Laporan Kasus
Pteryigum OD dan Post Pteroplasty OS
Henricho Hermawan
1120171226
Penguji : dr. Ayu Ratnawati, SpM
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA RUMAH SAKIT BAYUKARTA, BAYUKARTA EYE CENTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus :
Juni 2018
SMF ILMU PENYAKIT MATA BAYUKARTA EYE CENTER KARAWANG
Nama
: Henricho Hermawan
NIM
: 112017101
Dr. Pembimbing / Penguji
I.
Tanda Tangan ………………..
: dr. Ayu Ratnawati , Sp.M
………………..
IDENTITAS Nama
: Ny.SR
Umur
: 35 Tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Asisten Rumah Tangga
Alamat
: Cibuaya Pejaten
Tanggal pemeriksaan : 5 Juni 2018
II.
ANAMNESIS Auto Anamnesis tanggal
: 5 Juni 2018
Keluhan utama
: Mata kanan dan kiri terasa mengganjal sejak 1 tahun yang lalu
Keluhan tambahan
: Kedua berair, merah
Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan mata mengganjal dirasakan pada kedua mata sepanjang hari. Rasa mengganjal terutama dirasakan saat sedang beraktivitas membersihkan rumah, berada pada suasana panas (aktivitas di luar rumah), terkena pendingin ruangan dan debu serta saat sedang kurang tidur. OS juga merasakan mata berair dan merah saat rasa
mengganjal muncul dan melihat adanya selaput putih pada kedua mata dibagian dekat hidung. OS mengatakan tidak mengalami gangguan penglihatan berupa penglihatan berkabut atau kilatan cahaya, nyeri tekan pada bagian mata, adanya kotoran mata dan sakit kepala. Dua tahun SMRS, OS mengeluh mata kanan mengalami sakit seperti tercolok dan mengganjal. OS merasakan keluhan ini terutama saat sedang kurang tidur dan setelah beraktivitas berat membersihkan rumah. Mata kanan juga berarir dan merah. Pemberian obat tetes mata dapat meringankan keluhan tapi muncul lagi ketika kembali beraktivitas di dalam ataupun di luar rumah. Satu tahun SMRS, OS mengalami keluhan yang sama tapi kali ini terjadi pada kedua mata. Keluhan mengganjal juga dirasakan semakin parah ketika terkena debu dan cahaya yang terlalu silau. Pemberian obat tetes mata meringankan keluhan, tapi hanya bersifat sementara. OS mengaku ketika mata terasa kering akibat efek obat habis akan kembali terasa mengganjal. Satu bulan SMRS, keluhan tidak mengalami perbaikan. OS berencana melakukan pengobatan sepulangnya ke Indonesia setelah bekerja di Arab Saudi sebagai asisten rumah tangga. OS sebelumnya menjalani operasi Pteroplasty pada mata kiri pada tanggal 24 Mei 2018 di Bayukarta Eye Center. Keluhan mengganjal jauh membaik, namun sedikit nyeri akibat adanya perlukaan kecil akibat operasi.
Riwayat Penyakit Dahulu : - Mata kiri pernah di operasi Pteroplasty pada 24 Mei 2018 di BKEC - Riwayat tekanan darah tinggi ada - Riwayat kencing manis tidak ada - Riwayat trauma tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga : - Ayah OS menderita kencing manis - Riwayat darah tinggi tidak ada pada keluarga
III.
PEMERIKSAAN FISIK STATUS GENERALIS Keadaan Umum
: Tampak sakit ringan
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 82x/menit
RR
: 20x/menit
Suhu
: 36 oC
Kepala
: Dalam batas normal
Mulut
: Dalam batas normal
THT
: Dalam batas normal
Thorax Jantung
: Dalam batas normal
Paru
: Dalam batas normal
Abdomen
: Dalam batas normal
Extremitas
: Dalam batas normal
STATUS OPHTALMOLOGIS
KETERANGAN
OD
OS
1,0
0,8 ph 1,0
- Koreksi
Plano
S -0,5 : 1,0
- Addisi
-
-
1. VISUS - Axis Visus
- Distansia Pupil - Kacamata Lama
60 (-)
(-)
- Eksoftalmus
(-)
(-)
- Enoftalmus
(-)
(-)
- Deviasi
(-)
(-)
Baik ke segala arah
Baik ke segala arah
Hitam
Hitam
(+)
(+)
2. KEDUDUKAN BOLA MATA
- Gerakan Bola Mata 3. SUPERSILIA - Warna - Simetris
4. PALPEBRA SUPERIOR DAN INFERIOR
- Edema
(-)
(-)
- Nyeri tekan
(-)
(-)
- Ekteropion
(-)
(-)
- Entropion
(-)
(-)
- Blefarospasme
(-)
(-)
- Trikiasis
(-)
(-)
- Sikatriks
(-)
(-)
Normal (+)
Normal (+)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Punctum Lacrimal - Tes Anel
5. KONJUNGTIVA SUPERIOR DAN INFERIOR - Hiperemis
(-)
(-)
- Folikel
(-)
(-)
- Papil
(-)
(-)
- Sikatriks
(-)
(-)
- Hordeolum
(-)
(-)
- Kalazion
(-)
(-)
- Sekret
(-)
(-)
- Injeksi Konjungtiva
(-)
(+)
- Injeksi Siliar
(-)
(-)
- Perdarahan Subkonjungtiva
(-)
(-)
- Pterigium
(+)
(-)
- Pinguekula
(-)
(-)
- Nevus Pigmentosa
(-)
(-)
- Kista Dermoid
(-)
(-)
- Warna
Putih
Merah
- Ikterik
(-)
(-)
- Nyeri Tekan
(-)
(-)
- Kejernihan
(+)
(+)
- Permukaan
Bercahaya & terang
Bercahaya & terang
6. KONJUNGTIVA BULBI
7. SKLERA
8. KORNEA
- Ukuran
11 mm
11 mm
Baik
Baik
- Infiltrat
(-)
(-)
- Keratik Presipitat
(-)
(-)
- Sikatriks
(-)
(-)
- Ulkus
(-)
(-)
- Perforasi
(-)
(-)
- Arcus Senilis
(-)
(-)
- Edema
(-)
(-)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Kedalaman
Normal
Normal
- Kejernihan
(+)
(+)
- Hifema
(-)
(-)
- Hipopion
(-)
(-)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Warna
Coklat
Coklat
- Kripte
Jelas
Jelas
- Sinekia
(-)
(-)
- Koloboma
(-)
(-)
Di tengah
Di tengah
- Bentuk
Reguler
Reguler
- Ukuran
3 mm
3 mm
- Reflex Cahaya Langsung
(+)
(+)
- Reflex Cahaya Tak Langsung
(+)
(+)
- Kejernihan
Jernih
Jernih
- Tes Shadow
Normal
Normal
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Sensibilitas
- Tes Placido 9. BILIK MATA DEPAN
- Efek Tyndal 10. IRIS
11. PUPIL - Letak
12. LENSA
13. BADAN KACA - Kejernihan
14. FUNDUS OKULI - Batas
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Warna
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Ekskavasio
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Ratio Arteri : Vena
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- C/D Ratio
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Macula Lutea
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Retina
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Eksudat
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Perdarahan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Sikatriks
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Ablasio
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
- Nyeri Tekan
(-)
(-)
- Massa Tumor
(-)
(-)
- Tensi Occuli
16 mmHg
13 mmHg
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
15. PALPASI
- Tonometri Schiots
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG - Slitlamp - Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan puasa - Pemeriksaan hemostasis
V.
Masa perdarahan
(Bleeding time)
Masa pembekuan
(Clotting time)
RESUME Seorang perempuan berusia 35 tahun datang dengan mata mengganjal pada oculi sinistra sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan serupa juga dirasakan pada oculi dextra sejak 1 tahun yang lalu. OS mengalami hiperemis pada konjungtiva bulbi saat mata terpapar debu, cahaya dan panas saat berakitivas. OS merasakan adanya selaput pada oculi dextra dan sinistra. OS tidak mengalami penurunan visus, nyeri tekan pada bagian mata, adanya kotoran mata dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik, tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 82x/menit, frekuensi nafas 20x/menit.
Pemeriksaan konjungtiva bulbi ditemukan adanya selaput berbentuk segitiga dengan apex menghadap sentral kornea dengan ketinggan ada pada antara limbus dan pupil serta basis menghadap lipatan semilunar pada canthus medius.
VI.
VII.
DIAGNOSA BANDING -
Pinguekula OD
-
Pseudopterygium OD
DIAGNOSIS KERJA - Pterygium derajat III OD
VIII. PENATALAKSAAN Non Medika Mentosa -
Conjunctival autograft OD
Medika Mentosa
IX.
-
Salep mata (cendo mycetine) OS
-
Artificial tears (polidextrosa) OS
-
Mitomisin C OS
PROGNOSIS OD
OS
Ad Vitam
:
ad bonam
ad bonam
Ad Functionam
:
ad bonam
ad bonam
Ad Sanationam
:
ad bonam
ad bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Pterygium didefinisikan sebagai suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada konjungtiva serta menginfiltrasi hingga ke limbus kornea dan kornea.1,2 Pada umumnya berbentuk segitiga dengan apex yang menghadap sentral kornea disertai dengan basis berada pada lipatan semilunar, pada canthus medius. Pterigium merupakan proses degenerasi dan hipertrofi yang banyak ditemukan di daerah tropis, terutama di sekitar khatulistiwa.2 Pingeukula adalah nodular grey-white nodule of the conjunctiva located often in the nasal or temporal bulbar conjunctiva but not involving the cornea.3 Sedangkan pseudopterygium memiliki tampilan klinis yang mirip dengan pterygium namun hal ini disebabkan lapisan konjungtiva yang bertumbuh serta bagian puncaknya menyentuh bagian kornea. Pseudopterygium merupakan suatu reson inflamasi akut akibat ulserasi kornea, trauma dan sikatriks kornea.4,5
Etiologi & Epidemiologi Pada banyak penelitian ditemukan bahwa pada negara-negara yang berada dekat garis khatulistiwa memiliki angka prevalensi yang lebih tinggi. Hal ini diperkirakan karena tingginya paparan radiasi ultraviolet pada negara-negara ini, terutama paparan dari UV-B.1 selain itu faktor resiko lain yang diduga menjadi penyebab dari pterygium adalah mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus, keadaan mata kering yang kronis.2,5 Lokasi dari proses degeneratif yang terjadi dibatasi oleh fissure palpebrae juga mengindikasikan adanya paparan sinar UV. Angin dan debu merupakan faktor yang membuat kondisi lebih buruk.3 Patogenesis Kejadian pterygium banyak pada pasien yang tinggal di negara beriklim panas. 5 hipotesis yang ada mengatakan bahwa radiasi UV-B sinar matahari akan mengakibatkan mutase pada gen p53 supresor tumor yang kemudia memfasilitasi proliferasi abnormal epitelium limbus.1 Secara histologi, lapisan subepitelial menunjukkan adanya degenerasi basofilik dari substantia propria dengan serat kolagen abnormal. Lapisan epitelium akan bervariasi mulai dari mengalami atrofi, hyperplasia, metaplasia dan dysplasia. Lapisan stroma mengandung area hiposelular dari degenerasi kolagen hialin. Pada area ini bercampur suatu gumpalan besar dari untaian berwarna merah yang menunjukkan adanya elastin (degenerasi
elastotic).3 Hal ini juga disertai adanya pembubaran dari lapisan bowman yang diikuti dengan invasi dari kornea superfisial.1
Diagnosis Pterigium merupakan akibat suatu perubahan fibrovaskular pada berbagai di tingkat yang terjadi di konjungtiva dan kornea. Pterygium umumnya akan muncul pada konjungtiva nasal dan meluas hingga ke kornea nasal, walaupun dapat juga muncul pada konjungtiva temporal begitu juga pada lokasi lainnya.6 Pasien dengan pterygium akan merasakan keluhan yang berbeda.6 Pada tahap awal perkembangan penyakit umumnya tidak aka nada gejala, tapi pada beberapa pasien dapat mengalami mata kering (rasa terbakar, gatal dan berair) karena lesi yang terjadi menyebabkan pembahasan yang tidak merata pada konjungtiva.1 Faktor resiko dari pterygium meliputi 2 hal yaitu terpapar oleh sinar ultraviolet termasuk tinggal di daerah beriklim subtropics dan tropis serta kebutuhan untuk bekerja di luar rumah akibat tuntutan pekerjaan.6 Seiring dengan progresifitas penyakit, lesi akan bertambah besar hingga dapat dilihat tanpa menggunakan bantuan alat pemeriksaan. Hal ini akan menimbulkan rasa tidak nyaman dan mengganggu secara kosmetik.1 Penetapan derajat pterygium bergantung pada posisi pertumbuhan jaringan fibrovaskular (lihat gambar 1). Pterigium derajat 1, puncak pterygium menyentuh limbus dan pembuluh darah episklera tidak terlibat. Pterigium derajat 2, puncak pterygium menyentuh limbus dan pembuluh darah episklera sedikit terlibat. Pterigium derajat 3, puncak pterygium menyentuh kornea dan pembuh darah episklera terlibat penuh.7
Gambar 1. Derajat pterygium. (A) Pterigium derajat 1. (B) Pterigium derajat 2. (C) Pterigium derajat 3.7
Pertimbangan penegakkan diagnosa pterygium bila memenuhi gejala serta faktor resiko yang sudah dipaparkan sebelumnya. Pertimbangan terjadinya suatu pseudopterigium bila adanya riwayat trauma kimia atau luka bakar dan ada penyakit marginal kornea. Pinguekula juga perlu dipertimbangan jika tidak ada trauma yang terjadi tapi ada pertumbuhan jaringan.
Pertumbuhan fibrovaskular yang tidak menyentuh kornea merupakan perbedaan pinguekula dan pterigium.6 Pinguekula sering terjadi, umunya kecil dan asimptomatik berwarna kuning berbentuk nodul pada lapisan konjungtiva bulbar. Nodul umumnya ditemukan pada konjungtiva bagian nasal, konjungtiva bagian temporal ataupun pada kedua sisi. Pinguekula rentan terjadi pada orang-orang yang seringkali terekspos matahari. Pada beberapa orang, pinguekula akan menimbulkan perasaan gatal, terbakar ataupun nyeri ringan. Jika tidak terjadi suatu inflamasi ataupun gangguan secara kosmetik, pinguekula secara umum akan diabaikan, tapi jika menimbulkan keluhan dapat diberikan artificial tears.6
Terapi Pada awal perjalanan penyakit, pengobatan dilakukan dengan pendekatan konservatif yaitu terbatas dengan penggunaan obat yang berfungsi melumasi mata agar tidak terasa mengganjal.5 Pengobatan dapat dilakukan untuk mengurangi keluhan yang dirasakan pemberian artificial tears secara tetes atau topical dan penggunaan kortikosteroid jangka pendek.6 Radiasi UV diyakini merupakan faktor risiko penting, maka direkomendasikan bahwa pasien dengan pterigium stadium awal untuk memakai kacamata hitam untuk mengurangi paparan ultraviolet agar mengurangi stimulus pertumbuhan.5,6 Pemakaian dilakukan saat beraktivitas, terutama jika terpapar sinar matahari, debu dan angin. Jika lesi terus tumbuh, intervensi bedah dapat disarankan untuk dilakukan.1 Perawatan medis untuk pasien yang bergejala, sama seperti pasien dengan pinguecula. Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Berbagai macam teknik untuk pterigium telah dikembangkan, termasuk adlaah tehnik Bare Sclera, McReynold, Transplantasi membran amnion (TMA), Flap Conjunctival, dan Autograft konjungtiva.1,5 Kekambuhan pasca operasi pterigium secara umum terjadi 6 bulan setelah operasi. Beberapa faktor yang berpengaruh yaitu derajat pterigium, usia pasien, lingkungan tempat aktivitas pasien, dan teknik operasi yang digunakan.8 Teknik bare sklera merupakan teknik untuk menghilangkan pterigium, dan kemudia sklera tempat pterigium tumbuh akan dibiarkan terbuka.9 Demireller et all, melaporkan kekambhuan sebanyak 42% dari 19 pasien yang dioperasi menggunakan teknik bare sklera. Youngson menyatakan rekurensi pterigium sebanyak 37% dari 100 kasus pada penggunaan teknik yang sama, hal ini menunjukkan teknik
ini tidak sehat dan seharusnya tidak digunakan. Teknik ini juga tidak direkomendasikan oleh dunia, karena tidak memiliki keuntungan meski teknik ini merupakan yang paling mudah dan cepat. Mitomisin C merupakan antibiotic isolasi dari Streptomyces caespitosis. Antibiotic ini menghambat RNA, DNA, dan sintesis protein yang umumnya digunakan untuk pengobatan anticancer. Berbagai tingkat konsentrasi telah digunakan, namun dosis dan waku penggunana masih belum dapat ditentukan.8,9 Rubinfeld et all, mengungkapkan terjadinya ulserasi sklera, skleritis nerkrosis, perforasi, iridocyclitis, katarak, infeksi, glaukoma, kalsifikasi sklera, dan kehilangan mata setelah eksisi pterigium dengan kombinasi terapi mitomisin C. Walaupun insiden dari komplikasi ini masih belum pasti, keamanan dari pengunaan mitomisin ditetapkan sebagai percobaan jangka panjang.8 Hal ini disebabkan karena adanya komplikasi yang bergantung pada dosis yang diberikan dan dapat muncul kapan saja, sehingga pasien yang diberikan mitomisin C memerlukan follow up untuk waktu yang lama. Terdapat beberapa teknik operasi autograft konjungitva termasuk autograft limbal konjungtiva, konjungtival flap, autograft rotasi konjungtival. Graft yang dilakukan bekerja sebagai stem sel dan berperan sebagai barrier sel konjungtiva untuk mencegah migrasi sel ke limbus dan kornea. Mekanisme ini berperan mencegah terjadinya rekurensi.9 Autograft rotasi konjungtival telah digunakan sejak tahun 1940. Laporan mengenai kekambuhan mulai dari 1% hingga 5%. Laporan mengenai adanya komplikasi serius tidak ditemukan pada penggunaan teknik ini. Hal yang paling sering dilaporkan pasca operasi ini adalah timbulnya lipatan di atas konjungtiva akibat rotasi jaringan yang dilakukan untuk menutup sklera yang terbuka akibat eksisi pterigium. Walaupun secara estetika hal ini kurang baik seperti timbulnya kemerahan pada awal paska operasi, ini akan hilang seiring waktu penyembuhan.8 Autograft limbal konjungtiva pertama kali dilakukan untuk mengatas pterigium pada 1985 oleh Kenyon et all. Komplikasi yang terjadi pada teknik ini disebabkan adanya operasi yang pernah dilakukan sebelumnya pada mata. Kekambuhan tidak timbul paska operasi ini pada penanganan pterigium primer. Pada penanganan pterigium yang berulang, tetap dapat terjadi kekambuhan meskpun digunakan teknik ini. Penyebabnya dianggap diakibatkan oleh eksisi yang tidak lengkap dari jaringan patologis karena fibrosis. Dari hasil studi, pengunaan teknik ini tidak menimbulkan kekambuhan dalam 4-6 bulan.8 Kekurangan dari autograft limbal konjungtiva adalah waktu operasi yang lama dan dibutuhkannya anestesi retrobulbar pada beberapa kasus, pembatasan diameter autograft dari konjungtiva dan dapat menyebabkan masalah dalam fitrasi operasi. Hal lain yang menjadi
kekurangan adalah dibutukan jahitan pada fiksasi hasil autograft sehingga menimbulkan tusukan pada area penjahitan.8 Seiring berkembangnya teknologi, fiksasi autograft dapat dilakukan dengan lem fibrin yang pertama kali dilaporkan oleh Koranyi et all. Peneliti membandingkan penggunaan penjahitan dengan benang 7-0 vicryl pada 20 mata dari 20 pasien dengan penggunaan lem fibrin pada 23 mata dari 23 pasien untuk melakukan fiksasi pada autograft. Hasilnya pada penggunaan lem fibrin operasi dapat dilakukan lebih cepat, 9,7 menit berbanding 18,5 menit pada penjahitan.8 Inflamasi yangterjadi pasca operasi dapat meningkatkan kemungkinan kekambuhan. Penjahitan menggunakan benang berbahan sutra dan nylon dapat sebabkan inflamasi yang akibatkan migrasi sel Langerhans ke kornea. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kekambuhan pada penggunaan lem jaringan 4% dan 12% pada penjahitan ketika follow up pasien bulan ke 12. Walaupun 10-0 nylon adalah benang yang lebih halus dan menghasilkan perasaan yang sedikit lebih nyaman pasca operasi, keluhan yang dilaporkan pada penggunaan lem fibrin tetap lebih sedikit.10 Perbandingan ini menunjukkan penggunaan lem jaringan memberikan hasil yang lebih baik dan menyediakan hubungan yang lebih baik dengan jaringan yang ditutupi. Konjungtival autograft timbul vaskularisasi pada minggu pertama post operasi pada jaringan episklera yang ditutupi. Penempelan yang lebih cepat pada lem jaringan, timbulnya vaskularsisasi yang lebih cepat menurunkan kemungkinan terjadinya kekambuhan.10 Terlepas dari semua kesulitan ini, tingkat kekambuhan lebih rendah dengan teknik ini. Setelah operasi, permukaan putih mulus dicapai secara kosmetik. Kerugian waktu operasi yang lama menjadi keuntungan dengan tingkat kekambuhan yang rendah dan tidak perlu intervensi bedah tambahan. Karena ini adalah tujuan pembedahan yang paling diinginkan, teknik autografting konjungtiva perlu mendapat pengakuan yang jelas.8
Indikasi Operasi Pterigium yang lebih besar dari 3 mm dapat menyebabkan astigmatisme, dan intervensi dapat dilakukan dalam kasus seperti itu.1 Operasi pada pterigium dilakukan atas indikasi kosmetik dan optik. Operasi dianjurkan apabila pterigium telah mencapai 2 mm ke dalam kornea. Penatalaksanaan pterigium sering memberikan hasil yang kurang memuaskan baik bagi dokter ahli mata maupun pasien. Hal ini disebabkan karena adanya kekambuhan yang masih menjadi masalah penting, sehingga untuk menurunkan angka kekambuhan pterigium
pada saat dilakukan tindakan pembedahan pterigium sering diberikan obat tambahan misalnya mitomisin C. Sampai saat ini tehnik operasi yang terbaik adalah dengan metode Conjunctival autograft.2
Teknik Operasi Tantangan terbesar untuk operasi bedah pada pterigium adalah mencegah kekambuhan terjadi, yang dibuktikan dengan tidak adanya pertumbuhan kembali jaringan fibrovascular melintasi limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diakui secara universal karena tetap adanya kemungkinan kekambuhan pada semua Teknik yang ada.1 Teknik Bare sclera melibatkan pemotongan apex dan corpus dari pterigium. sementara memungkinkan bare sclera bed untuk re-epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1 Conjungtival autografting dilaporkan mengalami rekurensi paling rendah 2% dan paling tinggi 40%. Teknik ini dilakukan dengan mengambil autograft, biasanya akan mengambil sedikit konjungtiva dari daerah paralimbal superior atau superotemporal, daerah yang biasanya sembuh dengan cepat, bahkan tanpa penjahitan.1,5 Amniotic membrane patch adalah alternatif. Hasil cangkok konjungtiva dan amniotic membrane dapat dipasangkan pada sklera yang terekspos yang sebelumnya mengalami pterigium dengan menggunakan lem jaringan sehingga memperpendek waktu operasi dan mengurangi iritasi pasca operasi.5 Terapi tambahan menggunakan mitomisin C atau betairidasi kadang digunakan pada area patch cangkok. Dari penelitian yang dilakukan, kombinasi operasi dan terapi obat-obatan dapat menurunkan angka kejadian berulang secara signifikan.1
Gambar 2. Ilustrasi Teknik operasi autograft conjunctiva-limbal (A) eksisi dan diseksi pterigium dari kornea dan sklera menggunakan gunting konjungtiva. (B) sisa pterigium pada kornea dibersihkan menggunakan forceps kornea. (C) eksisi luas pada tenon subkonjungtiva menggunakan Ellman cautery. (D) bagian donor yang akan diambil ditandai dengan gentian violet. (E-F) graft konjungtiva di diseksi menggunakan gunting konjungtiva meninggalkan lapisan tenon kapsul tetap melekat. (G) limbus dipotong menggunakan beaver blade no 84. (H) graft konjungtiva-limbal dipindahkan dan dipasang dengan menggunakan multiple interrupted sutures. (I) injeksi triamnicolon.7
Perawatan Pasca Operasi Semua pasien diinstruksikan untuk tidak membuang patch selama 24 jam dan tidak menggosok mata selama 2 hari pertama. Pasien-pasien dalam kelompok lem fibrin telah melaporkan lebih sedikit sensasi gatal daripada kelompok jahitan. Namun, pada pasien yang mengalami komplikasi lepasnya jaringan autograft mengakui bahwa telah melepas patch dan menggosok mata yang dioperasikan secara intensif pada hari pertama setelah operasi. Pada pasien ini, autograft disambung kembali dengan lem fibrin di bawah anestesi topikal dan sembuh tanpa kekambuhan pterigium pada follow-up bulan ke 12. Meskipun komplikasi ini dapat diobati tanpa banyak usaha, pelindung mata pelindung harus digunakan pada periode awal pasca operasi untuk menghindari menggosok mata. Instruksi terperinci harus diberikan kepada pasien tentang perawatan mata pasca operasi dan pemberian obat tetes mata yang tepat.9
Gambar 3. (A) mata kiri sebelum operasi dengan pterigium derajat III. (B-C) 2 hari setelah operasi, autrograft konjungtiva terpasang dengan baik pada B. Terjadi defek epitel pada tempat donor pada fluoresin C. (D-E) Pada 3 minggu setelah operasi, luka operasi membaik D dan epitelisasi komplit pada tempat donor pada fluoresin E. (F-G) 6 bulan usai operasi, gambaran normal (grade 0) F, dan tidak ada perlukaan atau vaskularisasi baru pada tempat donor G.7
Komplikasi Komplukasi utama dari penanganan pterigium adalah kekambuhan.10 Syam et all, melaporkan tingkat kekambuhan 3,3% dalam penelitian terhadap 27 mata. Kekambuhan
ditemukan berkembang dalam 3 bulan setelah operasi. Bekas luka konjungtiva dilaporkan 36,66% di area donor. Perdarahan di bawah autograft, kornea delen dekat limbus, dan kista inklusi epitel dilaporkan dalam 3, 4, dan 2 mata, masing-masing. Koc et all menunjukkan bahwa autografting dari superior atau inferior pada kasus primer tidak menyebabkan perbedaan signifikan dalam kekambuhan, tetapi pada pterygia berulang, autografting dari inferior menghasilkan kecenderungan rekurensi yang lebih tinggi.8 Jaringan graft dikumpulkan dari wilayah temporal superior karena kemungkinan operasi filtran. Komplikasi yang dihasilkan dari autografting konjungtiva jarang dan tidak ada ancaman terhadap penglihatan. Komplikasi ini dapat dieliminasi oleh intervensi bedah kecil. Kortikosteroid topikal disarankan untuk mencegah fibrosis. Dalam kebanyakan penelitian autografting, anestesi retrobulber dilakukan, yang dilaporkan menjadi salah satu kelemahan dari teknik ini. Dalam penelitian, belum ditemukan komplikasi karena anestesi subconjunctival, apalagi, gerakan mata tidak ada halangan untuk ahli bedah.8
Gambar 4. Komplikasi post operasi. (A) sub-graft hemorrhage. (B) edema graft. (C) vaskularisasi berlebihan pada tempat donor. (D) jahitan luka terbuka pada tahap awal postoperasi.7
Daftar Pustaka
1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of pterygium. Diakses [8 Juni 2018]. Diperbaharui
:
[
12
Desember
2010].
Diunduh
:
https://www.aao.org/eyenet/article/management-of-pterygium-2 2. Ekantini R, Ghani TT. Buku ajar ilmu penyakit mata. Yogyakarta : UGM Press Publisher ; 2007. h. 60-1 3. Weng Sehu K, Lee WR. Ophthalmic pathology : an illustrated guide for clinicans. Massachusetts : Blackweel publishing ; 2005. p. 47-8 4. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Edisi 5. Jakarta : Badan penerbut FKUI ;2017. h. 119-120 5. Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. Edisi 8. Singapore : Elsevier ; 2016. p. 162-4. 6. Fisher JP. Pterygium medication. Diakes [9 Juni 2018]. Diperbaharui : [28 November 2017]. Diunduh : https://emedicine.medscape.com/article/1192527-medication#1 7. Yub Kwak D, Chul Bae M, Kee Lee J, Jin Park D. Pterygium surgery : Wide excision with conjungtival-limbal autograft. J Korean Opthalmol Soc 2008. 49 (2). p. 206-12 8. Alpay A, Ugurbas SH, Erdogan B. Comparing techniques for pterygium surgery. Auckland : Dove medical press ; 2009. p. 69-74 9. Karalezli A, Kucukerdonmez C, Akova YA, Altan-Yaycioglu A, Borozan M. Fibrin glue versus sutures for conjungtival autografting in pterygium surgery : a prospective comparative study. Br J Ophthalmol 2008. 92. p. 1206-10 10. Skeens HM, Holland EJ. Minimally invasive corneal surgery. Dalam : Fine H, Mojon DS. Minimally invasive ophthalmic surgery. New York : Springer Heideberg ; 2010. p. 92-5