Cahaya dan Nyala Api Dari apa malaikat diciptakan, Ibu?” “Dari cahaya, Anaku, setelah Tuhan menciptakan alam semesta…” “Setelah itu. Ibu?” “Tuhan menciptakan iblis dari api yang sangat panas.” Sejak itu, si Anak Ibu suka membawa buku gambar dan pensil warnanya ke
mana
ia
bermain
Mula-mula
ia
menggambar
sesuatu
yang
dikatakannya cahaya sesuka hatinya dengan warna-warni. Kemudian ia mulai suka memperhatikan cahaya matahari dari beranda, sebagaimana juga bulan dan gemintang. Sesekali ia memandang lampu, lalu tersenyum. Senyum polos, milik kanak-kanak yang penuh fantasi. Suatu hari, ia kembali bertanya kepada sang Ibu. “seperti apakah malaikat itu, Ibu?” “Yang pasti tidak seperti manusia. Ia tak pernah merasa lapar dan haus karena ia tidak butuh makanan dan minuman sebagaimana kita manusia. Ia tidak tidur dan tak pernah resah.” “Ia punya rumah, Ibu?” “Malaikat punya alam sendiri, alam yang gaib tak terjangkau oleh indrawi manusia. Kita wajib meyakininya…” Si Anak Ibu pun mengangguk-angguk. Ketika sendiri, ia membolakbalik tumpukan buku gambarnya yang telah penuh oleh coretan warna macam-macam,
tak
berbentuk
kecuali
tataan
warna
sesuka
hati.
Sedangkan asyik sendiri, sang ibu mendekatinya. “Gambar apa itu, Annaku?” “Cahaya, Ibu.” Sang Ibu tersenyum, menikmati lembar demi lembar gambar cahaya menurut si Anak. “Ibu bisa bikin gambar malaikat? Ini bahan-bahannya, gambar cahaya…”
Sang ibu tak langsung menjawab. Ia memeluk sang anak dan mencium ubun-ubunnya. “Bukankah Ibu sudah katakan, malaikat tak bisa terjangkau inderawi kita. Tak bisa dilihat lalu dilukis, tak bisa didengar lalu ditirukan suaranya, tak bisa dicium lalu dicarikan persamaan baunya, tak bisa dikecap lalu dijelaskan rasanya dan tak bisa diraba lalu diterangkan halus kasar kulitnya…” Sang ibu menyaksikan waja anaknya yang kurang puas dengan jawabannya. Ingin ia memberikan jawaban yang lebih jauh lagi, tapi tak tahu logika apa yang membuat anak seusia enam tahun itu bisa mengerti dan lalu puas begitu saja. Akhirnya ia berpikir, suatu saat, setelah dewasa, atau setelah sekolah lanjutan kelak dan belajar agama dengan baik
di
surau maupun di sekolah secara serius, ia akan tahu sendiri tentang kebesaran Tuhan Pecipta Alam Semesta. Maka dengan membiarkan anaknya
merasa
bingung,
ternganga
sendiri,
ia
pergi
kedapur
menyiapkan makan malam karena sebentar lagi senja akan berganti malam dengan lebih dahulu terdengar adzan magrib. *** Si Anak merasa kecewa karena ibunya tak bisa membuatkan gambar malaikat. Maka, ia diam-diam mengambil sebuah buku gambar baru di lemari, dan mengunci pintu kamar untuk kemudian memulai gambar lembaran pertama yang masih putih bersih. Namun, baru beberapa goresan asal-asalan, anak itu terpaku sejenak. Teringat olehnya dapur, kemudian sebuah korek api yang memberikan nyala. Cepat ia ke dapur, mengambil korek api dekat kompor. Masuk kembali ke kamar dengan tidak lupa mengunci pintu, ia duduk di hadapan buku gambar dan pensil warna berserakan di meja. Ia nyalakan korek api, dipandanginya nyala meliuk tenang itu berwarna kemerahan, hingga nyaris habis membakar batangnya. Setelah mati dan merasakan panas di jari-jari tangannya, ia membuang ke lantai begitu saja. Menyalakan lagi, menatap dengan serius. Begitu berkali-kali. “Tuhan menciptakan iblis dari api yang sangat panas.” Tergiang kata sang ibu oleh sang anak. Hatinya pun memebayangkan suatu yang
baginya sendiri sangat asing. Tak terpahami. Pertama tentang cahaya, ia cuma merasakan benderang dan tak ada sengatan apa-apa di tubuh atau di kulitnya. Kedua tentang api, ada cahaya, tapi makin dekat ke kulit terasa panas. Tapi, pikiranya, ibu pernah bercerita, api neraka sangat panas sekali. Ia membakar orang-orang yang banyak dosa. Mungkinkah iblis itu dibuat Tuhan dari api neraka? Ia terus menyalakan korek api, seraya khayalannya berkembang tetang api. Hingga habis sekotak. Di lantai berserakan batang korek api yang hangus terbakar. Aku ingin menggambar iblis, kata hati si anak ibu. Maka, pensil warna bergerak bagai liukan nyala api yang terselip di tangan si anak ibu seakan menari-nari pelan di atas dasar kertas putih berserat agak kasar. *** Api tengah menyala di dalam batok kepala sang anak. Dari nyala api yang ia bayangkan, ia melihat wajah-wajah menyerupai manusia yang biasa berubah-rubah seperti siapa saja. Kadang ia menyaksikan monster menyeringai yang melesat dari sebatang korek api yang digoreskan ke belerangnya. Kadang bagai peri baik hati, membawanya ke sesuatu tempat yang indah, memberinya batang coklat yang enak dan ice cream yang sejuk dan manis. Kadang pula, ia menyaksikan api berubah menjadi nenek sihir yang kecam, yang merubah mesjid menjadi tempat berkelapkelip yang penuh orang berzinah, berjudi atau rumah orang kaya yang membenci orang miskin dan mengusir pengemis dekil dengan tangkai sapu. Kadang begitu tiba-tiba, matanya melihat tempat mencekam, rumah tinggal, gelap dan suara-suara anjing melonglong panjang. Atau, di sisi kadang yang lain, api besar menyala membakar rumah-rumah, gedunggedung, dan hutan-hutan. Kemudian, tangan mungil berjari-jari halus itu memainkan pensil warnanya di atas kertas putih dengan enteng. Setelah selesai, ia tinggalkan begitu saja di atas meja dan pergi bermain ke luar rumah. Sang ibu membuka gambar yang terletak di meja mungil seraya merasa aneh dengan pensil warna yang berserakan seperti halnya batang-
batan korek api yang hangus di lantai. Sang ibu melihat sebuah gambar semrawut dengan warnah merah dan hitam yang balau. Makin ia perhatikan, ia melihat ada gambar seperti api menyala, ada sosok bergigi runcing, ada rumah yang terbakar, ada orang sedang menyembelih orang, dan ada pula pengemis yang sedang ditendang di depan rumah bertingkat serta bangunan serba hitam dan anjing-anjing. Ia makin suka menggambar, batin sang ibu. Namun, kenapa begitu menakutkan gambar yang ia lihat dari kertas putih berserat kasar. Gambar apakah yang digambar anakku, gumamnya seraya terus merasa aneh dengan korek api yang batangnya nyaris terbakar semua. Cepat-cepat ia mencari si anak. Namun hingga beranda, luar pagar, dan ke rumah tetangga, ia tak menemukan anaknya. Tak biasanya anaknya demikian. Terpikir dalam hati si ibu, jangan-jangan ini bentuk protes dari si anak lantaran tak memberi kejelasan sejelas-jelasnya tentang malaikat, atau tak mampu membuatkan gambar malaikat. Ia pun mencoba mencari ke blok seberang komplek, tak juga ada anaknya.
Capek
kesana
kemari
mencari,
ia
pulang.
Dirumah
ia
mendapatkan anaknya, tengah menyalakan korek api, dan seekor bangkai kucing di hadapannya mengalirkan darah dari mulut. “Apa yang kamu lakukan, Anakku?” “Membunuh kucing ini, Ibu. Memukul kepalanya dengan batu!” “Kenapa? Apa salahnya?” Sang anak menjawab. Matanya menatap nyalang ke sang ibu. San ibu melihat sang anak tak member jawab, langsung marah dan melecutnya dengan lidi. Sampai menangis. Tak lama, sang ibu mengurung sang anak di kamar belakang. Dari dalam terdengar pintu kamar ditendang-tendang, sementara dengan air mata berlinang sang ibu mengubur kucing di depan rumah berikut seuntai kata, “Maafkanlah anakku ya, Tuhan! Setan telah menyesatkan hati sucinya. Kucing tak berdosa ini telah ia aniaya….” *** Setelah capek menangis dan menendang-nendang di kamar, si anak mulai digelitik tentang benci. Tentang marah. Lalu, kepalanya bagai dipenuhi nyala api berkobar-kobar. Tak lama, api menjelma seorang gadis
kecil yang manis, baik hati, seperti dalam buku dongeng yang dibelikan dan dibacakan ibunya menjelang tidur. “Terima kasih, kamu telah membunuh kucing jahat itu. Ibumu tak menyayangimu, lawanlah dia. Ia jahat,” kata si gadis kecil yang keluar nyala api di kepalanya. Wajah sang ibu menjelma dipelupuk matanya. Jelek, menyeringai. Ibliskah ibuku? “Ibumu jahat. Jangan takut melawannya…..” kata gadis kecil itu. “Ya, aku membenci ibuku!” *** Sang ibu membebaskannya dari kurunga kamar, dengan member sebuah buku gambar baru dan pensil warna yang baru pula. “Mari menggambar cahaya, Anakku. Ibu akan
ceritakan padamu
tentang keindahan cahaya!” “Aku menyukai api, Ibu. Aku tak menyukai cahaya.” “Cahaya lebih sangat baik dari api yang kelewatan!” Sang anak tak menyukai ajakan ibunya, tak seperti hari-hari sebelum ia bertanya tentang malaikat. Sang ibu sangat gelisah. Ia pandangi anaknya, menembus kedalaman mata polos sang anak. Tapi ia tiba-tiba terkejut: nyala api! Ada nyala api yang berkobar, membesar dari sebatang korek api lalu meluas tak terhingga. Panas sekali. Sang ibu mengigil ketika di mata anaknya bergentayangan wajah-wajah angker, berjubah hitam, bertudung gelap, bertaring dan berkuku panjang. Tak lama melesat pula nyala api di mata sang anak, wajah-wajah cantik bidadari, peri-peri manis yang seperti mengajak anaknya bermain diluar keindahan cahaya yang ia tafsirkan buat sang anak. “Setan!” kata sang ibu tiba-tiba. Sang anak terkejut. Lalu berlari meninggalkan ibunya, keluar. Kencang dan kencang sekali anaknya berlari, hingga ia tak mampu memburu dan menyuruh pulang. Sang ibu sangat cemas ketika sang anak tak pulang. *** “Siapakah setan, Nek?” “Adalah golongan yang keterlaluan dari bangsa jin. Nenek moyang dari seluruh bangsa jin, dikenal sebagai iblis. Kalau ada jin, manusia,
binatang, batu dan sebagainya yang sangat keterlaluan perbuatan buruknya, maka setanlah ia….” Kata sang nenek. Sang cucu terbayang soal api. “Bagaimana dengan api, nek?” Sang Nenek menatap mata sang cucu. Ia saksikan di mata sang cucu keingintahuan yang luar biasa. Lalu, ia kisahkan betapa api sangat membantu manusia. Jika gelap, ia berperan sebagai penyala cahaya. Bisa menghangatkan air untuk minum, memasak nasi dan membakar sampah tak berguna dan sebagainya. Tapi, jika ia besar tak terkendali, api menjadi musuh yang buruk. Menakutkan. Rumah-rumah terbakar, hutan-hutan terbakar, pasr-pasar terbakar, dan tempat-tempat ibadah terbakar. “Bukankah setan atau iblis diciptakan dari api, Nek. Ibu cerita begitu….” Nenek mengangguk-angguk. Ia ingin menerangkan lebih jauh, tapi tiba-tiba rematiknya kumat. “Ya. Dari api yang sangat panas. Jauh sangat panaaas dari api-api yang kau ketahui….” Sang
cucu
memijit-mijit
kaki
sang
nenek.
Sang
nenek
pun
menceritakan dimana setan-setan suka berada. Setan-setan berada dan bernaung dimana saja, tapi ia paling suka berada dibangunan tinggal dan rusak lagi gelap, tanah atau kebun yang kosong dan sunyi atau tempattempat bernajis serta kotor seperti misalnya WC. Juga di hati manusia yang gelap. Ketika sang nenek tertidur, sang cucu bangkit dan mengambil korek api dan menyalakannya. Ia bayangkan api yang sangat panas, lalu melesat bayangan yang mencekam dari batok kepalanya. Bangunan tua, kosong, dan gelap. Alangkah menakutkannya. Ia menyalakan lagi korek api, lalu ia melihat hamparan tanah luas dan lapang, disitu sangat banyak wajah-wajah seram dan menakutkan sedang makan kotoran binatang dan tulang belulang yang bau. Ia menyalakan lagi sebatang korek api, lalu muncul bayangan gadis kecil dan berkata,”Hai, sahabatku. Mari kita main. Tinggalkan nenek tua itu. Ia tak berguna. Pergilah segera, ia akan memarahimu karena sebentar lagi ibumu akan datang dan mengatakan pada nenek, kau anak jahat. Padahal, yang jahat itu kan ibumu….”
Ia menarik napas, membuang batang korek api yang mulai melumat seluruh batangnya di antara telunjuk dan jempolnya. Ia pandangi sang nenek, lalu kembali ada bisikan, “Jangan pedulikan orang tua buruk itu. Nyalakan lagi korek api itu, kau akan melihat pemandangan indah.” Mula-mulanya ia ragu. Tapi, ia nyalakan sebatang korek api. Seketika ia melihat, anak-anak kecil diberi hadiah mainan bagus-bagus setelah melempar dan meludahi ibunya. Ketika hendak meyalakan sebatang lagi, sang nenek terbangun. Ia menatap sang cucu. “Kau belum tidur cucuku?” Sang cucu gugup. Sang nenek merasa aneh setelah melihat serakan beberapa batang korek api yang terbakar. “Aku menyukai api, nek.” “Tapi jangan api yang keterlaluan. Api yang ketelaluan, setanlah ia….” “Apa yang dilakukan setan untuk kita, Nek?” “Mengajak berbuat dosa, mempercantik dan memperindah perbuatan buruk sehingga manusia melakukannya….” Sang cucu terdiam. Lalu ia mematuhi ajakan sang Nenek berbaring. Sebelum tidur, nenek mengajarkannya sebuah doa menjelang tidur dan diawali dengan Basmallah. Dalam tidur sang anak meyalami sang ibu dan menciumi tangannya. Ia melihat cahaya kemilau. Sang ibu membelikannya buku baru dan pensil warna nan cantik. Saat ia menggambar cahaya, ia dikelilingi oleh nyala api yang sangat panas.
*** Pagi-pagi sekali ia bangun danpulang kerumah sang ibu diantar sang nenek. Melihat ibu, ia mula-mula melihat nyala api yang besar dihadapan sang ibu. Sang anak gemetaran, dan ingin lari dari hadapan ibunya. Seketika,
ia
merasakan
ada
bisik,
“Tinggalkan
ibumu.
memarahimu dan membencimu karena kamu lari dari rumah….”
Ia
akan
Melihat kegelisahan sang anak, sang ibu pun menyaksikan nyala api di mata sang anak. Saat itu pula sang ibu member senyum dan berkata, “Anak ibu, mari kita menggambar cahaya. Api yang keterlaluan dalam gambarmu, akan membuatmu jauh dari cahaya untuk sayang ibu. Ibu sayang kamu, dan Tuhan sayang pada anak yang menyayangi ibunya, sehingga ia akan ditemani oleh cahaya-cahaya yang bagus, indah….” “Minta maaf pada ibu, cucuku. Jika tidak, kau akan seperti api menyala panas sekali, ditemani setan, iblis. Kau takutkan masuk neraka?” Ia mengangguk, lalu tiba-tiba gemetar. Di hadapannya bagai ada nyala api yang panas dan cahaya kemilau. *** Tangan mungil dan jari-jari halus itu menggoreskan pensil warnanya di kertas putih-buku gambar yang baru. Ia mulai menggambar cahaya, sesuka dan setahu yang is mengerti tentang bentuk cahaya. Ia terus menggambar, berlembar-lembar. Ketika bosan, ia berkata pada sang ibu, “Aku ingin jadi cahaya, Ibu.” Sang ibu tersenyum. Matanya berbinar. Ia mulai melihat nyala api yang padam ditimpa cahaya kilau kemilau maha indah yang tiba entah dari mana.
catatan: cerpen ini ditulis setelah membaca buku: 1.
2. 3. 4.
Bidadari di Serambi Hati, M.I.F. Baihaqi, Penerbit Rosdakarya, Bandung. Lailatul Qadar, DR Faruq Hamadan, Penerbit Fikahati Aneska, Jakarta. Fiqh Puasa, Dr. Yusuf al-Qaradlawi, alih bahasa Dr. Nabilah Lubis, MA, Penerbit Srigunting, Jakarta. Rumah yang Tidak Dimasuki Malaikat, Abu Hudzaifah Ibrahim, Penerbit Gema Insani Press Jakarta.
Komentar
:
Pendapat saya dalam cerpen tersebut bagus untuk anak yang dibawah umur karena telah mengajarkan seorang anak kecil yang masih berumur 6th ini ingin mengetahui adanya malaikat, peri, iblis,
cahaya dan apa gunanya api, anak ini juga mengerti perbuatan baik dan perbuatan buruk karena, seorang anak yang masih dibawah umur harus masih pada bimbingan dari kedua orang tuanya, terutama sang ibu harus mengajarkan seorang anaknya perbuatan yang baik dan benar. Anak tersebut masih banyak ingin mengetahui tentang segala apapun dalam pikiran anak dibawah umur tidak mengetahui apa-apa selain bertanya-tanya kepada orang-orang disekelilingnya. Sampai anak tersebut bertanya dan tidak menjawab apa yang ditanyakan, pasti anak ini akan mencari tahu sendiri, sehingga anak ini sampai mengetahui kesalahan yang tidak diinginkan. Seperti anak dari cerpen tersebut telah memasuki pikirannya yang buruk dan dihasut pikirannya oleh setan dan iblis, sehingga anak ini berburuk sangka kepada sang ibu, karena sang ibu menjelaskannya hanya sedikit oleh apa yang dipertanyakan oleh anak tersebut, sehingga anaknya mengakibatkan dan melakukan hal-hal yang buruk, jadi sang ibu harus menjawab dengan hati-hati dan menjelaskan secara benar kepada anakanya.