Case Report Anestesi Syok Anafilaktik.docx

  • Uploaded by: Cindhy Karania Metta Silavatto
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Report Anestesi Syok Anafilaktik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,457
  • Pages: 37
BAB I PENDAHULUAN

Syok anafilaktik adalah

suatu reaksi umum yang berpotensi mengancam nyawa

disebabkan oleh hipersensitifitas, memiliki karakter berupa gangguan pernapasan dan atau sirkulasi, hipotensi dan biasanya disertai perubahan pada kulit dan mukosa. Respon ini terjadi akibat dari pajanan terhadap suatu alergen.1 Menurut penelitian di Taiwan yang menggunakan Database Riset Asuransi Kesehatan Nasional untuk mengidentifikasi pasien dengan syok anafilaktik dan memperkirakan insidennya untuk pasien rawat inap yang diambil sampelnya dari tahun 2005 hingga 2012. 2 Pola syok anafilaksis dan angka kematian terkait syok anafilaktik juga diperiksa. Dari 22.080.199 pasien yang dirawat di rumah sakit dari 2005 hingga 2012, ada 2.289 kasus insiden syok anafilaksis dan 2.219 orang dilibatkan. Insiden rawat inap karena syok anafilaksis berkisar 12,71-13,23 per juta penduduk antara tahun 2005 dan 2012. Insiden syok anafilaktik dalam penelitian ini secara substansial lebih rendah daripada negara-negara barat lainnya, termasuk Amerika Serikat. Ada 24 kematian karena syok anafilaksis yang diinduksi obat saat rawat inap; tingkat mortalitas secara keseluruhan adalah 1,08%. Delapan belas (0,81%) pasien meninggal dalam 30 hari; 22 (0,99%) meninggal dalam waktu 2 bulan setelah syok anafilaktik. Insiden tertinggi terjadi pada pasien berusia 70-79 tahun. Sebaliknya, syok anafilaksis yang diinduksi makanan tidak dipengaruhi oleh usia. 2 Prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular. Meskipun demikian, tidak berarti organ lain tidak perlu diperhatikan. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaktik. 3

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Syok anafilaktik adalah

suatu reaksi umum yang berpotensi mengancam nyawa

disebabkan oleh hipersensitifitas, memiliki karakter berupa gangguan pernapasan dan atau sirkulasi, hipotensi dan biasanya disertai perubahan pada kulit dan mukosa. Respon ini terjadi akibat dari pajanan terhadap suatu alergen.1 Anafilaksis sendiri adalah bentuk dari manifestasi klinis yang diakibatkan dari keluarnya mediator sel mast dan basofil yang paling berbahaya dan mengancam kehidupan. 1,4

2.2.

Etiologi dan Faktor Resiko A. Dengan Perantara IgE a. Makanan Di negara Barat, makanan yang paling baling banyak memicu reaksi alergi adalah kacang, ikan, kerang, dan susu sapi. Di negara Timur Tengah, biji wijen yang paling banyak menyebabkan alergi. Pada negara di Asia, buncis dan nasi adalah yang paling banyak menyebabkan alergi.1,4 Alergi makanan paling banyak terjadi pada anak – anak dibandingkan orang dewasa. Biasanya reaksi terjadi paling lama 2 jam setelah alergen masuk. Asma dn riwayat atopik lainya merupakan faktor resiko terjadinya anafilaktik yang diakibatkan oleh makanan. 1,4 b. Obat Antibiotik adalah obat yang paling sering menyebabkan alergi, seperti penisilin dan sulfonamid. Hal ini dikarenakan obat yang menyebabkan reaksi alergi memiliki hapten yang berikatan dengan protein serum dan

2

akan memproduksi antibodi IgE. Tidak seperti alergen makanan, riwayat atopik seseorang tidak mempengaruhi alergen obat.1,3,4 Obat – obatan lain yang menyebabkan alergi antara lain antivirus, antihelmintik, dan obat – obatan TB. Selain itu, obat – obat relaksasi otot dan antineoplasmatik juga dapat menyebabkan alergi. 1,3,4 c. Racun Serangga Seperti lebah, tawon, tabuhan, dan semut api. Racun serangga mengandung enzim dan protein yang akan menimbulkan respon IgE. Pasien lanjut usia atau mereka yang mengalami gejala dengan onset cepat dan atau perubahan kulit yang minimal, menngkatkan resiko kematian yang lebih tinggi. 1,3,4 B. Tanpa Perantara IgE a. Kompleks Imun Reaksi ini biasanya terjadi pada darah, imunoglobulin dan dekstran. Dengan

terbentuknya

komplemen

aktivasi

kompleks

imun

akan

menyebabkan degranulasi sel mast.1,5 b. Aktivasi Sel Mast Non Imunologik Media radiokontras, seperti iodine, narkotika, sinar matahari, panas, dingin, dan alkohol. c. Modulasi metabolisme asam arakidonat Yang termasuk didalamnya adalah aspirin dan NSAID. d. Olahraga Dapat menjadi pemicu tunggal atau lebih sering sebagai amplifikasi kofaktor terkait dengan alergen makanan. e. Idiopatik

3

Anafilaktik idiopatik adalah diagnosa eksklusi setelah dilakukan anamnesis riwayat sebelumnya dengan lengkap, skin prick test, dan pemeriksaan darah ditambah tes alergen. 1,5

2.3.

Patofisiologi Banyak hal yang dapat memicu terjadinya anafilaktik. Ketika alergen masuk ke dalam

tubuh, tubuh akan mengeluarkan mediator inflamasi dari sel mast, seperti histamin, leukotrin, dan faktor aktivasi platelet. Sel mast akan terbentuk dalam jumlah yang tinggi di kulit, kemudian diikuti di sistem pernapasan dan pencernaan, yang akan menimbulkan beberapa manifestasi klinis.1,6,7 Mediator inflamasi tersebut akan menyebabkan bronkokontriksi, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular dan melemahnya kontraktilitas jantung. Hal ini juga akan menyebabkan spasme arteri koronari yang dapat menyebabkan sindrom koronari akut. 1,6,7

4

Syok anafilaktik disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe I. Disebut juga reaksi IgE. Ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mastdan basofil melepas mediator vasoaktif, yang menyebabkan terjadinya manifestasi klinis khas anafilaktik sistemik dan lokal, seperti rinitis, asma, urtikaria, dan alergi makanan.6,7 Reaksi hipersensitifitas tipe I disebut juga reaksi anafilaktik atau reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi ini, alergen masuk ke tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE. Urutan kejadian reaksi hipersesitifitas tipe I adalah: a) Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE hingga diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast/basofil. 6,7 5

b) Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang berisikan reaksi. Hal ini terjadi antara ikatan silang antigen dan IgE c) Fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaktik) sebagai efek mediator – mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik. 6,7

2.4.

Diagnosa Kriteria klinis untuk mendiagnosis anafilaksis 6

Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria. Anafilaksis terjadi ketika salah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:1,8 1. Onset akut penyakit (menit sampai beberapa jam) dengan keterlibatan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misalnya, gatal-gatal umum, pruritus atau flushing, bengkak bibir-lidah-lidah DAN SETIDAKNYA SATU HAL BERIKUT INI a. Kompensasi pernapasan (misalnya, dyspnea, mengi-bronkospasme, stridor, b.

mengurangi PEF, hipoksemia) Tekanan darah turun atau gejala yang berhubungan dengan disfungsi organ (misalnya, hipotonia [collapse], sinkop, inkontinensia)

2.

Dua atau lebih yang mengikuti terjadi secara cepat setelah terpapar alergen mungkin bagi pasien yang (menit sampai beberapa jam):

3.

a.

Keterlibatan jaringan kulit-mukosa (misalnya, gatal-gatal umum, gatal-flush,

b.

bengkak bibir-lidah-uvula Kompensasi pernafasan (misalnya, dyspnea, mengi-bronkospasme, stridor,

c.

PEF menurun, hipoksemia) Tekanan darah turun atau berhubungan gejala (misalnya, hipotonia [collaps],

d.

sinkop, inkontinensia) gejala gastrointestinal persisten (misalnya, nyeri perut kram, muntah)

Tekanan darah menurun setelah terpapar alergen yang diketahui pasien (menit sampai beberapa jam): a. Bayi dan anak-anak: tekanan darah sistolik rendah (usia tertentu) atau >30% penurunan TD sistolik b. Dewasa: Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30% penurunan dari TD pasien biasanya Catatan

PEF, peak expiratory flow atau arus puncak ekspirasi; TD, tekanan darah 7

* Tekanan darah sistolik yang rendah untuk anak-anak didefinisikan <70 mmHg dari 1 bulan sampai 1 tahun, kurang dari (70 mmHg ) dari 1 sampai 10 tahun dan <90 mmHg 1117 tahun.

Gejala dan Tanda Anafilaksis

Skin test adalah cara yang paling tersedia untuk mengkonfirmasi ada atau tidaknya sensitisasi. nilai diagnostik mereka belum dapat dievaluasi sepenuhnya untuk semua obat, dan selama beberapa dekade terakhir, pengalaman di antara pusat-pusat yang berbeda jarang dipertukarkan secara sistematis. Tes ini harus mengikuti prosedur stan-dard dan harus dilakukan dengan staf terlatih. Akan mendapatkan hasil 4-6 minggu setelah reaksi. Skin test harus diterapkan bila

diduga Drug Hipersensitivitas Reaction. Skin prick test dan tes

intradermal sangat penting untuk haptens reaktif untuk menunjukkan mekanisme IgEdependent. Dengan demikian, untuk dhr segera dianjurkan sebagai skrining awal karena sifatnya yang sederhana, kecepatan, biaya rendah, dan spesifisitas yang tinggi. tes 8

Intradermal test dapat dilakukan ketika skin prick test yang negatif. Dibandingkan dengan skin prick test, sensitivitas perantara IgE terhadap obat lebih tinggi. 1,8 Tes provokasi obat atau drug provocation test, juga disebut sebagai tes dosis, adalah standar emas untuk identifikasi obat memunculkan. Sedangkan semua pedoman setuju bahwa DPT datang di akhir pendekatan bertahap dalam alergi obat (karena risiko yang melekat nya), tergantung pada pedoman yang berbeda. Para penulis dari Parameter Praktek AS mempertimbangkan bahwa prosedur ini dimaksudkan untuk pasien yang, setelah evaluasi penuh, tidak mungkin alergi terhadap obat yang diberikan, DPT dilakukan untuk menunjukkan toleransi terhadap obat. The pedoman BSACI menganggap tujuan utama dari DPT sebagai sarana untuk mengecualikan DHR, tetapi juga dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis. The EAACI-DAIG / ENDA pedoman (13) alamat peran sebagai standar emas untuk membangun atau mengecualikan diagno-sis dari dhrs, tetapi setuju bahwa dalam beberapa situasi dalam praktek klinis, mungkin akan lebih berguna untuk mencari alternatif yang aman sebagai gantinya pengujian dengan obat yang merupakan penyebab pasti masalah. DPT memiliki sensitivitas tertinggi, tetapi hanya harus dilakukan di bawah kondisi pengawasan yang paling ketat .1,8

9

2.5.

Tatalaksana Gawat Darurat Pada Anafilaktik Pasien dengan anafilaksis membutuhkan penilaian langsung Airway, Breathing,

Circulation, Disability, Exposure. Permasalahan tersebut harus ditatalaksana seperti yang ditemukan dan segera memanggil layanan darurat. Kematian dapat diakibat oleh saluran napas atas, pernapasan bawah, dan / atau dekompensasi kardiovaskular sehingga manajemen darurat harus fokus pada ini.9,10 Adrenalin harus diberikan kepada semua pasien yang mengalami anafilaksis; itu juga harus diberikan kepada mereka dengan gejala klinis yang mungkin berkembang menjadi anafilaksis. Adrenalin bekerja pada: 1. Reseptor a-1 menyebabkan vasokonstriksi perifer, sehingga membalikan dari keadaan hipotensi dan edema mukosa 2. Reseptor b-1 dengan meningkatkan baik frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung, sehingga membalikkan hipotensi 3. Reseptor b-2 mengembalikan dari keadaan bronkokonstriksi dan mengurangi pelepasan mediator inflamasi. Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk pengobatan dengan adrenalin pada pasien yang mengalami anafilaksis. Manfaat lebih besar daripada risiko pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya. 9,10 Adrenalin harus diberikan melalui suntikan intramuskular ke dalam pertengahan luar paha. Profil keamanan adrenalin intramuskular sangat baik meskipun pasien mungkin mengalami pucat sementara, jantung berdebar, dan sakit kepala. adrenalin intramuskular (1 mg / ml) harus diberikan dengan dosis 0,01 ml / kg berat badan dengan total dosis maksimum 0,5 ml. Bila menggunakan adrenalin auto-injektor, pasien dengan berat antara 7,5-25 kg harus menerima 0,15 mg dengan pasien dipindahkan ke dosis 0,3 mg pada 2530 kg. Tidak ada data untuk menginformasikan kepada kami pasien harus menerima 0,5

10

mg dosis auto-injektor, jika ini tersedia. Dosis adrenalin dapat diulang setelah setidaknya interval 5 menit. Pasien yang memerlukan dosis ulang intramuskular adrenalin dapat mengambil manfaat dari infus adrenalin. infus adrenalin harus diberikan oleh orang-orang yang berpengalaman dalam penggunaan vasopresor dalam praktek klinis mereka sehari-hari, misalnya dokter anestesi dan dokter “critical care”. Adrenalin Intravenous pada pasien dengan sirkulasi yang memadai dapat menyebabkan hipertensi yang mengancam jiwa, iskemia miokard, dan aritmia. Pasien yang diberikan adrenalin intravena harus dipantau dengan EKG terus menerus, pulse oksimetri, dan tekanan darah. Pemakaian adrenalin subkutan atau inhalasi dalam tatalaksana anafilaksis tidak dianjurkan. 9,10 Pemicu anafilaksis harus dihentikan dan meminta pertolongan layanan gawat darurat atau kelompok resusitasi di rumah sakit. Posisikan pasien sesuai dengan gejala yang didapatkan, kebanyakan pasien dengan distress respirasi maka diposisikan duduk. Pada pasien dengan instabilitas sirkulasi dapat diposisikan terlentang dengan ekstremitas bawah dielevasikan untuk menstabilkan volume peredaran darah. Pada pasien hamil diposisikan semi berbaring pada sisi kiri dengan ekstremitas bawah dielevasikan. Pada keseluruhan pasien harus menghindari perubahan posisi mendadak. 9,10 High flow oksigen dapat diberikan menggunakan face mask kepada seluruh pasien dengan anafilaksis. Cairan intravena harus diberikan pada pasien dengan intabilitas kardiovaskular, karena adrenaline tidak efektif tanpa memulihkan volume peredaran darah. Cairan kristalloid harus diberikan dalam bolus 20 ml/kg.1,9,10 Inhalasi short-acting beta-2 agonis dapat diberikan sebagai tambahan untuk meredakan gejala bronkokonstriksi pada pasien dengan anafilaksis. mengi ringan dapat

11

ditatalaksana awal hanya dengan inhalasi short-acting beta-2 agonis, namun jika tidak ada respon dalam 5 menit maka adrenalin intramuscular harus diberikan. Antihistamin sistemik biasanya digunakan pada anafilaksis, namun studi menyatakan bahwa efek kombinasi H1-H2 antihistamin hanya untuk meredakan gejala pada kulit. Terdapat laporan bahwa pemberian antihistamin sistemik intravena dapat menyebabkan hipotensi. Oleh karena hal tersebut hanya oral H1-H2 antihistamin direkomendasikan untuk pada kasus anafilaksis. Glukokortikoid dapat diberikan oral maupun inravena, bekerja dengan menghentikan produksi protein proinflamasi. Diberikan pada pasien dengan asma dan reaksi bifasik. Nebulizer budesonide dosis tinggi efektif pada edema jalan nafas dengan gejala klinis stridor. 1,9,10 Tatalaksana potensial lain yaitu glucagon, sangat berguna untuk tatalaksana pasien dengan anafilaksis yang tidak respons terhadap adrenalin akibat pemberian B-blocker.

12

13

Pada pasien dengan gangguan respiratory dapat dimonitor sedikitnya 6-8 jam dan pasien dengan hipotensi harus dimonitor ketat paling tidak 12-24 jam. Pada pasien yang berisiko terjadi kekambuhan maka harus disiapkan auto-injektor adrenalin. Terdapat enam indikasi mutlak untuk memberikan resep adrenalin auto-injektor:

1,9,10

1. Anafilaksis sebelumnyadipicu oleh makanan, lateks, aeroallergen seperti hewan atau 2. 3. 4. 5.

pemicu yang dapat dihindari lainnya Exercise Induced Anaphlaxis Anafilaksis idiopatik sebelumnya Tidak stabil atau sedang sampai berat, asma persisten dan alergi makanan Alergi racun pada orang dewasa dengan reaksi sistemik sebelumnya dan anak-anak

dengan lebih dari reaksi kulit atau mukosa sistemik 6. Didasari gangguan sel mast dan reaksi sistemik sebelumnya. Indikasi relatif yaitu bila pasien jauh dari bantuan medis dan reaksi alergi sebelumnya ringan sampai berat terhadap makanan atau racun. Desentisisasi obat didefinisikan sebagai induksi dengan mempertahankan status toleransi klinis senyawa yang mengakibatkan hipersensitivitas secara sementara. Hal ini dilakukan dengan pemberian dosis secara perlahan kemudian ditingkatkan secara bertahap selama periode waktu yang singkat (beberapa jam sampai hari) sampai dosis terapi kumulatif dicapai dan ditoleransi. Desentisisasi menginduksi keadaan toleransi sementara. Campuran adrenalin dengan snake bite antivenom atau subcutaneous venom immunotherapy dapat melindungi sampai 90% pada orang dewasa dan 98% pada anak dengan anafilaksis akibat gigitan ular. Penggunaan adrenalin subkutan saja sebagai premedikasi dengan gigitan ular antivenom mengurangi risiko anafilaksis untuk ular antivenom. Penggunaan hidrokortison saja tidak mengurangi reaksi berat terhadap gigitan ular. 1,9,10

14

Anaphylaxis: Guidelines from the European Academy of Allergy and Clinical Imunology. Allergy. John Wiley & Sons A/S. Published by John Wiley & Sons Ltd 2014. 1026–1045. Apabila pada anak urtikaria/angioedema memenuhi kriteria anafilaksis, maka tata laksana anafilaksis harus dikerjakan.11 Epinefrin atau adrenalin harus diberikan secara intramuskular di paha daerah mid anterolateral dengan dosis 0,01 mg/kg BB. Konsentrasi epinefrin maksimum dalam plasma lebih cepat tercapai pada penyuntikan secara intramuskular dibandingkan subkutan. Dosis ini dapat diulang setiap 5-15 menit. Sebagian 15

besar pasien berespons setelah 1 sampai 2 dosis. Epinefrin mempunyai efek meningkatkan tekanan darah, mencegah terjadinya hipotensi dan syok, mengurangi obstruksi jalan napas, urtikaria, angioedema, dan mengi. Antihistamin H1 seperti difenhidramin dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1,25 mg/kgBB/kali, maksimal 50 mg/dosis. Antihistamin H2, seperti ranitidin (0,5-1 mg/kg/kali) dapat diberikan intravena. Kortikosteroid (metilprednisolon) dapat diberikan 1-2 mg/kg/hari.14 Antihistamin mempunyai awitan kerja yang lambat dan tidak dapat memblok kejadian yang telah terjadi setelah histamin terikat pada reseptornya. Pemberian antihistamin H1 dan H2 dilaporkan lebih efektif daripada pemberian antihistamin H1 saja untuk memperbaiki manifestasi klinis anafilaksis, terutama untuk keluhan urtikaria. Difenhidramin adalah antihistamin H1 generasi pertama yang dapat diberikan secara parenteral dan paling sering digunakan dalam tata laksana anafilaksis. Antihistamin generasi kedua belum mempunyai preparat untuk parenteral, sehingga tidak mempunyai peran dalam tata laksana akut anafilaksis. Penggunaan kortikosteroid tidak pernah dibuktikan dalam suatu penelitian klinis. Awitan kerja kortikosteroid lama dan tidak dapat menyelamatkan jiwa pada menit-menit pertama episode anafilaksis. Kortikosteroid digunakan untuk mencegah anafilaksis bifasik, walaupun efek ini belum dibuktikan dengan penelitian klinis. Pengawasan ketat perlu dilakukan pada pasien anafilaksis. Beberapa ahli menyebutkan pengawasan perlu dilakukan minimal selama 6-8 jam dan sebaiknya pasien diawasi selama 24 jam. Monitor terjadinya anafilaksis yang berulang sangat penting, karena anafilaksis bifasik bisa terjadi pada sekitar 6% kasus dengan masa bebas gejala sekitar 1,3-28,4 jam.11

16

17

BAB III LAPORAN KASUS

3.1.

Identitas

Nama No. RM Tanggal masuk Ruangan Alamat Tanggal lahir / Umur Agama Pendidikan Status Perkawinan Pekerjaan Alergi obat Sistem pembayaran 3.2.

Ny. S Z 00.09.46.51 28 Juni 2018 ICU Gang Hamid, Kelurahan Cawang 18 Maret 1991 Islam SMA Menikah Ibu Rumah Tangga Disangkal BPJS

Anamnesis (Autoanamnesis) Keluhan Utama Keluhan Tambahan

: Sesak : gatal – gatal di seluruh tubuh disertai bintik – bintik kemerahan, sakit kepala

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien perempuan berusia 27 tahun, mengeluh sesak secara tiba - tiba.Pasien berada di bangsal Cempaka saat keluhan terjadi. Sebelum keluhan terjadi, pasien diberikan obat Ceftriaxone secara injeksi. 5 menit kemudian pasien merasa sesak. Pasien juga merasakan gatal – gatal di seluruh tubuh disertai bintik – bintik kemerahan. Pasien juga merasa sakit kepala. Riwayat operasi kista Bartolini + beberapa jam sebelum keluhan terjadi. Pasien juga telah dilakukan skin prick test, namun hasilnya negatif. Riwayat Penyakit Dahulu - Riwayat asma disangkal - Riwayat alergi disangkal 18

- Riwayat kista Bartolini Riwayat Penyakit Keluarga Disangkal

3.3.

.Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : Tampak sakit berat, GCS 15 (E4M6V5) Tanda Vital Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu

:60 / 45 mmHg : 134 x/menit : 28 x/menit :36.7 oC

Tinjauan Sistem Kepala

: Normocephali

Mulut

: edem mukosa bibir +

Mata

:edem periorbital +/+

Leher

: Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, jejas (-)

Paru

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri : Vokal fremitus simetris : Sonor-sonor : bunyi nafas dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Tidak terdapat vena-vena yang melebar : Batas jantung normal : Pekak : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi

: Perut tampak buncit, sikatrik (+) : Bising usus (+) : Nyeri ketok (-), timpani : Nyeri tekan (-), supel

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, Edema -/Kulit :bintik – bintik kemerahan di seluruh tubuh

19

Tinggi badan : 150 cm Berat badan : 62 Kg BMI : 27,6 ( Overwight)

3.4.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (28/6/2018)

H2TL Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit

Hasil 11.5 g/Dl 35.5 % 27.0 rb/µL 304 rb / µL

Nilai Rujukan 12-14 g/dL 37- 43% 150rb – 400 rb rb/µL 5rb – 10rb/ µL

Analisa Gas Darah (28/6/2018) AGD dan Elektrolit PH darah PCO-2 PO2 Saturasi O2 Base Excess HCO3 TCO2 Konsentrasi O2 Natrium Kalium Clorida

Hasil 7,354 29,0 mmHg 111,6 mmHg 98,6 % -7,2 16,3 mmol/L 17,2 mmol/L 19,6 VOL % 131 mmol/L 2,7 mmol/L 110 mmol/L

Ni;ai Rujukan 7,350-7,450 36 – 45 mmHg 70 – 99 mmHg

Hasil 34 U/L 38 U/L 14 mg/dl 0,90 mg/dl

Nilai Rujukan 10 – 34 U/L 9 – 36 U/L 15 -45 0,60 – 0,90 mg/dl

-2,5-2,5 21 – 25 mmol/L 21 – 27 mmol/L 136 – 145 mmol/L 3,5 – 5,1 mmol/L 99 – 111 mmol/L

Kimia Klinik (28/6/2018) Kimia Klinik SGOT/AST SGPT/ALT Ureun darah Kreatinin darah

3.5.

Diagnosis

Syok Anafilaktik ec Alergi Obat 20

3.6.

Tatalaksana

- IVFD : NS 20 tetes per menit -O2 8 lpm -Mm/: - Dexamethasone 3 x 5 mg (3 ampul secara IV) - Epinefrin 0,3 mg diulang sebanyak 3 kali per 15 menit (IV) -Difenhidramin 10 mg (1 ampul) -observasi TTV /jam selama 24 jam

FOLLOW UP BANGSAL CEMPAKA

Waktu

19.39

Tekanan

Nad

Suhu

RR

Darah

(x/menit)i

(derajat C)

(x/menit)

(mmHg) 60/45

134

36,7

28

SpO2 (%)

Keterangan

98

dipenhidrami n 25 mg IV, epinefrin 0,3 mg, dexamethaso ne 1 amp, NS 1 Kolf

21

19.45

70/50

138

36,5

22

99

epinefrin 0,3 mg, dexamethaso

19.55

80/45

133

36,6

24

99

20.03 20.10 20.25 20.40

90/50 92/60 95/60 97/62

127 121 124 120

36,7 36,5 36,8 36,5

23 22 20 21

99 99 99 99

20.45

100/68

114

36,5

20

99

21.00

110/76

92

36,7

18

99

21.20

112/62

80

36,7

20

99

ne 1 amp epinefrin 0,3 mg, NS 1Kolf

FOLLOW UP ICU

Tanggal 28 Juni 2018 S/

:Sesak (+) namun sudag berkurang, gatal di seluruh tubuh (+), sakit kepala (+)

O/

: KU

:TSS

Kesadaran

:CM

Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu SpO2

:121/ 72 mmHg : 90 x/menit, kuat angkat, reguler : 20 x/menit :36.7 oC :99%

Kepala

:Normocephali

Mulut

: edem mukosa bibir + 22

Mata

:edem periorbital +

Leher

: Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, jejas (-)

Paru

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri : Vokal fremitus simetris : Sonor-sonor : bunyi nafas dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Tidak terdapat vena-vena yang melebar : Batas jantung normal : Pekak : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi

: Perut tampak buncit, sikatrik (+) : Bising usus (+) : Nyeri ketok (-), timpani : Nyeri tekan (-), supel

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, Edema -/Kulit :bintik – bintik kemerahan di seluruh tubuh

A/

:Syok anafilaktik e.c alergi obat

P/

:O2 8 lpm IVFD: NaCl 0,9% Ciprofloxacin 2x500 mg Asam mefenamat 3 x 500 mg CTM 3x1 tab Dexametasone 3x1 ampul

Tanggal 29 Juni 2018 S/

:Sesak (-), gatal di seluruh tubuh (-), sakit kepala (-)

O/

: 23

KU

:TSS

Kesadaran

:CM

Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu SpO2

:110/ 80 mmHg : 92 x/menit, kuat angkat, reguler : 20 x/menit :36.5 oC :100%

Kepala

:Normocephali

Mulut

: edem mukosa bibir (-)

Mata

:edem periorbital (-)

Leher

: Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, jejas (-)

Paru

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri : Vokal fremitus simetris : Sonor-sonor : bunyi nafas dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Tidak terdapat vena-vena yang melebar : Batas jantung normal : Pekak : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi

: Perut tampak buncit, sikatrik (+) : Bising usus (+) : Nyeri ketok (-), timpani : Nyeri tekan (-), supel

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, Edema -/Kulit :bintik – bintik kemerahan di seluruh tubuh (-)

A/

:Syok anafilaktik dengan perbaikan e.c alergi obat

P/

:IVFD: NaCl 0,9% Ciprofloxacin 2x500 mg 24

Asam mefenamat 3 x 500 mg CTM 3x1 tab Dexametasone 3x1 ampul

Tanggal 30 Juni 2018 S/

:Sesak (-), gatal di seluruh tubuh (-), sakit kepala (-)

O/

: KU

:TSS

Kesadaran

:CM

Tekanan darah Nadi Pernafasan Suhu SpO2

:128/ 81 mmHg : 95 x/menit, kuat angkat, reguler : 20 x/menit :36.5 oC :100%

Kepala

:Normocephali

Mulut

: edem mukosa bibir (-)

Mata

:edem periorbital (-)

Leher

: Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, jejas (-)

Paru

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri : Vokal fremitus simetris : Sonor-sonor : bunyi nafas dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: Tidak terdapat vena-vena yang melebar : Batas jantung normal : Pekak : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Perut tampak buncit, sikatrik (+) Auskultasi : Bising usus (+) Perkusi : Nyeri ketok (-), timpani 25

Palpasi

: Nyeri tekan (-), supel

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2”, Edema -/Kulit :bintik – bintik kemerahan di seluruh tubuh (-)

A/

:Syok anafilaktik dengan perbaikan e.c alergi obat

P/

: IVFD: NaCl 0,9% Ciprofloxacin 2x500 mg Asam mefenamat 3 x 500 mg CTM 3x1 tab Dexametasone 3x1 ampul

26

STATUS ICU

27

28

m

29

,m

30

31

BAB IV 32

PEMBAHASAN

Teori Syok anafilaktik adalah suatu reaksi umum Ny yang

berpotensi

mengancam

SZ

Kasus perempuan berusia

27

tahun,

nyawa mengeluh sesak secara tiba – tiba, 5 menit

disebabkan oleh hipersensitifitas, memiliki kemudian pasien merasa sesak. Pasien juga karakter berupa gangguan pernapasan dan merasakan gatal – gatal di seluruh tubuh atau sirkulasi, hipotensi dan biasanya disertai disertai bintik – bintik kemerahan. Pasien perubahan pada kulit dan mukosa. juga merasa sakit kepala Respon ini terjadi akibat dari pajanan Lima menit sebelum keluhan muncul pasien terhadap suatu alergen. Antibiotik adalah diberikan obat Ceftriaxone secara injeksi obat yang paling sering menyebabkan alergi, Riwayat asma disangkal Riwayat alergi disangkal seperti penisilin dan sulfonamid. Hal ini dikarenakan obat yang menyebabkan reaksi alergi

memiliki

hapten

yang

berikatan

dengan protein serum dan akan memproduksi antibodi IgE. Tidak seperti alergen makanan, riwayat

atopik

seseorang

tidak

mempengaruhi alergen obat Kriteria klinis mendiagnosis anafilaksi yaitu :

1. Lima

1. Onset akut penyakit (menit sampai

menit

setelah

diberikan

Ceftriaxone pasien merasa sesak. 2. Pasien juga merasakan gatal – gatal di

beberapa jam) 2. Adanya keterlibatan jaringan kulit-

seluruh tubuh disertai bintik – bintik

mukosa (misalnya gatal-gatal umum,

kemerahan. Pasien juga merasa sakit

flushing, bengkak bibir dan uvula) 3. Gangguan pernafasan (dyspnea,

kepala. 3. Tekanan darah : 70/50 mmHg 4. Gejala gastrointestinal

wheezing-bronkospasme, stridor, PEF ditemukan menurun) 33

tidak

4. Tekanan darah menurun (dewasa <90 Pemeriksaan Fisik didapatkan mmHg atau >30% penurunan dari TD

1. Edem mukosa bibir + 2. Edem periorbital +

pasien) 5. Gejala gastrointestinal persisten Pemeriksaan Drug Hipersensitifitas Reaction

Pasien juga telah dilakukan skin prick test,

yaitu Skin Test dan Test Provokasi Obat Tatalaksana Gawat Darurat pada Anafilaksis

namun hasilnya negatif 1. Dexamethasone 3 x 5 mg (3 ampul secara IV), Epinefrin 0,3 mg diulang sebanyak 3 kali per 15 menit (IV) Difenhidramin 10 mg (1 ampul) 2. Pasien diposisikan terlentang dengan elevasi ekstremitas inferior 3. Oksigen 8 lpm dengan face mask 4. IVFD : NS 20 tetes per menit

1. Posisikan pasien sesuai dengan gejala yang didapatkan, pasien dengan distress respirasi diposisikan duduk. Pada

pasien

dengan

instabilitas

sirkulasi dapat diposisikan terlentang dengan dielevasikan

ekstremitas untuk

bawah

menstabilkan

volume peredaran darah. 2. High flow oksigen dapat diberikan menggunakan face mask kepada seluruh pasien dengan anafilaksis. 34

3. Cairan intravena harus diberikan pada

pasien

dengan

intabilitas

kardiovaskular,

karena

adrenaline

tidak

efektif

tanpa

memulihkan

volume peredaran darah. Cairan kristalloid harus diberikan dalam bolus 20 ml/kg. Pada pasien dengan gangguan respiratory

observasi TTV /jam selama 24 jam

dapat dimonitor sedikitnya 6-8 jam dan pasien dengan hipotensi harus dimonitor ketat paling tidak 12-24 jam.

BAB V KESIMPULAN Syok anafilaktik adalah

suatu reaksi umum yang berpotensi mengancam nyawa

disebabkan oleh hipersensitifitas, memiliki karakter berupa gangguan pernapasan dan atau sirkulasi, hipotensi dan biasanya disertai perubahan pada kulit dan mukosa. Respon ini terjadi akibat dari pajanan terhadap suatu alergen. Prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular. Menurut pembahasan yang sudah dibahas bahwa penanganan

35

syok anafilaksis yang dilakukan sudah sesuai dengan pedoman diagnosis dan tatalaksana syok anafilaksis, sehingga akan memiliki prognosis yang baik terhadap pasien.

Daftar Pustaka 1. David SS. Clinical pathways in emergency medicine. Kerala: Springer. 2016. hal 1920. 2. Liu FC, Chiou HJ, Kuo CF, Chung TT. Epidemiology of anaphylactic shock and its related mortality in hospital patients in Taiwan: a nationwide population-based study. NCBI. 2017 ;48(5):525-531 [Dikutip 8 Juli 2017] Tersedia dari:

36

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28498295 3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing.2013. hal 259. 4. Papadakis M, McPhee S. Current medical diagnosis and treatment. San Fransisco: Lange. 2017. Hal 876-877. 5. Harrison T, Resnick W, Wintrobe M,dkk. Harrison’s principles of internal medicine. Massachusetts: Mc Graw Hill Education. 2015. Hal 2115-2117. 6. Reber L, Hernandez J, Galli J. The pathophysiology of anaphylaxis. . J Allergy Clin Immunol. 2017;140(2): 336-344. 7. Baratawidjaya

K

G. Imunologi dasar.

Jakarta

:

Balai

Penerbit

Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2014. Hal 321-325. 8. Muraro et all. Anaphylaxis: Guidelines from the European Academy of Allergy and Clinical Imunology. Allergy. John Wiley & Sons A/S. Published by John Wiley & Sons Ltd 2014. 1026–1045. 9. Song T.T, Worm, M dan Lieberman,P. Anaphlaxis treatment: current barriers to autoinjector use. Allergy 69 John Wiley & Sons A/S. Published by John Wiley & Sons Ltd. (2014) 983–991 10. Demoly, P et all. International Consesus on drug allergy. Allergy 69 John Wiley & Sons A/S. Published by John Wiley & Sons Ltd (2014) 420–437 11. Pardede, SO dkk. Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.2013.

37

Related Documents

Long Case Anestesi
October 2019 22
Syok
June 2020 26
Anestesi
November 2019 48
Case Report
May 2020 25
Case Report
June 2020 29

More Documents from ""