BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Dasar Hipoglikemia 2.1.1 Definisi Hipoglikemia merupakan suatu kegagalan dalam mencapai batas normal kadar glukosa darah (Kedia, 2011). Hipoglikemia merupakan suatu keadaan dimana kadar glukosa darah <60 mg/dL (McNaughton, 2011). Hipoglikemia atau penurunan kadar gula darah merupakan keadaan dimana kadar glukosa darah berada di bawah normal, yang dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara makanan yang dimakan, aktivitas fisik dan obat-obatan yang digunakan (Nabyl, 2009). 2.1.2 Etiologi Menurut Sabatine (2004), hipoglikemia dapat terjadi pada penderita diabetes dan non diabetes dengan etiologi sebagai berikut: a. Pada diabetes - Kelebihan dosis insulin - Kurang asupan makanan (tertunda atau lupa, terlalu sedikit, output berlebihan seperti muntah dan diare, diit berlebihan) - Aktivitas berlebihan - Gagal ginjal - Hipertiroid. b. Pada non diabetes -
Peningkatan produksi insulin
-
Aktivitas berlebihan atau dipaksa
-
Konsumsi makanan yang sedikit kalori
-
Konsumsi alcohol
-
Pasca melahirkan
-
Post gastrectomy
-
Penggunaan obat-obatan dalam jumlah besar (contoh: salisilat, sulfonamide). 1
2.1.3Klasifikasi Klasifikasi hipoglikemia menurut Setyohadi (2012), adalah: a. Hipoglikemia ringan (glukosa darah 50-60 mg/dL) Terjadi jika kadar glukosa darah menurun dan sistem saraf simpatik akan terangsang, pelimpahan adrenalin ke darah menyebabkan gejala tumor, kegelisahan, rasa lapar, dll. b. Hipoglikemia sedang (glukosa darah <50 mg/dL) Penurunan kadar glukosa dapat menyebabkan sel-sel otak tidak memperoleh bahan bakar untuk bekerja dengan baik. Tanda-tanda gangguan fungsi sistem saraf pusat mencakup ketidakmampuan berkonsentrasi, penurunan daya ingat, penglihatan ganda, perasaan ingin pingsan. c. Hipoglikemia berat (glukosa darah <35 mg/dL) Terjadi gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga pasien memerlukan pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemia. Gejalanya: serangan kejang, sulit dibangunkan bahkan kehilangan kesadaran.
2.1.4 Manifestasi Klinis Tanda dan gejala hipoglikemia menurut Setyohadi (2012) antara lain: a. Adrenergik, seperti: pucat, keringat dingin, takikardi, gemetar, lapar, cemas, gelisah, sakit kepala, mengantuk. b. Neuroglikopenia, seperti bingung, bicara tidak jelas, perubahan sikap dan perilaku, lemah, disorientasi, penurunan kesadaran, kejang, penurunan terhadap stimulus bahaya. Tanda dan gejala hipoglikemia berdasarkan klasifikasi menurut Soemadji (2006), adalah sebagai berikut: a. Hipoglikemia ringan: tremor, takikardia, palpitasi, gelisah, lapar, mual, tekanan darah menurun. b. Hipoglikemia sedang: sakit kepala, vertigo, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, perubahan emosi, perilaku irasional, penurunan fungsi rasa, gangguan koordinasi gerak, double vision. 2
c. Hipoglikemia berat: disorientasi, kejang, penurunan kesadaran.
2.1.5 Faktor Resiko Menurut Kedia (2011), terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia yaitu: a. Gangguan
kesadaran
hipoglikemia
merupakan
faktor
resiko
utama,
ketidaksadaran tersebut berarti ada ketidakmampuan untuk mendeteksi terjadinya hipoglikemia dan akibatnya, individu cenderung kurang untuk memulai tindakan korektif cepat dan lebih cenderung menderita episode parah. b. Usia muda karena kesadaran tentang tanda-tanda dan gejala yang lebih rendah.
2.1.6 Patofisiologi Hipoglikemia dalam diabetes terjadi akibat kelebihan insulin relative ataupun absolute dan juga gangguan pertahanan fisiologis yaitu penurunan plasma glukosa. Mekanisme pertahanan fisiologis dapat menjaga keseimbangan kadar glukosa darah, baik pada penderita diabetes tipe I ataupun pada penderita diabetes tipe II. Glukosa sendiri merupakan bahan bakar metabolisme yang harus ada untuk otak. Efek hipoglikemia terutama berkaitan dengan sistem saraf pusat, 8sistem pencernaan dan sistem peredaran darah (Kedia, 2011). Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Selain itu otak tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya menyimpan cadangan glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu, fungsi otak yang normal sangat tergantung pada konsentrasi asupan glukosa dan sirkulasi. Gangguan pasokan glukosa dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat sehingga terjadi penurunan suplai glukosa ke otak. Karena terjadi penurunan suplay glukosa ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan suplay oksigen ke otak sehingga akan menyebabkan pusing, bingung, lemah (Kedia, 2011). Konsentrasi glukosa darah normal, sekitar 70-110 mg/dL. Penurunan kosentrasi glukosa darah akan memicu respon tubuh, yaitu penurunan kosentrasi insulin secara fisiologis seiring dengan turunnya kosentrasi glukosa darah, 3
peningkatan kosentrasi glucagon dan epineprin sebagai respon neuroendokrin pada kosentrasi glukosa darah di bawah batas normal, dan timbulnya gejala gejala neurologic (autonom) dan penurunan kesadaran pada kosentrasi glukosa darah di bawah batas normal (Setyohadi, 2012). Penurunan kesadaran akan mengakibatkan depresan pusat pernapasan sehingga akan mengakibatkan pola nafas tidak efektif (Carpenito, 2007). Batas kosentrasi glukosa darah berkaitan erat dengan system hormonal, persyarafan dan pengaturan produksi glukosa endogen serta penggunaan glukosa oleh organ perifer. Insulin memegang peranan utama dalam pengaturan kosentrasi glukosa darah. Apabila konsentrasi glukosa darah menurun melewati batas bawah konsentrasi normal, hormon-hormon konstraregulasi akan melepaskan. Dalam hal ini, glucagon yang diproduksi oleh sel α pankreas berperan penting sebagai pertahanan utama terhadap hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan juga berperan meningkatkan produksi dan mengurangi penggunaan glukosa. Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja dalam hati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis, sehingga terjadi penurunan energi akan menyebabkan ketidakstabilan kadar glukosa darah (Herdman, 2010). Penurunan kadar glukosa darah juga menyebabkan terjadi penurunan perfusi jaringan perifer, sehingga epineprin juga merangsang lipolisis di jaringan lemak serta proteolisis di otot yang biasanya ditandai dengan berkeringat, gemetaran, akral dingin, klien pingsan dan lemah (Setyohadi, 2012). Pelepasan epinefrin, yang cenderung menyebabkan rasa lapar karena rendahnya kadar glukosa darah akan menyebabkan suplai glukosa ke jaringan menurun sehingga masalah keperawatan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dapat muncul (Carpenito, 2007).
4
2.1.7 Pathway
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan hipoglikemia adalah sebagai berikut (Setyohadi, 2012): a. Gula darah puasa Diperiksa untuk mengetahui kadar gula darah puasa (sebelum diberi glukosa 75 gram oral) dan nilai normalnya antara 70- 110 mg/dl. b.
Gula darah 2 jam post prandial Diperiksa 2 jam setelah diberi glukosa dengan nilai normal < 140 mg/dl/2 jam
5
c.
HBA1c Pemeriksaan dengan menggunakan bahan darah untuk memperoleh kadar gula darah yang sesungguhnya karena pasien tidak dapat mengontrol hasil tes dalam waktu 2- 3 bulan. HBA1c menunjukkan kadar hemoglobin terglikosilasi yang pada orang normal antara 4- 6%. Semakin tinggi maka akan menunjukkan bahwa orang tersebut menderita DM dan beresiko terjadinya komplikasi.
d.
Elektrolit, tejadi peningkatan creatinin jika fungsi ginjalnya telah terganggu
e.
Leukosit, terjadi peningkatan jika sampai terjadi infeksi
2.1.9 Penatalaksanaan Menurut Kedia (2011), pengobatan hipoglikemia tergantung pada keparahan dari hipoglikemia. Hipoglikemia ringan mudah diobati dengan asupan karbohidrat seperti minuman yang mengandung glukosa, tablet glukosa, atau mengkonsumsi makanan ringan. Dalam Setyohadi (2011), pada minuman yang mengandung glukosa, dapat diberikan larutan glukosa murni 20- 30 gram (1 ½ - 2 sendok makan). Pada hipoglikemia berat membutuhkan bantuan eksternal, antara lain (Kedia, 2011) : a. Dekstrosa Untuk pasien yang tidak mampu menelan glukosa oral karenapingsan, kejang, atau perubahan status mental, pada keadaan darurat dapat pemberian dekstrosa dalam air pada konsentrasi 50% adalah dosis biasanya diberikan kepada orang dewasa, sedangkankonsentrasi 25% biasanya diberikan kepada anak-anak. b. Glukagon Sebagai hormon kontra-regulasi utama terhadap insulin, glukagon adalah pengobatan pertama yang dapat dilakukan untuk hipoglikemia berat. Tidak seperti dekstrosa, yang harus diberikan secara intravenadengan perawatan kesehatan yang berkualitas profesional, glukagon. Hipoglikemia menyebabkan kegagalan fungsi otak yang diperbaiki setelah konsentrasi glukosa plasma meningkat pada sebagian besar kasus. Hipoglikemia berkepanjangan dapat menyebabkan kematian otak. Jelas, konsentrasi glukosa plasma harus dinaikkan ke tingkat normal segera. Pada orang dengan diabetessebagian besar episode asimtomatik atau hipoglikemia simtomatik ringan sampai sedang secara 6
efektif diterapi sendiri dengan mengkonsumsi tablet glukosa atau jus yang mengandung karbohidrat, minuman ringan, susu, permen, makanan ringan lainnya, atau makanan. Dosis glukosa yang direkomendasikan secara umum pada orang dewasa adalah 20 g. Peningkatan klinis harus terjadi dalam 15-20 menit. Namun, respon glikemik terhadap glukosa oral sering transien, biasanya kurang dari 2 jam pada hipoglikemia yang diinduksi insulin. Oleh karena itu, konsumsi camilan yang lebih substansial atau makan sesaat setelah glukosa plasma meningkat umumnya dianjurkan. Perawatanparenteral diperlukan ketika seorang pasien hipoglikemik tidak mau (karena neuroglikopenia) atau tidak dapat mengambil karbohidrat secara oral. Glukagon, injeksi sc atau im dalam dosis 1,0 mg pada orang dewasa. Itu bisa menyelamatkan nyawa, tetapi sering menyebabkan substansial, meskipun sementaradan dapat menyebabkan mual dan bahkan muntah. Meskipun glukagon dapat diberikan iv oleh tenaga medis, dalam pengaturan itu terapi parenteral standar adalah glukosa iv. Dosis glukosa standar awal adalah 25 g. Respons glikemik terhadap glukosa intravena, tentu saja, sementara. Infus glukosa berikutnya sering diperlukan, dan makanan harus diberikan secara lisan segera setelah pasien mampu menelannya dengan aman. Durasi episode hipoglikemik adalah fungsi penyebabnya. Overdosis sulfonylurea dapat menyebabkan hipoglikemia yang berkepanjangan. Rawat inap untuk perawatan dan observasi yang lama mungkin diperlukan. Octreotide telah digunakan untuk mengobati hipoglikemia yang diinduksi sulfonylurea. (Philip E. Cryer Lloyd AxelrodAshley B. Grossman Simon R. HellerVictor M. Montori Elizabeth R. SeaquistF. John Service, 2015)
2.1.10 Komplikasi Komplikasi dari hipoglikemia pada gangguan tingkat kesadaran yang berubah selalu dapat menyebabkan gangguan pernafasan, selain itu hipoglikemia juga dapat mengakibatkan kerusakan otak akut. Hipoglikemia berkepanjangan parah bahkan dapat menyebabkan gangguan neuropsikologis sedang sampai dengan gangguan neuropsikologis berat karena efek hipoglikemia berkaitan dengan system saraf pusat yang biasanya ditandai oleh perilaku dan pola bicara yang abnormal (Jevon, 2010) dan 7
menurut Kedia (2011) hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen, hipoglikemia juga dapat menyebabkan koma sampai kematian.
2.2 Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian a. Anamnesa 1) Identitas Klien Identitas pasien meliputi nama, usia, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat 2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu Penyakit yang pernah diderita: apakah ada riwayat diabetes melitus, hepatitis, gagal ginjal dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan hipoglikemia. Kaji riwayat penggunaan obat, konsumsi alcohol, aktivitas fisik yang dilakukan dan asupan makanan. 3) Riwayat Kesehatan Saat ini: a. Alasan Masuk RS: kapan terjadinya hipoglikemia, apa yang dirasakan klien dan apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasi sakitnya b. Keluhan Utama: Biasanya pasien mengeluh pusing, lemah dan penurunan konsentrasi 4) Riwayat Kesehatan Keluarga Adakah keluarga yang mengalami penyakit tertentu yang bisa menimbulkan hipoglikemia seperti diabetes mellitus atau hepatitis
b. Pengkajian Primer -
Airway:adanya sumbatan jalan nafas dan tanda-tanda bila terjadi hambatan jalan nafas
-
Breathing:Kaji pernafasan klien dengan cara Look, Listen and Feel Look : lihat ada pergerakan dada atau tidak Listen : dengar jika ada suara nafas tambahan (snoring, gargling, crowing) 8
Feel : rasakan hembusan nafas klien -
Circulation:data yang dapat diperoleh adalah detak jantung meningkat serta akral dingin dan pucat
-
Disability:Kesadaran menurun sampai koma karena otak kekurangan suplai glukosa
-
c.
Exposure:apakah ada luka/infeksi pada tubuh klien
Pengkajian Sekunder 1) Riwayat Penyakit -
Alergi: Adakah riwayat alergi terhadap obat tertentu atau makanan
-
Medikasi: adakah pengobatan khusus yang dijalani
-
Post Illnes: Riwayat penyakit yang berkaitan dengan hipoglikemi seperti diabetes melitus, hepatitis,atau gagal ginjal
-
Last Meal: pola makan terakhir dan makanan yang dikonsumsi
-
Event/Environtment: faktor yang mendasari penyakit klien bertambah parah dan diharuskan mendapatkan perawatan di RS
2) Pemeriksaan Fisik Head to Toe -
Kepala: kebersihan kulit kepala, warna rambut
-
Wajah: kesimetrisan mata, adakah lesi ataupun hiperpigmentasi pada wajah, refleks mata terhadap cahaya, konjungtiva anemis, mukosa bibir pucat,
-
Leher: adakah pembesaran kelenjar tiroid
-
Dada: Kesimetrisan dada, adakah lesi ataupun hiperpigmentasi pada dada, adakah penggunaan retraksi dada, bunyi nafas, adakah nyeri tekan
-
Abdomen: bentuk perut,adakah nyeri tekan, bunyi bising usus
-
Ekstremitas:Kelemahan dan mudah capek saat melakukan aktivitas, tonus otot mengalami penurunan,CRT dapat >2 detik, akral dingin dan pucat, berkeringat meski suhu normal
9
d. Data Penunjang Pada pemeriksaan glukosa darah, umumnya didapatkan hasil kadar glukosa darah rendah yakni 60mg/dl atau kurang.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan 1) Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan konsentrasi Hb, gangguan transport O2 2) Penurunan cardiac output b.d perubahan frekuensi/irama jantung 3) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi jalan nafas 4) Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b.d defisiensi volume cairan berlebih
10
2.2.3 Intervensi Keperawatan No.
Diagnosa
Tujuan &
Intervensi
Kriteria hasil 1.
Gangguan
perfusi NOC
1. Monitor TTV
jaringan serebral b.d
-
Circulation status
penurunan
-
Neurologic status
-
Tissue
konsentrasi gangguan
Hb, transport
2. Monitor AGD, ukuran pupil,
Prefusion
:
cerebral
kesimetrisan dan reaksi 3. Monitor
adanya
diplopia,
pandangan
O2 Kriteria hasil: -
Tekanan
-
kabur, nyeri kepala sistole
dan
level
kebingungan
normal
orientasi
dan
5. Monitor
tekanan
kesadaran yang baik
intrkranial dan respon
Menunjukkan
nerologis
konsentrasi
-
4. Monitor
diastole dalam rentang
Menunjukkan tingkat
-
ketajaman,
dan
6. catat perubahan pasien
orientasi
dalam
Tidak mengalami nyeri
stimulus
kepala
merespon
7. Pertahankan parameter hemodinamik 8. Tinggikan kepala 045o tergantung konsisi
pasien
pada dan
order medis 2.
Penurunan
cardiac NOC
output b.d perubahan
-
frekuensi/irama jantung
Cardiac
Pump
1.
Evaluasi adanya nyeri
effectiveness
dada
-
Circulation status
lokasi, durasi)
-
Vital sign status
Kriteria Hasil:
2.
(intensitas,
Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output
11
- Tanda
vital
Monitor
adanya
rentang normal (tekanan
perubahan
tekanan
darah, nadi, respirasi)
darah
- Dapat
dalam
mentoleransi
aktivitas,
tidak
3.
4.
ada
dan
kelelahan
perifer dan tidak ada
5.
ada
penurunan
b.d
-
obstruksi jalan nafas
6.
1. Respiratory
status:
nadi,
Respiratory
Monitor suhu, warna
Auskultasi
suara
nafas sebelum dan
ventilation -
TD,
dan kelembaban kulit
Bersihan jalan nafas NOC efektif
Monitor
suhu dan RR
kesadaran
tidak
untuk
kelelahan
asites
3.
istirahat
menghindari
- Tidak ada edema paru,
- Tidak
Atur periode latihan
sesudah suctioning status:
2.
Airway patency
Monitor
satus
oksigen pasien
Kriteria hasil:
3.
- Mendemonstrasikan
Posisikan
pasien
untuk
batuk efektif dan suara
memaksimalkan
nafas yang bersih, tidak
ventilasi
ada sianosis dan dyspneu
4.
(mampu mengeluarkan sputum dengan mudah,
5.
Keluarkan
sekret
dengan batuk atau
jalan
nafas yang paten (klien
fisioterapi
dada jika perlu
tidak ada pursed lips) - Menunjukkan
Lakukan
suction 6.
Berikan O2 dengan
tidak merasa tercekik,
menggunakan nasal
irama nafas, frekuensi
untuk memfasilitasi
pernafasan
suksion nasotrakeal
dalam
rentang normal, tidak ada
suara
abnormal)
12
nafas
4.
Resiko
1. Monitor
gangguan NOC
masukan
keseimbangan cairan
- Fluid balance
makanan/cairan dan
dan elektrolit
- Hydration
hitung intake kalori
b.d defisiensi volume
- Nutritional status: food
harian
cairan berlebih
2. Monitor status hidrasi
and fluid intake Kriteria hasil: -
(kelembaban
mempertahankan
urine
membran mukosa ,
dengan
nadi adekuat, tekanan
usia, BB, BJ urin normal,
darah ortostatik), jika
HT normal
diperlukan
output
sesuai
- tekanan darah, nadi, suhu tubuh
dalam
batas
normal - tidak
3. Monitor vital sign 4. Monitor respon klien terhadap
ada
dehidrasi
tanda-tanda
penambahan cairan 5. Dorong pasien untuk menambah
intake
oral 6. Kolaborasi
untuk
pemberian
cairan
tambahan melalui IV sesuai keperluan
13