Kembalinya Komidi Sorot Banyumas Tim Peliput : Sigit Harsanto dan Anto Prabowo SEPERTI umumnya pemuda lain di Desa Karangnangka Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Wahyudi (26) sehari-hari bekerja menjadi buruh tani di ladang orang lain. Selain itu, pemuda yang hanya menamatkan SD di Karangnangka itu juga kerja serabutan memenuhi permintaan tetangganya. Hingga pada tahun 2005, secara aklamasi dia ditunjuk menjadi produser film ‘’19 Empat Toedjoeh’’ oleh Karangtaruna RT 3/IV Karangnangka. Sejak itulah, namanya dikenal dalam peta perfilman Banyumas.
ANDA yang tak menetap di eks Karesidenan Banyumas, boleh jadi mengernyitkan dahi mendengar istilah film Banyumas. Bioskop, televisi dan koran memang lebih mengakrabkan Anda dengan istilah film Holywood, film Bolywood, film Korea dan film nasional. Namun cobalah bubuhkan frasa ‘film Banyumas’ di mesin pencari dalam jaringan internet. Segera Anda akan menemukan sederet referensi mengenai dunia sinema yang uniknya, bukan dihidupi oleh mereka yang semata berprofesi sebagai pekerja film. Di eks Karesidenan Banyumas, Wahyudi bukan satu-satunya pemuda desa yang mengetahui bagaimana sebuah film dibuat. Dia juga mengetahui tatakrama bila hendak memutar film karya orang lain. Begitulah, sewindu terakhir, membuat dan menonton film di Banyumas sudah bukan sesuatu yang hanya bisa dikerjakan oleh mereka yang berkantong tebal, atau mereka yang telah dinyatakan lulus sekolah film. Dan bahkan, komidi sorot yang sempat mati sejak era 90-an, kini menemukan momentum kebangkitan kembali. Komidi sorot merupakan istilah klasik di Banyumas untuk menyebut ajang layar tancap atau nonton misbar (gerimis bubar). Dengan pustaka film Banyumas yang telah mencapai ratusan judul, pegiat film yang mayoritas anak muda bahkan berani menampik cap miring betapa sebagai sebuah bangsa, Indonesia hanya diisi oleh masyarakat bermental konsumen teknologi informasi. ‘’Saya sering tertawa melihat banyaknya orang yang mengolok keterbelakangan bangsa sendiri. Betapapun bangsa kita sedang mengalami keterbatasan di berbagai bidang, bukan berarti sudah nggak ada lagi yang berharga. Itu keyakinan yang jadi dasar saya membuat film bersama Wahyudi dan kawan-kawan,’’ ujar Wasis Setya Wardhana (27). Wasis, pendiri Rumah Produksi La Cimplung Communication, tinggal satu RT dengan Wahyudi. Bersama Gatot Artanto yang juga alumnus Fisip Unsoed, mereka menularkan ketrampilan produksi film kepada para pemuda karangtaruna. Film ‘’19
Empat Toedjoeh’’ (56 menit) merupakan film yang merekonstruksi secuil sejarah kampung saat Agresi Militer Belanda II. Setiap bulan Agustus, film itu ramai dipesan oleh masyarakat berbagai desa untuk acara renungan kemerdekaan. ‘’Idenya datang dari Mbah Birin, tetua kampung. Dia cerita, desa kami dibakar habis oleh militer Belanda karena melindungi tentara republik. Dulu saya dengar ceritanya biasa saja, tapi setelah dibikin film, orang-orang tua nangis kalau diputar. Saya jadi ikut ‘kerasa’ sengsaranya dulu,’’ ungkap Wahyudi. Itulah salah satu film kolosal yang melibatkan ratusan warga sebagai sukarelawan. Yang tak jadi pemain, menyediakan ransum. Yang tak punya beras, menyediakan kelapa muda untuk rehat. Semua peralatan pinjam. Alat-alat bantu perfilman, seperti crane (alat bantu pengambilan gambar gerak) dibuat dari bambu. Shooting sempat berhenti dua hari karena kamera pinjaman diambil yang punya. ‘’Kami cuma habis Rp 350 ribu. Tapi film itu dan produksi lainnya sekarang dikoleksi di University of Yale, Amerika Serikat. Katanya menjadi salah satu materi perkuliahan jurusan studi Indonesia,’’ ungkap Wasis. Di Banyumas, aktivitas membuat film memang telah menyebar ditengah kelompok profesional, mahasiswa, pelajar hingga karangtaruna. Sementara di Purbalingga, setidaknya 20 komunitas telah mengikatkan diri dalam wadah Cinema Lovers Community (CLC). Semuanya berproduksi dengan alat seadanya, modal seadanya. Heru C Wibowo, pedagang ikan sekaligus pekerja video shooting adalah salah satunya. ‘’Saya sering membuat film tanpa modal sepeserpun. Kaset pun sisa shooting manten yang tidak terpakai,’’ katanya. Kenekatan semacam itu toh ternyata bukan sekedar iseng belaka. Melalui Komunitas UTDC Film, Heru membawa film berjudul ‘’Metu Getih’’ (10 menit) masuk Nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2006 dan European Film Festival 2007. Bersama perintis film di Purbalingga, Bowo Leksono, namanya juga tercatat sebagai pemilik Film Terbaik Festival Film Dokumenter (FFD) 2006 dan karyanya lolos kurasiajang PPIA Conference: The Voice of the Future Leaders Victoria University Australia 2008. ‘’Saya juga ditawari menggarap film bioskop di Jakarta. Tapi sampai sekarang, menggarap film Banyumas lebih seksi rasanya,’’ ungkapnya. Kemerebakan film Banyumas bukan karena daya dukung bioskop atau stasiun televisi seperti layaknya film yang berasal dari ranah dunia industri. Saluran utama untuk mempertemukan karya dengan publik justru memanfaatkan medium kuno yang kini menemukan kembali relevansinya. ‘’Kami lebih mengandalkan layar ‘tanjlep’. Mulai dari café di kota, perumahan, balai desa hingga sembarang lapangan. Layar ‘tancjep’ menjadi tempat kami menciptakan ruang publik untuk menumbuhkan kembali kebersamaan,’’ ungkap pegiat Komunitas Sangkanparan Cilacap, Wahyu P. Luasnya sambutan khalayak bukan cuma diraih dalam lingkup lokal. Berbagai ajang perfilman tak luput menyertakan penampilan film Banyumas sebagai menu acara.
Sebut saja sesi pemutaran film ‘’Ngapak Attack’’ di ajang Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) 2008, atau Courts – Circuits: Special à courts d'écran 2007 dan 2008. ‘’Saya melihat film Banyumas adalah salah satu pionir film-film yang berani memakai bahasa asli daerahnya, sekaligus mengangkat kultur lokalnya. Saya kira, di Indonesia, jarang ada kesadaran semacam itu,’’ ungkap programer film dari Kinoki Yogyakarta, Elida Tamalagi. Anang Nurasa Madurasa, pengajar seni drama di SMAN 1 Cilacap, mengaku tak pernah mengira jika karya-karya pelajar Cilacap bahkan bisa masuk ajang sekelas Special Court de Ecran Centre Culturel Francais 2007. Sebagai salah satu sekolah yang telah memasukkan produksi film ke dalam kurikulum, pembelajaran film semula sekedar ditujukkan agar siswa mengaplikasikan seni drama dan mengusai teknologi informasi. ‘’Anak-anak sekarang semakin semangat membuat film. Materi mereka pun semakin luas, dan banyak mengangkat tema-tema persilangan budaya di Cilacap. Misalnya percampuran antara bahasa Jawa Banyumasan dengan Sunda yang kadang menimbulkan kesalahpahaman. Pelajar jadi kritis dengan lingkungannya,’’ ungkapnya. Sementara itu, hobi membuat film di Banjarnegara semakin aktif setahun terakhir. Meski sudah mulai berproduksi di tahun 2004, baru tahun inilah film-film karya anak muda Banjarnegara mulai diputar di hadapan publiknya sendiri. Tulang punggung penggeraknya dimotori oleh berbagai komunitas anak muda, pelajar dan guru serta kalangan pekerja media. (*)
Menanggalkan Indie, Mengenalkan Banyumas Film Banyumas merupakan bagian dari berkah reformasi. Pernyataan itu disampaikan Dimas Jayasrana (29), salah satu perintis perfilman Banyumas asal Jatilawang, Banyumas. Seperangkat kebijakan Orde Baru memang telah memasung kreativitas anak muda. Saat itu, bikin film saja harus ijin Departemen Penerangan, artis dan aktor harus anggota Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), pembuat film harus ikut Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dan seterusnya. ‘’Lahirnya bersamaan dengan euforia reformasi. Paska 1998, anak-anak muda memanfaatkan kebebasan dengan mengenalkan gerakan film indie. Meski infrastruktur internet saat itu belum sebaik sekarang, anak-anak kampus Unsoed aktif mengikuti trend itu melalui internet,’’ ungkapnya. Sementara disisi lain, terjadi pergeseran dalam bidang teknologi informasi. Kamera dan komputer editing, meski saat itu masih jarang mahasiswa yang punya, relatif bisa diperoleh melalui pinjam meminjam. Dimulai di Teater Sianak Fisip Unsoed, diadakan pemutaran film-film indie yang ditujukan untuk kepentingan edukasi mahasiswa dan masyarakat. ‘’Sudah ada pembuat film sebelumnya, tapi kali itulah yang berorientasi pada pendidikan dan membangun komunitas kreatif,’’ ujarnya.
Kepada Yang Terhormat Titik 2 (2001) merupakan film perdana yang dilempar ke pasar Purwokerto oleh kelompok pekerja kreatif Youth Power. Film berbiaya produksi Rp 250 ribu memberi Dimas tiket untuk presentasi di ajang International Short Film Festival Hamburg (2002). Tahun yang sama, dimulailah ajang tahunan Pesta Sinema Indonesia (PSI), semacam festival film yang mempertemukan film Banyumas dengan film dari berbagai daerah di Indonesia maupun dunia. ‘’Tahun 2004, terbukalah jaringan internasional dengan digelarnya German Indonesian Festival Award Winner di Purwokerto,’’ imbuhnya. Melalui karya-karya selanjutnya yang rata-rata berbiaya produksi tak lebih dari Rp 500 ribu, ia mendapat undangan ke berbagai kota seperti Mexico City, Paris, Hamburg dan Kuala Lumpur. ‘’Tapi dari awal, film Banyumas berkembang bukan untuk mengajak orang menjadi pembuat film atau menang di berbagai festival. Kami lebih berorientasi pada capaian sosialnya. Membongkar pikiran mapan mengenai film yang harus glamour sehingga warga biasa tak mungkin membuatnya, itu salah satu tujuannya,’’ tandasnya. Aktivitas itu sampai di Purbalingga di tahun 2004. Saat itu, Laeli Leksono Film mengadaptasi cerpen Ahmad Tohari ke dalam tayangan film pendek berjudul “Orang Buta dan Penuntunnya”. Film ini konon menjadi film pertama di Purbalingga yang sempat diputar di sekolah-sekolah di Purbalingga, antarkampus, dan kantongkantong budaya. Film besutan Bowo Leksono itu sempat pula nongol di TVRI Nasional Jakarta dan diikutkan dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2004. ’’Sejak itu sampai 2008 ini, saya baru membuat 17 judul film. Sebanyak 13 diantaranya mendapat penghargaan festival. Tapi itu saya anggap sebagai bonus saja. Yang penting, sekarang anak muda sudah jauh lebih kongkrit dari para pendahulunya. Sementara yang tua sibuk seminar ini itu soal cinta budaya Banyumasan, melalui film Banyumas, anak-anak muda malah sudah menciptakan rasa bangga pada budaya lokal,’’ kata Bowo Leksono. Pemuda yang juga kerap diledek sebagai ’macan festival’ –karena filmnya sering menang- itu bahkan kini sedang sibuk mengkampanyekan festival film di kota kecil setelah menggelar Purbalingga Film Festival 2008. Pengalaman koleganya di luar negeri membuat cita-cita itu bukanlah omong kosong. Festival film pendek tertua di dunia, di Kota Oberhousen Jerman, berlangsung di kota sekelas Purwokerto. ’’Dan tiap tahun, 1.5 juta orang mengunjungi festival itu. Itu bisa memberi dampak ekonomi pada warga lokal. Ini salah satu angan kami ke depan,’’ kata Dimas Jayasrana. Sebagai komunitas, film di Cilacap digawangi kali pertama oleh Sangkanparan. Selain sejumlah penghargaan skala nasional, film ’Senandung Kalianyar’ yang dibesut komunitas ini memenangi Asian Dance Emotion 2005. Pendirinya, Insan Indah pada mulanya mengaku jengah melihat ketrampilan audio visual hanya digunakan untuk keperluan industri saja. Dia melihat, kemampuan itu bisa
digunakan sebagai alat perlawanan terhadap tayangan televisi yang kian tidak mendidik. ’’Kami aktif mengadakan workshop bagi pelajar sejak 2004. Intinya, kami mengajak warga terutama pelajar untuk membuat sendiri tayangan alternatif dari televisi. Sebuah tontonan yang bukan saja membuat mereka lebih kreatif, sekaligus membuat lebih mengenal lingkungannya,’’ terangnya. Kredo tentang keberpihakan pada lokalitas itulah yang akhirnya melenyapkan sama sekali istilah film indie, dan akhirnya berganti menjadi film Banyumas. Tentu saja, meski mayoritas film berbahasa Banyumasan, itu bukan sebuah keharusan agar sebuah film disebut film Banyumas. ’’Itu salah satu aspek saja. Tapi penyebutan film Banyumas sebenarnya hanya untuk menyederhanakan,’’ kata Sari Handayani dari Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB). JKFB merupakan kelompok kerja yang setahun lalu dibuat oleh 22 komunitas film di Banyumas, Purbalingga dan Cilacap. Maklum, setelah film mencapai puncak produksi, mulailah dibutuhkan lembaga yang mengurusi pustaka film , menyediakan referensi, membina jaringan nasional dan internasional serta melindungi pegiat film dalam isu hak cipta dan masalah lainnya. ’’Pustaka film Banyumas kami sudah mencapai 112 judul. Masih banyak lagi yang belum kami selesaikan karena banyak komunitas yang juga tidak bergabung dengan JKFB. Yang jelas, saya melihat gejala film Banyumas sudah tidak lagi sekedar trend. Ini sudah menjadi cara anak muda menyampaikan dunianya’’ katanya. (*)
Satu waktu, Katinka van Heeren, peneliti pada Indonesian Mediations Research Project dari Universitas Leiden, Belanda, datang ke Purwokerto dengan sejumlah
pertanyaan. Dia tertarik untuk mengetahui bagaimana generasi baru perfilman Indonesia sedang muncul secara masif hingga daerah pelosok. Sebagian kesimpulannya dipublikasikan di International Insitute for Asian Studies Newsletter, Agustus 2002. Dia menulis, “Yang mendorong gerakan ini bukan hanya karena kebetulan belaka akibat iklim politik pada masa reformasi, tapi lebih penting lagi, juga berdasar pada ketersediaan media audio visual baru untuk merekam dan memutar film. Satu elemen dari gerakan film baru berangkat dari istilah independen atau film independent yang telah jadi model dan semboyan bagi banyak anak muda Indonesia untuk membuat film mereka sendiri.’’ Kesimpulan itu rasanya memang belum tuntas. Kebebasan ekspresi dan kemudahan teknologi setidaknya kini dirasakan secara merata di Jawa. Namun mengapa gejala masifnya kegiatan perfilman boleh dikata hanya terjadi di Banyumas? Gerakan film independen di sejumlah kota besar pun kini masih cenderung menjadi hak kelompok terpelajar. Sementara pemandangan ribuan orang yang menonton film lokal di lapangan desa telah menjadi sesuatu yang khas Banyumas. Ibarat sebuah bangunan, arsistektur film Banyumas sesungguhnya tidak tampak sebagai sebuah kemegahan. Kamera tercanggih yang mereka gunakan hanyalah handycam 3CCD, sarana pemutaran film seperti LCD pun baru mereka beli dua tahun kebelakang setelah tabungan komunitas dianggap mencukupi. Tak ada komunitas yang ditopang dana oleh lembaga donor (founding), lembaga pemerintah dan bahkan sekedar dewan kesenian. Sebagai sebuah gerakan, tulang punggung film Banyumas hanyalah partisipasi. Setiap kali hendak produksi atau mengadakan pemutaran, saat itulah ritual ‘saweran’ terjadi. Kemandirian semacam inilah yang menjadi dasar kekuatan utama. Sehingga ketika kalangan Pemkab mulai menjajagi kemungkinan turut memfasilitasi, tak heran jika komunitas film Banyumas mensyaratkan niat itu harus bebas dari mentalitas ‘mroyek’. Setidaknya hingga akhir 2008, kerjasama kelembagaan dengan birokrasi pemerintah baru bersifat penjajagan. Kelebihan lain dari film Banyumas merupakan berkah dari kelebihan yang ada dalam tata nilai budaya Banyumasan. Kultur Banyumasan memiliki latar identitas yang kuat yang ketika hadir dalam karya sinema, segera diterima publik secara global karena keberbedaannya. Tanpa bahasa ‘ngapak’ yang tidak memiliki statifikasi sosial, tanpa adat kebiasaan yang khas Banyumasan, tentunya frasa ‘film Banyumas’ mustahil bisa ada. Pertemuan para pegiat film pendek Banyumas kini juga sudah tak melulu berisi obrolan mengenai produksi film. Lebih dari itu, muncul kecenderungan untuk melangkah menjadi para spesialis profesional. Ada yang menjadi periset, kritikus, programer, penulis naskah, sutradara, kameramen dan lainnya. Kecenderungan semacam itu telah lama ada di kota-kota besar. Bila itu dipadukan dengan kekuatan
komunitas yang bahkan sudah sampai menyertakan karangtaruna, tanah Banyumas akan benar-benar potensial menjadi “Banyumaswood’’ berbasis masyarakat, bukan industri. (*)