1
BIMBINGAN DAN KONSELING Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling dengan Dosen Drs. Dudi Gunawan, M.Pd.
Oleh: Rahna Hardiana ( 044129 )
REFRIGERASI DAN TATA UDARA JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK MESIN FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2009
2 KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala Puji bagi Allah yang telah menerangi hati kita dengan cahaya AlQuran, menghiasi akhlak kita dengannya, dan mengindahkan amalan-amalan kita dengan amalan AlQuran. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta umatnya sepanjang zaman yang senantiasa mempelajari dan mengajarkan AlQuran. Atas rahmat yang telah Allah berikan pula, sehingga penyusun dapat
dapat
menyelesaikan makalah resume perkuliahan mata kuliah Bimbingan dan Konseling semester genap 2008-2009. Penyusun ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Penyusun berharap pada makalah ini dapat sesuai yang diharapkan pembaca dan memohon saran dan kritik yang membangun dari pembaca agar penyusun dapat lebih baik lagi kedepannya. Mohon maaf jika dalam penyusunan rangkuman ini jika masih terdapat kekurangan. Akhir kata sebelum dan sesudahnya penysun ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh
Bandung, Oktober 2009
Penyusun
3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2 DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................... 4 1.1
Latar Belakang ................................................................................................................. 4
1.2
Tujuan............................................................................................................................... 6
1.3
Pembatasan Masalah ........................................................................................................ 6
1.4
Sistematika Penulisan....................................................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI BIMBINGAN KONSELING......................................................... 7 2.1
Hakikat Manusia. ............................................................................................................. 7
2.2
Definisi Bimbingan Konseling......................................................................................... 9
BAB III PEMBAHASAN............................................................................................................. 11 3.1
Orientasi Bimbingan Dan Konseling ............................................................................. 11
3.2
Konsep Bimbingan Dan Konseling................................................................................ 21
3.3
Fungsi Pendekatan Bimbingan Dan Konseling.............................................................. 26
3.4
Landasan Bimbingan Dan Konseling............................................................................. 40
3.5
Strategi Bimbingan Dan Konseling................................................................................ 50
3.6
Jenis-Jenis Layanan Bimbingan Dan Konseling............................................................ 54
3.7
Pembelajaran Berbasis Bimbingan Konseling ............................................................... 58
3.8
Paradigma Bimbingan dan Konseling............................................................................ 61
3.9
Dasar-dasar Pemahaman Peserta Didik.......................................................................... 72
BAB IV STUDI KASUS ............................................................................................................. 74 4.1
Diagnostik Dan Remedial Teaching (Kasus) ................................................................. 74
4.2
Bimbingan Pada Siswa Dengan Hambatan Berpikir Dan Fisik Motorik....................... 89
BAB V PENUTUP ....................................................................................................................... 94 5.1
Kesimpulan..................................................................................................................... 94
5.2
Saran............................................................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 95
4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang A. Pengertian Bimbingan dan Konseling Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku. Dalam pengertian tersebut tersimpul hal-hal pokok bahwa : Bimbingan dan konseling merupakan pelayanan bantuan Pelayanan Bimbingan dan konseling dilakukan melalui kegiatan secara perorangan dan kelompok Arah kegiatan Bimbingan dan konseling adalah membantu peserta didik untuk dapat melaksanakan kehidupan sehari-hari secara mandiri dan berkembang secara optimal Ada empat bidang bimbingan yaitu bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan karir. Pelayanan Bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui jenis-jenis layanan tertentu, ditunjang sejumlah kegiatan pendukung Pelayanan Bimbingan dan konseling harus didasarkan pada norma-norma yang berlaku B. Tujuan Bimbingan dan Konseling Tujuan umum Bimbingan dan konseling adalah memandirikan peserta didik dan mengembangkan potensi mereka secara optimal. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tujuan yang mengarah keefektifan hidup sehari-hari dengan memperhatikan potensi peserta didik Lebih khusus lagi, tujuan-tujuan tersebut dirumuskan dalam bentuk kompetensi
5 C. Fungsi Bimbingan dan Konseling Pelayanan Bimbingan dan konseling mengemban 4 fungsi, yaitu : Fungsi pemahaman Fungsi pencegahan Fungsi pengentasan, termasuk ke dalamnya fungsi advokasi Fungsi pemeliharaan dan pengembangan D. Prinsip Bimbingan dan Konseling Prinsip-prinsip Bimbingan dan konseling berkenaan dengan : Sasaran layanan Permasalahan yang dialami individu Program pelayanan Tujuan dan pelaksanaan pelayanan E. Azas Bimbingan dan Konseling Asas-asas Bimbingan dan konseling meliputi : Asas kerahasiaan Asas kesukarelaan Asas keterbukaan Asas kegiatan Asas kemandirian Asas kedinamisan Asas keterpaduan Asas kenormatifan Asas keahlian Asas alih tangan kasus Asas tut wuri handayani F. Paradigma Paradigma Bimbingan dan konseling mengacu kepada pelayanan yang bersifat piko paedagogis dalam bingkai budaya dan religius.
6 1.2 Tujuan Adapun tujuan dalam pembuatan laporan ini sebagai berikut: 1. Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Bimbingan Konseling 2. Mengidentifikasi berbagai permasalahan kesulitan pembelajaran. 3. Mengkaji berbagai persoalan tentang permasalahan belajar. 4. Alternatif mengatasi permasalahan pembelajaran. 5. Setelah memahami tentang Remedial Teaching mahasiswa diharapkan bisa menciptakan cara mengajar yang lebih efektif dikelak nanti. 1.3 Pembatasan Masalah Ruang lingkup pembahasan masalah dalam makalah ini difokuskan pada kesulitan belajar, bimbingan belajar, model pembelajaran yang bisa diterapkan dan bagaimana mengatasi masalah kesulitan belajar. 1.4 Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
Berisikan tentang Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Pembatasan Masalah, dan Sistematika Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI Berisikan tentang penjelasan Landasan-landasan teori dialik pembuatan laporan ini.
BAB III PEMBAHASAN Berisikan tentang pembahasan dari berbagai sub teori tentang Bimbingan Konseling.
BAB IV CONTOH KASUS Berisikan tentang contoh-contoh mengenai kasus-kasus yang terjadi disekolah saat ini disertai dengan berbagai penjelasan dan pemecahannya.
BAB V PENUTUP Berisi kesimpulan dari pembuatan laporan ini disertai dengan saran
7
BAB II LANDASAN TEORI BIMBINGAN KONSELING 2.1
Hakikat Manusia. Manusia adalah mahluk sosial. Artinya adalah manusia tidak dapat hidup sendiri.
Sehingga manusia tersebut mau tak mau harus dapat hidup berkelompok dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Menurut berbagai ahli filsafat, (Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihanpilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
8 Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu. Untuk menciptakan berkesinambungannya peradaban manusia, maka peran pendidikan sangatlah penting. Perhatian yang penuh terhadap peningkatan mutu pendidikan akan berefek pula terhadap semakin tingginya peradaban manusia. artikel pendidikan yang disajikan dibawah ini ingin sedikit mengupas beberapa sisi pendidikan, karakter pendidikan, metode pendidikan, tujuan pendidikan, pengembangan pendidikan, kurikulum pendidikan serta beberapa kejadian seputar pendidikan. Salah satu unsur pendidikan yang sangat mempengaruhi peradaban manusia adalah penyelenggaraan bimbingan konseling, dimana bimbingan konseling sangat penting untuk menciptakan hubungan manusia yang harmonis antara manusia dan lingkungan, manusia dan manusia ataupun manusia dengan Tuhannya. Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugastugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual). Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut. Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan
9 yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri. 2.2
Definisi Bimbingan Konseling Untuk lebih memahami apakah ‘bimbingan’ itu, maka alangkah lebih baiknya jika kita
mengulas tentang pengertian bimbingan dari berbagai sisi yaitu dilihat dari segi bahasa serta dilihat dari segi istilah (pendapat para ahli). Bimbingan secara bahasa dapat berarti sebagai berikut :
menunjukkan
menentukan
mengatur
mengemudikan
memimpin
mengadakan
mengistruksikan
memberi saran
mengatur Sedangkan pengertian bimbingan menurut para ahli diantaranya adalah:
Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya, 1975) mengartikan bimbingan sebagai proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di sekolah, keluarga dan masyarakat.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta
10 didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
Djumhur dan Moh. Surya, (1975) berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Dari tiga pendapat tersebut di atas dapat diambil beberapa kata kunci yang berkaitan
dengan pengertian bimbingan, diantaranya:
Proses bantuan agar tercipta pemahaman diri untuk menyesuaikan diri di mana saja berada
Bantuan untuk mengenal diri dan lingkungan sehingga ia dapat menggunakan potensinya
Kegitan yang terorganisir dan sistematis sehingga menyadari tentang dirinya sebagai individu dan anggota masyarakat
Bantuan untuk membuat keputusan, pengaturan dan pemecahan masalah
Kegiatan yang berkesinambungan agar tercipta self understanding, self acceptance, self direction, dan self realization
Pelayanan secara personal atau kelompok agar dapat mencapai kemandirian dan perkembangan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut diatas mengenai pengetian bimbingan secara bahasan dan
secara istilah menurut pemikiran para ahli serta beberapa kata kunci yang didapat, maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan merupakan suatu proses bantuan secara sistematis, terorganisir, dan berkesinambungan yang diberikan kepada seseorang, kelompok atau masyarakat agar bisa membuat keputusan, memecahkan masalah, dan bisa memahami diri dan lingkungannya sehingga dapat menyesuaikan diri dimana pun ia berada serta dapat mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya.
11 BAB III PEMBAHASAN 3.1 Orientasi Bimbingan Dan Konseling Secara naluriah, kodrati, fitrohnya manusia adalah makhluk social memerlukan orang lain dalam kehidupannya tanpa sesamanya manusia tidak akan bisa hidup. Pada mulanya manusia berada dalam satu lingkungan social yang kecil Adam dan Hawa, semakin berkembangnya umat manusia menyebar kemana-mana dengan kondisi fisik yang berbeda pula. Dari uraian diatas diketahui memberikan diskripsi manusia secara sistematis bahwa manusia berada dan berhubungan dengan sesamanya dalam pola- pola tertentu sebagai individu yang berhubungan dengan individu melalui keluarga, masyarakat. sebagai individu yang berhubungan dengan kelompok; masyarakat,politik,social. sebagai kelompok yng berhubungan dengan kelompok; SARA. Konseling adalah proses komunikasi antara seseorang (konselor) dengan orang lain. Konseling adalah proses pemberian informasi obyektif dan lengkap, dilakukan secara sistematik dengan paduan ketrampilan komunikasi interpersonal, teknik bimbingan dan penguasaan pengetahuan klinik bertujuan untuk membantu seseorang mengenali kondisinya saat ini, masalah yang sedang dihadapi dan menentukan jalan keluar/ upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Pengertian Bimbingan dan Konseling sosial islam Adalah proses bantuan kepada individu agar kembali ke kehidupan masyarakat yang selaras dengan ketentuan dan petunjukNYA sehingga mencapai kebahagiaan dunia akhirat / kembali kefitrah seperti orang yang berbuka puasa. Perjalanan bimbingan dan konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan pemahaman itu adalah :
12 1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik pendidikan sehari-hari. Walaupun guru dalam melaksanakan pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling), perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas Bimbingan dan Konseling lainnya. Begitu pula, Bimbingan dan Konseling bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen), yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal. Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1). 2. Menyamakan pekerjaan Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater. Dalam hal-hal tertentu memang terdapat persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
13 Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi, penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan, upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling. 3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang bersifat insidental. Memang tidak dipungkiri pekerjaan bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu. Pekerjaan bimbingan dan konseling dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan maupun penyembuhan (pengentasan) 4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja. Bimbingan dan Konseling tidak hanya diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa (Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan konseling yang tersedia.
14 5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau “kurang/tidak normal”. Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya. Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan (referal). 6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama (gejala) saja. Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya. 7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan. Ukuran berat-ringannya suatu masalah memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat. Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah (referal) kepada pihak yang lebih kompeten
15 8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai “polisi sekolah”. Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang bersalah. Dengan kekuatan inti bimbingan dan konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring, penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan. 9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasihat. Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. 10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama dengan ahli atau petugas lain Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orangorang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja .Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain sering kali sangat
16 menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar. Namun demikian, konselor atau guru pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti “praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan campur tangan orang lain atau ahli. 11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif Sesuai dengan asas kegiatan, di samping konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif, bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu kelancaran usaha pelayanan itu. Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak berjalan sama sekali.
17 12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”. Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”, jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di Perguruan Tinggi. 13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia. 14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaaninstrumentasi Perlengkapan dan sarana utama yang pasti dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama sekali.Tugas bimbingan dan konseling
18 yang baik akan selalu menggunakan apa yang dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana penunjang yang diperlukan 15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera terlihat. Disadari bahwa semua orang menghendaki agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul, lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian.. Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru pada saat setelah dia menjadi seorang dokter. Sedangka orientasi bimbingan konseling yang dimaksud disini ialah pusat perhatian misalnya : seorang berorientasi terhadap ekonomi dalam pergaulan, maka ia akan menghitung untung rugi yang dapat ditimbulkan oleh interaksi dengan orang lain. Disini yang menjadi pusat perhatian konselor kepada klien : 1.
Orientasi perorangan Sejumlah kaidah yang berkaitan dengan orientasi perorangan dalam bimbingan
konselingsosial adalah sebagai berikut : a. Semua kegiatan diselenggarakan dalam rangka pelayanan BK diarahkan pada peningkatan perwujudan diri sendiri. b. Kegiatan disini berkenaan dengan individu untuk memahami kebutuhan- kebutuhan pemanfaatan bagi diri sendiri dan lingkungannya. c. Setiap individu harus diterima sebagai individu yang harus ditangani secara individual. d. Tanggung jawab konselor untuk memahami minat,kemampuan yang terelakkan bagi berfungsinya individu. 2.
Orientasi perkembangan Orientasi ini lebih menekankan pentingnya peranan yang terjadi pada individu dan
sekaligus bertujuan mendorong konselor dan klien menghilangkan problem yang menjadkan laju perkembangan klien. Adapun hambatan ( Thomson & Rudolph ) yang dimaksudkan adalah :
19 a. Hambatan Egosentrisme ketidakmampuan melihat kemungkinan lain diluar apa yang dipahaminya. b. Hambatan Konsentrasi ketidakmampuan memusatkan perhatian pada lebih dari satu aspek tentang suatu hal. c. Hambatan Reversibilitas ketidakmampuan menelusuri alur yang terbalik dari alur yang dipppahami semula. d. Hambatan Transformasi ketidakmampuan meletakkan sesuatu pada suasana urutan yang ditetapkan. 3.
Orientasi permasalahan Ada yang mengatakan bahwa kehidupan berkembang itu resiko, agar tujuan tercapai
dengan baik maka resiko yang mungkin menimpa kehidupan harus diwaspadai, nah kewaspadaan yang menimbulkan hambatan dan rintangan itu melahirkan kosep orientasi permasalahan dalam bimbingan konseling. Dalam kaitannya dengan fungsinya Orientasi ini mengarah kepencegahan pengentasan permasalahan agar individu terhindar dari beban didalam dirinya, pemahaman memungkinkan individu memahami informasi dan aspek lingkungan yang berguna mencegah timbulnya masalah pada diri klien. Berdasarkan rumusan konseling social islami yang dikemukakan diatas, maka tujuan bimbingan konseling social islami adalah untuk :
Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat melalui: kepercayaan yang diyakini, memahami manfaat hidup bermasyarakat.
Membantu individu memelihara situasi, kondisi kehidupan agar tetap baik dan jauh lebih baik melalui : 1) problem yang semula dihadapi telah teratasi agar tidak menjadi masalah kembali. 2) mengembangkan situasi yang mulanya baik itu agar bertambah baik. Adapun methode bimbingan dan konseling social islami melalui :
(1) Metode langsung : dimana pembimbing melakukan secara tatap muka melalui : a) metode individual percakapan pribadi, kunjungan kerumah, observasi kerja. b) Metode kelompok dengan diskusi kelompok, karyawisata, dramagroup teaching.
20 Metode tidak langsung : dilakukan melalui komunikasi media masa hal ini dapat dilakukan secara. a)individual melalui surat, telepon. b) Kelompok dengan surat kabar, brosur, media audio, TV. (2)
Metode tidak langsung : disamping itu metode yang kita dalam melaksaanakan bimbingan dan konseling social islami tergantung pada; a) masalah yang sedang dihadapi. b) tujuan penggarapan masalah. c) keadaan klien. d) sarana prasarana yang tersedia e) administrasi dan biaya yang tersedia.
4.
Pembinaan hubungan kelompok intern/ individu Telah di ketahui secara agamis,umat islam terikat keagamaannya sebagai suatu kelompok
besar yang berbeda dengan kelompok lain.kelompok ini bisa terdiri dari berbagai kelompok organisasi yang lebih kecil. Kesatuan umat islam itu di ikat oleh kesatu agamaan, emosional, yang di gariskan oleh-Nya untuk senantiasa menjadi satu kesatuan.
Dalam keluarga : mengenai bagaimana kehidupan
Masyarakat : bagaimana proses hubungan yang dapat menimbulkan kebahagiaan dunia dan akhirat yang dilandaskan islam yaitu melalui kemanfaatan, kasih sayang, toleransi, menghargai, menumbuhkan rasa aman dll. Selain pembinaan rasa persatuan antar kelompok umat islam baik karena latar belakang
budaya dan nilai-nilai islam sekaligus melestarikan keberadaan umat islam itu sendiri. 5.
Pembinaan hubungan dengan kelompok / intern sosial Disini baik Muslim non Muslim, islam mengajarkan hidup untuk berdampingan dengan
Saling memberi manfaat tidak saling merugikan, dalam bimbingan konseling islam manusia diakui dengan memperhatikan hak individu ,hak individu dalam batas tanggung jawab social. Pola pembinaan umat islam masa Rosul melalui : 1) mandirikan masjid. 2) mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar. 3) membuat perjanjian dengan umat non muslim. 4) meletakkan dasar-dasar sistem budaya nilai. Jadi bukan pula liberalisme. Bagi non muslim menghormati, toleransi/ menghargai sesuai dengan firman NYA yang artinya : “Hai Ahli kitab marilah berpegang teguh kepada suatu kalimat ( ketetapan ) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kacuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak ( pula ) menjadikan kita sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. “Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka; saksikanlah bahwa kami adalah orang-
21 orang yang menyerahkan diri kepada Allah”. ( Q.S. Ali imran ) dan masih pula ada hak alam ( prinsip ekosistem ) begitu pula hak manusia kepada Tuhan. Pada dasarnya kehidupan sosial islam memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain/semua pihak, nah sasarannya mengacu pada pusat perhatian pandangan konselor dan seperti halnya bimbingan konseling ini lainnya bertujuan terlepas dari problem, yang semula sudah membaik berubah kearah yang lebih baik dan selanjutnya mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat 3.2 Konsep Bimbingan Dan Konseling Konsep bimbingan jabatan lahir bersamaan dengan konsep bimbingan di Amerika Serikat pada awal abad keduapuluh, yang dilatari oleh berbagai kondisi obyektif pada waktu itu (18501900), diantaranya : (1) keadaan ekonomi; (2) keadaan sosial, seperti urbanisasi; (3) kondisi ideologis, seperti adanya kegelisahan untuk membentuk kembali dan menyebarkan pemikiran tentang kemampuan seseorang dalam rangka meningkatkan kemampuan diri dan statusnya; dan (4) perkembangan ilmu (scientific), khususnya dalam bidang ilmu psiko-fisik dan psikologi eksperimantal yang dipelopori oleh Freechner, Helmotz dan Wundt, psikometrik yang dikembangkan oleh Cattel, Binnet dan yang lainnya Atas desakan kondisi tersebut, maka muncullah gerakan bimbingan jabatan (vocational guidance) yang tersebar ke seluruh negara (Crites, 1981 dalam Bahrul Falah, 1987). Isitilah vocational guidance pertama kali dipopulerkan oleh Frank Pearson pada tahun 1908 ketika ia berhasil membentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk membantu anakanak muda dalam memperoleh pekerjaan. Pada awalnya penggunaan istilah vocational guidance lebih merujuk pada usaha membantu individu dalam memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, termasuk didalamnya berupaya mempersiapkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki suatu pekerjaan. Namun sejak tahun 1951, para ahli mengadakan perubahan pendekatan dari model okupasional (occupational) ke model karier (career). Kedua model ini memliki perbedaan yang cukup mendasar, terutama dalam landasan individu untuk memilih jabatan. Pada model okupasional lebih menekankan pada kesesuaian antara bakat dengan tuntutan dan persyaratan pekerjaan. Sedangkan pada model karier, tidak hanya sekedar memberikan penekanan tentang pilihan pekerjaan, namun mencoba pula menghubungkannya dengan konsep perkembangan dan tujuan-tujuan yang lebih jauh
22 sehingga nilai-nilai pribadi, konsep diri, rencana-rencana pribadi dan semacamnya mulai turut dipertimbangkan. Bimbingan karier tidak hanya sekedar memberikan respon kepada masalah-masalah yang muncul, akan tetapi juga membantu memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaan. Penggunaan istilah karier didalamnya terkandung makna pekerjaan dan sebatan sekaligus rangkaian kegiatan dalam mencapai tujuan hidup seseorang. Hattari (1983) menyebutkan bahwa istilah bimbingan karier mengandung konsep yang lebih luas. Bimbingan jabatan menekankan pada keputusan yang menentukan pekerjaan tertentu sedangkan bimbingan karier
menitikberatkan
pada
perencanaan
kehidupan
seseorang
dengan
mempertimbangkan keadaan dirinya dengan lingkungannya agar ia memperoleh pandangan yang lebih luas tentang pengaruh dari segala peranan positif yang layak dilaksanakannya dalam masyarakat. Perubahan isitilah dari bimbingan jabatan (vocational guidance) ke bimbingan karier mengandung konsekuensi terhadap peran dan tugas konselor dalam memberikan layanan bimbingan terhadap para siswanya. Peran dan tugas konselor tidak hanya sekedar membimbing siswa dalam menentukan pilihan-pilihan kariernya, tetapi dituntut pula untuk membimbing siswa agar dapat memahami diri dan lingkungannya dalam rangka perencanaan karier dan penetapan karier pada kehidupan masa mendatang. Dalam perkembangannya, sejalan dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dewasa ini, bimbingan karier merupakan salah satu bidang bimbingan yang telah berhasil mempelopori pemanfaatan teknologi informasi, dalam bentuk cyber counseling. Sementara itu, dalam perspektif pendidikan nasional, pentingnya bimbingan karier sudah mulai dirasakan bersamaan dengan lahirnya gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an, berawal dari kebutuhan penjurusan siswa di SMA pada waktu itu. Selanjutnya, pada tahun 1984 bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum 1984, bimbingan karier cukup terasa mendominasi dalam layanan bimbingan dan penyuluhan dan pada tahun 1994, bersamaan dengan perubahan nama bimbingan penyuluhan menjadi bimbingan dan konseling dalam Kurikulum 1994, bimbingan karier ditempatkan sebagai salah bidang bimbingan. Sampai dengan sekarang ini bimbingan karier tetap masih merupakan salah satu bidang bimbingan. Dalam konsteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, dengan diintegrasikannya Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dalam kurikulum sekolah, maka peranan bimbingan karier sungguh menjadi amat penting, khususnya dalam upaya membantu siswa
23 dalam memperoleh kecakapan vokasional (vocational skill), yang merupakan salah jenis kecakapan dalam Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education). Terkait dengan penjabaran kompetensi dan materi layanan bimbingan dan konseling di SMTA, bidang bimbingan karier diarahkan untuk : 1. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karier yang hendak dikembangkan. 2. Pemantapan orientasi dan informasi karier pada umumnya dan karier yang hendak dikembangkan pada khususnya. 3. Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilanuntuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 4. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki tamatan SMTA 5. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karier yang hendak dikembangkan. 6. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan; pelatihan diri untuk keterampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja (instansi, perusahaan, industri) sesuai denganprogram kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan. (Muslihudin, dkk, 2004) Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah,bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundangundangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual). Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilainilai yang dianut.
24 Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri. Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidahkaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabusabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex). Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang
25 perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administrative dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian. Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan asalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1). Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
26 3.3 Fungsi Pendekatan Bimbingan Dan Konseling A. FUNGSI, PRINSIP, DAN ASAS BIMBINGAN KONSELING Fungsi Pemahaman Bimbingan dan Konseling adalah : 1. Yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif. 2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah
yang mungkin terjadi dan berupaya untuk
mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex). 3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan
dalam
upaya
membantu
konseli
mencapai
tugas-tugas
perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata. 4.
Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
27 5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan. 6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli. 7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif. 8. Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif. 9.
Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
10. Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli.
28 Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah: 1. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual). 2. Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok. 3. Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang. 4. Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork. 5. Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara
29 tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan. 6. Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan. Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut. 1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin. 2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut. 3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpurapura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
30 4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya. 5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciriciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu
mengarahkan
segenap
pelayanan
bimbingan
dan
konseling
yang
diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli. 6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang. 7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu. 8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. 9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama,
31 hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah
pelayanan
atau
kegiatan
bimbingan
dan
konseling
yang
dapat
dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut. 10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling.
Keprofesionalan
guru
pembimbing
harus
terwujud
baik
dalam
penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling. 11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
B. PENDEKATAN BIMBINGAN KONSELING Pendekatan Konseling Behavioral a. Konsep Dasar Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya. Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan melali hokumhukum belajar :
32 (a) pembiasaan klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan. Tingkah laku tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Karakteristik konseling behavioral adalah : a)
berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik,
b)
memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling,
c)
mengembangkan prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan
d)
penilaian yang obyektif terhadap tujuan konseling.
b. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah 1. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negative atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. 2. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah. 3. Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat. 4. Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar c. Tujuan Konseling Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang diinginkan klien. Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam perilaku yang spesifik : 1. diinginkan oleh klien; 2. konselor mampu dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; 3. klien dapat mencapai tujuan tersebut; 4. dirumuskan secara spesifik
33 Konselor dan klien bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling. d. Deskripsi Proses Konseling Proses konseling adalah proses belajar, konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut. Konselor aktif : 1. Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak 2. Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling 3. Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya. e. Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral 1. Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien. 2. Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan. 3. Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan. 4. Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung). 5. Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
Pendekatan Konseling Gestalt a. Konsep Dasar Pendekatan konseling ini berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagian-bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu koordinasi semua bagian tersebut. Manusia aktif terdorong kearah keseluruhan dan integrasi pemikiran, pera-saan, dan tingkah lakunya Setiap individu memiliki kemampuan untuk
34 menerima tanggung jawab pribadi, memiliki dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju terbentuknya integritas atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini adalah : (1) tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya, (2) merupakan bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya itu, (3) aktor bukan reaktor, (4) berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya, (5) dapat memilih secara sadar dan bertanggung jawab, (6) mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif. Dalam hubungannya dengan perjalanan kehidupan manusia, pendekatan ini memandang bahwa tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani, oleh karena itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa sekarang. Dalam pendekatan ini, kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara saat sekarang dan kemudian”. Jika individu menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan. Dalam pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan. Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingataningatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan di bawa pada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan bertahan sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan itu. b. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah Individu bermasalah kaena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi. Perkembangan yang terganggu adalah tidak terjadi keseimbangan antara apa-apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang diinginkan (self). Terjadi pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis Ketidakmampuan individu mengintegrasikan pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya
35 Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan yang akan dating Melarikan diri dari kenyataan yang harus dihadapi Spektrum tingkah laku bermasalah pada individu meliputi : 1. Kepribadian kaku (rigid) 2. Tidak mau bebas-bertanggung jawab, ingin tetap tergantung 3. Menolak berhubungan dengan lingkungan 4. Memeliharan unfinished bussiness 5. Menolak kebutuhan diri sendiri c. Tujuan Konseling Tujuan utama konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai macam tantangan maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa klien haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan kebermaknaan hidupnya. Individu yang bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh, melainkan baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui konseling konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal. Secara lebih spesifik tujuan konseling Gestalt adalah sebagai berikut. 1. Membantu klien agar dapat memperoleh kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh. 2. Membantu klien menuju pencapaian integritas kepribadiannya 3. Mengentaskan klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to himself) 4. Meningkatkan kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut prinsipprinsip Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik. d. Deskripsi Proses Konseling Fokus utama konseling gestalt adalah terletak pada bagaimana keadaan klien sekarang serta hambatan-hambatan apa yang muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong klien untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau mencoba menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar klien mau belajar menggunakan perasaannya secara penuh. Untuk itu klien bisa diajak untuk memilih dua alternatif, ia akan
36 menolak kenyataan yang ada pada dirinya atau membuka diri untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang. Konselor
hendaknya
menghindarkan
diri
dari
pikiran-pikiran
yang
abstrak,
keinginankeinginannya untuk melakukan diagnosis, interpretasi maupun memberi nasihat. Konselor sejak awal konseling sudah mengarahkan tujuan agar klien menjadi matang dan mampu menyingkirkan hambatan-hambatn yang menyebabkan klien tidak dapat berdiri sendiri. Dalam hal ini, fungsi konselor adalah membantu klien untuk melakukan transisi dari ketergantungannya terhadap faktor luar menjadi percaya akan kekuatannya sendiri. Usaha ini dilakukan dengan menemukan dan membuka ketersesatan atau kebuntuan klien. Pada saat klien mengalami gejala kesesatan dan klien menyatakan kekalahannya terhadap lingkungan dengan cara mengungkapkan kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh, atau gila, maka tugas konselor adalah membuat perasaan klien untuk bangkit dan mau menghadapi ketersesatannya sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal. Pendekatan Konseling Rasional Emotif a. Konsep Dasar Manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negative serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional. Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep konsep kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C).
37 b. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional. Ciri-ciri berpikir irasional : 1. Tidak dapat dibuktikan; 2. Menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; 3. Menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif. Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir secara rasional : 1. Individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; 2. Individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran orang lain; 3. Orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media. Indikator keyakinan irasional : 1. Manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; 2. Banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan dihukum; 3. Kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; 4. Lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan menanganinya; 5. Penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; 6. Pengalaman masa lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang; 7. Untuk mencapai derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan
38 8. Nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu. c. Tujuan Konseling Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandanganpandangan klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif. Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa waswas, rasa marah. Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif : Pertama insight dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu. Kedua, insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya. Ketiga, insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional. Klien yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan dalam hal : 1.
Minat kepada diri sendiri,
2.
Minat sosial,
3.
Pengarahan diri,
4.
Toleransi terhadap pihak lain,
5.
Fleksibel,
6.
Menerima ketidakpastian,
7.
Komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya,
8.
Berani mengambil risiko, dan
9.
Menerima kenyataan.
39 Pendekatan Konseling Psikoanalisis a. Konsep Dasar Hakikat manusia, Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat:
Anti rasionalisme
Mendasari tindakannya dengan motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme.
Manusia secara esensial bersifat biologis, terlahir dengan dorongan-dorongan instingtif, sehingga perilaku merupakan fungsi yang di dalam ke arah dorongan tadi. Libido atau eros mendorong manusia ke arah pencarian kesenangan, sebagai lawan lawan dari Thanatos
Semua kejadian psikis ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya.
Kesadaran merupakan suatu hal yang tidak biasa dan tidak merupakan proses mental yang berciri biasa.
Pendekatan ini didasari oleh teori Freud, bahwa kepribadian seseorang mempunyai tiga unsur, yaitu id, ego, dan super ego
b. Tujuan Konseling
Menolong individu mendapatkan pengertian yang terus menerus dari pada mekanisme penyesuaian diri mereka sendiri
Membentuk kembali struktur kepribadian klien dengan jalan mengembalikan hal-hal yang tak disadari menjadi sadar kembali, dengan menitikberatkan pada pemahaman dan pengenalan pengalaman-pengalaman masa anak-anak, terutama usia 2-5 tahun, untuk ditata, disikusikan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga kepribadian klien bisa direkonstruksi lagi.
c. Deskripsi Proses Konseling 1. Fungsi konselor
Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis
Konselor bersikap anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal klien, dan bertindak sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga klien dengan mudah dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan analisis.
40 2. Langkah-langkah yang ditempuh :
Menciptakan hubungan kerja dengan klien
Tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan transferensi.
Tilikan terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya
Pengembangan reesitensi untuk pemahaman diri
Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.
Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi.
Menutup wawancara konseling
3.4 Landasan Bimbingan Dan Konseling A. Pendahuluan Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak dari suatu landasan yang kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktek, dapat semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan (klien). Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (klien) maka pemahaman dan penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak adanya. Berbagai kesalahkaprahan dan kasus malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan konseling selama ini,– seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah”, atau berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling,sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan penguasaan konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, penyelenggaraan
41 bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak dibangun di atas landasan yang seharusnya. Oleh karena itu, dalam upaya memberikan pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi para konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan konseling. B. Landasan Bimbingan dan Konseling Membicarakan tentang landasan dalam bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti landasan dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun landasan pendidikan secara umum. Landasan dalam bimbingan dan konseling pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya (klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi. Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masingmasing landasan bimbingan dan konseling tersebut: 1. Landasan Filosofis Landasan filosofis merupakan landasan yang dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai
42 aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson, Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihanpilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu. Dengan memahami hakikat manusia tersebut maka setiap upaya bimbingan dan konseling
diharapkan tidak menyimpang dari hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh manusia dengan berbagai dimensinya.
43 2. Landasan Psikologis Landasan psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling, beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang : a. Motif dan Motivasi Motif dan motivasi berkenaan dengan dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan. b. Pembawaan dan Lingkungan Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan, yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada. Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan, ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil, embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan menjadi tersia-siakan.
44 c. Perkembangan Individu Perkembangan individu berkenaan dengan proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi (pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya : (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3) Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler tentang perkembangan sosial; dan (8) Teori dari Havighurst tentang tugastugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan. d. Belajar Belajar merupakan salah satu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan, baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya. Untuk memahami tentang hal-hal yang berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
45 e. Kepribadian Hingga saat ini para ahli tampaknya masih belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif.. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhankebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan. Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
46
Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Untuk kepentingan layanan bimbingan dan konseling dan dalam upaya memahami dan
mengembangkan perilaku individu yang dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya (klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi kepribadian. 3. Landasan Sosial-Budaya Landasan sosial-budaya merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu. Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam proses pembentukan perilaku dan
47 kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dalam proses konseling akan terjadi komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a) perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi. Terkait dengan layanan bimbingan dan konseling di Indonesia, Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia. Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
48 4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Layanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan profesional yang memiliki dasardasar keilmuan, baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti: pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya. awal dicetuskannya gerakan bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam Prayitno, 2003). Bimbingan dan konseling merupakan ilmu yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti : psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat, sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai bentuk penelitian. Sejalan dengan perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya (2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi dalam melaksanakan bimbingan dan konseling. Dengan adanya landasan ilmiah dan teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu
49 mengembangkan pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian. Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia, Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal. Landasan paedagogis dalam layanan bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c) pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling. Landasan religius dalam layanan bimbingan dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual. Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual. Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling yang berlandaskan spiritual atau religi. Landasan yuridis-formal berkenaan dengan berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Indonesia.
50 3.5 Strategi Bimbingan Dan Konseling Layanan bimbingan dan konseling merupakan layanan yang diperuntukkan untuk semua individu (baik yang mempunyai masalah maupun tidak) yang sedang berkembang. Pada dasarnya layanan bimbingan dan konseling bertujuan untuk mengenal, memahami dirinya dan mengembangkan potensi yang ada dan pada akhirnya dapat mengaktualisasi-kan dirinya secara utuh. ini masih berkembang bahwa layanan bimbingan dan konseling hanya diperuntukkan pada individu yang sedang mempunyai masalah, sehingga citra (image) seorang konselor adalah tempat mengadunya individu yang bermasalah saja. Dan, jika konselor di sekolah sebutannya adalah “polisi sekolah”, padahal tugas dan wewenang konselor di sekolah bukan hanya mengurusi secara administrasi saja melainkan segala aspek dan seharusnya konselor dapat menangani. Pertanyaan berikut, jika konselor di sekolah hanya diperuntukkan untuk individu bermasalah, bagaimana individu yang sedang berkembang, apakah tidak membutuhkan bantuan atau bimbingan dari seorang konselor ? Untuk menjawab tantangan tersebut, maka para ahli dalam bidang bimbingan dan konseling telah mengusahakan agar tugas dan wewenang konselor dapat dirasakan dan dinikmati oleh banyak orang bukan hanya orang yang membutuhkan saja. Organisasi bimbingan dan konseling di Indonesia yaitu ABKIN telah mencoba untuk menjawab hal tersebut. Sehingga eksistensi seorang konselor dapat dilihat dan disejajarkan dengan profesi-profesi pada bidang yang lain. Pada masa sekarang bidang bimbingan dan konseling sudah mulai berkembang baik dari mulai memahami konsep bimbingan dan konseling, materi layanan yang akan diberikan, subyek layanan yang masih menjadi wewenang seorang konselor, strategi bimbingan dan konseling, kompetensi seorang konselor berdasarkan pada Standar Kompetensi Konselor Indonesia (SKKI) yang dibuat oleh ABKIN, dan evaluasi dari program bimbingan dan konseling maupun evaluasi untuk seorang konselor. Pada makalah ini kelompok kami mencoba untuk membahas strategi layanan bimbingan dan konseling.
51 A. Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling Muro & Kottman (1995) mengemukakan bahwa struktur program bimbingan dan konseling komprehensif dikategorikan ke dalam 4 jenis layanan, yaitu layanan dasar bimbingan, layanan responsif, layanan perencanaan individual, dan dukungan sistem. Untuk strategi layanan bimbingan dan konseling terbagi menjadi 2 yaitu : 1. Strategi layanan bimbingan yang meliputi tentang layanan dasar, layanan perencanaan individual, dan dukungan sistem. 2. Strategi layanan konseling yang meliputi tentang layanan responsif. Berikut akan dibahas tentang strategi layanan bimbingan dan konseling.
B. Strategi Layanan Bimbingan 1. Layanan dasar Layanan dasar bimbingan (Yusuf, 2005) merupakan layanan bantuan bagi individu melalui kegiatan-kegiatan yang disajikan sistematis, dalam rangka membantu individu mengembangkan potensinya secara optimal. Strategi yang dapat digunakan pada layanan dasar adalah melalui strategi klasikal dan dinamika kelompok (Juntika & Sudianto, 2005). Pada dasarnya layanan dasar ini untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar pada individu yang bersangkutan, sehingga nantinya jelas akan memenuhi tugas-tugas perkembangan setiap individu. Strategi klasikal dalam memberikan layanan dasar, seorang konselor perlu mempersiapkan apa saja yang hendak disampaikan karena diberikan secara klasikal. Hal-hal yang perlu dipersiapkan antara lain : a) Materi yang akan disampaikan disesuaikan dengan subyek yang akan diberikan layanan (TK, SD, SMP, SMA/K, PT, dan atau masyarakat umum). b) Metode atau strategi dalam menyampaikan materi layanan. c)
Waktu dalam memberikan layanan.
d) Jumlah peserta atau subyek yang akan diberikan layanan. e) Lokasi atau tempat berlangsungnya pemberian layanan. Sedangkan strategi yang berikut adalah dengan dinamika kelompok, dalam strategi ini hal yang harus diperhatikan adanya kohesivitas kelompok. Tugas dari konselor dalam strategi ini adalah memperhatikan aktivitas kelompk, apakah dalam kelompok tersebut ada anggota yang
52 tidak mau untuk diajak kerjasama antar anggota kelompok atau ada dominansi pada kelompok. Sedangkan materi layanan dalam dinamika kelompok tidak terlalu mengikat, materi bisa ditentukan oleh konselor, salah satu anggota dalam kelompok, ataupun ditentukan bersama-sama antara konselor dan semua anggota kelompok. 2. Layanan perencanaan individual Menurut Yusuf (2005) layanan perencanaan individual dapat diartikan sebagai layanan bantuan kepada individu agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahan dirinya. Perencanaan inidividual ini meliputi rencana pendidikan, karir, dan sosial pribadi sehingga rencana tersbut diharapkan dapat diimplementasikan
oleh
individu
bersangkutan
sesuai
dengan
kemampuan.
Strategi yang digunakan dalam layanan perencanaan individual adalah konsultasi dan konseling (Juntika & Sudianto, 2005). Sedangkan isi dari layanan ini meliputi bidang pendidikan, bidang karir, dan bidang sosial pribadi. Menurut Gysbers (2006), strategi dalam layanan perencanaan individual, meliputi : a. Individual appraisal, individu diminta oleh konselor untuk menginterpretasi tentang bakat, minat, keterampilan, dan prestasi yang ada dalam dirinya sendiri. b. Individual advisement, konselor meminta individu yang bersangkutan untuk mempertimbangkan tentang pendidikan, karir, sosial dan pribadi. Dan, kemudian bagaimana individu tersebut untuk merealisasikan. c. Transition planning, konselor bekerjasama dengan pihak guru yang lain membantu individu untuk membuat rencana apakah akan melanjutkan sekolah, bekerja, atau mengikuti training/kursus. d. Follow up, konselor bekerjasama dengan pihak guru yang lain menindaklanjuti dari data yang diperoleh untuk kemudian dievaluasi.
3. Dukungan system Dukungan sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkjatkan program bimbingan secara menyeluruh melalui pengembangan profesional, hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasehat, masyarakat yang lebih luas, manajemen program, penelitian dan pengembangan (Thomas Ellis, 1990, Yusuf, 2005).
53 Dukungan sistem ini merupakan komponen layanan dan kegiatan manajemen yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada individu, atau memfasilitasi kelancaran perkembangan individu. Strategi yang dapat digunakan dalam dukungan sistem ini dapat berupa, antara lain : a. Penelitian dan pengembangan, mengevaluasi dari program bimbingan dan konseling, menindaklanjuti setiap siswa, perbaikan dari tujuan program bimbingan dan konseling. b. Pengembangan profesional, meningkatkan keterampilan dan wawasan/pengetahuan dari seorang konselor. Misalnya dengan mengikuti seminar-seminar, pelatihan-pelatihan, dan pertemuan dalam organisasi profesi. c. Pengelolaan program, meliputi rencana dan mengelola kegiatan program bimbingan dan konseling yang komprehensif.
C. Strategi Layanan Konseling Pada strategi layanan konseling hanya menyangkut tentang layanan responsif. Layanan responsif merupakan layanan bantuan untuk individu yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera (Yusuf, 2005). Layanan responsif lebih bersifat preventif atau mungkin dapat juga kuratif. Strategi yang dapat digunakan adalah konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, dan referal. Sedangkan isi dari layanan ini meliputi bidang karir, bidang pendidikan, bidang sosial dan pribadi. Jadi secara garis besar secara keseluruhan dalam strategi layanan bimbingan dan konseling, menurut Gysbers (2006) dapat dilihat dalam tabel berikut. Program components & Sample activities/strategies 1. Guidance curriculum a. Classroom activities b. Schoolwide activities 2. Individual student planning a. Appraisal b. Advisement c. Transition planning d. Follow up
54 3. Responsive services a. Individual counseling b. Small-group counseling c. Consultationd. Referral 4. System support a. Research & development b. Professional development c. Staff/community public relations d. Committee/advisory boards e. Community outreach f. Program management g. Fair share responsibilit 3.6 Jenis-Jenis Layanan Bimbingan Dan Konseling Ketika membuka kegiatan pelatihan, Prof. Dr. Sunaryo, M.Pd. selaku ketua PB- ABKIN, dalam sambutannya mengatakan bahwa dalam satu tahun terakhir ini, ABKIN telah bekerja secara intensif untuk mencari formulasi terbaik tentang bagaimana seharusnya penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan belum terakomodir dengan baik. Hasil kerja keras ABKIN dalam satu tahun terakhir ini telah menghasilkan draft Naskah Akademik berupa “Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal“, yang sekarang sedang dikaji oleh pihak yang kompeten untuk dijadikan sebagai kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah Model
bimbingan
dan
konseling
yang
komprehensif
dan
berorientasi
pada
perkembangan, yang didalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling, yaitu : 1. Layanan Dasar; yakni layanan bantuan kepada peserta didik melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Tujuan layanan ini adalah untuk membantu peserta didik agar memperoleh perkembangan yang normal,
55 memiliki mental yang sehat, memperoleh keterampilan hidup, yang dapat dilakukan melalui strategi layanan klasikal dan strategi layanan kelompok. 2. Layanan Responsif; yaitu layanan bantuan bagi peserta yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera”. Tujuan layanan ini adalah membantu peserta didik agar dapat mengatasi masalah yang dialaminya yang dapat dilakukan melalui strategi layanan konsultasi, konseling individual, konseling kelompok, referal dan bimbingan teman sebaya. 3. Layanan Perencanaan Individual; yaitu bantuan kepada peserta didik agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahannya. Tujuan layanan ini adalah agar peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan, merencanakan, atau mengelola pengembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karier, dapat melakukan kegiatan atau aktivitas berdasarkan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan mengevaluasi kegiatan yang dilakukannya, yang dapat dilakukan melalui strategi penilaian individual, penasihatan individual atau kelompok. 4. Layanan dukungan sistem; yaitu kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan dan konseling di sekolah secara menyeluruh melalui pengembangan profesional; hubungan masyarakat dan staf; konsultasi dengan guru lain, staf ahli, dan masyarakat yang lebih luas; manajemen program; dan penelitian dan pengembangan. Dalam rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat beberapa jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya: 1. Layanan Orientasi; layanan yang memungkinan peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan
sekolah dan obyek-obyek
yang dipelajari, untuk
mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
56 2. Layanan Informasi; layanan yang memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman. 3. Layanan Konten; layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengantujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan. 4. Layanan Penempatan dan Penyaluran; layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. 5. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan. Layanan Konseling Perorangan; layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik apat mengentaskan masalah yang dihadapinya. 6. Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi. Layanan Bimbingan Kelompok; layanan yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahama dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamikakelompok.
57 7. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahamandan Pengembangan Layanan Konseling Kelompok; layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi. 8. Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik. 9. Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka. Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung, mencakup : 1. Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan memahami karakteristik lingkungan. 2. Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup. 3. Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagiterentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien. 4. Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui
58 kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien. 5. Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten 3.7 Pembelajaran Berbasis Bimbingan Konseling A. Pengantar Bimbingan Konseling Pendidikan adalah kunci berkesinambungannya peradaban manusia. Perhatian yang penuh terhadap peningkatan mutu pendidikan akan berefek pula terhadap semakin tingginya peradaban manusia. Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugastugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual). Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut. Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi
59 itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri. Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex). Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah
60 garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian. B. Pengertian Bimbingan dan Konseling Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mandiri
dan
berkembang
secara
optimal,
dalam
bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dalam pengertian tersebut tersimpul hal-hal pokok sebagai berikut. a. Bimbingan dan konseling merupakan pelayanan bantuan. b. Pelayanan bimbingan dan konseling dilakukan melalui kegiatan secara perorangan dan kelompok. c.
Arah kegiatan bimbingan dan konseling ialah membantu peserta didik untuk dapat
melaksanakan kehidupan sehari- hari secara mandiri dan berkembang secara optimal. d. Ada empat bidang bimbingan, yaitu bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan karir. e.
Pelayanan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui jenis-jenis layanan tertentu,
ditunjang sejumlah kegiatan pendukung. f. Pelayanan bimbingan dan konseling harus didasarkan pada norma-norma yang berlaku. Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang bersifat paedagogis,psikologis, dan religius yang terpusat pada konselor, dan berkembang kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif
61 3.8 Paradigma Bimbingan dan Konseling Profesi
Bimbingan
dan
Konseling
merupakan
keahlian pelayanan dengan
paradigma layanan bantuan yang dapat bersifat paedagogies, psikiologis dan religius/spiritual. Dengan paradigma/contoh
perubahan
pelayanan
Bimbingan
dan Konseling
mengacu
pada upaya pendidikan dengan memperhatikan faktorfaktor psikologis, dan religius/spiritual individu yang dilayani dan unsur budaya/etnis yang melatar belakangi individu sebagai peserta didik/siswa. a. Pelayanan Bimbingan dan Konseling bersifat Paedagogis Materi
pelayanan
BK
dikemas
dengan
memperhatikan perkembangan ilmu,
pengetahuan, teknologi dan seni. Dari sudut pandang paedagogis atau pendidikan, bimbingan dan konseling adalah bagian integral dari pendidikan, yaitu tujuan pendidikan adalah juga menjadi
tujuan
BK. Landasan, fungsi, prinsip-prinsip BK harus sejalan dengan konsep
pendidikan. Dari pendekatan paedagogis, siswa tidak hanya belajar melakukan melalui latihan dan belajar melalui pengajaran, juga belajar menjadi (learning to be), mengembangkan potensi diri seoptimal mungkin, dan mengembangkan diri menjadi manusia seutuhnya serta menyentuh hal-hal yang berurusan dengan (a) pengembangan hubungan interpersonal, (b) intrapersonal, (c) pengembangan motivasi, (d) komitmen, (e) daya juang, (f) kematangan/ketahanlamaan (adversity), (g) mengembangkan karir. Bimbingan dan konseling merupakan ilmu khusus, sehingga tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh para Guru Pembimbing/Konselor dan Guru Mata Pelajaran yang alih fungsi pada BK , perlu dievaluasi kembali. Sebutan
predikat
Konselor
secara
20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
eksplisit
di
merupakan
dalam Undang-Undang No. pengakuan
formal
terhadap
eksistensi profesi Konselor sebagai tenaga pendidik lainnya seperti guru (Sunaryo Kartadinata, 1996;5).
62 b. Pelayanan Bimbingan dan Konseling bersifat Psikologis Pendekatan Psikologis pada bimbingan dan konseling ialah pada bimbingan, yang dilakukan pada awal memasuk SMA/ MA, melibatkan orang tua dan seluruh guru, dan bentuk bimbingan berupa pelatihan dengan materi pengembangan dinamika kelompok, berpikir kritis dan kreatif, sedangkan pada konseling; dapat dilakukan kapan saja dengan bekerja sama dengan guru mata pelajaran, bila diperlukan kerja sama dengan pihak terkait. Pelayanan
bimbingan
dan
konseling
merupakan
proses bantuan bagi siswa dengan
memperhatikan kemungkinan dan kenyataan tentang adanya kesulitan siswa untuk mencapai perkembangan yang optimal,sehingga Guru Pembimbing/Konselor perlu memberikan bantuan kepada siswa hingga mampu memahami diri, mengarahkan diri, bertindak dan bersikap di dalam pengambilan keputusan dari pemecahan masalahnya. Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada siswa agar dapat memahami dirinya, memahami lingkungannya dalam tata kehidupan dan mengembangkan rencana dan kemampuannya untuk mengambil keputusan tentang masa depannya. c. Pelayanan Bimbingan dan Konseling bersifat Spiritual/ Religius Adanya counseling spiritual yang diprogramkan secara formal dengan dasar-dasar ilmiah pada program bimbingan dan konseling bidang kesehatan mental dan penyembuhan penyakit jiwa,
pelaksanaannya
didasari
dengan
berbagai disiplin ilmu seprti kesehatan mental,
psychotherapy, faith healing (penyembuhan melalui keimanan) dan prinsip- prinsip religio psychotherapy dijadikan pegangan dalam pendekatan keimanan. Fungsi bimbingan dan konseling sebagai fasilitator dan motivator klien dengan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri; fungsi pencegahan terhadap gangguan mental spiritual dan lingkungan yang menghambat proses
perkembangan
hidup
klien,
repressif/kuratif terhadap
penyakit
mental dan spiritual klien dengan merujuk kepada ahli (psikiater, psikolog,dsb). Kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan ekonomi yang dialami kini, berdampak terpisahnya nilai- nilai spiritual, Charlene E. Westgate (1996) menyebutkan kondisi seperti ini
sebagai
“spiritual
terhadap dimensi
wellness”
spiritual.
Pada
suatu keadaan kondisi
ini
yang
tercermin
telah
dalam
keterbukaan
mendorong kecenderungan
berkembangnya konseling yang berfundasikan spiritual atau religi. Dalam kaitan ini Stanard dkk (2000) mengusulkan agar spiritualitas ini dijadikan sebagai angkatan kelima dalam konseling dan psikoterapi. Karakteristik manusia mempunyai hubungan yang baik dengan
63 tuhan, sesama manusia dan alam, bilamana hubungan tersebut terputus dipeerlukan bimbingan konseling. Dalam proses konseling, guru pembimbing/konselor memperbaiki hubungannya dengan klien dan klien memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta. Pada dekade 2000 ini dipandang perlu adanya pendekatan kecerdasan emosi (ESQ) atau disebut pendekatan spiritual/religi dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Arah Kegiatan Bimbingan dan Konseling 1) Kegiatan bimbingan dan konseling diarahkan kepada: a. Terpenuhinya tugas-tugas perkembangan peserta didik dalam setiap tahap usia perkembangan; b. Dalam upaya mewujudkan tugas-tugas perkembangan itu, kegiatan bimbingan dan konseling mendorong peserta didik mengenal diri dan lingkungan, mengembangkan diri dan sikap positif, mengembangkan arah karir, dan masa depan; dan c. Kegiatan bimbingan dan konseling meliputi bimbingan pribadi, sosial, belajar, dan karir. 2) Pelayanan
bimbingan
di
sekolah
pengembangan berbagai kompetensi peserta
didik.
dikembangkan diagram berikut.
dan
konseling
secara konkrit diarahkan kepada Kompetensi
yang
akan
itu dirumuskan melalui langkah-langkah sebagaimana tergambar dalam
64 A. KESULITAN BELAJAR Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya. Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : a. Learning disorder b. Learning disfunction c. Underachiever d. Slow learner e. Learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut. 1. Learning Disorder/ atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai. 2. Learning Disfunction /merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
65 3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 s/d 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah. 4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama. 5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain : 1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya. 2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah. 3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan. 4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpurapura, dusta dan sebagainya. 5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya. 6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
66 Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila : 1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference). 2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever. 3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater). Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian. 1. Tujuan pendidikan Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran
67 tuntas (/mastery learning/) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar. 2. Kedudukan dalam Kelompok Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan. Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan /lower group./ Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar. 3. Perbandingan antara potensi dan prestasi Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan
68 belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever. 4. Kepribadian Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya. B. BIMBINGAN BELAJAR Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut : 1. Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni : a. Call them approach : melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan. b. Maintain good relationship : menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan
69 belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasisituasi informal lainnya. c. Developing a desire for counseling : menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya. d. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa. e. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial 2.
Identifikasi Masalah Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial material; (b) struktural fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu
instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang. 3. Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor-faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : a. Faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisikondisi psikis lainnya; dan b. Faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
70 4.
Prognosis Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus - kasus yang dihadapi.
5.
Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus) Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
6.
Evaluasi dan Follow Up Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa. Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas
Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan,
Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila: 1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi. 2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi. 3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance). 4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
71 5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya 6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional. 7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha-usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya. C. Penilaian Hasil Dan Layanan Bimbingan Konseling Penilaian ini dilakukan melalui kegiatan pengungkapan. Hasil pengungkapan itu dipakai untuk memperkirakan sejauh mana usaha tersebut mancapai tujuan yang diharapkan atau menimbulkan dampak terhadap objek yang menjadi fokus usaha yang dimaksud. Dengan penilaian ini akan diketahui apakah proses bimbingan konseling tersebut efektif dan membawa dampak positif terhadap siswa-siswa yang mendapatkan layanan bimbingan konseling. Upaya penilaian dilakukan segera di awal semester ( laiseg), ditidak lanjuti pada minggu berikutnya (laijapen), dan ditutup pada akhir semester ( laijapang ). Hasil-hasil penilaian digunakan untuk : 1. Memperkirakan upaya keberhasilan pengentasan masalahh siswa ( klien ). 2. Memperkirakan perolehan siswa ( klien ) dalam keberlanjutan perkembangannya. 3. Penyusunan laporan kepada pihak-pihak yang memerlukannya. 4. Bahan pertimbangan untuk pemberian dan pengembangan kegiatan-kegiatan bimbingan konseling dan kemampuan guru pembimbing. 5. Memperkuat akontabilitas bimbnagn konseling.
72 3.9 Dasar-dasar Pemahaman Peserta Didik Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik. Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan social yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas. Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik
mengembangkan
kemampuan
belajar
dalam
rangka
mengikuti
pendidikan
sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri. Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir. A. Fungsi Bimbingan dan Konseling bagi peserta didik Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memahami diri dan lingkungannya. Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mampu mencegah atau menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat perkembangan dirinya. Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang dialaminya. Pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memelihara dan menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif yang dimilikinya Advokasi, yaitu fungsi untuk membantu peserta didik memperoleh pembelaan atas hak dan atau kepentingannya yang kurang mendapat perhatian. B. Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling bagi peserta didik Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan yang dialami peserta didik, program pelayanan, serta tujuan dan pelaksanaan pelayanan. Asas-asas Bimbingan dan Konseling meliputi asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan, kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan, keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani. C. Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling pada peserta didik Orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.
73 Informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan. Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler. Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terumata kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Bimbingan dan Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok. Bimbingan dan Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok. Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik. Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
74
BAB IV STUDI KASUS 4.1
Diagnostik Dan Remedial Teaching (Kasus) Setiap anak didik pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai
kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa anak didik itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang anak didik dengan anak didik lainnya. Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditujukan kepada anak didik yang berkemampuan rata-rata, sehingga anak didik yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, anak didik yang berkategori "di luar rata-rata" itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbulah apa yang disebut kesulitan belajar (learning difficulty) yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja, tetapi juga dialami oleh anak didik yang berkemampuan tinggi. Selain itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh anak didik yang berkemampuan ratarata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan. Fenomena kesulitan belajar seorang anak didik biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) anak didik seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah. Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yakni: Faktor intern anak didik meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik anak didik, yakni: (a) yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi siswa; (b) yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap; (c) yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga). Faktor ekstern anak didik meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa.
75 Faktor lingkungan ini meliputi:(a) lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga; (b) lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal; (c) lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang berkualitas rendah. Selain faktor-faktor yang bersifat umum di atas, ada pula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar anak didik. Di antara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1988) yang menimbulkan kesulitan belajar itu terdiri atas: (a) disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar membaca; (b) disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis; (c) diskalkulia (dyscalculia) yakni ketidakmampuan belajar matematika. 4.1.1 Diagnosis Kasus Diagnosis kasus merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau faktor yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks proses belajar mengajar faktorfaktor yang menyebabkan kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun output belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya. Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkahlangkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai "diagnostik" kesulitan belajar.
76 Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener & Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut: Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran; Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar; Mewawancarai orang tua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar; Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa; Memberikan tes kemampuan intelegensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar. Secara umum, langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk keperluan tes IQ, guru dan orangtua anak didik dapat berhubungan dengan klinik psikologi. Dalam hal ini, yang perlu dicatat ialah apabila anak didik yang mengalami kesulitan belajar itu ber-IQ jauh di bawah normal (tuna grahita), orang tua hendaknya mengirimkan anak didik tersebut ke lembaga pendidikan khusus anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/sekolah biasa tidak menyediakan tenaga pendidik dan kemudahan belajar khusus untuk anak-anak abnormal. Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukkan misbehavior berat seperti perilaku agresif yang berpotensi antisosial atau kecanduan narkotika, harus diperlakukan secara khusus pula, umpa-manya dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan anak-anak atau ke "pesantren" khusus pecandu narkotika. 4.1.2 Remedial Teaching (Pengajaran Perbaikan) Remedial teaching atau pengajaran perbaikan adalah suatu bentuk pengajaran yang bersifat menyembuhkan atau membetulkan, atau dengan kata lain pengajaran yang membuat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dapat dikatakan pula bahwa pengajaran perbaikan itu berfungsi terapis untuk penyembuhan. Yang disembuhkan adalah beberapa hambatan / gangguan kepribadian yang berkaitan dengan kesulitan belajar sehingga dapat timbal balik dalam arti perbaikan belajar atau perbaikan pribadi. Remedial teaching berasal dari kata remedy (Bahasa
77 Inggris) yang artinya menyembuhkan. Istilah pengajaran remedial pada mulanya adalah kegiatan mengajar untuk anak luar biasa yang mengalami berbagai hambatan dalam belajar. Tapi dewasa ini pengertian itu sudah mengalami berkembang. Sehingga anak yang normal pun memerlukan pelayanan pengajaran remedial. 4.1.3 Perlunya Pengajaran Perbaikan Seperti pada uraian sebelumnya, dalam hubungannya dengan kegiatan-kegiatan proses belajar mengajar maka pengajaran perbaikan ini merupakan pelengkap dari proses pengajaran secara keseluruhan. Dengan demikian pengajaran perbaikan ini perlu dapat dilihat dari segi : Siswa Kenyataan menunjukkan bahwa setiap siswa mempunyai hasil yang berbeda-beda dalam proses belajar mengajar. Atas dasar perbedaan individual siswa inilah, guru harus menggunakan berbagai pendekatan dengan anggapan bahwa bila siswa mendapat kesempatan belajar sesuai kemampuan pribadinya diharapkan dapat mencapai prestasi belajar yang optimal sesuai dengan kemampuannya. Dan untuk membantu setiap pribadi siswa dalam mencapai hasil prestasi yang optimal, maka sebaiknya digunakan pendekatan pengajaran perbaikan. Guru Guru yang mempunyai fungsi ganda sebagai instruktur, konselor, petugas psikologi, dan sebagainya bertanggung jawab atas tercapainya tujuan pengajaran khususnya peningkatan prestasi belajar siswa. Maka dalam rangka ini, pengajaran perbaikan merupakan peluang yang besar bagi setiap siswa untuk dapat mencapai hasil prestasi belajar secara optimal.
78 Proses Pendidikan Dalam proses pendidikan, bimbingan dan penyuluhan merupakan pelengkap dari keseluruhan proses pelaksanaan program belajar. Melalui bimbingan dan penyuluhan ini diharapkan siswa dapat mencapai perkembangan pribadi yang integral. Untuk melaksanakan pelayanan bimbingan yang sebaik-baiknya dalam proses belajar-mengajar diperlukan pelayanan khusus yaitu pengajaran perbaikan. 4.1.4 Perbandingan Pengajaran Biasa dengan Pengajaran Perbaikan -
Kegiatan pengajaran biasa sebagai program belajar mengajar di kelas dan semua siswa ikut berpartisipasi. Pengajaran perbaikan diadakan setelah diketahui kesulitan belajar, kemudian diadakan pelayanan khusus.
-
Tujuan pengajaran biasa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran yang ditetapkan sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan sama untuk semua siswa. Pengajaran perbaikan tujuannnya disesuaikan dengan kesulitan belajar siswa walaupun tujuan akhirnya sama.
-
Metode dalam pengajaran biasa sama buat semua siswa, sedangkan metode dalam pengajaran perbaikan berdiferensial (sesuai dengan sifat, jenis, dan latar belakang kesulitan).
-
Pengajaran biasa dilakukan oleh guru, sedangkan pengajaran perbaikan oleh team (kerjasama).
-
Alat pengajaran perbaikan lebih bervariasi, yaitu dengan penggunaan tes diagnostik, sosiometri, dsb.
-
Pengajaran perbaikan lebih diferensial dengan pendekayan individual.
-
Pengajaran perbaikan evaluasinya disesuaikan dengan kesulitan belajar yang dialami oleh siswa.
4.1.5 Tujuan Pengajaran Perbaikan Secara umum tujuan pengajaran perbaikan tidak berbeda dengan pengajaran biasa yaitu dalam rangka mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara khusus
79 pengajaran perbaikan bertujuan agar siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat mencapai prestasi belajar yang diharapkan oleh phak sekolah melalui proses perbaikan. Secara terperinci tujuan pengajaran perbaikan, yaitu : -
Agar siswa dapat memahami dirinya, khususnya prestasi belajarnya.
-
Dapat memperbaiki / mengubah cara belajar siswa ke arah yang lebih baik.
-
Dapat memilih materi dan fasilitas belajar secara tepat.
-
Dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan yang dapat mendorong tercapainya hasil belajar yang jauh lebih baik.
-
Dapat melaksanakan tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa.
4.1.6 Fungsi Pengajaran Perbaikan Dalam keseluruhan proses belajar-mengajar, pengajaran perbaikan mempunyai fungsi : a. Korektif , artinya dalam fungsi ini pengajaran remedial dapat diadakan pembetulan atau perbaikan. b. Pemahaman, artinya dari pihak guru, siswa atau pihak lain dapat memahami siswa. c. Penyesuaian, penyesuaian pengajaran perbaikan terjadi antara siswa dengan tuntutan dalam proses belajarnya. Artinya siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuannya sehingga peluang untuk mencapai hasil terbaik lebih besar. Tuntutan disesuaikan dengan sifat, jenis, dan latar belakan kesulitan sehingga mendorong siswa untuk lebih giat belajar. d. Pengayaan, maksudnya pengajaran perbaikan itu dapat memperkaya proses belajar mengajar melalui metode pengajaran yang bervariasi. e. Akselerasi, maksudnya pengajaran perbaikan dapat mempercepat proses belajar, baik dari segi waktu maupun materi. f. Terapsutik, maksudnya secara lagsung atau tidak langsung pengajaran perbaikan dapat memperbaiki atau menyembuhkan kondisi pribadi yang menyimpang.
80 Dalam Bab ini penyusun akan mencoba membahas tentang kasus atau masalah yang sering muncul dalam dunia pendidikan dan membahas juga tentang bagaimana solusi atau alternatif untuk masalah tersebut.
Beberapa contoh kasus yang akan dibahas :
Masalah siswa malas belajar di sekolah “Sering dijumpai di sekolah guru mengatakan “siswa di sini banyak yang malas belajar” tanpa dijelaskan maksud yang sebenarnya dari pernyataan itu. Umumnya guru menambahkan “siswa di sini senang bermain, bergurau sesama temannya”, “siswa bergerombol di luar kelas sesaat setelah bel ganti pelajaran”, “siswa tidak segera masuk ke kelas setelah bel istirahat telah dibunyikan”, “diberi tugas banyak yang tidak mengerjakan”, “nilainya kurang, diberi her malah tidak mau her”, “maunya dia diberi nilai baik walau pun nilai hasil belajarnya sebenarnya tidak baik”. Sekolah mana? Sekolah di luar kota Tulungagung”. Karakteristik belajar bagi setiap siswa tidak sama, kecenderungan umumnya ada 3 yaitu auditif, visual dan kinestitik. Auditif bersifat mendengarkan, siswa baru bisa belajar dengan mendalam apabila disertai mendengarkan musik, radio maupun suara alami. Visual bersifat melihat, siswa baru bisa belajar dengan penuh perhatian apabila disertai melihat apa yang dipelajari, melihat tanaman bunga, pohon besar, pemandangan yang tak dibatasi tembok dan sebagainya. Kinestitik bersifat memegang ataupun meraba, siswa baru bisa belajar dengan penuh kesungguhan apabila disertai meraba ataupun memegang apa yang dipelajari, memegang alat dapur, alat pertukangan, alat perang dan sebagainya. Dari 3 tipe belajar ini memang sulit dipertegas peruntukannya bagi seorang siswa, setiap siswa memiliki ketiga tipe itu. Jika diurutkan prosentase kecenderungannya maka akan terjadi paling dominan, dominan dan paling tidak dominan. Jika guru mengetahui tingkat dominansi paling dominan seorang siswa belajar dengan tipe “kinestetik” misalnya, atau yang lainnya maka guru dapat menentukan strategi pembelajaran dan menciptakan media serta alat pembelajarannya yang sesuai. Guru dengan mengetahui kecenderungan tipe belajar siswa yang paling dominan kemudian memilih strategi, media, alat dan sumber belajar yang
81 sesuai akan dapat membangkitkan motivasi belajar siswa sehingga ketercapaian kompetensi siswa yang diharapkan akan dapat cepat tercapai. Siswa malas belajar tergolong perilaku manusiawi, semua mengalaminya. Tetapi malas belajar itu jika sudah terbiasa dilakukan siswa apalagi terkait dengan proses pembelajaran, akan menjadi hal yang menarik untuk diantisipasi. Manajemen sekolah pun ikut bicara dalam mengantisipasi siswa malas belajar. Guru BK menyinsingkan lengan baju membimbing siswa agar tidak malas belajar. Penyebab siswa malas belajar bisa karena intern dan eksten sekolah pada umumnya karena : waktu / jam istirahat di sekolah terlalu singkat, kurang tersedia tempat atau waktu untuk bermain, sedang punya masalah di rumah, "kacau" misal tambah warga baru, tidak suka/phobia sekolah karena mungkin saja perpustakaan sekolahnya belum menyediakan buku-buku yang memadai, sedang sakit, sedih mungkin karena baru bertengkar dengan teman baik, kehilangan buku kesayangannya dan atau memang hobbinya malas. Solusi untuk mengantisipasi siswa malas belajar dapat dilakukan oleh guru antara lain dengan: (1) menempatkan jam istirahat bagi siswa untuk keperluan siswa membuang kepenatan, masuk ruang perpustakaan untuk baca atau pinjam buku atau rekreasi sesaat 30 menit? Cukup. (2). memberikan insentif jika siswa belajar dengan baik berupa materi atau berupa penghargaan dan perhatian guru. (3) menjelaskan dengan bahasa yang dimengerti siswa, bahwa belajar itu berguna buat anak, belajar bukan sekedar supaya raportnya baik tidak merah, tapi mendorong rajin belajar, jadi pintar, bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan guru di dalam kelas bisa tambah percaya diri dalam proses belajar di dalam kelas. (4). mengajukan pertanyaan tentang mata pelajaran bukan test jika anak bisa menjawab guru menyebut kepintarannya itu sebagai “hasil belajar” sebaliknya jika anak tidak bisa, tunjukkan rasa kecewa dengan mengajak siswa membuka buku pelajaran mecari jawabannya bersama-sama.
Masalah siswa dari segi Psikis dan kesulitan belajar “Seorang siswa SMK kelas 12 sering terlambat datang ke sekolah. Nilai rapor semester yang lalu kebanyakan berada di bawah nilai rata-rata kelas dan sebentar lagi akan
82 mengikuti UAN. Dia sering berlaku kasar bila ditegur oleh teman-temannya. Oleh sebab itu, kebanyakan teman-teman sekelasnya kurang mau bergaul dengannya. Di samping kasar, dia juga sering mengucapkan kata-kata yang tidak selayaknya di ucapkan untuk anak yang berpendidikan dan menyinggung perasaan orang lain. Di rumah, siswa ini merupakan anak yang paling bungsu dari empat bersaudara. Ayahnya sering tidak ada di rumah karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Demikian pula ibunya sering berpergian. Segala urusan rumah tangga diserahkan kepada pembantu”. Solusinya : Dengan mengadakan Tes diagnostik Pada konteks ini, penulis akan mencoba menyoroti tes diagnostik kesulitan belajar yang kurang sekali diperhatikan sekolah. Lewat tes itu akan dapat diketahui letak kelemahan seorang siswa. Jika kelemahan sudah ditemukan, maka guru atau pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan guna menolong siswa tersebut. Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan karakteristik atau kesalahankesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku siswa. Tujuan tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan merumuskan rencana tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul gejala-gejala kesulitan belajar. Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah. Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang dilaksanakannya ujian akhir nasional (UAN) dengan standar nilai 5,5, boleh jadi bagi sebagian siswa sangat berat. Pihak sekolah dalam menghadapi
Salah satu antisipasinya pihak sekolah atau guru, harus memberi
perhatian khusus terhadap perbedaan kemampuan individual siswa tersebut. Perhatian yang dimaksud yakni dengan menyelenggarakan tes diagnostik. Jika tes itu dilaksanakan dengan
83 efektif dan efesien, penulis yakin permasalah perbedaan kemampan siswa akan terselesaikan dengan baik.
Bimbingan Belajar Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Identifikasi kasus Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni : 1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan. 2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasisituasi informal lainnya. 3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya. 4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa. 5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
84
1. Identifikasi Masalah Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan
(f) pendidikan dan pelajaran
(b) diri pribadi;
(g) agama, nilai dan moral
(c) hubungan sosial;
(h) hubungan muda-mudi;
(d) ekonomi dan keuangan;
(i) keadaan dan hubungan keluarga
(e) karier dan pekerjaan
(j) waktu senggang
1. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus) Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten. 2. Evaluasi dan Follow Up Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa. Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam
85 rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila: 1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi. 2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi. 3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance). 4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release). 5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya 6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional. 7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
Masalah siswa dalam penerimaan pelajaran “Dalam suatu kelas ,banyak dari siswa kesulitan belajar merasa jadi malas karena
pembelajaran yang dilakukan dirasakan monoton, tidak cepat memahami apa yang di jelaskan oleh seorang guru. Contoh di suatu STM dalam pelajaran pompa dan kompresor siswa agak kurang cepat memahami apabila hanya dijelaskan dalam papantulis saja ,sehingga memerlukan media yang dapat membantu siswa-siswa ini untuk dapat mengatasi kesulitanya dalam belajar”. Contoh penyelesaian masalah : konselor bertanya kepada siswa apa yang menjadi kesulitanya, lalu melakukan diagnosis terhadap siswa , bk memberikan pengarahan tentang bagaimana menumbuhkan semangat belajarnya, lalu kemudian bk bekerja sama dengan berbagai pihak seperti guru dan pembimbing untuk mencari solusinya ,misalnya dengan
86 membuat metode belajar yang lebih bisa dicerna oleh siswa seperti membuat penjelasan materi pompa dan kompresor dengan menambahkan media tambahan seperti animasi pompa ,video cara kerja pompa, ataupun praktek langsung. Kemudian adakan evaluasi apakah perubahan cara belajar dan metode yang belajar memberikan dampak yang positif bagi siswa atau tidak. Penyelesaian masalah berdasarkan kepada konsep dari remedial teaching, 1. Menelaah kembali siswa yang akan diberikan bantuan. Kegiatan ini dimaksudkan agar kita memperoleh gambaran berapa lama bantuan harus diberikan, kapan oleh siapa dan sebagainya. 2. Alternatif tindakan. Jika sudah mendapat gambaran lengkap. Lalu tentukan alternatif tindakan dapat berupa : a. Disuruh mengulangi bahan yang telah diberikan dengan memberikan arahan terlebih dulu. b.
Disuruh mencoba alternatif kegiatan lain yang setara dengan kegiatan belajar mengajar yang sudah ditempuhnya dan mempunyai tujuan yang sama.
c. Bila kesulitan belajar bukan karena kesulitan belajar, tapi karena faktor lain seperti sikap negatif terhadap guru, situasi belajar dan sebagainya maka siswa perlu dibimbing oleh konselor. Jika sudah mampu mengatasi masalah maka dapat diberi pengajaran remedial. 3. Evaluasi Pengajaran Remedial 4. Pada akhir kegiatan siswa diadakan evaluasi. Tujuan paling utama adalah diharapkan 75% taraf pengusaan (level of mastery). Bila ternyata belum berhasil maka dilakukan diagnosis dan memperoleh pengajaran remedial kembali. 5. Pendekatan Pengajaran Remedial a. Pendekatan pencegahan (preventif), dari hasil Pre-test sebelum memulai pengajaran, seorang guru sudah dapat mendeteksi bahwa seorang siswa mungkin akan mengalami hambatan dalam proses belajarnya. Hal ini dapat dilakukan dengan upaya mengetahui secara tepat perilaku awal siswa, menggunakan pendekatan multi media dan multi metode dalam proses belajar mengajar.
87 b. Pendekatan penyembuhan (curative), pendekatan ini diberikan kepada siswa yang sudah nyata mengalami hambatan dalam mengikuti proses belajar mengajar. Gejala yang terlihat yaitu prestasinya sangat rendah dibandingkan dengan kriteria tingkat keberhasilan yang ditetapkan. c. Pendekatan perkembangan (development), pendekatan ini menuntut guru untuk memonitor terus-menerus kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar berlangsung. Setiap ada hambatan segera dan secara terus-menerus. Sehingga dengan demikian guru senantiasa mengikuti perkembangan pada siswanya secara sistematis.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah dalam pengajaran remedial itu dimulai dari penelaahan kembali siswa yang mengalami kesulitan belajar, selanjutnya diberikan tindakan alternatif seperti mengulang belajar kembali atau alternatif lainnya sambil dicari penyebab kesulitan belajar siswa, selanjutnya diberikan evaluasi (ulangan) dengan target 75% penguasaan materi. Jika berhasil siswa kembali ke kelasnya untuk mengikuti pengajaran biasa secara klasikal, jika belum berhasil baru diadakan pengajaran remedial.
Dalam pengajaran remedial seorang guru dapat menggunakan tiga cara pendekatan yaitu pencegahan (preventif), penyembuhan (curative) dan perkembangan (development). Hal ini memerlukan kesabaran dan ketekunan guru dalam melaksanakan pengajaran remedial, mengingat dalam pengajaran ini guru dituntut untuk memperhatikan perkembangan belajar siswa secara individual. Guru harus mampu mendeteksi siapa-siap sajaa siswa yang perlu mendapat perhatian dan perlu memperoleh pengajaran remedial. Pengajaran remedial merupakan salah satu kegiatan utama dalam keseluruhan proses bimibingan belajar, dan merupakan rangkaian kegiatan lanjutan dari usaha diagnostik kesulitan belajar – mengajar. Quantum Teaching Menjadikan Kelas Menggairahkan Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas. Dalam Quantum Teaching bersandar pada konsep ‘Bawalah dunia mereka ke dunia kita,
88 dan antarkan dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajaran dengan Quantum Teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar. Dengan Quantum teaching kita dapat mengajar dengan memfungsikan kedua belahan otak kiri dan otak kanan pada fungsinya masing-masing. Penelitian di Universitas California mengungkapkan bahwa masing-masing otak tersebut mengendalikan aktivitas intelektual yang berbeda. Otak kiri menangani angka, susunan, logika, organisasi, dan hal lain yang memerlukan pemikiran rasional, beralasan dengan pertimbangan yang deduktif dan analitis. Bgian otak ini yang digunakan berpikir mengenai hal-hal yang bersifat matematis dan ilmiah. Kita dapat memfokuskan diri pada garis dan rumus, dengan mengabaikan kepelikan tentang warna dan irama. Otak kanan mengurusi masalah pemikiran yang abstrak dengan penuh imajinasi. Misalnya warna, ritme, musik, dan proses pemikiran lain yang memerlukan kreativitas, orisinalitas, daya cipta dan bakat artistik. Pemikiran otak kanan lebih santai, kurang terikat oleh parameter ilmiah dan matematis. Kita dapat melibatkan diri dengan segala rupa dan bentuk, warna-warni dan kelembutan, dan mengabaikan segala ukuran dan dimensi yang mengikat. Prinsip dari Quantum Teaching itu sendiri adalah, yaitu: 1. Segalanya berbicara, lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya menyampaikan pesan tentang belajar. 2. Segalanya bertujuan, siswa diberi tahu apa tujuan mereka mempelajari materi yang kita ajarkan. 3. Pengalaman sebelum konsep, dari pengalaman guru dan siswa diperoleh banyak konsep. 4. Akui setiap usaha, menghargai usaha siswa sekecil apa pun. 5. Jika layak dipelajari, layak pula dirayakan, kita harus memberi pujian pada siswa yang terlibat aktif pada pelajaran kita. Misalnya saja dengan memberi tepuk tangan, berkata: bagus!, baik!, dll.
Kerangka rancangan Belajar Quantum Teaching yang dikenal sebagai TANDUR
TUMBUHKAN : Tumbuh- kan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat BAgiKU “(AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar
ALAMI : Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar
89
NAMAI : Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah “masukan”
DEMONSTRASIKAN :Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk ‘menunjukkan bahwa mereka tahu”
ULANGI : Tunjukkan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan , “Aku tahu dan memang tahu ini”.
RAYAKAN : Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan
4.2
Bimbingan Pada Siswa Dengan Hambatan Berpikir Dan Fisik Motorik
A. Konsep Dasar Siswa Dengan Hambatan Kecerdasan dan Fisik Motorik. Individu dengan hambatan perkembangan motorik adalah mereka yang mengalami keterbatasan dalam 10 wilayah sfesifik dalam perilaku adaptifnya seperti : berkomunikasi, merawat diri, kehidupan di rumah, kemampuan sosial, bermasyarakat, pengendalian diri, kesehatan dan rasa aman, fungsi akademik, menentukan waktu bekerja. Mereka ini sering mudah di kenali di bandingkan dengan individu yang mengalami hambatan-hambatan lain nya. B. Identifikasi Dini Hambatan Penginderaan (sensori) dan Motorik 1) Hambatan Pada Fungsi Pengideraan (sensori) Penginderaan (sensori) adalah salah satu kemampuan untuk merasakan, mendengar, dan melihat. Sedangkan apa yang telah di rasakan, di dengar, atau di lihat melalui indera itu masuk ke dalam otak (sensori input), terintegrasi dan di olah di dalam pusat interprestasi menjadi presepsi. Apabila kita amat di sekolah, maka di temukan, pada umunya anak tunagrahita itu mengalami hambatan pada fungsi indera penglihatan (visual), meskipun anak ini pada kenyataan nya mampu melihat, sehingga berakibat mereka mangalami kesulitan untuk membedakan suatu objek dari lain nya, misal antara bentuk bulat dan oval serta bentuk-bentuk geometri lain nya yang mirip, juga kesulitan dalam mengenali abjad dari susunan huruf, suku kata, dan kata serta tidak mampu mengingat isi bacaan yang tertulis atau meaknai kata/kalimat yang telah di baca. Di samping itu juga ada yang mengalami kesulitan membaca atau dikte yang bukan di sebabkan karena mereka tidak mampu mendengar, melainkan di sebabkan karena mengalami hambatan fungsi persepsi pendengara (auditory perception).
90 2) Hambatan Pada Fungsi Gerakan (Motorik) Anak-anak tunagrahita pada umumnya a hambatan fungsi motorik, biasanya mereka mengalami kesulitan untuk megontrol gerakan dengan sempurna. Walaupun anak tunagrahita ini dapat berjalan, berlari, meloncat, dan mengerjakan aktivitas motorik lainnya, tetapi gerakangerakannya kurang terampil di bandingkan dengan anak lainnya yang seusia. Justru disinilah dapat dilihat bila seseorang anak tunagrahita mengalami hambatan pada getaran motorik halus, maka ia menjadi kurang terampil mengerakkan tangan dan jari-jarinya, misal nya ketika mengancingkan baju, menalikan sepatu, menggunting gambar, dan menulis. Demikian pula apabila seorang anak tunagrahita mengalami disfungsi pada gerakan otot-otot di sekitar mulut dan wajah, maka amak ini mangalami hambatan artikulasi yang dapat menhambat perkembangan bahasanya. 3) Hambatan Belajar Pada Anak Tunagrahita Apakah Anda ingat seorang anak tunagrahita di dalam kelas Anda yang biasanya pemalu, tidak suka berpartisipasi, tidakpernah menganggkat tangan di kelas, atau mungkin tidak bisa konsentrasi dan duduk dengan tenang dan juga tidak belajar dengan baik ? salah satu alasan untuk perilaku anak tersebut mungkin karena dia rendah diri. Anak tidak percaya diri dengan kemampuan nya. Penelitian menunjukan hubugan erat antara bagaimana anak memendang dirinya dan prestasi belajarnya. Penelitaian tersebut menemukan bahwa seorang anak yang rendah diri karena umpan balik negatif (kritikan) akhirnya tidak pernah mau mencoba lagi. Selanjutnya gagal, anak lebih baik menghindar dari tugas tersebut.
C. Bimbingan Yang Efektif Pada Anak Tunagrahita Proses belajar yang terbaik untuk semua orang adalah “Learning By Doing” yaitu belajar melalui kegiatan nyata untuk memperoleh pengalaman, inilah sebenarnya yang kita maksud dengan “ belajar aktif “ atau “pembelajaran pastisipatori “. Artinya anak mempelajari pengetahuan/keterampilan melalui berbagai kegitan dan metode pembelajaran. 1) Bimbingan Melalui Pembelajran Sensorimotor : Penglihatan (Visual). Pendengaran (auditif), Taktile (Perabaan), dan Gerak-kinestik (Motorik-kinestik) Apa yang dilakukan anak-anak ketika pertama kali masuk kelas pada pagi hari ? Mudahmudahan mereka melihat kepada Anda (proses visual), mendengarkan Anda (suara verbal, proses auditori), dan memperhatikan apa yang Anda dan orang lain lakukan (proses taktile).
91 Berarti mereka belajar melalui optimalisasi fungsi sensori (indera). Semua sensori tersebut sangat penting untuk membantu anak belajar. Bagi anak yang tunagrahita (mentall retarted), mereka belajar dengan cara yang sama dengan anak lain. Namun anak ini mengalami hambatan pemaknaan apa yang mereka dengar/lihat/rasakan/lakukan (presepsi sensori), sehingga mereka belajar pada kecepatan yang lebih lambat daripada teman lain sebaya nya. Selama bertahun-tahun, kita tahu bahwa 30% anak belajar dengan sukses melalui mendengar, 33% dengan melihat, dan 37% melalui gerakan. Ada pepatah, “Apila saya mendengar, maka saya lupa, saya melihat dan saya ingat, saya melakukan dan saya paham” beberapa anak tunagrahita mungkin mempunyai kesulitan mempresepsi ap yang dia lihat atau dia dengar dan mengalami hambatan dalam menerima input sensori yang sama seperti anak lain. 2) Bimbingan Melalui Tahapan Sensorimotor Untuk tercapai nya tujuan dari bimbingan sensorimotor dengan efektif dan efisien, maka dapat di lakukan melalui tiga tahapan bimbingan seperti berikut ini : Tahap Pertama : Nama Benda (Definisi) Pada tahao ini guru menempatkan hubungan antara benda dengan namanya, dengan cara guru menghilangkan benda-benda dengan perlahan-lahan, tetapi tetap jelas menyebutkan nama benda tersebut. Sehingga semakin jelas hubungan anatara benda, pengertian dan namanya satu sama lain. Dengan demikian nama benda akan tetap berhubungan dengan benda konkrit nya. Misalnya : ini adalah silider, ini adlah sebuah kelereng, ini adalah yang besar, ini yang kecil, ini yang berat, dan ini yang ringan. Tahap Kedua : Asosiasi, reproduksi (tahap mencamkan konsep dalam ingatan). Pada tahap kedua ini merupakan tahp latihan, dimana anak posif menggukan kata-kata. Tetapi aktif bertindak atau melakukan sesuatu. Guru menyebut nama sebuah benda dan anak meghubungkan bendanya yanga sesuai, lalu benda yang di maksud du beri kepada guru, lalu meletakakannya di tempat tertentu atau membawanya ke tempat semula. Pada tahap ini anak harus dilatih dengan intensif melalui beberapa dialog seperti dengan permitaan yang bervariasi. Misalnya : membawa benda itu, letakakan kembalii pada tempatnya, tunjukkan, carikan, ambilkan saya dan sebagainya. Supaya anak mengerti konsep benda dengan meyakinkan, maka penyajian banda membutuhkan waktu yang cukup lama.
92 Tahap Ketiga : Abstraksi (anak aktif menggunakan kata-kata) Pada tahap ini, dimulai dengan guru menunjukan suatu benda dengan menanyakan nama benda tesebut. Kemudian anak menjawab dengan menyebut nama bendanya. Dengan demikian dapt dibuktikan, bahwa anak yang semula pasif dalam bebicara menjadi lebih aktif berbicara misalnya: Guru : “Apakah ini?” (menunjukan benda berbentuk kubus) Anak : menjawab “kubus” Guru : “bagaimana ukurannya?” (besar atau kecil, yang ditunjukan besar) Anak : menjawab “kubus” itu besar Jadi pada tahap ketiga anak harus mampu menyebutkan sendiri nama benda dan menunjukan bendanya. Apabila pada tahap ini anak tunagrahita masih mengalami kessulitan, maka dapat dikembalikan pada tahap kedua atau kesatu. 3) Materi Bimbingan Pembelajaran Sensorimotor Materi bimbingan pembelajaran sensorimotor dapat di klasifikasikan sebagai berikut : a. Bimbingan Pembelajaran Sensori Penglihatan Materi pembelajaran yang dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan anak tunagrahita dalam mengenal ukuran benda dua dimensi dan tiga dimensi (panjang, lebar, dan isi atau volume). Di samping itu juga meningkatkan pemahaman anak terhadap warna dasar, campuran, dan urutan tingkatan warna. b. Bimbingan Pembelajaran Sensori Perabaan Dengan melatih perabaan anak tunagrahita, maka keterampiilan dan kepekaan anak dalam mengenal dan membedakan permukaan benda yang kasar dan halus, tingkatan kualitas perabaan serta bermacam-macam sruktur permukaan benda akan meningkat. c. Bimbingan Pembelajaran Sensori Pendengaran Latihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan anak tunagrahita dalam membedakan bunyi dan nada serta kualitas nada atau bunyi. d. Bimbingan Pembelajaran Sensori Terhadap Berat Dengan latihan ini, maka keterampilan anak tunagrahita meningkatakan dalam membedakan berat benda padat, cair dan gas.
93 e. Bimbingan Pembelajaran Sensori Terhadap panas Dengan latihan ini, maka keterampilan dan kepekaan anak tunagrahita akan meningkat, terutama dalam membedakan temperature atau suhu benda dalam lingkungan alam. f. Bimbingan Pembelajaran Sensori Penciuman Pembelajaran sensori penciuman ini di maksudkan untuk meningkatkan kepekaan anak terhadap perbedaan baud an kualitas bau dari suatu benda. g. Bimbingan Pembelajaran Sensori Rasa Materi ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan anak dalam membedakan jenis-jenis rasa dan kualitas dari suatu benda. Semua materi pelajaran tersebut dapat di pelajari oleh anak tunagrahita dengan menggunakan bahan atau materi yang ada di sekitar anak atau yang di buat dan di rancang oleh guru sendiri.
4) Berbagai Cara Bimbingan Sensorimotor Pada Anak Tunagrahita Kita tahu cara bekajar yang baik antara lain melalui membaca dan mencatat, visualisasi, gerakan tubuh (tari, olahraga atau bermain musik). Sebagian anak senang berkerja atau memecahkan soal secara individual, sedangkan anak yang lain nya, beriteraksi dengan yang lain untuk menemukan jalan keluar, jadi anak belajar dengan berbagai cara, belajar aktif dan partisipasi bias menggunakan banyak cara untuk membantu anak belajar.
94 BAB V PENUTUP 5.1
Kesimpulan Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mandiri
dan
berkembang
secara
optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku. Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual). Fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif. 5.2
Saran Bimbingan Konseling adalah pelayanan bantuan yang diperuntukan bagi semua kalangan baik tua, muda, wanita ataupun pria. Bahkan baik bagi yang mempunyai masalah ataupun tidak. Semua ini diperlukan oleh manusia agar peradaban manusia itu sendiri dapat diwariskan pada penerusnya sehingga peradaban manusia dapat terus terjaga.
95 DAFTAR PUSTAKA
AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi). Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press. BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas. Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.