BUDAYA POLITIK BUGIS . Sejarah Bugis-Makassar Tidak seperti bahagian Asia Tenggara yang lain, Bugis tidak banyak menerima pengaruh India di dalam kebudayaan mereka. Satu-satunya pengaruh India yang jelas ialah tulisan Lontara yang berdasarkan skrip Brahmi, dimana ianya dibawa melalui perdagangan. Kekurangan pengaruh India, tidak seperti di Jawa dan Sumatra, mungkin disebabkan oleh komuniti awal ketika itu kuat menentang asimilasi budaya luar. Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo, populasi awal adalah terhad dan terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja. Penempatan-penempatan ini bergantung kepada salah satu daripada tiga pemerintahan iaitu Wewang Nriwuk, Luwu' dan Tompoktikka. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, terdapat kemungkinan penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan ditengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke 20. Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata 'Bugis' berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam
karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. B. Bahasa Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang,
sebahagian
kabupaten
Majene,
Kabupaten
Luwu,
Kabupaten
Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai 'Bahasa Ugi' dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia. C. Mata Pencaharian Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. D. Sistem kemasyarakatan Dalam sistem perkawinan adat Bugis-Makassar terdapat perkawinan ideal: 1. Assialang maola (passialleng baji’na) Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu. 2. assialanna memang (passiallenna)
ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu. 3. ripaddeppe’ abelae (nipakambani bellaya) ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’): 1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah 2. perkawinan antara saudara sekandung 3. perkawinan antara menantu dan mertua 4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan 5. perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat : 1. Mappuce-puce (akuisissing) ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk memasikan apakah lamaran di terima atau tidak 2. Massuro (assuro) Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya 3. Madduppa (ammuttuli) Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
Hari pernikahan dimulai dengan mappaendre’ balanja (appanai’ leko), ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat pria-wanita, tuamuda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan pesta perkawinan atau aggaukang (pa’gaukang). Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. Beberapa hari setelah pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu,baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaonani alena (naentengammi kalenna). Ada pula perkawinan yang tidak dilakukan menurut adat (silariang), yaitu si lakilaki membawa lari si gadis. Kawin lari semacam ini terjadi biasa karena pinangan dari pihak laki-laki ditolak atau karena belanja perkawinan (sundrang) yang ditentukan oleh keluarga si gadis terlalu tinggi. Para kerabat si gadis yang mengejar pasangan itu disebut tomasiri’ dan jika mereka berhasil menemukan pasangan tersebut, maka kemungkinan si laki-laki akan dibunuh. Jika ada tanda-tanda kerabat si gadis mau menerima mereka kembali, maka keluarga si laki-laki akan mengambil inisiatif untuk mengunjungi keluarga si gadis. Penerimaan keluarga si gadis untuk berbaikan kembali disebut madecceng atau abbadji.
Sistem Kemasyarakatan menurut Friedericy, dulu ada tiga lapisan pokok, yaitu: 1. Anakarung (ana’ karaeng) : lapisan kaum kerabat raja-raja. 2. To-maradeka Tu-mara-deka : lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi Selatan. 3. Ata : lapisan orang budak, yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.
Gelar-gelar yang terdapat pada Anakarung: 1. karaeta 2. opu 3. puang 4. andi 5. daeng ADAT YANG KERAMATAN DAN AGAMA System norma dan aturan-aturan adatnya yang keramat dan sacral yang keselaruhnya disebut panngadderreng (panngadakkang). Sistem adap keramat dari orang bugis-nakassar terdiri atas 5 unsur pokok, yaitu: 1.Ade’( ada’) Ade adalah bagian dari panggaderreng yang secara khusus terdiri dari: a. Ade’ akkalabinengeng atau norma mengenai hal-hal ihwal perkawinan serata hubungan kekerabatan dan berwujud sebagai kaidah-kaidah perkawinan, kaidahkaidah keturunan, aturan-aturan mengenai hak dan kewajiban warga rumah tangga, etika dalam hal berumah tangga dan sopan santun pergaulan antar kaum kerabat b. Ade’ tana atau norma mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah Negara dan berwujud sebagai hokum Negara, hokum anatar Negara, serta etika dan embinaan insane politik. Pengawasan dan pembinaan ade’ dalam masyarakat orang Bugis biasanya dilaksanakan oleh beberapa pejabat adapt seperti : pakka tenniade’, puang ade’, pampawa ade’, dan parewa ade’. 2. Bicara
Bicara adalah unsure yang mengenai semua aktivitet dan konsep-konsep yang bersangkut paut dengan peadilan, maka kurang lebih sama dengan hokum acara,menentukan prosedurenya serta hak-hak dan kewajiban seorang yang mengajukan kasusnya di muka pengadilan atu mengajukan gugatan. 3. Rapang Contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. Rapang menjaga kepastian dan konstinuitet dari suatau keputusan hokum taktertulis dalam masa yang lampau sampai sekarang, dengan membuat analogi dari kasus dari masa lampau dengan yang sedang di garap sekarang. 4. Wari’ Melakukan klasifikasi dari segala benda, peritiwa, dan aktivitetnya dalam kehidupan masyarakat menurut kategorinya. Misalnya untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan hal-hal dan dan benda-benda dalam kehidupan masyarakat; untuk emelihara jalur dan garis keturunan yang mewujudkan pelapisan social; untuk memlihara hubungan kekerabatan antara raja suatu Negara dengan raja dari Negara lain, sehingga dapat ditentukan mana yang muda dan mana yang tua dalam tata uacara kebesaran. 5.Sara’ Pranata dan hokum Islam dan yang melengkapkan keempat unsurnya menjadi lima. Dalam kasusastraan Pasengyang memuat amanat-amanat dari nenek moyang, ada contoh-contoh dari ungkapan-ungkapan yang diberikan kepada konsep siri’ seperti: 1. siri’ emmi rionrowang ri-lino artinya: hanya untuk siri’ sajalah kita tinggal di dunia. Arti siri sebagai hal yang memberi identitet social da martabat kepada seorang Bugis 2. mate ri siri’na artinya mati dalam siri’ atau mati untuk menegakkan martabat dalam diri,yang dianggap suatu hal yang terpuji dan terhormat
3. mate siri’ artinya mati siri’ atau orang yang sudah hilang martabat dirinya dalah seperti bangkai hidup. Kemudia akan melakukan jallo atau amuk sampai ia mati sendiri. Agama dari penduduk Sulawesi Selatan kira-kira 90% adalah Islam, sedang 10 % memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik biasanya pendatang dari Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja.
KELOMPOK 4 (BUGIS) KELAS
: XI PENJULAN 1
ANGGOTA
: ELIS WINA SINTIA HELEN A.R RIDAWATI YUNITA RAHMAN
SMK NEGERI 3 BALEENDAH TAHUN AJARAN 2009-2010