BLT Dalam Konteks Pelayanan Sosial Awal Mei 2008 pemerintahan SBY-JK mengumumkan rencana kenaikan BBM pada medio Mei-Juni, yang pada akhirnya dinyatakan dalam pengumuman resmi yang disampaikan oleh Menteri ESDM pada tanggal 23 Mei 2008. Dasar dari kebijakan tersebut adalah harga minyak dunia yang mencapai lebih dari USD 125/barel, jauh diatas angka yang dipatok pemerintah dalam APBN 2008 sebesar USD 95/barel. Beban yang ditanggung pemerintah untuk memberikan subsidi bagi pengadaan BBM berpotensi mengancam APBN secara keseluruhan. Sebagai alternatif menjaga keberlanjutan hidup masyarakat, terutama mereka yang disebut sebagai “orang miskin”, pemerintah menggulirkan lagi program bantuan langsung tunai (BLT), memberikan subsidi sebesar masingmasing Rp.100.000/bulan untuk jangka waktu 8 bulan. Lebih dari itu, pemerintah juga dengan lantang berteriak akan menaikkan jumlah beras untuk rakyat miskin yang diterima selama ini dari jumlah 10 kg menjadi 15 kg per bulan. Yang menjadi perhatian bagi berbagai kalangan, terutama bagi para pemerhati masalah kebijakan, bentuk BLT sebagai jawaban terhadap keluhan masyarakat akibat kenaikan harga BBM digugat mengingat bentuk yang sama yang digulirkan pada tahun 2005 dapat dikatakan kurang berhasil (baca:gagal) mengatasi beban hidup masyarakat (miskin) secara signifikan, plus dengan berbagai permasalahan sosial lain yang muncul. Bantuan langsung tunai (BLT) merupakan bentuk kebijakan pemerintah dalam mempromosikan kesejahteraan bagi masyarakat miskin, merupakan sebuah tindakan sebagai implementasi dari “whatever goverment do or not to do”, definisi kebijakan yang disampaikan oleh Bridgman dan Davis (dalam Edi Suharto, 2007). Sebagai sebuah kebijakan dalam bidang sosial, BLT pada hakikatnya merupakan sebuah pelayanan sosial dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan sosial yang mungkin timbul seiring kenaikan beban hidup masyarakat. Pilihan strategi pemerintah untuk mengalihkan subsidi agar dapat secara langsung dinikmati oleh orang yang membutuhkan, secara tidak langsung mengamini BLT sebagai bentuk pelayanan sosial. Menyandingkan BLT dengan kepentingan menjaga stabilitas APBN mengkerangkai bentuk pelayanan sosial dalam kebijakan makro ekonomi yang menjadi alat ukur utama. Namun konteks pelayanan sosial sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, terutama bagi mereka yang tersingkir dari aksesakses pemenuhan kebutuhan karena keterbatasan ekonomi menjadi tidak secara efektif dapat terwujud dengan bentuk subsidi langsung seperti yang dipilih saat ini. Edi Suharto dalam Semiloka Nasional “Pemetaan Model Pelayanan Sosial yang Berkeadilan” yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Sosiatri pada tahun 2007 pernah berseloroh bahwa pemerintah cukup sukses dalam menjaga amanat UUD 1945, yaitu memelihara fakir miskin dan anak terlantar, namun hanya berhenti pada kata memelihara, bukan pada mengentaskan mereka dari kemiskinan. Kebijakan BLT pada akhirnya semakin menegaskan kekhawatiran yang diungkapkan oleh Edi Suharto tersebut. Bantuan langsung tunai (BLT) diberikan dalam bentuk uang secara langsung kepada masyarakat miskin tanpa disertai dengan bentuk pengawasan dan kontrol bagaimana dan untuk apa uang tersebut akan digunakan. Alih-alih mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, penyalahgunaan dana, baik untuk keperluan konsumtif non kebutuhan primer justru akan semakin membenamkan ekonomi masyarakat. Jangankan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat, mereka akan tersungkur dua kali ketika kebutuhan tak terjangkau, dan BBM tak mampu terbeli. Bahwa mereka yang menerima BLT adalah masyarakat yang benarbenar miskin (setidaknya demikian yang diyakini pemerintah), yang tidak mempunyai sandaran ekonomi, tidak secara serta merta mewajibkan mereka untuk menggunakan uang yang diperoleh untuk keperluan sehari-hari. Mereka masih mempunyai hutang yang harus dibayar di masa lalu, mempunyai kebutuhan yang diimpikan namun belum terpenuhi, serta melihat nominal yang cukup besar untuk sedikit menaikkan gengsi hidup, yang pada akhirnya memicu “penyelewengan” penggunaan dana BLT. Sampai dengan batas waktu BLT digulirkan mereka akan menjadi “peminta-minta” yang menunggu pemberian pemerintah, tanpa sebuah kesadaran untuk mengubah pemberian tersebut menjadi kekuatan untuk berdiri sendiri. Ketika BLT berakhir, selesai juga kehidupan mereka, atau setidaknya mereka harus kembali berpeluh untuk mendapatkan sesuap nasi. Pelayanan sosial, meski pada hakikatnya merupakan kebijakan yang dilaksanakan dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat, namun setidaknya harus dibingkai dalam konsep keadilan bagi masyarakat penerimanya. Pelayanan sosial
yang berkeadilan sedikitnya mencakup tiga kata kunci sebagaimana yang disampaikan oleh Edi Suharto (2007), yakni (a) equally distributed (cakupan dan distribusinya menjangkau setiap segmen masyarakat secara merata); (b) accountably delivered (kualitasnya dapat diandalkan); dan (c) sustainably provided (diberikan secara melembaga dan berkelanjutan). Bahwa masyarakat miskin adalah kelompok yang paling berhak mengakses program ini, sekiranya banyak pihak yang tidak berkeberatan. Namun berkaca pada program tahun 2005, munculnya chaos di masyarakat bawah sebagai akibat munculnya kecemburuan tentu perlu mendapat perhatian tersendiri, apakah penerima BLT adalah mereka yang berhak atau masih terdapat individu-individu yang culas bermain dengan perangkat pemerintah. Pun demikian dengan bentuk program yang dipilih juga mengingkari tuntutan kualitas dan keberlanjutan pelayanan sosial. Bantuan tunai, tanpa kontrol terhadap penggunaannya, menjadi kontraproduktif terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Efektifitas dan efisiensi bantuan yang diberikan dalam mengatasi keterbatasan masyarakat secara ekonomi dipertanyakan seiring tidak adanya program-program penunjang lain yang mendampinginya, yang bisa menjadi penopang atau menjaga keberlanjutan kehidupan ketika BLT berakhir. Pelayanan sosial pada hakikatnya merupakan salah satu kebijakan penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah sebagai exit strategy terhadap munculnya kelompok masyarakat yang tersingkir dari proses pembangunan. Bagaimana pemerintah bertanggungjawab terhadap kelompok miskin akan terus menjadi sorotan ketika dalam kehidupan (yang sebenarnya) masih dijumpai individu yang mempunyai masalah setidaknya untuk mengakses pemenuhan kebutuhan primer. Program BLT sebenarnya dapat menjadi program yang efektif ketika dilaksanakan dalam kerangka yang jelas, baik dari latar belakang, tujuan, serta hasil akhir yang ingin dicapai yang disusun berdasarkan mekanisme perencanaan yang memperhatikan berbagai kondisi masyarakat dewasa ini. Bahwa BLT mampu mengamankan APBN perlu mendapat dukungan, setidaknya hal tersebut merupakan argumen dari para pakar ekonomi yang dimiliki pemerintah yang seharusnya mempunyai hitung-hitungan yang jelas, namun perlu dilaksanakan dengan beberapa kondisi. Pertama, bukan merupakan jawaban terhadap kebijakan lain (ex. kenaikan harga BBM), sehingga tidak terkesan
sebagai suap bagi masyarakat. Kedua, merupakan hasil studi dari berbagai program sosial yang dilaksanakan selama ini, mengacu pada best practices dan bad practices yang muncul di dalamnya sebagai upaya mereduksi kesalahan yang mungkin dapat terjadi. Kajian tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perencanaan yang detail dengan menempatkan tujuan yang jelas, serta jika memungkinkan mencantumkan means of verification, indikator keberhasilan, sebagai alat ukur efektifitas program diakhir pelaksanaan. Kesan kacaunya penyusunan kebijakan pemerintah dalam menggulirkan BLT 2008 muncul ketika masyarakat miskin penerima BLT adalah mereka yang tercatat dalam data BPS tahun 2005. Kebijakan terkesan disusun terburu-buru tanpa perencanaan yang matang ketika untuk rentang waktu 3 tahun diasumsikan jumlah penduduk miskin yang layak dibantu tidak terdapat perubahan signifikan yang perlu diperhatikan untuk efektifitas kebijakan (Berubah dapat dikatakan berkurang atau bertambah. Pemerintahan SBYJK mengklaim sudah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin selama mereka memimpin). Pun lagi dengan munculnya penolakan beberapa unsur pemerintah di tingkat bawah terhadap pengguliran BLT. Ketiga, didukung dengan programprogram pemberdayaan sebagai penopang. Selain sebagai bentuk kontrol terhadap penggunaan uang yang diperoleh, munculnya program pemberdayaan akan mengarahkan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan dengan bertumpu pada usaha yang mereka bangun dan miliki sendiri, yang usianya kemungkinan besar akan jauh lebih lama dibanding program BLT itu sendiri. Bentuk pelatihan ketrampilan atau pendidikan dalam periode tertentu masih mungkin dilakukan dan secara ekonomi mempunyai beban biaya lebih sedikit dibanding subsidi BBM yang selama ini diberikan. Point terakhir, keempat, adalah bagaimana program-program tersebut dilaksanakan secara solid oleh pemerintah. Kebijakan merupakan representasi dari dialog yang muncul dalam perencanaan pembangunan. Pada tahap ini, diharapkan juga mampu merepresentasikan kepentingan pemerintah di tingkat bawah, baik itu kepala desa atau RT/RW yang sayangnya pada pengguliran BLT 2008 justru banyak berteriak menentang karena besarnya resiko yang dihadapi. Adanya komunikasi yang baik antara pemerintah di berbagai tingkatan niscaya memberikan kredit tersendiri bagi image program di mata pemerintah, yang secara tidak langsung harus diakui memberikan motivasi bagi masyarakat untuk terus
berusaha menjadi lebih baik. Keseriusan pemerintah menjadi kunci terhadap sukses atau tidaknya sebuah kebijakan diimplementasikan dalam bentuk program. Dialog yang positf, dari pemikiran sampai pada perilaku akan mampu mengarahkan pembangunan pada level yang lebih baik dibandingkan sebuah upaya otak-atik data ekonomi dan statistik yang hanya “donk” bagi mereka yang merumuskan namun “blong” bagi mereka yang menjadi sasarannya. Heru Nurprismawan Institute fo Social Development