A. GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH Gambaran umum kondisi Kabupaten Banyuwangi secara sistematis bahasan diurutkan berdasarkan sub bab aspek geografi dan demografi 1. Aspek Geografi dan Demografi Kabupaten Banyuwangi memiliki luas wilayah 5.782,50 km2. Banyuwangi masih merupakan daerah kawasan hutan karena besaran wilayah yang termasuk kawasan hutan lebih banyak kalau dibandingkan kawasankawasan lainnya. Area kawasan hutan mencapai 183.396,34 ha atau sekitar 31,62%; daerah persawahan sekitar 66.152 ha atau 11,44%; perkebunan dengan luas sekitar 82.143,63 ha atau 14,21%; sedangkan yang dimanfaatkan sebagai daerah permukiman mencapai luas sekitar 127.454,22 ha atau 22,04%. Sisanya telah dipergunakan oleh penduduk Kabupaten Banyuwangi dengan berbagai manfaat yang ada, seperti jalan, ladang dan lain-lainnya.Selain penggunaan luas daerah yang demikian itu, Kabupaten Banyuwangi memiliki panjang garis pantai sekitar 175,8 km, serta jumlah Pulau ada 13 buah. Seluruh wilayah tersebut telah memberikan manfaat besar bagi kemajuan ekonomi penduduk Kabupaten Banyuwangi. Secara geografis Kabupaten Banyuwangi terletak di ujung timur Pulau Jawa. Wilayah daratannya terdiri atas dataran tinggi berupa pegunungan yang merupakan daerah penghasil produk perkebunan; dan dataran rendah dengan berbagai potensi produk hasil pertanian serta daerah sekitar garis pantai yang membujur dari arah utara ke selatan yang merupakan daerah penghasil berbagai biota laut. Batas wilayah Kabupaten Banyuwangi sebelah utara adalah Kabupaten Situbondo, sebelah timur adalah Selat Bali, sebelah selatan adalah Samudera Indonesia dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso. Berdasarkan garis batas koordinatnya, posisi Kabupaten Banyuwangi terletak di antara 70 43’ - 80 46’ Lintang Selatan dan 1130 53’ – 1140 38’ Bujur Timur. Diagram : Luas Kabupaten Banyuwangi Dibedakan Menurut Penggunaannya
Topografi wilayah daratan Kabupaten Banyuwangi bagian barat dan utara pada umumnya merupakan pegunungan, dan bagian selatan sebagian besar merupakan dataran rendah. Tingkat kemiringan rata-rata pada wilayah bagian barat dan utara 400, dengan rata-rata curah hujan lebih tinggi bila dibanding dengan bagian wilayah lainnya. Daratan yang datar sebagian besar mempunyai tingkat kemiringan kurang dari 150, dengan rata-rata curah hujan cukup memadai sehingga bisa menambah tingkat kesuburan tanah. Hutan (31,62 %) Sawah (11,44 %) Lain-lain (17,59 %) Ladang (2,80 %) Perkebunan (14,21 %) Permukiman (22,04 %) Tambak (0,31 %) Dataran rendah yang terbentang luas dari selatan hingga utara dimana di dalamnya terdapat banyak sungai yang selalu mengalir di sepanjang tahun. Di Kabupaten Banyuwangi tercatat 35 DAS, sehingga disamping dapat mengairi hamparan sawah yang sangat luas juga berpengaruh positif terhadap tingkat kesuburan tanah. Gambar Peta Administrasi Kabupaten Banyuwangi
Berdasarkan data statistik, potensi lahan pertanian di Kabupaten Banyuwangi berada dalam peringkat ketiga setelah Kabupaten Malang dan Jember. Tidaklah mengherankan kalau Kabupaten Banyuwangi menjadi salah satu lumbung pangan di Provinsi Jawa Timur.
Disamping potensi di bidang pertanian, Kabupaten Banyuwangi merupakan daerah produksi tanaman perkebunan dan kehutanan, serta memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai daerah penghasil ternak yang merupakan sumber pertumbuhan baru perekonomian rakyat. Dengan bentangan pantai yang cukup panjang, dalam perspektif ke depan, pengembangan sumberdaya kelautan dapat dilakukan dengan berbagai upaya intensifikasi dan diversifikasi pengelolaan kawasan pantai dan wilayah perairan laut.
B. APLIKASI TEORI VAN THUNEN Sebenarnya pusat pemerintahan di Kabupaten Banyumas yaitu di Desa Sudagaran, Kecamatan ini berada di tepian Sungai Serayu. Sedangkan Desa Sambirejo Kecamatan Bangorejo lebih bersifat sebagai daerah yang memproduksi hasil komoditas pertanian atau perkebunan. Hasil komoditas yang masih berupa barang mentah dari Sambirejo diekspor ke Surabaya kemudian diolah menjadi barang jadi yang kemudian dibeli dari Surabaya. Hasil komoditas pertanian di Sambirejo berupa padi buah naga, sedangkan kebutuhan sehari-hari seperti gula, telur, elpiji, minyak goreng, hingga daging sapi dibeli oleh masyarakat Sambirejo dari hasil panennya sendiri. Misalnya, buah naga dari Sambirejo kemudian dijual di Sambirejo yang kemudian dibeli lagi oleh masyarakat Sambirejo untuk kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Sambirejo menjual hasil bumi ke kota lain karena pasar yang lebih menjanjikan, misalnya untuk buah naga, di Sambirejo menawarkan harga sekitar Rp 7000 – Rp 10000 per kg tandan buah segar (TBS). Hal tersebut menyebabkan aktivitas Sambirejo lebih tinggi bila dibandingkan dengan desa atau kota lain di Jawa Timur. Adanya aksesibilitas yang tinggi ke Surabaya, maka produk buah naga yang ada di Surabaya didominasi oleh produk buah naga dari Sambirejo. Sangat sedikit sekali masyarakat Sambirejo yang mengambil barang jadi dari kota atau desa lain karena mereka menjual hasil pertanian/perkebunan ke kota atau desa lain. Bahkan kebanyakan masyarakat Sambirejo menikmati hasil pertanian dari daerahnya sendiri. Menurut teori Von Thunen (Djojodipuro,1992:149), lokasi pertanian akan berkembang pada pola tertentu tergantung pada tujuh asumsi: 1. Terdapat suatu daerah terpencil yang terdiri atas daerah perkotaan dengan daerah pedalamannya dan merupakan satu-satunya daerah pemasok kebutuhan pokok yang merupakan komoditi pertanian. 2. Daerah perkotaan tersebut merupakan daerah penjualan kelebihan produksi daerah pedalaman dan tidak menerima penjualan hasil pertanian dari daerah lain. 3. Daerah pedalaman tidak menjual kelebihan produksinya ke daerah lain kecuali ke daerah perkotaan. 4. Daerah pedalaman merupakan daerah berciri sama (homogenous) dan cocok untuk tanaman dan peternakan dalam menengah 5. Daerah pedalaman dihuni oleh petani yang berusaha untuk memperoleh keuntungan maksimum dan mampu untuk menyesuaikan hasil tanaman dan peternakannya dengan permintaan yang terdapat di daerah perkotaan 6. Satu-satunya angkutan yang terdapat pada waktu itu adalah angkutan darat. 7. Biaya angkutan ditanggung oleh petani dan besarnya sebanding dengan jarak yang ditempuh. Petani mengangkut semua hasil dalam bentuk segar.
Dengan asumsi tersebut maka daerah lokasi berbagai jenis pertanian akan berkembang dalam bentuk lingkaran tidak beraturan yang mengelilingi daerah pertanian. Pada teori tersebut masih bisa berlaku di Sambirejo, dimana beberapa asumsi dari teori von thunen membentuk guna lahan di Sambirejo. Pada asumsi pertama, Sambirejo merupakan daerah terpencil karena sulit untuk mengakses kota-kota besar di Jawa Timur, sedangkan potensi sumberdaya alam Sambirejo bisa untuk memenuhi daerahnya dan daerah lainnya. Akan tetapi, potensi tersebut justru untuk memenuhi kebutuhan negara tetangga. Pada asumsi kedua, sudah sesuai dengan kondisi di Sambirejo, dimana Sambirejo tidak menerima penjualan pertanian dari daerah lain, akan tetapi Sambirejo hanya menerima penjualan barang-barang yang telah diolah dan menjual hasil pertaniannya ke daerah perkotaan yaitu ke Surabaya, seperti pada asumsi ketiga. Sedangkan asumsi ke empat juga sesuai karena Sambirejo datarannya homogen. Sebagian besar masyarakat Sambirejo bekerja sebagai petani seperti pada asumsi kelima, dan petani berusaha mencari keuntungan dari hasil pertanian yang dijual ke Surabaya. Pada asumsi keenam, angkutan darat untuk mengangkut hasil komoditas. Pada asumsi ke tujuh, biaya ditanggung oleh petani, tetapi sudah dimasukkan dalam biaya penjualan.
Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya teori Von Thunen masih bisa diaplikasikan di Sambirejo sebagai daerah yang terpencil. Masyarakat Sambirejo tidak menjual hasil pertaniannya negara lainnya yang jaraknya cukup jauh. Apabila dilakukan penjualan pada jarak yang jauh, maka keuntungan yang diperoleh juga sedikit, sedangkan pada jarak dengan pasar yang dekat, dalam hal ini adalah Sambirejo, maka akan memperoleh keuntungan yang besar. Misalnya saja diterapkan harga komoditas sesuai jarak tempuh transportasi, maka semakin jauh lokasi pemasaran maka akan semakin mahal juga harga jualnya, sedangkan belum tentu daerah pemasaran yang dituju akan membeli dengan harga yang tinggi tersebut. Bahwa pedagang kelapa sawit di Sambirejo lebih memilih menjual hasil perkebunannya di Surabaya karena memperoleh hasil jual Rp 7000 – Rp 10000 per kg tandan buah segar (TBS). Dalam jarak yang dekat pedagang Sebatik sudah memperoleh harga jual yang lebih tinggi daripada menjual dagangan pada jarak yang jauh. Oleh karena itu, bila ingin meningkatkan pemasaran hasil komoditas di Sebatik, maka perlu perbaikan prasarana transportasi/jaringan jalan antara penyedia bahan baku dengan pasar/wilayah lainnya, sehingga aksesibiltas antar daerah semakin
tinggi. Dengan akses yang cepat ke daerah lainnya kemungkinan hasil penjualan juga akan meningkat. Kelemahan Teori Von Thunen pada lahan pertanian : 1.
Perbedaan ongkos transportasi tiap komoditas pertanian dari tempat produksi ke pasar terdekat mempengaruhi jenis penggunaan tanah yang ada di suatu daerah. Model tersebut, membandingkan hubungan antara biaya produksi, harga pasar dan biaya transportasi.
2.
Prasarana jalan akses ke pasar kota menjadi faktor penentu komposisi keruangan; Mekanisme pasar yang terbuka hingga menimbulkan terjadinya supply dan demand, memungkinkan terjadinya economic landscape sebagai faktor penting mempengaruhi komposisi keruangan; Adanya lokasi alternatif juga bisa berpengaruh pada komposisi keruangan; Skala produksi: biaya/unit vs jumlah produk; localisation economies dan urbanisation economies; Lingkungan bisnis: kebijakan pemerintah, lokasi pesaing, dsb; Faktor Kesejarahan.
3.
4. 5.
6. 7.
Kesimpulan Teori Von Thunen masih bisa dilakukan pada daerah-daerah terpencil, pemasaran hanya pada daerah-daerah yang memungkinkan dilakukan pemasaran. Semakin jauh dari pusat kota, maka akan semakin mahal juga sewa lahannya, dalam artian biaya transportasi yang ditanggung semakin besar, sedangkan balik modal kecil. Hal tersebut yang menyebabkan interaksi antara Sambirejo – Surabaya sering dikarenakan aksesibilitasnya terjangkau. Sambirejo sebagai daerah penyedia buah naga. Sumber : RPJMD.https://www.banyuwangikab.go.id/media/perencanaan_anggaran/pdf/BAB_II_G AMBARAN_UMUM_KONDISI_DAERAH.pdf. Diakses 2015 Lestianti,
Lita.
2011.
http://www.lestelita.com/2011/12/penerapan-teori-lokasi-von-
thunen-pada.html. Diakses Desember 2011. Jaya Adriand, Indra. 2008. https://indrajayaadriand.wordpress.com/2008/05/05/tugas-4-bu-bittateori-lokasi-dan-pola-ruang/. Diakses 5 Mei 2008.