Bab Ii New.docx

  • Uploaded by: mugygumilar
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii New.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,970
  • Pages: 14
BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Penulisan Makalah Lesh dan Zawojewski (dalam Kuzle, 2013:1) mendefinisikan “Mathematical

problem solving as the process of interpreting a situation mathematically, which usually involves several iterative cycles of expressing, testing, and revising mathematical interpretation and of sorting out, integrating, modifying, revising or refining clusters of mathematical concepts from various topics within and beyond mathematics”. Pemecahan masalah matematika adalah proses menafsirkan situasi matematis yang biasanya melibatkan beberapa siklus berulang, mengungkapkan, menguji, dan merevisi interpretasi matematika dan masalah matematika, mengintegrasikan, memodifikasi, merevisi atau memperbaiki kelompok konsep-konsep matematika dari berbagai topik dalam dan luar matematika. Seperti yang diungkapkan Vettleson (dalam Lubis, 2015:111) “In the discipline of mathematics, the use of problem solving skills has been extremely important and highly influential. Problem solving is the foundation of all mathematical and scientific discoveries”. Dalam disiplin ilmu matematika penggunaan keterampilan pemecahan masalah mempunyai pengaruh yang sangat penting. Pemecahan masalah merupakan dasar dari seluruh ilmu matematika dan proses menemukan pengetahuan baru. Berdasarkan dengan di atas, dapat disebutkan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh semua siswa. Namun, nyatanya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di Indonesia tidak begitu baik. Ini dilihat berdasarkan level yang dicapai siswa Indonesia dalam studi internasional. Dilihat dari hasil TIMSS yang merupakan studi internasional tentang prestasi matematika dan sains siswa sekolah lanjutan tingkat pertama, Indonesia masih berada pada posisi 44 dari 49 negara dengan skor 397. Skor ini merupakan skor dibawah skor skala oleh TIMSS. Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa juga masih kurang jika dilihat secara langsung di sekolah. Hal ini dilihat berdasarkan jurnal yang penulis dapatkan dalam jurnal oleh Martalia Ardiyaningrum yang meyebutkan bahwa 1

berdasarkan hasil observasi terhadap pembelajaran matematika di kelas VIIA SMP Muhammadiyah 9 Yogyakarta, diperoleh fakta bahwa siswa di kelas ini memiliki kemampuan pemecahan masalah matematika dalam kategori menengah ke bawah. Hal ini diindikasikan dengan masih banyak peserta didik kelas VII A (lebih dari 50%) yang belum mampu memahami soal-soal yang diberikan oleh guru matematika. Mereka sering melontarkan pertanyaan: “ini disuruh ngapain, Pak?”, “soal ini menggunakan rumus yang mana?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa peserta didik belum mampu memahami soal yang diberikan. Saat masalah yang dihadirkan lain dari yang sebelumnya, peserta didik mengalami kebingungan, bahkan ada beberapa peserta didik yang tidak berusaha untuk menyelesaikan soal tersebut. Berdasarkan hasil temuan tersebut jelas bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam matematika perlu dilatih dan dibiasakan kepada siswa sedini mungkin. Oleh sebab itu, perlunya diterapkan suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Menurut (Lubis, dkk, 2015:114115) salah satu model pembelajaran yang sesuai dengan permasalahan di atas adalah pembelajaran berdasarkan masalah. Hal ini karena pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri. Menurut Oktavien, dkk, (2012:159) selain dari itu, pembelajaran kooperatif jigsaw juga dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika.

Model pembelajaran tipe jigsaw diduga cocok diterapkan untuk

meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa karena dalam tipe jigsaw, siswa dikondisikan untuk belajar bersama dalam tim ahli untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah matematis dapat ditingkatkan. Berdasarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dan kooperatif jigsaw memiliki kemungkinan dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika dengan langkah-langkah pembelajaran masing-masing. Oleh sebab itu, penulis mengambil judul makalah yaitu “Efektivitas Penerapan

2

Pembelajaran Berbasis Masalah dan Kooperatif Jigsaw dalam Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Menengah Pertama”.

1.2

Masalah atau Topik Bahasan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang ada adalah

masih kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sekolah menengah pertama. Penulisan makalah ini didasari dari tiga jurnal. Jurnal utama 1 oleh Rustam E. Simamora, Dewi Rotua Sidabutar, dan Edy Surya (2017) dengan judul “Improving Learning Activity and Students’ Problem Solving Skill through Problem Based Learning (PBL) in Junior High School”, subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIIB SMP Negeri 3 Medan sebanyak 30 siswa. Jurnal utama 2 oleh JesyDiah Rokhmawati, Ery Tri Djatmika, dan Ludiwishnu Wardana (2016) dengan judul “Implementation of Problem Based Learning Model to Improve Students’ Problem Solving Skill and SelfEfficacy (A Study on Ix Class Students of SmpMuhammadiyah)”, subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX sebanyak 22 siswa. Jurnal utama 3 oleh Syaripah (2011), dengan judul “Penerapan Pembelajaran Koopperatif Tipe Jigsaw Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Dan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa”. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 5 Padang Sidimpuan Palu sebanyak 40 siswa dan jurnal pendukung 1 yaitu Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa dengan Menerapkan Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Inquiry (2016). Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII G dan VIII H siswa SMP N Tarogong Kidul. Pada makalah ini, penulis akan membandingkan bagaimana efektivitas penerapan pembelajaran berbasis masalah dan kooperatif jigsaw dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sekolah menengah pertama (SMP). Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: 1.

Bagaimana penerapan pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP?

2.

Bagaimana penerapan pembelajaran pembelajaran kooperatif jigsaw dalam meningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP?

3

3.

Bagaimana perbandingan efektivitas penerapan pembelajaran berbasis masalah dan kooperatif jigsaw dalam meeningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP?

1.3

Tujuan Penulisan Makalah Berdasarkan masalah atau topik bahasan, maka tujuan penulisan makalah ini

adalah untuk 1.

Mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP

2.

Mengetahui bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif jigsaw dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP

3.

Mengetahui efektivitas penerapan pembelajaran berbasis masalah dan kooperatif jigsaw dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP

4

BAB II LANDASAN TEORI

2.1

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

2.1.1

Pengertian Masalah Matematika Lencher (dalam Hartono, 2014:2) mendeskripsikan masalah matematika sebagai

soal matematika yang strategi penyelesaiannya tidak langsung terlihat, sehingga dalam penyelesaiannya memerlukan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman yang telah dipelajari sebelumnya. Lebih lanjut Polya mengemukakan dua macam masalah matematika yaitu: 1. Masalah untuk menemukan (problem to find) dimana kita mencoba untuk mengkontruksi semua jenis objek atau informasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. 2. Masalah untuk membuktikan (problem to prove) dimana kita akan menunjukkan salah satu kebenaran pernyataan, yakni pernyataan itu benar atau salah. Masalah jenis ini mengutamakan hipotesis ataupun konklusi dari suatu teorema yang kebenarannya harus dibuktikan. 2.1.2 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Menurut Hartono (2014:3) pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting. Hal ini dikarenakan siswa akan memperoleh pengalaman dalam menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki untuk menyelesaikan soal yang tidak rutin. Anderson (dalam Maarif, 2015:139) mengungkapkan bahwa kemampuan pemecahan masalah dapat diartikan sebagai keterampilan penting dalam hidup seseorang yang melibatkan berbagai proses termasuk menganalisis, menafsirkan, penalaran, memprediksi, mengevaluasi, dan mereflesikan proses kegiatan. Pemecahan masalah merupakan salah satu tujuan atau komponen fundamental dari kurikulum matematika sekolah di berbagai negara. Akan tetapi, kegiatan pemecahan masalah merupakan kegiatan yang komplek yang membutuhkan berbagai kemampuan berpikir.

5

Menurut Polya (dalam Hartono, 2014:3) terdapat empat tahapan penting yang harus ditempuh siswa dalam memecahkan masalah, yakni memahami masalah, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali. Melalui tahapan yang terorganisir tersebut, siswa akan memperoleh hasil dan manfaat yang optimal dari pemecahan masalah. Polya (dalam Maarif, 2015:140-141) menyatakan secara garis besar ada empat langkah utama dalam pemecahan masalah yaitu: 1.

Memahami Permasalahan Pada tahapan ini seorang siswa yang akan menyelesaikan masalah matematika

harus memahami masalah dan mengetahui hal apa yang ditanyakan pada masalah tersebut. Pahami masalah berdasarkan istilah, simbol, kalimat perkalimat sehingga tidak terjadi kesalahan memahami masalah. 2.

Menyusun rencana Pada tahap ini siswa menyusun rencana solusi dari masalah. Siswa dapat memiliki

rencana dengan baik apabila mengetahui secara garis besar, yang mana kalkulasi, komputasi, atau konstruksi yang mereka punya untuk menunjukkan dalam rangka mendapatkan yang diketahui. Siswa juga akan mencobakan idenya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. 3.

Melaksanakan Rencana Setelah siswa mendapatkan rencana penyelesaian dalam bentuk dugaan-dugaan,

siswa dapat mengaitkannya dengan perhitungan-perhitungan aljabar atau secara axiomatis sehingga ditemukan sebuah solusi. Pemahaman terhadap teorema-teorema sangat dibutuhkan untuk mengaitkan dugaan-dugaan yang sudah dikonstruksi. Sehingga pemahaman terhadap teorema-teorema sangat dibutuhkan untuk melaksanakan rencana menemukan solusi-solusi.

6

4.

Memeriksa Kembali Hasil yang Diperoleh Dengan memeriksa kembali hasil yang didapat, mempertimbangkan kembali dan

menguji kembali hasilnya dan jalan yang mengarah ke sana, mereka dapat memperkuat pengetahuan mereka dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan masalah. 2.1.3

Indikator Pemecahan Masalah Shadiq (dalam Kusumawati dan Khair, 2015:216) menyebutkan indikator

kemampuan pemecahan masalah yang terdapat pada dokumen Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004, yaitu: 1.

Menunjukkan pemahaman masalah;

2.

Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah;

3.

Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk;

4.

Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat;

5.

Mengembangkan strategi pemecahan masalah;

6.

Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah;

7.

Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

2.2.

Model Pembelajaran Berbasis Masalah

2.2.1

Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah Ngalimun (2017:330) menjelaskan bahwa kehidupan adalah identik dengan

menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah susasana kondusif, terbuka, negoisasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal. Suryadi (dalam Fahrurrozi, 2011:80) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu strategi yang dimulai dengan menghadapkan siswa pada masalah nyata atau masalah yang disimulasikan. Pada saat siswa menghadapi masalah

7

tersebut, mereka mulai menyadari bahwa hal demikian dapat dipandang dari berbagai perspektif serta menyelesaikannya dibutuhkan pengintegrasian informasi dari berbagai ilmu. Tan (dalam Rusman, 2016:229) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitasnya yang ada. 2.2.2

Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah Menurut Rusman (2016:232-233) karakteristik pembelajaran berbasis masalah

adalah sebagai berikut: 1.

Permasalahan menjadi starting point dalam belajar

2.

Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak tersktukur

3.

Permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective)

4.

Permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar

5.

Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama

6.

Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan preses yang esensial dalam PBM

7.

Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif

8.

Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan

9.

Keterbukaan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar, dan

10. PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar

8

2.2.3

Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Masalah Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah menurut Sani (2015:139-140)

yaitu: Tabel 1. Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah Fase

Kegiatan Guru

Memberikan permasalahan

orientasi Membahas kepada

tujuan

pembelajaran,

memaparkan

peserta kebutuhan logistik untuk pembelajaran, memotivasi

didik

peserta didik untuk terlibat aktif

Mengasosiasikan peserta didik Membantu peserta didik dalam mendefinisikan dan untuk penyelidikan

mengorganisasikan

tugas

belajar/

penyelidikan

untuk menyelesaikan permasalahan Pelaksanaan investigasi

Mendorong

peserta

didik

untuk

memperoleh

informasi yang tepat, melaksanakan penyelidikan, dan mencari penjelasan solusi Mengembangkan

dan Membantu peserta didik merencanakan produk yang

menyajikan hasil

tepat dan relevan, seperti laporan, rekaman video, dan sebagainya untuk keperluan penyampaian hasil

Menganalisis dan mengevaluasi Membantu proses penyelidikan

peserta

didik

melakukan

refleksi

terhadap penyelidikan dan proses yang mereka lakukan

Ketika tujuan pembelajaran berbasis masalah lebih luas, maka permasalahan pun menjadi lebih kompleks dan proses pembelajaran berbasis masalah membutuhkan siklus yang lebih panjang. Jenis pembelajaran berbasis masalah yang akan dimasukkan dalam kurikulum tergantung pada profil dan kematangan siswa, pengalaman masa lalu siswa, fleksibilitas kurikulum yang ada, tuntutan evaluasi, waktu, dan sumber yang ada (Rusman, 2016:233-234). 2.2.4

Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah Menurut Hamdani (dalam Sukmawati dan Sari, 2015:78) ada beberapa kelebihan

dan kekurangan dari model PBM, yaitu: Kelebihan model ini adalah: 9

1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserap dengan baik; 2. Siswa dilatih untuk dapat bekerja sama dengan siswa lain; 3. Siswa dapat memperoleh pemecahan dari berbagai sumber.

Kekurangan model ini adalah: 1. Untuk siswa yang malas, tujuan dari model tersebut tidak dapat tercapai; 2. Membutuhkan banyak waktu dan dana; 3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan model ini.

2.3

Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw

2.3.1

Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Model ini dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dan teman-

temannya di Universitas Texas. Arti jigsaw dalam bahasa inggris adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah puzzle yaitu sebuah teka-teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif model jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (zigzag), yaitu siswa melakukan suatu kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama (Rusman, 2016:217). Pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik dan segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Dengan demikian, cara yang efektif untuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah guru membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang sangat disukainya misalnya sesame jenis, etnik, dan sama dalam kemampuan (Isjoni, 2014:54). Motivasi teman sebaya dapat digunakan secara efektif di kelas untuk meningkatkan, baik pembelajaran kognitif siswa maupun pertumbuhan efektif siswa.

10

Guru cenderung menggunakan kompetensi untuk memotivasi siswa mereka dan sering mengabaikan strategi yang ada di dalamnya terdapat kerjasama dan motivasi teman sebaya yang dapat digunakan untuk membantu siswa fokus terhadap prestasi akademis (Isjoni, 2014:57). Menurut Lei (dalam Rusman, 2016:218) jigsaw merupakan salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang fleksibel. Banyak riset telah dilakukan berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar Jigsaw. Riset tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang terlibat di dalam pembelajaran model kooperatif model jigsaw ini memperoleh prestasi lebih baik, mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih positif terhadap pembelajaran, disamping saling menghargai perbedaan dan pendapat orang lain. 2.3.2

Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Menurut Rusman (2016:218) Adapun langkah-langkah pembelajaran kooperatif

jigsaw menurut Rusman yaitu: 1.

Siswa dikelompokkan dengan anggota ±4 orang

2.

Tiap orang dalam tim diberi materi dan tugas yang berbeda

3.

Anggota dari tim yang berbeda dengan penugasan yang sama membentuk kelompok baru (kelompok ahli)

4.

Setelah kelompok ahli berdiskusi, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan menjelaskan kepada anggota kelompok tentang subbab yang mereka kuasai

5.

Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi

6.

Pembahasan

7.

Penutup

2.3.3

Karakteristik Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar

menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggung jawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang

11

bertanggung jawab terdapat subtopic yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari dua atau tiga orang. Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya dan merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompok semula. Setelah itu, siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli”dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopic tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan (Rusman, 2016:217).

2.3.4

Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Isjoni

(dalam Rosyidah, 2016:119) kelebihan pembelajaran kooperatif tipe

Jigsaw adalah: 1. Dalam kelas kooperatif siswa dapat berinteraksi denga teman sebayanya dan juga dengan gurunya sebagai pembimbing. 2. Motivasi teman sebaya dapat digunakan secara efktif untuk meningkatkan, baik pembelajaran kognitif siswa maupun pertumbuhan efektif siswa. 3. Menumbuhkan tanggung jawab siswa. 4. Mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran. 5. Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok.

Kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menurut Killen dalam (Putra, 2014:528) adalah: 1. Perbedaan persepsi siswa dalam memahami suatu konsep; 2. Siswa cenderung sulit meyakinkan siswa lain bila percaya diri yang dimiliki siswa tersebut kurang; 3. Guru cenderung membutuhkan waktu yang lama untuk merekap hasil belajar siswa berupa nilai dan kepribadian siswa; 4. Membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menguasai model pembelajaran ini;

12

5. Model pembelajaran ini cenderung lebih sulit dilakukan apabila jumlah siswa lebih banyak.

2.4

Karakteristik Siswa SMP Menurut Sugirman, dkk, (2016:11-15) untuk dapat membantu perkembangan

sosial siswa SMP secara maksimal, seorang guru matematika dapat menggunakan strategi pembelajaran yang bersifat demokratis dengan menerapkan model bimbingan bagi siswa, baik secara individu maupun kelompok. Misalnya: melalui kegiatan pembelajaran pada materi geometri, siswa diberikan arahan dan bimbingan untuk menyadari

kehadiran

matematika

dalam

kehidupan

sehari-hari.

Guru

dapat

menggunakan contoh benda-benda geometris yang konkret dan berada disekitar siswa seperti: permukaan meja, papan tulis, jendela, alamari, bola volly, dan sebagainya. Melalui aktivitas pembelajaran tersebut, siswa membangun pengetahuan dengan senantiasa menyadari akan pentingnya materi bagi kehidupannya. Disamping itu, melalui kegiatan diskusi dalam kelompok, siswa juga diarahkan untuk bertukar pikiran dan mengemukakan pendapatnya. Melalui kegiatan ini, siswa diberikan bimbingan dan arahan untuk senantiasa bertanggung jawab atas pendapatnya serta saling menghargai perbedaan pendapat satu sama lain. Dilain pihak, pembelajaran yang hanya difokuskan pada penguasan teori, maka akan timbul kebingungan dalam diri siswa akan posisi dan peran dirinya dalam mempelajari materi tersebut. Perkembangan kepribadian siswa yang berimplikasi pada hal-hal berikut dalam pembelajaran. 1. Siswa usia remaja memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap berbagai hal. Pemahaman mereka tentang dunia terus berkembang terhadap hal-hal yang dahulu mereka tidak pahami. Sebagai implikasinya, guru disarankan menyampaikan materi dikaitkan hal-hal kontekstual di kehidupan sehari-hari siswa. Gunakan rasa ingin tahu tersebut sebagai modal untul melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan inquiry learning atau discovery learning. Dalam proses pembelajaran, lakukan aktivitas yang menghubungkan antara apa yang telah mereka ketahui dengan apa yang akan mereka pelajari. 2. Pembelajaran dengan cooperative learning memiliki manfaat positif untuk mengembangkan faktor agreeableness pada kepribadian siswa. Kerjasama,

13

memahami orang lain, memiliki simpati dan empati, merupakan sikap-sikap yang dapat dikembangkan dalam proses cooperative learning. Tahap operasional formal, yakni perkembangan intelektual yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Pada tahap ini kondisi berfikir anak, yaitu: bekerja secara efektif dan inovatif, menganalisi secara kombinasi, berfikir secara proporsional, dan generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.

14

menarik

Related Documents

Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47
Bab Ii
July 2020 48
Bab Ii
June 2020 44
Bab Ii
October 2019 82

More Documents from "Mohamad Shodikin"