Mendulang ‘Emas Hitam’ di Bumi Etam (3) Pengusaha Kaltim ‘Berguguran’, Market Jadi Kambing Hitam ‘Krisis global yang dipicu oleh krisis yang terjadi di Amerika Serikat memberikan dampak langsung pada perekonomian Indonesia, khususnya terkait dengan permintaan batubara dari luar negeri. Kondisi ini diperparah lagi dengan lesunya daya serap pasar domestic yang menurun drastic setelah diterpa krisis global’ kalimat tersebut merupakan hipotesa sejumlah pengusaha batubara di Kaltim, atas phenomena yang sedang terjadi dalam satu tahun belakangan ini. “Jangankah mencari buyer (pembeli), mencari broker sekarang ini susah sekali,” kata salah seorang pengusaha tambang yang berdomisili di Samarinda. Hipatesa tersebut bisa jadi ada benarnya. Sulit mengingkari bahwa hampir dalam setiap sendi kehidupan perekonomian Indonesia, dan umumnya Negara-negara berkembang tidak akan terlepas dari pengaruh kondisi ekonomi Amerika Serikat. Sebagai pengkonsumsi sumber energy terbesar di dunia, apapun yang terjadi di Negara adi daya akan secara langsung berpengaruh ke Negara-negera lain. Meski demikian ada fenomena yang cukup menarik yang terjadi di sejumlah perusahaan batubara di Kaltim bahkan di nusantara ini. Ternyata cukup banyak yang justru mengalami kondisi sebaliknya. Dimana mereka tetap eksis, malahan terus meningkatkan kapasitas produksinya. Gejala ini tentu mengisyaratkan ada sesatu yang salah yang menerpa sejumlah pengusaha batubara Kaltim. Prospek market batubara baik domestic maupun internasional dalam kurun waktu 5 – 25 tahun kedepan diyakini akan terus membaik. Selain karena batubara merupakan sumber energy yang memiliki cadangan besar, secara ekonomis penggunaan batubara untuk keperluan industry realtif lebih murah dibandingkan dengan sumber energy lainnya, seperti BBM. Bahkan dari sisi lingkungan, penggunaan batubara dinilai lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM. Konversi penggunaan sumber energy di sejumlah Negara-negara industry mengakibatkan permintaan batubara setiap tahunnya meningkat dengan pesat. Menurut Jeffrey Mulyono, Ketua Asosiasi Batubara Indonesia (APBI). Diperkirakan kebutuhan batubara dunia akan terus bertambah. Sebab, beberapa negara seperti Jepang, India, Taiwan, Korea Selatan, dan Hong Kong membutuhkan bahan baku energi cukup besar. Negara-negara itu tidak punya sumber alam yang cukup. Kemudian, seiring pembangunan proyek listrik tenaga uap (PLTU), kebutuhan batubara domestik juga meningkat. Menurut perhitungan APBI, saat proyek PLTU sudah selesai pada 2010, konsumsi batubara domestik akan mencapai 90 juta ton. Ini berarti
ada peningkatan 40 juta ton dibandingkan kebutuhan saat ini. "Tingginya harga BBM juga mendorong industri mengkonversi sumber energinya. Konsumsi batubara domestik pun bertambah," papar Jeffrey. Data APBI menyebutkan, hingga akhir 2007, total produksi batubara nasional naik 7,5% jadi 207,5 juta ton dibandingkan 2006 dengan hampir 70% dieskpor ke pasar dunia seperti Jepang, Korea Selatan, dan China. Kebutuhan dunia akan batubara diperkirakan berlanjut hingga 2010. Saat ini, beberapa pemain lokal pemasok utama batubara seperti Adaro Indonesia memproduksi 36 juta ton, Berau Coal 12 juta ton, Kaltim Prima Coal 39 juta ton, Kideco Jaya Agung 20 juta ton, Arutmin Indonesia 15 juta ton, dan PTBA 8,5 juta ton. Pada 2008, APBI memperkirakan produksi batubara bertambah 20 juta ton jadi 230-235 juta ton. Selain dipengaruhi permintaan pasar global, beberapa produsen berniat meningkatkan produksi mereka. Prediksi ketidakseimbangan antara permintaan dan cadangan akan diikuti kenaikan harga batubara dunia. Hal ini diyakini akan membuat keuntungan emiten berbasis tambang batubara meningkat. Misalkan saja saham PT Indo Tambang Megahraya (ITMG). Tahun ini, mereka menargetkan penjualan naik 55% jadi US$ 1,17 miliar. Selain membubungnya harga batubara yang diperkirakan ITMG akan mencapai rata-rata US$ 60 juta ton, juga karena peningkatan produksi menjadi 19,5 Juta ton dari 17,7 juta ton sebelumnya. Salah satu caranya adalah ITMG mengakuisisi tambang di Kalimantan Timur senilai US$ 50 juta. PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) juga menunjukkan tren RSI yang meningkat, yaitu 63,65. Selain itu, MACD juga menunjukkan saham PTBA masih berada di daerah beli. Resistance level pada Rp 11.900 dan support pada Rp 10.750. Kapasitas produksi PTBA juga akan meningkat menyusul pembangunan jalur transportasi batubara. PTBA akan bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) membentuk Joint Venture Company (JVC) dalam upaya membangun infrastruktur angkutan batubara senilai US$ 1,73 miliar. Sementara itu, Jepang masih mengandalkan impor batu bara dari Indonesia. Bahkan dalam beberapa tahun belakangan volumenya mengalami peningkatan yang tajam. Selain akibat ketidakstabilan pasokan dari China, impor batu bara dari Indonesia ke Jepang lebih menguntungkan dari sisi angkutan laut dibanding dengan batu bara dari Australia. "Konsumen batu bara di Jepang telah mengalihkan impor ke Indonesia," ujar General Manager Business Development, Energy & Mineral Resources Sojitz Corporation, Eiichiro Makino, dalam makalahnya, seperti dikutip dari situs ESDM, di Jakarta, Sabtu (6/6/2009) Berdasarkan data yang disampaikan Eiichiro, hingga 2008, impor batu bara Jepang dari Indonesia sekitar 30 persen dari kebutuhan negeri ini.
Peningkatan kontribusi batu bara Indonesia di Jepang terjadi mulai 2003 yaitu sekira 22 persen. Sejak itu setiap tahunnya, batu bara Indonesia terus meningkat perannya untuk memenuhi kebutuhan Jepang. Sebelumnya, dari 2000-2002, peran batu bara Indonesia di Jepang stabil di kisaran 14 persen. Adapun kebutuhan Jepang akan batu bara, menurut Eiichiro, masih terus meningkat. Jika di 2009 kebutuhan batu bara Jepang diprediksi sebesar 60 juta metrik ton, maka di 2015 akan menjadi 120 juta metrik ton. Kebutuhan sebesar itu baik untuk industri maupun pembangkit listrik. Peningkatan impor batu bara sub-bituminous dari Indonesia dalam beberapa tahun belakangan dan di masa mendatang adalah untuk memenuhi Kebutuhan pembangkit listrik di Jepang. Pemanfaatan batu bara sub-bituminous (kualitas menengah), menurut Eiichiro, memiliki prospek yang baik terutama dari sisi harga yang tergolong kompetitif dalam beberapa tahun mendatang. Hanya saja, di sisi lain ada tantangan lingkungan hidup antara penanganan abu maupun harus meminimalkan emisi gas SOx dan NOx. Kendati teknologi pemanfaatan batu bara Low Rank semakin berkembang, konsumen Jepang masih membatasi untuk memilih batu bara kualitas menengah dari Indonesia. Dari paparan diatas, nampak jelas bahwa pasar global dan nasional pada tahun-tahun mendatang justru menunjukkan semakin bergairah. Setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan berbarengan dengan semakin banyaknya Negara-negara yang melakukan konversi dari BBM ke batubara sebagai sumber energinya. Kondisi sebaliknya menerpa para pengusaha batuara Kaltim dengan skala menengah ke bawah (konsesi dibawah 5.000 ha), dimana mereka umumnya mengeluhkan kurangnya pasar merespon hasil produksi mereka. Penurunan produksi dan pengurangan karyawan nampaknya bukan jalan tengah terhadap permasalahan yang melilit pengusaha batubara local.
Data Ekspor Terakhir: Mei 2009 Tahun Ekspor (Ton) 2009 44,971,468.85 2008 140,354,525.69 2007 140,048,706.98 2006 129,123,676.61 2005 105,818,439.51 2004 93,292,374.71 2003 84,017,493.63 Table ekpor batubara yang diterbitkan oleh kementerian ESDM, seperti nampak diatas menunjukkan bahwa setiap tahun ekspor batubara dari Indonesia ke luar negeri terus mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan pasar internasinal masih bergairah. Lantas kenapa di Kaltim, para pengusaha batubara justru mengeluh soal market? Bila ditelisik lebih jauh, untuk bisa bertahan menghadapi persaingan keras usaha penambangan batubara ternyata tidak cukup hanya bisa berproduksi. Berproduksi bila biaya produksi tinggi sementara harga batubara terus merosot yang terjadi tentu saja mudah ditebak, perlahan tapi pasti perusahaan akan gulung tikar. Oleh karenanya membangun usaha penambangan yang berorentasi pada efisiensi pekerjaan dan efisiensi biaya merupakan syarat utama untuk tetap bisa bersaing menghadapi berbagai permasalahan yang melilit dunia batubara, khususnya di Kaltim.
Pertanyaannya bagaimana profit bisa tercapai bila kondisi pasar batubara terus seperti sekarang ini? Penyiasatan yang paling jitu adalah dengan melakukan penambangan yang diarahkan untuk menghasilkan profit maksimal. Meski badai krisis masih terasa peluang tersebut tetap masih terbuka lebar. Dari sisi market, perubahan strategi meski dilakukan. Setidaknya bila sebelumnya produksi dulu baru cari market maka pola tersebut harus dirubah menjadi market dulu baru produksi. Dan sebenarnya kunci efisiensi tidaklah sulit tetapi sangat banyak pelaku usaha yang tidak menyadarinya. Pertama yang harus dilakukan adalah mengenal pekerjaan yang akan dilakukan. Kemudian mengindentifikasi potensial lost yang akan menyebabkan profit tergerus.Indentifikasi potensial lost yang diketahui sejak awal melakukan kegiatan usaha akan berpengaruh langsung pada pendapatan (profit) perusahaan. Sebab, sesungguhnya profit maksimal tidak akan datang dengan sendirinya. Profit maksimal harus dirancang dari awal kegiatan dan dimulai dari indentifikasi potensial lost (potensi kerugian). Potensial lost dalam semua usaha tidak bisa dihindari tetapi mengindentifikasi potensial lost dan ‘me-manage potensial lost’ menjadi sebuah kekuatan besar yang akan dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan perencanaan kerja yang berbasic pada kemampuan modal, SDM dan Kontrol akan melahirkan efisiensi yang secara otomatis profit maksimal sebagai ‘stasiun terakhir’ dari kegiatan usaha penambangan dengan sendiri akan menghampiri. Dalam banyak kasus, harus diakui cukup banyak usaha penambangan di Kaltim yang hanya mengandalkan naluri semata. Bahkan masih ada pengusaha tambang yang memiliki persepsi keliru terhadap usaha penambangan yang sedang dijalaninya. Dengan demikian, pertanyaannya adalah apakah pasar batubara sedang lesu atau pengusaha local yang tidak mampu beradaptasi dengan adanya perubahan trend pasar batubara global dan nasional. (setia Wirawan/bersambung)