Bahaya Berdebat

  • Uploaded by: Zamzam
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bahaya Berdebat as PDF for free.

More details

  • Words: 692
  • Pages: 2
Bahaya Berdebat

Dari Abu Hurairah RA, bahwasannya Nabi SAW bersabda: "Hentikanlah (menanyai)ku tentang apa yang aku abaikan untuk kalian. Sesungguhnya ummat yang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya dan mendebat para nabi mereka. Jika aku melarang kalian tentang sesuatu maka jauhilah dan jika aku memerintahkan kalian terhadap sesuatu maka lakukanlah semampu kalian." (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim) Suatu hari Rasulullah tengah berkhutbah di hadapan manusia. "Wahai manusia sekalian, Allah telah mewajibkan atas kalian haji," teriak beliau. Tiba-tiba ada seorang pendengar bertanya, "Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?" Tapi beliau tidak menjawab. Orang itu pun mengulang pertanyaannya hingga tiga kali. Kemudian beliau berkata, "Seandainya aku katakan ya, tentu itu wajib hukumnya, tapi semampumu." Selanjutnya beliau menyabdakan hadits di atas. Dalam peristiwa yang menjadi sabab wurud (sebab munculnya) hadits tersebut Nabi secara terang-terangan melarang debat. Kata su'al dan khilaf dalam bahasa Arab lazim juga disebut dengan miraa' dan jadal. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali memberikan ta'rif (definisi) miraa' sebagai upaya menyangkal perkataan seseorang dengan mengungkapkan kerancuan dalam perkataan tersebut, baik dari sisi lafazh maupun maknanya. Sedangkan jadal adalah Keinginan untuk mengalahkan dan menjatuhkan seseorang dengan menyebutkan kekurangan yang ada pada perkataannya, bahkan menisbatkannya dengan aib dan kebodohan. Miraa' biasanya terjadi dalam lapangan ilmiah. Sedangkan jadal terjadi dalam lapangan yang lebih umum yakni kehidupan sehari-hari seperti ngobrol dan bergurau. Dalam hadits itu, Rasulullah mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk efisien dalam berbicara dengan hanya menanyakan hal yang penting-penting saja. Banyak orang memburu jawaban dengan pertanyaan yang tidak berguna karena semata-mata ingin mencari keasyikan berdebat. Selain tidak bermakna, tindakan ini jelas akan menyia-nyiakan waktu dan berpeluang untuk menimbulkan penyakit hati ghil (tidak suka) yang bisa berujung pada permusuhan. Perilaku demikian adalah ciri khas Bani Israil (Yahudi) seperti diabadikan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 67-74. Ketika itu mereka diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi. Tetapi mereka sengaja mempermainkan Nabi dan mempersulit diri mereka sendiri dengan pertanyaan yang dibuat-buat. Lain halnya dengan pertanyaan (diskusi) yang dimaksudkan sebagai proses belajarmengajar. Hal itu justeru menjadi keharusan asal adabnya tetap dijaga. Allah berfirman, "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (an-Nahl: 43) Atau juga dalam rangka da'wah yang dalam al-Qur'an disebut dengan mujadalah. Diskusi yang didasari oleh semangat kasih sayang dan kebenaran ini justeru diperintahkan oleh

Allah. "Wajaadilhum billatii hiya ahsan." Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (an-Nahl:125) Contoh debat yang tidak membawa faedah misalnya adalah pembahasan yang `liar' tentang hal-hal yang gaib misalnya Allah, hari kiamat, ruh, masalah hidup ummat manusia dan hal-hal lain yang hanya dapat diketahui lewat dalil naqli saja. Pertanyaanpertanyaan itu bila difahami secara mendalam hanya akan semakin membingungkan dan menambah keraguan sehingga bisa berakhir pada kesesatan. Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu `alaihi wa sallam berkata, "Ummat manusia itu akan selalu bertanyatanya sehingga nanti dikatakan ini adalah yang telah menciptakan semua makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?" Solusi Kebiasaan berdebat adalah penyakit. Untuk mengobatinya harus ditempuh sejumlah solusi. Pertama, memenuhi kalbu dengan ma'rifat, tauhid dan ketakwaan kepada Allah. Dengan cara ini seseorang akan selalu bersikap dan berucap dengan niat dan metode ilahiyyah. Apa yang dilakukannya dalam diskusi tidak diorientasikan untuk mencari kemenangan, tapi kebenaran. Sehingga ia akan meninggalkan ego pribadinya serta menjauhi sikap kibr dan merendahkan orang lain. Kedua, Senantiasa memelihara adab Islami dalam berbicara, mengkritik, bertanya dan menyampaikan pendapat. Antara lain, dengan cara yang bijaksana, hormat, lembut dan lain-lain. Dengan begitu, lawan bicara akan merasa dihargai sehingga terjadi komunikasi yang indah dan bermanfaat, jauh dari egoisme dan semangat saling mengalahkan. Ketiga, menghayati akibat buruk yang timbul dari kebiasaan berdebat. Antara lain tidak mendorong orang untuk beramal, tapi hanya memperbanyak bicara. Padahal kata Umar bin Khatab, banyak bicara maka banyak bias, banyak bias berarti banyak dosa dan banyak dosa berarti masuk neraka. Keempat, belajar bersikap jantan dan obyektif dalam menerima kebenaran dari orang lain. Kelima, mengobati hati dari penyakit ujub, ghurur dan takabbur. Keenam, berusaha bergaul dengan komunitas (jama'ah) yang jauh dari kultur debat dan cuma banyak bicara. Dengan menghindari diri dari debat setiap muslim akan menjadi mulia, baik di sisi manusia dan Allah. Terlebih, Allah juga akan menjadikannya sebagai ahli surga seperti sabda beliau yang diriwayatkan Abu Dawud, "Aku adalah pemimpin rumah di bawah naungan syurga bagi orang yang meninggalkan miraa'."• Deka Kurniawan

Related Documents

Bahaya Berdebat
May 2020 23
Bahaya Rokok
October 2019 35
Bahaya Merokok
May 2020 32
Bahaya Kebakaran
August 2019 44

More Documents from "Sandie Suwardie"