PERBEDAAN BHD TAHUN 2005, 2010, 2015
KELOMPOK 4
SAHRUDIN
(16 3145 105 030)
SISKA A. INTAN SARI
(16 3145 105 032)
SITTI FARADHIBA NUR
(16 3145 105 033)
SUCI FITRI HANDAYANI
(16 3145 105 035)
SURATMI M. ABUBAKAR
(16 3145 105 036)
SYANE PERTAFUN
(16 3145 105 037)
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN STIKES MEGA REZKY MAKASSAR TAHUN AKADEMIK 2018
KATA PENGANTAR 1
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dan manfaatnya bagi pembaca. Makassar 13 November 2018 Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang................................................................................................1 1.2 Tujuan.............................................................................................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Bantuan Hidup Dasar (BHD).........................................................6 2.2 Tujuan Bantuan Hidup Dasar..........................................................................7 2.3 Indikasi Bantuan Hidup Dasar........................................................................7 2.4 Langkah-langkah BLS (Basic Life Support)..................................................8 2.5 Perbedaan BLS Menurut AHA Tahun 2005 2010 15 ...................................11 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................................................18 B. Saran.............................................................................................................18 DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kejadian serangan jantung maupun kecelakaan sangat meningkat khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Basic Life Support (BLS) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan usaha yangdilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat pasien atau korban mengalami keadaan yang mengancam jiwa. Di luar negeri BLS/BIID ini sebenamya sudah banyak diajarkan pada orang-orang awam atau orang-orang awam khusus, namun sepertinya hal ini masih sangat jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia. Basic Life Support merupakan usaha untuk mempertahankan kehidupan saat penderitamengalami keadaan yang mengancam nyawa dan atry alat gerak. Pada kondisi napas dandenyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan tansportasi oksigen berhenti, sehinggadalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena ifi golden period (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit.Artinya dalam watu kurang dari l0 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan.Jika tidalq maka harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru (RIF). Resusitasi jantung paru (RIP) merupakan usaha yang dilakukan untuk Mengembalikan fungsi pemafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung paru otak dibagi dalamttiga fase : bantuan hidupdasar, bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama
4
1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Makalah ini disusun agar mahasiswa mengetahui dan memahami serta mampu melaksanakan Bantuan Hidup Dasar (BHD) 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui pengertian Bantuan Hidup Dasar (BHD) 2. Mengetahui tujuan dari Bantuan Hidup Dasar (BHD) 3. Mengetahui indikasi dari Bantuan Hidup Dasar (BHD) 4. Memahami langkah-langkah Basic Life Support (BLS) 5. Memahami perbedaan dari Bantuan Hidup Dasar (BHD) menurut AHA Tahun 2005,2010 dan 2015
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Bantuan Hidup Dasar (BHD) Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses yang menuju kematian. Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway). Bantuan hidup dasar merupakan kombinasi berbagai manuver dan ketrampilan dengan atau tanpa peralatan tertentu untuk membantu mengenali orang yang mengalami henti napas dan jantung serta menggunakan waktu yang ada sampai pasien mendapatkan tatalaksana lebih lanjut. Tatalaksana harus dilakukan secara berkesinambungan meliputi RJP dan aktivasi sistem EMS terutama jika ada lebih dari 1 penolong di tempat kejadian Bantuan hidup dasar pada anak atau sering disebut Pediatric Basic Life Support (BLS) merupakan hal yang penting untuk kelangsungan dan kualitas hidup anak. Pediatric Chain Survival berdasarkan American Heart Association tahun 2010 meliputi tindakan preventif, resusitasi jantung paru (RJP) segera dengan mengutamakan pijat jantung (teknik C-A-B atau Circulation-AirwayBreathing), mengaktifkan akses emergensi atau emergency medical system (EMS), bantuan hidup lanjut, serta melakukan perawatan pasca henti jantung. Keberhasilan dari resusitasi setelah henti jantung akan bergantung pada langkah-langkah yang harus kita lakukan secara berurutan. Hal ini disebut juga Rantai Keselamatan yang mencakup: 1. Deteksi dini dari henti jantung dan aktivasi sistem pelayanan gawat darurat terpadu (SPGDT) 2. Melakukan RJP secara dini dengan teknik penekanan yang tepat 3. Melakukan kejut jantung secara dini 4. Melakukan Bantuan Hidup Lanjut yang efektif 5. Melakukan resusitasi setelah henti jantung secara terintegrasi
2.2 Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) a. Mempertahankan
dan
mengembalikan
fungsi
oksigenasi
organ-organ
vital
(otak,jantung dan paru) b. Mempertahankan hidup dan mencegah kematian c. Mencegah komplikasi yang bisa timbul akibat kecelakaan d. Mencegah tindakan yang dapat membahayakan korban e. Melindungi orang yang tidak sadar f. Mencegah terhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi g. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP) 2.3 Indikasi Bantuan Hidup Dasar (BHD) Bantuan Hidup Dasar (BHD) dilakukan pada pasien-pasien dengan keadaan sebagai berikut: a. Henti nafas (respiratory arrest) Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernapasan dari korban/pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan bantuan hidup dasar. Henti nafas dapat erjadi pada keadaan : 1) Tenggelam 2) Stroke 3) Obstruksi jalan napas 4) Epiglotitis 5) Overdosis obat-obatan 6) Tersengat listrik 7) Infark miokard 8) Tersambar petir 9) Koma akibat berbagai macam kasus Pada awal henti napas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya. Jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung. b. Henti Jantung (cardiac arrest) Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti sirkulasi iini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan
oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Penyebab henti jantung: 1) Cardiac : penyakit jantung koroner, aritmia, kelainan katup jantung, tamponade jantung, pecahnya aorta 2) Extra-Cardiac: sumbatan jalan napas, gagal napas, gangguan elektrolit, syok, overdosis obat, keracunan 2.4 Langkah-Langkah BLS (Basic Life Support) I. Langkah-Langkah BLS (Sistem CAB) 1. Memeriksa keadaan pasien, respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak adanya nafas secara visual tanpa teknik Look Listen and Feel. 2. Melakukan panggilan darurat. 3. Circulation : Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi dada. Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi korban. Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik. Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada. Posisi tangan Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat tidur Chest compression Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik) Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit. Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).
4. Airway. Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas. 5. Breathing. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut : a. Pastikan hidung korban terpencet rapat b. Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam) c. Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin d. Berikan satu ventilasi tiap satu detik e. Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama satu detik. Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban. Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml. Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi. Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali. 6. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
7. Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai bergerak. II. Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB No 1 2
ABC
CAB Memeriksa
Memeriksa respon pasien
pasien
termasuk
ada/tidaknya nafas secara visual.
Melakukan panggilan darurat dan mengambil AED
Melakukan panggilan darurat Circulation
3
respon
Airway (Head Tilt, Chin Lift)
(Kompresi
dada
dilakukan
sebanyak satu siklus 30 kompresi, sekitar 18 detik)
Breathing
(Look,
Listen,
Feel,
dilanjutkan memberi 2x ventilasi 4 5
Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dalam-dalam) Circulation (Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2))
6
Breathing ( memberikan ventilasi sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas buatan (30 : 2)) Defribilasi
Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah : Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi otomatis segera (early defibrillation). Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil
alat pemisah atau alat pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik). Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal
ini
namun
salah
satu
yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut
ke
mulut
dalam
Airway
adalah
prosedur
yang
kebanyakan
ditemukan
paling sulit bagi orang awam. Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan
prosedur
sehingga
semakin
banyak
korban
yang
bisa
mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada. III. Penggunaan Sistem ABC Saat ini : 1. Pada korban tenggelam atau henti nafas maka petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar 2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon darurat. 2. Pada bayi baru lahir, penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui. 2.5 Perbedaan Basic Life Support (BLS) Menurut AHA Tahun 2005, 2010 Dan 2015 Tanggal
18 oktober
2010
lalu AHA (American
Hearth Association)
mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) atau dalam bahasa indonesia disebut RJP (resusitasi jantung paru) yang berbeda dari prosedur sebelumnya yang sudah dipakai dalam 40 tahun terakhir. Perubahan tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu sebelumnya menggunakan A-B-C (Airway-Breathing-Circulation) sekarang menjadi C-A-B (Circulation-Airway-Breathing). Namun perubahan yang ditetapkan AHA tersebut hanya berlaku pada orang dewasa,anak, dan bayi. Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian kompresi dada dari pada pembuka jalan nafas dan memberikan nafas buatan pada penderita henti jantung. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa teknik kompresi dada lebih diperlukan untuk mensirkulasikan sesegera mungkin oksigen ke seluruh tubuh terutama organ-organ vital seperti otak, paru, antung, dll.
Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami henti jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulasi darah. Oleh karena itu memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan memompa darah yang mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera mungkin. Kompresi dada dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan pembukaan jalan nafas dan pemberian napas buatan seperti prosedur yang lama. Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi selama lima tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan RJP 2010. Fokus utama RJP 2010 ini adalah kualitas kompresi dada. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara Panduan RJP 2005 dengan RJP 2010. 1. Bukan lagi ABC, melainkan CAB a. AHA 2010 (new) “A change in the 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC is to reccomend the initiation of chest compression before ventilation.” b. AHA 2005 (old) “The sequence of adult CPR began with opening of the airway, checking for normal breathing, and then delivering 2 rescue breaths followed by cycles of 30 chest compressions and 2 breaths.” Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC: Airway, Breathing, Ciculation (Chest Compression) yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan kompresi dada. Pada saat ini, prioritas utama adalah Circulation baru setelah itu tatalaksana difokuskan pada Airway dan selanjutnya Breathing. Satu-satunya pengecualian adalah hanya untuk bayi baru lahir (neonatus), karena penyebab tersering pada bayi baru lahir yang tidak sadarkan diri dan tidak bernafas adalah karena masalah jalan nafas (asfiksia). Sedangkan untuk yang lainnya, termasuk RJP pada bayi, anak, ataupun orang dewasa biasanya adalah masalah Circulation kecuali bila kita menyaksikan sendiri korban tidak sadarkan diri karena masalah selain Circulation harus menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas. 2. Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel a. AHA 2010 (new) “Look, listen, and feel for breathing was removed from the sequence for assessment of breathing after opening the airway. The healthcare
provider briefly checks for breathing when checking responsiveness to detect signs of cardiac arrest. After delivery of 30 compressions, the home rescuer opens the victim’s airway and delivers 2 breaths.” b. AHA 2005 (old) “Look, listen, and feel for breathing was used to assess breathing after the airway was opened.” Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah Bertindak bukan Menilai. Telepon ambulan segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik (gasping). Percayalah pada nyali Anda. Jika Anda mencoba menilai korban bernapas atau tidak dengan mendekatkan pipi Anda pada mulut korban, itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja sang korban tidak bernafas dan tindakan look listen and feel ini hanya akan menghabiskan waktu. 3. Tidak ada lagi Resque Breath a. AHA 2010 (new) “Beginning CPR with 30 compressions rather than
2
ventilations leads to a shorter delay to first compression” Resque breath adalah tindakan pemberian napas buatan sebanyak dua kali setelah kita mengetahui bahwa korban henti napas (setelah Look, Listen, and Feel). Pada AHA 2010, hal ini sudah dihilangkan karena terbukti menyita waktu yang cukup banyak sehingga terjadi penundaan pemberian kompresi dada. 4. Kompresi dada lebih dalam lagi a. AHA 2010 (new) “The adult sternum should be depressed at least 2 inches (5 cm)” b. AHA 2005 (old) “The adult sternum should be depressed 11/2 to 2 inches (approximately 4 to 5 cm).” Pada pedoman RJP sebelumnya, kedalaman kompresi dada adalah 1 ½ – 2 inchi (4 – 5 cm), namun sekarang AHA merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan kedalaman minimal 2 inchi (5 cm). 5. Kompresi dada lebih cepat lagi a. AHA 2010 (new) “It is reasonable for lay rescuers and healthcare providers to perform chest compressions at a rate of at least 100x/min.” b. AHA 2005 (old) “Compress at a rate of about 100x/min.” AHA mengganti redaksi kalimat disini sebelumnya tertulis: tekan dada sekitar 100 kompresi/ menit. Sekarang AHA merekomendasikan kita untuk kompresi
dada minimal 100 kompresi/ menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik. 6. Hands only CPR a. AHA 2010 (new) “Hands-Only (compression-only) bystander CPR substantially improves survival following adult out-of-hospital cardiac arrests compared with no bystander CPR.” AHA mendorong RJP seperti ini pada tahun 2008. Dan pada pedoman tahun 2010 pun AHA masuh menginginkan agar penolong yang tidak terlatih melakukan Hands Only CPR pada korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan terbesar adalah: apa yang harus dilakukan penolong tidak terlatih pada korban yang tidak pingsan di depan mereka dan korban yang bukan dewasa? AHA memang tidak memberikan jawaban tentang hal ini, namun ada saran sederhana disini: berikan Hands Only CPR, karena berbuat sesuatu lebih baik daripada tidak berbuat sama sekali. 7. Pengaktivasian Emergency Response System (ERS) a. AHA 2010 (new) “Check for response while looking at the patient to determine if breathing is absent or not normal. Suspect cardiac arrest if victim is not breathing or only gasping.” b. AHA 2005 (old) “Activated the emergency response system after finding an unresponsive victim, then returned to the victim and opened the airway and checked for breathing or abnormal breathing.” Pada pedoman AHA yang baru, pengaktivasian ERS seperti meminta pertolongan orang di sekitar, menelepon ambulans, ataupun menyuruh orang untuk memanggil bantuan tetap menjadi prioritas, akan tetapi sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesadaran dan ada tidaknya henti nafas (terlihat tidak ada nafas/ gasping) secara simultan dan cepat. 8. Jangan berhenti kompresi dada a. AHA 2010 (new) “The preponderance of efficacy data suggests that limiting the frequency and duration of interruptions in chest compressions may improve clinically meaningful outcomes in cardiac arrest patients.” Setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran darah ke otak yang mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan beberapa kompresi dada untuk mengalurkan darah kembali. AHA menghendaki kita untuk terus melakukan kompresi selama kita bisa atau sampai alat
defibrilator otomatis datang dan siap untuk menilai keadaan jantung korban. Jika sudah tiba waktunya untuk pernapasan dari mulut ke mulut, lakukan segera dan segera kembali melakukan kompresi dada. Prinsip Push Hard, Push Fast, Allow complete chest recoil, and Minimize Interruption masih ditekankan disini. Ditambahkan dengan Avoiding excessive ventilation. 9. Tidak dianjurkan lagi Cricoid Pressure a. AHA 2010 (new) “The routine use of cicoid pressure in cardiac arrest is not recommended.” b. AHA 2005 (old) “Cricoid pressure should be used only if the victim is deeply unconscious, and it usually requires a third rescuer not involved in rescue breaths or compressions.” Cricoid pressure dapat menghambat atau mencegah pemasangan jalan nafas yang lebih adekuat dan ternyata aspirasi tetap dapat terjadi walaupun sudah dilakukan cricoid pressure. Cricoid pressure merupakan suatu metode penekanan tulang rawan krikoid yang dilakukan pada korban dengan tingkat kesadaran sangat rendah, hal ini pada pedoman AHA 2005 diyakini dapat mencegah terjadinya aspirasi dan hanya boleh dilakukan bila terdapat penolong ketiga yang tidak terlibat dalam pemberian nafas buatan ataupun kompresi dada. 10. Pemberian Precordial Thump a. AHA 2010 (new) “The precordial thump should not be used for unwitnessed outof-hospital cardiac arrest. The precordial thump may be considered for patients with witnessed, monitored, unstable VT (including pulseless VT) if a defibrillator is not immediately ready for use, but it should not delay CPR and shock delivery.” b. AHA 2005 (old) “No recommendation was provided previously.” Pada
beberapa
kasus
dilaporkan
bahwa
precordial
thump
dapat
mengembalikan irama ventricular tachyarrhytmias ke irama sinus. Akan tetapi pada sejumlah besar kasus lainnya, precordial thump tidak berhasil mengembalikan korban dengan ventricular fibrillation ke irama sinus atau kondisi Return of Spontaneous Circulation (ROSC). Kemudian terdapat banyak laporan yang menyebutkan terjadinya komplikasi akibat pemberian precordial thump seperti fraktur sternum, osteomyelitis, stroke, dan bahkan bisa mencetuskan aritmia yang ganas pada korban dewasa dan anak-anak. Pemberian precordial thump boleh dipertimbangkan untuk dilakukan pada pasien dengan VT yang disaksikan, termonitor, tidak stabil, dan bila
defibrilator tidak dapat disediakan dengan segera. Dan yang paling penting adalah precordial thump tidak boleh menunda pemberian RJP atau defibrilasi. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara panduan pedoman AHA 2010 dan 2015: Pembaruan Pedoman AHA 2015 untuk CPR dan ECC, termasuk ringkasan ekslusif yang dipublikasikan dalam sirkulasi pada oktober 2015, dan untuk mempelajari rincian ringkasan ilmu resusitasi dalam 2015 International Consensus on CPR and ECC Science With Treatment Recommendations, yang dipublikasikan secara bersamaan dalam sirkulasi dan resusitasi. Pembaruan pedoman AHA 2015 untuk CPR dan ECC didasarkan pada proses evaluasi bukti internasional yang melibatkan 250 orang pemeriksa bukti dari 39 negara. Proses pemeriksaan sistematis ILCOR cukup berbeda bila dibandingkan dengan proses yang digunakan pada 2010. Untuk proses pemeriksaan sistematis 2015, tugas ILCOR mengharuskan untuk memeriksa topik yang di prioritaskan, dengan kondisi munculnya ilmu baru yang memadai atau terdapat kontroversi yang memerlukan pemeriksaan sistematis. Sebagai hasil dari prioritas tersebut, jumlah pemeriksaan yang diselesaikan pada 2015 (166) lebih sedikit dibandngkan jumlah pemeriksaan pada 2010 (274). 1. Komponen sistem perawatan\ (2015) : elemen universal sistem perawatan telah diidentifikasi untuk memberi pihak pemngku kepentingan kerangka kerja umum yang berfungsi untuk memasang sistem resusitasi terpadu 2. Penggunaan media sosial untuk memanggil penolong (2015) : menerapkan teknologi media sosial untuk memanggil penolong yang berada dalam jarak dekat dengan korban dugaan OHCA serta bersedia dan mampu melakuukan CPR 3. Tim resusitasi (2015): pada pasien dewasa, sistem RRT (tim tanggap cepat) dapat efektif dalam mengurangi insiden serangan jantung, terutama di bangsal perawatan umum (2010): meskipun terdapat bukti yang bertentangan, namun konensus ahli merekomendasikan identifikasi sistematis terhadap pasien beresiko serangan jantung, tanggapan teratur terhadap pasien tersebut, dan evaluasi dampak untuk mendukung perkembangan peningkatan kualitas secara terus menerus. 4. Peningkatan kualitas berkelanjutan untuk program resusitasi
(2015): sistem resusitasi harus membuat penilaian dan peningkatan sistem perawatan secara berkelanjutan 5. Program AED untuk penolong tidak terlatih dalam komunitas (2015): disarankan bahwa program PAD untuk pasien dengan OHCA diterakan dilokasi umum tempat adanya kemungkinan pasien serangan jantung terlihat relatif tinggi (2010): CPR dan penggunaan defibilator eksternal otomatis oleh tenaga medis 6. Identifikasi operator atas tarikan napas agonal (2015): untuk membantu pendamping mengenali serangan jantung, operator harus menanyakan tentang ada atau tidaknya reaksi korban dan kualitas pernapasan (2010): untuk membantu pendamping mengenali serangan jantung, operator harus menanyakan tentang korban dewasa, apakah korban bernapas normal 7. Penekanan pada kompresi dada (2015): penolong tidak terlatih harus memberikan CPR hanya kompresi dengan/tanpa operator untuk korban dewasa. (2010): jika tidak menerima pelatihan tentang CPR, pendamping harus memberikan CPR hanya komprei untuk korban dewasa yang jatuh mendadak, dengan menegaskan untuk “menekan kuat dan cepat” 8. Kecepatan kompresi dada (2015): pada orang dewasa , penolong perlu melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 hingga 120/min. (2010): penolong tidak terlatih dan HCP perlu melakukan kompresi dada pada kecepatan minimum 100/min. 9. Kedalaman kompresi dada (2015): kedalaman minimum 2 inci (5cm) untuk dewasa. (2010):tulang dada orang dewasa harus ditekan minimum sedalam 2 inci (5cm) BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses yang menuju kematian. Bantuan Hidup Dasar (BHD) dilakukan pada pasien-pasien dengan keadaan henti napas dan henti jantung.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik ABC yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation, breathing, airway). Pembaruan pedoman AHA 2015 untuk CPR dan ECC didasarkan pada proses evaluasi bukti internasional yang melibatkan 250 orang pemeriksa bukti dari 39 negara. 3.2 Saran Dengan mempelajari dan memahami tentang Bantuan Hidup Dasar, diharapkan mahasiswa mengetahui perkembangan BHD menurut AHA dari 2005, 2010, dan 2015. Kami mohon maaf jika ada kesalahan kata-kata dalam penulisan makalah ini, penulis juga meminta kritik dan saran agar bisa memperbaiki. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA https://edoc.tips/download/makalah-bhd_pdf