LAPORAN KASUS SNAKE BITE
Oleh: dr. Henri Aprilio Purnomo
Pembimbing : Letkol CKM dr. Esthi Wijayanti dr. Slamet Suprihadi
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA RST WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO JAWA TENGAH 2019
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Alhamdulillah, segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT dan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul SNAKE BITE dengan baik. Laporan presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Program Internship di RST Wijayakusuma Purwokerto. Dalam
kesempatan
ini
penulis
ingin
mengucapkan
terima
kasih
yang
sebesar-besarnya kepada : 1. Letkol CKM dr. Esthi Wijayanti dan dr.Slamet Suprihadi, selaku dokter pembimbing 2. Para Perawat dan Pegawai di RST Wijayakusuma Purwokerto 3. Teman-teman sejawat dokter internship di lingkungan RST Wijayakusuma Purwokerto. Segala daya dan upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan laporan kasus yang baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya bagi sejawat para dokter internship yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Purwokerto, Januari 2019
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................
1
DAFTAR ISI .................................................................................................
2
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................
3
BAB II
LAPORAN KASUS .......................................................................
4
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ................................................................
11
A.
Definisi ...................................................................................
11
B.
Jenis ular dan cara mengidentifikasinya ................................
12
C.
Bisa ular .................................................................................
14
D.
Patofisiologi gigitan ular berbisa ...........................................
16
E.
Tanda dan gejala ....................................................................
16
F.
Diagnosa ................................................................................
19
G.
Penatalaksanaan keracunan akibat Gigitan ular .....................
22
H.
Komplikasi gigitan ular..........................................................
25
I.
Prognosis ................................................................................
25
BAB IV ANALISA KASUS .........................................................................
26
BAB V
KESIMPULAN ..............................................................................
27
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
28
2
BAB I PENDAHULUAN
Snake bite merupakan salah satu keadaan medis gawat darurat di banyak negara, terutama di daerah pedesaan. Snake bite merupakan penyakit akibat okupasi, paling sering terjadi pada pekerja pertanian, nelayan, dan anak-anak. Snake bite dapat menyebabkan kematian atau disabilitas kronik pada banyak orang muda yang masih aktif dalam beraktivitas. Mortalitas dari insiden snake bite termasuk tinggi di daerah Asia Tenggara. Indonesia merupakan salah satu negara yang tak luput dari kasus gigitan ular. Menurut Swaroop dan Grab 1954, memperkirakan adanya kematian akibat gigitan ular sebanyak 30.000 hingga 40.000 setiap tahunnya di dunia, dengan 25.000-35000 kematian di Asia. Skala mortalitas dan morbiditas akut serta kronik yang sebenarnya dari kasus ini tidak diketahui secara pasti karena laporan yang tidak adekuat di hampir semua negara. Dalam menghadapi kasus snake bite diperlukan tatalaksana yang cepat, baik dalam menegakkan diagnosis maupun terapinya. Antibisa merupakan satu-satunya antidotum yang efektif untuk bisa ular. Hal ini merupakan faktor yang penting dalam terapi keracunan sistemik yang diakibatkan oleh bisa ular, tetapi antibisa saja mungkin tidak cukup untuk menyelamatkan kehidupan pasien. Antibisa dibeberapa daerah mungkin saja memiliki harga yang mahal dan suplai yang sedikit. Ketika tidak ada antibisa yang tersedia, terapi secara komservatif dalam banyak kasus dapat menyelamatkan hidup pasien.
3
BAB II LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN - Nama
: An. AA
- Usia
: 9 Tahun.
- Jenis Kelamin
: Perempuan
- Tanggal Lahir
: 03 November 2009
- Alamat
: Purwosari RT/RW 001/002 kabupaten Banyumas
- Pendidikan
: SD
- Pekerjaan
: Pelajar
- Masuk RS
: 06 Desember 2018
II. ANAMNESIS Didapatkan melalui alloanamnesis pada tanggal 06 Desember 2018
1. Keluhan Utama Kaki kiri digigit ular kira-kira 30 menit sebelum masuk rumah sakit
2. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RST Wijayakusuma Purwokerto dengan keluhan kaki kiri digigit ular sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit di teras rumah. Pasien tidak membawa jasad ular yang menggigitnya dan tidak tahu jenis ular menggigitnya. Pasien menunjukkan foto ular yang menggigitnya, ular tersebut berwarna hitam dengan belang-belang berwarna putih dan berkepala runcing. Setelah tergigit ular, pasien mengikat kaki kirinya menggunakan kain. Pasien mengeluhkan bengkak dan nyeri yang semakin bertambah pada bekas gigitan ular . Pasien tidak mengeluhkan keluhan seperti mual, muntah, pingsan, pandangan kabur, mimisan, gusi berdarah, sesak napas, berdebar-debar, nyeri otot, muntah darah, perubahan pada buang air besar dan buang air kecil.
4
3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit seperti diabetes, penyakit ginjal, TB paru, asma bronkial, alergi obat dan alergi makanan disangkal oleh pasien.
III. PEMERIKSAAN FISIK 1. Kondisi umum
: Sakit sedang
2. Kesadaran
: Kompos mentis.
3. Tekanan Darah
: 110/70 mmHg.
4. Nadi
: 122 kali/menit, regular.
5. Pernapasan
: 22 kali/menit.
6. Suhu
: 36,5 °C.
7. Kepala - Bentuk: Normal, simetris. - Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks cahaya positif pada kedua mata, pupil bulat isokor, edema periorbita negatif, ptosis negatif. - THT : Bentuk normal, simetris, tidak ditemukan napas cuping hidung maupun sianosis. - Mulut 8. Leher
: Bibir tidak sianosis, mukosa bibir tidak hiperemis. : Trakea terletak ditengah, tidak tampak deviasi maupun
retraksi. Kelenjar Getah Bening dan tiroid tidak membesar, JVP 5+2 cmH2O. 9. Toraks - Inspeksi a. Paru
: Bentuk simetris, pergerakan dinding dada simetris saat
statis dan dinamis. b. Jantung : Iktus kordis terlihat di ICS V linea midclavicula anterior sinistra. - Palpasi a. Paru
: Fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri.
b. Jantung : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicula anterior sinistra, thrill teraba di apeks dan ICS II sinistra. - Perkusi 5
a. Paru
: Sonor di seluruh lapang paru, batas paru-hati di ICS VI
linea midklavikula dekstra, peranjakan paru positif. b. Batas Jantung Kiri
: ICS V linea midclavicula anterior sinistra.
Kanan Atas
:
: ICS IV linea parasternalis dekstra. : ICS II linea sternalis sinistra.
- Auskultasi a. Paru
: Suara napas vesikular, tidak ada ronki atau mengi.
b. Jantung : S1 dan S2 regular, murmur negatif. 10. Abdomen - Inspeksi : Datar, simetris, tidak ada retraksi epigastrium, tidak tampak pembesaran organ. - Palpasi : Teraba kenyal, tidak ada nyeri tekan. Hepar dan Lien tidak teraba membesar, ballotement ginjal negatif. - Perkusi : Timpani pada ke-4 kuadran abdomen. Shifting dullness negatif. - Auskultasi : Bunyi usus positif, normal (frekuensi 14 kali/menit). 11. Ekstremitas : Akral hangat, lembab dan basah, tidak sianosis, edema negatif, CRT < 2”. 12. Status lokalis (et regio talocruralis posterior sinistra) :
Fang
mark
positif, bentuk titik ukuran masing-masing 0,1 cm x 0,1 cm dan 0,1 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1cm, edema positif disekitar fang mark, hiperemis ,tidak sianosis, tidak terdapat echimosis, CRT kurang dari dua seconds
6
Gambar 1. Foto Status Lokalis
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Hematologi (19 Maret 2017) Parameter
Hasil
Nilai Normal
Hemoglobin
10, 3
L : 14,0-18,0 P : 12-16 g/dl
Hematokrit
34,4
L : 40-54 P : 35-47%
Trombosit
440.000
150.000-400.000 /μL
Leukosit
9900
4.800-10.800 / μL
Glukosa Sewaktu
89
< 200 mg/dl
V. RESUME Pasien datang ke IGD RST Wijayakusuma Purwokerto dengan keluhan kaki kiri digigit ular sejak 30 menit sebelum masuk rumah sakit di teras rumah. Pasien tidak membawa jasad ular yang menggigitnya dan tidak tahu jenis ular menggigitnya. Pasien menunjukkan foto ular yang menggigitnya, ular tersebut berwarna hitam dengan belang-belang
7
berwarna putih dan berkepala runcing. Setelah tergigit ular, pasien mengikat kaki kirinya menggunakan kain. Pasien mengeluhkan bengkak dan nyeri yang semakin bertambah pada bekas gigitan ular .Pasien tidak mengeluhkan keluhan seperti mual, muntah, pingsan, pandangan kabur, mimisan, gusi berdarah, sesak napas, berdebar-debar, nyeri otot, muntah darah, perubahan pada buang air besar dan buang air kecil. Pada pemeriksaan fisik di regio talocruralis posterior sinistra ditemukan fang mark positif, bentuk titik ukuran masing-masing 0,1 cm x 0,1 cm dan 0,1 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1cm, edema positif disekitar fang mark, hiperemis ,tidak sianosis, tidak terdapat echimosis, CRT kurang dari dua seconds. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan penurunan hemoglobin.
VI. DIAGNOSIS KLINIS Vulnus morsum et causa snake bite grade I et regio talocruralis posterior sinistra
VII. TATALAKSANA 1. Non-medikamentosa a. Bed Rest
2. Medikamentosa a. Infus SABU 1 vial dalam D5% 40 tpm b. Injeksi Ceftriaxone 2x500 miligram secara intravena c. Injeksi Ketorolac 3x 15 miligram secara intravena d. Injeksi Dexamethasone 3x 2,5 miligram secara interavena e. Elastic verban disekitar luka
8
VIII. FOLLOW UP Tanggal
Hasil Tindak Lanjut, Analisis dan
/Hari
Tindak Lanjut/Implementasi
06/12/18
S/ Pasien datang dengan keluhan digigit
Instruksi
P/ Instruksi dr. Bambang P, Sp.B,
ular pada kaki kiri 30 menit sebelum masuk FinaCS : rumah sakit. Pasien mengeluhkan bengkak
dan nyeri yang semakin bertambah pada bekas gigitan ular .Pasien tidak
tpm
mengeluhkan keluhan seperti mual, muntah, pingsan, pandangan kabur,
Injeksi Ketorolac 3x 15 miligram secara intravena
perubahan pada buang air besar dan buang air kecil.
Injeksi Ceftriaxone 2x500 miligram secara intravena
mimisan, gusi berdarah, sesak napas, berdebar-debar, nyeri otot, muntah darah,
Infus SABU 1 vial dalam D5% 40
Injeksi Dexamethasone 3x 2,5 miligram secara interavena
Elastic verban disekitar luka
O/ TTV : T : 110/70 mmHg N : 122x/menit R : 20x/menit S : 36,5 °C. Status lokalis (regio talocruralis posterior sinistra) : Fang mark positif, bentuk titik ukuran masing-masing 0,1 cm x 0,1 cm dan 0,1 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1cm, edema positif disekitar fang mark, hiperemis ,tidak sianosis, tidak terdapat echimosis, CRT kurang dari dua seconds. A/ Vulnus morsum et causa snake bite grade I et regio talocruralis posterior sinistra
9
07/12/18
S/ Nyeri kaki kiri berkurang, tidak demam
P/ Instruksi dr. Bambang P, Sp.B,
O/ TTV :
FinaCS :
T : 100/70 mmHg
Terapi Lanjut
N : 80x/menit
Aff Elastic Verban
R : 20x/menit
Besok rencana BLPL
S : 36,0 °C. Status lokalis (regio talocruralis posterior sinistra) : Elastic Verban (+) A/ Vulnus morsum et causa snake bite grade I et regio talocruralis posterior sinistra
08/12/18
S/ Tidak ada keluhan
P/ Instruksi dr. Bambang P, Sp.B,
O/ TTV :
FinaCS :
T : 100/70 mmHg
Terapi rawat jalan :
N : 80x/menit
Cefixime 2x200 mg
R : 20x/menit
Paracetamol 2x500 mg
S : 36,0 °C.
Ranitidin 2x 150 mg
Status lokalis (regio talocruralis posterior sinistra) : Elastic Verban (+) A/ Vulnus morsum et causa snake bite grade I et regio talocruralis posterior sinistra
IX. PROGNOSIS - Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
- Quo ad functionam
: Dubia ad bonam.
- Quo ad sanationam
: Dubia ad bonam.
10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia. Hewan mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus untuk mencari makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala dapat mengakibatkan infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang beberapa lainnya cukup dibiarkan saja dan sembuh dengan sendirinya. Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat menyebabkan : a. Kerusakan jaringan secara umum, b. perdarahan serius bila pembuluh darah besar terluka c. infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies d. dapat mengandung racun atau bisa seperti pada gigitan ular e. awal dari peradangan Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari mangsa alamiahnya. Bila manusia tergigit, bisa biasanya disuntikkan secara subkutan atau intramuskuler. Ular kobra yang meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan terhadap kedua mata penyerang . Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.
11
B. JENIS ULAR DAN CARA MENGIDENTIFIKASINYA Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata. Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5
Gambar 2. Ular weling (b.candidus) (Kiri) dan Ular Kobra (n.sumatrana) (kanan)
12
Gambar 3. Ular king kobra (o.hannah) dan perbedaannya dengan ular kobra (anak panah)
Gambar 4. Karakteristik ular berbisa dan tidak berbisa
13
Tidak berbisa
Berbisa
Bentuk Kepala
Bulat
Elips, segitiga
Gigi Taring
Gigi Kecil
2 gigi taring besar
Bekas Gigitan
Lengkung seperti U
Terdiri dari 2 titik
Warna
Warna-warni
Gelap
Tabel 1. Perbedaan ular berbisa dan tidak berbisa
C. BISA ULAR Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
a. Komposisi Bisa Ular Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis2 : a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat membeku. b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous systemic haemorrhage). c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A)
racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan 14
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan. d. Phospholipase
A2
haemolitik
and
myolitik
–
ennzim
ini
dapat
menghancurkan membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah. e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) – merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya. f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.
b. Sifat Bisa Ular Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan. a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik) Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak
(menghancurkan)
sel-sel
darah
merah
dengan
jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain. b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik) Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam 15
(nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe. D. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan. Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru. Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal
E. TANDA DAN GEJALA Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan: a. Tanda gigitan taring (fang marks) b. Nyeri lokal c. Perdarahan lokal d. Kemerahan e. Limfangitis 16
f. Pembesaran kelenjar limfe g. Inflamasi (bengkak, merah, panas) h. Melepuh i. Infeksi lokal, terbentuk abses j. Nekrosis
Tanda dan gejala sistemik : a. Umum (general) mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas. b. Kardiovaskuler (viperidae) gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema konjunctiva (chemosis) c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae) perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan retina. d. Neurologis (Elapidae, Russel viper) mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata. e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B. candidus, western Russell’s viper Daboia russelii) nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut. f. Sistem Perkemihan nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain) 17
g. gejala endokrin insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
Tanda Envenomasi (Keracunan) Gigitan Ular Berbisa LOKAL ( pada bekas gigitan) Sistemik a. Tanda gigitan taring (fang Umum (general) : mual, muntah, nyeri marks)
perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Nyeri lokal
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan
c. Perdarahan lokal
(klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
d. Kemerahan
Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia
e. Limfangitis
eksternal, paralisis, dan lainnya.
f. Pembesaran kelenjar limfe
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok,
g. Inflamasi (bengkak, merah, arritmia (klinis), kelainan EKG. panas)
Cidera
h. Melepuh i. Infeksi
ginjal
oligouria/anuria lokal,
akut
(gagal
(klinis),
ginjal)
:
peningkatan
terbentuk kreatinin/urea urin (hasil laboratorium).
abses
Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat
j. Nekrosis
gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis
generalisata
(nyeri
otot,
hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya terhadap tanda venerasi.
18
Derajat Parrish Derajat
Venerasi
0 I
0 +/
II
Luka gigit
Nyeri
Udem/eritema
Tanda sistemik
+ +/+ +
<3cm/12 jam <3cm/12 jam
0 0
+
+ +++
III
++
+ +++
IV
++
+ +++
>12cm-25cm/1 +. Neurotoksik, 2jam mual, pusing, syok >25cm/12jam ++,syok, petekie,ekimosis Pada satu ++, gangguan faal ekstremitas ginjal, koma, secara perdarahan menyeluruh
-
+
Grading envenomasi Grade
Signs and Symptoms
0: No envenomation
Satu atau lebih fang mark, nyeri minimal, edema dan eritema kurang dari 1 inchi pada 12 jam, tanpa keterlibatan sistemik
I: Minimal envenomation
fang mark, nyeri sedang hingga berat,, edema dan eritema 1-5 inchi pada 12 jam jam pertama setelah digigit, tanpa keterlibatan sistemik
II: Moderate envenomation
fang mark, nyeri berat, edema dan eritema 6-12 inchi pada 12 jam jam pertama setelah digigit, keterlibatan sistemik : mual, muntah, shock atau gejala neurotoksik
III: Severe envenomation
fang mark, nyeri berat, edema dan eritema >12 inchi pada 12 jam jam pertama setelah digigit, ekimosis dan ptechiae generalisata
IV: Very severe envenomation
Keterlibatan sistemik : gagal ginjal, koma dan kematian, edema lokal yang mengenai ekstremitas hingga ipsilateral trunk
F. DIAGNOSA Anamnesis : Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting. Empat pertanyaan awal yang bermanfaat : 1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular? Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, 19
adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal. 2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular? Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau). 3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda? Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit. 4. apa yang anda rasakan saat ini? Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya. Beberapa ular berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik dengan yang berbisa. Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat dikenali dari ukuran, bentuk, warna, pola sisik, prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa terancam.
20
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan tedapat bekas gigi taring.
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa dengan bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).
Pemeriksaan laboratorium : 1. Penghitungan jumlah sel darah 2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time 3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah 4. Tipe dan jenis golongan darah 5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin 6. Urinalisis untuk myoglobinuria 7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
21
Pemeriksaan radiologis : 1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum 2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
Pemeriksaan lainnya : Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure monitor). Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit
G. PENATALAKSANAAN KERACUNAN AKIBAT GIGITAN ULAR Langkah-langkah yang harus diikuti pada penatalaksanaan gigitan ular adalah: 1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam
aliran
darah
dan
getah
bening;
pertimbangkan
pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
22
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa. Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor, kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien diposisikan miring (recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan 3. Pengobatan gigitan ular Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan gigitan ular. Metode penggunaan torniket (diikat dengan keras sehingga menghambat peredaran darah), insisi (pengirisan dengan alat tajam), pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit. Hal tersebut dapat meningkatkan absorpsi venom. 4. Terapi yang dianjurkan meliputi: a. Bersihkan bagian yang terluka dengan cairan faal atau air steril. b. Untuk efek lokal dianjurkan imobilisasi menggunakan perban katun elastis dengan lebar + 10 cm, panjang 45 m, yang dibalutkan kuat di sekeliling bagian tubuh yang tergigit, mulai dari ujung jari kaki sampai bagian yang terdekat dengan gigitan. Bungkus rapat dengan perban seperti membungkus kaki yang terkilir, tetapi ikatan jangan terlalu kencang agar aliran darah tidak terganggu. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena 23
dapat mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat menyebabkan efek sistemik yang lebih berat. c. Pemberian tindakan pendukung berupa stabilisasi yang meliputi penatalaksanaan
jalan
nafas;
penatalaksanaan
fungsi
pernafasan;
penatalaksanaan sirkulasi; penatalaksanaan resusitasi perlu dilaksanakan bila kondisi klinis korban berupa hipotensi berat dan shock, shock perdarahan, kelumpuhan saraf pernafasan, kondisi yang tiba-tiba memburuk akibat terlepasnya penekanan perban, hiperkalaemia akibat rusaknya otot rangka, serta kerusakan ginjal dan komplikasi nekrosis lokal. d. Pemberian suntikan antitetanus pada luka yang mengalami insisi, bila korban pernah mendapatkan toksoid maka diberikan satu dosis toksoid tetanus. e. Pemberian suntikan penisilin kristal sebanyak 2 juta unit secara intramuskular. f. Pemberian analgesik untuk menghilangkan nyeri. g. Pemberian serum antibisa. Indikasi pemberian serum antibisa yaitu jika ditemukan 1 atau lebih tanda keracunan sistemik (pada tabel diatas) atau pembengkakan lokal lebih dari setengah ekstremitas yang tergigit (tanpa penggunaan torniket) dalam 48 jam setelah tergigit, cepatnya pembengkakan dalam beberapa jam, adanya keterlibatan aliran lymph node pada ekstremitas yang tergigit Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way :
24
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi ularkoral. Komplikasi yang terkait dengan antivenom termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran
kapiler.
Kematian
umumnya
pada
korban
tanpa
intervensi
farmakologis.
I. PROGNOSIS Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala. Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu memerlukan skin graft.
25
BAB IV ANALISA KASUS
APAKAH DASAR DIAGNOSIS PADA PASIEN INI ? Telah diperiksa seorang anak perempuan berumur 9 tahun yang datang ke IGD RST Wijayakusuma Purwokerto dengan diagnosis Vulnus morsum et causa snake bite grade I et regio talocruralis posterior sinistra Diagnosis Vulnus morsum et causa snake bite grade I et regio talocruralis posterior sinistra ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis diketahui pasien memiliki riwayat gigitan ular 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak membawa jasad ular yang menggigitnya dan tidak tahu jenis ular menggigitnya. Pasien menunjukkan foto ular yang menggigitnya, ular tersebut berwarna hitam dengan belang-belang berwarna putih dan berkepala runcing. Setelah tergigit ular, pasien mengikat kaki kirinya menggunakan kain. Pada pemeriksaan fisik di regio talocruralis posterior sinistra ditemukan fang mark positif, bentuk titik ukuran masing-masing 0,1 cm x 0,1 cm dan 0,1 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1cm, edema positif disekitar fang mark, hiperemis ,tidak sianosis, tidak terdapat echimosis, CRT kurang dari dua seconds. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan penurunan hemoglobin.
APAKAH TATALAKSANA PADA PASIEN INI SUDAH TEPAT ? Penatalaksanaan umum yang diberikan pada pasien ini yaitu bedrest. Penatalaksaan medikamentosa yang diberikan pada pasien ini yaitu Infus SABU 1 vial dalam D5% 40 tpm, Injeksi Ceftriaxone 2x500 miligram secara intravena, Injeksi Ketorolac 3x 15 miligram secara intravena, Injeksi Dexamethasone 3x 2,5 miligram secara interavena, Elastic verban disekitar luka. Berdasarkan tinjauan pustaka atas, penatalaksanaan pasien sudah tepat.
26
BAB V KESIMPULAN
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia. Pada kasus ini, merupakan kasus luka gigitan ular. Diagnosis luka gigitan ular dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini diagnosis dengan diagnosis Vulnus morsum et causa snake bite grade I et regio talocruralis posterior sinistra. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien. Dari anamnesis diketahui pasien memiliki riwayat gigitan ular 30 menit sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak membawa jasad ular yang menggigitnya dan tidak tahu jenis ular menggigitnya. Pasien menunjukkan foto ular yang menggigitnya, ular tersebut berwarna hitam dengan belang-belang berwarna putih dan berkepala runcing. Setelah tergigit ular, pasien mengikat kaki kirinya menggunakan kain. Pada pemeriksaan fisik di regio talocruralis posterior sinistra ditemukan fang mark positif, bentuk titik ukuran masing-masing 0,1 cm x 0,1 cm dan 0,1 cm x 0,1 cm, jarak kedua luka 1cm, edema positif disekitar fang mark, hiperemis ,tidak sianosis, tidak terdapat echimosis, CRT kurang dari dua seconds. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan penurunan hemoglobin. Penatalaksanaan umum yang diberikan pada pasien ini yaitu bedrest. Penatalaksaan medikamentosa yang diberikan pada pasien ini yaitu Infus SABU 1 vial dalam D5% 40 tpm, Injeksi Ceftriaxone 2x500 miligram secara intravena, Injeksi Ketorolac 3x 15 miligram secara intravena, Injeksi Dexamethasone 3x 2,5 miligram secara interavena, Elastic verban disekitar luka. Berdasarkan tinjauan pustaka atas, penatalaksanaan pasien sudah tepat.
27
DAFTAR PUSTAKA
1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. Review Article : Current Concept Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August; 2002 2) WHO. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia Region. 2005 3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A, et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling Based on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218. doi:10.1371/journal.pmed.0050218 4) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104 5) Emedicine
Health.
2005.
Snakebite.
available
from
:
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite 6) Depkes. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Depkes RI.; 2001 7) Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, dkk. Schwartz’s Principles of Surgery.Eight Ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2007 8) Mcpeake R. Encountering Native Snakes in Arkansas. Arkansas:University of Arkansas Cooperative Extension Service Printing Services; 2012 9) Niasari nia, Latief A. Gigitan ular berbisa. Jakarta :Sari pediatri, vol. 5, no. 3, desember 2003
28