Cdk 025 Uji Klinik

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 025 Uji Klinik as PDF for free.

More details

  • Words: 39,129
  • Pages: 63
No.25, 1982

Cermin Dunia Kedokteran International Standard Serial Number : 0125—913X

Majalah triwulan diterbitkan oleh : Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma dan dipersembahkan secara cuma-cuma.

2

EDITORIAL ARTIKEL

3

PRINSIP DASAR UJI KLINIK

8

FASE - FASE DALAM UJI KLINIK

10

PENGGUNAAN DAN PENGGUNASALAHAN STATISTIK DALAM PERCOBAAN KLINIK

22

TITIK LEMAH DALAM PERCOBAAN KLINIK

27

UJI KLINIK MULTI - CENTER

31

MASALAH UJI KLINIK OBAT-OBATAN PADA ANAK

34

UJI KLINIK DALAM NEFROLOGI-HIPERTENSI : Praktek dan kesulitannya.

36

KESULITAN PERCOBAAN KLINIK DALAM ILMU PSIKIATRI

39

PERCOBAAN PADA MANUSIA DAN ETIKA KEDOKTERAN

42

SURVEI EPIDEMIOLOGIK

45

PHARMACO-CHEMISTRY : A new dicipline

49

AIHA : ASPEK SEROLOGI DAN TERAPI SEJARAH KEDOKTERAN

55

KISAH RAUWOLFIA

57

RESENSI BUKU : Sari Ilmu Penyakit Mata; Kedaruratan dan

Kegawatan Medik; Obesitas; Penatalaksanaan Kegawatan Pediatrik. 58

CATATAN SINGKAT

59

HUMOR ILMU KEDOKTERAN

60

ABSTRAK-ABSTRAK

Sekitar separuh dari penelitian-penelitian yang dimuat dalam majalah-majalah terkenal di dunia menggunasalahkan statistik, demikian dikutip Dr. Arini Setiawati dalam tulisannya pada nomor ini. Mungkin sedikit mengagetkan kita, tetapi sekaligus ini juga membuka mata kita mengenai sulitnya melakukan penelitian kedokteran secara benar. Itu pun baru satu aspek dari penelitian, segi statistiknya, belum aspek lainnya. Dengan harapan mengembangkan kualitas serta kuantitas penelitian kedokteran di Indonesia, nomor CDK kali ini menyorot uji klinik secara khusus. dr. Armen Muchtar mengawali nomor ini dengan membahas Prinsip Dasar Uji Klinik. Prinsipprinsip dasar ini harus dipahami benar-benar. Melakukan uji klinik secara sembarangan berarti membuang biaya besar, memboroskan waktu, membahayakan subyek manusia dalam uji klinik itu, serta hasilnya menyesatkan dokter-dokter lain yang mempercayai hasil uji tsb, sehingga akhirnya dapat membahayakan banyak orang. Artikel berikutnya diajukan oleh Dr. Arini Setiawati, membahas Penggunaan dan Penggunasalahan Statistik dalam Percobaan klinik. Statistik memegang peranan yang sangat penting dalam uji klinik, dalam stadium perencanaan maupun penyelesaian. Maka agar suatu uji klinik efisien dan efektif, metoda statistik perlu dimengerti sebaik-baiknya.Dalam pendidikan pada fakultas kedokteran, mata pelajaran statistik terutama diberikan pada tingkat awal sekali dalam pendidikannya. Maka tidak sedikit dokter yang telah lupa sama sekali mengenai cara-cara menggunakan metoda statistik dalam mempraktekkan uji klinik. Artikel ini dimaksudkan untuk menyegarkan, sekaligus memperdalam pengetahuan kita akan penggunaan statistik dalam uji klinik. Kemudian dr. Bambang Suharto dari R & D Kalbe Farma membahas titik lemah-titik lemah dalam percobaan klinik. Kelemahan-kelemahan itu dapat ditelusuri dari (1) latar helakang dan permasalahan yang mendorong dilakukannya percobaan klinik itu, (2) tujuannya, (3) perencanaannya , (4) pengorganisasiannya, (5) koordinasi pelaksanaan percohaan tsb, (6) pengendalian pelaksanaan, serta (7) penilaian (evaluasi) hasil percobaan klinik itu. Kelemahan-kelemahan itu perlu diketahui sejak awal perencanaan suatu uji klinik, karena sekali uji klinik telah dimulai, kelemahan tsb. sering tak dapat diperbaiki. Uji klinik sering memerlukan banyak penderita scbagai subyek percobaannya. Maka untuk menyingkat waktu, kadang kala dilakukan uji klinik multi-center. Ini dihahas oleh dr. Iwan Darmansjah. Karena pelaksanaannya melihatkan banyak orang, maka masalah organisasi sangat menonjol. Dikatakan sebenarnya suatu uji klinik multi-center lebih sedikit menggunakan pengetahuan klinik daripada organisasi. Kemudian dr. Su tan Assin membahas masalah uji klinik obat-obatan pada anak, dr. RP Sidabutar membahas uji klinik dalam nefrologi & hipertensi. Dan Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro & dr. Yul Iskandar membicarakan kesulitan percobaan klinik dalam ilmu psikiatri. Pembicaraan dalam nomor ini diakhiri dengan masalah etika dalam percobaan pada manusia, yang terutama bertujuan melindungi subyek-subyek penelitian yang perlu dilindungi, seperti anak-anak, wanita hamil, penderita gangguan jiwa, serta masyarakat yang terbelakang. Di samping pembahasan uji klinik, diturunkan juga artikel-artikel menarik tentang Survei Epidemikologik, Farmako-kimia, AIHA, serta kisah mengenai rauwolfia, obat kuno yang masih kita pergunakan itu. Semoga bermanfaat.

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

artikel Prinsip Dasar Uji Klinik dr. Armen Muchtar Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

PENGANTAR Uji klinik yang direncanakan dengan cermat pada sejumlah penderita guna menentukan nilai terapeutik obat atau cara pengobatan lainnya merupakan salah satu ciri dan langkah maju dalam perkembangan Ilmu Kedokteran Modern dewasa ini. Pengujian ini berusaha menjembatani hasil penelitian yang diperoleh dalam laboratorium dengan penggunaan obat dalam praktek. Uji klinik tidak mudah dikerjakan karena memerlukan keahlian dan ketrampilan, menelan banyak biaya, menyita • banyak waktu dan mengandung bahaya bagi penderita. Bahaya ini dapat timbul sewaktu penderita terikut dalam penelitian atau terjadi dalam praktek karena pengobatan penderita didasarkan atas kesimpulan hasil-hasil uji klinik yang tidak benar. Dengan demikian berarti mutu ilmiah dan efisiensi uji klinik merupakan hal yang pokok. YANG DIMAKSUD DENGAN UJI KLINIK Dalam sejarah perkembangan ilmu pengobatan ada dua buah tulisan yang dianggap merupakan laporan uji klinik pertama kali. Ambroise Pare (1510 — 1590), seorang dokter ahli bedah militer, dalam suatu pertempuran melaporkan sebagai berikut: ".................... at lenght may oil lacked and I was constrained to apply in its place a digestive made .of yolks of eggs, oil roses, and turpentine. That night I could not sleep at my ease, fearing that by lack of cauterization I would find the wounded upon which I had not used the said oil dead from the poison. I raised myself early to visit them, when beyond my hope I found those to whom I had applied the digestive medicament feeling but little pain, their wound neither swollen nor inflamed, and having slept through the night. The others to whom I had applied the boiling oil were feverish with much pain and swelling about their wounds. Then I determined never again to burn this so cruelly the poor wounded by arquebuses "(1 ). James Lind (1716 — 1794), karena merasa ngeri atas kematian tiga perempat awak kapal Anson yang pulang mengelilingi dunia, merencanakan suatu uji klinik komparatif pengobatan scorbut. Pada tanggal 20 Mei 1747, dia melaporkan : " I took twelve patients in the scurvy on board the Salisbury at sea. The cases were as similar as I could have them .........

they lay together in one place...................and had one diet common to them all. To two of them was given a quart of cider a day, to two an elixir of vitriol, to two vinegar, to two oranges and lemons, and the remaining two "an electuary recommended by an hospital surgeon". The most sudden and Visible good effects were perceived from the use of the oranges and lemons, one of those who had taken them being at the end six days fit for duty " (1) Dari kedua laporan "uji klinik " yang sudah tua ini, sesungguhnya dapat ditarik kesimpulan uji klinik mempunyai ciriciri sebagai berikut : • merupakan penelitian yang bersifat prospektif dan experimental • bertujuan menyembuhkan penderita • merupakan penelitian komparatif/harus ada pembanding. Perkembangan baru dalam ilmu kedokteran modern menambahkan perlunya syarat-syarat berikut yang harus dipenuhi, yaitu : • uji klinik harus bebas dari segala bias • analisa data harus dikerjakan menurut metode statistik. Berikut ini akan diuraikan secara singkat dasar-dasar pemikiran bagi perlunya ciri dan persyaratan diatas dalam uji klinik. MERUPAKAN PENELITIAN PROSPEKTIF DAN EXPE RIMENTAL Penelitian prospektif—experimental harus dibedakan dari penelitian retrospektif dan survey. Prospektif berarti setiap subjek/penderita yang terikut dalam penelitian diikuti kedepan sesuai dengan perjalanan waktu, mulai dari diberikannya pengobatan sampai timbulnya respons. Sebaliknya penelitian dinyatakan bersifat retrospektif bila perjalanan klinik penyakit penderita ditelusuri kebelakang, mulai dari respons sampai pada saat mulai diberikan pengobatan atau stimulus lainnya.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

3

Suatu penelitian dinyatakan bersifat experimental bila obat/stimulus yang diterima penderita sengaja direncanakan dan ditentukan sendiri oleh peneliti. Sebaliknya dalam suatu survey jenis pengobatan/stimulus yang diterima penderita adalah bersifat "rutin" berdasarkan ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki dokter pada saat itu. Fungsi peneliti pada survey adalah pasif, yaitu hanya mengamati respons yang timbul (2). Karena uji klinik bersifat prospektif-experimental, maka persiapan yang cermat dapat dilakukan, dan biasanya dituangkan dalam bentuk protokol yang lengkap. Kemudian protokol uji klinik itu perlu diuji dan disempurnakan melalui penelitian pendahuluan (pilot study). Dalam penelitian pendahuluan dapat ditentukan ketepatan pemilihan penderita, kelancaran wawancara, ketepatan pengukuran respons penderita dan kerja sama antar peneliti. Disamping itu dari penelitian pendahuluan dapat diramalkan jumlah penderita yang dapat diikutkan dalam penelitian. Hukum Lasagna menyatakan bahwa jumlah subjek yang dapat diikutkan adalah sepersepuluh dari jumlah penderita yang sehari-hari kelihatan di klinik untuk penyakit yang hendak diteliti (3). Seandainya jumlah penderita yang diharapkan tidak mencukupi, maka penelitian multiklinik perlu dipertimbangkan. BERTUJUAN MENYEMBUHKAN PENDERITA. Dalam sejarah perkembangan ilmu pengobatan tercatat bahwa experimentasi pada manusia tidak selalu bertujuan untuk penyembuhan. Pada zaman Romawi kuno misalnya, penguasa dan dokter mencobakan zat racun dan sekaligus meneliti khasiat antidot pada narapidana atau tawanan perang. Dalam era Kedokteran Modern , kengerian akan experimentasi yang dilakukan oleh Nazi terhadap orang Yahudi telah mendorong lahirnya Kode Nuremberg, yang kemudian disempurnakan menjadi Deklarasi Helsinki (4). Dalam deklarasi itu antara lain dinyatakan : — experimentasi klinis harus memenuhi prinsip-prinsip moral dan ilmu pengetahuan, dan hanya boleh dikerjakan atau diawasi oleh orang-orang yang mempunyai keahlian. — manfaat yang hendak diperoleh penderita harus jauh melebihi risiko yang terkandung. — penderita harus diberitahu tentang seluk beluk penelitian yang hendak dijalani, dan ia harus babas untuk menolak atau menerima keikutsertaannya dalam penelitian itu. — setiap saat penderita boleh menarik diri atau peneliti harus segera menghentikan penelitian bila timbul gejala gejala yang mengancam kesehatan dan jiwa penderita. Bertitik tolak dari Deklarasi Helsinki, seorang peneliti yang menerima atau ikut menyelenggarakan uji klinik dapat dianggap tidak etis bila ia tidak mampu memenuhi persyaratan-persyaratan moral dan ilmiah. Peneliti yang mendahulukan kepentingan pribadi dari kepentingan penderita atau tidak menjaga mutu ilmiah penelitian adalah peneliti yang kurang etis. HARUS ADA PEMBANDING Pembanding atau kelola adalah kelompok subjek/penderita yang mempunyai kondisi kesehatan/penyakit dan perlakuan 4

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

yang sepadan dengan kelompok experimentasi, kecuali dalam hal obat yang hendak diteliti manfaatnya. Sudah dimaklumi bahwa respons penderita terhadap pengobatan bukan saja berasal dari obat yang hendak diberikan, tetapi dapat pula berasal dari tindakan lain yang diberikan bersama obat. Disamping itu respons penderita ditentukan pula oleh keparahan penyakit serta kondisi lainnya yang menyertai penyakit penderita. Istirahat ditempat tidur, diet, nasihat dokter dan perawat, fisioterapi dan kepatuhan ikut pula menentukan respons penderita terhadap pengobatan. Untuk menentukan berapa besar sesungguhnya peranan obat dalam usaha penyembuhan penderita, maka dalam suatu uji klinik harus ada kelompok kelola yang dalam segala hal menyamai kelompok experimentasi, kecuali dalam hal obat yang diteliti. Sehingga bila dalam analisa data ditemui adanya perbedaan respons yang nyata antara kedua kelompok, dengan yakin dapat dinyatakan bahwa perbedaan respons yang timbul adalah karena perbedaan obat yang diberikan.

Pengobatan — istirahat, diet — psikoterapi, fisioterapi — kepatuhan — obat obatan Jenis pengobatan mana yang berperanan menyembuhkan penyakit penderita ? Sebagai pembanding terhadap obat yang diteliti biasanya kelompok kelola menerima obat lain (obat standard) atau placebo. Kegunaan placebo dalam uji klinik terutama adalah untuk memisahkan "placebo effect" dari efek obat yang sesungguhnya (5). Dalam uji klinik dibedakan dua macam bentuk kelola yaitu kelola yang bersamaan waktunya ( concurrent ) dan kelola historik, tetapi yang dianggap memenuhi standar ilmiah adalah kelola "concurrent". Kelola historik hanya dapat dibenarkan pada uji klinik terhadap penyakit-penyakit yang selama ini belum ada obat yang efektif, kasus-kasus penyakit yang jarang dijumpai, atau pada pengukuran efek farmakologik pada uji klinik fase I dan II. Berdasarkan perjalanan klinis dan tujuan pengobatan maka pengikutsertaan kelompok kelola ke dalam uji klinik dapat dilakukan secara paralel, menyilang dan sekuensial. Dengan adanya kelompok pembanding dalam uji klinik, maka dapat diketahui pengobatan mana yang lebih efektif dan lebih aman, sehingga kemajuan dalam pengobatan yang rasional dapat terjamin perkembangannya. HARUS BEBAS DARI BIAS Bias adalah tiap proses pada setiap tahap penentuan sikap dan pendapat yang cendrung memberikan hasil dan kesimpulan yang secara sistematik berbeda dari yang sebenarnya. Dalam setiap studi analitik ada beberapa tahap kegiatan yang harus dilalui, dimana pada setiap tahap ada berbagai prosedur yang dapat menjadi sumber bias (6).

Uji klinik adalah salah satu bentuk studi analitik yang dianggap paling sempurna rancangannya, tetapi dapat memberikan dua bentuk bias yang tidak dimiliki oleh jenis studi analitik lainnya, yaitu kemungkinan timbulnya bias sewaktu alokasi penderita kedalam kelompok-kelompok experimental dan kelola, dan sewaktu mengukur dan membandingkan efek obat. Kemungkinan timbulnya bias sewaktu alokasi penderita dapat diatasi dengan cara melakukan alokasi secara acak (randomized allocation).Alokasi teracak merupakan prosedur yang menjamin setiap subjek mempunyai peluang ( "chance" ) yang sama besarnya untuk dapat masuk kedalam setiap kelompok pengobatan yang ada dalam uji klinik. Jaminan ini hanya dapat diberikan bila untuk prosedur alokasi penderita ini digunakan "random tabel". Sedangkan prosedur lain misalnya alokasi penderita secara sistemik atau bergantian, kocokan angka, atau lambungan uang logam dianggap tidak bebas dari bias, memakan waktu, atau hanya bermanfaat untuk alokasi teracak yang sederhana. Karena alokasi secara acak membebaskan peneliti dari bias, maka biasanya akan didapat kelompok experimental dan kelola yang mempunyai data dasar ( " baseline data") yang seimbang. Data dasar dalam kelompok experimental dan kelola dinyatakan seimbang bila analisa statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara data dari kedua kelompok. Bila dalam suatu uji klinik disimpulkan bahwa satu obat lebih baik dari yang lainnya, maka hal ini mungkin timbul karena, a) kelompok experimental dan kelola tidak mempunyai data dasar yang sama (tidak seimbang), b) obat yang diselidiki lebih superior dari obat standar atau placebo, c) adanya perbedaan yang kecil dari efek obat yang berubah menjadi nyata karena efek obat yang satu diperkuat oleh faktorfaktor dalam kelompok yang menguntungkan. Faktor a dan c ini adalah merupakan bias yang hanya dapat disingkirkan dengan alokasi teracak. Kemungkinan timbulnya bias sewaktu mengukur efek obat atau respons penderita dapat dihindari dengan cara melakukan observasi atau pengukuran dalam keadaan tersamar ganda (double—blind). Pada keadaan ini penderita dan peneliti yang memberi obat sama-sama tidak dapat membedakan obat manakah yang mereka minum, apakah obat yang hendak diteliti ataukah obat standar/placebo. Supaya kedua jenis obat tersebut betul-betul tidak dapat dibedakan oleh penderita dan peneliti, maka bentuk, ukuran, rasa dan bau, cara dan frekuensi pemberian obat harus dibuat sama, misalnya dengan jalan memasukkan obat yang bersangkutan kedalam "wafer capsules". Disamping itu jenis tindakan lain yang diterima kedua kelompok penderita harus sama kualitas dan kuantitasnya. Dengan cara ini bias yang berasal dari perasaan entusiasme terhadap obat baru, atau skeptis karena efek samping salah satu obat, dapat ditiadakan pengaruhnya terhadap penilaian efek obat atau respons penderita. Suasana tersamar selama penelitian dapat terungkap bila timbul efek samping atau efek lain yang khas untuk satu macam obat. Bila diduga keadaan ini dapat terjadi selama penelitian, maka disamping peneliti yang menangani penderita harus ada peneliti lain yang khusus menilai respons penderita saja.

ANALISA DATA SECARA STATISTIK Penggunaan metoda statistik dalam pengumpulan dan pengolahan data uji klinik bertujuan untuk menentukan apakah perbedaan atau persamaan hasil pengobatan pada kelompok experimental dan kelompok kelola terjadi karena peranan faktor-faktor kebetulan ( " chance factor "), obat atau prognosis. Peranan faktor kebetulan dalam menimbulkan persamaan atau perbedaan hasil pengobatan antara kelompok expert mental dan kelola tidak dapat disingkirkan sama sekali, tetapi kemungkinan peranannya dapat diperkecil dengan menyerta kan jumlah sampel yang cukup untuk setiap kelompok. Me tode statistik yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel yang mencukupi adalah dengan terlebih dahulu menetapkan taraf kemaknaan statistik dan klinis dari perbedaan hasil pengobatan antara kelompok experimental dengan kelompok kelola. Taraf kemaknaan statistik dalam analisa data dihubungkan dengan simbul alfa dan beta, dimana alfa menyatakan besarnya kemungkinan (probability) dari hasil uji klinik tersebut bersifat positif semu ( " false positive"), sedangkan beta menyatakan besarnya kemungkinan hasil uji klinik ini bersifat negatif semu ("false negative"). Bila alfa dinyatakan sama dengan 0,05 , berarti selalu ada kemungkinan 1 dalam 20 uji klinik yang serupa yang perbedaan hasil pengobatan antara kelompok experimental dan kelola timbul secara kebetulan dan bukannya karena obat. Bila beta dinyatakan sama dengan 0,1 berarti selalu ada kemungkinan I dalam 10 uji klinik yang serupa yang kebetulan tidak memperlihatkan perbeTabel I : Analogi antara konklusi diagnostik dengan pemikiran statistik

JALAN PIKIRAN DIAGNOSTIK Penyakit yang sesungguhnya

Hasil tes diagnostik

ADA

TIDAK ADA

Positif

diagnosis benar (sensitivitas = 1 — beta)

diagnosis salah (positif semu = alfa)

Negatif

diagnosis salah (negatif semu = beta)

diagnosis benar (spesifisitas = 1 — alfa)

JALAN PIKIRAN STATISTIK Hasil analisa data

Perbedaan yang sesungguhnya

ADA

TIDAK ADA

Ada perbedaan yang bermakna , tolak H.

Tidak keliru (probability = 1 — beta)

kekeliruan jenis I/ positif semu (probability = alfa)

Tidak ada perbedaan yang bermakna, terima Ho

kekeliruan jenis II/negatif semu (probability= beta)

tidak keliru (probability = 1 — alfa)

Ho = hipotesa nol.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

5

daan hasil pengobatan yang bermakna antara kelompok experimental dan kelola, padahal dalam 9 uji klinik lain yang serupa perbedaan yang bermakna itu selalu dijumpai. Pengertian positif semu dan negatif semu dari uji klinik akan lebih mudah difahami bila uji klinik dianggap analog dengan tes diagnostik (7). Suatu test diagnostik dinyatakan positif semu bila tes menunjukkan hasil yang positif, tetapi penyakit yang sesungguhnya tidak ada. Misalnya hasil pemeriksaan sputum menunjukkan adanya sel-sel ganas, tetapi pemeriksaan lebih lanjut (dengan foto- dan biopsi) tidak menunjukkan adanya kanker paru. Bila dalam tes diagnostik ini besarnya hasil positif semu adalah alfa = 0,05 , maka nilai 1—alfa (= 0,95) mencerminkan spesifisitas dari test diagnostik yang bersangkutan. Dengan menganggap beta sama dengan nilai negatif semu dalam tes diagnostik, maka dengan jalan pikiran yang sama dengan diatas, nilai 1 — beta mencerminkan sensitivitas dari tes diagnostik.(Lihat Tabel I). Dengan demikian, sesungguhnya uji klinik adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk menilai manfaat pengobatan, yang sensitivitas dan spesifisitasnya ditentukan oleh besar sampel. Makin besar jumlah sampel makin spesifik dan makin sensitif hasil yang diperlihatkan oleh uji klinik yang bersangkutan, dan berarti pula makin kecil peranan faktor kebetulan dalam mempengaruhi hasil uji klinik. Besar sampel yang memadai untuk suatu uji klinik adalah :

n = besar sampel perkelompok; diduga secara klinis bermakna.

. perbedaan hasil pengobatan yang

Zα,β = nilai yang didapatkan pada tabel distribusi normal sesuai dengan α dan β p1 = proporsi kesembuhan dengan obat I; p 2 = proporsi kesembuhan dengan obat II, p = 1/2 (p1 + p 2 ).

Biasanya jumlah sampel yang diperlukan untuk suatu uji klinik sudah tersedia dalam bentuk tabel (8). Ada atau tidaknya peranan faktor prognostik dalam mempengaruhi hasil pengobatan dapat ditentukan bila si peneliti tidak lupa mengelompokkan penderita atas beberapa subkelompok berdasarkan tingkat prognosis penyakit yang sama, dan kemudian melakukan analisa statistik atas data yang berasal dari subkelompok yang sama, masing-masing dari kelompok experimental dan kelola. Suatu hasil uji klinik mungkin saja memberikan perbedaan yang bermakna antara kelompok eksperimental dengan kelompok kelola, tetapi perbedaan yang bermakna itu tidak terlihat bila hasil pengobatan dibandingkan dalam subkelompok yang sama tingkat prognostiknya. Misalnya, adalah hasil uji klinik dibawah ini. (Lihat Tabel II). Dalam contoh uji klinik ini sekaligus juga terlihat bahwa penderita dalam kelompok obat A dan B tidak sebanding dimana dalam kelompok A tercakup lebih banyak penderita yang penyakitnya berat, sedangkan pada kelompok B tercakup lebih banyak penderita yang lebih ringan penyakitnya. Hasil pengobatan total memberi kesan obat B lebih baik daripada obat A. Sebaliknya suatu uji klinik yang memberikan hasil pengobatan yang sama pada kelompok experimental dan kelola, dapat mengungkapkan perbedaan hasil yang bermakna bila dibandingkan dalam tingkat prognostik yang sama. Lihat hasil analisa uji klinik dibawah ini. (Lihat Tabel III). Dalam contoh uji klinik ini terlihat bahwa ada perbedaan hasil kesembuhan antara placebo, obat A dan obat B, pada tingkat prognosa yang sama. Dari uraian diatas dapat diringkaskan bahwa dalam uji klinik, analisa statistik diperlukan untuk : • menilai kesebandingan ("comparability ") antara kelompok experimental dangan kelompok kelola.

TABEL II : Perbedaan hasil kesembuhan karena penderita kelompok A & B tidak sebanding OBAT A jumlah pasien Penyakit ringan (prognosa baik) Penyakit berat (prognosa buruk)

Total

OBAT B jumlah pasien

sembuh

sembuh

30

24(80%)

70

56(80%)

70

14(20%)

30

6(20%)

100

38(38%)

100

62(62%)

TABEL III : Hasil total pengobatan sama, namun ada perbedaan hasil pada tingkat prognostik yang sama

jumlah pasien

sembuh

Prognosa baik

50

35(70%)

50

45(90%)

50

15(30%)

50

5(10%)

50 50

25(50%)

Prognosa jelek

100

50(50%)

100

50(50%)

100

50(50%)

Total

6

OBAT B

OBAT A

PLACEBO

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

jumlah pasien

sembuh

jumlah pasien

sembuh

25(50%)

• menilai apakah ada perbedaan hasil pengobatan yang bermakna antara kelompok experimental dengan kelompok kelola • menilai peranan faktor prognostik terhadap hasil pengobatan. PENUTUP Uji klinik yang telah selesai dikerjakan biasanya diberitakan atau dibacakan dalam majalah atau pertemuan ilmiah. Seorang peneliti harus bersifat jujur dan cermat, dimana ia harus meninjau kembali secara kritis pekerjaan yang telah dilakukannya, dan berusaha menghindari interpretasi yang berlebihan dari hasil uji klinik yang telah dikerjakannya. Hanya dia yang sesungguhnya mengetahui kualitas dan keterbatasan data yang diperoleh. Seringkali seorang peneliti tidak mengindahkan masalah "drop outs", tidak mencatat dan tidak menganalisa data efek samping, keliru dalam memilih parameter (variable) yang sesuai, salah menggunakan tes statistik yang sesuai, dan lain sebagainya. Di Indonesia pemberitaan tentang hasil uji klinik ini cukup banyak, dan telah dilakukan pengamatan terhadap persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengerjakan uji klinik. Ternyata sedikit sekali dari uji klinik tersebut yang memenuhi persyaratan (9). Kekurangan utama yang terlihat adalah uji klinik tersebut tidak mempunyai kelola, alokasi random tidak dikerjakan, jumlah sampel tidak memadai, dan tidak ada analisa statistik. Hasil-hasil uji klinik seperti ini tentu saja mudah memberikan kesimpulan yang menyesatkan. Agaknya kebanyakan dari uji klinik yang ada di Indonesia digolongkan sebagai " promotional trial" atau merupakan "testimonial report" yang disponsori perusahaan farmasi, sehingga seringkali mengabaikan persyaratan ilmiah yang harus dipenuhi. Seharusnya seorang peneliti sanggup membuat rancangan percobaan sendiri, dan berani menolak rancangan percobaan yang disodorkan sponsor bila dianggap kurang bermutu.

Melihat begitu banyaknya jebakan-jebakan yang dapat menjadi sumber kekeliruan, dan mengingat masih rendahnya mutu uji klinik di Indonesia, maka seorang peneliti harus berusaha memperbaiki sikap, meningkatkan ilmu serta ketrampilan dalam penyelenggaraan uji klinik. Uji klinik adalah sesuatu yang mudah diucapkan tetapi memerlukan pengorganisasian yang rumit dan harus ditangani secara cermat oleh peneliti ahli. KEPUSTAKAAN 1. Bull JP. The historical development of clinical therapeutic trials. J Chronic Dis. 1959; 10: 218 -248. 2. Feinstein AR. Statistics versus science in the design of experiments. Clin Pharmacol Ther. 1970; 11: 282 — 292. 3. Gore SM. Assessing Clinical Trials, First step. Brit Med J. 1981; 282: 1605 — 1607. 4. Goldstein A, Aronow L, Kalman JM. Principles of Drug Action The Basis of Pharmacology. Dalam chapter 14. Drug Evaluation in Man, 779—832. Wiley Int. Ed. , 1974. 5. Goodman LS, Gilman A. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 5 th edition, Mc. Milian, New York, 1975. 6. Sackett DL. Bias in analytic research. J Chronic Dis 1979; 32 : 51—63. 7. Feinstein AR. Clinical biostatistics XXXIV. The other side of statistical significance : alpha, beta, delta, and the calculation of sample side. Clin Pharmacol Ther. 1975; 18: 491 — 504. 8. Rumke CL. Uncertainty as to the acceptance or rejection of the prsence of an effect in relation to the number of observations in an experiment. Triangle 1968; 8: 284 — 289. 9. Muchtar A, Syamsudin U, Sardjono SO, Setiawan B. Assessment of Clinical Trial Reports. Report Cases from University of Indonesia School of Medicine. The 2 nd Asian/Western Pasific Regional Meeting of Pharmacologists, Yogyakarta, Indonesia June 1979.

Dr. D. L. Sackket (6) telah menghitung bahwa dalam melaksanakan penelitian klinik yang bersifat analitik ada 56 jebakan yang dapat menjadi sumber bias.Sumber kesalahan kebanyakan terjadi pada fase-fase perencanaan dan pelaksanaan, dimana kesalahan ini tidak dapat diperbaiki lagi setelah uji klinik selesai dilaksanakan.

Banyaknya kemungkinan kesalahan yang dapat terjadi pada studi analitik.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

7

Fase-fase dalam Uji Klinik

Suatu uji klinik sebenarnya bertujuan meng-kuantifikasikan tingkat manfaat dan risiko suatu obat baru. Setiap zat yang aktif untuk terapi pasti mengandung sejumlah risiko akibat aktivitasnya dalam mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh. Dalam perkembangan penelitian klinik, mula-mula kita praktis tidak mengetahui sama sekali seluk beluk suatu obat. Maka tujuan penelitian adalah memperoleh pengetahuan lengkap tentang obat itu, kalau mungkin. Dan ini memakan waktu yang lama sekali. Ini dapat digambarkan sbb. (Lihat Gambar 1) Dalam percobaan pre-klinik belum dipakai subyek manusia. Pengaruh-pengaruh suatu obat-baru diselidiki pada hewan percobaan. Begitu obat mulai dicoba pada manusia, dimulailah suatu uji klinik, uji klinik fase I. Penelitian Fase I Pada hewan, dalam penelitian pra-klinik, telah diteliti sifat-sifat farmakologik suatu obat baru. Namun sulitnya tidak semua sifat farmakologik yang terlihat pada hewan juga terlihat pada manusia. Misalnya Litchfield (1962) menunjukkan bahwa dari 89 pengaruh obat yang berbeda-beda, 33 hanya terlihat pada manusia. Jadi tujuan penelitian fase ini ialah meneliti sifat-sifat farmakologik obat tsb. sehingga tercapai efek terapetik maksimum. Dalam prakteknya, pertama-tama harus diperoleh data farmakokinetik yang sederhana, misalnya waktu paruh dan "volume of distribution," disamping efek-efek farmakodinamik lainnya. Penelitian yang lebih rumit boleh ditinggalkan untuk fase berikutnya. Fase ini menggunakan subyek manusia sukarelawan yang sehat. Namun demikian, hubungan antara fase I dan pra-klinik erat. Hasil-hasil penelitian di sini dapat merangsang penelitian baru pada hewan Pengetahuan lengkap tentang pengaruh obat pada manusia

Tak ada pengetahuan tentang pengaruh obat pada manusia

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Karena selalu ada bahaya pada percobaan pertama, sebaiknya percobaan dilakukan di rumah sakit, yang siap menanggulangi bahaya efek samping yang mungkin timbul. Sukarelawan biasanya diambil dari karyawan industri farmasi yang ingin mengembangkan obat itu (biasanya dengan imbalan uang). Sulitnya sumber subyek ini biasanya terbatas jumlahnya. Bagaimana bila dipakai mahasiswa kedokteran? Banyak fakultas kedokteran di luar negeri yang melarang mahasiswanya menjadi sukarelawan di fakultasnya sendiri, karena mahasiswa tidak berada dalam posisi yang enak untuk menolak permintaan dosennya. Menjadi sukarelawan di fakultas lain diperbolehkan. Penelitian fase II Tujuan utama dari percobaan-percobaan di sini ialah meneliti apakah suatu obat baru berguna untuk satu (atau lebih) indikasi klinik. Fase ini dimulai ketika orang sakit (pasien) pertama kali digunakan sebagai subyek dan bukan sukarelawan sehat. Penelitian-penelitian awal mungkin bersifat tanpa - kontrol (uncontrolled). Dulu penelitian begini sering dikecam, namun sebenarnya bila dilakukan dengan benar, banyak informasi berharga yang dapat diperoleh. Penelitian di sini harus cukup memadai agar perkiraan perbandingan keuntungan : kerugian dapat diketahui seawal mungkin. Dapat diperoleh pula informasi tentang efek samping serta perkiraan manfaat klinik dalam hubungannya dengan konsentrasi obat dalam cairan tubuh dan jaringan-jaringan (farmakokinetik). Eliminasi obat dari tubuh (yang juga dilakukan pada penelitian fase I) harus dicheck juga pada pasien karena pada orang sakit mungkin eliminasi obat berbeda akibat perubahan fungsi tubuh (farmakodinamika)

Penelitian yang cermat pada tahap awal ini kadang kala dapat menunjukkan adanya indikasi baru. Penemuan ini dapat terjadi pada setiap tahap penelitian (termasuk fase IV akhir) dan kemungkinan ini harus selalu diingat. Penelitian awal ini biasanya cukup arnan karena dimulai dengan obat yang meskipun baru, tapi dengan dosis yang kecil dan dosis tunggal, pada beberapa orang pasien yang dimonitor dengan ketat. Penambahan dosis, penambahan frekuensi pemberian, dan penambahan populasi pasien hanya dilakukan bila penelitian awal ini memberi hasil yang baik. Penelitian fase III Keputusan untuk memasuki fase III diambil bila para peneliti yakin bahwa rasio manfaat : risiko obat baru itu dapat diterima. Karena itu pemberian secara lebih meluas obat baru itu dapat dibenarkan, dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan supervisi yang kurang ketat. Perubahan dari fase II ke fase III ini berlangsung berangsur-angsur: supervisi pasien pada awal fase III sama ketatnya dengan fase II. Sementara keyakinan meningkat dan lebih banyak pasien yang terlibat, supervisi dengan sendirinya makin berkurang. Tapi harus dijaga juga agar pasien tidak dalam bahaya. Ketatnya supervisi ini tidak hanya tergantung pada perkembangan tahap penelitian, tapi juga pada sifat obat yang diuji. Sementara fase III berlangsung, berbagai jenis disain penelitian dapat diujikan. Pada akhir uji klinik seharusnya seorang dokter telah dapat menggunakan suatu obat baru dengan cukup kompeten sampai manfaat maksimumnya. Untuk ini dia harus dapat menimbang secara tepat perbandingan keuntungan dan kerugian/risiko penggunaan obat itu pada berbagai kasus. Pada akhir fase III harus telah ada bukti-bukti tentang indikasi-indikasi dan dosis obat, juga tentang keamanannya untuk penggunaan jangka panjang bila ada indikasi untuk itu. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan : Apakah obat berakumulasi dalam tubuh? Apakah toksisitas meningkat dengan penggunaan jangka panjang? insidensi dan tingkat beratnya efek samping harus dimonitor dengan cermat.

Penelitian pra-pemasaran masih meninggalkan beberapa pertanyaan penting yang belum terjawab. Sebagai contoh, toksisitas suatu zat tak mungkin dinilai secara tepat dalam fase-fase sebelumnya bila insidensi agranulositosis adalah 1 : 20.000. Namun demikian penting diketahui apakah efek tersebut memang ada. Ada beberapa kekurangan dalam fase II dan III, yaitu terutama : * Jumlah pasien terbatas * Lama pemberian obat terbatas * Populasi pasien terbatas Oleh sebab itu penelitian fase IV harus di-disain untuk mengungkapkan : - Efek samping akibat penggunaan kronik - Manfaat obat dalam penggunaan jangka panjang. - Data-data komparatif lainnya dalam penggunaan jangka panjang. - Non-responder - Penggunaan-penggunaan baru dan indikasi baru. - Penilaian kemungkinan penyalahgunaan obat - Penilaian kemungkinan penggunaan obat secara berlebihan atau kesalahan dalam penggunaannya. Interaksi obat dan kompatibilitasnya dengan zat-zat lain karena : 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Metabolisme mungkin meningkat atau menurun Perubahan pH urin mungkin mengubah ekskresi obat Mungkin ada sekresi tubuler aktif Mungkin ada hambatan pada absorpsi dalam usus. Perubahan motilitas usus mungkin terjadi Interferensi farmakologik, misalnya pada ujung saraf, dapat terjadi.

Jadi, ada sejumlah alasan untuk membenarkan dilakukannya penelitian fase IV; alasan yang tak ada hubungannya dengan motivasi komersial, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa hasil-hasil penelitian itu sering dipakai untuk menunjang pemasaran. EN.

Penelitian fase IV Dapat dikatakan bahwa fase IV mencakup semua penelitian yang dilakukan setelah obat baru mendapat izin untuk pemasarannya.

KEPUSTAKAAN Good CS. Principles and Practice of clinical trials, Edinburgh : Churchill Livingstone, 1976.

Menurut pendapat saya, dokter membunuh orang sebanyak kita jenderal jenderal. Napoleon Bonaparte Biasanya dokter itu seperti anggur, terbaik bila telah tua. Thomas Fuller

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

9

Penggunaan dan Penggunasalahan Statistik dalam Percobaan Klinik Dr. Arini Setiawati Bagian Farmakologi, Fakultas kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta.

PENDAHULUAN Statistik memegang peranan yang sangat penting dalam percobaan klinik, yakni dalam stadium perencanaan maupun dalam stadium penyelesaian. Dalam stadium perencanaan, kontribusi statistik adalah dalam menentukan jumlah sample, cara randomisasi, cara pengumpulan data agar dapat dianalisa dan dalam pemilihan tes statistik yang akan digunakan. Kontribusi statistik dalam stadium penyelesaian adalah dalam analisa data serta presentasi dan interpretasi hasilnya (1). Penggunasalahan statistik merupakan hal yang sering terjadi. Para kritikus makalah kedokteran telah menemukannya pada kira-kira separuh dari artikel-artikel yang menggunakan metode statistik dan dimuat dalam majalah-majalah kedokteran yang terkemuka di dunia seperti British Medical Journal (BMJ), Circulation, Circulation Research, Annuals of Medicine, New England Journal of Medicine (NEJM), American Journal of Medicine, Archives of Internal Medicine dll (Lihat Tabel 1.

Contoh penggunasalahan statistik dalam majalah-majalah kedokteran yang terkemuka

Majalah kedokteran yang disurvei Jumlah makalah yang disurvei Jenis

Periode

Keputusan

39% - tanpa statistik 27% - t - tes yang tidak benar

Glantz, 1980 (2)

Juli - Desember 1977

Circul - Res.

Januari - Juni 1977

79 (total)

25% - tanpa statistik 46% - t - tes yang tidak benar

Glantz, 1980 (2)

BMJ

Januari - Maret 1976

77 (total)

19% - tanpa statistik 42% - statistik dengan sedikitnya satu kesalahan

Gore, 1977 (3)

10 jenis :

Januari - Maret 1964

295 (sampel acak)

47% - metode statistik tidak benar

Schor & Karten, 1966 (4)

Januari - Juni 1973

1165 (total)

65% - tanpa statistik 35%-757 prosedur statistik, 20% diantaranya tidak dikenal

Feinstein 1974 (5)

5 jenis : —BMJ —JAMA —NEJM —Lancet —Canad Med Assoc J

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

142 (total)

Jumlah makalah tanpa statistik dan dengan penggunasalahan statistik

Circulation

—Ann Med —NEJM —Amer J Med — Arch Int Med —J Clin Invest — dll

10

Table 1). Hal ini disebabkan karena tidak banyak peneliti di bidang kedokteran yang telah memperoleh pendidikan formal dalam biostatistik, kebanyakan mungkin hanya memperoleh penataran statistik yang minimal. Disamping itu pemeriksaan statistik oleh staf editor pada kebanyakan jurnal bukan merupakan prosedur yang formal ( 2,6 ). Mungkin di antara staf editor tidak ada yang menguasai statistik, dan naskah yang dikirimkan secara rutin kepada ahli biostatistik untuk diperiksa hanyalah naskah-naskah yang penuh dengan penjelasan-penjelasan statistik karena salah seorang penulisnya ahli statistik, sehingga seringkali tidak memerlukan pemeriksaan statistik. Naskah-naskah yang hanya menyebutkan beberapa nilai p (probabilitas) dan tidak memberikan penjelasanpenjelasan statistik yang diperlukan adalah naskah-naskah yang paling memerlukan pemeriksaan statistik. Tetapi justru naskah-naskah ini tidak dikirimkan kepada ahli biostatistik sehingga luput dari pemeriksaan statistik (4).

Tabel 2.. Besar sampel acak yang diperlukan untuk masing-masing dari 2 kelompok pengobatan dalam suatu percobaan klinik (a a = 0,05 dan ß=0,05) Persentase kesembuhan dengan obat II **

Persentase kesembuhan dengan obat I

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

53

26 270

17 83 402

12 42 111 494

9 26 53 128

7 18 31 58

– 13 20 32

– 9 14 20

– 7 9 13

– – – –

0 10 20 30

539

134 539

58 128

31 53 111 402

18 26 42 83 270

7 9 12 17 26

40 50 60 70 80

53

90

494

* Dikutip dari Rumke CL (11). Uncertainty as to the acceptance or rejection of the presence of an effect in relation to the number of observations in an experiment. Triangle 1968 ; 8 ( 7) : 288. ** Bila α = 0,01 dan β = 0,01, angka-angka dalam tabel harus dikalikan 2. Bila α = 0,01 dan β = 0,05, angka-angka dalam tabel harus dikalikan 1,5. Bila α = 0,05 dan β = 0,10, angka-angka dalam tabel harus dikalikan 0,8.

B

A

C

Gambar 1.Besar sampel yang diperlukan dalam suatu percobaan klinik yang membandingkan 2 pengobatan, dimana Cl dan C2 adalah persentase kesembuhan dengan obat I dan obat II, C2 – Cl = perbedaan persentase kesembuhan dengan obat II dan obat I, N = besar sampel yang diperlukan untuk masing - masing kelompok pengobatan I dan II.

A. α = 0,05 dan B. α = 0,05 dan C. α = 0,05 dan

β = 0,50 β = 0,25 β

=

0,10

(Dikutip dari Boag JW, Haybittle JL, Fowler JF, Emery EW. The number of patients required in a clinical trial. Brit J Radiol. 1971; 44 : 123). Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

11

Akhir-akhir ini beberapa jurnal telah menyadari perlunya memperbaiki kualitas statistik dalam makalah-makalah yang dimuat dalam jurnalnya. Untuk melaksanakan hal ini, ahli biostatistik akan memeriksa aspek statistik dari semua naskah yang akan dimuat dalam jurnalnya (7 -9). BESAR SAMPLE Besar sample yang diperlukan untuk suatu percobaan klinik dapat dihitung dengan rumus (10) yang dicantumkan dalam makalah dr. Armen ( lihat halaman 3 ), atau dapat dilihat dari tabel (Tabel 2), grafik (Gambar 1) atau monogram (Gambar 2). Arti α dan β telah dijelaskan dalam makalah dr Armen. Hanya kepentingan dan interpretasinya mungkin masih perlu sedikit penjelasan. Nilai α = 0,05 berasal dari kebiasaan RA Fisher yang kemudian diikuti oleh seluruh dunia statistik sebagai nilai α yang biasanya dipilih (14). Tetapi peneliti atau editor boleh saja memilih nilai α yang lain, seperti 0,01 atau 0,001. Bila dari perhitungan diperoleh nilai P> α, maka kita mengambil kesimpulan bahwa keadaan yang teramati antara hasil pengobatan I dan hasil pengobatan II secara statistik tidak bermakna ("not significant"). Kesimpulan tersebut benar. Kesimpulan yang salah adalah bahwa perbedaan tadi tidak berarti ("insignificant")sehingga kita menerima hipotesis nol. Dengan menyimpulkan bahwa perbedaan tadi tidak bermakna, berarti kita gagal untuk menolak hipotesis nol, tetapi bukan berarti bahwa kita menerima hipotesis nol! Untuk menerima hipotesis nol, masih diperlukan perhitungan β , yakni kemungkinan membuat kesalahan negatif semu, yaitu kesalahan menyimpulkan tidak ada perbedaan bila sesungguhnya perbedaan itu ada. Inilah yang disebut kesalahan tipe II, dan kemungkinannya dinyatakan dengan besarnya nilai β , yakni kemungkinan kegagalan untuk menemukan perbedaan yang ada. Besarnya nilai β yang diterima untuk percobaan klinik biasanya berkisar antara 0,05 — 0,20 (13,15). Dengan memperhitungkan β untuk menentukan jumlah sampel, misalnya diambil nilai β = 0,10, maka terdapat 90% (1 —β ) kemungkinan untuk menemukan perbedaan hasil pengobatan bila memang ada, pada tingkat kemaknaan =α . Bila ternyata diperoleh nilai P > α , kita dapat menerima hipotesis nol (bahwa tidak ada perbedaan hasil pengobatan atau bahwa perbedaannya tidak berarti) dengan kepercayaan yang cukup besar karena kemungkinan kesalahannya sudah diperhitungkan = 10% ( β ). Dalam rumus untuk perhitungan besar sample, terlihat faktor Zαdan Zβ. Bila β tidak ikut diperhitungkan, Zβ = 0, maka jumlah sample yang dibutuhkan menjadi jauh lebih kecil. Dalam hal ini β = 0,50, berarti bahwa kemungkinan untuk menemukan perbedaan yang sesungguhnya ada, hanya 50%. Bila nilai β > 0,50%, maka Zβ negatif sehingga jumlah sample yang dibutuhkan lebih kecil lagi. Jadi jelaslah bahwa makin kecil jumlah sampel makin besar risiko untuk tidak menemukan perbedaan yang ada, atau dengan perkataan lain makin kecil kemungkinan untuk dapat menemukan perbedaan yang sesungguhnya ada. Kesimpulan yang sama juga dapat ditarik dari tabel (Table 2), grafik (Gambar 1) maupun monogram (Gambar 2) yang digunakan untuk perhitungan jumlah sample. Makin kecil nilai-nilai α dan β , makin tinggi specificitas (1 —α) dan sensitivitas (1 — β ) percobaan klinik dalam mencari 12

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Gambar 2. Monogram untuk menentukan besar sampel yang diperlukan dalam suatu percobaan klinik yang membandingkan 2 pengobatan, dimana parameter yang diukur merupakan skala interval, d = perbedaan hasil pengobatan I dan II, SD = standar deviasi dari hasil pengobatan I (biasanya sudah diketahui dari penelitian-penelitian sebelumnya atau dari penelitian pendahulu), N = besar sampel yang diperlukan untuk kedua kelompok pengobatan (merupakan titik potong antara yang menghubungkan s/SD dan 1 — β dengan garis α). (Dikutip dari Altman DG [ 13 ]. Statistics and ethics in clinical research. III. How large a sample. Brit Med J 1980; 281 : 1337.)

ada/tidaknya perbedaan hasil pengobatan antara 2 obat yang dibandingkan, tetapi makin besar jumlah sampel yang dibutuhkan. Karena itu dalam praktek, nilai-nilai α dan β disesuaikan dengan (i) jumlah pasien yang sesungguhnya dapat diperolah untuk percobaan klinik tersebut, dan (ii) besarnya dana yang tersedia untuk percobaan klinik tersebut (10). Dari uraian diatas jelaslah bahwa besar sampel yang diperlukan harus diperhitungkan terlebih dahulu sewaktu menrencanakan suatu percobaan klinik. Faktor-faktor yang diperlukan untuk perhitungan besar sampel tersebut, seperti nilainilai α dan β yang dipilih, perkiraan nilai-nilai pr, A atau d/SD, harus dilaporkan sewaktu hasilnya dipublikasi. Tetapi rupanya perhitungan besar sampel ini jarang sekali dilakukan. Di antara 172 "randomized control trials" yang dimuat dalam New England Journal of Medicine dan Lancet dari tahun 1973 s/d 1976, tidak ada satupun yang menyebutkan perkiraan besar sampel yang dibutuhkan sebelum trial dimulai, dan juga tidak ada satupun yang menetapkan besarnya perbedaan yang akan diterimanya sebagai perbedaan yang berarti dalam klinik (16). Jelaslah bahwa dalam kebanyakan trial tersebut perhitungan-perhitungan demikian tidak dilakukan. Tidak dilakukannya perhitungan jumlah sampel yang dibutuhkan sering kali mengakibatkan sampel yang diambil terlalu

sedikit jumlahnya. Telah disebutkan bahwa sampel yang terlalu kecil meningkatkan risiko untuk tidak menemukan perbedaan-perbedaan yang sesungguhnya ada. Hal ini jelas terlihat dari hasil suatu survei mengenai 71 "randomized control trials" yang memberikan hasil "negatif" dan berasal dari 20 jenis jurnal tetapi terutama dari Lancet, NEJM dan JAMA selama periode tahun 1960 — 1977 (kebanyakan dari tahun 1970 — 1977). Bila 25% dianggap sebagai perbedaan (antara pengobatan dan kontrol) yang bermakna secara klinik dan dipilih nilai α = 0,05, maka dari besar sampel yang digunakan, nilai β dapat dihitung. Ternyata daai 71 trial tersebut, hanya 4 yang mempunyai nilai β ≤ 0,10. Ini berarti bahwa diantara 71 trial dengan hasil "negatif" tersebut, hanya 4 yang mempunyai jumlah sampel yang cukup sehingga hasil negatif untuk menemukan perbedaan 25% tadi cukup dapat dipercaya (kemungkinan kesalahannya ≤ 10%). Bila perbedaan diambil 50% dan nilai α = 0,05, maka dari 71 trial tersebut ada 21 dengan nilai β ≤ 0,10. Bial untuk setiap trial dihitung 90% "confidence interval" dari perbedaan antara pengobatan dan kontrol, ternyata pada 57 trial (80%) interval tersebut mencakup perbedaan 25%, dan pada 34 trial (49%) mencakup perbedaan 50%; semua ini termasuk yang mempunyai nilai β > 0,10. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di antara 67 trial dengan nilai β (risiko untuk tidak menemukan perbedaan 25%) > 10%, 57 trial (85%) mempunyai potensi untuk menemukan perbedaan 25% tersebut tetapi gagal akibat jumlah sample terlalu kecil. Demikian juga dengan 50 trial dengan nilai β (risiko untuk tidak menemukan perbedaan 50%) > 10%, 34 trial (68%) mempunyai potensi untuk menemukan perbedaan 50% tersebut tetapi gagal akibat jumlah sampelnya terlalu kecil. Sebagaimana telah disebutkan, jumlah sampel yang terlalu kecil umumnya disebabkan karena tidak dilakukan perkiraan jumlah sampel yang dibutuhkan sebelum trial dimulai. Ternyata memang hanya satu diantara 71 makalah tersebut diatas yang menyebutkan bahwa α dan β dipertimbangkan sebelum trial dimulai, dan hanya pada 14 makalah disebutkan perlunya jumlah sampel yang lebih besar. Dari survei tersebut diatas jelaslah bahwa untuk semua trial dengan hasil negatif, dalam laporannya perlu dicantumkan "confidence interval" dari perbedaan yang diamatinya. (17,18). Letak dan lebarnya confidence interval ini dapat memberikan gambaran tentang kemungkinan adanya perbedaan dan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk dapat menemukan perbedaan tersebut (15). Dengan demikian trial-trial dengan hasil negatif tidak dibuang begitu saja, tetapi masih dapat dilihat kemungkinannya bahwa hasil negatif tersebut semu. Sayangnya para editor majalah-majalah kedokteran tidak mengharuskan para penulis makalah untuk melaporkan "confidence interval" dalam trial-trial dengan hasil negatif (Rose, 1980). Tampaknya hanya satu jurnal, yakni British Journal of Surgery, yang mengharuskan "confidence interval" dicantumkan dalam makalah-makalah hasil trial yang akan dimuatnya (17). Disamping itu masih ada masalah etik. Melakukan suatu trial yang kecil kemungkinannya untuk mendapatkan hasil negatif, misalnya untuk dapat menemukan suatu efek pengobatan, jelas tidak etis, apalagi bila prosedur trial menimbulkan risiko dan rasa tidak enak pada pasien (13,19).

RANDOMISASI Proses randomisasi dalam uji klinik digunakan untuk alokasi penderita kedalam kelompok-kelompok yang sebanding (1,20). Penggunaan lain dari proses randomisasi adalah untuk memilih sampel dari populasi, dengan maksud untuk memperoleh sampel yang representatif (21). Dalam uji klinik, sampel penderita tidak pernah dipilih secara random dari populasi penderita yang memenuhi persyaratan trial dan bersedia ikut serta dalam trial tersebut, melainkan diambil semuanya sampai tercapai jumlah yang dikehendaki. Dengan demikian sampel uji klinik sebenarnya tidak mewakili populasi penderita dengan penyakit yang sama, melainkan mewakili diri mereka sendiri (20). Dasar penggunaan tes statistik adalah untuk dapat mengekstrapolasikan hasil yang diperolah pada sampel kepada populasinya. Itulah sebabnya untuk menggunakan tes statistik disyaratkan pemilihan sampel yang dapat mewakili populasinya, yakni sampel yang dipilih secara random dari populasinya. Akibatnya, hasil suatu uji klinik hanya dapat digunakan/diekstrapolasikan pada penderita-penderita yang kondisinya persis sama dengan kondisi penderita-penderita yang diobati dalam trial tersebut (20).Dengan demikian kondisi masing-masing penderita dalam trial harus dijelaskan beserta hasil pengobatan masing-masing. Hal ini dapat dilaksanakan dengan membagi penderita dalam strata (subkelompoksubkelompok) prognostik, seperti misalnya prognosis baik, prognosis sedang ("fair") dan prognosis buruk. Bila stratifikasi ini dapat ditetapkan sebelum trial dimulai, randomisasi dilakukan dalam setiap stratum, sehingga akan diperoleh kelompok-kelompok pengobatan yang komposisi prognostiknyabenar-benar sebanding. Bila prestratifikasi tersebut tidak dapat dijalankan, randomisasi dilakukan secara keseluruhan, dan stratifikasi dilakukan belakangan. Meskipun komposisi prognostik dari kelompok-kelompok pengobatan benar-benar sebanding, hasil pengobatan harus dianalisa dalam masingmasing stratum (22). Hasil pengobatan dari masing-masing stratum inilah yang dapat diekstrapolasikan pada penderitapenderita prognosis yang sama. Dalam kebanyakan uji klinik, sampel tidak digunakan untuk memperkirakan parameter populasi (dengan mengekstrapolasikan hasil yang diperoleh pada sampel), melainkan untuk membandingkan 2 atau lebih jenis pengobatan (21). Si peneliti jarang peduli akan parameter populasinya yang hipotetik dan biasanya hanya memperhatikan hasil pada sampelnya. Karena itu dalam pemilihan sampel harus diperoleh kelompok-kelompok pengobatan yang sebanding, sehingga bila diperoleh hasil yang berbeda, perbedaan tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan dalam komposisi kelompok melainkan disebabkan oleh perbedaan dalam pengobatan atau oleh faktor kebetulan. Besarnya kemungkinan (probabilitas) bahwa perbedaan tersebut akibat faktor kebetulan dapat diperhitungkan dengan tes statistik yang sesuai. Besarnya risiko yang kita bersedia tanggung untuk membuat kekeliruan dengan menerima faktor kebetulan sebagai perbedaan yang sebenarnya, kita tetapkan sebagai nilai α(biasanya0,05). Bilakemungkinan perbedaan tadi akibat faktor kebetulan (dari perhitungan statistik) lebih kecil dari risiko yang kita bersedia tanggung, dikatakan bahwa perbedaan tersebut bermakna secara statistik. Jadi kebanyakan tes statistik hanya boleh diguCermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

13

nakan untuk membendingkan hasil dari 2 . atau lebih jenis pengobatan, bila kelompok-kelompok pengobatannya sebanding, terutama dalam komposisi prognostiknya. Sebagai kekecualian adalah berbagai tes permutasi, atau disebut juga tes randomisasi, yang tidak memerlukan persyaratan tersebut (22). Untuk memperoleh kelompok-kelompok pengobatan yang sebanding, maka alokasi penderita harus dilakukan secara tidak "bias", yakni dilakukan secara random (20). Hal ini berlaku terutama untuk disain perbandingan kelompok (group comparison), yakni disain yang paling sering digunakan dalam uji klinik. Untuk disain menyilang ("cross-over"), alokasi random juga diperlukan karena urutan atau waktu pemberian obat mungkin juga mempengaruhi hasilnya. Untuk disain pasangan serasi ("matched—pair"), alokasi random ini tentu saja tidak diperlukan, tetapi disain ini jarang sekali dilakukan karena kesulitan dalam pelaksanaannya. Kesalahan yang sering kali dilakukan sehubungan dengan randomisasi ini ialah bahwa peneliti hanya menyatakan "alokasi penderita dalam kelompok-kelompok pengobatan dilakukan secara random", tanpa memberikan penjelasan tentang cara yang dipilih dan bagaimana melaksanakannya (3). Selain itu masih banyak percobaan klinik yang dilaksanakan tanpa dilakukan randomisasi. Jarang dibenarkan untuk tidak melakukan randomisasi, dalam hal ini perlu diberikan penjelasan tentang alasan-alasan mengapa dilakukan alokasi non-random, untuk menunjukkan pada para pembacanya bahwa alokasi yang bias tidak terjadi (3). PENGUMPULAN DATA Setelah randomisasi, penderita telah resmi diikutsertakan dalam trial. Sekali diikutsertakan dalam trial, penderita harus di "follow up" dengan ketat, baik penderita yang mendapat pengobatan baru maupun penderita yang mendapat plasebo/ kontrol. Bila setelah randomisasi ternyata diagnosis penderita salah, penderita tersebut di "drop" dan tidak diperhitungkan dalam analisa statistik karena memang tidak memenuhi kriteria pemilihan penderita. Penderita yang tidak kembali untuk "follow up" harus dihubungi (via telpon, surat menyurat, atau bila perlu dengan kunjungan rumah) untuk mengetahui nasibnya. Hal ini juga berlaku bagi penderita yang pindah ke luar negeri yang di "drop" dan diperhitungan statistik berlaku sampai saat penderita tersebut berangkat (23). Penderita-penderita yang menyimpang dari protokol trial, seperti penderita-penderita yang menolak untuk meneruskan partisipasinya dalam trial, yang tidak mematuhi keterituanketentuan trial, yang pengobatannya dihentikan atau dialihkan dari pengobatan yang satu ke pengobatan yang lain dalam trial tersebut atau ke pengobatan yang lain sama sekali (diluar trial), atau yang melakukan penyimpangan apapun juga, harus tetap dimasukkan dalam perhitungan statistik sampai akhir trial (tidak boleh hanya sampai saat penyimpangan terjadi) (23). Menyajikan hasil antara penderita-penderita yang mematuhi protokol saja yang dapat dilakukan, tetapi tidak dapat dilakukan perbandingan dengan menggunakan tes statistik, karena materi penderitanya tidak lagi merupakan sampel acak yang menjadi syarat digunakannyai tes statistik. Disamping itu dalam mengeluarkan penderita-penderita yang menyimpang dari protokol trial, mungkin masuk faktor bias. 14

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Jadi untuk dapat membandingkan secara statistik, harus diperhitungkan data dari semua penderita, termasuk penderitapenderita yang menyimpang dari protokol trial, yang dalam perhitungan statistik tetap dimasukkan dalam kelompok dimana mereka dialokasikan secara random pada awal trial. Trial demikian membandingkan "policy" pengobatan yang berbeda (23). Pelanggaran terhadap prinsip tersebut di atas, seperti yang terjadi pada studi Anturane untuk mencegah "sudden death" setelah infark miokard (24), dimana penderita-penderita yang tidak memakan obatnya selama 7 hari dikeluarkan dari analisa statistik, menjadi salah satu alasan yang menyebabkan studi tersebut diragukan validitasnya sehingga ditolak oleh FDA (25). Paul Meier, ahli statistik pada University of Chicago mengatakan bahwa : "Kebanyakan trial lainnya, dan semua trial yang dilakukan oleh NHLBI (National Heart, Lung, and Blood Institute di Amerika) tetap memperhitungkan penderita-penderita yang tidak mematuhi aturan pengobatannya" (25). Salah satu contoh adalah trial yang membandingkan pengobatan antara 2 jenis beta-blocker untuk infark miokard yang "suspected" (26), dimana penderita-penderita yang dihentikan pengobatannya karena alasan efek samping, tetap diperhitungkan dalam analisa statistiknya. Kesalahan lain yang sering dilakukan peneliti dalam proses pengumpulan data adalah membuang hasil observasi yang tampaknya jauh berbeda dari data lainnya. Dalam hal ini hasil observasi tersebut harus diperiksa kembali untuk melihat apakah ada kesalahan pencatatan. Bila ternyata tidak ada bukti salah catat, dan nilai tersebut memang mungkin maka tidak boleh dikeluarkan dari analisa statistik. Janganlah sekali-kali membuang nilai-nilai demikian hanya atas dasar bahwa nilai tersebut merupakan angka terbesar atau terkecil (27). Kesalahan lain lagi dalam pengumpulan data adalah kealpaan mencatat data, kesalahan pencatatan dB yang biasanya tidak banyak sehingga tidak banyak mempengaruhi hasilnya. Disamping itu masih ada data yang tidak dapat dicatat karena nilainya berada dibawah sensitivitas alat ukur yang digunakan (misalnya kadar obat dalam plasma), atau karena penelitian telah dihentikan sebelum peristiwa yang harus dicatat terjadi (misalnya kematian). Dalam hal ini mungkin datanya perlu dianalisa secara non-parametrik (27). Kesalahan-kesalahan dalam pengumpulan data sering kali akibat kegagalan pada stadium pencernaan dalam memperkirakan masalah-masalah yang akan timbul dalam pelaksanaannya. Karena itu untuk trial-trial yang besar perlu dilakukan suatu percobaan pendahuluan untuk dapat menemukan kekurangan-kekurangan yang utama. Karena kita tidak dapat meramalkan gejala-gejalanya yang mungkin relevan, maka penting sekali untuk melakukan randomisasi dan berpegang teguh padanya (27). ANALISA DATA Ada 3 jenis data berdasarkan skala pengukurannya, yakni skala nominal atau klasifikasi (misalnya mati/tidak - mati, sembuh/tidak sembuh, berhasil/gagal, jenis-jenis golongan darah dll), skala ordinal atau ''ranked" (misalnya sakit sekalisakit—sakit sedikit—tidak sakit, yang dapat diberi skor 3+, 2+,

1+, dan 0) dan skala interval atau numerik (misalnya nilai Hb, nilai tekanan darah,-nilai kadar kolesterol dll). Jenis data ini menentukan prosedur statistik yang akan digunakan. 1. Nilai Sentral dan Dispersi Dispersi atau variasi data dalam penelitian kedokteran paling

sering dinyatakan sebagai SD ("standard deviation") atau

SEM ("standard error of the mean") (5,28), tetapi rupanya

pengertian akan SD dan SEM ini masih belum difahami sepenuhnya (2,28,29,30). SD dan SEM hanya dapat digunakan untuk data numerik dan tidak boleh digunakan untuk data yang berupa skor (kecuali bila nilai skor merupakan fungsi linier sehingga menyerupai nilai interval). SD menunjukkan variabilitas dari data yang diperoleh, sedangkan SEM menunjukkan presisi dari nilai rata-rata sampel terhadap nilai rata-rata yang sesungguhnya (nilai rata-rata dari populasi). Pada umumnya peneliti harus memberikan gambaran tentang data yang diperolehnya. Untuk maksud ini peneliti harus melaporkan nilai rata-rata dan SD. Nilai rata-rata ± 2 SD menunjukkan "range" yang meliputi 95% dari data, dengan batas-batas yang sama jauh dari nilai rata-rata. Gambaran data demikian tentu saja hanya berlaku bila datanya mempunyai distribusi yang kurang lebih normal. Bila distribusi data menyimpang jauh dari normal (dapat diperkirakan misalnya dari nilai median yang jauh berbeda dari nilai rata-rata, atau dari nilai 2 SD yang jauh lebih besar dari nilai rata-rata sehingga batas bawah dari range data bernilai negatif suatu hal yang tidak mungkin), SD tidak dapat menggambarkan penyebaran data. Dalam hal ini untuk memberikan gambaran tentang datanya, peneliti harus melaporkan nilai median dan nilai persentil (10% dan 90% atau 5% dan 95% untuk sampel yang lebih besar). Nilai persentil ini sekarang banyak dianjurkan untuk menggambarkan penyebaran data karena dianggap lebih realistik, tidak tergantung pada asumsi tentang distribusi data, dan dapat digunakan juga untuk data ordinal. Penyebaran data dapat juga dinyatakan dalam "range" tetapi nilai-nilainya sangat tergantung pada nilai-nilai ekstrim atau nilai-nilai yang menyimpang sehingga kurang renresentatif. dimana Meskipun SEM dihitung dari SD (SEM = n = jumlah sampel), tetapi SEM sama sekali tidak menggambarkan penyebaran data melainkan menunjukkan besarnya penyimpangan nilai rata-rata sampel dari nilai rata-rata yang sesungguhnya. Dengan demikian SEM ini diperlukan dalam perhitungan-perhitungan tes-tes statistik dan perhitungan "confidence interval". Nilai rata-rata ± 2 SEM menunjukkan "range" dimana kita pe-rcaya 95% terletak nilai-nilai rata-rata yang sesungguhnya, "range" ini disebut juga "95% confidence interval". Berbeda dengan "range" nilai rata-rata ± 2 SD, yang hanya berlaku untuk menggambarkan data bila distribusi datanya kurang lebih normal, "range" nilai rata-rata ± 2 SEM tetap berlaku untuk memperkirakan letak sesungguhnya meskipun distribusi datanya tidak normal (30,31). Sejalan dengan paling seringnya SD dan SEM digunakan untuk menyatakan dispersi, dapat diperkirakan (meskipun tidak disebutkan) bahwa nilai sentral paling sering dinyatakan sebagai nilai rata-rata ("mean"). Analog dengan SD dan SEM, nilai rata-rata hanya boleh digunakan untuk data numerik

dan tidak boleh untuk data skor kecuali bila nilai skornya merupakan fungsi linier. Untuk data ordinal, nilai sentral " " dapat dinyatakan sebagai median atau mode , sedangkan untuk data nominal hanya dapat digunakan "mode" (32). Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam penggunaan maupun presentasi nilai sentral atau dispersi adalah : a) Nilai rata-rata digunakan untuk menghitung nilai sentral dari data berupa skor yang bukan merupakan fungsi linier. b) SD digunakan untuk menyatakan variabilitas data yang distribusinya menyimpang jauh dari normal. c) SEM dinyatakan sebagai indeks dispersi data. d) Data dituliskan misalnya : "tekanan darah distolik 150 ± 20 mmHg" tanpa menyebutkan apa yang dimaksudkan. Nilai 150 dapat diperkirakan nilai rata-rata, tetapi nilai 20 dapat berarti SD, atau SEM, atau 2 SD, atau 2 SEM dll. Untuk rnenghindarkan kesalahpahaman mengenai pengertian SD dan SEM, Bunce dkk (28) mengusulkan agar selalu melaporkan SD (bersama nilai rata-rata dan jumlah sampel ) untuk menggambarkan variabilitas data pasien, dan bila SEM dilaporkan agar dinyatakan bahwa SEM ini tidak menggambarkan variabilitas data pasien. 2. Tes Statistik Pemilihan tes statistik dalam uji klinik didasarkan atas: (a) jenis skala pengukuran : nominal, ordinal atau numerik. (b) jumlah kelompok/jenis pengobatan : 2 atau lebih. (c) kelompok berkaitan ("related") atau tidak ("independent"). (b) dan (c) tergantung pada disain uji klinik : — perbandingan kelompok ("group comparison") — disain menyilang ("cross-over design") — pasangan serasi ("matched pairs") — "randomized block design" — "Latin square design" (d) besar sampel Jenis-jenis tes statistik yang digunakan dalam uji klinik serta syarat-syarat penggunaannya dapat dilihat pada Table 3. Kesalahan yang terjadi umumnya adalah kesalahan dalam pemilihan tes statistik yang tepat karena kebanyakan peneliti tidak mengetahui/memperhatikan syarat-syarat penggunaannya, serta tidak menyadari akibat-akibatnya. Kebanyakan peneliti (termasuk para editor! )juga tidak menyadari bahwa tes statistik tidak selalu diperlukan. Analisa statistik dimak sudkan untuk membantu presentasi dan interpretasi data. informasi terletak didalam datanya sendiri. Bila percobaan direncanakan dengan baik, biasanya interpretasi datanya jelas. Bila demikian halnya, analisa statistik (meskipun tes statistiknya tepat) tidak diperlukan karena tidak menambah sesuatu yang berarti pada presentasinya. Manfaat statistik yang sesungguhnya terletak bukan pada analisanya tetapi pada perencanaannya (38). Selain itu sering terjadi pada penulis makalah hanya menulis nilai p (probabilitas), tanpa menyebutkan tes statist ik apa yang digunakannya. Feinstein (5) menunjukkan bahwa dari 389 makalah kedokteran yang menggunakan tes statistik. 128 (33%) diantaranya tidak menyebutkan tes statistik apa yang digunakannya, sehingga pembaca harus memperkirakan sendiri dari presentasi datanya. Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

15

Tabel 3. Berbagai tes statistik yang digunakan dalam uji klinik serta syarat-syarat penggunaannya,disamping syarat bahwa alokasi penderita ke dalam kelompok-kelompok pengobatan harus dilakukan secara random (31 - 37). JUMLAH KELOMPOK/JENIS PENGOBATAN 2 Kelompok/Jenis Pengobatan

Jenis Skala

> 2 (m) Kelompok/Jenis Pengobatan

Tidak Berkaitan ("Independent " )

Berkaitan ("Related")

Tidak Berkaitan ("Independent")

NOMINAL N = total jumlah sampel.

Tes X 2 (tabel 2 x 2) - data : frekuensi dalam ka-

Tes McNemar (Tabel 2 x 2) = tes X 2 yang berkaitan

Tes X2 (tabel m x k) - data : frekuensi dalam

E = "Expected value" n1 dan n2 = jumlah sampel masing masing kelompok.

tagori nominal - N > 40 - gunakan koreksi Yates - bila N ≥ 100 dan semua E ≥ 10 boleh tanpa koreksi Yates.

Pengukuran

n = jumlah sampel per kelompok p = proporsi/persentase SD = deviasi standar

Tes X2 (tabel 2 x k) - data : idem -semua E ≥ 1 dan E < 5 hanya pada <20 % kotak tanpa koreksi Yates

("Paired x2 test") = "Paired alternatives" - data : frekuensi dalam katagorei nominal

Berkaitan ("Related " ) Tes Cochran - data : nilai nominal

kategori nominal - semua E ≥ 1 dan E <5 hanya pada ≤ 20 % kotak - tanpa koreksi Yates

- n jumlah sampel per kelompok) tidak terlalu kecil (Cochran tidak menyebut beberapa minimal).

Tes Kruskal - Wallis - data : nilai skor - N kecil maupun besar

Tes Friedman - data : nilai skor - N kecil maupun besar

-E≥5 - gunakan koreksi Yates

Tes eksak Fisher (tabel 2 x 2) - data : idem -N<20 - N 20-40 dan E <5 Perbedaan proporsi - data : proporsi/persentase - n l dan n 2 masing-masing > 30. - dengan/tanpa koreksi Yates - p gabungan/masing-masing

ORDINAL

INTERVAL NUMERIK

Tes Kolmogorov-Smirnov ( tabel 2 x k ) - data : frekuensi dalam kategori ordinal - N kecil maupun besar

Tes " Sign " - data : nilai skor - N kecil maupun besar

Tes Mann - Whitney

Tes Wilocxon

- data : nilai skor - N kecil maupun besar

- data : nilal skor -- N kecil maupun besar

Tes t - data : nilai numerik yang distribusinya kurang lebih normal - n l dan n 2 masing-masing ≤ 30 Varians l dan varians2 tidak berbeda bermakna - SD gabungan

Tes t yang berkaitan ("Paired t test ") - data : nilai numerik yang distribusinya kurang lebih normal - n kecil maupun besar

Analisa Varians Analisa Varians - data : nilai numerik yang - data : nilai numerik yang distribusinya kurang lebih distribusinya kurang lebih normal. normal. - varians per kelompok tidak - varians per kelompok tidak berbeda bermakna berbeda bermakna.

* Pasangan serasi * Disain menyilang

* Perbandingan kelompok

Tes Z - data : idem - n l dan n 2 masing-masing >30 - SD masing-masing Disain Uji Klinik

16

* Perbandingan kelompok

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

* " Randomized block design" * "Latin Square design"

yang berbeda atau beberapa kelompok respons pada waktu yang berbeda. Dalam hal ini harus digunakan analisa varians, karena bila tes t digunakan untuk membandingkan kelompok-kelompok tersebut sepasang-sepasang, maka nilai p (probabilitas) yang besarnya kira-kira = penjumlahan nilai p dari tiap pasangan kelompok. Misalnya bila tes t digunakan untuk membandingkan 3 kelompok pengobatan (misalnya A,B, dan C), maka ada 3 tes t yang dapat dilakukan (antara A dengan B, B dengan C, dan A dengan C). Bila dalam hal ini dilaporkan bahwa ada perbedaan dengan nilai p < 0,05, maka nilai p yang sebenarnya kirakira = 3 x 0,05 = 0,15 (tepatnya 0,13) (2). Dalam trial suatu pengobatan baru, etik merupakan salah satu pertimbangan utama; dimana harus diusahakan agar penderita yang mendapat pengobatan yang inferior seminimal mungkin jumlahnya maupun lamanya pengobatan. Hal ini seringkali menyebabkan peneliti tergoda untuk menganalisa datanya berulang-ulang sebelum jumlah sampel yang telah diperhitungkan tercapai, dan menghentikan trialnya pada saat hasilnya memberikan perbedaan dengan p < 0,05. Tindakan ini tidak benar karena dari trial dengan jumlah sampel yang telah ditentukan lebih dahulu, hasil trial direncanakan hanya untuk dianalisa satu kali, yakni setelah jumlah sampel tercapai. Bila dianalisa lebih dari satu kali, maka probabilitas untuk mencapai nilai α (batas kemaknaan) tidak lagi = 0,05, tapi makin meningkat dengan makin seringnya tes statistik dilakukan (Lihat Table 4) (40). Dari Table 4 dapat dilihat bahwa nilai α yang 5% bila tes statistik dilakukan satu kali setelah jumlah sampel tercapai, akan meningkat menjadi 19,3% bila tes tersebut diulang untuk ke-10 kalinya. Sebaliknya, peneliti yang ingin menganalisa datanya lebih dari satu kali sehingga dapat menghentikan trialnya lebih awal, dapat menggunakan Table 5 dimana tercantum analogi α (batas kemaknaan) untuk lebih dari satu kali analisa dibandingkan dengan nilai a untuk satu kali analisa (40). Jadi, Tabel 5 menunjukkan bahwa peneliti yang sebelum trial dimulai telah memutuskan untuk menganalisa datanya secara statistik sebanyak 5 kali, harus mencapai nilai p <= 0,0159 pada salah satu dari ke-5 tes yang dilakukan agar hasilnya benar-benar bermakna pada p < 0,05. Yang penting di sini adalah berapa kali data akan dianalisa dan berapa nilai α nya telah ditetapkan sebelum trial dimulai. Bila kedua hal tersebut belum diputuskan, peneliti kadang-kadang tergoda untuk setiap saat melakukan analisa statistik, sedangkan makin sering dia melakukan analisa statistik makin kecil nilai p yang harus diperoleh untuk mencapai kemaknaan.

Dalam makalah ini hanya akan dibahas kesalahan-kesalahan 2 yang sering kali menyertai penggunaan tes t dan tes x , yakni 2 tes statistik yang paling banyak digunakan dalam penelitianpenelitian kedokteran (5). 2.1 Tes t (dari Student). Ini adalah tes statistik yang paling populer dalam penelitian kedokteran (5). Syarat-syarat penggunaannya dapat dilihat dalam Tabel 3. Kesalahan-kesalahan yang biasanya dibuat serta akibat-akibatnya ialah : • (a) Alokasi penderita tidak dilakukan secara random. Bila alokasi random benar-benar diperlukan (seperti pada perbandingan kelompok) tetapi tidak dilakukan, maka akan masuk faktor "bias" dan diperoleh kelompok-kelompok pengobatan yang tidak sebanding, sehingga bila diperoleh hasil yang berbeda , perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh kelompoknya yang berbeda dan bukan oleh pengobatannya. • (b) Distribusi data tidak normal. Dalam praktek tidak ada data yang benar-benar normal, dan meskipun beberapa jauh data menyimpang dari distribusi normal dapat diuji, misalnya dengan menggunakan kertas probabilitas normal (31),atau lebih sederhana dengan melihat perbedaan antara nilai rata-rata dan median, atau dengan melihat "scatter diagram" dari datanya (3) tetapi dalam praktek peneliti lebih sering hanya menggunakan pertimbangannya saja (39). Bila distribusi data menyimpang jauh dari normal, harus dilakukan transformasi ke bentuk logaritmanya, yang sering kali menghasilkan distribusi yang mendekati normal (3). • (c) Tes digunakan untuk nilai skor yang bukan merupakan fungsi linier. Untuk ini tes t tidak boleh digunakan sama sekali. • (d) Varians kedua kelompok berbeda bermakna (diuji dengan tes F). Bila diperoleh hasil yang berbeda, perbedaan tersebut mungkin akibat variansnya yang berbeda dan bukan karena nilai rata-ratanya (yakni pengobatannya) yang berbeda. Dalam hal ini tidak boleh digunakan SD gabungan, tetapi harus SD masing-masing, dan df-nya harus dikurangi (3,31). • (e) Tes digunakan untuk data yang berpasangan (berkaitan). Dalam hal ini harus digunakan tes t yang berkaitan ("paired t test") karena tes t yang biasa (tes t untuk 2 sampel) kurang sensitif untuk menemukan perbedaan pada data yang berpasangan. • (f) Tes t digunakan untuk membandingkan lebih dari 2 kelompok, misalnya beberapa kelompok pengobatan

Tabel 4 .Probabilitas untuk mencapai nilaiα (batas kemaknaan) setelah suatu tes statistik diulang n kali, bila tidak ada perbedaan efek antara kedua pengobatan (dinyatakan dalam %) * (40%). Nilai (Batas Kemaknaan)

*

Jumlah Pengulangan Tes Statistik (n)

(%)

1

2

3

4

5

10

25

50

200

1

1

1,8

2,4

2,9

3,3

4,7

7,0

8,8

12,6

5

5

8,3

10,7

12,6

14,2

19,3

26,6

32,0

42,4

10

10

16,0

20,2

23,4

26,0

34,2

44,9

52,4

65,2

Dikutip dari McPherson K. Statistics : the problem of examining accumulating data more than once. N Engl J Med. 1974; 290:502.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

17

α

Tabel 5. Nilai

(batas kemaknaan) yang diperlukan untuk mencapai nilai yang sebenamya, bila tes statistik diulang n kali (dinyatakan dalam %) *

(40). Nilai Sebenamya (%) 1

*

Jumlah Pengulangan Tes Statistik (n) 1

2

1

0,56

3

4

5

0,41

0,33

0,28

6

7

8

0,25

0,23

0,21

0,20

10

15

20

100

0,19

0,15

0,13

0,06 0,32 0,72

5

5

2,96

2,21

1,83

1,59

1,42

1,30

1,20

1,13

1,07

0,86.

0,75

10

10

6,01

4,62

3,85

3,37

3,04

2,80

2,60

2,45

2,32

1,88

1,66

Dikutip dari McPherson K. Statistics : the problem of examining accumulating data more than once. N Engl J Med. 1974 ; 290 : 502.

2.2. Tes X . Tes ini menempati urutan kedua dalam popularitasnya di kalangan para peneliti kedokteran (5). Syaratsyarat penggunaannya tercantum dalam Tabel 3. Kesalahankesalahan yang sering kali dilakukan pada penggunaan twe ini adalah : • (a) Alokasi penderita ke dalam kelompok-kelompok pengobatan tidak dilakukan secara random. Bila diperoleh hasil pengobatan yang berbeda, mungkin akibat perbedaan dalam kelompoknya dan bukan akibat pengobatannya (Lihat keterangan pada 2.1a). 2

• (b) Tes digunakan pada penelitian dengan jumlah sampel (N) dan/atau "Ekspected value" (E) yang terlalu kecil. Dalam hal ini, untuk tabel 2 x 2 harus digunakan tes eksak Fisher (Lihat Tabel 3 untuk batas-batas N dan E). Untuk tabel 2 x k, nilai E dapat diperbesar dengan menggabungkan kategori-kategori yang berdampingan, asalkan penggabungan tersebut tidak menyebabkan data menjadi tidak berguna. Hal ini dapat dihindarkan dengan perencanaan jumlah sampel yang cukup untuk masing-masing kategori (35). Dalam perhitungan X2, nilai E menjadi penyebut, sehingga nilai E yang terlalu kecil akan memperbesar nilai X2 dan dengan demikian akan memperbesar kemungkinan membuat kesalahan positif semu (menyatakan ada perbedaan, bila sebenarnya tidak ada). • (c) Koreksi Yates tidak digunakan bila seharusnya digunakan. Koreksi Yates harus digunakan pada tes x2 tabel 2 x 2 yang tidak berkaitan maupun yang berkaitan, kecuali bila N >= 100 dan semua E >= 10 boleh tanpa koreksi Yates2 (lihat Tabel 3). Koreksi Yates memperkecil nilai-nilai x sehingga memperkecil kemungkinan membuat kesalahan positif semu pada sampel-sampel yang relatif kecil. • (d) Tes x 2 yang tidak berkaitan digunakan untuk data yang 2 berpasangan. Dalam hal ini harus digunakan tes x yang 2 berkaitan karena tes x yang tidak berkaitan kurang sensitif untuk menemukan perbedaan pada kata yang berpasangan. • Tes x 2 digunakan untuk data ordinal (frekuensi dalam kategori ordinal). Untuk ini lebih baik digunakan tes Kolmogorov - Smirnov. 3. Korelasi dan regresi Meskipun korelasi dan regresi cukup sering digunakan untuk menyatakan asosiasi dalam penelitian kedokteran (5), tetapi rupanya perbedaan keduanya masih belum jelas bagi banyak peneliti (41). 18

9

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Koefisien korelasi(r), menunjukkan derajat hubungan linier antara 2 variabel numerik. Syarat penggunaannya adalah bahwa variabel tersebut mempunyai distribusi kurang lebih normal, sehingga "scatter diagram"nya kira-kira berbentuk elips. Bila tidak demikian halnya, tes kemaknaan dari r tidak valid. Regresi menunjukkan ketergantungan dari satu vanabel pada satu/lebih variabel lain. Pada regresi linier kita hitung persamaan garis lurus yang menghubungkan variabel yang "dependent" (y) terhadap variabel yang "independent " (x). Syarat penggunaannya adalah bahwa variabel y mempunyai distribusi yang kurang lebih normal dengan varians yang sama untuk tiap harga x. Penyimpangan dari kondisi ini biasanya dapat dilihat dari "scatter plot" nya. Persamaan garis regresi dapat digunakan untuk memperkirakan nilai variabel y dari nilai variabel x. Kesalahan-kesalahan pada penggunaan korelasi adalah (41) : • (a) Koefisien korelasi r dihitung untuk variabel yang distribusinya meyimpang jauh dari normal. Dalam hal ini harus dilakukan transformasi data , misalnya salah satu variabel dijadikan bentuk logaritmanya, yang biasanya akan meyebabkan distribusi menjadi kurang lebih normal. Bila tidak, dihitung rs (koefisien korelasi "rank" dari Spearman) yang tidak memerlukan distribusi yang mormal. • (b) Tanpa "melihat scatter diagram" datanya, koefisien korelasi tidak berarti apa-apa karena r dapat rendah semu bila hubungan antara kedua variabel berupa garis lengkung, atau r dapat tinggi semu bila ada beberapa olservasi yang sangat menyimpang dari kebanyakan dara lainnya. • (c) Korelasi digunakan untuk menghubungkan berbagai kelompok subyek yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda, maka akan diperoleh r yang tinggi semu karena misalnya kelompok 1 mempunyai nilai-nilai yang rata-tara tinggi untuk kedua variabel, sedangkan kelompok 2 mempunyai nilainilai yang rata-rata rendah untuk kedua variabel. • (d) Korelasi sering kali digunakan secara berlebihan, mungkin karena mudahnya menghitung koefisien korelasi. Seharusnya korelasi digunakan terutama untuk merintis penelitian selanjutnya. • (e) Korelasi digunakan untuk membandingkan 2 metode pengukuran atau 2 jenis alat ukur. Dalam hal ini seharusnya digunakan tes t yang berkaitan. Penggunasalahan persamaan regresi adalah (41) : (a) Persamaan regresi digunakan untuk memperkirakan nilai y dari nilai-nilai x diluar batas-batas dari aslinya (melakukan ekstrapolasi).

(b) Menghitung persamaan regresi linier untuk data yang berupa garis lengkung. (c) Menggunakan regresi sederhana untuk berbagai subkelompok yang heterogen. Dalam hal ini seharusnya digunakan analisa kovarians. (d) Persamaan regresi y terhadap x digunakan untuk memperkirakan nilai x dari nilai y (kecuali dalam keadaankeadaan tertentu). Kebanyakan penggunasalahan tersebut diatas mungkin tidak terlihat dalam makalah bila " scatter plot " datanya tidak diberikan. Data yang dianalisa pada prinsipnya adalah data yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelum trial dimulai. Trial didisain untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka analisa data harus dilakukan sesuai dengan hipotesis dan disain trial aslinya. Data tambahan yang ditemukan secara kebetulan tidak menjawab pertanyaan tetapi justru menimbulkan pertanyaan baru, sehingga menjadi petunjuk untuk penelitian lebih lanjut (38,41). PRESENTASI HASIL 1. Grafik Grafik dimaksudkan untuk memberikan efek visual, karena itu skalanya tidak boleh ditransformasikan karena akan memberi efek visual yang berbeda sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Kecuali bila hendak dilakukan analisa terhadap data yang telah ditransformasi misalnya menjadi bentuk logaritmanya, maka data lebih baik digambarkan dalam bentuk "scatter diagram" dengan skala logaritma untuk menunjukkan bahwa data yang telah ditransformasi tersebut memenuhi syarat distribusi normal (30). 2. "Scatter Diagram" Untuk data yang sederhana, gambaran data dalam bentuk "scatter diagram" sangat membantu pembaca dalam mengevaluasi analisa yang dilakukan. Titik-titik yang berimpit harus diperhatikan. Bila terdapat berbagai sub-kelompok, maka harus ditunjukkan dengan simbol yang berbeda-beda, agar dapat dievaluasi tepat tidaknya melakukan analisa data secara keseluruhan atau untuk masing-masing sub-kelompok secara terpisah (30). Menggambarkan "scatter diagram" bukan berarti harus menghitung koefisien korelasi dan menggambarkan garis regresi, karena belum tentu salah satu atau keduanya relevan atau dapat dilakukan (memenuhi syarat-syarat penggunaannya) (30). 3. Garis Regresi Persamaan garis regresi barulah ada gunanya dihitung dan regresinya digambarkan bila hubungan antara kedua variabelnya cukup kuat, yakni bila koefisien korelasinya bermakna (30,32). Bila persamaan garis regresi (y = a + bx) diberikan, maka harus diberikan juga " standard error" dari "slope" (SEb), jumlah observasi, dan SD "residual" ("residual mean square"). SEb memberikan gambaran tentang kemaknaan "slope". SD "residual" menunjukkan variabilitas dari perbedaan antara nilai observasi dan nilai yang diperkirakan dari garis regresi, dengan demikian menunjukkan berapa dekat garis regresi dari datanya.

Garis regresi tidak boleh digambarkan melewati "range" datanya, karena diluar "range" datanya belum tentu garis regresi tersebut berlaku (30). 4. Garis SEM ("error bar") Garis SEM merupakan cara yang populer untuk menggambarkan nilai rata-rata ± SEM secara visual. Garis SEM ini, seperti halnya dengan SEM sendiri, tidak dapat digunakan untuk menunjukkan kemaknaan perbedaan nilai rata-ratanya karena : (a) Garis SEM, seperti halnya dengan SEM dari masing-mamasing-masing nilai rata-rata, hanya berguna untuk menunjukkan presisi nilai rata-rata, dari kelompok-kelompok yang tidak berkaitan, tetapi tidak berguna untuk kelompokkelompok yang berpasangan, yang kemaknaan perbedaannya tidak dihitung dari masing-masing SEM tersebut. (b) Garis SEM yang tidak "overlap" belum tentu menunjukkan bahwa perbedaan nilai rata-ratanya bermakna. Hanya garis SEM yang "overlap" yang pasti menunjukkan bahwa perbedaan niali rata-ratanya tidak bermakna. Karena itu kemaknaan perbedaan nilai rata-rata harus dilaporkan tersendiri, atau bila hendak digambarkan secara visual, garis SEM tersebut diganti dengan garis "confidence interval" (30). 5. Angka-angka Angka-angka untuk nilai rata-rata, SD, SEM dll biasanya cukup diberikan dalam 3 digit, terutama untuk tabel, agar terlihat lebih jelas. Pada prinsipnya, dalam presentasi hasil harus jelas disebutkan : — apa satuannya (mmHg, SEM, mg, ug/ml dll) — apa yang dimaksud (SD, SEM, 2 SD, 2 SEM dll) — tes statistik yang digunakan — informasi minimal yang diperlukan agar pembaca dapat melakukan perhitungan statistik yang digunakan, misalnya nilai rata-rata, SD, jumlah observasi dll (38). INTERPRETASI DATA Berbagai jenis kesalahan yang telah disebutkan sebelumnya dapat menimbulkan hasil yang salah dan akibatnya interpretasi/konklusi yang salah. Disini akan dibicarakan kesalahankesalahan yang khusus terdapat pada interpretasi datanya sendiri. 1. Bermakna dan tidak bermakna Arti interpretasi ini telah dijelaskan dalam pembicaraan "Besar Sampel", dan juga telah disinggung dalam "Randomisasi". Dari keterangan-keterangan tersebut jelaslah bahwa interpretasi tersebut berdasarkan probabilitas atau kemungkinan, bukannya kepastian. Makin kecil nilai p, makin kecil kemungkinan bahwa hipotesis nol (Ho), yang menyatakan tidak ada perbedaan antara kedua pengobatan, adalah benar. Tetapi berapapun kecilnya nilai p, kemungkinan bahwa Ho benar selalu ada. Sebab itu tidak semua hasil yang dinyatakan bermakna adalah benar. Karena batas kemaknaan 0,05 berarti 1 diantara 20 kali trial yang sama akan memberikan hasil yang bermakna meskipun sebenarnya tidak ada perbedaan antara kedua pengobatan yang dibandingkan. Demikian juga tidak semua hasil yang dinyatakan tidak bermakna berarti hasilnya tidak ada atau tidak penting. Karena hasil yang tidak bermakna hanya . Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

19

berarti bahwa hasilnya tidak cukup kuat untuk menolak hipotesis nol. Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang terlalu kecil (lihat pembahasan pada "Besar Sampel"). Dalam hal-hal demikian, hasil yang tidak bermakna tersebut sebaiknya dianggap sebagai tidak konklusif, dan diperlukan pengumpulan data lebih lanjut. Karena anggapan yang salah bahwa hasil yang tidak bermakna berarti hasilnya tidak ada atau tidak penting, maka banyak peneliti tidak suka melaporkan trial dengan hasil yang tidak bermakna, dan cenderung untuk hanya melaporkan hasil-hasil yang bermakna. Hal ini dapat menyebabkan suatu obat yang sebenarnya tidak berguna dianggap berguna, berdasarkan adanya beberapa publikasi yang menunjukkan hasil yang bermakna, serta karena tidak adanya/jarangnya publikasi yang menunjukkan hasil yang tidak bermakna, meskipun sebenarnya banyak trial mengenai obat tersebut telah dilakukan dengan hasil negatif tetapi trial-trial tersebut tidak/ sedikit sekali yang dipublikasi. Telah disebutkan bahwa meskipun suatu obat tidak berguna, ada kemungkinan 1 kali dalam 20 kali trial akan memberikan hasil yang bermakna. Karena itu sangat dianjurkan untuk mempublikasi trial-trial dengan hasil negatif ( p > 0,05 ) dan untuk mengulang trialtrial yang sama serta melaporkan hasilnya (38). 2. Korelasi dan Hubungan Kausal Adanya korelasi tidak otomatis menunjukkan adanya hubungan kausal. Banyak contoh menunjukkan adanya korelasi antara 2 variabel tanpa adanya hubungan kausal, misalnya bila kedua variabel tersebut mempunyai penyebab yang sama, sebagai contoh adalah berkurangnya nafsu makan dan sukarnya tidur pada perokok. Seringkali dilupakan bahwa tidak ada tes statistik yang dapat menguji adanya hubungan kausal ; tes statistik yang ada hanya dapat menguji adanya korelasi. Tapi kenyataannya, Schoolman (38) menemukan pada 72 (36%) diantara 202 makalah penelitian kedokteran yang dimuat dalam Journal of Laboratory and Clinical Medicine selama 1 tahun, penggunaan beberapa tes statistik yang menyimpulkan kemungkinan adanya hubungan kausal. 3. Prediksi Dalam pembahasan tentang " Randomisasi" telah disebutkan bahwa sampel dalam uji klinik mewakili diri mereka sendiri dan bahwa hasil pengobatan dalam trial hanya dapat digunakan untuk melakukan prediksi pada penderita-penderita dengan kondisi yang persis sama dengan penderita-penderita dalam trial. Demikian juga dengan persamaan regresi hanya dapat digunakan untuk prediksi pada penderita-penderita dengan kondisi yang persis sama dengan penderita-penderita yang digunakan untuk membuat persamaan regresi tersebut (18). 4. Kemaknaan Statistik vs Kemaknaan Klinik Kemaknaan statistik tidak identik dengan kemaknaan klinik. Kemaknaan statistik barulah ada artinya bila disertai dengan kemaknaan klinik. Karena itulah dalam perencanaan suatu uji klinik harus ditentukan lebih dulu berapa besar perbedaan yang dianggap berarti secara klinik antara obat lama dengan obat baru yang akan diuji. Setelah batas kemaknaan klinik ditetapkan, barulah dihitung besar sampel yang diper20

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

lukan untuk dapat mencapai kemaknaan klinik tersebut secara statistik, yakni dengan memperhitungkan juga batas-batas kemaknaan statistik yakni nilai-nilaiα dan β . Cara perhitungan besar sampel ini telah dibahas dalam bab "Besar Sampel " . Dengan demikian bila kemudian diperoleh hasil yang perbedaannya bermakna secara statistik, perbedaan tersebut juga bermakna secara klinik. 5. Kesimpulan yang tidak didukung oleh Data Gore (3) menemukan pada 5 (85) diantara 62 makalah penelitian kedokteran yang dimuat dalam British Medical Journal selama 3 bulan (Januari s/d Maret 1976), kesimpulan/ pernyataan yang tidak didukung oleh datanya, kesimpulan demikian tentunya tidak valid. PENUTUP Penggunasalahan statistik dapat menimbulkan kesimpulan dan jawaban yang salah atas permasalahan yang diteliti. Dengan demikian penelitian tersebut tidak berguna sehingga tidak etis untuk dilakukan karena (18,42) : (a) menggunasalahkan penderita dengan menimbulkan risiko dan rasa tidak enak tanpa ada gunanya. (b) menghamburkan berbagai sumber, termasuk waktu penelitian, secara sia-sia. (c) publikasi dari hasil/kesimpulan yang salah dapat menyesatkan praktek kedokteran dan penelitian selanjutnya.

KEPUSTAKAAN 1. Breslow N. Perspectives on the statistician's role in cooperative clinical research. Cancer 1978; 41 : 326—332. 2. Glantz SA. Biostatistics : How to detect , correct and prevent errors in the medical literatur. Circulation 1980; 61 : 1—7. 3. Gore SM, Jones 16, Rytter EC. Misuse of statical methods : critical assessment of articals in BMJ from January to March 1976. Brit Med J 1977; i : 85—87. 4. Schor S, Karten J. Statistical evaluation of medical journal manuscripts. JAMA 1966; 45 : 1123—1128. 5. Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXV A survey of the statistical prosedures in general medical journals. Clin Pharmacol Ther 1974; 15 : 97—107. 6. Altman DG. Statistics and etics in medical research : VIII Improving the quality of statistics in medical journal. Brit Med J 1981; 282 : 44—47. 7. Shuster JJ, Brnion J, Moxley, J et al. Stastical review process : Recommended procedures for Biomedical research articles. JAMA 1976; 235 : 334—5. 8. Rosen MR, Hoffman. BF. Statisticals, biomedical Scientist, and circulation Research. Ciro Res 1978; 42 : 739. : 9. Rennie D. Vive la diffence ( P< 0,05). N. Engl J Med 1978:299 828-9. 10. Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXXIV The other side of statistical significance : alpha, beta. delta and the calculation of sample size. Clin Pharmacol Ther 1975; 18 (4),491—505. 11.Rumke CL. Uncertainty as to the accoptance or rejection of the presence of an affect in relation to the number of observations in an experiment. Triangle 1968; 8 (7) : 284—9. 12.Boag JW, Haybittle JL, Fowler JF, Emery EW. The number of patients required in clinical trial. Brit J Radiol-1971; 44 122—125. 13. Altman DG. Statistics and ethics in medical research : III How large a sample ? Brit Med J 1980; 28J : 1336—1338. 14.Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXXII Biologic dependency, 'hypothesis testing' , unilateral probabilities, and other assues in scientific direetion vs statistical duplexity. Clin Pharmacol Ther 1975; 17 : 449—513.

15.Freiman JA, Chalmers TC, Smith H Jr, Kuebles RR. The importance of beta, the type II error and sample size in the design and interpretation of the randomized control trial. N Engl J Med 1978; 299: 690-694. 16.Ambros A, Chalmers TC, Smith H, Schroeder B, Freiman JA, Shareck EP. Deficiencies of randomized control trials. Clin Res 1978; 26 : 280 A. Dalam : Kepust no 14. 17.Anonim. Interprating clinical trials. Brit Med J 1978; ii : 1318. 18.Altman DG. Statistics and ethics in medical research : VII Interpreting result. Brit Med J 1980; 281 : 1612—4. 19.Newell DJ. Type II errors and ethics. Brit Med J 1978; IV : 1789. 20.Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXIII The role of randomization in sampling, testing, allocation, and credulous idolatry (Part 3). Clin Pharmacol Ther 1973; 14 (6) : 1035—1051. 21.Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXII The role of randomization in sampling, testing, allocation, and credulous idolatry (Part 1). Clin Pharmacol Ther 1973; 14 (4) : 601-615. 22.Feinstein AR. Clinical biostatistics : XXIII The role of randomization in sampling, testing, allocation, and credual idolatry (Part 2). Clin Pharmacol Ther 1973;14 (5) : 898—915. 23.Peto R, Rike MC, Armitoge P, Breslow NE, Cox DR, Howard SV, Mantel N, McPherson K, Peto J, Smith PG. Design and analysis of randomized clinical trials requiring prlonged observation of each patient: 1. Introduction and design. Brit J Cancer 1976; 34 :585-612. 24.The Anturane Reinfarction Trial Research Group. Sulfinpyrasone in the prevention of sudden death after myocardial infarction. N Engl J Med 1980; 302: 250—256. 25. Kolata GB. FDA says no to Anturane. Scince 1980;208:1130—1132. 26.Wilcox RG, Roland JM, Banks DC, Hampton JR, Mitchell JRA. Randomized trial comparing propranolol with a enolol in immediate treatment of suspected myocardial infarction. Brit Med J 1980; 280 : 885-888. 27.Altman DG. Statistics and ethics in medieal research : collecting and screening data. Brit Med J 1980; 281 : 1399-1401.

28.Bunce H, Hokanson JA, Weiss GB. Avoiding ambiguity when reporting variability in biomedical data (editorials). Amer J Med 1980; 69 : 8-9. 29.Gardner JM. Understanding and presenting variation. Lancet 1975; i : 230-231. 30.Altman DG. Statistics and ethics in medical research : VI Presentation of results. Brit Med J 1980; 281 : 1542—1544. 31.Dixon WJ, Massey FJ Jr. Introduction to statistical Analysis. New York McGrawhill, 1969. 32.Meddis R. Statistical Handbook for Non-statisticians. London : McGraw-Hill, 1975. 33.Colguhoun D. Lectures on.Biostatistics. London : Oxford University Press, 1971. 34.Swinscow TDV. Statistics at Square One- British Medical Association, London, 1976. 35. Siegel S. Nonparametric Statistics : For the Behavioral Sciences. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha, 1956. 36.Talogo RW. Statistik nonparametrik. Dalam : Naskah Lengkap Penataran Farmakologi Klinik, Suherman SK & Syamsudin HU (editor), Jakarta : Bagian Farmakologi FKUI, 1980; hal. 134—146. 37.Basuki B. Membandingkan proporsi dan "mean". Dalam : Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran, Tjokronegoro A & Purwanto SL (editor), Jakarta : Komisi Pengembangan Riset dan Perpustakaan FKUI, 1979; hal 178—183. 38.Schoolman HM, Becktel JM, Best WR, Johnson AF. Statistics in medical research : Principles versus praetices. J Lap Clin Med 1968; 71 (3) : 357—367. 39.Anonim. Statistical errors. Brit Med J 1977; i : 66. 40.McPherson K. Statistics and ethics in medical research : collecting data more than once. N Engl J Med 1974; 290 (9) : 501—502. 41.Altman DG. Statistics and ethics in medical research : V Analysing data. Brit Med J 1980; 281 : 1473—1475. 42.Altman DG. Statistics and ethics in medical research : I Misuse of statistics in unethical. Brit Med J 1980; 281 : 1182—1184.

MELATIH KERA SEBAGAI PEMBANTU PARA CACAT JASMANI Sejenis kera kecil, yang sering terlihat sebagai pemungut uang dari pemain-pemain organ putar di pinggir-pinggir jalan di luar negeri, dalam waktu yang tak lama lagi akan memainkan peranan yang lebih penting sebagai pembantu beribu-ribu orang lumpuh yang terdapat di dunia ini. Jenis kera ini, capuchin (Cebus capucinus), yang berasal dari Amerika Tengah dan Selatan, terbukti memiliki ketrampilan, kecerdasan dan loyalitas seperti anjing-anjing penuntun para tunanetra, bahkan melebihinya. Kera-kera ini dapat membuka lemari es, membuka atau menutup pintu dengan kunci, bahkan dapat dilatih sampai dapat mengambil piringan hitam dari album dan memasangnya di atas alat pemutarnya. Keuntungan dibanding dengan anjing penuntun ialah biaya yang harus dikeluarkan untuk melatih kera ini kurang lebih sama besar, tetapi kera ini dapat hidup lebih kurang 30 tahun dalam pemeliharaan (lebih kurang 3 X umur anjing). Sesungguhnya beberapa jenis kera di Indonesia juga sudah dapat dilatih untuk maksud-maksud tertentu, seperti beruk pemetik kelapa dan sebagai penari dalam ronggeng monyet. Apakah kera-kera Indonesia tidak dapat juga dimanfaatkan untuk tugas yang lebih mulia? International Exchange News Winter 1980 — 1981.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

21

Titik Lemah dalam Percobaan Klinik dr Bambang Suharto Manager R & D, PT Kalbe Farma, Jakarta.

Percobaan klinik adalah percobaan yang melibatkan manusia (sehat - sakit) sebagai objek, dalam usaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang kegunaan atau bahaya suatu obat, alat ataupun cara untuk pencegahan, diagnosa, terapi ataupun rehabilitasi suatu penyakit ataupun gangguan kesehatan lainnya. Tujuan penyajian makalah ini adalah menginventarisasi kelemahan yang sering terjadi dalam percobaan klinik yang dapat menyebabkan kegagalan percobaan klinik tsb. Suatu percobaan klinik dapat dianggap gagal bila : • Tidak berhasil mencapai tujuan percobaan klinik yang telah tercantum dalam protokol yang baik. • Tak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan pokok tentang permasalahan percobaan klinik tsb. • Penyakit penderita yang diikutsertakan dalam percobaan klinik itu umumnya jadi lebih parah. Ini seharusnya sudah dapat diramalkan dari percobaan pra-klinik. • Penderita mati karena intoxikasi obat yang sedang diuji sekalipun segalanya telah menuruti protokol. Di Indonesia, percobaan klinik pra-pemasaran belum pernah dilakukan (Percobaan klinik fase I, II dan III). Mungkin baru beberapa tahun lagi percobaan klinik pra-pemasaran akan dilakukan di sini, tergantung pada sarana dan kemampuan personil yang ada. Yang lebih mudah dilaksanakan dahulu adalah fase IlI untuk obat-obat yang telah melewati fase I dan II di luar negeri. Percobaan klinik yang telah dilakukan di negara kita, semua termasuk pasca - pemasaran, dalam arti di luar negeri obat tsb. telah dinilai dan boleh dipasarkan di negara yang bersangkutan. Jadi percobaan klinik yang dilakukan di negara kita umumnya pada saat ini bukanlah untuk memperoleh nomor registrasi, tetapi sekedar menyakinkan dan memberikan pengalaman pada dokter dalam menggunakan obat tsb. bagi pasien-pasiennya. Percobaan klinik semacam ini biasanya banyak kelemahan-kelemahannya, sering tidak memakai pembanding, protokolnya kurang baik, pelaksanaan sering menyimpang dari protokol, dsb. 22

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Percobaan Klinik dalam Pengembangan Obat Baru Dalam pengembangan obat baru, tahap percobaan klinik baru dikerjakan bila percobaan pra-klinik pada hewan telah selesai dengan kesimpulan : obat yang sedang diteliti memiliki perimbangan positif perihal khasiat dan keamanannya sehingga patut dilanjutkan penelitiannya pada manusia. Percobaan klinik fase I, II dan III tujuannya harus jelas agar data yang terkumpul benar-benar mantap dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang farmako-dinamika, toxikologi (khasiat & keamanan) dan farmako - kinetika (absorpsi, distribusi, biotransformati, dan exkresi) pada orang sehat dan penderita. Data tersebut mutlak dibutuhkan sebelum suatu obat diizinkan untuk dipasarkan. Setelah obat dipasarkan sebenarnya masih perlu percobaan klinik fase IV, pasca pemasaran, karena justru setelah digunakan secara luas, frekuensi atau persentasi tentang efektivitas dan keamanan obat itu dapat diketahui secara lebih tepat. Mungkin muncul khasiat baru ataupun efek samping baru yang belum diketahui dalam fase percobaan klinik sebelumnya. Secara garis besar kelemahan-kelemahan suatu percobaan klinik dapat ditelusuri dari : 1. Latar belakang dan pemasalahan yang mendorong dilakukannya percobaan klinik tsb. 2. Tujuan percobaan klinik 3. Perencanaan percobaaan klinik 4. Pengorganisasian percobaan klinik 5. Koordinasi pelaksanaan percobaan klinik 6. Pengendalian (kontrol) pelaksanaan percobaan klinik 7. Penilaian (evaluasi) hasil percobaan klinik

1. LATAR BELAKANG PERCOBAAN KLINIK Latar belakang percobaan klinik perlu dikemukakan berdasarkan atas data ilmiah untuk memberikan sandaran yang kuat bagi percobaan klinik itu sendiri. Hal-hal yang patut diajukan adalah :



Frekuensi kejadian atau penyakit tsb. yang akan ditanggulangi dalam masyarakat. — Akibat lanjut yang dapat terjadi bila tidak ditanggulangi — Hasil studi praklinik dan klinik berikut kepustakaan ilmiah yang menunjang. — Permasalahannya sekarang apa. Tanpa adanya latar belakang yang kuat dan permasalahan yang jelas sukar dipahami mengapa percobaan klinik itu perlu dilakukan dengan mengorbankan biaya yang cukup besar dan mempertaruhkan keselamatan sekian banyak manusia, apalagi bila misalnya dari hasil studi pra-klinik telah dapat diramalkan bahwa obat yang akan ditest itu tidak lebih superior daripada obat yang telah ada dipasar. 2. TUJUAN PERCOBAAN KLINIK Tujuan percobaan klinik yang akan dilakukan harus jelas dan spesifik, sebaiknya secara tepat dikemukakan dalam satu atau dua kalimat saja, tak perlu panjang lebar dan berbelit-belit. Berikut ini adalah beberapa contoh tujuan, percobaan klinik yang kurang jelas dan tidak spesifik : • Menentukan efektivitas terapi hipertensi dengan obat X • Mengetahui mekanisme kerja efek samping obat X terhadap susunan saraf pusat. • Menetapkan keamanan penggunaan obat X pada orang dewasa. Peneliti harus mengetahui bidang cakup permasalahan dan hendaknya menyadari bahwa tak mungkin menjawab terlalu banyak pertanyaan sekaligus, apalagi dengan pelbagai sarana yang terbatas. 3. PERENCANAAN PERCOBAAN KLINIK Kunci keberhasilan percobaan klinik sebagian besar terletak pada perencanaannya, dan seluruh perincian seluk-beluk rencana percobaan klinik tercantum dalam protokol. Protokol yang tidak lengkap hanya akan menghasilkan data yang tak lengkap dan meragukan, sehingga dapat menjurus pada kesimpulan yang salah dan membahayakan penderita. Beda pendapat perihal efektivitas anti-koagulan dalam terapi infark miokard akut amat mungkin disebabkan oleh ketidaksempurnaan protokol dalam hal seleksi penderita yang diikutsertakan dalam percobaan klinik itu. Berikut ini adalah contoh hal-hal pokok yang harus tercantum dalam suatu protokol percobaan klinik : 1. Judul penelitian 2. Latar belakang dan permasalahan 3. Tujuan Percobaan Klinik (umum dan khusus) 4. Populasi Percobaan Klinik : * Seleksi penderita * Kelompok pembanding 5. Pengecualian penderita Percobaan Klinik (cara penyamaran, cara 6. Disain pengelompokan, dsb.) 6. Rencana dosis dan pemberian obat 7..Parameter untuk menilai respons dan efek samping obat

8. .Pengembalian obat dan sebab-sebabnya 9. Drop - out 10. Evaluasi hasil (tabel-tabel, kurva dan cara statistik yang akan digunakan) 11. Persetujuan subjek (voluntir sehat atau penderita) 12. Formulir laporan kasus Hal lain penunjang Percobaan Klinik :

• Daftar alat dan jumlahnya yang tersedia di laboratorium dan akan digunakan dalam percobaan klinik tsb. • Daftar personil : — tugas/peranan tiap personil — kualifikasi personil — pengalaman dan publikasi personil Protokol yang sama sekali tidak lengkap ternyata masih terjadi, sekalipun di USA, seperti contoh di bawah ini yang pernah disampaikan pada FDA : Study Design : Open evaluation of Drug X in the treatment of myoclonic and akinetic seizure disorders in children that are refractory to recently available agents.

Patient Selection : An indefinite number of patients will be treated with the drug.

Clinical Record : Comprehensive clinical and laboratory reports will be furnished by the company.

Populasi Percobaan Kilnik Seperti halnya dengan penelitian-penelitian lain, batasan populasi percobaan klinik harus jelas, menyangkut jenis penyakit, umur, sex, berat badan, lokasi, ras, jumlah, dsb. Ini penting karena hasil suatu percobaan klinik, hanya akan dapat menjawab pertanyaan dalam ruang lingkup populasi itu saja, dan tidak dengan sendirinya dapat berlaku untuk segala macam populasi. Tambahan lagi yang dapat dijawab adalah hanya yang sebelumnya sudah direncanakan (yang tercantum dalam protokol percobaan klinik itu). Bila perlu, stratifikasi populasi harus dilakukan untuk meningkatkan kecermatan penelitian. Dalam suatu percobaan klinik adanya pembanding mutlak diperlukan untuk memperoleh kebenaran. Pembanding seharusnya menjalani perlakuan yang persis sama dan serentak bersama kelompok yang diuji. Pembanding ini seringkali dilupakan atau tidak mengalami perlakuan yang sama dan serentak dengan kelompok yang diuji; sehingga hasil percobaan klinik itu sendiri jadi tidak bernilai ilmiah, karena kita tetap dihadapkan pada keraguan. Untuk meningkatkan kecermatan percobaan klinik selain ada kelompok pembanding, percobaan klinik tsb. sebaiknya dilakukan secara acak tersamar ganda (Random and double blind). Memang dalam setiap percobaan ataupun penelitian, " Controlled trial " selalu lebih baik daripada "uncontrolled trial " . Yang penting dalam hal ini ialah secara cermat harus dapat dibandingkan antara dua tindakan : diberi obat dan tidak diberi obat; atau diberi obat A dan diberi obat B. Bahwa Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

23

"

controlled group" diambilkan dari suatu "prospective trial" ataukah "retrospective trial" tidak masalah selama semua variable yang dapat mempengaruhi hasil percobaan dapat dikendalikan. Kegagalan dalam menetapkan faktor yang harus dikendalikan tentu dapat mengakibatkan penyimpangan hasil komparasi. Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya banyak sekali usaha mengkomparasi percobaan prospektif dengan hasil retrospektif, baik yang hanya berupa pengalaman biasa yang tidak disusun secara sistimatik terencana, maupun suatu studi retrospektif yang terencana dan amat sistematik. Contoh bahan-bahan retrospektif yang amat berguna untuk studi komparatif adalah medical record penderita di Rumah Sakit. Untuk meningkatkan kecermatan dan sistematika agar tercapai manfaat studi retrospektif yang maksimal dapat saja digunakan komputer misalnya. Formulir Laporan Kasus Klinik. — Merupakan laporan pelaksanaan protokol — Isinya tentu saja harus sesuai protokol — Hal yang diamati, skala pengukuran, tes laboratorium, waktu dan jadwal pengukuran dsb. semua harus sesuai protokol . — Tambahan pengamatan baru sebenarnya tidak perlu lagi apalagi bila "sekedar ingin tahu" dan tak ada dasar ilmiah atau administratif yang kuat. Dari satu ke lain kasus, laporan ini harus seragam. Penyimpangan dari protokol dapat berakibat kesulitan besar keseluruhan percobaan kilnik. Persyaratan dari segi Hukum. Penelitian klinik untuk obat baru diatur oleh DepKes yang pasti dasarnya tak akan berbeda dengan peraturan FDA di USA, karena tujuannya sama yaitu melindungi keselamatan penderita dan masyarakat. Hal-hal yang menyangkut segi hukum tentu juga harus tercantum dalam formulir laporan kasus tsb. Ini mencakup semua kelompok termasuk kelompok pembanding, meliputi umur, kelamin, penyakit dengan tingkat keparahannya, obat lain yang sedang atau pernah diperoleh sebelumnya, efek samping yang pernah dialami dsb. Disain dan Biostatistik. Ini adalah jantungnya percobaan klinik. Membuat disain dan memilih perhitungan statistik suatu percobaan klinik adalah seperti membuat disain suatu bangunan, perlu jelas dahulu : — tujuan penggunaan bangunan tsb. (untuk pabrik : pabrik apa? untuk RS : RS apa? untuk sekolah : sekolah apa? untuk laboratorium kimia : lab kimia apa? dsb.) — bagian esensial & non esensial apa yang harus ada? — daya tampung optimal — kwalitas bahan yang ingin dipakai & alat-alat apa yang direncanakan ada di sana. — daya tahan yang diharapkan — perlengkapan yang diinginkan — bahan apa yang akan disimpan dalam bangunan itu — urutan proses kegiatan dalam bangunan itu — keadaan lingkungannya 24

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

— sumber-sumber yang ada (kualitas &kuantitas) — masukan dan keluaran/buangan yang diperhatikan sesuai dengan ciri & sifat masing-masing bahan. Hal-hal esensial yang harus terpenuhi bila bangunan itu selesai juga harus dijelaskan, misalnya : • harus memenuhi syarat kesehatan bagi yang tinggal atau bekerja dalam bungunan itu ataupun bagi lingkungannya. • harus dapat berfungsi dengan baik sesuai tujuan semula, untuk masa kini dan masa mendatang untuk kurun waktu yang telah ditentukan sebelumnya. • memiliki nilai arsitektur/seni/model yang telah ditentukan sebelumnya. Ini semua tentu saja harus direncanakan meliputi tempat, alat, manusia dan dananya. Tentu saja ada variasi dalam kualitas dan kuantitas dari satu kelain bangunan. Nah, demikian pula halnya dengan percobaan klinik. Jumlah dan jenis variable dapat ditentukan sekehendak hati, asalkan direncanakan sebelumnya — sama halnya dengan jumlah dan macam fasilitas yang diinginkan untuk suatu bangunan. Semakin banyak pertanyaan yang ingin dijawab dalam suatu percobaan klinik, semakin banyak pula variabel yang harus diamati dan semakin banyak sarana dan dana yang dibutuhkan. Dimanakah peranan ahli biostatistik dalam suatu percobaan klinik? Ahli biostatistik harus terlibat dari sejak awal sampai tahap terakhir percobaan klinik, dari tahap perencanaan, pembuatan protokol sampai evaluasi hasil; analog dengan peranan "quality & quantity surveyor & controler" dalam proyek bangunan. Dalam percobaan klinik beberapa hal memang analog, seperti misalnya : • Alat-alat percobaan untuk studi farmakodinamika (khasiat & keamanan) jelas berbeda dengan alat studi farmakokinetika, demikian pula halnya dengan alat untuk studi toxikologi. • Kualitas alat yang tersedia juga bermacam-macam, bervariasi dari yang murah sampai yang mahal, dari yang tidak cermat sampai yang amat cermat, dari yang mudah rusak sampai yang awet dsb. Demikian pula halnya mengenai variasi kualitas bahan-bahan lain. • Urutan kegiatan dalam percobaan klinik harus disusun sedemikian rupa sehingga melancarkan pengerjaan misalnya : kriteria seleksi penderita harus dijelaskan dahulu sebelum kita melakukan pemberian obat yang akan ditest. Pembahasan terperinci tentang titik lemah dalam disain dan biostatistik percobaan klinik dicakup dalam makalah Dr. Arini Setiawati. Kualifikasi pelaksana Percobaan Klinik. Kualitas dan kuantitas pengetahuan dan pengalaman pelaksana percobaan klinik amat menentukan kualitas percobaan klinik dan hasilnya. Untuk percobaan klinik fase I yang ingin ditentukan adalah aktivitas biologik dan kinetika obat yang sedang diuji pada manusia sehat.

Fase II awal bertujuan menentukan potensi kegunaan dan batasan dosis obat tsb. pada penderita. Dalam fase ini juga dilakukan review perihal kemungkinan toksisitas lain obat itu pada hewan dan melakukan percobaan khusus misalnya efeknya terhadap sistim reproduksi, sebelum melangkah lebih lanjut ke fase percobaan klinik selanjutnya. Fase II akhir bertujuan menentukan bentuk dan besarnya dosis yang tepat untuk tiap indikasi beserta penelitian yang lebih mendalam perihal biotransformasi obat itu atau pengaruhnya terhadap metabolisme tubuh. Pengetahuan dan pengalaman yang dibutuhkan untuk memimpin dan melakukan Fase I,11 awal dan II akhir adalah : — Fisiologi dan Farmakologi komparatif pada hewan percobaan. — Fisiologi dan Farmakologi pada manusia — Patologi, patofisiologi dan farmakologi klinik — Melakukan penelitian yang baik pada manusia Tugas itu biasanya dipikul oleh seorang ahli farmakologi klinik Fase III bertujuan mempelajari khasiat dan keamanan obat itu pada jumlah populasi penderita yang lebih besar. Dalam fase ini dicoba diketahui perkiraan kejadian efek samping yang sering terjadi serta berapa tinggi efektifitas obat itu terhadap indikasi-indikasi yang telah ditetapkan. Percobaan klinik Fase III ini sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis di klinik yang berpengalaman dalam merencanakan, melakukan dan menilai percobaan klinik yang baik. Berikut ini adalah daftar bidang keahlian yang perlu diikut sertakan dalam team percobaan klinik : 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Ahli Farmakologi Klinik Ahli Biostatistik Ahli Patofisiologi Ahli Patologi Klinik atau Kimia Klinik Ahli Biokimia Ahli Bidang-bidang Klinik yang sesuai dengan arah indikasi penggunaan obat yang akan dites (Kardiolog, Neurolog, Psikiater, Opthahnolog, dsb.)

yang pada akhirnya dapat menggagalkan percobaan klinik itu sendiri. Sebaiknya ketua team dipilih berdasarkan : (a) Fase Percobaan Klinik yang akan digarap. Ini erat berhubungan dengan titik berat permasalahan yang dihadapi. Misalnya pada fase I titik berat masalahnya terletak pada farmakologi dan ini masa peralihan dari fase percobaan pada hewan ke percobaan pada manusia, manusia sehat belum pada manusia sakit. Jadi sebaiknya fase ini diketuai oleh seorang ahli farmakologi klinik. Fase III, titik berat masalah lebih pada klinik, mengetahui derajat efektivitas dan keamanan obat yang dites pada populasi penderita yang lebih besar. Jadi fase ini sebaiknya dipimpin oleh seorang dokter spesialis tertentu dalam bidang klinik yang relevan dengan indikasi penggunaan obat tsb. (b) Kemampuan manajemen percobaan klinik yang baik, amat dibutuhkan, mencakup seluruh aspek manajemen mulai dari Planning, Organizing, Coordinating, Control dan Evaluation. (c) Memiliki ciri kepemimpinan yang baik, misalnya : • Tidak selalu merasa bahwa dirinyalah yang paling benar • Tidak meremehkan peranan anggota team,bagaimanapun sederhananya pekerjaan dia, dsb. (d) Berpandangan luas meliputi bidang ldinik dan praklinik. 5. PENGENDALIAN PERCOBAAN KLINIK.

Mereka ini perlu duduk bersama merundingkan dan merencanakan segala sesuatunya yang relevan dengan percobaan klinik yang ingin dilakukan. Tentu saja kemampuan dan kesediaan menyisihkan waktu yang tepat, sesuai jadwal yang disepakati bersama merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi demi suksesnya percobaan klinik itu.

Dalam pengendalian selalu perlu diperiksa/dilihat lagi apakah pelaksanaan percobaan klinik arahnya menyimpang dari tujuan atau tidak. Apakah tiap anggota team benar-benar melaksanakan tugasnya sesuai jadwal waktu yang tercantum dalam protokol; bila tidak, mengapa dan bagaimana mengatasi masaitu. Peranan umpan balik amat penting dalam keseluruhan manajemen percobaan klinik. Ini mencakup banyak aspek yang menuntut kecepatan dan ketepatan informasi, baik aspek manusia, manajemen, material, machine (alat) metode, ataupun money (dana). Sistem informasi timbal balik vertikal dan horizontal harus ditata dan direncanakan dengan baik agar percobaan klinik tidak gagal.

4. ORGANISASI DAN KOORDINASI PERCOBAAN KLINIK

6. PENILAIAN (EVALUASI) HASIL PERCOBAAN KLINIK

Seperti halnya dengan organisasi lain, team percobaan klinik hanyalah merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Agar hasilnya dapat diperoleh secara optimal, cepat, dan bermutu tinggi maka anggota organisasi itu terdiri dari spesialis-spesialis yang memang ahli dan berpengalaman dalam bidangnya masing-masing. Dalam organisasi percobaan klinik kedudukan seseorang ahli, tidak lebih rendah ataupun leibh tinggi dari ahli . yang lain. Jadi janganlah beranggapan bahwa ketua team percobaan klinik itu dianggap lebih pandai dan lebih penting dengan ahli yang lain. Anggapan semacam itu dapat mengganggu kelancaran kerja team percobaan klinik,

Sebaiknya semua variabel yang ingin diukur dalam suatu percobaan disusun dan dicantumkan dalam suatu daftar bersama dengan metoda pengamatan, alat yang akan digunakan, jadwal waktu pengamatan variabel-variabel tsb. Parameter hendaknya dipilih yang spesifik dan selektif mengukur apa yang ingin diukur, merupakan akibat atau hasil langsung dari proses, keadaan atau penyakit yang sedang diuji. Umumnya semakin jauh hubungan antara gejala dan kausa, semakin tidak spesifik gejala itu dan semakin tidak teliti percobaan klinik tsb. Sedapat mungkin harus diusahakan agar parameter itu objektif, tidak subjektif. Bila perlu dilakukan Cermin Dunia Kedokteran No. 2 5, 1982

25

penilaian bertingkat tetapi kriterianya harus jelas dan semuanya harus tercantum dalam protokol. Usahakanlah pula agar pengamatan dan penilaian hasil dilakukan oleh satu orang untuk mengurangi variasi penilaian antara satu kelain penilaian. Janganlah menggunakan metoda pengukuran yang belum terbukti kebenarannya, atau belum memberikan hasil yang konsisten untuk suatu hal yang tidak berubah. Selalu harus diuji apakah hasil akhir percobaan klinik benar-benar sudah menjawab secara memuaskan pertanyaanpertanyaan yang sebelumnya telah disiapkan dalam penyusunan protokol. Bila belum, dimana kekurangannya. Peninjauan menyeluruh oleh semua anggota team perlu diadakan untuk menyempurnakan hasil, kadang-kadang diperlukan orang dari luar team itu untuk memberikan kritik tentang percobaan klinik tsb. 7. PENGERTIAN ISTILAH DAN PENYELESAIAN LAPORAN. Dari sejak awal sebelum percobaan klinik dimulai, pengertian setiap istilah penting yang menyangkut percobaan klinik itu harus disamakan dahulu. Sulit dibayangkan betapa kacaunya pembicaraan percobaan klinik itu bila masing-masing anggota team mempunyai pengertian yang berbeda-beda tentang istilah-istilah pokok dalam percobaan klinik itu sendiri. Seandainya telah mulai berjalan dan informasi vertikal ataupun horizontal antara bagian dalam organisasi percobaan klinik itu telah mulai sibuk, maka akan terasa sekali kebutuh-

an pengisian kartu laporan yang benar. Kesalahan pengetikan kata dan angka potential dapat mengacaukan evaluasi hasil. Pengetikan laporan hendaknya dilakukan oleh orang yang tepat, yang tidak hanya mementingkan kecepatan, tetapi juga kecermatan diutamakan. Demikian pula halnya dengan pengetikan laporan akhir bila percobaan klinik telah selesai, kejelasan ketelitian dan kecermatan tetap dibutuhkan; karena memang percobaan klinik sendiri bertujuan menjelaskan hal yang tidak jelas dan bukan mengaburkan hal yang sudah tidak jelas itu. PENUTUP Sekalipun Indonesia pada saat ini belum mampu menciptakan senyawa kimia baru yang dapat digunakan untuk pencegahan, diagnosa, terapi ataupun rehabilitasi penyakit tetapi saatnya telah tiba untuk kita mempelajari cara-cara melakukan percobaan klinik yang baik dan benar. Untuk itu maka pengalaman negara-negara maju baik yang positif maupun yang ,negatif patut dikaji agar kita dapat menghemat waktu dan biaya dalam mencapai keadaan yang lebih baik. KEPUSTAKAAN 1. Martin EW (Ed.) Hazards of Medication. Philadelphia — Toronto : JB Lippincott Co. 2. Mc Mahon FG (Ed.). Principles and Technique of Human Research and Therapeutics. A series of Monographs — Vol. IV. New York : Futura Pub. Inc, 1974. 3. Cranberg L. Do retrospective controls make clinical trials inherently fallacious ? Brit Med J. 1979; 2 : 1265 — 1266.

SEBAB — SEBAB KEMATIAN PARA AHLI ANESTESI Dengan makin sering dan makin banyak dipergunakanya gas-gas pembius yang berunsur fluor, maka timbul dugaan bahwa gas-gas ini merupakan faktor pengganggu kesehatan khususnya bagi para ahli anestesi. Oleh Dr. Linde dkk. dari Northwestern University USA telah dibandingkan sebab-sebab dan angka-angka kematian para ahli anestesi diantara tahun 1930 s/d 1946 dengan sebab-sebab dan angka-angka yang sama setelah tahun-tahun itu. Angka kematian diantara tahun 1930 — 1946 kurang lebih sama dengan angka kematian diantara tahun 1947 — 1956, akan tetapi lebih besar dari angka kematian dari tahun 1957 — 4971. Sebab kematian utama para ahli anestesi ialah penyakit kardio-vaskuler dan tumor ganas. Dari jenis tumor ganas, tumor yang berasal dari traktus digestivus merupakan yang paling sering ditemukan sedangkan tumor-tumor dari traktus respiratorius justru paling sedikit !!. Hasil-hasil penelitian ini memberi kesan bahwa gas-gas pembius berunsur fluor yang mulai dipergunakan sejak tahun 1950—an mungkin tidak membahayakan kesehatan. OLH NTIS, Medicine & Biology, Aug. 11, 1981

26

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Uji Klinik Multi-Center dr.Iwan Darmansjah

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

PENDAHULUAN Uji klinik adalah suatu cara menguji secara experimen, mengenai keampuhan suatu pengobatan pada kohort penderita dengan maksud mendapatkan hasil bukti ilmiah tentang manfaat dan kerugian dari pada metode pengobatan yang digunakan. Dalam melakukan percobaan ini selalu dikerjakan perbandingan antara dua atau lebih cara pengobatan. Sehingga pada akhir uji klinik kita dapat mengetahui status pengobatan tertentu untuk dipakai sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil kebijakan pengobatan penderita selanjutnya. Cara pendekatan mengobati penderita seperti ini adalah yang terbaik, dan cara ini perlu menggantikan cara-cara yang lama yang didasarkan semata-mata atas pengalaman dan empiri tanpa diuji kebenarannya (1). Percobaan seperti diatas biasanya dikerjakan oleh satu atau lebih penyelidik dalam satu center, rumah sakit atau klinik atau tempat praktek dokter. Lokasi yang tunggal ini dapat lebih menjamin uniformitas dalam menerapkan kriteria untuk seleksi dan evaluasi penderita, yang merupakan syarat penting dalam menegakkan mutu uji klinik yang baik. Namun bila diperlukan jumlah penderita yang banyak untuk memenuhi syarat uji klinik dan lagi untuk mempersingkat waktu penyelidikan, maka dapat digunakan lebih dari satu center. Uji klinik jenis ini disebut Uji Klinik Multi— Center (UKM). Jumlah penderita yang diperlukan untuk suatu uji klinik sehingga memenuhi syarat telah dikemukakan oleh Clark & Downie (2). ORGANISASI Karena dalam UKM diikutsertakan banyak penyelidik maka perlu dibentuk suatu organisasi kecil untuk mengatur jalannya penyelidikan. Tujuan terpenting dari organisasi ini ialah untuk menjaga supaya semua kriteria penilaian dilakukan se-uniform mungkin. Suatu UKM dipimpin oleh suatu coordinating center yang biasanya terpisah dari center klinik, dan mempunyai tugas merencanakan, mengkoordinasi dan mengontrol seluruh UKM.Selain itu ia harus menerima, memproses, dan menganalisa data yang masuk dari centercenter yang berpartisipasi, serta bertanggung jawab dalam publikasi makalah yang dihasilkan. Coordinating center ini harus diketuai oleh satu orang yang menentukan mengenai segala kebijakan, yang tentunya dapat dibantu oleh orangorang lain dalam pekerjaannya. Selain itu pembantu-pembantu

diatas perlu mengadakan hubungan dengan center-center klinik dan karena itu perlu memiliki pengetahuan cukup untuk dapat memberikan bimbingan dan kepemimpinan. Dalam melakukan uji klinik sering sesuatu yang sudah diputuskan perlu diubah karena kondisi lapangan lain sekali dengan apa yang telah direncanakan. Hal ini terutama terjadi pada UKM dan ini memerlukan kebijakan yang menyeluruh, diikuti oleh center-center yang lain. Anggota coordinating center dalam bentuk yang sederhana dapat terdiri dari 1 — 2 orang namun dalam uji klinik yang besar dan lama perlu diikutsertakan 4 — 8 orang. Siapa saja yang mengerti mengenai seluk beluk uji klinik dapat duduk dalam coordinating center ini, tetapi biasanya menyangkut keahlian seperti drug—epidemiologi, farmakologi (klinik), klinik dan statistik (tidak disebut dalam urutan pentingnya disiplin). Harus dijaga supaya coordinating center ini tidak terlalu banyak orang sehingga kehilangan efisiensi dan keseragaman dalam berfikir. Mereka yang bertanggung jawab dalam pelayanan pasien didalam center (klinik) juga diikutsertakan sebagai tenaga eksekutif dan membentuk semacam sub—panitya dari coordinating center. Suatu advisory committee bisa melengkapi struktur organisasi ini dan berguna untuk menanggapi jalannya trial dari segi-segi lain yang belum terpikirkan, namun tidak mempunyai hak untuk mengubah jalannya trial. Gambar 1 memperlihatkan suatu contoh struktur organisasi suatu UKM yang sederhana.

Gambar 1 : Contoh struktur organisasi suatu UKM

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

27

Bila sponsor yang membiayai UKM ini mempunyai ahlinya maka sebaiknya tidak dimasukkan dalam Coordinating Center, namun dalam Advisory Committee. Hal ini untuk mencegah tanggapan terhadap credibility dari hasil UKM tersebut. Didalam UKM yang telah diadakan untuk menguji keampuhan obat-obat antidiare (3,4) telah ditempuh organisasi yang sederhana dengan hanya 2 orang di dalam Coordinating Center. Sedangkan Sub—Panitya tidak ada. Koordinator mempunyai hubungan langsung dengan para penyelidik dalam 16 — 120 center klinik. Semakin sederhana hubungan organisasi memang semakin praktis dalam pelaksanaannya. Namun pengalaman menunjukkan bahwa koordinator benarbenar harus berfungsi sebagai pembimbing dan penghubung. Tidak hanya pada permulaan uji klinik, tetapi sewaktu-waktu perlu diadakan pertemuan bersama dengan penanggung jawab di center klinik untuk menilai dan mendiskusikan seluruh kegiatan. Suatu organisasi yang baik akan menjamin keberhasilan UKM dan tanpa adanya kerja sama seperti diatas tidak mungkin UKM dapat dipercayai hasilnya. Kerja sama seperti ini menjadi lebih sulit bila berbagai center klinik letaknya berjauhan dan sering malahan di negaranegara lain. Dua jalan dapat ditempuh untuk mengatasi ini, yaitu dengan mengadakan pertemuan berkala dan/atau pembuatan protokol tertulis yang ketat. Organisasi seperti digambarkan diatas tidak selalu harus diikuti secara mutlak, karena jenis uji klinik tentu berbedabeda dan karena itu bisa ditempuh modifikasi lain. LAIN PERBEDAAN Prosedur, protokol dan pelaksanaan suatu UKM sebenarnya pada prinsip sama dengan suatu uji klinik biasa. Namun selain perbedaan dalam organisasi yang telah dikemukakan, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. 1. Objektif Berhubung dengan banyaknya center klinik yang ikut serta, objektif dari penelitian perlu lebih jelas dirumuskan hitam atas putih. Walaupun tujuan suatu uji klinik biasanya jelas dan tidak sulit —misalnya membandingkan efektivitas suatu pengobatan dengan yang lain— namun selain ini selalu masih ada tujuan-tujuan sekunder. Misalnya, efek samping merupakan sesuatu yang perlu sekali dinilai, karena walaupun efektivitas pengobatan<sangat berhasil, pertimbangan benefitrisk ratio selalu adalah penilaian terakhir. Bila suatu skedule pengobatan sangat ruwet, harus dinilai apakah ketidakpatuhan penderita tidak merupakan sesuatu yang akan memberi hasil berlainan jika nanti akan dipakai dalam pengobatan rutin (dalam suatu uji klinik akan tercipta suasana penyelenggaraan yang lebih baik). Penilaian dari hal-hal seperti diatas perlu sekali diadakan dan karena itu sebelum uji klinik dimulai sudah harus dirumuskan dan kemudian diperhitungkan dalam membuat kartu status penderita. Hal-hal ini mempakan sebab mengapa tujuan suatu UKM harus jelas dijabarkan. 2. Alasan untukmembuat UKM Suatu UKM yang dikerjakan dengan baik memerlukan biaya yang besar. Karena itu seorang penyelidik harus mempertimbangkan dengan masak sekali, alasan-alasan apa yang menyebabkan ia melakukan suatu UKM. Sebagian besar dari 28

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

UKM yang dikerjakan di Indonesia menurut perkiraan, berasal dari inisiatif produsen guna menunjang pemasaran produksinya. Tidak ada pelanggaran etik dalam mengerjakan uji klinik semacam ini, namun hasil yang diperoleh harus mengandung kebenaran. Banyak uji klinik, single - dan multi - centered, telah menyalahi prinsip ini sehingga menjerumuskan sejawat yang tidak kritis menilai hasilnya. (5) Banyak alasan bisa diambil untuk memulai suatu UKM. Seorang bisa saja berpendapat bahwa suatu pengobatan tertentu perlu dibuktikan apakah efektif dan superior terhadap suatu pengobatan lain. Dibawah ini terdapat alasan-alasan yang berguna dalam pertimbangan kita mengadakan suatu UKM. a) Penyakit menyangkut masyarakat luas. (Antihypertensive study) b) Kondisi penyakit atau reaksi obat berbeda-beda dalam masyarakat. (asetilasi INH) c) Penyakit berat, terutama yang belum established pengobatannya perlu dicari pengobatan yang terbaik, bila ada. (karsinoma) d) Penyakit yang mempunyai dampak besar terhadap masalah kesehatan masyarakat. (diare) e) Adanya keraguan efektivitas suatu pengobatan tertentu, karena efek penyembuhan tidak dramatis dan sulit terlihat. (hepatitis akut & kronik) f) Pembuktian efektivitas jamu g) Memastikan efektivitas suatu obat untuk suatu indikasi lain (Beta—Blockers untuk hipertensi) h) Kecurigaan bahwa efek obat mempunyai hasil lain pada kohort-kohort penduduk tertentu. (acceptability Depo — provera) i) Efektivitas obat tidak jauh berbeda dengan plasebo.(diare non—spesifik) Dengan mengambil alasan yang baik untuk mengadakan UKM, maka penyelidik menjamin kemanfaatan dari uji klinik dan tidak semata-mata untuk kepentingan produsen obat. 3. Perencanaan UKM Merencanakan suatu UKM lebih sulit dari pada uji klinik yang dilakukan dalam satu center. Hambatan dalam pelaksanaan sangat besar dan terjadi dalam bidang apa saja. Dalam suatu trial yang kami lakukan untuk mengetahui kadar kotrimoksasol pada penderita typhoid, terjadi hal yang aneh dimana kadar kotrimoksasol tidak menentu, kadang-kadang tinggi sebelum obat diberi dan rendah setelah obat diberikan. Setelah diusut, ternyata perawat tidak mematuhi jam jam pemberian obat dan pengambilan darah, walaupun semua telah diinstruksikan (dan diberi insentif ). Ini menandakan bahwa pegawai paramedis perlu sekali dikhususkan bila akan diikutsertakan claim suatu uji klinik, dilatih dan diberi pengertian mengenai pentingnya kepatuhan. Prosedur dan formulir isian harus dibuat sebaik mungkin, tetapi keruwetan harus dihindarkan dan kelebihan informasi yang tidak akan dipakai harus dibuang. Banyak penyelidik tidak merencanakan protokol dengan baik, dan sering memasukkan data yang tidak relevan dengan objektif, tetapi dengan alasan " siapa tahu akan dipakai nanti", dimasukkan dalam formulir isian. Hal ini menambah beban penyelidik dengan akibat kurang cermatnya pelaksanaan.

4. Pemilihan penderita dan kriteria penyembuhan Suatu uji klinik memerlukan penderita-penderita tertentu untuk dinilai keberhasilan pengobatan tertentu. Namun bila penderita yang diobati tidak seragam sakitnya, bisa terdapat kesalahan dalam mengambil konklusi. Spesifikasi yang cermat dari penyakit yang akan diselidiki perlu sekali dirumuskan dan disetujui bersama. Hal-hal seperti umur, kelamin, lama penyakit, berat penyakit, penyakit yang menyertai, pengobatan yang telah diterima (pada penyakit kronis), harus ditentukan dalam seleksi penderita dan kriteria ini tidak boleh sampai disalahartikan (ambiguous) oleh para sejawat dalam center-center klinik. Juga kriteria penyembuhan harus jelas sehingga semua center mempunyai satu tolok ukur, karena apa yang dianggap sembuh oleh seorang penyelidik mungkin tidak dianggapnya demikian oleh sejawat lain. 5. Pemilihan center Center harus dipilih sedemikian rupa supaya tidak saja peneliti ada ditempat, tetapi jumlah penderita yang akan diselidiki mencukupi. Bila jenis penderita yang diingini tidak tersedia cukup, maka waktu penyelenggaraan akan diperpanjang dengan segala konsekuensinya. Kadang-kadang suatu center tidak perlu terletak dalam suatu rumah sakit yang besar, bila kita hendak menyelidiki tentang hipertensi, diare, influenza dan lain-lain penyakit yang memang pertama-tama akan dilayani oleh puskesmas atau dokter umum. Seorang penderita hipertensi yang sudah lama menderita dan diobati di rumah sakit, mungkin mempunyai ciri-ciri lain dari pada penderita yang datang berobat ke puskesmas. lnilah alasan mengapa puskesmas atau praktek dokter umum adalah tempat yang baik sekali untuk UKM seperti diatas (6, 3). Selain itu penyakit yang diselidiki adalah yang mencerminkan keadaan sebenarnya. Selain center klinik, suatu UKM memerlukan juga fasilitas untuk membuat foto rontgen, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan kardiogram, pembuatan sediaan patologi, dan sebagainya. Bila mungkin semua pemeriksaan seperti ini dilakukan di satu tempat. Maksudnya tentu untuk menjaga uniformitas prosedur dan penilaiannya. Penilaian kardiogram sebaiknya tidak dikerjakan oleh dokter yang juga memeriksa klinis penderitanya, tetapi oleh seorang lain guna mengurangi bias. 6. Kode obat Karena double—blind, controlled, randomized clinical trial adalah yang paling baik untuk menjamin hasil penelitian, maka obat yang dipakai termasuk plasebo, harus dibuat dalam bentuk dan warna yang sama. Ini dapat dikerjakan di pabrik obat, tetapi jika tidak ada persoalan dalam bioavailability, semua obat dapat dimasukkan dalam kapsul oleh hospital pharmacy. Untuk menjaga supaya jumlah penderita dalam tiap kelompok perlakuan tidak terlalu banyak berbeda, maka sebaiknya dilakukan block-randomization (7). Hal ini dikerjakan sebagai berikut : • Bagilah penderita dalam beberapa block atau kelompok yang sama besarnya. • Tetapkanlah perlakuan pengobatan sedemikian supaya dalam tiap block penderita terdapat jenis pengobatan yang

sama banyaknya dalam segala kemungkinan. Contoh Misalkan terdapat 2 jenis pengobatan A dan B untuk 24 penderita. Dengan menggunakan block randomization kita dapat membagi 24 penderita ini dalam 6 block dari 4 penderita. Enam kelompok penderita ini diberi pengobatan sebagai berikut: 1

2

3

4

A A B B

B B A A

A B A B

B A B A

5 A B B A

6 B A A B

Kemudian 6 kelompok ini diacak untuk menemukan urutan pengobatan menurut datangnya penderita di klinik. Randomisasi ini misalnya memberikan hasil sebagai berikut : 2, 6, 4, 3, 1, 5. Maka penderita 1 — 24 mendapat pengobatan sebagai berikut : Penderita No.

1

2

3

4

5

6

7

Pengobatan

B

B

A

A

B

A

A

B

Block

2

8

6

Penderita No.

9

10

11

12

13

14

15

16

Pengobatan

B

A

B

A

A

B

A

B

Block

4

3

Penderita No.

17

18

19

20

21

22

23

24

Pengobatan

A

A

B

B

A

B

B

A

Block

1

5

Dengan demikian setiap penderita yang datang sudah dapat diberi jenis pengobatan A atau B dengan menjamin randomisasi yang baik . Sedangkan tidak akan dikhawatirkan bahwa pengobatan A akan jauh lebih banyak dari pada pengobatan B, karena setelah setiap 4 penderita, perlakuan A atau B adalah sama. Dalam UKM block—randomization ini dapat dikerjakan untuk tiap center. Tiap penderita sudah harus disediakan obat yang akan diuji, dengan disertai nomor kode, sebanyak jumlah penderita. Kunci dari nomor kode ini disimpan oleh penanggung jawab dalam coordinating center dalam suatu amplop tertutup, dan hanya boleh dibuka sesudah pendataan penderita selesai atau dalam kasus darurat. PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Bila jumlah penderita masih dalam batas-batas 100—300, maka pengumpulan data belum merupakan beban yang berat. Sebaiknya semua data dikumpulkan sedikit demi sedikit dan diolah sekalian, dan jangan menunggu sampai seluruh trial selesai. Bila digunakan komputer—dewasa ini di Indonesia bisa diperoleh "Microprocessors " untuk kira-kira Rp. 5 juta — Rp. 11 juta — maka data dapat langsung dimasukkan dan disortir olehnya. Walaupun demikian anggota Coordinating Center perlu melihat status satu per satu untuk memperoleh impresi tentang variasi data yang ada. Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

29

Untuk pengolahan data selanjutnya pembaca dipersilahkan melihat makalah Dr. Arini Setiawati. Draft akhir yang akan dipublikasi sebaiknya diperlihatkan sedikitnya pada para penanggung jawab di tiap center untuk diperoleh komentar dan kemudian diolah kembali dalam makalah final. PENUTUP Dalam karangan pendek ini belum dijelaskan segala detail mengenai UKM. Sebagai tambahan dapat dipelajari tulisantulisan lain dalam nomor ini, serta rujukan, oleh karena dalam prinsip suatu UKM tidak banyak berbeda dengan uji klinik satu center. Namun birokrasi suatu UKM lebih banyak, sehingga dapat dikatakan bahwa suatu UKM lebih sedikit menggunakan pengetahuan klinik dari pada organisasi. Menurut Johnson (6) : "It is probably not an exageration to say that a trial is one-tenth medicine and nine-tenths bureaucracy"; apalagi suatu UKM. Akhirul kata biarlah Johnson meneruskan pendapatnya : "Clinical trials are not for the faint—hearted. They demand of the persons organising them a rare combination of qualities. Enthusiasm, energy, a sense of purpose, clinical acumen, perspicacity,* organisational skills, the ability to get on with people, and familiarity with statistical techniques, are merely basic requirements. It is also useful to have some of the * "Wisdom and understanding in dealing with people or with facts"

qualities of an economist, a politician and a slave master. A finely developed sense of optimism is essential, and the ability to work miracles (even minor ones) helps."

KEPUSTAKAAN 1. Darmansjah I. Evaluasi Ilmiah hasil pengobatan. Med Hosp. 1981 ; 54: 2 – 4. 2.Clark C J, Downie CC. A Method for the rapid determination of the number of patients to include in a controlled Clinical Trial. Lancet 1966; ii: 1357 – 1358. 3.Muchtar, A. Darmansjah I . Treatment of Non specific Diarrhea with Enteridex ®. A comparative study amongst General Practitioners. MKI. 1981; 31, 3 – 8. 4.Wilmana F, Suyatna D, Darmansjah I. A double-blind, placebo controlled trial on acute non–specific diarrhea. Asian J of Clin Sc (in press). 5.Muchtar A dkk.An assessment of Drug Trial Reports.(unpublished). 6.Murphy J E. Clinical Trials in General Practice. Dalam : Clinical Trials, editors : Johnson & Johnson. Blackwell Scientific Public 1977. 7.Zelen M. The Randomization and Stratification of Patients to Clinical Trials. J Chron Dis 1974; 27: 365 – 375. RUJUKAN 8.Friedman LM, Furberg CD, DeMetz DL. Fundamentals of clinical trials. John Wright, 1981. 9.Controlled Clinical Trials, Design and Methods. Official Journal of the Society for Clinical Trials. 1981, Vol. 1, Number 4. l0.Importance of Experimental Design and Biostatistics. Ed: F. Gilbert McMahon, Futura publishing Company, 1974.

TAHUKAH ANDA ? Beginilah peta angka kematian bayi di Asia Tenggara.

30

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Masalah Uji Klinik Obat- Obatan Pada Anak dr. M. Sutan Assin

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta.

"The adult may be safely treated as a child; The converse can lead to disaster" Sir Lancelot Barrington — Ward.

Setiap dokter sewaktu memberikan obat atau resep pada penderita, akan bertanya pada diri sendiri : 1. Tepatkah obat ini ? 2. Akan efektifkah obat ini ? 3. Tepatkah dosisnya ? 4. Berapa lama perlu diberikan ? 5. Apakah akan ada efek samping ? 6. Bagaimana pengaruh obat ini terhadap pertumbuhan dan perkembangan si penderita kelak ? 7. Apakah ada pilihan lain ? 8. Apakah akan mempengaruhi kekebalan alaminya (natural immunity) ? Seorang dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis, senantiasa akan berhadapan dengan masalah-masalah ini. Apalagi kalau mengobati seorang anak, tidak jarang seorang dokter menjadi ragu-ragu, karena tidak selalu dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan tepat. Di mana sebenarnya letak kesulitan-kesulitan dalam terapi seorang anak ? Faktor-faktornya banyak, tetapi pada dasarnya perlu disadari bahwa anak itu selalu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dan dalam proses ini selalu akan terjadi perubahan-perubahan dari waktu ke waktu. Tetapi juga akan ada hambatan-hambatan yang dapat mengganggu keseimbangan kesehatan si anak, baik karena faktorfaktor lingkungan ataupun penyakit-penyakit. Dengan memberikan obat kita bertujuan dan berusaha mengembalikan keseimbangan itu, supaya proses tumbuh kembang akan dapat berlangsung secara optimal, agar kelak si anak itu menjadi seorang dewasa yang optimal pula. Tetapi sebaliknya kita mengetahui, bahwa obat itu sendiri, kalau penggunaannya tidak tepat, akan dapat mengganggu fungsi-fungsi dalam badan. Jadi obat itu di satu pihak kita perlukan untuk terapi, tetapi di lain pihak kita takuti karena sifat racunnya. Oleh karena itu tiap obat perlu mengalami uji klinik yang teliti sebelum digunakan pada manusia, lebih-lebih pada anak dan ibu hamil. Masih segar diingatan kita bagaimana akibat kelalaian dalam hal ini, yaitu lahirnya bayi-bayi cacat karena obat thalidomide. Atau bagaimana tetrasiklin merobah warna gigi pada anak-anak yang baru diketahui bertahun-tahun kemudian.

Memang uji klinik obat-obatan pada anak dan janin enggan dilakukan. Shirkey menyebutnya "the therapeutic orphans", suatu golongan manusia yang dalam segi obat-obatan tidak cukup mendapat perhatian. Masih terlalu banyak obat-obatan dipasarkan oleh pabrik-pabrik obat yang produsennya tidak atau kurang tahu penggunaannya pada anak-anak dan wanita hamil, sehingga untuk menghindarkannya mereka memakai filsafah burung onta dengan melarangnya untuk golongan penderita ini. Tidak jarang kita menemukan pada pamflet obat-obatan tulisan-tulisan seperti : " ...............tidak dianjurkan untuk anak-anak " atau "............tidak dianjurkan untuk anakanak di bawah umur 2 tahun " atau ".................penggunaan untuk bayi baru lahir tidak dianjurkan " atau " ........... hanya untuk orang dewasa " dsb, dsb, tetapi hampir semuanya tanpa data yang jelas. Rupanya produsen obat lebih cenderung untuk melarang atau membatasi penggunaan suatu obat pada anak dan ibu hamil daripada menghadapi suatu risiko yang tak terduga, karena tiadanya data uji klinik. Tetapi mengapa ada keengganan untuk melakukan uji klinik pada anak-anak ? Ternyata banyak faktor-faktor yang menyulitkan suatu uji klinik pada anak. Marilah kita membahas beberapa faktor penyulit ini : A. Faktor orang tua. Pada umumnya orang tua menentang kalau anaknya diikutsertakan dalam suatu uji klinik. Dan, kalaupun bersedia, mereka mengharapkan suatu imbalan yang menarik, karena merasa dirugikan. Lebih-lebih kalau anaknya masih kecil. Berbeda dengan orang dewasa, sukarelawan hampir tidak ada. B. Faktor anak. Selain adanya perbedaan antara orang dewasa dan anak ("A child is not an adult in pocket size"), juga terdapat perbedaan antara kelompok umur. Biasanya kita membaginya sbb. : 1. Janin. Bayi masih dalam kandungan dan 100 % masih tergantung pada ibunya. 2. Bayi baru lahir (Neonatus) : sejak lahir sampai umur 28 hari 3. Masa bayi (Infant) : 1 bulan sampai 12 bulan. 4. Balita (Toddler) : 1 — 5 tahun. 5. Anak sekolah : 6 — 13 tahun. 6. Remaja (Puber) : 11 — 18 tahun. Tiap kelompok umur mempunyai kekhususan tersendiri. Di sini hanya akan disebut beberapa contoh : • Perbedaan cairan badan total : prematur 86 %; bayi 70 %; Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

31

• •

• • • •

remaja 55 %. Cairan ekstra-selular : prematur 50 %; bayi 30 %; dewasa 20 %. Kadar lemak : prematur 1 %; neonatus normal 15 %. Blood-brain barrier ; makin muda makin peka, umpamanya untuk barbiturat, morphine dll. Metabolisme hepar : fungsi pada neonatus masih rendah, contoh : khloramfenikol bisa menyebabkan "gray babies". Ekskresi ginjal : pada neonatus masih rendah, suatu hal yang sangat penting pada ekskresi obat-obatan. Pengaruh hormon kelamin (sex hormones) : pada remaja normal, pada bayi dan anak abnormal. Prevalensi suatu kelompok umur untuk suatu penyakit umpamanya : Rubeola, yang sangat berbahaya untuk janin muda.

Di samping perbedaan antara kelompok umur, juga ada perbedaan lain yang penting seperti : • Keadaan gizi : kurus, normal, sangat gemuk. • Tinggi badan : pendek, normal, tinggi. • Kecerdasan dan ketrampilan. • Perilaku (attitude). • Lingkungan. • Ada atau tidak adanya cacat bawaan, a.l. inborn errors of metabolism, coeliac disease, malabsorpsi, defisiensi G—6PD dsb. C. Faktor Obat. 1. Indikasi pemberian obat. Hanya diagnosis yang tepat merupakan indikasi untuk pemberian suatu obat. 2. Pilihan jenis obat. Penentuan dalam memilih jenis obat tergantung pada : • Diagnosis. • Ringan beratnya penyakit. • Daya racun dan efek samping dari obat. • Penerimaan oleh si anak. • Daya guna obat itu dalam jangka waktu tertentu. • Pengaruh obat terhadap tumbuh kembang dan imunitas anak. 3. Saat dan lamanya pemberian obat. 4 .Dosis obat. Selama manusia minum obat, penentuan dosis pada anak-anak merupakan masalah yang tiada akhirnya, karena adanya keadaan-keadaan yang berbeda seperti umur, berat badan, tinggi badan, keadaan gizi, berat ringannya penyakit dsb. Berbagai macam formula dicari dan diciptakan, tetapi ternyata tidak ada satupun yang sempurna. Disini akan diberikan beberapa contoh : • Dosis berdasarkan berat badan. Cara ini paling populer di Indonesia, tetapi ketepatannya mulai diragukan, lebihlebih untuk bayi-bayi. Perhitungan menurut berat badan menghasilkan suatu ketimpangan antara dosis anak dan dosis dewasa, sehingga kurang jelas yang mana menjadi kriteria. • Dosis berdasarkan umur. Karena proses tumbuh kembang anak itu tidak sama pada anak-anak dalam kelompok umur yang sama, maka ketepatan dosis atas dasar umur juga diragukan. • Dosis berdasarkan luas badan (body — surface). Pada saat ini dianggap yang paling tepat karena ketimpangan antara dosis anak dan dosis dewasa lebih kecil. Untuk perhi 32

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

tungan dipakai Nomogram West. • Dosis menurut formula Pincus Catzell, yaitu : Persentase dari dosis dewasa,umpama : bayi baru lahir 12½ %; 1 -12 bulan 15 — 25 %; 1 — 5 tahun 25 — 40 %; 5 — 12 tahun 50 — 75 % dsb. Cara ini sangat praktis, tetapi kelemahannya sama seperti pada yang berdasarkan umur. • Dosis berdasarkan formula formula lain seperti formula Clark

x dosis dewasa ); Formula Young : x dosis dewasa ( n = umur ); metode Gaubius dll.

Karena proses tumbuh kembang ini, maka senantiasa terjadi perubahan-perubahan dalam metabolisme dan bentuk badan. Bagaimana pengaruhnya terhadap biotransformasi obat-obat karenanya belumlah jelas. Maka dalam penentuan dosis, masih perlu diperhitungkan faktor-faktor lain seperti : • Anak gemuk, karena lemak tidak berperan pada metabolisme. • Dehidrasi atau hypovolemic shock; konsentrasi obat dalam darah lebih tinggi. • Oedema; konsentrasi obat lebih rendah. • Fungsi hati dan ginjal. • Adanya kelainan genetik : G—6—PD, porphyria dll. • Pengaruh preparat hormon, seperti anabolik dan hormon kelamin yang dapat mempengaruhi pertumbuhan anak. 5. Cara pemberian obat. Pilihan cara pemberian obat — parenteral, enteral, anal, atau topikal — sangat tergantung pada keadaan penderita, ketrampilan orang tua yang memberikannya, rasa obat, selera atau daya terima anak dan selera dokter yang mengobatinya.

D. Faktor lingkungan 1. Keadaan sosio - ekonomi penderita. Anak dalam keadaan sakit gawat tidak mempunyai alternatif dalam terapi. Obat yang terbaik, terkuat dan sering termahal perlu digunakan. Tetapi kalau penyakitnya ringan atau sedang, pengobatan dapat disesuaikan dengan daya belinya. 2. Agama, adat istiadat, kebiasaan hidup dapat mempengaruhi pemberian obat. Orang yang hidup di desa atau di kota mempunyai ciri-ciri yang berbeda. 3. Rawat jalan atau rawat menginap di klinik atau rumah sakit. Kalau rawat jalan ketepatan pemberian obat tidak selalu dapat diandalkan, lebih-lebih pada yang berpendidikan rendah. 4. Etik kedokteran merupakan suatu unsur yang penting dalam pengobatan. Pemerintah dan masyarakat menghendaki adanya norma-norma, juga untuk uji klinik. E. Efek plasebo Disamping efek farmakologik, obat juga mempunyai efek plasebo yang berlatar belakang kepercayaan pada dokter dan obat tertentu. Efek plasebo ini dapat berguna pada pengobatan, tetapi juga dapat disalahgunakan. Obat tradisional mempunyai efek plasebo yang kuat.

Jadi kalau dilihat berapa banyak faktor-faktor yang berperan dalam pengobatan anak, maka tidaklah heran, kalau

melakukan suatu uji klinik obat-obatan pada anak tidaklah mudah. Memang pengalaman kami di RSCM demikianlah. Lebih mudah melakukan uji klinik pada penderita yang dirawat daripada yang berobat jalan, karena yang dirawat lebih mudah dikontrol secara teliti dan dapat dilakukan tanpa banyak kesulitan penolakan dari penderita atau orang tuanya. Tetapi kondisi penderita yang dirawat tentu tidak sama, maka hasil penelitian tetap masih bisa dipersoalkan. Suatu penelitian pada anak yang berobat jalan mengalami kesukaran, karena enggan kembali secara teratur, kecuali kalau motivasinya kuat.

pelayanan kesehatan primer :

......puskesmas-puskesmas itu, yang tidak mempunyai fasilitas diagnostik, diharapkan memberikan pengobatan untuk penyakit-penyakit yang biasa. Kasus-kasus yang memerlukan diagnosis seharusnya dirujuk ke rumah sakit terdekat. Budget untuk obat-obatan dan supply lain untuk setiap unit lapangan adalah demikian kecil. Pemberian obat-obatan itu dilakukan oleh dokter yang cukup "qualified". Ya, itulah yang dikatakannya : lified" ! Saya lanjutkan :

"

dokter yang cukup qua-

Karena kebanyakan perusahan farmasi melakukan strategi pemasa-

KEPUSTAKAAN 1. Catzell P. The Paediatric Prescriber. Oxford : Blackwell Scientific Publications, 1974. 2. Nelson W E. Texbook of Pediatrics. Philadelphia : WB Saunders Co, 1975. 3. Shirkey HC. Pediatric Therapy. Saint Louis : CV Mosby Co, 1972.

Pelajaran dari

Salah satu tugas pertama dari setiap departemen kesehatan yang ingin menerapkan strategi nasional untuk "Kesehatan bagi Semua" ialah meninjau kembali bagaimana cara mereorganisasi sistem kesehatan agar ini didasarkan pada pelayanan kesehatan primer. Bertahun-tahun yll. daerah ini adalah tempat lahirnya pola yang jelas bagi puskesmas, yang waktu itu merupakan sumber harapan. Apa yang terjadi dengan ide tsb ? Mengapa kini terjadi krisis kepercayaan padanya ? Dan pelajaran apa dapat kita timba dari apa yang telah terjadi ? Puskesmas-puskesmas ini, meskipun namanya puskesmas, memusatkan perhatian pada pemberian pelayanan medik setempat selain usaha KB. Hanya terbatas saja mereka menangani kesehatan masyarakat.Dan bag a- imanabentuk pelayanan medik yang mereka berikan ? Dengarkan beberapa abstrak dari Laporan Institut Manajemen dalam salah satu negara besar di kawasan ini :

Bahwa uji klinik obat-obatan pada anak itu sangat panting, kita sadari semua untuk menghilangkan "Therapeutic orphans" itu. Bagaimanapun juga, janganlah anak itu menjadi korban dari obat yang digunakan secara "trial—and-error":

masa lalu

ran yang agresif, dokter-dokter itu senang memberi resep obat spesiality.

Kebetulan, laporan itu selanjutnya menyatakan bahwa dari 126 obat yang direncanakan sampai pada unit-unit lapangan, hanya 70 yang benar-benar sampai, dan setelah ditinjau benar-benar, ternyata hanya 30 yang diperlukan. Bagaimana anda mengharapkan masyarakat mempercayai sistem kesehatan dalam suasana demikian ? — dan saya perlu menambahkan bahwa laporan itu sengaja menyajikan gambaran yang "menggembirakan" dari puskesmas rata-rata di negara tsb. Bagaimana anda mengharapkan mereka memperhatikan petunjuk-petunjuk tentang kesehatan mereka, betapapun baik maksud anda, yang tidak mengenai sasaran dari perspektif mereka, karena tidak cukup memperhatikan diare bayi-bayi mereka, air yang mereka minum, makanan yang mereka makan, rumah tempat mereka tinggal atau tiadanya rumah, dan lingkungan tak sehat yang sudah nasibnya menyertai mereka. Dan obat yang mereka perlukan bila mereka sakitpun tak ada. Maka mereka mem "by-pass" puskesmas-puskesmas tsb, pergi ke rumah sakit sebagai pasien berobat jalan ................... Demikian lingkaran setan ini berputar tanpa menangani masalah kesehatan utama mereka. Half dan Mahler. Sambutan pada WHO Regional Committee for SouthEast Asia. WHO chronicle 1981 ; 35 (6) : 208 - 212. Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

33

Uji Klinik dalam Nefrologi-Hipertensi: Praktek dan Kesulitannya R. P. Sidabutar Sub Bagian Ginjal/Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM, Jakarta.

PENDAHULUAN Dari seorang dokter si sakit mengharapkan suatu obat atau tindakan yang dapat membebaskannya dari keluhan penyakitnya. Bila si sakit tidak memperolehnya dia akan kecewa. Demikian pula sang dokter akan menjadi kecewa bila menyadari tidak ada obat atau tindakan yang dapat ia lakukan menghilangkan penyakit atau mengurangi keluhan si sakit. Dalam keadaan demikian beberapa hal dapat terjadi. Pertama sang dokter akan pasrah saja; kedua, dia akan memberi sesuatu yang sebenarnya ia tidak yakin akan manfaatnya; dan ketiga, timbul itikad untuk mencoba sesuatu yang nantinya dapat memberi hasil yang diharapkan. Untuk memperoleh keyakinan tentang manfaat obat yang telah dipergunakan untuk sesuatu penyakit di tempat lain, dengan kondisi yang berbeda ia ingin pula "mencoba" nya dahulu sebelum mendapat keyakinan dan bila perlu dengan penyesuaian seperlunya. Penyakit ginjal umumnya potensial berbahaya, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa banyak yang resisten terhadap pengobatan. Banyak penyakit ginjal yang untuk masa yang sangat lama hanya diobati simtomatik. Untunglah pada masa sekarang ini kemajuan dalam pengetahuan patofisiologi dan bidang pembuatan obat mengurangi hal ini. Dari semua obatobat yang muncul tidak seluruhnya aman dan tidak semuanya pula mempunyai efek terapetik yang nyata. Orang klinik harus mengetahui mana yang efektif, mana yang tidak dan mana yang relatif aman, mana yang tidak. Kesimpulan seperti itu tak dapat ditarik berdasarkan teori saja maupun dari eksperimen farmakologik. Banyak penyakit ginjal dan tentunya hipertensi esensial, memberikan perburukan sesudah periode yang panjang, sehingga sesuatu obat yang memang berkhasiat, misalnya menurunkan tekanan darah, belum tentu mempunyai akibat yang nyata menguntungkan dalam jangka panjang. KEBUTUHAN Permasalahan seperti diuraikan diatas tidak selalu membutuhkan uji klinik formal, barangkali observasi klinik yang cermat akan memberikan petunjuk yang memadai. Misalnya tidak perlu membuktikan lagi melalui uji klinik bahwa dialisis akan berakibat baik dan menghindarkan maut pada gagal ginjal akut. Demikian pula bahwa furosemid lebih 34

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

efektif dari diuretik merkuri dalam menghilangkan udema tak perlu dibuktikan melalui uji klinik. Sesuatu uji klinik terkontrol dibutuhkan bila : 1. Tanpa uji klinik yang baik sukar dinilai sesuatu faktor kebetulan atau khasiat obat. 2. Besar kegunaan obat perlu dinilai kuantitatif. 3. Terjadinya efek samping dan komplikasi perlu diukur. Kesulitan yang dapat menghalangi suatu uji klinik yang baik, timbul karena jumlah orang sakit yang sedikit. Walaupun demikian uji klinik terkontrol dan random harus diusahakan untuk perbandingan yang tepat. TUJUAN UJI KLINIK Niat untuk melakukan sesuatu uji klinik pada umumnya didasari dua alasan, (i) Uji klinik memungkinkan menguji sesuatu hipotesa mengenai etiologi, (ii) Memberikan jawaban yang bermanfaat untuk operasional misalnya apakah sesuatu penyakit harus diobati dengan obat tertentu dan cara tertentu. Bila azatioprin ternyata memperlambat progresi glomerulonefritis proliferatif, ini menyokong kemungkinan faktor "alergi" dalam patogenesisnya. Dalam hal kedua, permasalahan bukanlah apakah suatu cara atau obat berkhasiat, tetapi berapa besarkah keuntungan yang diperoleh, dibandingkan dengan kerugian yang timbul. Keuntungan dan kerugian ini harus dinyatakan kuantitatif. Dalam uji klinik penyakit ginjal, yang pada umumnya menahun dan progresinya berbeda dan bahkan tidak mempunyai akselerasi yang berpola tertentu, maka dengan sendirinya penilaian keuntungan dan kerugian ini menjadi sulit dan membutuhkan suatu masa uji yang lama. Tidak jarang dalam nefrologi hasil yang baik atau menguntungkan dalam jangka pendek, tidak menguntungkan bahkan merugikan dalam jangka panjang. Sebagai contoh dapat dikemukakan suatu uji klinik pengobatan sindrom nefrotik dengan prednison oleh Black, Rose & Brewer (1). RANCANGAN Berbagai rancangan uji klinik dapat dipilih. Yang paling efisien secara statistik adalah uji bersilang (cross-over trial).

Uji seperti ini walaupun ideal sudah jelas sukar diterapkan pada banyak penyakit nefrologik. Uji bersilang yang mempergunakan penderita sendiri sebagai kontrol, dapat dipergunakan dalam uji klinik obat anti—hipertensi. Yang dianalisa adalah perbedaan antara dua periode pada penderita yang sama, periode pengobatan dan periode tanpa pengobatan. Rancangan ini mempunyai keterbatasan yaitu (2) : • Keadaan penyakit harus stabil selama periode uji dan respons terhadap pengobatan tidak lambat (segera). • Efek pengobatan harus reversibel dan dihindarkan kelanjutan efek pengobatan pada periode tanpa obat. Pembatasan ini khususnya dalam penyakit ginjal, mengakibatkan lebih sering dipilih uji dengan kelompok kontrol terpisah. Biasanya satu saja kelompok diobati, tetapi bila jumlah penderita memungkinkan beberapa kelompok diobati, dapat dibandingkan dengan satu kelompok kontrol. Kelompok diobati ini dapat menerima pengobatan yang sama atau tidak sama dengan kelompok diobati pertama. Dalam hal sama maka dosis obat misalnya dapat diubah demikian juga lama periode diobati dapat dirubah. Rancangan lain yang efisien misalnya adalah rancangan faktoral. Penderita dibagi empat kelompok ( O, A, B, AB ) kelompok O merupakan kontrol, A mendapat pengobatan pertama, B mendapat pengobatan kedua dan AB mendapat pengobatan pertama dan kedua. Analisis pengobatan pertama diperoleh dengan membandingkan kelompok O + B terhadap kelompok A +AB dan efek B membandingkan O + A terhadap B + AB. Disamping itu masih dapat diperoleh analisis dari perbandingan terhadap AB. Tentu saja ada pembatasan rancangan ini yaitu : (i) Semua penderita harus sesuai dengan kedua pengobatan, (ii) Harus memungkinkan memberi kedua pengobatan sekaligus. Rancangan seperti ini dapat dilakukan pada pengobatan hipertensi tetapi sukar pada penyakit ginjal menahun seperi glomemlonefritis. Berapa jumlah orang sakit yang dibutuhkan ? Pertanyaan ini sering diabaikan sehingga dapat terjadi uji klinik menjadi tak ada hasilnya karena jumlah yang terlalu sedikit atau terlalu banyak penderita yang disertakan padahal sebenarnya tidak perlu. PERMASALAHAN ETIK. Suatu uji klinik yang terancang baik, harus dapat di pertanggungjawabkan secara etik. Hampir semua keputusan mengobati si sakit merupakan eksperimen. Beda pengobatan dalam uji klinik dan diluar uji klinik adalah : pada uji klinik eks -

perimen dilakukan menurut rencana dan mengarah ke suatu kesimpulan yang logik, sedangkan diluar uji klinik hampir sebaliknya. Keamanan penderita terletak terutama pada hati nurani pelaksana uji klinik yaitu menjaga keselamatan penderita yang telah memberikan kepercayaan dan harapan padanya (3). Pada dasarnya dua keadaan dapat menjadi dasar apakah sesuatu uji klinik dapat dilaksanakan mengingat hal tersebut diatas. Pertama apabila dua cara pengobatan yang akan diuji, dinyatakan secara tersendiri memberikan hasil yang hampir sama. Kedua, suatu cara pengobatan baru akan diuji apabila diharapkan hasil yang lebih baik daripada cara pengobatan yang telah ada sebelumnya. Didalam protokol selalu harus dicantumkan suatu pokok yang menyatakan bahwa pelaksana uji klinik akan mengubah pengobatan yang direncanakan bila hal-hal tertentu timbul yang dapat merugikan penderita. Pengobatan yang memberi harapan seharusnya dapat diteruskan setelah masa uji klinik berakhir. Khusus dalam penyakit ginjal dan hipertensi, yang sering membutuhkan pengobatan yang lama dan bahkan seumur hidup pokok ini tak boleh dilupakan. Sudah jelas tidak bertanggungjawab bila cara pengobatan yang disimpulkan baik atau lebih unggul, setelah masa uji klinik tidak dilanjutkan pada penderita yang bersangkutan. Uji klinik di bidang nefrologi dan hipertensi di Indonesia cukup berkembang secara kuantitatif, tetapi harus dinilai lebih hati-hati apakah uji klinik yang bertambah banyak itu dapat dipertanggungjawabkan secara kualitatif. Kebanyakan uji klinik dalam bidang ini sebenarnya merupakan pengalaman klinik dan mungkin sekali memang itulah yang dibutuhkan serta yang mungkin dilaksanakan, akan tetapi kadang-kadang tanpa disadari diberi penamaan uji klinik. Uji klinik mengenai obat tradisional perlu mendapat perhatian, untuk memberi keyakinan yang berdasar kepada profesi kedokteran untuk mengatakan secara lebih tegas "ya" atau "tidak" pada cara pengobatan yang bersangkutan. Terlalu sering kita melihat penggunaan pengobatan ini dilakukan tanpa dasar dan keyakinan yang sebenarnya dibutuhkan sebelum menggunakannya. KEPUSTAKAAN 1. Black DAK, Rose G, Brewder DB. Controlled trial of prednisone in adult patients with nephrotic syndrome. Brit Med J. 1970; 3:421 2. Rose GA. Therapeutic trials and renal disease, in: Renal Disease, 3rd ed. Black D. Oxford London Edinburgh Melbourne : Blackwell Scientific Publications, 1972, 841. 3. Smith R N. Ethical aspects of drug evaluation, in : Clinical trials, first Ed. Johnson NF & Johnson S. Oxford, London Edinburgh Melbourne : Blackwell Scientific Publications, 1977, 162.

"Tiadakah harapan," si sakit bertanya, Dokter itu diam menggelengkan kepala, Dan mohon diri dengan sedih hati, Entah bagaimana rekeningnya esok hari John Gay

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

35

Kesulitan Percobaan Klinik dalam Ilmu Psikiatri (PENGALAMAN PERCOBAAN KLINIK SELAMA 1961 — 1981 )

Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro dan dr. YuI Iskandar Direktorat Kesehatan Jiwa Dit. Jan. Pelayanan Kesehatan Dep. Kes. RI.

PENDAHULUAN Pemakaian obat di bidang psikiatri sebenarnya belum cukup lama. Chlorpromazine dan imipramine baru dikenal sebagai obat anti-psikotik dan anti—depresan pada awal tahun—50—an. Percobaan klinik di Indonesia dengan obat-obat yang dipakai di bidang psikiatri sebenarnya telah dimulai awal tahun 1960 di bagian psikiatri FKUI (waktu itu penulis senior (KS) menjabat kepala bagian psikiatri), walaupun hal tersebut sebenarnya masih merupakan barang baru. Percobaan klinik dengan kontrol yang baik baru pertama kali dilakukan oleh Kenning, Richardson dan Tucher pada tahun 1961. Begitu pula Friedman, Nowbray dan Hamilton baru pada tahun 1961 melakukan penelitian dengan Instrument Hamilton Rating Scale (1960) yang dapat diterima secara universal. Penelitian klinis yang sistematik di Indonesia dan dipublikasikan secara luas baru dilakukan tahun 1968. Tabel 1 : Obat-obat yang telah dilakukan percobaan Klinik. 1). 2). 3). 4). 5). 6). 7). 8).

Obat Fluphenazine Thioridazine Trifluperazine Levomepromazine Haloperidol Thiopropazate Ro :5 — 3350 Temazeman

Tahun 1968 1969 1969 1970 1971 1972 1972 1974

Obat 9). Sulfiride 10). Clozapine 11). Oxazepam 12). Perazine 13). Prazepam 14). Clobazam 15). Nomifensine 16). Propizepine

Tahun 1974 1974 1976 1976 1977 1978 1979 1981

Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya dilakukan penulis senior dengan bantuan beberapa kolega lain. Pada umumnya mereka tidak pernah mengalami formal training untuk clinical trial ataupun clinical (psycho) pharmacology. Oleh sebab itu penulis senior pada th 1976 memerintahkan pada penulis junior (Y I) untuk belajar dalam bidang clinical (psycho) pharmacology di Universitas New South Wales di bawah pimpinan Prof. Wade di Australia selama 1 tahun (1976 — 1977). Dalam hal ini pengalaman-pengalaman yang telah dibuat, baik yang baik maupun yang buruk, dengan kondisi yang ada pada saat yang lampau maupun pada saat ini dapatlah dipakai sebagai pelajaran dalam menyusun metodologi penelitian klinik khususnya untuk obat-obat yang dipakai di bidang psikiatri. 36

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

PROBLEMA DESIGN (DESIGN OF PROBLEM) Dalam menentukan design dari clinical trial maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. a). Seleksi dari pasien Pada penelitian yang telah dilakukan, untuk obat anti-psikotik dipilih kasus . skizofrenia, untuk anti-anxietas dipilih kasus neurosa dan untuk anti-depresan dipilih kasus depresi. Dalam penelitian-penelitian tersebut ada beberapa kategori yang biasanya berlaku umum yaitu : — Pasien yang diperiksa laki-laki dan wanita — Umur 20 — 65 th — Tidak terdapat gejala penyakit fisik — Tidak terdapat riwayat kejang — Tidak hamil — Tidak sedang menyusui — Tidak retardasi mental Pada umumnya penelitian obat-obat di bidang psikiatri adalah untuk orang dewasa. Tidak diindikasikan untuk anak-anak dan untuk orang tua. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa pada pengobatan penderita gangguan jiwa perbedaan antara wanita dan laki-laki tidak ada; disamping itu harus dihindari penderita gangguan jiwa yang disebabkan sebab-sebab organik (ketuaan, epilepsi, atau retardasi mental) dan dihindari pula kemungkinan terjadinya efek teratogenik atau terjadinya gangguan pada anak melalui air susu ibu. Di bidang psikiatri tidak ada kriteria diagnostik yang secara universal dapat diterima. Penelitian yang telah dilakukan biasanya mengambil ICD. (PPDGJ ) * sebagai kriteria diagnostik. Untuk penderita depresi diambil beberapa patokan tambahan selain dari PPDGJ, yaitu bahwa yang dimaksud depresi ialah suatu gangguan yang terus menerus dari mood yang ditunjukkan dengan adanya kesedihan yang jelas terlihat oleh pemeriksa dan merupakan gambaran yang umum dari penyakitnya. Selain gangguan afektif tersebut harus ada gejala tambahan lagi dari salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini : penyesalan diri, hypochondriasis, retardasi atau agitasi. Dari keseluruhan gangguan jiwa maka hanya pada penderita depresi * I.C.D. = International Clasiffication of Disease Ed. VIII (WHO, 1965) PPDGJ = Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia ed. ke I, 1973.

yang dapat dibuat kriteria yang universal, sedangkan untuk skizofrenia dan neurosa agak sulit. Selain itu pada penderita depresi dapat dibuat skala intensitas penyakit, dari yang berat sampai yang ringan (secara kuantitatif) akan tetapi bagi penderita skizofrenia dan neurosa hal itu belum mungkin hingga penilaian biasanya semi-kuantitatif. b). Kontrol dalam Trial Penelitian klinis dapat dibagi atas beberapa phase seperti yang pernah disarankan oleh FDA. Phase I, adalah suatu penelitian permulaan, dimana obat pada pertama kali diajukan pada manusia, terutama pada normal voluntir, dengan tujuan utama adalah menentukan toxisitas, dosis kira-kira, dan faktor-faktor lainnya yang terutama untuk menentukan keamanan dari obat tersebut. Jumlah pasien pada penelitian ini berkisar antara 20 — 80 orang. Phase II, merupakan phase yang paling penting karena pada phase ini diuji baik efektivitasnya maupun keamanan relatif dari obat tersebut. Pada phase ini penelitian harus dilakukan dengan kontrol yang ketat. Kontrol tersebut dapat berupa obat standar yang telah ada, atau dapat pula dipakai plasebo. Pada Phase III, dapat dilakukan penelitian baik dengan clinical trial yang terkontrol, maupun tidak. Phase III ini dikerjakan setelah efikasi dari obat telah ditemukan dan ditentukan pada phase II. Penelitian terutama bertujuan untuk mendapatkan data-data tambahan baik mengenai efektivitas, maupun efek samping pada jumlah pasien yang lebih besar, serta dosis obat pada populasi yang berbeda. Phase IV, yang dinamakan post-marketing clinical, trial, terutama bertujuan melanjutkan penelitian pada phase III, menunjukkan insidensi dari efek samping, serta mungkin pula dilakukan penelitian mencari efek farmakologik yang khusus. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh penulis pada umumnya berkisar pada phase III, dan phase IV. Penelitian pada phase I dan II, akan dikembangkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, dengan membangun suatu bangsal khusus untuk penelitian, dengan tenaga-tenaga yang telah terlatih dan terdidik. Pada penelitian sebelum ini penelitian yang bersifat terkontrol belum dapat dilakukan oleh sebab : 1. Tenaga peneliti pada umumnya disibukkan oleh tugastugas lain, seperti mengajar, public service dll. 2. Instrument penelitian yang standar, dimana sensitivitas, reliabilitas dan validitasnya yang telah diselidiki belum ada. Suatu clinical trial yang terkontrol baik, akan tetapi dengan instrument yang buruk tidak akan menghasilkan penelitian yang baik. 3. Tujuan penelitian bukanlah menentukan efektivitas obat, karena hal tersebut telah dibuktikan di negara lain. Duplikasi penelitian yang demikian hanya membuang waktu dan tenaga. Tujuan penelitian pada waktu itu hanyalah menentukan dosis yang tepat pada penderita di Indonesia, dan pula melihat kemungkinan adanya toxisitas dan efek sniping. c).

dilakukan randomization dari pasien tidak mungkin dikerjakan, karena kuantifikasi (misalnya seriously ill, moderately ill, dan mild) dari pasien sulit dikerjakan dan pasien yang datang untuk berobat yang memenuhi kriteria pun sangat sedikit. Untuk mendapat populasi dari satu macam penelitian diperlukan waktu 6 — 12 bulan. Disamping itu karena hanya ada satu macam cara pengobatan, maka dengan sendirinya randomization tidak dilakukan. d).

Blind design

Untuk penelitian obat-obatan maka adanya blind design merupakan hal yang ideal. Dalam hal ini, dapat pasiennya yang tidak mengetahui obatnya (single blind) atau dokter (evaluator) dan pasien yang tak mengetahui obat yang diberikan (double blind). Blind design ini sebenarnya penting untuk mencegah bias dari pemeriksa maupun pasien dalam mengevaluasi obat. Karena faktor subjektif pemeriksa akan mempengaruhi sekali hasil dari tiap-tiap penelitian terutama penelitian di bidang psikiatri. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan pada umumnya tidak memakai blind design, akan tetapi walaupun demikian bias yang terjadi karena faktor subjektif pemeriksa dikurangi dengan memakai evaluator yang lebih dari 2 orang, dengan demikian diperkirakan bahwa bias yang bersifat menggantungkan hasil obat akan dikompensasi oleh bias yang bersifat merugikan. EVALUASI HASIL Pada penelitian klinik dengan obat-obat di bidang kedokteran pada umumnya evaluasi hasil tidak terlalu sulit. Pengobatan malaria misalnya dapat dinilai berdasarkan hilangnya gejala klinik ( panas turun ), atau hilangnya/tidak terdapat lagi parasit. Pengobatan dengan anti-hipertensi dapat dilihat dari menurunnya tekanan darah. Sedangkan pengobatan dengan obat anti diabetes, dapat diperlihatkan dengan menjadi normalnya kadar gula darah. Evaluasi hasil pengobatan pada penderita gangguan jiwa lebih sulit. Biasanya evaluasi hasil dibicarakan dengan para peneliti dan dibuat suatu kriteria yang dapat diterima oleh semua pihak. Pada umumnya hasil evaluasi merupakan suatu skala semikuantitatif yang dinilai berdasarkan pola-pola tertentu. Walaupun penilaian agak subjektif akan tetapi telah dibuat pegangan pokok. Skala ini misalnya untuk evaluasi global : +++ (+3) ++ (+2) + (+1) 0 ( 0)

Kriteria improvement, berubah-ubah dari waktu ke waktu, dapat merupakan suatu parameter dipulangkannya pasien atau apakah dia dapat bekerja kembali sebagaimana biasa. Misalnya : +++ (+3) :

Randomization

Untuk mengurangi bias pada penelitian klinik, dimana kontrol dipergunakan maka perlu pemilihan pasien secara random. Seperti telah dikemukakan penelitian-penelitian yang telah

: Excellent improvement : Good improvement : Fair improvement : No improvement

++ (+2) : + (+1) : 0 (+0) :

Kebanyakan target symptom Mang baik subjektif maupun objektif Kebanyakan target symptom berkurang Beberapa target symptom mengurang Tidak ada perubahan Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

37

Antara tahun 1966 — 1976, evaluasi hasil terutama ,secara global, hal ini disebabkan karena sibuknya para peneliti, karena haru s mengerjakan tugas-tugas lain, seperti public service dan pendidikan. Pada penelitian setelah 1976, telah ada kemajuan yaitu hasil-hasil penelitian tidak hanya secara global. akan tetapi juga telah secara mendetail dikemukakan. Penelitian dengan anti-psikotik selain memakai evaluasi yang global juga hasil-hasil dengan memakai BPRS *) dinilai. Untuk anti-anxietas dipakai HRS **) for anxiety dan untuk anti-depresan dipakai HRS for depression. Penelitian yang memakai instrument yang lebih sensitif dan lebih objektif ini serta defmisi dari pasien yang lebih ketat, menyebabkan jumlah pasien pada penelitian menjadi lebih sedikit. EFEK SAMPING Walaupun efek samping merupakan bidang perhatian yang paling panting pada penelitian klinik di Indonesia, akan tetapi sebenarnya bidang ini yang paling sulit diselidiki. Penderita skizofrenia tidak akan banyak mengeluh walupun terdapat banyak gangguan efek samping, seperti tremor, rigiditas dll. Sebaliknya penderita neurosa, terutama yang menderita hipochondria sangat sensitif sekali terhadap perubahan. Aliran darah yang sedikit cepat akan menyebabkan dia merasa berdebar-debar dengan hebat. Sering mengeluh sakit kepala, enek dan muntah, yang barangkali bukan oleh pengaruh obat. Penderita depresi lebih sulit lagi, karena banyak gejala depresi seperti mulut kering, sakit kepala dB. yang mirip dengan pengaruh obat. Secara ideal memang kita bisa membuat daftar efek samping yang panjang dan menjelimet, akan tetapi pada prakteknya sukar sekali dilakukan dan akan banyak sekali membuang waktu. Dengan demikian efek samping yang diperiksa pada clinical trial adalah toxisitas obat tersebut, apakah fatal atau tidak. Pada umumnya obat-obat yang telah dilakukan trial oleh penulis, toleransinya baik. Kemudian dilihat apakah ada gejalagejala yang hebat tapi tak berbahaya seperti gejala extrapiramidal dB. Baru kemudian dicatat keluhan-keluhan subjektif dari pasien setelah menerima obat. Dengan demikian gejala efek samping yang dilaporkan adalah semua gejala yang dikeluhkan setelah meminum obat, baik disebabkan oleh obat maupun oleh sebab lain. ANALISA STATISTIK Dalam setiap penelitian maka design dan analisa statistik merupakan 2 pokok penelitian yang menunjukkan baik atau buruknya percobaan. Akan tetapi seperti dikemukakan dalam tulisan-tulisan diatas pada beberapa penelitian tidak dapat dibuat analisa statistiknya. Baru pada penelitian-penelitian yang terakhir dibuat analisa statistik secara sederhana, yaitu melihat perubahan gejala sebelum dan sesudah pengobatan. Hal ini baru dapat dilakukan setelah instrument-instrument penelitian lebih teliti dilakukan. •) BPRS : Brief Psychiatric Rating Scale ••) HRS : Hamilton Rating Scale 38

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

PENUTUP Penelitian klinik di bidang psikiatri merupakan bidang yang paling banyak tantangannya dan kesulitannya. Kriteria seleksi dari pasien untuk orang Indonesia masih harus dilakukan. Instrument-instrument penelitian, seperti rating scale, tidak dengan mudah diadaptasikan di Indonesia. Tenaga-tenaga khusus yang terlatih baik dari paramedis dan tenaga medis masih kurang. Dengan kesulitan-kesulitan yang demikian maka penelitian yang baik dengan kontrol dan design yang baik serta analisa statistik masih merupakan suatu langkah yang harus dikerjakan. Dalam hubungan ini Direktorat Kesehatan Jiwa berusaha keras, untuk mewujudkan suatu fasilitas dimana penelitian klinik dapat dilakukan dengan lege-artis, dengan harapan agar dimasa mendatang apresiasi ilmiah dan finansil terhadap usaha penelitian dan percobaan klinik dalam bidang ilmu psikiatri akan makin meningkat. KEPUSTAKAAN

1. Hamilton M.J Neurol Neurodrug Psychiat 1960; 23 p 56—62. 2. Kenning et al . Canad Psychiat Ass J 1960; 5 p 60 — 64. 3. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1969; 2/II, 4. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1969; 3/II. 5. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1972; 4/V. 6. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1972; I/V. 7. Kusumanto Setyonegbro et al. Jiwa, 1972; 3/V. 8. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1972; 2/V. 9. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1975; 1/VIII. 10. Kusumanto Setyonegoro et al, Jiwa, 1975; 2/VIII. 11. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1975; 4/VIII. 12. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1977; 3/IX. 13. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1977; 3/X. 14. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1978; I/XI. 15. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1978; 2/XI. 16. Kusumanto Setyonegoro et al. Jiwa, 1981; 1 /XN. 17. Salan R, Gardjito. Jiwa. 1971; 2/N.

Percobaan pada Manusia dan Etika Kedokteran Prinsip-prinsip utama dalam riset biomedik yang menyangkut manusia tercantum dalam Deklarasi Helsinki-nya World Medical Association, yang kemudian direvisi oleh Sidang Kedokteran Dunia (World Medical Assembly) di Tokyo pada tahun 1975. Akan tetapi, penerapannya tidaklah sederhana. Perkembangan riset kedokteran, terutama ke negara-negara berkembang, menimbulkan kebutuhan suatu penelitian mengenai bagaimana cara menerapkan prinsip Helsinki dengan mempertimbangkan provisi hukum dan pengaturan administratif untuk meyakinkan bahwa hak azasi manusia dan kesejahteraan subyek penelitian cukup terlindungi. Penelitian semacam itu mula-mula dilakukan tahun 1976 oleh the Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS), diikuti oleh proyek gabungan WHO/CIOMS awal tahun 1978. Hasil-hasilnya dikukuhkan pada Konperensi Meja Bundar CIOMS ke XV di Manila (13—16 September 1981) dan pada pertemuan WHO Global Advisory Committee on Medical Research di Geneva pada tanggal 12—15 Oktober 1981. Di negara-negara berkembang terdapat masalah-masalah khusus. Dari kuestioner yang dikirimkan kepada 45 jawatan kesehatan nasional dan 91 fakultas kedokteran di negaranegara berkembang, didapatkan kesan adanya kerbedaan yang besar dalam pendekatan nasional terhadap peninjauan etika (ethical review) dalam riset yang menyangkut manusia. Meskipun sampai taraf tententu perbedaan itu mencerminkan perbedaan struktur konstitusi dan administrasi pada masingmasing negara, namun kebanyakan peninjauan diserahkan pada masing-masing peneliti dan bukan pada "komite yang independen yang ditunjuk secara khusus" seperti dianjurkan oleh deklarasi Helsinki. Penelitian tadi mengungkapkan 4 pertanyaan utama yang sejauh ini belum terjawab sepenuhnya, yaitu.: ■ konsep dan validitas informed consent ■ masalah etika dalam riset pada masyarakat (community based) ■ prosedur pengawasan etika untuk riset biomedik yang menyangkut subyek manusia ■ perlindungan subyek yang diteliti. Terhadap empat pertanyaan ini, dianjurkan respons demikian. Informed Consent Deldarasi Helsinki menegaskan kembali doktrin informed consent (izin pasien setelah menerima informasi secukupnya).

Disamping itu dianjurkan bahwa dalam hal inkompetensi hukum, informed consent harus diperoleh dari wali yang berwenang sesuai denan perundang-undangan nasional. Bila ketidakmampuan fisik atau mental tidak memungkinkan pemberian informed consent, atau bila subyek seorang anak kecil, izin diminta dari keluarga yang bertanggungjawab, sesuai dengan undang-undang nasional. Yang menjadi masalah ialah beberapa kelompok masyarakat belum terbiasa dengan konsep dan teknik kedokteran eksperimental. Individu-individu anggota masyarakat tsb mungkin belum memiliki kesadaran sepenuhnya akan implikasi keikutsertaannya dalam suatu riset, sehingga tak dapat memberi informed consent yang memadai. Maka bila ada kebutuhan untuk melakukan riset terhadap penyakit-penyakit yang menyebabkan banyak mortalitas, morbiditas, atau inkapasitas dalam masyarakat itu, dianjurkan agar keputusan dari individu untuk ikut atau tidak ikut diminta melalui perantaraan pemimpin masyarakat yang dipercaya. Harus dijelaskan bahwa keikutsertaan itu benar-benar sukarela dan bahwa setiap subyek bebas menarik diri dari percobaan setiap saat. Cara memperoleh informed consent dari anak-anak dan orang berpenyakit jiwa atau terbelakang juga menimbulkan masalah. Belum ada kesepakatan mengenai umur yang menurut hukum masih dianggap anak-anak, tetapi dianggap cukup mampu menentukan bagi dirinya sendiri untuk ikut serta dalam riset. Tapi orang yang telah mencapai usia wajib militer atau telah diperbolehkan ikut pemilu harus dianggap mampu memberi informed consent, Bagaimanapun juga sebaiknya diusahakan kerjasama sukarela dari si anak, dan lebih baik lagi kalau ada juga izin dari orang tua atau walinya. Riset pada Masyarakat Suatu riset mungkin dilakukan terhadap seluruh masyarakat, misalnya pengolahan air minum, riset tentang pelayanan kesehatan, pengujian insektisida, pengujian obat profilaktik atau vaksin baru dsb. Selain. itu, meskipun tidak secara khusus ditujukan untuk meningkatkan kesehatan, usaha-usaha lain seperti manipulasi lingkungan dapat secara tak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Dalam banyak hal tidaklah praktis untuk memperoleh informed consent dari semua individu yang terlibat. Maka peneliti baru boleh memulai risetnya setelah mengadakan penilaian secermat-cermatnya, setelah memperoleh nasihat teknik dari pihak-pihak yang kompeten, dan mendapat izin Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

39

dari badan wakil masyarakat yang independen yang ditugaskan melindungi kepentingan bersama. Prosedur Peninjauan Etika (ethical review) Sekitar 20 tahun terakhir ini dalam banyak negara cara utama untuk menjalankan peninjauan etika pada usulan riset biomedik ialah melalui komite peninjau etika atau majelis peninjau institutional, yang didirikan pada tingkat lokal, institusional atau regional. Keanggotaannya terdiri dari peneliti-peneliti yang independen dengan tambahan anggota awam. Badanbadan itu dikuasakan untuk meneliti semua usulan riset biomedik, baik terapetik maupun non-terapetik, yang bermanfaat bagi subyek pasien maupun yang tak ada manfaatnya bagi subyek sukarelawan yang sehat. Yang ditinjau termasuk juga usulan riset mengenai obat profilaktik atau vaksin baru. Peninjauan secara prospektif yang independen dan adil itu harus disesuaikan dengan masing-masing negara agar cocok dengan sistem eksekutif atau administrasi nasional,dengan memperhatikan tingkat sentralisasi atau desentralisasi riset. Tapi komite di daerah/perifer (pada tingkat lembaga atau regional) biasanya lebih banyak mengetahui dan memahami faktor-faktor lokal, maka lebih baik daripada badan di pusat untuk menilai aspek dari penelitian dan memonitor perkembangannya. Apapun prosedur yang diambil, peninjauan etika tadi harus didasarkan pada protokol yang cermat, yang mencantumkan pernyataan yang jelas mengenai tujuan penelitian, deskripsi yang saksama dari semua intervensi yang diusulkan, rencana statistik, dan kriteria untuk menentukan pemasukan atau penarikan diri subyek secara individual. Masalah yang berulang kali timbul ialah sejauh mana komite peninjau etika tadi harus mempertimbangkan aspek ilmiah dan etika dari suatu usulan. Tidaklah mungkin memberi suatu garis batas yang jelas antara peninjauan ilmiah dan peninjauan etika. Sebagai prinsip umum, komite seharusnya tidak mempersoalkan metoda ilmiah yang diusulkan, tapi meninjau disain ilmiah/statistik dari usulan yang diserahkan padanya. Adanya anggota awam dalam komite dapat berguna karena kadang-kadang ada aspek etika dari penelitian yang tidak segera disadari oleh klinikus. Anggota awam tadi boleh jadi seorang pengacara, kaum alim ulama, pemimpin masyarakat, atau anggota profesi kesehatan lainnya. Sebaiknya anggotakomite terdiri dari pria dan wanita. Karena tanggung jawab etik akhirnya harus dipikul oleh si peneliti, para mahasiswa kedokteran harus diberi pengertian dan kesadaran mengenai masalah ini selama masa pendidikan dan latihannya. Perlindungan terhadap Subyek dalam Riset Persyaratan untuk peninjauan harus ketat untuk usulanusulan riset yang melibatkan anak-anak, wanita hamil/menyusui, orang yang tak waras ingatan atau terbelakang, anggota anggota masyarakat yang tidak biasa dengan konsep klinik modern (masyarakat yang terbelakang), serta setiap riset invasif yang non-terapetik. Mengenai anak-anak, ada suatu aksioma, yaitu anak-anak tak boleh menjadi subyek riset yang dapat sama baiknya dijalankan pada orang dewasa. Namun jelaslah keikutsertaan mereka tidak dapat dielakkan dalam riset tentang penyakit anak 40

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

atau keadaan-keadaan yang mudah mengenai anak. Sejalan dengan itu, orang yang tak waras ingatannya atau terbelakang tidak boleh menjadi subyek riset yang sama baiknya dijalankan pada orang dewasa yang waras. Tapi jelaslah merekalah satu-satunya subyek untuk penelitian mengenai sebabsebab dan pengobatan gangguan kejiwaan. Wanita hamil dan menyusui tak boleh menjadi subyek riset non-terapetik, kecuali bila dimaksudkan untuk membikin jelas masalah-masalah kehamilan dan menyusui. Riset terapetik hanya boleh dilakukan bila bertujuan meningkatkan kesehatan ibu, meningkatkan viabilitas (kemampuan hidup) fetus, membantu perkembangan kesehatan bayi, atau membantu kemampuan ibu memberi makan bayinya. Dalam konperensi Manila ditunjukkan bahwa anggotaanggota dari masyarakat yang terbelakang mungkin percaya bahwa setiap riset yang dilakukan terhadap mereka pasti membawa manfaat bagi mereka. Harapan-harapan itu mungkin akhirnya tidak terkabul. Maka dalam peninjauan etik dalam usulan demikian harus dipertimbangkan benar-benar manfaat apa yang akan diperoleh masyarakat tsb. Ini untuk mencegah kekecewaan mereka sehingga menimbulkan sikap yang tak menguntungkan bagi penelitian. Mengenai masyarakat yang terbelakang, riset tak boleh dibatalkan hanya karena alasan keterbelakangan masyarakat tsb. Sebaliknya, tidaklah etis menggunakan masyarakat yang terbelakang itu untuk riset yang tidak akan membawa manfaat bagi mereka, yang dapat dilakukan pada subyek sehat dalam masyarakat lain. Dalam hal percobaan obat profilaktik dan vaksin baru terhadap manusia, sebelum dimulai harus ada penilaian ilmiah yang cermat mengenai keamanannya. Hal ini sering ditekankan dalam konperensi Manila. Juga ditekankan perlunya negara-negara mengembangkan kebijakan (policy) riset nasional, perundang-undangan dan pedoman pelaksanaan untuk tujuan itu. Bila riset disponsori dari luar, artinya dilakukan di suatu negara, tapi direncanakan, dibiayai, dan kadang-kadang dilaksanakan sebagian atau seluruhnya, oleh badan intemasional atau lembaga dari negara lain, ada dua syarat yang harus dipenuhi. Usulan riset harus dimintakan peninjauan etiknya oleh lembaga yang merencanakan sendiri, dan disamping itu, penguasa negara tempat riset dilakukan harus meneliti apakah riset itu memenuhi persyaratan etika negara itu sendiri. WHO Chronicle 1981; 35 : 212—215

Untuk surat menyurat, gunakan alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 — Jakarta

Declaration of Helsinki Recommendations guiding medical doctors in biomedical research involving human subjects Adopted by the Eighteenth World Medical Assembly, Helsinki, Finland, 1964, and revised by the Twenty-ninth World Medical Assembly; Tokyo, Japan, 1975 Introduction It is the mission of the medical doctor to safeguard the health of the people. His or her knowledge and conscience are dedicated to the fulfilment of this mission. The Declaration of Geneva of the World Medical Association binds the doctor with the words, "The health of my patient will be my first consideration", and the International Code of Medical Ethics declares that, "Any act or advice which could weaken physical or mental resistance of a human being may be used only in his interest." The purpose of biopredical research involving human subjects must be to improve diagnostic, therapeutic and prophylactic procedures and the understanding of the etiology and pathogenesis of disease. In current medical practice most diagnostic, therapeutic or prophylactic procedures involve hazards. This applies a fortiori to biomedical research. Medical progress is based on research which ultimately must rest in part on experimentation involving human subjects. In the field of biomedical research a fundamental distinction must be recognized between medical research in which the aim is essentially diagnostic or therapeutic for a patient, and medical research, the essential object of which is purely scientific and without direct diagnostic or therapeutic value to the person subjected to the research. Special caution must be exercised in the conduct of research which may affect the environment, and the welfare of animals used for research must be respected. Because it is essential that the results of laboratory experiments be applied to human beings to further scientific knowledge and to help suffering humanity, the World Medical Association has prepared the following recomendations as a guide to every doctor in biomedical research involving human subjects. They should be kept under review in the future. It must be stressed that the standards as drafted are only a guide to physicians all over the world. Doctors are not relieved from criminal, civil and ethical responsibilities under the laws of their own countries. I. Basic principles 1. Biomedical research involving human subjects must conform to generally accepted scientific principles and should be based on adequately performed laboratory and animal experimentation and on a thorough knowledge of the scientific literature. 2. The design and performance of eachexperimental procedure involving human subjects should be dearly formulated in an experimental protocol which should be transmitted to a specially appointed

independent committee for consideration, comment ' and guidance. 3. Biomedical research involving human subjects should be conducted only by scientifically qualified persons and under the supervision of a clinically competent medical person. The responsibility for the human subject must always rest with a medically qualified person and never rest on the subject of the research, even though the subject has given his or her consent. 4. Biomedical research involving human subjects cannot legitimately be carried out unless the importance of the objective is in proportion to the inherent risk to the subject. 5. Every biomedical research project involving human subjects should be preceded by careful assessment of predictable risks in comparison with foreseeable benefits to the subject or to others. Concern for the interest of the subject must always prevail over the interests of science and society. 6. The right of the research subject to safeguard his or her integrity must always be respected. Every precaution should be taken to respect the privacy of the subject and to minimize the impact of the study on the subject's physical and mental integrity and on the personality of the subject. 7. Doctors should abstain from engaging in research projects involving human subjects unless they are satisfied that the hazards involved are believed to be predictable. Doctors should cease any investigation if the hazards are found to outweigh the potential benefits. 8. In publication of the results of his or her research, the doctor is obliged to preserve the accuracy of the results. Reports on experimentation not in accordance with the principles laid down in this Declaration should not be accepted for publication. 9. In any research on human beings, each potential subject must be adequately informed of the aims, methods, anticipated benefits and potential hazards of the study and the discomfort it may entail. He or she should be informed that he or she is at liberty to abstain from participation in the study and that he or she is free to withdraw his or her consent to participation at any time. The doctor should then obtain the subject's freely-given informed consent, preferably in writing. 10. When obtaining informed consent for the research project the doctor should be particularly cautious if the subject is in a dependent relationship to him or her or may consent under duress. In that case the informed consent should be obtained by a doctor who is not engaged in the investigation and who is completely independent of this official relationship. 11. In the case of legal incompetence informed consent should be obtained from the legal guardian

in accordance with national legislation.Wherephysical or mental incapacity makes it impossible to obtain informed consent, or when the subject is a minor, permission from the responsible relative replaces that of the subject in accordance with national legislation. 12. The research protocol should always contain a statement of the ethical considerations involved and should indicate that the principles enunciated in the present Declaration are complied with. 11. Medical research combined with professional care (clinical research) I. In the treatment of the sick person, the doctor must be free to use a new diagnostic and therapeutic measure, if in his or her judgement it offers hope of saving life, reestablishing health or alleviating suffering. 2. The potential benefits, hazards and discomfort of a new method should be weighed against the advantages of the best current diagnostic and therapeutic methods. 3. In any medical study, every patient—including those of a control group, if any—should be assured of the best proven diagnostic and therapeutic method. 4. The refusal of the patient to participate in a study must never interfere with the doctor-patient relationship. 5. If the doctor considers it essential not to obtain informed consent, the specific reasons for this proposal should be stated in the experimental protocol for transmission to the independent committee (1, 2). 6. The doctor can combine medical research with professional care, the objective being the acquisition of new medical knowledge, only to the extent that medical research is justified by its potential diagnostic or therapeutic value for the patient. Ill. Non-therapeutic biomedical research involving human subjects (non-clinical biomedical research) 1.1n the purely scientific application of medical research carried out on a human being, it is the duty of the doctor to remain the protector of the life and health of that person on whom biomedical research is being carried out. 2. The subjects should be volunteers—either healthy persons or patients for whom the experimental design is not related to the patient's illness. 3. The investigator or the investigating tear discontinue the research if in his/her or their judgement it may, if continued, be harmful to the individual. 4. In research on man, the interest of science and society should never take precedence over considerations related to the well-being of the subject.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

41

Survei Epidemiologik dr. H. R. Widodo Talogo, MPH Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. PENDAHULUAN Menurut " International Epidemiological Association" (1) epidemiologi ialah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh kepada frekuensi dan penyebaran penyakit pada penduduk. Sedangkan survei menurut Abramson (2) dinyatakan sebagai suatu penelitian yang mengumpulkan informasi secara sistematik. Oleh karena itu survei epidemiologik jangkauannya mungkin satu penderita, beberapa penderita, letusan suatu jenis penyakit (= wabah), satu daerah tertentu beserta penduduknya yang diselidiki selama jangka waktu tertentu (3). Hal tersebut di atas dibahas lebih lanjut pada uraian berikut. 1.

SURVEI EPIDEMIOLOGIK SATU PENDERITA (KASUS)

Hal ini lazim dilakukan pada penderita penyakit yang sangat menular, misalnya penderita penyakit karantina atau penyakit yang tercakup dalam suatu sistem pengamatan (= "survellance system"). Contoh. Di rumah Sakit dirawat seorang anak yang menderita demam berdarah, maka oleh Dinas P3M diusut tempat tinggal anak tersebut. Kemudian diselidiki kemungkinan penularan demam berdarah di rumah anak tersebut. Bila ternyata vektor demam berdarah ditemukan sangat banyak di rumah anak itu, dapat dilakukan penyemprotan serta pembasmian tempat perindukan vektor tersebut. Penduduk di sekitarnya diamati terhadap timbulnya penderita baru. 2.

SURVEI EPIDEMIOLOGIK BEBERAPA PENDERITA

Hal ini sering dilakukan bila beberapa penderita penyakit yang tidak lazim timbul di suatu daerah. Contoh. Di sebuah rumah sakit di Jakarta timbul beberapa penderita penyakit malaria, sedangkan orang tersebut tidak pernah keluar kota Jakarta, sesudah diusut lebih lanjut, ternyata orang itu memperoleh transfusi darah yang mengandung parasit malaria. 3.

SURVEI LETUSAN SUATU JENIS PENYAKIT (WABAH)

Definisi wabah atau epidemi memang beraneka ragam dan tidak mudah diberikan. Mungkin epidemi dapat dinyatakan sebagai "keadaan darurat kesehatan masyarakat " , dan survei epidemiologik yang dilakukan pada wabah itu ialah sebagai berikut : (a) Konfirmasi diagnosa penyakit itu (klinik dan lab.). (b) Menetapkan prevalensi dan insidensi penyakit yang berkelebihan (dibandingkan dengan keadaan normal atau sebelumnya). 42

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

(c) Penderita dipelajari atas dasar : who, where, when (siapa, dimana dan kapan). Variabel yang ditanyakan : Umur, jenis kelamin, pekerjaan, golongan etnik (ras). (d) Penerangan tentang penyakit diberikan kepada masyarakat dan pihak yang berkepentingan. (e) Kartu survei epidemiologik yang standard dipakai dalam survei ini yang bertujuan menetapkan sumber sebab timbulnya wabah dan mencari orang lain yang sudah terjangkit penyakit tersebut (kontak). (f) Hasil analisa survei itu akan menghasilkan tindakan pencegahan di masa depan. 4.

SURVEI PENDUDUK DALAM DAERAH TERTENTU

Baik pada survei dengan dan tanpa kelola, penyelidik mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu kepada penduduk atau masyarakat. Pertanyaan itu mungkin dapat berupa (i) Wawancara, (ii) Kuesioner, (iii) Pemeriksaan medik atau laboratorium, dan (iv) Peninjauan kartu sakit atau kartu kesehatan (=" records " ). Contoh : Wawancara "Bagaimana pendapat bapak tentang pendidikan seksual untuk anak remaja?" ( CATAT JAWABAN ITU KATA DEMI KATA). Kuesioner "Apakah bapak memiliki barang kesejahteraan sebagai berikut?" – Radio – Stereo-system – Televisi – AC.

– Sepeda – Sepeda motor/Scooter – Mobil

– Mesin Jahit – Rice-cooker – Lemari es

Pemeriksaan Laboratorium dan klinik Kolesterol darah :................................................................... Tekanan darah : . . . / . . . . mmHg (sistolik/diastolik). Kartu Kesehatan Jenis Kelamin : .......................................Berat Badan : ................ Tinggi Badan :......................................... Sebelum survei dilaksanakan, perlu diperhatikan langkah berikut: (1) Tujuan survei (2) Kapan survei dilaksanakan (3) Cara survei yang dipakai (4) Susunan pertanyaan untuk survei (5) Penduduk dan sampel yang diperiksa (6) Kelola (=" kontrol")

Contoh : Survei bertujuan menetapkan jumlah penderita Diabetes mellitus pada orang dewasa berumur 30 tahun ke atas dalam hubungannyan dengan berat badan lahir. Survei dilaksanakan pada musim panas, bulan Ap ril—Juli. Cara survei : pemeriksaan laboratorium dan wawancara. Jumlah pertanyaan yang diajukan 20 buah. Penduduk Jakarta yang diperiksa dan sampel ialah sebesar 3000 orang. Tidak ada kelola pada survei ini. Kemudian dikenal berbagai jenis survei penduduk : (1) Survei tanpa kelola (a) survei deskriptif sederhana (b) survei prevalensi (cross-sectional survey). (c) survei longitudinal (incidence survey). (2) Survei dengan kelola (a) survei deskriptif kompleks = Studi Etiologi (b) studi kohort (c) studi kasus-kelola • Survei deskriptif sederhana ialah survei penderita penyakit sejenis yang dibandingkan dengan ciri-ciri asal penduduk. Contoh : Survei keputihan pada peserta KB berbagai golongan masyarakat dan cara KB yang dipakai. Survei diare pada anak Balita berbagai golongan sosial-ekonomi masyarakat. • Survei prevalensi ialah survei penduduk yang singkat, misalnya 1 — 3 minggu. Contoh : Survei penduduk dengan keluhan TBC paru dan sputum BTA positif. Survei pemakaian antibiotika pada penduduk berdasarkan resep dokter. • Survei longitudinal ialah survei penduduk dalam waktu yang lama : 5 — 15 tahun dan sebenarnya terdiri atas survei prevalensi yang diulang-ulang; Contoh : Survei kematian bayi dan sebab kematian. Survei prevalensi dilakukan berulang yaitu tiap awal tahun dan pertengahan tahun. Ketiga survei tersebut di atas tidak sama tujuannya. Survei deskriptif sederhana bertujuan, untuk mempersiapkan studi deskriptif yang lebih kompleks atau studi etiologi. Studi prevalensi bertujuan menetapkan beban penduduk akibat penyakit serta distribusi penyakit; mempelajari sebab penyakit, mencari penderita yang belum didiagnosis, membandingkan beberapa penyakit bersama-sama. Survei longitudinal bertujuan menetapkan insidensi penyakit, dan menetapkan perkembangan alamiah penyakit. • Survei deskriptif kompleks ialah survei penduduk dengan instrumen yang kompleks. Oleh karena berbagai golongan masyarakat tercakup di dalamnya, maka salah satu golongan dapat dijadikan kelola. Contoh : Survei deskriptif kompleks tentang filariasis di P. Buru. • Studi kohort ialah survei penduduk yang terpapar dan yang tidak terpapar. Contoh : Studi kohort golongan masyarakat yang makan tempe dan oncom dengan golongan masyarakat yang tidak makan tempe dan oncom terhadap karsinoma hati dan atau sirosis hepatis. • Studi kasus-kelola ialah survei penduduk yang menderita penyakit tertentu dan yang tidak menderita penyakit itu. Contoh : Studi .kasus-kelola orang yang sakit karsinoma hepatis dan orang tanpa karsinoma hepatis terhadap kontak dengan

virus hepatitis. Pada survei penduduk ada beberapa masalah pokok yaitu (i) masalah medik, (ii) masalah etik, (iii) masalah ekonomi atau biaya. MASALAH MEDIK (A) Kapan seseorang menderita suatu penyakit. Empat pendekatan dapat dicoba: (1) Pendekatan statistik, bila data itu numerik atau interval maka data di atas nilai rata-rata + 2 deviasi standard dianggap abnormal. (2) Pendekatan klinik, bila pada seseorang tampak gejala tertentu.

(3) Pendekatan prognostik, bila pada seseorang ditemukan gejala yang memberikan prognosis buruk, walaupun orang itu sekarang tampak sehat. (4) Pendekatan operasional, bila seseorang masih dapat diobati dengan hasil baik. (B) Kualitas peneriksaan pada survei sangat penting dan dikenal pertama-tama kualitas cara pemeriksaan ( = validity= sensitivity dan specificity). Kemudian dikenal variabilitas pada subyek dan dokter. Pada dokter selalu ada kemungkinan kesalahan secara "random" dan ada kesalahan antar dokter. Masalah pokok ialah kesalahan antar dokter seperti pada contoh pemeriksaan tekanan darah ini : dokter A dokter B penderita 1 penderita 2

160 / 90 170 / 100

140 / 80 140 / 90

MASALAH ETIK Pada tiap-tiap studi bila penduduk mengalami sesuatu tindakan yang dapat merugikannya, maka timbul masalah etik. Dalam hal ini perlu diperhatikan : (1) subyek harus tahu, bila ikut suatu studi mengenai akibat studi tersebut dan memberikan persetujuannya; (2) Studi harus ditinjau komisi etik dan ditetapkan perizinannya; (3) Studi yang validity rendah dibatalkan (tidak berguna). Contoh : Pada studi perilaku seksual dijamin kerahasiaan subyek. Pada survei filariasis, ditinjau aktbat sampingan tes provokasi. MASALAH EKONOMI Besar sampel menjadi masalah survei, apalagi bila prevalensi penyakit sangat rendah. Sering penyelidik kecewa, karena sesudah melakukan suatu survei epidemiologik. hanya ditemukan 2 — 3 penderita. Dibedakan 2 cara untuk menetapkan sampel : (1) berdasarkan data ordinal pada penduduk atau prevalensi. (2) berdasarkan data numerik/interval pada penduduk atau nilai rata-rata. Pada survei penduduk masalah lain pula ialah cara pengambilan sampel. Cara yang lazim dipakai ialah : (1) Random sampling atau simple random sampling, (2) Stratified random sampling, (3) Systematic sampling, (4) Cluster sampling, (5) Multistage sampling. Hal lain yang perlu diperhatikan pula pada survei penduduk ialah variabel (= ciri yang diperiksa atau diukur). Biasanya dibeCermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

43

dakan variabel universil yang selalu diikutsertakan pada semua survei yaitu : Jenis kelamin Etnik Umur Agama Jumlah kelahiran Status kawin Sosial ekonomi/pekerjaan/pendidikan Index kepadatan keluarga Tempat tinggal/kota/pedesaan Penduduk asli/pendatang

Kemudian dapat ditambah variable yang diperlukan secara khusus untuk tujuan survei tersebut Misalnya pada survei diabetes mellitus : kadar glukosa darah, kadar glukosa urin, jumlah kalori yang dimakan sehari dan seterusnya. Kadangkadang bariabel itu kompleks dan perlu diuraikan menjadi beberapa komponen, misalnya gambaran EKG menjadi pola Q dan QS, pola S—T dan seterusnya.Tiap-tiap variabel kemudian diberi definisi dan skala pengukurannya. Contoh : Kepuasan seksual. Jawaban ibu terhadap pertanyaan khusus di klinik K.B. Skala :

1. 2. 3. 4. 5. 6.

sangat puas puas agak puas kurang puas tidak puas sama sekali tidak puas

Pada ad. 1 dapat dipakai rumus SE = p = prevalence N = besar sampel Misalnya penyakit X prevalence rate diduga 30% dan pada survei diinginkan SE sebesar 2.5% saja, maka menurut rumus :

Pada ad. 2. dapat dipakai rumus SE

m

=,

s = deviasi standard N = besar sampel Misalnya deviasi standard hemoglobin diduga 3 gram% dan pada survei diinginkan SE sebesar 0.1%, maka menurut rumus :

KESIMPULAN Dalam uraian tersebut di atas telah dibahas berbagai bentuk survei epidemiologik serta kegunaannya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan ialah cara interpretasi yang perlu diberikan kepada data yang dihasilkan. Sebab biasanya hal itu tidak mudah atau seperti kata Voltaire dalam Dictionnaire Philosophique : "Common sense is not so common". Sering penyelidik tertarik oleh pendapat sendiri, sehingga mengabaikan keanehan pada data yang diperolehnya atau lebih tepat penyelidik terjerumus dalam sindroma "The Self-fulfilling Prophecy". Oleh karena itu sikap obyektif terhadap data hasil penyelidikan sangat penting dan perlu diingatkan kata-kata Einstein. "Dalam dunia modern dewasa ini menemukan sesuatu yang baru sama sekali tidaklah mudah". KEPUSTAKAAN 1. Lowe CR, Kostrzenski (ed). Epidemiology. A guide to teaching methods. Geneva : The International Epidemiological Association & the World Health Organization, 1971. 2. Abramson JH. Survey methods in Community Medicine. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1979. 3. Zhdanov V. Epidemiology. Moscow : Foreign Languges Publishing House. 4. Aryatmo Tjokronegoro, Purwanto SL. (ed). Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran. Jakarta : Komisi pengembangan Riset dan Perpustakaan, Fak Kedokt Univ Indonesia, 1979. 5. Barker DJP, Rose G. Epidemiology in Medical Practice. Edinburgh : Chruchill Livingstone, 1979. 6. Hanlon JJ. Public Health. Administration and Practice. Sixth ed., Saint Louis : C.V. Mosby company, 1974.

Kamillosan ® baik untuk ibu, aman bagi bayi Mencegah fisure dan rhagaden dari niple, sehingga ibu-ibu terhindar dari Mastitis pada masa Iaktasi. Komposisi : Setiap 100 g salep mengandung : Camomile dry extract Essential oil

Chamazulene Bisabolol Indikasi

Kemasan :

44

:

400 20 0,4 7

mg mg mg mg

Keadaan iritasi kulit seperti pada : luka-luka parut, Iuka lecet, luka sayat, luka bakar, terkena sinar matahari yang terlalu terik, iradiasi sinar X, ultra violet, eksema, dermatitis, pruritus (terutama pada kulit yang kering), abses, bisul, rhinitis, herpes labialis, perawatan dan perlindungan kulit bayi, perawatan puting buah dada semasa kehamilan dan Iaktasi. Tube 10 g , botol 10 cc dan 30 cc

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

PHARMACO-CHEMISTRY: a New Dicipline Prof. H. Timmerman Vrije Universiteit, Dept. Pharmacochemistry, AMSTERDAM.

Ever since there are people in the world there have been diseases and medicaments. The first medicaments were primarely used for combat of pain, later more precise products come along. The eldest medicinal products are of natural origin, mainly from plants (e. g. rhubarb); isolation (originally of mixtures) was done by pharmacists. In the nineteenth century the synthesis of analogues of isolated natural products started to come in use. Gradually parts of the task of the pharmacist (synthesis) was taken over by chemists, making a cooperation between the disciplines.necessary. At that time pharmaceutical industries started to become (partly) research based. At the same time (± 1900) the idea that biological responses due to chemical agents are caused by an interaction between these agents and an active site (receptor) became more and more accepted (Ehrlich). It is very important that parallel to this new development, pharmacology matured into a science. In our century the development of new drugs reached its peak after the second world war, with the introduction of many drugs which are still in use now. In this essay I would like to describe briefly the "classical' way of doing pharmaceutical research as it was done in its golden age (1945—1970) and to depict modern research programmes, in which biological and chemical disciplines are strongly integrated. Pharmaceutical research in the recent past. Already in the 19th century some scientists (e.g. Brown and Fraser) advocated the relation between chemical structure and biological activity. They made little progress for two reasons. The chemical structures at that time were ill defined (mainly two dimensional structures), as were the biological effects (reached by different mechanisms, interactions with different active sites). Activity was attributed to certain parts of the molecules (therapogenic groups), but in 1937 Clark wrote still : "Relations between chemical constitution of drugs and pharmacological actions have been examined so extensively that we have a fairly clear idea of the extend of our ignorance". The Dutch pharmacologist De Jong however denied such a relation absolutely as he could not understand the same grow activity caused by either Mg 2+ or d-tubocurarine; his misbelief was of course caused by the misunderstanding that the muscle relaxation seen after d-tubocurarine

or Mg 2+ should be due to an interaction with one and the same active site, which of course is not true.

2 Cl

Mg

++

tubocurarine It is conceivable that in the time that the state of development had reached this level only, new medicaments could be found solely by synthesizing large numbers of analogous molecules (generic series), which had to be screened afterwards by the pharmacologists. When leads (a certain activity in a certain class of compounds) were detected, an optimal activity was aimed at by further synthesis. Another way was to investigate large numbers of bacterial brothes in search for new antibiotics. In the already mentioned golden age period new, very active agents were developed in this way. A group of specialized chemists (mainly organic chemists) from that time on called " medicinal chemists", produced large numbers of compounds. The pharmacologists screened the compounds and established the desired possibly beneficial properties (or other !). In a rather short period of time it proved to be possible to find medicaments for most, if not all, of the diseases of which a fair understanding of the underlying cause was known. The amount of luck in finding new molecules remained high however; a lot of products came in use because of biological properties completely different from those actually expected (e. g. diphenylhydantoin, the phenotiazines, several sedatives, the antidiabetic sulphonamides). For several reasons (e. g. the severe unexpected problems with thalidomide) gradually more and more research became necessary before a product could be given to men : toxicology (later on including e. g. teratology, research after carcinogenic or mutagenic effects), metabolism of the compounds and its pharmacokinetic properties had to be established etc. This happened in the late sixties. Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

45

Modern pharmaceutical research The increased requirements (= costs for the developer) caused a sharp drop in the introduction of new molecules in medical practice. Other reasons for this drop are the higher thresholds used by the authorities (safety, is there a need?) and the, related to the above, saturation of the market (for most diseases a product was available). In the seventies we can indicate three developments which are meant to make successful research in this field possible. • More fundamental research into the cause of diseases and physiological mechanism and the mechanism of action of pharmaca. • Advanced studies into the Structure Activity Relationships, done in a quantitative way with the aid of modern techniques (computer), the development of QSAR. • The integration of the several disciplines involved : chemical (analytical, synthetic, physical and theoretical) and biological (pharmacology including toxicology, immunology, microbiology etc.). For the biological disciplines the molecular approach is used. For the new field the term pharmacochemistry comes in use.

— The new benzodiazepines have not been synthesized for obtaining a molecule with higher activity but on basis of studies into the relationship between the structure and the pharmacokinetic profile e. g. in order to get drugs with a short biological half life. — Understanding of the S. A. R. of the carcinogenic properties of the naphthalene derivatives made it possible to use a safe way for the synthesis of 2—aminonaphthalene—6, 8—disulfonic acid (di Na—salt) used in the dye industry. This is depictured in the next scheme. (N.B. Pharmacochemistry does concern the investigation in general of molecules with a certain biological property, not restricting itself to pharmaceuticals !)

In the next paragraphs I will expatiate on the three developments in a reversed order. Modern pharmacochemistry The complexity of pharmaceutical research makes an integrated approach a must. In the following scheme I have indicated how this should be arranged for.

A : dangerous route B : safe route — For topical use of drug (e. g. skin, lungs) molecules can be designed and have been synthesized that are active locally, but become inactivated e. g. by hydrolysis as soon as they reach the general circulation; steroids for use in dermatology or for treatment of asthma by aerosols are successful due to their biological instability. — Understanding of the metabolic pathway can make it meaningful to prepare compounds that cannot follow that pathway if the metabolite is inactive or toxic; in case the metabolite is active the metabolite might be the wanted molecule. The wellknown anthelmintic levamisole is an example of a product being originally an active metabolite only.

It should be clear that in such a set up only the selection of a new molecule can be reached, but it does not involve the more or less routine investigations needed for the development of a marketable product. The important difference with the old fashioned way is the integration between the disciplines as well as the possibility offered to start a project on basis of for instance toxicological findings. The scientists working in the field should have a training which allows for working in integrated research teams. The pharmacologist should be able to speak with and listen to the synthetic chemist a. s. o. It is beyond the scope of this essay to mention many examples of recent successes on the basis of an integrated research program. I just give a few. 46

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

New QSAR techniques As already mentioned one has tried to find Structure Activity Relationships (SAR) since long; the main reasons not to find them but in qualitative way have also been explained. Conditions to find SAR are : a) the biological parameter should be the true reflection of the pharmacon—receptor interaction; b) the compounds investigated should therefore belong to a pharmacologically congeneric series. It should be not too difficult to obey both conditions, especially when for the biological experiments isolated systems (e. q. isolated organs, even better cells or cultures of microorganisms) are used. Experiments have never been very productive however, which has, in my opinion, been caused by the fact

that interactions between pharmacon—receptor are ruled by several, molecular properties of the pharmacon : one can differentiate between ionic interactions, Vander Waals forces, hydrophobic interaction hydrogen bonds and electron-transfer complexes. Keeping this in mind it is obvious that the relation between structure and activity but for some exemptions, always is determined by several parameters; the human mind however is limited in its possibilities to detect on its own relationships between more than 2 — 3 properties. When the computer was introduced in the modern laboratories new possibilities were offered. In the late sixties it was Hansch who reached successes with so—called multiple regression analysis with the aid of a computer. In its simpliest form the end result of such an analysis as a statistical relation as log BR =aX+bY+cZ ................. +d in which BR is a biological response in for instance the form of a minimal active concentration. a, b, c, ..................and d are constants and X, Y, Z are parameters for the individual members of a series. Parameters for the description of a series of molecules might be molecular properties such as lipophilicity or constants for substituents such as the Hammet constant. Generally spoken we can use parameters for structural (size, orientation), for electronic, or for lipophilic properties of the molecule or the subtituent. The quality of the relation is expressed by the so—called regression coefficient which denotes the percentage of variance explained by the regression equation; the missing part (from 100) giving a good indication of the inaccuracy caused by the experiment. — The multiple regression analysis technique can be used therefore to find the optimal activity in a series. But as the usefulness of a compound is not determined by the wanted activity per se, but also by e. g. toxic potentials, more advanced approaches, using not one biological property, but e. g. the difference between two properties, are need and used therefore. Next to the multiple regression analysis other techniques become important. These are e. g. pattern recognition, cluster analysis, receptor mapping and computer graphics (making the structure of a compound —from calculations— visible on a screen and allowing to view the influence of subtituents immediately). In industrial laboratories —in universities the cooperation between ' different institutes is not always easily achieved— the use of these modern techniques are more or less common nowadays.

Fundamental research in pathophysiology. Even for laboratories which have established integrated research teams with access to the sophisticated techniques it is difficult to find better (not "more active" only !) molecules, when starting from existing possibilities. It does not make much sense to try to produce better anti—ulcer medicaments on the basis of atropine-like properties or a new

ampicillin-like product with slightly more than ampicillin with a little lower dosage : For new medicaments we should obtain more information on causes of diseases. (It is not surprising that for diseases we know the cause very precisely, the infections, we have almost perfect agents). Another possibility might be a better understanding of phusiological systems. One can say that as soon as more of the cause of a certain disease becomes know, new therapeutic agents will be developed. An example is the use of 1—dopa for supplying dopamine to parkinson patients soon after the role of dopamine as neurotransmitter became understood. Another example of making use of new information is to be found in β —lactamase inhibitors. The penicillin resistent infections due to bacteria originally sensitive to the agents can be treated successfully by the use of a penicillin combined with an enzyme inhibitor. The loss of sensitivity has —most often— been caused by the development of strain containing a β —lactamase, which opens the β —lactam ring of the penicillin

molecule, inactivating it as a bactericidal compound. Penicillin—like molecules of a suitable structure inactivate the enzyme by a chemical reaction after the enzyme has been reacting with the enzyme e. g. due to alkylation (see scheme). Product C inactivates the enzyme by means of a chemical reaction.

This type of products, is known as "suicidal enzyme inhibitors" of which principle more and more use is made. The recent combination of amoxycillin and the lactamase inhibitor clavulonic acid seems to be a very active bactericidal principle. Examples of new products following better understanding of physiological processes are the so—called Histamine—2 (H—2) blockers (after the existence of a second type of histamine receptor became known), the selective 13—blockers (after the differentiation of this class of receptors was established) and the antihypertensive angiotensine covertingenzyme inhibitors (after more become known about the role of the renin—angiotensin system for the control of blood pressure). Sometimes the developments take a reverse way. Not long ago a so—called benzodiazepine receptor has been esta-, Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

47

blished, being a receptor for which no natural agonist was (is) known. Very recently some natural occuring compounds, e. g. β —carboline derivatives, proved to have a high affinity for these receptors. It is conceivable that on basis of these findings principally new medicaments are to be obtained. Another examples, a bit less recent, is that on the opioid receptors, found many years after the introduction of the morphines, for which neuropeptides are established as being natural substrate now. Other approaches in pharmaceutical research Next to the above mentioned approaches there is another way that might lead to really new drugs. In many societies or cultures there is well spread use of products of traditional medicine; sometimes these products are used against affections for which no rational therapy is available. Moreover examples are available of traditional products that proved to contain very useful compounds; the best known one is formed by the heart glycosides from digitalis. As tradition seldom comes into being without sense, it is almost necessary to start a rational program for the investigations of such traditional products. When setting up such a program however one should never do so in carrying out the investigations in not the most rational way, thinking this not being necessary for this type of mixtures. No, these products should be handled with techniques as advanced as possible. One has to isolate the active principle, to establish the activity on a molecular level after having elucidated the chemical structure; the results of such programs, if activity is found and the active principle has been isolated can be used as lead for a project to be carried out in a way as described above. The richness of the traditional products as source for new pharmaceutical products might be underestimated.

48

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Teaching in pharmacochemistry Most of the scientists working in pharmaceutical research institutes obtained their training either in a chemical or in a biological oriented discipline. Indeed, despite of its name, the university is not known for having established a good deal of integration in the teaching programme in the chemicobiological field. For the future such integrated programmes have to be established, just because the society is asking for it. The Vrije Universiteit of Amsterdam has already a department for the training of pharmacochemists. In the curriculum which leads to the degree "doctorandus " in pharmacochemistry courses are given in synthetic and physical chemistry and structure elucidation, (molecular) pharmacology and toxicology, pharmacokinetics and metabolism of pharmaca, S. A. R. techniques. The students entering the courses, which last 2—2—5 years and include ± 15 months laboratory training must have obtained the "candidaats" degree in chemistry or pharmacy (2—5—3 years). It is my personal opinion that this type of an integrated curriculum should be stimulated. Conclusion Pharmacochemistry is the new branch of science aimed at getting a better understanding of mechanism of action of pharmaca (not only pharmaceutical products) and to obtain better products (by which in no way more active products only are meant). This new discipline is characterized by an integrated approach from the site of biology and chemistry. Training programmes in this sense have been set up or should have been set up. Better products might be obtained from a more precise understanding of (patho) physiological processes and making use of the possibilities offered by modern techniques for studying the relationships between structure and activity. Next to this, tradional products should be used as a source for finding new principles.

AIHA: Aspek Serologi dan Terapi dr. Putrasatia Irawan Lembaga Pusat Transfusi Darah— Palang Merah Indonesia, Jakarta

Pada tahun 1946, Boorman, Dodd dan Loutit, jugs Loutit & Mollison melaporkan bahwa eritrosit para penderita acquired hemolytic anemia dapat bereaksi dengan antiglobulin serum. Kemudian Dacie menemukan bahwa eritrosit para penderita AIHA (Auto—Immune—Hemolytic—Anemia) reaksinya tidak sama kuat dengan antiglobulin serum. Bila ditambah sedikit gamma globulin ke dalam antiglobulin serum, maka dapat menekan reaksi terhadap eritrosit dari AIHA type hangat (Warm AIHA), tetapi tidak mempengaruhi reaksi terhadap eritrosit dari AIHA type dingin (cold agglutinin syndrome). Oleh karena itu dapat diketahui, auto-antibody yang melekat (sensitized) pada sel "AIHA type dingin" bukan gamma globulin, kemudian ditemukan bahwa sebetulnya hanya komplemen yang melekat pada sel AIHA type dingin tsb. Komplemen yang paling sering ditemukan ialah C3d, satu bagian dari C3, maka bila Direct Antiglobulin Test (DAT) positif dengan polyspecific antiglobulin serum harus diteruskan reaksinya dengan anti-IgG dan anti-C3 (yang mengandung C3d) untuk mendapatkan kesan pertama apakah itu zat anti dari AIHA type yang hangat atau yang dingin. Diagnosa untuk AIHA selain dari serologi, juga didasarkan : 1. Harus dicocokkan dengan keadaan klinik, karena Direct Antiglobulin Test yang positif belum tentu pasti hemolytic anemia. 2. Pemeriksaan DAT dimulai dengan poly—specific antiglobulin serum dan diteruskan dengan mono-specific antiIgG dan anti-C3 . Sebanyak 50% auto antibody type hangat positif dengan anti-IgG dan anti-C3, sedangkan 30% hanya positif dengan anti-IgG dan 20% hanya positif dengan anti-C3. Sementara itu antibody type dingin hanya positif dengan anti-C3. Paroxysmal cold haemoglobulinuria yang disebabkan zat anti-IgG yang melekat dengan komplemen, hanya positif dengan anti-C3, negatif dengan anti-IgG. 3. Titer agglutinasi dari type yang dingin bisa sangat tinggi, pada 4° C (1000) bahkan bisa bereaksi pada 30° C, dapat digolongkan AIHA type dingin atau cold agglutinin syndrome. 4. Melalui screening zat anti dalam serum pasien pada suhu 20° C dan 37° C terhadap eritrosit normal dan eritrosit yang telah dikupas oleh enzyme kemudian dilihat reaksi/ lysis, agglutinasi atau non reaktif, dapat membedakan auto antibody type hangat atau type dingin.

AIHA dapat dibagi menjadi 2 kelompok : A. AIHA type hangat (warm AIHA) 1. Primer (idiopatik) 2. Sekunder (Lymphoma, SLE, infections, carcinoma, dll) B. AIHA type dingin (cold agglutinin syndrome) 1. Primer (idiopatik) 2. Sekunder (syphilis) Dalam pemeriksaan serologi untuk mendapatkan diagnosa yang tidak keliru, beberapa pertanyaan dibawah ini harus jelas terjawab. I. Apakah sel darah merah pasien telah dilekat oleh protein? Hal ini dapat dijawab dengan dilakukannya DAT dengan polyspecific atau broad-spectrum antiglobulin. Auto-antibody juga seperti allo-antibody, sama-sama termasuk golongan Gamma-globullin. Coombs serum tsb dibuat dari kelinci yang telah disuntik human gamma-globulin. Sifat dari anti-human-gamma globulin ini dapat dikelompokkan poly-specific yang Broad spectrum dan mono-specific, misalnya anti-IgG, anti-IgM, anti-IgA dan anti-C3. IgM antibody dapat langsung agglutinasi sel dalam saline, malah ada juga yang lysis. IgG antibody tidak -bisa langsung agglutinasi sel dalam saline tetapi sempat melekat sel atau bisa juga langsung agglutinasi dengan sel yang telah dikupas dengan enzyme (enzyme treated cell). Sel yang telah dilekat, bila ditambah anti-globulin serum, baru terjadi agglutinasi. Anti-IgG (anti-gamma-globulin serum) reaksi dengan heavy chain (bagian FC fragment)-nya IgG molekulgamma globulin yang melekat pada sel, dengan demikian terjadilah agglutinasi. Polypeptide chains adalah unit struktur IgG dari immunoglobulin. Struktur yang terdiri dari 2 heavy chains dan 2 light chains bentuknya seperti letter T waktu bebas (Gambar I) dan bisa berubah jadi letter Y waktu mengikat dengan antigen dan pada waktu itu terbukalah tempat untuk mengaktifkan komplemen (Gambar 2). Bila IgG melekul ini dikupas dengan enzyme papain, dapat dipecah jadi 2 potong Fab fragment yang terdiri dari 1 light chain dan 1/2 H chain dan 1 potong Fc fragment yang terdiri dari 2 buah "1/2H chain" (Gambar 3). Ujungnya Fab yang terdiri dari 1/4H chain dan 1/2 light chain, mempunyai sifat specificity antibody untuk mengikat antigen, dinamakan Variable region, sisanya disebut constant region yang menentukan macam-macam immunoglobulin IgG, IgA, IgE dan Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

49

subclassnya IgG1, IgG2, IgG3, 1gG4, dan IgA1 serta IgA2. Fc fragment dari sebagian constant region itu mempunyai tempat respon untuk komplemen dan tempat hubungan dengan macrophage dalam limpa (Gambar I). Di situlah komplemen mengikat antibody dan sel yang telah dilekat oleh zat anti akan dirusak oleh macrophage dalam li mpa di tempat hubungannya tersebut. Zat anti type hangat biasanya dari IgG1 dan IgG3. Semua IgG3 me-lysis sel. Bila hasil DAT tsb positif, berarti mungkin menderita AIHA. Tetapi bukan setiap DAT yang positif dikarenakan AIHA, bisa juga morbus haemolyticus neonatorum (HDN), reaksi transfusi yang lambat atau hemolytic anemia yang disebabkan obat-obatan (drugs induced immune hemolytic anemia). Sebaliknya biarpun DAT negatif bila syndrome dari klinik jelas mendukung AIHA, tetap tidak lepas dari AIHA. II. Protein jenis apa yang melekat pada sel darah merah ? Setelah DAT positif dengan poly-specific antiglobulin serum, anti-IgG dan anti-C3 dapat membedakan protein tsb, termasuk gamma globulin atau non gamma globulin (komplemen). Dalam kasus-kasus tertentu bila perlu juga dipakai anti-IgA dan anti-IgM.

IgG FOLLOWING BINDING TO ANTIGEN

III. Apakah ada zat anti yang bebas (free antibody) dalam serum penderita ? Bila ada, tergolong agglutinine "complete" atau "incomplete" dan apakah sifatnya hemolytic ? Pada suhu berapa zat anti tsb beraksi paling baik ? Dan apa pula specificitynya ? Pertanyaan ini akan dapat jawabannya dengan teknis yang biasa dipakai oleh Bank Darah. Serum penderita yang asli dan yang telah diasamkan dengan 0,2 N HC1 , sehingga pH nya diantara 6,5 — 6,8 dan serum yang diasamkan itu lalu ditambah komplemen yang diasamkan pula. Ketiga macam serum penderita tsb ditest dengan sel panel yang normal dan sel panel yang telah dikupas dengan enzyme masing-masing dalam suhu 20° C dan 37° C. Dari hasil lysis, agglutinasi atau tiada reaksi, akan dapat disimpulkan zat anti type hangat atau type dingin (Lihat Tabel 1 & 2). Bila antibody type hangat yang ditemukan, specificity test harus dilakukan dari eluate dan serum. Biasanya karena sel darah merah telah dilekat oleh auto-antibody dalam serum: TABEL 1.

HASIL SCREENING SERUM PENDERITA ZAT ANTI DARI TYPE HANGAT YANG TYPIKAL

S

AS

20 °C sel normal lysis agglutinasi

0 0

0 0

0 0

20° C sel yang dikupas dengan enzyme lysis agglutinasi

0 1+

0 1+

0 1+

37 ° C sel normal lysis agglutinasi ind irect A.T.

0 0 2+

0 0 2+

0 0 2+

1/2 +

1+ 3+

2+ 3+

37 °C sel yang dikupas dengan enzyme lysis agglutinasi Complement activation site

50

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

3+

AS+AC

S = Serum Pasien AS = Serum pasien yang diasamkan dengan 1/10 vol 0—2 N HCl menjadi pH 6,5—6,8 AS + AC = Serum pasien tambah serum segar yang diasamkan.

TABEL 2. HASIL SCREENING SERUM PENDERITA—ZAT ANTI DARI AIHA TYPE DINGIN (COLD AGGLUTININE SYNDROME) YANG TYPIKAL

S

AS

AS+AC

200 C sel normal lysis agglutinasi

1+ 4+

1+ 4+

3+ 4+

20 °C sel yang telah dikupas dengan enzyme lysis agglutinasi

2+ 4+

3+ 4+

4+ X

37 °C sel normal lysis agglutinasi Indirect AT

0 0 0

0 0 0

0 0 0

37 0C sel yang telah dikupas dengan enzyme lysis agglutinasi

0 0

0 0

0 0

X = tidak dapat dicatat karena semua sel telah lysis.

Sebaliknya bila masih terdapat banyak free antibody dalam serum, ini menunjukkan antibodynya banyak dan titernya tinggi sekali, prognosisnya tentu turut gawat. Eluate dan serum sama-sama ditest dengan sel panel maka dapat diketahui apakah ada juga alloantibody disamping auto antibody. Bila serum dan eluate dititer dengan sel cde/cde, cDE/cDE dan cDe/cDe, dapat diketahui pula specificitynya. Bila cold antibody yang ditemukan, serum penderita dititer dengan sel orang dewasa, sel talipusat dari bayi pada suhu 4° C, 25° C, 30° C dan 37° C, maka dapat diketahui specificity IgM antibody dalam Ii system. Titer dari cold agglutinin syndrome pada 4° C umumnya lebih dari 1000, ada yang mencapai 500.000 dan bisa reaksi pada suhu 32° C. Bila ditambah 30% albumin malah bisa bereaksi pada suhu 37°C. Kalau sel darah merah penderita dikupas dengan enzyme, hampir semua kasus hemolyse pada 20° C. Anti pr juga salah satu specificity dalam cold antibody yang jarang ditemukan; pr antigen mudah dirusak oleh enzyme dan tidak akan terjadi reaksi dengan anti pr. Sedangkan anti I malah bereaksi lebih keras dengan sel yang telah dikupas dengan enzyme. Paroxysmal cold hemoglobulin uria yang juga dikelompokkan dalam AIHA type dingin amat jarang. Specificitynya IgG anti P dapat dibuktikan dengan biphasic Donath Landsteiner test. IV. Apa keistimewaan daripada eluate antibody ini ? Bila DAT hanya positif dengan anti-C3 berarti komplemen-lah yang ada pada sel dan tak ditemukan antibody. Bila DAT positif dengan anti-IgG berarti ada IgG molecule yang lekat pada sel. Maka eluate dari sel tsb akan bereaksi dengan normal cells. Specificity dari antibody tsb bisa juga ditetapkan bila ditest dengan sel panel. Bila DAT positif dengan anti-IgG tetapi tidak terlihat reaksi dengan sel normal dalam eluate, dapat diduga keras karena Drugs Induce Immunohemolytic Anemia.

CARA PENGAMBILAN SAMPLE DARAH UNTUK PENELITIAN AIHA Biasanya serum diambil dari darah beku dalam suhu 37° C dan sel darah merah diambil dalam EDTA untuk keperluan golongan darah. DAT dan eluate, dari pengambilan dalant spuit sampai pemutaran disentrifugasi dan pemisahan sel darah merah, harus dilakukan dalam suhu 37° C pula.

PENETAPAN GOLONGAN DARAH ABO DAN RH FACTOR Tidak jarang dialami kesukaran untuk menetapkan golongan darah dari penderita AIHA. Pemanasan dan pencucian sel dalam 37°C tidak selalu dapat melepaskan zat anti yang melekat pada sel, ada yang perlu dipanaskan 45°C selama 5 — 30 menit ada juga yang sampai 50°C selama 3 — 10 menit, baru berhasil menetapkan golongan darahnya setelah zat anti dilepas dari sel. Tetapi pemanasan 56°C dapat melemahkan antigen dalam Rh system. Bila tidak dengan prosedur tsb banyak golongan darah dari penderita AIHA diperkirakan AB. Baik pada AIHA type hangat maupun AIHA type dingin, tidak ada darah donor yang kompatible, dengan kata lain tidak ada darah yang cocok untuk penderita AIHA ini. TERAPI Terapi dengan steroid dapat menekan zat anti sehingga sel darah merah penderita tidak lagi banyak dilekat oleh zat anti. Dalam satu minggu Hb sudah mulai perlahan-lahan bertambah. Dosis permulaan sebaiknya 60 — 80 mg tiap hari pada orang dewasa dan dengan demikian 80% penderita akan mengalami perbaikan. Rusaknya sel darah merah mengurang dengan cepat. Kemajuan dalam data-data hematologi cukup jelas, hanya dalam satu minggu. Bila respons terapi ini tetap kecil sesudah 3 minggu dapat dikatakan gagal. Pengalaman klinisi menunjukkan dosis yang lebih besar ( ± 1,5 mg /kg/hari) tidak membawa efek yang lebih baik. Biasanya perbaikan dan kemajuan simptom lebih cepat daripada respons hematologi, tetapi bila kortikosteroid dengan dosis yang lebih tinggi akan terjadi efek samping. Untuk itu perlu menurunkan dosis sedikit demi sedikit secara bertahap. Menurut pengalaman para klinisi, dosis pertama sebaiknya diteruskan sampai 3 minggu. Kemudian dosis tsb diturunkan 10 atau 15 mg dalam satu hari setiap minggu, sampai dosisnya mencapai 30 mg per hari. Lalu dikurangi lagi 5 mg dalam satu hari setiap satu atau dua minggu sampai dosis itu tinggal 15 mg per hari. Dan diteruskan lagi pengurangan 2,5 mg tiap dua minggu.Maka satu periode terapi paling sedikit 3 sampai 4 bulan. Bila dosis maintenance korticosteroid lebih dari 15 mg per hari untuk mempertahankan hematokrit di atas 30, perlu dipertimbangkan splenectomy atau obat-obat i mmunosuppressive.

KEPUSTAKAAN 1. Lawrence Petg, George Garratty. Acquired Immune Hemolytic Anemia. 2. Peter D Issit, Charla H Issitt. Applied Blood Group Serology.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

51

PER KEMBANGAN Sindroma Disuria-Piuria Biasanya dokter segera mencurigai diagnosis "cystitis bakterial" pada wanita yang menderita disuria dan sering kencing, tapi tak ada tanda-tanda infeksi traktus urinarius bagian atas. Namun demikian penelitian menunjukkan bahwa 30 - 50% wanita yang berobat dengan keluhan tsb. biakan urinnya tidak positif berdasarkan kriteria tradisional : isolasi patogen yang dicurigai, dalam biakan murni, dengan konsentrasi > 10 5 bakteri per ml urin pada spesimen yang diambil secara bersih. Ada peneliti yang menerangkan bahwa disuria mungkin akibat infeksi vagina, bukan infeksi traktus urinarius. Tapi meskipun vaginitis telah disingkirkan, masih banyak wanita simtomatik yang biakan urinnya negatif. Pasien-pasien tsb. biasanya diberi nasihat, "tak ada yang berbahaya, tak apa-apa." Lalu para peneliti mencurigai ada sesuatu yang tak benar — mungkin infeksi yang terbatas pada uretra — dan diperkenalkanlah istilah "sindroma uretra" bagi pasien-pasien tsb. Apa penyebab sindroma ini ? Dapatkah diagnosis ditegakkan berdasarkan penemuan positif dan bukan cuma secara "per exclusionem" ? Apa implikasinya bagi terapi ? Stamm dkk. dari Seattle, Amerika Serikat, memberikan beberapa jawaban menarik terhadap pertanyaan-pertanyaan itu. Sumbangan berharga pertama yang ditemukan mereka ialah : banyak pasien (46%) menderita infeksi bakterial meskipun biakan urin mereka negatif. Dengan mengambil urin lewat aspirasi suprapublik, ditemukan bahwa wanita-wanita dengan sindroma uretra sering menderita bakteriuria, namun kurang dari 10 5 . Pasien-pasien ini menunjukkan gejala-gejala klinik yang sama seperti pasien dengan > 10 5 bakteri, dan organismenya sama : terbanyak E. coli, kadang kala coliform lainnya dan Staphylococcus saprophyticus. Tampaknya tak masuk akal bahwa radang hanya terbatas pada uretra, karena seringnya hematuria dan nyeri suprapublik menunjukkan peradangan kandung kencing. Penemuan adanya infeksi bakteri dengan konsentrasirendah ini memaksa kita meninjau kembali definisi tradisional mengenai biakan urin "positif' pada wanita simtomatik. Tidak banyak yang ingat bahwa batas konsentrasi > 10 5 bakteri per ml urin didasarkan pada penyelidikan pada wanita asimtomatik. Sejak awal mula para peneliti yang merintis perhitungan kuantitatif bakteri itu telah mengetahui bahwa wanita simtomatik kadang-kadang konsentrasi bakterinya rendah. Jadi, penemuan Stamm dkk. itu bukan bertentangan dengan pendapat para peneliti perintis itu dan bahkan membuktikan bahwa biakan < 10 5 bakteri tak boleh diabaikan pada wanita simtomatik. 52

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

Sumbangan kedua dari peneliti Seattle itu ialah pembuktian /penemuan bahwa Chlamydia trachomatis adalah salah satu kuman penyebab pada, pasien-pasien itu, seperti pada nongonococcal urethritis (NGU) pada pria. Seperti infeksi bakteri, infeksi Chlamydia biasanya disertai piuria. Sebelas dari 59 pasien dengan biakan "negatif" (19%) mempunyai infeksi chlamydia, 10 dari 11 ini menderita piuria. C. trachomatis dapat ditularkan secara seksual dan kepekaannya terhadap obat antimikroba agak berbeda dengan bakteri coliform. Jadi mungkin ada gunanya membedakan infeksi chlamydia dari infeksi bakterial. Pada penelitian itu ada 21 pasien (36%) tanpa piuria di mana tak ditemukan penyebab infeksi walaupun telah diselidiki dengan cermat. N. gonorrhoeae, kendati tak ditemukan dalam penelitian ini, mungkin punya peran penting pada kelompok populasi lain. Pada pasien dengan disuria yang membandel, dengan biakan steril, harus dipikirkan kemungkinan diagnosis "cystitis interstitial"; penyakit yang tak diketahui penyebabnya ini dapat didiagnosis dengan cystoscopy. Peranan bakteri lain serta virus pada penelitian Seattle ini masih bersifat spekulatif, tapi cukup menarik bahwa 2 pasien pada kelompok "tanpa infeksi " itu menderita herpes simplex genitalis. Jadi, para peneliti Seattle menemukan bahwa wanita dengan disuria dan sering kencing tapi tanpa gejala klinik pyelonephritis dapat dibagi menjadi 4 kelompok : 3 kelompok dengan infeksi yang secara potensial dapat diobati (dengan > 10 5 bakteri [ " cystitis" ] , mereka yang dengan < 105 bakteri, dan mereka yang menderita infeksi chlamydia) dan satu kelompok lain yaitu yang penyebabnya tidak diketahui. Masih perlu diselidiki apakah pasien dengan < 10 5 bakteri atau dengan infeksi chlamydia perlu diobati dengan antimikroba, dan apakah pasien yang penyebabnya tak diketahui tak perlu diobati dengan antimikroba. Sementara menunggu penyelidikan-penyelidikan itu, lebih baik diambil sikap di atas. Bagaimana dokter dapat menggunakan penemuan-penemuan itu dalam diagnosis dan terapi ? Riwayat penyakit lebih panting daripada pemeriksaan fisik. Semua pasien disuria harus ditanyai dengan jelas ada tidaknya gejala "keputihan" atau iritasi vagina. Menurut penelitian Komaroff, "disuria eksternal" (nyeri terasa pada labia 'vagina yang meradang bila arus kencing melewatinya) menunjukkan infeksi vagina, dan "disuria internal" (nyeri dirasakan di dalam) menunjukkan infeksi traktus urinarius. Dokter harus bertanya apakah partner seksual menderita urethral discharge atau disuria; bila demikian biakan untuk GO baik dilakukan dan infeksi chlamydia perlu dipikirkan. Menurut penelitian Seattle, partner seksual yang baru dan gejala yang lebih lama tampaknya me-

nunjukkan infeksi chlamydia, sedang riwayat hematuria dan gejala yang datang tiba-tiba menunjukkan infeksi bakteri konsentrasi-rendah. Penemuan Stamm dkk. ini juga menunjukkan bahwa urinalisis penting sekali. Infeksi yang dapat diobati ditemukan pada 95 pasien disuria & piuria, tapi jarang ditemukan pada mereka yang tidak menderita piuria. Maka pasien dengan sindroma disuria & piuria mungkin perlu segera mendapat pengobatan antimikroba. Peneliti Seattle ini melakukan urinalisis dengan menaruh urin yang belum di-centrifuge pada kamar hitung hemositometer. Metoda ini dapat menghindarkan kelambatan akibat proses pemusingan (centrifugation) dan memberi ukuran piuria yang lebih dapat dipercaya daripada pemeriksaan biasa pada sedimen urin yang telah di-centrifuge. Ruginya : kesempatan mencari silinder dan bakteri pada sedimen hilang. Apa peranan biakan urin pada pasien itu ? Kini pembedaan "cystitis" dan "sindroma uretra", yang didasarkan pada biakan urin, kurang penting. Tapi hasil tes kepekaan pada biakan itu penting sekali bagi beberapa pasien yang tak mempan terhadap antimikroba. Yang diberikan segera setelah diagnosis klinik ditegakkan. Sebelum hasil biakan diketahui,dianjurkan pemberian terapi tetrasiklin dan sulfonamida. Obat-obat ini biasanya manjur untuk patogen bakteri pada umumnya dan juga untuk chlamydia. Manfaat ampisilin terhadap chlamydia masih belum pasti. Dengan hasil-hasil penelitian itu kini dokter-dokter dapat memberi pelayanan yang lebih rasional pada berjuta-juta wanita yang menderita penyakit ini setiap tahun. N Eng J Med 1980 ; 303 : 452 - 453.

Depresi & Kecemasan : Perlukah dibedakan ? Pada hakekatnya, sifat gangguan afektif kronik yang ringan belum berubah selama 200 tahun belakangan ini tapi pengelolaannya sudah berubah. Gejala-gejala demikian dianggap merupakan tanggung jawab psikiater, meskipun sebagian besar ditemui dan diobati oleh dokter umum. Tak banyak yang berani mengatakan bahwa psikiatri telah berhasil mengambil alih tugas ini. Kategorisasi resmi kini penuh dengan kontroversi. Kecemasan, depresi dan keluhan-keluhan psikosomatik merupakan kelompok utama tetapi klasifikasi yang seragam belum ada; salah satu yang paling banyak digunakan, menyerahkan pada penginterview untuk memutuskan apakah dalam keadaan campuran yang terpenting kecemasan ataukah depresi. Pengobatannya bahkan lebih kontroversil dan meliputi segala hal dari "encounter group" sampai kepada pengobatan fisik. Karena keadaan ini banyak dijumpai, timbul desakan komersil untuk mengadakan pasar-pasar baru untuk obat-obat psikotropik, dan bila kita menengok farmakope terbukti hal ini benar-benar tercapai. Obat-obat untuk mengobati kecemas-

an-dan-depresi banyak tersedia, dapat berupa senyawa tersendiri atau obat kombinasi, dan menjadi obat-obat yang paling banyak ditulis dalam resep. Pada hakekatnya obat kombinasi tersebut menunjukkan bahwa industri obat-obatan menganggap kecemasan dan depresi merupakan fenomena campuran, bukan sendiri-sendiri. Obat campuran itu kebanyakan terdiri dari obat anti-depresi dan anti-kecemasan dan, walaupun sering dicela oleh ahli farmakologi, penggunaan obat-obat itu kian meluas. Pemisahan kecemasan dari depresi dapat dibenarkan bila ada bukti nyata bahwa terapi obat akan berbeda-beda hasilnya tergantung diagnosisnya. Hasil dari beberapa penyelidikan mendukung pendapat bahwa keadaan cemas cocok diobati dengan obat anti-kecemasan dan keadaan depresi cocok dengan obat anti-depresi; tetapi juga menjadi nyata obat anti depresi juga mengurangi kecemasan, terlepas dari sifat anti depresinya. Penelitian ini sekarang dibahas lebih lanjut dengan cara membandingkan obat anti-depresi (amitriptyline) dan obat anti-kecemasan (diazepam) pada pasien-pasien yang mengalami gejala-gejala afektif campuran tersebut. Dr. Eve Johnstone dkk. secara random membagi pasien-pasien neurotik yang menunjukkan gejala kecemasan dan depresi dalam kelompok-kelompok yang diobati dengan amitriptyline, diazepam, gabungan kedua obat tersebut dan plasebo selama 4 minggu. Amitriptyline (dengan dosis 100 — 150 mg sehari) menghasilkan perbaikan yang jelas lebih bagus daripada obat-obat lainnya, dan apakah kecemasan atau depresi yang merupakan gejala utama nampaknya tidak mempengaruhi respons obat itu. Johnstone dkk. juga mencatat bahwa semua kelompok dengan cepat membaik dan secara umum pengaruh obat sedikit sekali; ini merupakan senjata bagi mereka yang berpendapat bahwa obat-obatan sedikit gunanya pada pengelolaan pasien-pasien tersebut. Dokter Johnstone dkk. menyatakan "tidak perlu memisahkan pasien-pasien yang mengalami kecemasan dari pasien depresi neurotik karena pembedaan diagnosis ini tidak mempunyai implikasi pada cara pengobatan maupun hasilnya". Jadi apakah dokter yang menghadapi pasien-pasien demikian tidak perlu lagi membuat diagnosis dan tinggal memberi amitriptyline ? Ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa kesimpulan itu sudah terlalu jauh. Peneliti-peneliti lain telah menemukan hasil yang berbeda antara keadaan cemas dan keadaan depresi, dan respons terhadap amitriptyline pada pasien-pasien depresi dapat berbeda bila kecemasan dan gejala-gejala lain diperhitungkan. Pasienpasien Johnstone tidak didiagnosis dengan cara resmi sebelum diobati, meskipun mereka dinilai gejala-gejala cemas dan depresinya. Bila penyelidikan-penyelidikan lain juga menunjukkan hasil yang sama, banyak sekali implikasinya bagi pengelolaan kelainan-kelainan neurotik. Perlu kita ketahui apakah membaiknya penderita anxietas dengan amitriptyline semata-mata karena akibat sifat sedatif, dan apakah diagnosis yang lebih sistematik yang melibatkan kepribadian seseorang sebelumnya akan mempengaruhi hasilnya. Dalam keadaan yang tidak menentu ini kita hanya dapat menyimpulkan bahwa pembedaan kecemasan dan depresi masih belum dapat dipastikan berguna atau tidaknya. Lancet 1980; 2:897

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

53

Hepatitis Kronik Aktif Hepatitis kronik aktif didefinisikan sebagai peradangan pada hati yang berlangsung tanpa perbaikan selama sekurangnya 6 bulan, dengan gambaran histologi infiltrasi sel bulat pada traktus portal dan bercak-bercak nekrosis sedang atau berat dari sel-sel hati menjangkau keluar sampai parenkhim. Meski telah dikenal pada awal tahun 1950-an, pengertian mengenai patogenesis dan perjalanan alamiahnya masih memakan waktu lama. Dikenal subgroup-subgroup dengan mekanisme pengrusakan yang berlainan, dan ini mempunyai implikasi penting untuk pengobatan. Ada dua penyebab utama hepatitis kronik aktif, yaitu infeksi kronik dengan virus hepatitis-B dan penyakit autoimun. Keduanya berbeda distribusi geografiknya, rasio seks, petunjuk serum, prognosis dan pengobatannya. Infeksi virus hepatitis -B adalah penyebab tersering hepatitis kronik aktif di Timur Tengah dan Asia, di mana karier kronik lebih banyak daripada di Eropa, lelaki lebih banyak dari wanita. Virus hepatitis-B biasanya dideteksi dengan menemukan HBsAg dalam serum, namun pada beberapa kasus kadar antigen virus tadi mungkin terlalu kecil sehingga tidak terdeteksi dengan metoda yang ada dewasa ini. Dalam keadaan ini antigen virus dapat diidentifikasi dalam sel-sel hati dengan cara-cara imunologik, dan biasanya didapatkan titer serum yang tinggi dari antibodi terhadap core antigen (Anti—HBc). Sebaliknya, hepatitis aktif jenis autoimun lebih sering didapatkan pada wanita dan kerap kali mempengaruhi sistem lain, dan dikaitkan dengan sindroma sicca, artralgia, penyakit tiroid, anemia hemolitik, penyakit usus inflamatorik, dan asidosis renal tubular. Antibodi otot polos dan antinuklir secara karateristik ditemukan dalam serum, dan biasanya tingkat hipergamaglobulinemia lebih besar daripada pada pasien-pasien dengan infeksi virus kronik. Prognosis pasien hepatitis kronik aktif yang membawa HBsAg tidak pasti : ada yang menyatakan lebih baik, ada yang menyatakan dalam jangka panjang lebih jelek . dibandingkan dengan jenis autoimun. Yang nyata ialah bahwa penyakit ini sering berkembang perlahan-lahan menjadi sirosis. Pengobatan jenis autoimun telah dipastikan dalam 3 percobaan terkontrol prospektif. Semuanya menunjukkan bahwa pengobatan dengan kortikosteroid (dengan atau tanpa azathioprin) banyak mengurangi kematian dalam fase aktif awal dari penyakit ini. Keuntungan pengobatan ini baru-baru ini telah dikonfirmasi dengan follow-up jangka panjang pasien - pasien pada Royal Free Hospital. Sebaliknya, pada pasien dengan penyakit virus penggunaan kortikosteroid mungkin tidak mempengaruhi keberhasilan; bahkan imunosupresi mungkin mempermudah replikasi virus dan meningkatkan infektivitas pasien. Namun demikian, hasil-hasil percobaan terkontrol yang formal masih harus ditunggu. Pendekatan yang lebih logis mungkin dengan mencoba membasmi virus dengan meningkatkan mekanisme imun tubuh atau dengan menggunakan obat anti-virus yang efektif; pada masa ini interferon memberi harapan terbesar. Laporan -laporan baru-baru ini menyorot kesulitan membedakan hepatitis aktif kronik dari penyakit Wilson — pembedaan yang amat vital karena kedua penyakit itu berbeda 54

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

terapinya dan karena tersedia terapi yang efektif dan spesifik. Pasien dengan penyakit Wilson mungkin tidak menunjukkan gejala khas seperti cincing Kayser-Fleischer dan perubahanperubahan neurologik Obat-obat dapat juga menyebabkan kerusakan hati kronik maupun aktif. Hepatitis kronik aktif pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian laksatif oksifenisatin, metildopa dan INH. Beberapa laporan menyalahkan ekpose berulang terhadap halotan dan pengobatan dengan dantrolen. Belakangan ini beberapa kasus hepatitis kronik aktif dihubungkan dengan pemakaian nitrofurantoin jangka panjang. Pengenalan obat penyebab itu sangatlah penting, karena penarikan obat biasanya menghentikan perkembangan penyakit. Obat mungkin bukan penyebab yang penting dari hepatitis kronik di Inggris (di mana oksifenisatin tidak beredar), namun para dokter harus waspada terhadap kemungkinan ini. Alkoholisme dapat juga disertai dengan penyakit hati dengan gambaran histologi hepatitis kronik aktif. Perubahan histologik khas penyakit hati alkoholik kadang kala hanya sedikit atau sama sekali tak terlihat. Mungkin alkohol merusak hati pada kasus-kasus itu dengan mencetuskan respons imun abnormal.

Beberapa pasien dengan penyakit hati yang berhubungan dengan defisiensi alfa-l- antitripsin menunjukkan gambaran hepatitis kronik aktif yang nyata pada biopsi hati. Tanda penyakit ini ialah adanya globul alfa -l-antitripsin dalam sel hati, namun ini bisa meleset kecuali kalau dipergunakan pewarnaan yang tepat. Sirosis bilier primer adalah . keadaan lain yang kadang kala sulit dibedakan dari hepatitis kronik aktif karena gambaran klinik, biokimia, serologik, dan morfologik antara kedua penyakit ini ada persamaannya. Tapi pasien dengan hepatitis kronik aktif biasanya dapat dikenal karena respons mereka yang baik terhadap kortikosteroid. Kini tinggal pasien -pasien dengan hepatitis kronik aktif yang penyebabnya sampai kini belum diketahui. Tidak ada bukti untuk menyalahkan virus hepatitis-A, tapi penyelidikanpenyelidikan menunjukkan kemungkinan adanya virus non-A non-B. Hepatitis akibat virus ini ditemukan secara sporadik dan dewasa ini merupakan penyebab terbanyak kasus-kasus hepatitis post transfusi. Tanda yang khas ialah penyakit ini enteng atau asimtomatik dan karena kebanyakan pasien tidak ikterik keadaan ini sering lewat tanpa diketahui. Namun demikian follow-up jangka panjang menunjukkan bahwa 25 sampai 50% pasien- pasien itu tes faal hatinya masih abnormal sesudah satu tahun; biopsi hati pada banyak pasien ini menunjukkan hepatitis kronik aktif, beberapa dengan sirosis. Tes untuk autoantibodi negatif. Kelainan biokimiawi cenderung untuk hilang sendiri tanpa pengobatan, tapi apakah akan terjadi kerusakan hati menetap atau progresif masih belum pasti: penyelidikan follow-up dengan biopsi hati masih ditunggu. Belum ada percobaan pengobatan yang telah selesai, sehingga peranan kortikosteroid belum diketahui. Tes yang sensitif untuk virus hepatitis non-A non-B serta antibodinya masih sedang dikembangkan. Ini nanti akan mencegah hepatitis post transfusi dan menunjukkan sampai di mana virus ini bertanggung jawab atas hepatitis kronik aktif dan sirosis. Br Med J 1980 ; 281 : 258—9

SeJarah Kedokteran

Kisah Rauwolfia Alkaloid rauwolfia punya riwayat yang menarik. Sejarah pengembangannya di India akan memperkenalkan kita dengan keajaiban serta potensi-potensi bahan obat yang kuno ini. Catatan-catatan kuno di India menggambarkan sejumlah besar tanaman obat yang dipergunakan untuk meringankan penderitaan manusia, di samping untuk praktek okultisme. Survei secara cepat dalam Ayurveda (sistem kedokteran India) menunjukkan bahwa sebagian besar preparat tanaman tsb. digunakan dalam kombinasi (kadang-kadang suatu resep mengandung 25 — 50 obat atau lebih) dan obat biasanya harus mengalami berbagai proses — pengeringan, penggilingan, dididihkan, disaring dsb. Oleh karena itu sulit diketahui tanaman mana yang berguna untuk penyakit tertentu dan interaksi apa yang terjadi (menguntungkan atau merugikan) antara berbagai tanaman obat tsb. dalam proses-proses itu. Inilah salah satu sebab (mungkin) mengapa dari farmakope India yang mengandung sekitar 2000 macam obat, hanya rauwolfia yang diakui statusnya dalam percaturan internasional. Menurut dongeng, 8000 tahun yll orang-orang bijaksana di negara itu, setelah berkonsultasi di kaki gunung Himalaya, mengirimkan wakil mereka Bharadwaja untuk pergi ke Dewa Indra guna mempelajari ilmu pengobatan. Bharadwaja berhasil mempelajarinya dan menurunkan ilmunya pada Atreya, yang kemudian sebagai "bapak ilmu kedokteran India". Atreya mendirikan sekolah kedokteran di Taxila dan menulis banyak tulisan mengenai subyek tsb. Dalam perkembangan selanjutnya, Charaka mengumpulkan dan merevisi tulisan-tulisan itu. Bukunya sendiri, Charaka Samhita (600 sebelum Masehi), adalah karya yang komprehensif dan monumental, meliputi berbagai bidang ilmu kedokteran, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris, Arab dan Cina. Pada masa itu juga hiduplah Sushruta, ahli bedah yang terkenal itu. Dia menulis buku Sushruta Samhita. Kedua buku kuno itu melukiskan penggunaan rauwolfia (dikenal dengan nama Sarpagandha atau dengan nama lain) untuk berbagai penyakit seperti gigitan ular, sengatan serangga dan kalajengking, epilepsi, demam, malaria, dan juga untuk penyakit gila. Jadi, tampaknya rauwolfia telah dikenal selama beriburibu tahun dalam ilmu kedokteran India. Pada abad-abad pertengahan (masa post Budhis) rauwolfia hilang tak diketahui jejaknya. Dalam masa itu India diserbu oleh bangsa Yunani, Mogul, Portugis, Perancis, dan Inggris, yang masing-masing membawa sistem kedokterannya sendiri.

Ini mengakibatkan kemerosotan kedokteran Hindu. Selama masa itu penyimpanan catatan-catatan kedokteran tidak diperhatikan dan kitab-kitab Ayurveda yang ada banyak yang rusak atau hilang. Sekolah-sekolah kedokteran India yang pernah jaya itu mulai ditinggalkan orang dan hanya ada sedikit dokter India yang qualified yang bekerja sebagai dokter menjadi dongeng rakyat dan tabib palsu bermunculan. Sangatlah mungkin bahwa karena identifikasi yang tidak cermat, banyak tumbuhan lain yang disangka sebagai rauwolfia dan dipakai untuk mengobati berbagai jenis penyakit, dari kekeruhan kornea sampai eksema. Namun demikian beberapa publikasi asli mengenai ilmu kedokteran India masih juga dihasilkan, mungkin melalui contoh yang diberikan oleh beberapa penguasa Hindu yang tertinggal (misalnya, Bhoja-Prabandha, tahun 980). Untunglah pada bagian akhir dari masa tsb. banyak orang asing, ahli botani, dan dokter-dokter mengunjungi India. Maka rauwolfia tetap hidup dalam memoir dan tulisantulisan mereka yang dipublikasikan dari abad 15 dan seterusnya. Aktivitas ini meningkat dengan mendadak pada abad ke 18 dan 19, dimana rauwolfia banyak disebut-sebut dalam berbagai farmakope, farmakografi, dan atlas-atlas yang diterbitkan pada masa itu, terutama oleh penulis Barat. Karena menyadari pentingnya tumbuhan obat India dan sadar akan kenyataan bahwa kehidupan sistem kedokteran Barat di India tergantung banyak pada kerjasamanya dengan sistem kedokteran setempat, pemerintah Inggris di India

Charaka, dokter India yang termasyhur.

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

55

mengorganisasi sejumlah komite, badan peneliti, dan pameran untuk mendiskusikan masalah kedokteran pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Nadkarni, Kirtikar, Basu dan Chopra di sini patut dicatat karena sumbangan mereka dalam menyusun kompendium yang lengkap mengenai tumbuhan obat India, dalam kerja sama dengan penulis Inggris. Naskah ilmiah khusus mengenai rauwolfia mulai muncul dalam majalahmajalah India pada tahun 1931. Masih merupakan teka-teki mengapa dari begitu banyak tumbuhan yang dicatat, hanya rauwoltia yang dipilih peneliti India untuk dianalisa secara cermat. Mungkin mereka terkesan oleh Gracia ab Horto yang pada tahun 1563 menggambarkan rauwolfia sebagai "obat India yang paling terkemuka dan patut dipuji"

Cuplikan dari Charaka Samhita menggambarkan penggunaan rauwolfia untuk berbagai penyakit seperti demam, malaria, epilepsi dsb).

Pengaruh besar lainnya berasal dari tabib Hakim Azmal Khan, yang mempraktekkan sistem kedokteran Yunani—Ayurveda. Dia sering menggunakan rauwolfia untuk pasiennya dan kemudian mendirikan Institut Penelitian untuk Kedokteran Yunani—Ayurveda di Delhi. Dia mendapat penghargaan yang selayaknya pada tahun 1931 ketika alkaloid pertama yang diperoleh dari rauwolfia oleh peneliti - peneliti di institut itu dinamakan ajmaline, menurut namanya. Ahli botani Perancis, Plumier memberi nama rauwolfia pada abad 17, sebagai penghargaan terhadap Leonard Rauwolf,

dokter dan ahli botani Jerman yang mengunjungi India dan menulis tentang tumbuhan itu pada tahun 1582. Namun tumbuhan itu dikenal dengan 15 nama botani yang berbedabeda (dalam bahasa Inggris) sampai tahun 1890-an. Diskusi mengenai ejaan yang benar dari rauwolfia (pakai w atau v setelah u) terus berlangsung sampai tahun 1950. Pada masa itu tumbuhan tsb. disebut dengan sekitar 75 nama dalam bahasa Sanskrit, Hindi dan bahasa-bahasa India lainnya. Tumbuhan itu dipakai untuk mengobati tak kurang dari 30 macam penyakit di berbagai daerah di India. Belakangan diketahui bahwa kadar alkaloid dalam tumbuhan tsb. berbeda-beda dari musim ke musim, dari tempat satu ke tempat lain. Pada tahun 1931 Sen dan Bose di Calcutta menulis tentang ekstraksi dua alkaloid dari akar tumbuhan itu dan manfaatnya bagi pasien yang gila dan hipertensi. Juga pada tahun 1931, Siddiqui dan Siddiqui dari Delhi menerbitkan hasil penelitian analitiknya yang komprehensif mengenai akar rauwolfia. Mereka melaporkan keberhasilannya mengisolasi 5 alkaloid (ajmaline, ajmalinine, ajmalicine, serpentine, dan serpentinine). Antara tahun 1931 dan 1939 mereka menganalisa akar-akar yang diperoleh dari berbagai tempat yang berbeda, dan meneliti lebih jauh tentang struktur kimia, komposisi dan reaktivitas berbagai alkaloid tsb., dan menemukan beberapa alkaloid lagi. Farmakologi rauwolfia digambarkan oleh Chopra dkk. di Calcutta. Antara tahun 1933—34 mereka menunjukkan bahwa beberapa alkaloid dalam tumbuhan itu punya sifat antihipertensif yang kuat (bekerja melalui pembuluh darah perifer dan pusat vasomotor) dan bahwa ada sesuatu dalam ekstrak kasar tsb yang punya daya sedatif yang kuat (sesuatu yang lain daripada alkaloid-alkaloid yang telah ditemukan pada masa itu). Vakil, ahli kardiologi dari Bombay, menulis tentang pengaruh rauwolfia serpentina dalam British Heart Journal tahun 1949. Dari seri 50 pasien yang ditelitinya disimpulkan bahwa peranan rauwolfia dalam penanggulangan hipertensi tak perlu diragukan lagi. Alangkah baiknya bila nanti pada suatu saat 1999 tumbuhan obat India lainnya mendapat perhatian yang sama besar seperti rauwolfia. TIPS, 1980; Dec. viii — x

Berhati-hatilah terhadap dokter yang muda dan tukang cukur tua.

Benjamin Franklin Corpus valet sed aegrotat crumena (Badan sehat namun kocek sakit)

GD Erasmus

56

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

SARI ILMU PENYAKIT MATA Oleh : Sidarta Ryas dkk. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI, 1981. 238 halaman. Sesuai dengan judulnya, buku ini merupakan sari atau ringkasan dari ilmu penyakit mata. Namun pembahasan yang singkat itu diimbangi dengan luasnya bahan yang dibicarakan. Penulis telah berusaha memasukkan sebanyak mungkin judul penyakit mata (182 buah), dari yang banyak ditemukan sampai yang jarang terlihat seperti sindroma Marfan, sindroma Marchesani dsb. Penyusunan buku ini berdasarkan organ jaringan mata yang terkena, dan dibagi dalam 12 bab : (i) refraksi, (ii) palpebraadneksa, (iii) konjungtiva-sklera, (iv) kornea. (v) uvea-pupil, (vi) lensa, (vii) retina-badan kaca, (viii) saraf optik, (ix) glaukoma, (x) orbita, (xi) strabismus, (xii) kelainan sistemik. Walaupun buku ini dimaksudkan untuk konsumsi segala golongan dari mahasiswa sampai ahli penyakit mata, tampaknya yang akan banyak mengambil manfaat darinya ialah mahasiswa dan dokter umum. Oleh sebab itu ada baiknya bila kelainan-kelainan yang banyak dijumpai mereka dibahas secara lebih mendalam, misalnya masalah refraksi, pembedaan berbagai konjungtivitis dsb. Defisiensi vitamin A banyak dijumpai di daerah-daerah, maka foto-foto kelainan ini ada baiknya dicantumkan dalam edisi mendatang. Dicetak diatas kerta HVS tebal, dengan mutu cetakan yang bagus, buku ini juga dihiasi dengan 30 foto berwarna yang sangat ilustratif. KEDARURATAN DAN KEGAWATAN MEDIK Editor : Dr. Arjatmo Tjokronegoro, Dr. AH Markum. Jakarta, Fakultas Kedokteran UI, 1981. 170 halaman. Buku ini merupakan kumpulan naskah simposium yang diselenggarakan pada tanggal 28 Nopember 1981. 13 masalaah dibahas dalam buku ini, yaitu (i) resusitasi kardiopulmonal dan serebral pada orang dewasa, (ii) resusitasi kardiopulmonal dan serebral pada anak, (iii) koma, (iv) edema otak, (v) pengobatan trauma kapitis, (vi) hiperpireksia, (vii) status konvulsif, (viii) kedaruratan kardiosirkulasi, (ix) dengue shock syndrome, (x) gambaran klinis payah jantung pada bayi dan anak serta penatalaksanaannya, (xi) status asmatik, (xii) kegawatan pernapasan pada anak, (xiii) gawat darurat perut non-bedah. Dapat dikatakan bahwa masalah yang dibahas dalam buku ini umumnya dibahas secara mendalam dan sangat berguna

bagi para dokter, baik dalam praktek umum maupun di rumah sakit, di daerah terpencil maupun dikota besar. Beberapa contoh tindakan yang sangat perlu segera dilakukan (yang mungkin belum diketahui oleh beberapa teman sejawat di daerah) ialah : ■ Berikan 50 — 100 ml larutan glukosa 20 — 40 % pada setiap penderita koma, bila penyebabnya belum diketahui. Ini mengingat hipoglikemia merupakan salah satu penyebab koma yang dapat diobati. ■ Keampuhan diazepam untuk status konvulsif kini tak perlu dipersoalkan lagi. Tapi pemberian pada bayi yang kejang pemberian sering sulit. Cara pemberian yang sederhana, mudah dan efektif ialah per rektum. Dosisnya 5 mg untuk berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk yang lebih dari 10 kg. ■ Pada status asmatikus sering diperlukan ekspektoran. Yang termurah dan terbaik ialah air. Maka perlu dipasang infus pada pasien. Satu hal yang dapat mengiritasi sebagian dokter ialah disisipkannya banyak iklan obat-obatan dalam buku ini, suatu hal yang tidak begitu lazim dalam dunia perbukuan. Tapi secara uraum dapat dikatakan bahwa buku ini pantas dimiliki oleh setiap dokter. OBESITAS Editor : Dr. Arjatmo Tjokronegoro. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI, 1981. 73 halaman. Buku ini merupakan kumpulan naskah lengkap dari Simposium Obesitas tanggal 6 Juhi 1981. Tujuh aspek dibahas dalam simposium tsb: (1) mekanisme dan patofisiologi obesitas, (2) ketidakseimbangan energi dan obesitas, (3) pengaturan diet, (4) obesitas pada anak, (5) obesitas pada orang dewasa, (6) obat anti-obesitas, dan (7) aspek psikosomatik obesitas. Dr. DB Lubis, salah seorang pembicara, menyatakan, "Yang mengherankan pula ialah bahwa 'pengobatan' terhadap obesitas sebetulnya nampak mudah dan sederhana : mengurangi makanan atau menambah gerakan fisik .............Tetapi kenyataannya ialah bahwa banyak orang yang gemuk tidak mempunyai ketahanan untuk melaksanakan itu secara disiplin dan konsekuen". Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa simposium ini sebenarnya membahas masalah yang sederhana tapi sulit. Sederhana, karena terbukti orang yang kekurangan makanan (tahanan kamp konsentrasi Nazi misalnya) tak mungkin gemuk. Namun sulit, karena terbukti tidak banyak orang yang berhasil mengatasi obesitasnya. Maka dokter-dokter yang tertarik dengan masalah ini ada baiknya membaca buku ini, untuk memahami persoalannya secara lebih mendalam. Itu saja. PENATALAKSANAAN KEGAWATAN PEDIATRIK Editor : Rusepno Hassan dkk. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI, 1981, 160 halaman. Buku ini diterbitkan dalam rangka memperingati 5 tahun berdirinya ICU Bagian Anak RS Cipto Mangunkusumo. Sesuai dengan misinya, terutama buku ini ditujukan bagi dokter yang berminat atau bekerja di ICU. Namun ada juga bab yang berguna untuk dokter umum atau pun mahasiswa, seperti cara penanggulangan shock dan hiperpireksia. Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

57

Catatan singkat Telah lama diketahui bahwa gejala-gejala premenstruasi dapat tetap ada setelah histerektomi. Adanya uterus dan berlangsungnya menstruasi tidak diperlukan untuk timbulnya gejala -gejala itu. Penelitipeneliti dari Inggris berpendapat bahwa gejala itu lebih banyak disebabkan oleh faktor hormonal daripada faktor psikologik Brit J Obstet Gynaecol 1981; 88: 530—6

Ada yang menganjurkan agar penderita akne menjalani diet rendah—lemak rendah—gula. Meskipun secara individual penderita-penderita itu tidak banyak menunjukkan perbaikan dengan diet itu, penelitian epidemiologik memberi petunjuk bahwa anjuran diet itu benar. Arch Dermatol 1981; 117: 193—5

Penelitian pada tikus-tikus menunjukkan bahwa tikus yang dibutakan matanya akan berusia lebih panjang . Mungkin ini adalah akibat pengaruh kelenjar pineal. Pada manusia kebutaan umumnya dianggap memperpendek umur, tapi ini mungkin akibat penyakit yang menyebabkan kebutaan itu seperti diabetes dsb. Bila faktor - faktor itu diperhitungkan, tampaknya data untuk tikus dan untuk manusia sama saja. (Rupanya menutup mata —untuk berdoa, berkonsentrasi, atau tidur— menyehatkan badan) J Chronic Dis 1981; 34: 427—9

Kini diketahui ada indikasi baru untuk histerektomi : bila seorang wanita ingin menjadi penjinak singa! Ternyata singa cenderung menyerang wanita yang sedang menstruasi. Med J Austr 1981; 2 : 209

Pasien - pasien hiperlipidemia yang memakan 1 kg. kacang setiap bulan kadar kholesterol serumnya turun dengan 16%, demikian hasil penyelidikan di Sichuan Medical College. (Apakah tidak lebih baik pasien - pasien kita anjurkan banyak makan kacang daripada obat-obat penurun kholesterol ?) Chinese Med .J 1981; 94(7) : 455

Kecurangan ada di mana-mana, juga di Jepang. Untuk tahun 1978 diperkirakan dokter dan dokter-gigi di Jepang menipu pihak asuransi kesehatan sejumlah I milyar Yen ( US $ 4,38 juta ). Caranya a. l . mengklaim mengobati pasien yang telah meninggal, mengubah rekening obat dari miligram menjadi gram, dsb. Modern Asia, Oct 1982, 31

Umumnya diakui bahwa penggunaan ikat - pinggang pengaman akan menurunkan mortalitas dan morbiditas akibat kecelakaan lalu-lintas. Namun Menteri Perhubungan Inggris, Norman Fowler, membuat kejutan : ia menentang rancangan peraturan yang mengharuskan penggunaan ikat - pinggang pengaman Brit Med J 1981; 283: 443

Untuk mencegah dengkur sewaktu tidur, gunakan resep lama : buat kantong pada punggung piyama, isilah dengan kelereng, dan jahitlah kantong itu. Si pemakai piyama akan sulit tidur telentang dan dengkurnya akan menghilang. JAMA 1981; 245: 1729—30

Tahukah anda berapa jumlah majalah biomedik di dunia ini ? Ternyata tak kurang dari 84.000 jenis

58

Cermin Dunia Kedokteran No. 25. 1982

Almarhum Franz Ingelfinger, bekas editor New England Journal of Medicine, pernah membuat perhitungan ini : setiap tahun masyarakat Amerika memakan lebih dari 20.000 juta tablet aspirin, yang menyebabkan 10 juta liter darah masuk ke lubang WC. Gut 1980; 21 : 602—6

Untuk screening biasanya visus 6/6 atau 20/20 diambil sebagai patokan visus normal, meskipun ada (termasuk WHO) yang mengambil angka 20/70. Sebenarnya untuk visus 20/20 diperlukan tidak lebih dari 44 % saluran saraf foveokortikal sedang untuk 20/70 perlu tak lebih dari 5 %. lndividu yang benar-benar normal punya tajam penglihatan yang jauh lebih baik dari 20/20. Brain 1980; 103:639

ADIL TIDAK ? Tugas medical representative —atau lebih dikenal dengan istilah detailer— memang lumayan berat, apalagi kalau harus menghadapi "ulah" sementara dokter yang kadangkadang memang memusingkan. Ketika memperkenalkan obat "kanamycin injection" seorang detailer pernah "kena batunya"; + Untuk GO, dokter, kita berikan 2 gram. 1 gram di kiri dan 1 gram lagi di kanan. —Wah, kok aneh. Ini tidak adil. + Kenapa aneh dokter. — Kalau GO (gonorhoe) kan yang bersalah yang "tengah", kenapa yang kiri dan kanan yang disuntik. Harusnya yang tengah dong ! dr. Tjandra Yoga Aditama Puskesmas Kecamatan Bukit Batu Kab. Bengkalis — Riau.

PASIEN ORTODONTIK Seorang anak diantarkan ayahnya ke tempat praktek saya. "Dok. anak saya ini sejak SD sampai SMP tidak pernah dipanggil namanya, tetapi teman-temannya memanggilnya Tuju. Maka kami minta tolong untuk mengundurkan gigi-gigi anak saya yang mrongos (tonggos) ini." Berhubung saya tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan si ayah tadi, saya menanyakan apa hubungan antara nama anak itu dengan keadaan giginya. Sambil menundukkan kepala dengan agak malu-malu si anak menjawab, "Teman-teman memanggil saya si Tuju karena untu saya maju." (untu = gigi). Saya jadi kasihan, tetapi tidak dapat menahan ketawa. Akhirnya seluruh ruangan tertawa semua. drg. Haryono X DKT, Salatiga

PENOLONG Pengalaman ini saya alami pada suatu pagi ketika sedang berjalan di suatu jalanterbuka di tingkat empat gedung sebuah rumah sakit. Dengan tenang saya berjalan, tapi tiba-tiba seorang gadis yang juga berjalan searah menyekap erat-erat tangan saya. Saya menjadi makin tak mengerti karena pegangannya makin erat dan langkahnya ditegap-tegapkan, tapi jelas kelihatan gontai. Sampai di ujung lift baru tanganku dilepaskan. " Mas maaf, saya tadi pusing dan gemetaran melihat kebawah ". Saya baru tahu gara-gara vertigo saya jadi " penolong darurat ". Lumayan ! SRI Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

59

ABSTRAK - ABSTRAK TETRASIKLIN DALAM TULANG-TULANG ANTIK Antibiotika tetrasiklin mulai dipergunakan di dalam ilmu kedokteran modern sejak tahun 1950. Mengherankan sekali, bahwa antibiotika ini dapat ditemukan di dalam tulang-tulang suku Nubia (Sudan) yang hidup antara tahun 350 s/d 550 sebelum Masehi di dataran sungai Nil. Oleh peneliti-peneliti dari Universitas Massachusetts dan Henry Ford Hospital, USA antibiotika ini ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan tulang-tulang kuno melalui mikroskop fluorescensi di bawah penyinaran cahaya ultraviolet. Menurut para peneliti tadi, antibiotika ini berasal dari suatu jenis bakteri, Streptomyces, yang tumbuh pada gandum, barley dan millet yang disimpan didalam tempattempat penimbunan yang terbuat dari lumpur. Dan Streptomyces yang merupakan 60 — 70% dari bakteri-bakteri yang terdapat dalam tanah di Nubia (Sudan) ini memang penghasil alamiah tetrasiklin. Penemuan ini dapat menerangkan angka infeksi yang rendah dan resistensi terhadap antibiotik tertentu pada beberapa golongan penduduk yang hidup dijaman dahulu. OLH International Exchange News, Spring 81

ANTIBIOTIKA YANG MURAH : MADU Untuk mempercepat penyembuhan luka dengan cara yang sederhana, efektif, dan murah, gunakan madu — kata PJ Armon. Dia pertama kali mendengar khasiat madu ini dari seorang desa di Inggris tahun 1966. Setelah itu telah dicobanya berulang kali dengan hasil yang memuaskan. Cavanagh dkk (1970) pernah juga mencoba menggunakan madu untuk pengobatan luka setelah pembedahan radikal pada karsinoma vulva. Luka-luka itu ternyata secara bakteriologik menjadi steril dalam 3 — 6 hari dan sembuh dengan cepat. Komplikasinya coma dehidrasi jaringan sekitarnya, yang dengan mudah dapat diatasi dengan kompres cairan garam faali. Pengobatan dengan cara ini dikatakan lebih efektif daripada penggunaan antibiotika yang mahal-mahal. Dalam percobaan in-vitro madu memang berkhasiat bakterisidal terhadap banyak macam bakteri, termasuk Streptococcus beta-hemolytious, Staphylococcus coagulase positif, Proteus mirabilis, E coli. dan Candida albicans. Madu juga telah digunakan untuk pengobatan luka-luka yang terinfeksi pada kasus-kasus obstetri-ginekologi 4 tahun ini dengan hasil yang memuaskan. Tapi diingatkan, prinsip-prinsip ilmu bedah tak boleh dilupakan. Toilet luka perlu dilakukan dan semua kantong-kantong nanah mesti dibuka. Setelah semua itu dilakukan, pengolesan madu akan mempercepat proses penyembuhan. PJ Armon. Tropical Doctor 1980; 10:91

60

Cermin Dunia Kedokteran No. 25, 1982

RALAT : Penggunaan dan Penggunasalahan Statistik dalam Percobaan Klinik. Oleh : Dr Arini Setiawati Karena kesalahan teknis, hasil setting (proof) naskah ini "lolos" dari bagian koreksi sehingga banyak salah cetak yang sangat mengganggu, untuk itu Redaksi mohon maaf. Halaman 10 10 11 11 11 12 12 12 12 12 12 12 12 13 13 13

13 14 14

Kolom

Baris ke (dari atas/bawah)

Tercetak

Seharusnya

Kiri Kiri Kanan

3 (bawah) 1 (atas) 2 (atas) 2 (atas) 3 (atas) 10 (atas) 19 (atas) 10 (bawah) 4 (bawah) 1 (atas) 6 (atas) 4 (bawah) 3 (bawah) 18 (atas) 3 (bawah) 3 (atas)

Annuals Keputusan dna obat II, C2 — C1 = perbedaan monogram keadaan 13 `I 0,50% monogram Monogram pendahulu), antara yang s/SD Bial negatif kelompok-kelompok yang sebanding

Kanan Kiri Kiri

22 (bawah) 1 (atas) 18 (bawah)

penderita prognosis membendingkan ke luar negeri yang di "drop" dan diperhitungkan statistik

6 (bawah) 9 (bawah) 27 (atas) 7 (bawah) 12 (atas) 7 (bawah) 3 (bawah) 5 (atas) antara 6 dan 7 (atas) 14 (atas) 19 (atas) 8 (atas) 8 (atas) 18 (atas) 5 (atas) 13 (bawah)

saja yang dapat dilakukan gejala-gejalanya bernilai negatif suatu hal letak sesungdistolik terjadi pada penulis Interval tagori nominal —

Annals Kepustakaan dan Obat II, C2 — C1 = perbedaan nomogram perbedaan Q ~ 0,50 nomogram Nomogram pendahuluan), antara garis yang d/SD Bila positif kelompok-kelompok pengobatan/kontrol, dengan maksud untuk memperoleh kelompokkelompok yang seban ding penderita dengan prognosis membandingkan ke luar kota. Hanya penderita yang pindah ke luar negeri yang di "drop" dan perhitungan statistik saja dapat dilakukan, segala-galanya bernilai negatif — suatu hal letak nilai rata-rata yang sesungsistolik terjadi penulis Interval = tegori nominal N 20—40 dan semua E / 5

pada < 20% kotak dan E < 5 katagori beberapa minimal) meskipun beberapa yang besarnya a (bates kemaknaan)

pada <= 20% kotak dan ada E < 5 kategori berapa minimalnya) meskipun berapa yang sebenarnya nilai IX (batas kemaknaan)

Tabel 1, kolom 5 Ket. Gambar 1 - „- „Kiri Kiri Kiri Kiri Ket. Gambar 2 - „- „- „-

14 14 15 15 15 15 16 16 16

Kiri Kanan Kid Kiri Kanan Kanan Tabel 3, kolom 1 Tabel 3, kolom 2 - „-

16 16 16 16 17 17 17

- „- „Tabel 3, kolom 3 Tabel 3, kolom 5 Kiri Kanan Kanan

Sambungan

Halaman

Kolom

17 17 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 18 19 19 19 19

Ket. Tabel 4 Tabel 4, kolom 1 Ket. Tabel 5 Tabel 5, kolom 1 -„-

19 20 20 20 20 20 20

Kanan Kanan Kanan Kanan Kepust. No 3 — „ — No 4 — „ — No 7

20 20 21 21 21 21 21 21

—„— —„— —„— —„— —„— —„— —„— —„—

No 8 No 9 No 19 No 20 No 25 No 33 No 38 No 40

21

—„—

No 42

Kiri Kiri Kanan Kanan Kanan Kanan Kanan Kanan Kanan Kanan Kanan Kiri Kiri Kanan Kanan

Baris ke (dari atas/bawah) 2 (atas) 1 (atas) 1 (atas) 1 (atas) 2 (atas) 4 (atas) 10 (bawah) 3 (atas) 6 (atas) 19 (atas) 21 (atas) 24 (atas) 27 (atas) 28 (atas) 30 (atas) 2 (bawah) 22 (bawah) 10 (bawah) 18 (atas) antara 26 dan 27 (atas) 29 (atas) 9 (atas) 13 (atas) 22 (atas)

Tercetak

Seharusnya

dalam %)*(40%) Nilai nilai yang sebenarnya Nilai Sebenarnya twe pada kata yang wa variabel vanabel saru rs "melihat scatter diagram" olservasi dara mempuiurai dart aslinya diperhatikan regresinya digambarkan perbedaan niali satu spasi

dalam %)* Nilai IX nilai a yang sebenarnya Nilai Ct sebenarnya tea pada kata yang wa kedua variabel variabel satu rs melihat "scatter diagram" observasi data mempunyai data aslinya diperlihatkan garis regresinya digambarkan perbedaan nffai dua spasi

(mmHg,SEM,mg,ug/ml dll) 5(85) tentunya tian, secara Jones 16 JAMA 1966;45: Stastical JAMA 197235:334-5. Ciro Res 1978; Vive la diffence 1978; IV:1789. XXIII The role Scince 1980 ; Colguhoun D. J Lap Clin Med Statistics and ethics in medical research: collecting data more than once. statistics in unethical

(mmHg,mg,ug/ml dB) 5(8%) tentu saja ti, secara Jones IG JAMA 1966;195: Statistical JAMA 1976;235:534-5. Circ Res 1978; Vive la difference 1978; iv:1789. XXIV , The role Science 1980; Colquhoun D. J Lab Clin Med Statistics : the problem of examining accumulating data more than once. statistics is unethical

,

Related Documents

Cdk 025 Uji Klinik
November 2019 1
025
November 2019 17
025
November 2019 22
025
November 2019 29
025
November 2019 20