Begitu Hidupmu, Begitu Matimu Keasyikan yang sangat, itulah perasaan saya ketika punya anak pertama. Saking asyiknya, saya hampir lupa kalau ia sudah layak masuk TK dan ketika ingat, hari penutupan sudah tiba. Dengan tergopoh-gopoh saya mendatangi sekolah, sebuah sekolah yang selama ini saya bayangkan akan menjadi sekolah anak-anak saya. Secara emosional, saya merasa dekat dengan sekolah ini karena setiap hari melewatinya. Saya menyukai halamannya yang luas, suasananya yang hidup dan bentuk gedungnya yang berwibawa. Begitulah mestinya suasana sebuah sekolah, pikir saya. Tapi sekolah ini membuat saya kecewa. Bukan cuma oleh penolakannya yang angkuh, tapi lebih pada tawarannya yang tak pernah saya duga. Bahwa katanya, saya masih bisa memperoleh formulir pendaftaran secara diam-diam, asal mau membayar biaya ekstra. Saya memilih pulang dan patah hati. Saya lalu membayangkan wajah anak saya yang tampangnya memang sudah memelas itu, dengan rasa iba. Bagaimana mungkin saya membiarkan anak yang polos itu dididik oleh sekolah yang doyan suap. Hidup saya sendiri sudah bergelimang dosa. Jalan satu-satunya untuk mengurangi dosa ini ialah mencegah agar anak tidak mengalami kesesatan yang sama. Begitulah pelajaran yang saya tarik dari novel-novel mafia. Bahkan penjahat paling ganas pun ingin agar sang anak tidak meniru cara hidup bapaknya. Tapi konsekuensi dari penolakan atas tawaran ini sungguh tidak ringan. Anak saya harus sekolah, dan sekolah yang masih membuka diri tinggal satu-satunya, sekolah yang sebetulnya sangat ingin saya singkiri karena kemahalan tarifnya. Saya terperangkap dalam sikap iba dan ngeri yang kedua kali. Iba pada nasib saya sendiri dan ngeri pada jenis pendikan yang boros ini. Jika keputusan akhirnya tetap dijatuhkan, bukan karena kekuatan ekonomi saya, tapi lebih pada bisikan gaib saja: daripada murah tapi menyuap, mending mahal tapi legal, begitu sang gaib berkata. Ilustrasi ini saya ceritakan bukan karena ada keinginan untuk menjadi suci. Tidak, ini ilustrasi orang yang sedang takut saja. Dari awal saya percaya karma. Karma itu bukan klenik tapi matematika alam saja. Bahwa bau keringatmu tergantung jenis makananmu. Jika engkau ada di tempat ber AC maka engkau akan pipis melulu dan jika kebanyakan makan sambal, pasti berisiko terserang sembelit. Itu adalah hukum-hukum yang nyata belaka. Jelas, tidak butuh sekolah tinggi untuk mengerti dan tidak perlu menjadi orang suci untuk bisa mempercayai. Jenis akibat selalu tergantung pada jenis sebab. Cara mendapatkan, sejalan dengan cara kehilangan, karenanya cara hidup, akan menentukan cara mati. Maka saya sering memilih menyerah pada hukum yang jelas itu. Bukan karena ingin menjadi mulia, tapi karena terlalu berbahaya untuk menentangnya. Lagipula penyerahan terhadap hukum itu akan membuat hidup jadi praktis. Dalam melihat mutu seorang pemimpin pun, pandangan ini menjadi efesien. Tidak perlu susah-susah menyeleksinya lewat debat publik, membentuk pansus, membuat komisi pemantau kekayaan segala. Pokoknya jika ada calon pemimpin yang ngotot menawar-nawarkan diri, orang ini pasti lebih kuat keinginannya katimbang kualitas kepemimpinannya. Pemimpin yang menjadi pemimpin karena memaksa, ia pasti cuma ingin berkuasa, tidak benar-benar ingin menjadi pemimpin. Seorang penguasa memang bisa saja jadi pemimpin, tapi sebetulnya, kekuasaanlah yang menjadi cita-citanya, bukan demi perbaikan mutu hidup yang dipimpin dan mutu wilayahnya.
Karena telah jelas apa maunya, maka pemimpin semacam ini bisa menggunakan cara apa saja unutk berkuasa. Bisa menggunakan uang dan berani pula mengumbar kebohongan. Jika uang menjadi landasannya, maka wajar jika kekuasaan akan segera menjadi barang dagangan. Modal tak cuma harus dikembalikan tapi harus disertai keuntungan. Jika mencari untung adalah pijakannya, maka semua elemen kekuasaan akan dilihatnya sebagai sumber pemasukan. Jika bohong sudah menjadi kebiasaannya, maka tak ada bedanya pemimpin ini dengan seorang penipu. Di tangan seorang penipu, tak sulit membayangkan apa jadinya sebuah keadaan. Hukum sebab-akibat, matematika alam dan rumus-rumus kenyataan ini begitu sederhana, tapi masih saja banyak pihak yang belum percaya. Buktinya selalu ada saja pemimpin yang salah jurusan, yang merasa mampu, dan malah berani mematungkan dirinya sendiri untuk kemudian cuma dirobohkan dan diludahi. (PrieGS/)