Mendulang ‘Emas Hitam’ di Bumi Etam (5)
Tidak Cukup Modal ‘Kolusi dan Nepotisme’ Mengoperasionalkan tambang, secara sederhana bisa dianalogikan sebuah seni memimpin orchestra, dimana keragaman alat musik dan banyaknya pemain musik dituntut untuk menciptakan harmonisasi nada yang selalu berpijak pada keseimbangan (equilibrium) nada dan ritme. Satu orang (alat musik) keluar dari kerangka yang telah disusun oleh dirijen maka keseimbangan itu akan menjadi tidak terjaga, akibatnya harmonisasi menjadi terganggu dan suara/nada yang dihasilkan menjadi tidak bermakna dan kurang nyaman dinikmati telinga. Pasca otonomi daerah, selain menggelembungnya pundi-pundi daerah melalui dana bagi hasil migas dan perimbangan keuangan pusat daerah (APBD). Dan regulasi peraturan yang ditandai dengan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah, sejumlah pengusaha local yang dekat dengan kekuasaan kecipratan rejeki dengan dibukanya peluang pengusaha local untuk salah satunya ikut di dalam usaha pertambangan umum, khususunya batubara. Padahal sebelumnya, usaha penambangan batubara merupakan bisnis yang ‘tidak bisa’ disetuntuh pengusaha daerah. Maka sejak tahun 2000, usaha penambangan batubara di Kaltim diwarnai dengan bermunculannya perusahaan-perusahaan tambang local. Dari sisi pertumbuhan pengusaha local yang terlibat dalam usaha penambangan Kaltim kondisi ini jelas sangat menguntungkan dan kondusif. Fakta bahwa kedekatan dengan pejabat, posisi sebagai orang daerah bahkan mungkin berkolusi dengan pejabat teras di TK II, merupakan shortcut (jalan pintas) untuk mendapatkan perijinan yang mulus bak jalan tol memang tak bisa terbantahkan lagi. Dan pada tataran tertentu itu cukup menguntungkan bagi bangkitnya pengusaha-pengusaha local. Namun realitas bisnis nampaknya sangat tidak bersahabat bagi orang daerah yang tidak siap menjadi pebisnis batubara sesungguhnya. Pengetahuan, tehnologi dan modal serta pengelolaan (manajemen) merupakan syarat mutlak dalam menjalankan usaha penambangan. Belum lagi terkait dengan perpajakan yang cukup pelik dan cukup banyak itemitemnya. Dengan kata lain, setelah perijinan diperoleh, seharusnya
pengusaha-pengusaha local membekali diri dengan kemampuan pengelolaan (manajemen) tambang yang baik, sehingga ketika benar-benar menjalankan usaha pertambangannya mampu eksis sejajar dengan perusahaanperusahaan lainnya. Namun yang terjadi sebaliknya, sangat sedikit orentasi para pemegang KP (Kuasa Penambangan) yang benar-benar berniat menjalankan usaha penambangan. Mungkin karena membayangkan, usaha pertambangan batubara memerlukan dana besar, tehnologi tinggi dan padat keahlian, maka para pemegang KP memilih untuk mendapatkan uang cepat dan cukup besar di depan dan cara cepat yang banyak ditempuh adalah dengan proses take over (menjual seluruh atau sebagian besar sahamnya ke pihak lain). Memang proses take over merupakan jalan pintas mendapatkan dana segar. Namun kalau ditelaah lebih jauh, maka kemungkinan adanya alih tehnologi atau transfer pengetahuan pengelolaan perusahaan batubara tidak terwujud. Dan bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh perusahaan-perusahaan yang melakukan take over maka dana yang diterima oleh para pemegang KP nilainya tidak sebanding. Padahal berdasarkan pengalaman empiric menjalankan tambang, kami i berkeyakinan, modal utama bisnis tambang adalah keyakinan, kejujuran dan komitmen. Disamping tentu saja termasuk didalamnya manajemen yang kokoh dan leadership yang mampu menjadi motivator dan pengalaman serta memiliki intuisi untuk selalu bisa mencari jalan keluar terhadap masalah2 yang muncul. Bukti empiric menunjukkan hanya perusahaan-perusahaan yang menerapkan manajemen yang kuat, sistim yang mapan dan kepemimpinan yang harmonis , eksis dan profitable yang bertahan menghadapi kerasnya dunia tambang. Harus diakui, ada beberapa perusahaan local yang menjalankan tambang dengan nekad. Dimana, dengan kekuatan modal sendiri mencoba menjalankan tambangnya. Hasilnya, lebih banyak yang ‘hangus’ ketimbang mampu menjalankan tambang dengan sehat. Penyebabnya bukan karena persaingan keras tetapi lebih pada kesalahan mendasar dalam memandang karakter bisnis usaha penambangan. Sehingga yang terjadi adalah tergerusnya modal. Modal seberapa pun akan habis bila usaha penambangan tidak dilakukan dengan cermat, terukur dan direncanakan dari awal. Bisnis tambang merupakan sebuah bisnis yang satu sama lain saling terkait dan semua unit bisnis harus berjalan seirama, selaras dan memiliki kesamaan tujuan dalam masing-masing unit kerjanya. Jadi untuk
bisa menjalankan usaha penambangan yang sehat, tidak cukup modal KKN dan modal nekad. Dengan maraknya TO dan JO (pemilik KP hanya bertugas pada pengamanan tambang dan pembebesan lahan, bahkan cukup banyak yang hanya duduk manis saja), Tranfer tehnologi dan transfer manajemen tambang, yang merupakan salah satu tujuan dan harapan pemerintah daerah ketika KP diberikan dan diprioritaskan pada pengusaha local, tidak terwujud. Pemerintah daerah sangat berkepentingan dengan adanya transfer tehnologi dan transfer pengetahuan (manajemen), Terlebih lagi, secara statistic sangat dipahami oleh para pejabat local, bahwa bisnis tambang merupakan bisnis masa depan Kaltim, setelah era migas. Lihat table dibawah ini:
NERACA PERDAGANGAN PROPINSI KALIMANTAN TIMUR (Nilai : US$)
URAIAN TOTAL PERDAGANGAN
2007
2008
JAN-MEI 2009
20.923.075.865
22.682.924.328
8.240.166.446
MIGAS NON MIGAS
15.230.850.837
15.134.567.364
4.413.190.128
5.692.225.028
7.548.356.964
3.826.976.318
EKSPOR MIGAS NON MIGAS
16.662.736.811 11.805.896.329
17.450.075.622 11.657.223.118
6.574.749.646 3.372.094.044
4.856.840.482
5.792.852.504
3.202.655.602
4.260.339.054
5.232.848.706
1.665.416.800
3.424.954.508 835.384.546 12.402.397.757 8.380.941.821 4.021.455.936
3.477.344.246 1.755.504.460 12.217.226.916 8.179.878.872 4.037.348.044
1.041.096.084 624.320.716 4.909.332.846 2.330.997.960 2.578.334.886
IMPOR MIGAS NON MIGAS NERACA PERDAGANGAN MIGAS NON MIGAS
Dari data diatas terlihat bahwa setiap tahun ketergantungan pada sector migas secara alamiah semakin berkurang menyusul cadangan deposit migas yang juga mulai berkurang. Sebaliknya ekspor komoditas non migas, termasuk di dalamnya ekspor batubara terus mengalami peningkatan yang cukup berarti. Deposit perdagangan Kaltim (neraca perdagangan) tidak terjadi karena komoditas migas masih memberikan kontribusi yang besar pada pendapatan Kaltim, meskipun mengalami penurunan dari tahun ketahun. Penurunan peran Migas dalam PDRB Kaltim yang berdampak langsung pada bagi hasil migas, sebagai salah satu incame dalam APBD Kaltim, tentu harus diwaspadai dengan hati-hati. Dan harus diimbangi dengan semakin besarnya peran non migas, seperti batubara misalnya. Pada tahun 2007, peran migas pada PDRB Kaltim hampir 75 persen. Ini artinya, APBD Kaltim dan seluruh pemerintah TK II se Kaltim 75 persen berasal dari sector migas. Untuk tahun 2008, kontribusi migas pada PDRB Kaltim masih dominan meskipun tergerus hingga tinggal 50 persen saja. Penurunan kontribusi migas diprediksi akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Permasalahannya, penurunan kontribusi sector Migas Kaltim akan langsung berpengaruh pada anggaran pembangunan Kaltim. Dan salah satu cara agar penurunan kontribusi migas tidak berdampak langsung pada anggaran pembangunan Kaltim maka sector non migas harus bisa pacu untuk bisa meneruskan estapet, sebagai contributor utama pada PDRB Kaltim. Dan peluang untuk itu sangat terbuka lebar. Kekayaan deposit batubara Kalti, seperti dari hasil menyelidikan geologis kementeriaan ESDM yang dituangkan dalam ‘Key Indicator Of Indonesia Energy and Mineral Resources 2008’ total sumber daya batubara nasional adalah 104,76 milyar ton. Jumlah tersebut tersebar di 6 propinsi yakni, Kalimantan, Sumatra, Papua, Jawa, Maluku dan Sulawesi. Propinsi terbesar yang memiliki sumber daya batubara adalah Sumatra yang mencapai 50,1 persen dari total sumber daya batubara dan Kalimantan tercatat memiliki 51,96 milyar ton Atau 49,6 persen dari total sumber daya batubara nasional. setia wirawan/bersambung)