BAB II PEMBAHASAN
Pedagang Besar Farmasi adalah suatu usaha berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran, perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai perundang-undangan yang berlaku. MenurutSK Mentri Kesehatan no:243/MENKES/SK/V/1990 tentang PBF sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kefarmasian dewasa ini, maka ditetapkan peraturan Kementrian Kesehatan no:918/MANKES/PER/X/1993 bahwa PBF adalah badan hukum berbentuk persoraan terbatas atau koperasi yang memiliki izin mengadakan penyimpanan dan penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/ MENKES/ PER/ VI/ 2011 tentang Pedagang Besar Farmasi yang dimaksud dengan Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 1 ayat 12 yang berbunyi Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memilki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran perbekalan farmasi dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Peraturan tersebut juga memberikan batasan terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan kegiatan Pedagang Besar Farmasi yaitu batasan mengenai : Perbekalan Farmasi adalah perbekalan yang meliputi obat, bahan obat dan alat kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan adalah apotik, rumah sakit, atau unit kesehatan lainnya yang ditetapkan Mentri Kesehatan, toko obat dan pengecer lainnya.
Setiap PBF harus memiliki apoteker penanggung jawab yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat.Apoteker penanggung jawab harus memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
PBF atau PBF cabang menyalurkan obat berdasarkan pesanan yang di apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab. Dikecualikan untuk pesanan untuk kepentingan lembaga ilmu pengetahuan, surat pesanan ditandatangani oleh pimpinan lembaga. UNtuk peyaluran obat atau bahan obat berupa obat keras, surat pesanan harus ditandatangai oleh apoteker penanggung jawab atau apoteker pengelola apotik. PBF atau PBF cabang yang melakukan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran narkotik harus memiliki izin khusus sesuai peraturan perundang undangan. PBF atau PBF cabang yang melakukan pegubahan kemasan dari kemasan aslinya atau pengemasan kembali terhdap kemasan aslinya dari bahan obat wajib melakukan pengujian mutu dan wajib memiliki ruang pengemasan kembali.
Penyelenggaraan PBF Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang PBF tercantum bahwa PBF hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri. Untuk pengadaan obat di PBF, PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF. Setiap PBF harus memiliki apoteker penanggung jawab yang telah memiliki izin yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat. Namun, dilarang merangkap jabatan sebagai direksi atau pengurus PBF. Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, direksi atau pengurus PBF wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja. PBF dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat wajib menerapkan Pedoman Teknis CDOB. PBF yang telah menerapkan CDOB diberikan sertifikat CDOB oleh Kepala Badan. Setiap PBF wajib melaksanakan dokumentasi pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran di tempat usahanya dengan mengikuti pedoman CDOB. Dokumentasi tersebut dapat dilakukan secara elektronik dan setiap saat harus dapat diperiksa oleh petugas yang berwenang (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012). Penyelenggaraan PBF Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang PBF tercantum bahwa PBF hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri. Untuk pengadaan obat di PBF, PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF. Setiap PBF
harus memiliki apoteker penanggung jawab yang telah memiliki izin yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat. Namun, dilarang merangkap jabatan sebagai direksi atau pengurus PBF. Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, direksi atau pengurus PBF wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan Provinsi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja. PBF dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat wajib menerapkan Pedoman Teknis CDOB. PBF yang telah menerapkan CDOB diberikan sertifikat CDOB oleh Kepala Badan. Setiap PBF wajib melaksanakan dokumentasi pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran di tempat usahanya dengan mengikuti pedoman CDOB. Dokumentasi tersebut dapat dilakukan secara elektronik dan setiap saat harus dapat diperiksa oleh petugas yang berwenang (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2012). Alur Pendistribusian Perbekalan Farmasi PBF dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat wajib menerapkan Pedoman Teknis CDOB. Pabrik Farmasi dapat menyalurkan hasil produksinya langsung ke PBF, Apotik, Toko Obat dan saran pelayanan kesehatan lainnya. (Permenkes 918/Menkes/Per/X/1993). Apotek dilarang membeli atau menerima bahan baku obat selain dari PBF Penyalur Bahan Baku Obat PT. Kimia Farma dan PBF yang akan ditetapkan kemudian. (Permenkes 287/Menkes/SK/XI/76 tentang Pengimporan, penyimpanan dan penyaluran bahan baku obat). a.
Sistem Distribusi Obat yang ideal PBF hanya dapat menyalurkan obat kepada PBF lain, dan fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik dan toko obat (selain obat keras). Dalam pelaksanaan penyaluran sediaan farmasi di PBF terdapat beberapa ketentuan, yakni meliputi penyaluran obat, narkotika dan psikotropika (Kementerian Kesehatan RI, 2011a).
a.
Penyaluran Obat Untuk memenuhi kebutuhan pemerintah, PBF dapat menyalurkan obat kepada instansi pemerintah yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, PBF tidak dapat menyalurkan obat keras kepada toko obat (Kementerian Kesehatan RI, 2011a). PBF hanya melaksanakan penyaluran obat berupa obat keras berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab (Kementerian Kesehatan RI, 2011a).
b.
Penyaluran Narkotika Setiap PBF yang melakukan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran narkotika wajib memiliki izin khusus sesuai ketentuan peraturan perundangundangan (Kementerian Kesehatan RI, 2011a).
c.
Obat psikotropika Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 5 tahun 1997, psikotropika adalah zat/obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, berkhasiat psikoatif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat, menyebabkan perubahan khas pada mental perilaku. (Adi Darmansyah, 2010)
1)
Klasifikasi psikotropika Ruang lingkup pengaturan dibidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindrom ketergantungan penggolongan psikotropika digolongkan menjadi :
a)
Psikotropika Golongan I
b)
Psikotropika Golongan II
c)
Psikotropika Golongan III
d)
Psikotropika Golongan IV Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Sekalipun pengaturan dalam Undang-undang ini hanya meliputi psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III, dan psikotropika golongan IV, masih terdapat psikotropika lainnya yang tidak mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, tetapi digolongkan sebagai obat keras. Oleh karena itu, pengaturan, pembinaan, dan pengawasannya tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang obat keras. 2)
Jalur Distribusi Psikotropika Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan. Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat,pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah. Penyaluran psikotropika hanya dapat dilakukan oleh : 1. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan. 2. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lainnya, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan. 3. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit Pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan Pemerintah. Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan. Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan atau diimpor secara langsung oleh lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan. Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, Puskesmas, balai pengobatan, dan dokter. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien. Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas hanya dapat dilakukan kepada pengguna/ pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan, puskesmas dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
Penyerahan psikotropika oleh dokter dilaksanakan dalam hal : menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat, menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek. Psikotropika yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh dari apotek. (Kusumadewi, 2011) 3)
Pelaporan Penggunaan Psikotropika Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesma, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika. Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan kepada menteri
secara
berkala.
Sanksi
Terhadap
Pelanggaran
UU
Psikotropika
Barangsiapa : 1) menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); atau 2) memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau 3) mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau 4) mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau 5) secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I; dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 6) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 7) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pelaporan Kegiatan PBF (Kementerian Kesehatan RI, 2011a)
Setiap PBF wajib menyampaikan laporan kegiatan setiap 3 (tiga) bulan sekali namun dapat diminta setiap saat, meliputi kegiatan penerimaan dan penyaluran obat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM. Setiap PBF yang menyalurkan narkotika dan psikotropika wajib menyampaikan laporan bulanan penyaluran narkotika dan psikotropika sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Laporan tersebut dapat dilakukan secara elektronik dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, laporan tersebut dapat setiap saat harus dapat diperiksa oleh petugas yang berwenang. Larangan PBF (Kementerian Kesehatan RI, 2011) Dalam melaksanakan kegiatannya, terdapat beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan di PBF, yakni: setiap PBF dilarang menjual obat secara eceran; setiap PBF dilarang menerima dan/atau melayani resep dokter. Sistem Pengadaan di PBF Faktor-faktor pembelian Barang yang masuk ke PBF dapat berasal dari pembelian kontan atau kredit. Faktor yang harus diperhatikan pada pembelian obat, yaitu kondisi keuangan, waktu pembelian, jarak PBF dengan pemasok, frekuensi dan volume pembelian, jenis barang yang akan dibeli, tanggal daluarsa, Dalam siklus penyaluran obat di PBF, pembelian merupakan tahap awal dalam siklus ini. Pengontrolan volume pembelian penting dilakukan karena semakin kecil volume pembelian semakin besar frekuensi order. Hal ini berdampak pada biaya pemesanan meningkat dan meningkatnya beban pekerjaan untuk penerimaan, pemeriksaan dan pencatatan barang yang datang. Sebaliknya jika volume pembelian besar akan menurunkan frekuensi pembelian, namun akan mengakibatkan besarnya biaya penyimpanan karena membutuhkan ruangan yang besar, meningkatnya resiko barang tidak laku karena rusak atau kedaluarsa dan tentu saja membutuhkan modal yang besar. 1.
Fungsi persediaan Beberapa fungsi persediaan di PBF, yaitu:
a.
Menghilangkan resiko keterlambatan pengiriman barang (obat) yang dibutuhkan).
b.
Menghilangkan resiko jika barang yang dipesan tidak baik dan harus dikembalikan.
c.
Menghilangkan resiko terhadap kenaikan harga barang (inflasi).
d.
Menyimpan barang yang dihasilkan secara musiman atau tidak diproduksi untuk sementara.
e.
Mendapatkan keuntungan dari pembelian berdasarkan kuantitas.
f.
Memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan tersedianya barang yang diperlukan.
g.
Mengantisipasi kelonjakan permintaan yang dapat diramalkan.
2.
Pengendalian Persediaan Pengendalian persediaan obat merupakan salah satu upaya untuk mencapai pengadaan obat yang efektif. Menurut Calhoun dan Campbell (1985), pengendalian persediaan obat bertujuan untuk mengontrol arus biaya pengadaan obat dan menjamin ketersediaan obat secara tepat waktu. Parameter yang terdapat dalam pengendalian persediaan terdiri dari (Quick, 1997):
a.
Konsumsi rata-rata Konsumsi rata-rata sering juga disebut permintaan (demand). Permintaan yang diharapkan pada pemesanan selanjutnya merupakan variabel utama yang menentukan berapa banyak stok barang yang harus dipesan.
b.
Lead Time (Waktu Tunggu) Waktu tunggu merupakan waktu yang dibutuhkan mulai dari pemesanan sampai dengan penerimaan barang dari pemasok yang telah ditentukan. Waktu tunggu ini berbeda-beda untuk setiap pemasok. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh pada waktu tunggu adalah jarak antara pemasok dengan pihak pembeli, jumlah pesanan, dan kondisi pemasok.
c.
Safety stock (Stok Pengaman) Stok pengaman merupakan persediaan yang selalu ada dicadangkan untuk menghindari kekosongan stok akibat beberapa hal. Stok pengaman disediakan untuk mengantisipasi keterlambatan barang pesanan atau untuk menghadapi suatu keadaan tertentu yang mengakibatkan perubahan pada permintaan misalnya karena adanya wabah penyakit.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2012). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. No. HK.03.1.34.11.12.7542 tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara distribusi Obat Yang Baik. Jakarta: Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1148/MENKES/PER/VI/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2009, PP No. 51 tahun 2009. Jakarta. Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta. Presiden Republik Indonesia. (1998). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 72 tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan. Jakarta.