Bab Ii Edit-1.docx

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii Edit-1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,019
  • Pages: 29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang

menetap akibat demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%). Penyakit jantung reumatik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya.3

2.2

Anatomi dan Fisiologi Jantung4

2.2.1 Anatomi Jantung Jantung terletak di rongga toraks sekitar garis tengah antara sternum di sebelah anterior dan vertebra di sebelah posterior. Jantung memiliki pangkal lebih lebar di sebelah atas dan meruncing membentuk ujung yang disebut apeks di dasar. Sewaktu jantung berkontraksi secara kuat, apeks membentur bagian dalam dinding dada di sisi kiri. Kenyataan bahwa jantung terletak antara dua struktur tulang, sternum dan vertebra digunakan sebagai bagian dari resusitasi jantung paru pada tindakan penyelamatan. Anatomi jantung dapat dlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Anatomi Jantung5

3

4

Jantung dibagi menjadi separuh kanan dan kiri, yaitu atria (atrium, tunggal) menerima darah yang kembali ke jantung dan memindahkannya ke ventrikel yang memompa darah dari jantung ke seluruh tubuh. Pembuluh yang mengembalikan darah dari jaringan ke atria adalah vena (vena kava), dan pembuluh yang mengangkut dari menjauhi ventrikel menuju jaringan adalah arteri (aorta abdominalis). Kedua belah jantung dipisahkan oleh septum, otot kontinyu yang mencegah pencampuran darah dari kedua sisi jantung. Adanya empat katup jantung memastikan darah mengalir satu arah. Empat katup jantung terdiri dari katup atrioventrikuler (AV) kanan dan kiri. Katup AV kanan disebut juga katup trikuspid karena terdiri dari tiga buah katup dan katup AV kiri terdiri dari dua buah katup disebut juga katup bikuspid atau katup mitral. Dua katup lainnya, katup aorta dan katup pulmonalis keduanya dikenal dengan katup semilunaris karena terdiri dari tiga daun katup yang masing-masing mirip separuh bulan. Tepi-tepi daun katup AV diikat oleh tali fibrosa yang disebut korda tendinae. Tali-tali ini melekat ke otot papilaris. Letak katup trikuspid setinggi ICS IV

parasternal

kiri,

katup

bikuspid/mitral

letaknya

setinggi

ICS

V

medioklavikularis kiri, katup aorta letaknya setinggi ICS II parasternal kanan dan ketup pulmonal letaknya setinggi ICS II parasternal kiri. 2.2.2 Fisiologi Jantung4 Darah yang kembali dari sirkulasi sistemik masuk ke atrium kanan melalui vena-vena besar yang dikenal dengan vena kava. Darah yang masuk ke atrium kanan kembali dari jaringan tubuh kaya karbondioksida. Darah tersebut mengalir dari atrium kanan ke ventrikel kanan dan memompanya keluar melalui arteri pulmonalis ke paru. Di dalam paru CO2  O2 dan dikembalikan ke atrium kiri melalui vena pulmonalis. Darah dari atrium kiri mengalir ke dalam ventrikel kiri dan memompa ke semua sistem tubuh kecuali paru. Arteri besar yang membawa darah menjauhi ventrikel kiri adalah aorta abdominalis. Sirkulasi paru adalah sistem yang memiliki tekanan dan resistensi yang rendah, sedangkan sirkulasi sistemik adalah sistem dengan tekanan dan resistensi yang tinggi. Walaupun sisi kiri dan kanan jantung memompa darah dalam jumlah yang sama, sisi kiri melakukan kerja yang lebih besar karena harus memompa

5

dalam resistensi yang tinggi. Dengan demikian otot jantung sebelah kiri jauh lebih tebal daripada otot jantung sebelah kanan. Katup jantung membuka dan menutup secara pasif karena adanya perbedaan tekanan. Katup-katup ini terbuka ketika tiap-tiap tekanan ventrikel kanan dan kiri melebihi tekanan di aorta dan arteri pulmonalis, selama ventrikel berkontraksi dan mengosongkan isinya. Katup tertutup apabila ventrikel melemas dan tekanan ventrikel turun di bawah tekanan aorta dan arteri pulmonalis. Ketika ventrikel berkontraksi, otot papilaris juga berkontraksi, menarik ke bawah korda tendinae. Tarikan ini menimbulkan ketegangan di daun katup AV yang tertutup, sehingga daun katup dapat tertahan dalam posisinya dan tetap menutup rapat walaupun terdapat gradien yang besar ke arah belakang.

2.3

Etiologi6 Katup-katup jantung rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai

dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Group A β-hemolytic streptococcus (GABHS), bakteri yang bisa menyebabkan demam rematik. Streptococcus merupakan bakteri gram-positif berbentuk bulat, yang mempunyai

karakteristik dapat

membentuk

pasang atau rantai

selama

pertumbuhannya. Streptococcus termasuk kelompok bakteri yang heterogen. Sebagian besar dari streptococcus group A,B, dan C memiliki kapsul yang terdiri dari asam hialuronat, yang menghalangi fagositosis. Dinding sel terdiri dari protein (antigen M, T, dan R ), karbohidrat (kelompok spesifik), dan peptidoglikan. Pili terdapat pada grup A, yang berisi sebagian dari protein M dan dilindungi oleh asam lipoteichoic, merupakan komponen penting untuk perlekatan streptococcus pada sel epithelial. Protein M merupakan faktor utama S.pyogenes grup A, yang menjadikan bakteri virulen dan akan menolak fagositosis oleh PMN. Terdapat lebih dari 80 jenis protein M, sehingga menyebabkan seseorang dapat terinfeksi berkali-kali. Memiliki molekul berbentuk seperti batang yang menggulung yang memisahkan fungsi utamanya. Struktur seperti ini memungkinkan terjadinya perubahan urutan

6

yang bessar ketika mempertahankan fungsinya, dengan 2 kelas struktur utama pada protein M yaitu kelas I dan kelas II. Protein M dan antigen dinding sel bakteri streptococcus yang lain memiliki peranan penting dalam patogenesis pada demam rematik. Komponen dinding sel pada jenis M tertentu yang dapat mengakibatkan antibodi bereaksi dengan jaringan otot jantung.

Gambar 2. Struktur permukaan sel Streptococcus pyogenes dan sekresi produk yang berperan dalam virulensi.6 2.4

Patofisiologi Demam reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang

disebabkan Group A β-hemolytic streptococcus (GABHS). Reaksi autoimun terhadap infeksi Streptococcus secara hipotetif akan menyebabkan kerusakan jaringan ataumanifestasi demam reumatik, sebagai berikut.7 1.

Group A β-hemolytic streptococcus (GABHS) akan menyebabkan infeksi pada faring

2.

Antigen GABHS akan menyebabkan pembentukan antibodi pada hospes yang hiperimun

7

3.

Antibodi akan bereaksi dengan antigen GABHS, dan dengan jaringan hospes yang secara antigenik sama seperti GABHS (dengan kata lain antibodi tidak dapat membedakan antara antigen GABHS dengan antigen jaringan jantung),

4.

Autoantibodi

tesebut

bereaksi

dengan

jaringan

hospes

sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan. Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratif misalnya faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan leukositosis. Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit.8,9 Terdapat penelitian yang menyimpulan bahwa demam rematik yang menyebabkan penyakit jantung rematik terjadi akibat sensitisasi dari antigen streptokokus sesudah 1-4 minggu infeksi streptokokus di faring (proses delayed autoimmune).10 Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi memiliki peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebut adalah protein M yang merupakan eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.11 Antibodi yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh

8

memiliki struktur yang mirip dengan antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan tubuh.12 Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.12 Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang sama dengan protein miosin, tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan Nasetilglukosamin pada tubuh manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T anti miosin dan anti protein M. Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcus beta hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung yang menyebabkan kerusakan valvular.9,13 Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelah proses inflamasi mereda, verrucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus berulang verrucae baru akan terbentuk didekat verrucae yang lama dan bagian mural dari endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.14 Demam reumatik aktif yang tidak diobati berlangsung antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, rata-rata sekitar 8 sampai 16 minggu. Timbulnya insufisiensi katup biasanya memerlukan waktu yang lama, kadang-kadang sampai 20 tahun, meskipun bisa juga timbul 2-3 tahun sesudah ditemukannya gejala demam reumatik. Pada beberapa orang, timbul bising baru setelah 20 tahun.15

9

Faringitis

DRA

PJR 8-16 minggu

1-4 minggu

Gagal jantung 2-3 tahun

Gambar 3. Perjalanan penyakit PJR

2.5

Gambaran Penyakit Katup16

2.5.1 Insufisiensi Mitral Insufisiensi ini merupakan akibat perubahan struktural yang biasanya meliputi kehilangan bahan valvuler dan pemendekan serta penebalan kordae tendinea. Selama demam reumatik akut dengan keterlibatan jantung berat, gagal jantung kongestif paling sering disebabkan oleh gabungan pengaruh mekanik insufisiensi mitral berat bersama dengan penyakit radang yang dapat melibatkan perikardium, miokardium, endokardium dan epikardium. Karena beban volume yang besar dan proses radang, ventrikel kiri menjadi besar dan tidak efisien. Atrium kiri dilatasi ketika darah beregurgitasi ke dalam ruangan ini. kenaikan tekanan atrium kiri mengakibatkan kongestif pulmonal dan gejala-gejala gagal jantung sisi kiri. Pada kebanyakan kasus insufisiensi mitral ada dalam kisaran ringan sampai sedang. Bahkan, pada penderita-penderita yang pada permulaannya insufisiensi berat, biasanya kemudian ada perbaikan spontan. Hasilnya lesi kronis paling sering ringan atau sedang, dan penderita akan tidak bergejala. Lebih separuh penderita dengan insufisiensi mitral selama serangan akut akan tidak lagi mempunyai bising akibat mitral setahun kemudian. Namun, pada penderita dengan insufisiensi mitral kronis, berat, tekanan arteri pulmonalis menjadi naik, pembesaran ventrikel dan atrium kanan yang selanjutnya akan terjadi gagal jantung sisi kanan. 2.5.2 Stenosis Mitral Reumatik Stenosis mitral reumatik adalah akibat fibrosis cincin mitral, perlekatan komisura, dan kontraktur daun katup, korda, dan muskulus papilare selama periode waktu yang lama. Stenosis ini biasanya 10 tahun atau lebih agar lesi menjadi betul-betul tegak, walaupun prosesnya kadang-kadang dapat dipercepat.

10

Stenosis mitral reumatik jarang ditemukan sebelum remaja dan biasanya tidak dikenali sampai umur dewasa. Stenosis mitral secara klinis diketahui jika lubang katup mengurang sampai 25% atau kurang dari lubang katup yang diharapkan normal. Pengurangan demikian berakibat keniakan tekanan dan pembesaran serta hipertrofi atrium kiri. Kenaikan tekanan menyebabkan hipertensi vena pulmonalis, kenaikan tekanan vaskuler pulmonal dan hipertensi pulmonal. Dilatasi ventrikel dan atrium kanan, dan terjadi hipertrofi dengan disertai gagal jantung sisi kanan. 2.5.3 Insufisiensi Aorta Pada insufisiensi aorta reumatik kronis, sklerosis katup aorta menyebabkan penyimpangan dan retraksi kuspid. Regurgitasi darah menyebabkan beban volume berlebih dengan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi mitral dan aorta lebih sering daripada keterlibatan aorta saja. Gagal ventrikel kiri akhirnya dapat terjadi. 2.7

Diagnosis Diagnosis PJR ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. 2.7.1 Anamnesis Pada anamnesis, didapatkan riwayat demam reumatik yang memenuhi kriteria Jones seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Jones17 Kriteria Mayor

Kriteria Minor

1. Karditis

1. Demam

2. Poliartritis

2. Poliatralgia

3. Chorea Sydenham

3. Lab (Peningkatan CRP dan

4. Nodul Subkutan 5. Eritema Marginatum

Leukosit 4. Interval PR memanjang pada EKG

Selain itu, pada anamnesis juga didapatkan keluhan sesak napas saat beraktivitas, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea (PND), syncope, edema perifer, dan nyeri dada.18

11

Penegakan diagnosa menurut Kriteria WHO tahun 2002-2003 untuk diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik (berdasarkan revisi kriteria Jones) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Diagnosis Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik WHO 2002-2003.17 Grup

Klasifikasi

A

Demam reumatik serangan pertama: 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor + Streptokokus B hemolitikus grup A bukti infeksi sebelumnya

B

Demam reumatik serangan rekuren tanpa penyakit jantung reumatik: 2 mayor atau major dan 2 minor + bukti Streptokokus B hemolitikus grup A sebelumnya

C

Demam reumatik serangan rekuren dengan penyakit jantung reumatik: 2 minor + bukti Streptokokus B hemolitikus grup A sebelumnya

D

Chorea Sydenham: tidak perlu kriteria mayor lainnya atau bukti Streptokokus B hemolitikus grup A

E

Penyakit jantung reumatik (stenosis mitral murni atau kombinasi dengan insufisiensi dan atau gangguan aorta): tidak perlu kriteria lain

2.7.2 Pemeriksaan Fisik16 2.7.2.1 Insufisiensi Mitral Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung pada keparahannya. Pada penyakit ringan, tanda-tanda gagal jantung tidak akan ada, prekordium akan tenang, dan auskultasi akan menunjukkan bising holosistolik di apeks, menjalar ke aksila. Ada insufisiensi mitral berat, dapat ada tanda-tanda gagal jantung kronis, meliputi kelelahan, penambahan berat, lemah, dan dispnea pada saat kerja. Jantung membesar dengan impuls prekordial ventrikel kiri apeks kuat angkat dan sering ada getaran (thrill) sistolik di apeks. Bunyi jantung pertama normal; bunyi jantung ke 2 mungkin diperkuat jika ada hipertensi pulmonal. Bunyi jantung ke 3 biasanya jelas. Jarang ada klik ejeksi mid sistolik, seperti ditemukan pada prolaps katup mitral nonreumatik. Bising holosistolik terdengar di apeks menjalar ke

12

aksila dan tepi sternum. Lagipula, bising rumble mid-diastolik pendek menyertai bunyi jantung ke-3; bising ini disebabkan oleh bertambahnya aliran darah dari beban volume atrium kiri yang melewati katup mitral sebagai akibat insufisiensi masif. Adanya bising diastolik yang disertai dengan insufisiensi tidak perlu berarti bahwa ada stenosis mitral mekanik. Lesi yang kedua ini memerlukan bertahuntahun untuk terjadi dan ditandai oleh bising diastolik yang lebih panjang dengan pengerasan presistolik. Pada anak muda dengan insufisiensi mitral dan tidak ada riwayat kecurigaan demam reumatik akut, diagnosis bandingnya antara kelainan katup mitral kongenital dan keterlibatan katup mitral reumatik atas dasar pemeriksaan fisik mungkin sukar. 2.7.2.2 Stenosis Mitral Reumatik Biasanya ada korelasi yang baik antara gejala dan keparahan obstruksi. Penderita dengan lesi ringan tidak bergejala. Derajat obstruksi yang lebih berat disertai dengan tidak tahan kerja dan dispnea. Lesi berat dapat menimbulkan ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, dan edema paru yang nyata. Gejalagejala ini dapat dipercepat oleh takikardia yang tidak terkendali, fibrilasi atrium, atau infeksi paru. Gagal jantung kongestif biasanya ada tetapi tidak selalu disertai dengan hipertensi pulmonal berat. Dilatasi ventrikel kanan dapat menyebabkan insufisisensi trikuspidal fungsional, hepatomegali, asites, dan edema. Hemoptisis karena robekan vena bronkial atau vena pleurohilus, dan kadang-kadang dapat terjadi infark paru. Sputum dengan bercak darah tampak selama episode edema paru. Pada stenosis mitral berat kronis, tampak sianosis dan kemerahan pipi. Tekanan vena jugularis naik bila ada gagal jantung kongestif, penyakit katup trikuspidal atau hipertensi pulmonal berat. Ukuran jantung normal pada penyakit minimal. Kardiomegali sedang biasanya ada pada stenosis mitral berat dan irama sinus, tetapi pembesaran jantung dapat masif terutama bila timbul fibrilasi atrium dan gagal jantung. Impuls apeks normal, tetapi kuat angkat ventrikel kanan parasternal dapat diraba bila tekanan pulmonal tinggi. Tanda auskultasi utama adalah bunyi jantung pertama keras, opening snap katup mitral, dan bising diastolik mitral rumbel, panjang, nada rendah dengan pengerasan presistolik pada apeks. Bising diastolik mitral sebenarnya mungkin tidak ada pada

13

penderita yang dalam keadaan gagal jantung kongestif. Bising holosistolik karena insufisiensi trikuspidal mungkin juga dapat didengar. Bila ada hipertensi pulmonal, komponen pulmonal bunyi jantung ke-2 keras. Bising diastolik awal dapat disebabkan oleh insufisiensi aorta yang terkait atau insufisiensi katup pulmonal sekunder (bising Graham Steell). 2.7.2.3 Insufisiensi Aorta Gejala-gejala tidak biasa kecuali pada insufisiensi aorta berat. Volume sekuncup yang besar dan kontraksi ventrikel kiri yang penuh kekuatan dapat menimbulkan palpitasi. Keringat berlebihan dan tidak tahan panas terkait dengan vasodilatasi. Dispnea pada saat kerja dapat menjelek menjadi ortopnea dan edema paru; angina dapat terjadi selama kerja berat. Pada remaja dengan insufisiensi berat, serangan malam hari dengan berkeringat, takikardia, nyeri dada, dan hipertensi dapat terjadi. Tekanan nadi lebar dengan nadi perifer melambung. Tekanan darah sistolik naik, dan tekanan darah diastolik lebih rendah. Pada insufisiensi aorta berat, jantung membesar dan ada kuat angkat apeks ventrikel kiri. Mungkin ada getaran sistolik. Bising khas mulai tepat pada bunyi jantung ke 2 dna berlanjut sampai akhir diastol. Bising terdengar pada linea parasternalis atas dan tengah dengan penjalaran ke apeks dan ke daerah aorta. Secara khas, bising mempunyai kualitas nada tinggi, bergaung. Biasanya bising lebih mudah dapat didengar pada ekspirasi penuh dengan diafragma stetoskop ditempatkan kuat pada dada dan penderita condong ke depan. Kadang-kadang, bising ini lebih keras pada posisi terlentang. Bising sistolik ejeksi yang kadang-kadang didahului oleh klik sering terdengar dan ditibulkan oleh volume sekuncup yang besar. bising presistolik di apeks (Austin Flint) menyerupai bising stenosis mitral, kadang-kadang terdengar dan merupakan akibat dari aliran regurgitan aorta besar pada diastole yang menghalangi katup mitral terbuka secara penuh.

14

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang10 2.7.3.1 Insufisiensi Mitral 1.

Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi (EKG) umumnya bergantung pada derajat

penyakit. Pada lesi ringan gambaran EKG normal; bahkan pada insufisiensi mitral sedang atau berat pun EKG-nya mungkin normal. Gelombang P mungkin berlekuk dan lebar (P mitral). Fibrilasi atrium terjadi pada sebagian pasien dengan penyakit yang lama, terutama dengan atrium kiri yang besar. Kontraksi atrium prematur atau kontraksi ventrikel prematur dapat terjadi selama beberapa bulan, mendahului terjadinya fibrilasi atrium. Kriteria voltase untuk hipertrofi ventrikel kiri tampak pada pasien dengan insufisiensi mitral berat. Kelainan gelombang T dan segmen ST dapat diakibatkan oleh hipertrofi ventrikel kiri atau oleh terapi digitalis. Hipertrofi ventrikel kanan biasanya berhubungan dengan hipertensi pulmonal. Gambaran pada insufisiensi mitral dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Gambaran elektrokardiografi pada anak dengan insufisiensi mitral.10

2.

Radiologi Gambaran radiologis normal pada lesi ringan. Pada insufisiensi yang

bermakna, atrium kiri membesar dari ringan sampai sangat berat, kadang terjadi aneurisme. Bayangan (siluet) ventrikel kiri biasanya jelas pada insufisiensi mitral sedang atau berat karena dilatasi venrrikel ini. Penonjolan arteri pulmonalis, ventrikel kanan, dan atrium kanan terjadi pada gagal jantung atau hipertensi pulmonal berat. Walaupun tanda hipertensi pulmonal mungkin ada, tanda ini tidak sejelas pada stenosis mitral. Bila terdapat kegagalan ventrikel kiri, garis septum mungkin jelas. Kalsifikasi katup mitral jarang terjadi pada insufisiensi mitral murni, tetapi cukup sering terjadi pada kombinasi insufisiensi dan stenosis mitral;

15

pemeriksaan tanda ini sebaiknya dilakukan dengan alat pembesar. Foto dada pasien dengan insufisiensi mitral reumatik dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Foto dada pasien dengan insufisiensi mitral reumatik.10

3.

Ekokardiografi Ekokardiografi 2-dimensi pada insufisiensi mitral murni sedang dan berat

menunjukkan pembesaran yang seimbang antara atrium kiri dan ventrikel kiri. Insufisiensi mitral ringan biasanya tidak menyebabkan pembesaran ruang jantung namun dapat dideteksi dengan Doppler. Derajat insufisiensi dapat diukur secara kasar dengan pemetaan spasial dalam atrium kiri dengan teknik Doppler. Pandangan 4 ruang-apikal paling sering digunakan, namun kombinasi dengan pandangan lain dapat memperbaiki ketepatan. Tanda ekokardiografi prolaps katup mitral dapat ditemukan pada penyakit jantung reumatik kronik. Gambaran ekokardiogram pada insufisiensi mitral dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Ekokardiogram pada insufisiensi mitral.10

16

2.7.3.2 Stenosis Mitral Reumatik 1.

Elektrokardiografi Pada stenosis mitral ringan elektrokardiogram normal, sedangkan pada

stenosis mitral yang lebih berat gelombang P lebar dan berlekuk, P mitral, petunjuk adanya pelebaran atrium kiri. Gelombang P yang tinggi, P pulmonal, yang menunjukkan dilatasi atrium kanan, dapat ditemukan jika tahanan vaskular paru tinggi, atau bila terdapat stenosis trikuspid. Terdapat tumpang tindih yang mencolok pada tanda ini, yaitu banyak pasien dengan dilatasi atrium kiri yang menunjukkan gelombang P runcing tinggi walaupun tidak terdapat dilatasi atrium kanan. Sama halnya, pasien dengan gelombang P lebar berlekuk mungkin menderita tahanan vaskular paru yang naik. Gambaran EKG pada stenosis mitral murni berat dapat dilihat pada gambar 7. Tingkat hipertrofi ventrikel kanan sering sebanding dengan tingkat hipertensi pulmonal. Namun pasien stenosis mitral berat tanpa penyakit vaskular paru yang berat mungkin tidak menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kiri yang jelas jarang sesuai dengan diagnosis stenosis mitral murni berat.

Gambar 7. EKG pada stenosis mitral murni berat.10

2.

Radiologi Gambaran roentgenografik normal pada stenosis mitral ringan, tetapi dapat

khas pada stenosis mitral sedang atau berat. Pada keadaan ini, atrium kiri membesar bervariasi, cenderung lebih besar jika bersama dengan insufisiensi

17

mitral atau fibrilasi atrium. Ventrikel kiri normal atau tergeser ke posterior oleh pembesaran ventrikel kanan. Segmen arteri pulmonalis utama dan ruang jantung kanan membesar, terutama bila terdapat hipertensi pulmonal. Aorta normal atau kecil. Walau kalsifikasi aktup tidak sering terjadi pad aanak, pemeriksaan tanda ini dengan memperkuat intensitas sinar diperlukan terutama pada remaja. Perubahan aliran darah pulmonal terjadi pada stenosis mitral berat, dan ini dapat dinilai pula pada foto. Pada orang normal pada posisi tegak perfusi bagian atas paru kurang daripada bagian bawah. Dalam keadaan terlentang datar, penyebaran perfusi lebih merata pada semua bagian paru. Pada stenosis mitral berat dan hipertensi pulmonal, terdapat perfusi yang lebih besar pada bagian atas paru. Pada hipertensi pulmonal berat, dapat terjadi lebih banyak perfusi pada bagian atas paru daripada bagian bawah. Perubahan perfusi paru ini disebabkan oleh tingkat penyakit vaskular yang lebih berat pada segmen bawah paru. Perubahan perfusi paru ini dapat dinilai pada sinar-X, yakni dengan cara membandingkan corakan vaskular paru pada segmen paru bagian atas dan bawah, khususnya dengan film seru pada stenosis yang makin memburuk dan hipertensi pulmonal. Pada sebagian pasien hipertensi vena pulmonal, penonjolan vena pulmonal tampak pada foto sinar-X, terutama pada apeks paru. Garis-garis septal, terutama pada sudut kostofrenikus, juga terlihat. Edema paru akut ditandai oleh opasitas yang tipik yang menyebar keluar dari hilus paru ke perifer. Foto rontgen pasien stenosis mitral dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Foto rontgen pasien stenosis mitral.10

18

3.

Ekokardiografi Stenosis mitral adalah keadaan klinis yang pertama kali dideteksi dengan

teknik ekokardiografi M-mode. Teknik ini dapat memperagakan keterbatasan gerakan daun katup anterior dan posterior, gerakan ke anterior daun katup posterior pada fase diastol, dan hilangnya lereng EF. Gambaran ekokardiografi Mmode pada stenosis mitral berat dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9. Ekokardiografi M-mode pada stenosis mitral berat.10

Ekokardiografi 2-dimensi tepat untuk mengevaluasi gerakan katup dan derajat obstruksi. Tampak daun katup mitral menebal dan tidak lentur, membuka dan menutup secara mendadak. Pada sumbu pendek dapat diukur area katup mitral (MVA). Perbedaan tekanan diastolik puncak dan rata-rata dapat ditentukan dengan teknik Doppler. Perbedaan tekanan puncak yang melintasi katup mitral yang stenotik dapat diukur dengan rumus: P = 4V2 , (P adalah perbedaan tekanan yang melintasi katup stenosis dan V adalah kecepatan aliran maksimal yang diperoleh Doppler melintasi katup). Perbedaan tekanan rata-rata katup mitral dapat ditentukan oleh rata-rata perbedaan tekanan yang dihitung pada sejumlah titik selama diastol. Gambaran ekokardiografi 2-dimensi pada stenosis mitral berat dapat dilihat pada gambar 10.

19

Gambar 10. Ekokardiografi 2-dimensi pada stenosis mitral berat.10

2.7.3.3 Insufisiensi Aorta 1.

Elektrokardiografi Gambaran EKG normal pada lesi ringan. Pada insufisien aorta murni yang

telah mapan biasanya terdapat hipertrofi ventrikel kiri. Gelombang P yang berlekuk mungkin ditemukan, sesuai dengan hipertrofi atrium kiri. Fibrilasi atrium jarang pada insufisiensi aorta tanpa penyakit mitral. 2.

Radiologi Roentgenogram abnormal pada lesi yang sedang atau berat; pada pasien ini

terdapat pembesaran ventrikel kiri. Aorta asendens dan knob aorta menonjol dan pulsasinya bertambah. Kongesti paru dan pembesaran jantung secara umum ditemukan bila ada gagal jantung. Foto pasien insufisiensi aorta memperlihatkan kardiomegali dengan knob aorta yang prominen dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Foto pasien insufisiensi aorta memperlihatkan kardiomegali dengan knob aorta yang prominen.10

20

3.

Ekokardiografi Derajat insufisiensi aorta dari sedang sampai berat dapat diklasifikasikan

secara semi-kuantitatif dengan pemetaan pancaran regurgitan ke dalam ventrikel kiri. Pemetaan aliran Doppler berwarna dapat memberi informasi serupa. Penentuan waktu paruh regurgitasi diastolik aorta telah juga dipergunakan dalam evaluasi insufisiensi aorta. Teknik ini mungkin menilai terlalu tinggi derajat insufisiensi aorta, derajatnya dapat ditentukan dengan persamaa Bernoulli yang disederhanakan. Perbedaan takanan sistolik antara ventrikel kiri dan aorta yang ditentuka dengan Doppler mungtkin terlalu tinggi bila derajat insufisiensi aorta bermakna. Deteksi dan perhitungan insufisiensi aorta paling baik dilakukan dengan Doppler. Pada pasien insufisiensi ringan, sampel di jalan keluar ventrikel kiri menunjukkan ventrikel kirir yang besar dengan atrium kiri normal. Getaran daun katup mitral anterior terjadi bila terdapat insufisiensi aorta berat, yang sesuai dengan bising Austin-Flint. Penutupan prematur dan pembukaan lambat katup mitral terlihat pada insufisiensi aorta akut berat yang dapat terjadi pada endokarditis.

2.8

Diagnosis Banding

2.8.1 Penyakit Miokardium Seringkali didapatkan gejala penyakit perikardium atau miokardium tetapi tidak ada penyakit katup. Salah satu prinsip penting adalah tidak ada penyakit jantung reumatik tanpa keterlibatan katup. Harus ada bising untuk mendiagnosis penyakit jantung reumatik.15 2.8.2 Endokarditis Infektif Endokarditis infektif mungkin merupakan penyebab demam pada anak dengan bising yang cocok dengan penyakit jantung reumatik. Setiap kecurigaan endokarditis infektif merupakan indikasi mutlak biakan darah multipel. Dikatakan bahwa demam reumatik akut dan endokarditis infektif tidak pernah terjadi bersamaan.15 Perbedaan antara PJR, penyakit miokardium, dan endokarditis infektif dapat dilihat pada tabel 3.

21

Tabel 3. Perbedaan antara PJR, penyakit miokardium, dan endokarditis infektif16,19 PJR Anamnesis

Penyakit miokardium

Endokarditis infektif

Sesak napas,

Demam, nyeri dada,

Demam, nyeri

orthopnea, PND,

iritabilitas

kepala, sesak napas,

edema perifer,

nyeri sendi

nyeri dada Pemeriksaan Kelainan sesuai

Nadi lemah,

Petekie, subungual

fisik

katup yang

takikardi, suara

hemorrhages, roth

terkena

jantung jauh, aritmia,

spots, lesi Janeway,

bisa terdapat

nodus Osler, murmur

murmur, ronki

(85% pasien)

Pemeriksaan Kelainan sesuai

Ekokardiografi: efusi

Ekokardiografi:

penunjang

katup yang

perikardium,

vegetasi katup,

terkena

regurgitasi katup

disfungsi katup

mitral, tidak ada lesi

prostetik, abses

arteri koroner atau

miokardium

lesi jantung kongenital lain

2.9

Komplikasi16 Insufisiensi mitral berat dapat mengakibatkan gagal jantung yang dapat

dipercepat oleh penjelekan proses reumatik, mulainya fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat, atau endokarditis infektif. Sesudah bertahun-tahun, pengaruh insufisiensi mitral kronis dapat menjadi nyata secara klinis tanpa kejadian reumatik baru. Gagal jantung sisi kanan dapat disertai dengan insufisiensi katup trikuspidal atau pulmonal. Kadang-kadang tampak ekstrasistol atrium atau ventrikel. Fibrilasi atrium lebih sering bila insufisiensi mitral disertai dengan atrium kiri yang besar. penderita dengan fibrilasi atrium biasanya memerlukan antikoagulasi untuk pencegahan tromboemboli dan stroke.

22

2.10

Penatalaksanaan

2.10.1 Medikamentosa Penatalaksanaan pasien dengan PJR secara garis besar bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A, menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-kasus parah. 1.

Terapi antibiotik a. Profilaksis primer Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang sangat

penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen Streptococcus beta hemolyticus grup A. Penisilin G Benzathine IM, penisilin V potassium oral, dan amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam, pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta hemolyticus group A. Dosis terapi untuk profilaksis primer dapat dilihat pada tabel 4.20

23

Tabel 4. Obat untuk profilaksis primer PJR16 Agen

Dosis

Penicillin G benzathine 

Pasien berat badan 27 kg atau kurang: 600.000 IU IM sekali



Pasien berat badan lebih dari 27 kg: 1,2 juta IU IM sekali

Penicillin V potassium



Pasien berat badan 27 kg atau kurang: 250 mg oral 2-3 kali sehari selama 10 hari



Pasien berat badan lebih dari 27 kg: 500 mg oral 23 kali sehari selama 10 hari

Eritromisin

40 mg/kg/hari (tidak lebih 1 g/hari) 2-3 kali sehari selama 10 hari

b. Profilaksis sekunder20,21 Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau munculnya rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah metode yang paling efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang parah. Profilaksis jangka panjang direkomendasikan pada pasien dengan riwayat demam reumatik dan pada pasien yang telah didiagnosis penyakit jantung reumatik. Injeksi penisilin G benzatin setiap empat minggu direkomendasikan untuk pencegahan penyakit jantung reumatik. Pada populasi tertentu, pemberian setiap tiga minggu dibenarkan karena kadar obat serum akan turun di bawah kadar protektif sebelum empat minggu setelah dosis inisial. Pemberian dosis tiga

24

minggu direkomendasikan hanya pada pasien demam reumatik akut meskipun sudah mematuhi pemakaian obat setiap 4 minggu. Sebelum memberikan injeksi penisilin G benzatin sebaiknya dipertimbangkan efek samping tidak nyaman dan nyeri saat injeksi, yang menyebabkan beberapa pasien tidak melanjutkan profilaksis. Beberapa fasilitas pelayanan kesehatan lebih memilih memberikan penisilin G benzatin pada tanggal yang sama setiap bulan daripada setiap 4 minggu. Tidak ada data efektivitas terapi tersebut, namun data farmakokinetik menyatakan bahwa memperpanjang interval dosis lebih dari 4 minggu meningkatkan risiko. Oleh karena itu, pemberian bulanan dibandingkan 4 mingguan penisilin G benzatin dapat diterima hanya jika dianggap dapat meningkatkan kepatuhan. Obat oral yang yang direkomendasikan adalah penisilin V. Belum ada data efektivitas penisilin lain, makrolid, dan azalid untuk pencegahan penyakit jantung reumatik. Sulfadiazin direkomendasikan pada pasien alergi penisilin. Meskipun sulfonamide tidak efektif untuk terapi infeksi streptokokus grup A, namun efektif untuk pencegahan. Sulfisoxazol ekuivalen dengan sulfadiazin. Sulfonamid kontraindikasi pada kehamilan semester akhir karena dapat melewati sawar darah plasenta dan potensial berkompetisi dengan bilirubin untuk berikatan dengan albumin. Antibiotik makrolid oral (eritromisin atau klaritromisin) atau azalid (azitromisin) adalah pilihan yang efektif pada pasien alergi terhadap penisilin. Efek samping antibiotik makrolid dan azalid adalah dapat interval QT memanjang bergantung dosis. Antibiotik makrolid sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang mengonsumsi obat-obatan lain yang menghambat sitokrom P450 3A, seperti agen antifungi golongan azol, human immunodeficiency virus protease inhibitor, dan beberapa selective serotonin reuptake inhibitors. Dosis terapi untuk profilaksis sekunder dapat dilihat pada tabel 5.

25

Tabel 5. Obat untuk profilaksis sekunder PJR21 Agen

Dosis 

Penisilin G Benzatin

Pasien berat badan 27 kg atau kurang: 600.000 IU IM setiap 4 minggu



Pasien berat badan lebih dari 27 kg: 1,2 juta IU IM setiap 4 minggu



Penisilin V Potasium

250 mg per oral 2 kali sehari



Sulfadiazin

Pasien berat badan 27 kg atau kurang: 0,5 g per oral sekali sehari



Pasien berat badan lebih dari 27 kg: 1 gram per oral sekali sehari

Makrolid atau antibiotik 

Bervariasi

azalid (pada pasien alergi terhadap

penisilin

dan

sulfadiazin)

Keberhasilan profilaksis oral bergantung pada kepatuhan berobat. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, perlu diberi informasi yang cukup mengenai penyakit dan terapi. Pasien harus diberi instruksi berulang tentang pentingnya kepatuhan berobat. Bahkan dengan kepatuhan optimal, risiko rekurensi lebih tinggi pada pasien yang menerima profilaksis oral daripada mereka yang

26

menerima injeksi penisilin G benzatin. Oleh karena itu, obat oral lebih cocok untuk pasien dengan risiko rekurensi rendah. Karena risiko rekurensi bergantung pada berbagai faktor, lama profilaksis sebaiknya menentukan kasus per kasus dengan mempertimbangkan ada tidaknya penyakit jantung reumatik. Pasien karditis reumatik, dengan atau tanpa penyakit katup, adalah pasien risiko tinggi rekuren dan keterlibatan jantung akan meningkat pada setiap episode. Pasien-pasien ini sebaiknya diberi profilaksis antibiotik jangka panjang sampai dewasa, dan mungkin seumur hidup. Pasien penyakit katup persisten sebaiknya diberi profilaksis selama 10 tahun setelah episode terakhir demam reumatik akut atau sampai umur 40 tahun, mana yang lebih lama. Pada saat itu, ditentukan tingkat keparahan penyakit katup dan potensial pajanan terhadap streptokokus grup A, dan profilaksis (bisa sampai seumur hidup) sebaiknya dilanjutkan pada pasien risiko tinggi. Lama profilaksis PJR dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Lama profilaksis PJR21 Tipe

Durasi setelah serangan terakhir

Demam reumatik dengan karditis dan 10 tahun atau sampai umur 40 tahun penyakit jantung residual (penyakit (mana yang lebih lama); profilaksis katup persisten)

seumur hidup mungkin diperlukan

Demam reumatik dengan karditis tetapi 10 tahun atau sampai umur 21 tahun tidak ada penyakit jantung residual (mana yang lebih lama) (tanpa penyakit katup) Demam reumatik tanpa karditis

5 tahun atau sampai umur 21 tahun (mana yang lebih lama)

2.

Terapi anti inflamasi22 Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya merespon

cepat terhadap terapi anti inflamasi. Anti inflamasi yang menjadi lini utama adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah kortikosteroid. Kortikosteroid

27

juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami perburukan. Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu sampai diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak-anak dosis aspirin adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2 minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6 minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa digunakan naproxen 10-20 mg/kg/hari. Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2 minggu, diberikan 1 kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan 20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi. 3.

Terapi gagal jantung Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik terhadap

tirah baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada beberapa pasien dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor, dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.22 Obat untuk terapi gagal jantung pada PJR dapat dilihat pada tabel 7.

28

Tabel 7. Obat untuk terapi gagal jantung pada PJR22 Obat Digoxin

Dosis 30 mcg/kgBB dosis total digitalis, 7,5 mcg/kg/hari dosis pemeliharaan

Diuretik: 

Furosemide



Spironolakton



0,5



2

mg/kgBB/hari 

1 -2 mg/kgBB/hari



Dimulai 0,25 mg/kg

Vasodilator: 

Captopril

dosis

percobaan,

dinaikkan 1,5 – 3 mg/kg/hari

dibagi

dalam 3 dosis Inotropik: 

Dobutamin



2 – 20 mcg/kg/menit per-infus



Dopamin



2 – 20 mcg/kg/menit per-infus

2.10.2 Diet dan Aktivitas Prinsip dan syarat diet untuk pasien PJR adalah kebutuhan energi sesuai umur. Natrium dan cairan dibatasi. Kebutuhan cairan sehari yaitu 75-80% dari total kebutuhan cairan per hari berdasarkan berat badan. Pola diet pasien PJR mengikuti tabel Recommended Dietary Allowances (RDA) seperti pada tabel 8.23

29

Tabel 8. Pola diet pasien PJR sesuai RDA23

Semua pasien demam rematik akut harus tirah baring, sebaiknya di rumah sakit sehingga bisa dipantau adanya tanda valvulitis dan untuk memulai pengobatan dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan, sehingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.24 Lamanya tirah baring bisa dilihat pada pedoman aktivitas pada DRA dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Pedoman aktivitas pada DRA25 Aktivitas

Karditis minimal

Karditis sedang

Karditis berat

Tirah baring

2-4 minggu

4-6 minggu

2-4 bulan/selama masih terdapat gagal jantung kongestif

Aktivitas dalam

2-3 minggu

4-6 minggu

2-3 bulan

2-4 minggu

1-3 bulan

2-3 bulan

Setelah 6-10

Setelah 3-6 bulan

Bervariasi

rumah Aktivitas di luar rumah Aktivitas penuh

minggu

30

2.10.3 Operatif16 Operatif dilakukan pada keadaan terapi konservatif gagal, menderita episode gagal jantung berulang, dispnea pada aktivitas sedang, dan kardiomegali progresif, sering dengan hipertensi pulmonal. Pada penderita stenosis mitral reumatik, pembedahan terindikasi bila ada tanda-tanda klinis dan bukti hemodinamik obstruksi berat tetapi sebelum manifestasi berat tampak lebih awal. Valvuloplasti balon terindikasi pada katup penderita yang tidak mengapur, lunak, stenotik bergejala tanpa aritmia atrium atau trombus. Valvotomi mitral balon kateter atau pembedahan biasanya menghasilkan hasil yang baik; penggantian katup dihindari kecuali kalau sangat diperlukan. Pada penderita insufisiensi aorta, pengobatan pada kebanyakan kasus terdiri atas profilaksis terhadap kumat demam reumatik akut dan kejadian endokarditis infektif. Penderita didorong untuk hidup aktif dan senormal mungkin. Intervensi bedah (penggantian katup) harus dilakukan juga sebelum mulai gagal jantung kongestif, edema paru atau angina, bila ada tanda-tanda penurunan daya kerja ventrikel kiri pada ekokardiogram. Pembedahan dipikirkan bila ada gejala awal, bila ada perubahan gelombang ST-T pada elektrokardiogram atau bila ada bukti penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri.

2.11

Prognosis7,26 Perkembangan penyakit jantung sebagai akibat demam rematik akut

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: 1.

Keadaan jantung pada saat memulai pengobatan. Lebih parahnya kerusakan jantung pada saat pasien pertama datang, menunjukkan lebih besarnya kemungkinan insiden penyakit jantung residual.

2.

Kelainan katup dan keparahan dari kerusakan katup meningkat pada setiap kekambuhan.

3.

Penyembuhan dari kerusakan jantung: terbukti bahwa kelainan jantung pada serangan awal dapat menghilang pada 10-25% pasien. Penyakit katup sering membaik ketika diikuti dengan terapi profilaksis.

31

Selama 5 tahun pertama, perjalanan penyakit demam rematik dan penyakit jantung rematik tidak membaik bila bising organik katup tidak menghilang. Prognosis sangat baik bila karditis sembuh pada permulaan serangan akut demam rematik. Prognosis memburuk bila gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata demam rematik akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah bila pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik.

2.12

Tindak Lanjut Tindak lanjut pada pasien yaitu melakukan kontrol ke fasilitas kesehatan

untuk memantau komplikasi gagal jantung dan mendapatkan profilaksis sekunder untuk pencegahan infeksi berulang sehingga tidak memperberat penyakit yang sudah ada, berupa antibiotik seperti yang telah dijelaskan pada profilaksis sekunder PJR. Lama pemberian antibiotik diberikan berdasarkan derajat keparahan penyakit sesuai rekomendasi yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pasien juga harus tirah baring sesuai rekomendasi yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pasien diperbolehkan mengikuti kegiatan belajar-mengajar bila tanda kongestif jantung sudah tidak ditemukan dan pasien tidak diperbolehkan mengikuti mata pelajaran olahraga selama 2 – 5 tahun, terutama yang bersifat kompetisi fisis.24

Related Documents

Bab Ii
November 2019 85
Bab Ii
June 2020 49
Bab Ii
May 2020 47
Bab Ii
July 2020 48
Bab Ii
June 2020 44
Bab Ii
October 2019 82