PEMBELAJARAN BERBASIS LINGKUNGAN
PEMANFAATAN HASIL PENELITIAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR BIOLOGI UMUM BERBASIS LINGKUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIFISME (MODEL PROBLEM – BASED LEARNING)
Disusun oleh DRA. SAWITRI KOMARAYANTI, M.S.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JURUSAN PENDIDIKAN MIPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER DESEMBER 2007
PENGANTAR Dengan izin Allah SWT serta dorongan dari berbagai pihak, terselesaikan juga penyusunan HIBAH PEMBELAJARAN BERBASIS LINGKUNGAN ini, yang dibiayai oleh Program Hibah Kompetisi A1 tahun 2007 Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan MIPA
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Jember. Hibah Pembelajaran Berbasis Lingkungan ini, merupakan salah satu agenda kegiatan Program Hibah Kompetisi A1 yang bertujuan untuk mengembangkan kompetensi dosen dalam proses pembelajaran berbasis lingkungan. Diharapkan lebih lanjut dapat memberi konstribusi pada peningkatan mutu penyelenggaraan kegiatan akademik di Program studi Pendidikan Biologi. Sasaran dari Hibah Pembelajaran Berbasis Lingkungan ini adalah meningkatkan kompetensi dosen dalam merancang model pembelajaran berbasis lingkungan. Indikator yang digunakan adalah dosen mampu menyusun model pembelajaran berbasis lingkungan dengan memanfaatkan hasil penelitian berbasis lingkungan sebagai sumber belajar yang dikembangkan. Hibah Pembelajarn Berbasis Lingkungan pada tulisan ini , menampilkan pemanfaatan hasil penelitian ” PERILAKU
PENYU BERTELUR DI PANTAI
SUKAMADE” sebagai sumber belajar matakuliah BIOLOGI UMUM
untuk Pokok
Bahasan ” Perilaku sebagai gejala biologis”, sub pokok bahasan ” Fenomena perilaku pada organisme/hewan yang berdasarkan instink (naluri). Demikian karya ini ditulis ,semoga dapat menjadi inspirasi bagi pengembangan model-model pembelajaran berbasis lingkungan pada pokok-pokok bahasan lainnnya atau pada matakuliah lainnya di Proram Studi Pendidikan Biologi. Masukan yang berupa kritik dan saran kami harapkan untuk perbaikan tulisan ini.
Nopember 2007 Penyusun
2
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................. 1 PENGANTAR ...........................................................................................
2
DAFTAR ISI .............................................................................................
3
1. PENDAHULUAN ................................................................................. 4 2. SILABI MATA KULIAH BIOLOGI UMUM .....................................
5
3. POKOK BAHASAN TERPILIH SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN ERBASIS LINGKUNGAN ..................................
9
4. PEMANFAATAN HASIL PENELITIAN ”PERILAKU PENYU BERTELUR DI PANTAI SUKAMADE” SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN BIOLOGI UMUM BERBASIS LINGKUNGAN.. 11 A. HASIL PENELITIAN ”PERILAKU PENYU BERTELUR DI PANTAI SUKAMADE” ................................................................
11
B. ANALISIS HASIL PENELITIAN SEBAGAI BAHAN AJAR MATERI BIOLOGI UMUM PADA POKOK BAHASAN ”PERILAKU SEBAGAI GEJALA BIOLOGIS” ................................. 31 C. PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS LINGKUNGAN PADA TOPIK PERILAKU BNERTELUR PENYU DI PANTAI SUKAMADE .......................................................................................
31
D. STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS LINGKUNGAN DENGAN MODEL ”PROBLEM BASED LEARNING”....................
45
E. STRATEGI PEMBELAJARAN DENGAN VCD ...............................
48
F. DATA-DATA TAMBAHAN DAN FOTO-FOTO YAN DAPAT DIGUNAKAN UNTUK DISKUSI PENGEMBANGAN …………… 52 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
57
3
1. PENDAHULUAN Pembelajaran berbasis lingkungan (potensi daerah) yang sedang dikaji oleh Proram Studi Pendidikan Biologi , merupakan arah pengembangan Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jember ke depan. Fenomena ini menunjukkan bahwa Program Studi Pendidikan Biologi akan mengimplementasikan pendekatan-pendekatan pembelajaran berbasis lingkungan sebagai wujud melakukan inovasi (pembaharuan) dalam pengembangan model-model pembelajaran terkini yang selaras dengan pembaharuan pendidikan nasional. Alasan lain untuk pengembangan tersebut , yaitu adanya paradigma baru UU otonomi daerah yang menempatkan daerah secara otonom, maka pendidikan biologi ke depan berbasis kearifan pembangunan daerah
untuk meraih martabat nasional
(mengetahui potensi alam daerah yang dapat diangkat dan digunakan sebagai sumber belajar biologi). Tujuan yang diharapkan dicapai mahasiswa dalam pembelajaran biologi masa kini adalah kemampuan yang berkaitan dengan pemecahan masalah hidup dan kehidupan, atau yang lebih dikenal dengan kecakapan hidup. Dalam bidang biologi, kecakapan hidup itu dijabarkan menjadi dua ranah kecakapan, yaitu kecakapan kerja ilmiah (ketrampilan proses ilmiah), dan pemahaman konsep. Bila kedua kecakapan tersebut dapat dikuasai mahasiswa, maka mahasiswa akan mampu memecahkan masalah hidup dan kehidupan dengan menggunakan konsep biologi dan ketrampilan kerja ilmiah. Pada akhir-akhir ini para ahli pendidikan sains (Biologi),mendifinisikan sains (biologi) adalah proses kerja ilmiah untuk mengemati, menginterpretasi, menganalisis dan menaruk kesimpulan berbagai fenomena alam dan untuk memecahkan masalah yang ada di dalamnya. Pada definisi ini, melalui belajar biologi mahasiswa dapat membangun kerja ilmiah. Pandangan konstruktivisme, mengemukakan bahwa materi ajar untuk pembelajaran biologi adalah fenomena dan masalah-masalah yang terjangkau oleh pengalaman langsung mahasiswa dalam konteks kehidupannya yang nyata. Melalui fenomena dan masalah-masalah dunia nyata itu mahasiswa dapat membangun sendiri kecakapan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan.
4
Jika pandangan diatas digunakan sebagai rujukan untuk mengembangkan materi ajar, maka ”program pengembangan pembelajaran berbasis lingkungan (potensi alam daerah)” yang diagendakan dalam Hibah Pembelajaran Berbasis Lingkungan ini merupakan suatu inovasi (perubahan) yang sangat progresif. Program ini mempertajam pandangan bahwa materi ajar biologi seharusnya adalah fenomena dan masalah-masalah dunia nyata yang menjadi potensi daerah dimana perguruan tinggi tersebut berada. Fenomena dan masalah-masalah biologi tersebut merupakan potensi daerah yang perlu dipecahkan atau dikembangkan keberadaannya.
5
2. SILABI MATA KULIAH BIOLOGI UMUM I. Identitas Mata Kuliah A. Mata Kuliah
: BIOLOGI UMUM
B. Kode / SKS
: Bio 253 / 3
C. Semester
: 1 (satu)
D. MK Prasyarat
:-
E. Dosen
: Ika Priantari, S.Si.
II. Kompetensi: a. Memahami ciri-ciri keilmuan biologi, dari sisi obyek, gejala, persoalan,metodologi serta struktur keilmuannya. b. Terampil mengidentifikasikan persoalan biologi yang ada disekitar serta upaya pemecahannya c. Sadar akan pentingnya eksistensi sesama makhluk di alam III. Deskripsi : Mata kuliah ini dilaksanakan dengan memuat (1) konsepsi dasar tentang struktur keilmuan biologi, yang teridentifikasikan dari segi obyek, organisasi tingkat kehidupan dan tema persoalannya, (2) metode ilmiah dan pendekatan baik secara induktif maupun deduktif untuk mendapatkan kebenaran temuan yang berupa konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, serta teori-teori
biologi, (3)
ketrampilan dasar menerapkan proses ilmiah melalui latihan laboratorium yang dikaitkan
dengan 7 (tujuh)
tema persoalan pokok biologi, yaitu
a.
Keanekaragaman, b. Komplementaritas (saling melengkapi) antara makhluk dengan lingkungan, c. Komplementaritas antara
struktur dengan fungsi, d.
Pewarisan sifat dan kelangsungan hidup, e. Regulasi, f. Perilaku, g. Evolusi. IV. Referensi : a. BSCS, 1963. Student Manual, High School Biology, Ran Mc. Nally & Co.Chicago. b. Collte and T. Alfred, 1973. Science Teaching for the Secondary School. Allyn and bacon Inc. Boston. c. Drickkamer,LC.& Vessey. Stephan H. 1982. Animal Behavior Concept, Processes and Methods, Willard Grant Press Boston.
6
d. Putu Suryadarma I.G.P, dkk, 1987. Diktat Kuliah Biologi Umum, FPMIPA IKIP Yogyakarta . V. Rancangan Kegiatan Pembelajaran : Pert. Pokok Bahasan/
Pengalaman Belajar
Referensi
ke 1
Sub Pokok Bahasan Pendahuluan
mahasiswa Diskusi tentang alasan
a(17-25)
1.Alasan mempelajari Biologi
pentingnya mempelajari..
d
Umum
Diskusi tentang kedudukan
2.Kedudukan Biologi di antara
Biologi dengan ilmu-ilmu yang
ilmu-ilmu lain Ciri keilmuan Biologi
lain Diskusi tentang ciri-ciri
a(17-25)
1.Obyek,gejala dan persoalan
keilmuan biologi ditinjau dari
d
serta metode pengkajiannya
obyek,gejala,persoalan serta cara
.Pendekatan induktif dan
(metode) pengkajiannya.
deduktif
Diskusi tentang pendekatan
2
induktif dan deduktif dalam 3
Komplementaritas (saling
pengkajian biologi Diskusi tentang hubungan
melengkapi) antara makhluk
makhluk hidup dengan
dengan lingkungannya
lingkungan
d
1.Lingkungan (abiotik-biotik) sebagai sumber daya bagi kehidupan 2.Kecermatan makhluk dalam mengelola lingkungan sebagai sumberdaya sebagai ciri 4
keberhasilan hidup (survival) Keanekaragaman makhluk:
Diskusi tentang keanekaragaman
1.Keanekaragaman sebagai
sebagai fenomena biologis, serta
fenomena biologis
keanekaragaman taksonomis dan
.2 Faktor-faktor penentu
non taksonomis, serta faktor-
d
7
terjadinya keanekaragaman
faktor penentunya
3.Keanekaragaman Taksonomis 5
dan non taksonomis Komplementaris antara struktur-
Diskusi tentang hubungan antara
fungsi.
struktur dan fungsi pada setiap
1.Struktur fungsi pada tingkat
tingkat organisasi kehidupan
organisasi sel,jaringan,organ dan
mulai dari sel sampai dengan
individu.
komunitas
d
2. Struktur-fungsi pada tingkat organisasi populasi dan 6
komunitas Pewarisan sifat dan
Diskusi tentang perbanyakan diri
kelangsungan hidup.
serta penurunan sifat
d
1.Pewarisan sifat dan perbanyakan jenis. 2.Dasar-dasar hereditas menurut 7
Mendel Regulasi dan homeostatis,pada
Diskusi tentang mekanisme
berbagai tingkatan organisasi
stimulus respon, serta koordinasi
kehidupan
dan umpan balik
d
1.Mekanisme stimulus-respon 8
9
.Koordinasi dan umpan balik Perilaku sebagai gejala biologis.
Diskusi tentang perilaku serta
1.Berbagai macam teori
faktor-faktor yang
perilaku.
mempengaruhinya.
2.Berbagai macam fenomena
Metode pengamatan langsung di
perilaku pada organisme. Naluri
alam
dan hasil belajar Evolusi
Diskusi tentang gejala-gejala
1.Variasi dan spesifikasi anggota
terjadinya evolusi dan bukti-
spesies.
bukti terjadinya evolusi
d
d
2.Interaksi faktor enetik dengan lingkungan. 8
3.Seleksi alam VI. Metode Penilaian: A. Indikator Keberhasilan 1 Mahasiswa dapat mengemukakan alasan mempelajari biologi umum. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri keilmuan biologi. 3. Mahasiswa dapat menunjukkan hubungan antara kehidupan dengan lingkungan. 4. Mahasiswa dapat memahami bahwa keanekaragaman merupakan fenomena biologis, serta keanekaragan taksonomis dan non taksonomis serta faktor-faktor penentunya. 5. Mahasiswa dapat menunjukkan hubungan antara struktur dan fungsi pada setiap tingkatan organisasi kehidupan. 6. Mahasiswa dapat menjelaskan dasar-dasar penurunan sifat pada enerasi penerusnya pada kehidupan. 7. Mahasiswa dapat memahami pengertian dasar regulasi dalam kehidupan makhluk. 8. Mahasiswa dapat memahami prinsip regulasi dalam kehidupan makhluk hidup untuk mencapai keseimbangan. 9. Mahasiswa dapat memahami tentang perilaku pada kehidupan sebagai faktor yang berperan dalam kelangsungan hidup. 10. Mahasiswa dapat menjelaskan evolusi sebagai fenomena kehidupan serta faktor-faktor yang terlibat. B. Teknik: Penilaian terhadap penguasaan konsep dilakukan secara bersama dalam ujian tengah semester dan akhir semester. C. Kriteria: Tugas
: 10 %
Praktikum
: 30 %
Ujian tengah semester 30 % Ujian Akhir Semester : 30%
9
3. POKOK BAHASAN TERPILIH SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN BERBASISLINGKUNGAN. Pokok Bahasan ”PERILAKU SEBAGAI GEJALA BIOLOGIS” (pokok bahasan ke- 8 ) terpilih sebagai salah satu model pengembangan pembelajaran biologi umum berbasis lingkungan melalui kajian ”PERILAKU PENYU BERTELUR DI PANTAI SUKAMADE” dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Kompetensi yang ingin dicapai dalam mata kuliah biologi umum diantaranya adalah : mahasiswa terampil mengidentifikasi persoalan biologi yang ada disekitar serta upaya pemecahannya, dan diharapkan mahasiswa sadar akan pentingnya eksistensi sesama makhluk di alam. 2. Persoalan/fenomena ”Perilaku Penyu Bertelur Di Pantai Sukamade” merupakan permasalahan biologi yang bisa langsung dipelajari di alam , sarat denganberbagai konsep, prinsip, hukum dan terminologi yang dapat dikaji mahasiswa secara langsung. 3. Pandangan pendekatan pembelajaran terkini yaitu : pendekatan konstruktivisme mengemukakan bahwa materi ajar biologi adalah fenomena dan masalah-masalah yang terjangkau oleh pengalaman langsung mahasiswa dalam konteks kehidupannya yang nyata. Melalui fenomena dan masalahmasalah dunia nyata itu mahasiswa dapat membangun sendiri kecakapan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan. 4. Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri yang terkenal dengan penyunya yang menjadi permasalahan dunia internasional, karena dari 7 jenis penyu yang ada di dunia yang sudah dikenal, 5 jenis diantaranya terdapat di perairan Indonesia dan 4 jenis diantaranya terdapat di Pantai Sukamade. Dengan demikian Pantai Sukamade dapat menjadi potensi alam daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai laboratorium alam sumber belajar Biologi Umum, khususnya kajian ”Perilaku Penyu Bertelur”. 5. Pantai Sukamade yang lokasinya relatif dekat dengan Universitas Muhammadiyah Jember jika dibandingkan dengan perguruan-perguruan tinggi lain dan lembaga-lembaga internasional yang datang untuk mengkaji masalah kehidupan penyu di Pantai Sukamade ini.
10
6. Kajian ’perilaku penyu bertelur di pantai Sukamadr” dapat memberi pengalaman belajar langsung yang bermakna bagi mahasiswa. Perilaku kehidupan penyu belum banyak terungkap, masih merupakan rahasia alam dengan banyak permasalahan yang menarik untuk dikaji sebagai sumber belajar Biologi Umum untuk pokok bahasan ”Perilaku Sebagai Gejala Biologis” 7. Model pembelajarn berbasis lingkungan dengan memanfaatkan hasil penelitian ”Perilaku Penyu Bertelur Di Pantai Sukamade” dapat memberi pengalaman belajar lansung pada mahasiswa, membuat mahasiswa akrab dan peka dengan permasalahan biologi yang ada dilingkungannya, mengenal dan memahami potensi daerahnya sebagai permasalahan biologi internasional yang dapat digunakan sebagai sumber belajar biologi umum berbasis lingkungan. 8. Mahasiswa diharapkan lebih lanjut dapat memikirkan upaya-upaya perlindungan dan pelestariannya yang sudah merupakan masalah internasional.
11
4. PEMANFAATAN HASIL PENELITAN ” PERILAKU PENYU BERTELUR DI PANTAI SUKAMADE” SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN BIOLOGI UMUM BERBASIS LINGKUNGAN. A. Hasil Penelitian ”Perilaku Penyu Bertelur Di Pantai Sukamade” . 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian a. Taman Nasional Meru Betiri Berdasarkan letak administratif pemerintah, Kawasan Taman Nasional Meru Betiri ( TNMB ) terletak di dua wilayah Kabupaten di Propinsi Jawa Timur, yaitu di bagian barat yaitu Kabupaten Jember luas 37.626 ha dan bagian timur termasuk Kabupaten Banyuwangi dengan luas 20.374 ha. Setelah areal perkebunan PT. Sukamade baru dan Bandealit dilepas yang seluas 2.155 ha, luas total Kawasan Taman Nasional Meru Betiri menjadi 58. 000 ha yang terdiri dari daratan 55.000 ha, dan lautan 845 ha. Secara administratif, Kawasan Taman Meru Betiri dibawah pengelolaan Balai Taman Meru Betiri. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara geografis terletak antara 133038’48”-13308’30” BT dan 8020’48”LS.Sebelah utara berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Nusantara XII malangsari dan PT. Perkebunan Trebesalak sebelah timur berbatasan dengan desa Sarongan Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi dan Kawasan PTP XII Sumberjambe, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sabrang dan desa Curahnongko Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember Kawasan PT. Perkebunan nusantara XII Kalisanen. ( Buku II Data, Proyeksi, dan Analisis Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri 1995-2020). b. Aksesibilitas Aksesibilitas untuk menuju Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dapat dicapai melalui jalan darat dari Jember dan Banyuwangi yaitu: ● Jalur Jember-Ambulu-Curahnongko-Bandealit ( Kawasan Taman Nasional MeruBetiri bagian Barat ) sepanjang 64 km dapat ditempuh dalam waktu 1,5-2 jam dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. ● Jalur Jember-Tempurejo-Curahnongko-Bandealit ( Kawasan Taman Nasional Meru Betiri bagian Barat ) sepanjang 55 km dapat ditempuh dalam waktu 1,5 -2 jam dengan roda dua maupun roda empat.
12
● Jalur Jember-Glenmore-Trebesalak-Sarongan-Sukamade ( Kawasan Taman Nasional Meru Betiri bagian Timur ) sepanjang 103 km dapat ditempuh dalam waktu 4-5 jam dengan kendaraan roda dua maupun roda empat pemandangan sepanjan perjalanan cukup menarik terutama pemandangan alam. ● Jalur Jember-Genteng-Jajag- Pesanggaran-Sarongan-Sukamade (Kawasan Taman Nasional Meru Betiri bagian timur) sepanjang 109 km dapat ditempuh dalam waktu 3,5 jam dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. ● Jalur Banyuwangi-Jajag-Pesanggaran-Sarongan-Sukamade ((Kawasan Taman Nasional Meru Betiri bagian timur) sepanjang 109 km dapat ditempuh dalam waktu 3,5 jam dengan kendaraan bermotor. c. Topografi Keadaan topografi Taman Nasional Meru Betiri pada umumnya bergelombang, berbukit, dan bergunung-gunung. Kawasan dibagian selatan berbukuit-bukit dan makin kearah pantai keadaan yang bergelombang. Gunung yang terdapat di kawasan ini antara lain Gunung Permisan (587 m), Gunung Meru (343 m) dan Gunung Betiri (1.233 m). Semuanya terletak di sebelah barat. Di sebelah selatan terdapat Gunung Sumbudadung (520 m), Gunung Sukamade (363 m), Gunung Rajegwesi (181 m) dan Gunung Benteng (222 m). Di bagian timur adalah Gunung Gendeng (9893 m) dan Gunung Lumberpacet (760 m). Daerah dataran yang agak landai antara lain di sekitar teluk rajegwesi seluas 1.316 ha sudah merupakan tanah desa. Di sekitar Teluk Sukamade seluas 22 ha, dan di bagian timur seluas 50 ha. Sungai-sungai di kawasan ini adalah Sungai Sukamade dan Sungai Meru yang berair sepanjang tahun. Kedua aliran sungai tersebut bergabung menjadi satu di blok Sumbersari membentuk Sungai Sukamade. Di kawasan barat Meru Betiri mengalir Sekar Pisang, Sungai Bandealit dan di bagian tengah mengalir Sungai Permisan. Sunagi-sungai ini merupakan sumber air minum bagi satwa yang hidup di kawasan Meru Betiri. Pada umumnya keadaan topografi di sepanjang pantai berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Hanya sebagian kecil pantai dasar yang berpasir, yaitu dari timur ke barat; Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. Pantai-pantai ini merupakan kawasan yan mempunyai nilai ilmiah dan pariwisata yang tinggi.
13
e. Tanah dan Geologi Secara umum keadaan tanah di Taman Nasional Meru Betiri merupakan gabungan dari jenis alluvial, regosol coklat dan sebagian besar merupakan komplek latosol. Keadaantanah ini sangat erat hubungannya dengan proses geologis daerah yang bersangkutan. Yaitu tanah tersebut mempunyai bahan induk yang berasal dari batuan alluvial vulkanik. Tanah alluvial umumnya terdapat di daerah lembah dan tempat-tempat rendah sampai daerah pantai. Sedangkan regosol dan latosol umumnya terdapat di lereng dan punggung gunung. f. Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson Kawasan taman Nasional Meru Betiri di bagian utara dan tengah termasuk tipe iklim B, sedangkan bagian lainnya termasuk tipe iklim C. Curah hujan rata-rata antara 2.300 sampai dengan 4.000 mm/tahun. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri banyak dipengaruhi oleh banyaknya angin muson, dimana pada bulan November sampai bulan Maret anin bertiup dari arah barat yang mengakibatkan turun hujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi pada April sampai bulan Oktober. g. Hidrologi Keadaan tanah kawasan Taman Nasional Meru Betiri yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung mengakibatkan terjadinya aliran sungai yang cukup banyak tersebar hampir di seluruh kawasan Taman Nasional.Daerah aliran sungai yang utama diantara punggung-punggung gunung adalah Sungai Bandealit, Sungai Meru dan Sungai Sukamade, sedangkan dibagian timur daerah aliran sungai terdapat pantai pasir yang cukup luas, disamping itu terdapat pula beberapa pantai yang lebih sempit, misalnya Sekar Pisang. Wilayah daerah aliran sungai yang datar sebagian besar telah berubah menjadi kawasan-kawasan perkebunan, terutama kopi, karet dan coklat. Daerah aliran sungai utamanya adalah Sungai Sanen. h. Ekosistem Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah di Pulau Jawa yang mempunyai nilai ilmiah yang sangat penting, khususnya bagi propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.Ciri khas tipe hutan hujan tropis
14
adalah vegetasinya tidak pernah menggugurkan daun, sehinga kondisinya sangat bervariasi. Pohon-pohon komunitas hutan hujan tinginya dapat mencapai 60 m, akan tetapi pohonnya berbentuk ramping-ramping. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri memiliki lima tipe ekosistem yaitu tipe ekosistem hutan magrove ( 7 ha ), tipe ekosistem hutan pantai (2.229 ha ), tipe ekosistem hutan rawa ( 25 ha), tipe ekosistem hutan hujan tropis (47.783 ha ) dan tipe ekosistem hutan bambu ( 5.810 ha ). i. Flora Keadaan vegetasi di Taman Nasional Meru Betiri bagian timur yang luasnya kirakira 1/3 dari luas areal kawasan, terdiri atas 4 tipe. Yaitu: hutan pantai, hutan payau, hutan rawa dan hutan hujan tropika. Hutan pantai merupakan jaur yang sangat sempit. Lebarnya 20-30 m agak datar dan berpasir. Terdapat di sepanjang Pantai Laut Selatan, di Teluk Rajegwesi dan di Pantai Sukamade. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai adalah jenis-jenis yang membentuk stolon dan menjalar, antara lain Ipomoea pescarprae dan spinifex squarratus. Tegakantegakan yang umum terdapat di kawasan ini adalah putat (Barringtona speciosa), pandan (Pandannus sp), waru laut (Hibiscus sp), kapasan (Hernandia sp), ketapang (Terminallia catapa), nyampung (Callophylum inophylum), tembelekan (Lantana camara), cemaracemara (Cycas rumli, sterculia foetida dan Cerbera menghas). Hutan rawa terdapat di muara Sungai Sukamade, yaitu di bagian dalam setelah hutan payau dengan luas 10 ha. Jenis-jenis tegakan yang terdapat di hutan rawa ini, antara lain rengas (Gluta renghas), pulai (Alstonia angustilusa) dan putat (Barringtonia sp). Selain itu di dataran rendah bagian hilir Sungai Sukamade dipenuhi tegakan gelagah (Sachraum spontaneum). Tumbuhan penting lainnya yang terdapat di daerah ini adalah bermacam-macam jenis ternak dan rumput-rumputan semusim yang tumbuh di tepi sungai dan batu-batu di tengah sungai yang kering. Jenis vegetasi hutan hujan tropik merupakan vegetasi yang paling luas dan merupakan campuran antara hutan hujan dataran rendah dan pegunungan. Komposisi jenis tegakannya sangat beraneka ragam. Dari jenis pohon palma (rotan), bambu liana, perdu hingga herba. Jenis-jenis tegakan yang mendominasi tipe vegetasi hutan hujan
15
tropika ini adalah kala (Mitrephora javanica), doyo (Dysoxylus amoorides), nyamuh (Litsea mopelata), belase (Chydenantus exelsa), langsep lutung (Aglaia eusideroxylon), balungan (Caseria grewifolia) dan sepen (Pomitea tomentosa). Di dalam hutan hujan tropika ini juga terdapat berjenis-jenis liana, paku dan angrek. Sedangkan di tebing hulu sungai dan dataran rendah lembah sungai Sukamade, terutama di blok Sumbersari terdapat kelompok tegakan bambu. Sebagian besar terdiri dari jenis jalang dan sebagian bambu petung (Gigantochora sp). Vegetasi di daerah perbukitan Rajegwesi, sebagian besar juga terdiri dari jenis bambu buluh. Jenis palma lain yang terpenting adalah rotan (sebanyak 7 jenis rotan). j. Fauna Jenis-jenis satwa yang terdapat di Taman Nasional Meru Betiri meliputi kelas mamalia, reptilia, aves, amphibia, pieescea dan insekta. Mamalia dari ordo primata yang biasa ditemukan antara lain kera(Macaca irus), budeng/lutung (Presbytis pyrruhus), dan kukang (Nictecebus cankang) ,. Ordo rodentia yang ada meliputi felarang (Ratufa bicolor), bajing (Ptanrista sp), bajing terbang (Ptanris elegang), dan landak (Histrix brachyara).Sedangkan
ordo
carnivora
sejenis
macan
jawa
(Panthera
tigris
sundaicus),macan kumbang (Felis bongalensis), anjing hutan (Coun javanicus), dedes/rase (Vivericulanidace), dan luwak (Pacodorenus hemaproditus). Macan jawa dan macan kumbang terbesar di daerah perkebunan Sukamade Baru, Sumbersari, Sumberjambe, Sumber Langsep, Darungas, bagian hutan merah, dan Sumber Agung. Macan tutul dan kucing hutan terbesar di Sumbergadung, Pringsali, Tumpakgesing, Gunung Permisan, Sumber Lansep, Gunung Buta dan Kedung Batu. Gunung Meru, Gunung Permisan, dan Sumber Gadung merupakan tempat penyebaran anjing hutan. Jenis-jenis mamalia lain yang terdapat di kawasan ini adalah trenggiling (Manisjavanicus), babi hutan (Sus sp), kijang (Muntiacus muntjak), kancil(Tragulus sp), dan banteng (Bos sundaicus), yang terbesar di kompleks hutan Sukamade, Bandealit, Curahnongko, Gunung Butak-Rayuda-Tempurejo disekitar Lodadi dan pagergunung. Terutama di daerah perbatasan perkebunan besar”Kota Blater”. Di daerah ini banteng dalam keadaan terancam karena pesatnya pembukaan tanah oleh penduduk setempat.
16
Reptilia banyak ditemukan di daerah pantai Rajekwesi dan pantai Sukamade. Terdiri dari jenis-jenis penyu hijau (Chelonia mydas), penyu karet (Careffa careta), penyu belimbing(Dermochelys cariaceae), penyu kembang(Lepido chelys sp), penyu sisik (Stremochelys sp). Selain itu juga terdapat nyambek (Varanus salvaator) dan ular sawah (Phyton reticulatus). Jenis-jenis dari kelas aves yang terdapat di kawasan ini antara lain kangkerang (Bucros sp), rangkong (Phynoceros sp), ayam hutan (Pasianidae) dan merak (Payo muticus). Satwa-satwa yang dilindungi di Taman Nasional Meru Betiri adalah budeng/lutung, felarang, bajing terbang, macan jawa, kareng, rangkong dan merak. 2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan a. Kondisi Demografi Masyarakat Sekitar Kawasan Sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan merupakan etnis Jawa dan Madura dan didominasi oleh etnis Madura. Kepadatan penduduk umumnya menyebar di desa-dea sekitar kawasan,bahkan perkampungan di tengah kawasan seperti Bandealit dan Sukamade. b. Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Kawasan Pola hidup masyarakat sekitar kawasan masih dipengaruhi kondisi alam setempat dan merupakan masyarakat agraris dengan sawah tadah hujan. Di samping itu masih ada masyarakat yang masih mengumpulkan hasil hutan dari dalam kawasan. Saat ini khususnya di wilayah barat sebagian masyarakat terlibat dalam kegiatan
rehabilitasi.Disamping
melakukan
industri
rumah
tangga
( jamu,tempe,genteng ), menjadi burah perkebunan dan menjadi TKI ke luar negri. Di wilayah timur ( Sarongan ) masyarakat umumnya mengusahakan pembuatan gula kelapa di samping pertanian pada umumnya. c. Kondisi Tata Guna Lahan Masyarakat Sekitar Kawasan Masing-masing masyarakat di sekitar kawasan memiliki tanah/ lahan sendiri ( terutama lahan untuk pemukiman ). Disamping itu ada pula masyarakat yang memiliki sawah dan tegalan. d. Kondisi Pendidikan Masyarakat Sekitar Kawasan
17
Pada umumnya masyarakat sekitar kawasan memiliki pendidikan yang relatif rendah. Masyarakat pedesaan sebagian besar hanya mampu menamatkan sekolah dasar dan sederajat. e. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Budaya masyarakat sekitar kawasan umumnya dipengaruhi oleh budaya etnis yang ada yaitu Jawa dan Madura. Agama mayoritas adalah Islam dengan nuansa Islam tradisional (Nahdatul Ulama). Agama selain Islam berkembang karena dibawa pendatang yang berasal dari wilayah lain antara lain : Kristen, Hindu, Budha dan Aliran Kepercayaan. 3. Obyek Wisata Taman Nasinal Meru Betiri terlatak di dua kabupaten Jember dan Banyuwangi, sehingga ada dua gerbang untuk memasuki obyek wisata alam, yaitu Rajegwesi di kabupaten Banyuwangi dan Andongrejo di kabupaten Jember. a. Obyek wisata kabupaten Banyuwangi yaitu Pantai Rajegwesi, Teluk Hijau, Pantai Sukamade dan Pantai Permisan. b. Obyek wisata kabupaten Jember yaitu Tanaman dan Pengolahan Jamu, Goa Jamu dan Teluk Bandealit. Hasil dan pembahasan
yang dikemukakan dalam bab ini meliputi : (1)
Inventarisasai tempat-tempat peneluran penyu hijau di Pantai Sukamade; (2) Analisis karakteristik habitat tempat penyu bertelur meliputi (vegetasi pantai yang ada, tipe pasir, suhu pasir permukaan dan kedalaman, jenis satwa yang ada dan jenis gangguan);(3) Pengamatan perilaku penyu bertelur; (4) Analisis kejadian dan pengembangan konsep; (5) Analisis makna Pantai Sukamade Sebagai Laboratorium Alam sumber belajar biologi umum berbasis lingkungan. 1. Inventarisasi tempat-tempat peneluran penyu hijau di Pantai Sukamade. Tempat-tempat yang disukai atau dipilih oleh penyu hijau untuk membuat sarang dan bertelur dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik antara lain : Panjang pantai, Lebar pantai dan Kelandaian atau kemiringan pantai. Hasil wawancara dengan penduduk sekitar pantai sepanjang pantai peneluran penyu, didapat informasi pantai yang paling banyak dikunjingi oleh penyu hijau adalah
18
Pantai Sukamade bila dibandingkan dengan pantai Bandealit dan Rajekwesi yang masih jarang sekali dikunjungi penyu hijau. Pemilihan Pantai Sukamade sebagai tempat peneluran penyu hijau ternyata berhubungan dengan kondisi fisik pantai Sukamade sebagai berikut , dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Kondisi Fisik Pantai Sukamade No 1 2
Kondisi Fisik Pantai Sukamade Panjang pantai peneluran Lebar pantai peneluran
Keterangan ± 2.8 km Intertidal: 22 – 52 m;
3
Kelandaian/kemiringan pantai
supratidal: 16 – 32 m 5 – 17 0
a. Panjang pantai merupakan salah satu karakteristik fisik dari suatu pantai peneluran. Pantai yang paling banyak dikunjungi oleh penyu hijau ( Chelonia mydas) yaitu Pantai Sukamade yang mempunyai panjang pantai berkisar kurang lebih 2,8 km. Pantai Sukamade mengalami penyusutan panjang pantai, hal ini disebabkan pada tahun 1997, terdapat bencana alam badai tsunami yan cukup besar sehingga terjadi abrasi oleh air laut.Pengurangan panjang pantai yang lain disebabkan meuasnya muara sungai yan behubungan ke laut. Kondisi Pantai Sukamade yang pada saat ini terpotong oleh muara, sehingga panjang lokasi pantai penelura penyu hijau (Chelonia mydas ) berkisar kurang lebih 8-9 m. Terpotongnya pantai yang disebabkan oleh muara yang meluap, mengakibatkan peneluran bagi penyu hijau ( Chelonia mydas ) semakin sempit, tetapi tidak mempengaruhi proses kunjungan penyu hijau tersebut. Pada tahun 1997, memang terjadi penurunan kunjungan penyu hijau ke Pantai Sukamade, tetapi sekarang kondisi kunjungan penyu hijau menjadi pulih. b. Lebar Pantai Umumnya penyu hijau ( Chelonia mydas ) menyukai pantai yang lebar dan mempunyai hutan pantai, dimana jenis Pandanus merupakan jenis yang disukai oleh penyu sebagai tempat bertelur. Jarak pasang surut merupakan salah satu faktor pemilihan dalam bersarang, karena induk penyu cenderung akan memilih membuat saran pada tempat yang tidak terkena pasang pantai, dapat diketahui dari pengamatan bahwa sebagian besar penyu
19
memilih bersarang di tempat- tempat sekitar batas vegetasi yang tidak terjangkau pasang laut meskipun tidak harus berada dalam naungan vegetasi. Dari penjelasan diatas, dapat diketahui pantai yang sering dikunjungi oleh penyu hijau untuk melangsungkan proses peneluran yaitu Pantai Sukamade yang memiliki lebar pantai untuk intertidal berkisar 22-52 m sedangkan untuk supratidal berkisar anyara 1632 m. a. Kelandaian atau Kemiringan Pantai Kemiringan pantai sering berubah-ubah karena terjadinya pemindahan massa pasir oleh ombak. Bentuk pantai yang semula datar karena terjadi penumpukan pasir menjadi landai sampai agak curam. Perubahan nilai kemiringan atau kelandaian dari masing-masing pantai berbeda. Menurut Ridha (199) menyebutkan kemiringan pantai sebesar 50 masih agak datar. Pantai Sukamade dengan kemiringan 5 – 17 derajat sangat disukai penyu hijau untuk melangsungkan proses peneluran. 2. Analisis Karakteristik Habitat Tempat Penyu Hijau Bertelur. a. Vegetasi Pantai Kondisi vegetasi sepanjang pantai peneluran Sukamade kebanyakan telah rusak akibat bencana tsunami yang terjadi pada sekitar akhir tahun 1997, akibat yang sangat nyata terjadi pada vegetasi Pandanus tectorius
yang hampir
seluruhnya rusak dan musnah. Menurut keterangan petugas pandan yang rusak mencapai kedalaman 25 m, sedangkan yang tersisa hanya sebagian kecil saja. Kini yang ada sebagian besar adalah pandan yang merupakan hasil penanaman tahun 1998 yang juga telah banyak berkurang karena abrasi pantai berulang kali. Jenis-jenis pohon yang ditemui kebanyakan masih berupa sapling seperti: nyamplung ( Callophyllum mophyllum ) atau krangkong ( Barringtonia insignis ). Kebanyakan yang ditemui adalah waru. Herba-herba yang ditemui adalah bakung deangan INP sebesar 36.67%, palelar dengan INP terendah 13.33 % dan pandan dengan INP tertinggi 68.33 % yang dominan, juga Ipomea pescaprae denganINP tertinggi 50% ( lampiran 2 ). Tumbuhan merambat yang kebanyakan ditemui adalah asem-asem ( Ipomea pescaprae ).
20
Pada lokasi yang berbatasan dengan batu karang vegetasi yang ditemui merupakan pohon- pohon yang telah dewasa, sehingga terlihat bahwa abrasi di daerah tersebut sangat hebat hingga formasi terdepan habis dan yang berada di depan kini adalah bagian dari formasi belakang yang berupa waru ( Hibiscustiliaceus ), terdapat pula pandan hasil penanaman tetapi hanya sisasisanya saja, karena telah rusak juga akibat abrasi berulang- ulang. Tabel 2.Jenis Vegetasi Pantai Tingkat Herba No 1 2 3 4 5
Nama Daerah Pandan Bakung Krandan Asem asam Palelar
Nama Ilmiah Pandanus tectorius Crinum asiaticum Canavalia eusiformis Ipomea pescaprae
Tingkat tiang No 1 2 3
Nama Daerah Waru Nyamplung Krangkong
Nama Ilmiah Hibiscus tiliaceus Callophyllum inobhyllum Barringtonia insignis
Tingkat pohon No 1 2 3 4
Nama Daerah Apak Waru Cembirit Keben
Nama Ilmiah Ficus benjamina Hibiscus tiliaceus Voacanga grandifolia Barringtonia asiatica
21
b. Tipe pasir Pada Pantai Sukamade didominasi dengan jenis pasir yang terdiri dari pasir sebesar 92, 09 %, jenis debu sebesar 2, 57 %, dan fraksi pasir jenis liat sebesar 0, 83 %1, 01 %. Terdapat 3 jenis komponen tanah pada lokasi pantai peneluran penyu hijau yaitu pasir, debu dan jenis liat yang didominasi oleh fraksi pasir dari pada kedua fraksi pasir lainnya. Pasir merupakan unsur utama dalam penyusunan tekstur untuk bersarang bagi penyu hijau. Susunan tekstur berupa pasir tidak kurang dari 90 % dengan ukuran diameter yang berkisar antara 0, 2 – 0, 5 mm. Sedangkan sisanya adalah debu dan liat dengan diameter yang berbentuk halus dan sedang. Penyu hijau akan mencari bagian- bagian permukaan pasir yang sesuai dengan nalurinya untuk membuat sarang dan tidak semua pasir digunakan untuk tujuan bertelur. Lazimnya adalah butiran pasir yang mudah digali dan secara insting dianggap aman untuk bertelur. Penyu cenderung memilih kondisi pasir yan cukup lembab, hal ini berkaitan denan kemudahan dalam penggalian sarang, karena kondisi lembab memungkinkan pasir tidak gampang longsor. (Sumaryanto, 1998 ). c. Suhu pasir permukaan dan kedalaman Penyu hijau dalam memiih sarang juga memperhatikan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan. Pada permukaan sarang kisaran suhu permukaan pasir pada pagi hari adalah 22. 2- 28. 90 C, sedangkan bagian dalam sarang suhu 27. 8- 31. 1
0
C, pada
siang hari suhu permukaan 33.33- 43. 30 C suhu bagian dalam sarang 28. 3- 37. 80 C, pada sore hari suhu permukaan sarang 33. 3- 38. 90 C suhu suhu bagian dalam sarang 28. 9- 35. 60C. Dari data terbaca bahwa suhu permukaan sarang lebih tinggi dari pada di dalam sarang, karena menerima sinar matahari secara langsung sehingga lebih fluktuasi antara kondisi pagi, siang dan sore, sedangkan bagian dalam sarang suhu relatif lebih stabil. Tinggi rendahnya temperatur tergantung pada intensitas cahaya matahari. Intensitas cahaya matahari lebih tinggi terjadi pada sarang yang bebas naungan, sehingga akan memberikan kehangatan lebih tinggi pada sarang. Dalam kaitannya dengan inkubasi maka temperatur yang lebih tinggi pada sarang, menyebabkan masa inkubasi telur lebih pendek. Dengan peletakan telur oleh induk penyu pada kedalaman tertentu dan tidak terkena sinar matahari secara langsung, maka kondisi suhu di dalam sarang akan relatif lebih stabil sehingga inkubasi telur akan berjalan dengan baik.
22
Penyu cenderung memilih kondisi pasir yang cukup lembab hal ini berkaitan dengan kemudahan dalam penggalian sarang, karena kondisi lembab memungkinkan pasir tidak gampang longsor, dan juga untuk kebutuhan telur itu sendiri selama masa inkubasi, dari hasil pengamatan kisaran kelembapan sarang adalah 52% - 90%. d. Jenis satwa ( Predator ) Berdasarkan hasil pengamatan dan wawacara dengan petugas lapangan diperoleh bahwa predator telur penyu secara alamiah adalah biawak (Varanus salvator) dan babi hutan. Sedangkan tukik seringkali dimangsa oleh elang ketika dalam perjalanan menuju laut dan juga semut merah pada saat baru saja menetas. Karena telur penyu tiap malam diambil oleh petugas maka sedikit sekali kemungkinan biawak atau babi hutan memakan telur langsung dari sarang alaminya. Biawak sernkali terlihat di sekitar ruang penetasan untuk menunggu buangan sisa-sisa telur yang rusak. Di dalam ruang penetasan pemangsa telur adalah tikus yang biasanya naik ke box penetasan. Untuk meminimalkan gangguan semut merah pada tukik.disiasati dengan memberi oli pada kaki-kaki box penetasan. Tabel 3. Nama Predator dan yang dimangsa No 1 2 3 4 5 6 7
Nama predator Harimau Babi hutan Biawak Anjing hutan Musang Elang Semut
Yang dimangsa Tukik dan telur Telur Tukik dan telur Tukik Tukik Tukik Tukik
e. Jenis Gangguan lain Keberadaan satwa-satwa pemangsa tukik atau telur dalam kondisi normal tentu saja masalah karena hal tersebut alamiah. Tetapi juga pemangsa itu adalah manusia maka akan sangat membahayakan. Karena potensi ekonomi penyu hijau yang tinggi untuk telur dan dagingnya, maka manusia berlomba mengeksploitasi penyu besar-besaran. Di pantai Sukamade tiap malam dapat dipastikan terjadi pencurian telur, dan pencuru tersebut kebanyakan berasal dari desa-desa sekitar pantai. Seringkali petugas lapangan harus pontang paanting mengambil telur agar tidak didahului oleh para pencuri ini. Kejadian seperti ini sangatlah dilematis, dimana para pencuri ini adalah penduduk desa sekitar yang biasanya hanyaah buruh perkebunan dan dalam kondisi kurang mampu. Mereka 23
ingin mendapatkan uang dengan mudah lewat menjual telur penyu yang meman harganya mahal dipasaran. Hal lain yang tidak kalah buruknya adalah adanya kapal-kapal pemburu penyu, para petugas mengenalnya sebagai kapal yang berasal dari Bali. Seringkal kapal-kapal ini berjajar-jajar di laut lepas sehingga terlihat disepanjang Pantai Sukamade. Tentunya akan sangat mudah menemukan penyu di lokasi tersebut, karena pada saat musim kawin penyu dewasa akan bergerak atau berada di pantai sekitar tempat kelahirannya. Kondisi ini berarti meningkatnya tekanan terhadap populasi penyu, induk penyu ditankap di laut dan dibantai untuk dagingnya dan hal yang sama terjadi pada telurnya di darat. Dapat dibayangkan masa depan dari penyu hijau jika kondisi demikian terus berlangsung. 3. Pengamatan perilaku penyu hijau bertelur Perilaku hewan dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam. Faktor dalam yang menentukan pemilihan tempat bertelur adalah instink (naluri) untuk kembali ke pantai tempat penyu tersebut ditetaskan. Sedangkan faktor luar adalah kondisi lingkungan pantai. Gangguan terhadap linkungan peneluran baik yang terjadi secara alami maupun tidak, dapat mengakibatkan penyu mengurungkan niatnya dan mencari pantai peneluran baru. a. Waktu Bertelur. Umumnya penyu hijau yang akan bertelur sangat tergantung dari individu penyu dan keadaan malam hari itu. Walaupun penyu mempunyai naluri untuk bertelur pada malam itu, tetapi karena situasi tidak memungkinkan seperti datangnya angin yang kencang, adanya cahaya selain cahaya bulan, petir dan lain-lain, maka dapat dipastikan penyu tidak akan bertelur. Menurut Bustard (1972), saat bertelurnya penyu kemungkinan dipengaruhi kecepatan angin dan pasang. Makin besar kecepatan angin maka makin besar gelombang yang ditimbulkannya. Gelombang yang terlalu besar akan menyulitkan penyu mencapai pantai untuk mendarat. Sedangkan gelombang yang sedang akan membantu mendorong penyu naik ke pantai, sehingga penyu tidak terlalu jauh merayap.
24
Dari hasil penelitian terhadap 11 sampel penyu hijau, diperoleh data saat penyu hijau naik untuk bertelur dan saat kembali ke laut seperti terlihat pada tabel 4. Tabel 4. Waktu naik dan kembali ke laut penyu hijau yang bertelur Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rerata
Saat naik ke pantai
Saat kembai ke laut
Lamanya waktu
(WIB) 18.08 20.07 20.15 20.50 21.20 21.30 22.01 24.13 24.17 01.05 0.20
(WIB) 20.50 22.38 23.04 23.25 23.57 23.58 24.52 02.49 02.46 03.35 04.43
bertelur (menit) 162 151 169 155 157 148 171 158 149 150 143 155.5
Dari data diatas diperoeh bahwa penyu hijau pertama kali naik ke pantai untuk bertelur, pada pukul 18.08 WIB dan penyu terakhir kembali ke laut pada pukul 04.43 WIB. Sedangkan total waktu
yang dibutuhkan penyu hijau untuk
melakukan keiatan bertelur (Nesting behavior) berkisar antara 143 sampai 171 menit dengan rata-rata 155,5 menit. Agus (1985) menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan penyu hijau untk menyelesaikan kegiatan bertelur rata-rata 157,8 menit. Sedangkan menurut Diamond dalam Witzell (1983) waktu yang dibutuhkan berkisar 150 menit.
25
b. Tahapan Bertelur Bertelur bagi penyu adalah upaya untuk mengembangbiakkan ataupun untuk melanjutkan keturunan agar tidak punah. Ada beberapa tahan saat penyu hijau bertelur. Menurut Carr et al (1965) dan Marlock and Harles (1979) menyatakan bahwa penyu hjau mempunyai 10 tahapan bertelur. Nuitja (1983) dalam Priyono (1985) menyatakan bahwa ada 6 tahapan bertelur sedangkan Agus (1985) mencatat ada 7 tahapan bertelur. Pada tahapan bertelur ini, sesekali penyu hijau mengeluarkan suara dengan nafas. Dari penelitian ini diperoleh data seperti terlihat pada tabel 5. Tabel 5. Waktu yang dibutuhkan tiap tahapan pada saat penyu hijau berteur (menit) Tahapan/sampel Seleksi habitat Gali lubang tubuh Gali lubang telur Bertelur Tutup lubang telur Tutup luban tubuh
S1 22 25 30 16 10
S2 28 24 21 13 9
S3 37 20 20 19 15
S4 15 22 24 18 10
S5 25 30 15 17 8
S6 16 30 24 15 10
S7 24 29 23 15 12
S8 32 26 20 15 12
S9 26 20 22 16 15
S10 24 25 22 14 10
S11 20 28 21 12 11
Rerata 24.5 25.4 22 15.5 11.1
& penyamaran Kembali ke laut
45 14
43 13
48 10
56 10
50 12
47 6
60 8
41 10
40 10
44 11
37 14
46.5 10.7
Dari tabel 5 dapat dijelaskan masing-masing tahapan sebagai berikut : 1). Seleksi habitat. Penyu hijau mulai muncul dari gelombang laut pada malam hari saat air laut pasang. Sehingga penyu tidak terlalu jauh merayap naik untuk mencari tempat bertelur. Saat muncul dari hempasan gelombang, penyu hijau berhenti beberapa sat untuk mengamati lingkungan sekitarnya dengan menggerakkan kepalanya kekiri dan ke kanan. Tahapan ini adalah tahapan yang paling kritis, sebab bila ada gangguan misalnya ada cahaya atau dirasakan ada manusia mendekat, maka penyu hijau dapat dipastikan segera kembali ke laut. Jika lingkungan sekitar dirasa aman maka penyu hijau akan merayap ke pantai untuk bertelur. Penyu hijau pada umumnya merangkak tegak lurus ke arah pantai. Jika ada penhalang misalnya kayu maka penyu hijau akan berbelok sambil sesekali berhenti mengamati situasi dan menarik nafas. Dengus nafas penyu hijau dapat didengar sampai pada jarak kurang lebih 1,5 meter. Jejak penyu hijau jelas terlihat di pasir seperti jejak ban traktor. Saat merayap di pantai, kedua sirip depan ditarik bersamasama kemudian barulah kedua sirip belakang juga ditark bersamaan. 26
Waktu yang dibutuhkan sampel penyu hijau untuk menyeleksi habitat berkisar 15 sampai 37 menit, dengan rata-rata 24,5 menit.Lamanya waktu yang diperlukan penyu hijau untuk menyeleksi habitat tergantung dari jarak sarang terhadap pinggir laut dan adanya penghalang di pantai misalnya batang yang berserakan. Kadang-kadang penyu hijau yang telah mengali lubang tubuh berpindah tempat untuk menggali lubang yang lain. Keadaan ini dapat dikarenakan adanya akar tumbuhan sehingga menghalangi penggalian. 2). Menggali lubang tubuh Bila penyu telah merasa cocok dengan pemilihan sarang, maka penyu hijau mulai mengali lubang tubuh. Penggalian lubang tersebut untuk menempatkan badannya sebagai tempat bertumpu saat penyu bertelur. Penggalian lubang tubuh dilakukan dengan menggunakan sirip depan dan sirip belakang, Pada tahap ini terlihat bahwa sirip depan lebih banyak berfungsi mengali lubang tubuh, sedangkan sirip belakang fungsinya lebih banyak untuk mendorong tubuh agar terbenam ke dalam lubang yang di gali. Pasir yang di gali akan dilempar kebelakang oleh sirip depan dengan jarak lemparan mencapai krang lebih 2 meter. Penggalian akan berhenti ketika tubuh akan terbenam rata pada lubang yang di gali. Waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini berkisar antara 20 sampai 30 menit dengan rata-rata 5,4 menit. Umumnya lamanya waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini tergantung pada banyaknya akar-akar tanaman di dalam pasir. Kadangkala pada tahap permulaan pengalian lubang tubuh, ternyata pasir sangat keras atau ada bends penghslsng maka penyu akan pindah ke tempat lain. Tetapi bila ditemukan jejak galian seekor penyu hijau lebih dari 3 buah dengan berpindah-pindah tempat maka dapat dipastikan bahwa penyu tersebut hanya memeti saja. 3). Penggalian lubang telur Penggalian lubang tubuh akan dihentikan bila badan sudah rata dengan permukaan pasir dan mulailah penyu mengali lubang elur. Sebelum menggali, penyu hijau menggerak-gerakkan tubuhnya sampai mencapai kedudukan yang benar-benar baik. Pengalian lubang telur dilakukan dengan menggunakan kedua sirip belakang. Sirip belakang menggali lubang telur secara bergantian. Bila sirip belakang bagian kanan menali lubang, maka sirip belakang bagian kiri diam dengan posisi menahan
27
pasir pada tepi lubang telur agar tidak masuk kembali ke dalam galian. Ketika pasir yang tergali sirip belakang bagian kanan diangkat, saat itu pula sirip belakang bagian kanan diangkat, saat itu pula sirip belakang bagian kiri melempar pasir disekitarnya ke arah depan. Kegiatan ini dilakukan terus menerus secara bergantian. Penggalian luban telur akan berhenti jika sirip belakang sudah tidak dapat mencapai tempat yang lebih dalam. Dari hasil pengamatan didapatkan waktu yang dibutuhkan untuk penggalian lubang telur berkisar antara 15 sampai 30 menit dengan rata-rata 22 menit. 4). Bertelur Pada saat bertelur, penyu hijau mengatupkan kedua sirip belakang dan menutup permukaan lubang telur, sedangkan ekor menekuk kedalam lubang telur. Telur keluar dari kloaka bersama lendir bening satu persatu atau sampai empat sekaligus (Carr et al, 1966). Dari pengamatan didapat, waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini berkisar antara 12 sampai 19 menit dengan rata-rata 15,5 menit. Menurut Domentey (1953), waktu yang dibutuhkan penyu hijau di Sulu untuk bertelur berkisar antara 10 sampai 30 menit dengan telur yang dikeluarkan sebanyak 97 sampai 148 butir. Pada tahapan ini, jiks mendapat gangguan sebelum mengeluarkan telurnya pertama misalnya ada sinar lampu maka penyu hijau akan mengurungkan niatnya untuk bertelur. Tetapi bila telur pertama sudah dikeluarkan, maka penyu hijau tidak terusik dengan adanya gangguan dan penyu hijau tetap meneruskan bertelur, walaupun telur yang baru keluarkannya diambil dari belakang. Lamanya tahapan iani umumnya dipengaruhi oleh banyaknya telur yang dikeluarkan. Semakin banyak telur yang dikeluarkan, semakin lama waktu yang dibutuhkan. 5). Penutupan lubang telur (sarang) Setelah penyu hijau selesai bertelur, maka dengan perlahan-lahan lubang telur ditutup pasir dengan menggunakan sirip belakang. Caranya dengan menyiduk pasir disekitarnya dan menjatuhkannya ke dalam lubang telur secara bergantian. Kemudian pasir yang menutupi saran dipadatkan dengan kedua sirip belakang dengan cara menepuk permukaan pasir tempat lubang lubang telur dibuat sampai sarang rata dengan tempat bertumpu tubuhnya. Dari hasil pengamatan selama penelitian didapatkan waktu yang dibutuhkan untuk penutupan lubang telur berkisar antara 8
28
sampai 15 menit dengan rata-rata 11.1 menit. Menurut Schulz (1975), waktu yang dibutuhkan penyu hijau di Suriname untuk menyelesaikan penutupan lubang telur berkisar antara 5 sampai 10 menit. 6). Penutupan lubang tubuh dan penyamaran Pada tahap ini, kedua pasang sirip penyu hijau kembali bergerak dan mengeruk pasr di bagian kanan dan kiri tubuhnya untuk menutupi lubang tubuh. Kemudian penyu hijau maju berbelok atau lurus menjauhi sarang untuk membuat sarang palsu (sarang tipuan). Sarang tipuan ini berfungsi sebagai penyamaran aar sarang asli sulit untuk ditemukan. Penyamaran ini selalu dilakukan setiap kali bertelur, karena secara naluriah penyu hijau berusaha mengembangkan keturunannya dengan cara mengamankan telur-telurnya. Menurut Bustard (1972), jarak sarang asli dengan sarang tipuan berkisar antara 2 sampai 2,5 meter. Tetapi penyamaran ini menjadi sia-sia di tangan pencuri telur yang ahli. Sehingga dibutuhkan bantuan yang berwenang yaitu pihak PHPA untuk menjaga dan melindungi sarang penyu hijau. Di pantai peneluran Sukamade, setiap hari petugas PHPA membongkar sarang penyu hijau untuk dipindahkan ke tempat penetasan semi alami sehingga keamanantelur terjamin dan regenerasi tetap berlangsung. Dari pengamatan diperoleh bahwa waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini berkisar antara 37 sampai 60 menit dengan rata-rata 46,5 menit. 7). Kembali ke laut Penyu hijau akan kembali ke laut setelah melakukan penyamaran sarang. Selama perjalanan tersebut, penyu hijau sesekali berhenti. Pada umumnya jalan yang ditempuh adalah lurus kecuali ada penghalang misalnya berupa batang kayu. Setelah mencapa batas air, penyu hijau berdiam sebentar menunggu gelombang yang akan menghempaskannya ke laut. Dari hasil pengamatan didapatkan waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini berkisar antara 8 sampai 14 menit dengan rata-rata 10,7 menit. Lamanya waktu yang diperluakn dalam tahapan ini dipengaruhi oleh jarak sarang dengan air laut. 4. Analisis kejadian dan pengembangan konsep kajian ”Perilaku penyu hijau bertelur di Pantai Sukamade”.
29
Perilaku hewan dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor dalam yang menentukan pemilihan tempat bertelur adalah instink (Naluri) untuk kembali ke pantai tempat telur penyu tersebut ditetaskan, sedangkan faktor luar adalah kondisi lingkungan pantai. Ganguan terhadap lingkungan peneluran baik yan terjadi secara alami maupun tidak, dapat mengakbatkan penyu mengurungkan niatnya dan mencari pantai peneluran baru. Kejadian yang teramati dalam penelitian ini,pada saat mulai muncul dari laut, penyu akan segera naik ke darat dengan bergerak pelen-pelan menggunakan kedua kaki depannya bersamaan hingga meninggalkan jejak khas. Gerakan ini diselingi pula dengan berhenti sejenak untuk beristirahat kemudian bergerak kembali. Penyu akan bergerak ke arah vegetasi. Pada saat menemukan tempat yang cocok penyu akan akan mulai menggali, dengan diawali gerakan seperti membersihkan calon sarangnya menggunakan kaki depan, hingga tempat tersebut menjadi rata. Baru kemudian dimulailah aktivitas menggali, masih menunakan kaki depan, penyu hijau akan membuat lubang badan terlebih dahulu, setelah terbentuk, baru berikutnya lubang telur dibuat dengan menggunakan kaki belakang yang berfungsi sebagai sekop, satu kaki mengeruk, kemudian diikuti kaki satunya membuangnya ke samping. Semua gerakan itu dilakukan perlahan-lahan diselingi pula istirahat beberapa menit, dan menghembuskan nafas yang berat. Pada proses ini penyu akan peka sekali terhadap ganggan, suatu hal yang mengusiknya akan membuatnya menggagalkan rencana bertelur. Setelah lubang telur selesai dibuat. Penyu hijau akan mulai bertelur yang jumlahnya dapat mencapai lebih dari 100 butir dari tiap sarang. Sarang tersebut berbentuk lubang yang sempit dengan diameter kurang lebih 25-30 cm. Setelah selesai bertelur penyu akan segera menutup lubang dengan rapat, dengan memadatkan pasir yang menutup lubang lubang telur dengan menggunakan kaki belakangnya, kemudian menutup sarang dengan cara meratakan kembali lubang yang dibuatnya seperti sediakala menggunakan kaki depannya. Gerakan menutup itu dilakukan sambil bergerak menjauh perlahan-lahan sekali, hingga kita akan kesulitan menemukan lubang telurnya jika tidak terlebih dulu diberi tanda, karena pada saat gerakannya selesai untuk menutup sarang penyu telah berada beberapa meter dari
30
sarangnya semula. Hal tersebut merupakan cara penyu hijau untuk menyamarkan sarang. Perilaku teramati dalam penelitian ini, kejadian penyu yang naik ke darat tidak selalu bertelur terkadang hanya sekedar naik beberapa meter ke darat kemudian turun kembali, yang nampak dari jejak yang ditinggalkan berupa jejak yang memutar, penyu yang demikian merupakn penyu yang memeti. Pada saat memeti ini penyu terkadang juga berlaku mempersiapkan sarang dan menggali lubang badan tapi kemudian meninggalkannya dan kembali ke laut. Selama pengamatan ditemukan bahwa terkadang dalam semalam lebih banyak penyu yang memeti daripada bertelur, kegiatan memeti ini belum jelas tujuannnya. Pada penyu yang bertelur jejaknya akan berupa jejak yang menuju suatu tempat kemudian jejak turun dari tempat tersebut atau terdapat bekas-bekas pembuatan sarang. Keberhasilan induk penyu untuk bertelur pada suatu malam tergantung kemampuan dan kepekaannya dalam menemukan dan menggali tempat yang tepat, karena seringkali pula penyu berpindah-pindah tempat karena tidak berhasil menggali lubang telur. Dapat pula terjadi setelah berpindah-pindah dan tetap gagal membuat sarang penyu akan turun kembali ke laut. Menurut Sutarto(2003), tempat peneluran yang disukai penyu adalah pantai dengan vegetasi pandan yang dominan dan frekuensi sarang telur penyu hijau tertinggi dapat dijumpai pada daerah-daerah yang masih berada dalam nangan pandan dan sekitarnya. Tetapi dengan kondisi vegetasi yang ada sekarang dimana sebagian besar pandan rusak maka hal yang teramati adalah penyu cenderung mencari sarang yang pasirnya mudah digali atau tidak mudah longsor, bahkan ditempat yang bebas naungan, tetapi tetap mendekati daerah yang bervegetasi. Dari parameter perilaku penyu hijau bertelur dalam penelitian ini teramati ada 7 tahapan perilaku bertelur , yaitu (1) seleksi habitat, (2) gali lubang tubuh, (3) gali lubang telur, (4) bertelur, (5) tutup lubang telur, (6) tutup lubang tubuh dan penyamaran, (7) kembali ke laut. Masing-masing tahapan itu membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Total waktu yang dibutuhkan penyu hijau melakukan kegiatan bertelur berkisar antara 113 sampai 171 menit, dengan rata-rata 155,5 menit. Menurut Carr et al (1966) dan Marlock and Harles (1979) menyatakan bahwa penyu hijau
31
mempunyai 10 tahapan bertelur, sedangkan Agus (1985) mencatat ada 7 tahapan bertelur.. Penyu hijau umumnya bertelur ke pantai pada petang hari atau dalam keadaan gelap. Dari pengamatan diperoleh bahwa penyu hijau pertama kali naik ke pantai bertelur pada pukul 18.08 WIB dan penyu teakhir kembali ke laut pada pukul 04.43 WIB. Dari perilaku bertelur penyu hijau yang teramati membuktikan bahwa lingkungan dapat menjadi faktor pembatas terhadap kegiatan hidup reproduktif. Kejadian diatas dapat dikaitkan dengan ”Hukum minimum dari Liebig” dan hukum toleransi dari Shelford” pada obyek hewan. Hukum minimum menyatakan adanya faktor pembatas lingkungan yang mengontrol kehidupan suatu organisme (Odum, 1962). B. Analisis Hasil Penelitian Sebagai Bahan Ajar Materi Biologi Umum Pada Pokok Bahasan Perilaku Sebagai Gejala Biologis. Suatu hasil penelitian dalam kajian ini ”Perilaku Bertelur Penyu Di Pantai Sukamade” jika akan digunakan sebagai sumber belajar biologi umum pada pokok bahasan ”Perilaku sebagai gejala biologis”, maka harus melalui tahapan-tahapan sebagai berikut ” 1. Identifikasi proses dan produk penelitian 2. Seleksi dan modifikasi hasil penelitian sebagai sumber belajar ”Perilaku sebagai gejala biologis”. 3. Penerapan dan pengembangan hasil penelitian sebagai sumber belajar ”Perilaku sebagai gejala biologis” 4. Merancang model organisasi instruksional, dalam hal ini menggunakan PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME dengan MODEL PROBLEM-BASED LEARNING. C. PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS LINGKUNGAN TOPIK : PERILAKU BERTELUR PENYU DI PANTAI SUKAMADE PERSOALAN : 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku bertelur penyu di Pantai Sukamade.
32
1. Bagaimana tahapan-tahapan perilaku bertelur penyu.
33
KOMPETENSI DASAR : 1.Mengenal faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bertelur penyu 2.Mengidentifikasi macam faktor yang berpengaruh terhadap perilaku bertelur penyu. 3.Mengetahui tahapan-tahapan perilaku bertelur penyu 4.Membuat tabel dan grafik perilaku bertelur penyu 5.Menganalisis hubungan antara faktor-faktor yang berpengaruh dengan perilaku bertelur penyu serta.peranan manusia dalam menjaga pelestarian penyu yang sudah menjadi permasalahan dunia. GARIS-GARIS BESAR MATERI AJAR: 1. Kondisi fisik pantai Sukamade 2. Karakteristik habitat tempat penyu bertelur 3. Perilaku penyu bertelur 4. Usaha pelestarian penyu di Pantai Sukamade ANALISIS MATERI AJAR BERBASIS SALING TEMAS Materi Pokok 1. Kondisi fisik pantai Sukamade 2. Karakteristik habitat tempat penyu bertelur 3. Perilaku penyu bertelur 4. Usaha pelestarian penyu di Pantai
Sains a b
Lingkungan
d
e
Teknologi
Masyarakat
f g
h
c
Sukamade
PENENTUAN ISI MATERI AJAR BERBASIS POTENSI WILAYAH No 1
Materi Pokok Kondisi fisik pantai
Isi Materi Panjang pantai, lebar pantai,
Isi Salingtemas Sains (a)
2
Sukamade Karakteristik habitat tempat
kelandaian pantai Vegetasi pantai, tipe pasir,suhu
Sains (b) Lingk
penyu bertelur
pasir,jenis satwa predator,jenis
(c)
Perilaku penyu bertelur
gangguan lain Waktu bertelur, Tahapan
Sains(d) Lingk
bertelur (seleksi habitat, gali
(e) Tekn (f)
3
lubang tubuh,gali lubang telur,bertelur,tutup lubang
34
telur,tutup lubang tubuh 4
Usaha pelestarian penyu di
&penyamaran,kembali ke laut) Kondisi sosial ekonomi
Tekn (g)
Pantai Sukamade
masyarakat sekitar kawasan
Masyarakat (h)
pantai Sukamade PENGEMBANGAN MATERI AJAR A. Kondisi fisik pantai Sukamade Pemilihan Pantai Sukamade sebagai tempat peneluran penyu hijau ternyata berhubungan dengan kondisi fisik pantai Sukamade sebagai berikut , dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Kondisi Fisik Pantai Sukamade No 1 2
Kondisi Fisik Pantai Sukamade Panjang pantai peneluran Lebar pantai peneluran
Keterangan ± 2.8 km Intertidal: 22 – 52 m;
3
Kelandaian/kemiringan pantai
supratidal: 16 – 32 m 5 – 17 0
a. Panjang pantai merupakan salah satu karakteristik fisik dari suatu pantai peneluran. Pantai yang paling banyak dikunjungi oleh penyu hijau ( Chelonia mydas) yaitu Pantai Sukamade yang mempunyai panjang pantai berkisar kurang lebih 2,8 km. Pantai Sukamade mengalami penyusutan panjang pantai, hal ini disebabkan pada tahun 1997, terdapat bencana alam badai tsunami yan cukup besar sehingga terjadi abrasi oleh air laut.Pengurangan panjang pantai yang lain disebabkan meuasnya muara sungai yan behubungan ke laut. Kondisi Pantai Sukamade yang pada saat ini terpotong oleh muara, sehingga panjang lokasi pantai penelura penyu hijau (Chelonia mydas ) berkisar kurang lebih 8-9 m. Terpotongnya pantai yang disebabkan oleh muara yang meluap, mengakibatkan peneluran bagi penyu hijau ( Chelonia mydas ) semakin sempit, tetapi tidak mempengaruhi proses kunjungan penyu hijau tersebut. Pada tahun 1997, memang terjadi penurunan kunjungan penyu hijau ke Pantai Sukamade, tetapi sekarang kondisi kunjungan penyu hijau menjadi pulih. b. Lebar Pantai
35
Umumnya penyu hijau ( Chelonia mydas ) menyukai pantai yang lebar dan mempunyai hutan pantai, dimana jenis Pandanus merupakan jenis yang disukai oleh penyu sebagai tempat bertelur. Jarak pasang surut merupakan salah satu faktor pemilihan dalam bersarang, karena induk penyu cenderung akan memilih membuat saran pada tempat yang tidak terkena pasang pantai, dapat diketahui dari pengamatan bahwa sebagian besar penyu memilih bersarang di tempat- tempat sekitar batas vegetasi yang tidak terjangkau pasang laut meskipun tidak harus berada dalam naungan vegetasi. Dari penjelasan diatas, dapat diketahui pantai yang sering dikunjungi oleh penyu hijau untuk melangsungkan proses peneluran yaitu Pantai Sukamade yang memiliki lebar pantai untuk intertidal berkisar 22-52 m sedangkan untuk supratidal berkisar anyara 1632 m. c. Kelandaian atau Kemiringan Pantai Kemiringan pantai sering berubah-ubah karena terjadinya pemindahan massa pasir oleh ombak. Bentuk pantai yang semula datar karena terjadi penumpukan pasir menjadi landai sampai agak curam. Perubahan nilai kemiringan atau kelandaian dari masing-masing pantai berbeda. Menurut Ridha (199) menyebutkan kemiringan pantai sebesar 50 masih agak datar. Pantai Sukamade dengan kemiringan
5 – 17 derajat sangat disukai penyu hijau untuk
melangsungkan proses peneluran. B. Karakteristik tempat peneluran penyu a. Vegetasi Pantai Kondisi vegetasi sepanjang pantai peneluran Sukamade kebanyakan telah rusak akibat bencana tsunami yang terjadi pada sekitar akhir tahun 1997, akibat yang sangat nyata terjadi pada vegetasi Pandanus tectorius
yang hampir seluruhnya rusak dan
musnah. Menurut keterangan petugas pandan yang rusak mencapai kedalaman 25 m, sedangkan yang tersisa hanya sebagian kecil saja. Kini yang ada sebagian besar adalah pandan yang merupakan hasil penanaman tahun 1998 yang juga telah banyak berkurang karena abrasi pantai berulang kali. Jenis-jenis pohon yang ditemui kebanyakan masih berupa sapling seperti: nyamplung ( Callophyllum mophyllum )
atau krangkong ( Barringtonia insignis ).
36
Kebanyakan yang ditemui adalah waru. Herba-herba yang ditemui adalah bakung deangan INP sebesar 36.67%, palelar dengan INP terendah 13.33 % dan pandan dengan INP tertinggi 68.33 % yang dominan, juga Ipomea pescaprae denganINP tertinggi 50% ( lampiran 2 ). Tumbuhan merambat yang kebanyakan ditemui adalah asem-asem ( Ipomea pescaprae ). Pada lokasi yang berbatasan dengan batu karang vegetasi yang ditemui merupakan pohon- pohon yang telah dewasa, sehingga terlihat bahwa abrasi di daerah tersebut sangat hebat hingga formasi terdepan habis dan yang berada di depan kini adalah bagian dari formasi belakang yang berupa waru ( Hibiscustiliaceus ), terdapat pula pandan hasil penanaman tetapi hanya sisa-sisanya saja, karena telah rusak juga akibat abrasi berulang- ulang. Tabel Jenis Vegetasi Pantai Tingkat Herba No 1 2 3 4 5
Nama Daerah Pandan Bakung Krandan Asem asam Palelar
Nama Ilmiah Pandanus tectorius Crinum asiaticum Canavalia eusiformis Ipomea pescaprae
Tingkat tiang No 1 2 3
Nama Daerah Waru Nyamplung Krangkong
Nama Ilmiah Hibiscus tiliaceus Callophyllum inobhyllum Barringtonia insignis
37
Tingkat pohon No 1 2 3 4
Nama Daerah Apak Waru Cembirit Keben
Nama Ilmiah Ficus benjamina Hibiscus tiliaceus Voacanga grandifolia Barringtonia asiatica
b. Tipe pasir Pada Pantai Sukamade didominasi dengan jenis pasir yang terdiri dari pasir sebesar 92, 09 %, jenis debu sebesar 2, 57 %, dan fraksi pasir jenis liat sebesar 0, 83 %1, 01 %. Terdapat 3 jenis komponen tanah pada lokasi pantai peneluran penyu hijau yaitu pasir, debu dan jenis liat yang didominasi oleh fraksi pasir dari pada kedua fraksi pasir lainnya. Pasir merupakan unsur utama dalam penyusunan tekstur untuk bersarang bagi penyu hijau. Susunan tekstur berupa pasir tidak kurang dari 90 % dengan ukuran diameter yang berkisar antara 0, 2 – 0, 5 mm. Sedangkan sisanya adalah debu dan liat dengan diameter yang berbentuk halus dan sedang. Penyu hijau akan mencari bagian- bagian permukaan pasir yang sesuai dengan nalurinya untuk membuat sarang dan tidak semua pasir digunakan untuk tujuan bertelur. Lazimnya adalah butiran pasir yang mudah digali dan secara insting dianggap aman untuk bertelur. Penyu cenderung memilih kondisi pasir yan cukup lembab, hal ini berkaitan denan kemudahan dalam penggalian sarang, karena kondisi lembab memungkinkan pasir tidak gampang longsor. (Sumaryanto, 1998 ). c. Suhu pasir permukaan dan kedalaman Penyu hijau dalam memiih sarang juga memperhatikan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan. Pada permukaan sarang kisaran suhu permukaan pasir pada pagi hari adalah 22. 2- 28. 90 C, sedangkan bagian dalam sarang suhu 27. 8- 31. 1
0
C, pada
siang hari suhu permukaan 33.33- 43. 30 C suhu bagian dalam sarang 28. 3- 37. 80 C, pada sore hari suhu permukaan sarang 33. 3- 38. 90 C suhu suhu bagian dalam sarang 28. 9- 35. 60C. Dari data terbaca bahwa suhu permukaan sarang lebih tinggi dari pada di dalam sarang, karena menerima sinar matahari secara langsung sehingga lebih fluktuasi antara kondisi pagi, siang dan sore, sedangkan bagian dalam sarang suhu relatif lebih stabil. Tinggi rendahnya temperatur tergantung pada intensitas cahaya matahari. Intensitas cahaya matahari lebih tinggi terjadi pada sarang yang bebas naungan, sehingga 38
akan memberikan kehangatan lebih tinggi pada sarang. Dalam kaitannya dengan inkubasi maka temperatur yang lebih tinggi pada sarang, menyebabkan masa inkubasi telur lebih pendek. Dengan peletakan telur oleh induk penyu pada kedalaman tertentu dan tidak terkena sinar matahari secara langsung, maka kondisi suhu di dalam sarang akan relatif lebih stabil sehingga inkubasi telur akan berjalan dengan baik. Penyu cenderung memilih kondisi pasir yang cukup lembab hal ini berkaitan dengan kemudahan dalam penggalian sarang, karena kondisi lembab memungkinkan pasir tidak gampang longsor, dan juga untuk kebutuhan telur itu sendiri selama masa inkubasi, dari hasil pengamatan kisaran kelembapan sarang adalah 52% - 90%. d. Jenis satwa ( Predator ) Berdasarkan hasil pengamatan dan wawacara dengan petugas lapangan diperoleh bahwa predator telur penyu secara alamiah adalah biawak (Varanus salvator) dan babi hutan. Sedangkan tukik seringkali dimangsa oleh elang ketika dalam perjalanan menuju laut dan juga semut merah pada saat baru saja menetas. Karena telur penyu tiap malam diambil oleh petugas maka sedikit sekali kemungkinan biawak atau babi hutan memakan telur langsung dari sarang alaminya. Biawak sernkali terlihat di sekitar ruang penetasan untuk menunggu buangan sisa-sisa telur yang rusak. Di dalam ruang penetasan pemangsa telur adalah tikus yang biasanya naik ke box penetasan. Untuk meminimalkan gangguan semut merah pada tukik.disiasati dengan memberi oli pada kaki-kaki box penetasan. Tabel 3. Nama Predator dan yang dimangsa No 1 2 3 4 5 6 7
Nama predator Harimau Babi hutan Biawak Anjing hutan Musang Elang Semut
Yang dimangsa Tukik dan telur Telur Tukik dan telur Tukik Tukik Tukik Tukik
e. Jenis Gangguan lain Keberadaan satwa-satwa pemangsa tukik atau telur dalam kondisi normal tentu saja masalah karena hal tersebut alamiah. Tetapi juga pemangsa itu adalah manusia maka akan sangat membahayakan. Karena potensi ekonomi penyu hijau yang tinggi untuk telur dan dagingnya, maka manusia berlomba mengeksploitasi penyu besar-besaran. Di pantai 39
Sukamade tiap malam dapat dipastikan terjadi pencurian telur, dan pencuru tersebut kebanyakan berasal dari desa-desa sekitar pantai. Seringkali petugas lapangan harus pontang paanting mengambil telur agar tidak didahului oleh para pencuri ini. Kejadian seperti ini sangatlah dilematis, dimana para pencuri ini adalah penduduk desa sekitar yang biasanya hanyaah buruh perkebunan dan dalam kondisi kurang mampu. Mereka ingin mendapatkan uang dengan mudah lewat menjual telur penyu yang meman harganya mahal dipasaran. Hal lain yang tidak kalah buruknya adalah adanya kapal-kapal pemburu penyu, para petugas mengenalnya sebagai kapal yang berasal dari Bali. Seringkal kapal-kapal ini berjajar-jajar di laut lepas sehingga terlihat disepanjang Pantai Sukamade. Tentunya akan sangat mudah menemukan penyu di lokasi tersebut, karena pada saat musim kawin penyu dewasa akan bergerak atau berada di pantai sekitar tempat kelahirannya. Kondisi ini berarti meningkatnya tekanan terhadap populasi penyu, induk penyu ditankap di laut dan dibantai untuk dagingnya dan hal yang sama terjadi pada telurnya di darat. Dapat dibayangkan masa depan dari penyu hijau jika kondisi demikian terus berlangsung. C. Perilaku bertelur penyu di Pantai Sukamade Perilaku hewan dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam. Faktor dalam yang menentukan pemilihan tempat bertelur adalah instink (naluri) untuk kembali ke pantai tempat penyu tersebut ditetaskan. Sedangkan faktor luar adalah kondisi lingkungan pantai. Gangguan terhadap linkungan peneluran baik yang terjadi secara alami maupun tidak, dapat mengakibatkan penyu mengurungkan niatnya dan mencari pantai peneluran baru. c. Waktu Bertelur. Umumnya penyu hijau yang akan bertelur sangat tergantung dari individu penyu dan keadaan malam hari itu. Walaupun penyu mempunyai naluri untuk bertelur pada malam itu, tetapi karena situasi tidak memungkinkan seperti datangnya angin yang kencang, adanya cahaya selain cahaya bulan, petir dan lain-lain, maka dapat dipastikan penyu tidak akan bertelur. Menurut Bustard (1972), saat bertelurnya penyu kemungkinan dipengaruhi kecepatan angin dan pasang. Makin besar kecepatan angin maka makin besar gelombang yang ditimbulkannya.
40
Gelombang yang terlalu besar akan menyulitkan penyu mencapai pantai untuk mendarat. Sedangkan gelombang yang sedang akan membantu mendorong penyu naik ke pantai, sehingga penyu tidak terlalu jauh merayap. Dari hasil penelitian terhadap 11 sampel penyu hijau, diperoleh data saat penyu hijau naik untuk bertelur dan saat kembali ke laut seperti terlihat pada tabel 4. Tabel 4. Waktu naik dan kembali ke laut penyu hijau yang bertelur Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
Saat naik ke pantai
Saat kembai ke
Lamanya waktu
(WIB) 18.08 20.07 20.15 20.50 21.20 21.30 22.01 24.13 24.17 01.05 0.20
laut (WIB) 20.50 22.38 23.04 23.25 23.57 23.58 24.52 02.49 02.46 03.35 04.43
berteur (menit) 162 151 169 155 157 148 171 158 149 150 143 155.5
Dari data diatas diperoeh bahwa penyu hijau pertama kali naik ke pantai untuk bertelur, pada pukul 18.08 WIB dan penyu terakhir kembali ke laut pada pukul 04.43 WIB. Sedangkan total waktu
yang dibutuhkan penyu hijau untuk
melakukan keiatan bertelur (Nesting behavior) berkisar antara 143 sampai 171 menit dengan rata-rata 155,5 menit. Agus (1985) menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan penyu hijau untk menyelesaikan kegiatan bertelur rata-rata 157,8 menit. Sedangkan menurut Diamond dalam Witzell (1983) waktu yang dibutuhkan berkisar 150 menit. d. Tahapan Bertelur Bertelur bagi penyu adalah upaya untuk mengembangbiakkan ataupun untuk melanjutkan keturunan agar tidak punah. Ada beberapa tahan saat penyu hijau bertelur. Menurut Carr et al (1965) dan Marlock and Harles (1979) menyatakan bahwa penyu hjau mempunyai 10 tahapan bertelur. Nuitja (1983) dalam Priyono
41
(1985) menyatakan bahwa ada 6 tahapan bertelur sedangkan Agus (1985) mencatat ada 7 tahapan bertelur. Pada tahapan bertelur ini, sesekali penyu hijau mengeluarkan suara dengan nafas. Dari penelitian ini diperoleh data seperti terlihat pada tabel 5. Tabel 5. Waktu yang dibutuhkan tiap tahapan pada saat penyu hijau berteur (menit) Tahapan/sampel Seleksi habitat Gali lubang tubuh Gali lubang telur Bertelur Tutup lubang telur Tutup luban tubuh
S1 22 25 30 16 10
S2 28 24 21 13 9
S3 37 20 20 19 15
S4 15 22 24 18 10
S5 25 30 15 17 8
S6 16 30 24 15 10
S7 24 29 23 15 12
S8 32 26 20 15 12
S9 26 20 22 16 15
S10 24 25 22 14 10
S11 20 28 21 12 11
Rerata 24.5 25.4 22 15.5 11.1
& penyamaran Kembali ke laut
45 14
43 13
48 10
56 10
50 12
47 6
60 8
41 10
40 10
44 11
37 14
46.5 10.7
Dari tabel 5 dapat dijelaskan masing-masing tahapan sebagai berikut : 1). Seleksi habitat. Penyu hijau mulai muncul dari gelombang laut pada malam hari saat air laut pasang. Sehingga penyu tidak terlalu jauh merayap naik untuk mencari tempat bertelur. Saat muncul dari hempasan gelombang, penyu hijau berhenti beberapa sat untuk mengamati lingkungan sekitarnya dengan menggerakkan kepalanya kekiri dan ke kanan. Tahapan ini adalah tahapan yang paling kritis, sebab bila ada gangguan misalnya ada cahaya atau dirasakan ada manusia mendekat, maka penyu hijau dapat dipastikan segera kembali ke laut. Jika lingkungan sekitar dirasa aman maka penyu hijau akan merayap ke pantai untuk bertelur. Penyu hijau pada umumnya merangkak tegak lurus ke arah pantai. Jika ada penhalang misalnya kayu maka penyu hijau akan berbelok sambil sesekali berhenti mengamati situasi dan menarik nafas. Dengus nafas penyu hijau dapat didengar sampai pada jarak kurang lebih 1,5 meter. Jejak penyu hijau jelas terlihat di pasir seperti jejak ban traktor. Saat merayap di pantai, kedua sirip depan ditarik bersamasama kemudian barulah kedua sirip belakang juga ditark bersamaan. Waktu yang dibutuhkan sampel penyu hijau untuk menyeleksi habitat berkisar 15 sampai 37 menit, dengan rata-rata 24,5 menit.Lamanya waktu yang diperlukan penyu hijau untuk menyeleksi habitat tergantung dari jarak sarang terhadap pinggir laut dan adanya penghalang di pantai misalnya batang yang berserakan. Kadang-kadang penyu hijau yang telah mengali lubang tubuh berpindah 42
tempat untuk menggali lubang yang lain. Keadaan ini dapat dikarenakan adanya akar tumbuhan sehingga menghalangi penggalian. 2). Menggali lubang tubuh Bila penyu telah merasa cocok dengan pemilihan sarang, maka penyu hijau mulai mengali lubang tubuh. Penggalian lubang tersebut untuk menempatkan badannya sebagai tempat bertumpu saat penyu bertelur. Penggalian lubang tubuh dilakukan dengan menggunakan sirip depan dan sirip belakang, Pada tahap ini terlihat bahwa sirip depan lebih banyak berfungsi mengali lubang tubuh, sedangkan sirip belakang fungsinya lebih banyak untuk mendorong tubuh agar terbenam ke dalam lubang yang di gali. Pasir yang di gali akan dilempar kebelakang oleh sirip depan dengan jarak lemparan mencapai krang lebih 2 meter. Penggalian akan berhenti ketika tubuh akan terbenam rata pada lubang yang di gali. Waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini berkisar antara 20 sampai 30 menit dengan rata-rata 5,4 menit. Umumnya lamanya waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini tergantung pada banyaknya akar-akar tanaman di dalam pasir. Kadangkala pada tahap permulaan pengalian lubang tubuh, ternyata pasir sangat keras atau ada bends penghslsng maka penyu akan pindah ke tempat lain. Tetapi bila ditemukan jejak galian seekor penyu hijau lebih dari 3 buah dengan berpindah-pindah tempat maka dapat dipastikan bahwa penyu tersebut hanya memeti saja. 3). Penggalian lubang telur Penggalian lubang tubuh akan dihentikan bila badan sudah rata dengan permukaan pasir dan mulailah penyu mengali lubang elur. Sebelum menggali, penyu hijau menggerak-gerakkan tubuhnya sampai mencapai kedudukan yang benar-benar baik. Pengalian lubang telur dilakukan dengan menggunakan kedua sirip belakang. Sirip belakang menggali lubang telur secara bergantian. Bila sirip belakang bagian kanan menali lubang, maka sirip belakang bagian kiri diam dengan posisi menahan pasir pada tepi lubang telur agar tidak masuk kembali ke dalam galian. Ketika pasir yang tergali sirip belakang bagian kanan diangkat, saat itu pula sirip belakang bagian kanan diangkat, saat itu pula sirip belakang bagian kiri melempar pasir disekitarnya ke arah depan. Kegiatan ini dilakukan terus menerus secara bergantian. Penggalian
43
luban telur akan berhenti jika sirip belakang sudah tidak dapat mencapai tempat yang lebih dalam. Dari hasil pengamatan didapatkan waktu yang dibutuhkan untuk penggalian lubang telur berkisar antara 15 sampai 30 menit dengan rata-rata 22 menit. 4). Bertelur Pada saat bertelur, penyu hijau mengatupkan kedua sirip belakang dan menutup permukaan lubang telur, sedangkan ekor menekuk kedalam lubang telur. Telur keluar dari kloaka bersama lendir bening satu persatu atau sampai empat sekaligus (Carr et al, 1966). Dari pengamatan didapat, waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini berkisar antara 12 sampai 19 menit dengan rata-rata 15,5 menit. Menurut Domentey (1953), waktu yang dibutuhkan penyu hijau di Sulu untuk bertelur berkisar antara 10 sampai 30 menit dengan telur yang dikeluarkan sebanyak 97 sampai 148 butir. Pada tahapan ini, jiks mendapat gangguan sebelum mengeluarkan telurnya pertama misalnya ada sinar lampu maka penyu hijau akan mengurungkan niatnya untuk bertelur. Tetapi bila telur pertama sudah dikeluarkan, maka penyu hijau tidak terusik dengan adanya gangguan dan penyu hijau tetap meneruskan bertelur, walaupun telur yang baru keluarkannya diambil dari belakang. Lamanya tahapan iani umumnya dipengaruhi oleh banyaknya telur yang dikeluarkan. Semakin banyak telur yang dikeluarkan, semakin lama waktu yang dibutuhkan.
44
5). Penutupan lubang telur (sarang) Setelah penyu hijau selesai bertelur, maka dengan perlahan-lahan lubang telur ditutup pasir dengan menggunakan sirip belakang. Caranya dengan menyiduk pasir disekitarnya dan menjatuhkannya ke dalam lubang telur secara bergantian. Kemudian pasir yang menutupi saran dipadatkan dengan kedua sirip belakang dengan cara menepuk permukaan pasir tempat lubang lubang telur dibuat sampai sarang rata dengan tempat bertumpu tubuhnya. Dari hasil pengamatan selama penelitian didapatkan waktu yang dibutuhkan untuk penutupan lubang telur berkisar antara 8 sampai 15 menit dengan rata-rata 11.1 menit. Menurut Schulz (1975), waktu yang dibutuhkan penyu hijau di Suriname untuk menyelesaikan penutupan lubang telur berkisar antara 5 sampai 10 menit. 6). Penutupan lubang tubuh dan penyamaran Pada tahap ini, kedua pasang sirip penyu hijau kembali bergerak dan mengeruk pasr di bagian kanan dan kiri tubuhnya untuk menutupi lubang tubuh. Kemudian penyu hijau maju berbelok atau lurus menjauhi sarang untuk membuat sarang palsu (sarang tipuan). Sarang tipuan ini berfungsi sebagai penyamaran aar sarang asli sulit untuk ditemukan. Penyamaran ini selalu dilakukan setiap kali bertelur, karena secara naluriah penyu hijau berusaha mengembangkan keturunannya dengan cara mengamankan telur-telurnya. Menurut Bustard (1972), jarak sarang asli dengan sarang tipuan berkisar antara 2 sampai 2,5 meter. Tetapi penyamaran ini menjadi sia-sia di tangan pencuri telur yang ahli. Sehingga dibutuhkan bantuan yang berwenang yaitu pihak PHPA untuk menjaga dan melindungi sarang penyu hijau. Di pantai peneluran Sukamade, setiap hari petugas PHPA membongkar sarang penyu hijau untuk dipindahkan ke tempat penetasan semi alami sehingga keamanantelur terjamin dan regenerasi tetap berlangsung. Dari pengamatan diperoleh bahwa waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini berkisar antara 37 sampai 60 menit dengan rata-rata 46,5 menit. 7). Kembali ke laut Penyu hijau akan kembali ke laut setelah melakukan penyamaran sarang. Selama perjalanan tersebut, penyu hijau sesekali berhenti. Pada umumnya jalan yang ditempuh adalah lurus kecuali ada penghalang misalnya berupa batang kayu. Setelah
45
mencapa batas air, penyu hijau berdiam sebentar menunggu gelombang yang akan menghempaskannya ke laut. Dari hasil pengamatan didapatkan waktu yang dibutuhkan pada tahapan ini berkisar antara 8 sampai 14 menit dengan rata-rata 10,7 menit. Lamanya waktu yang diperluakn dalam tahapan ini dipengaruhi oleh jarak sarang dengan air laut. D. Usaha Pelestarian penyu di Pantai Sukamade Perkembangan populasi penyu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu penyu itu sendiri, lingkungan tempat hidup, satwa predator dan manusia. Satwa predator dan manusia tampak mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan tekanan terhadap populasi penyu ini tidak dapat dibiarkan terus berlangsung karena dapat mengakibatkan menurunnya populasi penyu. Oleh karena itu perlu adanya campur tangan yang lebih intensif dalam mengelola satwa penyu ini. Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan teknologi ternyata membawa dampak yang negatif terhadap kehidupan penyu. Perburuan penyu lebih sering terjadi di laut, selama ni perburuan penyu banyak dilakukan oleh orang-orang dari daerah Bali, dengan peralatan seperti perahu, panah, pancing dan tombak. Sedangkan pencurian telur lebih banyak dilakukan oleh penduduk sekitar pantai. Di Pantai Sukamade belum sepenuhnya aman dari gangguan manusia. Kegiatan negatif manusia yang berpengaruh terhadap penurunan populasi penyu antara lain 1. Pengambilan telur 2. Penangkapan untuk dikonsumsi sebagai sumber protein hewani 3. Perdagangan antar daerah untuk dimanfaaatkan bagian tubuh penyu selain dagingnya. 4. Degradasi habitat karena aktivitas perikanan, pariwisata atau bencana alam 5. Pencemaran pantai sebagai dampak pembuangan limbah rumah tangga di daerah hulu Masalah keamanan telur penyu di pantai dapat berupa musuh alami maupun manusia sebagai pencuri telur untuk konsumsi. Babi hutan dan biawak adalah binatang pemangsa telur yang utama,sementara itu beberapa jenis burung, elang
46
siap menerkam tukik yang masih lemah yang sedang merangkak menuju laut. Semut sering mengganggu tukik yang masih berada di lubang. Untuk menanggulangi tekanan predator di Pantai Sukamade salah satu usaha yang telah dilakukan untuk mempertahankan kelestarian populasi penyu yaitu dengan menetaskan telur penyu di sarang buatan. Teknik penetasan semi alami cukup berhasil untuk menetaskan telur penyu. PROSES PEMBELAJARAN BERBASIS LINGKUNGAN Metodologi pembelajaran untuk topik ”Perilaku Bertelur Penyu di Pantai Sukamade” adalah MODEL-MODEL PROBLEM-BASED LEARNING dan DISCOVERY-INQUIRY,dengan metode belajar di lapangan (Pantai Sukamade) (STUDI EKSKURSI). Sifat materi ajar yang berupa fenomena dan masalah yang diangkat dari dunia nyata, dengan model dan metode pembelajaran diatas, maka mahasiswa dapat mengobservasi langsung potensi-potensi keilmuan, lingkungan,teknologi dan masyarakat yang ada di pantai Sukamade. Mahasiswa akan benar-benar memahami dan menghayati secara langsun potensi-potensi wilayah di lingkungan Pantai Sukamade. Dengan model-model tersebut diharapkan mahasiswa bisa memperoleh kemudahan dalam belajar dan dapat menguasai tujuan belajar secara maksimal 4.3. Pengembangan Model Organisasi Instruksional ”Perilaku Penyu Bertelur di Pantai Sukamade”. Sumber belajar yang digunakan sebagai model ialah ”Perilaku Penyu Bertelur di Pantai Sukamade”. Tujuannya adalah untuk memperoleh kejelasan tentang perilaku penyu bertelur dari pengalaman belajar langsung di alam. •
Pengembangan tujuan a. Pengembangan ketrampilan (pangamatan, inferensi, konseptualisasi) b. Pengembangan sikap (teliti, disiplin, jujur, tekun, bekerja tuntas) c. Pengembangan konsep (Karakteristik habitat tempat penyu bertelur, karakteristik perilaku penyu bertelur) d. Pengembangan prinsip (Batas toleransi organisme tarhadap faktor lingkungan, batas toleransi kehidupan reproduktif organisme)
47
e. Pengembangan hukum (Hukum minimal dari Liebig, Hukum toleransi dari Shelford) •
Pengembangan evaluasi a. Evaluasi ketrampilan dapat diperhatikan dari (pangamatan, inferensi, konseptualisasi) b. Pengembangan sikap (teliti, disiplin, jujur, tekun, bekerja tuntas) c. Pengembangan konsep (Karakteristik habitat tempat penyu bertelur, karakteristik perilaku penyu bertelur) d. Pengembangan prinsip (Batas toleransi organisme tarhadap faktor lingkungan, batas toleransi kehidupan reproduktif organisme) e. Pengembangan hukum (Hukum minimal dari Liebig, Hukum toleransi dari Shelford)
•
Bahan dan Alat a. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu satwa penyu di pantai Sukamade yang sedang menunjukkan perilaku bertelur. b. Alat yang digunakan meliputi : -
Termometer air raksa
-
Termometer tanah
-
Roll meter
-
Alat tulis
-
Kalkulator
-
Kamera
-
Senter 7 baterai
-
Lembar kerja kegiatan lapangan
● Prosedur Kerja a. Inventarisasi tempat-tempat peneluran penyu di pantai Sukamade. -
Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara dengan penduduk pantai sepanjang pantai peneluran penyu.
-
Pengumpulan data sekunder, berupa literatur maupun laporan – laporan yang sudah ada.
48
b. Analisis karakteristik habitat tempat penyu bertelur meliputi (vegetasi pantai yang ada, tipe pasir, suhu pasir permukaan, kedalaman, jenis satwa yang ada di sekitar situ, jenis gangguan). c. Pengamatan perilaku penyu bertelur ( Dilakukan pada malam hari jam 19.30 – 24.00 ) Parameter untuk mengatakan gejala perilaku penyu bertelur, menurut Carr dan Ogren (1960) dalam Sutarto (2003) tahapan penyu meletakkan telurnya dipantai yaitu : -
Menepi dan muncul dipermukaan
-
Memilih arah dan merayap dari gelombang laut ke darat
-
Menyeleksi tempat untuk bersarang
-
Menentukan tempat yang sesuai
-
Penggalian lubang badan
-
Penggalian lubang telur
-
Pengeluaran telur
-
Pengisian dan menutupi lubang telur
-
Penutupan lubang badan dan menyembunyikan sarang
-
Memilih arah kembali
-
Masuk ke gelombang dan mengarungi laut
-
Buatlah catatan data perilaku penyu bertelur dari masingmasing tahapan di atas dan catatlah waktu yang digunakan penyu untuk menyelesaikan tahapan tersebut
-
Buatlah catatan tambahan bila perlu
-
Buatlah tabel susunan data dari masing – masing kelompok
-
Bandingkan dan diskusikan data dari semua kelompok pengamatan
-
Rumuskan konsep – konsep apa yang ditemukan dari data tersebut ( dibimbing asisten )
4.4 Merumusakan Analisis Kejadian Menganalisis data yang diperoleh dengan kajian literatur yang mendukung.
49
4.5 Pengembangan Konsep Hasil kajian empirik diatas lebih lanjut dapat digunakan untuk pengembangan konsep ( jelaskan konsep apa saja ). 4.6 Melakukan Analisis Makna Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri Sebagai
Laboratorium
Alam
Sumber
Belajar
Biovertebrata
berbasis
lingkungan. Analisis makna dilakukan baik dari segi proses maupun produk karena makna sebagai sumber belajar dipandang dari analisis besarnya untuk mengembangkan baik ketrampilan belajar biologi maupun hasil pengetahuannya. 4.7 Waktu yang diperlukan, tiga kali kontak dengan perincian : e. Kontak pertama pengarahan kerja dan menerangkan tentang biologi penyu ( di laboratorium biologi ) f. Kontak kedua pengamatan perilaku penyu bertelur di pantai Sukamade g. Kontak ketiga adalah diskusi hasil pengamatan dan evaluasi Diskusi Pengembangan : 1. Bagaimana tata urutan (tahapan) perilaku penyu bertelur di Pantai Sukamade 2. Identifikasikan perilaku yang ditampilkan pada masing-masing tahapan tersebut. 3. Apa manfaat penyu membuat penyamaran sarang telur setelah bertelur (pola kamuflase) 4. Bagaimana perilaku penyu membuat pola penyamaran tersebut. Namun jika pembelajarn dengan pengamatan langsung sulit dilaksanakan (misalnya karena kondisi cuaca kurang baik), maka pembelajaran dapat diganti dengan media VCD. STRATEGI PEMBELAJARAN DENGAN VCD ALAT DAN BAHAN i. VCD player dan perlengkapannya ii. Program VCD Perilaku bertelur penyu di Pantai Sukamade iii. Data-data/tabel-tabel hasil penelitian tentang : a) Kondisi fisik pantai Sukamade (data panjang pantai, lebar pantai dan kelandaian pantai);b)
50
Karakteristik habitat tempat penyu bertelur (data vegetasi pantai, tipe pasir, suhu pasir permukaan dan kedalaman, jenis satwa dan jenis gangguan lain) PROSEDUR KERJA: 1. Analisis kondisi fisik pantai (analisis data) Tabel 1. Kondisi Fisik Pantai Sukamade No 1 2
Kondisi Fisik Pantai Sukamade Panjang pantai peneluran Lebar pantai peneluran
Keterangan ± 2.8 km Intertidal: 22 – 52 m;
3
Kelandaian/kemiringan pantai
supratidal: 16 – 32 m 5 – 17 0
2. Analisis habitat tempat penyu bertelur (analisis data) 2.1. Analisis vegetasi Tabel Jenis Vegetasi Pantai Tingkat Herba No 1 2 3 4 5
Nama Daerah Pandan Bakung Krandan Asem asam Palelar
Nama Ilmiah Pandanus tectorius Crinum asiaticum Canavalia eusiformis Ipomea pescaprae
Tingkat tiang No 1 2 3
Nama Daerah Waru Nyamplung Krangkong
Nama Ilmiah Hibiscus tiliaceus Callophyllum inobhyllum Barringtonia insignis
51
Tingkat pohon No 1 2 3 4
Nama Daerah Apak Waru Cembirit Keben
Nama Ilmiah Ficus benjamina Hibiscus tiliaceus Voacanga grandifolia Barringtonia asiatica
2.2. Analisis tipe pasir pantai Sukamade Tabel 2. Fraksi Pasir Pantai Sukamade Lokasi Pantai Sukamade
Fraksi pasir Pasir : 92,09 % Debu : 2,57 % Liat
:
0,83 % - 1,01 %
2.3. Analisis suhu pasir paermukaan dan kedalam Data parameter lingkungan fisik Pantai Sukamade No 1 . 2 . 3 . 4 . 5 . 6 . 7 . 8 . 9 . 1 0 . 1 1 .
SSp 27.8
SSs 28.3
Ssso 28.9
SPp 25.6
SPs 33.3
Spso 33.3
Kp 60
Ks 72
Kso 68
Kdlmn 58
28.9
33.3
32.2
28.9
37.7
36.7
60
60
75
42
30
32
32.2
27.8
41.1
35.5
73
60
73
41
31.1
34.4
34.4
27.8
42.2
38.9
52
62
52
51
27.8
36.6
33.3
25.6
42.2
36.7
60
60
60
50
27.8
32.2
30
26.7
42.2
34.4
60
62
75
48
30
32
32.2
25.6
37.7
33.3
62
80
60
45
27.8
28.3
28.9
22.2
35.5
33.3
60
55
68
50
31.1
34.4
32.8
28.9
43.3
36.7
62
80
60
55
31.1
36.1
32
28.9
41.1
35.6
80
68
60
50
30
35
33.3
25.6
41.1
37.8
90
60
80
45
52
1 2 . 1 3 . 1 4 . 1 5 . 1 6 . 1 7 . 1 8 . 1 9 . 2 0 . 2 1 . 2 2 . 2 3 . 2 4 . 2 5 . 2 6 . 2
28.9
35.6
35.6
26.7
42.2
37.8
68
62
62
55
30
35.6
35.6
25.6
42.2
38.7
80
50
60
52
27.8
37.8
32
25.6
43.3
38.9
72
90
52
48
28.9
32.2
35.6
26.7
35.5
36.7
60
62
60
41
30
32
34.4
25.6
43.3
34.4
60
55
62
51
31.1
28.3
33.3
22.2
41.1
33.3
62
60
60
50
27.8
34.4
30
28.9
41.1
33.3
60
90
62
48
27.8
36.1
32.2
28.9
42.2
36.7
62
60
80
45
30
35
28.9
25.6
42.2
35.6
80
68
55
50
27.8
35.6
32.8
26.7
43.3
37.8
73
80
80
55
31.1
35.6
32
25.6
42.2
37.8
52
72
68
50
31.1
37.8
33.3
25.6
42.2
38.7
60
62
60
45
30
28.3
35.6
25.6
42.2
38.9
72
80
60
55
28.9
33.3
35.6
28.9
37.7
37.8
60
55
60
52
30
32
32
27.8
35.5
38.7
60
80
80
48
27.8
34.4
35.6
27.8
43.3
38.9
62
68
62
45 53
2 31.1 8 . 2 31.1 9 . 3 30 0 .
36.6
32.2
25.6
41.1
36.7
60
60
60
50
32.2
28.9
22.2
35.5
34.4
62
68
52
55
32
32.8
28.9
43.3
33.3
80
80
60
50
Keterangan: • SSP,SSs,Ssso : Suhu sarang pagi, siang sore ( 0C ) • SPp,SPs,Spso : Suhu permukaan pagi, siang, sore (0C) • Kp,Ks,Kso : Kelembapan pagi, siang, sore ( % ) • Kdlmn : Kedalaman ( cm ) . 2.4. Analisis Jenis sawa (predator) Tabel 3. Nama Predator dan yang dimangsa No 1 2 3 4 5 6 7
Nama predator Harimau Babi hutan Biawak Anjing hutan Musang Elang Semut
Yang dimangsa Tukik dan telur Telur Tukik dan telur Tukik Tukik Tukik Tukik
iv. Pengamatan perilaku penyu bertelur (dengan VCD) 4.1.Amatilah perilaku bertelur penyu melalui program VCD yang tersedia 4.2. Identifikasikan perubahan perilaku pada setiap tahapan yang saudara amati. 4.3. Buatlah tata urutan (tahapan) perilaku penyu bertelur (Bandingkan dan diskusikan data dari semua kelompok pengamatan, rumuskan konsep-konsep apa yang ditemukan dari data tersebut/dibimbing asisten) 4.4 Merumuskan Analisis Kejadian Menganalisis data yang diperoleh dengan kajian literatur yang mendukung.
54
4.5 Pengembangan Konsep Hasil kajian empirik diatas lebih lanjut dapat digunakan untuk pengembangan konsep ( jelaskan konsep apa saja ). 4.6 Melakukan Analisis Makna Pantai Sukamade Taman Nasional Meru Betiri Sebagai Laboratorium Alam Sumber Belajar Biovertebrata berbasis lingkungan. Analisis makna dilakukan baik dari segi proses maupun produk karena makna sebagai sumber belajar dipandang dari analisis besarnya untuk mengembangkan baik ketrampilan belajar biologi maupun hasil pengetahuannya. DATA DATA TAMBAHAN DAN FOTO-FOTO YG DAPAT DIPERGUNAKAN UNTUK DISKUSI PENGEMBANGAN Tabel 4. Waktu naik dan kembali ke laut penyu hijau yang bertelur Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
Saat naik ke pantai
Saat kembai ke
Lamanya waktu
(WIB) 18.08 20.07 20.15 20.50 21.20 21.30 22.01 24.13 24.17 01.05 0.20
laut (WIB) 20.50 22.38 23.04 23.25 23.57 23.58 24.52 02.49 02.46 03.35 04.43
berteur (menit) 162 151 169 155 157 148 171 158 149 150 143 155.5
55
Tabel 5. Waktu yang dibutuhkan tiap tahapan pada saat penyu hijau berteur (menit) Tahapan/sampel Seleksi habitat Gali lubang tubuh Gali lubang telur Bertelur Tutup lubang telur Tutup luban tubuh
S1 22 25 30 16 10
S2 28 24 21 13 9
S3 37 20 20 19 15
S4 15 22 24 18 10
S5 25 30 15 17 8
S6 16 30 24 15 10
S7 24 29 23 15 12
S8 32 26 20 15 12
S9 26 20 22 16 15
S10 24 25 22 14 10
S11 20 28 21 12 11
Rerata 24.5 25.4 22 15.5 11.1
& penyamaran Kembali ke laut
45 14
43 13
48 10
56 10
50 12
47 6
60 8
41 10
40 10
44 11
37 14
46.5 10.7
Foto-foto Penyu hijau (Chelonia midas)
Foto 1. Telur-telur penyu hijau
Foto 2. Perilaku penyu hijau membuat sarang
Foto 3. Penyu hijau dalam posisi bertumpu menjelang dan sampai selesai bertelur
56
Foto 4. Morfologi Penyu hijau
Foto 5. Jejak penyu
Foto 6. Penyu hijau yang dijumpai di Pantai Sukamade Uraian Fisik penyu hijau •
Memiliki warna kuning kehijauan atau coklat hitam gelap
•
Cangkangnya bulat telur bila dilihat dari atas dan kepalanya relatif kecil dan tumpul
•
Ukuran panjang adalah antara 80 hingga 150 cm dan beratnya dapat mencapai 132 kg
57
Ekologi dan habitat Penyu hijau sangat jarang ditemui di perairan beriklim sedang, tetapi sangat banyak tersebar di wilayah tropis dekat dengan pesisir benua dan sekitar kepulauan. Perkembangbiakan Usia untuk kematang seksualnya tidaklah pasti: perkiraan saat ini sekitar 45 hingga 50 tahun. Penyu hijau betina bermigrasi dalam wilayah yang luas, antara kawasan mencari makan dan bertelur, tetapi cenderung untuk mengikuti garis pantai dibandingkan menyeberangi lautan terbuka. . Makanan Penyu hijau dewasa serupakan penyu laut herbivora. Makanan utama mereka dalah lamun laut atau alga, yang hidup di perairan tropis da subtropik. Tetapi anak-anaknya diasumsikan omnivore © WWFIndonesia/Dewi Satriani
untuk mempercepat pertumbuhan tubuh mereka. Kemungkinan besar terjadi transisi bertahap, saat penyu mencapai besar yang cukup untuk dapat menghindari predatornya.
Populasion dan Distribusi Di kawasan pesisir Afrika, India dan Asia Tenggara serta sepanjang garis pantai pesisir Australia dan Kepulauan Pasifik Selatan. terdapat sejumlah kawasan peteluran dan kawasan mencari makan penting bagi penyu hijau. Mereka juga dapat ditemukan di Mediterania dan terkadang di kawasan utara hingga perairan pesisir Inggris. Ancaman Hilang dan rusaknya habitat Pembangunan yang tidak terkendali menyebabkan rusaknya pantai-pantai yang penting bagi penyu hijau untuk bertelur. Demikian juga habitat tempat penyu hijau mencari makan seperti terumbu karang dan hamparan lamun laut terus mengalami kerusakan akibat sedimentasi atau pun pengrusakan oleh manusia. Pengambilan secara langsung Para peneliti memperkirakan setiap tahun sekitar 30.000 penyu hijau ditangkap di Baja, Kalifornia dan lebih dari 50.000 penyu laut dibunuh di kawasan Asia Tenggara (khususnya di Bali, Indonesia) dan di Pasifik Selatan.
58
Di banyak negara, anak-anak penyu laut ditangkap, diawetkan dan dijual sebagai cendera mata kepada wisatawan. . Pengambilan secara tidak langsung Setiap tahu, ribuan penyi hijau terperangkap dalam jaring penangkap. Penyu laut merupakan reptile dan mereka bernafas dengan paru-paru, sehingga saat mereka gagal untuk mencapai permukaan laut mereka mati karena tenggelam. Penyakit Di sejumlah kepulauan Hawai, hampir 70% dari penyu hijau yang terdampar, terkena fibropapillomas, penaykit tumor yang dapat membunuh penyu laut. Saat ini, penyebab tumor belum diketahui. Pemangsa Alami Penyu laut dapat mengeluarkan lebih dari 150 telur per sarang dan bertelur beberapa kali selama musimnya, agar semakin banyak penyu yang berhasil mencapai tingkat dewasa. Keseimbangan antara penyu laut dan pemangsanya dapat menjadi lawan bagi keberlanjutan hidup penyu saat pemangsa baru diintroduksi atau jika pemangsa alami tiba-tiba meningkat sebagai hasil dari kegiatan manusia. Seperti yang terjadi di pantai perteluran di Guianas, kini anjing menjadi ancaman utama bagi telur dan penetasan.
59
DAFTAR PUSTAKA Agus. D. 1985. Kehidupan Penyu Daging. Majalah Suara Alam No. 32, tahun VII. Feb. 1985 Yayasan Indonesia Hijau. Jakarta Amin Moh. 1978. Mengajarkan Science dengan Menggunakan Metode Discovery Inquiry. FKIE-IKIP Yogyakarta. AUSAID. 2005. Pelatihan Tim Sekolah 2A, Australia Government. AUSAID. Gedung Graha Bina Insani Jember.13-15 Juli 2005. Managed by IDP Education Australia. Balai Taman Nasional Meru Betiri di Jember dan Banyuwangi, 1999-2003. Barba H. Roberta. 1995. Science in The Multicultural Classroom. USA. Allya and Bacon. Barbara Mang. 2001. Didaktik dan Metodik (Belajar dan Mengajar Sistem Jerman). Kerjasama Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman. Bandung Borich D. Garry. 1992. Effective Teaching Method. New Jersey Prentice Hall Inc. Bustard, R.H. 1972. Sea Turtle Natural History and Conservation. Collin. Sydney Carr, A H. Hirth, and L. Ogren. 1966. The Ecology and Migration of Sea Turtles an Carribean Sea. Bull. State. Mus. USA Collette, A.T.1973. Science Teaching in The Secondary School. Allyn and Bacon. Inc Boston. Djohar. 1984. Usaha Peningkatan Daya Guna dan Hasil Guna Penggunaan Sumber Belajar. FMIPA IKIP Yogyakarta. Djohar. 1985. Sejarah Pendidikan Sains dan Implikasinya Bagi Pengembangan Konsep Belajar Mengajar IPA (Biologi). Cakrawala Pendidikan No. 2 Volume IV 1985. Yogyakarta. Domantay, J.S. 1953. The turtle fisheries of the turtle island. Bull. Fish.Soc. of Phillipne. Vol 324. Bureau of Fisaheries Building. Manila Galbraith, John K. 1967. The New Industrial State A Signet Book. New York. Library Inc. Gega, P.C.1977. Science in Elementary Education, Third Ed. John Willey & Co. New York. Imron Rosyidi. M. 1995. Peningkatan Proses Belajar Mengajar Melalui Pemanfaatan Sumber Belajar. makalah disampaikan pada Seminar Pelatihan
60
Pengembangan Strategi Belajar Mengajar di FKIP UNMUH Jember. 29-30 Nopember 1995. Jenkins, E and R. Whitfield. 1974. Reading in Science Education. Mc. Graw Hill. London. Lawson, A.E and C.A. Lawson. 1979. Atheory of Teaching for Conceptual Understanding, Rational Thought, and Creativity. In: Lawson, A.E. ed. The Psychology of Teaching for Thingking and Creativity.1980. AETS YEAR BOOK. Eric Clearinghouse for Science, Mathematics and Environmental Education. The Ohio State University. Ohio. p:104. Marlock. H. and.M. Harless. 1979, Turtles Perspective and Research. A Willey Interscience Pyublication, New York, Newman, Donald B. 1993. Experiencing Elementary Science. Belmont Wadsworth Publishing Company. Nursahid Rosek. 1999. Mengapa Satwa Liar Punah?. KSBK dan Yayasan KEHATI, Malang. Indonesia. Odum, E,P. 1962. Fundamentals of Ecology, Second Edition. W.B. Saunders Co. Philadelphia Prawoto. 1984. Pemanfaatan Sumber Belajar Melalui Usaha Simplifikasi dan Manipulasi. IKIP Yogyakarta. Priyono, A. 1985. Studi Reproduksi Penyu Daging di Pantai Sukamade, Kab. Banyuwangi. Karya Ilmiah Fakultas Perikanan IPB, Bogor Ridha, 1992. Studi Habitat Peneluran Penyu Hijau di Pantai Pangumbahan Kab. Sukabumi. Skripsi Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Saxe David, Warren. 1994. Social Studies for The Rlementary Teacher. Massachussetts. Allya and Bacon. Schulz, J.P. 1975. Sea Turtle Nesting in Suriname. Suriname Forest Service. Suriname Sumaryanto. 1998. Kajian Karakteristik Lokasi Peneluran Penyu Hijau di Pantai Bandulu Kec, Anyer Kab Serang Jawa Barat. Skripsi Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Sutarto, 2003. Kajian karakteristik Lokasi peneluran penyu hijau ( Chelonia mydas) di Pantai Sukamade. Skripsi, Jurusan Konservasi sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
61
Sutrisno. 2003. Pemikiran Tentang Kurikulum Pendidikan Tinggi Program Akademis Bidang Matematika dan Sains Berbasis Kompetensi. Makalah disampaikan pada Workshop Kurikulum Pendidikan MIPA Jakarta 2003. Suwito, Umar. 1984. Identifikasi Sumber Belajar. IKIP Yogyakarta. Taman Nasional Meru Betiri, 1996. Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II. Indonesia. Torrence, E.P. 1979. A Three-Stage Model for Teaching for Creative Thingking. In: Lawson, A.E. ed. The Psychology of Teaching for Thingking and Creativity.1980. AETS YEAR BOOK. Eric Clearinghouse for Science, Mathematics and Environmental Education. The Ohio State University. Ohio. p:104. The Ohio State University. Ohio. p: 227. Wibowo Danny, 2004. Karakteristik Lokasi Peneluran Penyu hijau (Chelonia mydas) Di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. Laporan Tugas Akhir Program diploma III konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Witzell, W.N. 1983. Synopsis of Biological Data on The Hawkbill Turtle (Eretmocheleys imbricata). FAO. Rome Wynne Harlen, 1983. Guides to Assesment in Education. SCIENCE. Macmillan Education. London
62