Batubara Kaltim 06

  • Uploaded by: setia wirawan
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Batubara Kaltim 06 as PDF for free.

More details

  • Words: 1,646
  • Pages: 6
Mendulang ‘Emas Hitam’ di Bumi Etam (6)

Mozaik Usaha Penambangan Batubara di Kaltim Otonomi daerah yang telah diterapkan sejak tahun 2000 secara factual telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat Kaltim. Anggaran pembangunan yang terus menggelembung setiap tahunnya secara positif mampu mempercepat pertembuhan ekonomi masyarakat yang secara parallel diikuti dengan meningkatnya daya beli masyarakat. Pertumbuhan disegala bidang terjadi secara konstan sejak otda diterapkan, tak terkecuali di bisnis batubara. Restrukturisasi dan regulasi dibidang kewenangan pemerintah daerah memungkinkan pengusaha-pengusaha local berlomba-lomba ‘bermain’ di bisnis tambang batubara. Tak heran bila kemudian pemilik konsesi di Kaltim menjamur, “layaknya cendawan di musim hujan”. Lahirnya pengusahapengusaha tambang dadakan memang pada akhirnya memunculkan peluang bisnis yang ‘saling menguntungkan’ antar pemilik akses perijinan dengan pemilik modal. Pada tataran ini, opsi Take Over menjadi primadona dimana terjadi peralihan saham 100 persen. Pemilik konsesi merasa diuntungkan bisa menikmati dana instan dalam jumlah besar tanpa perlu bekerja keras, sementara investor sendiri sangat terbantu dimana tidak perlu repot-repot mengurus perijinan. Bagi investor yang tidak memiliki ‘klik’ di pemerintahan daerah, mengurus ijin kuasa pertambangan sama dengan mencari jarum di padang jerami. Akibatnya, banyak investor mencari jalan pintas melalui take over. Dalam perkembangannya kemudian terjadi iklim yang tidak sehat yang dirasakan oleh perusahaan-perusahaan yang telah melakukan take over. Umumnya ini terkait dengan masalah social kemasyarakat dan masalah data-data tehnis yang kerap terjadi manipulasi. Biaya besar proses TO ternyata tidak menjamin perusahaan akan lebih efisien dari sisi biaya. Secara tehnis tetap harus dilakukan due dilligen legalitas tambang dan cadangan/deposit. Dan biaya untuk itu, setara dengan ekplorasi awal. Pendeknya, TO merupakan biaya tinggi karena hanya membeli 3 lembar kertas dengan nilai/harga yang fantastic, sementara proses TO sendiri tidak saja memakan waktu yang cukup lama, juga menyerap dana yang tidak

sedikit. Proses uji deposit (cross cek bor) sebagai salah satu proses TO setara proses ekplorasi. Hal lain yang menjadi titik lemah TO adalah putusnya benang merah antara pemilik konsesi lama dengan pemilik konsesi baru. Padahal umumnya pemilik konsesi lama memiliki keterikatan emosional yang kuat dengan areal konsesi. Sehingga ketika TO terlaksana, masalah-masalah sosial kemasyarakat terkait dengan kepemilikan lahan dan lainnya mulai menyeruak. Terlebih lagi bila pelaku TO adalah bukan pengusaha local atau tidak memiliki hubungan emosional yang baik dengan masyarakat disekitar konsesi. Masalah akan menjadi lebih pelik ketika pemilik lama justru ikut maramaikan suasana bukan menjadi pemadam kebakaran ketika terjadi gesekan sosial antara perusahaan dengan masyarakat Dari sisi pengusaha local (pemilik konsesi) proses Take Over sejatinya sangat tidak menguntungkan. Proses TO tak lebih dari cara instan memperoleh pendanaan dengan cepat dan besar. Untuk kepentingan jangka pendek TO jelas sangat menguntungkan. Sedangkan untuk jangka panjang TO bukan merupakan solusi yang menguntungkan bagi pengusaha local/pribumi/daerah. Dengan TO, transfer tehnologi, pengetahuan dan managemen tambang tidak berjalan. Dampaknya sangat kasat mata terlihat dan bisa dirasakan. Meski belum ada data kuantitatif hasil dari survey yang credible, namun untuk mengindentifikasikan kondisi factual pengusaha daerah yang sukses dunia tambang Kaltim sangat mudah. Setidaknya, dari puluhan perusahaan tambang yang eksis di bumi etam ini (KALTIM) hampir semuanya atau hanya sedikit sekali yang dioperatori oleh pengusaha local. Padahal, sejak era otoda, sangat sedikit pengusaha luar Kaltim yang diberikan ‘Kuasa Penambangan (KP)’. Pengusaha daerah/pemilik konsesi cukup puas diposisikan sebagai penonton (TO) atau diposisikan sebagai anak manis yang kerjanya hanya melakukan pengamanan tambang atau pebebasan lahan saja dan mengurusi legalitas saja. Bila dilihat dari sisi macro ekonomi maka kondisi tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan nafas otonomi itu sendiri. Dimana pengusaha daerah tidak menjadi actor utama dalam industri tambang di Kaltim. Kemudian bila ditelisik lebih dalam lagi, bukan mustahil akan terungkap fakta, bahwa kontribusi sector tambang pada pertumbuhan ekonomi Kaltim tidak sebanding dengan dampak ekologis yang ditimbulkan. Sebab salah

satu konsekwensi logis dari minimnya pengusaha local menjadi actor utama (operator) tambang adalah terjadinya disparasi yang cukup signifikan atas sirkulasi dana dari sector tambang di masyarakat Kaltim. Sebagian besar dana Kaltim dari sector tambang akan ‘diangkut’ ke Jakarta atau daerah lainnya di luar Kaltim. Sinergi pengusaha daerah dan investor yang pijakannya bukan sibiosis mutualisme (TO dan JO) pada akhirnya menjadi lebih banyak sisi negatifnya, dimana kemudian keduabelah pihak berusaha mencari celah untuk dengan cepat dan instan mencari keuntungan sendiri. Tak heran bila kemudian banyak konsesi kuasa penambangan yang tidak bisa melakukan aktivitas penambangan akibat lebih banyak mengurusi sengketa internal ketimbangan melakukan penambangan. Proses TO pada ujungnya cukup banyak “memukul’ pengusaha-pengusaha (investor) baik asing maupun pengusaha nasional (luar Kaltim). Hal ini lebih disebabkan karena factor ketidakjujuran yang dilakukan pemilik konsesi maupun investor itu sendiri. Namun apapun bentuknya bila terjadi miss maka investorlah yang paling besar mengalami kerugian. Banyaknya investor yang ‘Terkapar’ oleh TO, secara perlahan tapi pasti mengakibatkan terjadinya pergeseran pola kerja sama antara pemilik konsesi dan pemodal. Tidak sedikit, perusahaan-perusahaan yang awalnya sangat mengemari TO berbalik menghindari TO, kondisi ini kemudian melahirkan konsep kerjasama Joint Operation dimana pemilik konsesi dilibatkan secara langsung, utamanya untuk proses legalitas, pengamanan tambang dan pembebasan lahan. Saat ini, prosentase antara TO dan JO mulai terbalik prosentasenya. Kalau sebelumnya prosentase TO lebih besar dari JO, kini JO justru lebih dominan ketimbang TO. Bergesernya proses kerjasama antara pemilik konsesi dan pemilik modal secara factual ternyata belum mampu menjadi media yang ampuh sebagai jembatan ideal yang mampu melahirkan sinergi positif sehingga penambangan bisa berjalan lancar dan menguntungkan bagi keduabelah pihak. Buktinya, cukup banyak tambang potensial yang di JO, tetap tidak bisa beroperasi optimal.

Kondisi Terbalik Indonesia merupakan salah satu Negara terdepan dan terpenting di dunia untuk sector tambang. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah,

khususnya untuk sector mining, menempatkan posisi strategis Indonesia di kancah Internasional. Tak berlebihan bila kemudian, Indonesia merupakan leader player global mining sector pertambangan. Betapa tidak, sejak awal tahun 2000, dari hasil penelitia Price Waterhause Coopers yang dipaparkan dalam ‘Mining in Indonesia: Investment and Taxation Guide’ , Indonesia menempati posisi pertama untuk produsen tin (timah), berada pada urutan ketiga, setelah China dan Australia untuk batubara, urutan keempat sebagai penghasil terbesar tembaga (copper), setelah Canada, Chili dan Amerika Serikat. Urutan kelima penghasil nikel terbesar di dunia dan untuk mineral Emas, Indonesia menempati posisi ke tujuh terbesar di dunia. Dari hasil penelitian yang dilakukan baik oleh intitusi nasional maupun asing, hasilnya sama bahwa potensi mineral Indonesia, termasuk batubara sangat besar. Potensi yang besar akan menjadi daya guna tinggi bila dibarengi dengan regulasi yang mendukung untuk itu. Dan pemerintah dengan UU perimbangan keuangan pusat dan daerah melalui bagi hasil migas dan usaha penambangan umum, kemudian UU no 22 tahun 1999 pelimpahan kewenangan

dari

pusat

ke

daerah

sebenarnya

telah

memberikan

kesempatan yang luas pada daerah untuk mengoptimalkan pendapatannya. UU no 22/1999 tidak menyebutkan bahwa masalah perdagangan merupakan persoalan nasional, seperti halnya dengan masalah moneter dan fiskal. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan perdagangan bukan lagi menjadi wewenang pusat melainkan wewenang daerah. Hal ini juga dapat diartikan bahwa daerah (propinsi atau kabupaten/kota) dapat menerapkan kebijakan yang mempengaruhi perdagangan antar daerah, bahkan antar Negara.

Batubara sudah sejak lama digunakan, terutama untuk kegiatan produksi pada industri semen dan pembangkit listrik. Batubara sebagai energi alternatif mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga dapat menggantikan peran bahan bakar minyak (BBM) dalam kegiatan produksi untuk industri tersebut. Apalagi beberapa tahun terakhir ini harga BBM terus mengalami kenaikan dan hal ini sangat dirasakan dampaknya terutama dalam hal kebutuhanya sebagai sumber nergi bagi berbagai aktivitas

perekonomian dunia. Lihat table kenaikan harga BBM dari tahun 1980-2008, dibawah ini:O.EM TERHITUNG MULAI

HARGA BBM (Rp/liter)

TANGGAL MIN YAK

O.

MI NY AK

BE NSI N

TAN AH

SO LA R

PR EM IU M

KETERANGAN

1

1 Mei 1980

37.5

52.5

150

Keppres

2

11 Juli 1991

220

300

550

Keppres

3

8 Januari 1993

280

380

700

Keppres

4

5 Mei 1998

350

600

1,20 0

Keppres

5

1 Oktober 2000

350

600

1,15 0

Keppres 135/2000

6

16 Juni 2001

400

900

1,45 0

Keppres 73/2001

7

17 Januari 2002

600

1,15 0

1,55 0

Keppres 9/2002

8

2 Januari 2003

700

1,89 0

1,81 0

Keppres 90/2002

9

1 Maret 2005

700

2,10 0

2,40 0

Perpres 22/2005

10

1 Oktober 2005

2,000

4,30 0

4,50 0

Perpres 55/2005

11

24 Mei 2008

2,500

5,50 0

6,00 0

Permen ESDM No. 16/2008

Sumber : Bagian Hukum & Humas BPH Migas Sebagai salah satu suber alternatif energi dunia, batu bara akan semakin berperan dalam waktu-waktu mendatang. Sampai saat ini saja, batu bara telah berperan sebesar 40% dari penyediaan kebutuhan listrik di seluruh dunia sebagai sumber energi. Bahkan di Negara lain nilai tersebut jauh lebih tinggi. Di Polandia misalnya, menggunakan batu bara lebih dari 94% untuk pembangkit listrik; Afrika Selatan 92%; Cina 77%; dan Australia 76%. Batu bara merupakan sumber energi yang mengalami pertumbuhan yang paling cepat di dunia di tahun-tahun belakangan ini – lebih cepat daripada gas, minyak, nuklir, air dan sumber daya pengganti.

Usaha penambangan batubara merupakan satu dari sepuluh jenis usaha yang mampu memberikan return investasi yang cepat. Batubara merupakan sumber energi yang akan terus dikonsumsi produsen penghasil bahan kebutuhan manusia Saat ini, kondisi batubara di Kaltim bisa dibilang sedang mengalami paradoksal (Khususnya untuk skala 5000 Ha kebawah). Disatu sisi, harga terus merosot yang mengakibatkan usaha penambangan batubara ‘sekarat’. Disisi lain, banyaknya investor dalam dan luar negeri yang berkeinginan melakukan take over justru semakin meningkat. Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar? Apakah kondisi aktual yang sedang terjadi merupakan dampak dari krisis global atau memang diciptakan oleh pengusaha dengan capital besar yang muaranya adalah mendapatkan konsesi dengan biaya murah. Terbukti, kondisi ‘sekarat’ para pemegang kuasa penambangan (KP) kemudian dimanfaat dengan baik oleh para pemilik modal dari Jakarta atau asing untuk melakukan take over perusahaan. Sejumlah pemilik KP bahkan rela dibayar dengan harga 1-2 milyar hanya untuk menghindari kerugian yang lebih besar lagi. Padahal sebelumnya, kerjasama penambangan dengan sistim take over sangat dihindari para investor. Memang agak mengherankan, ketika ‘katanya’ permintaan batubara menurun, justru pemintaan akan take over Kuasa Penambangan meningkat drastic. Logika sederha yang terus menjadi pertanyaan adalah kalau benar kondisi usaha penambangan batubara ‘sekarat’ yang ditandai dengan menurunnya perminataan si emas hitam. Kenapa justru trend take over (TO) semakin meningkat tajam?. setia Wirawan

Related Documents


More Documents from "setia wirawan"