Budaya Politik Cadangan

  • Uploaded by: dinoroy aritonang
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Budaya Politik Cadangan as PDF for free.

More details

  • Words: 936
  • Pages: 2
Budaya Politik ’Cadangan’ Oleh : Dinoroy Marganda Aritonang1 KPU pada akhirnya telah menetapkan 560 calon anggota DPR terpilih pada beberapa waktu lalu, yang menurut rencana, pelantikan anggota dewan tersebut akan dilakukan pada tanggal 1 Oktober 2009. Namun dari nama-nama yang ditetapkan tersebut, terselip beberapa nama anggota DPR yang sampai saat ini masih duduk dalam jabatan menteri. Oleh karena itu, KPU menyerukan agar mereka yang telah ditetapkan sebagai anggota DPR periode 2009-2014 agar segera memilih apakah akan mengundurkan diri sebagai anggota dewan ataukah mengundurkan diri sebagai menteri dari kabinet SBY-JK. Melihat hal tersebut, mungkin dapat dilihat beberapa hal yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Karakter Parlementarian Kondisi di atas memang wajar terjadi dalam model sistem pemilihan dan sistem pemerintahan kita. Meskipun UUD’45 amandemen dengan tegas menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah presidensil namun sebenarnya karakter atau praktek sistem pralementer masih mewarnai dinamika politik Indonesia. Dalam sistem presidensil yang cukup tegas, apabila kita mendasarkannya pada sistem presidensil Amerika Serikat, maka praktek lintas jabatan dari anggota House of Representatives kedalam kedudukan menteri dalam kelembagaan eksekutif sulit untuk terjadi. Hal ini dikarenakan, Sistem pemilihan umum yang dianut adalah dwi partai bukan multi partai di Indonesia. Akibatnya, keleluasaan untuk menentukan jatah menteri sepenuhnya berada di tangan presiden dan partainya. Kondisi di atas tentu saja berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem multi partai. Lobi politik untuk menentukan jatah menteri sangat kental, dan bahkan bukan tidak mungkin bahwa sebenarnya Calon Presiden terpilih sudah mengantongi beberapa nama sebagai akomodasi dari politik koalisi partai politik yang mendukungnya. Karakter tersebut, sebenarnya merupakan karaktek asli sistem parlementarian. Dalam sistem tersebut, Partai yang menang baik secara dengan suara mayoritas atau tidak, akan menentukan calon Perdana Menterinya dan jajaran kabinetnya dari sumber daya yang ada dalam partainya atau koalisinya. Tujuan dari sistem tersebut adalah untuk menjamin bahwa stabiltas pelaksaaan kebijakan dan program yang dkampayekan dapat berjalan efektif dengan memperoleh persetujuan (mosi) dari parlemen. Oleh karena itu, suara rakyat menjadi sangat penting untuk menentukan kekuatan rejim yang berkuasa dalam parlemen. Dalam sistem parlementarian, garis filosofis dan kebijakan partai sangat kental mewarnai kebijakan eksekutif. Sehingga sangat mungkin terjadi, anggota dewan sekaligus duduk sebagai menteri atau rangkap jabatan. Tujuan adalah untuk tetap menjaga agar garis kebijakan perdana menteri tetap sesuai atau sejalur dengan garis kebijakan partai. Sebab, dalam sistem ini kedudukan Perdana menteri beserta kabinet bisa sangat rentan jika suara mayoritas dalam parlemen tidak menghendaki atau menolak kebijakan yang dibuat oleh eksekutif. Kondisi ini memang tidak mungkin terjadi di Indonesia, tetapi karakter parlementarian tersebut melekat dalam sistem pemilihan dan sistem presidensil kita. Politik ’Cadangan’ Dengan sistem pemilihan yang dianut saat ini, maka budaya politik Indonesia akan tetap memelihara praktek pengejaran kekuasaan lebih utama dari pada kontribusi dan pemenuhan janji terhadap rakyat. Sistem ini membuka kesempatan untuk menjadikan kedudukan dalam anggota dewan menjadi second option apabila tokoh tersebut tidak yakin untuk dapat terpillih lagi dalam jajaran kabinet. Atau dapat dikatakan bahwa kedudukan sebagai anggota legislatif bukanlah primadona dalam karir politik seseorang. Ada beberapa kemungkinan mengapa terjadinya budaya politik seperti ini. Kemungkinan tersebut disebabkan oleh sistem pemilihan kita yang memang mengijinkannya. Pertama, sistem multipartai membuat budaya koalisi menjadi sangat penting dan kental sebagai media distribusi kekuasaan. distribusi tersebut menempatkan kedudukan sebagai calon anggota eksekutif sebagai opsi pertama dan kedudukan sebagai calon legislatif sebagai opsi kedua. hal ini bisa terjadi, ketika partai yang berkoalisi telah mendapatkan peluang yang pasti untuk duduk dalam kabinet sebelum pemilihan berlangsung, namun tokoh siapa yang akan duduk sebagai menteri belum bisa dipastikan. Hal ini akan menyebabkan seseorang akan memilih untuk mengambil peluang sebagai anggota dewan dan tetap menjaga peluangnya untuk duduk dalam eksekutif, dengan mengharapkan kemenangan koalisi partainya memenangkan kursi calon presiden. Akibatnya dapat dipastikan, suara rakyat yang diperoleh memang sudah didesain untuk menjadi cadangan belaka. Kedua, dimungkinkannya pemindahan seorang anggota dewan di tengah masa jabatannya ke dalam 1

Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi – LAN Bandung dan Mahasiswa Program Pascasarjana FH UGM jurusan Hukum Kenegaraan.

jajaran eksekutif melalui mekanisme reshuffle. Ketiga, koalisi menghendaki stabilitas hubungan antara legislatif dengan eksekutif, sehingga untuk menjaga hal tersebut, eksekutif memang harus diisi oleh sumber daya manusia dari partai-partai yang berkoalisi tadi. Keempat, masih tingginya prestise seseorang untuk duduk atau setidaknya berada dalam lingkaran the winning man (presiden terpilih). salah satu tujuannya adalah untuk mendongkrak popularitas partai dan tokoh-tokoh dalam partai yang berkoalisi tersebut, sehingga apabila ada peluang untuk duduk dalam lingkaran tadi maka peran dalam dewan bisa diabaikan. Second Figure Dalam sistem pemilihan langsung seperti yang kita anut, sebab utama untuk seseorang dapat terpilih adalah kepopuleran seseorang di mata masyarakat. Kepopuleran tersebut dapat disebabkan oleh beragam hal dilihat dari segi keberhasilan kinerjanya ataupun selling point seseorang dalam bidang tertentu. Dalam hal ini, kepercayaan (trust) adalah apa yang bisa diberikan oleh rakyat kepada wakilnya. Dengan harapan bahwa wakilnya tersebut akan memperjuangkan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan pemilihnya. Oleh karena itu, keterwakilan amat diperlukan dua hal dalam menjalankan peran tersebut secara maksimal yaitu melalui keterwakilan fisik (physical repesentation) dan keterwakilan gagasan (ideas representation). Dalam politik, apabila seseorang dipilih dengan suara terbanyak maka dapat dikatakan bahwa dialah wakil yang paling diinginkan keberadaanya baik secara fisik maupun gagasan dalam sebuah lembaga perwakilan. Lantas, bagaimana jika figur yang sangat diinginkan tadi pergi dan mengambil jalan lain yang berbeda dari apa yang rakyat harapakan? Maka yang terjadi adalah pengingkaran janji seseorang terhadap suara rakyat atau konstitutennya dengan mengijinkan muncul figur cadangan (second figure) yang sebenarnya tidak terlalu diharapkan. Hal inilah yang mungkin bisa menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan lembaga legislatif sebagai lembaga representasi ide dan kepercayaan menjadi pudar. Sebab figur yang akan muncul bukanlah figur yang paling diinginkan oleh rakyat, padahal rakyat seharusnya layak mendapatkan yang terbaik dalam kedudukannya sebagai pemegang asli kekuasaan. *****

Related Documents

Budaya Politik
May 2020 29
Budaya Politik
May 2020 26
Budaya Politik Final
May 2020 23
Budaya Dan Struktur Politik
November 2019 31

More Documents from ""