Bab Viii Perekonomian Indonesia

  • Uploaded by: Sry Karnila
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Viii Perekonomian Indonesia as PDF for free.

More details

  • Words: 1,529
  • Pages: 4
BAB VIII PEMBANGUNAN EKONOMI INKLUSIF A. Definisi dan konsep Apa yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi inklusif ? menurut banyak orang, seperti misalnya Ali dan Zhuang (2007), Ali dan Son (2007), serta Rauniyar dan Kanbur (2009), tidak ada kesepakatan bersama mengenai definisi atau tidak ada definisi umum perihal apa yang dimaksud dengan pembangunan ekonomi inklusif. Menurut International Disability and Development Consortium (IDDC) yang ditampilkan di websitewww.make-development-inclusive.org, yang dikutip oleh Admin (2010), pembangunan inklusif merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok masyarakat yang terpinggirkan bisa terlibat sepenuhnya di dalam proses pembangunan. Dalam pengertiannya Rauniyar dan Kanbur (2009) dikatakan bahwa pembangunan ekonomi yang inklusif dipahami untuk merujuk pada sebuah pertumbuhan ekonomi yang diberangi dengan kesempatan-kesempatan ekonomi yang sama bagi semua orang. Bagi Prasetyantoko, dkk. (2012), pembangunan inklusif adalah pembangunan untuk semua orang, tidak peduli latar belakangnya, agamanya, sukunya, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Tiap orang/warga negara memiliki hak yang sama, seperti hak mendapatkan pendidikan yang baik, pelayanan kesehatan yang baik, perumahan yang baik dan juga peluang mendapatkan pekerjaan yang baik. Namun. Setiap wargan negara juga memiliki kewajiban yang sama, termasuk membayar pajak bagi mereka yang sudah bekerja atau memmiliki usaha yang memberikan penghasilan. Dalam hal peluang, untuk memberikan semua anggota dari sebuah masyarakat peluangpeluang yang sama, menurut Sachs (2004), stategi pembangunan ekonomi yang inklusif harus memiliki (3) komponen paling penting. Pertama, menjamin hak-hak politik, sosial, dan kewarganegaraan. Tiga hak ini bagi Sachs adalah pra-kondisi untuk tercapainya sebuah pembangunan ekonomi yang inklusif. Kedua, semua warga negara harus memiliki akses yang sama ke semua program kesejahteraan bagi orang-orang cacat, ibu-ibu, anak-anak, dan orangorang tua, yang didesain untuk mengkompensiasi ketidaksamaan fisik atau alamiah. Ketiga, semua populasi juga harus mendapatkan peluang-peluang yang sama terhadap akses ke pelayanan-pelayanan publik, seperti pendidikan, perlindungan/jaminan kesehatan, dan perumahan. Menurut Elfindri, guru besar ekonomi sumber daya manusia (SDM) Universitas Andalas, dalam konsepsi pembangunan ekonomi inklusif, banyak aspek yang perlu diperhatikan, di antaranya pembangunan infrastruktur, khususnya infrastruktur ekonomi (baik fisik maupun non-fisik), pengembangan kesehatan dan pembangunan pendidikan (fasilitas fisik, SDM dan sistem pelayanan), yang merupakan tiga komponen penting bagi semua penduduk, termasuk kelompok rumah tangga yang tinggal di daerah-daerah pedalaman/terpincil. Dari diskusi/penjelasan tersebut di atas, isu-isu kunci dari pembangunan ekonomi yang inklusif adalah kemiskinan, partisispasi kalaborasi, dan jaringan kerja. Ini artinya, bahwa pengurangan kemiskinan adalah atau harus menjadi pusat dari kebijakan-kebisakan pembangunan ekonomi

yang inklusif , dan untuk mengeliminasi atau mengurangi jumlah orang miskin, bukan saja diperlukan kebijakan-kebijakan langsung yang khusus didesain untuk mengurangi kemiskinan, tetapi juga diperlukan kebijakan-kebijakan yang menciptakan sebuah pembangunan ekonomi yang berkualitas, serta program-program atau proyek-proyek yang mendukung pengurangan kemiskinan yang tentu dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip biaya efesiensi, serta produktivitas dan daya saing yang tinggi. B. Strategi Pembangunan Inklusif Indonesia 1. Mencari Kebujakan-Kebijakan yang Tepat pada periode 1997-1998 Indonesia dilanda sebuah krisis ekonomi terbesar yang Indonesia pernag alami sejak merdeka tahun 1945, yang dikenal dengan sebutan krisis keuangan Asia. Pada tahun 1998, saat krisis tersebut mencapai titik terpuruknya, kondisi Indonesia diperparah dengan kerusuhan sosial dan krisis politik (Mei) yang tidak ada satu orang pun di Indonesia maupun di luar negeri yang pada saat itu menduga hal itu akan pernah terjadi di Indonesia (apalagi menduga Presiden Suharto akan lengser). Dalam era setelah 1998, yang dikenal dengan era reformasi, perhatian pemerintah telah bergeser menuju pembangunan ekonomi nasional yang inklusif. Menurut Prasetyantoko, dkk. (2012), pembangunan ekonomi yang inklusif memiliki beberapa ciri, di antaranya adalah pertumbuhan ekonomi. Tujuan dari pembangunan ekonomi itu sendiri adalah meningkatkan kemakmuran bersama semua warga, dan ini umumnya diukur dengan kenaikan tingkat pendapatan riil masyarakat per kapita. Pertumbuhan ekonomi disertai kebijakan-kebijakan publik yang tepat dapat berbuat banyak dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan. Kebijakan-kebijakan dan institusi-institusi sosial non-ekonomi, seperti jaminan sosial, dan tata kelola serta kualitas pemerintahan memiliki posisi sama pemting dengan kebijakan-kebijakan ekonomi yang bisa menciptakansebuah pembangunan ekonomi. Menurut Elfindri, agar mencapai sebuah pembangunan ekonomi yang bersifat inklusif, banyak hal yang perlu dikembangkan secara inklusif, termasuk pembangunan fasilitas serta sistem kesehatan dan pendidikan yang baik, dan masing-masing ini memerlukan strategi khas yang dapat menjamin keterjangkauan yang dirasakan oleh semua kelompok masyarakat, termasuk kelompok rumah tangga yang tingal di daerah-daerah pedalaman. Menurut Kiryanto (2013), pembangunan ekonomi inklusif juga perlu diciptakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Agar pembanguna ekonomi dengan laju pertumbuhan yang tinggi dan lebih inklusif bisa dinikmati oleh semua anggota msyarakat di Indonesia, pemerintah harus memiliki program komprehensif dan mengimplementasikannya secara serius. Pertama, pemerintah perlu menggunakan anggaran dengan baik, benar, efisen, dan efekif. Kedua, langkah pembaharuan atau reformasi di sektor agraria sudah menjadi suatu keharusan. Ketiga, program hirilisasi perlu dilaksanakan dengan serius dan sistemastik bukan hanya kegiatan di sektor hulu. Keempat, melanjutkan program financial inclusin atau “pemberian akses ke lembaga keuangan bagi seluruh rakyat “ sebagaimana didengungkan oleh Bank Indonesia (BI). Kelima, iklim investasi langsung terus diperbaiki seraya menegakkan kepastian hukum melalui reformasi hukum secara sistematis.

2. Strtegi dan Kebijakan Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan bahwa paradigma pembangunan untuk semua dalam konteks Indonesia hanya bisa dilaksanakan dalam mengadopsi 6 (enam) strategi pembangunan fundamental (SNRI,2011). Pertama, sebuah strategi pembangunan inklusif yang menjamin kesamaan dan keadilan yang respek terhadap serta memelihar keragaman masyarakat Indonesia. Agar pelaksanaannya lanca, semua pemerintah daerah (Pemda) dan pemerintah pusat harus memiliki dan terus-menerus memperbaharui pemahaman bersama dan konsensus dalam membangun Indonesia. Konsensus ini dipandu oleh visi-visi dan misi-misi jangka menengah dan jangka panjang Indonesia. Arah jangka panjang Indonesia untuk periode 2005-2025 dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 mengenai Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPNJP), dimana arah jangka menengah Indonesia diberikan disetiap tahapan-tahapan lima (5) tahun, yang disebut Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPNJM). Strategi pembangunan funda mental kedua (2), adalah bahwa kerangka kerja dari pembangunan untuk semua orang, konsekuensi dari pembangunan Indonesia harus punya sebuah dimensi wilayah. Strategi pembangunan fundamental ketiga (3), adalah untuk menciptakan sebuah ekonomi nasional terintegrasi di dalam era globalisasi. Strategi pembangunan fundamental keempat (4), yang juga menjadi salah satu kuncikunci keberhasilan dari proses pemabngunan untuk semuanya adalah pemabngunan ekonomi lokal disetiap wilayah (provinsi dan kabupaten dan kota), yang artinya tidak ada provinsi-provinsi dimana tingkat pembangunannya rendah atau kabupaten dan kota yang terbelakang disebuah provinsi. Strategi pembangunan fundamental kelima (5), adalah untuk mengharmonisasikan dan membuat keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan (pertumbuhan dengan pemerataan). Strategi pembangunan fundamental keenam (6), merupakan esensi dari pembangunan yang adil dan merata, yang adalah sebuah pembangunan ekonomi yang menekankan pada peningkatan kualitas manusia. C. Indeks Pembangunan Inklusif 1. Kerangka Kerja dari Indikator-Indikator Pembangunan Inklusif Didalam sebuah publikaasi dari Bank Pembangunan Asia (ADB, 2011) dijabarkan sebuah set yang terdiri atas 35 indikator kunci yang dapat digunakan dalam menjelaskan pembangunan inklusif, yang didiasarkan pada kerangka kerja dari indikator-indikator dari pembangunan inklusif yang mengidentifikasi unsur-unsur kebijakan kunci dari pembangunan inklusif. Unsur-unsur tersebut adalah pertembuhan ekonomi dan kesempatan kerja (yang dimaksud dengan pertumbuhan atau pemabngunan ekonomi berkualitas), inklusif sosial, perlindungan sosial, dan tata kelola dan lembaga-lembaga yang baik. Indikatorindikator tersebut dan kerangka kerjanya diusulkan pertama kali oleh Zhuang (2010). Indikator-indikator tersebut memiliki delapan (8) dimensi: (1) kemiskinan dan ketimpangan (pendapatan dan non-pendapatan); (2) pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja; (3) sokongan-sokongan infrastruktur kunci; (4) akses dan

input-input bagi pendidikan dan kesehatan; (5) akses dan input-input bagi keperluan-keperluan dan pelayanan-pelayanan infrastruktur dasar; (6) kesetaraan dan kesempatan gender; (7) jaringan pengaman sosial; (8) tata kelola dan lembaga-lembaga. 2. Membuat Sebuah Indeks Pembangunan Inklusif (IPI) Konsep dari pemabangunan ekonomi yang inklusif didasarkan pada dua (2) konsep lainnya, yakni: inklusif dan pembangunan ekonomi, dan inklusif artinya pembangunan tanpa rintangan-rintangan yang mendiskriminasi atau mengeksklusikan individu-individu atau kelompok-kelompok sosial tertentu. Jadi dari 35 indikator tersebut, dapat direduksi ke hanya 7 indikator kunci yang mewakili semua dimensi dan semua pilar kebijakan tersebut. Sebuah jumlah pembangunan inklusif (IPI) dapat dikalkulasi, yang secara sederhana adalah jumlah dari 7 indikator kunci tersebut. 1. Pertumbuhan ekonomi, diukur dengan laju pertumbuhan (dalam persentase) dari PDB riil (setelah dikoreksi dari pengaruh inflasi) perkapita (tanda: negatif). 2. Kesempatan kerja, diukur dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja sebagai persentase dari jumlah penuduk atau jumlah angkatan kerja (tanda: positif). Indikator ini merefleksikan akses dari anggota-anggota dari sebuah komunitas terhadap peluang-peluang ekonomi. 3. Pembangunan manusia, diukur dengan IPM yang dikembangkan oleh UNDP (tanda: positif). Indeks ini memiliki 3 dimensi: hidup lama dan sehat (diukur dengan harapan hidup pada saat lahir), pengetahuan, (diukur dengan tahuntahun tengah dengan harapan lamanya (dalam jumlah tahun) sekolah/menikmati pendidikan), dan sebuah standar kehidupan yang layak (diukur dengan pendapatan nasional bruto (PNB) per orang). 4. Kemiskinan, diukur dari persentase dari jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan nasional yang berlaku atau yang diterapkan secara internasiona (misalnya 1,25 dolar AS per orang per hari) (tanda: negatif). 5. Pendapatan yang merata, yang diukur dengan koefisien Gini yang terkenal itu (tanda: negatif), yang mengukur ketimpangan diantara nilai-nilai pendapatan. 6. Kesetaraan gender. Yang di ukur, dengan misalnya Global Gender Index (GGI) dari sebuah lembaga peringkat dunia, the World Economic Forum (WEF). Indeks ini (tanda: positif) didesain lebih untuk mengukur kesenjangankesenjangan berbasis gender dalam akses kesumber-sumber daya dan peluang-peluang yang ada daripada mengukur tingkat-tingkat aktual dari ketersediaan sumber-sumber daya dan peluang-peluang di negara-negara. 7. Tata kelola /pemerintahan dan kelembagaan, yang diukur Curroption Perception Index (CPI), yang memperingkat negara-negara /wilayah-wilayah berdasarkan pada persepsi masyarakat mengenai korupsi disektor publik/pemerintah di negara-negara/wilayah-wilayah tersebut (tanda: positif). D. Agenda ke Depan untuk Indonesia Keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia, terutama pada tingkat makro dan terutama selama era orde baru sudah dikenal dunia.

Related Documents


More Documents from "pradnyani utami"