Bab I.docx

  • Uploaded by: dhiba
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,632
  • Pages: 33
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan yaitu berat badan kurang dari 500 gram atau usia kehamilan kurang dari 20/22/24 minggu. Dari 210 juta kehamilan, 75 juta dianggap tidak direncanakan di mana sekitar 15% kehamilan akan berakhir pada aborsi. Pada negara berkembang, prevalensi abortus mencapai 160 per 100000 kelahiran hidup dan paling tinggi terdapat di Afrika yaitu 870 per 100000 kelahiran hidup. Di Indonesia, ditunjukkan prevalensi abortus sebesar 2 juta kasus pada tahun 2000 dengan rasio 37 per 1000 kelahiran pada wanita usia produktif pada 6 wilayah. Sekitar 75% abortus spontan ditemukan pada usia gestasi kurang dari 16 minggu dan 62% sebelum usia gestasi 12 minggu. Insidensi abortus komplit belum diketahui secara pasti, namun demikian disebutkan sekitar 60% dari wanita hamil dirawat di rumah sakit dengan perdarahan akibat mengalami abortus komplit. Inisidensi abortus spontan secara umum disebutkan sebesar 10% dari seluruh kehamilan. Terdapat berbagai faktor risiko dan penyebab dari abortus sendiri di mana lima puluh persen sampai tujuh puluh persen abortus spontan trimester pertama terutama abortus rekuren disebabkan oleh kelainan genetik. Selain itu, trauma yang sering sekali terjadi dalam kehidupan masyarakat dapat menyebabkan abortus melalui beberapa mekanisme. Muncul konsep biomolekular baru mengenai keterlibatan stres oksidatif oleh asap rokok terhadap risiko abortus. Kasus yang dibahas dalam laporan kasus ini memiliki kemungkinan ketiga faktor penyebab abortus di atas. Dengan mengetahui penyebabnya, abortus selanjutnya pada kehamilan selanjutnya dapat dicegah.

1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Abortus merupakan pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan yaitu berat badan kurang dari 500 gram atau usia kehamilan kurang dari (ACOG memberi batasan 20 minggu, FIGO memberi batasan 22 minggu, Hanretty memberikan batasan 24 minggu, WHO memberi batasan 28 minggu).1

2.2. Epidemiologi Dari 210 juta kehamilan, 75 juta dianggap tidak direncanakan di mana sekitar 15% kehamilan akan berakhir pada aborsi.Sekitar 500.000 wanita meninggal akibat komplikasi persalinan, 7 juta wanita mengalami gangguan kesehatan setelah melahirkan. Pada negara berkembang, prevalensi abortus mencapai 160 per 100000 kelahiran hidup dan paling tinggi terdapat di Afrika yaitu 870 per 100000 kelahiran hidup.1

Guttmacher, et al. (2003) menunjukkan bahwa angka abortus di AS mencapai 1278.000 kasus dengan rasio 20,8 per 1000 kelahiran pada wanita usia produktif (15-49 tahun).Di Indonesia, ditunjukkan prevalensi abortus sebesar 2 juta kasus pada tahun 2000 dengan rasio 37 per 1000 kelahiran pada wanita usia produktif pada 6 wilayah. Motif sebagain besar kasus abortus adalah abortus kriminalis. Sekitar 75% abortus spontan ditemukan pada usia gestasi kurang dari 16 minggu dan 62% sebelum usia gestasi 12 minggu.Insidensi abortus inkomplit belum diketahui secara

2

pasti, namun demikian disebutkan sekitar 60% dari wanita hamil dirawat di rumah sakit dengan perdarahan akibat mengalami abortus inkomplit. Inisidensi abortus spontan secara umum disebutkan sebesar 10% dari seluruh kehamilan.2 Risiko abortus spontan semakin meningkat dengan bertambahnya paritas di samping dengan semakin lanjutnya usia ibu dan ayah. Frekuensi abortus yang dikenali secara klinis bertambah dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, menjadi 26% pada wanita yang berumur di atas 40 tahun. Untuk usia paternal yang sama, kenaikannya adalah dari 12% menjadi 20%. Insiden abortus bertambah pada kehamilan yang belum melebihi umur 3 bulan.2 Penelitian Basama, et al. (2009) pada 182 dengan abortus imminens menunjukkan bahwa 29% janin akan keluar pada usia gestasi 5-6 minggu; 8,2% pada usia gestasi 7-12 minggu; dan 5,6% pada usia gestasi 13-20 minggu.9 Biasanya abortus imminens akan berlanjut menjadi abortus komplit 10-14 minggu setelah pasien mengeluhkan keluar bercakbercak darah.10 Pada penelitian Johns et al. (2006) ditunjukkan bahwa risiko abortus komplit pada pasien abortus imminens atau insipiens dengan usia gestasi rata-rata 8 minggu adalah 9,3%.2

2.3. Faktor Risiko Faktor risiko abortus yaitu: 1.

Bertambahnya usia ibu. Abortus meningkat dengan pertambahan umur, atau 2,3 setelah usia 30 tahun.Risiko berkisar 13,3% pada usia 12-19 tahun; 11,1% pada usia 20-24 tahun; 11,9% pada usia 25-29 tahun; 15% pada usia 30-34 tahun; 24,6% pada usia 35-39%; 51% usia 40-44 tahun; 93,4% pada usia 45 tahun ke atas. Baru-baru ini peningkatan usia ayah dianggap sebagai suatu faktor risiko terjadinya abortus. Suatu penelitian yang dilakukan di Eropa melaporkan bahwa risiko abortus tertinggi ditemukan pada pasangan dimana usia wanita ≥35 tahun dan pria ≥40 tahun.3

2.

Riwayat reproduksi abortus. Risiko pasien dengan riwayat abortus untuk kehamilan berikutnya ditentukan dari frekuensi riwayatnya. Pada pasien yang baru mengalami riwayat 1 kali berisiko 19%, 2 kali berisiko 24%, 3 kali berisiko 30%, dan 4 kali berrisiko 40%. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya Warton dan Fraser memberikan prognosis yang lebih baik yaitu 25,9% dan 39%.3

3

3.

Kebiasaan orang tua

a. Merokok

dihubungkan

dengan

peningkatan

risiko

abortus.

Risiko

abortus

meningkat1,2-1,4 kali lebih besar untuk setiap 10 batang rokok yang dikonsumsi setiap hari. Asap rokok mengandung banyak ROS yang akan mendestruksi organel seluler melalui kerusakan mitrokondria, nukleus, dan membran sel. Selain itu, secara tidak langsung ROS akan menyebabkan kerusakan sperma. Hal ini menyebabkan fragmentasi DNA rantai tunggal maupun ganda sperma. Plasentasi normal diatur oleh invasi arteri spiral uterina yang diatur oleh genomik tropoblas yang normal. Pada organogenesis embrionik dalma menjamin invasi tropoblas, tekanan oksigen rendah, dan metabolisme cenderung anaerob. Oleh karena itu, produksi ROS biasanya menurun. Keadaan ini diatur aktivitas integrin yang merangsang tropoblas untuk proliferasi.Tekanan oksigen rendah membantu implantasi sedangkan tekanan tinggi membantuk proliferasi sel tropoblas. Transisi trimester 1 ke 2 membawa banyak perubahan metabolisme.Pada akhir trimester satu, ada peningkatan tekanan oksigen dari <20 mmHg menjadi >50 mmHg menyebabkan stress oksidatif.Pada abortus, stres oksidatif juga dipicu oleh zymosan opsonisasi dan stimulai N-formil-metionil-leucil-fenilalanin. Dengan faktor pemicu asap rokok, stres oksidatif akan semakin buruk. Stres oksidatif sendiri dapat menyebabkan apoptosis yang mengganggu invasi plasenta dan abortus dini.ROS akan bereaksi dengan molekul pada berbagai sistem biologi sehingga dapat terjadi kerusakan sel yang ekstensif dan disrupsi fungsi sel. Dengan risiko stres oksidatif, pasien tidak pernah mengonsumsi vitamin yang berperan sebagai antioksidan sehingga meningkatkan risiko abortus. Selain itu, Vural, et al. menunjukkan adanya peningkatan radikal bebas superoksida oleh PMN pada trimester satu kehamilan.4 b.

Konsumsi alkohol selama 8 minggu pertama kehamilan. Tingkat aborsi spontan dua kali lebih tinggi pada wanita yang minumalkohol 2x/minggu dan tiga kali lebih tinggi pada wanita yang mengkonsumsi alkoholsetiap hari. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa risiko abortus meningkat 1,3kali untuk setiap gelas alkohol yang dikonsumsi setiap hari.5

c.

Kafeindosis rendah tidak mempunyai hubungan dengan abortus. Akan tetapi pada wanita yang mengkonsumsi 5 cangkir (500mg kafein) kopi setiap hari menunjukkan tingkat abortus yang sedikit lebih tinggi.5

d.

Radiasi juga dapat menyebabkan abortus pada dosis yang cukup. Akan tetapi, jumlah dosis yang dapat menyebabkan abortus pada manusia tidak diketahui secara pasti.5

4

e.

Alat kontrasepsi dalam rahim yang gagal mencegah kehamilan menyebabkan risiko abortus, khususnya abortus septik meningkat.5 Psikologis seperti ansietas dan depresi.5

f.

2.3. Etiologi 1.

Faktor Genetik Lima puluh persen sampai tujuh puluh

persen abortus spontan terutama abortus

rekuren disebabkan oleh kelainan genetik. Kelainan genetik menjadi penyebab 70% 6 minggu pertama, 50% sebelum 10 minggu, dan 5% setelah 12 minggu. Kelainan ini dapat disebabkan faktor maternal maupun paternal. Gamet jantan berkontribusi pada 50% material genomik embrio. Mekanisme yang dapat berkontribusi menyebabkan kelainan genetik adalah kelainan kromosom sperma, kondensasi kromatin abnormal, fragmentasi DNA, peningkatan apoptosis, dan morfologi sperma yang abormal. Sekitar 42% struktur vili korionik abnormal akibat gangguan genetik.6 a. Kelainan kromosom Sekitar 50% abortus trimester satu disebabkan oleh abnormalitas kromosom di mana prevalensi ini menjadi 75% pada wanita berusia di atas 35 tahun dan pada wanita dengan abortus rekuren. Sekitar 25% abortus terjadi pada trimester satu.Tipe kelainan kromosom parental yang paling banyak adalah translokasi seimbang, baik resiprokal (segmen distal kromosom saling bertukar), Robertsonian (dua kromosom akrosentrik bersatu pada wilayah sentromer dengan hilangnya lengan pendek), gonosomal mosaik, dan inversi. Keadaan ini dapat menyebabkan abortus, anomali fetus, atau bayi lahir mati. Secara struktural abnormalitas kromosom yang dapat terjadi yaitu delesi, translokasi, inversi, dan duplikasi. Walaupun begitu, hanya translokasi dan iversi yang memainkan pernan penting pada abortus dan abortus rekuren.7 Aneuploidi disebabkan oleh non disfungsi selama meiosis yang menghasikan tambahan atau hilangnya kromosom. Triploidi dan tetraploidi terkait dengan fertilisasi yang tidak normal. Triploidi biasanya terjadi karena fertilisasi oosit oleh dua spermatozoa atau akibat kegagalan salah satu bagian pematangan baik pada oosit maupun pada spermatozoa. Tetraploidi biasanya disebabkan kegagalan untuk menyelesaikan pemisahan zigotik pertama. Pada pasangan dengan abortus habitualis, analisis sitogenetik konvensional melaporkan insiden trisomi, poliploidi dan monosomi X pada jaringan adalah 52%, 21% dan13%. Trisomi 16 adalah trisomi yang paling sering terjadi yaitu mencakup 32% dari seluruh kasus trisomi. Kondisi lain adalah trisomi 5

(pada kromosom 13, 14, 15, 121, 22), poliploidi, monosomi X, dan translokasi tidaks eimbang. Secara rinci, pada usia gestasi 1 minggu, yang paling sering terjadi adalah trisomi 17, 3 minggu trisomi 16 dan tetrap loidi, 6 minggu trisomi 22, 5 minggu triploidi, 6 minggu monosomi X.7

Kebanyakan kelainan trisomi menunjukkan kesalahan tahap meiosis sebagai efek peningkatan usia ibu. Trisomi biasanya disebabkan oleh dispermia dan kegagalan meiosis sel maternal saat pembelahan oosit diploid. Biasanya pertumbuhan janin terhambat dan plasenta besar kistik. Beberapa hasil konsepsi triploid muncul sebagai mola parsial yang ditandai dengan kantong kehamilan yang besar dan degenerasi kistik plasenta. Tetraploid jarang berkembang di bawah usia kehamilan 4 atau 5 minggu. Monosomi X merupakan kelainan kromosom tunggal yang paling sering terjadi di antara aborsi spontan, kira-kira 15%-20% dari seluruh kasus abortus.8 Pada genomik mosaik, dua atau lebih jalur genetik akan dipresentasikan masingmasing.Inaktivasi kromosom Xterjadi di mana salah satu atau dua kromosom X inaktif selama embriogenesis dini di mana seharusnya proses ini penting sebagai kompensasi untuk gen kromosom X yaitu delesi pada Xq28. Mikrodelesi kromosom Y yang menyebabkan kegagalan spermatogenik.8 b. Kelainan gen Gangguan genetik ini akan menyebabkan gangguan fenotipe yang memiliki implikasi penting dalam kejadian abortus. i. Mutasi gen reseptor progesteron

6

ii. Mutasi gen hemostatik: mutasi FV dan mutasi gen protrombin G20210A meningkatkan risiko 2 sampai 4,9 kali. Mutasi protein C/S meningkatkan 3,5-15,4 kali risiko abortus. Mutasi misense gen MTHFR C677T dan A1298C. iii. Mutasi gen inflamasi: mutasi gen SCO2 yang diperlukan dalam oksidase sitokrom c.Polimorfisme A/G intron 6 dari gen eNOS, dan VEGF. iv. Ekspresi gen plasenta: mutasi Mash1 dan Hand1. Peningkatan gen apoptosis menyebabkan kematian vili korionik. Mutasi PP14, MUC1, CD95, aneksin II reaksi imunolofik fetomaternal. v. Mutasi gen mitokondria. b.

Kelainan HLA Ligase CD40 pada trimester awal menginhibisi aksis HPA.

2.

Gangguan plasenta Mayoritas kasus abortus berkaitan dengan kelainan genetik maupun kelainan perkembangan plasenta terutama pada vili korionik yang berperan sebagai unit fungsional plasenta dalam hal transpor oksigen dan nutrisi pada fetus. Penelitian histologi Haque, et al. pada 128 sisa konsepsi abortus, ditunjukkan bahwa 97% menunjukkan vili plasenta berkurang, 83% vili mengalami fibrosis stroma, 75% mengalami degenerasi fibroid, dan 75% mengalami pengurangan pembuluh darah. Inflamasi dan gangguan genetik dapat menyebabkan aktivasi proliferasi mesenkim dan edema stroma vili. Keadaan ini akan berlanjut membentuk sisterna dan digantikan dengan jaringan fibroid. Pada abortus, pendarahan yang merembes melalui desi dua akan membentuk lapisan di sekeliling vili korionik. Kemudian, material pecah dan merangsang degenerasi fibrinoid. Penelitian Ladefogd, et al. pada 269 jaringan abortus menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hidropik yang signifikan antara jaringan abortus spontan dan jaringan abortus lainnya (p<0,001).

7

3.

Kelainan uterus Pada pasien dengan abortus, prevalensi pasien dengan anomali uterus bervariasi dari 1,8%-37,6% terutama pada kehamilan trimester akhir. Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelainan akuisita dan kelainan yang timbul dalam proses perkembangan janin,defek duktus mulleri yang dapat terjadi secara spontan atau yang ditimbulkan oleh pemberian dietilstilbestrol (DES). Cacat uterus akuisita yang berkaitan dengan abortus adalah leiomioma dan perlekatan intrauteri. Leiomioma uterus yang besar dan majemuk sekalipun tidak selalu disertai dengan abortus, bahkan lokasi leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya. Mioma submokosa, tapi bukan mioma intramural atau subserosa, lebih besar kemungkinannya untuk menyebabkan abortus. Namun demikian, leiomioma dapat dianggap sebagai faktor kausatif hanya bila hasil pemeriksaan klinis lainnya ternyata negatif dan histerogram menunjukkan adanya defek pengisian dalam kavum endometrium. Miomektomi sering mengakibatkan jaringan parut uterus yang dapat mengalami ruptur pada kehamilan berikutnya, sebelum atau selama persalinan. Perlekatan intrauteri (sinekia atau sindrom Ashennan) paling sering terjadi akibat tindakan kuretase pada abortus yang terinfeksi atau pada missed abortus atau mungkin pula akibat komplikasi postpartum. Keadaan tersebut disebabkan oleh destruksi endometrium yang sangat luas. Selanjutnya keadaan ini mengakibatkan amenore dan abortus habitualis yang diyakini terjadi akibat endometrium yang kurang memadai untuk mendukung implatansi hasil pembuahan.9 Inkomptensi serviks adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan suatu kehamilan oleh karena defek fungsi maupun struktur pada serviks. Inkompetensi serviks biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua dengan insidensi 0,58%.Keadaan ini juga dapat menyebabkan hilangnya barrier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora bakteri vagina dan kebanyakan asimptomatik. Serviks merupakan barier mekanik yang memisahkan kehamilan dari flora bakteri vagina.Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi setelah membran plasenta mengalami ruptur pada prolaps yang disertai dengan balloning membran plasenta ke dalam vagina.9

4.

Kelainan endokrin

a. Defek Fase Luteal dan Defisiensi Progesteron Defek fase luteal disebut juga defisiensi progesteron merupakan suatu keadaan dimana korpus luteum mengalami kerusakan sehingga produksi progesteron tidak cukup dan mengakibatkan kurang berkembangnya dinding endometrium. b. Sindrom ovarium polikistik, hipersekresi LH, dan hiperandrogenemia 8

Sindrom ovarium polikistik terkait dengan infertilitas dan abortus. Dua mekanisme yang mungkin menyebabkan hal tersebut terjadi adalah peningkatan hormon LH dan efek langsung hiperinsulinemia terhadap fungsi ovarium. c. Faktor Endokrin Sistemik seperti DM atau hipotiroid. d. Defisiensi progesteron karena kurangnya sekresi hormon tersebut dari korpus luteum atau plasenta mempunyai hubungan dengan kenaikan insiden abortus. Karena progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi hormon tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.9,10 5.

Kelainan Koagulasi dan Imunologi Kehamilan adalah suatu keadaan di mana hemostatis berada dalam kondisi prokoagulasi dengan peningkatan konsentrasi faktor koagulan dan penurunan faktor antikoagulan. Mikropartikel prokoagulan yang bersirkulasi berada adalam keadaan tidak stabil. Pasien dengan abortus rekuren selalu berada dalam konsisi protombotik. HCG dan glikodelin diproduksi dalam kadar yang tinggi oleh desi dua lisasi endometrium. Glikodelin spesifik dan oligosakarida membentuk struktur yang disebut struktur LacdiNAc.Glikodelin memicu pembentukan mRNA hCG, produksi protein pada trimester pertama, dan perkembangan sel tropoblas trimester tiga. hCG membawa struktur SLeX dan SLea yang menyebabkan pencegahan perlekatan selektin E, L, atau P dari leukosit maternal ke sinsitiotropoblas janin. Pada pasien abortus, glikodelin meurun sehingga terjadi aktivasi system imun maternal sehingga terjadi rejeksi janin. Selain itu, penelitian Gardiner pada 22 pasien abortus rekuren trimester awal menunjukkan penurunan kadar tissue factor pathway inhibitor yang penting dalam regulasi aktivasi protein C/S.10

a. Trombofilia: mekanisme yang berhubungan adalah trombosis uteroplasenta sehingga mengganggu oksigenasi ke janin. b. Antibodi antifosfolipid: patogenesis aPL terkait dengan trombosis plasenta yang menyebabkan cacat desidualisasi pada endometrium dan kelainan fungsi dan diferensiasi tropoblas dini. c. Defek Trombofilik yang diturunkan: penyakit ini merupakan kelainan faktor pembekuan yang diturunkan secara genetik yang dapat menyebabkan trombosis patologis akibat ketidakseimbangan antara jalur pembekuan darah dan antikoagulasi. Teori yang paling banyak menjelaskan tentang hal ini adalah resistensi terhadap protein C yang disebabkan oleh mutasi faktor V Leiden atau yang lainnya, penurunan atau 9

tidak adanya aktivitas antitrombin III, mutasi gen protrombin dan mutasi gen untuk methylene

tetrahydrofolate

reductase

yang

menyebabkan

peningkatan

kadar

homosistein serum (hiperhomosisteinemia).11 d. Kelainan Imunologi Sekitar 15% dari 1000 wanita dengan abortus habitualis memiliki faktor autoimun. Faktor autoimun misal SLE, APS, antikoagulan lupus, antibodi anti

kardiolipin.

Insidensi berkisar 1-5% tetapi risikonya mencapai 70%. Selain itu, factor alloimun dapat mempengaruhi melalui HLA. Bila kadar atau reseptor leptin menurun, terjadi aktivasi sitrokin proinflamasi, dan terjadi peningkatan risiko abortus. Mekanismenya berhubungan dengan timbal balik aktif reseptor di vilidan ekstravili tropoblas.12 6.

Inflamasi Sitokin

pada

fetomaternal

penting

dalam

survival

fetus

dan

ibu

juga

angiogenesis.Ketidakseimbangan Th1/Th2, keseimbangan aktivasi inhibisi sel NK berperan penting dalam mengatur hal ini. Penurunan ekspresi Ki-67 dan peningkatan materi apoptosis ditemukan pada pemeriksaan sinsiotropoblas jaringan abortus yag mana menandakan adanya hubungan antara mekanisme inflamasi dan apoptosis dalam abortus.Kokawa et al.Menunjukkan adanya fragmen DNA internukleosomal dan perubahan apoptosis pada vili korionik manusia dan desidua selama kehamilan trimester pertama. Lea et al. juga menunjukkan adanya peingkatan apoptosis pada sel epitel di sekeliling iterus saat implantasi plasenta.13 7.

Infeksi Berbagai macam infeksi dapat menyebabkan abortus pada manusia, tetapi hal ini tidak umum terjadi. Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, Neisseria

gonorhoeae,

Streptococcus

agalactina,

virus

herpes

simpleks,

sitomegalovirus, Listeria monocytogenes dicurigai berperan sebagai penyebab abortus. Toxoplasma juga disebutkan dapat menyebabkan abortus. Isolasi Mycoplasma hominis dan Ureaplasma urealyticum dari 4 traktus genetalia sebagaian wanita yang mengalami abortus telah menghasilkan hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi mikoplasma yang menyangkut traktus genetalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua organisme tersebut, Ureaplasma Urealyticum merupakan penyebab utama.14 8.

Penyakit kronik Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus. Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada kehamilan sebelum 20 minggu, tetapi 10

keadaan ini dapat menyebabkan kematian janin dan persalinan prematur. Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang paling besar kemungkinanya menjadi predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. 15 9.

Trauma Sekitar 7% wanita mengalami trauma selama kehamilan tetapi banyak kasus yang tidak dilaporkan. Berdasarkan studi kasus yang terjadi, mekanisme trauma paling banyak adalah kecelakaan lalu lintas (55%), jatuh (13%), penyiksaan diri sendiri (10%), jatuh dari sepeda (4%), jatuh saat berjalan (4%), atau penyebab lainnya (11%). Pada umumnya, mekanisme trauma yang paling banyak adalah jatuh sendiri dan kesengajaan. Data epidemiologis 16 negara menunjukkan bahwa kecelakaan lalu lintas, kebakaran, dan jatuh yang paling banyak menyebabkan mortalitas maternal. Keadaan ini akan menyebabkan abrupsio plasenta, pendarahan fetomaternal, rupture uteri, trauma janin langsung.15 Kontraksi preterm ditemukan pada 25% pasien trauma dan semakin meningkat sesuai dengan ISS. Penelitian Ikossi, et al. (2004) pada 1195 wanita hamil yang mengalami trauma menunjukkan bahwa 17 meninggal dan dari wanita hamil yang selamat, 66 mengalami risko tinggi abortus. 5,1% pasien melahirkan secara normal, 75% dengan sectio caesarea yang dilakukan <24 jam melahirkan. Indikasi dilakukan sectiocaesarea cito adalah fetal distress, maternal distress, atau kombinasi keduanya. Penelitian Shah, et al. pada 114 pasien, ditunjukkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan abortus adalah kematian maternal, trauma abdomen berat, syok hemoragik. Pasien dengan ISS >15, trauma terutama pada toraks, abdomen, atau ekstremitas inferior (AIS >2) atau AIS pada kepala > 2 akan memiliki risiko tinggi untuk mengalami keguguran. Hal ini berkaitan dengan hipoksia janin dan vaskokontriksi pembuluh darah maternal. Penelitian Ali, et al. pada 20 wanita hamil menunjukkan bahwa ISS>12 menunjukkan 65% abortus dengan 1 kematian maternal 25. Kematian fetal dibanding maternal berkisar 3-9:1 26. Uterus dilindungi pelvik sampai usia kehamilan 12 minggu, jadi jarang terjadi trauma akibat trauma abdomen lansung. Setelah 20 minggu, diatas umbulukus, kandung kemih tersisihkan oleh pembesaran uterus sehingga uterus lebih rentan terkena trauma. Dinding uterus juga menjadi lebih tipis dan cairan amnion menurun seiring dengan penambahan gestasi.Pada trauma kapitis, terjadi perubahan fungsi HPA sehingga regulasi hormon yang menyokong kehamilan menjadi terganggu. Kelley, et al. menunjukkan adanya hipopituarisme pada 40% pasien dengan trauma kapitis. 11

Penelitian Weiss, et al. pada 761 wanita hamil yang mengalami trauma, biasanya berusia muda. Trauma akibat laparotomi kadang-kadang dapat mencetuskan terjadinya abortus. Pada umumnya, semakin dekat tempat pembedahan tersebut dengan organ panggul, semakin besar kemungkinan terjadinya abortus. Meskipun demikian, sering kali kista ovarii dan mioma bertangkai dapat diangkat pada waktu kehamilan apabila mengganggu gestasi. Peritonitis dapat menambah besar kemungkinan abortus.16

12

Klasifikasi Abortus dapat diklasifikasikan berdasarkan 1.

Tujuan

a. Abortus medisinalis yaitu abortus yang sengaja dilakukan dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan dapat membahayakan jiwa ibu. Pertimbangan ini dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu spesialis kebidanan dan kandungan, spesialis penyakit dalam, dan spesialis jiwa, bila perlu ditambah dengan pertimbangan dari tokoh agama yang terkait. b. Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis. c. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi tanpa tindakan apapun. 2.

Jenis (dibahas pada diagnosis)

3.

Waktu Menurut Shiers (2003), disebut abortus dini bila abortus tejadi pada usia kehamilan <12 minggu dan >12 minggu disebut abortus lanjut. Abortus trimester satu biasanya diakibatkan kelaian genetik atau penyakit autoimun yang diderita ibu, abortus trimester dua biasanya disebabkan oleh kelainan uterus, dan abortus trimester tiga.

2.6. Patogenesis & Patofisiologi Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua yang menyebabakn nekrosis jaringan. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali adanya proses abortus. Karena hasil konsepsi tersebut terlepas dapat menjadi benda asing dalam uterus yang menyebabkan uterus kontraksi dan mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto, meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di kanalis servikalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi.Pada kehamilan 8-14 minggu biasanya diawali dengan pecahnya selaput ketuban dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Jenis ini sering menimbulkan perdarahan pervaginam banyak. Pada kehamilan minggu ke 14-22, janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. 13

Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menimbulkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam banyak. Perdarahan pervaginam umumnya lebih sedikit namun rasa sakit lebih menonjol. Pada abortus hasil konsepsi yang dikeluarkan terdapat dalam berbagai bentuk yaitu kantong amnion kosong, di dalam kantung amnion terdapat benda kecil yang bentuknya masih belum jelas (blighted ovum), atau janin telah mati lama.Plasentasi tidak adekuat sehingga sel tropoblas gagal masuk ke dalam arteri spiralis. Akibatnya, terjadi peredaran darah prematur dari ibu ke anak.

2.7. Diagnosis Abortus diduga pada wanita yang pada masa reproduktif mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah terlambat haid. Hipotesis dapat diperkuat pada pemeriksaan bimanual dan tes kehamilan. Harus diperhatikan banyaknya perdarahan, pembukaan serviks, adanya jaringan dalam kavum uteri atau vagina. Bentuk perdarahan bervariasi diantaranya sedikit-sedikit dan berlangsung lama, ekaligus dalam jumlah yang besar dapat disertai gumpalan, dan akibat perdarahan tidak menimbulkan gangguan apapun atau syok. Disebut pendarahan ringan-sedang bila doek bersih selama 5 menit, darah segar tanpa gumpalan, darah yang bercampur dengan mukus. Pendarahan berat bila pendarahan yang banyak, merah terang, dengan atau tanpa gumpalan, doek penuh darah dalam waktu 5 menit, dan pasien tampak pucat. Bentuk pengeluaran hasil konsepsi bervariasi berupa pada usia gestasi di bawah 14 minggu dimana plasenta belum terbentuk sempurna dikeluarkan seluruh atau sebagian hasil konsepsi, di atas 16 minggu, dengan pembentukan plasenta sempurna dapat didahului dengan ketuban pecah diikuti pengeluaran hasil konsepsi, dan dilanjutkan dengan pengeluaran plasenta, berdasarkan proses persalinannya dahulu disebutkan persalinan immaturus, dan hasil konsepsi yang tidak dikeluarkan lebih dari 6 minggu, sehingga terjadi ancaman baru dalam bentuk gangguan pembekuan darah. Diagnosis abortus dilakukan berdasarkan jenisnya, yaitu: 1.

Abortus Iminens adalah pendarahan dari uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu, hasil konsepsi masih di dalam uterus dan tidak ada dilatasi serviks. Pasien akan atau tidak mengeluh mules-mules, uterus membesar, terjadi pendarahan sedikit seperti bercak-bercak darah menstruasi tanpa riwayat keluarnya jaringan terutama pada trimester pertama kehamilan. Pada pemeriksaan obstetrik dijumpai tes kehamilan

14

positif dan serviks belum membuka. Pada inspekulo dijumpai bercak darah di sekitar dinding vagina, porsio tertutup, tidak ditemukan jaringan. 2.

Abortus Insipiens adalah erdarahan kurang dari 20 minggu karena dilatasi serviks uteri meningkat dan hasil konsepsi masih dalam uterus. Pasien akan mengeluhkan mules yang sering dan kuat, keluar darah dari kemaluan tanpa riwayat keluarnya jaringan, pendarahan biasanya terjadi pada trimester pertama kehamilan, darah berupa darah segar menglair. Pada inspekulo, ditemukan darah segar di sekitar dinding vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan jaringan. 3. Abortus inkomplit adalah pengeluaran hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih terdapat sisa hasil konsepsi tertinggal dalam uterus. Pada anamnesis, pasien akan mengeluhkan pendarahan berupa darah segar mengalir terutama pada trimester pertama dan ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir.

4.

Abortus Komplit adalah keadaan di mana semua hasil konsepsi telah dikeluarkan. Pada penderita terjadi perdarahan yang sedikit, ostium uteri telah menutup dan uterus mulai mengecil. Apabila hasil konsepsi saat diperiksa dan dapat dinyatakan bahwa semua sudah keluar dengan lengkap. Pada penderita ini disertai anemia sebaiknya disuntikan sulfas ferrosus atau transfusi bila anemia. Pendarahan biasanya tinggal bercak-bercak dan anamnesis di sini berperan penting dalam menentukan ada tidaknya riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir Pada inspekulo, ditemukan darah segar di sekitar dinding vagina, porsio terbuka, tidak ditemukan jaringan

5.

Missed Abortion ditandai dengan kematian embrio atau fetus dalam kandungan >8 minggu sebelum minggu ke-20. Pada anamnesis akan ditemukan uterus berkembang lebih rendah dibanding usia kehamilannya, bisa tidak ditemukan pendarahan atau hanya bercak-bercak, tidak ada riwayat keluarnya jaringan dari jalan lahir. Pada inspekulo bisa ditemukan bercak darah di sekitar dinding vagina, portio tertutup, tidak ditemukan jaringan

6.

Abortus rekuren adalah abortus spontan sebanyak 3x/ lebih berturut-turut.Pada anamnesis akan dijumpai satu atau lebih tanda-tanda abortus di atas, riwayat menggunakan IUD atau percobaan aborsi sendiri, dan adanya demam.

7.

Abortus Septik ditandai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritonium. Hasil diagnosis ditemukan: panas, lemah, takikardia, sekret yang bau dari vagina, uterus besar dan ada nyeri tekan dan bila sampai sepsis dan syok (lelah, panas, menggigil)

15

8.

Blighted ovum adalah suatu keadaan di mana embrio tidak terbentuk tetapi terdapat kantung gestasi. Kofirmasi tidak ada embrio pada kantung gestasi (diameter minimal 25 mm) dengan USG.

2.8. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk abortus meliputi: 1.

Ultrasonografi Pada usia 4 minggu, dapat terlihat kantung gestasi eksentrik dengan diameter 2-3 mm. Pada usia gestasi 5 minggu, terlihat diameter kantung gestasi 5 mm, kantung telur 3-8 mm. Pada usia gestasi 6 minggu, terlihat diameter kantung gestasi 10 mm, embrio 2-3 mm, dan terdapat aktivitas jantung. Pada usia gestasi 7 minggu, diameter kantung gestasi 20 mm, terlihat bagian kepala dan badan yang menyatu. Pada usia gestasi 8 minggu, diameter kantung gestasi 25 mm, herniasi midgut, terlihat rhombencephalon, dan limb buds. Pada usia gestasi 9 minggu, tampak pleksus koroidalis, vertebra, dan ekstremitas. Pada usia gestasi 10 inggu, telah terlihat bilik jantung, lambung, kandung kemih, dan osifikasi tulang, pada usia gestasi 11, usus telah terbentuk dan struktur lainnya cenderung telah terbentuk dengan baik. Abortus dapat ditegakkan dari USG transabdominal bila pada embrio >8 mm tidak ditemukan aktivitas jantung.

2.

Kariotipe genetik

3.

Tiroid, KGD

4.

Biopsi endometrium fase luteal untuk kadar progesteron

5.

Infeksi

6.

Imunologis 16

7.

Beta hCG Serum beta HCG>2500 IU per mL disertai dengan USG transvaginal90% KDR Serum beta HCG >6500 IU per mL disertai dengan USG abdomen 90% KDR

2.9. Diagnosis banding Diagnosi s banding Abortus iminens

Gejala

- perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu berupa flek-flek - nyeri perut ringan - keluar jaringan () Abortus - perdarahan insipien banyak dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu - nyeri perut berat - keluar jaringan () Abortus - perdarahan inkompli banyak / sedang t dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu - nyeri perut ringan - keluar jaringan sebagian (+) Abortus komplit

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

- TFU sesuai dengan umur kehamilan - Dilatasi serviks ()

- tes kehamilan urin masih positif - USG : gestasional sac (+), fetal plate (+), fetal movement (+), fetal heart movement (+)

- TFU sesuai dengan umur kehamilan - Dilatasi serviks (+)

- tes kehamilan urin masih positif - USG : gestasional sac (+), fetal plate (+), fetal movement (+/-), fetal heart movement (+/-)

- TFU kurang dari umur kehamilan - Dilatasi serviks (+) - teraba jaringan dari cavum uteri atau masih menonjol pada osteum uteri eksternum - perdarahan (-) - TFU kurang dari - nyeri perut (-) umur kehamilan - keluar jaringan - Dilatasi serviks ((+) )

- tes kehamilan urin masih positif - USG : terdapat sisa hasil konsepsi (+)

Missed - perdarahan (-) - TFU kurang dari abortion - nyeri perut (-) umur kehamilan - biasanya tidak - Dilatasi serviks (-

- tes kehamilan urin masih positif bila terjadi 7-10 hari setelah abortus. USG : sisa hasil konsepsi (-) - tes kehamilan urin negatif setelah 1 minggu dari 17

merasakan keluhan apapun kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilannya > 14 minggu sampai 20 minggu penderita merasakan rahimnya semakin mengecil, tandatanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang. Mola - Tanda kehamilan hidatidos (+) a - Terdapat banyak atau sedikit gelembung mola - Perdarahan banyak / sedikit - Nyeri perut (+) ringan - Mual - muntah (+) Blighted - Perdarahan ovum berupa flek-flek - Nyeri perut ringan - Tanda kehamilan (+) KET - Nyeri abdomen (+) - Tanda kehamilan (+) - Perdarahan pervaginam (+/-)

)

terhentinya pertumbuhan kehamilan. - USG : gestasional sac (+), fetal plate (+), fetal movement (-), fetal heart movement (-)

- TFU lebih dari umur kehamilan - Terdapat banyak atau sedikit gelembung mola - DJJ (-)

- tes kehamilan urin masih positif (Kadar HCG lebih dari 100,000 mIU/mL) - USG : adanya pola badai salju (Snowstorm).

- TFU kurang dari usia kehamilan - OUE menutup

- tes kehamilan urin positif - USG : gestasional sac (+), namun kosong (tidak terisi janin). - Lab darah : Hb rendah, eritrosit dapat meningkat, leukosit dapat meningkat. - Tes kehamilan positif - USG : gestasional sac diluar cavum uteri.

- Nyeri abdomen (+) - Tanda-tanda syok (+/-) : hipotensi, pucat, ekstremitas dingin. - Tanda-tanda akut abdomen (+) : perut tegang bagian bawah, nyeri tekan dan nyeri lepas dinding abdomen.

18

- Rasa nyeri pada pergerakan servik. - Uterus dapat teraba agak membesar dan teraba benjolan disamping uterus yang batasnya sukar ditentukan. - Cavum douglas menonjol berisi darah dan nyeri bila diraba 2.9. Penatalaksanaan Penatalaksanaan abortus masih kontroversial. Namun, biasanya didasari oleh jenis abortus yang terjadi. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis. Langkah pertama dari serangkaian penatalaksanaan abortus adalah penilaian kondisi klinis pasien. Penilaian ini masih berkaitan dengan upaya diagnosis dan memulai pertolongan awalkegawatdaruratan. Dengan langkah ini, dapat dikenali berbagai komplikasi yang dapatmengancam keselamatan pasien seperti syok, infeksi/sepsis, perdarahan hebat (masif) atautaruma intraabdomen. Melalui pengenalan ini, dapat diambil langkah untuk mengatasi kondisi kegawat darutan. Penatalaksanaan abortus secara spesifik disesuaikan dengan jenis abortusnya yaitu: 1.

Abortus imminens Tirah baring tidak memberikan hasil lebih baik namun dianjurkan untuk membatasi aktivitas agar meminimalkan kemungkinan rangsangan prostaglandin. Tidak dianjurkan terapi dengan hormon estrogen dan progesteron.Meta analisis menunjukkan bahwa tatalaksana

abortus

imminens

dengan

preparat

progesteron

dengan

plasebo

menunjukkan hasil yang hampir sama (RR 0,53; 95CI 0,35-0,79). Regimen progesteron yang dipakai yaitu dydrogesteron oral 40 mg lalu 10 mg dilanjutkan sampai 16 minggu, pervaginam 25-90 mg sampai 14 hari berhenti berdarah, dan dydrogesteron oral 10 mg dilanjutkan sampai 1 minggu setelah berhenti berdarah.17

19

Terapi dydrogesteron dipertimbangkan dengan asumsi farmakodinamik untuk menyokong pertumbuhan uterus. Akan tetapi, penelitian menunjukkan bahwa perbandingan abortus antara kelompok yang menerima dydrogesteron dengan kelompok kontrol tidak menunjukkan hasil yang berbeda (p<0,001) dengan konsentrasi progesteron yang hampir sama. Akan tetapi, penelitian Zibdeh et al. menunjukkan adanya pengurangan insidensi abortus rekuren pada kelompok yang diterapi dydrogesteron dibanding kelompok kontrol (OR 0,38, p<0,001). Begitu juga pada kasus abortus iminens (OR 3,77). Hindari campur terlebih dahulu karena dapat terjadi kolonisasi bakteri pada kavum uteri di mana bakteri dapat lanjut menginvasi membran fetus, plasenta, cairan amnion yang meningkatkan risiko abortus. Selain itu, cairan semen dari laki-laki dapat merangsang kontraksi uterus dan pengeluaran oksitosin. Vitamin diberkan dengan asumsi fungsi antioksidan untuk mengatasi penyebab stresoksidatif pada kasus abortus. Penelitian Rumbold, et al. (2005) pada 35353 kehamilan menunjuk kan bahwa pemberian vitamin A gagal menunjukkan penurunan angka abortus tetapi pemberian vitamin C dan E meunjukkan hasil sebaliknya. Suatu RCT pada 183 wanita menunjukkan bahwa suplementasi hCG tidak menurunkan angka abortus pada abortus imminens. Pemberian tokolitik seperti beta agonis dinilai bermanfaat dalam menurunkan risiko abortus (OR 0,17). 2.

Abortus insipiens Umumnya harus dirawat. Karena tidak ada kemungkinan kelangsungan hidup bagi janin, maka dapat diberikan misoprostol untuk mengeluarkan konsepsi. Dapat analgetik mungkin diberikan. Demikian pula, setelah janin lahir, kuretase mungkin diperlukan. Pada kehamilan kurang dari 12 atau 16 minggu biasanya perdarahan tidak banyak namun bahaya perforasi lebih besar pada kerokan sehingga proses abortus harus dipercepat. Dengan pemberian infuse oksitosin janin dapat keluar. Regimen lain yang dapat diberikan adalah ergometrin im (dapat diulang setelah 15 menit bila perlu) ataumisoprostol 400 μg oral (dapat diulang sekali setelah 4 jam bila perlu). Apabila plasenta masih tertinggal pengeluaran plasenta dilakukan secara manualdan disusul 20

kerokan. Namun bahaya yang perforasi yang terakhir ini tidak begitu besar karena dinding uterus jadi lebih tebal karena hasil konsepsi telah keluar. Abortus inkomplit dapat ditatalaksana dengan rawat ekspektatif, pembebahan, maupun medikamentosa. Efektivitas rawat ekspektatif berkisar antara 52%-81% setelah follow up 2 minggu.Terapi medikamentosa dengan misoprostol menunjukkan efektivitas 80% ke atas. Namun, tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara keduanya. Reynold et al. (2005) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan statistik yang signifikan mengenai efikasi medikamentosa dan pembedahan dalam penatalaksanaan abortus inkomplit. Namun, terdapat peningkatan risiko infeksi pelvik pada penatalaksanaan secara surgikal (p<0,001). Hal ini berlaku saat kantung gestas <24 mm. Setelahnya, efikasi medikamentosa dibanding pemebdahan akan berkurang 85%. Penelitian Weeks et al. Dengan 600 mcg misoprostol oral dengan aspirasi vakum manual menunjukkan bahwa lebih baik dengan misoprostol, tetapi tidak bermakna (96,3 vs 91,4). a. Perbaiki keadaan umum: volume intravaskuler efektif harus dipertahankan untuk memberikan perfusi jaringan yang adekuat. b. Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat Sekitar 13% abortus bersifat infeksius baik pre dan post operasi. Fawcus et al. (1997) menunjukkan 49,5% wanita hamil dengan abortus inkomplit diberikan terapi antibiotik dan transfusi. Penelitian Chow et al. (1997) pada 77 pasien abortus menunjukkan penatalaksanaan

dengan

penicillin

+

chloraphenicol

lebih

baik

dibanding

chloramphenicol tunggal. Seeras (1989) menunjukkan tidak ada perbedaan insidensi sepsis antara kelompok kontrol dengan kelompok yang menerima tetrasiklin kapsul 500 mg 4 kali sehari (RR 1,36, 95CI 0,86-2,14). Pada RCT yang menilai profilaksis doksisiklin sebelum kuretase, ditunjukkan tidak ada efek yang bermakna terhadap penurunan motralitas infeksi pasca kuretase. c. Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perludilakukan laparotomi eksplorasi, sampai pengangkatan rahim. Pada perdarahan ringan dan kehamilan <16 minggu, dapat dilakukan pengeluaran hasil konsepsi yang terjepit pada serviks dengan jari atau forceps cincin. Bila perdarahan sedang-berat dan usia kehamilan <16 minggu, dilakukan evakuasi hasil konsepsi dari uterus dengan pilihan aspirasi vakum.Indikasi aspirasi vakum manual adalah pada kasus abortus insipien atau inkomplit <16 minggu (sumber lain menyebutkan batasan usia kehamilan <12-14 minggu). Bila evakuasi tidak memungkinkan untuk segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2mg IM (dapat diulang setelah 15 menit bila diperlukan) atau misoprostol 400 μg oral(dapat diulang setelah 4 21

jam bila diperlukan). Pada kehamilan >16 minggu, dilakukan induksi ekspulsi janin infus oksitosin 40 IU dalam 1 L kristaloid dengan kecepatan 40 tetes per menit sampai ekspulsi hasil konsepsi terjadi.Bila perlu, dapat diberikan misoprostol 200 μg per vaginam tiap 4 jam hingga terjadiekspulsi, dosis total tidak lebih dari 800 μg. Setelah itu, mengevakuasi sisa hasil konsepsi yang tersisa dari uterus. Penelitian Gulmezoglu menunjukkan bahwa metode operatif yang dipilih untuk abortus inkomplit adalah aspirasi vakum dengan efek samping yang rendah: kehilangan darah minimal (RR 0,28), nyeri minimal (RR 0,74), waktu lebih singkat (-1,2 menit) dibanding kuretase tajam. Di samping itu, prosedur ini tidak memerlukan anestesi umum danmemiliki efektivitas yang cukup baik (persentase evakuasi komplit rata-rata >98%).Walaupun begitu, perhitungan statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Heath et al. menunjukkan bahwa tidak ada manfaat pemeriksaan histopatologi jaringan kuretase. Akan tetapi, hal ini tetap saja diperiksakan untuk mencegah kemungkinan KET. Beberapa studi menganjurkan terapi misoprostol. Efikasi misoprostol berkisar 13%96% dengan banyak faktor yang mempengaruhinya misal, abortus, dan ukuran kantung gestasi. Angka keberhasilan tinggi (70%-96%) ditemukan pada kasusu abortus inkomplit dengan misoprostol dosis tinggi (1200 mcg-2400 mcg) yang berikan pervaginam.

Chung et al. menunjukkan bahwa 400 mcg misoprostol oral setiap 4 jam menunjukkan efikasi yang baik dengan dosis maksimum 1200 mcg.Gonlund yang membandingkan rawat ekspektatif dengan misoprostol vaginal 400 mcg menunjukkan keberhasilan 90% lebih baik dengan evaluasi pada hari 8 dan 14. Studi yang membandingkan rute oral dan vaginal menunjukkan bahwa vaginal lebih baik. Meka et al. menganjurkan penatalaksanaan dengan 600 mcg misoprostol pervaginam dan kontrol tes kehailan urin setelah 3 minggu tatalaksana. 22

Mengenai efektivitas melalui rute apa misoporstol harus diberikan masih kontroversial. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa misoprostol lebih efektif diberikan per bukal atau per vaginam agar tidak perlu melalui proses first pass metabolism. Meta analisis pada 15 penelitian (2118 wanita) menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna kejadian abortus pada kelompok yang diberikan progestogen oral/im/vaginal dan plasebo. Mittal et al. (2004) juga menunjukkan efikasi misoprostol yang sama antarakedua kelompok. Wiebe et al (2004) pada wanta abortsi menunjukkan bahwa terapi misoprostol vaginal lebih efektif dibanding bukal setelah terapi metroteksat. Akan tetapi, Middleton et al. (2005) pada 442 wanita menunjukkan bahwa efikasi terapi misoprostol bukal lebih baik dibanding vaginal setelah mifepriston.

3.

Abortus komplit

a. Perbaiki keadaan umum b. Infeksi harus dikendalikan dengan antibiotik yang tepat c. Hasil konsepsi dalam uterus harus dievakuasi, bila perlu dilakukan laparotomi eksplorasi, sampai pengangkatan rahim. 4.

Abortus rekuren Penyebab abortus habitualis untuk sebagian besar tidak diketahui. Oleh karena itu, penanganannya terdiri atas: memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sempurna, anjuran istirahat cukup banyak, larangan koitus dan olah raga. Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan lainnya mungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis. Risiko perdarahan pervaginam yang hebat maka perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok dan hemodinamik yang tidak stabil serta tandatanda vital. Jika pasien hipotensi, diberikan secara intravena-bolus kristaloid untuk stabilisasi hemodinamik, memberikan oksigen, dan mengirim jaringan yang ada, ke rumah sakit untuk diperiksa. 23

5.

Missed abortion Bila gestasional <12 minggu, bisa langsung dilakukan dilatasi dan kuretase jika seviks memungkinkan. Bila gestasional >12 minggu / <20 minggu, dilakukan induksi (untuk mengeluarkan janin) & diberi Invus (iv) cairan oksitosin(untuk profilaksis retensi cairan). Terdapat tehnik pemberian prostagalandin untuk induksi serta berefek pd pembukaan ostium serviks, dgn pemberian mesoprostol (sublingual).Bila usia gestasi lebih dari 4 minggu memungkinkan terjadinya gangguan trombosis darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.

6.

Abortus infeksi atau septik Kuretase dilakukan setelah 6 jam diberikan antibiotika yang adekuat. Pada infeksi berat, diberikan ampisilin intravena 2 g setiap 6 jam, gentamisin 5 mg/kgBB intravena selama 24 jam, dan metronidazole 500 mg intravena setiap 8 jam. Pada infeksi ringan, cukup diberikan amoxicillin oral 3 kali sehari selama 5 hari, metronidazole oral 400 mg 3 kali sehari selama 5 hari, dan gentamisin intravena 5 mg/kgBB bila perlu.

7.

Blighted ovum Dilatasi dan kuraetase secara selektif.

2.11. Pencegahan Pada serviks inkompeten, dilakukan operasi untuk mengecilkan ostium uteri pada kehamilan 12 minggu atau lebih sedikit. Dasar operasinya adalah memperkuat jaringan serviks yang lemah dengan melingkari daerah ostium uteri internum dengan benang sutera atau dakron yang tebal. Jika berhasil maka kehamilan dapat dilanjutkan sampai hampir cukup bulan dan benang dipotong pada usia kehamilan 38 minggu.

24

2.12. Prognosis Selain pada kasus antibodi antifosfolipid dan serviks inkompeten, angka kesembuhan setelah tiga kali abortus berturut-turut berkisar antara 70 dan 85 %, apapun terapinya. Bahkan, Warburton dan Fraser (1964) menunjukkan kemungkinan abortus rekuren adalah 2530% berapapun jumlah abortus sebelumnya. Poland, et al. (1977) mencatat bahwa apabila seorang wanita pernah melahirkan bayi hidup, risiko untuk setiap abortus rekuren adalah 30%. Namun, apabila wanita belum pernah melahirkan bayi hidup dan pernah mengalami paling sedikit satu kali abortus spontan, risiko abortus adalah 46%. Wanita dengan abortus spontan tiga kali atau lebih berisiko lebih besar mengalami pelahiran preterm, plasenta previa, presentasi bokong, dan malformasi janin pada kehamilan berikutnya (Thom dkk, 1992).

25

STATUS PASIEN A. IDENTITAS PASIEN - Nama

: Ny. VD

- No. RM

: 86-92-48

- Usia

: 40 Tahun

- Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

- Agama

: Islam

- Pendidikan terakhir

: SMA

- Alamat

: Seunebok

- Masuk RS

: 18 Maret 2018 pukul 14.09 WIB

B. ANAMNESIS Anamnesis dilakukan 19 Maret 2019, pukul 11.25 WIB di Bangsal Permata RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh secara autoanamnesis. -

Keluhan utama

: Perdarahan dari jalan lahir

-

Riwayat Penyakit Sekarang

: Pasien datang ke RSUD Cut Nyak Dhien

Meulaboh dengan keluhan perdarahan dari jalan lahir sejak ± 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Darah yang keluar bergumpal-gumpal disertai dengan keluar jaringan. Nyeri perut (-). HPHT: 03-01-2019 -

Riwayat Penyakit Dahulu a. Riwayat alergi obat

: disangkal

b. Riwayat asma

: disangkal

c. Riwayat darah tinggi : disangkal d. Riwayat diabetes -

: disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga a. Riwayat asma

: disangkal

b. Riwayat darah tinggi : (+) c. Riwayat diabetes

: disangkal

-

Riwayat obat-obatan

: (-)

-

Riwayat Menstuasi a. Menarche

: Umur 13 tahun

b. Lama haid

: 7 hari 26

c. Siklus

: 28-30 hari

d. Disminore

: (-)

-

Riwayat Pernikahan

: Sudah menikah selama 5 bulan.

-

Riwayat Kontrasepsi

: Tidak menggunakan

-

Riwayat Antenatal Care a. Kontrol di bidan b. Tekanan darah selama hamil 110/80 mmHg c. BB ibu sebelum hamil 65 kg, TB: 167 cm d. Ibu ada mengkonsumsi vitamin, dan penambah darah yang diberi oleh bidan

C. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum

: Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Status Gizi

: BB 65 kg, TB 167 cm

Vital Sign

: TD 100/70 mmHg, Nadi 80x/menit, RR 20x/menit, Temp 36,8 º C

a. Status Internus Kepala

: Normocephal.

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-)

Hidung

: Deviasi (-),secret (-)

Telinga

: Nyeri tarik (-), nyeri tekan (-)

Mulut

: Bibir sianosis (-), faring hiperemis (-)

Leher

: deviasi (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorak - Kor : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat. Palpasi

: iktus kordis teraba di ICS IV linea midclavicularis sinistra.

Perkusi

: konfigurasi jantung dalam batas normal.

Auskultasi : normal, tidak ada suara tambahan. - Pulmo : Inspeksi

: statis, dinamis, retraksi (-).

Palpasi

: stem fremitus kanan = kiri.

Perkusi

: sonor seluruh lapang paru. 27

Auskultasi -

: suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-.

Ekstremitas Superior : akral dingin (-/-), udem kedua tangan (-/-) Inferior

: akral dingin (-/-), udem kedua kaki (-/-)

b. Pemeriksaan Obstetri  Abdomen Inspeksi

: : tidak terdapat jaringan parut bekas operasi, striae gravidarum (-), linea nigra (-), perut buncit (-)

Palpasi

: massa (-), nyeri tekan (-), turgor baik

Pemeriksaan Leopold: Leopold I

: TFU tidak teraba

Leopold II

: Tidak dapat dinilai

Leopold III

: Tidak dapat dinilai

Leopold IV

: Tidak dapat dinilai

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium: JENIS

SATUAN

HASIL

RUJUKAN

Hemoglobin

gt %

12,9

12-17

Eritrosit

X 106 / ui

4,02

4-6

Leukosit

X 103 / ui

11,72

5-10

Trombosit

X 103 / ui

299

150-450

MCT/HT

gt %

35,8

35-50

MCV

fl

89,1

79-99

MCH

pg

32,1

28-33

MCHC

g/dl

36,0

33-36

PEMERIKSAAN

Golongan Darah: B

28

E. DIAGNOSIS G1P0A0 + Gravida 10-12 minggu + Abortus komplit

F. PENATALAKSANAAN Cefadroxil tab 2x1 Asam mefenamat tab 3x1 Pospargine tab 2x1

G. MONITORING a. Perbaikan kondisi umum pasien b. Tanda vital pasien c. Pantau perdarahan

H. EDUKASI a. Pasien diberitahu mengenai resiko abortus b. Pasien diberitahu tentang penatalaksanaan yang akan dilakukan.

I. PROGNOSIS a. Quo ad Vitam

: Bonam

b. Quo ad Functionam

: Dubia ad Bonam

c. Quo ad Sanactionam

: Dubia ad Bonam.

29

FOLLOW UP Tanggal/Jam

Keadaan Umum

Tindakan

18-03-2019 pkl 15:00 WIB

S: Perdarahan dari jalan IVFD RL

Hari ke-I

lahir,keluar darah bergumpal

Lapor dr. munira

HT: 03-01-2019

instruksi:

O: KU sedang, TD: 100/70

-

Cefadroxil tab 2x1

mmHg, Nadi: 80x/menit,

-

Asam mefenamat tab

RR: 22x/menit, T: 36,8ºC. BB: 65 kg, TB: 167 cm.

3x1 -

Pospargine tab 2x1

A: G1P0A0 + Gravida 10-12 minggu + Abortsus komplit

Diet makanan biasa bertahap Mobilisasi Observasi k/u, ttv, perdarahan

Pkl. 20:30 WIB

S: Os mengatakan keluar

IVFD RL

darah bergumpal masih ada

-

Cefadroxil tab 2x1

O: KU sedang, TD: 110/70

-

Asam mefenamat tab

mmHg, Nadi: 80x/menit, RR: 22x/menit, T: 36,5ºC.

3x1 -

Pospargine tab 2x1

A: G1P0A0 + Gravida 10-12

Diet makanan biasa bertahap

minggu + Abortus komplit

Mobilisasi Observasi k/u, ttv, perdarahan

19-03-2019 pkl 08:00 WIB

S: Os mengatakan keluar

IVFD RL

Hari ke-II

darah bergumpal masih ada

-

Cefadroxil tab 2x1

O: KU sedang, TD: 110/70

-

Asam mefenamat tab

mmHg, Nadi: 75x/menit, RR: 22x/menit, T: 36ºC.

3x1 -

Pospargine tab 2x1

A: G1P0A0 + Gravida 10-12

Diet makanan biasa bertahap

minggu + Abortus komplit

Mobilisasi Observasi k/u, ttv, perdarahan

Pkl. 11.00 WIB

S: (-)

Dr. A munira, Sp,OG

O: USG : sisa (-)

Terapi lanjut

A: G1P0A0 + Gravida 10-12 minggu + Abortus komplit 30

Pkl. 13:00 WIB

Os PBJ

-

Cefadroxil tab 2x1

-

Asam mefenamat tab 3x1

-

Pospargine tab 2x1

31

DAFTAR PUSTAKA 1.

DeCherney AH, Nathan L, & Goodwin TM. Spontaneous Abortion. Robertson A (editor). In: Current Diagnosis and Treatment in Obstetric and Gynecology. New York: McGraw-Hill, 2003.

2.

Hadijanto B. Perdarahan pada Kehamilan Muda. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH (editor),In: Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2010.

3.

Hanretty KP. Vaginal Bleeding in Pregnancy. Smith H (editor), In: Obstetrics Illustrated, 6th Edition. London: Churchill-Livingstone, 2003.

4.

World Health Organization. Managing incomplete abortion. WHO, 2008

5.

Sharing responsibility: women, society and abortion worldwide. New York, The Allan Guttmacher Institute,1999.

6.

Christopher P. Crum. The Female Genital Tract. In: Ramzi S. Cotran, Vinay Kumar, Tucker Collins. Pathologic Basis of Disease.7th ed. Philadelphia: WB. Saunders 2004; 1079-80.

7.

Greenwold N, Jauniaux E. Collection of villous tissue under ultrasound guidance to improve the cytogenetic study of early pregnancy failure. Hum Reprod 2002; 17: 452– 56.

8.

Regan L, Rai R. Epidemiology and the medical causes of miscarriage. Baillieres Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2000; 14: 839–54.

9.

Basama FM, Crosfill F. The outcome of pregnancies in 182 women with threatened miscarriage. Arch Gynecol Obstet 2004; 270:86-90

10.

Weiss JL, Malone FD, Vidaver J, et al. Threatened abortion: A risk factor for poor pregnancy outcome, a population-based screening study. Am J Obstet Gynecol 2004; 190:745-50.

11.

Johns J, Jauniaux E. Threatened miscarriage as a predictor of obstetric outcome. Obstet Gynecol 2006; 107:845-50.

12.

Tien JC & Tan TYT. Non surgical intervensions for threatened and recurrent miscarriages. Singapore Med J, 2007; 48(12): 1074.

13.

Backos, M and Regan, L. Recurrent Miscarriage. In: James, et al. (eds), High Risk Pregnancy Management Options. 3rd Edition.Philadelphia: Elsevier Saunders, 2006; 160-182.

32

14.

Pierce GB, Parchment RE, Lewellyn AL. Hydrogen peroxideas a mediator of programmed cell death in the blastocyst.Differentiation 1991;46:181–186.

15.

Suganuma R, Yanagimachi R, Meistrich ML. Decline in fertilityof mouse sperm with abnormal chromatin during epididymalpassage as revealed by ICSI. Hum Reprod 2005;20:3101-3108.

16.

Caniggia I, Mostachfi H&Winter J. Hypoxia-induciblefactor-1 mediates the biological effects of oxygen on humantrophoblast differentiation through TGF-beta. J Clin Invest2000;105:577-587.

17.

Gupta S, Agarwal A, Banerjee J& Alvarez J. The role of oxidative stress in spontaneous abortion and recurrent pregnancy loss: a systematic review. CME Review Article 2012; 62(5): 335-347.

33

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"