analisis penetapan kadar. Ini berkaitan dengan banyaknya cuplikan hayati yang hams dianalisis dalam satu macam penelitian farmakokinetika (kurang lebih 180 — 600 penetapan).
Persyaratan -persyaratan tersebut di atas, sebaiknya benarbenar dipertimbangkan dalam pemilihan metode penetapan kadar, karena kesahihan harga parameter farmakokinetika yang diukur sangat tergantung pada kesahihan hasil penetapan kadarnya dalam cuplikan hayati yang ditentukan. Pemilihan takaran dosis dan bentuk sediaan obat Berapakah takaran dosis yang akan diberikan? Pertanyaan ini selalu timbul sebelum mengerjakan penelitian farmakokinetika. Walaupun demikian hal ini seringkali menimbulkan masalah yang sulit diatasi, terutama jika akan mengembangkan sediaan obat baru pada tahap uji praklinik dengan hewan uji tertentu. Pemilihan takaran dosis yang akan diberikan pada hewan uji pada tahap uji praklinik, dapat didasarkan pada data harga LD5o senyawa yang akan diuji. Namun perlu diingat dan disadari dalam mempergunakan data harga LD5o tersebut, yakni cara pemberian senyawa selama penelitian toksisitas akutnya. Jika dalam penelitian toksisitas akut, senyawa diberikan dalam bentuk larutan, maka takaran dosis dipilih yang betul-betul memiliki batas keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedang jika senyawa atau obat diberikan dalam bentuk sediaan padat atau suspensi, serta telah diketahui memiliki harga LDso yang sangat tinggi, maka batas keamanan yang besar tidak diperlukan 6 Perbandingan harga LD5o oral lawan intravena dapat dikerjakan untuk memperoleh wawawan terhadap masalah absorpbabilitas sebagai fungsi cara pemberian oral. Hal ini tentunya akan berguna dalam meramalkan efek toksik sebagai fungsi kenaikan takaran dosis. Jika informasi ini tidak tersedia, maka dapat dipergunakan harga LD50 intravena sebagai dosis awal penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan, yakni sebesar 5 — 10% LD5o intravena 6 . Selain parameter -parameter famakologik dan toksikologik tersebut di atas, pemilihan takaran dosis juga hams dikaitkan dengan sensitivitas metode penetapan kadar obat tak berubah atau metabolitnya. Maksudnya takaran dosis yang diberikan hams menjamin dapat diukurnya kadar obat atau metabolit pada jarak waktu tertentu, sehingga diperoleh data yang cukup untuk evaluasi farmakokinetika. Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan takaran dosis ini adalah adanya fenomena "kinetika tergantung dosis". Yakni suatu fenomena yang menunjukkan adanya perubahan parameter farmakokinetika obat bila takaran dosisnya diubah. Keadaan ini berkaitan dengan asumsi ordo kinetika obat tersebut. Kinetika obat diasumsikan mengikuti ordo nol bila menunjukkan fenomena kinetika tergantung dosis. Hal ini perlu diperhatikan, karena akan menentukan rumus matematik yang dipergunakan untuk menghitung parameter farmakokinetikaanya. Jika mengikuti ordo nol, perhitungannya mengikuti rumus pada farmakokinetika non-liniair. Hal ini berbeda jika asumsinya mengikuti ordo pertama, yakni parameter farmakokinetika obat tidak dipengaruhi oleh perubahan dosis (farmakokinetika liniair). Fenomena kinetika tergantung dosis dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: (1) obat diberikan dalam dosis besar,
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
45
sehingga kapasitas proses metaboliknya dilampaui, (2) bila terjadi kompetisi antara dua obat yang berbeda atas satu macam proses metabolisme, (3) jika zat pembawa bagi transport aktif suatu obat mengalami kejenuhan . Keadaan ini dapat diketahui dengan menghitung waktu paruh (t½) eliminasi obat, setelah pemberian beberapa takaran dosis yang berbeda. Jika harga tlh obat berbeda-beda, berarti kinetika obat mengikuti ordo nol atau tergantung dosis 17 . Bentuk sediaan obat yang akan diberikan juga harus dipilih dengan hati-hati, terutama pada penelitian pendahuluan pada tahap praklinis. Pertama kali, obat diberikan dalam bentuk larutan baik secara oral maupun intravena. Baru kemudian dikembangkan ke bentuk sediaan lain. Baik takaran dosis maupun bentuk sediaan obat biasanya sudah tidak begitu menjadi masalah bagi uji klinis. 16
Pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan hayati Sesuai dengan takrif parameter farmakokinetika yang dipergunakan dalam makalah ini, dimaksud cuplikan hayati meliputi darah dan urin. Sebenarnya dalam penelitian farmakokinetika dapat pula dikerjakan dengan cuplikan hayati lainnya seperti saliva. Namun, karena darah dan urin yang paling banyak dipergunakan, dalam kesempatan ini hanya akan dijelaskan strategi pemilihan lama dan banyaknya waktu pengambilan cuplikan darah dan urin, sesuai dengan takrif parameter farmakokinetika yang dipergunakan dalam makalah ini. Jika cuplikan darah yang dipergunakan, pengambilan cuplikan dianjurkan berlangsung selama 3 — 5 kali harga waktu paruh eliminasi (tlh) obat yang diuji. Dan 7 — 10 kali th obat. Jika cuplikan urin yang dipergunakan, yakni praktis 99,2 — 99,9% obat telah diekskresikan 16 Frekuensi atau banyaknya pengambilan cuplikan, erat kaitannya dengan asumsi model kompartemen badan. Jika kinetika obat mengikuti model dua kompartemen terbuka, dianjurkan banyak pengambilan cuplikannya paling tidak 3 kali pada tahap absorpsi, 3 kali pada sekitar puncak, 3 kali pada tahap distribusi, dan 3 kali pada tahap eliminasi. Keadaan ini diperlukan untuk mendapatkan data kadar obat dalam darah lawan waktu yang cukup untuk evaluasi parameter farmakokinetika obat. Pengambilan cuplikan pada tahap distribusi tidak diperlukan, jika kinetika obat mengikuti model satu kompartemen terbuka 16 . Waktu pengambilan cuplikan yang optimal ini perlu diperhatikan, karena akan menentukan kesahihan penetapan asumsi model kompartemennya. Hal ini dapat dikerjakan dengan penelitian pendahuluan atau orientasi 18 . Orientasi dalam penelitian farmakokinetika setelah pemberian obat intravena memiliki banyak keuntungan. Di antaranya, sensitivitas dan selektivitas metode penetapan kadar sebagai fungsi cara pemberian dapat segera ditentukan. Mengapa demikian? Karena obat langsung ditempatkan dalam aliran darah, sehingga kadar tertinggi dan terendah obat yang ada di dalam badan segera dapat diketahui. Keadaan ini akan menggambarkan pula kadar tertinggi obat setelah pemberian oral, jika obat diabsorpsi dengan sempurna. Dengan mengetahui kadar tertinggi ini, sensitivitas metode penetapan kadar
46
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
segera dapat ditetapkan, yakni sampai kurang lebih 10 — 20% kadar tertinggi obat (80 — 90% obat telah diekskresikan). Dalam orientasi intravena tersebut, beberapa cuplikan harus diperoleh pada jam pertama setelah pemberian obat, diikuti setiap jam untuk periode jam ke 8 — 12 berikutnya, dan beberapa cuplikan lagi sampai jam ke 48. Ini diperlukan untuk mengevaluasi kemungkinan asumsi model kompartemennya. Setelah orientasi intravena, sebaiknya juga dilakukan orientasi cara pemberian lain ekstravaskular, agar adanya pengaruh fisiologis pada proses absorpsi obat dapat diketahui sejak dini. Analisis dan evaluasi hasil Analisis data uji coba dan evaluasi hasil penelitian merupakan tahap terakhir penelitian farmakokinetika. Karenanya, tidaklah berlebihan jika dalam serangkaian pengkajian tahap terakhir penelitian ini diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam menganalisis data, serta pengetahuan klinis maupun formulasi farmasetik. Data uji coba yang pertama kali perlu dianalisis adalah sederetan kadar obat tak berubah atau metabolitnya di dalam darah atau urin, pada sederetan waktu tertentu. Sebelum data tersebut dipergunakan untuk menghitung parameter farmakokinetika, langkah pertama yang dikerjakan adalah menetapkan model kompartemen badan yang diikutinya. Langkah ini penting, karena akan menentukan penerapan rumus matematik yang akan dipergunakan untuk menghitung parameter farmakokinetika. Analisis kompartemen ini dapat dikerjakan dengan memplotkan data kadar obat tak berubah dalam darah lawan waktu pada kertas grafik semilogaritmik, atau plot log kecepatan ekskresi (dAe/dt) lawan waktu pada kertas grafik numerik. Jika data urin yang dipergunakan. Dengan melihat adanya fase distribusi (yakni grafik bifasik untuk pemberian intravena dan grafik trifasik untuk pemberian oral), kinetika obat dapat dikatakan mengikuti model dua kompartemen terbuka. Jika fase distribusi ini tidak terlihat pada grafik, maka kinetika obat pada umumnya dikatakan mengikuti model satu kompartemen terbuka. Namun, perlu dicatat bahwa keadaan ini hanya berlaku jika tetapan kecepatan distribusi (alfa) diasumsikan harganya lebih besar dari pada tetapan kecepatan pemberian obat secara oral. absorpsinya (ka), pada i Notari (1980) 19 menyatakan, kinetika obat akan mengikuti model satu kompartemen terbuka, jika harga tetapan kecepatan distribusi antar kompartemen (k12 + k 21 ) sama atau lebih besar dari pada 20 kali harga tetapan kecepatan eliminasinya (Kel). Dengan perkataan lain, kinetika obat mengikuti model dua kompartemen terbuka, jika harga tetapan kecepatan distribusi antar kompartemen yang diperoleh itu lebih kecil daripada 20 kali harga tetapan kecepatan eliminasinya (k 12 + k 21 =
untuk model dua kompartemen, dan harga B selalu lebih besar dari pada harga K el). Kesalahan penafsiran model kompartemen ini biasanya disebabkan oleh ketidakcermatan dalam menetapkan waktu pengambilan cuplikan hayati, yakni tidak mengambil cuplikan hayati pada fase distribusi obat, seperti dicontohkan pada gambar 2. Jelas terlihat pada gambar 2 tersebut, harga t1⁄2, AUC, dan C0p (kadar obat dalam darah pada waktu nol) yang
yang bermakna, pada taraf kepercayaan 95%. Hasil ini ternyata tidak dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan bahwa produk A lebih baik absirpsinya dari pada produk B. Mengapa demikian? Karena sebelumnya telah diketahui bahwa produk obat tersebut hanya akan memberikan perbedaan terapeutik yang nyata, jika harga AUC nya 30% lebih tinggi dari pada harga AUC produk baku. Ini dapat dimengerti, mengingat perbedaan yang bermakna dari hasil uji-t tersebut sangat ditentukan oleh harga deviasi baku masing -masing kelompok ujinya. dihitung dengan p asumsi model satu kompartemen, berbeda Sedang perbedaan efek terapeutik ditentukan oleh baik budengan yang dihitung berdasarkan asumsi model dua komruknya formulasi, bukan oleh besar-kecilnya deviasi baku. partemen terbuka. Contoh lain, pada uji coba di atas harga AUC produk A 40% lebih tinggi dari pada harga AUC produk B, dan hasil uji-t nya menunjukkan perbedaan yang bermakna, menggunakan 10 subyek uji. Namun karena dalam percobaan pendahuluan (orientasi) telah diketahui bahwa untuk mendeteksi adanya perbedaan harga AUC sebesar 30% antara dua produk tersebut (A ), paling optimal diperlukan 40 subyek uji (diperhitungkan dengan teori hipotesis), maka hasil penelitian ini tidak dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan secara umum, karena jumlah subyek uji yang dipergunakan kurang representatif untuk menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Tahap terakhir dari penelitian garmakikinetika adalah evaluasi hasil penelitian. Telah diuraikan terdahulu, dalam tahap evaluasi ini diperlukan pengetahuan klinik ataupun farmasetik. Pengetahuan klinik diperlukan untuk menjamin kesahihan kesimpulan hasil penelitian, seperti dicontohkan di atas. Pengetahuan farmasetik juga diperlukan, karena penelitian farmakokinetika terbanyak dipergunakan dalam pengembangan obat atau produk obat. Misalnya, kita menguji waktu paruh eliminasi tablet asetosal pada sekelompok orangIndonesia. Ternyata hasil perhitungan t1⁄2 nya jauh berbeda dengan penelitian sejenis yang ditemukan pada sekelompok orang Eropa. Dalam hal ini kita tidak dapat langsung menyatakan bahwa profil tlh asetosal orang Indonesia berbeda dengan profil t1⁄2 orang Eropa. Mengapa demikian? Karena kita tidak tahu sistem formulasi dan teknik pabrikasi tablet asetosal yang dikerjakan oleh peneliti Eropa tersebut. Mungkin saja peneliti Eropa menggunakan bahan baku asetosal yang bentuk kristalnya berbeda dengan yang kita pakai. Padahal bentuk kristal setosal menentukan tetapan kecepatan absorpsinya. Juga mungkin peneliti Eropa menggunakan teknik pabrikasi yang lain dalam pembuatan tablet asetosal, dengan yang kita buat. Selain itu, mungkin juga metode analisis penetapan kadar Gb. 2. Grafik kadar obat dalam darah lawan waktu setelah pemberian obat dalam cuplikan hayati yang dipergunakan oleh peneliti intravena. (a) model satu kompartemen, (b) model dua kompartemen. Eropa lain dengan yang kita pergunakan. Hal ini kiranya dapat Setelah analisis data uji coba dilaksanakan dan perhitungan menggambarkan, sebelum kita menyimpulkan hasil penelitian parameter farmakokinetika obat dikerjakan, langkah berikut- farmakikinetika, sebaiknya dilakukan evaluasi yang cermat ternya adalah analisis statistik. Analisis statistik ini tidak begitu lebih dahulu terhadap berbagai variabel yang mungkin dapat sulit untuk dikerjakan, karena tinggal mengikuti rancangan mempengaruhi kesahihan kesimpulan penelitian. uji coba yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun, perlu Telah dikaji tentang strategi penelitian farmakokinetika ditekankan di sini bahwa hasil uji statistik bukan merupakan dari pemilihan rancangan uji coba sampai ke analisis dan kesimpulan akhir hasil penelitian. Statistik hanya merupakan evaluasi hasil. Kajian ini tidak dimaksudkan untuk memberi salah satu alat pendukung pengambilan keputusan. Misalnya gambaran betapa sulit dan rumitnya pelaksanaan penelitian kita membandingkan harga AUC dari produk obat A lawan farmakokinetika, melainkan justru sebaliknya. produk baku B. Jika kemudian dari hasil uji-t ditemukan bahwa beda harga AUC antara Produk A dan B (AUC produk A 10% lebih tinggi dari pada AUC B) menunjukkan perbedaan KEPUSTAKAAN:
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 47
1.
Curry SH. Drug disposition and pharmacokinetics. Oxford: Blackwell Scientific Publication, 1977.
10.
.............Guidelines for biopharmaceutical studies in man. APHA Academy of Pharmaceutical Sciences. 1972; 1-33.
2.
Arieens & Simonis AM. Optimalization of pharmacokinetics an essential aspect of drug development by metabolic stabilitation. In: Keverling Buisman JA (Ed). Strategy in drug research. Amsterdam: Scientific Publishing Company, 1982;4:165-178.
11.
Wagner JG. Biophazmaceutics and relevant pharmacokinetics. l rt ed. Hamilton: Drug Intelligence Publications, Inc. 1971; 245-246.
3.
Reilly WJO. Drug dosage regimes and iboavailability part I elementary pharmacokinetics. Aust J Pharm. 1974; 54:648.
12.
4.
Wagner JG Fundamental of clinical pharmacokinetics 1st ed. Hamilton: Drug Intelligence Publications Inc. 1975; 290-297.
Tozer TN. Pharmacokinetic principles relevant to bioavailability studies. In: Blanchard J, Sawchuk RJ & Brodie BB (eds). Principles and perpective in drug bioavailability. Basel: S Karger AG. 1979; 121-154.
13.
5.
Maria Astuti. Rancangan percobaan dan analisa statistik bagian I. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM 1980; 5-7.
Hirtz J Analytical problems in bioavailability testing. In: Deasy & Timoney )eds). The quality control of medicines. Amsterdam: Elseivier Scientific Publishing Company. 1976; 245-252.
6.
Kaplan SA. Biopharmaceutics in the preformulation stages of drug development. In: James Swarbrick (ed) Current concepts in the pharmaceutical sciences-dosage form design and bioavailability. Philadelphia: Lea & Febiger. 1973; 8-9, 152-158.
14.
Smith RV & Stewart JT Textbook of biopharmaceutical analysis. Philadelphia: Lea & Febiger. 1981; 7-9.
15.
Schwartz MA & De Silva JAF. Quantitative drug analysis in bioavailability studies. In: Blanchard J, Sawchuk J & Brodie BB (eds). Principles and perspectives in drug bioavailability. Basel: S Karger AG. 1979; 90-99.
16.
Ritschel WA Handbook of basic pharmacokinetics 2 ed. Hamilton: Drus Intelligence Publication, Inc, 1980; 230-232, 280.
17.
Shargel L & Yu ABC. Applied biopharmaceutics and pharmacokinetics. New York: Appleton Century Crofts. 1980; 15-16.
18.
D. Argenio DZ. Optimal sampling times for pharmacokinetics experiments. J Pharmacokin Bipharm. 1981;9 (6) : 39-355.
19.
Notari RE Biopharmaceutics and clinical pharmacokinetics an introduction, 3rd ed. New York: Marcel Dekker, Inc. 1980; 18-29.
7.
8.
9.
Imono AD. Uji ketersediaan hayati (bioavailability) in vivo berbagai masalah yang timbul dalam pelaksanaannya. Dalam: Proceedings Kongres Nasional XI dan Kongres Ihniah ISFI. Jakarta: ISFI. 1983; 463-467. Kaplan SA, Jack ML. In vitro, in situ, and in vivo models in bioavailability assesment. In: Blancard J, Sawchuk RJ & Brodie BB (eds) Principles and perspective in drug bioavailability. Basel: S Karger AG. 1979; 181-199. Lesne M Bioavailability testing in man-pharmacokinetics consi derations. In: Deasy & Timoney (eds) The quality control of medicines. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Company. 1976; 215-223.
48
Cermin Dunia
Kedokteran No. 37 1985
nd
Bioavailabilitas Obat Drs. Victor S. Ringoringo Apt
Perkembangan terakhir dalam proses pengembangan dan pemasaran obat banyak disesuaikan dengan perubahan sikap dari dokter, pejabat pemerintah, dan masyarakat terhadap obat. Pada 10 — 20 tahun yang lalu industri-industri farmasi banyak menekankan pada penemuan obat-obat baru, dan peta kefarmasian pada saat itu ditandai dengan cepatnya suatu molekul obat baru ditemukan. Dewasa ini, kecepatan penemuan obat baru mulai menurun, sebagian disebabkan karena sudah cukup banyak tersedia obat yang efektif untuk berbagai penyakit. Masa paten yang sudah daluwarsa dari berbagai macam obat seringkali menyebabkan munculnya bermacam-macam produk obat yang mengandung zat aktif yang ekivalen. Sementara itu masyarakat mengharapkan obat bermutu dengan harga yang terjangkau, dan banyak industri obat mempromosikan penulisan resep obat dalam nama generik sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan kompetisi harga obat di antara industri obat. Situasi ini menempatkan apoteker di tengah-tengah dua sisi yang ekstrim. Di sisi pertama apoteker dituntut untuk menurunkan biaya pemeliharaan kesehatan melalui penurunan harga obat, tetapi di sisi lain apoteker bertanggung jawab terhadap kualitas obat yang baik. Apoteker bertanggung jawab dalam seleksi obat, dan dalam banyak hal peranannya semakin besar dalam pemilihan produk obat yang bermutu tinggi. Dalam pemikiran para dokter seringkali timbul beberapa pertanyaan : 1) Apakah ada perbedaan klinik yang bermakna di antara produk obat komersial yang mengandung jenis dan jumlah zat aktif yang sama ? 2) Bagaimanakah sifat perbedaan-perbedaan tersebut ? 3) Faktor apa sajakah yang menyebabkan perbedaan tersebut ? 4) Bagaimanakah perbedaan tersebut dapat diukur dan dievaluasi ? 5) Kriteria apa yang digunakan apoteker untuk memilih obat yang ditulisnya dalam resep ?
UJI BIOAVAILABILITAS DAN UJI IN-VITRO Untuk menjamin ekivalensi terapeutik dan klinik dari suatu produk obat dalam berbagai batch produksi, secara ideal penting untuk mengukur secara tepat efek klinik dan potensi dari sampel yang representatif dari masing-masing batch produk obat tersebut. Walaupun demikian, pada prakteknya hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena adanya pertimbangan praktis dan aspek etis seperti : 1) Uji klinik memerlukan populasi penderita yang ekstensif dengan jenis dan keparahanpenyakit yang seragam 2) Uji klinik pelaksanaannya kompleks dan mahal 3) Teknik pengukuran yang obyektif sulit ditemukan dan seringkali tidak sensitif terhadap berbagai kondisi penyakit Cara pendekatan yang terbaik untuk memperkirakan efek klinik suatu obat adalah dengan pengukuran kadar obat dalam darah, karena ada hubungan yang erat antara kadar obat dalam darah dengan efek klinik obat tersebut. Tetapi dalam hal ini juga ditemukan beberapa kelemahan seperti : 1) Uji kadar obat dalam darah biayanya mahal, memerlukan peralatan analitis yang canggih, tenaga ahli yang terampil, dan sejumlah sukarelawan sehat. Dengan demikian kelayakan untuk melakukan uji bioavailabilitas dari setiap batch produk obat patut dipertanyakan. 2) Konsep bioavailabilitas berpijak pada asumsi bahwa parameter biologis suatu obat (kadar obat dalam darah dan jaringan, ekskresi obat dalam urin atau pengukuran produk metabolit) secara langsung berkaitan dengan efek klinik obat. Sementara asumsi ini mungkin saja absah, tetapi sulit untuk memperkirakan ketepatan korelasinya. Misalnya, jika dua produk menunjukkan perbedaan bioavailabilitas sebesar 20%, apakah perbedaan ini secara klinik bermakna ? Sementara saat ini tidak mungkin untuk melakukan uji kadar obat dalam darah untuk setiap batch produk obat, industri obat dapat menggunakan uji bioavailabilitas untuk menentukan bahwa produk obatnya dengan formulasi dan proses pro-
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
49
duksi yang spesifik akan memberikan efek klinik yang sebanding dengan produk obat sejenis yang diproduksi industri obat lain (produk originator atau produk inovator), yang pada uji kliniknya memberikan hasil yang baik. Sebagai salah satu alternatif untuk melakukan uji bioavailabilitas pada setiap batch produk obat, uji in vitro telah dikembangkan sebagai indikator bioavailabilitas, atau untuk menetapkan bahwa batch produk obat selanjutnya akan menunjukkan bioavailabilitas dan efek klinik yang sebanding dengan batch sebelumnya yang telah ditetapkan uji kadar obat dalam darah dan uji kliniknya. Uji laju disolusi dan uji difraksi sinar X merupakan 2 contoh prosedur laboratoris yang dapat merefleksikan perilaku obat in-vivo. Uji ini telah dimasukkan dalam USP dan NF dan telah diterapkan pada sejumlah obat. Uji laju disolusi mengukur laju disolusi sejumlah obat dalam medium tertentu dan pada kondisi tertentu. Uji difraksi sinar X melengkapi beberapa indikasi dari laju dan jumlah obat yang melarut, dengan demikian akan bermanfaat dalam memperkirakan absorpsi obat. Sementara kedua uji ini bukan merupakan uji bioavailabilitas yang sebenarnya, maka kedua uji ini hanya merupakan indikator yang dapat digunakan untuk memperkirakan bioavailabilitas obat. Suatu industri obat yang mempunyai data klinik atau informasi yang menunjukkan bahwa produk obatnya secara klinik efektif, dan bila data ini dikorelasikan dengan uji in vitro dengan tepat, dan bila formulasi serta prosedur produksi tidak berubah, maka konsistensi dari batch ke batch dapat dijamin dengan melakukan uji laju disolusi, uji difraksi sinar X atau uji in vitro lainnya yang relevan. PENGERTIAN BIOAVALABILITAS Konsep bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertamakali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang sama yang diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan dari pasien dan dokter di man obat yang sama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian dengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Sebagai cabang ilmu yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang bioavailabilitas dalam berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas adalah absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu : 1) kecepatan absorpsi obat 2) jumlah obat yang diabsorpsi Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang diinginkan dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat diperkirakan bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua definisi berikut ini merupakan definisi yang relatif lebih sesuai dengan kedua faktor di atas adalah : Definisi 1 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah 50
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Definisi 2 :
obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.
TUJUAN PENETAPAN BIOAVAILABILITAS Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan obat berada dalam sirkulasi sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya efek terapi yang dikehendaki menurut formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas dapat digunakan untuk mengetahui faktor formulasi yang dapat mempengaruhi efektivitas obat. Beberapa manfaat studi bioavailabilitas yang berkaitan dengan mutu produk obat yaitu : 1) bagi apoteker dalam bidang penelitian kefarmasian, bioavailabilitas merupakan uji yang penting dalam penelitian peningkatan mutu obat 2) bagi dokter dan apoteker di apotek, bioavailabilitas merupakan pertimbangan kritis yang digunakan untuk pemilihan obat yang bermutu baik. PENGUKURAN BIOAVAILABILITAS Jumlah obat yang diabsorpsi biasanya ditentukan dengan mengukur luas area di bawah kurva (AUC) dari kurva kadar obat dalam darah versus waktu, atau dari jumlah obat kumulatif yang diekskresikan melalui urin. Jika suatu obat diberikan per oral dan beberapa jam sesudahnya diambil satu seri dari sampel darah dan dianalisis kadar obat dalarn darah, kemudian hasilnya di plot pada kertas grafik, akan diperoleh kurva kadar darah-waktu seperti pada gambar 1. Gambar 1. Kurva kadar serum — waktu setelah pemberian dosis tunggal suatu obat per oral.
Obat diberikan per oral pada waktu nol; pada saat ini kadar obat dalam darah adalah nol. Setelah obat melalui lambung dan/atau usus, akan berdisintegrasi dan segera melarut dan absorpsi pun berlangsung. Peningkatan kadar obat dalam darah akan terlihat pada sampel darah berikutnya sampai tercapai kadar puncak. Titik ini disebut puncak kurva kadar serum — waktu. Pada titik ini kecepatan absorpsi sebanding dengan kecepatan eliminasi. Di sebelah kiri titik puncak kurva merupa-
kan fase absorpsi, di mana kecepatan absorpsi lebih besar daripada kecepatan-eliminasi. Di sebelah kanan titik puncak kurva disebut fase eliminasi, di man kecepatan absorpsi lebih kecil daripada kecepatan eliminasi. Hubungan antara bioavailabilitas dan efektivitas klinik obat didasarkan pada asumsi bahwa intensitas dan durasi respon farmakologik obat berkaitan erat dengan kadar dan durasi obat aktif dalam darah atau sirkulasi sistemik. Profil kadar obat dalam darah memungkinkan perhitungan kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi dari suatu produk obat, dengan demikian data ini sangat membantu dalam mengevaluasi besarnya pengaruh formulasi pada perilaku obat dalam tubuh. Bila suatu industri obat telah memiliki data efektifitas obat melalui uji klinik dari suatu formulasi obat, maka industri obat lainnya yang ingin memasarkan obat yang sejenis haruslah melakukan suatu penetapan bioavailabilitas yang dapat menunjukkan bahwa formulasinya memberikan kadar puncak yang sama, kecepatan absorpsi yang sama, dan jumlah obat yang diabsorpsi yang sama dengan formulasi dari industri obat yang pertama. Jika ke tiga kriteria di atas dipenuhi, adalah beralasan untuk mengharapkan bahwa formulasi yang dikembangkan industri obat ke dua akan memberikan efek terapeutik yang sama dengan produk obat pertama. Aplikasi konsep bioavailabilitas yang semacam ini disebut bioekivalensi. Kriteria Bioekivalensi • Bioekivalensi berdasarkan data kadar obat dalam darah. Ada tiga parameter penting dalam mengevaluasi bioekivalensi antara dua formulasi dari obat yang sama, yaitu : 1) Kadar maksimal/kadar puncak, Cmaks (mcg/ml) Pada Gambar 1, C maks = 4,0 mcg/ml. Kadar maksimal dari kurva kadar darah — waktu merupakan kadar dalam darah tertinggi yang dicapai setelah pemberian obat per oral. 2) Waktu mencapai kadar maksimal, tmaks (jam) Pada Gambar 1, tmaks = 2,0 jam. Waktu mencapai kadar maksimal merupakan waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar maksimal setelah pemberian obat. Parameter tmaks berkaitan erat dengan kecepatan absorpsi obat dan dapat digunakan sebagai ukuran yang sederhana untuk mengukur kecepatan absorpsi. 3) Luas area di bawah kurva, AUC (mcg/ml x jam) Pada Gambar 1, AUC0-12 = 21,5 mcg/ml x jam. Luas area di bawah kurva merupakan parameter yang terpenting dan merupakan ukuran banyaknya obat yang diabsorpsi setelah pemberian dosis tunggal suatu obat per oral. • Bioekivalensi berdasarkan data ekskresi obat dalam urin. Bila yang diukur adalah ekskresi obat dalam urin kumulatif, parameter-parameter yang penting adalah : 1) Jumlah kumulatif obat yang diekskresikan dalam urin 2) Kecepatan ekskresi obat dalam urin Jika kecepatan dan jumlah obat yang diekskresikan melalui urin setelah pemberian 2 macam produk obat yang mengandung obat aktif yang sama itu identik, dapat disimpulkan bahwa ke dua produk obat tersebut adalah bioekivalen. Ini didasarkan pada konsep bahwa obat yang diekskresikan ke dalam urin berasal dari darah. Jika kedua profil kadar obat dalam darah dan pengukuran ekskresi obat dalam urin diperoleh dari satu subyek yang sama,
maka ke dua data tersebut merupakan komplemen satu sama lain. JENIS PENELITIAN BIOAVAILABILITAS OBAT Penelitian bioavailabilitas obat dapat merupakan : 1) Penelitian bioavailabilitas absolut, yaitu membandingkan bioavailabilitas suatu bentuk sediaan obat per oral dengan pemberian secara intravena.
2) Penelitian bioavailabilitas relatif, yaitu membandingkan secara relatif bioavailabilitas suatu bentuk sediaan obat per oral dengan bentuk sediaan obat sejenis lainnya.
Sebagai produk standar dapat digunakan : 1) produk larutan oral 2) produk inovator/originator, yaitu produk yang dibuat oleh pabrik penemunya, yang dianggap mempunyai bioavailabilitas terbaik yang sudah teruji secara klinik dengan hasil terapi yang baik (biasanya ditentukan oleh lembaga resmi, misalnya FDA). Penelitian bioavailabilitas relatif dapat diterapkan untuk : 1) memilih satu dari alternatif dua atau lebih bentuk sediaan yang sama dengan formulasi yang berbeda yang akan diproduksi oleh suatu pabrik, sehingga diketahui pengaruh komponen formulasi terhadap bioavailabilitas. 2) memilih bentuk sediaan yang mempunyai bioavailabilitas terbaik dari beberapa alternatif bentuk sediaan yang akan dikembangkan. 3) mengontrol variabilitas yang mungkin terjadi antar batch dari bentuk sediaan yang sama dari batch yang berlainan. 4) membandingkan secara komparatif produk pabrik mana yang mempunyai bioavailabilitas terbaik. PELAKSANAAN PENELITIAN BIOAVAILABILITAS OBAT : Penelitian bioavailabilitas obat memerukan fasilitas laboratorium analisis/bioanalitik yang canggih dengan tenaga ahli yang profesional dan harus memenuhi persyaratan tertentu. Untuk beberapa macam obat, persyaratan pelaksanaannya telah dikeluarkan oleh American Pharmaceutical Association dalam bukunya 'The Bioavailability of Drug Products.' Protokol penelitian bioavailabilitas obat hendaknya memuat tujuan percobaan, latar belakang obat yang hendak diteliti, bahan obat, pemilihan sukarelawan, disain penelitian, penanganan sampel, metoda analisis kadar obat dalam darah, dan hal-hal lain. Secara garis besar pelaksanaan suatu penelitian bioavailabilitas obat dilakukan sebagai berikut : 1) Pemilihan sukarelawan yang mencakup pemeriksaan kesehatan, penandatanganan informed consent. 2) Periode puasa dari minum obat apapun (1 minggu) 3) Puasa 1 malam sebelum pemberian obat 4) Pemberian obat 5) Pengambilan sampel material hayati (darah dan/atau urin) pada interval waktu tertentu. Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
51
5) Penyimpanan dan preparasi sampel 6) Analisis kadar obat dalam material hayati Langkah 2) s/d 6) dapat berulang sesudah periode wash-out sesuai dengan protokol. 7) Tabulasi data, perhitungan parameter-parameter farmakokinetika, analisis statistik. 8) Penyusunan laporan.
1) Obat-obat yang batas keamanannya sempit 2) Obat-obat yang absorpsinya berfluktuasi 3) Obat-obat yang variasi individunya besar dalam kadar plasma pada dosis biasa 4) Diperlukan untuk mempertahankan MEC/MIC obat dalam cairan hayati selama terapi 5) Obat-obat baru
OBAT-OBAT YANG PERLU DITELITI BIOAVAILABILITASNYA : Perlukah penelitian bioavailabilitas dilakukan untuk setiap obat? Memang masih belum ada suatu ketentuan yang berlaku umum untuk bioavailabilitas produk obat. Walaupun demikian, penelitian bioavailabilitas perlu dilakukan dalam hal berikut :
KEPUSTAKAAN
52
Cermin Dunia Kedokteran
No. 37 1985
1. Birkett DJ et al. Drug Absorption and Bioavailability, Medical Progress, August 1979, vol. 6 No. 8, pp. 51-61. 2. Dittert LW et al. The Bioavailability of Drug Products, Cumulative Edition, 1978, American Pharmaceutical Association, pp. 9-20. 3. Weser JK. Bioavailability of Drugs, New England J. Med., Vol. 291 No. 5, pp. 233-237.
Bagaimana Pengaruh Tubuh Terhadap Obat Dr. Mathilda B. Widianto Unit Bidang Farmakologi Jurusan Farmasi Institut Teknologi Bandung, Bandung
Untuk dapat menjawab pertanyaan yang kelihatannya sederhana ini, ada sejumlah parameter yang harus diperhatikan. Pada prinsipnya setiap orang harus menyadari bahwa tidak ada "tubuh standar", tiap organisme akan memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap suatu obat. Di samping perbedaan genetik, juga harus disadari bahwa individu yang sakit tidak sama reaksinya terhadap obat dibandingkan individu yang sehat dan normal. Belum lagi pengaruh lain,misalnya interaksi dengan obat lain, makanan, lingkungan hidup sehari-hari yang kesemuanya ini dapat mempengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi maupun ekskresi obat. Jika kita perhatikan hal-hal tersebut, kebiasaan memberikan obat sehari 3 kali akan berkurang, apalagi kalau kronofarmakologi ikut dipertimbangkan.
aktivitas enzim yang berbeda. Tentu saja hal ini dapat menyebabkan adanya efek obat yang jauh menyimpang dari yang diharapkan. Setelah pemberian beberapa obat seperti sulfasulfa, nitrofurantoin, primaquin, maka pada sekitar 10% orang negro dan sebagian penduduk sekitar Laut Tengah (Iran, Junani, Sardinia) timbul anemia hemolitik yang parah. Ternyata ini disebabkan kurangnya enzim glukose-6-fosfat dehidrogenase yang berperan pada biotransformasi senyawasenyawa tersebut. Gangguan pada enzim glukuronil transferase misalnya menyebabkan hiperbilirubinemia di samping tentunya juga akan menghambat ekskresi senyawa seperti parasetamol yang juga membutuhkan enzim ini. Polimorfisme genetik ini juga terjadi untuk senyawa lain misalnya INH (asetilasi), suksametonium (hidrolisis) dan lain-lain.
FARMAKOGENETIKA: apa itu ? Kalimat yang sangat trivial : "tiap individu berbeda" berlaku pada penggunaan obat-obatan. Dosis yang sama dari suatu obat dapat memberikan efek utama maupun efek sampingan yang berbeda pada individu yang berbeda. Dengan demikian, pengaturan dosis sesuai kebutuhan perorangan merupakan dasar yang baik pada setiap terapi. Pada umumnya faktor seperti pengaruh usia, kelamin, makanan dan sebagainya sudah banyak dipertimbangkan, sedangkan faktor genetik sebagai determinan kerja obat kurang mendapat perhatian. Adanya perbedaan kerja obat di sini disebabkan karena : — Adanya perbedaan individual bail( jumlah reseptor maupun affinitas obat untuk dapat terikat pada reseptor tersebut. — Adanya perbedaan pola absorpsi, distribusi, biotransformasi maupun ekskresi obat, hingga dosis yang sama dapat menyebabkan berbedanya kadar obat dalam plasma pasien bersangkutan. Perbedaan genetik ini biasanya disebabkan polimorfismus enzim-enzim tertentu, di man terbentuk isoenzim dengan
FARMAKOKINETIKA : — seringkali terjadi tidak sesuai dengan dugaan — Besaran farmakokinetika yang tertera pada pustaka dan brosur obat adalah keadaan kinetika obat pada individu normal. Di sinilah letak problem utamanya : obat justru digunakan pada orang sakit, hingga misalnya konstanta eliminasi yang dinyatakan untuk obat bersangkutan akan dapat sangat berbeda. Terutama pada penderita penyakit ginjal, hati dan gangguan kardiovaskular, perubahan besaran ini sudah harus diduga pasti terjadi. Dalam hal ini tentu sudah seharusnyalah baik dosis maupun interval pemberiannya diubah untuk mendapatkan efek terapi yang diinginkan, atau menghindari efek sampmg yang mungkin terjadi. Khusus untuk obat-obat yang mempunyal indeks terapi kecil, sudah banyak dilakukan penelitian farmakokinetika pada keadaan insufisiensi organ eliminasinya. Untuk mendapatkan gambaran kinetik obat bersangkutan, dapat dilakukan dengan melihat kurva waktu vs kadar obat dalam plasma. Untuk beberapa senyawa sudah ada petunjuk pengaturan dosis pada keadaan patofisiologis tertentu. Jelas-
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 53
lah, hanya dokter yang mengetahui sifat kinetika obat pada keadaan khusus inilah yang dapat melakukan terapi dengan tepat. Hal lain yaitu terjadinya induksi enzim hingga obat yang digunakan akan diuraikanlebih cepat. Dari sekian banyaknya sistem enzim dalam tubuh kita, yang paling berperan pada metabolisme senyawa asing adalah sitokrom P450 yang tersebar di paru-paru, ginjal, dinding usus halus, kulit, hati, Jumlah enzim ini akan dapat meningkat pada pemakaian suatu senyawa untuk waktu yang cukup lama. Karena penguraian obat dipercepat tentu saja kerja obat menjadi lebih singkat dan lebih lemah. Sulitnya lagi karena enzim bekerja pada banyak jenis obat, tentu pengaruhnya juga akan dialami obat-obat ini, bahkan oleh substrat tubuh sendiri. Barbiturat, terutama feniletilbarbiturat merupakan induktor enzim yang kuat. Pemakaian senyawa ini untuk waktu yang lama akan jelas mempengaruhi terapi dengan obat lain, karena waktu paruh senyawa tersebut akan berkurang. Sebagai contoh, terapi dengan difenilhidantoin. Di sini diamati bahwa kadar difenilhidantoin akan turun dengan drastis dalam waktu satu minggu pemberian feniletilbarbiturat. Dengan demikian, untuk mendapatkan kadar obat dalam plasma yang cukup untuk mencegah serangan epilepsi, mau tidak mau dosis difenilhidantoin harus ditinggikan. Akan tetapi harus pula diingat, untuk menurunkan dosis jika pemakaian obat lain yang bertindak sebagai induktor enzim tersebut dihentikan. Contoh lain yaitu percepatan eliminasi kontraseptiva oral setelah pemakaian barbiturat. Beberapa obat lain justru melakukan inhibisi sistem enzim (nortriptilin, simetidin, alopurinol, kloramfenikol, steroida kontraseptif), sehingga obat-obat yang dimetabolisir oleh sistem enzim yang sama akan diuraikan lebih lambat, dan dengan demikian kadar obat dalam plasma akan lebih tinggi. MAKANAN/MINUMAN Pola makanan seseorang serta komposisi dietnya mempengaruhi metabolisme banyak senyawa. Orang-orang vegetarier akan memetabolisir obat tertentu dengan kecepatan yang jauh lebih lambat daripada "pemakan segala". Makanan dengan jumlah karbohidrat tinggi akan memperlambat kecepatan metabolisme obat-obat seperti antipirin dan teofilin, sedangkan protein sebaliknya. Beberapa penelitian lain menunjukkan, intake kronik minuman yang mengandung teobromin, misalnya kopi, teh, kakao akan dapat menghambat metabolisme beberapa obat. Pengaruh alkohol pada metabolisme obat tidak selalu sama. Alkohol yang diminum dalam jumlah banyak akan menginduksi enzim, hingga lamanya obat dalam organisme akan lebih singkat. Akan tetapi pada peminum kronis dan berat, justru sebaliknya karena hatinya sudah terkena sirosis. Pengaruh merokok pada metabolisme obat juga sudah banyak diteliti. Perokok berat pada umumnya mempunyai sistem sitokrom P448 yang terinduksi, hingga obat-obat seperti teofilin, genasetin akan diurai lebih cepat. Pada orangorang ini, klirens ("Clearance") teofilin dua kali lebih tinggi daripada tidak perokok, hingga pada pengobatan asma tentu perlu pengaturan dosis. KEADAAN PENYAKIT Faktor patologis yang mempengaruhi metabolisme obat, 54
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
paling banyak diteliti pada penderita penyakit hati dan tiroid. Perubahan yang dapat terjadi pada berbagai jenis penyakit hati antara lain perubahan aktivitas enzim, ketersediaan kofaktor, aliran darah ke hati, susunan hepar sendiri dan lainlain yang masing -masing dapat mempengaruhi disposisi obat. Sangatlah sulit untuk meramalkan sampai seberapa jauh metabolisme suatu senyawa dipengaruhi oleh keadaan penyakit pasien tertentu, karena dari data biokimia tidak dapat dicari korelasi yang tepat. Karena itu, terapi obat secara individual harus didasarkan pada respons klinis atau konsentrasi obat dalam plasma pasien bersangkutan. Pada penyakit tiroid, hasil penelitian menunjukkan bahwa hipertiroidea akan menstimulasi metabolisme obat dan keadaan sebaliknya terjadi pada penderita hipotiroidea. KONTAK DENGAN SENYAWA KIMIA TERTENTU Kontak kronis dengan senyawa kimia tertentu seperti DDT, hidrokarbon polisiklik dan lain-lain dapat mengubah aktivitas enzim pemetabolisir obat. Walaupun penelitian untuk ini belum banyak, dapat dikatakan bahwa kemungkinan besar senyawa yang larut lemak akan menyebabkan terjadinya induksi sedangkan logam-logam berat seperti Pb akan bertindak sebagai inhibitor enzim. Tentu saja faktor penentu lainnya seperti waktu kontak, dosis harian dan sebagainya akan sangat berpengaruh. Konsekuensi dari pembicaraan di atas tentulah perlunya pengaturan dosis obat pada terapi, terutama pada obat -obatan yang jarak dosis terapeutik dan dosis letalisnya cukup dekat. Untuk pengembangan obat baru perlu diperhatikan faktorfaktor tersebut di atas, apakah biotransformasi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh faktor genetika, makanan tertentu atau faktor lain. Jawaban tentu sudah harus didapat sebelum melangkah ke percobaan klinik double blind, pada saat mana pasien biasanya mendapat dosis obat dan bentuk sediaan yang sama. Ini tentu merupakan penentu reputasi obat tersebut hingga pengaturan dosis sudah dapat diatur pada tahap awal obat disebarluaskan.. Dengan mempertimbangkan faktor -faktor tadi, di samping faktor lain seperti first pass effect yang belum dibahas di sini, maka untuk mendapatkan terapi yang rasional dan sesuai dengan tujuan pengobatan, dosis obat dan interval pemberian harus disesuaikan hingga indikasi "sehari 3 kali" harus diubah sesuai kebutuhan. KEPUSTAKAAN 1. La Du BN, Mandel HG, Way EL. Fundamentals of Drug Metabolism and Drug Disposition, New York: Krieger Publ Co., 1979. 2. Dtsch Ap Z, 1984; 124: 233-235. 3. Clin Pharmacol Ther, 1976; 20: 643 .653. 4. Eur J Clin Pharmacol, 1984; 27: 595-602. 5. Mutschler E. Arzneimittelwirkungen, 4 Auflage, Stuttgart: Wissenschaftliche Verlagsgesellschaft mbH, 1981.
Konsultasi Farmakologik di Samping Penderita dr.
Budiono Santoso
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Yogjakarta Universitas Gadjah Mada.
PENDAHULUAN Salah satu peran farmakologi yang bisa dikembangkan dalam penanganan penderita adalah mekanisme konsultasi langsung mengenai kasus-kasus, di mana dijumpai adanya permasalahan obat dan pengobatan. Judul makalah "konsultasi farmakologi di samping penderita" mungkin tidak begitu jelas dan terlalu agresif, tetapi yang dimaksudkan di sini yaitu adanya mekanisme konsultasi antara klinikus sebagai penanggung jawab penanganan penderita dengan salah satu sistem pendukungnya (back up system) untuk meningkatkan secara maksimal kemanfaatan terapi, dan mengurangi sekecil mungkin ri siko efek samping pengobatan. Halkin (1984 1 ) dalam kuliah tamu pada "The Second World Conference of Clinical Pharmacology & Therapeutics" mengajukannya dengan istilah "Beside clinical pharmacology and concultation". Dalam tulisan ini akan dibicarakan secara ringkas mengenai tujuan, manfaat, lingkup kegiatan dan pelaksanaannya. Khusus dengan melihat permasalahan farmakoterapi di Indonesia, nampaknya kegiatan semacam ini perlu dikembangkan. TUJUAN & MANFAAT Essensi utama dari penerapan farmakologi klinik dalam penanganan penderita sehari-hari adalah memastikan kualitas farmakoterapi. Telah disadari bahwa setiap pemberian obat pada penderita selalu disertai dengan kemungkinan timbulnya risllco, walau paling ringan sekali pun. Kualitas farmakoterapi yang di tuju dalam penerapan farmakologi klinik untuk penanganan penderita adalah tercapainya "keseimbangan" antara manfaat dan risiko tersebut. Dengan kata lain, bagaimana manfaat farmakoterapi bisa dicapai secara maksimal demi perawatan atau penyembuhan penderita dengan risko sekecil mungkin. Sehingga manfaat dari mekanisme konsultasi langsung adalah dalam upaya peningkatan kualitas penanganan penyakit penderita, bila ditinjau dari segi pelayanan. Manfaat lain dari segi proses pendidlkan bagi calon-calon
dokter, yaitu memberikan pengalaman langsung dalam penerapan farmakologi klinik dalam penanganan masalah-masalah penyakit pada masing-masing tipe penderita. Jelas bahwa hal ini hanya berlaku di pusat-pusat pendidikan kedokteran atau di rumah-rumah sakit pendidikan. Jika hal ini disimak lebih lanjut, sebenarnya merupakan perwujudkan dari konsep pengajaran farmakologi yang tidak sekedar bersifat didaktik melalui kuliah-kuliah konvensional, tetapi dengan memberikan pengalaman nyata bagi calon-calon dokter dalam penanganan penderita. Secara kritilc seorang calon dokter mendapatkan pengalaman dalam berbagai hal, menyangkut : 1). Pemilihan obat berdasarkan diagnosis yang ditegakkan. Di sini analisis manfaat-risiko (benefit-risk) dan manfaat-ongkos (benefit-cost) mau tidak mau juga pasti harus terpikirkan. 2). Penentuan dosis, dan individualisasi dosis pada keadaankeadaan tertentu yang berhubungan dengan kondisi pasien. Misalnya, penyesuaian dosis obat pada keadaan gangguan faal ginjal. 3). Penilaian respons penderita terhadap terapi. Apakah keadaan penderita membaik dengan terapi yang diberikan ? Apa yang dinilai? Kapan harus dipertimbangkan ganti alternatif terapi (switch of therapy) bila tidak ada respons ? Mengapa tidak ada respons? Apakah tidak adanya respons terhadap pengobatan disebabkan karena faktor-faktor dalam tingkat kinetik, yang mungkin masih bisa dikoreksi dengan peningkatan dosis, misalnya jika dikarenakan kadar yang tercapai tidak mencapai kadar terapeutik minimal. Ataukah dalam tingkat dinamik, misalnya karena adanya resistensi pada keadaan infek si? 4). Mencari kemungkinan timbulnya efek yang tidak dikehendaki (adverse reaction) dari terapi, baik berupa efek samping ataupun efek toksik, dalam berbagai tingkat. Fenomena-fenomena dalam farmakologi dan terapeutika Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
55
yang secara konvensional didapatkan dari kuliah-kuliah di kelas mungkin bisa didapatkan dalam kenyataan klinik yang dihadapi, misalnya tentang antar aksi obat pada pengobatanpengobatan kombinasi. Satu hal yang perlu disadari dan ditandaskan pada calon-calon dokter, setiap pemberian obat, apapun jenisnya, harus dipertimbangkan dan dipikirkan kemungkinan (prediction) timbulnya berbagai pengaruh, baik pengaruh klinik atau pengaruh buruk. Apa yang dikemukakan di atas mungkin merupakan beban dari klinikus, tetapi bukankah hal-hal yang disebutkan tadi sebenarnya juga merupakan konsekuensi logis dari terapeutika? Suatu hal yang biasa dan logis, hanya mungkin sering terkesampingkan. Mekanisme konsultasi langsung juga bermanfaat dalam mendukung ke arah terapi rational (rational drug therapy). Halhal yang berkaitan dengan ketidaktepatan dan ketidaksesuaian tempi pada suatu keadaan klinik, tidak perlu terjadi atau bisa ditekan se minimal mungkin dengan mekanisme konsultasi. Kerangka dalam rasionalisasi terapi mulai dari keputusan dan pertimbangan-pertirnbangan yang perlu diperhatikan, secara sistematik meliputi l Keputusan 1. Diagnosis a. Tepat (akurat) atau b. Paling tidak diagnosis yang paling mungkin (probable) 2. Pengertian penyakit a. Patofisiologi b. Riwayat alamiah 3. Mengobati atau tidak a. Obat mungkin tidak diperlukan : — Sama sekali tidak perlu obat — Terapi lain lebih bermanfaat
b. Jika diperlukan obat : — Keuntungan (manfaat) yang diharapkan ? — Kemungkinan efek buruk ? — Kerugianbila obat tidak diberikan? 4. Obat dan aturan dosis a. Pemilihan obat, dosis, sediaan, dan cara pemberian b. Pemilihan dosis dan aturan dosis yang tepat pada penderita dengan melihat kondisi si penderita. c. Lama pengobatan berdasarkan perjalanan alamiah penyakit. Pertimbangan-pertimbangan 1. Kecocokkan (kompatibilitas) antara obat dan pasien (kemungkinan terjadinya efek buruk) 2. Kompatibilitas antar obat (intereksi) 3. Pertimbangan masak-masak keputusan 4.a di atas. Tindakan 1. Menulis resep/instruksi pengobatan 2. Instruksi-instruksi khususjika perlu : a. Efek samping yang mungkin timbul b. Cara pemberian obat 3. Evaluasi (follow-up) a. Dari gejala yang ada. Titrasi-dosis b. Ketaatanminum obat perlu dikontrol. 56
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
LINGKUP KEGIATAN & PERAN FARMAKOLOGIK Walaupun mungkin farmakologi klinik merupakan ilmu yang bersifat "eksperimental 3 , jika dilihat dari definisi "the scientific study of drugs in man" 4 , namun langsung atau tidak bidang ini berkaitan erat dengan pelayanan perawatan penderita. Seperti telah dikatakan di awal tulisan ini, sesuai penerapan farmakologi klinik dalam penanganan penderita adalah mendorong tercapainya keseimbangan dalam manfaat terapi yang bisa dicapai, dan risiko pengobatan yang mungkin timbul pada kasus-kasus individual. Untuk memenuhi tugas terapeutik ini diperlukan kemampuan dan pengetahuan dalam : a). Penanganan (manajemen) dalam berbagai bidang klinik secara luas (misalnya ilmu penyakit dalam, ilmu kesehatan anak) b). Penerapan prinsip-prinsip pemilihan obat, farmakokinetika dan farmakodinamika klinik c). Rancangan (disain), pelaksanaan dan analisis data penelit ian klinik. Dengan kemampuan dan pengetahuan seperti yang disebutkan di atas, konsultasi farmakologi dapat mempengaruhi/meningkatkan penanganan kasus-kasus individual (individual patient care), melalui antara lain1 : 1. Detoksi kuantitatif adanya ketidak-tepatan terapi atau ketidak-sesuaian terapi, pada keadaan-keadaan di mana pengamatan-pengamatan klink tidak jelas. Untuk ini di perlukan pengukuran kadar obat dalam cairan biologik. 2. Memeriksa mekanisme ketidak-sesuaian respons terhadap pengobatan, untuk memastikan apakah perlu mengganti pilihan obat (dinamika atau mengganti aturan dosis (kinotika). 3. Penilaian kembali (reappraisal) strategi terapeutik yang telah efinisi "the scientific study of drugs in man" 4. Merancang dan menganalisis data penelitian-penelitan klinik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam prektek klinik sehari-hari. 5. Monitoring pemilihan obat, kebiasaan resep (prescribing habit) dan penggunaan informasi obat. Konsultasi farmakologik tidak perlu untuk setiap kasus. Mungkin prioritas utama adalah kasus-kasus serius, atau mengancam kehidupan (life threatening) yang perlu penanganan secara intensif. Pertanggungan jawab penanganan penderita tetap berada di tangan klinikus. Konsultasi farmakologik hanya sebagai salah satu sistem pendukung (back up system), sehingga klinikus harus benar-benar mempertimbangkan semua kemungkinan dari saran-saran yang diterima dalam konsultasi. Kapan, di man dan bagaimana mekanisme konsultasi di organisir dan dikerjakan akan sangat tergantung pada keadaan masing-masing tempat dan juga kegiatan-kegiatan akademik lain yang dijalankan. Tetapi yang mungkin paling bermanfaat untuk dikembangkan adalah unit-unit ilmu penyakit dalam, il mu kesehatan anak, kemudian ilmu bedah, kebidanan dan neurologi. Hal ini membatasi kemungkinan unit-unit lain. Karena kegiatan mekanisme konsultasi sebenarnya menyangkut hubungan antar orang, diperlukan kesiapan-kesiapan
dari pihak yang terlihat. Seperti dikatakan di depan, dari farmakologi diperlukan kesiapan-kesiapan dalam alternatifalternatif pemilihan obat, individualisasi dosis monitoring manfaat klinik, efek buruk, penilaian strategi terapeutk, dan lainlain. Selain kesiapan-kesiapan dalam bidang terapeutika, peningkatan sarana laboratorium farmakologi klinik untuk analisis kadar obat-obat tertentu dalam cairan biologik perlu diperhatkan. PEMBAKUAN STRATEGI TERAPI Di pusat-pusat pelayanan atau pusat-pusat pendidiikan doktor, biasanya berdasarkan masalah-masalah penyakit yang dihadapi, telah dibuat suatu strategi terapi standar untuk masingmasing jenis penyakit. Strategi terapeutik dibuat berdasarkan tulisan-tulisan atau laporan-laporan penelitian yang dimuat dalam berkla-berkala kedokteran, atau berdasarkan tambahan pengalaman setempat yang telah di telaah secara tuntas. Evaluasi pengalaman setempat akan banyak bermanfaat dalam me ngembangkan standar terapeutik di masing-masing rumahsakit. Misalnya, dalam menghadapi satu kasus meningitis pada anak, sebelum hasil pemerlksaan mikrobiologk untuk memastkan kuman penyebabnya dan pola sensitifitas kuman terhadap antibiotika di terima, di mana ini akan makan waktu beberapa hari, dokter harus secepat mungkin memberikan terapi. Bagaknana dokter harus memilih antibiotika yang tepat? Pemilihan alternatif sebelum ada kepastian hasil laboratorium, dibuat berdasarkan pustaka dan perkiraan-perkiraan ilmiah (scfentfic guess) berdasarkan data epedemiologik maupun pola sensitifitas se tempat yang dikumpulkan dari data sebelumnya di Rumah-Sakit yang bersangkutan. Ketidak-cocokan dengan hasil laboratorium, bisa dlkoreksi kemudian dengan melihat evaluasi terapeutik dari penderita yang bersangkutan. Strategi-strategi terapeutik untuk tiap-tiap keadaan klinik yang dominan perlu dikembangkan, dan dinilai kembali dari waktu ke waktu. Pertimbangan-pertimbangan farmakologi klintk bisa dtberkan dalam pengembangan strategi terapeutik seperti ini dan dalam penelaahannya kembali. Hal ini langsung
atau tidak akan mendorong upaya peningkatan kualitas perawatan penderita. Mekanisme konsultasi langsung akan bermanfaat untuk setiap kali menilai strategi terapi yang sudah diterima tersebut, berdasarkan pengalaman dari pasien ke pasien. KESIMPULAN Sebagai penutup, bisa disimpulkan bahwa mekanisme konsultasi famakologik langsung akan sedikit banyak membantu dalam peningkatan kualitas terapi, dan di samping itu merupakan media yang sangat bermanfaat untuk pengajaran farinakologi klinik melalui pengalaman. Lingkup konsultasi diharapkan beranjak dari pemilihan obat, penentuan dan penyesuaian dosis, monitoring terapi, identifikasi efek samping dan evaluasi strategi terapi. Kerjasama dari klinikus dan pihak farmakologi akan sangat menentukan bermanfaat atau tidaknya mekanisme ini.
KEPUSTAKAAN 1. Halkin H. Principles of Clinical Pharmacology. IV. Bedside Clinical Pharmacology & Consultation. In : Lemberger, L. & Reidenberg, M.M. (eds). Procoodings of the Second World Conference of Clinical Pharmacology & Therapeutics. Published by the American Society for Pharmacology and Experimental Therapeutics, Bethesda, Maryland 1984 pp: 31-36. 2. Sjoqvist F. Borga 0 & Orme ME. Fundamentals of Clinical Pharmacology. In : Avery. G.S (ed) Drug Treatment - Principle and Practice of Clinical Pharmacology & Therapeutics. 2 nd ed. Sydney : Adis Press, pp : 1 - 61 3. Gross F. Clinical Pharmacology is an exporimental science. M.M. (eds).. Principles of Clinical Pharmacology & Therapeutics. Published by the American Society for Pharmacology and Expreimental Therapeutics. Bethesda, Maryland. 1984 pp : 316 - 330. 4. World Health Organization. Clinical Pharmacology : Scope, Organization, Training. WHO Technical Report Series, No. 446, 1970.
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
57
Sekilas Tentang Sub Bidang Farmakokinetika Bagian Penelitian dan Pengembangan PT Kalbe Farma
LATAR BELAKANG PENDIRIANNYA Dengan dicapainya kemajuan-kemajuan yang pesat dalam bidang farmakologi klinik, biofarmasi dan farmakokinetika, sekarang bisa diketahui bahwa : a). terdapat hubungan yang erat antara jumlah/konsentrasi obat dalam tubuh (pada "site of action") dengan intensitas efek yang ditimbulkannya. b). persyaratan beberapa sifat fisik dan kandungan zat aktif sediaan tidak cukup untuk bisa menjamin tercapainya efektifitas obat yang diharapkan. Dengan kata lain, dua sediaan (dengan komposisi zat aktif dan bentuk sediaan yang sama) yang ekivalen dalam hal persyaratan tersebut belum tentu dapat menghasilkan ketersediaan zat aktif dalam tubuh (bioavailabilitas) yang ekivalen. Sesuai dengan motto PT. Kalbe Farma : "Mengabdikan ilmu untuk kesehatan dan kesejahteraan", maka adanya perkembangan ilmu-ilmu tadi telah dengan sendirinya menyebabkan perubahan pandangan dalam menilai kualitas sediaan yang dihasilkan. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh obat-obat yang diproduksi tidak lagi cukup hanya dengan memenuhi persyaratan - persyaratan resmi yang ada saja (kandungan zat aktif, sifat fisik sediaan, dll.) tetapi harus benar-benar memiliki potensi terapeutik yang tinggi : bioavailabilitas yang baik. Dengan demikian, pada awal tahun 1982 pada saat Sub Bidang Farmakologi dinaikkan posisinya menjadi Bidang Farmakologi, lahirlah beberapa Sub Bidang yang berada di bawah Bidang Farmakologi, salah satu diantaranya adalah Sub Bidang Farmakokinetika yang tugas utamanya melaksanakan uji bioavailabilitas. Pada tahap selanjutnya, fungsi -fungsi yang dijalankan Sub Bidang ini ternyata mengalami perkembangan, di antaranya adalah : pemeriksaan kecepatan disolusi zat aktif dari sediaan (dissolution rate), sehingga kalau melihat fungsinya yang ada sekarang ini, Sub Bidang ini mungkin akan lebih tepat kalau disebut Sub Bidang Biofarmasi & Farmakokinetika.
58
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Gambar 1. Staf peneliti pada sub bidang Biofarmasi & Farmakokinetika bergambar bersama Kepala Bidang Farmakologi dan Manager Puslitbang. Berdiri dari kiri ke kanan : Dr. A. Hadyana P. (Manager Puslitbang), dr. Bambang Suharto (Ka. Bid. Farmakologi), Dr. Yeyet Cahyati S., Apt. (Konsultan, Staf. Pengajar pada Jurusan Farmasi FMIPA ITB), Drs. Victor S. Ringoringo (Ka. Sub. Bid. perioda 1982— 1984); duduk dari kiri ke kanan : Yuniwati A. Chandra, Erni Suwaro, dan Tuti Resmiati (analis), Dra. Umi BS Apt. (Ka. Sub. Bid. Biofarmasi & Farmakokinetika sejak 1984 s/d sekarang).
FUNGSI -FUNGSI YANG SUDAH DIJALANKAN Sesuai dengan kedudukan PT. KALBE FARMA sebagai sebuah industri farmasi yang memproduksi sediaan obat jadi, fungsi -fungsi yang sudah dilaksanakan oleh Sub Bidang ini meliputi : 1). Pemilihan bahan baku zat aktif (sumbernya) yang paling baik dengan melihat kecepatan disolusinya. Sebagaimana kita tahu, suatu senyawa aktif yang dihasilkan/diproduksi oleh industri -industri yang berbeda belum tentu berkualitas sama, sedangkan kualitas bahan baku yang dipergunakan akan dapat mempengaruhi kualitas sediaan yang dihasilkan. Kecepatan
Gambar 2. "HANSON Dissolution Tester", alat uji laju disolusi type USP dengan kapasitas 6 labu yang dilengkapi dengan peralatan sampling dan penggantian cairan dissolusi otomatis, yang sudah dimiliki oleh Sub bidang Biofarmasi & Farmakokinetika Puslitbang PT. Kalbe Farma.
mutunya dengan menilai bioavailabilitasnya. Penilaian bioavailabilitas dilakukan secara komparatif dengan membandingkannya terhadap bioavailabilitas sediaan lain (dalam bentuk sediaan dan komposisi zat aktif yang sama), yang diproduksi oleh pabrik farmasi lain yang patut dijadikan sebagai patokan yang baik. Penelitian ini dilakukan terhadap sukarelawan sehat, di mana terhadap mereka ini terlebih dahulu dijelaskan beberapa hal yang meliputi : tujuan penelitian, obat yang dicoba, efek samping yang mungkin terjadi, tanggung jawab perusahaan, dan lain-lain. Sebelum penelitian dimulai. 4). Penilaian ketepatan aturan dosis (dosage regimen). Dengan mengetahui therapeutic window dan data farmakokinetikanya, aturan dosis obat dinilai kembali, apakah dosis tidak terlalu besar sehingga pemakaian obat tidak efisien atau malah mungkin akan timbul efek-efek yang tidak diharapkan, atau mungkin terlalu kecil sehingga obat tidak akan bekerja secara efektif. Data farmakokinetika yang dipakai di sini adalah data farmakokinetika yang telah dihasilkan dan diamati pada orangorang Indonesia sendiri, yang penelitiannya dilakukan oleh PT. Kalbe Farma. Sebugaimana kita ketahui, data farmakokinetika suatu obat yang dihasilkan oleh orang-orang Barat belum tentu sama dengan yang dihasilkan oleh orang-orang Indonesia. Oleh karena itu, aturan dosis yang sudah disusun untuk orang-orang Barat belum tentu sama dengan yang diperlukan oleh orang-orang Indonesia. Dengan demikian, sebenarnya aturan pemakaian obat di Indonsia harus didasarkan kepada kondisi - kondisi yang ada di Indonesia sendiri. Hal inilah yang sedang dirintis oleh PT. Kalbe Farina dalam rangka pemakaian obat yang lebih rasional di negara kita. SARANA YANG TERSEDIA Untuk melaksanakan fungsi -fungsi di atas tadi, Sub Bidang Biofarmasi & Farmakokinetika telah melengkapi diri dengan sarana - sarana yang diperlukan, baik ruang dan peralatan maupun sumber daya manusia.
Gambar 3. Kamar dan peralatan khusus untuk pengambilan sampel cairan biologis dari sukarelawan.
disolusi zat aktif dari sediaan dalam saluran pencernaan makanan cukup erat kaitannya dengan kecepatan absorbsi obat tersebut dalam tubuh. 2). Evaluasi sifat/kualitas sediaan dalam tahap pengembangan. Sub Bidang Biofarmasi. & Farmakokinetika ini ikut membantu bidang formulasi dalam pengembangan dan perbaikan formula sediaan, khususnya sediaan padat (tablet, kapsul, kaplet) dengan efek sistemik yang digunakan secara oral, yaitu dengan menentukan profil disolusi zat aktif dari masing-masing formula yang dicoba. Data ini kemudian akan menjadi suatu bahan pertimbangan untuk bidang formulasi dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya mengenai formula -formula yang sudah dikembangkan tadi. Apakah harus ada perbaikan lagi, atau langsung ke penentuan bioavailabilitas dengan memilih satu atau beberapa formula yang terbaik. 3). Penilaian tahap akhir mutu sediaan. Sediaan - sediaan yang formulasinya sudah selesai dan siap untuk diproduksi dalam skala besar untuk mulai dipasarkan, khususnya sediaan-sediaan dalam bentuk padat yang digunakan secara oral, diperiksa
Ruangan Sampai dengan saat ini, Sub Bidang Biofarmasi & Farma-
Gambar 4. "DESAGA Tri-dimensional Shaker ", pengocok tiga dimensi yang khusus digunakan untuk ekstraksi senyawa aktif dari cairan biologis.
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
59
• Alat disolusi (dissolution tester) type USP, model Hanson, kapasitas 6 labu dengan alat pengambil dan pengganti cairan disolusi yang otomatis. • Alat simulasi (absorption simulator) SARTORIUS. • Peralatan untuk pengolahan data. Untuk pengolahan data Sub Bidang Farmakokinetika memiliki kalkulator yang dapat diprogram (programmable calculator) dan mendapat bantuan dari bagian pengolahan data elektronik (Electronical Data Processing) untuk penggunaan komputer, khususnya untuk keperluan penentuan parameter farmakokinetika dengan cara regresi non-linier dan untuk simulasi perkembangan kadar obat dalam tubuh. Personalia Sejak mulai berdiri sampai dengan sekarang, Sub Bidang ini dipnnpin oleh seorang tenaga Apoteker yang dibantu beberapa orang tenaga analis. Karena fungsinya yang semakin meningkat sehingga masalah-masalah yang dihadapi menjadi lebih banyak, pada saat ini Sub Bidang Biofarmasi & Farmakokinetika mendapat tambahan bantuan tenaga, yaitu seorang tenaga Apoteker yang telah mendapatkan pendidikan khusus dalam bidang farmakokinetika. Bantuan lainnya adalah bantuan pelayanan dariSub Bidang Bio-analitik, dalam hal pengembangan metoda analisis dan pelaksanaan analisis yang sebenarnya yang dilakukan secara fisikokimia (HPLC, CC, TLC-spektrofotodensitometri, dan lain-lain). HASIL-HASIL YANG SUDAH DICAPAI Gambar 5.Satu . set alat penguapan pelarut organik yang dirancang sendiri, yang memakai sistem hampa udara dan aliran gas nitrogen di samping thermostat sendiri. kokinetika telah memiliki beberapa ruangan sendiri untuk pelaksanaan aktivitasnya, di antaranya adalah ruang laboratorium untuk penyiapan sampel (sample preparation) dan analisis, dan "ruang sukarelawan" yang digunakan untuk pemberian sampel obat dan pengambilan sampel cairan biologis. Peralatan Sub Bidang ini sudah memiliki seju mlah peralatan yang cukup lengkap untuk mclaksanakan tugas -tugasnya. Peralatan yang tersedia dapat diperinci sebagai berikut : • Peralatan sampling dan penyimpanan sampel meliputi sejumlah meubelair untuk sukarelawan, lemari pendingin (freezer), dan lain-lain. • Peralatan untuk pengolahan dan penyiapan sampel : alat sentrifus, alat pengocok tiga dimensi (tridimensional shaker), tabung ekstrasksi khusus (dapat dipakai sekaligus untuk pengocokan, sentrifugasi, penguapan pelarut, dan untuk rekonstitusi ekstrak), satu set alat penguapan pelarut (terdiri dari pemanas, sistem hampa dan sistem aliran gas nitrogen), thermostat, oven, whirlimixer, dan lain-lain. • Peralatan untuk analisis : seperangkat peralatan untuk analisis mikrobiologik (cawan petri, inkubator, dan lain -lain), dan peralatan analisis lain yang ditunjang oleh Sub Bidang Standardisasi seperti : kromatograf cair penampilan tinggi (HPLC), kromatograf gas (GC), TLC-Scanner, spektrofotometer UV-Visible, spektrofotometer serapan atom (AAS),
60
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Telah cukup banyak penelitian- penelitian yang dilakukan oleh Sub Bidang Farmakokinetika, khususnya penelitian dalam hal bioavailabilitas. Penelitian bioavailabilitas yang sudah diselesaikan di antaranya adalah penelitian bioavailabilitas untuk sediaan : ampisilin kapsul dan kaplet (Kalpicilin ®), amoksisilin kapsul dan kaplet (Kalmoxilin®), eritromisin stearat kapsul dan kaplet (Kalthrocun®), furosemid tablet (Salurix ®), Josamisin tablet (Josa-
Gambar 6. Kromatograf cair penampilan tinggi (HPLC) Merek Hewlett-Packard type 1084 B, satu di antara beberapa alat analisis modern yang sudah dimiliki oleh Puslitbang PT. Kalbe Farma, yang juga digunakan untuk penentuan kadar zat aktif terapeutik dalam cairan biologis.
Hasil-hasil tersebut di atas sudah dipublikasikan baik pada seminar-seminar maupun pada majalah-majalah yang sifatnya il miah. Di antaranya adalah :
Gambar 7. Salah satu =sin komputer milik PT. Kalbe Farina yang digunakan untuk identifikasi parameter farmakokinetik dcngan cara rcgresi non-linier.
xin® 1, parasetamol tablet (Kalrifam®), dan lain-lain.
(Procold®, rifampisin kapsul
1. Victor SR, Bioavailabilitas komparatif dua preparat kapsul Amoksisilin 250 mg, Pekan Ilmiah & Simposium Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta. September 1981. 2. Victor SR, Bioavailabilitas komparatif dua preparat kapsul Rifampisin 300 mg, Kongres Nasional Mikrobiologi ke 3, Jakarta, 26 – 28 Nopcmber 1981. 3. Victor SR, Ern Suwaro dan Yuniwati ACh, Bioavailabilitas komparatif tiga preparat tablet ampisilin 500 mg, Kongres Ilmiah Farmasi Nasional ke IV, Jakarta, 20 – 22 Januari 1983. 4. Victor SR, Erni Suwaro dan Yuniwati ACh, Bioavailabilitas komparatif tiga preparat kapsul ampisilin 250 mg, Kongres Nasional ke V Ikatan Ahli Farmakologi Indonesia, Semarang, 27 Nopember – 1 Desember 1983. 5. Victor SR, John Tilly dan Erni Suwaro, Penetapan bioavailabilitas komparatif dua preparat tablet ampisilin 500 mg dengan metoda ekskresi urin kumulatif, Kongres Ilmiah Farmasi Nasional ke V, Bandung, 26 – 28 Agustus 1984. 6. Victor SR, Bioavailabilitas komparatif tiga preparat Amoksisilin 500 mg, Majalah Farmakologi Indonesia & Terapi, Th. II (1), 1985, 17.21.
(Yeyet Cahyati S.)
(Sambungan dari halaman 25) Better Savety of Drugs and Pharmaceutical Products. Elsevier Biomedical Press, 1980: 117–42. 2.Ritschel WA. Handbook of Basic Pharmacokinetics, first edition, Hamilton: Drug Intelligence Publication Inc, 1976 : 143–59. 3.Rowland M & Tozer TN. Clinical Pharmacokinetics: concepts and applications, Philadelphia: Lea & Febiger, 1980 : 48–64. 4.Brun C, Hilden T & Raaschou F. The significance of the difference in systemic arterial and venous blood concentrations in renal clearance methods. J Clin Invest, 1949 : 144–52. 5.Tucker GT. Measurement of the renal clearance of drugs. Br J Clin Pharmac, 1981; 12 : 761–70.
6.Suryawati S & Santoso B. Penurunan kecepatan eliminasi renal salisilat karena pra perlakuan propranolol. In press: Majalah Farmakologi & Terapi Indonesia, 1985b. 7.Rane A & Wilson JT. Clinical pharmacokinetics in infants and children. Clin Pharmacokin, 1976; 1 : 2–24. 8.Crooke J, O'Malley K & Stevenson IH. Pharmacokinetics in the elderly. Clin Pharmacokin, 1976; 1 : 280–96. 9.Beckett AH & Rowland M. Urinal)) excretion kinetics of methylamphetamine in man. Nature, 1965; 206 : 1260–1. 10.Suryawati S & Santoso B. Pengaruh dosis terhadap eliminasi renal salisilat, sulfadiazin dan sulfametazin. Akan dipublikasi, 1985a.
(Sambungan dari halaman 20) 2. VF Smolen. Quantitative determinations of drug bioavailability and biokinetic behavior from pharmacological - data for ophthalmic and oral administrations of a mydriatic drug, J Pharm Sci 1971; 60;354 – 365. 3. VF Smolen, WA Weigand . Drug bioavailability and pharmacokinetic analysis from pharmacological data, J. Pharmacokin Biopharm 1973;1: 329 -- 335. 4. RL Wolen, A Rubin BE Rodda, AS Ridolfo, CM Gruber Jr. Problems associated with bioavailability and dosage regimen studies in man, J Pharmacokin Biopharm. 1974; 2 : 365 – 377.
5. J Lindenbaum, MH Mellow, MO Blackstone, VP Butler Jr. Variation in biologic availability of digoxin from four preparations, New Engl J Med 1971; 285 – 1344 – 47. 6. Blair DC, Barnes RW, Wildner EL, Murray WJ. Biological availability of oxytetracycline hydrochloride capsules. A comparison of all manufacturing sources supplying the United States market, JAMA 1971; 215 : 251 – 254. 7. WH Hauck, S Anderson. A New Statistical procedure for testing equivalence in two - group comparative bioavailability trials. J Pharmacokin Biopharm. 1984;12 : 83 – 117.
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
61
Cara Menentukan Kualitas Protein Suatu Bahan Makanan Dra. Oey Kam Nio Unit Penelitian Gizi Diponegoro dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
Kualitas suatu protein bahan makanan ditentukan oleh pola asam aminonya, serta jumlah masing - masing asam amino esensialnya. Asamamino esensial, yaitu asamamino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh kita sendiri, dan dengan demikian harus diperoleh dari makanan sehari-hari adalah : valin, leusin, iso-leusin, lisin, triptofan, metionin, fenilalanin, threonin. Asam amino non-esensial juga diperlukan oleh tubuh, tetapi karma dapat disintesis oleh tubuh sendiri, jadi tak mutlak harus ada dalam makanan sehari-hari. Kualitas suatu protein nrakanan akan semakin tinggi, bola pola asam aminonya semakin menyamai pola asam amino protein tubulr kita. Kualitas suatu protein dapat ditentukan dengan beberapa cara, misalnya cara Knnia dan cara Biologik. CARA KIMIA Penentuan Chemical Score atau Amino Acid Score dengan menggunakan kadar asam amino (esensial) dapat memberikan perkiraan tentang kualitas protein, tapi tidak tentang bioavailability asam-aminonya. Dengan cara ini, sesudah kadar masing-masing asam-amino esensial-nya ditentukan, kadar ini dibandingkan dengan yang tertera pada suatu reference protein. Sebagai Reference protein sekarang dipakai whole hen's egg protein atau Cow's milk protein1 . Sebelumnya digunakan Provisional Amino Acid Pattern (PAAP) dari FAO/WHO. PAAP adalah suatu "protein" hepotetis yang mempunyai nilai biologik yang tinggi dan pola asam amino yang spesifik2. First limiting amino acid adalah asam amino esensial yang juinlahnya terkecil dibanding dengan jumlah asam amino yang sama yang ada pada suatu reference protein. First limiting amino acid ini dapat dipakai untuk menghitung chemical score 3 atau amino acid score 4 yang merupakan suatu ramalan ilmiah mengenai kualitas suatu protein. Asam amino dengan kadar yang kedua terkecil dibandingkan dengan yang ada pada reference protein dinamakan second limiting amino acid, dan seterusnya.
62
Ccrmin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Dengan cara kimia ini tidak diperhitungkan besarnya daya cerna (digestibility) protein, dan pula apakah asam amino berada dalam bentuk yang dapat dipakai tubulr (bio-availability). Juga perlu perhatian bahwa pola asam amino suatu protein akan berubah dari keadaan semula, sesudah mengalami penyerapan dan pemecahan (absorpsi dan pencernaan). CARA BIOLOGIK Binatang percobaan untuk keperluan ini, yang umum dipakai adalah tikus putih (albino rats), tetapi dapat dipakai juga binatang lain, misalnya ayam. Tikus putih dipakai karena tikus putih seperti juga manusia, adalah omnivor, dan telah terbukti bahwa kebutuhan akan asarn amino esensialnya menyamai kebutuhan manusia, khususnya anak-anak. Di samping itu pemeliharaannya relatif murah, misalnya makanan dan kandang, pula dapat berkembang biak dengan pesat. Tikus laboratorium dalam keadaan sehat dapat hidup 2 - 3 tahun. Satu minggu umur tikus putih ekivalen dengan 30 minggu umur manusia, sehingga pengaruh zat gizi terhadap pertumbuhan dapat dipelajari dengan cepat pada tikus putih. Untuk penelitian ilmiah harus dipakai tikus putih dari inbred strain, dengan syarat tertentu mengenai usia, kelamin dan berat badan. Juga harus memenuhi syarat defined laboratory animal. Artinya apabila genotype, phenotype dan dramatype-nya telah konstan. Syarat-syarat ini perlu diperhatikan, karena hasil yang diperoleh harus dapat dibandingkan dengan hasil lain dari penentuan sendiri (reproducibility). Juga untuk dapat dibandingkan dengan hasil peneliti lain yang menggunakan tikus-tikus putih yang sama. Tikus putih yang memcnuhi syarat ini (defined) tcrsedia di Unit Penelitian Gizi Diponegoro dari Badan Penclitian dan Pengembangan Kesehatan, Dep Ke, Jakarta. Tikus putih ini sejak tahun 1954 khusus dibiakkan di Unit Penelitian Gizi Diponegoro, dan dinamakan Lembaga Makanan
Rakyat (LMR)-strain, asal Wistar (Wistar derived). Ada beberapa cara biologik untuk menentukan kualitas suatu protein makanan, misalnya BV atau Biological Value, PER atau Protein Efficiency Ratio, dan NPU atau Net Protein Utilization. Syarat untuk penentuan PER5 dan NPU 6,7 dengan tikus putih adalah sebagai berikut :
Lamanya penelitian Binatang percobaan Umur Kelamin Induk Tempat
Makanan eksperimen : (experimental diet) a) Tanpa protein (Protein free diet) b) Reference diet Susu bubuk skim Kadar protein c) Makanan percobaan (Test diet) Kadar protein Pada akhir percobaan
hasil penunjukan :
Protein Efficiency Ratio (P.E.R.) Kenaikan berat badan (g) Jumlah protein yang dimakan (g)
Net Protein Utilization (N.P.U.) N yang ditahan tubuh (g) N yang dimakan (g) Standard | Operative
4 minggu Tikus putih muda (inbred) 28 hari Biasanya semua jantan
10 hari
30 ± 1 hari Dapat dipakai jantan atau betina Anak tikus putih diperoleh dari : beberapa induk 4 induk 4 tikus dari tiap induk Tikus dalam satu ditempatkan dalam satu kandang kandang dan dianggap sebagai satu kesatuan.
Tidak dipakai untuk PER tetapi dipakai untuk NPR 10%
Diperlukan untuk setiap penentuan (untuk perhitungan) | | 10%
yang untuk mempertahankan jaringan-jaringan yang sudah ada (maintenance). Untuk mengatasi kelemahan ini, diperkenalkan Net Protein Ratio 8 dengan suatu pengertian baru yaitu definisi : NPR=
Kenaikan berat badan (gram) + Penurunan berat badan kelompok tikus dengan makanan tanpa protein (gram) Jumlah protein yang dimakan (gram)
Penentuan NPR sama seperti penentuan PER, akan tetapi ditambah dengan kelompok tikus yang diberi makanan tanpa protein (protein free diet). Hasil PER selalu dikemukakan dengan menunjukkan kadar protein yang ada pada tes diet (umumnya 10%), dan dibanding (dikonversi) dengan hasil reference protein yang umumnya terdiri dari reference casein. Karena reference casein yang baik sulit diperoleh di Jakarta, maka digunakan sebagai reference protein itu susu bubuk skim, dengan pengertian bahwa susu bubuk skim yang digunakan adalah susu bubuk skim yang masih baru dan ditranspor /disimpan dalam kondisi yang sesuai. NILAI BIOLOGIK (BIOLOGICAL VALUE), DAN NET PROTEIN UTILIZATION (NPU). Pengertian Nilai Biologik atau Biological Value BV)9 sudah diperkenalkan oleh Thomas sejak tahun 1909. Angka nilai biologik menunjukkan persentase nitrogen yang dapat ditahan oleh tubuh dari yang di absorpsi.
| 10% Tikus tetap hidup
Efek protein terhadap pertumbuhan
10%|
> 10%
Tikus dimatikan untuk penentuan kadar Ntubuh (dikeringkan dalam oven pada temp. 105oC) selama 3 hari. | Kualitas Efisiensi protein| penggunaan | protein da| lam tubuh.
PROTEIN EFFICIENCY RATIO. 5 Pengertian PER telah diperkenalkan oleh Osborne, pada tahun 1919, dan hingga sekarang masih tetap dipakai secara resmi di USA dan Canada untuk evaluasi kualitas suatu protein, walaupun memerlukan waktu yang lama, yaitu 4 minggu. Kecepatan pertumbuhan suatu binatang percobaan dalam kondisi tertentu dapat dipakai sebagai ukuran untuk kualitas suatu protein makanan. Bila makanan kekurangan akan satu atau lebih dari satu asam amino esensial, maka pertumbuhan akan lambat atau berhenti sama sekali. Definisi Protein "Efisiensi Rasio" adalah sebagai berikut : Untuk tikus :
Salah satu kelemahan PER adalah, dianggapnya seluruh protein yang dimakan dipakai untuk pertumbuhan, dan tidak ada
atau : menurut Mitchell (1923 1924) sebagai berikut
Penentuan angka Nilai Biologik merupakan suatu balance study, dengan harus pula ditentukan kadar nitrogen dalam tinja dan air seni. lni suatu prosedur yang sangat memakan waktu. Dalam rumus Nilai Biologik tidak diperhitungkan Daya Cerna (Digestibility) protein, sedangkan daya cerna merupakan faktor penting, apakah suatu protein besar manfaatnya untuk tubuh atau tidak. Definisi untuk Digestibility (D) 10 atau Daya Cerna adalah sebagai berikut
I = Jumlah N F = Nitrogen tinja tikus (dengan makanan percobaan) Fk = Nitrogen tinja metabolik (dari tinja tikus dengan makanan tanpa protein) U = Nitrogen air seni tikus (dengan makanan percobaan) Uk = Nitrogen air seni endogen (air seni tikus dengan makanan tanpa protein).
Khusus untuk menyederhanakan seluruh prosedur tersebut, Miller dan Bender telah memperkenalkan pengertian Net Protein Utilization. 6,7 yang mempunyai rumus sebagai berikut : - NPU =
B.V. x D Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
63
PENGGUNAAN PRAKTIS NPU ADALAH : Evaluasi kualitas protein 1. Bahan makanan kaya akan protein :
Metoda ini dibanding dengan balance-study asli dari Mitchell jauh lebih sederhana dengan memberi hasil yang cukup berguna untuk screening nilai berbagai jenis protein.
dengan pengertian : B = Nitrogen tubuh tikus dengan makanan percobaan (tes diet) I = Jumlah Nitrogen yang dimakan tikus dengan makanan percobaan (tes diet) Bk = Nitrogen tubuh tikus dengan makanan tanpa protein (protein free diet) Ik = Jumlah Nitrogen yang dimakan tikus . dengan makanan tanpa protein (protein free diet).
Menurut Miller dan Bender7, penentuan nitrogen tubuh tikus tak perlu ditentukan secara langsung, karena untuk suatu tikus putih inbred perbandingan N/H 2 0 adalah konstan, sehingga cukup dengan menentukan kadar H 2 O dalam tubuh tikus pada akhir percobaan.
— asal nabati — asal hewani 2. Limba industri, yang murah dan lokal dapat diperoleh seperti : — ampas kelapa — ampas kacang kedela (ampas pembuatan tahu) — ampas kacang tanah cottonseed meal kapokseed meal biji karet bekatul beras (defatted) 3. Campuran (1) dan (2). 4. Bila campuran bahan-bahan makanan ditambah dengan asam-asam amino sintetis. Meramalkan secara ilmiah —Ketetapan penggunaan (suitability) dari campuran bahan makanan untuk : infant's milk formulas. weaning foods Nilai gizi (protein) makanan sehari-hari penduduk di bawah garis kemiskinan (dinyatakan sebagai NDpCals %). Menentukan naik atau turunnya nilai gizi (protein) suatu makanan selama pengolahan, penyimpanan dan lain-lain.
Y dapat dihitung dengan formula KEPUSTAKAAN
log (4.8 — Y) = 0.437 — 1.0123 X X : umur tikus dalam hari pada akhir percobaan.
Berlakunya perbandingan ____ N konstan harus dibuktikan H20 dahulu untuk tiap strain tikus yang dipakai. Beberapa contoh hasil NPU - standar dan NPU -operative yang diperoleh di Unit Penelitian Gizi Diponegoro, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Dep Kes, Jakarta. NPU.standard Whole Hen's Egg 95 Whole Milk Powder, Cow's 80 — 90 Skim Milk Powder, good quality 80 — 90 bad quality 60 (Yellow colour) Viobin fish protein concentrate Ikan kecil kering (lokal market) Kacang kedela, rebus dan dikeringkan Tempe Kacang tanah, goreng Oncom kacang tanah
82 61 50 — 60 50 — 60 50 50 NPU-standard
NPU-operative
Bahan makanan campuran kaya akan protein :
Corn Soy Milk (CSM) Wheat Soy Beverage (WSB)
64
69 53
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
53 46
1. Ross Hackler L. In Vitro Indices: Relationships to Estimating Protein Value for teh Human. In: Evaluation of Protein for Humans, Bodwell CE (ed). Westport-Connecticut-USA: The AVI Publishing Company Inc. 1976; 55-67. 2. FAO, Nutrition Studies No. 16, 1957. 3. Block RJ and Mitchell HH. The Correlation of the Amino Acid Composition of Protein with Their Nutritive Value. Nutr Abst Rev. 1946—1947; 1,6: 249-78. 4. FAO/WHO. Energy and Protein Requirements. WHO Tech Rept Ser, Geneva, Switzerland: World Health Organization, 1973; 522. 5. AOAC. Official Methods of Analysis, 12 th ed. Washington DC: Official Agricultural Chemists. 1975. 6. Bender AE and Doell BH. Note on the Determination of Net Protein Utilization by Carcass Analysis. Brit J Nutr. 1957; 11: 138-43. 7. Miller DS and Bender AE. The Determination of The Net Utilization of Proteins by a Shirtened Method. Brit J Nutr, 1955; 9: 382-88. 8. Bender AE and Doell BH. Biological Evaluation of Proteins: A New Aspect. Brit J Nutr, 1957; 11: 140. 9. Mitchell HH. A Method for Determining The Biological Value of Protein. J Biol Chem, 1923—1924; 58: 873. 10. Bressani R. Human Assays and Application. In: Evaluation of Proteins for Humans, Bodwell CE (ed) Westport-Connecticut-USA: The AVI Publishing Company Inc. 1976; 86-89. 11. Nomura T and Tajima Y Defined Laboratory Animals. In: Advanced in Pharmacology and Therapeutics II. Yoshida H, Hagihara Y and Ebashi S (ed). Oxford and New York: Pergamon Press. 1982;5: 325-33.
PERKEMBANGAN Bunuh Diri Bersama BANYAK kisah rakyat tentang percintaan yang diakhiri dengan mati bersama. Ada Sam Pek Eng Tai, ada Pranacitra Rara Mendut , kita kenal juga tragedi Romeo & Yuliet-nya William Shakespeare. Namun, dari segi kedokteran, bagaimana ini dapat diterangkan? Bunuh diri bersama — keputusan dua orang untuk mati bersama — jarang terjadi. Cohen, dengan penelitiannya yang diterbitkan tahun 1961, masih tetap merupakan nara-sumber yang paling baik. Ia hanya menemukan 58 kejadian demikian di Inggris selama tahun 1955 — 8. Kematian ini hanya merupakan 0,6% dari seluruh angka bunuh diri dalam masa itu. Sainsbury, yang lebih dulu meneliti masalah ini, menemukan 8 kematian dari 4 kejadian bunuh diri bersama di tahun 19368, dari seluruh angka bunuh diri, yaitu 390. Kebanyakan orang yang melakukan bunuh-diri-bersama mati, sehingga penelitian menjadi sulit. Data-data demografik dapat dicatat, dan catatan/pesan-pesan pelakunya — kalau ada — dapat memberikan informasi yang berharga; namun terlalu tergesa-gesa mengasumsi bahwa pernyataan dari mereka yang berhasil diselamatkan ini kadang sulit — atau tak mungkin — dibedakan dari pembunuhan disertai dengan bunuh diri, atau bahkan dari kecelakaan. Suatu artikel baru-baru ini mencoba merangkum tulisan West dan penelitian dari orang-orang yang selamat.Dinyatakan bahwa penganjur perbuatan itu biasanya pria, secara psikiatrik sakit jiwa dengan depresi psikotik, dan biasanya mati. Ia punya riwayat sakit jiwa. Orang yang selamat umumnya wanita, yang tak punya riwayat perilaku suisidal, dan secara psikiatrik tidak sakit jiwa. Si penganjur itu sering memberi paksaan dan tekanan yang besar sekali pada pasangannya. Di sini tampak persamaan antara si penganjur dengan pembunuh yang kemudian bunuh diri, suatu peristiwa yang jauh lebih sering terjadi. Pada kasus ini pun pelakunya umumnya pria, dengan riwayat penyakit psikiatrik, serta riwayat perilaku suisidal. Telah lama West mencatat hubungan erat antara bunuh diri dan pembunuhan ipi: "satu dari tiga pembunuhan diikuti dengan bunuh diri." Dokter, apalagi ahli psikiatri, sering prihatin akan risiko bunuh diri pada mereka yang menderita penyakit-penyakit depresif. Adanya riwayat keluarga, usia setengah baya atau usia tua, adanya penyakit fisik, usaha bunuh diri sebelumnya dan hilangnya salah satu orang tua pada masa kanak-kanak, merupakan pertanda yang tak baik. Apakah pertanda dari bunuh-diri bersama — misalnya hubungan yang terlalu erat — perlu dicari? Seharusnya demikian. Terutama karena kita sering mengecilkan kemungkinan pembunuhan terhadap anggota keluarga dekat. Namun, selain agresi, ada juga motif lain dari bunuh diri bersama itu. Lima dari contoh Cohen tak punya unsur agresi, melainkan pakta percintaan (meskipun salah satu pria tidak ingin mati). Ia mencatat: "keputusan itu umumnya keputusan bersama." Catatan-catatan yang ditinggalkan hampir selalu
menyatakan bahwa keputusan itu keputusan bersama. Tapi, perlu diperhatikan bahwa inisiatif umumnya dimulai oleh satu orang, dan kadang kala perlu banyak paksaan. Kematian budayawan besar Arthur Koestler setahun yang lalu bersama istrinya, yang tampaknya seperti bunuh diri bersama, sebenarnya merupakan dua keputusan yang berbeda. Seperti halnya dengan Romeo dan Yuliet, yang bunuh diri berturut-turut, atas prakarsa sendiri-sendiri. Mengingat hal-hal di atas, dokter perlu benaribenar memperhatikan pasien yang menderita depresi berat. Potensi agresivitas dan potensi bunuh dirinya perlu diikuti dengan seksama. Lancet 1984; 288:i,346 - 7
Mastektomi: sedikit mungkin sama dengan banyak Secara historis, mastektomi radikal, yang diperkenalkan sekitar tahun 1900, ditujukan buat wanita dengan tumor yang besar. Belakangan, pemeriksaan menunjukkan adanya penyebaran lewat saluran getah bening dari tumor primer ke kelenjarkelenjar aksila. Sehingga operasi besar tadi dibenarkan. Ada konsensus umum bahwa kanker mulai sebagai penyakit lokal, menyebar secara langsung maupun lewat getah bening, dan secara bedah "dapat disembuhkan" sampai terjadi metastatis jauh — yang saatnya tak diketahui. Konsep ini menyebabkan operasi makin lama makin besar, dengan asumsi bahwa bila tumor primer dapat diangkat cukup cepat dan cukup luas, dengan kelenjar regional sekaligus, maka harapan hidup akan meningkat. Namun, setelah Perang Dunia II, sementara pencatatan penderita tumor di negara-maju lebih cermat, analisa tabelkehidupan (life-table analysis) menjadi alat pengukurnya, dan data yang lebih baik tentang harapan hidup dapat diperoleh. Data ini mulai menunjukkan bahwa survival tidak diperbaiki dengan operasi yang lebih luas itu. Maka dilakukan berbagai penelitian klinik terkontrol, secara acak dan multicenter, untuk menelitinya lebih jauh. Salah satu penelitian itu dilakukan oleh Fischer B dkk. Ia menunjukkan, bahwa pada wanita dengan kelenjar aksila yang negatif, pengangkatan buah dada secara sederhana (mastektomi total), dengan atau tanpa terapi sinar X, memberikan harapan hidup yang sama dengan mastektomi radikal yang merusak badah itu. Pada wanita dengan kelenjar aksila positif, mastektomi radikal tidak memberikan survival yang lebih baik daripada mastektomi sederhana plus iradiasi. Data ini menunjukkan bahwa pasien yang akan mati karena kanker payudara itu — meski telah dioperasi dan diiradiasi — telah mempunyai mikrometastasis, yang membuat kedua jenis terapi itu sama hasilnya. Kalau benar begini, maka keberhasilan mastektomi tadi pada pasien tadi harus diukur dengan ada tidak-
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
65
nya rekurensi di dinding dada, di flap operasi, graft kulit, atau aksila. Penelitian tadi juga menunjukkan bahwa rekurensi lokal meningkat dengan pasti dalam 5 tahun pertama setelah operasi; setelah itu, peningkatannya minimal. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa rekurensi lokal lebih berhubungan dengan status kelenjar aksila dibandingkan dengan prosedur operasi. Lebih jauh lagi, angka kematian wanita dengan penyakit Stadium I (kelenjar negatif) berbeda dengan yang Stadium II (kelenjar positif), pengamatan yang didukung oleh banyak penelitian lain. Semua ini membawa kita kepada kemungkinan yang menarik: yaitu bahwa wanita dengan Stadium II bukanlah mereka yang terlambat berobat ke dokter, melainkan mereka yang tumornya lebih agresif, yang metastasis kelenjar aksilanya lebih nyata, yang metastasis jauhnya lebih cepat muncul, yang rekurensi lokalnya lebih sering, dan yang kematiannya lebih cepat datang. Penelitian lebih lanjut oleh Fischer B dkk. meneliti apakah operasi yang lebih kecil lagi, yaitu mastektomi segmental, dengan pinggir yang bebas tumor, dapat menggantikan mastektomi sederhana (simple mastectomy). Kelompok yang menjalani mastektomi segmental ini dibagi lagi menjadi mereka yang mendapat iradiasi pada sisa payudaranya dan mereka yang tidak. Tidak begitu mengherankan bahwa ternyata survival 5 tahun bagi semua kelompok itu sama saja. Masalah utama buat mastektomi segmental, setidaknya buat 5 tahun pertama pasca bedah, bukanlah angka survivalnya, melainkan jumlah rekurensi lokal dan timbulnya kanker primer kedua pada payudara yang sama. Di antara mereka yang dapat hidup setelah 5 tahun, 28 persen dari yang tidak diiradiasi dan 8 persen dari mereka yang menerima radiasi mempunyai tumor payudara rekurens. Sayang, dari data yang ada, lebih sulit menentukan angka rekurensi lokal atau regional lainnya pada ketiga kelompok terapi itu. Tapi, tampaknya, angka itu hampir sama pada kelompok mastektomi dan mastektomi segmental, dan lebih rendah pada kelompok mastektomi segmental plus iradiasi. Rekurensi lokal pada dua kelompok pertama itu tak berbeda dengan data pada penelitian pertama. Telah menjadi pendapat umum bahwa rekurensi lokal berasal dari eksisi yang tidak adekuat, meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan kelenjar positif lebih sering mengalami rekurensi lokal daripada mereka yang kelenjarnya negatif; fakta yang menunjukkan bahwa rekurensi itu lebih merupakan sifat tumor tersebut dan bukan karena ketidakmampuan ahli bedah. Kegunaan terapi sinar X dalam penelitian ini muncul pada saat beberapa ahli menganjurkan penghentian pemakaiannya. Terapi sinar X, seperti halnya pembedahan, adalah upaya lokal yang keefektifannya tidak dinilai dari survival pasien, namun dari rekurensi regional atau lokal-nya. Dalam penelitian operasi mastektomi radikal di atas tadi, rekurensi aksila lebih sedikit terjadi bila diberikan radiasi profilaktik pada aksila yang tak didiseksi. Pada penelitian mastektomi segmental di atas, rekurensi lokal dan kanker ipsilateral lebih jarang pada wanita yang payudaranya diiradiasi. Observasi yang belakangan ini agak tersamar oleh pemberian kemoterapi pada wanita yang kelenjarnya positif. Bagaimana kegunaan radiasi sinar X dibandingkan dengan kemoterapi? Tidak cukup jelas untuk dapat memilih salah satunya. Iradiasi adalah senjata yang "sekali buang". Maka
66
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
keuntungan pemberian profilaktiknya harus dibandingkan dengan keuntungan menyimpan senjata itu untuk 15 — 25 persen survivor yang nanti akan mengalami rekurensi yang dapat ditangani dengan radiasi. Manfaat diseksi aksila pada penerita yang aksilanya negatif juga diteliti pada penelitian ini. Meskipun banyak penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan negatif-palsu dan positifpalsu itu cukup sering, data dari penelitian 10 tahun ini menunjukkan bahwa meski tidak didiseksi, survival pasien tak berbeda. Diseksi aksila pada penderita yang kelenjarnya tak teraba dapat dibenarkan bila interpretasi diagnostik diinginkan atau diperlukan, namun ia bukanlah tindakan terapeutik. Menunggu sampai kelenjar menjadi besar dan baru direseksi tampaknya tidak mempengaruhi survival. Kesimpulan yang menarik dari mastektomi segmental dalam penelitian ini mesti ditaruh pada konteksnya. Operasi ini dilakukan pada pasien dengan Stadium I dan II, dengan tumor yang diameternya sama atau kurang dari 4 cm, yang dapat direseksi dengan bersih (pinggirnya bebas tumor). Pada 10% pasien yang pinggir reseksinya tak bebas tumor, dan pada semua yang tumornya muncul lagi pada payudara ipsilateral, dilakukan mastektomi total sebagai prosedur kedua. Pasien dengan kelenjar positif diberi kemoterapi tambahan. Dari pembicaraan ini, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembedahan pada kanker payudara dapat dicapai dengan operasi yang lebih konservatif daripada yang biasa dilakukan. Namun masih diperlukan waktu lagi untuk memastikannya. N Engl J Med 1985; 312: 713-4
(Sambungan dari halaman 12) 6. 7.
8. 9.
10.
11. 12. 13. 14.
Sutton G & Kupferberg HJ. Isoniazid as an inhibitor of primidone metabolism. Neurology, 1975; 25 : 1179 — 1181. Ellard GA. Variations between individuals and populations in the acetylation of isoniazid and its significance ofr the treatment of pulmonary tuberculosis. Clin Pharmacol Ther, 1976; 19 : 610 — 624. Santoso B. Genetic and covironmental influences on polymorphic drug acetylation. Ph-D thesis, Univ Nowcastle Upon Tyne UK, 1983. Jenne JW Mc Donald FM & Mondoza E. A study of the fonal clearances, metabolic inactivation rates, and serum fall-off interaction of isoniazid and para-amino salicylic acid in man. Amer Rev Resp Dis, 1961; 84 : 371 — 378. Vessel E. Geno-environment interactions in drug metabolism. In : Turner P (ed), Clinical Pharmacology & Therapeutics. Procoodings of the first world conference. MacMillan Publisher;1980; pp : 63 — 79. Park BK. Assessment of the drug metabolism capacity of the liver. Br J Clin Pharmac,1982;14 : 631 — 651. Krishnaswamy K. Drug metabolism and pharmacokinetics in malnutrition. Clinical Pharmacokinetics, 1979; 3 : 216 — 240. Buchanan M Eyeberg C & Davies, M. Isoniazid pharmacokinetics in kwashiorkor. S Afr Med J, 1979; 56 : 299 — 300. Shastri RA & Krishnaswamy. Metabolism of sulphadiazine in malnutrition. Br J Clin Pharmac, 1979; 7 : 69 — 73
Hukum & Etika Tepatkah Tindakan Saudara ? Sebagai dokter praktek, anda tentunya pernah menghadapi pengalaman seperti ini. Tapi, tindakan apa yang seharusnya dan sebarknya anda lakukan, inilah pokok yang kami persoalkan kali ini. Problemnya begini : Suatu kali, teman sejawat kita kedatangan pasien dengan keluhan sesak nafas, dan memang ada riwayat asma. Pemerrksaan fisik pun menyokong kearah itu. Setelah disuntik, dan dan teman sejawat kita baru akan menulis resep ketika tiba-tiba saja pasien mengedorkan sehelai copy resep. Katanya : "Dok, tolong obatnya yang seperti ini saja, karena biasanya saya minum obat itu dan selalu sembuh." Di atas copy resep itu memang tertulis nama seorang dokter specialis. Teman sejawat kita-rupanya karena takut pasiennya nanti lad ke dokter lain- menurut saja, dan menulis resepnya sesuai dengan copy resep. Dalam menghadapi persoalan demikian, dokter dapat bertindak sebagai berikut : a. Setuju dengan obat-obat yang tertulis dalam copy resep tersebut dan menulis resep yang sama. b. Tidak setuju, tapi tetap menyalin nama seperti yang tertulis dalamcopy resep. c. Tidak setuju, dan menolak dengan tegas untuk menyalinkan copy resep tersebut dalam resepnya. Secara etika kedokteran dan hukum, bagaimana perjabaran dari ke tiga tindakan di atas?? Atau, mungkin saudara dapat mengusulkan cara lain yang lebih baik ???
Komentar TANGGAPAN DARI SEGI ETIK KEDOKTERAN Dalam menilai suatu tindakan dokter dari segi etik itu tidak selalu mudah. Lebih-lebih pada kasus "marginal". ditambah situasi dan kondisi yang sudah tidak ideal. Artinya, bila dalam kejadian sehari-hari, hal-hal yang kurang etis sudah terlanjur dianggap biasa atau wajar saja. Misalnya, seorang dokter umum mengirim pasiennya ke dokter spesialis untuk konsultasi. Biasanya terjadi : * Sejawat spesialis langsung mengambil alih pengobatan pasien, tanpa memberitahu si dokter umum; ini sudah hampirhampir dianggap lumrah. * Kadang- kadang pasien dikembalikan ke dokter umum dengan anjuranyang tertulis dalam amplop tertutup. Sering justru si sakit yang protes, karena merasa dirinya di "pingpong" dan harus membayar dua kali.
Kedua kejadian tersebut sebenarnya tidak/kurang etis, tapi justru sudah dianggap lumrah. Begitu pula dalam kasus yang drkemukakan di atas. Untuk gampangnya, sejawat kita langsung saja memenuhi permintaan pasien dan menjalin resep yang disodorkan. Sepintas lalu ini dianggap wajar saja. Buat apa repot-repot mempersoalkan hal demikian, hanya buang-buang waktu dan sebagainya. Dari segi etis, perlu dipertimbangkan apakah isi resep itu sesuai dengan ksakitan sejawat tadi. Bila sesuai, ya tidak ada masalah. Jadi, pertimbangannya itu atas dasar ilmiah, yaitu medik-farmakologik kita setuju dengan isi resep yang akan disalin, dan bukan karma pertimbangan non medis, seperti takut pasien lari/pindah ke dokter lain, dan sebagainya. Bila isi resep yang disuruh salin tidak sesuai dengan pendapat sejawat tersebut, ia harus berani menolak dan memberikan penjelasan yang meyakinkan terhadap pasien, misalnya sakitnya saat ini tidak persis sama seperti saat pasien menerima resep dari dokter spesialis duku, dan sebagainya. Bila pasien tidak dapat diyakinkan, saya kira yang terbaik dari segi etik yaitu mengajurkan agar pasien kembali ke dokter spesialisnya. Kita tidak perlu memaksakan pasien untuk menerima resep dari kita. Karena kepercayaan pasien atau suatu obat itu kadang - kadang memberikan efek sugestif bagi penyembuhannya. Jadi, dalam tiap kasus harus ada pertimbangan sendiri, dan tidak bisa meniru kasus yang pernah ada saja. Untuk itu, tanggapan atas tiga alternatif yang dikemukakan adalah sebagai berikut : ad (a). Bisa benar, asal pertimbangannya sesuai secara medikfarmakologi, bukan karena ingin menjaga pasien agar tidak lari kedokter lain, dan lain-lain alasan non medik. ad (b). Saya kira secara etik kurang baik, yaitu memberi resep tidak atas keyakinan sendiri. Bagaimana bila ternyata ada reaksi yang tidak dingini, tentu tidak dapat dijawab. "Saya sudah bilang tidak setuju, tapi pasien yang mendesak." Setiap dokter harus berbuat sesuai dengan keyakinanya. ad (c). Tidak setuju, juga tidak menyalinkan resep, adalah kurang bijaksana. Sebaiknya pasien disarankan kembali saja pada dokter spesialis yang bersangkutan. Bila perlu dengan surat pengantar yang jelas! Tapi sebelumnya jelaskan dahulu pertimbangan sendiri yang bukan karena gengsi, tapi ilmiah. Demikianlah pendapat saya dapat permasalahan yang diajukan di atas. dr. H. Masri Rustam Direktorat Transfusi Darah PMI/Ketua IDI Cabang Jakarta Pusat
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
67
TANGGAPAN DARI SEGI HUKUM KEDOKTERAN Selama tidak terjadi apa-apa pada diri si pasien, maka tidak akan ada masalah hukum. Jika sampai terjadi sesuatu pada diri si pasien, barulah timbul masalah hukum, balk pidana maupun perdata. Menurut hukum pidana Apapun yang menjadi pilihan dokter itu, jika dapat dibuktikan adanya kesalahan/kealpaan dari fihak dokter, maka dapat dilakukan tuntutan berdasarkan K.U.H.Pidana pasal 360 yang berbunyi : 1). Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. 2). Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. Misalnya dokter itu menyalin begitu saja copy resep dokter spesialis tadi dan terjadi overdoses, karena penyakitnya sekarang sudah jauh lebih ringan daripada waktu diperiksa oleh dokter spesialis dulu, dokter itu tidak dapat menggeser kesalahan/kealpaan itu kepada si pasien. Dokter harus bertanggung jawab sepenuhnya atas apa yang ia tulis dalam resepnya (kecuali yang merupakan tanggung jawab apoteker atau asistennya, yaitu tentang obat-obat dengan dosis maksimal), karena dokterlah yang memiliki pengetahuan kedokteran dan bukan si pasien.
68
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
Menurut hukum perdata Seperti telah kita ketahui, hubungan dokter -pasien merupakan suatu persetujuan/kontrak terapeutik. Dalam K.U.H.Perdata pasal 1338 antara lain dikatakan, suatu persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Selanjutnya menurut K.U.H.Perdata. pasal 1339, suatu persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang -undang. Jika dokter itu tidak setuju dengan copy resep dokter spesialis tadi, tapi ia tetap menyalinnya, jelas tidak ada itikad baik dari fihak dokter itu, maupun tidak sesuai dengan kepatutan, kebiasaan atau undang -undang. Kalau sampai terjadi sesuatu pada si pasien, maka dokter itu tidak dapat menggeser kesalahan/kealpaan kepada si pasien. Ia tidak dapat mengatakan: "Salahnya sendiri. Mengapa minta obat itu." Dalam hal pilihan dokter itu adalah sub a). atau sub c)., dengan sendirinya kesalahan/kealpaan menjadi tanggung jawab dokter itu sepenuhnya. Jadi apapun pilihan dokter itu, jika karena kesalahan/ kealpaannya si pasien sampai menderita kerugian, misalnya harus dirawat di rumah sakit dan tidak dapat bekerja, dokter itu dapat dituntut berdasarkan K.U.H.Perdata pasal 1365 yang berbunyi: Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. dr. Handoko Tjondroputranto Lernbaga Kriminologi Universitas Indonesia, Jakarta
Catatan Singkat Mengapa manusia berciuman? Diduga waktu berciuman itu terjadi pertukaran "semio - chemical" dan "pheromone", yaitu sejenis hormon yang dapat meningkatkan rangsang seksual. Berciuman itu biasanya dilakukan dengan saling menghisap, atau saling merasakan sekresi-sekresi kulit pasangannya. Sebum yang diproduksi kulit itu kaya akan substansi - substansi "semio-chemical", karena pada kulit wajah banyak terdapat kelenjar-kelenjar sebaseus yang mencapai puncaknya pada usia dewasa. Brit J Dermatol 1984; 111: 623-7 •
Alat masak listrik (oven) itu memanaskan makanan terutama di bagian tengahnya. Oleh sebab itu, bila kita terburu-buru menggigit kue dari oven yang tampaknya sudah dingin, dapat membuat lidah terbakar karena bagian tengahnya inasih panas. Hal yang sania bila para ibu memanaskan susu botol. Botol yang diraba sudah dingin jangan langsung diminumkan pada bayi, karena susunya sendiri masih panas! •
J. Paed 1984; 105: 864-7
Pembedahan tidak selalu dianjurkan pada anak-anak dengan ventrikular septal defek (VSD) yang kecil dan tidak menimbulkan gejala; karena defek tersebut dapat menutup secara spontan. Kegiatan fisik anak juga tidak perlu dibatasi secara ketat. Ini terbukti dari hasil percobaan terhadap 35 anak dengan VSD yang dilakukan kateterisasi jantung sambil melakukan latihan. Ternyata latihan fisik tersebut tidak mernberikan perubahan efek hemodinamik yang berarti. •
Circulation; 1984; 70: 729-34
Adakah kepribadian pramorbid yang karaktcristik pada penderita -penderita Parkinson? Kebanyakan penderita itu mcnunjukkan emosi dan sikap yang kaku, dengan afek yang dangkal, dan adanya kecenderungan pula untuk menderita dcpresi. J Neurol, Neurosurg and Psychiatry 1985; 48: 97-100 •
Kebakaran yang terjadi di Tokyo akhir tahun lalu telah merusak seluruh jaringan telekomunikasi dari satu bagian kota tersebut. Apa akibatnya? 217 cabang dari bank Mitsubishi harus menghentikan kegiatannya, sistem medical record dari satu rumah sakit terganggu, demikian juga sistem telex, credit card, dan telepon-telepon putus. Diperlukan waktu beberapa minggu sebelum seluruh jaringan tersebut diperbaiki.
Beberapa jenis burung peliharaan mahal sulit dibedakan mana yang jantan atau betina (bahkan burung - burung itu sendiri bingung memilih lawan jenisnya, hingga kopulasi biasanya dilakukan dengan coba-coba dahulu). Untuk membantu mereka, ahli-ahli bedah hewan memeriksa rongga abdomen burung itu dengan teknik endoskopi fibreoptik. Teknik ini juga dilakukan oleh para staf dari Institute Zoology di London, dalam membedakan jenis kelamin dari 1056 burung -burung yang terdiri dari 144 spesies yang berlainan. Veterinary Record, 8 Des. p596-8 •
Pada pria muda yang pekerjaannya sehari-hari memegang daging mentah, risiko timbul kutil (warts) pada tangannya dua kali lipat daripada pekerja lainnya. Diduga virus kutil itu lebih cepat menyebar pada kulit yang lembab, seperti pada kulit tangan pemegang daging! Archives Dermatol 1984; 120: 1314-7 •
Infeksi ulangan dengan gonore itu seung terjadi, walaupun pasien telah berulang-ulang mendapat suntikan antibiotika. "Vaksin untuk mencegah penyebarannya perlu dikembangkan." Demikianlah argumentasi yang dimuat dalam buletin WHO dan dengan problem resistensi yang makin meningkat terhadap antibiotika, vaksin tersebut merupakan kunci untuk mengontrol penyakit gonore itu. Bull WHO 1984; 62 : 671-80 •
Anda tidak merokok? Risiko anda sama seperti perokok bila senantiasa berdekatan dengaa seorang perokok. Ada istilah "honeymoon distance", yaitu suatu jarak sejauh 1,5 meter. Di luar jarak tersebut, asap rokok akan terdilusi sehingga dapat dikatakan aman. Brit Med J 1984; 289 : 1385 •
Skizofrenia dapat disebabkan oleh virus! Demikian hipotesis Timothy Crow yang dimuat dalam British Journal of Psychiatry. Virus dapat berintegrasi dengan gen dan diturunkan pada anak mereka. Virus yang sama diduga sebagai penyebab penyakit manik depresif, karena ada bukti di mana banyaknya penderita manik depresif pada satu generasi akan diikuti dengan meningkatnya penderita skizofrenia pada generasi selanjutnya. Brit J Psy 1984; 145:243€53
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
69
BEDA SEKALI Disebuah kantor rumah sakit terdengar percakapan dua orang mantri juru rawat, yang satu sudah agak tua dan satunya lagi masih muda. Muda:
Tua:
"Mas, saya ini belum mahir memasang kateter. Tadi pagi pasiennya teriak-teriak kesakitan sewaktu kateter saya masukkan".
"Pasiennya laki-laki atau perempuan?"
Muda:
"Laki- laki."
Tua :
"Ya jelas kesakitan kalau dimasuki. Coba kalau dimasukkan, pasti enak sekali."
Muda : ???
SAYA SUDAH SIAP DOK Seorang pasien pria menghadap seorang dokter untuk keluhannya yaitu nafsu sex yang terlalu besar. Dokter : "Baik sebelum saya periksa, saudara perlu disiapkan dulu oleh suster: yaitu
telanjang sampai pinggang !" Dan dengan itu dokter menyuruh perawatnya, yang cukup cantik wajahnya untuk orang sakit tersebut. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan dari suster tadi dari ruang periksa, dan suster berlarian keluar. Dengan keget dokter lari masuk ruang periksa dan menanyakan apa yang terjadi. " Pasien : "Saya sudah siap dok. Dokter : "Astaga, saya memang mengatakan supaya saudara telanjang sampai pinggang, tapi yang saya maksud dari kepala sampai pinggang, bukan dari kaki sampai pinggang. " Tentunya saudara pembaca dapat menebak, apa kiranya yang membuat suster tersebut lari terbirit-birit keluar dari ruang praktek. OLH
Umi
GANGGUAN KESEIMBANGAN Seorang pasien datang ke tempat praktek Dokter Ahli saraf Pasien: "Dok, akhir-akhir ini saya selalu pusing. Kenapa kiranya Dok?" Dokter: "Apakah anda bekerja?" Pasien:
"Ya, saya bekerja di kota pada sebuah perusahaan swasta, tapi masih harian Dok!"
Dokter: "Berapa orang yang anda tanggung?" Pasien:
"Tujuh orang Dok, satu istri dan enam orang anak". Sambil mengerutkan dahi Dokter mangguk-mangguk.
"Oooooo............begitu, jadi pusing anda ini akibat gangguan keseimbangan". Pasien terheran-heran : "Tidak Dok, kalau jalan saya tidak pernah sempoyongan". Dokter: "Ya, memang, yang terganggu keseimbangan pemasukan dan pengeluaran A nda". Pasien:
??????????
dr. IGN Mayun Lab. Histologi FK
UNUD Denpasar-Bali
70
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985
PASIEN LUGU Seorang gadis 16 tahun ingin berkonsultasi dengan seorang Dokter. Gadis : ..Dokter, apakah ada obat untuk menumbuhkan buah dada? Katanya kalau diremasremas bisa tumbuh sempurna, apakah betul Dok?" Dokter : "Siapa yang memberi tahu anda?" Gadis: "Teman sekolah saya, Dok! (Maksudnya teman pria) Dokter : "Anda percaya?" Gadis :
"Ya, Dok sudah saya lakukan". Dokter: "Bagaimana hasilnya ?" Pasien : "Masih tetap kecil Dok, apakah salah, Dok? cara meremasnya ?" Dokter; (kebingungan) ??? dr. I G N Mayun Lab. Histologi FK UNUD Denpasar—Bali
PASIEN YANG SATU INI Seorang dara wanita datang pada dokter ahli penyakit kulit. Diketuknya pintu tempat dokter itu praktek. Baru saja dipersilahkan masuk oleh dokter tersebut dan menongolkan kepalanya, si pasien tersebut kelihatan terkejut dan....... klepat ... keluar lagi. Dokter penasaran lari keluar memanggilnya : "He neng mau apa sih sebenarnya ?" Dengan malu-malu si pasien muda tersebut mengatakan "Dok, sebenarnya saya mau berobat jerawat saya ini pada dokter. Tapi setelah saya lihat dokter juga jerawatan .......... ??????? SRI BAYAR BERAPA Ketika mengobati seorang penderita wanita setengah umur di Puskesmas di daerah Riau, terjadilah percakapan sebagai berikut : Dokter (setelah selesai memeriksa) : Nah Ibu. Ibu ini perlu disuntik, mau kan ? Pasien (dengan spontan) : Satu jarum bayar berapa, dok ? Dokter : ??? dr. Tjandra Yoga Aditama
BERMAIN UHU — UHU Serombongan dokter dari suatu negara Arab berkunjung ke sebuah kota besar di Jerman Barat untuk mengikuti sebuah konferensi ilmu kedokteran dan tinggal di sebuah hotel M. Setelah acara ilmiah selesai, dapat difahami bahwa para dokter tersebut mencari hiburan malam yang tak terdapat di negerinya sendiri. Salah seorang di antaranya berjumpa dengan seorang wanita Jerman dan mereka berdua bersepakat untuk berkencan malam itu. Dibawanya dokter negara Arab tadi ke dalam kamar sebuah hotel besar. Wanita Jerman mengusulkan agar mereka berdua bermain Uhu, yaitu tiap kali si wanita berseru "uhu", dokter tadi haru smenanggalkan sepotong pakaiannya. Bila semua potong pakaian dokter tersebut sudah dilepas, tiba giliran sang dokter untuk berseru "uhu" dan sang wanita yang akan melepaskan pakaiannya. Gagasan ini diterima dengan gembira oleh dokter tersebut. Untuk membuat suasana lebih menarik maka semua lampu dipadamkan. Nah, permainan Uhu ini berlangsung baik sampai dokter tersebut telah telanjang bulat dan ia telah berkali-kali berseru uhu-uhu dengan genitnya. Setelah selesai sekian kali berseru uhu, oleh dokter tersebut diperkirakan tentunya semua pakaian wanita sudah terlepas dan dinyalakannya kembali lampulampu kamar. Dengan rasa terkejut sekali diketahui wanita Jerman telah pergi beserta semua pakaian dokter (beserta uangnya tentunya). Dokter tersebut dihadapkan pada persoalan, cara bagaimana dapat kembali ke hotel di man rombongannya menginap. Sewaktu melihat keluar jendela, dilihatnya serombongan orang berjubah putih (seperti orangorang "safari" padang pasir) sedang berjalan. Timbul gagasannya yang cemerlang dalam benaknya dan dengan cepat disambarnya sprei putih dari atas tempat tidur, dan sambil berkerudung meninggalkan hotel untuk bergabung dengan rombongan berjubah putih di jalanan. Dalam bahasa Arab ditanyakan kepada seseorang di sebelahnya hendak kemana rombongan ini. "Ke hotel M, dan anda tentunya juga habis bermain Uhu, bukan ?" OLH TAKTIK. Seorang pengemis tua minta sedekah pada seorang nyonya dokter yang kaya tetapi pelit. Nyonya : "Pergi! Tak ada uang!" Pengemis : " Memang benar kata Udin, nyonya itu tidak pernah pegang uang. Semua gaji suaminya diserahkan kepada pelayannya yang cantik " Sambil menggerutu pengemis itu berlalu. Nyonya kaya itu marah dan melemparkan uang Rp. 1000,— sambil berkata : " Apa kamu bilang! Saya tidak pernah pegang uang? Huhh !". Pengemis itu mengambil uang sambil menggerutu kembali, kali ini dengan lirih "Memang benar kata Udin, bahwa cara ini lebih berhasil ..........". dr Adhi P. Semarang SALAH PENGERTIAN . Dalam tempat praktek terjadi dialog antara seorang psikiater dengan pasien nenek tua. + : " Mengapa tidak dapat tidur dan gelisah, nek ?" — : "Memang dokter, sebab saya dikatakan terlibat kasus sex, kata polisi. " (dengan suara gugup dan gemetar). + : " Hmm, sudah tua begini masih kuat juga di bidang sex ! Apa nenek tidak punya suami ?" " Apa hubungannya dengan suami saya dok ? Ini cuma urusan pemalsuan. " " +: Pemalsuan apa, nek ?" "Itu kertas sek, yang untuk ambil uang itu." + : "Oooooooo itu............ rupanya masalah cek kosong . . . . hahaha ...." dr. A. Hannie AC Dumai
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985 71
ABSTRAK -ABSTRAK LEDAKAN PENDUDUK Demikian gawatkah keadaannya? Memang demikian! Bahkan jauh lebih buruk daripada yang dapat kita bayangkan. Ambil kota Meksiko sebagai contoh; mungkin kota terbesar di dunia, dalam perjalanannya menuju kota megalopolis pertama. Dengan 17 juta penduduk (seperempat dari total penduduk negara tersebut) yang hanya menempati luas permukaan bumi sebesar 2395 km 2 (densitasnya 7000 orang/km 2 ). Lebih dari 5 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan. Dari 3 juta lebih unit perumahan, dua dari setiap tiga rumah tidak memenuhi syarat-syarat sanitasi dan konstruksi: 19% tidak ada sarana pembuangan, 21% tidak ada saran air bersih. Kenyataannya, sistem suplai air memang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk sebanyak 6 milyar liter air per hari. Setiap hari, diperlukan 20 juta liter bensin, listrik sebanyak 11,1 juta kilo watt/ jam, 3750 ekor hewan potong, dan 5,35 juta kilogram tortillas (sejenis makanan khas Meksiko). Setiap 24 jam, penduduknya membuat 20 juta perjalanan dalam 1728 kereta bawah tanah, lebih dari 10.000 bis, 86.700 taksi, dan 2,7 juta mobil pribadi. Pada jam jam sibuk, rata-rata kecepatan mobil di jalan hanya 20 km/jam. Asap dari kendaraan bermotor setiap hari menghasilkan 14.000 ton karbon monoksid. Bila ini ditambah dengan 3850 ton yang dihasilkan dari 130.000 pabrik, dan 11.000 ton dari asap dapur, hasilnya merupakan problem polusi yang luar biasa . Pada daerah tertentu, diperkirakan polusi udara itu 200% di atas level yang diperbolehkan. Petugas kesehatan kota mengingatkan: bernafas dalam daerah tersebut sama seperti merokok 40 batang per hari! Kris International dateline, June 1984
KOMPLIKASI LUKA STERNUM DAPAT TERJADI KARENA IKAT PINGGANG PENGAMAN MOBIL. Para dokter dari bagian Gawat Darurat RS. Royal Victoria, Belfast, memperingatkan bahwa penggunaan ikat pinggang pengaman di mobil memungkinkan terjadinya akibat yang serius. Telah dialami oleh 3 orang penderita bahwa ikat pinggang pengaman dapat menginduksi terjadinya fraktur sternum. Dalam hal ini penderita hanya mengalami memar pada jaringan lunak sepanjang ikat pinggang pengaman tersebut. Hasil EKG ternyata normal, tapi dengan foto sinar X menunjukkan fraktur sternum yang abnormal. Selang waktu 2 — 4 hari, terbukti bahwa memar miokardium berkembang dengan meningkatnya DK — MB (Creatine Kinase - Myocardium Band), suatu isoensim yang hanya ditemukan pada sel — sel miokardium. Peningkatan kadar isoensim ini menunjukkan derajat kerusakan miokardium. Salah seorang penderita kemudian mengalami kegagalan ventrikel sehingga diperlukan pengobatan dengan digoksin dan diuretika. Hampir 1/3 bagian penderita dengan memar miokardium kemungkinan dapat mengalami komplikasi kardiak yang membahayakan. Tetapi hal ini sering kali tidak diperhatikan karena penderita tampak sehat setelah mengalami trauma kecil. DYT Injury, 1984; NOV. 16 : 3 p. 155
72
Cermin Dunia Kedokteran No. 37 1985