Belum Ada Judul.docx

  • Uploaded by: khoirunnisa dwi indriyani
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Belum Ada Judul.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 928
  • Pages: 3
Sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati antara pemerintah daerah banyumas dengan warga Desa Kaliori, per tanggal 1 Januari 2019 TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Kaliori resmi ditutup. Dengan luas lahan sekitar 4,5 ha TPA Kaliori sendiri menampung sampah hampir dari seluruh wilayah yang ada di kabupaten Banyumas pasca penutupan TPA di Gunung Tugel tahun 2016 lalu. Dampak yang ditimbulkan dari adanya TPA tersebut sangat beragam, mulai dari pencemaran lingkungan seperti udara dan air, terganggunya status kesehatan warga setempat, serta beberapa warga yang mengalami kerugian akibat terkena dampak dari adanya TPA tersebut. Darsini, salah satu warga yang bertempat tinggal di bawah TPA Kaliori turut merasakan dampaknya yaitu pencemaran air. Ia menuturkan air sumurnya terlihat berwarna kekuningan sehingga tidak dapat dikonsumsi. Akibatnya, Darsini selalu membeli air galon untuk dikonsumsi sehari-hari. Sedangkan air untuk mandi, Darsini terpaksa memakai air sumur yang sudah tercemar. Selain itu, Darsini juga turut merasakan kerugian yang diakibatkan limbah TPA kaliori. “Dulu saya bekerja sebagai petani, setahun bisa panen sawah seperti padi, kacang dan tanaman lainnya. Penghasilan kurang lebih 10 juta tiap panen. Akan tetapi, sejak pencemaran masuk ke lahan persawahan, sawah saya tidak bisa panen sama sekali.” Tuturnya. Saat ini, Darsini beralih profesi menjadi pembantu rumah tangga di Kalibagor. Profesi ini ia tekuni sejak 5 tahun yang lalu. Darsini pun menuturkan bahwa, pemerintah mengganti kerugiaan lahan tiap 1 hektar diganti dengan uang sebesar 6 juta. Sedangkan Darsini hanya mendapat ganti rugi sebesar 4 juta, ganti rugi tersebut diberikan sekitar 5 tahun yang lalu. Setelah itu tidak ada penggantian rugi lagi dari pemerintah. selain Darsini, Tumini, salah satu warga yang bertempat tinggal di dekat TPA (kurang lebih 50 meter) pun turut merasakan dampak dari pencemaran ini. Ia menuturkan bahwa 3 rumah tetangga sebelumnya telah digusur dan diganti dengan sejumlah uang yang nominalnya dibawah satu juta per ubinnya. Namun, Tumini sendiri enggan untuk pindah rumah. Menurutnya, ganti rugi yang dijanjikan pemerintah tidak sebanding dengan kerugiannya. Sama halnya dengan Darsini, sejak dulu Tumini memang bekerja sebagai petani pun merasa dirugikan karena sawahya

ikut tercemar oleh air limbah sampah . “Dulu bisa menanam sawah padi tapi sekarang hanya ditanami kacang-kacangan dan palawija.” Tuturnya. Namun sampai saat ini Tumini tetap memilih menekuni pekerjaannya sebagai petani karena menurutnya tidak ada pilihan lain. Selain itu, Afna dan Arfan, dua balita kakak beradik yang turut merasakan dampak dari adanya TPA di kaliori. 11 bulan yang lalu, tepatnya ketika mereka berusia 8 bulan, mereka harus dirawat di rumah sakit karena didiagnosa mengidap penyakit bronkhitis dokter. “Awalnya muncul biang keringat sudah diberi obat beli di apotik namun tak kunjung sembuh, batuk yang berkepanjangan, serta demam tinggi lalu akhirnya saya bawa ke rumah sakit.” Ungkap Endang Setyawati selaku ibu dari afnan dan arfan. Akibat sakit yang dirasakan oleh kedua anaknya, endang pun mau tidak mau harus pindah rumah, karena dokter menyarankan agar kedua anaknya tidak mencium baubau yang tidak sedap terlebih dahulu. Sama dengan warga lainnya Endang pun mengatakan bahwa bau dari sampah sangat menganggu indra penciuman anak-anaknya. Menurutnya dahulu saat pembuangan sampah masih normal, bau yang ditimbulkan tidak terlalu menyengat, berbeda dengan sekarang. Dengan adanya bau tidak sedap seperti itu, lalat-lalat pun banyak bermunculan. Selain itu, Endang menuturkan jika hujan air akan meluap sampai ke depan rumah. Endang pun mengeluhkan tidak adanya pengecekan kesehatan secara berkala dari pemerintah. Walaupun demikian, Endang menuturkan bahwa air sumurnya tidak ikut tercemar oleh sampah sehingga masih dapat dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Warno, Muslim, dan Turs (warga lainnya) sangat menyayangkan karena IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) pada TPA tidak diperhatikan. Sehingga IPAL yang seharusnya menampung air rembesan sampah tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena tertimbun oleh sampah. Ketiganya juga sepakat mengatakan bahwa dampak yang paling dirasakan oleh warga sekitar yaitu adanya bau yang menyengat akibat timbunan sampah tersebut. Apalagi jika setelah hujan atau ada angin lewat, pasti baunya akan sangat terasa. Namun setelah truk yang membuang sampah dibatasi dari 70 truk per hari

menjadi 15 truk per hari, bau yang ditimbulkan akibat sampah sudah mulai berkurang.

Kemudian, mereka juga mengatakan bahwa sudah pernah dilakukan hitunghitungan antara pemerintah dengan warga yang mengalami kerugian akibat adanya TPA. “Ganti rugi tersebut sudah terlaksana, namun tidak merata ke semua warga yang terdampak. Sawah para petani tidak bisa ditanami selama 5 tahun terakhir. Selama itu beberapa warga tidak memiliki mata pencaharian.” Ungkap salah satu dari mereka. Fitria Nurrahmawati Muhlisoh, salah satu demisioner Lingkar Kajian Banyumas (LKB) yang sempat melakukan riset penelitian pada tahun 2018 lalu, mengatakan bahwa awalnya ada sosialisasi dari PEMDA, sosialisasi tersebut berisi tentang pengolahan sampah dengan menggunakan metode sanitary landfil (menimbun/meng-urug), namun pada implementasinya, metode pembuangan yang digunakan ialah open dumping (dengan cara dibuang begitu saja). Selain itu, ia juga mengatakan bahwa untuk fasilitas yang ada di TPA kaliori sebetulnya sudah cukup bagus seperti rumah kompos, kolam lindi,IPAL, alat biogas yang dapat digunakan untuk mengolah sampah menjadi bahan bakar, namun ia menyayangkan alat-alat tersebut tidak termanfaatkan dengan baik seperti tertimbunnya kolam lindi dna IPAL yang ada. Menurutnya penggunaan fasilitasfailitas tersebut pun tidka efektif, hanya berjalan saat awal-awal saja. Dari pihak DLH (Dinas Lingkungan Hidup) pun membenarkan, jika kolam lindi dan IPAL yang ada sempat tertimbun sampah, sehingga tidak bekerja sebagaimana mestinya. Namun kepala DLH ngengatakan jika kolam lindi dan IPAL tersebut sudah hilang terbawa bencana. Saat ini sudah diganti dengan yang baru, dengan anggaran 800 juta untuk kolam lindi dan 200 juta untuk IPALnya. Dari pihak DLH juga membenarkan bahwa sudah ada ganti rugi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga terdampak. “terdapat 19 warga disana yang meminta bantuan social karena sawahnya mengalami gagal panen dan tidak dapat ditanami lagi, katanya tercemar air limbah sampah. Dari kami bantuan tersebut sudah diberikan.” Ujar …….. selaku kepala DLH.

Related Documents

Belum Ada Judul.docx
May 2020 13
Belum Ada Judul
November 2019 27
Belum Ada Judul.docx
December 2019 13
Belum Ada Judul.docx
December 2019 15
Ada
November 2019 53

More Documents from ""

Hernia.docx
December 2019 11
Belum Ada Judul.docx
December 2019 15
Bab Ix Muhammadiyah.docx
December 2019 22
Lembar Balik Gastritis.pptx
December 2019 12