Bph_kel.3-1.docx

  • Uploaded by: Putri dwi rusmayanti
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bph_kel.3-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,460
  • Pages: 39
Makalah Keperawatan Medikal Bedah II “Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dengan Pendekatan NANDA NOC NIC Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)”

Oleh : Kelompok 3 

Putri Dwi Rusmayanti (1711311006)



Serly Aprilia Nst (1711312006)



Devi Rizky Oktafima P. (17113113010)



Faizana Harjis (1711313034)

Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Andalas 2019

Kata Pengantar Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah II yang berjudul “Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dengan Pendekatan NANDA NOC NIC Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)”. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritikan dari Ibu/Bapak Dosen dan saudara pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat maupun inspirasi tehadap pembaca.

Padang, 29 Januari 2019

Kelompok 3

i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………….. i Daftar Isi…….…………………………………………………………… ii Bab 1 Pendahuluan……………………………………………………... 1 1.1 Latar Belakang……....……………………………………………...... 1 1.2 Rumusan Masalah…....……………………………………………..... 1 1.3 Tujuan…….…………………………………………………………... 2 Bab 2 Pembahasan….…………………………………………………… 3 2.1 Anatomi fisiologi organ..…………………………………………….. 3 2.2 Landasan Teoritis Penyakit..…………………………………………. 5 2.2.1

Definisi BPH……………………………………………... 5

2.2.2

Etiologi BPH.....................................................................

6

2.2.3

Patofisiologi BPH..............................................................

7

2.2.4

Manifestasi Klinis BPH.....................................................

8

2.2.5

Pemeriksaan penunjang dan Pemeriksaan diagnostik......... 9

2.2.6

Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan.......................... 11

2.2.7

Komplikasi.........................................................................

18

2.2.8

Asuhan Keperawatan.........................................................

18

2.2.9

WOC..................................................................................

24

Bab 3Analisis Kasus.…………………………………………………..... 25 Bab 4 Penutup..........................................................................................

34

4.1 Kesimpulan..........................................................................................

34

4.2 Saran....................................................................................................

34

Daftar Pustaka……………………………………………………………. 35

ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPH (benigna prostat hyperplasia) adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat yang umumnya dialami oleh pria yang disebabkan oleh pembesaran beberapa atau semua komponen prostat dan dapat mengakibatkan obstruksi keluarnya urin atau penyumbatan pada uretra (Muttaqin & Sari, 2011; Haryono,2013). Penyebab terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa terjadinya BPH erat kaitannya dengan hormonal dan proses penuaan. Seiring dengan pertambahan usia, prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen , sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Di dunia , diperkirakan bilangan penderita BPH adalah 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria karena wanita tidak mempunyai kelenjer prostat, maka oleh sebab itu BPH hanya terjadi pada kaum pria (emedicine, 2009). Jika dilihat secara epidemiologinya, dan menurut usia dapat dilihat kadar insidensi BPH, pada usia 40 -an, kemungkinan seseorang itu menderita penyakit BPH sebesar 40 % dan setelah meningkatnya usia yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50 % dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa hingga 90% (A.K.Abbas,2005). 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Anatomi dan Fisiologi kelenjer Prostat? 2. Apakah definisi dari BPH ? 3. Apakah etiologi dari BPH ? 4. Apakah

patofisiologi

dari

BPH

?

1

5. Apakah manifestasi klinis dari BPH ? 6. Apakah pemeriksaan penunjang dan diagnostik pada pasien BPH? 7. Apakah penatalaksanaan medis dan keperawatan pada pasien BPH? 8. Apakah komplikasi dari BPH ? 9. Bagaimanakah WOC dari BPH ? 10. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan pada BPH ? 1.3. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui anatomi dan fisiologi dari kelenjer Prostat 2. Mengetahui definisi dari BPH 3. Mengetahui etiologi dari BPH 4. Mengetahui patofisiologi dari BPH 5. Mengetahui manifestasi klinis dari BPH 6. Mengetahui pemeriksaan penunjang dan diagnostik pada pasien BPH 7. Mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan pada paien BPH 8. Mengetahui komplikasi dari BPH 9. Mengetahui WOC dari BPH 10. Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada BPH

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Organ System perkemihan merupakan salah satu system dalam tubuh manusia yang berfungsi untuk melakukan ekskresi dan melakukan eliminasi sisa-sisa hasil dari metabolisme tubuh. Selain berfungsi sebagai eliminasi system perkemihan juga berfungsi sebagai : mengatur volume darah, mengatur konsentrasi plasma dari sodium menstabilkan Ph darah, mengontrol pengeluaran nutrisi, membantu organ hati. Salah satu penyakit yang terjadi pada sistem perkemihan yaitu benign prostat hyperplasia atau pembesaran kelenjar prostat yang dialami oleh pria usia lanjut.

Gambar sistem perkemihan pada pria Kelenjer kelamin pada pria : 1) Vesika seminalis Vesika seminalis merupakan kantong yang terkonvusi (berkelok-kelok) bermuara ke dalam duktus ejaculator yang akan menghasilkan secret dalam bentuk cairan kental dan basa yang kaya akan fruktosa. Cairan ini berfungsi untuk

3

melindungi dan member nutrisi pada sperma, meningkatkan pH ejakulat dan mengandung prostaglandin, yang akan menyebabkan gerakan spermatozoa lebih cepat sampai ke tubafallopi (Wibowo 2012). 2) Kelenjar Prostat Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang berbentuk kerucut, terletak di sebelah inferior kandung kemih yang berfungsi menghasilkan air mani yang memiliki ukuran 4x3x2 cm dengan berat kira-kira 18-20 gram. Prostat mengelilingi bagian atas uretra, terletak dan terhubung langsung dengan cervix vesicae urinaria. Prostat tersusun atas jaringan kelenjar dan serabut-serabut otot involuter dan berada dalam kapsul fibrosa (Wibowo, 2012). Jaringan otot prostat berperan dalam proses ejakulasi. Kelenjar prostat akan di produksi secara terusmenerus dan akan diekskresikan kedalam urin. Setiap hari kelenjar prostat diproduksi sebanyak 1 ml, tetapi jumlah tersebut dipengaruhi oleh hormone testosterone. Sekret di prostat memiliki pH 6,6 dan memiliki susunan seperti plasma, tetapi mengandung bahan-bahan tambahan seperti koleterol, asam sitrat, dan suatu enzim hialuronidase. Sekret prostat ditambahkan ke dalam sperma dan cairan seminal pada saat sperma dan cairan seminal melewati uretra (Wibowo, 2012). Pembesaran kelenjar prostat sering terjadi pada pria usai lanjut. Hal ini terjadi karena tekanan yang disebabkan oleh beberapa hal pada sfingter uretra atau uretra itu sendiri. Jika kelenjar prostat ini mengalami hyperplasia jinak atau ganas dapat membuat uretra posterior menjadi buntu dan mengakibatkan obstruksi saluran kemih atau terhambatnya seseorang untuk miksi. Kedaan ini dapat diatasi dengan pemasangan kateter ke dalam vesica urinaria atau melakukan prostatektomi pada pasien tertentu (Wibowo, 2012).

Gambar kelenjar prostat 4

Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior, prostat berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian inferior bersandar pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal dalam spatium retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada ampulla recti (Moore & Agur, 2002). Kelenjar prostat menyekresi cairan encer, seperti susu, yang mengandung kalsium, ion sitrat, ion fosfat, enzim pembekuan, dan profibrinolisin. Selama pengisian, simpai kelenjar prostat berkontraksi sejalan dengan kontraksi vas deferens sehingga cairan encer seperti susu yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat menambah jumlah semen lebih banyak lagi. Sifat cairan prostat yang sedikit basa mungkin penting untuk keberhasilan fertilisasi ovum, karena cairan vas deferens relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolism sperma, dan sebagai akibatnya, akan menghambat fertilisasi sperma. 3) Kelenjar bulbourtehralis Kelenjar bulbouretral adalah sepasang kelenjar yang ukuran dan bentuknya menyerupai kacang polong. Kelenjar ini mensekresi cairan basa yang mengandung mucus kedalam uretra penis untuk melumasi dan melindungi serta ditambahkan pada semen (Wibowo, 2012). 2.2 Landasan Teoritis Penyakit 2.2.1

Definisi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia)

BPH (benigna prostat hyperplasia) adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat yang umumnya dialami oleh pria yang disebabkan oleh pembesaran beberapa atau semua komponen prostat dan dapat mengakibatkan obstruksi keluarnya urin atau penyumbatan pada uretra (Muttaqin & Sari, 2011; Haryono,2013)

5

2.2.2

Etiologi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia)

Penyebab terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa terjadinya BPH erat kaitannya dengan hormonal dan proses penuaan. Selain itu, ada beberapa faktor kemungkinan yang menjadi penyebab BPH, antara lain (Prabowo&Pranata, 2014; Haryono, 2013) : 1. Dihydrotestosteron (DHT) Peningakatan

5

alfa

reduktase

dan

reseptor

andorogen

akan

mengakibatkan epitel dan stroma dari kelenjer prostat mengalami hiperplasia. 2. Ketidakseimbangan hormon estrogen dan testosteron Pada pria yang mengalami proses penuaan, terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testoteron, sehingga menyebabkan hiperplasia stroma pada prostat. 3. Interaksi antar stroma dan epitel Peningakatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menybabkan hiperplasia stroma dan epitel.

6

4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis) Peningkatan estrogen akan menyebabkan sel stroma dan epitel lebih lama hidup dari kelenjer prostat. 5. Teori stem sel Peningkatan stem sel akan menyebabkan poliferasi sel transit serta memicu terjadinya BPH.

2.2.3

Patofisiologi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia)

Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH) terjadi pada umur > 45 tahun yaitu pada saat fungsi testis sudah menurun. Penurunan fungsi testis ini mengakibatkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memacu pembesaran prostat. Seiring dengan pertambahan usia, prostat akan lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang melebihi dari normal, maka akan terjadi desakan pada traktus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi traktus urinarius jarang menimbulkan keluhan, karena dengan dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m.detrusor mampu mengeluarkan urin secara spontan. Namun obstruksi yang sudah kronis membuat dekompensasi dari m.detrusor untuk berkontraksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi saluran kemih. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 132) Keluhan yang biasanya muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat miksi yang kuat, pancaran urin lemah, disuria (saat kencing terasa terbakar), palpasi rektal toucher menggambarkan hipertrofi prostat, distensi vesika dan hipertrofi fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilitas inilah nantinya akan menyebabkan keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nokturia. Obstruksi yang berkelanjutan

akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar, misalnya

hidronefrosis, gagal ginjal dan lain sebagainya. Oleh karena itu kateterisasi untuk tahap awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 133)

7

Tonjolan terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak mengenai bagian posterior dari pada lobus medialis yaitu bagian yang dikenal sebagai lobus posterior, yang sering merupakan tempat berkembangnya karsinoma. Tonjolan dan jaringan prostat yang masih baik dapat dibedakan dengan jelas yaitu dengan melihat warnanya. Apabila yang bertambah unsur kelenjer, maka warnanya kemerahan, berkonsistensi lunak dan terbatas tegas dengan jaringan prostat yang terdesak, yang berwarna putih keabu-abuan dan padat. Apabila tonjolan ditekan maka akan keluar cairan seperti susu. Apabila unsur fibromuskuler yang bertambah, tonjolan berwarna abu-abu padat dan tidak mengeluarkan cairan seperti halnya jaringan prostat yang terdesak sehingga batasnya tidak jelas. 2.2.4 Manifestaasi klinis BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) BPH biasanya terjadi pada pria dengan usia rata-rata lebih dari 50 tahun akibat penurunan fungsi testis. Adapun gejala-gejala pada penyakit BPH, dibedakan menjadi (Prabowo&Pranata, 2014; Haryono, 2013) : 1. Gejala obstruktif, yaitu : 

Terminal dribling, yaitu urine yang masih menetes setelah berkemih.



Hesitansi, yaitu kesulitan ketika ingin memulai berkemih, biasanya disertai dengan mengejan karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu untuk meningkatkan tekanan intravesikal untuk mengatasi tekanan dalam uretra prostatika.



Gejala prostasimus (penurunan daya aliran urin), hal ini disebabkan karena kandung kemih gagal mengeluarkan urin secara spontan dan reguler, akibatnya volume urine masih banyak yang tertinggal dikandung kemih yang berpengaruh terhadap rasa ketidakpuasan ketika selesai berkemih.



Intermitency, yaitu aliran kencing yang terputus-putus karena otot destrussor tidak mampu mempertahankan tekanan intra vesika sampai proses berkemih berakhir.

8

2. Gejala iritasi, yaitu : 

Disuria, yaitu nyeri yang dirasakan saat berkemih.



Urgensi, yaitu rasa ingin berkemih yang sulit untuk ditahan oleh penderita.



Frekuensi miksi penderita meningkat terutama pada malam hari (nokturia) dan siang hari.

2.2.5

Pemeriksaan Penunjang dan Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan penunjang Menurut haryono, 2013 pemeriksaan penunjang pada BPH yaitu : 1. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur ini dapat memeriksa keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, dan kelainan lain seperti benjolan yang terdapat pada rektum dan prostat. Pada pemerikaan colok dubur ini dapat di tentukan konsentrasi prostat, apakah ada asimestri, nodul pada prostat, dan apakah batas atas dapat diraba atau tidak. Dan ukuran berat obstruksi dapat diukur dengan mengukur sisa urin pada saat miksi spontan, dan sisa miksi dapat ditentukan dengan mengukur jumlah urin yang masih keluar pada saat kateterisasi.

Ada 3 cara untuk mengukur besarnya hipertropi prostat (Margareth & Rendy, 2012) : a. Rectal grading Memperkirakan berapa cm prostat yang menonjol ke dalam lumen rectum yang dilakukan pada saat buli buli kosong. Menurut Haryono,2013 menonjolnya prostat

dapat

ditentukan

dalam

grade

:

9



0-1 cm

: grade 0



1-2 cm

: grade 1



2-3 cm

: grade 2



3-4 cm

: grade 3



> 4 cm : grade 4

Pada grade 3 dan 4 biasanya prostat tidak dapat diraba dikarenakan benjolan tersebut masuk ke dalam cavum rectum. Dengan dilakukan nya rectal grading maka dapat ditentukan besar dan beratnya prostat, dan juga penting untuk menentukan tindakan operasi yang dilakukan. Jika grade nya kecil maka terapi yang baik dilakukan adalah T.U.R.P ( Trans urethral Resection Prostat), namun jika prostat mencapai grade besar maka tindakan yang baik dilaukan adalah prostataktomy (Haryono,2013). b. Clinical grading Pada pengukuran ini yang menjadi patokan pengukuran adalah banyak sisa urin. Pasien diminta untuk mebuang air kecil pada pagi hari, setelah itu kateter dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengukur sisa urin.  Sisa urin 0 cc

: normal

 Sisa urin 0-50 cc

: grade 1

 Sisa urin 50-150 cc

: grade 2

 Sisa urin >150 cc

: grade 3

 Sama sekali tida bisa berkemih

: grade 4

c. Intra urethra grading Dengan menggunakan alat perondoskope, untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen.  Grade 1 : clinical grading seja berbulan bulan, bertahun tahun, mengeluh kencing tidak lancar, pancaran kemih lemah, nokturia.  Grade 2 : pada saat berkemih terasa panas, sakit, dan dysuria  Grade 3 : gejala semakin berat

10

 Grade 4 : buli buli penuh, dysuria overflow incontinence. Bila overflow incontinence dibiarkan akan menyebabkan infeksi dan dapat terjadi urosepsis berat. b. Pemeriksaan Diagnostic Menurut muttaqin & sari, 2011, pemeriksaan diagnostic pada pasien BPH adalah : 1. Urinalisis untuk melihat ada atau tidaknya tanda infeksi pada saluran kemih 2. Fungsi ginjal untuk melihat adanya gangguan pada fungsi ginjal 3. Pemeriksaan uroflowmetri 4. Foto polos abdomen untuk melihat adanya batu pada saluran kemih 5. PIV untuk melihat adanya komplikasi pada ureter dan ginjal. 6. Systocopy dilakukan jika ditemukan hematuria.

Gambar systocopy 2.2.6

Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan

a) Penatalaksanaan Medis Beningna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah penyakit bedah sehingga terapi bersifat simptomatis untuk mengurangi tanda dan gejala yang diakibatkan obstruksi saluran kemih. Jika keluhan masih bersifat ringan, yang diperlukan adalah pengobatan simptomatis untuk mengevaluasi perkembangan klien. Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medis. Kadang-kadang mereka yang mengeluh dengan BPH yang ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja (Purnomo,2012).

11

Tujuan dari terapi ini adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi objektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah

dimulai dari tanpa terapi (watchful waiting),medikamentosa, dan

intervensi (IAUI,2003) 1) Tanpa terapi (watchful waiting) Tanpa terapi ini ditujukan kepada pasien BPH yang gejala BPH nya tidak mengganggu aktivitas sehari- hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun namun pasien diberikan penjelasan mengenai semua hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya misalnya tidak boleh mengkonsunsumsi kopi atau alkohol sebelum tidur malam, kurangi konsumsi makanan dan minuman yang mengiritasi buli- buli (kopi atau cokelat) dan hindari penggunaan obat dekongestan atau antihistamin (Mc Vary & Roehrborn, 2010;Purnomo,2012). Dalam hal ini pasien BPH masih diminta untuk datang kontrol untuk menanyakan keluhan yang mungkin menjadi lebih baik, dan dilakukan pemeriksaa laboratorium, residu urine atau uroflometri. Namun jika keluhan bertambah buruk , maka disarankan untuk terapi yang lain (Purnomo, 2012). 2) Medikamentosa Tujuan terapi ini adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan obatobatan penghambat adrenergic alfa, mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar hormone testosterone melalui 5 alfa reduktase. a. Penghambat reseptor adrenergic -alfa seperti : 

Fenoksibenzamin : mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.



Prazosin, terazosin,afluzosin dan doksazosin, yang diberikan 2 kali sehari yang dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine.

12



Tamsulosin

:

mampu

memperbaiki

pancaran

miksi

tanpa

menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung. b. Penghambat 5 alfa reduktase Finasteride 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah 6 bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28 %, hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. c. Fitoterapi Jenis fitoterapi : pygeum africanum, serenoa repens, hypoxisrooperi, Radix urtica, dll fungsi fitoterapi sendiri adalah anti esterogen,anti androgen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin, inhibisi basic fibroblast growth factor, efek anti imflamasi, menurunkan outflow resistancedan memperkecil volume prostat 3) Intervensi Penyelesaian masalah pasien BPH jangka panjang yang paling baik pada saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi invasif lainnya membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil (Purnomo, 2012). Terapi intervensi dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu : 1. Teknik pembedahan Pembedahan dilakukan pada pasien BPH yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikasentosa. Macam-macam tindakan bedah pada pasien BPH, seperti : 

Prostatektomi

Ada berbagai macam prostatektomi yang dapat dilakukan, seperti : a) Prostatektomi Suprapubis Salah satu metode mengangkat kelenjer melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjer prostat diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk untuk kelenjer dengan berbagai ukuran dan

13

beberapa komplikasi dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak daripada metode lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor di sekitar tuba suprapubis serta pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan lain metode ini adalah secara teknis sederhana, memberikan area ekplorasi lebih luas, memungkinkan ekplorasi untuk nodus limfe kankerosa, pengangkatan kelenjer pengobstruksi lebih komplit, serta pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan. b) Prostatektomi Perineal Mengangkat kelenjer melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainase oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik dibawah penglihatan langsung, angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah serta ideal dengan pasien prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien yang sangat tua dan ringkih. Kerugian lainnya adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas. c) Prostatektomi Retropubik Suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjer prostat yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjer prostat besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik letak bedah lebih mudah dilihat, infeksi dapat cepat terjadi pada ruang retropubis. Kelemahannya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus penosa. 

Insisi Prostat Transuretral ( TUIP )

Prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi

14

tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya. 

TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )

Suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop.TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika (Anonim,FK UI,1995). Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kandung kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar. 

Elektrovaporisasi Prostat

Cara ini memakai teknik roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini hanya diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram), tidak banyak menimbulkan perdarahan saat operasi dan masa inap di rumah sakit lebih singkat namun membutuhkan waktu operasi yang lebih lama. 

Laser Prostatektomi

Pemakaian laser ternyata lebih sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dilakukan secara poliklinis, penyembuhan lebih cepat dan dengan hasil yang kurang lebih sama.

15

2. Teknik invasif minimal 

Termoterapi

Termoterapi kelenjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan didalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44ᵒC menyebabkan destruksi jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi. Prosedur ini dapat dikerjakan secara poliklinis tanpa pemberian pembiusan. Energy panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan melalui kateter yang terpasang didalam uretra. Besar dan arah pancaran energy diatur melalui sebuah computer sehingga dapat melunakan jaringan prostat yang membuntu uretra. Mordibitasnya relative rendah, dapat dilakukan tanpa anestesi, dan dapat dijalani oleh pasien yang kondisinya

kurang baik

jika

mengalami

pembedahan.

Cara

ini

direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil. 

TUNA (Transurethral needle ablation of the prostate)

Teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai mencapai 100ᵒC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan kedalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topical xylocaine sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali masih mengeluh hematuria. 

Pemasangan Stent (prostacath)

Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pemebsaran prostat. Stent dipasang intraluminal diantara leher buli-buli dan disebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini

16

akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau regional. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena risiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak didaerah penis. 

HIFU (High intensity focused ultrasound)

Energy panas yang ditimbulkan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 Mhz. energi dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60% dan Q maksimal rata-rata meningkat 40-50%. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10% setiap tahun. Meskipun sudah banyak modalitas yang telah diketemukan untuk mengobati pembesaran prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling memuaskan adalah TUR prostat. (Basuki, 2008). b) Penatalaksanaan Keperawatan Dalam proses keperawatan, hal yang dapat dilakukan perawat kepada pasien BPH yaitu memberikan pendidikan kesehatan dan pemasangan kateter urine. 1. Pendidikan kesehatan yang diberikan, yakni : 

Mengajarkan pasien teknik relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri



Memberikan informasi yang jelas tentang penyakit pasien



Mengajarkan tentang cara perawatan kateter.

2. Pemasangan kateter Pemasangan kateter urine pada pasien dengan BPH bertujuan untuk membantu pasien dalam berkemih, karna jika terjadi gangguan pada prostat, kerja

17

saluran uretra juga akan terganggu sehingga dibutuhkan kateter urine unttuk mengeluarkan urine dari tubuh. 2.2.7

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain : 

Urinary traktus infection



Retensi urin akut



Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi ginjal

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: seiring dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000). Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). 2.2.8

Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian 

Anamnesa BPH hanya dialami oleh pria karena prostat hanya terdapat pada organ reproduksi pria. Keluhan-keluhan yang sering dirasakan biasa dikenal dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms), antara lain hesistansi, terminal dribling, gejala prostasimus, intermitency, urgensi serta disuria (jika obstruksi meningkat).



Pemeriksaan Fisik Pada klien penderita BPH maka akan terjadi peningkatan nadi dan tekanan darah secara signifikan (kecuali jika ada penyakit penyerta). Hal tersebut

18

merupakan bentuk kompensasi dari nyeri yang timbul karena terjadinya obstruksi meatus uretralis dan distensi bladder. Gejala urosepsis (peningkatan suhu tubuh) sampai pada syok septik akan terjadi pada klien dengan retensi urine yang berlangsung lama. Obstruksi kronis pada kandung kemih yang disebabkan oleh BPH dapat menimbulkan retensi urine pada bladder yang memicu terjadinya refluks urine dan hidronefrosis serta pyelonefrosis. Sehingga perlu dilakukan palpasi

bimanual

untuk

mengetahui

adanya

hidronefrosis

dan

pyelonefrosis pada ginjal dan pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder (ballotemen). Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak ditemukan kelainan, kecuali jika terdapat penyakit penyerta seperti stenosis meatus, striktur uretalis, Ca penis, epididimtis, aupun urethralithiasis. Pemeriksaan RC (Rectal Toucher) merupakan pemeriksaan sederhana yang paling mudah untuk menegakkan BPH. Tujuan dari RC ini yaitu untuk menentukan konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra dan besarnta prostat. 

Pemeriksaan laboraturium Pada klien BPH maka hasil pemeriksaan darah lengkapnya tidak ditemukan kelainan, kecuali jika disertai dengan urosepsis maka akan ditemukan peningkatan leukosit. Ada pemeriksaan urine lengkap, maka akan ditemukan adanya bakteri patogen pada kultur jika terdapat infeksi dan terdapat eritrosit jika terjadi ruptur pada jaringan prostat. Pada kondisi post operasi, pemeriksaan PA dilakukan untuk mengetahui keganasan/jinak dari kelenjar prostat yang mengalami hiperplasia.



Pemeriksaa penunjang Pada pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan dengan USG ginjal (untuk melihat adanya komplikasi) dan USG kandung kemih (untuk mengetahui adanya pembesaran kelenjar prostat atau tidak). Pemeriksaan uroflowmetri juga sangat penting dilakukan untuk mengetahui pancaran urine. Berikut penilaian dari pemeriksaan uroflowmetri : a) Flow rate maksimal > 15ml/detik = non obstruktif

19

b) Flow rate maksimal 10-15ml/detik = border line c) Flow rate maksimal < 15ml/detik = obstruktif 2. Diagnosa Keperawatan Diagnose

NOC dan Indikator

1) Retensi Urin (00023) 0503. Eliminasi Urin Definisi :

Kriteria Hasil :

pengosongan

1. Tidak

kandung kemih tidak tuntas

terdapat

retensi urin.

Batasan

dapat

kosong

Karakteristik :

dengan sepenuhnya.

haluaran urin o Distensi kandung kemih o Urin menetes o Sering berkemih o Inkontinensia aliran berlebih

3. Mampu

Aktivtitas keperawatan :

kemih

ada

0620. Perawatan Retensi Urin

2. Kantong

o Tidak

NIC dan Aktivitas

untuk

1.

Pasang

kateter

urine,

sesuai

kebutuhan. 2.

Anjurkan

berkemih > 150 ml

pasien/keluarga

setiap kali miksi.

untuk

4. Normalnya

pola

urine output,sesuai

eliminasi.

kebutuhan.

5. Tidak terdapat nyeri selama berkemih. 6. Mampu

mencatatat

menjaga

3.

Monitor

intake

output. 4.

Monitor

derajat

o Residu urin

pola berkemih yang

distensi

kandung

o Sensasi

teratur.

kemih

dengan

kandung kemih

palpasi

penuh

perkusi.

o Berkemih sedikit Factor yang

0580. Kateterisasi Urin Aktivtitas keperawatan : 1.

Jelaskan dan

Berhubungan : o Sumbatan o Tekanan ureter

dan

prosedur

rasionalisasi

katererisasi. 2.

tinggi

Pasang alat dengan tepat.

3.

Berikan privasi dan

20

tutupi

pasien

dengan baik, untuk kesopanan

(yaitu,

hanya mengekspos area genitalia). 4.

Lakukan

atau

ajarkan

pasien

untuk membersihkan selang kateter di waktu yang tepat. 5.

Lakukan pengosongan kantung

kateter,

jika diperlukan. 6.

Dokumentasikan perawatan termasuk

ukuran

kateter, jenis, dan jumlah

pengisian

bola kateter. 7.

Ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan

kateter

yang tepat.

2) Nyeri Akut (00132) Definisi : pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan

1843.Pengetahuan:Man 1400. Manajemen Nyeri ajemen Nyeri Kriteria hasil : 1. Memberitahu teknik relaksasi yang tepat

Aktivitas keperawatan : 1. Lakukan pengkajian

nyeri,

komprehensif yang

dan efektif

21

yang actual atau

2. Mampu

meliputi

potensial, atau

merencanakan

digambarkan dalam

strategi

kerusakan

mengontrol nyeri.

(International

lokasi,

karakteristik, untuk

3. Memberitahu manfaat

onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas,

atau

Assosiation for the

dari modifikasi gaya

beratnya nyeri dan

Study of Pain) ;

hidup.

factor pencetus.

awitan tiba-tiab atau

2. Gali

pengetahuan

lambat dengan

dan

kepercayaan

intensitas ringan

pasien

hingga berat dengan

nyeri.

akhir yang dapat

mengenai

3. Berikan informasi

diantisipasi atau

mengenai

diprediksi dan

seperti

berlangsung < 6

nyeri, berapa lama

bulan.

nyeri

Batasan

dirasakan,

dan

Karakteristik :

antisipasi

dari

o Perubahan selera tekanan

makan, darah,

nyeri, penyebab

akan

ketidaknyamanan akibat prosedur. 4. Ajarkan

prinsip-

frekuensi

prinsip manajemen

jantung,

nyeri.

frekuensi

5. Dorong

pasien

pernapasan.

untuk

memonitor

o Diaphoresis

nyeri

dan

o Perilaku

menangani

o Ekspresi wajah

nyerinya

nyeri o Melindungi area

dengan

tepat. 6. Ajarkan

nyeri dan focus

penggunaan teknik

menyempit

non-farmakologi.

22

(gangguan persepsi

7. Kolaborasi dengan nyeri,

pasien,

orang

hambatan

terdekat dan tim

proses berpikir,

kesehatan

penurunan

untuk memilih dan

interaksi)

mengimplementasi

lainnya

o Putus asa

kan

o Melaporkan

penurunan

nyeri

secara

verbal

non-farmakologi

8. Gunakan tindakan

o Focus pada diri sendiri o Gangguan tidur

pengontrol

nyeri

sebelum

nyeri

bertambah berat. 9. Evaluasi

Faktor yang

keefektifan

Berhubungan : cedera

(biologis, kimia,

nyeri

sesuai kebutuhan.

o Dilatasi pupil

o Agens

tindakan

zat fisik,

psikologis).

dan

tindakan pengontrolan nyeri yang

dipakai

selama pengkajian nyeri dilakukan. 10. Berikan

individu

penurunan yang dengan

nyeri optimal

peresepan

analgesic.

23

2.2.9 WOC (Web Of Causation)

24

↓ fungsi testis

↑H. estrogen

DHT

↓H .testosteron

↑growth factor

↓transforming growth factor β

↑sel stem

↓kematians elstroma&e pitel

Hyperplasia epiteldanstroma.

BPH

g.obstruktif

Terminal dribbing

hesistensi

g. iritasi

urgensi

intermitency

Gejala prostasimus

Obstruksi saluran kemih

Residu urin ↑

Tekanan intravesika ↑

Mengejan miksi

Stasis urin dalam vesikaurinaria

Batu

nokturia

disuria

endapan

iritasi

hematuria

Infeksi sal.kemih

Apabila tidak dapat terobati

Refleksber kemih ↑

Gagal ginjal

urgensi

Retensi urin

sensivitas Nyeriakut

Pertumbuhan mikroorganisme

↑ tekanan intra abdomen

Hernia

hemaroid

sistitis

refluks

Pyelonfritis

BAB III ANALISA KASUS Pasien Tn.A sudah dirawat selama 4 hari dirumah sakit, keluhan seperti sakit waktu BAK, BAK seringn tapi sedikit-sedikit dirasakan pasien sejak waktu satu bulan yang lalu, akan tetapi satu minggu sebelum dibawa kerumah sakit pasien merasa sakit yang luar biasa, akhirnya keluarga membawa klien kerumah sakit, tenyata setelah dilakukan pemeriksaan klien di diagnosa dengan pembesaran kelenjar prostat (BPH). Klien dianjurkan untuk dilakukan operasi. Klien mengatakan cemas dengan tindakan operasi yang akan dilakukan klien dan keluarga tidak mengerti dengan penyakit yang dideritanya sekarang dan dia berharap penyakitnya dapat segera disembuhkan. Klien seorang perokok berat dan peminum alkohol, selama di RS hanya mnghabiskan sebagian makanan yang diberikan. BB sebelum 57 kg dan tidak terjadi perubahan. Tidak dapat tidur dengan nyenyak karena sering terbangun malam hari untuk BAK. Pertanyaan : 1. Buat pengkajian dengan menggunakan 11 fungsional Gordon 2. Buat 3 diagnosa keperawatan dengan menggunakan nanda, noc, dan nic. Format Pengkajian Keperawatan : 1. Identitas a. Pasien Nama

: Tn. A

Jenis kelamin

: Laki-laki

Umur

: 55 tahun

Agama

: Islam

Status perkawinan

: Kawin

Diagnosa medik

: BPH (pembesaran kelenjar prostat)

b. Penanggung jawab Nama

: Ny.B

25

Umur

: 50 tahun

2. Riwayat kesehatan a. Riwayat keperawatan 1. Keluhan utama a) Klien mengeluh sakit pada saat BAK b) Sakit yang luar biasa ketika BAK c) Sejak satu bulan yang lalu 2. Riwayat penyakit sekarang a) Satu minggu sebelum ke rumah sakit,klien merasakan sakait yang luar biasa saat BAK b) Klien merasa tidak nyaman saat BAK c) Gejala : muncul pada saat BAK d) Lokasi gejala dimana dan sifatnya : di saluran perkemihan dan bersifat menetap e) Keluhan : kllien merasakan sakit yang luar biasa f) Lamanya keluhan berlangsung :selama berkemih g) Upaya apasaja yang telah dilakukan : tidak ada h) Klien dan keluarga berharap kepada petugas kesehatan agar penyakitnya dapat segera disembuhkan 3. Riwayat penyakit masa lalu a) Klien

tidak

mempunyai

riwayat

penyakit

apa-apa

sebelumnya. 4. Riwayat kesehatan keluarga -

b. Pengkajian fungsional Gordon 1. Persepsi terhadap kesehatan dan manajemen kesehatan a)

Klien seorang perokok berat dan peminum alcohol

b)

Klien tidak pernah melakukan pemeriksaan kesehatan

secara rutin c)

Klien tidak mengetahui tentang keadaan penyakitnya saat

ini

26

d)

Klien tidak mengetahui tentang berat/ringannya sakit yang

diderita e)

Klien berharap agar sakitnya segera disembuhkan

2. Pola aktivitas dan latihan a) Mandi 2x sehari b) Pakaian yang digunakan bersih dan diganti setiap setelah mandi c) Kemampuan perawatan diri : aktivitas

0

Mandi

*

Berpakaian

*

Mobilisasi

*

Pindah

*

Ambulasi

*

Makan/minum

*

1

2

3

4

3. Pola istirahat dan tidur a. Klien tidak dapat tidur dengan nyenyak. b. Sering terbangun pada malam hari untuk BAK. 3. Pola nutrisi metabolic a. Klien hanya menghabiskan sebagian makanan yang diberikan (data mal adaptif). b. Tidak ada perubahan berat badan dari awal masuk rumah sakit sampai keluar dari rumah sakit. 4. Pola eliminasi a. Urine keluar sering tetapi sedikit-sedikit dan terasa sakit. b. Klien mengalami nokturia. 5. Pola kognitif dan perceptual a. Klien merasakan nyeri yang amat sangat pada saat BAK. Klien tidak melakukan cara apapun untuk mengurangi nyeri.

27

6. Pola konsep diri 7. Pola koping a. klien berharap penyakitnya dapat segera sembuh 8. seksual reproduksi a. penyakit yang diderita klien mengganggu fungsi seksual 9. pola peran hubungan a. klien mempercayai bahwa keluarga dan petugas kesehatan dapat membantunya jika ada kesuliatan. 10. Pola nilai dan kepercayaan 3. Pemeriksaan Fisik 1. klien dalam keadaan sadar. 2. Kondisi pasien secara umum : 3. TB : -, BB : 57 kg 4. TTV : 5. Keadaan kulit : Pemeriksaan fisik secara sistemik : 4. Pemeriksaan penunjang Tidak ada dalam kasus. 5. Analisis data senjang a. Pasien mengalami nyeri yang luar biasa saat BAK b. BAK sering tetapi sedikit sedikit c. Klien mengalami nokturia d. Klien tidak dapat tidur dengan nyenyak pada malam hari e. Klien hanya menghabiskan sebagian makanan yang diberikan oleh rumah sakit f. Klien tidak mengalami perubahan berat badan g. Klien dan keluarga tidak mengerti dengan penyakit yang dideritanya. 6. Perumusan Diagnosa (NANDA), Kriteria Hasil (NIC), dan Intervensi (NOC) Keperawatan

28

Diagnose 1. Dx

:

NOC dan Indikator 00016. 0503. eliminasi urine

Gangguan eliminasi urine b.d obstruksi anatomic d.d disuria, dorongan

berkemih,

inkontinensia

urine,

Urin

1. Pola

eliminasi

sepenuhnya

DO : -

ditingkatkan ke (4)

sering,tetapi sedikit-sedikit



kateter

urine,

kemih ,

sesuai

kebutuhan. 2. Anjurkan pasien/keluarga

3. Nyeri saat kencing,

untuk

mencatatat

ditingkatkan ke (5)

urine

output,sesuai

4. Frekuensi berkemih

BAK

Aktivtitas keperawatan : 1. Pasang

2. Mengosongkan

dan sering berkemih.



,

ditingkatkan ke (5)

kandung

DS :

0620. Perawatan Retensi

Indicator :

nokturia, retensi urine



NIC dan Aktivitas

, ditingkatkan ke (4) 5. Nokturia,

3. Monitor

intake

output. 4. Monitor

derajat

luar biasa saat

distensi

kandung

berkemih

kemih

dengan

Nokturia

palpasi dan perkusi.

Sakit

yang

ditingkatkan ke (4)

kebutuhan.

0580. Kateterisasi Urin Aktivtitas keperawatan : 1. Jelaskan dan

prosedur

rasionalisasi

katererisasi. 2. Pasang alat dengan tepat. 3. Berikan privasi dan tutupi pasien dengan baik, kesopanan

untuk (yaitu,

29

hanya mengekspos area genitalia). 4. Lakukan

atau

ajarkan pasien untuk membersihkan selang

kateter

di

waktu yang tepat. 5. Lakukan pengosongan kantung kateter, jika diperlukan. 6. Dokumentasikan perawatan termasuk ukuran

kateter,

jenis, dan jumlah pengisian

bola

kateter. 7. Ajarkan pasien dan keluarga perawatan

mengenai kateter

yang tepat. 1211 tingkat kecemasan 2.

Dx

:

nyaman

00214. rasa Indicator :

Gangguan b.d

gejala

terkait penyakit d.d rasa sakit

pada

1. Gangguan tidur , ditingkatkan ke (4)

saat

DO : DS : tidak dapat

Aktivtitas keperawatan : 1. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang

dan 2101 nyeri :efek yang mengganggu gangguan pola tidur. berkemih,ansietas

tidur nyenyak

1400. Manajemen nyeri

Indicator :

meliputi

lokasi,karakteristik, unsure

atau

durasi,frekuensi,kua litas,intensitas atau

1. Gangguan eliminasi

beratnya nyeri dan

30

karena sering

urine, ditingkatkan

terbangun pada

ke (5)

malam hari untuk BAK

2. Tentukan dari

0004 tidur

akibat

pengalaman

nyeri

Indicator : 1. Buang

faktor pencetus

terhadap

kualitas air

dimalam

kecil

hari

,

ditingkatkan ke (4)

hidup

pasien. 3. Ajarkan

prinsip-

prinsip manajemen nyeri 4. Dorong

pasien

untuk

memonitor

nyeri

dan

menangani nyerinya

dengan

tepat 5. Beritahu dokter jika tindakan

tidak

berhasil atau jika keluhan pasien saat ini

berubah

signifikan pengalaman

dari nyeri

sebelumnya

3. Dx

:

Defisiensi

Pengajaran: : 5610. 00126. perioperatif prosedur penanganan 1814.

pengetahuan

Aktivtitas keperawatan :

pengetahuan b.d Indicator : kurang informasi d.d klien

kecemasan dengan

tindakan operasi dan

kurangnya

1. Informasikan pada

1. Prosedur penanganan

pasien

,ditingkatkan ke (4)

keluarga

2. Tujuan

prosedur,

ditingkatkan ke (5)

dan untuk

menjadwalkan tanggal, waktu dan

31

pengetahuan

3. Langkah-langkah

klien

dan

keluarga tentang penyakit

yang

diderita.

cemas dengan tindakan yang

akan

ditingkatkan ke (5) 4. Tindakan

Klien

mengerti dengan penyakit yang

pasien

dan

keluarga perkiraan yang samping

lama operasi 3. Kaji

riwayat

penanganan,

operasi

ditingkatkan ke (5)

sebelumnya,

5. Kontraindikasi

latar

belakang, budaya,

prosedur,

dan

ditingkatkan ke (5)

pengetahuan

dengan

prosedur,ditingkatk dan

keluarga tidak

dideritanya

Efek

6. berkaitan

dilakukan 

2. Informasikan pada

pencegahan

DO : DS :  Klien merasa

operasi

prosedur,

lokasi operasi.

an ke (4)

tingkat

terkait operasi 4. Fasilitasi kecemasan pasien dan

keluarga

terkait kecemasannya 5. Berikan kesempatan pasien

pada untuk

bertanya 6. Jelaskan prosedur persiapan

pre-

operasi 7. Jelaskan obat- obat preoperative yang dibeikan,

efek

yang

akan

ditimbulkan alas

dan an

penggunaannya

32

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan System perkemihan merupakan salah satu system dalam tubuh manusia yang berfungsi untuk melakukan ekskresi dan melakukan eliminasi sisa-sisa hasil dari metabolisme tubuh. Salah satu penyakit yang terjadi pada sistem perkemihan yaitu benign prostat hyperplasia atau pembesaran kelenjar prostat yang dialami oleh pria usia lanjut. BPH (benigna prostat hyperplasia) adalah pembesaran progresif pada kelenjar prostat yang umumnya dialami oleh pria yang disebabkan oleh pembesaran beberapa atau semua komponen prostat dan dapat mengakibatkan obstruksi keluarnya urin atau penyumbatan pada uretra (Muttaqin & Sari, 2011; Haryono,2013). Penyebab terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, akan tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa terjadinya BPH erat kaitannya dengan hormonal dan proses penuaan. Penurunan fungsi testis ini mengakibatkan ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrotesteosteron sehingga memacu pembesaran prostat. Adapun gejala-gejala pada penyakit BPH adalah : gejala obstruktif ( terminal dribling, hesitansi, gejala prostasimus, intermitency). Gejala iritasi (disuria, urgensi, frekuensi miksi meningkat pada malam hari). Pemeriksaan penunjang pada BPH adalah : pemeriksaan colok dubur. Pemeriksaan diagnostik pada BPH adalah : urinalisi, pemeriksaan uroflowmetri, PIV dll. Penatalaksanaan Medis pada penderita BPH adalah terapi yang bersifat simptomatis untuk mengurangi tand dan gejala yang diakibatkan obstruksi saluran kemih. Jika keluhan masih ringan maka dilakukan saja pengobatan siptomatis. Penatalaksaan keperawatan pada penderita BPH ini adalah pendidikan kesehatan dan kateterisasi urin. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: seiring dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).

33

4.2 Saran Demikianlah makalah yang dapat penulis paparkan mengenai “Asuhan keperawatan medical bedah dengan pendekatan NANDA NOC NIC pada pasien dengan gangguan Benigna Prostat Hyperplasia”. Semoga makalah ini berguna bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa keperawatan. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kesalahan. Oleh karena itu, kritik atau saran yang membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

34

DAFTAR PUSTAKA Devi, Anakardian Kris Buana. 2017. Anatomi Fisiologi Dan Biokimia Keperawatan. Yogyakarta: Pustakabarupress Haryono, Rudi. 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Andi Offset Margareth dan M.Clevo Rendy. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika Prabowo, Eko., dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta: Nuha Medika. Saputra, Lyndon. 2014. Organ System Visual Nursing, Genitouria. Tangerang selatan: BINAPURA AKSARA Publisher Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi Untuk Maahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.

35

More Documents from "Putri dwi rusmayanti"

K3.docx
December 2019 28
Bph_kel.3-1.docx
November 2019 12
Bab I.docx
April 2020 34
Bab_6_k-map.pdf
April 2020 25